BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aging ( Penuaan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aging ( Penuaan )
Menurut Constantinindes, proses penurunan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri / mengganti diri,
mempertahankan struktur dan fungsi normal
secara perlahan, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita disebut penuaan ( Darmojo, 2009).
Penuaan adalah merupakan suatu proses yang menyebabkan atresi dan
perburukan selular seiring usia yang pada akhirnya berakhir pada penurunan
viabilitas dan kematian, dipengaruhi baik oleh suatu program genetik mau pun juga
oleh peristiwa lingkungan dan endogen kumulatif yang berlangsung di sepanjang
rentang usia organisme. Proses penuaan perlu dipahami, sebagian karena proporsi
individu berumur 55 tahun ke atas terus meningkat, diprediksikan sebesar 31% di
Amerika Serikat pada tahun 2030 ( Yaar, 2003 ), dengan pergeseran demografi
serupa diprediksikan untuk Eropa dan Jepang. Persentase orang berusia 60 tahun ke
atas akan meningkat dua atau tiga kali lipat pada 2050.
Ketika harapan hidup meningkat, yang memaksa individu tua untuk menunda
pensiun mereka dan/atau merencanakan pensiun panjang, kaum manula mencari modalitas
intervensi untuk memperbaiki penampilan mereka dan mengembalikan tanda penuaan.
Oleh karena itu, jumlah kunjungan ke dokter estetik, dokter kulit dan dokter bedah plastik
diperkirakan meningkat pesat di masa mendatang. Untuk menangani penyakit kulit pada
manula secara efektif dan untuk menggunakan modalitas intrevensi yang tepat untuk
membalikkan penuaan kulit, penting bagi kita untuk mengerti dengan perubahan
klinis dan histologis yang menyertai penuaan kulit.
2.1.1. Penuaan Kulit Kronologis
6
2
Penuaan kulit kronologis meliputi perubahan kulit yang terjadi sebagai
akibat dari perjalanan waktu saja. Perubahan ini sebagian terjadi sebagai akibat
dari kerusakan endogen kumulatif karena pembentukan terus-menerus reactive
oxidative species (ROS) yang diproduksi selama metabolisme oksidatif selular.
Meski terdapat sistem pertahanan anti-oksidan selular yang rumit, ROS yang
diproduksi tersebut merusak beberapa unsur selular yang meliputi membran,
enzim dan DNA, dan juga mengganggu interaksi DNA dan protein dan protein vs
protein.
Telomere, bagian ujung dari kromosom eukaryote, terlibat dalam
perubahan terjadi sebagai akibat dari penuaan kronologis. Pada tiap pembelahan
sel, panjang telomere manusia memendek. Bahkan pada fibroblast kulit yang
relatif tak aktif, lebih dari 30% panjang telomere hilang selama masa dewasa.
Telomere yang terlalu pendek menyinalkan penghentian (arrest) siklus sel atau
apoptosis, bergantung pada jenis sel, yang turut andil dalam menyebabkan
penipisan selular seiring penuaan ( Pangkahila, 2007 ).
Hal yang sama dengan penuaan pada sistem lain, penuaan kulit
kronologis dipengaruhi oleh modifikasi beberapa growth factor dan hormon yang
menurun seiring usia. Penurunan yang terdokumentasi dengan baik adalah
penurunan steroid seks seperti estrogen, testosterone, dehydroepiandosterone
(DHEA) dan sulfate ester (DHEAs) ( Wespes E, 2002 ). Beberapa hormon lain
yang meliputi melatonin, cortisol, thyroxine, hormon pertumbuhan dan insulinlike growth factor I juga turun. Bentuk aktif Vitamin D, yakni 1,25dihydroxyvitamin D3, suatu molekul yang mempengaruhi berbagai jaringan yang
meliputi kulit dengan cara yang berbeda dari efek terhadap homeostasis kalsium ,
turun seiring usia ( Arlt , 2004 ). Disamping penurunan kadar dari tiap unsurnya,
3
kadar induksi dari beberapa molekul penghantar sinyal tertentu yang meliputi
sitokin dan kemokin mengalami penurunan seiring usia yang mengakibatkan
beberapa fungsi kulit memburuk ( Swift, 2001 ).
Atresi dan perburukan selular yang menandakan proses penuaan
diakibatkan oleh perubahan molekular baik pada lingkungan selular mau pun
juga pada DNA dan protein didalam sel. Perubahan ini mengakibatkan respons
selular yang menyimpang terhadap perubahan lingkungan, yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan viabilitas dan kematian.
2.1.2 Manifestasi klinis dan histologis penuaan kulit kronologis
Manifestasi klinis dari penuaan kulit kronologis meliputi xerosis, kendor,
keriput, lamban
dan munculnya seborrheic keratosis dan cherry angioma. Relatif
sedikit terjadi perubahan ketebalan di epidermis, bentuk keratinosit dan kohesi
korneosit, dan terjadi banyak kehilangan melanosit dan sel Langerhans.
Perubahan
kulit yang besar pada penuaan kulit kronologis terlihat pada dermoepidermal junction
yang memperlihatkan perataan rete ridges yang menyebabkan reduksi kontak antara
epidermis dan dermis menyebabkan reduksi pertukaran nutrien dan metabolit diantara
kedua kompartemen ini.
Epidermis
Perataan
dermoepidermal
junction
Perubahan ketebalan
Dermis
Athropy ( kurangnya volume
Jaringan Lain
Depigmentasi rambut
dermis )
Perubahan jaringan penunjang
Rambut rontok
4
Bentuk dan ukuran sel yang
kulit
Fibroblast yang berkurang
bervariasi
Terdapat atipik nuclear
Melanosit berkurang
Sel Langerhans berkurang
Mast cell berkurang
Sel Darah berkurang
Pemendekan loop kapiler
Konversi dari rambut terminal
menjadi vellus
Nailplates abnormal
Kelenjar berkurang
Pembuluh saraf abnormal
Tabel 2.1 Manifestasi histologis dari penuaan kulit kronologis. (Yaar M, 2006 )
.
Dermis tampak hiposelular dengan lebih sedikit fibroblast dan mast cells dan
hilangnya volume dermis. Penelitian dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa
serabut kolagen menjadi longgar dan terjadi peningkatan moderat dan penebalan
serabut elastis dengan resorpsi sebagian besar serabut sub-epidermis. Selain itu,
terjadi penurunan jumlah pembuluh darah dermis, pemendekan capillary loop, dan
penurunan densitas Pacinian corpuscles dan Meissner’s corspuscles, yakni organujung kulit yang bertanggung jawab terhadap persepsi tekanan dan sentuhan ringan.
Kehilangan inervasi sensorik dan otonom yang melibatkan epidermis maupun dermis
( Ulfhak, 2002 ).
Modifikasi appendage kulit meliputi rontok rambut yang mencerminkan konversi
rambut utama menjadi rambut vellus ( Yaar, 2003 ). Juga terjadi pengubanan rambut
sebagai akibat hilangnya melanosit dari akar rambut dan penyimpangan fungsi
melanosit yang meliputi penurunan aktivitas tyrosinase, penurunan dan kurang
efisiennya transfer melanosom dan rusaknya migrasi dan/atau proliferasi melanosit
dari area penyimpanan ke area yang berdekatan dengan dermal papilla.
1. Keriput ( Wrinkle )
Faktor intrinsik yang mempengaruhi struktur wajah dan turut menyebabkan
5
pembentukan keriput muka meliputi perubahan otot ekspresi, hilangnya lemak
subkutan, gaya gravitasi persisten dan hilangnya tulang dan cartilago muka. Garis
ekspresi terjadi sebagai akibat dari traksi berulang yang dikerahkan oleh otot muka
yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan lipatan yang dalam pada dahi dan
diantara alis mata, sekitar lekuk mata (periorbital) dan pada lipatan nasolabial.
Gambar 2.1 Keriput karena Ekspresi. Pengulangan gerakan
pada otot wajah menghasilkan terjadi garis tegas pada dahi (A)
dan diantara alis mata ( B ).
Secara histologis, untai jaringan konektif tebal hipodermis yang mengandung sel
otot terdapat dibawah keriput. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa seiring penuaan,
terjadi perubahan pada struktur musculoaponeurosis yang mengakibatkan peningkatan
kelemasan dan menyebabkan pembesaran keriput ekspresi tertentu seperti keriput
pada lipatan nasolabial. Seperti otot yang ditandai dengan striae, otot muka juga
menunjukkan akumulasi “pigmen umur” yakni lipofuscin, suatu petanda kerusakan
selular, dan pemburukan otot seiring umur yang diperburuk oleh berkurangnya
kontrol neuromuskular ini ikut menyebabkan pembentukan keriput ( Dayan, 1988 ).
Gaya gravitasi yang terus bekerja terhadap tubuh mempengaruh kulit yang
mempengaruhi distribusi jaringan lunak muka sehingga menyebabkan pengenduran
kulit. Ketika kulit menjadi semakin kendur seiring usia dan penopang jaringan lunak
berkurang, gaya gravitasi juga menjadi faktor penting. Gravitasi mengerahkan gaya
mekanik yang menarik kulit muka sehingga mengakibatkan pembentukan kulit yang
kendur dan lentur.
6
Gambar 2.2 Keriput karena Gravitasi ( Mina Yaar,2002 )
Seiring penuaan, lemak memang menyusut dari area muka tertentu yang
meliputi dahi, daerah preorbital, buccal, temporal dan perioral. Sebaliknya, terjadi
peningkatan bagian besar jaringan lemak secara menyolok pada area lain yang
meliputi daerah submental, pipi bawah, dan lipatan nasolabial dan area lateral pipi.
Berbeda dari tampilan muka muda yang lemaknya tersebar secara dffuse, pada kulit
muka yang menua lemak cenderung terakumulasi dalam kantong wajah, dan
kemudian ketika kelebihan lemak ini terkena gaya gravitasi, maka kulit menjadi
kendor dan melorot ( Donofrio, 2000 ).
Tulang muka memperlihatkan penurunan massa seiring usia, resorpsi tulang
sangat mempengaruhi rahang bawah, rahang atas dan tulang frontal. Hilangnya tulang
pada area ini membuat kulit muka semakin kendor dan turut menyebabkan hilangnya
batas antara kontur rahang dan leher yang begitu jelas pada individu dewasa muda
( Yaar M, 2003 ).
Kulit individu tua juga memperlihatkan sederetan garis permukaan halus yang
hilang secara khas ketika kulit diregangkan. Secara histologis, epidermis terlihat
atrofik sebagai akibat dari penurunan laju pergantian epidermis. Terjadi resorpsi
jaringan
serabut
elastis
pada
area
sub-epidermis,
dan
dermis
retikulum
memperlihatkan ‘bundel’ kolagen atrofik. Pada dermis, fibroblast yang tersisa
terlihat berkerut ( Yaar, 2003 ).
7
2.
Neoplasma jinak terkait usia
a.
Seborheic Keratosis : Neoplasma epitel jinak yang mulanya monoklonal,
terlihat sebagai makula hiperpigmen rata dan berlanjut menjadi plak verruca
hiperkeratotik yang sangat bervariasi ukuran dan warnanya. Seborrheic
keratosis muncul pertama kalinya pada dekade usia keempat hingga kelima
dan menjadi semakin banyak sepanjang hidup, terlepas dari paparan sinar
matahari. Dianggap sebagai biomarker terbaik untuk penuaan kulit intrinsik.
Direpresentasikan
hilangnya
homeostasis
secara
fokal,
dengan
mengakibatkan proliferasi keratinosit dan melanosit secara berlebihan, meski
patogenesisnya belum diketahui. Keratinosit bermorfologi masaloid pada
seborrheic keratosis baru-baru ini dilaporkan mengekspresikan endothelin-1
(ET-1) dengan kadar tinggi, yang dikaitkan dengan peningkatan ekspresi
tyrosinase pada melanosit, dibanding kulit perilesional kontrol. Menunjukkan
bahwa melanogenesis yang diinduksi ET-1, dendrisitas, dan proliferasi
melanosit bisa berperan dalam evolusi neoplasma ini.
b. Cherry Angioma adalah malformasi vaskular kecil berwarna merah hingga
ungu yang terdiri dari kapiler vena dan venula post-kapiler yang terdapat pada
papila dermis dan terhubung satu sama lain dan terhubung dengan bagian venula
dari plexus vascular superficial
2.1.3 Photoaging : Penuaan kulit biologis
Photoaging meliputi perubahan kulit yang diakibatkan oleh paparan sinar
matahari kronik diatas lapisan penuaan kulit kronologis. Photoaging dihasilkan dari
kerusakan kumulatif dari radiasi sinar UV yang menyebabkan kelainan kulit yang
parah. Radiasi ini dibagi menjadi UVA (320-400 nm), UVB (280-320 nm) dan
8
UVC (100-280 nm). Bagian UVC dari spektrum tersebut tidak terdapat pada
sinar mahatari di bumi, kecuali pada garis bujur tinggi, karena bagian UVC
tersebut diserap oleh lapisan ozon atmosfer melalui absorpsi sinar UVA dan UVB
oleh kromofor seluler seperti urocanic acid, riboflavin dan precursor melanin yang
bekerja sebagai fotosensitizer berperan utama untuk produksi
reactive oksigen
species (ROS) dan radikal bebas.
Penelitian oleh Lavker et al. menunjukkan bahwa radiasi UVA, jika
diberikan terus-menerus, dapat menginduksi perubahan yang sama dengan
yang diinduksi oleh UVB, termasuk hiperplasia dermis, penebalan stratum
corneum, penipisan sel langerhans, inflamasi dermis dan akumulasi lisozim
diatas
serabut
dermis.
Kulit yang mengalami photoaging secara klinis
menunjukkan karakteristik kasar, kerutan halus dan kasar, hiperpigmentasi yang tidak
merata dapat berupa lentigen atau bercak (freckles), kelemahan, bengkak, dan
teleangiektasis (Rigel , 2004).
Iradiasi UVB utamanya mengenai epidermis. Ini diserap langsung oleh DNA
selular, mengakibatkan pembentukan lesi DNA, utamanya dimer cyclobutane dan
photoproduct pyrimidine (6-4) pyrimidone. Meski mempunyai sistem perbaikan
kerusakan nuclear DNA, kerusakan DNA jarang diperbaiki secara menyeluruh. Jika
sel terus menyimpan banyak DNA rusak, maka mereka mengalami apoptosis, suatu
proses yang utamanya diperantarai oleh protein tumor suppressor p53 ( Kulms,
2000) . P53 juga ikut serta dalam perbaikan kerusakan DNA dan dalam penghentian
siklus sel transien sesudah kerusakan DNA. Sel yang tidak mengalami apoptosis dan
yang kerusakannya tidak diperbaiki secara menyeluruh akan beresiko mutasi dan
pada akhirnya menjadi kanker. Ini sangat penting mengingat beberapa penelitian
epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 90% squamous cell carcinoma
9
pada epidermis dan lebih dari 50% basal cell carcinoma (BCC) memperlihatkan
mutasi terinduksi UV yang menonaktifkan actinic keratosis . Selanjutnya, mutasi
p53 terdapat pada premalignant actinic keratosis , menunjukkan bahwa mutasi p53
terjadi secara dini, meningkatkan risiko transformasi ganas pada sel yang terserang.
Terlepas dari efek langsungnya terhadap DNA epidermis, beberapa penelitian
pada sistem mencit menunjukkan bahwa iradiasi UVB mempengaruhi respons
imun kulit dan sistemik yang menyebabkan presentasi antigen defektif dan
pembentukan suppressor T-cells, sehingga memungkinkan penyebaran sel kanker
yang akan ditolak ( Kulms, 2000).
Dalam hal ini, UVB dengan menginduksi
peroksidasi lipid menstimulasi migrasi keluar sel respons imun dari epidermis dan
dengan
demikian
turut
menyebabkan
imunospuresi.
Iradiasi
UVB
juga
menginduksi sekresi sitokin epidermis, dan bukti menunjukkan bahwa, diantara
sitokin yang terinduksi, tumor necrosis factor- α dan interleukin-10 berperan
penting dalam imunosupresi terinduksi UVB ( Granstein , 2003 ).
Terkait dengan mekanisme yang memperantarai perubahan kulit normal yang
mengalami photodamage, iradiasi UV mengaktifkan reseptor permukaan sel. Ini
menyebabkan penyebaran sinyal intraselular dan sintesis transcription factors, yakni
protein nukleus yang berikatan dengan DNA untuk memacu atau menghambat
transkripsi gen. Satu transcription factors yang diinduksi dengan cepat dan
menyolok oleh iradiasi UV adalah AP-1. AP-1 mengganggu transkripsi gen kolagen
pada fibroblast, menurunkan kadar prokolagen utama yakni prokolagen I dan III.
Selain itu, AP-1 menstimulasi transkripsi gen yang mengkodekan enzim pengurai
matriks seperti metalloproteinase ( Kosmadaki, 2004 ).
2.1.4 Manifestasi klinis dan histologis photoaging kulit
10
Karena area kulit yang terpapar sinar matahari juga adalah area yang dapat
dilihat jelas, persepsi atas umur seseorang utamanya dipengaruhi oleh banyaknya
photodamage kulitnya. Respons terhadap kerusakan yang diinduksi UV tampaknya
bergantung pada tipe kulit individu. Individu dengan tipe kulit III-V menunjukkan
respons hiperplastik memperlihatkan kulit tebal dan keras dengan keriput kesat.
Kadangkala, juga terdapat nodularitas halus (elastosis) dan komedo (maladie
de
Favre et Racouchot). Kulit terlihat hyperpigmented permanen atau kecoklatan
dengan corak kuning hingga kemerahan dan kulit memperlihatkan banyak makula
hyperpigmented
( lentigines). Keriput elastotik mencirikan photodamage kulit
pada individu bertipe kulit III-V. Secara klinis, mereka membentuk pola rhomboid
silang-menyilang dan kulit kasar memperlihatkan nodularitas halus.
Gambar 2.3
Keriput elastotik, menggambarkan adanya garis kerutan yang
dalam dan terdapat nodul penuaan.
Secara histologis, terdapat tebalan epidermis tak beraturan. Dermis papilla
memperlihatkan agregasi nodular elastotik abnormal berbentuk serabut hingga tak
berbentuk. Jumlah glikosaminoglikan dan proteoglikan pada zat dasar dermis
meningkat sedangkan serabut kolagen menurun dan sebagian terurai sebagai akibat
dari sintesis dan sekresi metalloproteinase pengurai matriks melalui induksi oleh
UV ( Kulms , 2000 )
11
Elastosis adalah suatu bahan yang terdiri dari jalinan massa besar dari
jaringan elastis yang terurai. Terdapat pita tipis yang mengandung suatu zat
eosinofilik yang utamanya terdiri dari glikosaminoglikan dan kolagen yang baru
terbentuk dan disebut Green zone. Zona ini dianggap sebagai suatu area tempat
berlangsungnya perbaikan aktif photodamage dan secara histologis mengingatkan
akan jaringan parut pada luka. Lebih dalam lagi pada dermis, serabut kolagen
tampak terurai, menggumpal dan terfragmentasi. Dermis juga sering memperlihatkan
banyak infiltrat inflamatorik yang terdiri dari mast cells, histiosit dan sel
mononukleus lain ( Fisher et al, 2002 ).
Ciri klinis dan histologis dari photodamage kulit diringkas pada tabel berikut
ini.
Tabel 2.2 Dampak klinis dan histologis dari photodamage ( dikutip dari Mina Yaar ,
2002 )
Abnormal Klinis
Abnormal Histologis
Kering ( Kasar )
Peningkatan kompaksi dari stratum korneum, ketebalan lapisan granular sel
meningkat,berkurangnya kadar mucin epidermis
Actinic Keratoses
Atipik nuklear; maturasi keratinosit secara progressif; epidermal hyperplasia yang
tidak beraturan dan atau hypolasia; kadang terdapat inflamasi dermis.
IRREGULER PIGMENTASI
1.
2.
3.
4.
Freckles
Lentigo
Hipomelanosis gutata
Hiperpigmentasi
persisten
Kerutan
Pseudoscar stelata
Nodul
Inelastisitas
Telangiektasia
Venous Lake
Purpura ( Gampang Memar )
Makrokomedo ( maladie de
Favre et Racouchot )
Peningkatan jumlah dari hypertrofi, dopa-positif melanosit secara kuat
Elongasi dari rete ridge epidermal ; peningkatan jumlah dan melanisasi dari melanosit
Penurunan jumlah dari melanosit atipik
Peningkatan jumlah dopa-positif melanosit dan peningkatan content melanin tiap unit
area; peningkatan jumlah melanofag dermal
Penurunan dan degradasi kolagen; peningkatan matrix-degradasi metaloproteinase ;
kontraksi dari septa yang ada di subkutan.
Kehilangan pigmentasi epidermal;colagen dermis terpecah pecah
Agregasi nodular dari jaringan fibrotik menjadi suatu elastotic material pada papilary
dermis
Dermal elastotik
Pelebaran pembuluh darah di wajah diikuti dengan atropi dinding pembuluh darahnya.
Pelebaran pembuluh darah yg lebih besar dengan atropi dinding pembuluhnya.
Ektravasasi dari eritrosit dan peningkatan inflamasi perivaskular
Pelebaran porsi superfisial dari folikel pilosebaceous
Hyperplasia konsentrik dari kelenjar sebaseus
12
Hyperplasi sebaceous
Salah satu ciri histologis paling menyolok dari photodamage adalah solar elastosis
Gambar 2.4. Gambaran Histologis Photodamage. Pewarnaan HE menunjukkan adanya masa keunguan yang mel
Premalignant neoplasma: Actinic Keratosis
Actinic keratosis merupakan neoplasma epidermis yang memperlihatkan
proliferasi keratinosit yang sitologinya abnormal. Secara klinis, mereka terlihat
sebagai makula dan papula erythematous dengan sisik kasar yang melekat pada
latar kulit yang mengalami photodamage. Keratinosit abnormal pada actinic
keratosis diakibatkan oleh mutasi terinduksi UV pada gen supresor tumor p53
( Ortonne, 2002 ). Adanya mutasi p53 memungkinkan sel yang terpengaruh
untuk berproliferasi meski terus mengalami kerusakan DNA, sehingga berisiko
13
membentuk mutasi lain dan pada akhirnya berkembang menjadi squamous cell
carcinoma.
2.1.5 Kemunduran fungsi kulit terkait usia
1. Penggantian sel dan penyembuhan luka
Keratinosit mencakup 90% populasi sel epidermis. Seiring waktu, mereka
kehilangan kapasitas proliferatifnya, dan kemampuan untuk berdiferensiasi
terminal sebagaimana mestinya untuk membentuk stratum korneum protektif
( Granstein, 2003 ) , serta kemampuan untuk mengelaborasi sitokin dan sinyal
antar sel lain sebagai respons terhadap stimulus lingkungan ( Yaar, 2004 ).
Pemburukan ini mungkin ikut menyebabkan lambatnya penyembuhan trauma
minor
dan parut bedah yang lebih lemah, maupun juga kecenderungan terhadap
tidak sembuhnya ulkus. Terancamnya penyembuhan luka tampaknya juga
dipengaruhi oleh penurunan fungsi makrofag dan sel T yang kemampuannya
untuk menembus dasar luka terancam. Ini diperparah oleh penurunan fungsi
produksi kemokin ( Swift, 2001 ) dan penurunan inflamasi neurogenik yang
disertai oleh penurunan sintesis dan sekresi neuropeptide, semuanya penting
untuk perbaikan jaringan yang sesuai.
2. Fungsi Sensorik
Seiring penuaan, terjadi peningkatan persepsi sensorik terhadap sentuhan
ringan, sensasi getar, kemampuan untuk membedakan dua titik dan ketajaman
spasial, serta peningkatan ambang sakit. Mekanisme pasti yang mendasari
perubahan ini belum dipahami secara menyeluruh, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pada orang berusia 60 tahun keatas terjadi penurunan
densitas serabut syaraf ber-myelin maupun tanpa myelin yang mengirimkan
sensasi panas dan bahaya. Selain itu, terjadi penurunan sintesis dan transpor
14
beberapa neuropeptide seperti zat P dan calcitonin gene-related peptide. Secara
keseluruhan, perbedaan persepsi sensorik antara individu muda dan tua tampak
sangat besar jika stimulus durasinya pendek dan jika stimulus tersebut
melibatkan ekstremitas ( Khalil ,1996 ).
3. Perbaikan Kerusakan DNA
Terdapat dokumentasi yang jelas bahwa frekuensi kerusakan dan mutasi
DNA meningkat seiring usia. Meski akumulasi mutasi dapat diakibatkan oleh
berjalannya waktu saja, data menunjukkan bahwa kapasitas untuk memperbaiki
kerusakan DNA menurun seiring usia. Kapasitas untuk memperbaiki DNA
diketahui turun sebesar 0,61% per tahun pada limposit darah periferal, dan orang
yang mengidap basal cell carcinoma (BCC) pada usia lebih muda mengalami
penurunan kapasitas perbaikan dibanding individu yang mengidap BCC pada usia
lebih tua. Ini dapat diakibatkan oleh penurunan terkait usia dalam hal kadar
protein yang ikut serta dalam perbaikan eksisi nukleotid, sebagaimana dilaporkan
untuk fibroblast dermis tua ( Goukassan, 2000 ).
4. Fungsi Imun
Seiring penuaan, terjadi penurunan jumlah Langerhans cells epidermis, yakni
sel efektor pembawa antigen imun pada kulit ( Yaar, 2003 ). Terjadi juga
penurunan produksi sitokin epidermis yakni interleukin (IL-1α) dan akibatnya
terjadi produksi sitokin yang antara lain meliputi IL-6, granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-8 . Bukti menunjukkan bahwa
seiring penuaan, imunitas yang diperantarai sel maupun imunitas humoral
mengalami pemburukan, dengan sel T memperlihatkan penurunan kapasitas
proliferatif dan produksi sitokin sebagai respons T dan kegagalan untuk
15
menyeleksi antigen-activated B-cells pada pusat-pusat germinal dari lymph
nodes.
Penurunan ini mengancam sistem imum manula, membuat mereka lebih
rentan terhadap infeksi dan, sebagai akibat dari penurunan pengawasan imun,
mungkin juga lebih rentan terhadap terjadinya kanker.
5. Produksi Vitamin D
Epidermis manusia berperan dalam produksi bentuk aktif vitamin D, yakni
1,25(OH)2D3. Disamping perannya dalam homeostasis kalsium dan pemeliharaan
tulang, juga terlibat dalam proses imun, mempengaruhi fungsi makrofag dan
mengatur pelepasan sitokin inflamatorik. Dalam konteks ini, penting untuk
dicatat bahwa individu tua mengalami penurunan kadar vitamin D serum,
sebagian disebabkan oleh penurunan konsumsi vitamin D dalam diet mereka, dan
sebagian disebabkan oleh kurangnya paparan sinar matahari. Selain itu, kadar
prekursor vitamin D pada epidermis, yakni D-7 dehydrocholesterol per unit
permukaan kulit, menurun secara linear sebesar kira-kira 75% antara masa
dewasa awal dan akhir, menunjukkan bahwa disebabkan oleh kurangnya
prekursor, individu tua bisa gagal dalam mensintesis 1,25(OH) 2D3 dalam jumlah
cukup. Suplementasi vitamin D dan kalsium dengan demikian sangat penting
pada segmen populasi ini ( Yaar , 2003 ).
Untuk menyelidiki hubungan antara tingkat vitamin Dphotodamage dan 25(OH)
di kulit akibat UV, dilakukan studi Cross-sectional pada 45 wanita berusia > 40
tahun . Status menopause, merokok, riwayat kanker kulit, penggunaan suplemen
oral , dan diukur kadar serum 25 (OH) D . Pertama , kulit dievaluasi standar dengan
gambar wajah digital untuk keseluruhan photodamage, eritema/telangiectasias,
hiperpigmentasi, jumlah lentigines, dan kerutan. Perempuan dengan photodamage
16
skor lebih rendah yang terkait dengan peluang peningkatan 5-fold menjadi vitamin D
tidak cukup (atau 5.0, 95% CI: 1.1, 23). Skor yang didapat untuk parameter tertentu
yaitu photodamage , kerut dan termasuk eritema/telangiectasias, hiperpigmentasi,
yang juga secara signifikan dikaitkan dengan kekurangan vitamin D. Hasil tersebut
menunjukkan hubungan antara penuaan kulit dan 25 tingkat D-OH ( Chang , 2010).
2.2. Sel Punca ( Stem cell )
Sel punca, lebih dikenal dengan nama Stem cell
merupakan sel yang belum
berdiferensiasi dan mempunyai potensi untuk dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel lain.
Potensi tersebut memungkinkan sel induk menjadi sistem perbaikan tubuh dengan
menyediakan sel baru selama organisme bersangkutan itu hidup.
Sel Punca merupakan dasar dari kehidupan, dikemukakan oleh Rudolph Virchow
bahwa ‘ All Cell come from Cells ‘.
Stem cell merupakan sel tunggal yang dapat
mengubah diri menjadi sel yang spesifik, baik dari jaringan embrio maupun dewasa, yang
dikenal dengan totipoten.
Perkembangan sel punca sebagai terapi sel semakin mendapat perhatian dari sejumlah
peneliti yang ada di seluruh dunia. Berbagai kemajuan dan manfaat yang telah
dipublikasikan secara ilmiah juga sudah dapat dirasakan oleh masyarakat dunia. Selain itu
juga mengundang sejumlah kontroversi yang secara etika belum dapat diterima di
sebagian negara.
Sel Punca dapat berdiferensiasi menjadi lebih dari satu jenis sel, satu
karakteristik yang disebut dengan plastisitas. Plastisitas sel punca variasi bergantung
pada apakah ia berasal dari embrio ataukah dari organisme dewasa. Sel punca dari
17
embrio biasanya mempunyai plastisitas lebih besar dibanding dari organisme
dewasa, meski perbedaan ini bisa berubah dalam waktu tak lama. Sepanjang dekade
1990-an, ketika para ilmuwan meneliti stem cell dari hewan pengerat, beberapa
protokol standar dikembangkan untuk membiakkan, menguji, dan memanipulasi
sel ini. Stem cell lain, dari spesies berbeda atau dari jaringan dewasa, kini diteliti
dengan menggunakan protokol itu, sehingga satu jenis stem cell dapat mudah
dibandingkan dengan jenis lain. Protokol tersebut meliputi perilaku stem cell
secara in vivo (didalam organisme hidup) dan in vitro (dalam kultur sel).
Karakteristik in vitro yang paling penting meliputi kemampuan sel untuk
berproliferasi (tumbuh dan membelah) selama kurun waktu tak terbatas sekaligus
mempertahankan fenotip embrio. Fenotip yang digunakan dalam konteks ini
mengacu pada semua karakteristik yang bisa diamati pada sel: bentuk atau
morfologinya , perilakunya yaitu dalam berinteraksi dengan sel lain dan caranya
dalam berkomunikasi dengan sel itu dan terakhir, komposisi glycocalyx, yakni
massa padat molekul yang menutupi permukaan semua sel. Glycocalyx bervariasi
bergantung pada status diferensiasi sel. Tipe protein yang melekat pada membran
dari suatu sel embrio berbeda dari tipe protein yang melekat pada membran dari sel
dewasa yang berdiferensiasi penuh. Dengan kata lain, diferensiasi suatu sel adalah
terkait dengan restrukturisasi dan maturasi glycocalyx ( Stewart Sell, 2004).
Karakteristik in vitro penting dari stem cell adalah kemampuannya untuk
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel. Diferensiasi bisa terjadi secara spontan
atau melalui suatu proses yang disebut dengan diferensiasi terarah, yang terjadi jika
sel dibiarkan saling berkontak, atau jika growth factor tertentu dimasukkan ke
medium kultur. Perilaku in vivo bakal stem cell diketahui dengan mengisolasi sel
18
tersebut dan kemudian menginjeksikan mereka ke seekor mencit untuk mengetahui
mereka akan berdiferensiasi.
Gambar 2.5 Diagram diferensiasi Stem Cell Embrio dan progenitornya (dikutip dari
Stem cell Handbook, Stewart Sell ,2004)
Berdasarkan statistik yang ada, penelitian ilmiah dengan menggunakan Adult stem
cell
ini hampir menembus angka 1373, dibanding dengan Embryonic stem cell,
dikarenakan dari segi etika dan kesulitan untuk mendapatkan sel progenitor .
Sampai saat ini , progenitor sel dari bone marrow dipercayai bersifat pluripoten, dapat
berkembang menjadi sel stromal dan limfosit, sebagaimana yaitu RBC, white blood cells
(WBCs), dan megakariosit (Platelets) . Selain sebagai prekursor pada susunan
hematopoetik, bone marrow juga mengandung mesenkim sel progenitor
yang dapat
berkembang juga menjadi tipe sel yang lain seperti osteosit, sel otot, astrosit dan neuron
seperti halnya sel stromal sebagai pendukung hematopoesis.
2.2.1 Stem cell ( sel punca ) Embrio
Stem cell yang paling akhir adalah adalah telur yang sudah dibuahi, yang karena
totipotent, dapat menghasilkan organisme lengkap yang terdiri dari ratusan jenis sel.
19
Blastomer amfibi, dari embrio dua atau empat sel, juga mempertahankan totipotensi
mereka dan merupakan contoh yang tepat untuk stem cell embrio ( Shi et al, 2006 ).
Stem cell embrio mamalia diperoleh hanya dari inner mass cell
(ICM)
blastocyst, dan jika dimasukkan dalam kultur sel, mereka dapat berdiferensiasi
menjadi banyak jenis sel, mewakili tiga lapisan germ embrio (ectoderm, mesoderm,
dan endoderm). Tetapi, sesudah asosiasi antara ICM dan trophoblast terganggu
(seperti ketika stem cell embrio dimasukkan dalam kultur), stem cell embrio tidak
dapat berkembang menjadi embrio. Karena alasan ini, mereka dikatakan pluripoten
bukan totipoten. Dalam kultur, stem cell embrio hidup selamanya, berproliferasi
selama jangka waktu tak terbatas yang selama itu mempertahankan fenotip embrio
( Shi et al, 2006 ).
Dalam percobaan lain, stem cell embrio diletakkan dalam piring kultur dan
dibiarkan untuk berdiferensiasi secara spontan (dalam hal ini, sel dikatakan telah
berdiferensiasi secara in vitro). Tahapan pertama dan sangat penting pada
diferensiasi in vitro melibatkan agregasi sel menjadi gumpalan kecil yang disebut
embryoid bodies. Kontak diantara sel diperlukan agar diferensiasi terjadi dan
mengulang peristiwa embriogenesis normal, dimana kontak dan interaksi antar sel
diantara ketiga lapisan germ menentukan nasib perkembangan sekelompok sel
tertentu ( Shi et al, 2006 ).
Dalam kultur, komunikasi antar sel didalam embryoid body mengakibatkan
pembentukan neuron, sel kulit, jaringan otot kontraksi, dan jenis sel lain. Meski
embryoid body mempunyai organisasi yang longgar, beberapa diantara mereka mirip
blastocyst.
Ketika stem cell embrio yang dikulturkan beragregasi membentuk embryoid
body, atau teratoma, mereka mencoba untuk membentuk gastrula dan ketiga lapisan
20
germ, sebagaimana yang mereka lakukan selama perkembangan embrio normal.
Tetapi tanpa trophoblast disekeliling mereka dan sinyal yang biasa mereka terima
sesudah menempel pada dinding uterus, sel ini seperti anak kecil yang mencoba
untuk menemukan jalan pulang di malam yang gelap. Sel tersebut kehilangan
“penglihatan”, dan tidak mempunyai peta yang memandunya. Sel punca
dapat
membuat semua sel yang akan selalu dibutuhkan oleh tubuh, tetapi mereka tidak
tahu dimana sel tersebut akan diletakkan atau cara untuk menghubungkan mereka
( Shi et al, 2006 ).
Tabel 2.3 Stem cell embrio
SEL-SEL YANG DIPRODUKSI MELALUI DIFERENSIASI STEM CELL EMBRIO
Jenis Sel
Deskripsi
Adiposit
Sel yang membuat dan menyimpan senyawa lemak
Astrosit
Tipe sel glia (lem) yang menopang neuron secara struktural dan metabolik
Kardiomiosit
Sel yang membentuk jantung; juga disebut dengan miosit
Condrosit
Sel yang membuat tulang rawan
Sel dendritik
Sel pembawa antigen pada sistem imun
Sel endotel
Sel yang membentuk lapisan bagian dalam (endothelium) semua pembuluh darah
Sel hematopoietik
ss yang berdiferensiasi menjadi sel darah merah dan putih
Keratinosit
Sel yang membentuk rambut dan kuku
Mast cell
Dikaitkan dengan jaringan konektif dan pembuluh darah
Neuron
Sel yang membentuk otak, spinal cord, dan sistem syaraf peripheral
Oligodendrosit
Sel glia pembentuk myelin pada sistem syaraf pusat
Osteoblast
Menghasilkan osteoblast, atau sel pembentuk tulang
Pancreatic islet cells
Sel endokrin yang mensintesis insulin
Otot halus
Otot yang melapisi pembuluh darah dan saluran pencernaan
2.2.2 Stem cell dewasa
Belum lama ini, para ilmuwan meyakini semua perbaikan tubuh dewasa
21
dilaksanakan oleh jaringan yang rusak: Jika kulit teriris, sel kulit lain disepanjang
area yang rusak akan membelah dan bermigrasi untuk menutup luka tersebut; jika
kaki patah, maka kondrosit (sel pembentuk tulang) akan memperbaiki kerusakan
tersebut. Organ lain, seperti otak dan jantung, diduga tidak mampu memperbaiki diri
sendiri, karena miosit dan neuron diketahui sebagai sel post-mitosis.
Meski stem cell embrio didefinisikan dan diidentifikasikan melalui isolasi dari
ICM blastocyst, identifikasi stem cell dewasa dan penentuan asalnya sangatlah sulit
dilakukan.
Beberapa ahli mengemukakan bahwa mereka adalah sel embrio, yang
disisihkan selama perkembangan tiap jaringan, sedangkan ahli lain meyakini mereka
mungkin adalah bagian dari suatu populasi migran sel embrio yang yang mendiami
berbagai bagian tubuh selama proses neurulasi dan organogenesis. Kemungkinan
yang ketiga adalah bahwa stem cell dewasa diproduksi sesudah perkembangan embrio
selesai melalui de-diferensiasi sekelompok sel pilihan didalam berbagai jaringan
tubuh. Tidaklah jelas mengapa sel-sel ini mampu memperbaiki beberapa jaringan
tetapi tidak mampu memperbaiki jaringan yang lain
( Shi et al, 2006 ).
Tabel 2.4 Stem cell dewasa
JARINGAN DAN ORGAN DEWASA YANG DIKETAHUI MENGANDUNG STEM CELL
Asal
Deskripsi
Otak
Stem cell otak dapat berdiferensiasi menjadi ketiga jenis jaringan syaraf  astrosit,
oligodendrosit, dan neuron  dan, pada beberapa kasus, prekursor sel darah.
Sumsum tulang
Ini terdapat sebagai stem cell hematopoietik, yang menghasilkan semua sel darah, dan
sebagai sel stoma, yang berdiferensiasi menjadi tulang rawan dan tulang.
Endothelium
Stem cell ini disebut hemangioblast dan diketahui berdiferensiasi menjadi pembuluh darah
dan kardiomiosit. Mereka bisa berasal dari sumsum tulang, tetapi ini belum pasti.
Otot kerangka
Stem cell ini bisa diisolasi dari otot atau sumsum tulang. Mereka memperantarai
pertumbuhan otot dan bisa berproliferasi sebagai respons terhadap injuri atau
aktivitas fisik (exercise).
Kulit
Stem cell kulit dikaitkan dengan sel epitel, sel epidermis, sel folikel rambut, dan lapisan
dasar epidermis.
Sistem pencernaan
Terletak di rongga usus, atau invaginasi. Stem cell ini bertanggung jawab meremajakan
lapisan epitel usus.
22
Pankreas
Banyak jenis sel ini diyakini ada, tetapi contoh-contohnya belum diisolasi. Beberapa
stem cell syaraf diketahui menghasilkan sel β pankreas.
Liver
Identitas stem cell liver masih belum jelas. Stem cell dari sumsum tulang bisa
memperbaiki beberapa kerusakan liver, tetapi sebagian besar perbaikan tampaknya
dilaksanakan oleh hepatosit (sel liver) itu sendiri.
Plastisitas sel punca dewasa tampaknya lebih rendah dibanding
plastisitas sel punca embrio. Perbedaan ini ditunjukkan dengan mengetahui
nasib kedua jenis sel tersebut sesudah diinjeksikan ke dalam mencit. Stem cell
embrio, karena belum berdiferensiasi, tidak memperlihatkan kecenderungan
untuk menemukan “rumah”  yakni, untuk kembali ke jaringan asal mereka.
Sebaliknya, stem cell dewasa telah cukup berdiferensiasi sehingga mereka tahu
dimana rumahnya, dan disitulah mereka berkumpul: Stem cell yang berasal dari
sumsum tulang kembali ke sumsum tulang, dan stem cell yang berasal dari
syaraf bermigrasi ke otak atau spinal cord. Dalam kultur, stem cell embrio dapat
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, mewakili semua lapisan germ,
sedangkan stem cell (sel punca) dewasa berdiferensiasi menjadi lebih sedikit
ragam sel, mewakili satu atau dua lapisan germ.
23
Gambar
2.6
Sejarah
pemanfaatan
stemcell,
dikutip
dari
http://okebanget.net/2009/05/18/kultur-sel-sebagai-teknik-pengobatan-di-masa-depan/
Stem cell dewasa pertama yang ditemukan pada sumsum tulang dan
diketahui bertanggung jawab mengisi kembali sel darah. Sebelum penemuan stem
cell, sel darah diasumsikan hanya digantikan oleh sel precursor yakni sel yang
dapat menjadi dewasa menjadi sel darah tetapi tidak dapat berdiferensiasi
menjadi jenis sel lain. Stem cell dewasa lain, yang ditemukan di kulit, bisa
terlibat dalam perbaikan luka. Pada sebagian besar kasus, pembelahan dan
pergerakan sel kulit memperbaiki luka gores, sedangkan luka yang lebih dalam
bisa mengaktifkan stem cell untuk memperbaiki kerusakan. Roh dan Lyle pernah
membuktikan sel punca yang diambil dari bulge region dapat berdiferensiasi menjadi
folikel rambut, sel epidermal dan kelenjar sebacea secara in vitro ( Roh , 2006 )
Keberadaan stem cell dewasa sangatlah penting, karena penggunaan
mereka untuk mengobati penyakit menghilangkan masalah etika yang terkait
dengan penggunaan stem cell embrio. Keterbatasan plastisitas stem cell dewasa
menjadi penghalang utama yang harus diatasi sebelum mereka akan menjadi
alternatif praktis atas stem cell embrio, tetapi banyak ahli yakin prestasi ini akan
dicapai ketika penelitian tentang sel ini yang dipelihara dalam kultur jaringan,
akan meningkat.
2.2.2.1 Hematopoetic stem cells
HSC (Hematopoetic Stem cell) adalah sel yang diisolasi dari darah dan bone
marrow yang dapat menggantikan diri sendiri, dapat berdiferensiasi menjadi varian dari
sel tertentu, dapat berpindah keluar dari bone marrow menuju sirkulasi darah,dan dapat
mengalami kematian sel, dinamakan apoptosis yaitu suatu proses dimana sel akan
24
mengalamai kemunduran atau kerusakan karena tidak digunakan. HSC ditemukan pada
bone marrow dewasa, termasuk femur, panggul, iga, tulang dada dan lainnya. Sumber
lainnya yang digunakan dalam klinis dan penelitian termasuk juga darah tali pusat,
plasenta, darah perifer. Untuk keperluan eksperimen, hati dan limpa bayi dari binatang
berkemampuan sebagai sumber dari HSC.
Secara umum problem dalam pemeriksaan stem cell ini adalah mengidentifikasi stem
cell progenitor jangka panjang dan jangka pendek dikarenakan sulit, mahal , dan memakan
waktu serta tidak dapat dilakukan pada manusia. Dibeberapa penelitian dikatakan bahwa sel
yang ditest pada kultur memiliki kemampuan membentuk asal usul dan koloni koloni dari sel,
akan tetapi ragam test tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti bahwa merupakan stem cell
jangka panjang.
Kesulitan pada penentuan HSC meliputi dua hal yang selalu timbul dalam penelitian :
1. Identifikasi pasti dari HSC,
2. Membuat proliferasi atau meningkatkan jumlah sel pada media kultur.
Gambar 2.7 Diferensiasi dari Hematopoetic dan Stromal Stem Cell ( dikutip dari
http/stemcell information.com , chapter 5, 2010 )
25
Irving Weissman di Universitas Stanford pertama kali mengisolasi sel
hematopoetik tikus tahun
1988, juga orang pertama yang dapat membedakan Stem
cell Jangka Panjang (LT-HSC) dan Jangka Pendek (ST-HSC).
Gambar 2.8 Diferensiasi Hematopoetic Stemcell dikutip dari Stem Cell & Anti Cancer
Technology for Better life.
2.3 Stem cell “ Niche “
Stem cell niche adalah frase yang dipakai secara umum dalam komunitas ilmiah
untuk menjelaskan lingkungan mikro dimana stem cells
berinteraksi
ditemukan, yang
dengan stem cells untuk meregulasi nasib stem cells. Kata ‘niche’
dapat mengacu pada lingkungan mikro stem cells in vivo atau in vitro. Selama
perkembangan embrio, berbagai faktor niche bekerja terhadap stem cells embrio
untuk mengubah ekspresi gen, dan menginduksi proliferasi dan diferensiasi untuk
perkembangan fetus. Dalam tubuh manusia, stem cell niche mempertahankan stem
cells dewasa dalam keadaan diam, namun sesudah trauma jaringan, lingkungan mikro
sekitarnya aktif mengirim sinyal ke stem cells untuk memacu peremajaan diri atau
diferensiasi membentuk jaringan baru.
26
Beberapa faktor berperan penting meregulasi karakteristik stem cells di dalam
niche ini adalah interaksi antar sel baik diantara stem cells, maupun juga interaksi
antara stem cells dan sel sekitar yang sudah berdiferensiasi, interaksi antara stem
cells dan molekul adhesi, komponen matriks ekstraselular, oksigen, growth factor,
sitokin, dan faktor ikatan-kimia lingkungan seperti pH, kuat ion (contohnya,
konsentrasi Ca 2+) dan metabolit, seperti ATP, juga penting. Stem cells dan niche bisa
saling menginduksi selama perkembangan dan saling mengirim sinyal secara timbalbalik selama masa dewasa ( Scadden , 2006 )
Para ilmuwan kini tengah mempelajari berbagai komponen niche dan mencoba
untuk mereplikasi kondisinya in vivo secara in vitro. Ini karena, untuk terapi
regenerasi, proliferasi dan diferensiasi sel harus dikendalikan dalam flask atau plat,
sehingga tipe sel yang tepat diproduksi dalam jumlah cukup sebelum dimasukkan
kembali ke pasien untuk terapi.
Stem cells pada embrio manusia sering dibiakkan dalam media yang ditambah
dengan fetal bovine serum berkandungan fibroblastic growth factor-2. Mereka
dibiakkan pada lapisan feeder dari sel, yang diyakini mendukung
pemeliharaan
karakteristik pluripotent dari stem cells embrio. Tetapi, kondisi ini pun tidak bisa
seluruhnya meniru kondisi niche in vivo.
Stem cells dewasa tetap dalam kondisi belum berdiferensiasi sepanjang
kehidupan dewasa. Tetapi, ketika mereka dikulturkan secara in vitro, mereka sering
mengalami proses ‘penuaan’ dimana morfologi mereka berubah dan kemampuan
proliferasi mereka menurun. Kondisi kultur yang benar untuk stem cells dewasa
diyakini
harus
disempurnakan
mempertahankan ‘stemness’ mereka.
sehingga
stem
cells
dewasa
dapat
terus
27
Sebuah tinjauan di Nature Insights mendefinisikan niche sebagai berikut:
“Populasi stem cells terbentuk di ‘niche’ yaitu lokasi anatomik spesifik yang
meregulasi bagaimana mereka ikut serta dalam pembentukan, pemeliharaan dan
perbaikan jaringan. Niche menyelamatkan stem cells dari pengosongan, sekaligus
melindungi induk dari proliferasi stem cells yang terlalu banyak. Merupakan unit
dasar dari fisiologi jaringan, mengintegrasikan sinyal yang memperantarai respons
seimbang stem cells terhadap kebutuhan organisme. Namun bisa juga menginduksi
patologi dengan memaksakan fungsi menyimpang terhadap stem cells atau target
lain. Interaksi antara stem cells dan niche mereka menciptakan sistem dinamis yang
diperlukan untuk menyokong jaringan, dan pada akhirnya untuk desain terapeutik
stem cells ( Scadden, 2006 ).
2.3.1 Sejarah stem cell ‘ niche ‘
Meski konsep stem cell niche berlaku pada vertebrata, karakterisasi pertama
terhadap stem cell niche in vivo dilaksanakan pada perkembangan germinal
Drosophila. Germline stem cells (GSCs) ditemukan pada organisme yang terusmenerus memproduksi sperma dan telur sampai mereka steril. Stem cells yang
berspesialisasi ini terletak di GSC niche, yakni lokasi awal untuk produksi gamet,
yang terdiri dari GSCs, stem cells somatik, dan sel somatik lain. Secara khusus, GSC
niche dikaji secara mendalam pada organisme model genetik Drosophila
melanogaster dan memberikan pemahaman yang luas mengenai basis molekular dari
regulasi stem cells.
Pada Drosophila melanogaster, GSC niche terletak pada bagian paling anterior
dari tiap ovariole, yang dikenal sebagai germarium. GSC niche terdiri dari somatic
cells-terminal filament cells, cap cells, escort cells, dan stem cells lain yang berfungsi
mempertahankan GSCs ( Xie et al, 2000 ). GSC niche mengandung rata-rata 2-3
28
GSCs, yang langsung melekat ke somatic cap cells dan escort cells, yang
mengirimkan sinyal secara langsung ke GSCs. GSCs mudah diidentifikasi melalui
histological staining terhadap protein vasa (untuk mengidentifikasi germ cells) dan
protein 1B1 (untuk mengetahui bentuk luar dari struktur sel dan struktur fusome
spesifik germline). Perlekatan fisik mereka ke cap cells diperlukan untuk
pemeliharaan dan aktivitas mereka ( Song et al, 2009 ).
2.3.2 Mekanisme Molekular pada Germ Stem Cells
Sinyal Sistemik yang Meregulasi GSCs yaitu diet atau insulin-like signaling
mengendalikan proliferasi GSCs secara langsung pada Drosophila melanogaster.
Diet meningkatkan kadar Drosophila insulin-like peptide (DILP) menyebabkan
peningkatan proliferasi GSCs. Up-regulasi DILPs pada GSCs tua dan niche mereka
menyebabkan peningkatan pemeliharaan dan proliferasi. DILPs juga terbukti
meregulasi kuantitas cap cells dan meregulasi perlekatan fisik GSCs ke cap cells
( Hsu, 2009 ).
Mekanisme Peremajaan pada stem cells dibagi dua, yakni pembelahan simetri
GSCs
atau de-diferensiasi cystoblast. GSCs biasanya membelah secara asimetris
untuk memproduksi satu cystoblast anakan, tetapi ada pendapat yang menyatakan
bahwa pembelahan simetris dapat terjadi pada dua sel anakan yang tetap menjadi
GSCs ( Pan et al, 2007 ) . Jika GSCs dibuang untuk menciptakan niche kosong dan
cap cells masih ada dan mengirimkan sinyal pemeliharaan, maka cystoblast yang
sudah berdiferensiasi dapat direkrut ke ceruk itu dan berde-diferensiasi menjadi
GSCs fungsional.
Ketika betina Drosophila mengalami penuaan, stem cell niche mengalami
hilangnya keberadaan dan aktivitas GSCs secara age-dependent. Kehilangan ini diduga
disebabkan oleh penguraian beberapa faktor pensignalan penting dari niche yang
29
mempertahankan GSCs dan aktivitas mereka. Penurunan aktivitas GSCs sebagian
dapat disebabkan oleh adanya reduksi aktivitas jalur pensinyalan pada GSC niche yaitu
reduksi penyinalan Dpp dan Gbb akibat penuaan. Selain
penurunan sinyal yang
berasal dari niche, GSCs mengalami penuaan secara intrinsic yaitu ada reduksi adhesi
GSCs ke cap cells secara age-dependent dan ada akumulasi reactive oxygen species
(ROS) yang menyebabkan kerusakan selular yang ikut andil dalam menyebabkan
penuaan GSCs. Ada reduksi jumlah cap cell dan perlekatan fisik GSCs ke cap cells
akibat penuaan. Shg diekspresikan dengan kadar lebih rendah secara signifikan pada
GSC niche tua dibanding GSC niche muda ( Pan et al, 2007 ).
2.4
Kulit Sebagai Organ Limfoid
Kulit merupakan alat tubuh terluas yang berperan dalam sawar fisik terhadap
lingkungan dan inflamasi. Banyak antigen asing masuk tubuh melalui kulit dan respons
imun sudah diawali di kulit. Kulit terdiri atas lapisan dermis dan epidermis. Epidermis yang
merupakan bagian terluar mengandung keratinosit, melanosit, sel langerhans, sel T dan
dermis mengandung sel T intraepitel dan makrofag.
Gambar 2.9 Kulit sebagai organ limfoid ,Dikutip dari Karnen Garna Baratawidjaja,
Imunologi Kulit , 2004
30
Antigen Presenting Cell (APC)/Sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag,
sel T yang memiliki TCR dan Fc-R memberikan spesifitas dari respon imun.
Limfosit epidermal yang merupakan sekitar 2% dari limfosit kulit (sisanya didalam
dermis) terbanyak berupa sel T CD 8+. Sel T intradermal mengekspresikan reseptor
yang lebih terbatas dibanding dengan sel T di luar kulit.
2.4.1 Sel Langerhans
Sel Langerhans ditemukan tersebar diseluruh epidermis dalam stratum Malphigi
merupakan suatu antigen dendritik proses dan presenting sel di epidermis. Jumlah sel
ini sekitar 2 sampai 8 persen dari total populasi sel di epidermis. Sel
dendritik di epidermis, yang berisi butiran besar disebut butiran Birbeck. Mereka
biasanya hadir dalam kelenjar getah bening dan organ lainnya, termasuk stratum
spinosum lapisan epidermis. Mereka bisa ditemukan di tempat lain, terutama dalam
hubungannya dengan kondisi histiocytosis ( Valladeau, 2003 ).
Sel tersebut berperan dalam induksi aktivasi sel T pada dermatitis alergi,
dermatitis kontak, penolakan transplantasi dan respon imun lainnya, baik normal
maupun patologik. Sel Langerhans/ sel dendritik yang ditemukan di bagian suprabasal
epidermis merupakan sel dendritik imatur dari sistem imun kulit ( Karnen, 2004 ).
Sel Langerhans hanya merupakan kurang dari 1% populasi sel epidermis, namun
sel tersebut tersusun serupa jala disamping mempunyai proyeksi sitoplasma sehingga
menempati 25% dari luas permukaan kulit dan memungkinkan menangkap antigen
yang masuk ke kulit dengan mudah.
Pengaruh dari sitokin proinflamasi, sel
langerhans mulai diaktifkan dan melepaskan diri dari susunan jala untuk bermigrasi
ke dermis dan memasuki sistem aferen limfatik, dan masuk ke kelenjar getah bening
31
untuk berpartisipasi dalam respon imun primer dan mempresentasikan antigen ke sel
T ( Karnen, 2004 ).
Sel
Langerhans
ini
dinamai oleh
Paulus
Langerhans, seorang dokter
Jerman dan ahli anatomi, yang menemukan sel-sel pada usia 21, sementara dia
adalah mahasiswa kedokteran. Pada infeksi kulit, sel Langerhans setempat akan
mengambil dan proses mikroba antigen untuk menjadi fungsi menyajikan antigen-sel.
Umumnya, sel dendritik di jaringan yang aktif dalam penangkapan, pengambilan dan
pemrosesan antigen. Setelah sel dendritik tiba di jaringan limfoid sekunder, mereka
kehilangan sifat ini, sementara memperoleh kemampuan untuk berinteraksi
dengan sel-T naif.
Gambar 2.10 Representasi dari sel-sel Langerhans di Ontologi Cell. sel.
Dari Masci et al,
2009.
Sel Langerhans berasal dari diferensiasi selular dari monosit dengan penanda
"Gr-1" (juga dikenal sebagai "Ly-6G/Ly-6C"). Diferensiasi membutuhkan stimulasi
oleh faktor stimulasi koloni (CSF)-1 yang serupa dalam morfologi dan fungsi
makrofag
( Ginhoux et al, 2006 ) . Langerin adalah protein yang ditemukan dalam
sel-sel Langerhans dan jenis-jenis sel dendritik ( Jansson, 2008 ) .
Sel Langerhans ditemukan terbanyak dibagian tubuh yang banyak terpajan
dengan antigen. Oleh karena itu Sel Langerhans dipersenjatai dengan reseptorreseptor khusus seperti reseptor untuk manosa, dinding bakteri, IgG, dan IgE. Sel
32
Langerhans dapat mempresentasikan baik antigen ekstraselular yang MHC-II
dependen, maupun intraselular ( antigen dari sitosol, sel yang apoptosis dan dimakan,
sel alogenik ) yang MHC-I dependen.
Setelah memakan antigen, Sel Langerhans akan menginduksi sel T naif yang
berlokasi di kelenjar getah bening. Sel dendritik melepas sejumlah besar sitokin dan
kemokin. Pematangan sel dendritik diinduksi oleh berbagai rangsangan, beberapa dari
dalam sel ( sel nekrotis, mediator inflamasi seperti GM-CSF, IL-1b, TNF-alfa dan
PGE2 ), rangsangan lainnya yang berasal dari luar sel seperti mikroba ( LPS, dsRNA
virus, DNA Bakteri ).
2.4.2 Sel T helper ( Th )
Berbagai faktor berperan dalam pematangan sel Th0 untuk menentukan profil
respons imun yang akan terjadi ( profil Th1 atau Th2 ). Berbagai sel nonspesifik yaitu
makrofag, sel mast, sel NK atau sel epitel ikut berperan dalam menentukan profil
respons tersebut.
Faktor terpenting adalah sitokin sendiri, derajat faktor ko-stimulator asal sel
dendritik, densitas molekul MHC pada sel dendritik dan faktor genetik penjamu.
Dalam respons Th1, IL 12 merupakan produk sel dendritik terpenting. Sel
dendritik memproduksi IL-12, IL-18, dan IFN-γ dalam kadar yang tinggi. Pemberian
PGE
dan IL-10 akan menurunkan produksi IL-2 dan menimbulkan switching
(pengalihan jalur respons) ke respon profil Th2. Produksi IL-6 yang berlebihan juga
berperan dalam respons Th2 ( Karnen, 2004 ).
2.5 Imunologi Darah
33
Semua sel darah dibentuk dalam sumsum tulang. Proses pembentukan
hematopoesis tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian. Setiap bagian melibatkan jenis sel
yang berbeda yaitu sel yang pluripoten (stem cell), sel progenitor dan sel matang.
Gambar 2.11 Tiga Tahap Hematopoesis ( dikutip dari Karnen Garna Baratawidjaja,
Imunologi Kulit ,2004 ).
Hematopoetik stem cell adalah pluripoten, berarti dapat berkembang menjadi
semua sel darah. HSC tidak mengekspresikan petanda spesifik seperti CD3 pada sel
T atau CD19 pada sel B, tetapi mengekspresikan molekul protein CD34. Selama
perkembangan embrionik, HSC bermigrasi ke hati dan sumsum tulang dan
selanjutnya diinduksi untuk berkembang atas pengaruh faktor pertumbuhan dalam
jaringan tersebut (CSF). SIH menjadi sel progenitor yang tidak terlalu primitif
dibanding sel HSC dan selanjutnya dapat berkembang menjadi sel yang khusus
( Karnen, 2004).
34
2.5.1. Sel progenitor
Ada 2 jenis sel progenitor yang dapat berkembang menjadi sel progenitor
limfoid dan myeloid. Sel – sel ini akan menjadi matang dan berdiferensiasi. Fase awal
perkembangan prekursor sel T ( timosit ) dipengaruhi IL-7 yang dilepas sel stroma
nonlimfoid sumsum tulang yang antara lain berupa makrofag dan adiposit.
Perkembangan sel B terjadi dalam sumsum tulang, sedang sel T berkembang dalam
timus dari prekursor timosit yang juga berasal dari sumsum tulang. Jalur
perkembangan sel NK belum diketahui.
2.5.1.1. Sel progenitor limfoid
Sel progenitor limfoid berkembang menjadi sel B dan sel T. Sel B merupakan
sel yang memproduksi antibodi, mengekspresikan imunoglobulin seperti reseptor
antigen spesifik bersama molekul lainnya seperti MHC-II dan molekul ko-reseptor
CD19. Sel T menyerupai sel B yang tidak dirangsang, kecil dengan nukleus besar dan
sitoplasma yang sedikit, dapat menjadi limfoblas bila dirangsang antigen banyak dan
organel. Sel T berkembang menjadi 2 subset sel yaitu CD4
+
Th yang berkembang
menjadi sel Th1 dan Th2 dan CD8+ CTL/Tc. Sel T yang juga mengekspresikan
reseptor T spesifik yang berperan dalam proteksi spesifik terhadap infeksi virus dan
infeksi intraselular lain. Sel NK adalah limfosit yang berasal dari sel induk yang
berbeda dari sel B dan sel T merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik dan
menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan beberapa sel tumor.
Stimulasi sel Langerhans ( Sel Dendritik ) melalui Toll Like Receptors
(TLRs) menginduksi up-regulasi molekul MHC dan molekul ko-stimulatorik dan
sekresi beberapa sitokin, termasuk TNF-α, IL-12, IL-6, IL-10 dan type 1
interferon ( Iwasaki et al, 2004 ) .
35
Ada perbedaan ekspresi TLRs pada pDC, mDC darah dan mdDC ( Kurg et
al, 2001, Kadowaki et al,2001, Jarrossay, 2001 ) . pDC mengekspresikan TLR-1,
-7 dan -9, mDC darah mengekspresikan TLR-1, -2, -3, -5, -6, -8 dan -10, dan
mdDC mengekspresikan TLR-1, -2, -3, -4, -5, -6 dan -8. Baru-baru ini dilaporkan
persebaran TLR pada DC yang diisolasi langsung dari kulit, tetapi tidak ada
informasi serupa mengenai model yang banyak digunakan yakni CD34-derived
LC dan derived Dendritic cell ( dDC ) ( Flacher, 2006 ). Oleh karena itu, kita
menganalisis ekspres TLR oleh LC dan dDC yang dihasilkan dari CD34 stem
cells dan menyelidiki respons maturasional dan respons sitokin terhadap ligand
TLR terkait. Kita menunjukkan perbedaan ekspresi TLR antara LC dan dDC
yang berkorelasi dengan respons maturasional terhadap beberapa ligand mereka
yang asalnya sama (cognate) dan perbedaan menyolok dalam hal profil sitokin
yang disekresikan. Kita juga menunjukkan bahwa ada perbedaan antara profil
TLR yang dilaporkan untuk DC dan LC yang langsung diisolasi dari kulit, dan
dDC yang dihasilkan secara in vitro ( Flatcher, 2006 ).
2.5.1.2. Sel progenitor mieloid
Sel darah utama yang lain adalah granulosit dan monosit atau makrofag. Sel
tersebut berasal dari progenitor mieloid yang sama dari eritrosit dan trombosit.
Berbagai diferensiasi terjadi atas pengaruh berbagai faktor pertumbuhan.
Molekul
CSF : granulosit
Sumber selular utama
Monosit,makrofag, fibroblas,
Aktifitas biologik utama
Merangsang pembentukan neutrofil
sel endotel
CSF : granulosit-
Sel T, monosit, makrofag,
Merangsang proliferasi dan diferensiasi
36
makrofag
fibroblas, sel endotel
progenitor mieloid
CSF : monosit –
Monosit, makrofag, fibroblas,
Merangsang proliferasi dan diferensiasi
makrofag
sel endotel
monosit dan makrofag
IL-3
Sel T
Merangsang sel hematopoietik multipel
IL-4
Sel T,NK, Basofil, sel mast
Merangsang proliferasi sel B
IL-5
Sel T
Merangsang diferensiasi eosinofil
IL-7
Sel Stroma di sumsum tulang
Merangsang proliferasi dan diferensiasi
progenitor sel T
Tabel 2.5 Colony Stimulating Factor dan sitokin penting pada hematopoiesis
2.6 Cross-presenting Antigen dari Sel Langerhans
Sel Dendritik secara efisien meng-cross-present antigen eksogen pada
molekul MHC-class I ke sel T CD8 +. Tetapi, masih sedikit hal yang diketahui
tentang cross-presentation oleh Langerhans cells (LC), yakni Sel Dendritik pada
epidermis. Antigen yang diekspresikan dari epidermis diambil oleh LC selama
migrasi dari epidermis dan dipresentasikan ke sel T spesifik antigen secara in
vitro.
Cross-presentation merupakan mekanisme penting dalam menimbulkan
imunitas terhadap virus dan tumor maupun juga dalam menginduksi toleransi
terhadap self-antigen ( Pan et al, 2007 ). Sel dendritik
meng-cross-present
antigen eksogen terlarut pada sel golongan I MHC ke sel T CD8 + spesifik
antigen. Antigen yang berasosiasi dengan sel, seperti sel yang terinfeksi virus,
sel tumor yang ditransfeksi, sel berselubung protein, dan sel yang hampir mati
dapat diambil dan di-cross-present oleh sel dendritik ke sel T CD8 +.
Banyak patogen memasuki tubuh melalui kulit. Tetapi, sedikit hal yang
diketahui mengenai kemampuan sel Langerhans dalam menangkap dan
memproses antigen eksogen pada kulit utuh dan mempresentasikannya pada sel
37
MHC-class I ke sel T CD8 +. Dua laporan terbaru menunjukkan bahwa imunisasi
epikutan dengan suatu MHC-class I restricted peptide atau dengan protein
ovalbumin ke kulit yang dikelupas dengan plester menginduksi aktivitas
sitotoksis sel T pada lymph nodes kering yang dapat semakin ditingkatkan
melalui pemberian toksin kolera secara bersamaan ( McGargill, 2003 ).
Penelitian lain melaporkan bahwa respons ini dapat juga ditingkatkan dengan
Toll-like receptor ligands, seperti misalnya oligonukleotid dan imiquimod. Jadi,
imunisasi epikutan membangkitkan respons sel T pada lymp nodes pengering,
tetapi inflamasi pada kulit diperlukan untuk mengoptimalkan respons. Tetapi,
peran pasti dari sel langerhans masih belum jelas.
2.7
Medium dan Kultur
2.7.1 Medium
Medium kultur merupakan komponen paling penting pada lingkungan kultur,
karena ia menyediakan nutrien yang diperlukan, growth factors, dan hormon
untuk growth faktor, maupun juga meregulasi pH dan tekanan osmosis pada
kultur. Meski eksperimen kultur sel awal dilaksanakan dengan menggunakan
medium alami yang diperoleh dari ekstrak jaringan dan cairan tubuh, kebutuhan
akan standarisasi, kualitas media, dan peningkatan kebutuhan mendorong
pengembangan media dengan definisi lebih tinggi. Tiga golongan dasar media
adalah basal media, reduced-serum media, dan serum-free media, yang yang
berbeda kebutuhannya akan suplementasi dengan serum.
1.
Serum
Serum sangat penting sebagai sumber growth factor dan adhesion factor,
hormon, lipida dan mineral untuk kultur sel dalam basal media. Selain itu, serum
38
juga meregulasi permeabilitas membran sel dan berfungsi sebagai pembawa
lipida, enzim, mikro-nutrien, dan trace element ke sel. Tetapi, Penggunaan serum
dalam medium memiliki beberapa kelemahan yang meliputi biaya tinggi,
masalah standarisasi, spesifisitas, variabilitas, dan efek yang tak diinginkan
seperti stimulasi atau inhibisi fungsi pertumbuhan dan/atau fungsi selular pada
kultur sel tertentu. Jika serum tidak diperoleh dari sumber terpercaya, maka
kontaminasi juga menciptakan ancaman serius terhadap kesuksesan eksperimen
kultur sel.
Untuk menanggulangi ancaman ini, semua produk Invitrogen dan GIBCO,
termasuk serum, diuji untuk mengetahui ada-tidaknya kontaminasi dan dijamin
kualitas, keamanan, konsistensi, dan kepatuhannya pada regulasi.
Eagle's minimal essential medium (EMEM) adalah medium kultur yang digunakan untuk
mempertahankan sel pada kultur jaringan. Terdiri dari : asam amino, elektrolit (CaCl, KCl,
Magnesium sulfat, NaCl dan Monosodium Phosphat), glukosa, vitamin (asam folat,
nicotinamid, riboflavin, B12). Salah satu variasi dari EMEM yaitu Dulbecco/Vogt Modified
Eagle’s Minimal Essential Medium (DMEM), yang berisi 4 bahan yang sama seperti EMEM,
tetapi ditambah dengan Iron dan Phenol red yang sangat banyak dipakai pada sel manusia,
monyet, hamster, tikus, ayam, dan ikan
( Pombinho, 2004 ).
2. Basal media
Mayoritas cell line tumbuh dengan baik dalam basal media, yang
mengandung asam amino, vitamin, garam anorganik, dan sumber karbon seperti
glukosa, namun fiormulasi basal media ini harus disuplementasi dengan serum.
3. Reduced-serum media
39
Strategi lain untuk mereduksi efek tak diinginkan dari serum pada
eksperimen kultur sel adalah dengan menggunakan reduced-serum media.
Reduced-serum media merupakan formulasi basal media yang diperkaya dengan
nutrien dan animal-derived factors, yang mereduksi jumlah serum yang
dibutuhkan.
4. Serum-free media
Serum-free media (SFM) menghindari masalah-masalah yang terkait
dengan penggunaan serum hewan dengan mengganti serum dengan formulasi
nutrisi dan hormon yang tepat. Formulasi SFM ada untuk banyak kultur primer
dan cell line, termasuk protein rekombinan yang memproduksi jenis Chinese
Hamster Ovary (CHO), berbagai cell line hibridoma, jenis insekta Sf9 dan Sf21
(Spodoptera frugiperda), dan untuk cell line yang bertindak selaku inang untuk
produk virus , dan lain-lain. Salah satu kelebihan utama dari penggunaan SFM
adalah kemampuannya dalam membuat medium menjadi selektif untuk jenis sel
spesifik dengan memilih kombinasi growth factor yang tepat.
Tabel 2.6 Kekurangan dan Kelebihan Medium Serum Free Media.
Kelebihan
Kelemahan

Definisi tinggi

Kebutuhan akan formulasi
media spesifik-tipe

Kinerja lebih konsisten

Kebutuhan akan taraf
kemurnian reagent yang lebih
tinggi

Pertumbuhan lebih lambat

Purifikasi dan pemrosesan
hilir lebih mudah

Presisi evaluasi fungsi selular

Produktivitas tinggi

Kontrol lebih baik terhadap
respons fisiologis

Peningkatan deteksi mediator
selular
40
2.7.2
Kultur Sel
Kultur sel adalah proses kompleks dimana sel dipelihara dalam kondisi terkontrol.
Dalam praktiknya, istilah ‘kultur sel’ mengacu pada pembiakan sel yang berasal dari
eukaryot multiselular, terutama sel hewan. Sejarah perkembangan dan metode kultur
sel terkait erat dengan sejarah perkembangan dan metode kultur jaringan dan kultur
organ. Kultur sel ( cell line ) juga dapat berarti suatu koloni sel yang telah mapan, sehingga
mampu melakukan proliferasi tanpa batas waktu. Koloni sel tersebut dapat bermutasi
menjadi koloni dengan kultur berbeda, atau merupakan sub-kultur hasil mutasi dari kultur
sel sebelumnya ( Schiff, 2002 ). Fisiolog Inggris abad ke-19 Sidney Ringer
mengembangkan larutan garam yang mengandung klorida sodium, potassium, kalsium
dan magnesium yang cocok untuk mempertahankan detak jantung hewan isolasi diluar
tubuh .
Beberapa konsep kultur sel mamalia adalah sbb:
1.
Isolasi sel
Isolasi sel yang dimaksud yaitu dimana sel dapat diisolasi dari jaringan
untuk kultur secara ex vivo dengan beberapa cara. Sel dapat dimurnikan dengan
mudah dari darah, tetapi hanya sel darah putih saja yang mampu tumbuh dalam
kultur. Sel mononukleus dapat dibebaskan dari jaringan lunak melalui
penguraian enzimatik menggunakan enzim seperti collagenase, trypsin, atau
pronase, yang menguraikan matriks ekstraselular. Atau, potongan jaringan dapat
dimasukkan dalam medium pertumbuhan, dan sel yang tumbuh bisa dikulturkan.
Metode ini dikenal sebagai explant culture.
41
Sel yang dikulturkan langsung dari subjek dikenal sebagai sel primer.
Kecuali beberapa sel yang berasal dari tumor, sebagian besar sel primer
mempunyai rentang hidup terbatas. Sesudah sejumlah penggandaan populasi, sel
mengalami proses penuaan dan berhenti membelah, meski secara umum
mempertahankan viabilitasnya.
Cell line yang mapan atau awet (immortalized) memperoleh kemampuan
untuk berproliferasi untuk jangka waktu tak terbatas melalui mutasi acak atau
modifikasi terencana, misalnya ekspresi artifisial pada gen telomerase. Ada banyak
cell line mapan yang merepresentasikan tipe sel tertentu.
2. Memelihara sel dalam kultur
Sel dibiakkan dan dipelihara pada suhu dan campuran gas yang tepat
(biasanya, 37°C, CO2 5% untuk sel mamalia) dalam inkubator sel. Kondisi kultur
sangat bervariasi untuk tiap jenis sel, dan variasi kondisi untuk suatu jenis sel
tertentu dapat menyebabkan ekspresi fenotip berbeda.
Terlepas dari suhu dan campuran gas, faktor yang paling bervariasi adalah
medium pertumbuhan. Resep untuk medium pertumbuhan dapat bervariasi pH,
konsentrasi glukosa, growth factor, dan adanya nutrien lain.
Sel dapat dibiakkan dalam kultur suspensi atau adherent culture (kultur
menempel). Beberapa sel hidup alami dalam suspensi, tanpa menempel ke
permukaan, seperti sel yang ada pada aliran darah. Juga ada cell line yang
dimodifikasi untuk mampu bertahan hidup dalam kultur suspensi sehingga
mereka
dapat
dibiakkan
hingga
densitas
lebih
tinggi
dibanding
yang
dimungkinkan dengan kondisi menempel. Sel penempel memerlukan permukaan,
seperti plastik kultur jaringan atau microcarrier, yang bisa lapisi dengan
42
komponen matriks ekstraselular untuk meningkatkan sifat adesi dan memberikan
sinyal lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan diferensiasi. Sebagian besar
sel yang berasal dari jaringan padat bersifat menempel (adherent). Tipe kultur
menempel lainnya adalah kultur organotipik yang meliputi membiakkan sel
dalam lingkungan tiga dimensi bukan cawan kultur dua dimensi. Sistem kultur 3
dimensi ini secara biokimia dan fisiologis lebih mirip dengan jaringan in vivo,
namun sulit secara teknis dipelihara karena banyak faktor (contohnya, difusi).
3. Kontaminasi-silang cell line
Kontaminasi silang cell line dapat menjadi masalah bagi ilmuwan yang
bekerja dengan sel biakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 15-20%
dari waktu, sel yang digunakan dalam percobaan diidentifikasikan secara salah
atau terkontaminasi cell line lain. Masalah kontaminasi cell line terdeteksi dari
panel NCI-60, yang rutin digunakan untuk penelitian skreening obat (Chatterjee,
2007). Kontaminasi tersebut menciptakan masalah menyangkut kualitas
penelitian yang dihasilkan dengan menggunakan kultur cell line, dan beberapa
bank utama cell line kini tengah memeriksa otentisitas semua kiriman cell line
(Masters, 2002).
Untuk menanggulangi masalah kontaminasi silang cell line ini, para
peneliti dianjurkan untuk memeriksa otentisitas cell line mereka pada passage
(proses perbanyakan sel dalam medium kultur ) awal untuk menentukan identitas
cell line. Pemeriksaan otentisitas harus diulang sebelum membekukan stok cell
line, setiap dua bulan selama pengkultur aktif dan sebelum publikasi data
penelitian yang dihasilkan dengan menggunakan cell line. Ada banyak metode
untuk mengidentifikasi cell line yang meliputi isoenzyme analysis, human
43
lymphocyte antigen (HLA) typing dan STR analysis (Dunham, 2008). Satu
kontaminan silang cell line yang penting adalah cell line HeLa.
4. Manipulasi sel biakan
Karena sel pada umumnya membelah dalam kultur, mereka biasanya
berkembang memenuhi area atau volume yang tersedia. Ini dapat menimbulkan
beberapa masalah:
a. Pengosongan nutrien pada medium pertumbuhan
b. Akumulasi sel apoptotik/nekrotik
c. Kontak antar sel dapat menstimulasi penghentian siklus sel, menyebabkan sel
berhenti membelah yang dikenal sebagai inhibisi kontak atau senescence.
d. Kontak antar sel dapat menstimulasi diferensiasi selular.
Diantara manipulasi umum yang dilakukan pada sel kultur adalah
penggantian medium, perbanyakan sel, dan transfeksi sel. Manipulasi ini pada
umumnya dilakukan dengan menggunakan metode kultur jaringan yang
mengandalkan
teknik
steril. Teknik
steril bertujuan
untuk
menghindari
kontaminasi oleh bakteri, ragi, atau cell line lain. Manipulasi biasanya
dilaksanakan dalam laminar flow cabinet untuk mencegah adanya mikroorganisme kontaminan. Antibiotik (contohnya, penicillin dan streptomycin) dan
obat anti-jamur (contohnya, Amphotericin B) dapat juga ditambahkan pada
medium pertumbuhan.
Ketika sel mengalami proses metabolik, asam dihasilkan dan pH
mengalami penurunan. Indikator pH sering ditambahkan pada medium untuk
mengukur pengosongan nutrien.
a. Penggantian medium
44
Pada kultur menempel, medium dapat dibuang langsung melalui aspirasi
dan ditempatkan kembali.
b. Perbanyakan sel
Passaging (juga dikenal sebagai sub-kultur atau pembelahan sel) meliputi
memindahkan sejumlah kecil sel ke bejana baru. Sel dapat dikulturkan selama
waktu lebih panjang jika mereka membelah secara teratur, karena sel
menghindari senescence akibat densitas sel yang tinggi selama waktu yang
panjang. Kultur suspensi mudah di-passage dengan sedikit kultur yang
mengandung sedikit sel yang diencerkan dalam medium baru bervolume lebih
besar. Untuk kultur menempel, sel mula-mula harus dilepaskan; ini biasanya
dilakukan dengan campuran trypsin-EDTA, tetapi kini ada enzim lain yang bisa
dipakai untuk kepentingan ini. Sedikit sel yang sudah dilepaskan selanjutnya
dapat ditebar pada kultur baru.
c. Transfeksi dan Transduksi
Metode umum lainnya untuk memanipulasi sel meliputi memasukkan
DNA asing melalui transfeksi. Ini sering dilakukan untuk menyebabkan sel
mengekspresikan protein yang dimaksud.
DNA dapat juga dimasukkan ke sel dengan menggunakan virus, pada
metode yang disebut dengan transduksi, infeksi atau transformasi. Virus, atau
agen parasit, sangat cocok untuk memasukkan DNA ke sel, karena ini merupakan
bagian dari perjalanan normal reproduksi mereka.
d. Cell line mapan pada manusia
Cell line yang berasal dari manusia menimbulkan kontroversi dalam
bidang bioetika, karena mereka bisa hidup lebih lama dibanding organisme induk
45
mereka dan kemudian digunakan untuk menemukan obat medis yang
menguntungkan. Dalam putusan yang merintis bidang ini, Mahkamah Agung
California menyatakan dalam kasus Moore v. Regents of the University of
California bahwa pasien manusia tidak mempunyai hak milik atas cell line yang
berasal dari organ yang diambil atas persetujuan mereka ( Dunham, 2008 ).
e. Terjadinya Hibridoma
Sel normal dan cell line yang diawetkan bisa difusikan. Metode ini
digunakan untuk memproduksi antibodi monoklonal. Ringkasnya, limfosit yang
diisolasi dari limpa (atau mungkin darah) hewan yang telah diimunisasi
dikombinasikan dengan cell line mieloma awetan (B cell lineage) untuk
menghasilkan hibridoma yang mempunyai spesifisitas terhadap antibodi
sebagaimana pada limposit primer dan keawetan sebagaimana pada mieloma.
Medium pertumbuhan selektif digunakan untuk menyeleksi sel mieloma yang
tidak berfusi; limposit primer cepat mati dalam kultur dan hanya sel yang berfusi
saja yang bertahan hidup. Ini di-skreening untuk mengetahui produksi antibodi
yang diperlukan, yang pada umumnya berada dalam kumpulan (pool) awal dan
kemudian sesudah kloning tunggal.
2.8
Faktor penumbuh (Growth Factors)
Faktor pertumbuhan ( Growth factors ) adalah zat alami yang mampu
merangsang pertumbuhan selular, proliferasi dan diferensiasi selular. Umumnya
adalah protein atau hormon steroid. Faktor pertumbuhan penting untuk mengatur
ragam proses seluler dan bertindak sebagai pensinyalan molekul antara sel. Contoh
adalah sitokin dan hormon yang mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel target
mereka. Sistem kerjanya memromosikan diferensiasi sel dan pematangan. Sebagai
46
contoh, Bone Morphogenic Protein ( BMP ) merangsang diferensiasi sel tulang,
sementara fibroblast growth factors dan GF endotel vaskular ( VEGF ) merangsang
diferensiasi pembuluh darah /angiogenesis ( Thomas, 2007 ).
Perbedaan Growth Factors dan sitokin adalah sitokin yang terkait dengan
hematopoietic stem cell dan sistem kekebalan tubuh (misalnya, limfosit dan sel-sel
jaringan dari limpa, Timus, dan getah bening). Sistem peredaran darah dan sumsum
tulang di mana sel dapat terjadi dalam cairan suspensi dan tidak terikat pada jaringan
padat, memungkinkan bagi mereka untuk berkomunikasi dengan molekul protein
yang bersifat soluble.
Sementara faktor pertumbuhan ( Growth factors ) menyiratkan efek positif
pada pembelahan sel, sitokin adalah istilah netral terhadap sebuah molekul yang
mempengaruhi proliferasi. Sementara beberapa sitokin dapat menjadi faktor-faktor
pertumbuhan, seperti G-CSF dan GM-CSF.
2.8.1 Transforming Growth Factors ( TGF-β )
Transforming growth factor beta (TGF-β) merupakan protein yang mengontrol
proliferasi, diferensiasi sel, dan fungsi lainnya pada sel lain. Perannya penting pada imunitas,
kanker, penyakit jantung, diabetes, dan Sindroma Marfan.
TGF-β mensekresi protein yang terdiri dari 5 isoform yang dikenal sebagai TGF-β1, TGFβ2 and TGF-β3. Selain nama originalnya yaitu TGF-β1, dimana menjadi penemu awal bagi
familinya. Sehingga bagian dari superfamili TGF-β ini dikenal transforming growth factor
beta superfamily, dimana termasuk didalamnya inhibins, activin, anti-müllerian hormone,
bone morphogenetic protein, decapentaplegic (dpp) and Vg-1.
Mekanisme utamanya terlibat dalam proses sel organisme dewasa dan embrio
yang berkembang termasuk didalamnya adalah pertumbuhan sel, diferensiasi sel,
apoptosis, homeostasis selular dan fungsi selular lain, terlepas dari berbagai proses
47
seluler TGF-β menandakan jalur mengatur, proses relatif sederhana. Superfamili
TGF-β ligan mengikat untuk jenis reseptor II, yang direkrut dan memfosforilasi jenis
reseptor tipe I. Reseptor type I ini kemudian memfosforilasi reseptor SMADs (RSMADs) yang sekarang dapat mengikat coSMAD /SMAD4. R-SMAD/coSMAD
kompleks terakumulasi di inti di mana mereka bertindak sebagai faktor transkripsi
dan berpartisipasi dalam regulasi target ekspresi gen .
Gambar 2.12 Regulasi Jalur TGF-β
(dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/TGF_beta_signaling_pathway)
2.8.2 Activin A
Activin A, anggota sitokin transformasi faktor pertumbuhan-beta Superfamili (TGFβ), dinyatakan secara lokal oleh komponen mesenkimal lingkungan mikro-hemopoietik.
Ekspresi diatur pada tingkat mRNA oleh sitokin berbeda, dan aktivitas biologis protein yang
dikontrol ketat oleh beberapa penghambatan molekul. Activin A mempengaruhi sel
hemopoietic dari berbagai garis keturunan, sebagaimana dibuktikan oleh in vitro studi
leukemia dan limfoma sel baris, yang digunakan untuk menjelaskan mekanisme tindakan.
Dalam garis keturunan sel B, Activin A adalah inhibitor siklus sel, mediator apoptosis, dan
48
sitokin antagonis. Informasi terbatas tersedia pada efek Activin A pada sel hematopoetik
normal ( Shav-Tal, 2002 ).
Activin A merupakan famili dari TGF-β yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi
termasuk IL-12 dan berpengaruh dalam proses morfogenesis kulit dan penyembuhan luka,
menginduksi diferensiasi dari monosit manusia menjadi Langerhans cell ( Jones , 2004 ).
Download