Islam Nusantara - Perpustakaan Hukum

advertisement
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hukum Nasional
n.May.Jen. Sutoyo -Cililitan- Jakarta Timur
Sumber :RF-Pu'§,_IKA
Subjek:
IHariffgl:
RABU/ l·»LJ
If:LAM -- /'1 UC4 AJ I A R.;Lj.
JJOIJ
Hlm/Kol :
Bidang:
V7 /;-_?
g
Islam Nusantara
•
ACEP ARIPUDIN
Dosen UIN SGD Bandung, Kepala Bidang Litbang Khazanah Balitbang Diklat Kemenag Rl
T
anggapan M Ishom Yusqi
pada 25 Juni 2015 terhadap opini Ahmad Sastra
sekitar "Nusantara Islam"
atau "Islam Nusantara"
cukup memadai meskipun
belum membuat pembaca seperti saya
turun berkeringat. Ishom mencoba menanggapi opini Sastra terlalu kontekstual, jika tak mau dikatakan tradisional.
Pertama, saya tertarik analisis Ishom
terhadap potret keberagamaan masyarakat Nusantara yang dihubungkan dengan pola pengembangan dakwah dengan "menghargai tradisi" masyarakat
setempat. Kata-kata "menghargai tradisi" dalam perspektif sosial memiliki
makna adanya subjek tertentu yang
dominan a tau superior. Subjek dominan
dalam konteks ini adalah Islam.
Dalam paparan selanjutnya, Ishom
sama sekali tak mendapatkan argumen
bahwa Islam diterima masyarakat Nusantara tidak melalui penaklukan atau
kekerasan. Ini serupa dengan pandangan
beberapa ahli sejarah sebelumnya.
Namun, argumen tentang mengapa
masyarakat Nusantara menerima Islam
masih luput dari pengamatan Ishom
maupun opini Satra. Padahal, pengungkapan soal alasan masyarakat Nusantara menerima Islam bisa menyadarkan
pembaca lebih bijaksana dalam konteks
psikologi masyarakat Nusantara.
Apabila mengacu pandangan SN
Alatas (1982) alasan mengapa masyarakat Nusantara cepat menerima Islam,
dapat sedikit mencerahkan. Bagi Alatas,
Islam bisa diterima masyarakat Nusantara dan bahkan inelibas Hindu yang sudah lama ada karena pandangan berikut,
pertama, ajaran Hindu dalam pandangannya terlalu filosofis sehingga hanya
bisa dicerna kalangan tertentu, seperti
raja lokal dan para cerdik saat itu. Masyarakat kebanyakan tidak bisa mencerna ajaran terlalu filosofis tersebut.
Kedua, dalam Islam sendiri mengandung aspek yang lebih berasa sastra dibanding filsafat, seperti pada ungkapanungkapan ayat Alguran. Rasa sastra ini
pula yimg umum ~enjadi kebudayaan
Melayu Nusantara. Perpaduan dua bentuk budaya dengan rasa serupa menjadi
jembatan emas mulusnya Islam berkembang di Nusantara.
Tasawuf
Aspek lain yang berhubungan dengan rasa dalam konteks Islam di Nusantara adalah tasawuf. Aspek tasawuf
yang menjadi sisi tertentu corak Islam
memiliki nilai rasa serupa dengan kebatinan dan penghayat sebagai keyakinan
masyarakat lokal Nusantara. Argumen
inilah yang menyugesti banyak ahli mengatakan bahwa Islam masuk ke tatar
Nusantara memiliki kekhasan tersendiri.
Penyebaran Islam di Nusantara memang memiliki karakter tersendiri dibandingkan penyebaran Islam di daerah
dekat tempat lahirnya Islam, Timur Tengah. Mengacu pendapat Ira M Lapidus
dalam History of Islamic Soc;ieties, pe-
Menanggapi Opini
"Islam Nusantara,
Islam Universal"
-
nyebaran Islam di Nusantara lebih dekat dengan proses serupa ke dataran
Afrika seperti tampak pada praktik dan
pemahaman Islam masyarakat.
Praktik dan pemahaman Islam dimaksud cenderung pada tasawuf (mistik) yang menjadi karakter penyebaran
Islam di Asia dan Afrika. Pandangan ini
banyak dianut oleh para sarjana Barat
lainnya, seperti AH John, HJ Benda,
Drews, MC Rickleft, dan C Geertz.
Tasawuf sebagai bentuk praktik
akulturasi dan asimilasi Islam dengan
budaya lokal tidak bisa dibantah dengan
mempertimbangkan tradisi mistik dan
magic masyarakat di lokasi yang didatangi Islam. Tradisi ini juga dipeluk oleh
penguasa-penguasa lokal, baik sebelum
maupun sesudah memeluk Islam.
Pengll_a~a-penguasa lokal il'aia lokal),
Sambungan
Somber:
Hariffgl:
~
~
~
Hlm/Kol:
v
setelah masuk Islam diganti dengan
panggilan sultan (sulthon) yang artinya
'penguasa' atau raja. Meskipun sudah
berubah nama, pada faktanya tetap memiliki peran dan fungsi sebagaimana
raja sebelumnya. Sultan adalah jelmaan
Tuhan di bumi (khalifat fi al-ard). Suaranya, gagasan, dan perintahnya juga perintah Tuhan yang harus diikuti dan
ditaati. Mengabaikan dan melawan sultan berarti melawan Tuhan; sikap yang
terlalu sombong dan bahkan bisa menimb.ulkan malapetaka bila dilakukan.
Sultan tersebut di Nusantara sangat
banyak dan menjadi karakter tersendiri
dalam bangunan sistem sosial, budaya,
dan politik masyarakat. Mereka sangat
jelas dapat memperkuat Islam dan memajukannya menjadi bagian penting sistem
sosial dan politik saat itu, bahkan hingga
kini. Dalam hubungannya dengan Islam,
para sultan juga memberi andil tak kecil,
jika tidak dikatakan dominan, dalam
proses Islamisasi Nusantara.
Dominasi sultan-sultan dalam proses
Islamisasi tampak kuat dalam fakta-fakta arkeologis, filologis, dan sosio-historis
sebagai bentuk tinggalan sultan, yang
pada sentra-sentra tertentu masih lestari
hingga sekarang dalam bentuk kesultanan
Nusantara. Di J awa ada Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan
Banten, dan Kesultanan Surakarta.
Di Madura ada Kesultanan Sumenep
yang sebagian besar sultannya sangat
mesra berhubungan dengan Belanda. Di
Kalimantan ada Kesultanan Banjar dan
Inderapura di Sumatra. Masih di Sumatra, juga dikenal Kesultanan Aceh, Malaka, Riau, dan Kesultanan Jambi.
Begitu juga di Sulawesi, Kerajaan
Bone dan Temate menjadi maskot sentra
fakta-fakta arkeologis kesultanan di Nusantara. Kesultanan Nusantara merupakan bagian inti dalam mengukur struktur sosial dan budaya di Nusantara. Agama, dalam hal ini Islam, merupakan gagasan dan peradaban yang mengisi sir-.
kulasi peradaban manusia Nusantara.
Islam dan kesultanan telah melewati
masa-masa kemesraan hingga melahirkan anak cucu peradaban kesultanan
Islam Nusantara yang beragam.
Islam dan Arab
Tanggapan kedua tentang argumen
Ishom atas opini Sastra adalah tentang
Islam dan Arab. Ishom membedakan antara Arab dan Islam dengan memosisikan
Arab sebagai salah satu simbol Islam dan
bukan sebaliknya, Islam adalah simbol
Arab. Hubunga:imya dengan konteks Islam di Nusantara, akan lebih "aman" jika
dikatakan merupakan kelanjutan (sustainability) dari Islam di Arab.
Adapun kemudian terdapat perkembangan dan dinamika merupakan konsekuensi dalam setiap proses perubahan
dan perkembangan sosial budaya dalam
masyarakat Nusantara. Budaya Nusantara terus berkembang, begitu pula Islam, seolah perpaduan itu tidak terpisah.
Setelah terjadinya proses dialektika
dan akulturasi budaya, maka jadilah Islam dan budaya Nusantara menjadi sulit
dipisahkan atau dalam bahasa singkat
disebut "Islam Nusantara". Jika begitu,
manakah yang dikatakan "universalnya"? Islam yang universal a tau Nusantaranya a tau kedua-duanya memiliki aspek keuniversalan?
Sentral pembicaraan topik Islam Nusantara ini sebenarnya yang berada di
balik munculnya "Islam" dan Nusantara, yaitu sebagai budaya. Subjek sekaligus pemilik budaya adalah man usia.
Atas statement seperti ini, maka keuniversalan Islam maupun yang berada
dalan Nusantara adalah aspek kemanusiaannya. Sisi-sisi humanisme ini, baik
yang menempel dalam Islam maupun
dalam kultur Nusantara, akan tetap sama atau universal. Terkadang dalam
praksisnya "cover Islam" maupun "cover Nusantara" tumpang tindih saling
bergantian. Penggunaan kata Islam Nusantara adalah penyederhanaan dan
a tau pemendekan atas konsep Islam dan
Nusantara dalam konteks kemanusiaan
universal.
Apabila berpijak pada perspektif sisi
kemanusiaan yang lebih ditonjolkan maka kekhawatiran terhadap diskusi Islam
Nusantara tidak akan terjebak pada
alergi "Arabisasi phobia" maupun "phobia Nusantara". Seorang Muslim Nusantara tidak terlarang menggunakan simbol Arab, tapi juga tidak wajib menggunakan simbol Nusantara, begitu sebaliknya.
Simbol Arab maupun Nusantara dan
simbol-simbollainnya dapat digunakan
manusia untuk keselamatan dan kesejahteraannya. Namun, di akhir tulisan
ini saya ingin mengonfirmasi bahwa
gagasan Nusantara Islam atau Islam Nusantara tepat apabila diposisikan dalam
kerangka teknik akademik, seperti juga
konsep Islam Barat dan Islam Timur
yang biasa dikenal dalam khazanah studi Islam. Wallahu a'lam. •
J
Download