Uploaded by dhillahgustika

proposal dhillah new (AutoRecovered)

advertisement
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN REFLECTIVE INQUIRY
TERHADAP KEMAMPUAN HIGH ORDER MATHEMATICAL THINKING
SISWA
Proposal
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh:
Fadhillah Dwi Gustika
NIM: 11150170000043
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A.
Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B.
Identifikasi Masalah ................................................................................................ 8
C.
Pembatasan Masalah ............................................................................................... 8
D.
Rumusan Masalah ................................................................................................... 8
E.
Tujuan Penelitian .................................................................................................... 9
F.
Manfaat Penelitian .................................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 11
Deskripsi Teoritik ................................................................................................. 11
A.
1.
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika ........................................... 11
2.
Model Pembelajaran Reflective Inquiry ............................................................ 20
3.
Pembelajaran Konvensional .............................................................................. 25
B.
Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................................. 27
C.
Kerangka Berpikir ................................................................................................. 28
D.
Hipotesis Penelitian .............................................................................................. 30
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 31
A.
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................... 31
B.
Metode dan Desain Penelitan ................................................................................ 31
C.
Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................ 32
D.
Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 32
E.
Instrumen Penelitian ............................................................................................. 32
F.
Teknik Analisis Data............................................................................................. 36
G.
Hipotesis Statistik ................................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 39
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan sistem pendidikan dapat menjadi investasi jangka panjang
bagi suatu bangsa. Asumsi yang mendasarinya ialah jika mutu sistem pendidikan
dapat menghasilkan generasi yang berintelektual dan berwawasan luas maka
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) akan meningkat. Perkembangan Pendidikan
menjadi salah satu cara mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi dunia
nyata yang penuh masalah agar siap dalam persaingan global.
Menurut Dewantara yang mengatakan bahwa Pendidikan adalah menuntut
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.1
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang
dinamis dan sarat perkembangan.2 Oleh karena itu, perbaikan pendidikan pada
setiap tingkatnya perlu dilakukan secara terus menerus untuk masa depan.
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa depan adalah
Pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan peserta didik, baik dalam
aspek afektif, maupun kognitif agar peserta didik mampu menghadapi dan
memecahkan masalah pada tantangan kehidupan saat ini.
Matematika bukan hanya datang sebagai objek ilmu tentang suatu fenomena
tertentu, tetapi juga sebagai ilmu untuk fenomena-fenomena atau berbagai
permasalahan yang terjadi.3 Ketika ditemukan suatu pola matematika di dalam
suatu fenomena, pola tersebut bukan hanya sekedar sebagai karakteristik atau hal
1
Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus ilmu Pendidikan bercorak Indonesia,
(Jakarta:PT Rineka Cipta, 2009), cet. 1, h. 10.
2
Trianto Ibnu Badar Al-Tabany, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan
Kontekstual: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum 2013 (Kurikulum Tematik
Inegratif/KTI),(Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), cet. 1, h. 1.
3
Ariyadi Wijaya, Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h.12.
1
2
temuan saja melainkan dapat sebagai alat untuk menyelesaikan masalah pada
fenomena lainnya.
Hakikat
sebenarnya
matematika
tidaklah
sederhana,
untuk
dapat
menggunakan matematika sebagai ilmu yang dapat mempelajari fenomena atau
masalah, merumuskan pola, serta menggunakan pola matematika tersebut agar
dapat menyelesaikan masalah, tujuan pembelajaran perlu disesuaikan dengan
hakikat tersebut. Keterampilan matematika diperlukan sebagai dasar tujuan dari
pembelajaran matematika.
Di dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)
Nomor 20 tahun 2006 tentang Standar Isi, disebutkan bahwa pembelajaran
matematika bertujuan supaya siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:4
1. Memahami konsep matematika,
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Kemampuan yang tercantum dalam Permendiknas merupakan kemampuan
berpikir tingkat tinggi yang bukan hanya cenderung mengingat, maupun meniru
melainkan dapat menyelesaikan masalah dengan cara kreatif, serta mampu berpikir
kritis. Pada umumnya, banyak kemampuan yang dapat dikaitkan dengan
keterampilan berpikir tinggi namun elemen utama dari HOTS dapat dibuat lebih
sederhana. Menurut Lewis dan Smith keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS)
mencakup berpikit kritis, berpikir kreatif, problem solving, dan membuat
keputusan.5
Sejatinya peradaban berkembang dan terus maju dikarenakan daya kreativitas
manusia, jika manusia tidak dapat lagi mengembangkan kemampuan kreatifnya
tidak menutup kemungkinan sebagian lulusan sekolah tidak mampu mengajukan
4
Ibid., h.16.
Ridwan Abdullah Sani, Pembelajaran HOTS (Higher Order Thinking Skills), (Banten:
Tira Smart, 2019) cet.1, h. 3.
5
3
perkembangan dan mengikuti perubahan yang terjadi di dunia.6 Banyak perusahaan
yang bangkrut dikarenakan tidak dapat bersaing dalam hal inovasi, serta beberapa
pekerjaan yang tidak lagi membutuhkan tenaga kerja manusia. Hanya orang-orang
yang mampu berpikir kreatif yang dapat berkembang dalam tantangan abad 21 ini.
Sejalan dengan perkembangan teknologi yang diakibatkan oleh daya
kreativitas manusia, perlu disikapi dengan keterampilan berpikir kritis dimana
berbagai informasi harus dapat disaring secara cerdas dan kritis. Dampak teknologi
tinggi (high tech) telah merambah berbagai sektor ekonomi kreatif, sehingga pelaku
usaha harus dapat merespons bebagai perubahan dengan cepat dan efektif.7 Oleh
karena itu, sumber daya manusia harus dibekali keterampilan memvalidasi
informasi, mensitesis informasi, mengkomunikasi informasi, mengolaborasikan
informasi, dan memecahkan informasi.8
Dalam kemampuan problem solving memiliki keterkaitan hubungan dengan
kemampuan mengambil keputusan yang tepat. Selain itu kemampuan kreatif juga
diperlukan sebagai seorang problem solver, karena setiap masalah yang dihadapi
walaupun jenis masalah tersebut sama terkadang membutuhkan penyelesaian
berbeda ataupun terbaru. Proses berpikir problem solving menempatkan seseorang
untuk dapat melakukan analisis dan sintesis kedua hal tersebut juga dapat
dikatagorikan dalam kemampuan berpikir kritis.9
Namun pada kenyataannya siswa di Indonesia memiliki kemampuan berpikir
tingkat tinggi yang masih tergoloh rendah di dalam ke-lima aspek keterampilan.
Masyarakat di Indonesia cenderung lebih banyak meniru, yang mengakibatkan
perkembangan kreativitas akan menurun. Selain itu, semakin pesatnya
perkembangan internet mengakibatkan cepatnya informasi yang di dapat yang
terkadang informasi tersebut belum terbukti kebenarannya. Banyak masyarakat
terutama pelajar yang percaya terhadap informasi-informasi palsu yang seharusnya
perlu dilakukan proses berpikir kritis sebelum di percayai.
6
Ibid., h. 42.
Ibid., h. 53.
8
Endah Tri Priyatni, dkk, Pembelajaran Reflektif: Model Pembelajaran Reflektif yang
Responsif Teknologi, (Banten: Tira Smart, 2017), cet. 1, h. 4.
9
Ridwan Abdullah Sani, op. cit, h, 26.
7
4
Pembelajaran matematika di kelas perlu adanya pengaktualisasian dengan
menghubungkan konten matematika dengan budaya dan pengalaman di dalam
kehidupan sehari-hari.10 Pada kenyataannya pembelajaran dengan menekankan
pada pemahaman procedural masih membayangi siswa di Indonesia dan digunakan
oleh guru dengan alasan pembelajaran tersebut tidak memerlukan waktu yang lama.
Akibatnya siswa di Indonesia terbiasa berpikir dalam tingkatan rendah (Low Order
Thingking), fenomena ini yang mengakibatkan kurikulum di Indonesia mengalami
perbaikan yang awalanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi
Kurikulum 2013.
Selain itu dalam studi internasional Programme Internationale for Student
Assesment (PISA) dan
Trends International Mathematics and Science Study
(TIMSS) indonesia selalu menempati peringkat rendah. Secara rata-rata peserta
didik di Negara Indonesia hanya mencapai level dua dari enam level yang ada pada
tes PISA dan TIMSS.11
Programme Internationale for Student Assesment (PISA) dan
Trends
International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan tes internasional
yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa di berbagai negara. PISA
menyajikan masalah-masalah matematika yang memuat bukan hanya soal tingkat
rendah
yang
hanya
membutuhkan
kemampuan
mengingat,
memahami,
menggunakan prosedur rutin melainkan soal dengan karakteristik permasalahan
yang baru/non rutin, memerlukan keterampilan kreatif dan kritis, serta mampu
menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.
Selain itu, karakteristik soal TIMSS dan PISA melibatkan aspek yang
berkaitan dengan keterampilan berpikir matematis dalam proses menganalis
masalah, mengevaluasi solusi yang tepat dan menciptakan ide baru dalam
10
Ega Gradini, dkk, Menakar Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Calon Guru
Matematika Melalui Level Hots Marzano, Jurnal EduMa, Vol. 7, No. 2, 2018, h. 41.
11
Ridwan Abdullah Sani, op. cit, h, 277.
5
menyelesaikan masalah non routine matematika, dimana proses tersebut termasuk
pada proses berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill).12
Tabel Peringkat PISA dan TIMSS Siswa Indonesia13
PISA
Tahun Peringkat
TIMSS
Jumlah
Negara
Tahun Peringkat
Jumlah
Negara
2000
38
41
1999
32
38
2003
38
40
2003
37
46
2006
50
57
2007
35
49
2009
60
65
2011
40
42
2012
71
72
2015
45
48
2015
64
72
-
-
-
Sesuai dengan tabel terlihat jelas bahwa dalam kurun waktu 15 tahun
peringkat Indonesia berada pada posisi 10 terbawah. Penyebab rendahnya peringkat
Indonesia pada tes PISA dan TIMSS adalah karena pembelajaran di Indonesia pada
umumnya belum berbasis HOTS, padahal soal-soal TIMSS dan PISA merupakan
soal HOTS. Keadaan ini membuat pemerintah menambah porsi soal HOTS (Higher
Order Thinking Skills) dalam UN pada tahun 2018, soal HOTS (Higher Order
Thinking Skills) dalam UN sendiri telah diperkenalkan awal mula pada tahun 2014.
Penambahan soal HOTS dalam UN merupakan salah satu upaya dalam mengejar
ketertinggalan peringkat. Laporan UN tingkat SMP bidang matematika pada tahun
2018 menunjukan rata-rata nilai siswa yaitu 46.56.14
12
Ulfiah Endardini, Pengaruh Model Pembelajaran Selective Problem Solving (SPS)
terhadap Kemampuan Higher Order MathematicsThinking dan Disposisi Matematika, Skripsi
Pendidikan Matematika: UIN Jakarta, 2017, h. 4.
13
R. Arifin Nugroho, HOTS Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi: Konsep, Pembelajaran,
Penilaian, dan Soal-soal, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2018), cet. 2, h.11.
14
KEMENDIKBUD,
“Laporan
Hasil
Ujian
Nasional”,
https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id, diakses pada 22 Juli 2019 pukul 13.16 WIB.
6
Tabel Rata-rata Nilai UN Matematika SMP15
Rata-rata Nilai UN Matematika Siswa
SMP di Indonesia
52
50
48
46
44
42
40
2016
2017
2018
2019
Berdasarkan grafik diatas membuktikan bahwa pada saat porsi soal HOTS
ditambahkan di tahun 2018 rata-rata nilai UN mengalami penurunan yang cukup
signifikan, namun karena pembelajaran berbasis HOTS sudah mulai digunakan di
kelas rata-ratanya mulai meningkat walaupun belum dapat menandingi rata rata
pada tahun 2017. Pembelajaran berbasis HOTS ini pada kenyataannya belum
mengalami pemerataan dalam implementasinya, banyak pendidik yang masih
merasa kebingungan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran berbasis
HOTS.
Pembelajaran matematika yang terlaksana pada kenyataannya lebih sering
menuntut guru mentransfer ilmunya atau teacher centered tanpa adanya peran aktif
siswa dalam mendapatkan informasi tersebut. Pembelajaran yang berpusat pada
siswa penting dilakukan agar siswa dapat secara bebas berkreasi menciptakan ide
baru, mengemukakan pendapat, serta mengaktifkan otak siswa agar lebih aktif
berpikir. Selain itu pembelajaran yang mengikutsertakan proses berpikir reflektif
dirasa mampu menghasilkan produk pembelajaran berupa saran-saran untuk
menemukan solusi, pemecahan kesulitan yang dialami, pemanfaatan satu saran
untuk memunculkan ide atau hipotesis baru dan awal ditemukannya petunjuk
KEMENDIKBUD,
“Laporan
Hasil
Ujian
Nasional”,
https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id, diakses pada 22 Juli 2019 pukul 13.16 WIB.
15
7
pengamatan atau pengoperasian dalam pengumpulan materi faktual, penggalian
ide, atau asumsi-asumsi, atau pembuktian kebenaran hipotesis.16 Salah satu
pembelajaran yang memiliki karakteristik tersebut ialah Model Reflective Inquiry,
model ini merupakan adopsi dari pemikiran John Dewey mengenai berpikir
reflektif dan motode inquiry-nya. Model pembelajaran Reflective Inquiry
merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan merupakan
pembelajaran berbasis pengalaman, prosesnya melibatkan berpikir reflektif dalam
melakukan eksperimen sendiri agar dapat melihat apa yang sedang terjadi,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri serta
menghubungkannya dengan penemuan yang lain lalu di aplikasikannya. Reflective
Inquiry adalah pembelajaran yang memiliki karakteristik dari pembelajaran
berbasis HOTS. Perbedaan pembelajaran berbasis LOTS dengan pembelajaran
berbasis HOTS dapat dilihat pada deskripsi table berikut. 17
Tabel 1.2 Perbedaan aktivitas belajar LOTS dan HOTS
Aktivitas siswa dalam pembelajaran
Aktivitas siswa dalam pembelajaran
LOTS
HOTS
Pasif dalam berpikir
Aktif dalam berpikir
Menyelesaikan masalah
Memformulasikan masalah
Mengkaji permasalahan sederhana
Mengkaji permasalahan kompleks
Berpikir konvergen
Berpikir divergen dan
mengembangkan ide
Belajar dari guru sebagai sumber Mencari
informasi utama
Berlatih
menyelesaikan
informasi
dari
sumber
soal
dan Berpikir kritis dan menyelesaikan
menghapal
masalah secara kreatif
Mengutamakan pengetahuan faktual
Berpikir
analitik,
membuat keputusan
16
17
berbagai
Endah Tri Priyatni, dkk, op. cit, h. 3.
Ridwan Abdullah Sani, op. cit, h. 67.
evaluative,
dan
8
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Model Reflective Inquiry Terhadap Kemampuan
Higher Order Mathematical Thinking (HOMT) Siswa”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan Latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah yang
didentifikasi, yaitu:
1. Pembelajaran yang diberikan di sekolah lebih menekankan berpusat pada
guru.
2. Kemampuan berpikir matematika siswa masih tergolong level rendah.
3. Soal dan alat evaluasi di kelas belum sepenuhnya dapat mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa.
4. Perangkat pembelajaran Model Reflective Inquiry belum tersedia di sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari perluasan masalah yang dikaji dalam penelitian. Maka
masalah akan dibatasi pada:
1. Kemampuan yang diukur dalam penilitian ini adalah Higher Order
Mathematical Thinking dengan indikator Comparing (Membandingkan),
Classyfying (Mengelompokkan), Inductive Reasoning (Penalaran induktif),
Analyzing Erros (Menganalisis Kesalahan).
2. Model pembelajaran yang digunakan adalah Reflective Inquiry
3. Pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran matematika pada materi
aritmatika sosial
4. Pada penelitian hanya diambil dua kelas secara acak, satu kelas
menggunakan model pembelajaran reflective inquiry dan satu kelas
menggunakan model konvensional
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan model reflective inquiry?
9
2. Bagaimana kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan model konvensional?
3. Apakah kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika menggunakan model reflective
inquiry lebih besar daripada yang memperoleh pembelajaran matematika
menggunakan model konvensional?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model reflective inquiry.
2. Untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional.
3. Untuk menganalisis perbandingan kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model
reflective inquiry dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
model konvensional.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi bahwa pembelajaran dengan model reflective
inquiry memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir
tingkat tinggi matematika.
b. Sebagai referensi untuk penelitian lain yang relevan
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, diharapkan model reflective inquiry dapat memberikan suatu
pengalaman yang bermanfaat bagi pengembangan kemampuannya dan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa, serta menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar matematika lebih
giat lagi.
10
b. Bagi guru, diharapkan model reflective inquiry dapat menjadi alternatif
pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi matematika.
c. Bagi sekolah, diharapkan model reflective inquiry mampu meningkatkan
kualitas pembelajaran matematika di sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritik
1. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika
a. Definisi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang telah diciptakan oleh
Allah SWT. Manusia telah dibekali akal oleh Allah SWT untuk dimanfaatkannya
sebagai alat berpikir, hal ini lah yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya. Kegiatan berpikir selalu dilakukan oleh manusia sebagai makhluk berakal,
mulai sejak ia dilahirkan hingga akhir hayatnya. “Berpikir” artinya menggunakan
akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbangnimbang dalam ingatan.18 Hasil dari berpikir dapat berupa gagasan, ide, serta
keputusan yang dapat dijadikan penyelesaian berbagai masalah pada kehidupan
sehari-hari.
Menurut Gilmer (1970), berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan
proses penggunaan gagasan atau lambang-lambang pengganti suatu aktivitas yang
tampak secara fisik.19 Sedangkan menurut Valentine (1965, berpikir dalam kajian
psikologis secara tegas menelaah proses dan pemeliharaan untuk suatu aktivitas
yang berisi menegnai “bagaimana” yang dihubungkan dengan gagasan-gagasan
yang diarahkan untuk beberapa tujuan yang diharapkan.20 Jika dilihat dari kedua
definisi tersebut terdapat kesamaan diantaranya berpikir merupakan proses yang
algoritmik
serta
merupakan
kemampuan
seseorang dalam
memecahkan
masalahnya. Jadi mengacu kepada definisi menurut Gilmer dan Valentine, berpikir
adalah proses menghubungkan masalah dengan berbagai macam pengalaman
maupun pengetahuan yang telah diketahui dan dapat dihubungkan dengan gagasangagasan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
18
Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), cet. 1, h. 1.
19
Ibid., h. 2.
20
Ibid.
11
12
Matematika merupakan salah satu ilmu yang menuntut berpikir dalam proses
pemahamannya. Adam dan Hamm menyebutkan empat macam pandangan tentang
posisi dan peran matematika, yaitu: 21
1) Matematika sebagai suatu cara untuk berpikir
2) Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan (pattern
and relationship)
3) Matematika sebagai suatu alat (mathematics as a tool)
4) Matematika sebagai Bahasa atau alat untuk berkomunikasi
Salah satu posisi dan peran matematika adalah sebagai suatu cara untuk
berpikir dalam matematika terdapat proses menganalisis masalah dan mencari
informasi, membuat cara atau metode dalam penyelesaian secara logis dan
sistematis serta menarik kesimpulan. Menurut Andrew Noyes dalam pembelajaran
matematika terdapat dua proses yaitu “dilatih melakukan perhitungan matematika”
dan “dididik berpikir secara matematis”.22 Pada proses yang pertama tidak tedapat
kebermaknaan dalam pembelajarannya, fokus utama hanya membuat siswa
menghafal setiap rumus ataupun cara penyelesaian masalah hal tersebut dapat
membuat siswa mudah sekali melupakan serta mematikan kemampuan kreatif
siswa dalam menyelesaikan masalah . Sedangkan dalam
proses yang kedua
pembelajaran berfokus pada pencapaian siswa untuk berpikir secara matematis
yaitu dapat menganalisis, memahami konsep, sistematis, serta mampu
menghubungkan konsep dengan masalah nyata. Namun bukan berarti proses
melatih melakukan perhitungan matematika harus dihilangkan karena untuk dapat
mendidik siswa berpikir secara matematis diperlukan proses perhitungan
matematika terlebih dahulu. Proses perhitungan matematika merupakan
pembelajaran tahap awal dalam memulai belajar matematika dan selanjutnya
dibutuhkan proses dididik berpikir secara matematis agar keterampilan berpikir
matematisnya dapat berkembang.
Pada sistem hirarki terdapat tingkatan atau level, hal ini berlaku juga pada
kemampuan berpikir. Terdapat tingkatan dalam kemampuan berpikir yaitu berpikir
21
22
Ariyadi Wijaya, op. cit, h. 5-6.
Ibid., h. 7.
13
tingkat rendah (Low Order Thinking) dan berpikir tingkat tinggi (Higher Order
Thinking). Sederhananya perbedaan tingkatan keduanya adalah pada cara seseorang
memecahkan masalah, pada tingkatan yang tinggi seseorang dapat memecahkan
masalah yang baru atau non rutin, strategi yang digunakan beragam cara, serta
dalam penyelesaiannya memerlukan pemahaman konsep.
Programme for International Student Assessment (PISA) mengembangkan
enam level kemampuan tingkat tinggi matematika siswa yang menunjukan
kemampuan pengetahuan kognitif. Enam level kemampuan PISA merupakan
pengembangan kemampuan literasi matematis siswa, ke-enam levelnya sebagai
berikut.23
Tabel Level Matematika Literasi pada PISA
Level
Deskripsi
Siswa dapat merefleksikan tindakannya, merumuskan dan
6
mengkomunikasikan secara tepat tindakan dan refleksi mereka
mengenai temuan mereka,
Siswa dapat mengembangkan model untuk situasi yang kompleks,
mengidentifikasi kendala dan menentukan asumsi. Mereka dapat
5
memilih, membandingkan, dan mengevaluasi strategi penyelesaian
masalah yang tepat untuk berurusan dengan masalah rumit yang
terkait dengan model ini
Siswa dapat memilih dan mengintegrasikan representasi yang
berbeda, termasuk simbolik, menghubungkannya langsung ke
4
aspek situasi dunia nyata. Siswa di tingkat ini dapat memanfaatkan
jangkauan keterampilan yang terbatas dan dapat bernalar dengan
beberapa wawasan, dalam konteks langsung.
Siswa dapat menjalankan prosedur yang dijelaskan dengan jelas,
interpretasi yang cukup kuat untuk menjadi dasar untuk
3
membangun model sederhana dan menerapkan strategi pemecahan
masalah yang sederhana.
23
OECD, PISA 2015 Assesment and Analytic Framework: Science, Reading, Mathematic,
Financial Literacy and Collaborative Problem Solving, Jurnal OECD, 2017, p. 79.
14
Siswa dapat mennyimpulkan informasi yang relevan dari satu
sumber dan memanfaatkan sesuatu yang telah jelas didalamnya.
2
Siswa di level ini dapat menggunakan algoritma, rumus, prosedur,
atau konvensi dasar untuk menyelesaikan masalah.
Siswa dapat mengidentifikasi informasi dan melaksanakan prosedur
rutin sesuai dengan instruksi langsung dalam situasi eksplisit.
1
Mereka dapat melakukan tindakan yang hampir selalu jelas dan
mengikuti segera dari rangsangan yang diberikan
PISA telah memklasifikasikan kompetensi menjadi tiga kelompok (cluster)
untuk mendeskripsikan kegiatan kognitif yaitu kelompok reproduksi, kelompok
koneksi, kelompok reflektif.24
1) Kelompok reproduksi
Kompetensi yang diukur pada kelompok ini adalah pengetahuan tentang
fakta dan representasi masalah umum, ekivalensi, menggunakan prosedur
rutin, algoritma standar, dan menggunakan skill yang bersifat teknis.
2) Kelompok koneksi
Kompetensi kelompok koneksi dibangun atas kompetensi kelompok
reproduksi
menyelesaikan
masalah
yang
non-rutin
tapi
hanya
membutuhkan sedikit translasi dari konteks ke model (dunia)
matematika.
3) Kelompok refleksi
Kompetensi kelompok refleksi ini adalah kompetensi yang paling tinggi
yang diukur kemampuannya dalam PISA, yaitu kemampuan bernalar
dengan menggunakan konsep matematika. Dalam melakukan refleksi ini,
siswa
melakukan
analisis
terhadap
situasi
yang
dihadapinya,
mengidentifikasi dan menemukan ‘matematika’ dibalik situasi tersebut.
Berdasarkan kelompok kompetensi dan enam level PISA terdapat hubungan
bahwa level 1 dan 2 termasuk kelompok kompetensi reproduksi dan merupakan
tingkatan rendah dalam berpikir. Pada level tersebut siswa hanya dapat
24
OECD, PISA 2003 Assesment Framework: Mathematics, Reading, Science, and
Problem Solving Knowladge and Skills, Jurnal OCED, 2003, p. 41-48.
15
menyelesaikan masalah yang umum atau non rutin serta prosedur matematika yang
digunakan sederhana. Pada kelompok koneksi termasuk kepada level 3 dan 4 di
kategorikan tingkatan menengah dalam berpikir. Pada tingkatan tersebut siswa
dapat menginterpretasikan masalah ke dalam dunia nyata serta dapat membangun
model dan strategi penyelesaian masalah secara sederhana. Sedangkan, pada level
5 dan 6 termasuk kelompok refleksi pada tingkatan berpikir kelompok ini
mempiunyai tingkatan tertinggi sehingga siswa pada level ini dapat menggunakan
penyelesaian masalah sebagai solusi untuk masalah lainnya, mampu bernalar serta
melakukan refleksi terhadap pendapatnya.
Bloom Bersama timnya menyusun kerangka kategorisasi tujuan pendidikan
pada tahun 1956 yang memuat sistem pengklasifikasian tujuan pendidikan tersebut
yang disebut taksonomi. Pada taksonomi bloom terdapat pengkatagorian ranah
kemampuan yang dibagi menjadi tiga domain yaitu ranah aspektif, ranah kognitif,
dan ranah psikomotorik. Pembeda HOTS dan LOTS pada taksonomi bloom
terdapat pada ranah kognitifnya, karena ranah kognitif adalah segi kemampuan
yang berkaitan dengan aspek-aspek pengetahuan, penalaran atau pikiran.25 Pada
taksonomi bloom terdapat 6 tingkatan atau kategori pada ranah kognitif yaitu
1) Pengetahuan (knowlegde)
Pengetahuan seperti yang didefinisikan di sini mencakup perilaku
dan situasi pengujian yang menekankan ingatan, baik dengan pengakuan
atau mengingat, dari ide-ide, bahan atau fenomena.
2) Pemahaman (comprehension)
Pemahaman adalah mengambil suatu informasi dari perilaku atau situasi
pengujian tertentu. Pada tahap ini seseorang mampu memahami
informasi yang telah didapatkannya.
3) Penerapan (application)
Kemampuan untuk menerapkan suatu aturan atau pengetahuan ke dalam
masalah di kehidupan nyata dan baru.
4) Analisis (analysis)
25
298.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.
16
Di tingkat analisis, sesorang mampu memecahkan informasi yang
kompleks menjadi bagian-bagian kecil dan mengaitkan informasi dengan
informasi lain.
5) Sintesis (synthesis)
Kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagianbagian dihubungkan stu sama lain. Kemampuan mengenali data atau
informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yang
dibutuhkan.
6) Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap suatu materi
pembelajaran, argumen yang berkenaan dengan sesuatu yang diketahui,
dipahami, dilakukan, dianalisis dan dihasilkan.
Tidak jauh berbeda dengan proses kognitif aslinya, revisi taksonomi bloom
oleh Anderson dan Krathwohl (2001) mempunyai 6 proses kognitif, terdapat dua
perubahan yaitu revisi taksonomi bloom memfokuskan kepada aplikasi dan terdapat
perubahan terminologi terkait kata kerja pada prosesnya tujuannya agar
mempermudah penyusunan evaluasi pembelajaran oleh pendidik. Struktur
taksonomi bloom revisi melibatkan dua dimensi yaitu enam proses kognitif dan
empat jenis pengetahuan.26
Kerangka Kerja Asli
HOTS
Evaluasi
Sintesis
Kerangka Kerja Revisi
Mencipta
Dimensi
Pengetahuan:
 Faktual
 Conceptual
 Procedural
 metakognitif
Mengevaluasi
Menganalisis
Proses kognitif
LOTS
Analisis
Aplikasi
Mengaplikasikan
Pemahaman
Memahami
Pengetahuan
Mengingat
Tabel Struktur Taksonomi Bloom Asli dan Revisi
26
R. Arifin Nugroho, op. cit, h. 20-21.
17
Sedangkan taksonomi baru yang dikembangkan Marzano (2001) dibuat dari
Tiga sistem yaitu Sistem-Diri (Self-System), Sistem Metakognitif, dan Sistem
Kognitif, dan Domain Pengetahuan, yang kesemuanya penting untuk berpikir dan
belajar. Pada saat berhadapan dengan pilihan untuk memulai tugas baru, SistemDiri memutuskan apakah melanjutkan kebiasaan yang dijalankan saat ini atau
masuk dalam aktivitas baru; Sistem Metakognitif mengatur berbagai tujuan dan
menjaga tingkat pencapaian tujuan-tujuan tersebut; Sistem Kognitif memproses
seluruh informasi yang dibutuhkan, dan Domain Pengetahuan menyediakan isinya.
Sistem yang berkaitan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi ialah sistem
kognitif, Marzano membagi urutan taksonomi pada ranah kognitif sebagai berikut27
Tabel Urutan Taksonomi Marzano pada Sistem Kognitif
Cognitive System (sistem kognitif)
Knowledge Retrieval
Comprehension
(penarikan kembali
(pemahaman)
Analysis (analisis)
Knowledge
Utilization
pengetahuan)
(pemanfaatan
pengetahuan)
Mengingat Kembali
Mengintegrasik
(Recall)
an (Integrating)
Matching (kecocokan)
(pengambilan
Classifying
Execution (eksekusi)
Simbolisasi
Decision Making
keputusan)
(pengklasifikasian)
(Symbolazing)
Problem Solving
Error Analysis (analisis
(pemecahan masalah)
kesalahan)
Experimental Inquiry
Generalizing
(pertanyaan
(Generalisasi)
percobaan)
Specifying (spesifikasi)
Investigation
(penyelidikan)
Robert J. Marzano & John S. Kendall, “The New Taxonomy of Educational Objectives,
(New Delhi: Crowin Press, 2007), 2nd Edition, p. 37-53.
27
18
b. Indikator Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematika
Menurut Krathwohl (2002) dalam A revision of Bloom's Taxonomy: an
overview - Theory Into Practic menyatakan bahwa indikator untuk mengukur
kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill) meliputi:28
Tabel Indikator HOTS Revisi Taksonomi Bloom
Indikator HOTS Revisi
Definisi
Taksonomi Bloom
1) Menganalisis (C4)
Kemampuan memisahkan konsep ke dalam
beberapa komponen dan menghubungkan satu
sama lain untuk memperoleh pemahaman atas
konsep secara utuh
2) Mengevaluasi (C5)
Kemampuan menetapkan derajat suatu berdasarkan
norma, kriteria atau patokan tertentu
3) Mencipta (C6)
Kemampuan memadukan unsur-unsur menjadi
suatu bentuk baru yang utuh dan luas, atau
membuat sesuatu yang orisinil
Marzano mengidentifikasikan 13 indikator kemampuan berpikir tingkat
tinggi yang termasuk pada level ke 3 dan ke 4 dalam taksonomi Marzano sebagai
berikut29
Tabel Indikator Kemampuan berpikir tingkat tinggi Taksonomi Marzano
Indikator HOTS Marzano
1) Comparing
(Membandingkan)
Definisi
Kemampuan mengidentifikasi dan
mengartikulasikan kesamaan dan perbedaan
antar item.
28
Husna Nur Dinni, HOTS (High Order Thinking Skills) dan Kaitannya dengan
Kemampuan Literasi Matematika, PRISMA Prosiding Seminar Nasional Matematika, 2018, h.
172.
29
Heong, Yee Mei, dkk, The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among
Technical Education Students, International Journal of Social Science and Humanity, 2011, Vol. 1,
No. 2.
19
2) Classifying
(Mengklasifikasikan)
Mengelompokkan berbagai hal ke dalam
kategori yang dapat ditentukan berdasarkan
atributnya.
3) Inductive reasoning
Menyimpulkan generalisasi atau prinsip yang
(Penalaran induktif)
tidak diketahui dari informasi atau pengamatan.
4) Deductive reasoning
Menyimpulkan generalisasi atau prinsip yang
(Penalaran deduktif)
tidak diketahui dari informasi atau pengamatan.
5) Analyzing erors
(Analisis kesalahan)
6) Constructing support
(Membangun dukungan)
7) Analyzing perspective
(Analisis sudut pandang)
Mengidentifikasi
dan
mengartikulasikan
kesalahan dalam berpikir
Membangun
sistem
dukungan
untuk
pernyataan.
Mengidentifikasi berbagai perspektif tentang
suatu masalah dan memeriksa alasan atau logika
di baliknya
8) Abstracing
(Mengabstraksi)
9) Decision making
(Pengambilan keputusan)
Mengidentifikasi dan mengartikulasikan tema
yang mendasari atau pola umum informasi.
Membuat dan menerapkan kriteria untuk
memilih dari antara alternatif yang tampaknya
sama.
10) Investigation
Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-
(investigasi)
masalah yang mengandung kebingungan atau
kontradiksi
11) Problem solving
(Pemecahan masalah)
12) Experimental inquiry
(Percobaan pertanyaan)
13) Invention (Penemuan)
Mengatasi kendala atau membatasi kondisi
yang menghalangi pencapaian tujuan
Menghasilkan
dan
menguji
penjelasan
fenomena yang diamati
Mengembangkan produk atau proses unik yang
memenuhi kebutuhan yang dirasakan.
Pada penelitian ini, peniliti memilih indikator kemampuan berpikir tingkat
tinggi dengan taksonomi Marzano dan dibatasi pada :
1) Membandingkan
20
Kemampuan mengidentifikasi dan mengartikulasikan kesamaan dan
perbedaan antar item.
2) Mengklasifikasikan
Mengelompokkan berbagai hal ke dalam kategori yang dapat ditentukan
berdasarkan atributnya.
3) Penalaran induktif
Menyimpulkan generalisasi atau prinsip yang tidak diketahui dari
informasi atau pengamatan.
4) Analisis kesalahan
Mengidentifikasi dan mengartikulasikan kesalahan dalam berpikir
2. Model Pembelajaran Reflective Inquiry
a. Pengertian Model Pembelajaran Reflective Inquiry
Soekamto, dkk. mengemukakan maksud dari model pembelajaran, yaitu
“Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu , dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar
dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar”.30 Suatu konsep pembelajaran
dapat dikatakan model karena mememiliki ciri-ciri memiliki rasional teoritik logis,
tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sintak atau rangkaian tahapan pembelajaran
terstuktur, dan lingkungan belajar yang sesuai.31
Model Reflective Inquiry merupakan model yang diadaptasi dari pemikiran
John Dewey tentang metode pembelajaran reflektif di dalam memecahkan masalah
yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir kearah
kesimpulan yang pasti. Langkah-langkah proses reflektif menurut John Dewey
(1997) “(I) merasakan kesulitan; (ii) membatasi dan mendefinisikan masalah; (iii)
mengajukan kemungkinan alternatif solusi; (iv) pengembangan ide dengan
mengumpulkan data; (v) pengamatan lebih lanjut dan percobaan yang mengarah
30
31
Trianto Ibnu Badar Al-Tabany, op. cit, h. 24.
Ibid.
21
pada penerimaan atau penolakannya; yaitu, kesimpulan dari kepercayaan atau
ketidakpercayaan.32
Pembelajaran reflektif John Dewey ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah
di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Salah satu pembelajaran
berbasis penelitian ilmiah adalah model pembelajaran inkuiri, John Dewey (1938)
sendiri memberikan definisi sendiri terhadap inkuiri dan situaisnya “Inquiry is the
controlled or directed transformation of an indeterminate situation into one that is
so determinate in its constituent distinctions and relations as to convert the
elements of the original situation into unified whole.”33 Definisi ini memberikan
pemahaman bahwa penemuan dimulai dari situasi yang tidak dapat ditentukan hal
tersbut bisa merupakan pengalaman dan diakhiri dengan pola terstuktur dari
penemuan tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Reflective Inquiry
merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan merupakan
pembelajaran berbasis pengalaman, prosesnya melibatkan berpikir reflektif dalam
melakukan eksperimen sendiri agar dapat melihat apa yang sedang terjadi,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri serta
menghubungkannya dengan penemuan yang lain lalu di aplikasikannya.
Yordanka Dimova, dan Kalina Kamarska (2015) merekontruksi kembali
model John Dewey dengan alasan belum ada yang membuat model Reflective
Inquiry ini dengan tujuan untuk digunakan dalam Pendidikan sains. Penekanan
model tersebut bergerak ke hubungan antara refleksi dan tindakan dalam proses
penyelidikan.
Proses inkuiri pada model ini meliputi indeterminate situation, problematic
situation dan determinate situation. Proses indeterminate situasion adalah keadaan
siswa mengalami kebingungan atau kesulitan yang tidak jelas, tidak pasti, dan
perlu untuk di lakukan tindakan yang sehubung dengan apa yang sedang terjadi
dan yang harus dilakukan. Proses ini berupa pembentukan pertanyaan melalui
32
Yordanka Dimova and Kalina Kamarska, Rediscovering John Dewey’s Model of
Learning Through Reflective Inquiry, Jurnal Problem of Education in The 21th Century, 2015, Vol.
63, p. 31.
33
Ibid, h. 30.
22
eksperimen bermasalah dengan langkah-langkah reflektif. Proses problematic
situasion adalah proses untuk merubah keadaan membingungkan dan sulit menjadi
keadaan yang dapat dipahami. Berbagai masalah dapat disimpulkan dari satu
situasi bermasalah, masalah-masalah ini pada gilirannya dapat mengarah pada
berbagai solusi dengan eksperimen dan observasi yang dilakukan. Proses
determinate situation adalah kegiatan pembentukan kesimpulan yang menjadi
solusi-solusi serta terdapat langkah-langkah reflektif untuk dapat menyarankan
aspek-aspek baru dalam menerapkan pengetahuan tentang objek yang dipelajari.
b. Tahapan Model Pembelajaran Reflective Inquiry
Tahapan pada proses pembelajaran Reflective Inquiry adalah sebagai berikut:
1) Indeterminate situation
Proses ini terdiri dari dua tahapan yaitu:
a) Problematic experiment
Tahap ini pendidik harus mempersiapkan siswa untuk
memahami situasi yang bermasalah, memotivasi siswa bahwa
perlunya merumuskan masalah. Untuk mewujudkan tujuan ini,
percobaan harus non standar dan harus kekurangan data yang
cukup untuk menjelaskan hasil dari perubahan yang diamati
pada objek yang telah dipelajari.
b) Formulating questions
Siswa diminta mengajukan beberapa pertanyaan yang
berkaitan dengan percobaan bermasalah yang telah di jelaskan
oleh pendidik.
2) Problematic situation
Tahapan pada proses ini yaitu:
a) Formulating problems
Pendidik meminta siswa menjelaskan yang berkaitan dengan
kegiatan bermasalah. Pada tahap ini siswa perlu memahami
masalah dengan baik.
b) Observation and experimenting
23
Siswa melalukan pengamatan terhadap masalah yang telah
didefinisikan hasil pengamatan berupa data yang akan di
kumpulkan di olah serta di sajikan dalam representasi sesuai
dengan yang dibutuhkan. Selanjutnya pendidik meminta siswa
melakukan suatu percobaan sesuai dengan masalah yang
dihadapi dan siswa mencari tau mengenai hubungan sebab
akibat
c) Research experiment
Data untuk mendapatkan pengetahuan baru dari objek yang
dipelajari dikumpulkan melalui eksperimen penelitian. Jika
percobaan penelitian sesuai dengan hipotesis yang telah di
bentuk sebelumnya terbukti, maka dapat disajikan mengenai
penerimaan atau penolakan hipotesis.
3) Determinate situation
a) Illustrative experiment
Pada tahap ini siswa dapat mencari solusi baru yang
dihasilkan dari proses berpikir reflektif karena siswa perlu
menyadari bahwa terdapat beberapa solusi yang dapat
dijadikan kesimpulan.
b) Solution
Proses mengambil keputusan dari solusi yang telah di
dapatkan. Siswa dapat menggaplikasikan solusi tersebut
dengan masalah lain yang relevan.
Dalam proses melakukan experiment, refleksi intelektual untuk atau dalam
tindakan dapat diaktualisasikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah selesai dan menghitung data dari apa yang telah diamati selama percobaan,
refleksi atas tindakan dapat diaktualisasikan: 34

Refleksi intelektual - Bagaimana Anda melakukan percobaan? Data apa dari
percobaan yang Anda mengerti / tidak mengerti? Apa yang mengejutkan
34
Yordanka Dimova and Kalina Kamarska, op. cit, p. 36.
24
Anda? Kesimpulan apa yang Anda buat, dan mengapa? Apa yang masih
belum Anda ketahui tentang mereka? Apa lagi yang ingin Anda pelajari?

Refleksi pribadi - Apa yang paling sulit bagi Anda? Mengapa? Bagaimana
perasaan Anda selama percobaan? Apa yang Anda pelajari tentang diri
Anda / pengetahuan dan keterampilan Anda selama percobaan? Apa yang
harus Anda tingkatkan sejauh menyangkut tindakan Anda?

Dialog refleksi - Siapa orang paling aktif selama konduksi dan analisis
percobaan? Siapa yang paling emosional? Apakah ada perselisihan?
Adakah perbedaan pendapat saat merumuskan kesimpulan? Apakah teman
sekelas Anda mempertimbangkan opini Anda? Siapa teman sekelas Anda
yang paling sering dipertimbangkan?

Refleksi
praxiologis
- Bagaimana penyelesaian percobaan dapat
ditingkatkan? Bagaimana data dari percobaan dapat digunakan?
Pada penelitian ini, langkah-langkah pembelajaran model Reflective Inquiry
adalah sebagai berikut:
Tahapan model pembelajaran reflective inquiry
1) Problematic experiment

(percobaan bermasalah)
Siswa
diberikan
masalah
beserta
penyelesaian yang salah

Guru
memberitahukan
siswa
untuk
memperbaiki penyelesaian yang salah
tersebut

Siswa melakukan pengamatan terhadap
masalah tersebut, dengan menggunakan
pengetahuan sebelumnya

Guru memberikan pertanyaan melalui
pertanyaan refleksi intelektual
2) Formulating questions

and problems
(merumuskan pertanyaan
dan masalah)
Siswa
membuat
pertanyaan
terkait
masalah yang telah disajikan

Siswa
merumuskan
kesalahan
atau
hipotesis dari percobaan bermasalah yang
25
telah dilakukan
3) Observation and

Guru memberikan masalah yang sama
experimenting (observasi
untuk membuktikan hipotesis yang telah
dan melakukan
dibuat

percobaan)
Siswa melakukan pengamatan terhadap
masalah
tersebut
yang
selanjutnya
dilakukan percobaan
4) Research
experiment

(percobaan penelitian)
Siswa mengkaitkan hipotesis yang telah
dibuat dengan percobaan kembali yang
telah di lakukan

Guru memberikan pertanyaan melalui
pertanyaan refleksi pada tindakan
5) Illustrative
experiment

(percobaan ilustratif)
Siswa
menggunakan
kesimpulannya
untuk digunakan ke masalah lainnya

Guru memberikan masalah baru yang
berbeda

Guru memberikan pertanyaan melalui
pertanyaan refleksi pada aksi
6) Solutiom (penyelesaian)

Siswa mengkomunikasikan hasil kerjanya
kepada siswa lainnya

Siswa
melakukan
refleksi
terhadap
kerjaannya dan kerjaan temannya
3. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang sering digunakan guru
dalam mengajar di sekolah pada saat ini. pada saat ini pembelajaran dikelas belum
berbasis HOTS kegiatan yang berlangsung hanya proses transfer ilmu dari guru
saja, murid tidak mencari sendiri pemecahan masalah yang dihadapinya salah satu
model yang memiliki ciri tersebut ialah pengajaran langsung (direct instruction).
Pengajaran Langsung adalah satu model yang menggunakan peragaan dan
26
penjelasan guru digabungkan dengan latihan dan umpan balik siswa untuk
membantu mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan nyata yang
dibutuhkan untuk pembelajaran lebih jauh.35 Adapun terdapat lima fase yang
ditempuh yaitu36
Tabel Sintak Model Direct Instruction (Pembelajaran Langsung)
1) Orientasi
2) Presentasi

Guru menentukan materi pelajaran

Guru meninjau pelajaran sebelumnya

Guru menentukan tujuan pelajaran

Guru menentukan prosedur pengajaran

Guru menjelaskan konsep atau keterampilan
baru

Guru menyajikan representasi visual atau
tugas yang diberikan
3) Praktik yang

Guru memastikan pemahaman

Guru menuntun kelompok siswa dengan
Terstruktur
contoh praktik dalam beberapa langkah

Siswa merespons pertanyaan

Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan
dan memperkuat praktik yang telah benar
4) Praktik di Bawah

Siswa berpraktik secara semi-independen
Bimbingan Guru

Guru menggilir siswa untuk melakukan
praktik dan mengamati praktik

Guru memberikan tanggapan balik berupa
pujian, bisikan, maupun petunjuk
5) Praktik Mandiri

Siswa melakukan praktik secara mandiri di
rumah atau di kelas
35
Paul Eggen dan Don Kauchak, Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten
dan Keterampilan Berpikir, Terjemahan oleh Satrio Wahono, (Jakarta: PT Indeks), 2012, cet. 6, h.
363.
36
Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-isu Metodis dan
Paradigmatis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2014, cet. V, h. 136-137.
27

Guru
menunda
respons
balik
dan
memberikannya di akhir rangkaian praktik

Praktik mandiri dilakukan beberapa kali dalam
periode waktu yang lama
B. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan Ulfiah Endardini pada tahun 2017 mengenai
kemampuan berpikir tingkat tinggi pada “Pengaruh Model Pembelajaran
Selective Problem Solving (SPS) Terhadap Kemampuan Higher Order
Thinking Skill dan Disposisi Matematika” Penelitian ini mengungkapkan
bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi Matematika siswa yang diajarkan
dengan model Selective Problem Solving lebih tinggi daripada siswa yang
diajarkan dengan pembelajaran ekspositori). Capaian Kemampuan berpikir
tingkat tinggi Matematika siswa pada Indikator menganalisis lebih baik
dibandingkan dengan mengevaluasi dan mencipta. Hasil penelitian juga
mengungkapkan bahwa Disposisi Matematika siswa yang diajarkan dengan
model Selective Problem Solving lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran ekspositori. Capaian Disposisi Matematika siswa pada
indikator percaya diri lebih baik dibandingkan dengan fleksibelitas, reflektif
dan rasa ingin tahu.37
2. Pada penelitian yang dilakukan Naning Marliani 2013 mengenai
Pembelajaran Reflective Inquiry pada “Pembelajaran Inkuiri Reflektif
Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Termokimia dan Keterampilan
Berpikir Kreatif Siswa SMA”. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri reflektif mampu meningkatkan
pemahaman konsep pada sub pokok bahsan sistem dan lingkungan, proses
ekoterm dan endoterm serta penentuan perubahan entalpi dengan
calorimeter, dengan % N-Gaind berturut-turut adalah 96%, 88%, dan 25%.
Pembelajaran inkuiri reflektif juga mampu meningkatkan keterampilan
37
Ulfiah Endardini, op. cit, h. i.
28
berpikir kreatif pada tiga indicator yang diukur yaitu (1) dapat
menyelesaikan masalah dari sudut pandang yang berbeda, (2) menghasilkan
banyak gagasan, dan (3) dapat merinci gagasan secara detail.38
C. Kerangka Berpikir
Kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika (Higher Order Thingking
Skills) sangat penting untuk ditingkatkan, sebab dengan kemampuan tersebut siswa
dapat berpikir kreatif, kritis dan mampu memcahkan masalah sehingga pada
tantangan abad 21 ini siswa mendapatkan kemampuan belajar mandiri.
Pada kenyataannya kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika di
Indonesia sangat rendah. Ini terbukti dari hasil TIMSS dan PISA mengenai
kemampuan matematis siswa Indonesia yang tergolong rendah serta hasil PISA
menunjukan siswa di Indonesia memiliki kemampuan di level dua dari enam level
yang ada. Selain itu, hasil yang tidak memuaskan juga terdapat pada Ujian Negara
setelah porsi soal HOTS yang ditingkatkan jumlahnya oleh Pemerintah nilai ratarata menjadi menurun pada tahun 2018 namun pada tahun 2019 mulai meningkat
karena Peremerintah membuat kebijakan pada kurikulum 2013 bahwa
pembelajaran di sekolah diwajibkan berbasis High Order Thinking Skills.
Dalam mengatasi kemampuan berpikir tingkat tinggi yang masih tergolong
rendah ini, pada kelas ekperimen diajarkan model yang berbasis HOTS yaitu model
Reflective Inquiry. Model pembelajaran Reflective Inquiry memiliki enam tahapan,
yaitu: (1) Problematic experiment, (2) Formulating questions and problems, (3)
Observation
and
experimenting,
(4)Illustrative
experiment,
(5)Research
experiment, (6) Solution. Setiap langkah Reflective Inquiry memberikan
kesempatan siswa agar berpikir secara aktif dan hati-hati untuk dapat memecahkan
masalah secara mandiri dan meningkatkan kemampuan membandingkan,
mengklasifikasi, bernalar secara induktif, serta mampu menganalisis kesalahan.
38
Nining Marliani, Pembelajaran Inkuiri Reflektif untuk Meningkatkan Pemahaman
Konsep Termokimia Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA, Skripsi pada UPI Bandung, 2013,
h. i. Tidak dipublikasikan
29
Tahap pertama, problematic experiment yaitu guru memberikan percobaan
yang terdapat masalahnya, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk memulai
pembelajaran dengan aktif. Pada tahap ini guru juga mengaktifkan pengetahuan
siswa sebelumnya sehingga memungkinkan siswa membuat kesimpulan dengan
mengkaitkan pengetahuan awal dengan masalah yang di sampaikan. Selain itu
kemampuan dalam menganalisis kesalahan diperlukan untuk memfokuskan
masalah yang diberikan.
Tahap kedua, formulating questions yaitu siswa mengajukan berbagai
pertanyaan yang di dapat dari proses pencarian masalah pada percobaan
bermasalah. Pada tahap ini kemampuan yang di butuhkan yaitu mengklasifikasikan
agar dapat mengkatagorikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mempercepat
penyelesaian masalah. Selain itu dalam mengajukan pertanyaan di perlukan
kemampuan analisis terlebih dahulu. Formulating problem yaitu siswa dapat
memahami masalah dengan baik, dapat mendeskripsikan masalah tersebut serta
mengetahui pentingnya untuk memahami masalah. Pada tahap ini siswa
mengidentifikasi masalah bedasarkan fakta dan data yang telah di dapat pada
proses pengajuan pertanyaan yang selanjutnya di klasifikasikan berdasarkan
keperluan, serta siswa diminta menyimpulkan sendiri masalah yang sebenarnya
dan mengumpulkan data sendiri.
Tahap ketiga observation and experimenting yaitu siswa melalukan
pengamatan terhadap masalah yang telah didefinisikan hasil pengamatan berupa
data yang akan di kumpulkan di olah serta di sajikan dalam representasi sesuai
dengan yang dibutuhkan. Selanjutnya pendidik meminta siswa mengelompokkan
dan memisahkan variabel, merumuskan hipotesis dan siswa menguji mengenai
hubungan sebab akibat.
Tahap keempat illustrative experiment yaitu siswa dapat mencari solusi baru
yang dihasilkan dari proses berpikir reflektif karena siswa perlu menyadari bahwa
terdapat beberapa solusi yang dapat dijadikan kesimpulan.
Tahap kelima research experiment yaitu siswa dapat mencari solusi baru yang
dihasilkan dari proses berpikir reflektif karena siswa perlu menyadari bahwa
terdapat beberapa solusi yang dapat dijadikan kesimpulan.
30
Tahap keenam solution yaitu proses mengambil keputusan dari solusi yang
telah di dapatkan. Siswa dapat menggaplikasikan solusi tersebut dengan masalah
lain yang relevan.
Berpikir Tingkat Tinggi Matematika Siswa Tergolong Rendah
High Order Thinking
Model Reflective Inquiry
1. Comparing
1. Problematic experiment
2. Formulating questions
and problems
3. Observation and
experimenting
4. Illustrative experiment
5. Research experiment
6. Solution
2. Classifying
3. Inductive
Reasoning
4. Analysis Eror
Reflective Inquiry
Problematic
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
yang ada, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika, siswa yang
diajarkan dengan model pembelajaran Reflective Inquiry lebih tinggi daripada
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang diajarkan dengan model
pembelajaran konvensional.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bertempat di SMP/MTs di Depok.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun ajaran semester genap 2019/2020
setelah proposal disetujui.
B. Metode dan Desain Penelitan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen.
Quasi eksperimen digunakan karena peneliti tidak dapat mengontrol secara
penuh variabel – variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok
yang diberikan perlakuan pembelajaran dengan model pembelajaran Reflective
Inquiry sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan pembelajaran
konvemsional.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Randomized
Post Test Only Control Group Design dimana pengontrolan secara acak hanya
pada tes akhir (post-test) saja karena peneliti hanya ingin menganalisis
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa setelah diberi perlakuan
sehingga tidak diberikan pre – test. Desain penelitiannya adalah sebagai
berikut.
Kelompok
Perlakuan
Post-test
R
X
O
R
C
O
Keterangan :
R
: Pengambilan sampel secara acak (random)
X
: Perlakuan yang diberikan kepada kelompok eksperimen yaitu dengan
model pembelajaran Reflective Inquiry
C
: Perlakuan yang diberikan kepada kelompok kontrol yaitu dengan
metode konvensional
31
32
O
: Hasil Post-test
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP/MTs Jakarta.
2. Sampel
Sampel dari penelitian ini diambil dari populasi sebanyak dua kelas yang
dipilih dengan teknik Cluster Random Sampling. Masing-masing dipilih
secara acak untuk menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dari hasil tes yang diberikan kepada kedua kelompok sampel
di akhir materi pembelajaran. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengumpulan data diantaranya:
1. Variabel
Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika sebagai variabel terikat (dependent variable) dan model
Reflective Inquiry sebagai variabel bebas (independent variable).
2. Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini adalah siswa yang menjadi sampel
dalam penelitian.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang
mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa berupa
soal uraian/esai.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal
uraian yang dibuat untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dua
kelompok tersebut diberikan instrumen yang sama. Sebelum instrumen
penelitian ini digunakan, dilakukan pengujian terlebih dahulu berupa uji
validitas, reliabilitas, serta uji untuk mengetahui daya beda dan tingkat
kesukaran soal.
1. Uji Validitas
33
Uji validitas ini dilakukan agar dapat diketahui apakah instrumen
ini mampu mengukur kemampuan berpikir kreatif. Uji validitas
menggunakan rumus korelasi product moment yang dikemukakan oleh
Pearson sebagai berikut.
𝑟𝑥𝑦 =
𝑁(∑ 𝑋𝑌) − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
√(𝑁 ∑ 𝑋 2 − (∑ 𝑋)2 ) − (𝑁 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2 )
Keterangan :
𝑟𝑥𝑦
: Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
∑𝑋
: Skor butir soal
∑𝑌
: Skor total
N
: Banyaknya peserta tes
Uji validitas instrumen dilakukan untuk membandingkan hasil
perhitungan 𝑟𝑥𝑦 dengan 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 pada taraf signifikansi 5%. Dengan
kriteria jika 𝑟𝑥𝑦 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka soal dikatakan valid, sebaliknya jika 𝑟𝑥𝑦
≤ 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka soal dikatakan tidak valid.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas berarti menguji sejauh mana hasil dari suatu
pengukuran dapat dipercaya. Suatu instrumen dapat dikatakan memiliki
tingkat kepercayaan yang tinggi jika diperoleh hasil pengukuran yang
relatif sama dalam beberapa kali pengukuran pada kelompok yang
sama.39Untuk mengetahui reliabilitas tes maka digunakan rumus Alpha
Cronbach sebagai berikut.
𝑟11
Dengan Varians :
∑ 𝜎𝑏 2
𝑘
=(
) (1 −
)
𝑘−1
𝜎𝑡 2
𝜎𝑡
=
∑ 𝑋2−
(∑ 𝑋)2
𝑁
𝑁
Keterangan :
𝑟11
: Nilai reliabilitas
∑ 𝜎𝑏 2 : Jumlah varians butir
39
Ali Hamzah, Evaluasi Pembelajaran Matematika, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h.230.
34
: Varians total
𝜎𝑡
K
: Banyaknya item pertanyaan
X
: Skor tiap soal
N
: Banyaknya siswa
Kriteria menurut Guildford dalam menginterpretasikan derajat
reliabilitas instrumen disajikan dalam tabel di bawah ini.40
Koefisien korelasi
Korelasi
Interpretasi
0,90 ≤ 𝑟11 ≤ 1,00
Sangat tinggi
Sangat baik
0,70 ≤ 𝑟11 < 0,90
Tinggi
Baik
0,40 ≤ 𝑟11 < 0,70
Sedang
Cukup
0,20 ≤ 𝑟11 < 0,40
Rendah
Buruk
Sangat rendah
Sangat buruk
𝑟11 < 0,20
3. Daya Pembeda
Uji daya beda butir soal ini perlu dilakukan untuk mengetahui
apakah butir soal tersebut mampu membedakan kemampuan siswa
yang tinggi dan rendah.41 Rumus yang digunakan untuk mengetahui
daya pembeda butir tes adalah sebagai berikut.
𝐷𝑝 =
𝐵𝐴 𝐵𝐵
−
𝐽𝐴 𝐽𝐵
Keterangan:
40
𝐷𝑝
: Daya pembeda butir
𝐵𝐴
: Banyaknya kelompok atas yang menjawab benar
𝐵𝐵
: Banyaknya kelompok bawah yang menjawab benar
Karunia Eka Lestari & Mokhammad Ridwan Yudhanegara, Penelitian Pendidikan
Matematika. (Bandung : Refika Aditama, 2015), h.206.
41
Ali Hamzah, op. cit., h.240.
35
𝐽𝐴
: Banyaknya siswa kelas atas
𝐽𝐵
: Banyaknya siswa kelas bawah
Setelah menemukan nilai Dp maka digunakan tabel berikut untuk
menginterpretasikan daya pembeda tiap butir tes.42
Nilai Dp
Interpretasi
0,70 < 𝐷𝑝 ≤ 1,00
Sangat baik
0,40 < 𝐷𝑝 ≤ 0,70
Baik
0,20 < 𝐷𝑝 ≤ 0,40
Cukup
0,00 < 𝐷𝑝 ≤ 0,20
Buruk
𝐷𝑝 ≤ 0,00
Sangat buruk
4. Taraf Kesukaran
Uji taraf kesukaran ini perlu dilakukan untuk mengklasifikasikan
tingkat kesulitan tiap butir soal apakah sulit, sedang atau mudah. Taraf
kesukaran soal dapat dilihat dari persentase siswa yang menjawab benar
pada butir soal tersebut. Berikut rumus menghitung taraf kesukaran.
𝑃=
𝐵
𝐽𝑠
Keterangan :
P = indeks kesukaran soal yang dicari
B = jumlah siswa yang menjawab benar
Js = jumlah seluruh siswa
Setelah menemukan nilai P maka digunakan tabel berikut untuk
menginterpretasikan taraf kesukaran tiap butir tes.43
Nilai P
Interpretasi
𝑃 = 0,00
42
43
Terlalu sukar
0,00 < 𝑃 ≤ 0,30
Sukar
0,30 < 𝑃 ≤ 0,70
Sedang
Karunia Eka Lestari & Mokhammad Ridwan Yudhanegara, op. cit., h.217.
Karunia Eka Lestari & Mokhammad Ridwan Yudhanegara, op. cit., h.224.
36
0,70 < 𝑃 < 1,00
𝑃 = 1,00
Mudah
Terlalu mudah
F. Teknik Analisis Data
Setelah data kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa
terkumpul, data akan diolah untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis
penelitian diuji menggunakan uji-t. Seluruh pengolahan data termasuk analisis
prasyarat menggunakan perangkat lunak SPSS.
1. Uji Prasyarat Analisis
Sebelum melakukan pengujian dengan menggunakan uji-t, data
akan melalui beberapa persyaratan analisis. Persyaratan analisis untuk
berlakunya statistic uji-t tersebut harus terpenuhi yaitu penempatan subjek
dalam kelompok-kelompok yang akan diuji harus dipilih secara acak,
datanya harus normal dan homogen.44
a. Uji Normalitas
Pengujian normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau
tidaknya suatu distribusi data. Beberapa teknik analisis seperti uji-t
mensyaratkan perlunya asumsi distribusi normal.45 Apabila suatu
distribusi data tidak normal maka disarankan untuk menggunakan uji
statistika nonparametrik.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis KolmogorofSmirnovdalam perangkat lunak SPSS. Hipotesis yang ditetapkan dalam
pengujian ini yaitu:46
𝐻0
: Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
𝐻1
:Sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal
Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah sebagai berikut:
44
Kadir, Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program
SPSS/Lisrel dalam Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), ed. 2, cet. 3, h. 295.
45
Ibid., h.143.
46
Ibid., h. 147.
37
1) Jika probabilitas > 0,05, maka 𝐻0 diterima.
2) Jika probabilitas ≤ 0,05, maka 𝐻0 ditolak.
b. Uji Homogenitas
Homogenitas data merupakan salah satu persyaratan yang
direkomendasikan
untuk
diuji
secara
statistik
terutama
bila
menggunakan statistika uji parametrik, misalnya uji-t.47 Pengujian
homogenitas dilakukan dalm rangka menguji kesamaan varians setiap
kelompoh data. Pengujian homogenitas pada penelitian ini menggunakan
One-Way ANOVA pada perangkat lunak SPSS. Hipotesis statistik yang
ditetapkan yaitu:
𝐻0 ∶ 𝜎1 2 = 𝜎2 2 (varians kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika kedua kelompok homogen)
𝐻1 ∶ 𝜎1 2 ≠ 𝜎2 2 (varians kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika kedua kelompok tidak homogen)
Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Jika signifikansi (p) > 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 diterima.
2) Jika signifikansi (p) ≤ 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 ditolak.
2. Pengujian Hipotesis
Setelah dilakukan analisis prasyarat uji normalitas dan uji
homogenitas, pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui adanya
perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika secara signifikan
antara siswa yang mendapat penbelajaran reflective inquiry dan siswa yang
mendapat pembelajaran konvensional. Jika pada analisis prasyarat diketahui
bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka
pengujian hipotesis pada penelitian ini akan menggunakanuji-t sampel
bebas (independent sample t-test) dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS. Adapun hipotesis statistik yang digunakan yaitu:
47
Ibid., 159
38
𝐻0 ∶ 𝜇1 ≤ 𝜇2 (rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa kelompok eksperimen lebih kecil sama dengan rata-rata
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelompok
kontrol)
𝐻1 ∶ 𝜇1 > 𝜇2 (rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata kemampuan
berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelompok kontrol)
Pengambilan keputusan yang digunakan yaitu dengan melihat nilai sig. (2
tailed) atau p-value. Adapun kriteria pengambilan keputusan yang
digunakan yaitu:
1) Jika signifikansi (p) > 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 diterima.
2) Jika signifikansi (p) ≤ 𝛼 (0,05), maka 𝐻0 ditolak.
Namun, jika diketahui bahwa sampel berasal dari populasi yang
tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis akan menggunakan uji
Mann-Witney.
G. Hipotesis Statistik
Hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
𝐻0 ∶ 𝜇1 ≤ 𝜇2
𝐻1 ∶ 𝜇1 > 𝜇2
Keterangan:
𝜇1 ∶ Rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
diajarkan menggunakan model pembelajaran reflective inquiry
𝜇2 ∶ Rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
diajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional
DAFTAR PUSTAKA
Al-Tabany, Trianto Ibnu Badar. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif,
Progresif, dan Kontekstual. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014
Dinni, Husna Nur. HOTS (High Order Thinking Skills) dan Kaitannya dengan
Kemampuan Literasi Matematika. PRISMA Prosiding Seminar Nasional
Matematika: Universitas Negeri Semarang. 2018
Dimova, Yordanka and Kalina Kamarska. Rediscovering John Dewey’s Model of
Learning Through Reflective Inquiry, Jurnal Problem of Education in The
21th Century. 2015
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. 2009
Eggen, Paul dan Don Kauchak. Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan
Konten dan Keterampilan Berpikir. Terjemahan oleh Satrio Wahono.
Jakarta: PT Indeks. 2012
Endardini, Ulfiah. Pengaruh Model Pembelajaran Selective Problem Solving (SPS)
terhadap Kemampuan Higher Order MathematicsThinking dan Disposisi
Matematika, Skripsi Pendidikan Matematika: UIN Jakarta. 2017
Gradini, Ega, dkk. Menakar Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Calon Guru
Matematika Melalui Level Hots Marzano. Jurnal EduMa. 2018
Hamzah, Ali. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Jakarta : Rajawali Pers. 2014
Heong, Yee Mei, dkk. The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among
Technical Education Students, International Journal of Social Science and
Humanity. 2011
Kadir. Statistika Terapan : Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program
SPSS/Lisrel dalam Penelitian. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2015
KEMENDIKBUD.
“Laporan
Hasil
Ujian
Nasional”,
https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id diakses pada 22 Juli 2019
pukul 13.16 WIB.
Kuswana, Wowo Sunaryo. Taksonomi Berpikir. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2011
39
40
Lestari , Karunia Eka & Mokhammad Ridwan Yudhanegara. Penelitian Pendidikan
Matematika. Bandung : Refika Aditama. 2015
Marzano, Robert J. and John S. Kendall. The New Taxonomy of Educational
Objectives. New Delhi: Crowin Press. 2007
Nining Marliani, Pembelajaran Inkuiri Reflektif untuk Meningkatkan Pemahaman
Konsep Termokimia Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa SMA, Skripsi
pada UPI Bandung. 2013. Tidak dipublikasikan
Nugroho, R. Arifin. HOTS Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi: Konsep,
Pembelajaran, Penilaian, dan Soal-soal. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia. 2018
OECD. PISA 2015 Assesment and Analytic Framework: Science, Reading,
Mathematic, Financial Literacy and Collaborative Problem Solving,
Jurnal OECD. 2017
______. PISA 2003 Assesment Framework: Mathematics, Reading, Science, and
Problem Solving Knowladge and Skills. Jurnal OCED. 2003
Pidarta, Made. Landasan Kependidikan: Stimulus ilmu Pendidikan bercorak
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2009
Priyatni, Endah Tri, dkk. Pembelajaran Reflektif: Model Pembelajaran Reflektif
yang Responsif Teknologi. Banten: Tira Smart. 2017
Sani, Ridwan Abdullah. Pembelajaran HOTS (Higher Order Thinking Skills.
Banten: Tira Smart. 2019
Wijaya, Ariyadi. Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012
Download