Uploaded by User22429

Fiqih Muamalah Kontemporer (Istishna Paralel)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Akad istisna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini
dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan
kepada produsen juga memberikan keuntungan pada konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam
hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna’ lebih mungkin banyak di
gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini di sebabkan karena barang
yang di pesan oleh nasabah attau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan
perlu di buatkan terlebih dahulu di bandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara
sosiologis, barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu
di pesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang
mengimplementasikan istisna’ menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah
pengadaan barang yang belum tersedia.
Akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna’ dapat dilakukan langsung
antara dua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti atau melalui perantara. Jika
dilakukan melalui perantara maka akad disebut dengan akad istishna’ paralel.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian daari istishna paralel?
2. Apa landasan hukum dari istishna paralel?
3. Apa saja rukun dan syarat istishna paralel?
4. Bagaimana skema istishna paralel?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian istishna paralel
2. Untuk mengetahui landasan hukum istishna paralel
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat istishna paralel
4. Untuk mengetahui skema istishna paralel
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata istishnâʻ berasal dari kata shânaʻa yang berarti membuat, kemudian
ditambah huruf alif, sin dan ta‟ menjadi isthasna‟a yang berarti meminta dibuatkan
sesuatu.1
Secara istilah ilmu fiqih Istishnâʻ berarti akad dengan pihak pengrajin atau
pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu di mana materi dan
biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin,2 berbeda jika materinya berasal
dari pihak pemesan berlaku sebagai akad ijârah.3 akad istishnâʻ bersifat tidak luzum
dimana dalam akad ini diantara para pihak mempunyai hak khiyâr. Dalam hal ini hak
hiyâr dari pihak pengrajin berakhir dari ia mendatangkan produk kepada pihak pemesan,
sedangkan pihak pemesan mempunyai khiyâr ruʻyat.4
Sedangkan yang dinamakan istishnâʻ paralel yaitu pembeli mengizinkan
pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut, dengan
demikian pembuat barang dapat membuat kontrak istishnâʻ kedua untuk untuk
memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama.5
1
www.Mahir al Hujjah.blongspot.com/2008/08/fiqh Muamalah konsep jual beli istishna‟.html. Diakses pada
tanggal 20 Oktober 2012.
2
Ghufron A,mas‟adi ”Fiqih Muamalah Kontekstual”(Jakarta: Raja Gravindo,2002),h.144
3
Abdur Rahman al-Jazairy,al-fiqh “al-fiqh „ala madzabib al-arba‟ah"(Darul fikri;Bairut), h.633
4
Khiyar ru‟yat adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat
objek akan dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya
dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan diatasnya.
5
H.R. Daeng Najah “Akad Bank Syariah” (Yogyakarta:Pustaka Yustisia,2011) hal 48
3
B. Landasan Hukum
1. Al-Qur’an
ُ‫ي َ ا أ َي ُّ َه ا ا ل َّ ِذ ي َن آ َم ن هوا إ ِ ذ َا ت َدَا ي َ نْ ت ْم ب ِ دَ يْ ٍن إ ِ ل َ ٰى أ َ َج ٍل م سَ ًّم ى ف َ ا كْت ب هو‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”( Al-Baqarah
282).6
2. Hadist
“Dari Ibn Abbâs bersabda: Dahulu ketika nabi Muhammad SAW di Madinah
bersabda : barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jagka waktu yang
diketahui “.7
Jual beli Istishnâʻ merupakan lanjutan dari jual beli salam
yang mana
keduanya tergolong jual beli ma‟dum (yakni jual beli barang yang belum wujud) maka
secara umum dasar hukum yang berlaku pada jual beli salam berlaku pula pada jual
beli istishnâʻ.
3. Qiyas
Jika jual beli istishnâʻ di qiyaskan dengan bai‟ ma‟dum, maka jual beli
istishnâʻ tidak diperbolehkan. Menurut Hanafiyah, jual beli istishnâʻ diperbolehkan
dengan alasan istihsân demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi
kebiasaan („urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang mengingkarinya. Akad
istishnâʻ diperbolehkan karena ada ijma‟ ulama.
Akan tetapi menurut ulama Malikiyah, Syafiʻiyah dan Hanabalah, akad
istishnâʻ sah dengan landasan diperbolehkannya akad salam, dan telah menjadi
kebiasaan umat manusia dalam bertransaksi („urf). Dengan catatan, terpenuhinya
syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam akad salam, diantaranya adalah adanya
6
7
Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahannya,(Kudus:Menara Kudus,2006)
Muhammad Al-Bukhâri bin Ismâʻil bin ibrâhim Al-Mughîrah “Sahih Al-Bukhâri”(Kairo: Dar Al- Sya‟ab: 1987)
4
serah terima modal (pembayaran) di majelis akad secara tunai. Ulama Syafiʻiyyah
menambahkan, prosesi penyerahan objek akad bisa dibatasi dengan waktu tertentu.8
4. Fatwa DSN MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istishnâʻ.
Dalam Fatwa DSN MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli Istishnâʻ,
ditetapkan yang pertama, Ketentuan dalam pembayaran (1) Alat bayar harus
diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.(2)
Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. (3) pembayaran tidak boleh dalam
bentuk pembebasan hutang.Kedua, Ketentuan tentang barang (1) Harus jelas ciri cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. (2) harus dapat dijelaskan spesifikasinya (3)
Penyerahannya dilakukan kemudian. (4) Waktu dan tempat pembayaran barang harus
ditetapkan berdasarkan kesepakatan. (5) Pembeli (musthasniʻ) tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya. (6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan
barang yang sejenis sesuai kesepakatan. (7) Dalam hal terdapat cacat atau barang
tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyâr (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad. Ketiga, Ketentuan lain: (1) Dalam hal
pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya megikat. (2)
Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula
pada jual beli istishnâʻ. (3) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.9
5. Fatwa DSN-MUI No:22/DSN_MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Istishnâʻ Paralel.
Dalam Fatwa DSN-MUI No:22/DSN_MUI/III/2002 tentang jual beli istishnâʻ
paralel, ditetapkan pertama bahwa: (1) Jika LKS melakukan transaksi istishnâʻ untuk
memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishnâʻ lagi dengan
pihak lain pada obyek yang sama, dengan syarat istishnâʻ pertama tidak bergantung
(mu‟allaq) pada istishnâʻ kedua. (2) LKS selaku mustashniʻ tidak diperkenankan
8
9
Wahbah Az Zuhaili,”Fiqh wa adillatuh”,( jilid IV )( Jakarta:Gaya media Pratama:1898) h. 632.
Fatwa DSN MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna‟
5
untuk memungut MDC (margin during construction) dari nasabah (shâniʻ) karena hal
ini tidak sesuai dengan prinsip syariah. (3) semua rukun dan syarat yang berlaku
dalam akad istishnâʻ (Fatwa DSN MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula
pada istishnâʻ paralel. Kedua, Ketentuan lain: (1) Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah. (2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.10
6. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Mengenai jual beli istishnâʻ dalam kompilasi hukum ekonomi syariah
dijelaskan dalam pasal 104 “Bai‟ Istishnâʻ mengikat setelah masing-masing pihak
sepakat atas barang yang di pesan”. Sehingga setelah para pihak melakukan
perjanjian setelah itu kontrak sudah ditandatangani secara sah maka masing-masing
pihak sudah terikat perjanjian menurut hukum yang berlaku.11
Dalam pasal 105 dijelaskan “bai‟ istishnâʻ dapat dilakukan pada barang yang dapat
dipesan”. Kemudian dilanjutkan pada pasal 106 dijelaskan bahwa”dalam bai‟
istishnâʻ, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan
pemesanan. Sehingga seperti yang dijelaskan dalam fatwa DSN tadi jika barang
pesanan tidak sesuai dengan pesanannya atau timbul kecacatan maka selaku pihak
pemesan boleh melakukan khiyâr (memilih) antara meneruskan atau tidak.12
Pada pasal 107 dijelakan bahwa “ pembayaran dalam baiʻ istishnâʻ dilakukan pada
waktu dan tempat yang disepakati”, didalam jual beli istishnâʻ pembayaran dapat
ditangguhkan sesuai dengan kesepakatan para pihak.13
Serta pada pasal 108 KHES dijelaskan dalam ayat (1) setelah akad jual beli
pesanan mengikat, tidak satu pihak pun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi
akad yang sudah disepakati, (2) Apabila objek dari barang pesanan tidak sesuai
10
Fatwa DSN MUI No: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual beli Istishna‟ Paralel
Kompilasi hukum ekonomi syariah pasal 104 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group:2009)
12
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pasal 105 dan 106
13
Kompilasi Hukum ekonomi Syariah, pasal 107
11
6
dengan spesifikasinya, maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan (khiyâr) untuk
melanjutkan atau membatalkan pesanan.14
C. Rukun dan Syarat
Rukun
1. Pembeli atau pemesan (Mustashni’)
2. Penjual atau pembuat (Shani’)
3. Barang/objek (Mashnu’)
4. Dan shigat (ijab dan qabul)
Syarat
1. Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek
transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.
2. Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dakam hubungan antar
manusia.
3. Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang
ditetapkan, maka kontak ini akan berubah menjadi akad salam.15
14
15
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pasal 108
Dimyaudin Djuwaini,”Pengantar Fiqh Muamalah” (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 2008)
7
D. Skema Istishna Paralel
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara istilah ilmu fiqih Istishnâʻ berarti akad dengan pihak pengrajin atau
pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu di mana materi dan
biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin, berbeda jika materinya berasal
dari pihak pemesan berlaku sebagai akad ijârah. akad istishnâʻ bersifat tidak luzum
dimana dalam akad ini diantara para pihak mempunyai hak khiyâr. Dalam hal ini hak
hiyâr dari pihak pengrajin berakhir dari ia mendatangkan produk kepada pihak pemesan,
sedangkan pihak pemesan mempunyai khiyâr ruʻyat.
Sedangkan yang dinamakan istishnâʻ paralel yaitu pembeli mengizinkan
pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut, dengan
demikian pembuat barang dapat membuat kontrak istishnâʻ kedua untuk untuk
memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna. Kedepannya kami
kan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumbersumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas. Karena kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Dan kami juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian
penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
-
www.Mahir al Hujjah.blongspot.com/2008/08/fiqh Muamalah konsep jual beli
istishna‟.html. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2012
-
Mas’adi, GA. 2002. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta : Raja Gravindo
-
Al-Jazairy, AR. 2002. Al-Fiqh Ala Madzabib Al-Arba’ah. Darul Fikri : Bairut
-
Nazah, D. 2011. Akad Bank Syariah. Yogyakarta : Pustaka Yustisia
-
Al-Qur’an dan terjemahannya
-
2002. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
-
Djuwaini, D. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta : Pustaka Belajar
10
Download