Uploaded by User25358

LONGCASE Skizofrenia Paranoid

advertisement
LONGCASE
SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)
Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa di RSUD Kota Salatiga
Disusun oleh:
Angga Negara
NIM. 1813020042
Pembimbing:
dr. Iffah Qoimatun, Sp. KJ, M. Kes
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan Long Case dengan judul
SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)
Disusun oleh:
Nama: Angga Negara
NIM : 1813020042
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Jumat, 27 September 2019
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
dr. Iffah Qoimatun, Sp. KJ, M. Kes
i
BAB I
KASUS PSIKIATRI
I.
II.
IDENTITAS PASIEN

Nama
: Ny. C

Umur
: 25 tahun

Jenis Kelamin
: Perempuan

Agama
: Islam

Pekerjaan
: Belum bekerja

Status Pernikahan
: Belum menikah

No. HP
: 085225254xxx

Alamat
: Kupang, NTT
ANAMNESIS
A. KELUHAN UTAMA
Merasa takut
B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke poli jiwa, 20 September 2019 pukul 14.00 WIB
Autoanamensis
Pasien datang dengan keluhan takut sejak 1 tahun terakhir. Keluhan
disertai adanya suara-suara yang mengancam akan keselamatan dirinya.
Keluhan tersebut mengganggu aktivitas hariannya hingga terkadang dia
harus tetap didalam kamar agar selamat dari ancaman tersebut.
C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien mengungkapkan bahwa awalnya dia merasa takut adalah
ketika satu tahun yang lalu sedang praktek dipedesaan pada suatu daerah,
pasien mengalami trauma tajam pada daerah diantara anus dan organ
kewanitaannya. Setelah kejadian tersebut pasien merasa takut karena
keluar begitu banyak darah dari daerah diantara anus dan organ
kewanitaannya. Karena terlalu takut pasien enggan untuk berobat hingga
1
saat ini. Sejak saat itu pasien memikirkan akan keadaan dirinya namun
tidak ingin hal tersebut diketahui oleh orang-orang terdekatnya, pasien
enggan untuk menceritakan hal tersebut kepada orang selain dirinya dan
lebih memilih untuk dipendam sendiri, hingga mulai didengarnya suarasuara yang mengancam keselamatan dirinya. Pada akhirnya pasien
menjadi selalu berhati-hati dan waspada terhadap lingkungan sekitar,
karena dirasa pasien ada seseorang yang membuntuti untuk mencelakakan
dirinya. Pasien memilih keluar dari kelas saat pasien merasa ada yang akan
mencelakakan dirinya.
Pasien pun mencoba berobat mengenai keluhan yang ia alami ke
psikiater di suatu kota, pasien pun meminum obat dari psikiater dan sedikit
membantu mengatasi keluhannya.
D. RIWAYAT PERKEMBANGAN
1. Prenatal dan Perinatal
Pasien mengatakan dirinya lahir dengan usia kehamilan yang
cukup yaitu 9 bulan dan lahir secara normal. Riwayat adanya kesulitan
dalam persalinan disangkal. Imunisasi lengkap.
2. Masa Pre-Sekolah
Pasien sejak kecil tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien
termasuk anak yang pendiam namun memiliki banyak teman. Riwayat
cedera kepala, penyakit yang diderita disangkal. Perkembangan pasien
juga baik dan termasuk anak yang pintar.
3. Masa Sekolah dan Kuliah
Semasa mengenyam bangku pendidikan sejak TK hingga
SMApasien tidak mengeluhkan adanya kesulitan dalam belajar dan
selalu masuk 10 besar disekolahnya.
4. Masa Remaja
Saat remaja pasien memiliki banyak teman, pasien mengatakan
tidak pernah menyukai teman laki–lakinya dan hanya berhubungan
sebagai teman biasa saja.
2
5. Masa Dewasa

Riwayat Pernikahan dan Seksual
Pasien belum pernah menikah.

Riwayat Pekerjaan
Saat ini pasien tidak bekerja namun sedang menjalan program S2
Theology.

Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah S1 dengan jurusan yang diambil
adalah theology.

Riwayat Kemiliteran
Pasien
menyangkal
pernah
menjalani
kegiatan
pendidikan
kemiliteran.

Agama
Pasien beragama Kristen, pasien beribadah dan berdo’a ke Gereja
bila kondisi sedang stabil.

Aktivitas Sosial
Pasien dapat berinteraksi baik dengan orang – orang disekitarnya.

Riwayat Hukum
Pasien menyangkal pernah berurusan dengan pihak berwajib terkait
pelanggaran di bidang hukum.

Situasi Hidup Sekarang
Saat ini pasien tinggal bersama teman-temannya di kostan. Pasien
hidup jauh dari orang tua, kakak, dan adik-adiknya.

Persepsi Pasien terhadap Sakitnya
Pasien menyadari bahwa selain sakit fisik ia juga sakit kejiwaan
seperti takut, merasa curiga, dan mendengar bisikan.
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
1. Riwayat Gangguan Mental
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat adanya gangguan
mental.
3
2. Riwayat Penyakit Fisik
Riwayat diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, dan
batuk lama disangkal oleh pasien.
F. RIWAYAT KELUARGA
Pasien merupakan anak ke-6 dari 7 bersaudara. Ayah pasien bekerja
sebagai guru sekolah dasar dan SMP, sedangkan ibunya bekerja sebagai
guru agama.
4
Genogram
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Pasien
: Satu rumah
5
G. RIWAYAT PERSONAL SOSIAL
Pasien memiliki hubungan baik dengan teman-temannya.
III.
STATUS PSIKIATRI
A. Deskripsi Umum
1. Kesan Umum
Seorang perempuan, sesuai umur, berpenampilan sederhana. Tampak
tenang, dan sesekali menghindari kontak mata dengan pemeriksa.
2. Kesadaran
Kuantitatif
: Compos mentis (GCS: E4 V5 M6)
Kualitatif
: Tidak berubah
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Baik
4. Sikap terhadap pemeriksa
Sangat kooperatif, bersahabat dan terbuka.
B. Keadaan Afektif
1. Mood
: hipotimia
2. Afek
: normal
3. Keserasian afek
: serasi
C. Pikiran
1. Bentuk
: Realistik
2. Isi pikir
: Waham

Waham paranoid (+), waham kejar (+), waham kebesaran (-),
waham rujukan (-), waham dikendalikan (-).

Waham bizzare (-), waham sistematik (-), waham bersalah (-),
waham pesimistik (-), waham nihilistik (-), waham dikendalikan (-)

Pikiran obsesi (-)

Preokupasi terhadap kehidupan yang suram di masa yang akan
datang (-)

Preokupasi terhadap rasa bersalah (-)
6

Ide bunuh diri (-)
3. Progresi pikir:

Kualitas
: Normal, relevan

Kuantitas
:
o Produktivitas
: Produktivitas normal
o Kontinuitas
: Normal, lancar
o Hendaya berbicara
: Tidak terdapat hendaya berbicara
D. Persepsi
1.
Halusinasi
: riwayat halusinasi visual (-), auditorik (+) berupa
suara – suara yang mengancam nyawa pasien,
taktil (-)
2. Ilusi
: disangkal
3. Derealisasi
: tidak ada
4. Depersonalisasi
: tidak ada
E. Kognitif
1. Daya konsentrasi
: Baik, pasien dapat menjawab pertanyaan
pemeriksa dengan spontan.
2. Daya
ingat
jangka pendek
3. Daya
ingat
jangka panjang
memori : Baik, dapat mengingat kegiatan yang
baru saja dilakukan.
memori : Baik, dapat mengingat peristiwa saat
Sekolah Dasar.
4. Orientasi
: Orientasi orang, waktu, dan tempat baik.
5. Pikiran abstrak
: Baik
F. Daya Nilai
1. Norma Sosial
: Penilaian pasien tentang norma-norma
sosial baik
2. Realita
: Penilaian pasien tentang realita di
lingkungan sekitarnya baik
3. Uji daya nilai
: Dapat membuat kesimpulan atau penilaian
kapabilitas penilaian sosial.
7
G. Impuls
Pengendalian impuls baik.
H. Insight
Jenis tilikan diri pasien derajat 6 karena pasien menyadari sepenuhnya
tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai perbaikan.
I. Reliabilitas (Taraf dapat Dipercaya)
Dapat dipercaya.
IV.
IKHTISAR TEMUAN BERMAKNA
Telah diperiksa seorang perempuan Ny. C berusia 25 tahun, dan pasien
belum pernah menikah. Pasien mengeluhkan perasaan takut, mendengar suarasuara yang berisi ancaman, hingga pasien merasa selalu waspada. Suara –
suara yang mengancam tersebut sudah mulai hilang bila pasien mengkonsumsi
obat dari psikiater. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang sama dengan
saat ini. Pada pemeriksaan status mental didapatkan kesan umum terlihat baik,
rawat dirinya baik, mood hipotimia dengan afek normal, bentuk pikir realistic
dan isi pikir waham kejar. Pemeriksaan lain-lain dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan juga didapatkan hasil dalam batas normal.
V.
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

Aksis I
= Skizofrenia Paranoid (F20.0)
DD:
Depresi Berat dengan Gejala Psikotik
Skizoafektif Tipe Depresi
Gangguan Mental Organik
Halusinasi Alkoholik

Aksis II
= Gangguan Kepribadian Paranoid

Aksis III
= Tidak ditemukan diagnosis aksis III

Aksis IV
= Masalah Tryhexylphenidil 2 x 1 mg selama 1 bulan
1. Hypnoterapi

Kepada pasien
8
Memberikan sugesti positif kepada pasien pentingnya minum
obat secara teratur dan kontrol rutin setiap bulan. Memberikan sugesti
yang sederhana, ketika pasien merasa takut..pasien yakin dan percaya
bahwa saat pasien mengambil napas yang panjang dari hidung..pasien
yakin
bahwa
ia
mengambil
energy
positif
dari
lingkungan
sekitar..kemudian saat pasien buang napas dari mulut…pasien
yakin..saat menghembuskan napas..saat itu juga rasa takut dan semua
masalah dalam hati maupun pikiran ikut terbuang keluar dari dalam
tubuh..
VI.
PROGNOSIS
1. Faktor pencetus jelas
2. Sistem pendukung yang baik
VII.
KESIMPULAN
1. Ad Vitam
: Bonam
2. Ad Sanationam
: Dubia at bonam
3. Ad Functionam
: Bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SKIZOFRENIA
2.1
DEFINISI
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi
pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran atau imajinasi pasien sebagai
kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi (Katona et al, 2012). Emil
Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utama
yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid.
Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum dan paling
stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien
skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai
muncul gejala-gejala paranoid (Amir, 2014).
2.2
ETIOLOGI
Etiologi skizofrenia sampai saat ini belum ditemukan secara pasti.
Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan
gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala
mulai dari faktor neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya
sebagai berikut:
2.4.1 Faktor Neurobiologis
2.4.1.1 Faktor Genetika
Sesuai
dengan
penelitian
(konsanguinitas), skizofrenia adalah
hubungan
darah
gangguan bersifat
keluarga. Penelitian tentang adanya pengaruh genetika atau
keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga lainnya yang
menderita skizofrenia, terutama bila hubungan keluarga
10
tersebut dekat (semakin dekat hubungan kekerabatan,
semakin tinggi risikonya).
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi
perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita
skizofrenia. Pada penelitian anak kembar, terjadi peningkatan
resiko seseorang menderita skizofrenia akan lebih tinggi pada
kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali
lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi
untuk mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri)
melalui gen resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga
lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau
tidak. Angka presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat
dari tabel dibawah ini.
Hubungan
Presentasi Terjadinya
Skizofrenia
Populasi umum
1%
Kembar monozigotik
40 - 50 %
Kembar dizigotik
10 - 15 %
Saudara kandung skizofrenia
Orang tua
10 %
5%
Anak dari salah satu
10 - 15 %
orang tua skizofrenia
Anak dari kedua orang
30 - 40 %
tua skizofrenia
Tabel 1. Risiko Terjadinya Skizofrenia Selama Kehidupan
11
2.4.1.2 Faktor Neuroanatomi Struktural
Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis
merupakan tiga daerah yang saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan
patologi primer di daerah lainnya. Gangguan pada sistem
limbik akan mengakibatkan gangguan pengendalian emosi.
Gangguan pada ganglia basalis, akan mengakibatkan
gangguan
atau
keanehan
pada
pergerakan
(motorik),
termasuk gaya berjalan, ekspresi wajah facial grimacing.
Pada pasien skizofrenia dapat ditemukan gangguan organik
berupa pelebaran ventrikel tiga dan lateral, atrofi bilateral
lobus
temporomedial
dan
girus
parahipokampus,
hipokampus, dan amigdala (Kaplan, 2015).
2.4.1.3 Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter
juga diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia.
Hipotesis yang paling banyak yaitu gejala psikotik pada
pasien skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya
gangguan
neurotransmitter
sentral,
yaitu
terjadinya
peningkatan aktivitas dopaminergik atau dopamin sentral
(hipotesis dopamin). Peningkatan ini merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor
dopamin, atau hipersensitivitas reseptor dopamin (Amir,
2014).
2.4.2 Faktor Psikososial
2.4.2.1 Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan
penting
dalam
menimbulkan
kekambuhan
dan
mempertahankan remisi. Pasien skizofrenia sering tidak
“dibebaskan”
oleh
keluarganya.
Beberapa
peneliti
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan
12
aneh pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering
samar-samar atau tidak jelas dan sedikit tak logis. Penderita
skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi tinggi
(expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar kasar
dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang
lebih besar untuk kambuh (Kaplan, 2015).
2.4.2.2 Faktor Stressor
Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosioekonomi dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga
minggu sebelum onset gejala akut (Katona et al, 2012).
2.3. PATOFISIOLOGI
Ketidakseimbangan
yang
terjadi
pada
neurotransmiter
juga
diidentifikasi sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi
antara lain pada dopamin yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya.
Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin, norepinefrin, dan asam
amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada akhirnya juga
mengakibatkan peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari jalur
neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejala-gejala skizofrenia.
13
Gambar 1. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak.
Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu:
a.
Jalur Mesolimbik : berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke
batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini
memiliki fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek
viseral automatis, dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur
mesolimbik akan menyebabkan gangguan berupa gejala positif seperti
waham dan halusinasi;
14
Gambar 2. Jalur mesolimbik dopamin pada otak yang menyebabkan
gejala positif.
b.
Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke
korteks prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial,
menahan diri, dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal
akan menyebabkan gangguan berupa gejala negatif dan kognitif pada
skizofrenia.
15
Gambar 3. Jalur mesokortical dopamin pada otak
c.
Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari
dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal
ganglia atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi
menginervasi sistem motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur
nigrostriatal berhubungan dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal /
16
EPS) yang disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik tipikal / APG-I
(Dopamin D2 antagonis).
Gambar 4. Jalur nigrostriatal dopamin pada otak.
d.
Jalur
Tuberoinfundibular:
organisasi
dalam
hipotalamus
dan
memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin disini
mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus,
fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan
ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada
fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin.
Gambar 5. Jalur tuberoinfundibular dopamin pada otak
17
e.
Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk
periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus,
nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun,
fungsinya masih belum diketahui.
2.4. Manifestasi Klinis
Skizofrenia ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek
tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang
buruk. Terdapat beberapa tipe pada skizofrenia yaitu, skizofrenia paranoid,
hebrefrenik, katatonik, skizofrenia yang tak terinci, depresi pasca
skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks dan lainnya (Rosani
& Diarti, 2014).
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan
bahwa tipe paranoid ditandai oleh preokupasi pada satu atau lebih waham
atau halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain
yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Skizofrenia
paranoid secara klasik ditandai oleh adanya waham persekutorik (waham
kejar) atau waham kebesaran (Maslim, 2013).
Pada pasien skizofrenia tipe paranoid, menunjukkan regresi
kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan
dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid
kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di
dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.
Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid
(F20.0) didominasi oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:

Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain
bersekutu melawan dia

Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi,
radio atau koran terutama mengarah kepada pasien; bila tidak
18
mencapai intensitas waham, isi pikiran tersebut dikenal sebagai ideas
of reference

Waham
merasa
dirinya
tinggi/istimewa
(exalted
birth),
atau
mempunyai misi khusus; misalnya, keyakinan bahwa dirinya
dilahirkan sebagai Mesias

Waham perubahan tubuh

Waham cemburu

Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan
pasien

Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan
bergumam

Halusinasi
bentuk
lainnya,
seperti
penghiduan,
pengecapan,
penglihatan, sensasi somatik seksual atau sensasi somatik lainnya
2.5. Penegakan Diagnosis
Untuk menegakan diagnosis skizofrenia dapat menggunakan kriteria
dari DSM-IV-TR atau dengan PPDGJ – III. Berikut ini kriteria diagnosis
menurut DSM-IV-TR :
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang
pekerjaan, hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama
periode tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif,
gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik.
19
Sedangkan menurut PPDGJ-III, kriteria diagnosis untuk skizofrenia yaitu :
Kriteria Skizofrenia menurut PPDGJ – III
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):
a. “thought echo”
Merupakan isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun
isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
b. “thought insertion or withdrawal”
Merupakan isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
c. “thought broadcasting”
Merupakan isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
d. “delusion of control”
Merupakan waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
e. “delusion of influence”
Merupakan waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
f. “delusion of passivitiy”
Merupakan waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas
merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus). “delusional perception” =
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas
bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
20
Halusinasi Auditorik
g. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
h. mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
i. jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
j. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
k. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh
ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan
terus menerus.
l. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme.
m. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi
tubuh
tertentu
(posturing),
atau
fleksibilitas
cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
n. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
21
menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Sedangkan penegakan diagnosis skizofrenia tipe paranoid yaitu :
Kriteria Diagnosis Skizofrenia Paranoid menurut PPDGJ III

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi
tawa (laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan
22
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol
2.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan
harus
dilakukan
sesegera
mungkin
setelah
didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset
gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk
(kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh
sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita
dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah
atau pun di luar rumah. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien
skizofrenia paranoid dapat berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan
farmakologis (Amir, 2015).
2.6.1 Penatalaksanaan non-farmakologis

Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus
dirawat di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit menurunkan
stress pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas
harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung
pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan (Rosani & Diarti, 2014). Rawat inap
diindikasikan terutama untuk :
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhan, maupun mengancam lingkungan sekitar
23
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya,
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga
maupun lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan
sistem pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat
inap. Rawat inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga
bertujuan untuk memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya
dengan melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena pada
pasien dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif)
mungkin tidak dapat hidup mandiri. Setelah keluar dari rumah
sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli psikiatri.

Terapi
Psikologis
(Psikoterapi)
dan
Dukungan
Sosial
(Sosioterapi)
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah
psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan
yang praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke
masyarakat. Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural
therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien
mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya
adalah untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan
tidak secara langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga
dapat membantu mereka megurangi ekspresi emosi yang
berlebihan dan terbukti efektif mencegah kekambuhan.
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan
dokter. Hal ini dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan diri
dan terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri dan
24
kualitas hidupnya. Penting sekali untuk menjaga komunikasi
yang baik dengan pasien dan keluarga.
2.6.2 Penatalaksanaan Farmakologis

Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia
merupakan penatalaksanaan yang utama. Pemilihan jenis obat
anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan
(fase akut atau kronis) dan efek samping obat. Fase akut biasanya
ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang
kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun
bersifat pengobatan simtomatik. Pengobatan dapat diberikan
secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka
panjang.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan
aktivitas
neurotransmitter
dopamine
yang
meningkat
(Hiperaktivitas sistem dopaminergik sentral). Pada umumnya,
pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun, setelah semua gejala psikosis mereda sama
sekali. Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama,
sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai
efek klinis. Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis
generasi I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional
atau tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
mempunyai
afinitas
tinggi
dalam
mem-blokade
atau
menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pascasinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan
25
sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist),
hal
inilah
yang
diperkirakan
menyebabkan
reaksi
ekstrapiramidal yang kuat. Oleh karena kinerja obat APG-I,
maka obat ini lebih efektif untuk gejala positif, contohnya
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan
untuk terapi gejala negatif. Obat antipsikosis tipikal (APG-I)
memiliki dua kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen)
yang cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek
merugikan
yang
mengganggu
dan
serius.
Efek
menganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala
mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat
diberikan dalam satu dosis oral harian ketika orang tersebut
berada dalam kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan
dengan efek samping apa pun. Prototip kelompok obat APG-I
adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini
sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis,
karena ketersediannya dan harganya murah.
26
Nama Generik
Nama Dagang
Sediaan
Dosis Anjurkan
Chlorpromazine
Chlorpromazine
Tab. 25 - 100 mg
150 - 600 mg/hari
Promactil
Tab. 100 mg
Meprosetil
Tab. 100 mg
Cepezet
Tab. 100 mg
Perphenazine
Tab. 4 mg
Trilafon
Tab 2 - 4 - 8 mg
Trifluoperazine
Stelazine
Tab. 1 - 5 mg
10 - 15 mg/hari
Fluphenazine
Anatensol
Tab. 2,5 - 5 mg
10 - 15 mg/hari
Thioridazine
Melleril
Tab. 50 - 100 mg
150 - 300 mg/hari
Haloperidol
Haloperidol
Tab. 0,5 - 1,5 mg
5 - 15 mg/hari
Dores
Tab. 1,5 mg
Serenace
Tab. 0,5 - 1,5 mg
Haldol
Tab. 2 - 5 mg
Govotil
Tab. 2 - 5 mg
Lodomer
Tab 2 - 5 mg
Orap Forte
Tab. 4 mg
Perphenazine
Pimozide
2 - 4 mg/hari
Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis
Anjuran (yang beredar di Indonesia
Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine
yang mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS). Semua
obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS
(ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom
Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas). EFek samping ini
dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada harihari atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat,
sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah
berbulan-bulan atau bertahun-tahun menggunakan obat. Oleh
karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus
27
disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu
sebagai obat antidotum.
2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis
generasi II (APG-II)
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal
sebagai generasi pertama antipsikotik golongan atipikal.
Disebut
atipikal
karena
golongan
obat
ini
sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal
symptom). Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru
atau atipikal. Standar emas terbaru untuk pemberian obat
anti-psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat
APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit
dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamin dan efektif
terhadap kisaran gejala psikotik yang lebih luas.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah
berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors” (sama seperti
APG-I) dan juga berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2
Receptors”
efektif
(Serotonin-dopamine
terhadap
gejala
antagonist),
positif
(waham,
sehingga
halusinasi,
inkoherensi) maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir
lambat, apatis, menarik diri).
Nama Generik
Nama Dagang
Sediaan
Dosis
Anjurkan
Sulpride
Dogmatil Forte
Tab. 200 mg
300 - 600
mg/hari
Clozapine
Clorazil
Tab. 25 - 100 mg
25 - 100
mg/hari
Olanzapine
Sizoril
Tab. 25 - 100 mg
Zyprexa
Tab. 5 - 10 mg
10 - 20
mg/hari
28
Quetiapine
Seroquel
Tab. 25 - 100 mg
50 - 400
mg/hari
Zotepine
Lodopin
Tab. 25 - 50 mg
75 - 100
mg/hari
Risperidone
Aripiprazole
Risperidone
Tab 1 - 2 - 3 mg
Risperidal
Tab. 1 - 2 - 3 mg
Neripros
Tab. 1 - 2 - 3 mg
Persidal
Tab. 1 - 2 - 3 mg
Rizodal
Tab. 1 - 2 - 3 mg
Zofredal
Tab. 1 - 2 - 3 mg
Abilify
Tab. 10 - 15 mg
2 - 6 mg/hari
10 - 15
mg/hari
Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran
Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul,
penarikan diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif
(waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis
atipikal perlu dipertimbangkan.
2.7. Prognosis
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini
berarti bahwa sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang
bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju ke
kemunduran mental (deteriorasi mental). Sekarang dengan
pengobatan modern, ternyata bila penderita itu datang berobat
dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira
sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission
atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke
masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit yang mereka
masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social
recovery).
29
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang
lama untuk menghilangkan gejala. Sekitar 90% dengan episode
psikotik pertama, sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami
episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10% meninggal karena
bunuh diri. Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan
skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama
hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal
karena bunuh diri selama periode follow-up 20 tahun. Pasien
skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk
melakukan bunuh diri.
Prognosis Baik
Prognosis Buruk
Onset lambat
Onset muda
Faktor pencetus yang jelas
Tidak ada faktor pencetus
Onset akut
Onset tidak jelas
Riwayat
sosial,
seksual,
dan
Riwayat sosial, seksual, dan
pekerjaan pramorbid yang baik
pekerjaan pramorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama
Perilaku menarik diri, autistik
gangguan depresif)
Menikah dan telah berkeluarga
Tidak menikah, bercerai, atau
janda/duda
Riwayat keluarga gangguan mood
Riwayat keluarga skizofrenia
(tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia)
Sistem
(terutama
pendukung
dari
yang
keluarga)
baik
Sistem pendukung yang buruk
untuk untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien
Gejala positif
Gejala negatif
Jenis kelamin perempuan
Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
30
Tidak ada remisi dalam tiga
tahun
Sering timbul relaps
Riwayat penyerangan
Tabel 4. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.
31
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. Pembahasan
Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien didapatkan bahwa pasien
masih mendengar suara – suara yang mengancam pasien. Keluhannya
berkurang bila pasien minum obat dari dokter spesialis jiwa. Pemeriksaan
status mental didapatkan mood hipotimia dengan afek normal, disertai dengan
adanya waham kejar.
Penggunaan obat – obatan terlarang dan NAPZA disangkal. Merokok
dan mengkonsumsi alkohol juga disangkal. Pasien tidak pernah kejang dan
tidak pernah terbentur pada bagian kepalanya. Perasaan sedih terkadang
muncul bila ingat ayah dan ibunya. Pasien tidak mengeluhkan adanya sesak
napas, cemas dan panik yang berlebihan.
Satu tahun yang lalu ketika pasien sedang melaksanakan praktek di
lapangan kerja, pasien mengalami trauma tajam hingga menimbulkan
perdarahan pada daerah diantara anus dan organ kewanitaannya. Pasien tidak
ingin menceritakan hal itu kepada siapapun, dan pasien tidak mau berobat
hingga saat ini.
Kegiatan sehari – hari pasien adalah kuliah, melanjutkan studi S2 nya
yang kini memasuki semester akhir. Pasien memiliki hubungan yang baik
dengan teman-temannya.
Dari hasil anamnesis yang dilakukan, pasien mengalami atau gangguan
proses pikir yaitu adanya gangguan waham kejar yang berawal dari suarasuara yang mengancam dirinya, namun dapat ditangani dengan meminum
obat.
B. Kesimpulan
Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh
gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta
32
dapat ditemukan uji kognitif yang buruk. Pada skizofrenia terjadi pecahnya
atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.
Skizofrenia dapat dibagi dalam beberapa tipe, menurut gejala utama yang
terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia
paranoid merupakan subtipe yang paling umum dan paling stabil, dimana
waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia
paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejalagejala paranoid.
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia paranoid harus dilakukan
sesegera mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu
yang panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat
berdampak lebih buruk (kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin
tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik,
penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di
rumah atau pun di luar rumah. Terapi yang diberikan dapat dengan nonformakologi (rawat inap dan terapi psikososial) melalui keluarga dan
lingkungannya dan farmakologi dengan pemberian obat anti-psikosis tipikal
(APG-I) atau anti-psikosis atipikal (APG-II) berdasarkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat).
33
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Nurmiati. 2015. Skizofrenia dalam Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta
: FK UI
Evira, Sylvia. 2015. Psikoterapi dalam Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta :
FK UI
Kaplan, I. H. and Saddock, J. B. 2015. Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri : Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis
Rosani & Diatri. 2014. Skizofrenia dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV
Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.
Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya: Jakarta.
Katona Cornelius, Claudia Cooper, dan Mary Robertson. 2012. Skizofrenia Fenomena, Etiologi, Penangan dan Prognosis dalam At A Glance
Psikiatri - Edisi 4. Jakarta : Erlangga
34
Download