LONGCASE SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0) Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa di RSUD Kota Salatiga Disusun oleh: Angga Negara NIM. 1813020042 Pembimbing: dr. Iffah Qoimatun, Sp. KJ, M. Kes PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO RSUD KOTA SALATIGA 2019 HALAMAN PENGESAHAN Telah disetujui dan disahkan Long Case dengan judul SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0) Disusun oleh: Nama: Angga Negara NIM : 1813020042 Telah dipresentasikan Hari/Tanggal: Jumat, 27 September 2019 Disahkan oleh: Dosen Pembimbing, dr. Iffah Qoimatun, Sp. KJ, M. Kes i BAB I KASUS PSIKIATRI I. II. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. C Umur : 25 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Pekerjaan : Belum bekerja Status Pernikahan : Belum menikah No. HP : 085225254xxx Alamat : Kupang, NTT ANAMNESIS A. KELUHAN UTAMA Merasa takut B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien datang ke poli jiwa, 20 September 2019 pukul 14.00 WIB Autoanamensis Pasien datang dengan keluhan takut sejak 1 tahun terakhir. Keluhan disertai adanya suara-suara yang mengancam akan keselamatan dirinya. Keluhan tersebut mengganggu aktivitas hariannya hingga terkadang dia harus tetap didalam kamar agar selamat dari ancaman tersebut. C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Pasien mengungkapkan bahwa awalnya dia merasa takut adalah ketika satu tahun yang lalu sedang praktek dipedesaan pada suatu daerah, pasien mengalami trauma tajam pada daerah diantara anus dan organ kewanitaannya. Setelah kejadian tersebut pasien merasa takut karena keluar begitu banyak darah dari daerah diantara anus dan organ kewanitaannya. Karena terlalu takut pasien enggan untuk berobat hingga 1 saat ini. Sejak saat itu pasien memikirkan akan keadaan dirinya namun tidak ingin hal tersebut diketahui oleh orang-orang terdekatnya, pasien enggan untuk menceritakan hal tersebut kepada orang selain dirinya dan lebih memilih untuk dipendam sendiri, hingga mulai didengarnya suarasuara yang mengancam keselamatan dirinya. Pada akhirnya pasien menjadi selalu berhati-hati dan waspada terhadap lingkungan sekitar, karena dirasa pasien ada seseorang yang membuntuti untuk mencelakakan dirinya. Pasien memilih keluar dari kelas saat pasien merasa ada yang akan mencelakakan dirinya. Pasien pun mencoba berobat mengenai keluhan yang ia alami ke psikiater di suatu kota, pasien pun meminum obat dari psikiater dan sedikit membantu mengatasi keluhannya. D. RIWAYAT PERKEMBANGAN 1. Prenatal dan Perinatal Pasien mengatakan dirinya lahir dengan usia kehamilan yang cukup yaitu 9 bulan dan lahir secara normal. Riwayat adanya kesulitan dalam persalinan disangkal. Imunisasi lengkap. 2. Masa Pre-Sekolah Pasien sejak kecil tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien termasuk anak yang pendiam namun memiliki banyak teman. Riwayat cedera kepala, penyakit yang diderita disangkal. Perkembangan pasien juga baik dan termasuk anak yang pintar. 3. Masa Sekolah dan Kuliah Semasa mengenyam bangku pendidikan sejak TK hingga SMApasien tidak mengeluhkan adanya kesulitan dalam belajar dan selalu masuk 10 besar disekolahnya. 4. Masa Remaja Saat remaja pasien memiliki banyak teman, pasien mengatakan tidak pernah menyukai teman laki–lakinya dan hanya berhubungan sebagai teman biasa saja. 2 5. Masa Dewasa Riwayat Pernikahan dan Seksual Pasien belum pernah menikah. Riwayat Pekerjaan Saat ini pasien tidak bekerja namun sedang menjalan program S2 Theology. Riwayat Pendidikan Pendidikan terakhir pasien adalah S1 dengan jurusan yang diambil adalah theology. Riwayat Kemiliteran Pasien menyangkal pernah menjalani kegiatan pendidikan kemiliteran. Agama Pasien beragama Kristen, pasien beribadah dan berdo’a ke Gereja bila kondisi sedang stabil. Aktivitas Sosial Pasien dapat berinteraksi baik dengan orang – orang disekitarnya. Riwayat Hukum Pasien menyangkal pernah berurusan dengan pihak berwajib terkait pelanggaran di bidang hukum. Situasi Hidup Sekarang Saat ini pasien tinggal bersama teman-temannya di kostan. Pasien hidup jauh dari orang tua, kakak, dan adik-adiknya. Persepsi Pasien terhadap Sakitnya Pasien menyadari bahwa selain sakit fisik ia juga sakit kejiwaan seperti takut, merasa curiga, dan mendengar bisikan. E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA 1. Riwayat Gangguan Mental Keluarga pasien tidak memiliki riwayat adanya gangguan mental. 3 2. Riwayat Penyakit Fisik Riwayat diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, dan batuk lama disangkal oleh pasien. F. RIWAYAT KELUARGA Pasien merupakan anak ke-6 dari 7 bersaudara. Ayah pasien bekerja sebagai guru sekolah dasar dan SMP, sedangkan ibunya bekerja sebagai guru agama. 4 Genogram Keterangan: : Laki-laki : Perempuan : Meninggal : Pasien : Satu rumah 5 G. RIWAYAT PERSONAL SOSIAL Pasien memiliki hubungan baik dengan teman-temannya. III. STATUS PSIKIATRI A. Deskripsi Umum 1. Kesan Umum Seorang perempuan, sesuai umur, berpenampilan sederhana. Tampak tenang, dan sesekali menghindari kontak mata dengan pemeriksa. 2. Kesadaran Kuantitatif : Compos mentis (GCS: E4 V5 M6) Kualitatif : Tidak berubah 3. Perilaku dan aktivitas psikomotor Baik 4. Sikap terhadap pemeriksa Sangat kooperatif, bersahabat dan terbuka. B. Keadaan Afektif 1. Mood : hipotimia 2. Afek : normal 3. Keserasian afek : serasi C. Pikiran 1. Bentuk : Realistik 2. Isi pikir : Waham Waham paranoid (+), waham kejar (+), waham kebesaran (-), waham rujukan (-), waham dikendalikan (-). Waham bizzare (-), waham sistematik (-), waham bersalah (-), waham pesimistik (-), waham nihilistik (-), waham dikendalikan (-) Pikiran obsesi (-) Preokupasi terhadap kehidupan yang suram di masa yang akan datang (-) Preokupasi terhadap rasa bersalah (-) 6 Ide bunuh diri (-) 3. Progresi pikir: Kualitas : Normal, relevan Kuantitas : o Produktivitas : Produktivitas normal o Kontinuitas : Normal, lancar o Hendaya berbicara : Tidak terdapat hendaya berbicara D. Persepsi 1. Halusinasi : riwayat halusinasi visual (-), auditorik (+) berupa suara – suara yang mengancam nyawa pasien, taktil (-) 2. Ilusi : disangkal 3. Derealisasi : tidak ada 4. Depersonalisasi : tidak ada E. Kognitif 1. Daya konsentrasi : Baik, pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan spontan. 2. Daya ingat jangka pendek 3. Daya ingat jangka panjang memori : Baik, dapat mengingat kegiatan yang baru saja dilakukan. memori : Baik, dapat mengingat peristiwa saat Sekolah Dasar. 4. Orientasi : Orientasi orang, waktu, dan tempat baik. 5. Pikiran abstrak : Baik F. Daya Nilai 1. Norma Sosial : Penilaian pasien tentang norma-norma sosial baik 2. Realita : Penilaian pasien tentang realita di lingkungan sekitarnya baik 3. Uji daya nilai : Dapat membuat kesimpulan atau penilaian kapabilitas penilaian sosial. 7 G. Impuls Pengendalian impuls baik. H. Insight Jenis tilikan diri pasien derajat 6 karena pasien menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai perbaikan. I. Reliabilitas (Taraf dapat Dipercaya) Dapat dipercaya. IV. IKHTISAR TEMUAN BERMAKNA Telah diperiksa seorang perempuan Ny. C berusia 25 tahun, dan pasien belum pernah menikah. Pasien mengeluhkan perasaan takut, mendengar suarasuara yang berisi ancaman, hingga pasien merasa selalu waspada. Suara – suara yang mengancam tersebut sudah mulai hilang bila pasien mengkonsumsi obat dari psikiater. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang sama dengan saat ini. Pada pemeriksaan status mental didapatkan kesan umum terlihat baik, rawat dirinya baik, mood hipotimia dengan afek normal, bentuk pikir realistic dan isi pikir waham kejar. Pemeriksaan lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan fisik yang dilakukan juga didapatkan hasil dalam batas normal. V. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL Aksis I = Skizofrenia Paranoid (F20.0) DD: Depresi Berat dengan Gejala Psikotik Skizoafektif Tipe Depresi Gangguan Mental Organik Halusinasi Alkoholik Aksis II = Gangguan Kepribadian Paranoid Aksis III = Tidak ditemukan diagnosis aksis III Aksis IV = Masalah Tryhexylphenidil 2 x 1 mg selama 1 bulan 1. Hypnoterapi Kepada pasien 8 Memberikan sugesti positif kepada pasien pentingnya minum obat secara teratur dan kontrol rutin setiap bulan. Memberikan sugesti yang sederhana, ketika pasien merasa takut..pasien yakin dan percaya bahwa saat pasien mengambil napas yang panjang dari hidung..pasien yakin bahwa ia mengambil energy positif dari lingkungan sekitar..kemudian saat pasien buang napas dari mulut…pasien yakin..saat menghembuskan napas..saat itu juga rasa takut dan semua masalah dalam hati maupun pikiran ikut terbuang keluar dari dalam tubuh.. VI. PROGNOSIS 1. Faktor pencetus jelas 2. Sistem pendukung yang baik VII. KESIMPULAN 1. Ad Vitam : Bonam 2. Ad Sanationam : Dubia at bonam 3. Ad Functionam : Bonam 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA SKIZOFRENIA 2.1 DEFINISI Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran atau imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi (Katona et al, 2012). Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum dan paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala paranoid (Amir, 2014). 2.2 ETIOLOGI Etiologi skizofrenia sampai saat ini belum ditemukan secara pasti. Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut: 2.4.1 Faktor Neurobiologis 2.4.1.1 Faktor Genetika Sesuai dengan penelitian (konsanguinitas), skizofrenia adalah hubungan darah gangguan bersifat keluarga. Penelitian tentang adanya pengaruh genetika atau keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia bila terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia, terutama bila hubungan keluarga 10 tersebut dekat (semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin tinggi risikonya). Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita skizofrenia. Pada penelitian anak kembar, terjadi peningkatan resiko seseorang menderita skizofrenia akan lebih tinggi pada kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali lebih sering dibandingkan kembar dizigotik). Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak. Angka presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat dari tabel dibawah ini. Hubungan Presentasi Terjadinya Skizofrenia Populasi umum 1% Kembar monozigotik 40 - 50 % Kembar dizigotik 10 - 15 % Saudara kandung skizofrenia Orang tua 10 % 5% Anak dari salah satu 10 - 15 % orang tua skizofrenia Anak dari kedua orang 30 - 40 % tua skizofrenia Tabel 1. Risiko Terjadinya Skizofrenia Selama Kehidupan 11 2.4.1.2 Faktor Neuroanatomi Struktural Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis merupakan tiga daerah yang saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya. Gangguan pada sistem limbik akan mengakibatkan gangguan pengendalian emosi. Gangguan pada ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau keanehan pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan, ekspresi wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat ditemukan gangguan organik berupa pelebaran ventrikel tiga dan lateral, atrofi bilateral lobus temporomedial dan girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala (Kaplan, 2015). 2.4.1.3 Faktor Neurokimia Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter juga diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia. Hipotesis yang paling banyak yaitu gejala psikotik pada pasien skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya gangguan neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopaminergik atau dopamin sentral (hipotesis dopamin). Peningkatan ini merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, atau hipersensitivitas reseptor dopamin (Amir, 2014). 2.4.2 Faktor Psikososial 2.4.2.1 Faktor Keluarga dan Lingkungan Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien skizofrenia sering tidak “dibebaskan” oleh keluarganya. Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan 12 aneh pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas dan sedikit tak logis. Penderita skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi tinggi (expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar kasar dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang lebih besar untuk kambuh (Kaplan, 2015). 2.4.2.2 Faktor Stressor Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosioekonomi dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu sebelum onset gejala akut (Katona et al, 2012). 2.3. PATOFISIOLOGI Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejala-gejala skizofrenia. 13 Gambar 1. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak. Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu: a. Jalur Mesolimbik : berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini memiliki fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek viseral automatis, dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur mesolimbik akan menyebabkan gangguan berupa gejala positif seperti waham dan halusinasi; 14 Gambar 2. Jalur mesolimbik dopamin pada otak yang menyebabkan gejala positif. b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke korteks prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial, menahan diri, dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal akan menyebabkan gangguan berupa gejala negatif dan kognitif pada skizofrenia. 15 Gambar 3. Jalur mesokortical dopamin pada otak c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal ganglia atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi sistem motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur nigrostriatal berhubungan dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal / 16 EPS) yang disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik tipikal / APG-I (Dopamin D2 antagonis). Gambar 4. Jalur nigrostriatal dopamin pada otak. d. Jalur Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin disini mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus, fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin. Gambar 5. Jalur tuberoinfundibular dopamin pada otak 17 e. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus, nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun, fungsinya masih belum diketahui. 2.4. Manifestasi Klinis Skizofrenia ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk. Terdapat beberapa tipe pada skizofrenia yaitu, skizofrenia paranoid, hebrefrenik, katatonik, skizofrenia yang tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks dan lainnya (Rosani & Diarti, 2014). Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh preokupasi pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Skizofrenia paranoid secara klasik ditandai oleh adanya waham persekutorik (waham kejar) atau waham kebesaran (Maslim, 2013). Pada pasien skizofrenia tipe paranoid, menunjukkan regresi kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak. Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid (F20.0) didominasi oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti: Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain bersekutu melawan dia Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi, radio atau koran terutama mengarah kepada pasien; bila tidak 18 mencapai intensitas waham, isi pikiran tersebut dikenal sebagai ideas of reference Waham merasa dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau mempunyai misi khusus; misalnya, keyakinan bahwa dirinya dilahirkan sebagai Mesias Waham perubahan tubuh Waham cemburu Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan pasien Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan bergumam Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan, penglihatan, sensasi somatik seksual atau sensasi somatik lainnya 2.5. Penegakan Diagnosis Untuk menegakan diagnosis skizofrenia dapat menggunakan kriteria dari DSM-IV-TR atau dengan PPDGJ – III. Berikut ini kriteria diagnosis menurut DSM-IV-TR : 1. Berlangsung paling sedikit enam bulan 2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi 3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut 4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik. 19 Sedangkan menurut PPDGJ-III, kriteria diagnosis untuk skizofrenia yaitu : Kriteria Skizofrenia menurut PPDGJ – III Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): a. “thought echo” Merupakan isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau b. “thought insertion or withdrawal” Merupakan isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan c. “thought broadcasting” Merupakan isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. d. “delusion of control” Merupakan waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau e. “delusion of influence” Merupakan waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar f. “delusion of passivitiy” Merupakan waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus). “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat. 20 Halusinasi Auditorik g. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau h. mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau i. jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. j. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain). Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas : k. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus. l. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme. m. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. n. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan 21 menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial. Sedangkan penegakan diagnosis skizofrenia tipe paranoid yaitu : Kriteria Diagnosis Skizofrenia Paranoid menurut PPDGJ III Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Sebagai tambahan : Halusinasi dan/atau waham harus menonjol a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing); b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol; c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan 22 keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol 2.6. Tatalaksana Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia paranoid dapat berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis (Amir, 2015). 2.6.1 Penatalaksanaan non-farmakologis Rawat Inap / Hospitalisasi Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan (Rosani & Diarti, 2014). Rawat inap diindikasikan terutama untuk : 1. Tujuan diagnostik 2. Stabilisasi pengobatan 3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan, maupun mengancam lingkungan sekitar 23 4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya, termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang dan papan 5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun lingkungan 6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat inap. Rawat inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga bertujuan untuk memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya dengan melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena pada pasien dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif) mungkin tidak dapat hidup mandiri. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli psikiatri. Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial (Sosioterapi) Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke masyarakat. Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan tidak secara langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga dapat membantu mereka megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan terbukti efektif mencegah kekambuhan. Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Hal ini dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan diri dan terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri dan 24 kualitas hidupnya. Penting sekali untuk menjaga komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga. 2.6.2 Penatalaksanaan Farmakologis Pemberian obat-obat anti-psikosis Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia merupakan penatalaksanaan yang utama. Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek samping obat. Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi. Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat pengobatan simtomatik. Pengobatan dapat diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka panjang. Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem dopaminergik sentral). Pada umumnya, pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun, setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu: 1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis generasi I (APG-I) Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam mem-blokade atau menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pascasinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan 25 sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Oleh karena kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih efektif untuk gejala positif, contohnya gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi gejala negatif. Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua kekurangan utama, yaitu : a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek menganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu dosis oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan dengan efek samping apa pun. Prototip kelompok obat APG-I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya dan harganya murah. 26 Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 mg 150 - 600 mg/hari Promactil Tab. 100 mg Meprosetil Tab. 100 mg Cepezet Tab. 100 mg Perphenazine Tab. 4 mg Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15 mg/hari Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15 mg/hari Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 mg 150 - 300 mg/hari Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 mg 5 - 15 mg/hari Dores Tab. 1,5 mg Serenace Tab. 0,5 - 1,5 mg Haldol Tab. 2 - 5 mg Govotil Tab. 2 - 5 mg Lodomer Tab 2 - 5 mg Orap Forte Tab. 4 mg Perphenazine Pimozide 2 - 4 mg/hari Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang beredar di Indonesia Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS). Semua obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas). EFek samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada harihari atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat, sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun menggunakan obat. Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus 27 disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat antidotum. 2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis generasi II (APG-II) Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom). Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal. Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik yang lebih luas. Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors” (sama seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors” efektif (Serotonin-dopamine terhadap gejala antagonist), positif (waham, sehingga halusinasi, inkoherensi) maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri). Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600 mg/hari Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100 mg/hari Olanzapine Sizoril Tab. 25 - 100 mg Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20 mg/hari 28 Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400 mg/hari Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100 mg/hari Risperidone Aripiprazole Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg Abilify Tab. 10 - 15 mg 2 - 6 mg/hari 10 - 15 mg/hari Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis atipikal perlu dipertimbangkan. 2.7. Prognosis Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi mental). Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social recovery). 29 Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghilangkan gejala. Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri. Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode follow-up 20 tahun. Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk melakukan bunuh diri. Prognosis Baik Prognosis Buruk Onset lambat Onset muda Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus Onset akut Onset tidak jelas Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan pramorbid yang baik pekerjaan pramorbid yang buruk Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistik gangguan depresif) Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia (tidak ada keluarga yang menderita skizofrenia) Sistem (terutama pendukung dari yang keluarga) baik Sistem pendukung yang buruk untuk untuk kesembuhan pasien kesembuhan pasien Gejala positif Gejala negatif Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis Riwayat trauma perinatal 30 Tidak ada remisi dalam tiga tahun Sering timbul relaps Riwayat penyerangan Tabel 4. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia. 31 BAB III PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN A. Pembahasan Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien didapatkan bahwa pasien masih mendengar suara – suara yang mengancam pasien. Keluhannya berkurang bila pasien minum obat dari dokter spesialis jiwa. Pemeriksaan status mental didapatkan mood hipotimia dengan afek normal, disertai dengan adanya waham kejar. Penggunaan obat – obatan terlarang dan NAPZA disangkal. Merokok dan mengkonsumsi alkohol juga disangkal. Pasien tidak pernah kejang dan tidak pernah terbentur pada bagian kepalanya. Perasaan sedih terkadang muncul bila ingat ayah dan ibunya. Pasien tidak mengeluhkan adanya sesak napas, cemas dan panik yang berlebihan. Satu tahun yang lalu ketika pasien sedang melaksanakan praktek di lapangan kerja, pasien mengalami trauma tajam hingga menimbulkan perdarahan pada daerah diantara anus dan organ kewanitaannya. Pasien tidak ingin menceritakan hal itu kepada siapapun, dan pasien tidak mau berobat hingga saat ini. Kegiatan sehari – hari pasien adalah kuliah, melanjutkan studi S2 nya yang kini memasuki semester akhir. Pasien memiliki hubungan yang baik dengan teman-temannya. Dari hasil anamnesis yang dilakukan, pasien mengalami atau gangguan proses pikir yaitu adanya gangguan waham kejar yang berawal dari suarasuara yang mengancam dirinya, namun dapat ditangani dengan meminum obat. B. Kesimpulan Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta 32 dapat ditemukan uji kognitif yang buruk. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia dapat dibagi dalam beberapa tipe, menurut gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum dan paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejalagejala paranoid. Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia paranoid harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah. Terapi yang diberikan dapat dengan nonformakologi (rawat inap dan terapi psikososial) melalui keluarga dan lingkungannya dan farmakologi dengan pemberian obat anti-psikosis tipikal (APG-I) atau anti-psikosis atipikal (APG-II) berdasarkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat). 33 DAFTAR PUSTAKA Amir, Nurmiati. 2015. Skizofrenia dalam Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta : FK UI Evira, Sylvia. 2015. Psikoterapi dalam Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta : FK UI Kaplan, I. H. and Saddock, J. B. 2015. Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Rosani & Diatri. 2014. Skizofrenia dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: Jakarta. Katona Cornelius, Claudia Cooper, dan Mary Robertson. 2012. Skizofrenia Fenomena, Etiologi, Penangan dan Prognosis dalam At A Glance Psikiatri - Edisi 4. Jakarta : Erlangga 34