PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN REFLECTIVE INQUIRY TERHADAP KEMAMPUAN HIGH ORDER MATHEMATICAL THINKING SISWA Proposal Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Disusun oleh: Fadhillah Dwi Gustika NIM: 11150170000043 JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 DAFTAR ISI DAFTAR ISI........................................................................................................................ i BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 8 C. Pembatasan Masalah ............................................................................................... 8 D. Rumusan Masalah ................................................................................................... 8 E. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 9 F. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 11 Deskripsi Teoritik ................................................................................................. 11 A. 1. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika ........................................... 11 2. Model Pembelajaran Reflective Inquiry ............................................................ 20 3. Pembelajaran Konvensional .............................................................................. 25 B. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................................. 27 C. Kerangka Berpikir ................................................................................................. 28 D. Hipotesis Penelitian .............................................................................................. 30 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 31 A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................... 31 B. Metode dan Desain Penelitan ................................................................................ 31 C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................ 32 D. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 32 E. Instrumen Penelitian ............................................................................................. 32 F. Teknik Analisis Data............................................................................................. 36 G. Hipotesis Statistik ................................................................................................. 38 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 39 i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan sistem pendidikan dapat menjadi investasi jangka panjang bagi suatu bangsa. Asumsi yang mendasarinya ialah jika mutu sistem pendidikan dapat menghasilkan generasi yang berintelektual dan berwawasan luas maka kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) akan meningkat. Perkembangan Pendidikan menjadi salah satu cara mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi dunia nyata yang penuh masalah agar siap dalam persaingan global. Menurut Dewantara yang mengatakan bahwa Pendidikan adalah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.1 Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan.2 Oleh karena itu, perbaikan pendidikan pada setiap tingkatnya perlu dilakukan secara terus menerus untuk masa depan. Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa depan adalah Pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan peserta didik, baik dalam aspek afektif, maupun kognitif agar peserta didik mampu menghadapi dan memecahkan masalah pada tantangan kehidupan saat ini. Matematika bukan hanya datang sebagai objek ilmu tentang suatu fenomena tertentu, tetapi juga sebagai ilmu untuk fenomena-fenomena atau berbagai permasalahan yang terjadi.3 Ketika ditemukan suatu pola matematika di dalam suatu fenomena, pola tersebut bukan hanya sekedar sebagai karakteristik atau hal 1 Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2009), cet. 1, h. 10. 2 Trianto Ibnu Badar Al-Tabany, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum 2013 (Kurikulum Tematik Inegratif/KTI),(Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), cet. 1, h. 1. 3 Ariyadi Wijaya, Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h.12. 1 2 temuan saja melainkan dapat sebagai alat untuk menyelesaikan masalah pada fenomena lainnya. Hakikat sebenarnya matematika tidaklah sederhana, untuk dapat menggunakan matematika sebagai ilmu yang dapat mempelajari fenomena atau masalah, merumuskan pola, serta menggunakan pola matematika tersebut agar dapat menyelesaikan masalah, tujuan pembelajaran perlu disesuaikan dengan hakikat tersebut. Keterampilan matematika diperlukan sebagai dasar tujuan dari pembelajaran matematika. Di dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 tahun 2006 tentang Standar Isi, disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan supaya siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:4 1. Memahami konsep matematika, 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Kemampuan yang tercantum dalam Permendiknas merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang bukan hanya cenderung mengingat, maupun meniru melainkan dapat menyelesaikan masalah dengan cara kreatif, serta mampu berpikir kritis. Pada umumnya, banyak kemampuan yang dapat dikaitkan dengan keterampilan berpikir tinggi namun elemen utama dari HOTS dapat dibuat lebih sederhana. Menurut Lewis dan Smith keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) mencakup berpikit kritis, berpikir kreatif, problem solving, dan membuat keputusan.5 Sejatinya peradaban berkembang dan terus maju dikarenakan daya kreativitas manusia, jika manusia tidak dapat lagi mengembangkan kemampuan kreatifnya tidak menutup kemungkinan sebagian lulusan sekolah tidak mampu mengajukan 4 Ibid., h.16. Ridwan Abdullah Sani, Pembelajaran HOTS (Higher Order Thinking Skills), (Banten: Tira Smart, 2019) cet.1, h. 3. 5 3 perkembangan dan mengikuti perubahan yang terjadi di dunia.6 Banyak perusahaan yang bangkrut dikarenakan tidak dapat bersaing dalam hal inovasi, serta beberapa pekerjaan yang tidak lagi membutuhkan tenaga kerja manusia. Hanya orang-orang yang mampu berpikir kreatif yang dapat berkembang dalam tantangan abad 21 ini. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang diakibatkan oleh daya kreativitas manusia, perlu disikapi dengan keterampilan berpikir kritis dimana berbagai informasi harus dapat disaring secara cerdas dan kritis. Dampak teknologi tinggi (high tech) telah merambah berbagai sektor ekonomi kreatif, sehingga pelaku usaha harus dapat merespons bebagai perubahan dengan cepat dan efektif.7 Oleh karena itu, sumber daya manusia harus dibekali keterampilan memvalidasi informasi, mensitesis informasi, mengkomunikasi informasi, mengolaborasikan informasi, dan memecahkan informasi.8 Dalam kemampuan problem solving memiliki keterkaitan hubungan dengan kemampuan mengambil keputusan yang tepat. Selain itu kemampuan kreatif juga diperlukan sebagai seorang problem solver, karena setiap masalah yang dihadapi walaupun jenis masalah tersebut sama terkadang membutuhkan penyelesaian berbeda ataupun terbaru. Proses berpikir problem solving menempatkan seseorang untuk dapat melakukan analisis dan sintesis kedua hal tersebut juga dapat dikatagorikan dalam kemampuan berpikir kritis.9 Namun pada kenyataannya siswa di Indonesia memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi yang masih tergoloh rendah di dalam ke-lima aspek keterampilan. Masyarakat di Indonesia cenderung lebih banyak meniru, yang mengakibatkan perkembangan kreativitas akan menurun. Selain itu, semakin pesatnya perkembangan internet mengakibatkan cepatnya informasi yang di dapat yang terkadang informasi tersebut belum terbukti kebenarannya. Banyak masyarakat terutama pelajar yang percaya terhadap informasi-informasi palsu yang seharusnya perlu dilakukan proses berpikir kritis sebelum di percayai. 6 Ibid., h. 42. Ibid., h. 53. 8 Endah Tri Priyatni, dkk, Pembelajaran Reflektif: Model Pembelajaran Reflektif yang Responsif Teknologi, (Banten: Tira Smart, 2017), cet. 1, h. 4. 9 Ridwan Abdullah Sani, op. cit, h, 26. 7 4 Pembelajaran matematika di kelas perlu adanya pengaktualisasian dengan menghubungkan konten matematika dengan budaya dan pengalaman di dalam kehidupan sehari-hari.10 Pada kenyataannya pembelajaran dengan menekankan pada pemahaman procedural masih membayangi siswa di Indonesia dan digunakan oleh guru dengan alasan pembelajaran tersebut tidak memerlukan waktu yang lama. Akibatnya siswa di Indonesia terbiasa berpikir dalam tingkatan rendah (Low Order Thingking), fenomena ini yang mengakibatkan kurikulum di Indonesia mengalami perbaikan yang awalanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. Selain itu dalam studi internasional Programme Internationale for Student Assesment (PISA) dan Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) indonesia selalu menempati peringkat rendah. Secara rata-rata peserta didik di Negara Indonesia hanya mencapai level dua dari enam level yang ada pada tes PISA dan TIMSS.11 Programme Internationale for Student Assesment (PISA) dan Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan tes internasional yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa di berbagai negara. PISA menyajikan masalah-masalah matematika yang memuat bukan hanya soal tingkat rendah yang hanya membutuhkan kemampuan mengingat, memahami, menggunakan prosedur rutin melainkan soal dengan karakteristik permasalahan yang baru/non rutin, memerlukan keterampilan kreatif dan kritis, serta mampu menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi. Selain itu, karakteristik soal TIMSS dan PISA melibatkan aspek yang berkaitan dengan keterampilan berpikir matematis dalam proses menganalis masalah, mengevaluasi solusi yang tepat dan menciptakan ide baru dalam 10 Ega Gradini, dkk, Menakar Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Calon Guru Matematika Melalui Level Hots Marzano, Jurnal EduMa, Vol. 7, No. 2, 2018, h. 41. 11 Ridwan Abdullah Sani, op. cit, h, 277. 5 menyelesaikan masalah non routine matematika, dimana proses tersebut termasuk pada proses berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill).12 Tabel Peringkat PISA dan TIMSS Siswa Indonesia13 PISA Tahun Peringkat TIMSS Jumlah Negara Tahun Peringkat Jumlah Negara 2000 38 41 1999 32 38 2003 38 40 2003 37 46 2006 50 57 2007 35 49 2009 60 65 2011 40 42 2012 71 72 2015 45 48 2015 64 72 - - - Sesuai dengan tabel terlihat jelas bahwa dalam kurun waktu 15 tahun peringkat Indonesia berada pada posisi 10 terbawah. Penyebab rendahnya peringkat Indonesia pada tes PISA dan TIMSS adalah karena pembelajaran di Indonesia pada umumnya belum berbasis HOTS, padahal soal-soal TIMSS dan PISA merupakan soal HOTS. Keadaan ini membuat pemerintah menambah porsi soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) dalam UN pada tahun 2018, soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) dalam UN sendiri telah diperkenalkan awal mula pada tahun 2014. Penambahan soal HOTS dalam UN merupakan salah satu upaya dalam mengejar ketertinggalan peringkat. Laporan UN tingkat SMP bidang matematika pada tahun 2018 menunjukan rata-rata nilai siswa yaitu 46.56.14 12 Ulfiah Endardini, Pengaruh Model Pembelajaran Selective Problem Solving (SPS) terhadap Kemampuan Higher Order MathematicsThinking dan Disposisi Matematika, Skripsi Pendidikan Matematika: UIN Jakarta, 2017, h. 4. 13 R. Arifin Nugroho, HOTS Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi: Konsep, Pembelajaran, Penilaian, dan Soal-soal, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2018), cet. 2, h.11. 14 KEMENDIKBUD, “Laporan Hasil Ujian Nasional”, https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id, diakses pada 22 Juli 2019 pukul 13.16 WIB. 6 Tabel Rata-rata Nilai UN Matematika SMP15 Rata-rata Nilai UN Matematika Siswa SMP di Indonesia 52 50 48 46 44 42 40 2016 2017 2018 2019 Berdasarkan grafik diatas membuktikan bahwa pada saat porsi soal HOTS ditambahkan di tahun 2018 rata-rata nilai UN mengalami penurunan yang cukup signifikan, namun karena pembelajaran berbasis HOTS sudah mulai digunakan di kelas rata-ratanya mulai meningkat walaupun belum dapat menandingi rata rata pada tahun 2017. Pembelajaran berbasis HOTS ini pada kenyataannya belum mengalami pemerataan dalam implementasinya, banyak pendidik yang masih merasa kebingungan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran berbasis HOTS. Pembelajaran matematika yang terlaksana pada kenyataannya lebih sering menuntut guru mentransfer ilmunya atau teacher centered tanpa adanya peran aktif siswa dalam mendapatkan informasi tersebut. Pembelajaran yang berpusat pada siswa penting dilakukan agar siswa dapat secara bebas berkreasi menciptakan ide baru, mengemukakan pendapat, serta mengaktifkan otak siswa agar lebih aktif berpikir. Selain itu pembelajaran yang mengikutsertakan proses berpikir reflektif dirasa mampu menghasilkan produk pembelajaran berupa saran-saran untuk menemukan solusi, pemecahan kesulitan yang dialami, pemanfaatan satu saran untuk memunculkan ide atau hipotesis baru dan awal ditemukannya petunjuk KEMENDIKBUD, “Laporan Hasil Ujian Nasional”, https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id, diakses pada 22 Juli 2019 pukul 13.16 WIB. 15 7 pengamatan atau pengoperasian dalam pengumpulan materi faktual, penggalian ide, atau asumsi-asumsi, atau pembuktian kebenaran hipotesis.16 Salah satu pembelajaran yang memiliki karakteristik tersebut ialah Model Reflective Inquiry, model ini merupakan adopsi dari pemikiran John Dewey mengenai berpikir reflektif dan motode inquiry-nya. Model pembelajaran Reflective Inquiry merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan merupakan pembelajaran berbasis pengalaman, prosesnya melibatkan berpikir reflektif dalam melakukan eksperimen sendiri agar dapat melihat apa yang sedang terjadi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri serta menghubungkannya dengan penemuan yang lain lalu di aplikasikannya. Reflective Inquiry adalah pembelajaran yang memiliki karakteristik dari pembelajaran berbasis HOTS. Perbedaan pembelajaran berbasis LOTS dengan pembelajaran berbasis HOTS dapat dilihat pada deskripsi table berikut. 17 Tabel 1.2 Perbedaan aktivitas belajar LOTS dan HOTS Aktivitas siswa dalam pembelajaran Aktivitas siswa dalam pembelajaran LOTS HOTS Pasif dalam berpikir Aktif dalam berpikir Menyelesaikan masalah Memformulasikan masalah Mengkaji permasalahan sederhana Mengkaji permasalahan kompleks Berpikir konvergen Berpikir divergen dan mengembangkan ide Belajar dari guru sebagai sumber Mencari informasi utama Berlatih menyelesaikan informasi dari sumber soal dan Berpikir kritis dan menyelesaikan menghapal masalah secara kreatif Mengutamakan pengetahuan faktual Berpikir analitik, membuat keputusan 16 17 berbagai Endah Tri Priyatni, dkk, op. cit, h. 3. Ridwan Abdullah Sani, op. cit, h. 67. evaluative, dan 8 Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Reflective Inquiry Terhadap Kemampuan Higher Order Mathematical Thinking (HOMT) Siswa”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan Latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah yang didentifikasi, yaitu: 1. Pembelajaran yang diberikan di sekolah lebih menekankan berpusat pada guru. 2. Kemampuan berpikir matematika siswa masih tergolong level rendah. 3. Soal dan alat evaluasi di kelas belum sepenuhnya dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa. 4. Perangkat pembelajaran Model Reflective Inquiry belum tersedia di sekolah. C. Pembatasan Masalah Untuk menghindari perluasan masalah yang dikaji dalam penelitian. Maka masalah akan dibatasi pada: 1. Kemampuan yang diukur dalam penilitian ini adalah Higher Order Mathematical Thinking dengan indikator Comparing (Membandingkan), Classyfying (Mengelompokkan), Inductive Reasoning (Penalaran induktif), Analyzing Erros (Menganalisis Kesalahan). 2. Model pembelajaran yang digunakan adalah Reflective Inquiry 3. Pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran matematika pada materi aritmatika sosial 4. Pada penelitian hanya diambil dua kelas secara acak, satu kelas menggunakan model pembelajaran reflective inquiry dan satu kelas menggunakan model konvensional D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model reflective inquiry? 9 2. Bagaimana kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model konvensional? 3. Apakah kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran matematika menggunakan model reflective inquiry lebih besar daripada yang memperoleh pembelajaran matematika menggunakan model konvensional? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model reflective inquiry. 2. Untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional. 3. Untuk menganalisis perbandingan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model reflective inquiry dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional. F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan informasi bahwa pembelajaran dengan model reflective inquiry memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika. b. Sebagai referensi untuk penelitian lain yang relevan 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa, diharapkan model reflective inquiry dapat memberikan suatu pengalaman yang bermanfaat bagi pengembangan kemampuannya dan dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa, serta menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar matematika lebih giat lagi. 10 b. Bagi guru, diharapkan model reflective inquiry dapat menjadi alternatif pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika. c. Bagi sekolah, diharapkan model reflective inquiry mampu meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritik 1. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika a. Definisi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia telah dibekali akal oleh Allah SWT untuk dimanfaatkannya sebagai alat berpikir, hal ini lah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kegiatan berpikir selalu dilakukan oleh manusia sebagai makhluk berakal, mulai sejak ia dilahirkan hingga akhir hayatnya. “Berpikir” artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbangnimbang dalam ingatan.18 Hasil dari berpikir dapat berupa gagasan, ide, serta keputusan yang dapat dijadikan penyelesaian berbagai masalah pada kehidupan sehari-hari. Menurut Gilmer (1970), berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang-lambang pengganti suatu aktivitas yang tampak secara fisik.19 Sedangkan menurut Valentine (1965, berpikir dalam kajian psikologis secara tegas menelaah proses dan pemeliharaan untuk suatu aktivitas yang berisi menegnai “bagaimana” yang dihubungkan dengan gagasan-gagasan yang diarahkan untuk beberapa tujuan yang diharapkan.20 Jika dilihat dari kedua definisi tersebut terdapat kesamaan diantaranya berpikir merupakan proses yang algoritmik serta merupakan kemampuan seseorang dalam memecahkan masalahnya. Jadi mengacu kepada definisi menurut Gilmer dan Valentine, berpikir adalah proses menghubungkan masalah dengan berbagai macam pengalaman maupun pengetahuan yang telah diketahui dan dapat dihubungkan dengan gagasangagasan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 18 Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), cet. 1, h. 1. 19 Ibid., h. 2. 20 Ibid. 11 12 Matematika merupakan salah satu ilmu yang menuntut berpikir dalam proses pemahamannya. Adam dan Hamm menyebutkan empat macam pandangan tentang posisi dan peran matematika, yaitu: 21 1) Matematika sebagai suatu cara untuk berpikir 2) Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan (pattern and relationship) 3) Matematika sebagai suatu alat (mathematics as a tool) 4) Matematika sebagai Bahasa atau alat untuk berkomunikasi Salah satu posisi dan peran matematika adalah sebagai suatu cara untuk berpikir dalam matematika terdapat proses menganalisis masalah dan mencari informasi, membuat cara atau metode dalam penyelesaian secara logis dan sistematis serta menarik kesimpulan. Menurut Andrew Noyes dalam pembelajaran matematika terdapat dua proses yaitu “dilatih melakukan perhitungan matematika” dan “dididik berpikir secara matematis”.22 Pada proses yang pertama tidak tedapat kebermaknaan dalam pembelajarannya, fokus utama hanya membuat siswa menghafal setiap rumus ataupun cara penyelesaian masalah hal tersebut dapat membuat siswa mudah sekali melupakan serta mematikan kemampuan kreatif siswa dalam menyelesaikan masalah . Sedangkan dalam proses yang kedua pembelajaran berfokus pada pencapaian siswa untuk berpikir secara matematis yaitu dapat menganalisis, memahami konsep, sistematis, serta mampu menghubungkan konsep dengan masalah nyata. Namun bukan berarti proses melatih melakukan perhitungan matematika harus dihilangkan karena untuk dapat mendidik siswa berpikir secara matematis diperlukan proses perhitungan matematika terlebih dahulu. Proses perhitungan matematika merupakan pembelajaran tahap awal dalam memulai belajar matematika dan selanjutnya dibutuhkan proses dididik berpikir secara matematis agar keterampilan berpikir matematisnya dapat berkembang. Pada sistem hirarki terdapat tingkatan atau level, hal ini berlaku juga pada kemampuan berpikir. Terdapat tingkatan dalam kemampuan berpikir yaitu berpikir 21 22 Ariyadi Wijaya, op. cit, h. 5-6. Ibid., h. 7. 13 tingkat rendah (Low Order Thinking) dan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking). Sederhananya perbedaan tingkatan keduanya adalah pada cara seseorang memecahkan masalah, pada tingkatan yang tinggi seseorang dapat memecahkan masalah yang baru atau non rutin, strategi yang digunakan beragam cara, serta dalam penyelesaiannya memerlukan pemahaman konsep. Programme for International Student Assessment (PISA) mengembangkan enam level kemampuan tingkat tinggi matematika siswa yang menunjukan kemampuan pengetahuan kognitif. Enam level kemampuan PISA merupakan pengembangan kemampuan literasi matematis siswa, ke-enam levelnya sebagai berikut.23 Tabel Level Matematika Literasi pada PISA Level Deskripsi Siswa dapat merefleksikan tindakannya, merumuskan dan 6 mengkomunikasikan secara tepat tindakan dan refleksi mereka mengenai temuan mereka, Siswa dapat mengembangkan model untuk situasi yang kompleks, mengidentifikasi kendala dan menentukan asumsi. Mereka dapat 5 memilih, membandingkan, dan mengevaluasi strategi penyelesaian masalah yang tepat untuk berurusan dengan masalah rumit yang terkait dengan model ini Siswa dapat memilih dan mengintegrasikan representasi yang berbeda, termasuk simbolik, menghubungkannya langsung ke 4 aspek situasi dunia nyata. Siswa di tingkat ini dapat memanfaatkan jangkauan keterampilan yang terbatas dan dapat bernalar dengan beberapa wawasan, dalam konteks langsung. Siswa dapat menjalankan prosedur yang dijelaskan dengan jelas, interpretasi yang cukup kuat untuk menjadi dasar untuk 3 membangun model sederhana dan menerapkan strategi pemecahan masalah yang sederhana. 23 OECD, PISA 2015 Assesment and Analytic Framework: Science, Reading, Mathematic, Financial Literacy and Collaborative Problem Solving, Jurnal OECD, 2017, p. 79. 14 Siswa dapat mennyimpulkan informasi yang relevan dari satu sumber dan memanfaatkan sesuatu yang telah jelas didalamnya. 2 Siswa di level ini dapat menggunakan algoritma, rumus, prosedur, atau konvensi dasar untuk menyelesaikan masalah. Siswa dapat mengidentifikasi informasi dan melaksanakan prosedur rutin sesuai dengan instruksi langsung dalam situasi eksplisit. 1 Mereka dapat melakukan tindakan yang hampir selalu jelas dan mengikuti segera dari rangsangan yang diberikan PISA telah memklasifikasikan kompetensi menjadi tiga kelompok (cluster) untuk mendeskripsikan kegiatan kognitif yaitu kelompok reproduksi, kelompok koneksi, kelompok reflektif.24 1) Kelompok reproduksi Kompetensi yang diukur pada kelompok ini adalah pengetahuan tentang fakta dan representasi masalah umum, ekivalensi, menggunakan prosedur rutin, algoritma standar, dan menggunakan skill yang bersifat teknis. 2) Kelompok koneksi Kompetensi kelompok koneksi dibangun atas kompetensi kelompok reproduksi menyelesaikan masalah yang non-rutin tapi hanya membutuhkan sedikit translasi dari konteks ke model (dunia) matematika. 3) Kelompok refleksi Kompetensi kelompok refleksi ini adalah kompetensi yang paling tinggi yang diukur kemampuannya dalam PISA, yaitu kemampuan bernalar dengan menggunakan konsep matematika. Dalam melakukan refleksi ini, siswa melakukan analisis terhadap situasi yang dihadapinya, mengidentifikasi dan menemukan ‘matematika’ dibalik situasi tersebut. Berdasarkan kelompok kompetensi dan enam level PISA terdapat hubungan bahwa level 1 dan 2 termasuk kelompok kompetensi reproduksi dan merupakan tingkatan rendah dalam berpikir. Pada level tersebut siswa hanya dapat 24 OECD, PISA 2003 Assesment Framework: Mathematics, Reading, Science, and Problem Solving Knowladge and Skills, Jurnal OCED, 2003, p. 41-48. 15 menyelesaikan masalah yang umum atau non rutin serta prosedur matematika yang digunakan sederhana. Pada kelompok koneksi termasuk kepada level 3 dan 4 di kategorikan tingkatan menengah dalam berpikir. Pada tingkatan tersebut siswa dapat menginterpretasikan masalah ke dalam dunia nyata serta dapat membangun model dan strategi penyelesaian masalah secara sederhana. Sedangkan, pada level 5 dan 6 termasuk kelompok refleksi pada tingkatan berpikir kelompok ini mempiunyai tingkatan tertinggi sehingga siswa pada level ini dapat menggunakan penyelesaian masalah sebagai solusi untuk masalah lainnya, mampu bernalar serta melakukan refleksi terhadap pendapatnya. Bloom Bersama timnya menyusun kerangka kategorisasi tujuan pendidikan pada tahun 1956 yang memuat sistem pengklasifikasian tujuan pendidikan tersebut yang disebut taksonomi. Pada taksonomi bloom terdapat pengkatagorian ranah kemampuan yang dibagi menjadi tiga domain yaitu ranah aspektif, ranah kognitif, dan ranah psikomotorik. Pembeda HOTS dan LOTS pada taksonomi bloom terdapat pada ranah kognitifnya, karena ranah kognitif adalah segi kemampuan yang berkaitan dengan aspek-aspek pengetahuan, penalaran atau pikiran.25 Pada taksonomi bloom terdapat 6 tingkatan atau kategori pada ranah kognitif yaitu 1) Pengetahuan (knowlegde) Pengetahuan seperti yang didefinisikan di sini mencakup perilaku dan situasi pengujian yang menekankan ingatan, baik dengan pengakuan atau mengingat, dari ide-ide, bahan atau fenomena. 2) Pemahaman (comprehension) Pemahaman adalah mengambil suatu informasi dari perilaku atau situasi pengujian tertentu. Pada tahap ini seseorang mampu memahami informasi yang telah didapatkannya. 3) Penerapan (application) Kemampuan untuk menerapkan suatu aturan atau pengetahuan ke dalam masalah di kehidupan nyata dan baru. 4) Analisis (analysis) 25 298. Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 16 Di tingkat analisis, sesorang mampu memecahkan informasi yang kompleks menjadi bagian-bagian kecil dan mengaitkan informasi dengan informasi lain. 5) Sintesis (synthesis) Kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagianbagian dihubungkan stu sama lain. Kemampuan mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yang dibutuhkan. 6) Evaluasi (evaluation) Kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap suatu materi pembelajaran, argumen yang berkenaan dengan sesuatu yang diketahui, dipahami, dilakukan, dianalisis dan dihasilkan. Tidak jauh berbeda dengan proses kognitif aslinya, revisi taksonomi bloom oleh Anderson dan Krathwohl (2001) mempunyai 6 proses kognitif, terdapat dua perubahan yaitu revisi taksonomi bloom memfokuskan kepada aplikasi dan terdapat perubahan terminologi terkait kata kerja pada prosesnya tujuannya agar mempermudah penyusunan evaluasi pembelajaran oleh pendidik. Struktur taksonomi bloom revisi melibatkan dua dimensi yaitu enam proses kognitif dan empat jenis pengetahuan.26 Kerangka Kerja Asli HOTS Evaluasi Sintesis Kerangka Kerja Revisi Mencipta Dimensi Pengetahuan: Faktual Conceptual Procedural metakognitif Mengevaluasi Menganalisis Proses kognitif LOTS Analisis Aplikasi Mengaplikasikan Pemahaman Memahami Pengetahuan Mengingat Tabel Struktur Taksonomi Bloom Asli dan Revisi 26 R. Arifin Nugroho, op. cit, h. 20-21. 17 Sedangkan taksonomi baru yang dikembangkan Marzano (2001) dibuat dari Tiga sistem yaitu Sistem-Diri (Self-System), Sistem Metakognitif, dan Sistem Kognitif, dan Domain Pengetahuan, yang kesemuanya penting untuk berpikir dan belajar. Pada saat berhadapan dengan pilihan untuk memulai tugas baru, SistemDiri memutuskan apakah melanjutkan kebiasaan yang dijalankan saat ini atau masuk dalam aktivitas baru; Sistem Metakognitif mengatur berbagai tujuan dan menjaga tingkat pencapaian tujuan-tujuan tersebut; Sistem Kognitif memproses seluruh informasi yang dibutuhkan, dan Domain Pengetahuan menyediakan isinya. Sistem yang berkaitan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi ialah sistem kognitif, Marzano membagi urutan taksonomi pada ranah kognitif sebagai berikut27 Tabel Urutan Taksonomi Marzano pada Sistem Kognitif Cognitive System (sistem kognitif) Knowledge Retrieval Comprehension (penarikan kembali (pemahaman) Analysis (analisis) Knowledge Utilization pengetahuan) (pemanfaatan pengetahuan) Mengingat Kembali Mengintegrasik (Recall) an (Integrating) Matching (kecocokan) (pengambilan Classifying Execution (eksekusi) Simbolisasi Decision Making keputusan) (pengklasifikasian) (Symbolazing) Problem Solving Error Analysis (analisis (pemecahan masalah) kesalahan) Experimental Inquiry Generalizing (pertanyaan (Generalisasi) percobaan) Specifying (spesifikasi) Investigation (penyelidikan) Robert J. Marzano & John S. Kendall, “The New Taxonomy of Educational Objectives, (New Delhi: Crowin Press, 2007), 2nd Edition, p. 37-53. 27 18 b. Indikator Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika Menurut Krathwohl (2002) dalam A revision of Bloom's Taxonomy: an overview - Theory Into Practic menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill) meliputi:28 Tabel Indikator HOTS Revisi Taksonomi Bloom Indikator HOTS Revisi Definisi Taksonomi Bloom 1) Menganalisis (C4) Kemampuan memisahkan konsep ke dalam beberapa komponen dan menghubungkan satu sama lain untuk memperoleh pemahaman atas konsep secara utuh 2) Mengevaluasi (C5) Kemampuan menetapkan derajat suatu berdasarkan norma, kriteria atau patokan tertentu 3) Mencipta (C6) Kemampuan memadukan unsur-unsur menjadi suatu bentuk baru yang utuh dan luas, atau membuat sesuatu yang orisinil Marzano mengidentifikasikan 13 indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi yang termasuk pada level ke 3 dan ke 4 dalam taksonomi Marzano sebagai berikut29 Tabel Indikator Kemampuan berpikir tingkat tinggi Taksonomi Marzano Indikator HOTS Marzano 1) Comparing (Membandingkan) Definisi Kemampuan mengidentifikasi dan mengartikulasikan kesamaan dan perbedaan antar item. 28 Husna Nur Dinni, HOTS (High Order Thinking Skills) dan Kaitannya dengan Kemampuan Literasi Matematika, PRISMA Prosiding Seminar Nasional Matematika, 2018, h. 172. 29 Heong, Yee Mei, dkk, The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among Technical Education Students, International Journal of Social Science and Humanity, 2011, Vol. 1, No. 2. 19 2) Classifying (Mengklasifikasikan) Mengelompokkan berbagai hal ke dalam kategori yang dapat ditentukan berdasarkan atributnya. 3) Inductive reasoning Menyimpulkan generalisasi atau prinsip yang (Penalaran induktif) tidak diketahui dari informasi atau pengamatan. 4) Deductive reasoning Menyimpulkan generalisasi atau prinsip yang (Penalaran deduktif) tidak diketahui dari informasi atau pengamatan. 5) Analyzing erors (Analisis kesalahan) 6) Constructing support (Membangun dukungan) 7) Analyzing perspective (Analisis sudut pandang) Mengidentifikasi dan mengartikulasikan kesalahan dalam berpikir Membangun sistem dukungan untuk pernyataan. Mengidentifikasi berbagai perspektif tentang suatu masalah dan memeriksa alasan atau logika di baliknya 8) Abstracing (Mengabstraksi) 9) Decision making (Pengambilan keputusan) Mengidentifikasi dan mengartikulasikan tema yang mendasari atau pola umum informasi. Membuat dan menerapkan kriteria untuk memilih dari antara alternatif yang tampaknya sama. 10) Investigation Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah- (investigasi) masalah yang mengandung kebingungan atau kontradiksi 11) Problem solving (Pemecahan masalah) 12) Experimental inquiry (Percobaan pertanyaan) 13) Invention (Penemuan) Mengatasi kendala atau membatasi kondisi yang menghalangi pencapaian tujuan Menghasilkan dan menguji penjelasan fenomena yang diamati Mengembangkan produk atau proses unik yang memenuhi kebutuhan yang dirasakan. Pada penelitian ini, peniliti memilih indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan taksonomi Marzano dan dibatasi pada : 1) Membandingkan 20 Kemampuan mengidentifikasi dan mengartikulasikan kesamaan dan perbedaan antar item. 2) Mengklasifikasikan Mengelompokkan berbagai hal ke dalam kategori yang dapat ditentukan berdasarkan atributnya. 3) Penalaran induktif Menyimpulkan generalisasi atau prinsip yang tidak diketahui dari informasi atau pengamatan. 4) Analisis kesalahan Mengidentifikasi dan mengartikulasikan kesalahan dalam berpikir 2. Model Pembelajaran Reflective Inquiry a. Pengertian Model Pembelajaran Reflective Inquiry Soekamto, dkk. mengemukakan maksud dari model pembelajaran, yaitu “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu , dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar”.30 Suatu konsep pembelajaran dapat dikatakan model karena mememiliki ciri-ciri memiliki rasional teoritik logis, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sintak atau rangkaian tahapan pembelajaran terstuktur, dan lingkungan belajar yang sesuai.31 Model Reflective Inquiry merupakan model yang diadaptasi dari pemikiran John Dewey tentang metode pembelajaran reflektif di dalam memecahkan masalah yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir kearah kesimpulan yang pasti. Langkah-langkah proses reflektif menurut John Dewey (1997) “(I) merasakan kesulitan; (ii) membatasi dan mendefinisikan masalah; (iii) mengajukan kemungkinan alternatif solusi; (iv) pengembangan ide dengan mengumpulkan data; (v) pengamatan lebih lanjut dan percobaan yang mengarah 30 31 Trianto Ibnu Badar Al-Tabany, op. cit, h. 24. Ibid. 21 pada penerimaan atau penolakannya; yaitu, kesimpulan dari kepercayaan atau ketidakpercayaan.32 Pembelajaran reflektif John Dewey ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Salah satu pembelajaran berbasis penelitian ilmiah adalah model pembelajaran inkuiri, John Dewey (1938) sendiri memberikan definisi sendiri terhadap inkuiri dan situaisnya “Inquiry is the controlled or directed transformation of an indeterminate situation into one that is so determinate in its constituent distinctions and relations as to convert the elements of the original situation into unified whole.”33 Definisi ini memberikan pemahaman bahwa penemuan dimulai dari situasi yang tidak dapat ditentukan hal tersbut bisa merupakan pengalaman dan diakhiri dengan pola terstuktur dari penemuan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Reflective Inquiry merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan merupakan pembelajaran berbasis pengalaman, prosesnya melibatkan berpikir reflektif dalam melakukan eksperimen sendiri agar dapat melihat apa yang sedang terjadi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri serta menghubungkannya dengan penemuan yang lain lalu di aplikasikannya. Yordanka Dimova, dan Kalina Kamarska (2015) merekontruksi kembali model John Dewey dengan alasan belum ada yang membuat model Reflective Inquiry ini dengan tujuan untuk digunakan dalam Pendidikan sains. Penekanan model tersebut bergerak ke hubungan antara refleksi dan tindakan dalam proses penyelidikan. Proses inkuiri pada model ini meliputi indeterminate situation, problematic situation dan determinate situation. Proses indeterminate situasion adalah keadaan siswa mengalami kebingungan atau kesulitan yang tidak jelas, tidak pasti, dan perlu untuk di lakukan tindakan yang sehubung dengan apa yang sedang terjadi dan yang harus dilakukan. Proses ini berupa pembentukan pertanyaan melalui 32 Yordanka Dimova and Kalina Kamarska, Rediscovering John Dewey’s Model of Learning Through Reflective Inquiry, Jurnal Problem of Education in The 21th Century, 2015, Vol. 63, p. 31. 33 Ibid, h. 30. 22 eksperimen bermasalah dengan langkah-langkah reflektif. Proses problematic situasion adalah proses untuk merubah keadaan membingungkan dan sulit menjadi keadaan yang dapat dipahami. Berbagai masalah dapat disimpulkan dari satu situasi bermasalah, masalah-masalah ini pada gilirannya dapat mengarah pada berbagai solusi dengan eksperimen dan observasi yang dilakukan. Proses determinate situation adalah kegiatan pembentukan kesimpulan yang menjadi solusi-solusi serta terdapat langkah-langkah reflektif untuk dapat menyarankan aspek-aspek baru dalam menerapkan pengetahuan tentang objek yang dipelajari. b. Tahapan Model Pembelajaran Reflective Inquiry Tahapan pada proses pembelajaran Reflective Inquiry adalah sebagai berikut: 1) Indeterminate situation Proses ini terdiri dari dua tahapan yaitu: a) Problematic experiment Tahap ini pendidik harus mempersiapkan siswa untuk memahami situasi yang bermasalah, memotivasi siswa bahwa perlunya merumuskan masalah. Untuk mewujudkan tujuan ini, percobaan harus non standar dan harus kekurangan data yang cukup untuk menjelaskan hasil dari perubahan yang diamati pada objek yang telah dipelajari. b) Formulating questions Siswa diminta mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan percobaan bermasalah yang telah di jelaskan oleh pendidik. 2) Problematic situation Tahapan pada proses ini yaitu: a) Formulating problems Pendidik meminta siswa menjelaskan yang berkaitan dengan kegiatan bermasalah. Pada tahap ini siswa perlu memahami masalah dengan baik. b) Observation and experimenting 23 Siswa melalukan pengamatan terhadap masalah yang telah didefinisikan hasil pengamatan berupa data yang akan di kumpulkan di olah serta di sajikan dalam representasi sesuai dengan yang dibutuhkan. Selanjutnya pendidik meminta siswa melakukan suatu percobaan sesuai dengan masalah yang dihadapi dan siswa mencari tau mengenai hubungan sebab akibat c) Research experiment Data untuk mendapatkan pengetahuan baru dari objek yang dipelajari dikumpulkan melalui eksperimen penelitian. Jika percobaan penelitian sesuai dengan hipotesis yang telah di bentuk sebelumnya terbukti, maka dapat disajikan mengenai penerimaan atau penolakan hipotesis. 3) Determinate situation a) Illustrative experiment Pada tahap ini siswa dapat mencari solusi baru yang dihasilkan dari proses berpikir reflektif karena siswa perlu menyadari bahwa terdapat beberapa solusi yang dapat dijadikan kesimpulan. b) Solution Proses mengambil keputusan dari solusi yang telah di dapatkan. Siswa dapat menggaplikasikan solusi tersebut dengan masalah lain yang relevan. Dalam proses melakukan experiment, refleksi intelektual untuk atau dalam tindakan dapat diaktualisasikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Setelah selesai dan menghitung data dari apa yang telah diamati selama percobaan, refleksi atas tindakan dapat diaktualisasikan: 34 Refleksi intelektual - Bagaimana Anda melakukan percobaan? Data apa dari percobaan yang Anda mengerti / tidak mengerti? Apa yang mengejutkan 34 Yordanka Dimova and Kalina Kamarska, op. cit, p. 36. 24 Anda? Kesimpulan apa yang Anda buat, dan mengapa? Apa yang masih belum Anda ketahui tentang mereka? Apa lagi yang ingin Anda pelajari? Refleksi pribadi - Apa yang paling sulit bagi Anda? Mengapa? Bagaimana perasaan Anda selama percobaan? Apa yang Anda pelajari tentang diri Anda / pengetahuan dan keterampilan Anda selama percobaan? Apa yang harus Anda tingkatkan sejauh menyangkut tindakan Anda? Dialog refleksi - Siapa orang paling aktif selama konduksi dan analisis percobaan? Siapa yang paling emosional? Apakah ada perselisihan? Adakah perbedaan pendapat saat merumuskan kesimpulan? Apakah teman sekelas Anda mempertimbangkan opini Anda? Siapa teman sekelas Anda yang paling sering dipertimbangkan? Refleksi praxiologis - Bagaimana penyelesaian percobaan dapat ditingkatkan? Bagaimana data dari percobaan dapat digunakan? Pada penelitian ini, langkah-langkah pembelajaran model Reflective Inquiry adalah sebagai berikut: Tahapan model pembelajaran reflective inquiry 1) Problematic experiment (percobaan bermasalah) Siswa diberikan masalah beserta penyelesaian yang salah Guru memberitahukan siswa untuk memperbaiki penyelesaian yang salah tersebut Siswa melakukan pengamatan terhadap masalah tersebut, dengan menggunakan pengetahuan sebelumnya Guru memberikan pertanyaan melalui pertanyaan refleksi intelektual 2) Formulating questions and problems (merumuskan pertanyaan dan masalah) Siswa membuat pertanyaan terkait masalah yang telah disajikan Siswa merumuskan kesalahan atau hipotesis dari percobaan bermasalah yang 25 telah dilakukan 3) Observation and Guru memberikan masalah yang sama experimenting (observasi untuk membuktikan hipotesis yang telah dan melakukan dibuat percobaan) Siswa melakukan pengamatan terhadap masalah tersebut yang selanjutnya dilakukan percobaan 4) Research experiment (percobaan penelitian) Siswa mengkaitkan hipotesis yang telah dibuat dengan percobaan kembali yang telah di lakukan Guru memberikan pertanyaan melalui pertanyaan refleksi pada tindakan 5) Illustrative experiment (percobaan ilustratif) Siswa menggunakan kesimpulannya untuk digunakan ke masalah lainnya Guru memberikan masalah baru yang berbeda Guru memberikan pertanyaan melalui pertanyaan refleksi pada aksi 6) Solutiom (penyelesaian) Siswa mengkomunikasikan hasil kerjanya kepada siswa lainnya Siswa melakukan refleksi terhadap kerjaannya dan kerjaan temannya 3. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar di sekolah pada saat ini. pada saat ini pembelajaran dikelas belum berbasis HOTS kegiatan yang berlangsung hanya proses transfer ilmu dari guru saja, murid tidak mencari sendiri pemecahan masalah yang dihadapinya salah satu model yang memiliki ciri tersebut ialah pengajaran langsung (direct instruction). Pengajaran Langsung adalah satu model yang menggunakan peragaan dan 26 penjelasan guru digabungkan dengan latihan dan umpan balik siswa untuk membantu mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan nyata yang dibutuhkan untuk pembelajaran lebih jauh.35 Adapun terdapat lima fase yang ditempuh yaitu36 Tabel Sintak Model Direct Instruction (Pembelajaran Langsung) 1) Orientasi 2) Presentasi Guru menentukan materi pelajaran Guru meninjau pelajaran sebelumnya Guru menentukan tujuan pelajaran Guru menentukan prosedur pengajaran Guru menjelaskan konsep atau keterampilan baru Guru menyajikan representasi visual atau tugas yang diberikan 3) Praktik yang Guru memastikan pemahaman Guru menuntun kelompok siswa dengan Terstruktur contoh praktik dalam beberapa langkah Siswa merespons pertanyaan Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan dan memperkuat praktik yang telah benar 4) Praktik di Bawah Siswa berpraktik secara semi-independen Bimbingan Guru Guru menggilir siswa untuk melakukan praktik dan mengamati praktik Guru memberikan tanggapan balik berupa pujian, bisikan, maupun petunjuk 5) Praktik Mandiri Siswa melakukan praktik secara mandiri di rumah atau di kelas 35 Paul Eggen dan Don Kauchak, Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir, Terjemahan oleh Satrio Wahono, (Jakarta: PT Indeks), 2012, cet. 6, h. 363. 36 Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-isu Metodis dan Paradigmatis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2014, cet. V, h. 136-137. 27 Guru menunda respons balik dan memberikannya di akhir rangkaian praktik Praktik mandiri dilakukan beberapa kali dalam periode waktu yang lama B. Hasil Penelitian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan Ulfiah Endardini pada tahun 2017 mengenai kemampuan berpikir tingkat tinggi pada “Pengaruh Model Pembelajaran Selective Problem Solving (SPS) Terhadap Kemampuan Higher Order Thinking Skill dan Disposisi Matematika” Penelitian ini mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi Matematika siswa yang diajarkan dengan model Selective Problem Solving lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran ekspositori). Capaian Kemampuan berpikir tingkat tinggi Matematika siswa pada Indikator menganalisis lebih baik dibandingkan dengan mengevaluasi dan mencipta. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa Disposisi Matematika siswa yang diajarkan dengan model Selective Problem Solving lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran ekspositori. Capaian Disposisi Matematika siswa pada indikator percaya diri lebih baik dibandingkan dengan fleksibelitas, reflektif dan rasa ingin tahu.37 2. Pada penelitian yang dilakukan Naning Marliani 2013 mengenai Pembelajaran Reflective Inquiry pada “Pembelajaran Inkuiri Reflektif Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Termokimia dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA”. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri reflektif mampu meningkatkan pemahaman konsep pada sub pokok bahsan sistem dan lingkungan, proses ekoterm dan endoterm serta penentuan perubahan entalpi dengan calorimeter, dengan % N-Gaind berturut-turut adalah 96%, 88%, dan 25%. Pembelajaran inkuiri reflektif juga mampu meningkatkan keterampilan 37 Ulfiah Endardini, op. cit, h. i. 28 berpikir kreatif pada tiga indicator yang diukur yaitu (1) dapat menyelesaikan masalah dari sudut pandang yang berbeda, (2) menghasilkan banyak gagasan, dan (3) dapat merinci gagasan secara detail.38 C. Kerangka Berpikir Kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika (Higher Order Thingking Skills) sangat penting untuk ditingkatkan, sebab dengan kemampuan tersebut siswa dapat berpikir kreatif, kritis dan mampu memcahkan masalah sehingga pada tantangan abad 21 ini siswa mendapatkan kemampuan belajar mandiri. Pada kenyataannya kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika di Indonesia sangat rendah. Ini terbukti dari hasil TIMSS dan PISA mengenai kemampuan matematis siswa Indonesia yang tergolong rendah serta hasil PISA menunjukan siswa di Indonesia memiliki kemampuan di level dua dari enam level yang ada. Selain itu, hasil yang tidak memuaskan juga terdapat pada Ujian Negara setelah porsi soal HOTS yang ditingkatkan jumlahnya oleh Pemerintah nilai ratarata menjadi menurun pada tahun 2018 namun pada tahun 2019 mulai meningkat karena Peremerintah membuat kebijakan pada kurikulum 2013 bahwa pembelajaran di sekolah diwajibkan berbasis High Order Thinking Skills. Dalam mengatasi kemampuan berpikir tingkat tinggi yang masih tergolong rendah ini, pada kelas ekperimen diajarkan model yang berbasis HOTS yaitu model Reflective Inquiry. Model pembelajaran Reflective Inquiry memiliki enam tahapan, yaitu: (1) Problematic experiment, (2) Formulating questions and problems, (3) Observation and experimenting, (4)Illustrative experiment, (5)Research experiment, (6) Solution. Setiap langkah Reflective Inquiry memberikan kesempatan siswa agar berpikir secara aktif dan hati-hati untuk dapat memecahkan masalah secara mandiri dan meningkatkan kemampuan membandingkan, mengklasifikasi, bernalar secara induktif, serta mampu menganalisis kesalahan. 38 Nining Marliani, Pembelajaran Inkuiri Reflektif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Termokimia Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA, Skripsi pada UPI Bandung, 2013, h. i. Tidak dipublikasikan 29 Tahap pertama, problematic experiment yaitu guru memberikan percobaan yang terdapat masalahnya, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk memulai pembelajaran dengan aktif. Pada tahap ini guru juga mengaktifkan pengetahuan siswa sebelumnya sehingga memungkinkan siswa membuat kesimpulan dengan mengkaitkan pengetahuan awal dengan masalah yang di sampaikan. Selain itu kemampuan dalam menganalisis kesalahan diperlukan untuk memfokuskan masalah yang diberikan. Tahap kedua, formulating questions yaitu siswa mengajukan berbagai pertanyaan yang di dapat dari proses pencarian masalah pada percobaan bermasalah. Pada tahap ini kemampuan yang di butuhkan yaitu mengklasifikasikan agar dapat mengkatagorikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mempercepat penyelesaian masalah. Selain itu dalam mengajukan pertanyaan di perlukan kemampuan analisis terlebih dahulu. Formulating problem yaitu siswa dapat memahami masalah dengan baik, dapat mendeskripsikan masalah tersebut serta mengetahui pentingnya untuk memahami masalah. Pada tahap ini siswa mengidentifikasi masalah bedasarkan fakta dan data yang telah di dapat pada proses pengajuan pertanyaan yang selanjutnya di klasifikasikan berdasarkan keperluan, serta siswa diminta menyimpulkan sendiri masalah yang sebenarnya dan mengumpulkan data sendiri. Tahap ketiga observation and experimenting yaitu siswa melalukan pengamatan terhadap masalah yang telah didefinisikan hasil pengamatan berupa data yang akan di kumpulkan di olah serta di sajikan dalam representasi sesuai dengan yang dibutuhkan. Selanjutnya pendidik meminta siswa mengelompokkan dan memisahkan variabel, merumuskan hipotesis dan siswa menguji mengenai hubungan sebab akibat. Tahap keempat illustrative experiment yaitu siswa dapat mencari solusi baru yang dihasilkan dari proses berpikir reflektif karena siswa perlu menyadari bahwa terdapat beberapa solusi yang dapat dijadikan kesimpulan. Tahap kelima research experiment yaitu siswa dapat mencari solusi baru yang dihasilkan dari proses berpikir reflektif karena siswa perlu menyadari bahwa terdapat beberapa solusi yang dapat dijadikan kesimpulan. 30 Tahap keenam solution yaitu proses mengambil keputusan dari solusi yang telah di dapatkan. Siswa dapat menggaplikasikan solusi tersebut dengan masalah lain yang relevan. Berpikir Tingkat Tinggi Matematika Siswa Tergolong Rendah High Order Thinking Model Reflective Inquiry 1. Comparing 1. Problematic experiment 2. Formulating questions and problems 3. Observation and experimenting 4. Illustrative experiment 5. Research experiment 6. Solution 2. Classifying 3. Inductive Reasoning 4. Analysis Eror Reflective Inquiry Problematic D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika, siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Reflective Inquiry lebih tinggi daripada kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran konvensional. BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan bertempat di SMP/MTs di Depok. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tahun ajaran semester genap 2019/2020 setelah proposal disetujui. B. Metode dan Desain Penelitan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen. Quasi eksperimen digunakan karena peneliti tidak dapat mengontrol secara penuh variabel – variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang diberikan perlakuan pembelajaran dengan model pembelajaran Reflective Inquiry sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan pembelajaran konvemsional. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Randomized Post Test Only Control Group Design dimana pengontrolan secara acak hanya pada tes akhir (post-test) saja karena peneliti hanya ingin menganalisis kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa setelah diberi perlakuan sehingga tidak diberikan pre – test. Desain penelitiannya adalah sebagai berikut. Kelompok Perlakuan Post-test R X O R C O Keterangan : R : Pengambilan sampel secara acak (random) X : Perlakuan yang diberikan kepada kelompok eksperimen yaitu dengan model pembelajaran Reflective Inquiry C : Perlakuan yang diberikan kepada kelompok kontrol yaitu dengan metode konvensional 31 32 O : Hasil Post-test C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP/MTs Jakarta. 2. Sampel Sampel dari penelitian ini diambil dari populasi sebanyak dua kelas yang dipilih dengan teknik Cluster Random Sampling. Masing-masing dipilih secara acak untuk menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. D. Teknik Pengumpulan Data Data diperoleh dari hasil tes yang diberikan kepada kedua kelompok sampel di akhir materi pembelajaran. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan data diantaranya: 1. Variabel Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika sebagai variabel terikat (dependent variable) dan model Reflective Inquiry sebagai variabel bebas (independent variable). 2. Sumber Data Sumber data dari penelitian ini adalah siswa yang menjadi sampel dalam penelitian. 3. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa berupa soal uraian/esai. E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal uraian yang dibuat untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dua kelompok tersebut diberikan instrumen yang sama. Sebelum instrumen penelitian ini digunakan, dilakukan pengujian terlebih dahulu berupa uji validitas, reliabilitas, serta uji untuk mengetahui daya beda dan tingkat kesukaran soal. 1. Uji Validitas 33 Uji validitas ini dilakukan agar dapat diketahui apakah instrumen ini mampu mengukur kemampuan berpikir kreatif. Uji validitas menggunakan rumus korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson sebagai berikut. 𝑟𝑥𝑦 = 𝑁(∑ 𝑋𝑌) − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌) √(𝑁 ∑ 𝑋 2 − (∑ 𝑋)2 ) − (𝑁 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2 ) Keterangan : 𝑟𝑥𝑦 : Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y ∑𝑋 : Skor butir soal ∑𝑌 : Skor total N : Banyaknya peserta tes Uji validitas instrumen dilakukan untuk membandingkan hasil perhitungan 𝑟𝑥𝑦 dengan 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 pada taraf signifikansi 5%. Dengan kriteria jika 𝑟𝑥𝑦 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka soal dikatakan valid, sebaliknya jika 𝑟𝑥𝑦 ≤ 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka soal dikatakan tidak valid. 2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas berarti menguji sejauh mana hasil dari suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu instrumen dapat dikatakan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi jika diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama dalam beberapa kali pengukuran pada kelompok yang sama.39Untuk mengetahui reliabilitas tes maka digunakan rumus Alpha Cronbach sebagai berikut. 𝑟11 Dengan Varians : ∑ 𝜎𝑏 2 𝑘 =( ) (1 − ) 𝑘−1 𝜎𝑡 2 𝜎𝑡 = ∑ 𝑋2− (∑ 𝑋)2 𝑁 𝑁 Keterangan : 𝑟11 : Nilai reliabilitas ∑ 𝜎𝑏 2 : Jumlah varians butir 39 Ali Hamzah, Evaluasi Pembelajaran Matematika, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h.230. 34 : Varians total 𝜎𝑡 K : Banyaknya item pertanyaan X : Skor tiap soal N : Banyaknya siswa Kriteria menurut Guildford dalam menginterpretasikan derajat reliabilitas instrumen disajikan dalam tabel di bawah ini.40 Koefisien korelasi Korelasi Interpretasi 0,90 ≤ 𝑟11 ≤ 1,00 Sangat tinggi Sangat baik 0,70 ≤ 𝑟11 < 0,90 Tinggi Baik 0,40 ≤ 𝑟11 < 0,70 Sedang Cukup 0,20 ≤ 𝑟11 < 0,40 Rendah Buruk Sangat rendah Sangat buruk 𝑟11 < 0,20 3. Daya Pembeda Uji daya beda butir soal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah butir soal tersebut mampu membedakan kemampuan siswa yang tinggi dan rendah.41 Rumus yang digunakan untuk mengetahui daya pembeda butir tes adalah sebagai berikut. 𝐷𝑝 = 𝐵𝐴 𝐵𝐵 − 𝐽𝐴 𝐽𝐵 Keterangan: 40 𝐷𝑝 : Daya pembeda butir 𝐵𝐴 : Banyaknya kelompok atas yang menjawab benar 𝐵𝐵 : Banyaknya kelompok bawah yang menjawab benar Karunia Eka Lestari & Mokhammad Ridwan Yudhanegara, Penelitian Pendidikan Matematika. (Bandung : Refika Aditama, 2015), h.206. 41 Ali Hamzah, op. cit., h.240. 35 𝐽𝐴 : Banyaknya siswa kelas atas 𝐽𝐵 : Banyaknya siswa kelas bawah Setelah menemukan nilai Dp maka digunakan tabel berikut untuk menginterpretasikan daya pembeda tiap butir tes.42 Nilai Dp Interpretasi 0,70 < 𝐷𝑝 ≤ 1,00 Sangat baik 0,40 < 𝐷𝑝 ≤ 0,70 Baik 0,20 < 𝐷𝑝 ≤ 0,40 Cukup 0,00 < 𝐷𝑝 ≤ 0,20 Buruk 𝐷𝑝 ≤ 0,00 Sangat buruk 4. Taraf Kesukaran Uji taraf kesukaran ini perlu dilakukan untuk mengklasifikasikan tingkat kesulitan tiap butir soal apakah sulit, sedang atau mudah. Taraf kesukaran soal dapat dilihat dari persentase siswa yang menjawab benar pada butir soal tersebut. Berikut rumus menghitung taraf kesukaran. 𝑃= 𝐵 𝐽𝑠 Keterangan : P = indeks kesukaran soal yang dicari B = jumlah siswa yang menjawab benar Js = jumlah seluruh siswa Setelah menemukan nilai P maka digunakan tabel berikut untuk menginterpretasikan taraf kesukaran tiap butir tes.43 Nilai P Interpretasi 𝑃 = 0,00 42 43 Terlalu sukar 0,00 < 𝑃 ≤ 0,30 Sukar 0,30 < 𝑃 ≤ 0,70 Sedang Karunia Eka Lestari & Mokhammad Ridwan Yudhanegara, op. cit., h.217. Karunia Eka Lestari & Mokhammad Ridwan Yudhanegara, op. cit., h.224. 36 0,70 < 𝑃 < 1,00 𝑃 = 1,00 Mudah Terlalu mudah F. Teknik Analisis Data Setelah data kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa terkumpul, data akan diolah untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis penelitian diuji menggunakan uji-t. Seluruh pengolahan data termasuk analisis prasyarat menggunakan perangkat lunak SPSS. 1. Uji Prasyarat Analisis Sebelum melakukan pengujian dengan menggunakan uji-t, data akan melalui beberapa persyaratan analisis. Persyaratan analisis untuk berlakunya statistic uji-t tersebut harus terpenuhi yaitu penempatan subjek dalam kelompok-kelompok yang akan diuji harus dipilih secara acak, datanya harus normal dan homogen.44 a. Uji Normalitas Pengujian normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya suatu distribusi data. Beberapa teknik analisis seperti uji-t mensyaratkan perlunya asumsi distribusi normal.45 Apabila suatu distribusi data tidak normal maka disarankan untuk menggunakan uji statistika nonparametrik. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis KolmogorofSmirnovdalam perangkat lunak SPSS. Hipotesis yang ditetapkan dalam pengujian ini yaitu:46 𝐻0 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal 𝐻1 :Sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah sebagai berikut: 44 Kadir, Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program SPSS/Lisrel dalam Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), ed. 2, cet. 3, h. 295. 45 Ibid., h.143. 46 Ibid., h. 147. 37 1) Jika probabilitas > 0,05, maka 𝐻0 diterima. 2) Jika probabilitas ≤ 0,05, maka 𝐻0 ditolak. b. Uji Homogenitas Homogenitas data merupakan salah satu persyaratan yang direkomendasikan untuk diuji secara statistik terutama bila menggunakan statistika uji parametrik, misalnya uji-t.47 Pengujian homogenitas dilakukan dalm rangka menguji kesamaan varians setiap kelompoh data. Pengujian homogenitas pada penelitian ini menggunakan One-Way ANOVA pada perangkat lunak SPSS. Hipotesis statistik yang ditetapkan yaitu: 𝐻0 ∶ 𝜎1 2 = 𝜎2 2 (varians kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika kedua kelompok homogen) 𝐻1 ∶ 𝜎1 2 ≠ 𝜎2 2 (varians kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika kedua kelompok tidak homogen) Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Jika signifikansi (p) > 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 diterima. 2) Jika signifikansi (p) ≤ 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 ditolak. 2. Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan analisis prasyarat uji normalitas dan uji homogenitas, pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika secara signifikan antara siswa yang mendapat penbelajaran reflective inquiry dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Jika pada analisis prasyarat diketahui bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka pengujian hipotesis pada penelitian ini akan menggunakanuji-t sampel bebas (independent sample t-test) dengan menggunakan perangkat lunak SPSS. Adapun hipotesis statistik yang digunakan yaitu: 47 Ibid., 159 38 𝐻0 ∶ 𝜇1 ≤ 𝜇2 (rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelompok eksperimen lebih kecil sama dengan rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelompok kontrol) 𝐻1 ∶ 𝜇1 > 𝜇2 (rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelompok kontrol) Pengambilan keputusan yang digunakan yaitu dengan melihat nilai sig. (2 tailed) atau p-value. Adapun kriteria pengambilan keputusan yang digunakan yaitu: 1) Jika signifikansi (p) > 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 diterima. 2) Jika signifikansi (p) ≤ 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 ditolak. Namun, jika diketahui bahwa sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis akan menggunakan uji Mann-Witney. G. Hipotesis Statistik Hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 𝐻0 ∶ 𝜇1 ≤ 𝜇2 𝐻1 ∶ 𝜇1 > 𝜇2 Keterangan: 𝜇1 ∶ Rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran reflective inquiry 𝜇2 ∶ Rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional DAFTAR PUSTAKA Al-Tabany, Trianto Ibnu Badar. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014 Dinni, Husna Nur. HOTS (High Order Thinking Skills) dan Kaitannya dengan Kemampuan Literasi Matematika. PRISMA Prosiding Seminar Nasional Matematika: Universitas Negeri Semarang. 2018 Dimova, Yordanka and Kalina Kamarska. Rediscovering John Dewey’s Model of Learning Through Reflective Inquiry, Jurnal Problem of Education in The 21th Century. 2015 Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. 2009 Eggen, Paul dan Don Kauchak. Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir. Terjemahan oleh Satrio Wahono. Jakarta: PT Indeks. 2012 Endardini, Ulfiah. Pengaruh Model Pembelajaran Selective Problem Solving (SPS) terhadap Kemampuan Higher Order MathematicsThinking dan Disposisi Matematika, Skripsi Pendidikan Matematika: UIN Jakarta. 2017 Gradini, Ega, dkk. Menakar Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Calon Guru Matematika Melalui Level Hots Marzano. Jurnal EduMa. 2018 Hamzah, Ali. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Jakarta : Rajawali Pers. 2014 Heong, Yee Mei, dkk. The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among Technical Education Students, International Journal of Social Science and Humanity. 2011 Kadir. Statistika Terapan : Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program SPSS/Lisrel dalam Penelitian. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2015 KEMENDIKBUD. “Laporan Hasil Ujian Nasional”, https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id diakses pada 22 Juli 2019 pukul 13.16 WIB. Kuswana, Wowo Sunaryo. Taksonomi Berpikir. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011 39 40 Lestari , Karunia Eka & Mokhammad Ridwan Yudhanegara. Penelitian Pendidikan Matematika. Bandung : Refika Aditama. 2015 Marzano, Robert J. and John S. Kendall. The New Taxonomy of Educational Objectives. New Delhi: Crowin Press. 2007 Nining Marliani, Pembelajaran Inkuiri Reflektif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Termokimia Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA, Skripsi pada UPI Bandung. 2013. Tidak dipublikasikan Nugroho, R. Arifin. HOTS Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi: Konsep, Pembelajaran, Penilaian, dan Soal-soal. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 2018 OECD. PISA 2015 Assesment and Analytic Framework: Science, Reading, Mathematic, Financial Literacy and Collaborative Problem Solving, Jurnal OECD. 2017 ______. PISA 2003 Assesment Framework: Mathematics, Reading, Science, and Problem Solving Knowladge and Skills. Jurnal OCED. 2003 Pidarta, Made. Landasan Kependidikan: Stimulus ilmu Pendidikan bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2009 Priyatni, Endah Tri, dkk. Pembelajaran Reflektif: Model Pembelajaran Reflektif yang Responsif Teknologi. Banten: Tira Smart. 2017 Sani, Ridwan Abdullah. Pembelajaran HOTS (Higher Order Thinking Skills. Banten: Tira Smart. 2019 Wijaya, Ariyadi. Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012