Uploaded by Radencalvinxcx

Makalah Riau Lingga

advertisement
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan
dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Makalah Tentang Kesultan Lingga
Kepulauan Riau.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Daftar Isi
BAB I .........................................................................................................................1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
BAB 2.........................................................................................................................2
A. Sejarah Kesultanan Riau ........................................................................................................... 2
B. Silsilah..................................................................................................................................... 10
C. Sistem Pemerintahan ............................................................................................................... 11
D. Wilayah Kekuasaan ................................................................................................................ 12
E. Kehidupan Sosial-Budaya ....................................................................................................... 12
Kesimpulan ..............................................................................................................14
BAB I
A. Latar Belakang
Kesultanan Lingga-Kepulauan Riau ialah sebuah kerajaan Islam di Kepulauan Lingga,
Kepulauan Riau, Indonesia yang merupakan pecahan daripada Kesultanan Johor. Kesultanan ini
dibentuk berdasarkan perjanjian antara United Kingdom dan Belanda pada tahun 1824, dengan
Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah sebagai sultan pertamanya. Kesultanan ini dihapuskan
oleh pemerintah kolonial Belanda pada 3 Februari 1911.
Kesultanan Lingga-Kepulauan Riau memainkan peranan yang penting dalam
perkembangan bahasa Melayu sehingga menjadi bentuk bahasa Indonesia kini. Pada masa
kesultanan ini, bahasa Melayu menjadi sebuah bahasa baku yang kaya dengan kesusasteraan
serta memiliki kamus ekabahasa sendiri dan sejajar dengan bahasa-bahasa lain yang besar di
dunia. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji,
seorang pujangga dan ahli sejarah yang berketurunan Melayu-Bugis.
BAB II
A. SEJARAH KESULTAN KEPULAUAN RIAU
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga merupakan sebuah kesultanan yang kini terletak
di wilayah Provinsi Kepulauan Kepulauan Riau. Sejarah awal Kesultanan Kepulauan RiauLingga ditandai pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah yang naik sebagai sultan di
Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang (Kesultanan Johor) pada 1761.
Ketika memerintah beliau memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu
Kepulauan Riau dari Kepulauan Riau Lama (Ulu Kepulauan Riau di Pulau Bintan) ke Daik di
Pulau Lingga pada 1788. Di Lingga inilah Sultan Mahmud Syah membangun istana dan
melaksanakan pemerintahan serta mengatur kembali perdagangan sebagai komoditi, khususnya
lada dan timah dengan Inggris yang dilakukan secara gelap.
Awalnya Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga menjadi satu dengan Kesultanan Johor
di Malaka. Tetapi akibat dari ditandatanganinya Treaty of London (Traktat London), wilayah
kekuasaan dari Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang dibagi menjadi dua,
sebagian masuk ke wilayah pendudukan Inggris di Semenanjung Malaka sampai Singapura, dan
sebagian lainnya masuk ke wilayah pendudukan Pemerintah Hindia Belanda. Kawasan yang
masuk ke wilayah pendudukan Pemerintah Hindia Belanda ini salah satunya kemudian
berkembang dengan nama Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Sehingga sejarah terbentuknya
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga berawal dari ditandatanganinya Traktat London.
Permasalahan pembagian wilayah Kesultanan Johor bukan menjadi masalah pertama
kali yang tercatat dalam sejarah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Sebelum masalah
pembagian wilayah, Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga yang saat itu masih di bawah wilayah
kekuasaan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang menghadapi masalah seputar
suksesi kepemimpinan (perebutan tahta) di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Suksesi ini perlu
dituliskan karena sultan pertama yang memerintah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, telah
naik tahta sebelum Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dipisahkan dari wilayah Kesultanan
Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang.
Perebutan tahta dimulai ketika pemegang tahta Kesultanan Johor, Kepulauan RiauLingga dan Pahang, yaitu Sultan Mahmud Syah meninggal pada 12 Januari 1812. Pasca
meninggalnya sang sultan, muncul perdebatan seputar pengganti kedudukan sultan. Perdebatan
muncul karena Sultan Mahmud Syah mempunyai dua anak laki-laki, yaitu Tengku Husin dan
Tengku Abdulrahman. Tengku Husin merupakan anak Sultan Mahmud Syah hasil dari
pernikahan dengan Encek Makoh, anak perempuan seorang bangsawan Bugis bernama Daeng
Maturung alias Encek Jakfar dan istrinya yang bernama Encek Halimah. Sedangkan Tengku
Abdulrahman merupakan anak Sultan Mahmud Syah hasil dari pernikahan dengan Encek
Maryam, anak perempuan seorang bangsawan Bugis bernama Bandar Hasan dan istrinya
bernama Encek Sanay, seorang perempuan yang berasal dari Bali. Selain kedua istrinya tersebut,
Sultan Mahmud Syah juga menikah dengan dua orang perempuan lainnya, yaitu Engku Puan,
anak Tun Abdul Majid Bendahara Paduka Raja Pahang dan Raja Hamidah atau lebih dikenal
dengan Engku Puteri, anak Yang Dipertuan Muda Raja Haji dengan Tengku Perak. Tetapi dari
kedua istrinya ini, Sultan Mahmud Syah tidak dikaruniai anak laki-laki.
Perseturuan pengganti almarhum Sultan Mahmud Syah semakin menjadi ketika
Belanda dan Inggris turut campur tangan dalam masalah ini. Kini suksesi kepemimpinan bukan
lagi sekadar menentukan siapa pengganti sang sultan, tetapi telah diwarnai pengaruh politis yang
penuh kepentingan baik oleh Inggris maupun Belanda. Inggris mulai mencoba menanamkan
pengaruh dengan mendukung pencalonan Tengku Husin sebagai Sultan di Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Secara sepihak, Inggris akhirnya menabalkan Tengku
Husin sebagai sultan di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang dengan nama
Sultan Husin Muazzam Syah di Singapura. Penanaman pengaruh Inggris di lingkungan
Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang, sebenarnya merupakan usaha kedua
Inggris setelah sebelumnya pada 1795, Inggris yang menguasai Malaka mengakui Kepulauan
Riau sebagai kerajaan merdeka. Perjanjian Den Haag pada 1795 membuat Inggris dengan mudah
mendapatkan Malaka.
Thomas Stamford Rafles sebagai Letnan-Gubernur Jawa dan taklukannya semakin
gencar menanamkan pengaruh di lingkungan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga dan
Pahang. Di samping menabalkan Sultan Husin di Singapura, Rafles juga berupaya menjalin
kerjasama dengan Sultan Abdulrahman yang telah ditabalkan oleh Yang Dipertuan Muda Raja
Jaafar (Yang Dipertuan Kepulauan Riau). Kerjasama dilakukan melalui surat yang
ditandatangani dan dicap Sir T.S. Rafles pada 10 November 1813 di Batavia. Langkah Inggris
untuk menanamkan pengaruh di lingkungan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang ternyata sangat bermanfaat, karena pada 1818 terjadi penandatanganan Treaty of Vienna
(Traktat Vienna) yang memberikan konsekuensi langsung bahwa Inggris kehilangan hak atas
Pulau Jawa.
Selain kehilangan Pulau Jawa, implikasi langsung bagi Inggris pasca penandatanganan
Traktat Vienna adalah penyerahan Malaka pada Komisaris-Komisaris Belanda pada September
1818. Pasca penyerahan tersebut Residen Inggris di Malaka, William Farquhar membuat
perjanjian dagang dengan Sultan Abdulrahman Syah. Perjanjian dagang ini ditandatangani pada
9 Agustus 1918. Perjanjian dagang ini jelas memperlihatkan tentang kekuatan diplomasi Inggris.
Pasalnya dalam waktu yang hampir bersamaan, Inggris telah mendapatkan kesepakatan dagang
antar dua orang yang sama-sama mengaku sebagai pewaris sah tahta di Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Inggris telah membuat kesepakatan dengan Sultan
Abdulrahman sekaligus Sultan Husin.
Aksi diplomasi yang gencar dilakukan oleh Inggris membuat Belanda melakukan
langkah diplomasi serupa. Selama tahun suksesi kepemimpinan (1812-1818), Inggris memang
memainkan peran di Kesultanan Johor-Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Belanda baru
mengikat perjanjian dagang sekaligus pengalihan kekuasaan Kesultanan Johor-Kepulauan RiauLingga, dan Pahang pasca penandatanganan Traktat Vienna pada 1818. Traktat Vienna dianggap
Belanda sebagai legitimasi secara hukum bahwa kemerdekaan Kepulauan Riau yang telah
diberikan oleh Inggris pada 1795 menjadi luntur.
Sebagai langkah stategis untuk menghalangi diplomasi Inggris, Belanda mengikat
Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang dengan sebuah perjanjian yang
ditandatangani pada 27 November 1818. Secara umum isi perjanjian adalah pengakuan bahwa
Belanda merupakan penguasa tertinggi di Kepulauan Riau, hanya bangsa Belanda yang diizinkan
berdagang dengan Kepulauan Riau, dan pengangkatan sultan-sultan Kepulauan Riau harus
dengan izin Belanda. Perjanjian ini ditandatangani oleh Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar atas
nama Sultan Abdulrahman.
Melihat sikap penguasa di Kepulauan Riau ini, berarti secara hukum, Sultan
Abdulrahman baru naik tahta secara resmi pada 1818. Alasannya, sebelum dilakukan perjanjian
dagang yang mengikat dengan Belanda, pihak Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang masih membuka pintu pada dua kolonialis, Inggris dan Belanda. Tetapi setelah Traktat
Vienna, penguasa Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang hanya membuka pintu
perjanjian dengan pihak Belanda, bahkan mengakui kedaulatan Belanda dan berada di bawah
Pemerintahan Hindia Belanda. Dengan pengakuan ini dapat dipastikan upaya Inggris untuk
merangkul penguasa Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang yang berada di
Kepulauan Riau telah tertutup.
Inggris kemudian mengalihkan perhatian dengan menjemput Tengku Husin dan
menabalkannya secara resmi di Singapura. Penabalan Tengku Husin dilakukan pada 6 Februari
1819 atas nama Gubernur Jenderal Benggala dengan gelar Husin Muazzam Syah, Sultan
Singapura dan Johor. Sebagai gantinya, Inggris memberikan perlindungan kepada pihak keluarga
Sultan Husin, tetapi Inggris mendapatkan Singapura dan berhak mengibarkan bendera The Union
Jack.
Penabalan dua orang sultan yang sebenarnya berasal dari satu kesultanan yang sama,
membuat pihak kolonialis telah berhasil memecah Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga,
dan Pahang. Meskipun secara hukum penabalan kedua sultan ini dianggap sah, tetapi secara adat
sebenarnya tidak ada satupun di antara kedua sultan ini yang telah sah ditabalkan sebagai sultan
di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Menurut adat di Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang, seseorang dianggap sah menjadi sultan apabila dalam
penabalannya dilakukan dengan menggunakan regalia Kesultanan Johor, Kepulauan RiauLingga, dan Pahang.
Permasalahan yang dihadapi kedua orang yang mengaku sebagai sultan ini adalah sama-sama
tidak menyertakan regalia dalam masing-masing prosesi penabalan. Ketiadaan regalia karena
regalia Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang tersebut berada di tangan Engku
Puteri, istri ke-empat Sultan Mahmud Syah yang tinggal di Pulau Penyengat .
Kedudukan regalia dalam adat Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
mendapat tempat yang sangat penting karena hal tersebut merupakan simbol yang
melambangkan kebesaran, kekuasaan, simbol magis yang mempengaruhi kosmos, dan dapat
mengembalikan keseimbangan “alam” dan gejolak sosial. Bahkan dalam konsep legitimasi
politik Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang, regalia disebut juga kesultanan
dan kekuasaan pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa merebut regalia sama dengan
merebut kesultanan, pemerintah, atau kekuasaan. Dan mengembalikan regalia, berarti
mengembalikan kesultanan dan pemerintah yang berdaulat kepada pengganti sultan yang dipilih
dan berhak. Di antara alat-alat kebesaran ini yang terpenting adalah cogan atau sirih besar, yaitu
sebuah tombak kebesaran yang menyerupai sirih yang terbuat dari emas dan tulang perak. Selain
itu ada pula seperangkat alat musik nobat royal orkestra, beberapa buah pedang, keris, ketor,
pahar, dan tempat sirih, serta sejumlah benda perhiasan lainnya yang sebagian besar terbuat dari
emas yang berhiaskan batu permata.
Sebenarnya baik dari pihak Sultan Abdulrahman dan Sultan Husin, telah
mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan regalia tersebut. Bahkan sejak 1810, Yang
Dipertuan Muda Raja Jaafar atas nama Sultan Abdulrahman telah berkali-kali membujuk Engku
Puteri untuk menyerahkan regalia. Di sisi lain Sultan Husin dengan bantuan Inggris juga
melakukan upaya serupa. Inggris berusaha membujuk Engku Puteri dengan uang sejumlah
50.000 Ringgit Spanyol. Upaya ini gagal karena Engku Puteri tetap tidak mau menyerahkan
regalia kepada Sultan Husin.
Di pihak lain, setelah berbagai cara dilakukan oleh Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar
tidak berhasil, Sultan Abdulrahman merasa tidak berhak atas kedudukannya sebagai Sultan di
Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Oleh karena itu, sebelum regalia berada
di tangannya, beliau menyingkir dari Lingga ke Terengganu dengan alasan akan melangsungkan
pernikahan. Belanda yang membawahi Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
tidak mau kehilangan momentum menanamkan pengaruh hanya karena ketiadaan regalia sebagai
legalitas adat pengangkatan seorang sultan. Maka Gubernur Belanda di Malaka, Timmerman
Tyssen dan Adirian Koek dengan kekuatan senjata menyerbu ke Pulau Penyengat pada Oktober
1822 dan merebut regalia dari tangan Engku Puteri secara paksa, kemudian menyimpannya di
Benteng Kroonprins di Tanjung pinang.
Peristiwa penyerbuan ini dilaporkan oleh Engku Puteri dalam sebuah surat kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, van der Capellen yang tinggal di Batavia. Akhirnya dengan
regalia yang telah berada di tangan Belanda, Sultan Abdulrahman dijemput dari Terengganu dan
ditabalkan sebagai Sultan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang pada 27 November 1822.
Kini legitimasi sebagai sultan di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang telah resmi dipegang oleh Sultan Abdulrahman. Inggris yang berada di kubu Sultan
Husin semakin tidak mempunyai pengaruh lagi di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga,
dan Pahang. Kehilangan pengaruh ini semakin bertambah ketika Traktat London ditandatangani
pada 1824.
Traktat London merupakan perundingan antara wakil dari Pemerintah Inggris dengan
Kerajaan Belanda. Perundingan tersebut dilakukan di London di mana masing-masing pihak
diwakili oleh H. Hegel dan A.R. Falck dari pihak Belanda, sedang G. Canning dan
C.W.W.Wynn dari pihak Inggris. Di dalam perundingan dimulai sejak akhir 1823 tersebut,
Inggris sejak awal telah menetapkan bahwa Malaka dan daerah sekitarnya termasuk Singapura
akan berada di bawah kekuasaan Inggris. Sedang wakil dari Belanda, menginginkan bahwa
kedua belah pihak akan berpegang pada garis yang dimulai dari pintu masuk ke Selat Malaka
sejajar dengan Kedah atau 6˚ LU dan berakhir di Laut Cina Selatan pada ujung Selat Singapura,
dan memasukkan pulau tersebut ke pihak Inggris, sedangkan pulau-pulau Karimun, Batam,
Bintan, dan Kepulauan Riau ke pihak Belanda. Pembagian wilayah pendudukan untuk Inggris
dan Belanda, secara tersurat dapat dilihat dalam Traktat London yang ditandatangani pada 17
Maret 1824.
Isi Traktat London tersebut, antara lain:
Pasal 10.
Kota dan benteng Melaka beserta rantau jajahan takluknya dengan ini diserahkan
kepadaKemaharajaan Britania Raya dan Raja Kerajaan Belanda berjanji, untuk dirinya dan
untukrakyatnya, tidak akan pernah mendirikan kantor dalam bahagian Semenanjung Melaka
atau memperbuat perjanjian dengan raja-raja Melayu, kepala-kepala negara yang
berkedudukan di semenanjung itu.
Pasal 12.
Raja Belanda tidak akan mencampuri mengenai pendudukan Pulau Singapura oleh
Kemaharajaan Britania Raya.
Imbangan dari itu, maka Kemaharajaan Britania Raya tidak akan mendirikan kantor di
Kepulauan Karimun, atau di Pulau Batam, Bintan, Lingga atau lain-lain pulau yang terletak
di sebelah Selatan Selat Singapura, dan tidak akan memperbuat perjanjian dengan kepalakepala yang ada di situ.
Pasal 13.
Semua koloni, hak milik dan etablisemen, sebagai akibat pasal-pasal di atas ikut diserahkan,
kepada perwira-perwira yang berkedaulatan pada tanggal 1 Maret 1825. d.s.b.”
Pembagian wilayah pendudukan oleh Inggris dan Belanda, secara langsung
berimplikasi pada kekuasaan wilayah Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang.
Jika mengacu pada pembagian Traktat London, wilayah Kesultanan Johor, Kepulauan RiauLingga, dan Pahang termasuk ke dalam wilayah Inggris sekaligus Belanda. Sedangkan sebagian
dari isi Traktat London menyebutkan bahwa di wilayah Inggris, Belanda tidak diperkenankan
untuk menempatkan wakil atau berhubungan dengan para sultan yang memerintah kawasan
Inggris tersebut. Peraturan serupa juga ditetapkan di wilayah Belanda. Sehingga jalan satusatunya adalah membagi wilayah kekuasaan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang berdasarkan pembagian daerah pendudukan yang telah diatur dalam Traktat London.
Berawal dari pemecahan wilayah Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang inilah, maka berdirilah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga yang termasuk ke dalam
wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Dan Sultan Abdulrahman ditetapkan sebagai
sultan pertama Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
Pemerintahan Sultan Abdulrahman yang bergelar Sultan Abdulrahman Muadzam
Syah ditandai dengan berkuasanya Belanda secara penuh di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, pemerintahan, sampai perdagangan harus
sepengetahuan dan seizin Belanda. Belanda pula yang akhirnya bertindak sebagai pengatur,
bahkan untuk urusan pengangkatan dan pemberhentian seorang sultan dan Yang Dipertuan Muda
di Kepulauan Riau.
Campur tangan Belanda di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga mulai dirasakan secara langsung
ketika Belanda memaksakan untuk memperbaharui kontrak yang telah disepakati pada 10
November 1784 dan 27 November 1818. Belanda mengikat Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga
dengan sebuah kontrak yang ditandatangani pada 29 Oktober 1830. Isi perjanjian tersebut antara
lain: Bahwa Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga hanya merupakan pinjaman dari Pemerintah
Hindia Belanda; sultan diharuskan mengucapkan sumpah setia pada Pemerintah Hindia Belanda;
pergantian sultan maupun Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau harus melalui persetujuan
Pemerintah Hindia Belanda; sultan harus berjanji untuk tidak menjalin kerjasama dengan bangsa
lain tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda; ditempatkan seorang residen di Kepulauan
Riau (Tanjungpinang); dalam perkara penting yang menyangkut pengadilan, sultan harus
meminta nasehat residen; orang Eropa, Amerika, rakyat Pemerintah Belanda, dan penduduk
Tanjungpinang tidak berada di bawah hukum sultan, dan Pemerintah Hindia Belanda bebas
mengambil kayu di hutan.
Arsitek dari kontrak politik 29 Oktober 1830 adalah Residen Kepulauan Riau, C.P.J.
Elout. Elout merupakan seorang residen yang piawai dalam mengatasi masalah-masalah yang
berhubungan dengan Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Eliza Netscher, residen pengganti
setelah Elout menambahkan bahwa dipertahankannya Elout di Kepulauan Riau karena ia
mempunyai hubungan baik dengan para sultan Melayu dan pengaruhnya sangat besar di
Kepulauan Riau. Berkat Elout pula, untuk pertama kalinya dibuat sebuah surat perjanjian dibuat
setelah Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang dipecah dan salah satunya
menajdi Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
Pada 18 Desember 1931 Yang Dipertuan Muda Kepulauan Riau Raja Jaafar
meninggal dunia. Maka sesuai dengan kontrak pada 29 Oktober 1930, dipilih pengganti beliau,
yaitu Tengku Abdul Rahman Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau. Pada 9 Agustus 1932,
Sultan Abdulrahman Muadzam Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Tengku Muhammad
yang bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagaimana pendahulunya, Sultan Muhammad Syah
juga melakukan sumpah setia pada Pemerintah Hindia Belanda. Proses pengambilan sumpah
dilakukan pada 29 Maret 1834.
Pemerintahan Sultan Muhammad Syah ditandai dengan pembasmian secara berkala
para perompak di wilayah maritim Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Para perompak ini telah
mengacau alur perdagangan dari dan ke luar Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Akibatnya
pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah perdagangan di Kepulauan Riau-Lingga
mengalami kemerosotan. Berkat campur tangan Belanda yang bekerjasama dengan Sultan
Muhammad Syah, aksi perompakan ini telah jauh berkurang pada tahun 1837, sehingga
perdagangan bisa dipulihkan kembali.
Pada 20 Juli 1841 Sultan Muhammad Syah meninggal dunia dan digantikan oleh
Sultan Mahmud Muzhafar Syah melalui prosesi penabalan yang dilakukan pada 5 Januari 1843.
Sebenarnya sebelum Sultan Muhammad Syah meninggal dunia, beliau telah menyiapkan
puteranya sebagai pengganti. Hanya saja putera tersebut baru berumur 18 tahun, sehingga
dianggap belum pantas untuk menjadi seorang sultan. Sebagai seorang yang diproyeksikan
mengganti kedudukan sultan, putera ini kemudian belajar tentang segala urusan yang
menyangkut kesultanan. Baru pada 5 Januari 1843, Sultan Mahmud Muzhafar Syah resmi
ditabalkan sebagai sultan untuk menggantikan ayahnya, Sultan Muhammad Syah.
Pada 17 Juni 1844, Yang Dipertuan Muda Abdulrahman meninggal dunia.
Berdasarkan perjanjian pada 29 Oktober 1830, dengan persetujuan Pemerintah Hindia Belanda,
Sultan Muhammad Syah harus mengangkat pengganti. Akan tetapi kesempatan ini justru
digunakan oleh Sultan Muhammad Syah untuk berusaha menghapuskan lembaga Yang
Dipertuan Muda di Kepulauan Riau atau institusi yang mempunyai hak prerogratif dan dipegang
oleh bangsawan dari Bugis. Residen A.L. Andriesse yang merupakan tangan kanan dari
Pemerintah Hindia Belanda, berusaha menghalangi maksud dari Sultan Muhammad Syah ini
dengan alasan bertentangan dengan perjanjian 29 Oktober 1830. Sultan Muhammad Syah
akhirnya mengalah dan mengangkat Raja Ali, saudara tertua dari Raja Abdulrahman pada April
1845.
Pada dasarnya Sultan Mahmud Muzhafar Syah merupakan sosok sultan yang sulit
diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui seorang Residen di Kepulauan Riau
(Tanjungpinang) yaitu A.L. Andriesse. Sultan Mahmud Muzhafar Syah adalah seorang sultan
yang gemar berkeliling dengan orang Eropa dan Persia ke Singapura. Di sana sultan bergaul
dengan banyak orang Eropa dan mulai terpengaruh dengan gaya hidup Eropa. Kebiasaan beliau
yang sering datang ke Singapura tentu saja mengusik Pemerintahan Inggris yang menguasai
Singapura. Akibatnya hubungan Inggris-Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga-Belanda sempat
tegang karena Inggris menuduh Sultan Mahmud Muzhafar Syah telah turut campur tangan di
wilayah semenanjung
Keikutsertaannya itu melanggar Traktat London 1824. Sedangkan bagi Sultan
Mahmud Muzhafar Syah, seringnya beliau datang ke Singapura karena merasa bahwa penguasa
Terengganu merupakan saudara sedarah dari pihak Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Bahkan
karena masih merasa menjadi bagian dari Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang, Sultan Mahmud Muzhafar Syah merasa berhak untuk menarik Johor dan Terengganu ke
dalam wilayah kekuasaannya karena sultan merasa sebagai pewaris tahta yang sah atas
Kesutanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang.
Tindakan Sultan Mahmud Muzhafar Syah membuat Pemerintah Hindia Belanda
melalui Residen Kepulauan Riau menegur dengan sangat keras pada Sultan Mahmud Muzhafar
Syah. Belanda menganggap bahwa tindakan Sultan Mahmud Muzhafar Syah bisa memicu
konflik dengan Inggris sebagaimana telah diatur dalam Traktat London 1824. Akhirnya
Gubernur Jenderal Hindia Belanda menulis surat secara resmi kepada Sultan Mahmud Muzhafar
Syah tertanggal 7 April 1854 agar menghentikan kunjungannya ke Singapura dan negeri-negeri
tetangganya di Semenanjung Melayu dan meminta supaya segera kembali ke Lingga.
Teguran keras dari Pemerintah Hindia Belanda ini tidak membuat Sultan Mahmud
Muzhafar Syah menghentikan kunjungannya ke Singapura. Pada 30 Agustus 1857 Sultan
Mahmud Muzhafar Syah berangkat ke Singapura dengan tidak meminta izin dari Gubernur
Jenderal de Graaf dan tidak mengindahkan larangan dari Residen Kepulauan Riau. Atas
ketidakpatuhan ini, maka berdasarkan “Manifest Atas Nama Raja! Gubernur Jenderal Hindia
Belanda” yang dikeluarkan di Buitenzorg (sekarang Bogor) tertanggal 23 September 1857, maka
“Sultan Mahmud Muzhafar Syah dengan ini dinyatakan telah gugur pinjamannya terhadap
Kerajaan Lingga, Kepulauan Riau, dan rantau jajahan taklukannya”. Dengan kata lain, mulai 23
September 1857, Sultan Mahmud Muzhafar Syah dimakzulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai pengganti Sultan Mahmud Muzhafar Syah, diangkatlah Tengku Sulaiman yang bergelar
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah serta mengangkat Raja Abdullah Haji sebagai Yang
Dipertuan Muda di Kepulauan Riau dengan gelar Sultan Alaudinsyah.
Pemakzulan Sultan Mahmud Muzhafar Syah ternyata berimbas panjang. Beberapa
kalangan yang tidak setuju dengan pemakzulan tersebut melancarkan protes, bahkan perlawanan.
Salah satunya adalah perlawanan yang meletus di Reteh (kemudian dikenal sebagai Perang
Reteh) di bawah pimpinan Panglima Sulung.
Pasca pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Kesultanan Kepulauan RiauLingga diperintah oleh Abdul Rahman II Muadzam Syah (1885–1911). Ketika beliau
memerintah, pada 1894 terdapat semacam perkumpulan para cendekiawan yang disebut
Rusydiah Klub dengan dua sarana penunjang: Percetakan Mathba`at al Kepulauan Riauwiyah,
serta sebuah perpustakaan Kutub Kanah Marhum Ahmadi.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah ini pula, pusat
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga secara resmi dipindahkan dari Lingga ke Penyengat pada
1900. Sebagaimana sultan sebelumnya, sultan terakhir Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga ini
memang dikenal karena ketidakpatuhannya pada Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu sikap
ketidakpatuhannya pada Pemerintah Hindia Belanda ditunjukkan dengan pengibaran bendera
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga di Istana Abdul Rahman II Muadzam Syah di Pulau
Penyengat, bukannya pengibaran bendera Belanda sebagaimana yang telah dilakukan setiap
tahun. Peristiwa ini mendapat peringatan keras dari Residen Kepulauan Riau yang berada di
Tanjungpinang.
Akhir dari Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga terjadi pada 1911. Saat itu Residen
Kepulauan Riau, G.P. de Bruin Kops, membacakan surat pemberhentian Sultan Abdul Rahman
II Muadzam Syah dan Tengku Besar atau Tengku Umar di Gedung Rusydiah Klub dengan
alasan sultan dan para petingi Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga menyingkir ke Johor dan
Singapura, di mana kedua wilayah tersebut menurut Traktat London merupakan wilayah
kekuasaan Inggris. Sehingga Belanda menyimpulkan bahwa Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga
tidak tunduk lagi kepada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Sebelum terjadi eksodus besarbesaran ke Singapura dan Semenanjung Malaka, Pemerintah Hindia Belanda pada 3 Februari
1911 telah mendaratkan kapal di perairan Pulau Penyengat beserta puluhan sekoci dan marsose.
Kekuatan tempur ini didatangkan karena sebelumnya pada 1910, Sultan Abdul
Rahman II Muadzam Syah menolak untuk menandatangani kontrak politik baru dengan dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan politik memaksa Pemerintah Hindia Belanda
mendatangkan kekuatan bersenjata ke Pulau Penyengat dan memaksakan penandatanganan
kontak politik baru. Kepanikan yang terjadi di Pulau Penyengat menyebabkan keluarga
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dan sebagian besar penduduknya melarikan diri (eksodus)
ke wilayah Inggris, yaitu ke Singapura dan daerah Semenanjung Malaka. Akhirnya melalui
Staatsblad No. 19 tahun 1913 secara resmi Pemerintah Hindia Belanda menghapuskan
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga . Mulai tahun itu pula berakhirlah sudah kelangsungan hidup
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
B. Silsilah
Di bawah ini merupakan silsilah para sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga:
Sultan Abdulrahman Muadzam Syah (1818–1832)
Sultan Muhammad Syah (1832–1841)
Sultan Mahmud Muzhafar Syah (1843–1857)
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1857–1883)
Sultan Abdulrahman II Muadzam Syah (1885–1911)
C. Sistem Pemerintahan
Ada dua kepala pemerintahan di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Pertama adalah
sultan (secara de jure) yang berkedudukan di Daik (Lingga) kemudian pindah ke Pulau
Penyengat. Kedua yaitu Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau yang berkedudukan di Pulau
Penyengat. Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau merupakan kedudukan yang menjadi hak
turun-temurun bagi bangsawan Bugis di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau mempunyai hak prerogratif (de facto) dan
tidak jarang mampu memainkan peran sultan. Kedudukan Yang Dipertuan Muda di Kepulauan
Riau berada di bawah kedudukan seorang sultan. Akan tetapi pada prakteknya fungsi Yang
Dipertuan Muda di Kepulauan Riau ini mampu menggantikan posisi sultan. Sebut saja Yang
Dipertuan Muda di Kepulauan Riau Raja Jaafar yang menjadi pemangku jabatan sultan ketika
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga diperintah oleh Sultan Abdulrahman Muadzam Syah.
Sepakterjang Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar justru terlihat lebih dominan daripada Sultan
Abdulrahman Muadzam Syah sendiri.
Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar merupakan orang yang menabalkan Sultan
Abdulrahman Muadzam Syah. Beliau juga menjadi pihak yang paling keras berusaha untuk
mendapatkan regalia. Beliau juga menjadi orang yang memainkan peran penting dalam berbagai
perjanjian dengan Inggris maupun Belanda.
Sedangkan untuk kedudukan seorang sultan, secara umum, sejak sultan pertama
sampai dengan sultan terakhir yang memerintah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, sistem
pemerintahan di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga sepenuhnya berada di bawah pengaruh
Pemerintah Hindia Belanda. Sultan memang menjadi orang yang mempunyai kedudukan paling
tinggi di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, tetapi masih berada di bawah kontrol langsung
seorang residen yang ditempatkan di Tanjungpinang. Segala urusan yang berkenaan langsung
dengan kesultanan, harus sepengetahuan residen sebagai tangan kanan dari Pemerintah Hindia
Belanda.
Secara tertulis sistem pemerintahan di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dimulai
ketika kontrak politik antara Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dan Pemerintah Hindia
Belanda ditandatangani pada 29 Oktober 1930. Secara spesifik, rincian dari perjanjian tentang
pengaturan sistem pemerintahan tersebut antara lain: Bahwa Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga
hanya merupakan pinjaman dari Pemerintah Hindia Belanda; sultan diharuskan mengucapkan
sumpah setia pada Pemerintah Hindia Belanda; pergantian sultan maupun Yang Dipertuan
Agung Kepulauan Riau harus melalui persetujuan Pemerintah Hindia Belanda; sultan harus
berjanji untuk tidak menjalin kerjasama dengan bangsa lain tanpa sepengetahuan Pemerintah
Hindia Belanda; ditempatkan seorang residen di Kepulauan Riau (Tanjungpinang); dalam
perkara penting yang menyangkut pengadilan, sultan harus meminta nasehat residen; orang
Eropa, Amerika, rakyat Pemerintah Belanda, dan penduduk Tanjungpinang tidak berada di
bawah hukum sultan, dan Pemerintah Hindia Belanda bebas mengambil kayu di hutan.
Jika dilihat dari kontrak politik 29 Oktober 1930 tersebut jelas terlihat bahwa
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga mutlak berada di bawah pengaruh Pemerintah Hindia
Belanda. Segala keputusan penting harus sepengetahuan residen yang ditempatkan di
Tanjungpinang. Bahkan jika seorang sultan akan keluar dari wilayah Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga, dia harus meminta izin kepada residen. Keputusan untuk pergi dan tidaknya
seorang sultan berada di tangan seorang residen. Jika hal ini tidak dipatuhi, maka terguran keras
bahkan hukuman dimakzulkan bisa dikenakan pada seorang sultan. Seperti yang dialami oleh
Sultan Mahmud Muzhafar Syah yang dianggap tidak mengindahkan larangan dari Pemerintah
Hindia Belanda agar tidak melakukan kunjungan ke Singapura.
D. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga meliputi seluruh Kabupaten
Kepulauan Kepulauan Riau sebelum terjadi pemekaran daerah ditambah dengan beberapa emirat
(pemerintahan negara) yang dikepalai oleh seorang emir atau kepala pemerintahan seperti
Mandah yang terdiri dari Igal, Gaul, Reteh, dan Mandah yang pada mulanya termasuk ke dalam
daerah Indragiri, tetapi kemudian dibagi lagi menjadi Inderagiri Hilir.
E. Kehidupan Sosial-Budaya
Wilayah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga merupakan daerah yang potensial
sebagai bandar perdagangan. Minimal ada dua komoditi yang berasal dari Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga, yaitu rempah-rempah (terutama lada) dan timah. Belanda telah menguasai sektor
perdagangan (perekonomian) di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, bahkan sebelum
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dipisahkan dari Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga,
dan Pahang sebagai konsekuensi Traktat London 1824.
Belanda sanggup mengikatkan kekuatan yang sangat kuat di wilayah ini karena
kemenangan atas beberapa peperangan yang dikenal sebagai Perang Kepulauan Riau-Belanda.
Salah satu peperangan yang sangat dikenal adalah perang antara Belanda dan Raja Haji.
Perlawanan yang dilakukan Raja Haji di sekitar perairan Tanjungpinang bahkan berhasil
mematahkan kekuatan Belanda dan menyerang sampai Malaka. Akan tetapi pada Juni 1784, Raja
Haji tewas di Teluk Ketapang dan bergelar Marhum Teluk Ketapang. Pasca kematian Raja Haji,
pada November 1784, Belanda mengikat Kepulauan Riau dengan suatu perjanjian.
Perjanjian yang dilakukan Belanda dengan Kepulauan Riau pasca kekalahan Raja
Haji, dirasakan sangat merugikan pihak Kepulauan Riau. Belanda memaksakan perjanjian
dengan Sultan Mahmud Syah pada 1784. Perjanjian ini terdiri atas 14 pasal yang secara singkat
memberikan batasan kepada Kepulauan Riau dalam berbagai bidang. Misalnya saja Belanda
bebas mengatur perdagangan di daerah ini dan membuka kantornya di Tanjungpinang. Setiap
kapal asing yang melewati daerah ini harus mendapatkan izin dari Belanda. Hanya Belanda yang
boleh membawa timah dan rempah-rempah.
Kekuatan Belanda mulai melemah ketika VOC dinyatakan bangkrut pada 1799. Mulai
saat itulah Inggris mengambil alih peran Belanda di Kepulauan Riau. Kebetulan pula Inggris
melakukan cara moderat dalam memperlakukan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang di Kepulauan Riau. Selain mengusai Malaka pada 1795, Inggris juga mengakui
Kepulauan Riau sebagai kerajaan merdeka. Inggris juga membebaskan para pedagang di
Kepulauan Riau (terutama pedagang lada) untuk melakukan perdagangan dengan Inggris tanpa
adanya ikatan atau perjanjian yang merugikan. Awalnya hubungan dagang antara Inggris dan
pihak Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang di Kepulauan Riau ini berjalan
dengan rahasia. Tetapi lama-kelamaan transaksi ini dilakukan secara terang-terangan.
Dibukanya tambang timah di Pulau Karimun dan Kundur pada 1801 dan Pulau
Singkep secara besar-besaran membuat kehidupan perekonomian semakin meningkat. Pada saat
yang hampir bersamaan Pulau Penyengat mulai dibuka. Mula-mula Pulau Penyengat dijadikan
kediaman dari Engku Puteri Raja Hamidah, istri ke-empat dari sultan Mahmud Syah. Pada
perkembangannya kemudian, Pulau Penyengat dijadikan tempat resmi kedudukan Yang
Dipertuan Muda Kepulauan Riau Raja Jaafar. Di pulau inilah pada 1808, Raja Ali Haji
dilahirkan.
Raja Ali Haji merupakan sastrawan besar di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
Beliau dikenal sebagai budayawan paling prolific dengan karya-karya yang beraliran sastra,
sejarah, hukum, dan bahasa. Berbagai karya tulis telah dihasilkannya, antara lain: Silsilah
Melayu dan Bugis, Tuhfat Al-Nafis, Bustan Al-Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa, Tsamarat
Al-Muhimma, Sinar Gemala Mestika Alam, Syair Abdul Muluk, Suluh Pegawai, Siti Shianah
Shahib Al Fatut wal-Amanah, dan Gurindam Dua Belas.
Tuhfat Al-Nafis misalnya merupakan salah satu karya Raja Ali Haji yang masuk ke
dalam genre sastra sekaligus sejarah. Secara garis besar Tuhfat Al-Nafis berisikan sejarah dan
hubungan antara orang Melayu-Bugis dalam percaturan politik dengan berbagai kekuasaan di
kawasan yang kini meliputi Singapura, Malaysia, sebagian Kalimantan, serta Sumatera. Adapun
pusat penceritaannya adalah kawasan Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
Raja Ali Haji berperan penting bagi pengembangan bahasa Melayu. Masa hidup
beliau (1809-1872) dihabiskan dengan kembali menuliskan dan mengembangkan bahasa Melayu
lewat berbagai sudut panda, sejarah, sastra, budaya, dan hukum. Kemajuan pengembangan
bahasa di masa Raja Ali Haji masih hidup maupun pasca beliau wafat, salah satunya karena
didukung oleh adanya perkumpulan para cendekiawan yang disebut Rusydiah Klub dengan dua
sarana penunjang: Percetakan Mathba`at al Kepulauan Riauwiyah, serta sebuah perpustakaan
Kutub Kanah Marhum Ahmadi. Sayangnya kegemilangan dalam hal pengembangan bahasa di
era pemerintahan Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah (1885–1911) ini mengalami
kemunduran karena pada 1913, Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dihapuskan oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Meskipun demikian Pemerintah Hindia Belanda tetap mempertahankan
keberadaaan Rusydiah Klub yang bergerak di ranah kebudayaan.
KESIMPULAN
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga merupakan sebuah kesultanan yang kini terletak di wilayah
Provinsi Kepulauan Kepulauan Riau. Sejarah awal Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga ditandai
pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah yang naik sebagai sultan di Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang (Kesultanan Johor) pada 1761. Ketika memerintah beliau
memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu Kepulauan Riau dari Kepulauan Riau
Lama (Ulu Kepulauan Riau di Pulau Bintan) ke Daik di Pulau Lingga pada 1788. Di Lingga
inilah Sultan Mahmud Syah membangun istana dan melaksanakan pemerintahan serta mengatur
kembali perdagangan sebagai komoditi, khususnya lada dan timah dengan Inggris yang
dilakukan secara gelap.
Download