BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aging ( Penuaan ) Menurut Constantinindes, proses penurunan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti diri, mempertahankan struktur dan fungsi normal secara perlahan, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita disebut penuaan ( Darmojo, 2009). Penuaan adalah merupakan suatu proses yang menyebabkan atresi dan perburukan selular seiring usia yang pada akhirnya berakhir pada penurunan viabilitas dan kematian, dipengaruhi baik oleh suatu program genetik mau pun juga oleh peristiwa lingkungan dan endogen kumulatif yang berlangsung di sepanjang rentang usia organisme. Proses penuaan perlu dipahami, sebagian karena proporsi individu berumur 55 tahun ke atas terus meningkat, diprediksikan sebesar 31% di Amerika Serikat pada tahun 2030 ( Yaar, 2003 ), dengan pergeseran demografi serupa diprediksikan untuk Eropa dan Jepang. Persentase orang berusia 60 tahun ke atas akan meningkat dua atau tiga kali lipat pada 2050. Ketika harapan hidup meningkat, yang memaksa individu tua untuk menunda pensiun mereka dan/atau merencanakan pensiun panjang, kaum manula mencari modalitas intervensi untuk memperbaiki penampilan mereka dan mengembalikan tanda penuaan. Oleh karena itu, jumlah kunjungan ke dokter estetik, dokter kulit dan dokter bedah plastik diperkirakan meningkat pesat di masa mendatang. Untuk menangani penyakit kulit pada manula secara efektif dan untuk menggunakan modalitas intrevensi yang tepat untuk membalikkan penuaan kulit, penting bagi kita untuk mengerti dengan perubahan klinis dan histologis yang menyertai penuaan kulit. 2.1.1. Penuaan Kulit Kronologis 6 2 Penuaan kulit kronologis meliputi perubahan kulit yang terjadi sebagai akibat dari perjalanan waktu saja. Perubahan ini sebagian terjadi sebagai akibat dari kerusakan endogen kumulatif karena pembentukan terus-menerus reactive oxidative species (ROS) yang diproduksi selama metabolisme oksidatif selular. Meski terdapat sistem pertahanan anti-oksidan selular yang rumit, ROS yang diproduksi tersebut merusak beberapa unsur selular yang meliputi membran, enzim dan DNA, dan juga mengganggu interaksi DNA dan protein dan protein vs protein. Telomere, bagian ujung dari kromosom eukaryote, terlibat dalam perubahan terjadi sebagai akibat dari penuaan kronologis. Pada tiap pembelahan sel, panjang telomere manusia memendek. Bahkan pada fibroblast kulit yang relatif tak aktif, lebih dari 30% panjang telomere hilang selama masa dewasa. Telomere yang terlalu pendek menyinalkan penghentian (arrest) siklus sel atau apoptosis, bergantung pada jenis sel, yang turut andil dalam menyebabkan penipisan selular seiring penuaan ( Pangkahila, 2007 ). Hal yang sama dengan penuaan pada sistem lain, penuaan kulit kronologis dipengaruhi oleh modifikasi beberapa growth factor dan hormon yang menurun seiring usia. Penurunan yang terdokumentasi dengan baik adalah penurunan steroid seks seperti estrogen, testosterone, dehydroepiandosterone (DHEA) dan sulfate ester (DHEAs) ( Wespes E, 2002 ). Beberapa hormon lain yang meliputi melatonin, cortisol, thyroxine, hormon pertumbuhan dan insulinlike growth factor I juga turun. Bentuk aktif Vitamin D, yakni 1,25dihydroxyvitamin D3, suatu molekul yang mempengaruhi berbagai jaringan yang meliputi kulit dengan cara yang berbeda dari efek terhadap homeostasis kalsium , turun seiring usia ( Arlt , 2004 ). Disamping penurunan kadar dari tiap unsurnya, 3 kadar induksi dari beberapa molekul penghantar sinyal tertentu yang meliputi sitokin dan kemokin mengalami penurunan seiring usia yang mengakibatkan beberapa fungsi kulit memburuk ( Swift, 2001 ). Atresi dan perburukan selular yang menandakan proses penuaan diakibatkan oleh perubahan molekular baik pada lingkungan selular mau pun juga pada DNA dan protein didalam sel. Perubahan ini mengakibatkan respons selular yang menyimpang terhadap perubahan lingkungan, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan viabilitas dan kematian. 2.1.2 Manifestasi klinis dan histologis penuaan kulit kronologis Manifestasi klinis dari penuaan kulit kronologis meliputi xerosis, kendor, keriput, lamban dan munculnya seborrheic keratosis dan cherry angioma. Relatif sedikit terjadi perubahan ketebalan di epidermis, bentuk keratinosit dan kohesi korneosit, dan terjadi banyak kehilangan melanosit dan sel Langerhans. Perubahan kulit yang besar pada penuaan kulit kronologis terlihat pada dermoepidermal junction yang memperlihatkan perataan rete ridges yang menyebabkan reduksi kontak antara epidermis dan dermis menyebabkan reduksi pertukaran nutrien dan metabolit diantara kedua kompartemen ini. Epidermis Perataan dermoepidermal junction Perubahan ketebalan Dermis Athropy ( kurangnya volume Jaringan Lain Depigmentasi rambut dermis ) Perubahan jaringan penunjang Rambut rontok 4 Bentuk dan ukuran sel yang kulit Fibroblast yang berkurang bervariasi Terdapat atipik nuclear Melanosit berkurang Sel Langerhans berkurang Mast cell berkurang Sel Darah berkurang Pemendekan loop kapiler Konversi dari rambut terminal menjadi vellus Nailplates abnormal Kelenjar berkurang Pembuluh saraf abnormal Tabel 2.1 Manifestasi histologis dari penuaan kulit kronologis. (Yaar M, 2006 ) . Dermis tampak hiposelular dengan lebih sedikit fibroblast dan mast cells dan hilangnya volume dermis. Penelitian dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa serabut kolagen menjadi longgar dan terjadi peningkatan moderat dan penebalan serabut elastis dengan resorpsi sebagian besar serabut sub-epidermis. Selain itu, terjadi penurunan jumlah pembuluh darah dermis, pemendekan capillary loop, dan penurunan densitas Pacinian corpuscles dan Meissner’s corspuscles, yakni organujung kulit yang bertanggung jawab terhadap persepsi tekanan dan sentuhan ringan. Kehilangan inervasi sensorik dan otonom yang melibatkan epidermis maupun dermis ( Ulfhak, 2002 ). Modifikasi appendage kulit meliputi rontok rambut yang mencerminkan konversi rambut utama menjadi rambut vellus ( Yaar, 2003 ). Juga terjadi pengubanan rambut sebagai akibat hilangnya melanosit dari akar rambut dan penyimpangan fungsi melanosit yang meliputi penurunan aktivitas tyrosinase, penurunan dan kurang efisiennya transfer melanosom dan rusaknya migrasi dan/atau proliferasi melanosit dari area penyimpanan ke area yang berdekatan dengan dermal papilla. 1. Keriput ( Wrinkle ) Faktor intrinsik yang mempengaruhi struktur wajah dan turut menyebabkan 5 pembentukan keriput muka meliputi perubahan otot ekspresi, hilangnya lemak subkutan, gaya gravitasi persisten dan hilangnya tulang dan cartilago muka. Garis ekspresi terjadi sebagai akibat dari traksi berulang yang dikerahkan oleh otot muka yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan lipatan yang dalam pada dahi dan diantara alis mata, sekitar lekuk mata (periorbital) dan pada lipatan nasolabial. Gambar 2.1 Keriput karena Ekspresi. Pengulangan gerakan pada otot wajah menghasilkan terjadi garis tegas pada dahi (A) dan diantara alis mata ( B ). Secara histologis, untai jaringan konektif tebal hipodermis yang mengandung sel otot terdapat dibawah keriput. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa seiring penuaan, terjadi perubahan pada struktur musculoaponeurosis yang mengakibatkan peningkatan kelemasan dan menyebabkan pembesaran keriput ekspresi tertentu seperti keriput pada lipatan nasolabial. Seperti otot yang ditandai dengan striae, otot muka juga menunjukkan akumulasi “pigmen umur” yakni lipofuscin, suatu petanda kerusakan selular, dan pemburukan otot seiring umur yang diperburuk oleh berkurangnya kontrol neuromuskular ini ikut menyebabkan pembentukan keriput ( Dayan, 1988 ). Gaya gravitasi yang terus bekerja terhadap tubuh mempengaruh kulit yang mempengaruhi distribusi jaringan lunak muka sehingga menyebabkan pengenduran kulit. Ketika kulit menjadi semakin kendur seiring usia dan penopang jaringan lunak berkurang, gaya gravitasi juga menjadi faktor penting. Gravitasi mengerahkan gaya mekanik yang menarik kulit muka sehingga mengakibatkan pembentukan kulit yang kendur dan lentur. 6 Gambar 2.2 Keriput karena Gravitasi ( Mina Yaar,2002 ) Seiring penuaan, lemak memang menyusut dari area muka tertentu yang meliputi dahi, daerah preorbital, buccal, temporal dan perioral. Sebaliknya, terjadi peningkatan bagian besar jaringan lemak secara menyolok pada area lain yang meliputi daerah submental, pipi bawah, dan lipatan nasolabial dan area lateral pipi. Berbeda dari tampilan muka muda yang lemaknya tersebar secara dffuse, pada kulit muka yang menua lemak cenderung terakumulasi dalam kantong wajah, dan kemudian ketika kelebihan lemak ini terkena gaya gravitasi, maka kulit menjadi kendor dan melorot ( Donofrio, 2000 ). Tulang muka memperlihatkan penurunan massa seiring usia, resorpsi tulang sangat mempengaruhi rahang bawah, rahang atas dan tulang frontal. Hilangnya tulang pada area ini membuat kulit muka semakin kendor dan turut menyebabkan hilangnya batas antara kontur rahang dan leher yang begitu jelas pada individu dewasa muda ( Yaar M, 2003 ). Kulit individu tua juga memperlihatkan sederetan garis permukaan halus yang hilang secara khas ketika kulit diregangkan. Secara histologis, epidermis terlihat atrofik sebagai akibat dari penurunan laju pergantian epidermis. Terjadi resorpsi jaringan serabut elastis pada area sub-epidermis, dan dermis retikulum memperlihatkan ‘bundel’ kolagen atrofik. Pada dermis, fibroblast yang tersisa terlihat berkerut ( Yaar, 2003 ). 7 2. Neoplasma jinak terkait usia a. Seborheic Keratosis : Neoplasma epitel jinak yang mulanya monoklonal, terlihat sebagai makula hiperpigmen rata dan berlanjut menjadi plak verruca hiperkeratotik yang sangat bervariasi ukuran dan warnanya. Seborrheic keratosis muncul pertama kalinya pada dekade usia keempat hingga kelima dan menjadi semakin banyak sepanjang hidup, terlepas dari paparan sinar matahari. Dianggap sebagai biomarker terbaik untuk penuaan kulit intrinsik. Direpresentasikan hilangnya homeostasis secara fokal, dengan mengakibatkan proliferasi keratinosit dan melanosit secara berlebihan, meski patogenesisnya belum diketahui. Keratinosit bermorfologi masaloid pada seborrheic keratosis baru-baru ini dilaporkan mengekspresikan endothelin-1 (ET-1) dengan kadar tinggi, yang dikaitkan dengan peningkatan ekspresi tyrosinase pada melanosit, dibanding kulit perilesional kontrol. Menunjukkan bahwa melanogenesis yang diinduksi ET-1, dendrisitas, dan proliferasi melanosit bisa berperan dalam evolusi neoplasma ini. b. Cherry Angioma adalah malformasi vaskular kecil berwarna merah hingga ungu yang terdiri dari kapiler vena dan venula post-kapiler yang terdapat pada papila dermis dan terhubung satu sama lain dan terhubung dengan bagian venula dari plexus vascular superficial 2.1.3 Photoaging : Penuaan kulit biologis Photoaging meliputi perubahan kulit yang diakibatkan oleh paparan sinar matahari kronik diatas lapisan penuaan kulit kronologis. Photoaging dihasilkan dari kerusakan kumulatif dari radiasi sinar UV yang menyebabkan kelainan kulit yang parah. Radiasi ini dibagi menjadi UVA (320-400 nm), UVB (280-320 nm) dan 8 UVC (100-280 nm). Bagian UVC dari spektrum tersebut tidak terdapat pada sinar mahatari di bumi, kecuali pada garis bujur tinggi, karena bagian UVC tersebut diserap oleh lapisan ozon atmosfer melalui absorpsi sinar UVA dan UVB oleh kromofor seluler seperti urocanic acid, riboflavin dan precursor melanin yang bekerja sebagai fotosensitizer berperan utama untuk produksi reactive oksigen species (ROS) dan radikal bebas. Penelitian oleh Lavker et al. menunjukkan bahwa radiasi UVA, jika diberikan terus-menerus, dapat menginduksi perubahan yang sama dengan yang diinduksi oleh UVB, termasuk hiperplasia dermis, penebalan stratum corneum, penipisan sel langerhans, inflamasi dermis dan akumulasi lisozim diatas serabut dermis. Kulit yang mengalami photoaging secara klinis menunjukkan karakteristik kasar, kerutan halus dan kasar, hiperpigmentasi yang tidak merata dapat berupa lentigen atau bercak (freckles), kelemahan, bengkak, dan teleangiektasis (Rigel , 2004). Iradiasi UVB utamanya mengenai epidermis. Ini diserap langsung oleh DNA selular, mengakibatkan pembentukan lesi DNA, utamanya dimer cyclobutane dan photoproduct pyrimidine (6-4) pyrimidone. Meski mempunyai sistem perbaikan kerusakan nuclear DNA, kerusakan DNA jarang diperbaiki secara menyeluruh. Jika sel terus menyimpan banyak DNA rusak, maka mereka mengalami apoptosis, suatu proses yang utamanya diperantarai oleh protein tumor suppressor p53 ( Kulms, 2000) . P53 juga ikut serta dalam perbaikan kerusakan DNA dan dalam penghentian siklus sel transien sesudah kerusakan DNA. Sel yang tidak mengalami apoptosis dan yang kerusakannya tidak diperbaiki secara menyeluruh akan beresiko mutasi dan pada akhirnya menjadi kanker. Ini sangat penting mengingat beberapa penelitian epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 90% squamous cell carcinoma 9 pada epidermis dan lebih dari 50% basal cell carcinoma (BCC) memperlihatkan mutasi terinduksi UV yang menonaktifkan actinic keratosis . Selanjutnya, mutasi p53 terdapat pada premalignant actinic keratosis , menunjukkan bahwa mutasi p53 terjadi secara dini, meningkatkan risiko transformasi ganas pada sel yang terserang. Terlepas dari efek langsungnya terhadap DNA epidermis, beberapa penelitian pada sistem mencit menunjukkan bahwa iradiasi UVB mempengaruhi respons imun kulit dan sistemik yang menyebabkan presentasi antigen defektif dan pembentukan suppressor T-cells, sehingga memungkinkan penyebaran sel kanker yang akan ditolak ( Kulms, 2000). Dalam hal ini, UVB dengan menginduksi peroksidasi lipid menstimulasi migrasi keluar sel respons imun dari epidermis dan dengan demikian turut menyebabkan imunospuresi. Iradiasi UVB juga menginduksi sekresi sitokin epidermis, dan bukti menunjukkan bahwa, diantara sitokin yang terinduksi, tumor necrosis factor- α dan interleukin-10 berperan penting dalam imunosupresi terinduksi UVB ( Granstein , 2003 ). Terkait dengan mekanisme yang memperantarai perubahan kulit normal yang mengalami photodamage, iradiasi UV mengaktifkan reseptor permukaan sel. Ini menyebabkan penyebaran sinyal intraselular dan sintesis transcription factors, yakni protein nukleus yang berikatan dengan DNA untuk memacu atau menghambat transkripsi gen. Satu transcription factors yang diinduksi dengan cepat dan menyolok oleh iradiasi UV adalah AP-1. AP-1 mengganggu transkripsi gen kolagen pada fibroblast, menurunkan kadar prokolagen utama yakni prokolagen I dan III. Selain itu, AP-1 menstimulasi transkripsi gen yang mengkodekan enzim pengurai matriks seperti metalloproteinase ( Kosmadaki, 2004 ). 2.1.4 Manifestasi klinis dan histologis photoaging kulit 10 Karena area kulit yang terpapar sinar matahari juga adalah area yang dapat dilihat jelas, persepsi atas umur seseorang utamanya dipengaruhi oleh banyaknya photodamage kulitnya. Respons terhadap kerusakan yang diinduksi UV tampaknya bergantung pada tipe kulit individu. Individu dengan tipe kulit III-V menunjukkan respons hiperplastik memperlihatkan kulit tebal dan keras dengan keriput kesat. Kadangkala, juga terdapat nodularitas halus (elastosis) dan komedo (maladie de Favre et Racouchot). Kulit terlihat hyperpigmented permanen atau kecoklatan dengan corak kuning hingga kemerahan dan kulit memperlihatkan banyak makula hyperpigmented ( lentigines). Keriput elastotik mencirikan photodamage kulit pada individu bertipe kulit III-V. Secara klinis, mereka membentuk pola rhomboid silang-menyilang dan kulit kasar memperlihatkan nodularitas halus. Gambar 2.3 Keriput elastotik, menggambarkan adanya garis kerutan yang dalam dan terdapat nodul penuaan. Secara histologis, terdapat tebalan epidermis tak beraturan. Dermis papilla memperlihatkan agregasi nodular elastotik abnormal berbentuk serabut hingga tak berbentuk. Jumlah glikosaminoglikan dan proteoglikan pada zat dasar dermis meningkat sedangkan serabut kolagen menurun dan sebagian terurai sebagai akibat dari sintesis dan sekresi metalloproteinase pengurai matriks melalui induksi oleh UV ( Kulms , 2000 ) 11 Elastosis adalah suatu bahan yang terdiri dari jalinan massa besar dari jaringan elastis yang terurai. Terdapat pita tipis yang mengandung suatu zat eosinofilik yang utamanya terdiri dari glikosaminoglikan dan kolagen yang baru terbentuk dan disebut Green zone. Zona ini dianggap sebagai suatu area tempat berlangsungnya perbaikan aktif photodamage dan secara histologis mengingatkan akan jaringan parut pada luka. Lebih dalam lagi pada dermis, serabut kolagen tampak terurai, menggumpal dan terfragmentasi. Dermis juga sering memperlihatkan banyak infiltrat inflamatorik yang terdiri dari mast cells, histiosit dan sel mononukleus lain ( Fisher et al, 2002 ). Ciri klinis dan histologis dari photodamage kulit diringkas pada tabel berikut ini. Tabel 2.2 Dampak klinis dan histologis dari photodamage ( dikutip dari Mina Yaar , 2002 ) Abnormal Klinis Abnormal Histologis Kering ( Kasar ) Peningkatan kompaksi dari stratum korneum, ketebalan lapisan granular sel meningkat,berkurangnya kadar mucin epidermis Actinic Keratoses Atipik nuklear; maturasi keratinosit secara progressif; epidermal hyperplasia yang tidak beraturan dan atau hypolasia; kadang terdapat inflamasi dermis. IRREGULER PIGMENTASI 1. 2. 3. 4. Freckles Lentigo Hipomelanosis gutata Hiperpigmentasi persisten Kerutan Pseudoscar stelata Nodul Inelastisitas Telangiektasia Venous Lake Purpura ( Gampang Memar ) Makrokomedo ( maladie de Favre et Racouchot ) Peningkatan jumlah dari hypertrofi, dopa-positif melanosit secara kuat Elongasi dari rete ridge epidermal ; peningkatan jumlah dan melanisasi dari melanosit Penurunan jumlah dari melanosit atipik Peningkatan jumlah dopa-positif melanosit dan peningkatan content melanin tiap unit area; peningkatan jumlah melanofag dermal Penurunan dan degradasi kolagen; peningkatan matrix-degradasi metaloproteinase ; kontraksi dari septa yang ada di subkutan. Kehilangan pigmentasi epidermal;colagen dermis terpecah pecah Agregasi nodular dari jaringan fibrotik menjadi suatu elastotic material pada papilary dermis Dermal elastotik Pelebaran pembuluh darah di wajah diikuti dengan atropi dinding pembuluh darahnya. Pelebaran pembuluh darah yg lebih besar dengan atropi dinding pembuluhnya. Ektravasasi dari eritrosit dan peningkatan inflamasi perivaskular Pelebaran porsi superfisial dari folikel pilosebaceous Hyperplasia konsentrik dari kelenjar sebaseus 12 Hyperplasi sebaceous Salah satu ciri histologis paling menyolok dari photodamage adalah solar elastosis Gambar 2.4. Gambaran Histologis Photodamage. Pewarnaan HE menunjukkan adanya masa keunguan yang mel Premalignant neoplasma: Actinic Keratosis Actinic keratosis merupakan neoplasma epidermis yang memperlihatkan proliferasi keratinosit yang sitologinya abnormal. Secara klinis, mereka terlihat sebagai makula dan papula erythematous dengan sisik kasar yang melekat pada latar kulit yang mengalami photodamage. Keratinosit abnormal pada actinic keratosis diakibatkan oleh mutasi terinduksi UV pada gen supresor tumor p53 ( Ortonne, 2002 ). Adanya mutasi p53 memungkinkan sel yang terpengaruh untuk berproliferasi meski terus mengalami kerusakan DNA, sehingga berisiko 13 membentuk mutasi lain dan pada akhirnya berkembang menjadi squamous cell carcinoma. 2.1.5 Kemunduran fungsi kulit terkait usia 1. Penggantian sel dan penyembuhan luka Keratinosit mencakup 90% populasi sel epidermis. Seiring waktu, mereka kehilangan kapasitas proliferatifnya, dan kemampuan untuk berdiferensiasi terminal sebagaimana mestinya untuk membentuk stratum korneum protektif ( Granstein, 2003 ) , serta kemampuan untuk mengelaborasi sitokin dan sinyal antar sel lain sebagai respons terhadap stimulus lingkungan ( Yaar, 2004 ). Pemburukan ini mungkin ikut menyebabkan lambatnya penyembuhan trauma minor dan parut bedah yang lebih lemah, maupun juga kecenderungan terhadap tidak sembuhnya ulkus. Terancamnya penyembuhan luka tampaknya juga dipengaruhi oleh penurunan fungsi makrofag dan sel T yang kemampuannya untuk menembus dasar luka terancam. Ini diperparah oleh penurunan fungsi produksi kemokin ( Swift, 2001 ) dan penurunan inflamasi neurogenik yang disertai oleh penurunan sintesis dan sekresi neuropeptide, semuanya penting untuk perbaikan jaringan yang sesuai. 2. Fungsi Sensorik Seiring penuaan, terjadi peningkatan persepsi sensorik terhadap sentuhan ringan, sensasi getar, kemampuan untuk membedakan dua titik dan ketajaman spasial, serta peningkatan ambang sakit. Mekanisme pasti yang mendasari perubahan ini belum dipahami secara menyeluruh, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada orang berusia 60 tahun keatas terjadi penurunan densitas serabut syaraf ber-myelin maupun tanpa myelin yang mengirimkan sensasi panas dan bahaya. Selain itu, terjadi penurunan sintesis dan transpor 14 beberapa neuropeptide seperti zat P dan calcitonin gene-related peptide. Secara keseluruhan, perbedaan persepsi sensorik antara individu muda dan tua tampak sangat besar jika stimulus durasinya pendek dan jika stimulus tersebut melibatkan ekstremitas ( Khalil ,1996 ). 3. Perbaikan Kerusakan DNA Terdapat dokumentasi yang jelas bahwa frekuensi kerusakan dan mutasi DNA meningkat seiring usia. Meski akumulasi mutasi dapat diakibatkan oleh berjalannya waktu saja, data menunjukkan bahwa kapasitas untuk memperbaiki kerusakan DNA menurun seiring usia. Kapasitas untuk memperbaiki DNA diketahui turun sebesar 0,61% per tahun pada limposit darah periferal, dan orang yang mengidap basal cell carcinoma (BCC) pada usia lebih muda mengalami penurunan kapasitas perbaikan dibanding individu yang mengidap BCC pada usia lebih tua. Ini dapat diakibatkan oleh penurunan terkait usia dalam hal kadar protein yang ikut serta dalam perbaikan eksisi nukleotid, sebagaimana dilaporkan untuk fibroblast dermis tua ( Goukassan, 2000 ). 4. Fungsi Imun Seiring penuaan, terjadi penurunan jumlah Langerhans cells epidermis, yakni sel efektor pembawa antigen imun pada kulit ( Yaar, 2003 ). Terjadi juga penurunan produksi sitokin epidermis yakni interleukin (IL-1α) dan akibatnya terjadi produksi sitokin yang antara lain meliputi IL-6, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-8 . Bukti menunjukkan bahwa seiring penuaan, imunitas yang diperantarai sel maupun imunitas humoral mengalami pemburukan, dengan sel T memperlihatkan penurunan kapasitas proliferatif dan produksi sitokin sebagai respons T dan kegagalan untuk 15 menyeleksi antigen-activated B-cells pada pusat-pusat germinal dari lymph nodes. Penurunan ini mengancam sistem imum manula, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi dan, sebagai akibat dari penurunan pengawasan imun, mungkin juga lebih rentan terhadap terjadinya kanker. 5. Produksi Vitamin D Epidermis manusia berperan dalam produksi bentuk aktif vitamin D, yakni 1,25(OH)2D3. Disamping perannya dalam homeostasis kalsium dan pemeliharaan tulang, juga terlibat dalam proses imun, mempengaruhi fungsi makrofag dan mengatur pelepasan sitokin inflamatorik. Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa individu tua mengalami penurunan kadar vitamin D serum, sebagian disebabkan oleh penurunan konsumsi vitamin D dalam diet mereka, dan sebagian disebabkan oleh kurangnya paparan sinar matahari. Selain itu, kadar prekursor vitamin D pada epidermis, yakni D-7 dehydrocholesterol per unit permukaan kulit, menurun secara linear sebesar kira-kira 75% antara masa dewasa awal dan akhir, menunjukkan bahwa disebabkan oleh kurangnya prekursor, individu tua bisa gagal dalam mensintesis 1,25(OH) 2D3 dalam jumlah cukup. Suplementasi vitamin D dan kalsium dengan demikian sangat penting pada segmen populasi ini ( Yaar , 2003 ). Untuk menyelidiki hubungan antara tingkat vitamin Dphotodamage dan 25(OH) di kulit akibat UV, dilakukan studi Cross-sectional pada 45 wanita berusia > 40 tahun . Status menopause, merokok, riwayat kanker kulit, penggunaan suplemen oral , dan diukur kadar serum 25 (OH) D . Pertama , kulit dievaluasi standar dengan gambar wajah digital untuk keseluruhan photodamage, eritema/telangiectasias, hiperpigmentasi, jumlah lentigines, dan kerutan. Perempuan dengan photodamage 16 skor lebih rendah yang terkait dengan peluang peningkatan 5-fold menjadi vitamin D tidak cukup (atau 5.0, 95% CI: 1.1, 23). Skor yang didapat untuk parameter tertentu yaitu photodamage , kerut dan termasuk eritema/telangiectasias, hiperpigmentasi, yang juga secara signifikan dikaitkan dengan kekurangan vitamin D. Hasil tersebut menunjukkan hubungan antara penuaan kulit dan 25 tingkat D-OH ( Chang , 2010). 2.2. Sel Punca ( Stem cell ) Sel punca, lebih dikenal dengan nama Stem cell merupakan sel yang belum berdiferensiasi dan mempunyai potensi untuk dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Potensi tersebut memungkinkan sel induk menjadi sistem perbaikan tubuh dengan menyediakan sel baru selama organisme bersangkutan itu hidup. Sel Punca merupakan dasar dari kehidupan, dikemukakan oleh Rudolph Virchow bahwa ‘ All Cell come from Cells ‘. Stem cell merupakan sel tunggal yang dapat mengubah diri menjadi sel yang spesifik, baik dari jaringan embrio maupun dewasa, yang dikenal dengan totipoten. Perkembangan sel punca sebagai terapi sel semakin mendapat perhatian dari sejumlah peneliti yang ada di seluruh dunia. Berbagai kemajuan dan manfaat yang telah dipublikasikan secara ilmiah juga sudah dapat dirasakan oleh masyarakat dunia. Selain itu juga mengundang sejumlah kontroversi yang secara etika belum dapat diterima di sebagian negara. Sel Punca dapat berdiferensiasi menjadi lebih dari satu jenis sel, satu karakteristik yang disebut dengan plastisitas. Plastisitas sel punca variasi bergantung pada apakah ia berasal dari embrio ataukah dari organisme dewasa. Sel punca dari 17 embrio biasanya mempunyai plastisitas lebih besar dibanding dari organisme dewasa, meski perbedaan ini bisa berubah dalam waktu tak lama. Sepanjang dekade 1990-an, ketika para ilmuwan meneliti stem cell dari hewan pengerat, beberapa protokol standar dikembangkan untuk membiakkan, menguji, dan memanipulasi sel ini. Stem cell lain, dari spesies berbeda atau dari jaringan dewasa, kini diteliti dengan menggunakan protokol itu, sehingga satu jenis stem cell dapat mudah dibandingkan dengan jenis lain. Protokol tersebut meliputi perilaku stem cell secara in vivo (didalam organisme hidup) dan in vitro (dalam kultur sel). Karakteristik in vitro yang paling penting meliputi kemampuan sel untuk berproliferasi (tumbuh dan membelah) selama kurun waktu tak terbatas sekaligus mempertahankan fenotip embrio. Fenotip yang digunakan dalam konteks ini mengacu pada semua karakteristik yang bisa diamati pada sel: bentuk atau morfologinya , perilakunya yaitu dalam berinteraksi dengan sel lain dan caranya dalam berkomunikasi dengan sel itu dan terakhir, komposisi glycocalyx, yakni massa padat molekul yang menutupi permukaan semua sel. Glycocalyx bervariasi bergantung pada status diferensiasi sel. Tipe protein yang melekat pada membran dari suatu sel embrio berbeda dari tipe protein yang melekat pada membran dari sel dewasa yang berdiferensiasi penuh. Dengan kata lain, diferensiasi suatu sel adalah terkait dengan restrukturisasi dan maturasi glycocalyx ( Stewart Sell, 2004). Karakteristik in vitro penting dari stem cell adalah kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel. Diferensiasi bisa terjadi secara spontan atau melalui suatu proses yang disebut dengan diferensiasi terarah, yang terjadi jika sel dibiarkan saling berkontak, atau jika growth factor tertentu dimasukkan ke medium kultur. Perilaku in vivo bakal stem cell diketahui dengan mengisolasi sel 18 tersebut dan kemudian menginjeksikan mereka ke seekor mencit untuk mengetahui mereka akan berdiferensiasi. Gambar 2.5 Diagram diferensiasi Stem Cell Embrio dan progenitornya (dikutip dari Stem cell Handbook, Stewart Sell ,2004) Berdasarkan statistik yang ada, penelitian ilmiah dengan menggunakan Adult stem cell ini hampir menembus angka 1373, dibanding dengan Embryonic stem cell, dikarenakan dari segi etika dan kesulitan untuk mendapatkan sel progenitor . Sampai saat ini , progenitor sel dari bone marrow dipercayai bersifat pluripoten, dapat berkembang menjadi sel stromal dan limfosit, sebagaimana yaitu RBC, white blood cells (WBCs), dan megakariosit (Platelets) . Selain sebagai prekursor pada susunan hematopoetik, bone marrow juga mengandung mesenkim sel progenitor yang dapat berkembang juga menjadi tipe sel yang lain seperti osteosit, sel otot, astrosit dan neuron seperti halnya sel stromal sebagai pendukung hematopoesis. 2.2.1 Stem cell ( sel punca ) Embrio Stem cell yang paling akhir adalah adalah telur yang sudah dibuahi, yang karena totipotent, dapat menghasilkan organisme lengkap yang terdiri dari ratusan jenis sel. 19 Blastomer amfibi, dari embrio dua atau empat sel, juga mempertahankan totipotensi mereka dan merupakan contoh yang tepat untuk stem cell embrio ( Shi et al, 2006 ). Stem cell embrio mamalia diperoleh hanya dari inner mass cell (ICM) blastocyst, dan jika dimasukkan dalam kultur sel, mereka dapat berdiferensiasi menjadi banyak jenis sel, mewakili tiga lapisan germ embrio (ectoderm, mesoderm, dan endoderm). Tetapi, sesudah asosiasi antara ICM dan trophoblast terganggu (seperti ketika stem cell embrio dimasukkan dalam kultur), stem cell embrio tidak dapat berkembang menjadi embrio. Karena alasan ini, mereka dikatakan pluripoten bukan totipoten. Dalam kultur, stem cell embrio hidup selamanya, berproliferasi selama jangka waktu tak terbatas yang selama itu mempertahankan fenotip embrio ( Shi et al, 2006 ). Dalam percobaan lain, stem cell embrio diletakkan dalam piring kultur dan dibiarkan untuk berdiferensiasi secara spontan (dalam hal ini, sel dikatakan telah berdiferensiasi secara in vitro). Tahapan pertama dan sangat penting pada diferensiasi in vitro melibatkan agregasi sel menjadi gumpalan kecil yang disebut embryoid bodies. Kontak diantara sel diperlukan agar diferensiasi terjadi dan mengulang peristiwa embriogenesis normal, dimana kontak dan interaksi antar sel diantara ketiga lapisan germ menentukan nasib perkembangan sekelompok sel tertentu ( Shi et al, 2006 ). Dalam kultur, komunikasi antar sel didalam embryoid body mengakibatkan pembentukan neuron, sel kulit, jaringan otot kontraksi, dan jenis sel lain. Meski embryoid body mempunyai organisasi yang longgar, beberapa diantara mereka mirip blastocyst. Ketika stem cell embrio yang dikulturkan beragregasi membentuk embryoid body, atau teratoma, mereka mencoba untuk membentuk gastrula dan ketiga lapisan 20 germ, sebagaimana yang mereka lakukan selama perkembangan embrio normal. Tetapi tanpa trophoblast disekeliling mereka dan sinyal yang biasa mereka terima sesudah menempel pada dinding uterus, sel ini seperti anak kecil yang mencoba untuk menemukan jalan pulang di malam yang gelap. Sel tersebut kehilangan “penglihatan”, dan tidak mempunyai peta yang memandunya. Sel punca dapat membuat semua sel yang akan selalu dibutuhkan oleh tubuh, tetapi mereka tidak tahu dimana sel tersebut akan diletakkan atau cara untuk menghubungkan mereka ( Shi et al, 2006 ). Tabel 2.3 Stem cell embrio SEL-SEL YANG DIPRODUKSI MELALUI DIFERENSIASI STEM CELL EMBRIO Jenis Sel Deskripsi Adiposit Sel yang membuat dan menyimpan senyawa lemak Astrosit Tipe sel glia (lem) yang menopang neuron secara struktural dan metabolik Kardiomiosit Sel yang membentuk jantung; juga disebut dengan miosit Condrosit Sel yang membuat tulang rawan Sel dendritik Sel pembawa antigen pada sistem imun Sel endotel Sel yang membentuk lapisan bagian dalam (endothelium) semua pembuluh darah Sel hematopoietik ss yang berdiferensiasi menjadi sel darah merah dan putih Keratinosit Sel yang membentuk rambut dan kuku Mast cell Dikaitkan dengan jaringan konektif dan pembuluh darah Neuron Sel yang membentuk otak, spinal cord, dan sistem syaraf peripheral Oligodendrosit Sel glia pembentuk myelin pada sistem syaraf pusat Osteoblast Menghasilkan osteoblast, atau sel pembentuk tulang Pancreatic islet cells Sel endokrin yang mensintesis insulin Otot halus Otot yang melapisi pembuluh darah dan saluran pencernaan 2.2.2 Stem cell dewasa Belum lama ini, para ilmuwan meyakini semua perbaikan tubuh dewasa 21 dilaksanakan oleh jaringan yang rusak: Jika kulit teriris, sel kulit lain disepanjang area yang rusak akan membelah dan bermigrasi untuk menutup luka tersebut; jika kaki patah, maka kondrosit (sel pembentuk tulang) akan memperbaiki kerusakan tersebut. Organ lain, seperti otak dan jantung, diduga tidak mampu memperbaiki diri sendiri, karena miosit dan neuron diketahui sebagai sel post-mitosis. Meski stem cell embrio didefinisikan dan diidentifikasikan melalui isolasi dari ICM blastocyst, identifikasi stem cell dewasa dan penentuan asalnya sangatlah sulit dilakukan. Beberapa ahli mengemukakan bahwa mereka adalah sel embrio, yang disisihkan selama perkembangan tiap jaringan, sedangkan ahli lain meyakini mereka mungkin adalah bagian dari suatu populasi migran sel embrio yang yang mendiami berbagai bagian tubuh selama proses neurulasi dan organogenesis. Kemungkinan yang ketiga adalah bahwa stem cell dewasa diproduksi sesudah perkembangan embrio selesai melalui de-diferensiasi sekelompok sel pilihan didalam berbagai jaringan tubuh. Tidaklah jelas mengapa sel-sel ini mampu memperbaiki beberapa jaringan tetapi tidak mampu memperbaiki jaringan yang lain ( Shi et al, 2006 ). Tabel 2.4 Stem cell dewasa JARINGAN DAN ORGAN DEWASA YANG DIKETAHUI MENGANDUNG STEM CELL Asal Deskripsi Otak Stem cell otak dapat berdiferensiasi menjadi ketiga jenis jaringan syaraf astrosit, oligodendrosit, dan neuron dan, pada beberapa kasus, prekursor sel darah. Sumsum tulang Ini terdapat sebagai stem cell hematopoietik, yang menghasilkan semua sel darah, dan sebagai sel stoma, yang berdiferensiasi menjadi tulang rawan dan tulang. Endothelium Stem cell ini disebut hemangioblast dan diketahui berdiferensiasi menjadi pembuluh darah dan kardiomiosit. Mereka bisa berasal dari sumsum tulang, tetapi ini belum pasti. Otot kerangka Stem cell ini bisa diisolasi dari otot atau sumsum tulang. Mereka memperantarai pertumbuhan otot dan bisa berproliferasi sebagai respons terhadap injuri atau aktivitas fisik (exercise). Kulit Stem cell kulit dikaitkan dengan sel epitel, sel epidermis, sel folikel rambut, dan lapisan dasar epidermis. Sistem pencernaan Terletak di rongga usus, atau invaginasi. Stem cell ini bertanggung jawab meremajakan lapisan epitel usus. 22 Pankreas Banyak jenis sel ini diyakini ada, tetapi contoh-contohnya belum diisolasi. Beberapa stem cell syaraf diketahui menghasilkan sel β pankreas. Liver Identitas stem cell liver masih belum jelas. Stem cell dari sumsum tulang bisa memperbaiki beberapa kerusakan liver, tetapi sebagian besar perbaikan tampaknya dilaksanakan oleh hepatosit (sel liver) itu sendiri. Plastisitas sel punca dewasa tampaknya lebih rendah dibanding plastisitas sel punca embrio. Perbedaan ini ditunjukkan dengan mengetahui nasib kedua jenis sel tersebut sesudah diinjeksikan ke dalam mencit. Stem cell embrio, karena belum berdiferensiasi, tidak memperlihatkan kecenderungan untuk menemukan “rumah” yakni, untuk kembali ke jaringan asal mereka. Sebaliknya, stem cell dewasa telah cukup berdiferensiasi sehingga mereka tahu dimana rumahnya, dan disitulah mereka berkumpul: Stem cell yang berasal dari sumsum tulang kembali ke sumsum tulang, dan stem cell yang berasal dari syaraf bermigrasi ke otak atau spinal cord. Dalam kultur, stem cell embrio dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, mewakili semua lapisan germ, sedangkan stem cell (sel punca) dewasa berdiferensiasi menjadi lebih sedikit ragam sel, mewakili satu atau dua lapisan germ. 23 Gambar 2.6 Sejarah pemanfaatan stemcell, dikutip dari http://okebanget.net/2009/05/18/kultur-sel-sebagai-teknik-pengobatan-di-masa-depan/ Stem cell dewasa pertama yang ditemukan pada sumsum tulang dan diketahui bertanggung jawab mengisi kembali sel darah. Sebelum penemuan stem cell, sel darah diasumsikan hanya digantikan oleh sel precursor yakni sel yang dapat menjadi dewasa menjadi sel darah tetapi tidak dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Stem cell dewasa lain, yang ditemukan di kulit, bisa terlibat dalam perbaikan luka. Pada sebagian besar kasus, pembelahan dan pergerakan sel kulit memperbaiki luka gores, sedangkan luka yang lebih dalam bisa mengaktifkan stem cell untuk memperbaiki kerusakan. Roh dan Lyle pernah membuktikan sel punca yang diambil dari bulge region dapat berdiferensiasi menjadi folikel rambut, sel epidermal dan kelenjar sebacea secara in vitro ( Roh , 2006 ) Keberadaan stem cell dewasa sangatlah penting, karena penggunaan mereka untuk mengobati penyakit menghilangkan masalah etika yang terkait dengan penggunaan stem cell embrio. Keterbatasan plastisitas stem cell dewasa menjadi penghalang utama yang harus diatasi sebelum mereka akan menjadi alternatif praktis atas stem cell embrio, tetapi banyak ahli yakin prestasi ini akan dicapai ketika penelitian tentang sel ini yang dipelihara dalam kultur jaringan, akan meningkat. 2.2.2.1 Hematopoetic stem cells HSC (Hematopoetic Stem cell) adalah sel yang diisolasi dari darah dan bone marrow yang dapat menggantikan diri sendiri, dapat berdiferensiasi menjadi varian dari sel tertentu, dapat berpindah keluar dari bone marrow menuju sirkulasi darah,dan dapat mengalami kematian sel, dinamakan apoptosis yaitu suatu proses dimana sel akan 24 mengalamai kemunduran atau kerusakan karena tidak digunakan. HSC ditemukan pada bone marrow dewasa, termasuk femur, panggul, iga, tulang dada dan lainnya. Sumber lainnya yang digunakan dalam klinis dan penelitian termasuk juga darah tali pusat, plasenta, darah perifer. Untuk keperluan eksperimen, hati dan limpa bayi dari binatang berkemampuan sebagai sumber dari HSC. Secara umum problem dalam pemeriksaan stem cell ini adalah mengidentifikasi stem cell progenitor jangka panjang dan jangka pendek dikarenakan sulit, mahal , dan memakan waktu serta tidak dapat dilakukan pada manusia. Dibeberapa penelitian dikatakan bahwa sel yang ditest pada kultur memiliki kemampuan membentuk asal usul dan koloni koloni dari sel, akan tetapi ragam test tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti bahwa merupakan stem cell jangka panjang. Kesulitan pada penentuan HSC meliputi dua hal yang selalu timbul dalam penelitian : 1. Identifikasi pasti dari HSC, 2. Membuat proliferasi atau meningkatkan jumlah sel pada media kultur. Gambar 2.7 Diferensiasi dari Hematopoetic dan Stromal Stem Cell ( dikutip dari http/stemcell information.com , chapter 5, 2010 ) 25 Irving Weissman di Universitas Stanford pertama kali mengisolasi sel hematopoetik tikus tahun 1988, juga orang pertama yang dapat membedakan Stem cell Jangka Panjang (LT-HSC) dan Jangka Pendek (ST-HSC). Gambar 2.8 Diferensiasi Hematopoetic Stemcell dikutip dari Stem Cell & Anti Cancer Technology for Better life. 2.3 Stem cell “ Niche “ Stem cell niche adalah frase yang dipakai secara umum dalam komunitas ilmiah untuk menjelaskan lingkungan mikro dimana stem cells berinteraksi ditemukan, yang dengan stem cells untuk meregulasi nasib stem cells. Kata ‘niche’ dapat mengacu pada lingkungan mikro stem cells in vivo atau in vitro. Selama perkembangan embrio, berbagai faktor niche bekerja terhadap stem cells embrio untuk mengubah ekspresi gen, dan menginduksi proliferasi dan diferensiasi untuk perkembangan fetus. Dalam tubuh manusia, stem cell niche mempertahankan stem cells dewasa dalam keadaan diam, namun sesudah trauma jaringan, lingkungan mikro sekitarnya aktif mengirim sinyal ke stem cells untuk memacu peremajaan diri atau diferensiasi membentuk jaringan baru. 26 Beberapa faktor berperan penting meregulasi karakteristik stem cells di dalam niche ini adalah interaksi antar sel baik diantara stem cells, maupun juga interaksi antara stem cells dan sel sekitar yang sudah berdiferensiasi, interaksi antara stem cells dan molekul adhesi, komponen matriks ekstraselular, oksigen, growth factor, sitokin, dan faktor ikatan-kimia lingkungan seperti pH, kuat ion (contohnya, konsentrasi Ca 2+) dan metabolit, seperti ATP, juga penting. Stem cells dan niche bisa saling menginduksi selama perkembangan dan saling mengirim sinyal secara timbalbalik selama masa dewasa ( Scadden , 2006 ) Para ilmuwan kini tengah mempelajari berbagai komponen niche dan mencoba untuk mereplikasi kondisinya in vivo secara in vitro. Ini karena, untuk terapi regenerasi, proliferasi dan diferensiasi sel harus dikendalikan dalam flask atau plat, sehingga tipe sel yang tepat diproduksi dalam jumlah cukup sebelum dimasukkan kembali ke pasien untuk terapi. Stem cells pada embrio manusia sering dibiakkan dalam media yang ditambah dengan fetal bovine serum berkandungan fibroblastic growth factor-2. Mereka dibiakkan pada lapisan feeder dari sel, yang diyakini mendukung pemeliharaan karakteristik pluripotent dari stem cells embrio. Tetapi, kondisi ini pun tidak bisa seluruhnya meniru kondisi niche in vivo. Stem cells dewasa tetap dalam kondisi belum berdiferensiasi sepanjang kehidupan dewasa. Tetapi, ketika mereka dikulturkan secara in vitro, mereka sering mengalami proses ‘penuaan’ dimana morfologi mereka berubah dan kemampuan proliferasi mereka menurun. Kondisi kultur yang benar untuk stem cells dewasa diyakini harus disempurnakan mempertahankan ‘stemness’ mereka. sehingga stem cells dewasa dapat terus 27 Sebuah tinjauan di Nature Insights mendefinisikan niche sebagai berikut: “Populasi stem cells terbentuk di ‘niche’ yaitu lokasi anatomik spesifik yang meregulasi bagaimana mereka ikut serta dalam pembentukan, pemeliharaan dan perbaikan jaringan. Niche menyelamatkan stem cells dari pengosongan, sekaligus melindungi induk dari proliferasi stem cells yang terlalu banyak. Merupakan unit dasar dari fisiologi jaringan, mengintegrasikan sinyal yang memperantarai respons seimbang stem cells terhadap kebutuhan organisme. Namun bisa juga menginduksi patologi dengan memaksakan fungsi menyimpang terhadap stem cells atau target lain. Interaksi antara stem cells dan niche mereka menciptakan sistem dinamis yang diperlukan untuk menyokong jaringan, dan pada akhirnya untuk desain terapeutik stem cells ( Scadden, 2006 ). 2.3.1 Sejarah stem cell ‘ niche ‘ Meski konsep stem cell niche berlaku pada vertebrata, karakterisasi pertama terhadap stem cell niche in vivo dilaksanakan pada perkembangan germinal Drosophila. Germline stem cells (GSCs) ditemukan pada organisme yang terusmenerus memproduksi sperma dan telur sampai mereka steril. Stem cells yang berspesialisasi ini terletak di GSC niche, yakni lokasi awal untuk produksi gamet, yang terdiri dari GSCs, stem cells somatik, dan sel somatik lain. Secara khusus, GSC niche dikaji secara mendalam pada organisme model genetik Drosophila melanogaster dan memberikan pemahaman yang luas mengenai basis molekular dari regulasi stem cells. Pada Drosophila melanogaster, GSC niche terletak pada bagian paling anterior dari tiap ovariole, yang dikenal sebagai germarium. GSC niche terdiri dari somatic cells-terminal filament cells, cap cells, escort cells, dan stem cells lain yang berfungsi mempertahankan GSCs ( Xie et al, 2000 ). GSC niche mengandung rata-rata 2-3 28 GSCs, yang langsung melekat ke somatic cap cells dan escort cells, yang mengirimkan sinyal secara langsung ke GSCs. GSCs mudah diidentifikasi melalui histological staining terhadap protein vasa (untuk mengidentifikasi germ cells) dan protein 1B1 (untuk mengetahui bentuk luar dari struktur sel dan struktur fusome spesifik germline). Perlekatan fisik mereka ke cap cells diperlukan untuk pemeliharaan dan aktivitas mereka ( Song et al, 2009 ). 2.3.2 Mekanisme Molekular pada Germ Stem Cells Sinyal Sistemik yang Meregulasi GSCs yaitu diet atau insulin-like signaling mengendalikan proliferasi GSCs secara langsung pada Drosophila melanogaster. Diet meningkatkan kadar Drosophila insulin-like peptide (DILP) menyebabkan peningkatan proliferasi GSCs. Up-regulasi DILPs pada GSCs tua dan niche mereka menyebabkan peningkatan pemeliharaan dan proliferasi. DILPs juga terbukti meregulasi kuantitas cap cells dan meregulasi perlekatan fisik GSCs ke cap cells ( Hsu, 2009 ). Mekanisme Peremajaan pada stem cells dibagi dua, yakni pembelahan simetri GSCs atau de-diferensiasi cystoblast. GSCs biasanya membelah secara asimetris untuk memproduksi satu cystoblast anakan, tetapi ada pendapat yang menyatakan bahwa pembelahan simetris dapat terjadi pada dua sel anakan yang tetap menjadi GSCs ( Pan et al, 2007 ) . Jika GSCs dibuang untuk menciptakan niche kosong dan cap cells masih ada dan mengirimkan sinyal pemeliharaan, maka cystoblast yang sudah berdiferensiasi dapat direkrut ke ceruk itu dan berde-diferensiasi menjadi GSCs fungsional. Ketika betina Drosophila mengalami penuaan, stem cell niche mengalami hilangnya keberadaan dan aktivitas GSCs secara age-dependent. Kehilangan ini diduga disebabkan oleh penguraian beberapa faktor pensignalan penting dari niche yang 29 mempertahankan GSCs dan aktivitas mereka. Penurunan aktivitas GSCs sebagian dapat disebabkan oleh adanya reduksi aktivitas jalur pensinyalan pada GSC niche yaitu reduksi penyinalan Dpp dan Gbb akibat penuaan. Selain penurunan sinyal yang berasal dari niche, GSCs mengalami penuaan secara intrinsic yaitu ada reduksi adhesi GSCs ke cap cells secara age-dependent dan ada akumulasi reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan kerusakan selular yang ikut andil dalam menyebabkan penuaan GSCs. Ada reduksi jumlah cap cell dan perlekatan fisik GSCs ke cap cells akibat penuaan. Shg diekspresikan dengan kadar lebih rendah secara signifikan pada GSC niche tua dibanding GSC niche muda ( Pan et al, 2007 ). 2.4 Kulit Sebagai Organ Limfoid Kulit merupakan alat tubuh terluas yang berperan dalam sawar fisik terhadap lingkungan dan inflamasi. Banyak antigen asing masuk tubuh melalui kulit dan respons imun sudah diawali di kulit. Kulit terdiri atas lapisan dermis dan epidermis. Epidermis yang merupakan bagian terluar mengandung keratinosit, melanosit, sel langerhans, sel T dan dermis mengandung sel T intraepitel dan makrofag. Gambar 2.9 Kulit sebagai organ limfoid ,Dikutip dari Karnen Garna Baratawidjaja, Imunologi Kulit , 2004 30 Antigen Presenting Cell (APC)/Sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag, sel T yang memiliki TCR dan Fc-R memberikan spesifitas dari respon imun. Limfosit epidermal yang merupakan sekitar 2% dari limfosit kulit (sisanya didalam dermis) terbanyak berupa sel T CD 8+. Sel T intradermal mengekspresikan reseptor yang lebih terbatas dibanding dengan sel T di luar kulit. 2.4.1 Sel Langerhans Sel Langerhans ditemukan tersebar diseluruh epidermis dalam stratum Malphigi merupakan suatu antigen dendritik proses dan presenting sel di epidermis. Jumlah sel ini sekitar 2 sampai 8 persen dari total populasi sel di epidermis. Sel dendritik di epidermis, yang berisi butiran besar disebut butiran Birbeck. Mereka biasanya hadir dalam kelenjar getah bening dan organ lainnya, termasuk stratum spinosum lapisan epidermis. Mereka bisa ditemukan di tempat lain, terutama dalam hubungannya dengan kondisi histiocytosis ( Valladeau, 2003 ). Sel tersebut berperan dalam induksi aktivasi sel T pada dermatitis alergi, dermatitis kontak, penolakan transplantasi dan respon imun lainnya, baik normal maupun patologik. Sel Langerhans/ sel dendritik yang ditemukan di bagian suprabasal epidermis merupakan sel dendritik imatur dari sistem imun kulit ( Karnen, 2004 ). Sel Langerhans hanya merupakan kurang dari 1% populasi sel epidermis, namun sel tersebut tersusun serupa jala disamping mempunyai proyeksi sitoplasma sehingga menempati 25% dari luas permukaan kulit dan memungkinkan menangkap antigen yang masuk ke kulit dengan mudah. Pengaruh dari sitokin proinflamasi, sel langerhans mulai diaktifkan dan melepaskan diri dari susunan jala untuk bermigrasi ke dermis dan memasuki sistem aferen limfatik, dan masuk ke kelenjar getah bening 31 untuk berpartisipasi dalam respon imun primer dan mempresentasikan antigen ke sel T ( Karnen, 2004 ). Sel Langerhans ini dinamai oleh Paulus Langerhans, seorang dokter Jerman dan ahli anatomi, yang menemukan sel-sel pada usia 21, sementara dia adalah mahasiswa kedokteran. Pada infeksi kulit, sel Langerhans setempat akan mengambil dan proses mikroba antigen untuk menjadi fungsi menyajikan antigen-sel. Umumnya, sel dendritik di jaringan yang aktif dalam penangkapan, pengambilan dan pemrosesan antigen. Setelah sel dendritik tiba di jaringan limfoid sekunder, mereka kehilangan sifat ini, sementara memperoleh kemampuan untuk berinteraksi dengan sel-T naif. Gambar 2.10 Representasi dari sel-sel Langerhans di Ontologi Cell. sel. Dari Masci et al, 2009. Sel Langerhans berasal dari diferensiasi selular dari monosit dengan penanda "Gr-1" (juga dikenal sebagai "Ly-6G/Ly-6C"). Diferensiasi membutuhkan stimulasi oleh faktor stimulasi koloni (CSF)-1 yang serupa dalam morfologi dan fungsi makrofag ( Ginhoux et al, 2006 ) . Langerin adalah protein yang ditemukan dalam sel-sel Langerhans dan jenis-jenis sel dendritik ( Jansson, 2008 ) . Sel Langerhans ditemukan terbanyak dibagian tubuh yang banyak terpajan dengan antigen. Oleh karena itu Sel Langerhans dipersenjatai dengan reseptorreseptor khusus seperti reseptor untuk manosa, dinding bakteri, IgG, dan IgE. Sel 32 Langerhans dapat mempresentasikan baik antigen ekstraselular yang MHC-II dependen, maupun intraselular ( antigen dari sitosol, sel yang apoptosis dan dimakan, sel alogenik ) yang MHC-I dependen. Setelah memakan antigen, Sel Langerhans akan menginduksi sel T naif yang berlokasi di kelenjar getah bening. Sel dendritik melepas sejumlah besar sitokin dan kemokin. Pematangan sel dendritik diinduksi oleh berbagai rangsangan, beberapa dari dalam sel ( sel nekrotis, mediator inflamasi seperti GM-CSF, IL-1b, TNF-alfa dan PGE2 ), rangsangan lainnya yang berasal dari luar sel seperti mikroba ( LPS, dsRNA virus, DNA Bakteri ). 2.4.2 Sel T helper ( Th ) Berbagai faktor berperan dalam pematangan sel Th0 untuk menentukan profil respons imun yang akan terjadi ( profil Th1 atau Th2 ). Berbagai sel nonspesifik yaitu makrofag, sel mast, sel NK atau sel epitel ikut berperan dalam menentukan profil respons tersebut. Faktor terpenting adalah sitokin sendiri, derajat faktor ko-stimulator asal sel dendritik, densitas molekul MHC pada sel dendritik dan faktor genetik penjamu. Dalam respons Th1, IL 12 merupakan produk sel dendritik terpenting. Sel dendritik memproduksi IL-12, IL-18, dan IFN-γ dalam kadar yang tinggi. Pemberian PGE dan IL-10 akan menurunkan produksi IL-2 dan menimbulkan switching (pengalihan jalur respons) ke respon profil Th2. Produksi IL-6 yang berlebihan juga berperan dalam respons Th2 ( Karnen, 2004 ). 2.5 Imunologi Darah 33 Semua sel darah dibentuk dalam sumsum tulang. Proses pembentukan hematopoesis tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian. Setiap bagian melibatkan jenis sel yang berbeda yaitu sel yang pluripoten (stem cell), sel progenitor dan sel matang. Gambar 2.11 Tiga Tahap Hematopoesis ( dikutip dari Karnen Garna Baratawidjaja, Imunologi Kulit ,2004 ). Hematopoetik stem cell adalah pluripoten, berarti dapat berkembang menjadi semua sel darah. HSC tidak mengekspresikan petanda spesifik seperti CD3 pada sel T atau CD19 pada sel B, tetapi mengekspresikan molekul protein CD34. Selama perkembangan embrionik, HSC bermigrasi ke hati dan sumsum tulang dan selanjutnya diinduksi untuk berkembang atas pengaruh faktor pertumbuhan dalam jaringan tersebut (CSF). SIH menjadi sel progenitor yang tidak terlalu primitif dibanding sel HSC dan selanjutnya dapat berkembang menjadi sel yang khusus ( Karnen, 2004). 34 2.5.1. Sel progenitor Ada 2 jenis sel progenitor yang dapat berkembang menjadi sel progenitor limfoid dan myeloid. Sel – sel ini akan menjadi matang dan berdiferensiasi. Fase awal perkembangan prekursor sel T ( timosit ) dipengaruhi IL-7 yang dilepas sel stroma nonlimfoid sumsum tulang yang antara lain berupa makrofag dan adiposit. Perkembangan sel B terjadi dalam sumsum tulang, sedang sel T berkembang dalam timus dari prekursor timosit yang juga berasal dari sumsum tulang. Jalur perkembangan sel NK belum diketahui. 2.5.1.1. Sel progenitor limfoid Sel progenitor limfoid berkembang menjadi sel B dan sel T. Sel B merupakan sel yang memproduksi antibodi, mengekspresikan imunoglobulin seperti reseptor antigen spesifik bersama molekul lainnya seperti MHC-II dan molekul ko-reseptor CD19. Sel T menyerupai sel B yang tidak dirangsang, kecil dengan nukleus besar dan sitoplasma yang sedikit, dapat menjadi limfoblas bila dirangsang antigen banyak dan organel. Sel T berkembang menjadi 2 subset sel yaitu CD4 + Th yang berkembang menjadi sel Th1 dan Th2 dan CD8+ CTL/Tc. Sel T yang juga mengekspresikan reseptor T spesifik yang berperan dalam proteksi spesifik terhadap infeksi virus dan infeksi intraselular lain. Sel NK adalah limfosit yang berasal dari sel induk yang berbeda dari sel B dan sel T merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan beberapa sel tumor. Stimulasi sel Langerhans ( Sel Dendritik ) melalui Toll Like Receptors (TLRs) menginduksi up-regulasi molekul MHC dan molekul ko-stimulatorik dan sekresi beberapa sitokin, termasuk TNF-α, IL-12, IL-6, IL-10 dan type 1 interferon ( Iwasaki et al, 2004 ) . 35 Ada perbedaan ekspresi TLRs pada pDC, mDC darah dan mdDC ( Kurg et al, 2001, Kadowaki et al,2001, Jarrossay, 2001 ) . pDC mengekspresikan TLR-1, -7 dan -9, mDC darah mengekspresikan TLR-1, -2, -3, -5, -6, -8 dan -10, dan mdDC mengekspresikan TLR-1, -2, -3, -4, -5, -6 dan -8. Baru-baru ini dilaporkan persebaran TLR pada DC yang diisolasi langsung dari kulit, tetapi tidak ada informasi serupa mengenai model yang banyak digunakan yakni CD34-derived LC dan derived Dendritic cell ( dDC ) ( Flacher, 2006 ). Oleh karena itu, kita menganalisis ekspres TLR oleh LC dan dDC yang dihasilkan dari CD34 stem cells dan menyelidiki respons maturasional dan respons sitokin terhadap ligand TLR terkait. Kita menunjukkan perbedaan ekspresi TLR antara LC dan dDC yang berkorelasi dengan respons maturasional terhadap beberapa ligand mereka yang asalnya sama (cognate) dan perbedaan menyolok dalam hal profil sitokin yang disekresikan. Kita juga menunjukkan bahwa ada perbedaan antara profil TLR yang dilaporkan untuk DC dan LC yang langsung diisolasi dari kulit, dan dDC yang dihasilkan secara in vitro ( Flatcher, 2006 ). 2.5.1.2. Sel progenitor mieloid Sel darah utama yang lain adalah granulosit dan monosit atau makrofag. Sel tersebut berasal dari progenitor mieloid yang sama dari eritrosit dan trombosit. Berbagai diferensiasi terjadi atas pengaruh berbagai faktor pertumbuhan. Molekul CSF : granulosit Sumber selular utama Monosit,makrofag, fibroblas, Aktifitas biologik utama Merangsang pembentukan neutrofil sel endotel CSF : granulosit- Sel T, monosit, makrofag, Merangsang proliferasi dan diferensiasi 36 makrofag fibroblas, sel endotel progenitor mieloid CSF : monosit – Monosit, makrofag, fibroblas, Merangsang proliferasi dan diferensiasi makrofag sel endotel monosit dan makrofag IL-3 Sel T Merangsang sel hematopoietik multipel IL-4 Sel T,NK, Basofil, sel mast Merangsang proliferasi sel B IL-5 Sel T Merangsang diferensiasi eosinofil IL-7 Sel Stroma di sumsum tulang Merangsang proliferasi dan diferensiasi progenitor sel T Tabel 2.5 Colony Stimulating Factor dan sitokin penting pada hematopoiesis 2.6 Cross-presenting Antigen dari Sel Langerhans Sel Dendritik secara efisien meng-cross-present antigen eksogen pada molekul MHC-class I ke sel T CD8 +. Tetapi, masih sedikit hal yang diketahui tentang cross-presentation oleh Langerhans cells (LC), yakni Sel Dendritik pada epidermis. Antigen yang diekspresikan dari epidermis diambil oleh LC selama migrasi dari epidermis dan dipresentasikan ke sel T spesifik antigen secara in vitro. Cross-presentation merupakan mekanisme penting dalam menimbulkan imunitas terhadap virus dan tumor maupun juga dalam menginduksi toleransi terhadap self-antigen ( Pan et al, 2007 ). Sel dendritik meng-cross-present antigen eksogen terlarut pada sel golongan I MHC ke sel T CD8 + spesifik antigen. Antigen yang berasosiasi dengan sel, seperti sel yang terinfeksi virus, sel tumor yang ditransfeksi, sel berselubung protein, dan sel yang hampir mati dapat diambil dan di-cross-present oleh sel dendritik ke sel T CD8 +. Banyak patogen memasuki tubuh melalui kulit. Tetapi, sedikit hal yang diketahui mengenai kemampuan sel Langerhans dalam menangkap dan memproses antigen eksogen pada kulit utuh dan mempresentasikannya pada sel 37 MHC-class I ke sel T CD8 +. Dua laporan terbaru menunjukkan bahwa imunisasi epikutan dengan suatu MHC-class I restricted peptide atau dengan protein ovalbumin ke kulit yang dikelupas dengan plester menginduksi aktivitas sitotoksis sel T pada lymph nodes kering yang dapat semakin ditingkatkan melalui pemberian toksin kolera secara bersamaan ( McGargill, 2003 ). Penelitian lain melaporkan bahwa respons ini dapat juga ditingkatkan dengan Toll-like receptor ligands, seperti misalnya oligonukleotid dan imiquimod. Jadi, imunisasi epikutan membangkitkan respons sel T pada lymp nodes pengering, tetapi inflamasi pada kulit diperlukan untuk mengoptimalkan respons. Tetapi, peran pasti dari sel langerhans masih belum jelas. 2.7 Medium dan Kultur 2.7.1 Medium Medium kultur merupakan komponen paling penting pada lingkungan kultur, karena ia menyediakan nutrien yang diperlukan, growth factors, dan hormon untuk growth faktor, maupun juga meregulasi pH dan tekanan osmosis pada kultur. Meski eksperimen kultur sel awal dilaksanakan dengan menggunakan medium alami yang diperoleh dari ekstrak jaringan dan cairan tubuh, kebutuhan akan standarisasi, kualitas media, dan peningkatan kebutuhan mendorong pengembangan media dengan definisi lebih tinggi. Tiga golongan dasar media adalah basal media, reduced-serum media, dan serum-free media, yang yang berbeda kebutuhannya akan suplementasi dengan serum. 1. Serum Serum sangat penting sebagai sumber growth factor dan adhesion factor, hormon, lipida dan mineral untuk kultur sel dalam basal media. Selain itu, serum 38 juga meregulasi permeabilitas membran sel dan berfungsi sebagai pembawa lipida, enzim, mikro-nutrien, dan trace element ke sel. Tetapi, Penggunaan serum dalam medium memiliki beberapa kelemahan yang meliputi biaya tinggi, masalah standarisasi, spesifisitas, variabilitas, dan efek yang tak diinginkan seperti stimulasi atau inhibisi fungsi pertumbuhan dan/atau fungsi selular pada kultur sel tertentu. Jika serum tidak diperoleh dari sumber terpercaya, maka kontaminasi juga menciptakan ancaman serius terhadap kesuksesan eksperimen kultur sel. Untuk menanggulangi ancaman ini, semua produk Invitrogen dan GIBCO, termasuk serum, diuji untuk mengetahui ada-tidaknya kontaminasi dan dijamin kualitas, keamanan, konsistensi, dan kepatuhannya pada regulasi. Eagle's minimal essential medium (EMEM) adalah medium kultur yang digunakan untuk mempertahankan sel pada kultur jaringan. Terdiri dari : asam amino, elektrolit (CaCl, KCl, Magnesium sulfat, NaCl dan Monosodium Phosphat), glukosa, vitamin (asam folat, nicotinamid, riboflavin, B12). Salah satu variasi dari EMEM yaitu Dulbecco/Vogt Modified Eagle’s Minimal Essential Medium (DMEM), yang berisi 4 bahan yang sama seperti EMEM, tetapi ditambah dengan Iron dan Phenol red yang sangat banyak dipakai pada sel manusia, monyet, hamster, tikus, ayam, dan ikan ( Pombinho, 2004 ). 2. Basal media Mayoritas cell line tumbuh dengan baik dalam basal media, yang mengandung asam amino, vitamin, garam anorganik, dan sumber karbon seperti glukosa, namun fiormulasi basal media ini harus disuplementasi dengan serum. 3. Reduced-serum media 39 Strategi lain untuk mereduksi efek tak diinginkan dari serum pada eksperimen kultur sel adalah dengan menggunakan reduced-serum media. Reduced-serum media merupakan formulasi basal media yang diperkaya dengan nutrien dan animal-derived factors, yang mereduksi jumlah serum yang dibutuhkan. 4. Serum-free media Serum-free media (SFM) menghindari masalah-masalah yang terkait dengan penggunaan serum hewan dengan mengganti serum dengan formulasi nutrisi dan hormon yang tepat. Formulasi SFM ada untuk banyak kultur primer dan cell line, termasuk protein rekombinan yang memproduksi jenis Chinese Hamster Ovary (CHO), berbagai cell line hibridoma, jenis insekta Sf9 dan Sf21 (Spodoptera frugiperda), dan untuk cell line yang bertindak selaku inang untuk produk virus , dan lain-lain. Salah satu kelebihan utama dari penggunaan SFM adalah kemampuannya dalam membuat medium menjadi selektif untuk jenis sel spesifik dengan memilih kombinasi growth factor yang tepat. Tabel 2.6 Kekurangan dan Kelebihan Medium Serum Free Media. Kelebihan Kelemahan Definisi tinggi Kebutuhan akan formulasi media spesifik-tipe Kinerja lebih konsisten Kebutuhan akan taraf kemurnian reagent yang lebih tinggi Pertumbuhan lebih lambat Purifikasi dan pemrosesan hilir lebih mudah Presisi evaluasi fungsi selular Produktivitas tinggi Kontrol lebih baik terhadap respons fisiologis Peningkatan deteksi mediator selular 40 2.7.2 Kultur Sel Kultur sel adalah proses kompleks dimana sel dipelihara dalam kondisi terkontrol. Dalam praktiknya, istilah ‘kultur sel’ mengacu pada pembiakan sel yang berasal dari eukaryot multiselular, terutama sel hewan. Sejarah perkembangan dan metode kultur sel terkait erat dengan sejarah perkembangan dan metode kultur jaringan dan kultur organ. Kultur sel ( cell line ) juga dapat berarti suatu koloni sel yang telah mapan, sehingga mampu melakukan proliferasi tanpa batas waktu. Koloni sel tersebut dapat bermutasi menjadi koloni dengan kultur berbeda, atau merupakan sub-kultur hasil mutasi dari kultur sel sebelumnya ( Schiff, 2002 ). Fisiolog Inggris abad ke-19 Sidney Ringer mengembangkan larutan garam yang mengandung klorida sodium, potassium, kalsium dan magnesium yang cocok untuk mempertahankan detak jantung hewan isolasi diluar tubuh . Beberapa konsep kultur sel mamalia adalah sbb: 1. Isolasi sel Isolasi sel yang dimaksud yaitu dimana sel dapat diisolasi dari jaringan untuk kultur secara ex vivo dengan beberapa cara. Sel dapat dimurnikan dengan mudah dari darah, tetapi hanya sel darah putih saja yang mampu tumbuh dalam kultur. Sel mononukleus dapat dibebaskan dari jaringan lunak melalui penguraian enzimatik menggunakan enzim seperti collagenase, trypsin, atau pronase, yang menguraikan matriks ekstraselular. Atau, potongan jaringan dapat dimasukkan dalam medium pertumbuhan, dan sel yang tumbuh bisa dikulturkan. Metode ini dikenal sebagai explant culture. 41 Sel yang dikulturkan langsung dari subjek dikenal sebagai sel primer. Kecuali beberapa sel yang berasal dari tumor, sebagian besar sel primer mempunyai rentang hidup terbatas. Sesudah sejumlah penggandaan populasi, sel mengalami proses penuaan dan berhenti membelah, meski secara umum mempertahankan viabilitasnya. Cell line yang mapan atau awet (immortalized) memperoleh kemampuan untuk berproliferasi untuk jangka waktu tak terbatas melalui mutasi acak atau modifikasi terencana, misalnya ekspresi artifisial pada gen telomerase. Ada banyak cell line mapan yang merepresentasikan tipe sel tertentu. 2. Memelihara sel dalam kultur Sel dibiakkan dan dipelihara pada suhu dan campuran gas yang tepat (biasanya, 37°C, CO2 5% untuk sel mamalia) dalam inkubator sel. Kondisi kultur sangat bervariasi untuk tiap jenis sel, dan variasi kondisi untuk suatu jenis sel tertentu dapat menyebabkan ekspresi fenotip berbeda. Terlepas dari suhu dan campuran gas, faktor yang paling bervariasi adalah medium pertumbuhan. Resep untuk medium pertumbuhan dapat bervariasi pH, konsentrasi glukosa, growth factor, dan adanya nutrien lain. Sel dapat dibiakkan dalam kultur suspensi atau adherent culture (kultur menempel). Beberapa sel hidup alami dalam suspensi, tanpa menempel ke permukaan, seperti sel yang ada pada aliran darah. Juga ada cell line yang dimodifikasi untuk mampu bertahan hidup dalam kultur suspensi sehingga mereka dapat dibiakkan hingga densitas lebih tinggi dibanding yang dimungkinkan dengan kondisi menempel. Sel penempel memerlukan permukaan, seperti plastik kultur jaringan atau microcarrier, yang bisa lapisi dengan 42 komponen matriks ekstraselular untuk meningkatkan sifat adesi dan memberikan sinyal lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan diferensiasi. Sebagian besar sel yang berasal dari jaringan padat bersifat menempel (adherent). Tipe kultur menempel lainnya adalah kultur organotipik yang meliputi membiakkan sel dalam lingkungan tiga dimensi bukan cawan kultur dua dimensi. Sistem kultur 3 dimensi ini secara biokimia dan fisiologis lebih mirip dengan jaringan in vivo, namun sulit secara teknis dipelihara karena banyak faktor (contohnya, difusi). 3. Kontaminasi-silang cell line Kontaminasi silang cell line dapat menjadi masalah bagi ilmuwan yang bekerja dengan sel biakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 15-20% dari waktu, sel yang digunakan dalam percobaan diidentifikasikan secara salah atau terkontaminasi cell line lain. Masalah kontaminasi cell line terdeteksi dari panel NCI-60, yang rutin digunakan untuk penelitian skreening obat (Chatterjee, 2007). Kontaminasi tersebut menciptakan masalah menyangkut kualitas penelitian yang dihasilkan dengan menggunakan kultur cell line, dan beberapa bank utama cell line kini tengah memeriksa otentisitas semua kiriman cell line (Masters, 2002). Untuk menanggulangi masalah kontaminasi silang cell line ini, para peneliti dianjurkan untuk memeriksa otentisitas cell line mereka pada passage (proses perbanyakan sel dalam medium kultur ) awal untuk menentukan identitas cell line. Pemeriksaan otentisitas harus diulang sebelum membekukan stok cell line, setiap dua bulan selama pengkultur aktif dan sebelum publikasi data penelitian yang dihasilkan dengan menggunakan cell line. Ada banyak metode untuk mengidentifikasi cell line yang meliputi isoenzyme analysis, human 43 lymphocyte antigen (HLA) typing dan STR analysis (Dunham, 2008). Satu kontaminan silang cell line yang penting adalah cell line HeLa. 4. Manipulasi sel biakan Karena sel pada umumnya membelah dalam kultur, mereka biasanya berkembang memenuhi area atau volume yang tersedia. Ini dapat menimbulkan beberapa masalah: a. Pengosongan nutrien pada medium pertumbuhan b. Akumulasi sel apoptotik/nekrotik c. Kontak antar sel dapat menstimulasi penghentian siklus sel, menyebabkan sel berhenti membelah yang dikenal sebagai inhibisi kontak atau senescence. d. Kontak antar sel dapat menstimulasi diferensiasi selular. Diantara manipulasi umum yang dilakukan pada sel kultur adalah penggantian medium, perbanyakan sel, dan transfeksi sel. Manipulasi ini pada umumnya dilakukan dengan menggunakan metode kultur jaringan yang mengandalkan teknik steril. Teknik steril bertujuan untuk menghindari kontaminasi oleh bakteri, ragi, atau cell line lain. Manipulasi biasanya dilaksanakan dalam laminar flow cabinet untuk mencegah adanya mikroorganisme kontaminan. Antibiotik (contohnya, penicillin dan streptomycin) dan obat anti-jamur (contohnya, Amphotericin B) dapat juga ditambahkan pada medium pertumbuhan. Ketika sel mengalami proses metabolik, asam dihasilkan dan pH mengalami penurunan. Indikator pH sering ditambahkan pada medium untuk mengukur pengosongan nutrien. a. Penggantian medium 44 Pada kultur menempel, medium dapat dibuang langsung melalui aspirasi dan ditempatkan kembali. b. Perbanyakan sel Passaging (juga dikenal sebagai sub-kultur atau pembelahan sel) meliputi memindahkan sejumlah kecil sel ke bejana baru. Sel dapat dikulturkan selama waktu lebih panjang jika mereka membelah secara teratur, karena sel menghindari senescence akibat densitas sel yang tinggi selama waktu yang panjang. Kultur suspensi mudah di-passage dengan sedikit kultur yang mengandung sedikit sel yang diencerkan dalam medium baru bervolume lebih besar. Untuk kultur menempel, sel mula-mula harus dilepaskan; ini biasanya dilakukan dengan campuran trypsin-EDTA, tetapi kini ada enzim lain yang bisa dipakai untuk kepentingan ini. Sedikit sel yang sudah dilepaskan selanjutnya dapat ditebar pada kultur baru. c. Transfeksi dan Transduksi Metode umum lainnya untuk memanipulasi sel meliputi memasukkan DNA asing melalui transfeksi. Ini sering dilakukan untuk menyebabkan sel mengekspresikan protein yang dimaksud. DNA dapat juga dimasukkan ke sel dengan menggunakan virus, pada metode yang disebut dengan transduksi, infeksi atau transformasi. Virus, atau agen parasit, sangat cocok untuk memasukkan DNA ke sel, karena ini merupakan bagian dari perjalanan normal reproduksi mereka. d. Cell line mapan pada manusia Cell line yang berasal dari manusia menimbulkan kontroversi dalam bidang bioetika, karena mereka bisa hidup lebih lama dibanding organisme induk 45 mereka dan kemudian digunakan untuk menemukan obat medis yang menguntungkan. Dalam putusan yang merintis bidang ini, Mahkamah Agung California menyatakan dalam kasus Moore v. Regents of the University of California bahwa pasien manusia tidak mempunyai hak milik atas cell line yang berasal dari organ yang diambil atas persetujuan mereka ( Dunham, 2008 ). e. Terjadinya Hibridoma Sel normal dan cell line yang diawetkan bisa difusikan. Metode ini digunakan untuk memproduksi antibodi monoklonal. Ringkasnya, limfosit yang diisolasi dari limpa (atau mungkin darah) hewan yang telah diimunisasi dikombinasikan dengan cell line mieloma awetan (B cell lineage) untuk menghasilkan hibridoma yang mempunyai spesifisitas terhadap antibodi sebagaimana pada limposit primer dan keawetan sebagaimana pada mieloma. Medium pertumbuhan selektif digunakan untuk menyeleksi sel mieloma yang tidak berfusi; limposit primer cepat mati dalam kultur dan hanya sel yang berfusi saja yang bertahan hidup. Ini di-skreening untuk mengetahui produksi antibodi yang diperlukan, yang pada umumnya berada dalam kumpulan (pool) awal dan kemudian sesudah kloning tunggal. 2.8 Faktor penumbuh (Growth Factors) Faktor pertumbuhan ( Growth factors ) adalah zat alami yang mampu merangsang pertumbuhan selular, proliferasi dan diferensiasi selular. Umumnya adalah protein atau hormon steroid. Faktor pertumbuhan penting untuk mengatur ragam proses seluler dan bertindak sebagai pensinyalan molekul antara sel. Contoh adalah sitokin dan hormon yang mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel target mereka. Sistem kerjanya memromosikan diferensiasi sel dan pematangan. Sebagai 46 contoh, Bone Morphogenic Protein ( BMP ) merangsang diferensiasi sel tulang, sementara fibroblast growth factors dan GF endotel vaskular ( VEGF ) merangsang diferensiasi pembuluh darah /angiogenesis ( Thomas, 2007 ). Perbedaan Growth Factors dan sitokin adalah sitokin yang terkait dengan hematopoietic stem cell dan sistem kekebalan tubuh (misalnya, limfosit dan sel-sel jaringan dari limpa, Timus, dan getah bening). Sistem peredaran darah dan sumsum tulang di mana sel dapat terjadi dalam cairan suspensi dan tidak terikat pada jaringan padat, memungkinkan bagi mereka untuk berkomunikasi dengan molekul protein yang bersifat soluble. Sementara faktor pertumbuhan ( Growth factors ) menyiratkan efek positif pada pembelahan sel, sitokin adalah istilah netral terhadap sebuah molekul yang mempengaruhi proliferasi. Sementara beberapa sitokin dapat menjadi faktor-faktor pertumbuhan, seperti G-CSF dan GM-CSF. 2.8.1 Transforming Growth Factors ( TGF-β ) Transforming growth factor beta (TGF-β) merupakan protein yang mengontrol proliferasi, diferensiasi sel, dan fungsi lainnya pada sel lain. Perannya penting pada imunitas, kanker, penyakit jantung, diabetes, dan Sindroma Marfan. TGF-β mensekresi protein yang terdiri dari 5 isoform yang dikenal sebagai TGF-β1, TGFβ2 and TGF-β3. Selain nama originalnya yaitu TGF-β1, dimana menjadi penemu awal bagi familinya. Sehingga bagian dari superfamili TGF-β ini dikenal transforming growth factor beta superfamily, dimana termasuk didalamnya inhibins, activin, anti-müllerian hormone, bone morphogenetic protein, decapentaplegic (dpp) and Vg-1. Mekanisme utamanya terlibat dalam proses sel organisme dewasa dan embrio yang berkembang termasuk didalamnya adalah pertumbuhan sel, diferensiasi sel, apoptosis, homeostasis selular dan fungsi selular lain, terlepas dari berbagai proses 47 seluler TGF-β menandakan jalur mengatur, proses relatif sederhana. Superfamili TGF-β ligan mengikat untuk jenis reseptor II, yang direkrut dan memfosforilasi jenis reseptor tipe I. Reseptor type I ini kemudian memfosforilasi reseptor SMADs (RSMADs) yang sekarang dapat mengikat coSMAD /SMAD4. R-SMAD/coSMAD kompleks terakumulasi di inti di mana mereka bertindak sebagai faktor transkripsi dan berpartisipasi dalam regulasi target ekspresi gen . Gambar 2.12 Regulasi Jalur TGF-β (dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/TGF_beta_signaling_pathway) 2.8.2 Activin A Activin A, anggota sitokin transformasi faktor pertumbuhan-beta Superfamili (TGFβ), dinyatakan secara lokal oleh komponen mesenkimal lingkungan mikro-hemopoietik. Ekspresi diatur pada tingkat mRNA oleh sitokin berbeda, dan aktivitas biologis protein yang dikontrol ketat oleh beberapa penghambatan molekul. Activin A mempengaruhi sel hemopoietic dari berbagai garis keturunan, sebagaimana dibuktikan oleh in vitro studi leukemia dan limfoma sel baris, yang digunakan untuk menjelaskan mekanisme tindakan. Dalam garis keturunan sel B, Activin A adalah inhibitor siklus sel, mediator apoptosis, dan 48 sitokin antagonis. Informasi terbatas tersedia pada efek Activin A pada sel hematopoetik normal ( Shav-Tal, 2002 ). Activin A merupakan famili dari TGF-β yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi termasuk IL-12 dan berpengaruh dalam proses morfogenesis kulit dan penyembuhan luka, menginduksi diferensiasi dari monosit manusia menjadi Langerhans cell ( Jones , 2004 ).