Uploaded by manuputtyremsy007

Belajar Mendidik

advertisement
http://facebook.com/indonesiapustaka
BELAJAR
MENDIDIK
http://facebook.com/indonesiapustaka
Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ
PENERBIT PT KANISIUS
BELAJAR mENDIDIK
Oleh: Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ
1017004254
©2017 PT Kanisius
PENERBIT PT KANISIUS
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
E-mail: [email protected]
Website: www.kanisiusmedia.co.id
http://facebook.com/indonesiapustaka
Editor: Y. Hery Kurniyanta
Tata letak: Marini
Desain sampul: Hermanus Yudi
Ilustrator: Roosje W.
Model sampul: Louisa Bianca T.P. dan Benedict Kaindra A. – SD Joannes Bosco Yogyakarta
Edisi elektronik diproduksi oleh Divisi Digital Kanisius tahun 2017.
ISBN 978-979-21-5408-5 (pdf)
ISBN 978-979-21-5407-8 (cetak)
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Prakata
S
etiap orang tua mempunyai panggilan untuk mendidik anakanaknya: melampaui semua pihak lain. Panggilan itu berakar
pada kodratnya sebagai ayah dan ibu anak-anaknya. Oleh karena itu,
keterampilan dan kemampuan untuk mendidik “secara tepat”, perlu
terus-menerus dikembangkan supaya selaras dengan kemampuan
optimalnya, maupun sesuai dengan pertumbuhan anak serta dengan
memperhatikan perkembangan masyarakat. Kelompok-kelompok
dalam masyarakat maupun pemerintah merasa wajib untuk membantu
(secara subsidi) orang tua dalam mendidik. Perasaan wajib tersebut
dapat sedemikian luas sehingga terbitlah tradisi “wajib belajar”, yakni
“pemerintah mewajibkan rakyatnya untuk belajar”. Secara psikologis,
kewajiban belajar sangat membantu perkembangan pribadi manusia.
Namun, “kewajiban belajar” dapat juga menembus wewenang perdana orang tua untuk mendidik anaknya terutama berkaitan dengan
“penyempitan pendidikan menjadi identik dengan penyekolahan”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Salah satu “penyempitan yang sering dinilai berlebihan karena
pemerintah mewajibkan regionalisasi pendidikan dan menciptakan
sekolah sepanjang hari” masih membutuhkan diskusi yang lebih cermat.
Sejauh manakah hak orang tua untuk mendidik dapat diwujudkan?
Dalam kerangka tersebut, baik orang tua, perkumpulan masyarakat
maupun negara sungguh-sungguh perlu “BELAJAR MENDIDIK”.
Rangkaian pemikiran sekitar ‘belajar mendidik’ dihidangkan untuk
mengajak semua pihak secara jernih mendalami: makna terdalam
pendidikan, arti belajar dan mengajar, kaitan maupun perbedaan antara
pendidikan dan sekolah sampai dengan pengorganisasiannya.
3
Marilah kita memberikan “yang terbaik bagi generasi berikut
melalui pendidikan, pengajaran, dan membangun pembelajaran yang
setia pada kodrat dan panggilan kita masing-masing”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ
4
http://facebook.com/indonesiapustaka
Daftar Isi
Prakata ...............................................................................................................................................
3
Daftar Isi ...........................................................................................................................................
5
Belajar mendidik
......................................................................................................................
7
Prawacana ........................................................................................................................................
9
Releksi ......................................................................................................................................
19
Belajar .................................................................................................................................................
21
Releksi ......................................................................................................................................
41
mengajar: membantu Belajar .......................................................................................
43
Releksi ......................................................................................................................................
52
Orang Tua: Pendidik Utama ...........................................................................................
55
Releksi ......................................................................................................................................
70
Sikap Didik ......................................................................................................................................
71
Releksi ......................................................................................................................................
103
Arah Pendidikan ........................................................................................................................
105
Releksi ......................................................................................................................................
143
Sekolah sebagai Lembaga Didik ..................................................................................
145
Releksi ......................................................................................................................................
171
Belajar mendidik Berkesinambungan ..................................................................
172
Daftar Pustaka .............................................................................................................................
173
5
http://facebook.com/indonesiapustaka
6
http://facebook.com/indonesiapustaka
BELAJAR MENDIDIK
7
http://facebook.com/indonesiapustaka
8
Prawacana
1
“Ajarilah kami
bahasa cinta-Mu”
(PML Yogyakarta)
I
http://facebook.com/indonesiapustaka
bu dan Bapak Budi2 bergembira karena anaknya, yaitu si kembar, Dudi
dan Dini, akhirnya belajar akrab dengan gurunya di kelas I Sekolah
Dasar, Ibu Gita3. Adapun Ibu Budi, walau kerap hanya sebentar, biasa
mengambil waktu untuk berkontak dengan guru anak-anaknya.
Sebab perkawinan Budi dilakukan karena cinta mendalam. Mereka
mencintai anak-anaknya sejak ada dalam kandungan dan
meneruskan cinta itu sejak lahir untuk belajar mengenal
Belajar
dari
akar
Bapak, Ibu, dan saudara serta melanjutkan dengan
memercayakannya kepada guru-guru yang akan mendidik
di sekolah.4
Bapak dan Ibu Budi serta Gita kadang saling bercerita tentang
beberapa kebiasaan Dudi dan Dini. Mereka setiap hari berjalan
1
2
3
4
Dalam tulisan ini akan tercakup juga beberapa tulisan atau ceramah yang pernah diterbitkan
di Harian KOMPAS atau Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Media Indonesia, Majalah HIDUP
dan BASIS dengan beberapa besutan. Terima kasih untuk semua yang termaktub di dalamnya
dan para rekan diskusi.
Sebut begitu saja nama orang tua yang mendaftarkan anak pertamanya di sekolah dasar di
kampung tetangganya di daerah Bekasi, tempat mereka ‘menyekolahkan’ anaknya.
Begitulah bu guru muda itu disebut sepanjang di sekolahnya.
Waktu upacara perkawinan, mereka saling berjanji untuk mencintai dan mendidik anak-anak
yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka.
9
kaki dari rumah ke sekolah, setia menyambut kedatangan Gita dan
memperlihatkan bekalnya. Di rumah, mereka bercerita kalau di
sekolah telah berbagi makanan dengan teman-temannya, bersama
membersihkan kelas, dan sebagainya. Bu Budi menjelaskan bahwa
sedapat mungkin anak-anaknya memperhatikan teman yang tidak
membawa bekal ke sekolah dan mereka tidak beli makanan ‘di luar’.
Semula Dudi dan Dini waktu istirahat sering hanya berduaan saja,
seperti di rumah. Lama-kelamaan mereka belajar bergaul dengan temantemannya. Beberapa teman-temannya ternyata tinggal tidak jauh dari
rumah mereka sendiri.
Ibu Gita gembira, karena dengan percakapan antara orang tua dan
guru tersebut, ia menerima sebagian ‘estafet’ pendidikan dari orang
tua murid barunya.5 Bila tidak, ia akan memerlukan banyak waktu dan
pencermatan untuk mengamat-amati, memandang dan mendengarkan
Dudi maupun Dini, supaya dapat mulai ‘ikut mendidik’-nya. Gita6
memang bersyukur karena dari pendidikan guru, ia mengaku diwarisi
pendirian bahwa guru memperoleh murid yang sudah beberapa waktu
dididik oleh orang tuanya sendiri. Dengan cara pandang demikian,
Gita memang mengajar dengan penuh kesungguhan7 dan merasa
‘tidak sendirian’. Sebenarnya, ia tahu diri bahwa fungsinya8 adalah
5
http://facebook.com/indonesiapustaka
6
7
8
10
Dalam hal itu Gita sejalan dengan pemikiran Esquith, Rafe, here are no Shortcuts: Anchorbooks,
New York, 2003, yang dalam Bab 1 bukunya mendalami relasi guru dengan keluarga.
Bersama dia, juga semua dosen. Secara khusus, mereka memperhatikan ajaran Santa Angela
Merici, yang mewariskan banyak pedoman mendidik bagi para pengikutnya, para Suster
Ursulin, sehingga sekolah-sekolah mereka di masa silam sampai sekarang termasuk sekolah
dengan pendidikan yang sangat memperhatikan pendampingan pribadi yang tulus. Di tempat
lain sikap didik itu disebut personal care.
Lih. UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen, khususnya pasal 7.
Seiring dengan pengalaman Ibu Guru ini, ada Peraturan Menteri yang bertabrakan dengan
tugas guru, walau dalam lapisan lain. Kementerian lain menerbitkan Peraturan Menteri
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 20/2017. Surat itu menentukan penilaian
dosen terutama pada publikasi ilmiah, khususnya dalam majalah internasional. Peraturan
tersebut menyentuh segi ilmiah pribadi dosen: beberapa pihak menyebutnya bagus sebagai
dorongan untuk meningkatkan keilmuan mereka. Namun dari segi komunitas akademis,
dikritik oleh Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum karena
menimbulkan masalah mengenai Tiga Tugas Dosen/Guru, yang antara lain, menegaskan
subsidier, yakni memberi bantuan9 kepada Bapak dan Ibu Budi dalam
mendidik anak untuk pembentukan kepribadiannya.10 Jadi, ‘keberhasilanpendidikan’ dihayatinya jauh melampaui ijazah atau rapor atau
kepandaian merangkai bunga yang memang tidak gampang. Sedapat
mungkin dalam mendampingi murid merasuk ke jiwa sehingga tumbuh
dari anak sampai remaja dan dewasa.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Langkah demi langkah, ia ‘belajar mendidik’. Ia
Dengan
mulai kritis bila kerap mendengar apabila sekolah
mendidik, kita
sendiri belajar,
diukur dari tumpukan kertas yang harus dikirim
terus-menerus
ke Kementerian Pen didikan dan Kebudayaan
dari persentase kelulusan siswanya. Ia sendiri
bangga menjadi guru, namun tidak selalu merasa
nyaman bila dikatakan seakan-akan pendidik utama adalah guru.
Dalam pengertian itulah, ia risau kalau guru disebut sebagai paGU
dan paRU-paru bangsa, yakni orang yang menjadi patokan hidup
serta menyebabkan seluruh umat manusia dapat bernapas lega dalam
kepercayaan di tengah himpitan masalah hidup, membangun hidup
dalam cinta dan mencipta harapan untuk masa depan. Akhir-akhir ini
perlunya memberi bimbingan kepada murid atau mahasiswa untuk menguasai pengetahuan.
Untuk dapat melaksanakan tugas ini, sebenarnya diperlukan waktu dan hati untuk mengajar
maupun mendampingi manusia muda supaya mampu menyadari ilmu, mengetahui isi ilmu,
mengembangkan ilmu dan akhirnya melaksanakan. Upaya pendampingan ini memerlukan
hati yang luas dan sering imbalannya adalah lelah dan hati yang capai. Pendidikan itulah yang
berlangsung melampaui pengajaran. Bdk. Suara Pembaruan, 3 Maret 2017 halaman 16. Kadang
dilupakan bahwa Kementerian Perguruan Tinggi dan Riset ini juga memakai kata ‘pendidikan’
sehingga seharusnya tetap mementingkan tugas ‘mendidik’. Tidak seyogianyalah kalau kata
‘pendidikan’ diubah menjadi birokrasi atau pengurusan administrasi laporan kegiatan atau
disempitkan menjadi ‘kemajuan dosen-dosen’ atau pengajar-pengajar. Sebab, di tingkat atas
juga, pendidikan keilmuan tetaplah merupakan pendidikan, dan tidak dapat diandaikan
terjadi secara otomatis. Sukses seorang dosen menulis artikel atau buku ilmiah, tidaklah
sejajar dengan sumbangsihnya mendampingi mahasiswa menjadi berilmu dan beretika.
9 Kata ini berkaitan dengan kata bahasa Latin subsidium, yang memang berarti bantuan.
‘Bantuan keilmuan’ dapat dipandang berharga sekali: baik untuk seorang mahasiswa maupun
bagi negara yang harus menyiapkan ilmuwan.
10 Lih. Buetow, Harold A., he Catholic School (New York: Crossroad, 1988), hlm. 50-70.
11
guru-tokoh bangsa itu, kendati pujian dalam ‘lagu bagi guru’11 yang
indah, telah terperangkap dalam situasi ragu dalam aneka masalah
bangsa12, antara lain perbaikan birokrasinya. Masalah sekitar guru di
Indonesia amat rumit13, namun dalam rangka koreksi seluruh birokrasi,
sudah sejak beberapa waktu, guru dinilai dari sudut kerajinannya
mengisi formulir-formulir yang sering bermanfaat sekali saja. Namun,
sulit dibenarkan bila pengisian formulir dipandang sebagai fokus terbaik
bagi pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan kembali
pandangan mengenai ‘pendidik dan pendidikan’, baik pada tingkat
kementerian maupun kemasyarakatan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dibalik masalah ‘pentingnya guru’, tersembunyi arti pendidikan
yang terdalam dan peran guru atau dosen di dalamnya. Tidak jarang,
orang menyebutkan bahwa guru adalah tokoh pendidikan yang
terpenting. Ada orang yang mempertanyakan, apakah rakyat dan
negara sudah melakukan tugasnya untuk sungguh menghargai guru
secara psikologis, politis, dan ekonomis? Bagaimana harus mengartikan
ungkapan tersebut? Bagaimana dengan daerah-daerah terpencil karena
di sana tidak ada guru tetap yang bekerja penuh waktu? Dapatkah
dikatakan, seakan-akan di daerah terpojok itu tidak ada pendidikan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut lebih mendesak lagi karena orang
perlu juga ingat akan catatan John I. Goodlad14, bahwa
11 Naskah lagu yang diciptakan oleh Sartono, seorang guru di Jawa Timur itu berbunyi: “Terpujilah
wahai engkau, Ibu Bapak guru; namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu
akan kuukir di dalam hatiku, s’bagai prasasti t’rima kasihku ‘tuk pengabdianmu. Engkau
sebagai pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, engkau
patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa... Terpujilah ...” “Perubahan teks pada lagu ini,
sekarang malah merusak intensi maksud terdalam pengarang Sartono dan juga melanggar
hak milik penulis yi Sartono”.
12 Dalam Rembug Nasional tentang pendidikan, yang resmi ditutup 28-2-2012, guru dan
panggilan serta hakikat tugasnya tidaklah dibicarakan secara khusus, melainkan hanya
‘tersangkut’ dalam sekian banyak tema (PAUD dan PNF; Pendidikan Dasar; Wajar 12 h; PTK;
Integrasi Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi; RSBI; Bahasa; Integrasi Kebudayaan
dalam Pendidikan). Hal ini menunjukkan betapa guru tidak dihitung sebagai masalah penting,
bahkan dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan.
13 Lih. KOMPAS, 5 Maret 2012, halaman 1.
14 Goodlad, John I., Educating Teachers: Getting it Right the First Time, dalam Roth, Robert A.
(ed.), he Role of the University in the Preparation of Teachers (London: Falmer Press), pp. 1-2
12
“Sesungguhnya setiap bangsa, lepas dari ada-tidaknya guru yang
kompeten atau tidak15, sudah senantiasa melakukan kegiatan, yang disebut
‘mendidik’.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari sisi kita di Nusantara, sudah sejak awal
Mendidik:
membagikan
diproklamasikan 16, Republik Indonesia me lenilai-nilai dasar
tak kan proses mendidik sebagai ‘proyek-dasar’
kemanusiaan
ke merdekaannya 17. Sesungguhnya, pendidikan
dan pencerdasan diakui oleh banyak orang yang
terlibat di dalamnya, sebagai seluruh pewarisan
nilai-nilai kemanusiaan terpenting suatu bangsa, suatu keluarga dan
setiap orang yang mau mendampingi orang lain ke masa depan yang
lebih baik. Apakah nilai-nilai kemanusiaan hanya dapat dilakukan
dalam lembaga sekolah sebagaimana dilaksanakan di banyak tempat
di Indonesia? Kalau pendidikan dapat dilaksanakan di luar lembaga
formal persekolahan, adakah cara untuk mendalaminya supaya
ditemukan gambaran pendidikan yang benar-benar baik? Tampaknya
dalam melaksanakan langkah-langkah itu, diperlukan sikap batin
yang rendah hati, serta penuh tanggung jawab bersama agar tindakan
mendidik secara keseluruhan dipikirkan, disiapkan dengan baik dan
dilaksanakan secara tepat asas, tepat guna sehingga berhasil guna.18
Kalau orang melaksanakan pendidikan dengan terpikirkan baik-baik,
dengan sepenuh hati maupun dilengkapi komitmen seutuh diri dapatlah
kita mendapatkan pendidikan profesional dan secara moral dapat
dipertanggungjawabkan.
Dari sudut pertanggungjawaban ini dapat dikatakan bahwa perwujudannya membutuhkan etika yang profesional dalam ranah didik.
15 Lih. KOMPAS, 6 Maret 2012, halaman 1.
16 Bdk. , Tulisan saya Arah dan Ranah Pendidikan dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan
Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 31.
17 Pembukaan UUD 1945.
18 Bdk. UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi terutama pasal 1 ayat 1.
13
Kalau demikian, seyogianya dicari juga pemahaman dan pendalaman
yang sistematis dan metodis sekitar “Etika Profesi Pendidik”. Dalam
pencarian itu termaktub tiga hal penting, yaitu ‘etika’, ‘profesi’, dan
‘pendidik’.
Artinya, pada umumnya perlu dicermati bahwa
Pikir, lalu
mengajar
tindakan mendidik itu dilakukan oleh seseorang
dengan gembira
19
(misalnya orang tua atau guru) , baik sebagai kegiatan penuh sukacita maupun sebagai sarana untuk
menopang penghidupan dan sebagai profesi yang
menuntut keahlian serta ketekunan. Untuk melaksanakan profesi
tersebut, seorang pendidik bertindak tidak hanya sesuai dengan
keinginannya sendiri atau hanya mengikuti arus zaman, melainkan
selaras dengan pengetahuan dan kemauannya. Langkah-langkah itu
dilaksanakan dalam suatu konteks profesi tertentu sehingga semua
dapat dipertanggungjawabkan, juga kepada orang(-orang) dan instansi
lain. Dalam hal program studi dan jurusan tertentu, penentunya sering
sampai pada lembaga akademis, badan kenegaraan serta lembaga agama
yang bersangkutan20.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Perlunya pembicaraan tersebut masih disebabkan lagi karena
beberapa puluh tahun masyarakat Indonesia belajar menerima bahwa
anaknya harus masuk sekolah21 kalau mau disebut terdidik. Seakan19 Bdk. Deklarasi Konsili Vatikan II mengenai Pendidikan (Gravissimum Educationis), artikel 1.
20 Bdk. Adi, Dr. C. Kuntoro, SJ., Mewujudkan Identitas dan Karakteristik Pendidikan Katolik melalui
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan
Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017) Op.cit., hlm. 15-30.
21 Pemerintah Indonesia pernah membentuk ‘Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan’, yang menunjukkan kesadaran untuk membedakan antara ‘pendidikan’ dan
‘pengajaran’. Kemudian namanya diganti menjadi ‘Departemen Pendidikan dan Kebudayaan’.
Lalu lembaga itu disebut ‘Kementerian Pendidikan’ tetapi kemudian digeser lagi karena
diminta untuk tidak mengurusi ‘Penelitian dan Universitas’,- seakan-akan dalam usia sampai
dengan 19-an, murid-murid tidak diajari meneliti dan seakan-akan di universitas tidak ada
pendidikan (mungkinkah karena itu banyak perploncoan berbunga penyiksaan?) dan seakanakan dilupakanlah peribahasa ‘Pendidikan seumur hidup’ (‘on going formation’). Ataukah ya
karena itu penelitian PISA 2016 menghasilkan penemuan bahwa anak-anak sekolah Indonesia
amat lemah sekali dalam hal membaca, menulis, dan berhitung? Kebiasaan ‘bully’ dan
14
akan yang dilakukan bapak dan ibu sejak detik pertama seorang anak
lahir itu bukan tindakan mendidik.22 Orang dibujuk berpendapat bahwa
usaha si ibu dan bapak agar si orok dapat lambat laun menyebut ‘mama
atau ibu’ dan ‘papa atau bapak’, itu bukan pendidikan dasar, karena
UU Sistem Pendidikan Nasional 2003 mengatakan ‘sekolah dasar itu
sejak anak umur 6 sampai 12 tahun’. Rakyat dibelokkan pendiriannya,
seakan-akan mengajari anaknya bilang ‘terima kasih’ setiap diberi
‘makan’ atau ‘minum’ dan antre dalam mengambil makanan atau
minuman, itu bukan awal mendidik. Bangsa ini diselewengkan paham
dasarnya, seakan-akan ‘menjadi bapak dan ibu’ tidaklah merangkum
juga ‘panggilan untuk mendidik generasi baru pada langkah perdana’.
Orang mau diceraikan dari keyakinan dasar yang memadukan rangkaian
panggilan manusia untuk ‘membangun keluarga – mendidik generasi
baru – pewarisan budaya – dengan pembangunan kepribadian’ sejak
dalam keluarga. Generasi ini hampir dijerumuskan pada pengertian
‘pendidik’ atau ‘pendidikan’, yang menyeret perhatian orang memasuki
ranah yang terlampau teoretis atau birokratis-institusional kenegaraan.
Pendidikan disempitkan artinya sebagai pekerjaan sekelompok orang
dalam masyarakat persekolahan; bukannya tindakan dasar manusia
mengantar manusia muda menjadi dewasa, langkah demi langkah, lapis
demi lapis, napas demi napas.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sekarang ini, ‘pendidikan’ maupun ‘pendidik’ sebagai bentuk
kata (kata jadian) diberi warna teori dan administratif. Padahal ‘pendidikan’ terlaksana secara konkret, yakni interaksi antara murid
kejahatan susila banyak terjadi akhir-akhir ini di sekolah (bahkan juga di Perguruan Tinggi)
adalah a.l. karena kata ‘kebudayaan’ disingkirkan dari kementerian ini dan ditempelkan pada
Kementerian Pariwisata? Kata ‘sekolah’ memang diambil dari bahasa dan pola kerja Nederland
tetapi birokrat Kementerian persekolahan Indonesia enggan belajar dari Nederland: cara
mengorganisir disiplinnya, pemilihan bahan yang hemat tetapi mendasar, penyiapan gurunya
yang cermat serta pengorientasian manusiawinya.
22 Lukisan yang lebih lengkap mengenai hubungan antara sekolah dengan pendidikan dipaparkan
oleh Suiyanto, A. Mintara, SJ dan Yulia Sri Prihartini, S.Pd., M. Hum., dalam buku mereka
Sang Guru – Sang Peziarah (Jakarta: Obor, 2014 cetakan 4), hlm. xxii-248.
15
dengan orang tua dan/atau para guru atau dosen atau pendidik.23 Kita
tidak mau melupakan bahwa konteks dekat kalau orang berbicara
tentang ‘pendidikan’ pun kerap kali yang dimaksudkan terutama
‘dunia persekolahan’24, lalu prosesnya senantiasa dikaitkan dengan
‘kurikulum’25 dan organisasi persekolahan26.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Oleh sebab itu, sungguh perlu dicermati kembali permasalahan
sekitar pendidikan tanpa serta-merta merekatkan ‘lembaga sekolah’
dengan ‘pendidikan’ 27; sekolah bertugas khususnya membantu
orang tua mendidik anaknya. Semua usaha dan organisasi di sekolah
dan sekitar sekolah seyogianya men-‘support’ pendidik utama dan
berorientasi meningkatkan ‘daya didik’-nya. Berbagai aturan kenegaraan
berfungsi untuk melaksanakan tugas negara ‘mendidik warga negara’,
menembus kepentingan ekonomis, politis dan ketenagakerjaan. Bahkan
lembaga swasta, khususnya agama-agama, bertindak taat asas apabila
16
23 Bdk. Sastrapratedja, M., S.J., Pendidikan Sebagai Humanisasi (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat
dan Pancasila, 2013), khususnya Bagian I, Bab 2.
24 Salah satu akibatnya adalah seluruh peristiwa pendidikan diukur menurut apa yang terjadi
di sekolah. Pendidikan disamakan dengan institusi persekolahan dan itu pun disempitkan
pada sudut birokrasinya; bahkan kalau mau menilai proses didik dan perilaku pendidik, yang
ternyata diidentikkan dengan guru. Guru memang penting, tetapi bila pendidikan diidentikkan
dengan sekolah, maka beban guru dipojokkan pada sudut birokrasi dan administrasi; tanpa
memperhitungkan peran orang tua dan sekian banyak ‘pendidik lain’, seperti radio, televisi,
petugas pemerintah daerah maupun pusat, dan wartawan. Menariknya adalah sejak beberapa
tahun, evaluasi maju mundurnya pendidikan, dalam kompleksnya pendidikan itu, mau
dipaksakan untuk diukur melalui Ujian Nasional; tanpa memedulikan perbedaan kondisi
sosial dan kebudayaan Indonesia yang amat beraneka warna. Ketika Menteri Pendidikan mau
menghentikan Ujian Nasional atas dasar konsultasi yang dia lakukan, ada yang mencegahnya:
dan itu adalah orang-orang yang pengalamannya mendampingi pendidikan dasar dan
menengah amat tipis. Betapa pentingnya: usaha mendalami kembali makna pendidikan
dan kaitannya dengan persekolahan serta pendidikan etis maupun pertimbangan etis para
penanggungjawabnya.
25 Lih. Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati versus Kurikulum Nasional (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
hlm. 51-73. Bdk. Mbula, Dr. V. Darmin, OFM, Mendesain Kurikulum Integral Sekolah Katolik
dalam Dinamika Perkembangan Kurikulum Nasional dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga
Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 91114.
26 Bdk. Sarkim, T., M.Ed., Ph.D., Sekolah Katolik: Penegasan Misi, Penguatan Tata Kelola dan
Peningkatan Kualitas Sumber Daya dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik
dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 61-90.
27 Bdk. Suparno, Prof. Dr. Paul, SJ., Idealisme Sekolah Katolik dalam Tantangan Zaman dalam
Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,
2017), Op.cit., hlm. 47-60.
memperdalam dan memperluas cakrawala manusia muda. Bukannya
menyempitkannya pada kebiasaan-kebiasaan lama, ritual atau ajaran
keagamaan, tanpa membantu murid memikirkan, merasakan, dan
mewujudkan bakti Ilahi yang sejati. Dalam segi inilah, upaya mendidik
bersentuhan dengan panggilan lembaga-lembaga keagamaan untuk
mendampingi pendidikan iman yang utuh, sesuatu yang erat berkaitan
juga dengan upaya-upaya manusiawi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Oleh sebab itu, pelbagai tinjauan atas sekolah
Mendidik
perlu dilakukan dalam kerangka utuh tersebut dan sebagai Bakti
sekaligus berorientasi pada pendidikan yang terdalam.28 Tugas kita semualah untuk sungguh memikirkan dan mengolah semua cita-cita itu bersama para murid
(‘educêre’=menuntun ke luar, Latin) dan menggali potensi murid
(‘educare’=mengeluarkan, Latin) atau ‘Erziehung’=menarik ke luar, Jerman);
dengan cara ‘memberi santapan lahir dan batin dan keilmuan’ kepada
murid (‘opvoeden’=memberi makan, Belanda) dalam rangka ‘membimbing’
(‘opleiden’=menuntun, Belanda) para ‘murid’ (=’berusaha berkembang’,
Sanskerta atau ‘Ausbildung’=membangun lebih lanjut, Jerman) menuju
masa depan, melampaui sekolah29.
Sekolah, yang biasa disebut sebagai ‘tempat
pendidikan
utama’30 dan ‘alamat perdana yang dituju
Mendidik >
Menyekolahkan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan’ perlu
didorong untuk terus-menerus membangun kontak
yang mendalam dengan orang tua murid. Tepatlah
bahwa ratusan guru Perkumpulan Strada di Jakarta
mempunyai kewajiban untuk membangun kontak secara tetap dengan
orang tua dari murid-murid di sekolah mereka, dari PAUD, Taman
28 Morin, Edgar, Seven Complex Lessons in Education for the Future: UNESCO, Paris, 1999,
khususnya Bab 1.
29 Lih.a.l. NN., hink Beyond the School: Sampoerna School System, Jakarta, tak jelas tahunnya
tetapi kutipan terakhir 2012.
30 Bdk. UU No. 20/1923, terutama Pasal 1.
17
Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Komunikasi didik
yang sehat dan akrab itulah yang menyebabkan para murid memperoleh
pendampingan didik yang memadai, di tengah masyarakat, yang kerap
diburu-buru oleh kehausan akan kebutuhan ekonomis dan diharubiru oleh kepentingan-kepentingan politik dan sektarian; melampaui
kesejahteraan rakyat terdalam. Anggaran Dasar Perkumpulan Strada
sangat memperhatikan hal itu. Sementara itu, disadari sekali, bahwa
dibalik tekad tersebut, tersimpan keyakinan dasar berlandaskan iman:
pendidikan adalah panggilan setiap orang tua, yang mengambil bagian
dalam karya Tuhan untuk mendidik manusia tanpa batas waktu, usia
dan keterampilan atau kepandaian; sekolah mendukungnya31.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Di dalam upaya tersebut dapat dilaksanakan Pancasila, tanpa
kehilangan jiwa keimanan masing-masing dan tanpa penghancuran
budaya setiap bagian rakyat Indonesia32; namun juga tanpa menonjolkan
sesuatu agama di atas agama dan keyakinan lain. Pendidikan yang
bertanggung jawab perlu menolong, agar hidup bersama antara warga
bangsa kita memang terungkap dengan upacara bendera, tetapi lebih
dalam lagi: saling memahami keyakinan terdalam setiap golongan
agama sedemikian sehingga keyakinan itu dapat dikomunikasikan
dengan luwes, dengan kata dan sikap yang komunikatif, sejak dini dalam pendidikan. Ilmu Pedagogi33 menegaskan bahwa setiap pendidikan
mengandung segi transenden.
31 Lih. Visi, Misi, Tujuan Perkumpulan Strada: Perkumpulan Strada, Jakarta, Buku 2, 2012, hlm.
24-25.
32 Bdk. Sastrapratedja Op.cit., hlm. 16-20.
33 Sebagai awal, baiklah kita memahami ‘Pendidikan’ sebagai kata Indonesia untuk ilmu, yang
secara internasional disebut pedagogi atau pedagogy. Kata pedagogi sendiri berasal dari
kata Yunani paideutike, yang mau mengatakan ‘seni mengajar orang muda’. Akarnya dapat
ditemukan pada kata Yunani paido, yang artinya anak-anak. Sudah agak lama di Indonesia,
pendidikan dipandang mencakup segala praktik dan proses, yang dipakai oleh orang tua-gurudosen-sesepuh untuk mendampingi murid atau anak muda mengetahui sesuatu dan yang
lebih banyak lagi serta lebih dalam lagi, supaya menjadi manusia yang lebih baik di tengah
keluarga, jemaat dan masyarakat. Lihat, misalnya buku Sejarah Peziarahan Perkumpulan Strada
1924-1994 (Penyunting V. A. Adiwahyanto, dkk.) (Jakarta: Grasindo, 1995), khususnya ‘Masa
Awal’ hal. 1 dst.
18
Rangkaian Tulisan
Meneruskan pelbagai pemikiran awal tersebut, rangkaian tulisan ini ingin memperdalam penyusuran pengalaman pendidikan,
dan memaknainya. Cara pandangnya tidak mulai dengan definisi,
melainkan dengan perjalanan hidup manusia dalam ‘belajar’ dan
‘mengajar’. Sesudahnya akan ada pembicaraan mengenai ‘pendidikan’
dan ‘persekolahan’34 dari sudut ‘tahap-tahap pendidikan, sebagaimana
masyarakat dan negara membahas’. Beberapa hal akan ditelaah lebih
dari sekali. Cara tersebut dilakukan atas dasar alasan ingin ditekankan
bahwa aneka segi didik sungguh penting; kecuali itu, sejumlah hal
kadang perlu ditelaah dari segi berbeda-beda. Selain itu, diharapkan
pendidikan terus-menerus disadari sebagai suatu sumbangsih yang
komprehensif terhadap kemanusiaan. Sering kali tidak mudah
menentukan, hal manakah yang perlu dibahas lebih dahulu. Kepekatan
masalah dan keluasannya menciptakan peluang membicarakannya
dalam aneka konteks.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Releksi
1.
Adakah pengalaman yang manis atau pahit dalam mendidik
seseorang?
2.
Pernahkah ada konlik antara pendidikan orang tua dan guru
Anda?
3.
Adakah pengalaman tentang pengaruh (baik atau buruk) dari
pemerintah terhadap pendidikan pada orang tua Anda atau guru
sekolah Anda?
34 Sudah di sini pantaslah dicatat bahwa ‘pendidikan’ ingin dipahami tidak serta merta sama
dengan ‘sekolah’.
19
http://facebook.com/indonesiapustaka
20
4.
Adakah pengalaman (manis dan pahit) karena pengaruh lembaga
agama Anda pada sekolah Anda?
5.
Apakah Anda mengalami singgungan antara pendidikan menurut
pemerintah dan lembaga keimanan Anda?
Belajar
Selamat pagi Bunda,
Selamat pagi Bapa.
(Madah Bakti)
W
http://facebook.com/indonesiapustaka
ayan sudah lama menjadi guru berenang. Beberapa murid yang
belajar padanya sudah menjadi juara renang di sekolahnya.
Tetapi, beberapa kali ia gagal mengajari berenang, khususnya bila si
murid segan masuk ke air dan malas menggerak-gerakkan kaki serta
tangannya. Banyak dari mereka itu hanya mengikuti perintah orang
tua atau jadwal sekolah untuk pergi belajar berenang. Mereka sendiri
tidak mau belajar bersungguh-sungguh. Padahal guru berenang atau
guru apa pun mengandaikan bahwa muridnya sendiri belajar.
Memang, pada intinya langkah ‘belajar’ adalah langkah dasar yang
diandaikan dalam segala pengajaran dan pendidikan.35 Pada gilirannya,
sesungguhnya semua guru dan pendidik mengayunkan langkah
pertamanya juga dengan belajar, termasuk belajar mengajar dan belajar
mendidik.
Sesungguhnya mengajar adalah tindakan sekunder. Yang primer
adalah tindakan belajar (‘actus36 belajar’)37. Sebab ‘actus mengajar’ adalah
35 Bdk. Sastrapratedja, Op.cit., khususnya Bagian I, Bab 3.
36 Actus dalam hal ini dijajarkan dengan potentia, sebagaimana biasa dalam ilsafat. Lihat catatan
berikut.
37 Beberapa orang dengan cerdas telah mendalami kesatuan erat antara pendidikan dan tindakbelajar: Senge, Peter, and Nelda Cambron, McCabe, Timothy Lucas, Bryan Smith, Janis Dutton,
21
tindakan untuk mendukung ‘actus belajar’ seorang manusia.38 Tindakan
mengajar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada tindakan belajar
(sebagai ‘actus primer’). Pandangan mengenai adanya kait mengait
antara ‘belajar’ dan ‘mengajar’, sesungguhnya menghargai langkah
mendasar seorang manusia yang mau ‘belajar’ dan ingin memberi
tempat selayaknya untuk ‘mengajar’. Dengan demikian, sepasang
kata tersebut merupakan rangkaian tindakan-tindakan yang sangat
mendasar dalam dunia pendidikan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sejak dini sekali, seorang manusia sudah belajar.39
Belajar sejak
Ada penelitian yang menunjukkan, beberapa ibu sejak
akar
mengandung anaknya, biasa memutar lagu-lagu klasik
(gamelan maupun J.A. Mozart, J. Haydn lajar, dan
sebagainya). Kemudian anak-anak yang dilahirkannya
menjadi pencinta musik klasik dan beberapa bahkan menjadi pemain
musik sendiri. Mereka belajar sedikit demi sedikit melalui indra
pendengaran (indra yang terakhir berfungsi ketika manusia berangkat
pulang kepada Allah). Pernah di Innsbruck, Austria, ada sepasang suamiistri, yang satu berasal dari Perancis dan satunya dari Rusia. Sejak awal
perkawinan, mereka secara sadar tetap menggunakan kedua bahasa ibu,
plus bahasa Jerman, tempat mereka tinggal. Anak mereka, sejak bayi
terbiasa mendengarkan dan mempelajari ketiga bahasa yang dipakai
orang tuanya. Sebagai siswa dan kemudian mahasiswa, orang muda ini
belajar tiga bahasa. Selain itu, dia juga menguasai logat harian, yang
membedakan ketiga tradisi, yang dipelihara oleh kedua orang tuanya.
Art Kleiner, Schools that learn: I-II-III, Nicholas Brealey, London-Boston, 2012. Titik pangkal
segala kegiatan pendidikan persekolahan adalah kehausan anak untuk mempelajari hal-hal
baru.
38 Bdk. Van Til, Cornelius, he Dilemma of Education: he National Union of Christian Schools, USA,
1956, terutama Chapter II.
39 Derek Cabrera melukiskan ‘meja makan keluarganya adalah almamaternya’. Di sanalah dia
untuk pertama kalinya diajari untuk belajar. Lih. Cabrera, Derek dan Laura Colosi, hinking
at every Desk (New York-London: W.W. Norton & Company, 2012), hlm. xi.
22
Kemudian, dalam perguruan tinggi, orang ini mempelajari antropologi
bangsa-bangsa dan menjadi ahli yang berpengaruh di zamannya.
Belajar adalah sesuatu yang dilakukan manusia tanpa henti, sejak
kecil menyusuri seluruh perjalanan hidupnya.40 Belajar adalah mengenali
sesuatu dalam diri maupun di luar diri serta hubungan antara semua itu
sehingga memperkaya diri sendiri.41 Melalui ‘belajar’, seseorang diperkaya
dalam beberapa segi hidup dan hidupnya berkembang karenanya:
pada lapisan biologis, teknis, perasaan, pikiran dan penghayatan
kejiwaannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pembelajaran biologis terjadi ketika bayi lahir dan sesekali merasakan
kebutuhan untuk tidur atau menarik napas.42 Proses belajar dalam
tahap ini berlangsung tanpa senantiasa disadari (sekali) dan baru kelak
lebih tersadari. Makan dan minum dengan segala sarana dan dinamika
lainnya dipelajari seseorang dari tahap tanpa sadar, kurang sadar sampai
dengan disadari. Kelak, bila orang berlatih yoga, belajarlah ia menyadari
pernafasan dan meningkatkannya. Pembelajaran biologis tersebut
berjalan bersama dengan langkah-langkahnya belajar tindakan-tindakan
teknis. Segi teknis juga mulai dengan sangat tidak disadari sampai
menjadi lebih disadari. Anak kecil menggaruk ketika tangannya gatal
karena digigit nyamuk. Kemudian, ia belajar merangkak dan berdiri
untuk kemudian berjalan. Selangkah demi selangkah, orang belajar
keseimbangan diri, berlari dan mengatur larinya ketika mau mengikuti
lomba maraton. Sebagai penari, seseorang secara sadar menata gerak
40 Johnson, Brad dan Julie Sessions, What Schools Don’t Teach (New York-London: Routledge,
2015), hlm. 1-3.
41 Bdk. Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi Kekuasaan dalam
Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007). Penulis menyebut ‘belajar’ sebagai ‘kesadaran’
(hlm. 68). Namun, kita semua tahu dan mengalami sendiri, betapa banyak ‘momentum belajar’
yang kita temukan, baik waktu kecil maupun sesudah dewasa, yang tidak kita sadari. Baru
kemudian, ketika kita releksikan, kita temukan ‘momentum belajar’ itu. Dari situlah saya
memilih deinisi yang saya tuliskan di atas.
42 “he drive to learn is as strong as the sexual drive” kata antropolog Edward T. Hall, dalam “he Drive
to learn: An Interview with Edward T.Hall.” Santa Fe Lifestyle, Spring, 1988, 12-14 sebagaimana
dimuat dalam Senge, Peter, etc., Schools that Learn, I-II-III (London-Boston: Nicholas Brealey
Publishing, 2012), hlm. 4-5.
23
tangan, kaki dan seluruh badannya. Kedewasaan orang tampak ketika
pelbagai pembelajaran-pembelajaran itu lebih disistematisasikan. Ia
bahkan masih belajar ketika berumur 85 tahun dan harus menggunakan
tongkat untuk mengayunkan langkah secara berat: belajar untuk
melangkah tertatih-tatih. ‘Actus’ belajar tersebut dilanjutkan sampai
ketika mengenakan sarana untuk menghirup zat asam sebagai bantuan
bernafas karena lemahnya daya releks menjelang akhir hayat.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Proses pembelajaran isik-teknis seorang anak kecil hampir selalu
beriringan dengan perkembangan kultural.43 Dalam perkembangannya,
seseorang dapat belajar melakukan sesuatu, tetapi sesekali juga
mematangkan tindakan tertentu, atau bahkan melakukannya dengan
‘hati-hati’. Anak kecil belajar makan dengan tidak mengeluarkan suara
dari mulutnya demi sopan santun. Dalam pergaulan, seseorang belajar
mengambil makanan secara bergiliran. Anak sekolah, belajar untuk
berbagi bekal makanan dan tidak menghabiskan segalanya sendirian.
Lalu, anak belajar memakan miliknya sendiri dan tidak merebut
makanan teman. Peningkatan atau pengurangan intensitas bertindak
tersebut dipelajari seseorang tahap demi tahap, selaras dengan
pendampingan orang-orang di sekitarnya dan sering kali erat berkaitan
dengan kultur setempat, seperti menutup mulut apabila batuk.44
Dari pembelajaran bertahap itulah, seseorang
dalam kultur tertentu diajari untuk berbicara dan Kultur Belajar
bertindak secara berhati-hati, sedangkan dalam kultur
lain terdorong untuk lebih bebas melangkah. Begitulah
kadang orang belajar makan dengan sendok, umumnya
di tangan kanan dan menyuapkan makan baru sesudah makanan di
mulut habis. Tindakan-tindakan tersebut sungguh sering bersifat
fisik belaka, tetapi dengan perkembangan waktu menggunakan
43 Bdk. Sastrapratedja, Op.cit., khususnya Bagian I, Bab 4 dan Bagian V.
44 Dalam hal ini pendidikan bergesekan dengan pengetahuan maupun perilaku dan penafsirannya.
Bdk. Juga dengan Sastrapratedja, Op.cit., hlm. 46, dst.
24
kepekaan kultural yang lebih menyentuh perasaan, seperti tertawa
waktu makan atau bersendawa secara sopan. Dalam perjalanan waktu
terbentuklah yang disebut ‘tata krama di meja makan’. Lalu segala
bangsa mengembangkan aneka ragam sopan santun dan olah gerak
hidup bersama.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Di antara sekian banyak bentuk pembelajaran isik itu termasuk
‘belajar berbahasa’, yang terutama kena pada artikulasi (dan sesekali
juga isyarat serta pemakaian indra yang lebih luas) serta tata bahasa.
Pembelajaran kultural semakin tampak ketika orang muda harus belajar
membedakan ‘I’ dan ‘You’ serta ‘hou’ (Inggris), ‘jij’ dan ‘U’ (Belanda),
‘Du’ dan Sie’ (Jerman) atau ‘Saya’ dan ‘Anda’ sampai kepada ‘aku-kowé’
(Jawa Ngoko) dengan ‘kula-panjenengan’ (Jawa Krama). Selaras dengan
kepekaan kultural, pembelajaran dilakukan oleh setiap orang di tengah
lingkungan hidupnya serta diperkaya dalam pergaulan lintas suku dan
lintas bangsa. Sebab ‘bahasa sungguh menunjukkan bangsa’.
Pembelajaran diawali dengan bimbingan ayah dan ibu. Orang tua
merupakan tokoh perdana dalam proses pembelajaran manusia yang
dilanjutkan oleh para guru dan dosen, dalam pembelajaran formal pada
tahap-tahap berikutnya45. Dengan cara pandang ini, maka pendidikan
sungguh mulai dari pangkuan orang tua, bukan dari para guru walaupun
di sekolah mereka mengambil peran penting itu. Secara sistematis,
guru meneruskan proses didik dengan kurikulum tertentu. Namun,
kurikulum apa pun yang disediakan bagi suatu generasi, semua hanya
dilaksanakan oleh tindak belajar yang dilakukan oleh si individu. Segala
lapisan dan jenis pendidikan mengandung unsur pembelajaran, yang
tokoh utamanya adalah si individu sendiri; orang tua dan guru adalah
‘fasilitator’, atau ‘yang mempermudah proses belajar’.
Pembelajaran aksi-teknis pada masa kecil sudah cukup dini disertai
dengan pembelajaran perasaan dan pemikiran atau nalar. Pembelajaran
45 Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan, Gravissimum Educationis, art. 2.
25
teknis sering dilakukan bersamaan dengan pembimbingan seorang
‘pekerja rumah tangga’ (yang sekaligus sering juga memberi pendidikan
afektif dan rasional). Saudara sekandung, sebaya atau yang lebih tua
membimbing pembelajaran lebih lanjut. Pembelajaran perdana ini
erat berkaitan dengan mulainya proses seorang pribadi berkembang
secara sadar, walau dengan sederhana, berbeda dengan naluri belajar
anak-anak ‘animalia’. Sebab segi afeksi mengambil tempat yang jelas.
Kemudian pengambilan sikap atas dasar nalar, secara berangsur-angsur
mengembang juga. Di sanalah segi kehendak perlahan-lahan mengambil
bagian.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pembelajaran segi teknis dan budaya sudah mengandung unsur-unsur
yang menyangkut kepribadian manusia selanjutnya, dengan kepekaan
manusia, yang melampaui aspek teknis. Sudah pada usia muda sekali,
seseorang belajar pada segi afektif atau perasaan. Setiap anak kecil
mempelajari perasaan yang berlain-lainan, ketika tersenyum dan
melambaikan tangan (dengan atau tanpa ‘cium-jauh’). Dibandingkan
dengan pembelajaran teknis dan biologis, pembelajaran perasaan lebih
memerlukan kepekaan dan menyangkut lebih banyak daripada sekadar
langkah isik belaka. Namun pada tahap awal, pembelajaran pada segi
afektif dialami menyatu dengan segi teknis dan biologis. Oleh sebab
itu, pembelajaran afektif lebih terjadi antara orang-orang sekeluarga.
Pribadi anak-anak juga belajar mengambil keputusan guna membentuk
dan membulatkan kehendak, ‘selaras dengan penciptaan kehendak’.
Dalam proses inilah kepribadian manusia menjadi realita.
Pembelajaran afektif berkembang lebih lanjut pada masa remaja,
ketika seseorang membuka budi dan hatinya secara lebih luas dan
mendalam. Pelbagai segi hidup berkembang melalui belajar: melalui
pengetahuan ilmu alam (Biologi), seseorang belajar perihal dunia
materiel seperti arti air bagi hidupnya, melalui pengetahuan ilmu
bumi (Geograi), seseorang belajar mengenal bangsa-bangsa lain agar
memahami pulau-pulau lain.
26
http://facebook.com/indonesiapustaka
Bersamaan dengan pengenalan itu, mulailah hatinya belajar
memasuki makna benda alam bagi hidupnya, sesama untuk pergaulan
dan waktu untuk pertumbuhannya. Dalam perjalanan belajar, orang
menemukan arti-arti baru benda dan manusia di sekitarnya: dari
sekadar benda sampai menjadi sesuatu atau seseorang yang bernilai
bagi keamanan dan kenyamanan hidupnya. Perasaannya mekar dalam
pelbagai relasi, dari yang paling umum sampai yang intim, seperti
sekadar berpegangan tangan sampai dengan memeluk dan mencium.
Proses belajar dalam perasaan ini merangsang pembelajaran komitmen
hidup, yang sebelumnya tidak begitu disadari, sehingga mengerti
bahwa orang yang kerap dijumpainya waktu bangun, itu adalah ibu
atau ayahnya, yang mencintainya lebih dari tetangga. Demikianlah
seseorang juga mengembangkan komitmen pada sesama dan hidup
bersama sehingga lebih taat kepada ayah daripada kepada kawan
bermainnya.46
Selanjutnya, biasanya orang tua suka kalau nalar
Nalar untuk
anaknya berkembang. Anak kecil didorong untuk
Belajar
belajar mencium tangan orang tua, dengan dijelaskan
artinya ’hormat dan cinta’. Berangsur-angsur, anak
belajar menyatukan cinta dan sikap badan, demi
mengungkapkan perasaan: mencium dengan dingin ataukah dengan
tersenyum, menyalami dengan cemberut ataukah berterima kasih
dengan menundukkan kepala sedikit. Apa yang secara teknis dilakukan,
harus dirasakan, secara sosial dibiasakan, semua mempunyai alasan
yang masuk akal. Akal budi itu memberi nilai kepada tindakan yang
amat memperkaya sebagai nilai manusiawi. Orang harus belajar sedikit
demi sedikit untuk mengenali akal budi, kekuatannya, cara kerjanya,
yang berbeda dari hal-hal teknis atau psikis atau perasaan dan budaya.
Dengan berkembangnya orang, bertumbuh pula pengertiannya
mengenai alasan bahwa sebelum makan perlu mencuci tangan lebih
46 Bdk. Sastrapratedja, Op.cit., Bagian V, Bab 22.
27
dahulu dan sesudah bermain di halaman perlu mencuci kaki. Begitulah
perkembangan pembelajaran orang dengan pendalaman akal budi yang
baik.
Kita berharap bahwa seorang remaja sudah belajar untuk semakin bijaksana memakai nalarnya dalam berbincang dan bergaul.
Kalau begitu, sering dibilang bahwa ia sudah bukan anak kecil lagi.
Berkembangnya nalar diakui sebagai salah satu tujuan penting dalam pembelajaran. Sebab dengannya hidup seorang manusia dapat
diper-tanggungjawab-kan secara lebih jernih. Namun tetaplah perlu
diingat bahwa nalar bukanlah satu-satunya kemampuan manusia yang
menandai nilai seorang manusia. Para cerdik pandai dari abad ke abad
bahkan menemukan bahwa manusia akan terus-menerus mempelajari
hidupnya, sampai ke inti diri yang terdalam.47 Transenden menjadi ranah
belajar yang terluas juga. Sedikit demi sedikit, akal budi seseorang
mengerti bahwa ‘di atas langit masih ada langit’.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dengan demikian, kita sudah melihat bahwa pendidikan mempunyai beberapa sasaran, agar seseorang bersemi secara isik-biologis,
tumbuh secara afektif, terintegrasi secara sosial, mekar secara nalar,
beraneka warna dari sudut aktivitasnya yang bertanggung jawab dan
mendalam secara spiritual.
Perkembangan nalar sering dikupas panjang lebar. Dengan
demikian, tidaklah perlu dipikirkan, seakan-akan nalar mempunyai
tempat yang secara mutlak di atas segala potensi lain. Sebab segala
potensi manusia memiliki posisi relasional dalam proses didik.
47 Dalam hal ini pantaslah dikagumi K.G.P.A.A. Mangkunagara IV, dari abad 19 yang mendorong
murid-muridnya untuk meneruskan belajarnya sampai masuk ke inti diri yang terdalam:
lihatlah ajarannya dalam Wedhatama, Bagian Sinom.
28
Peran Akal Budi
Teilhard de Chardin, peneliti Homo Pekinensis, seperti semua ahli,
menggunakan akal budi untuk mengamati sesuatu, menganalisis yang
ditemukannya, mensintesiskan pelbagai temuan serta menyimpulkan
aneka penemuan itu. Hasilnya, ia mampu memperhitungkan umur
suatu fosil dengan menentukan jejak-jejak berbagai unsur serta
besarnya otak. Dengan asumsi bahwa manusia membedakan dirinya
dari binatang karena mempunyai pikiran.
Susunan bangunan laba-laba tidak kalah dengan arsitektur manusia
terhebat. Namun, manusia memang memiliki kelebihan karena dapat
mengubah rencana dan memikirkan pelaksanaannya dengan terpilahpilah.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kalau binatang melakukan tindakannya kerap kali karena dorongan
naluri, rasa sakit, atau rasa tertarik karena indranya, maka manusia
dapat memakai nalarnya untuk memutuskan, apakah akan mengikuti
desakan naluri atau tidak. Penggunaan nalar untuk memilah dan memilih
sesuatu merupakan kekayaan manusiawi di tengah alam semesta.48
Semakin seseorang dewasa, maka si nalar semakin memampukannya mengatasi segala rangsangan jiwa dan raga untuk mengambil keputusan sendiri. Kelak kemampuan untuk mengambil keputusan dan
berkehendak bahkan menjadi tolok ukur dalam menilai kedewasaan
moral seseorang. Dalam kerangka ini, nalar juga yang dapat memberi
mutu kepada hidup bersama dalam suatu bangsa dan negara. Oleh
sebab itu, kebebasan warga negara untuk mengambil pelbagai macam keputusan dalam hidup bernegara (memilih, wakil, menentukan
agama yang dianut dan seterusnya) merupakan salah satu tolok ukur
dewasanya demokrasi suatu negara.
48 Dalam Latihan Rohani, Iñigo dari Loyola dari abad 16 menyebut langkah memilah dan memilih
itu sebagai discretio spirituum (membeda-bedakan roh yang bergerak-gerak mendorong langkah
kita).
29
Konrad Lorenz menemukan bahwa binatang dapat dilatih melakukan tindakan tertentu49, yang sering membayangkan kemiripan
dengan ‘kehendak’. Sirkus-sirkus besar dan penampilan-penampilan
dalam Brittain’s Got Talent sering menampilkan anjing, burung, kucing
yang terlatih secara mengesankan. Biasanya binatang bertaraf tinggi
membutuhkan waktu relatif lebih pendek dibandingkan dengan anak
manusia untuk mandiri dalam mencari makan. Dalam waktu singkat,
anak kambing, sapi dan simpanse dapat mencari makan sendiri. Untuk
itu, hanya diperlukan makan dan kemampuan meniru perbuatan induk
dan teman-teman sebayanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sementara itu, anak manusia memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk belajar berjalan tegak dan memakai anggota badannya secara
penuh. Waktu lebih lama lagi diperlukan manusia untuk menjadi dewasa
secara penuh sehingga dapat memakai nalarnya dalam menentukan
langkah memilih jalan tertentu, mencari nafkah (sebagai penjahat,
penguasa, pengusaha, atau guru). Pengembangan nalar memerlukan
waktu dan latihan tidak sedikit. Orang harus banyak mengasah otaknya,
mengadu argumentasi, memperhitungkan pelbagai akibat, dan mencoba
suatu pendirian untuk mempertajam nalarnya. Dalam belajar melatih
nalar, manusia memerlukan sesama supaya dalam diskusi dan debat,
akal budinya berkembang lebih luas dan lebih mendalam. Langkah demi
langkah terjadi proses hominisasi: proses bertindak sebagai manusia.
Hominisasi dan Humanisasi
Dalam proses ‘hominisasi’, yaitu proses seorang
manusia untuk mampu melakukan perilaku khas yang
membedakannya dari tingkah laku binatang, banyak
latihan (dril) dibutuhkan. Bayi dilatih ibu untuk mampu
Belajar jadi
orang
49 Bdk. Die Rückseite des Spiegels. Versuch einer Naturgeschichte menschlichen Erkennens dri
Konrad Lorenz (1903-1989, seorang ahli perilaku dari Austria).
30
mengucapkan pelbagai bunyi (yang kemudian berkembang menjadi
bahasa), memakai tangan kanan atau kiri dalam bersalaman (yang kelak
tumbuh menjadi etiket) atau membersihkan diri.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kemudian beberapa lingkungan budaya melatih anak-anak untuk
membungkuk atau tegak dalam menghormati sesama, membalas salam
atau memakai cara berjalan tertentu guna menunjukkan sikap tertentu.
Orang belajar dari lingkungannya untuk menjadi bagian terhormat dari
lingkungan budayanya, selaras dengan tugas dan perannya. Demikian
terjadilah proses humanisasi.50 Khususnya dalam olahraga dan militer
dilatih beberapa dril yang mengondisikan orang untuk secara releks,
tanpa banyak pikir, mengambil sikap tertentu, mengucapkan kata-kata
tertentu, atau melakukan tindakan tertentu. Hal ini amat diperlukan
agar orang tidak menghabiskan terlalu banyak waktu atau energi guna
mengambil keputusan sehingga segera dapat melakukan hal-hal yang
dianggap lebih penting seperti menembak atau menarik picu senjata.
Sebab keselamatan dalam perang atau terbang sering tergantung
pada kecepatan bertindak dalam beberapa detik atau sepersepuluhan
detik. Sementara dalam menari, orang mempelajari gaya seni yang
memperindah gerakannya. Seorang seniman ilm akan diajak untuk
mengembangkan kemampuannya berakting sebagaimana orang yang
diperankannya.
Memang beberapa profesi membutuhkan kecepatan reaksi isik
yang harus dilatih ketat melalui banyak dril. Dalam profesi semacam
itu nalar dipergunakan tidak dalam aksi spontan, melainkan dalam
lapisan pengambilan keputusan tertinggi. Itulah sebabnya mengapa
dalam banyak negara, orang berusaha menempatkan militer tidak
dalam bidang-bidang yang membutuhkan perundingan, agar mereka
tidak kehilangan refleks militernya. Hanya sedikit sekali militer
tingkat tinggi yang sehari-harinya memang berkecimpung di bidang
50 Bdk. Sudiarja, A., Pendidikan dalam Tantangan Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm.
29-33.
31
pengambilan keputusan dengan banyak negosiasi dan permenungan,
yang kemudian mampu bergerak di bidang politik, seperti Eisenhower
dan sebagainya.
Sebaliknya politikus atau ahli psikologi sulit menjadi militer di
lapangan karena terbiasa untuk banyak memakai perhitungan dan
perundingan sehingga tidak releks untuk cepat bertindak. Para ulama
cenderung untuk melihat masalah dari sudut prinsip yang terdalam
dan terluas karena memang profesinya di bidang pelayanan yang
menyangkut hidup keseluruhan sehingga tidak selalu mudah mereka
terjun dalam konsultasi organisatoris yang lebih rinci. Masyarakat yang
semakin maju mengembangkan spesialisasi yang semakin tinggi bagi
profesi-profesi tertentu. Eisiensi dunia modern tidak memungkinkan
lagi orang mencampuradukkan pelbagai profesi yang mempunyai
tuntutan kejiwaan dan fisik yang berlainan. Hal itu tidak untuk
meremehkan profesi mana pun, melainkan untuk justru memungkinkan
setiap profesi mengembangkan kekhasannya sendiri-sendiri. Justru
bila masing-masing profesi diberi kesempatan mengembangkan
pembelajarannya sendiri-sendiri sambil berkomunikasi satu sama
lain51, maka masyarakat dapat berjalan baik. Dalam beberapa tahap itu
terjadilah proses humanisasi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Belajar Bernalar
Setiap orang dianugerahi nalar. Maka setiap orang akan menggunakan penalaran dalam hidupnya: belajar untuk dapat menggunakannya semakin lama semakin baik. Pendidikan membantu
orang untuk mengembangkan dan memperdalam serta menggunakan
penalaran secara metodis dan sistematis.
51 Bdk. Ribes, Peter, SJ., Self Discovery (Bombay: St. Paul Publications, 1992), terutama hlm.
7-11.
32
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dengan atau tanpa sekolah, orang tua secara berangsur-angsur
menolong anak menumbuhkan penalaran yang diperlukan untuk
hidup.52 Semula anak hanya belajar bahwa tidak boleh main-main
dengan korek, lalu secara berangsur-angsur ia mempelajari alasan
mengenai bahaya kebakaran, kemudian ia menggunakan korek dengan
baik, dan akhirnya mungkin seseorang mampu mengembangkan
nalarnya untuk menemukan hakikat api dan membuat energi yang
menghasilkan banyak daya.
Karena tidak semua orang tua mampu, maka sekolah menolong
dengan kurikulumnya untuk mengembangkan nalar anak. Di sekolah,
anak belajar bernalar lebih lanjut dalam menghadapi alam dan
sesamanya. Ia belajar menangkap pokok-pokok hukum alam dan hukum
sosial maupun susila. Dengan demikian, tindakannya tidak hanya
spontan saja melainkan berangsur-angsur semakin memperhatikan
sebab-akibat maupun argumentasi yang jelas. Sesungguhnya semakin
anak berkembang dalam mencari sebab musabab suatu peristiwa serta
mempertanyakan pelbagai kejadian berikut alasannya, kita harus
semakin gembira. Kalau sekarang banyak mahasiswa dan pemuda
bergerak untuk mempermasalahkan aneka peristiwa (entah alam,
seperti kebakaran hutan, entah sosial, seperti diamnya DPR yang
katanya wakil rakyat, entah politisi, seperti kenapa orang tak boleh
mendirikan partai baru, entah keamanan, seperti kenapa teman
yang kemarin vokal kok tiba-tiba hilang dan ketika kembali menjadi
pendiam sekali) sebetulnya merupakan tanda yang menggembirakan
pendidikan: rupanya pendidikan bernalar menghasilkan buah.
Sebaliknya masyarakat bersedih hati apabila orang muda tidak cukup
menggunakan nalar, sehingga mem-’bully’ sesamanya, berkelahi secara
bergerombol, rela dibujuk untuk demonstrasi karena ikut-ikutan dengan
52 Sr. Avriana memaparkan banyak contoh, cara sekolah membantu, tetapi juga dapat
mengganggu pembelajaran seseorang dalam proses yang disebut pendidikan. Lih. Widyastuti,
Sr. Avriana, CB., Bu Guru Ngomong Apa Sih? (CB Media, 2009), hlm. 212.
33
golongan atau partai sektarian yang fanatik, membunuh sebayanya
tanpa memikirkan sebab-akibatnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Untuk memperkaya manusia agar lebih lancar menggunakan
perasaan dan tindakan, maka nalar belajar dengan mengasah argumentasi.
’Pendidikan bernalar membutuhkan banyak diskusi dan berdebat
secara teratur’. Mempersempit kesempatan berdiskusi dan berdebat
pada hakikatnya melumpuhkan pendidikan bernalar. Ada beberapa
cara yang menghambat pembelajaran bernalar. Salah satunya adalah
memperbanyak tugas menghafalkan. Dalam kegiatan menghafalkan,
proses bernalar dikesampingkan dibandingkan dengan kemampuan
manusia lain, seperti ingatan. Latihan gerak isik yang berlebihan juga
menyebabkan kemampuan berpikir kurang berkembang. Murid tidak
belajar bernalar apabila melakukan banyak tindakan bergerombol.
Sebab dalam tindakan bergerombol, orang tidak dituntut banyak
berargumentasi. Banyak demonstrasi menyebabkan diskusi dengan
banyak argumentasi menyusut sehingga nalar kurang dikembangkan
fungsinya dalam hidup bersama.53
Pendidikan bernalar membutuhkan banyak diskusi dan perdebatan
agar rekan-rekan dalam hidup dapat saling belajar: dasar apa yang ada
dibalik tindakan isik, sikap psikis atau kebiasaan kultural. Dengan cara
itu, orang juga belajar mensistematisasikan hasrat ingin tahunya. Pada
gilirannya, nalar akan meletakkan landasan penting untuk tumbuhnya
sikap penelitian. Sikap mau meneliti adalah dasar berharga untuk
mengembangkan jiwa keilmuan. Jiwa keilmuan itulah yang dapat
mendorong ilmu teknologi sejati.54 Bila tidak, ilmu pengetahuan dan
teknologi hanya menjadi slogan politis saja atau merupakan komoditas
53 Menteri Pendidikan Finlandia menceritakan bahwa pengajaran di kelas amat sedikit, pekerjaan
rumah juga minimal. Murid lebih banyak didorong berkreasi, bergaul satu sama lain, berdebat
dalam kelompok demi kemajuan berargumentasi yang mengasah pikiran serta merasakan
kebahagiaan bersama. Maka, murid Finlandia dinilai oleh PISA sebagai murid-murid yang
terdidik terbaik di dunia.
54 Bdk. Clark, Ron., Balance dalam he Excellent 11 (New York: Hyperion, 2004), hlm. 108-121.
34
ekonomi yang harganya tidak lebih tinggi dari peniti yang diimpor
karena nalar kita tidak sampai memikirkan cara membuat peniti dan
pensil gambar yang bermutu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sementara itu, menyempitkan sekolah hanya menjadi rangkaian
administrasi formulir dan deretan acara rapat atau acara tanpa perluasan kesempatan mengembangkan pendidikan nalar adalah menipu
orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan janji palsu bahwa
anaknya akan tambah pandai.55 Apalagi kalau di sekolah anak tidak
dibantu belajar budi pekerti yang baik, karena oleh guru dibiarkan
saja menyontek dan membolos atau menyelesaikan permasalahan dengan batu atau pisau, bukannya mengasah argumentasi nalar secara
teliti, jujur, dan konsisten. Apalagi murid hanya dilatih untuk sekadar
menirukan ritual religius atau nasional secara teliti, tetapi kurang dilatih
mempertanggungjawabkan tindak imannya. Dengan demikian, murid
tidak dibimbing menjadi agamawan yang utuh, artinya tetap menggunakan
nalar, yang juga karunia ilahi.
Namun, perkembangan nalar murid memang tidak
dapat dibatasi di sekolah saja. Ia sepanjang hari harus
Nalar
dan Iman
mengasuh nalarnya agar terasah. Hal itu tidak terbantu
apabila dalam masyarakat orang dibiasakan tidak mengasah nalar, melainkan lebih suka menyelesaikan soal
dengan instruksi, keputusan, penataran, rekayasa ekonomis dan politis,
penculikan, ancaman hukuman, dan penyiksaan isik atau ikut-ikutan
gerombolan bergerak tanpa berpikir dahulu. Nalar dirusak ketika orang
dipaksa untuk menjadi robot atau menjadi bagian gerombolan manusia,
yang digerakkan oleh motor ideologis atau fanatisme sektarian.56
55 Bdk. Green, Andy, Education and State Formation in Europe and Asia: dalam Kerry, Kennedy
(ed.), Citizenship Education and the Modern State (Hongkong: Falmer Press, 1997), terutama
hlm. 9-26.
56 Bdk. Johnson, Brad dan Julie Sessions, What Schools Don’t Teach (New York-London: Routledge,
2015), terutama Bab 4, 8, 19.
35
Disiplin Belajar
Setiap metodologi belajar mengandung satu hal penting yakni
bahwa belajar perlu diulang-ulang secara disiplin. ‘Repetitio est mater
studiorum’ = Pengulangan adalah bunda studi. Dengan
latar belakang sikap tersebut, pengulangan tidak sama
Disiplin
dengan penghafalan, melainkan menciptakan suatu
Belajar
mekanisme dalam diri manusia, sehingga isi dicerna lagi
dan lagi. Dengan kata lain, segi akal budi masuk dalam
‘repetisi’. Di sana ‘jembatan keledai’ sering banyak
membantu. Hanya saja, diperlukan cara kreatif untuk mengevaluasi hasil
belajar sejati, agar tidak pertama-tama memeriksa hafalan, melainkan
‘pengertian’. Dalam rangka itu, ‘pilihan ganda’ mempermudah evaluasi,
tetapi menumpulkan evaluasi dari sudut akal budi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tambahan pula bahwa Indonesia dipenuhi dengan banyak sekali
aturan yang mengikat guru atau dosen serta menjadi patokan penting
untuk penilaian suatu sekolah agar mendapat ’pengakuan’ dari
pemerintah. Bahkan cara menyusun dan mengirim karangan ilmiah
ditentukan secara amat rinci. Dampaknya adalah meluasnya bahaya
bahwa penghafalan menjadi fokus pembelajaran. Kreativitas tidak
terdukung dalam hal itu. Dalam kaitan tersebut, Senge, dkk. mencatat
bahwa
”Sekolah-sekolah yang melatih orang hanya untuk tunduk pada otoritas
dan mengikuti aturan, pastilah kurang mempersiapkan murid-murid untuk
dunia yang semakin kompleks dan interdependen... Di zaman sekarang
orang dari segala jalur hidup dipanggil untuk bertindak otonom, memimpin
maupun mengikuti sesama... membentuk masa depan kita.”57 Untuk dapat
melaksanakannya, diperlukan kesadaran bahwa memimpin belajar,
bukanlah cara otoriter dan monolog, melainkan ’mengajar secara
terbuka dan majemuk’.
57 Senge I, Op.cit., hlm. 7
36
Ketekunan Belajar
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pengalaman berabad-abad menunjukkan bahwa proses belajar
menyangkut orang secara menyeluruh, walau sering dikira, seakanakan hanya kena pada pikiran manusia saja. Bahkan andaikan terutama
mengena pada pikiran manusia, tindakan belajar mencakup manusia utuh,
termasuk perasaan dan perbuatan. Salah satu bentuknya tampak dari
penemuan bahwa membuat ringkasan dan bahkan menuliskan tahaptahap peringkasan merupakan cara baik untuk mengerti sesuatu hal,
baik pada bidang ilmu pasti (alam) maupun ilmu sosial dan humaniora.
Cara penulisan membuat seluruh diri manusia dilibatkan dalam proses
belajar dan memahami sesuatu. Khususnya kalau studi menuntut
penguasaan personal, seperti belajar berbahasa. Penguasaan personal
adalah kemampuan untuk mengintegrasikan apa yang dipelajari ke
dalam diri seseorang. Terutama dalam bahasa Jawa, tetapi juga dalam
bahasa Latin dan Jerman serta sejumlah bahasa lain, belajar bahasa
menyebabkan sejumlah kata dikuasai, tetapi sekaligus juga relasi antara
si pribadi dengan pribadi-pribadi lain, karena relasi dapat mengubah
bentuk kata atau kalimat. Proses belajar itu sekaligus juga merupakan
proses integrasi si pribadi ke dalam komunitas tertentu dan proses
membentuk diri untuk mengambil sikap tertentu dalam membangun
komunikasi dengan pribadi-pribadi lain.
Proses belajar juga mendidik seseorang untuk memasuki fokus hidup ke dalam visi tertentu. Melampaui
Berproses
Belajar
penguasaan bahasa, yang sudah tampak memasukkan
orang ke dalam komunitas tertentu, pembelajaran
bersungguh-sungguh atas ilmu sastra atau ilosoi dapat mendorong orang menyelami cara pandang bersama. Ilmu-ilmu
tersebut membawa seseorang menyelami makna berpikir dan makna
bertindak dalam komunitasnya. Bila orang lama sekali dididik dalam
suasana Jerman, maka banyak cara pandang dipengaruhi oleh tata
bahasa Jerman, misalnya melalui peletakan kata kerja dan kata sifat
37
dalam kalimat. Bila kemudian diperoleh kesempatan untuk mempelajari
bahasa Portugis, Spanyol, dan Italia, akan muncul kaitan sintaksis
baru, yang memperlihatkan sumber-sumber Latinnya. Maka akan
terbuka cara pandang baru. Perkembangan pola berpikir tersebut
masih tampak andaikata orang mendapat kesempatan mempelajari
bahasa-bahasa dari rumpun lain, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea.
Bila ditekuni betul-betul, visi orang atas hidup dan masa hidupnya
dapat terpengaruh. Orang dapat terdorong untuk terlibat dalam aliran
kemasyarakatan tertentu. Keterlibatan itu dapat memadukannya dalam
gerakan tertentu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Belajar dengan pelbagai fokus tersebut dapat menLintas Ilmu
dorong orang mendalami pelbagai model mental. Pelajaran
tersebut terjadi dengan mencermati pelbagai lapisan mentalitas yang berkembang dalam masyarakat.
Mentalitas yang mekar itu dapat menembus urusan
komitmen perseorangan, tetapi juga melintasi beberapa komunitas
bersama. Sebab mentalitas dapat bertumpu pada sejarah hidup perseorangan (yang beraneka) dan juga dipengaruhi oleh pergumulan
komunitas (yang dapat berwarna-warni). Pembelajaran pada lapisan
ini dapat memengaruhi mentalitas seseorang, tanpa melupakan komitmen pribadi maupun komitmen sosialnya. Orang-orang yang
menceburkan diri dalam pelbagai rumpun bahasa dan budaya sangat
mudah terkondisikan menjadi orang yang terbuka pada pergaulan luas;
tidak mudah menjadi sektarian dan bermental fanatik.
Beberapa puluh tahun yang silam ini, dengan pesatnya proses
globalisasi, belajar dalam kelompok/tim berkembang pesat. Cara kerjanya
lebih luas daripada sekadar belajar dalam ’pondok’ atau ’taman’ seperti
dilaksanakan dalam Pondok Pesantren di Jawa Timur atau Taman
Siswa di Yogyakarta atau Adabiah di Sumatra Barat, melainkan cara
belajar yang secara mendasar memang mengelompok bukan secara
38
http://facebook.com/indonesiapustaka
individual.58 Cara belajar ini mengondisikan seseorang belajar dengan
memperhatikan pemikiran sesama, memedulikan perasaan yang
lain dan mengerjakan sesuatu secara berkelompok. Cara belajar ini
mendorong ’belajar bersama’ lama-kelamaan menjadi ’cara hidup
bersama’. Pertumbuhannya tidak menyebabkan orang pasif atau
bersembunyi dalam kelompok, tetapi menjadikan ’hidup bersama
dan mengupas masalah secara bersama’ merupakan model hidup.
Komunitas yang lebih besar dapat terjadi karenanya.
Bila dicermati lagi, masih dapat ditemukan cara belajar yang lebih
mendalam. Bila orang mempelajari pelbagai ilmu, yang sering harus
dilakukan dalam ’mata kuliah umum’ atau dari hasrat perseorangan,
lalu akan tampak adanya beberapa butir masalah, yang tampil dari
sistematika ilmu yang berlainan. Mircea Eliade menciptakan suatu
ensiklopedia, yang membicarakan masalah-masalah seputar agama, dari
sudut ilmu agama, ilsafat agama, ilmu bahasa dan sesekali juga teologi.
Cara belajar ini mendorong belajar secara lintas sistematika. Diperlukan
kerendahan hati yang sungguh namun juga kerelaan untuk melintasi
batas-batas spesialisasi ilmu. Tradisi baru interdisipliner ilmu memberi
peluang tumbuhnya cara belajar ini. Bila dikerjakan dengan disiplin ilmu
yang tinggi, dapatlah dikembangkan pembelajaran yang amat kaya.
Sebutlah namanya cara belajar interdisipliner.59 Langkah hidup dengan
lintas sistem semakin diperlukan ketika sifat interdisipliner meresapi
hampir segala kesibukan harian. Sebab dunia teknis dan pembahasaan
mewarnai segala segi kehidupan. Perkembangan IT telah membuka
kemungkinan interdisipliner yang lebih lanjut.
58 Bdk. Johnson, Op.cit., khususnya Bab 16 dan 17.
59 Bdk. Senge I, Op.cit., hlm. 7-9.
39
Pelbagai Potensi
http://facebook.com/indonesiapustaka
Keanekaan perwujudan makhluk bernalar dalam manusia sangat
penting diperhatikan kalau kita merencanakan transformasi politik,
ekonomi atau spiritual. Tanpa nalar yang sehat dan berkembang,
tidak usah kita mimpi tinggal landas dalam arti apa pun.60 Namun
nalar memang bukan satu-satunya potensi manusia yang harus
dikembangkan. Nalar perlu ditemani oleh afeksi dan emosi yang sehat.
Kita sudah mengalami bagaimana nalar orang terpeleset ketika emosi
dibakar oleh sentimen keagamaan atau fanatisme politik. Oleh sebab
itu diperlukan keberanian dan kecakapan serta rekayasa sistematis
untuk belajar nalar yang terpadukan dengan afeksi. Sementara itu, dari
pengalaman cinta dan seni dengan segala kemungkinan dampaknya,
dapatlah manusia belajar bahwa ada potensi manusia yang melampaui
daya nalar manusia. Transenden itu masih dapat berkanjang dalam
dunia kodrat manusiawi, tetapi pada suatu titik, manusia mendapatkan
arah ‘adi kodrati’ yang membawanya kepada transenden. Potensipotensi manusia seluruhnya membutuhkan pembelajaran yang terpadu,
agar manusia belajar tumbuh secara utuh.
Kita memerlukan masyarakat selain belajar berPotensi
nalar juga mempelajari empati solidaritas yang dapat
Belajar
membangun persaudaraan lintas golongan. Sikap
tersebut dapat dimiliki suatu bangsa, misalnya pada
bangsa Indonesia di sekitar tahun 1928 dan masa
Proklamasi Kemerdekaan. Ketika itu, para mahasiswa bernalar untuk
memimpin kemerdekaan Indonesia, mampu mengembangkan emosi
dan afeksi persaudaraan, melintasi batas profesi, status sosial, suku,
60 Semakin lama orang semakin sadar bahwa nalar perlu diolah bersamaan dengan potensipotensi manusia lain untuk kemudian membawa manusia belajar mengenal hal-hal yang
transenden, melampaui indra dan pengetahuannya sendiri. Pembelajaran yang luas ini
perlu dialami oleh siapa pun yang mau menjadi manusia yang utuh. Bdk. Moyle, Helen, he
Experience of Learning dalam he Way, Vol. 37, April 1997, No. 2, hlm. 110-119 dan Cadrin,
Daniel, Heart and Head: Searching for God dalam he Way, Op.cit., hlm. 120-128.
40
agama dan aliran politik. Tentu saja ada upaya politik untuk mengadu
kekuatan dalam memimpin negara, tetapi nalar dan afeksi bersaudara
jauh lebih kuat daripada sekarang.
Bangsa Indonesia pernah mengalami satu dua usaha separatis, tetapi
tekad seluruh negara bukan persaingan, perkelahian, pembunuhan, atau
penyiksaan antarkita, melainkan persaudaraan. Sekarang ini, persatuan
hanya dicapai secara politis, itu pun terutama secara formal; lagi pula
baru secara kuantitatif dengan rekayasa sistem persidangan yang
amat menipiskan argumentasi nalar. Rekayasa persidangan itu dapat
diperburuk lagi oleh akal untuk menciptakan undang-undang atau
peraturan yang sengaja diberi lubang-lubang demi perusakan-perusakan
persidangan yang tampaknya saja legal. Akhirnya tanpa nalar yang
sehat, persatuan tidak dapat juga diisi dengan afeksi yang sehat.61
Kita masih harus banyak belajar mengembangkan nalar, afeksi dan
aksi, yakni pada diri sendiri, anak-anak kita, dan orang dewasa. Terlebihlebih pada pemangku tugas publik, yakni orang yang secara badaniah
dan kejiwaan, katanya sudah dewasa. Tepatlah harapan Andrias Harefa,
agar kita semua menjadi manusia pemelajar62, tanpa batas. Hanya
dengan demikian, pendidikan dalam arti yang paling luas dan paling
mendalam akan dapat terwujud secara bertanggung jawab.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Releksi
1.
Apakah Anda pernah belajar sesuatu yang amat berat sehingga
membutuhkan perjuangan yang lama?
2.
Apakah ada pendidik yang secara menarik melatih Anda untuk
belajar?
61 Pelbagai peristiwa tahun 2016 dan 2017 di jalan-jalan maupun di DPR dan medan pengadilan
telah mencemaskan rakyat Indonesia yang mencintai Bhinneka Tunggal Ika.
62 Harefa, Andrias,. Menjadi Manusia Pembelajar (Jakarta: Kompas, 2002 cetakan 6), terutama
Bab 2 dan Bab 9.
41
http://facebook.com/indonesiapustaka
42
3.
Apakah ada kesempatan pada saat ini untuk belajar sesuatu?
4.
Pernahkah Anda menemukan pembelajaran politis di negara
kita?
5.
Apakah Anda pernah belajar beriman dan berdebat?
Mengajar: Membantu Belajar
Belajarlah dari-Ku
Sebab aku rendah hati
(Sang Guru dalam Injil:
tentang mengajar)
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
utet, memasuki kelas untuk mengajar di tahun pertama, dengan
hati berdebar-debar dan pikiran simpang siur, walau sudah selalu
mempersiapkan Satuan Acara Pengajaran/Perkuliahan (SAP). Selain
itu, perasaannya campur aduk, antara senang karena mengawali karier
dan risau untuk menjumpai belasan murid dari aneka latar belakang.
Darto lebih kacau lagi hatinya, karena untuk pertama kali ia mengajar
di suatu sekolah menengah, yang terkenal, biasa ‘melatih guruguru baru’ dengan pelbagai ‘percobaan’. Ketut, lebih tenang sebagai
seorang berbadan kekar dan mengajar olahraga, kelas pertamanya
diharapkannya akan berjalan lancar; walau pada menit-menit pertama
ia harus menghadapi murid-murid yang penuh canda. Tiga sahabat
muda itu mempunyai satu sikap mengajar yang sama. Mereka merasa
bahwa untuk mengajar, mereka perlu mempersiapkan diri cukup baik,
tahu secara memadai hal tertentu untuk menghidangkannya kepada
murid-murid di kelasnya. Sikap dasar yang tersimpan dalam diri para
guru muda adalah ‘kesediaan untuk memercayai bahwa para murid
menyimpan banyak hal yang baik’.63 ‘Memercayai para murid’ adalah
63 Seorang pendidik Spanyol dari abad 16, namanya Iñigo dari Loyola, memberi pegangan
sederhana kepada murid-muridnya yang akan mendidik orang lain: “… Kita harus berkeyakinan
bahwa mereka mempunyai kebaikan-kebaikan…” Sikap itu tidak diyakini secara insidental,
43
http://facebook.com/indonesiapustaka
awal proses didik yang penting sekali. Pada minggu-minggu pertama,
guru baru berbekal dengan ‘penguasaan bahan secara personal’, yang
biasanya memadai, kalau mereka adalah guru yang mau bertanggung
jawab. Namun, mereka masih akan masuk dalam ‘ujian-ujian praktik’
yang lain, terutama berkaitan dengan ‘percaya kepada para murid’. Sebab
‘sifat baik yang diandaikan ada pada para murid’, tidak jarang dicampur
dengan pelbagai bumbu sifat dan konteks persekolahan yang beraneka
ragam. Perjumpaannya dengan persiapan guru dapat berdampak lancar
atau tersendat. Untuk menjalankan tugas ini, diperlukan jiwa mengajar
yang tepat asas dan tepat guna.
Dengan demikian diperlukan pencermatan, dibalik tugas meng ajarnya, apa sebenarnya yang menjiwai seorang guru? Perihal
‘sesuatu yang menjiwai seorang guru’ amatlah dipentingkan oleh
Maria Montessori (1870-1952) dan Friedrich Wilhelm August Fröbel
(1782-1852) yang mengarahkan, agar guru-gurunya memiliki ‘hati
bagi murid-muridnya’. Menteri Ki Hadjar Dewantara memesan para
guru untuk mengantar para murid menjadi bagian yang integral
dalam masyarakat.64 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho
Notosusanto pernah mengarahkan guru-guru agar mereka mengajar
murid-murid sehingga ada hubungan erat antara sekolah dengan dunia
industri, tempat mereka nanti akan bekerja. Aliran ini melihat tugas
mengajar sebagai menyiapkan ‘tenaga kerja’ bagi dunia kerja. Aliran
lain lebih menganjurkan guru untuk mengantar murid menyiapkan
diri bagi hidup mendatang dengan mengenali masyarakat dan aneka
tuntutannya, khususnya lewat ilmu pengetahuan. Mereka ini ingin
membekali murid jauh lebih banyak dan mendalam daripada hanya
menjadikan mereka nanti alat atau sumber daya (human resource)
bagi suatu perusahaan. Mereka harus mengembangkan akal budi yang
melainkan merupakan sikap dasar, sedemikian sehingga murid-murid merujuknya dengan
menyebutnya ‘Pandangan Bapa’. Lih. Latihan Rohani No. 22.
64 Sularto, St., Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Jakarta: KOMPAS, 2016), khususnya hlm.
168 dst.
44
kreatif sehingga mampu menciptakan cara kerja atau bahkan kreasi
baru secara inovatif.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Banyak yang dapat membantu tindakan belajar,
khususnya suasana, peralatan, kondisi, tempat dan
Mengantar
Belajar
orang yang juga dapat melakukannya dengan banyak
cara. Profesor, dosen, guru, dan para pendukung di
sekolah serta orang tua murid mampu membantu
belajar dengan cara dan dari posisi masing-masing. Bantuan mereka
dapat membantu murid memilih arah belajar. Dengan memperhatikan
aneka arah tindakan belajar itu, dapatlah kita melakukan pendampingan
yang dilaksanakan dengan bermacam-macam. Khususnya guru dapat
mendampingi langkah belajar dengan mengajar yang merupakan unsur
pendidikan yang penting, walau bukan satu-satunya, bahkan di sekolah
sekalipun.
Guru dapat mulai dengan mencermati pelbagai visi, berikut implikasinya dalam mendampingi pembelajaran murid. Adapun visi dapat
ditentukan oleh orang tua atau pengambil prakarsa kelembagaan sekolah atau negara. Koran Republika pernah, misalnya, merumuskan
visi mengajar dengan ‘menciptakan asrama agar pembelajaran dapat
komprehensif’.65 Sebab visi suatu pembelajaran menunjukkan, arah yang
dituju murid dalam belajar dan cara yang dipilih guru dalam mengajar murid.
Adapun visi tersebut memberikan bayangan, yang mau dicapai apabila
cara-cara tertentu dalam proses belajar-mengajar dilaksanakan. Seorang
Franciscus van Lith membayangkan suatu komunitas Jawa (agama
apa pun), yang dapat memimpin dirinya sendiri; tidak tergantung dari
bangsa lain. Oleh sebab itu, dia mengajarkan murid Muntilan untuk
mampu berkomunikasi dengan orang lain (belajar bahasa asing), mampu
berhadapan dengan dunia modern (belajar ilmu-ilmu modern), mampu
bekerja sama dengan orang se-Hindia Belanda (belajar hidup bersama
65 Lih. Republika 5 Mei 2017.
45
dalam asrama dengan suku-suku lain).66 Hal serupa dilakukan oleh
J. Beek ketika memimpin asrama Realino di Yogya.67 Visi seorang Ahmad
Dahlan sebenarnya tidak berbeda, walau bahan dan ‘penggetarnya’-nya
berlainan dengan van Lith. Maka prinsip dasar Muhammadiyah tidak
banyak berbeda dari van Lith. Dari visi dan misi itulah lahir tradisi
Muhammadiyah untuk mendirikan banyak sekolah: dari yang paling
dasar sampai perguruan tinggi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sementara itu, banyak visi perguruan modern kita
Bank Ilmu
menunjukkan masa depan yang mengandung banyak
‘diferensiasi’ dalam ilmu, walau hasil didikannya tidak
perlu menguasai segala ilmu secara komprehensif.
Dengan visi seperti itu, ditemukan proses belajar mengajar, yang
lebih menekankan terciptanya banyak spesialis, pengetahuannya
sedikit tetapi mendalam. Sementara dalam gambaran van Lith yang
dituju dalam proses belajar mengajar bersifat ‘generalis’: orang-orang
yang memiliki pengetahuan umum. Dengan demikian para murid
dipersiapkan menghadapi masa depan, yang tidak mudah diramalkan
kekhususannya.
Mengajar dapat juga dibedakan dari sudut cara keseluruhannya.
Orang dapat mempunyai pendirian bahwa mengajar adalah memindahkan suatu kumpulan pengetahuan, dari guru kepada murid.68
Latar belakang paham itu adalah pertama, karena pengajaran memang
erat berkaitan dengan tahu dan tidaknya seseorang mengenai sesuatu
hal; kedua, karena tambahnya pengetahuan juga merupakan suatu
nilai yang mendukung perkembangan manusia dan masyarakat.
Dengan cara pandang itu, hasil pengajaran adalah pindahnya satu
66 Lih. VCD mengenai F. van Lith ketika mendirikan sekolahnya di Muntilan
67 Lih. Sudarmanto, J., Pater Beek, SJ., Larut tetapi Tidak Hanyut (Jakarta: Obor, 2008), hlm.
272.
68 Lih. Goodlad, John I. (ed.), Educating Teachers: Getting It Right In he First Time dalam Robert
A. Roth, he Role of he University in he Preparation of Teachers (London: Falmer Press, 1999),
Bab 1.
46
http://facebook.com/indonesiapustaka
gugus pengetahuan dari manusia satu kepada lainnya. Pemindahan itu
sering dirancang melalui cara mengajar dengan pegangan suatu buku
atau kurikulum tertentu: cara pemindahan pengetahuan itu dengan
memberitahukan dan meminta murid mengertinya: biasanya dengan
memahami dan menghafalkannya. Cara memeriksa, sejauh manakah
pengajaran tersebut berhasil atau tidak adalah dengan ‘menguji,
sejauh manakah murid sudah mampu mengalimatkan kembali segala
pengajaran gurunya’. Apabila seluruh daerah diharapkan memakai
cara mengajar seperti ‘mengirim harta pengetahuan dari bank satu
ke bank lain’. Dianggap mudah memeriksa kesuksesan pemindahan
itu dengan melakukan ujian yang sama seluruh daerah
atau nasional. Persentase ‘penguasaan pengetahuan
murid’ dianalogikan dengan pemindahan jumlah uang Cara Berilmu
tertentu lintas bank. Oleh sebab itu, cara berpikir itu
sering disebut mengajar dengan cara bank’.
Namun, orang juga dapat berpendapat, bahwa belajar adalah proses
ketika murid menemukan relasi intelektual dengan dunia sekitarnya.
Di situ mengajar terjadi tatkala guru mendampingi murid menjadi
manusia yang berinteraksi dengan dunia sebagai jaringan hal-hal yang
perlu diketahui, dengan menangkap metode pencarian kebenaran dan
pemahaman kebenaran. Dengan demikian, murid dibantu untuk mencari
data, bukannya disodori sekumpulan data. Tujuannya, murid dapat
melihat belajar sebagai perjalanan manusia mengenali dunia dengan
segala duduk perkaranya. Di sini belajar mengerti sebagai usaha manusia
untuk mengenal seluk-beluk dunia dan sekitarnya. Mengajar dalam hal
itu memperkenalkan metode memperoleh pengetahuan, agar selanjutnya
murid dapat mengembangkan pencarian pengetahuannya sendiri.
Harapannya adalah bahwa murid akan terbantu untuk membentuk dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan bukanlah
sesuatu yang ada di ‘luar sana’ melainkan ‘terbenihkan dalam jiwa setiap
manusia’. Pengetahuan bukan pula suatu kotak mati, melainkan suatu
47
rangkaian ‘proses mengetahui segi-segi dunia yang hidup’. Oleh sebab
itu, ilmu senantiasa mendorong pengetahuan yang lebih lanjut dan
murid serta ilmuwan perlu dibantu untuk menemukan metode tepat
guna menyusun pengetahuan secara metodis. Metode yang tepat bagi
sesuatu ilmu dapat saja tidak sesuai bagi yang lain.
metode dalam mengajar
http://facebook.com/indonesiapustaka
Melanjutkan gagasan itu, visi Ki Hadjar Dewantara adalah penciptaan komunitas pembelajaran yang dilakukan bersama pengajar yang
hidup bersama murid. Itulah sebabnya mengapa dia memperjuangkan
diciptakannya ‘pondok-pondok’.69 Ki Hadjar juga sangat menekankan
relasi kekeluargaan antara guru dan murid. Hal itu termasuk cara
baru pada zamannya. Cara pengajaran di situ terdiri dari menciptakan
lingkungan pembelajaran yang kuat. Harapannya adalah penyuburan
lingkungan akan meningkatkan mutu pembelajaran. Proses belajar
mengajar dalam gaya Ki Hadjar dialami jauh lebih manusiawi. Pada
dasarnya, cara tersebut bukannya tidak peduli pada intelektualitas, tetapi
memaknainya dalam kultur yang kekeluargaan dan menempatkannya
dalam konteks hidup yang lebih kaya.
Kita juga dapat meneropong proses belajar mengajar
Tujuan
Belajar
dengan mengupas tujuan pembelajaran tertentu.70 Tujuan
itu menentukan cara seseorang mendampingi murid
untuk belajar. Oleh sebab itu, perlulah kita menelaah
arah dan isi pokok yang hendak diberikan kepada sekolah. Sudut telaah
dapat sangat berbeda-beda, misalnya dari sudut pengajar, pelajar,
konteks budaya, kepentingan nasional dan sebagainya. Kita juga tahu
69 Lih. Dewantara, Ki Hadjar. Menuju Manusia Merdeka (Yogyakarta: Leutika, 2009), hlm. 4142.
70 Robert B. Barr and John Tagg. From Teaching to Learning: A New Paradigm for Undergraduate
Education. Palomar College, San Marcos, California.
48
bahwa orang belajar untuk beberapa kepentingan entah bagi diri sendiri,
bagi keluarga, bagi lingkungan yang lebih luas, sampai bagi kemuliaan
Tuhan. Suatu Perguruan Tinggi di Indonesia ini memasang ‘motto’
latin di depan umum: “non scholae sed vitae discimus”. Perbedaan
kepentingan-kepentingan itu pasti memengaruhi cara orang belajar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kita pun dapat mempelajari aneka proses mengajar dengan jalan
meneliti pelbagai tipe kecerdasan manusia.71 Lalu cara-cara belajar dapat
dibeda-bedakan menurut tipe kecerdasan manusia. Sebab, menurut
Howard Gardner, profesor Universitas Harvard, ada beberapa tipe
kecerdasan manusia. Dalam konsep kecerdasan majemuk, Gardner
mengelompokkan kecerdasan menjadi tipe-tipe: linguistik, logis
matematis, spasial, musikal, natural, kinestetikal, interpersonal,
intrapersonal, eksistensial. Kemudian, ia akan menambahkan tipe
spiritual. Setiap jenis kecerdasan membutuhkan cara mendidik yang
tersendiri: sekurang-kurangnya dari sudut tekanan dan pusat perhatiannya.
Proses belajar mengajar juga dapat dicermati dengan mengingat
bahwa persekolahan juga erat berkaitan dengan keadaan si manusia atau
struktur masyarakat de facto.72 Kaitan itu nyatanya menyangkut situasi
politis, ekonomis dan birokratis Indonesia, yang dalam dekade kedua
milenium ketiga ini mengalami gejolak tidak kecil. Gejolaknya memang
berhubungan dengan krisis moneter, pelbagai krisis kemasyarakatan,
yang sekarang pun belum usai. Di satu sisi, kita berada dalam situasi
yang menguntungkan oleh karena suasana yang menghendaki per71 Gardner, Howard (1983), Frames of Mind: he heory of Multiple Intelligences, Basic Books,
ISBN 0133306143; (1993), Multiple Intelligences: he heory in Practice, Basic Books, ISBN
046501822X; (1999), Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century, Basic
Books, ISBN 978-0-465-02611-1; (2004), Changing Minds: he Art and Science of Changing Our
Own and Other People’s Minds, Harvard Business School Press, ISBN 1422103293; (2006), Multiple
Intelligences: New Horizons in heory and Practice, Basic Books, ISBN 978-0465047680
72 Bdk. Misalnya mengenai sekolah dari pukul 07.00–15.00 dengan hari sekolah Senin-Jumat,
yang terus-menerus dilontar-lontarkan beberapa pihak, tetapi tidak begitu saja diterima
banyak orang, termasuk Presiden Joko Widodo. Lih. Harian KOMPAS dan Harian TEMPO
20 Juni 2017, masing-masing di halaman 1 dst.
49
ubahan mendalam, tetapi dari sisi lain justru pengalaman dan akibat di
atas menunjukkan kepada kita betapa sulitnya persoalan yang hendak
digarap. Pandangan ke depan masyarakat menciptakan pandangan
ke depan pula bagi tindakan mendidik pada umumnya dan mengajar
di sekolah pada khususnya. Demikianlah cara dan metode mengajar
perlu didasarkan pada visi dibalik tindak mengajar dalam mendidik
di sekolah.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Visi
Setiap lembaga yang mendirikan sekolah, mempunyai ‘gambaran
ke masa depan’ (visio). Visi tersebut untuk jangka pendek, tetapi juga
dapat untuk jangka panjang. Dalam pandangan ke depan itulah suatu
program didik disusun. Jadi, sekolah didirikan untuk mewujudkan suatu
visi. Pendidik menjalin relasi penuh kepercayaan dengan murid untuk
mendorongnya menggali pengetahuan, membangun relasi dengan
sesama, mencintai sesama serta memuliakan Yang Mahaagung. 73
Pengorganisasian seluruh persekolahan dan khususnya pengajaran yang
dilakukan guru, mengandung pesan digapainya visi, sebagaimana sudah
kita singgung. Pengajaran bertugas untuk menciptakan mekanisme
batin dalam diri guru dan murid sehingga dapat mengembangkan
proses pembelajarannya sebagai bagian dari seluruh proses didiknya.
Di situ tampak bahwa pengandaian dasarnya adalah bahwa manusia
tidak hanya dikuasai oleh kemampuan menghafalkan pengetahuan
melainkan juga untuk mengkritisinya serta dilengkapi dengan budi
yang memungkinkan orang mendalami jalinan-jalinan data kemudian
73 Visi didik tersebut, menurut Iñigo dari Loyola dapat disusun dan diuraikan sbb: 1. Memercayai
dengan memberi kebebasan dan tanggung jawab; 2. Memperlakukan murid sebagai pribadi
(cura personalis); 3. Mendorong untuk selalu mau maju; 4. Bukan banyak tetapi bermutu (non
multa sed multum); 5. Relektif dan kritis; 6. Mendidik seluruh pribadi murid; 7. Bersama
dengan mengakui perbedaan; 8. Menemukan Allah dalam segala; 9. Dalam segalanya
mencintai dan melayani (en todo amar y servir); 10. Penuh syukur. Bdk. Dalcq Guy, Perspectief
en doelstellingen in het ignatiaans onderwijs: dalam Majalah Cardoner, 2017/I, hlm. 34-44.
50
http://facebook.com/indonesiapustaka
menciptakan jaringan pengetahuan sebagai bahan guna mengambil
keputusan melakukan tindakan tertentu secara sadar selaras dengan
martabatnya sebagai manusia, bersama manusia
lain. Visi dasar atas manusia ini berlaku bagi semua
Visi Studi
manusia sebagai visi dasar terhadap murid. Visi tersebut
menentukan isi dan metode pengajaran.
Isi dan metode pengajaran tersebut perlu disepakati
untuk menjadi cara kerja sama dalam lembaga pengajaran tertentu.
Sebab paham dasar itu akan menentukan, isi didik yang tersimpan
dalam segala ajaran maupun cara ajar serta mekanisme ajar seluruh
proses sekolah. Di dalamnya tersimpan pula cara mengorganisasikan
sekolah, baik pada tingkat mikro di sekolah masing-masing maupun
di tingkat makro di kementerian. Pada langkah selanjutnya, orientasi
itu juga akan menentukan masyarakat macam apakah yang akhirnya
menjadi visi pembangunan negara. Dengan kata lain, perbincangan
mengenai sekolah menyangkut arah dan proses perkembangan negara
serta masa depan bangsa secara menyeluruh. Dalam arti tertentu
manusia tumbuh menjadi manusia melalui pendidikan74. Dalam
Pembukaan UUD 1945 jelas bahwa pencerdasan yang dicita-citakan
bangsa ini berlatar belakang pendirian mendalam mengenai sifat
bebas dan bertanggung jawab setiap manusia.75 Itulah tanggung jawab
etis setiap guru dalam mengajar, agar tercapailah cita-cita dan visi
pendidikan yang terluas. Cita-cita tersebut dipadukan dengan hasrat
kemerdekaan bangsa Indonesia. Demikian berhargalah pendidikan bagi
bangsa Indonesia, yang merdeka.
74 Bdk. Jaeger, Werner, Paideia (Berlin: Walter De Gruyter & Co., 1947), hlm. 1-3.
75 Tentu saja di tahun 1945 belumlah diperhitungkan aneka kecerdasan, sebagaimana
kelak dipaparkan oleh Howard Gardner, beberapa puluh tahun sesudahnya. Pencerdasan,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dipahami sebagai pendidikan
melalui sekolah yang diharapkan secara struktural akan meningkatkan kepandaian rakyat
Indonesia secara menyeluruh: suatu pengandaian penting untuk meninggikan mutu demokrasi
yang membutuhkan komunikasi di seluruh lapisan hidup kenegaraan.
51
Simpul Bagi Pengajar
Pangeran Mangkunegara IV di awal abad 20 di Surakarta mengajarkan kepada murid-muridnya76, agar membimbing terutama dengan
tindak tanduk, namun dengan batin yang jernih.77 Hal serupa disebutkan oleh seorang pendidik dari Spanyol yang lama mengajar
di Jepang dan Filipina, yakni Adolfo Nicolas, SJ, ketika pada tahun
201078, menunjukkan pentingnya para pengajar untuk memberikan
dirinya secara utuh dan profesional. Dengan demikian, segi objektif
dan segi subjektif dibagikan secara bersama oleh seorang guru. Dengan
demikian, pelbagai bahan dan metode dapat disajikan oleh pengajar
untuk membantu agar murid semakin mampu mengenal kemampuankemampuannya serta mengenal dunia dan sesamanya, untuk akhirnya
mengenal penciptanya. Namun bukan banyaknya bahanlah yang
memperkaya murid, melainkan pemahaman serta penghayatan
mengenai maknanya.79
http://facebook.com/indonesiapustaka
Releksi
1.
Catatlah hal-hal yang menggembirakan dan menyedihkan dalam
pengalamannya Anda mengajar!
2.
Hal apakah yang paling sering Anda tekankan dalam mengajar:
si murid, si bahan, ataukah cara mencapai bahan yang Anda
ajarkan?
76 Lihat tulisannya yang terkenal Wedhatama, Bagian Pocung: bdk. Wedhatama Jinarwa, ‘Pelajar’,
Surakarta: ditemukan sumber akhirnya di Yogyakarta, pertengahan dekade 1960-an.
77 Bdk. Op.cit. Bagian Sinom.
78 Lih. Nicolas, Adolfo, SJ. Depth Universality and Learned Ministry: Challenges to Jesuit Higher
Education Today, Universitas Iberoamericana, Mexico, 23 April 2010, Bagian I.
79 Iñigo dari Loyola mengatakannya ‘bukan banyaknya hal memperkaya seseorang, melainkan
penghayatan makna dan pencecapannya…’ Latihan Rohani, Annotasi 2. Dalam bahasa Latin,
ada ungkapan ‘non multa sed multum’ (bukan banyaknya, tetapi mutunya).
52
http://facebook.com/indonesiapustaka
3.
Apakah ada dalam lembaga sekolah Anda, hal-hal yang secara
terus-menerus mempersulit cara mengajar Anda? Sebabnya?
4.
Apakah ada pengajar yang mengesankan Anda dalam mengajar
Anda sehingga Anda menjadi seperti sekarang?
5.
Hal apa yang perlu diperbaiki dalam cara mengajar Anda?
53
http://facebook.com/indonesiapustaka
54
Orang Tua: Pendidik Utama
O, Ibu dan Ayah, selamat pagi;
Kupergi belajar, sampai kan nanti
(Ibu Sud)
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendahuluan
Tono dan Tini adalah gambaran dari pasangan suami istri kebanyakan. Ketika anaknya dua, kedua orang tua muda itu tetap bekerja.
Tono sebagai buruh dan Tini sebagai juru masak di suatu keluarga
tetangga mereka. Anak-anak dirawat oleh Ibu Tini. Mereka bekerja
keras, tetapi setiap sore, sebelum matahari terbenam pasti diusahakan
sudah pulang. Tujuannya satu, yaitu main dengan anak-anak dan
sedikit nonton televisi bersama anak-anak, menyatu dalam keluarga,
walau Tono bekerja di suatu proyek pembangunan perumahan rakyat.80
Dengan cepat anak-anak dapat mengucapkan ’papa’ dan ’mama’ serta
belajar merangkak dan kemudian berjalan sendiri. Begitulah mereka
’sambil jalan, belajar mendidik kedua buah hati’ mereka.81
80 Bdk. Juga Doolittle, Robert, Searching Young Hearts (Winona: St. Mary’s Press, 1993), terutama
Bab 1.
81 Bdk. Peters, R.S., Ethics and Education (London: George Allen & Unwin Ltd., 1966), terutama
Bab 1.
55
Memang, perkawinan mencakup, baik relasi kedua mempelai,
maupun relasi mereka berdua dengan anak-anak, yang akan dikaruniakan
Allah kepada mereka. Secara kodrati, orang tualah pendidik utama dan
perdana.82 Peran itu tidak selalu berkaitan dengan kecerdasan si bapak
atau si ibu, yang juga begitu majemuknya. Dengan atau tanpa ijazah
dan rapor sekolah yang hebat, ayah-ibu dipanggil untuk mendidik anakanaknya. Hampir semua orang tua belajar melaksanakan tugas mendidik
itu: yang satu lebih baik daripada yang lain. Para orang tua mendampingi
anak untuk setapak demi setapak membentuk83 diri menjadi manusia,
yang semakin lama semakin dewasa, termasuk menyadari dirinya
sebagai pria dan wanita.84 Dalam gambaran itu, anak adalah bagian utuh
keluarga dan orang tua bertanggung jawab untuk setiap langkahnya
membesarkan anak.85
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dalam kaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
mengingat bahwa Allah diimani telah menciptakan manusia, maka
pendidikan orang tua menjadi wujud dari penyelenggaraan Allah untuk
kemanusiaan.86 Pendidikan anak sudah menjadi kebutuhan untuk
meningkatkan kesempatan anak memperoleh hidup yang bahagia,
sukses dan produktif87 di masa depan yg sesuai dgn rencana Allah.
Keberhasilan seorang anak tidak terjadi begitu saja, tetapi memerlukan
82 Bdk. Gunarsa, Dra. Yulia Singgih D., dan Prof. Dr. Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk
Keluarga (Jakarta: Libri, 2012), terutama hlm. 11-17.
83 ‘Membentuk’ berkaitan dengan kata Latin ‘formare’ yang mendasari kata ‘formation’, kata itu
dalam bahasa modern berarti ‘membentuk’. Istilah ‘membentuk’ menjadi sumber pengertian
dari ‘mendidik’ ke arah ‘membentuk seorang pribadi menjadi manusia yang semakin
lama semakin sempurna’. Itulah yang dilakukan dalam ‘education’, kalau mau sungguh
‘komprehensif’. Lih. Gravissimum Educationis, artikel 2.
84 Bdk. Ensiklik Divini Illius Magistri, No. 2 dari Pius XI, 1929.
85 Lih. Buetow, Op.cit., hlm. 139-174.
86 Bdk. Gravissimum Educationis art. 2 dan 3. Lih. Gielen, Prof J., dan Prof S. Strasser, Ilmu
Mendidik, Yogyakarta: FKIP Sanata Dharma (Penerjemah), seluruh Bab I, khususnya, hlm.
4, hlm. 12, dst.
87 Arti kata ‘sukses, ‘produktif ’, ‘berhasil’ semakin sering diiklankan untuk memancing
orang memilih sesuatu lembaga sekolah atau kursus. Pada waktunya perlu diperjelas arti
terdalamnya: sukses atau produktif sekadar secara ekonomis atau politiskah ataukah juga
dengan memperhatikan segi etis dan moral. Muatan kata ‘pendidikan’ perlu dicermati.
56
hubungan kasih antara anak dan orang tua. Dalam kerangka ini dikatakan bahwa baik buruknya anak, sebagian besar bergantung pada pendidikan dari orang tua. Bantuan orang tua sangat diperlukan oleh setiap
anak saat mulai lahir sampai dewasa, jadi tidak ada kata terlambat atau
terlalu awal.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendidikan anak perlu menurut jalan yang baik dan benar, sehingga
di masa tuanya tidak akan menyimpang dari jalan yang benar.88 Namun,
makna ’baik’ dan ’buruk’ perlu setiap kali diperjelas, baik oleh si pribadi
maupun lingkungannya dalam suatu proses yang penuh dengan
keunikan individual. Sebab, sebagaimana terbentuknya secara isik,
setiap anak manusia secara keseluruhan tumbuh sedikit demi sedikit.
Perkembangan itu pun merupakan peristiwa majemuk yang amat kaya.
Sudah dari segi biologis, manusia menyempurnakan pembentukan
dirinya secara beraneka warna. Rambut dan kuku berkembang secara
berlainan dibandingkan dengan jantung dan hatinya. Otak dan syaraf
memiliki pola berbeda lagi. Pancaindra tumbuh secara berlain-lainan.
Sementara itu, perasaan merupakan bagian manusia yang akan
berkembang tanpa henti sepanjang hidup, bersamaan dengan akal
budi. Orang tua amat diperlukan oleh seorang manusia muda, agar
pertumbuhan badan dan kepribadiannya berlangsung sebaik mungkin. Langkah-langkah itulah yang terjadi dalam pendidikan ayah dan
ibu. Sebagai orang-orang yang memiliki pengalaman hidup, orang
tua mendidik anak-anaknya untuk dapat mengintegrasikan seluruh
perkembangan dirinya sehingga menjadi satu kesatuan. Khususnya
pada masa remaja dan menjelang dewasa89, orang tua amat diperlukan
mendampingi pendidikan anaknya. Setiap keluarga mengalami,
bahwa perkembangan pribadi-pribadi orang muda tidaklah seragam,
seakan-akan mirip proses pencetakan patung di pabrik. Setiap pribadi
88 Bdk. Doolittle Op.cit., hlm. 72-77, yang memperlihatkan lapisan-lapisan kebenaran dan
kebaikan.
89 Lih. Doolittle Op.cit, Bab 2 dan 3.
57
berinteraksi dengan lingkungannya secara sangat khas, sehingga
membentuk kepribadian yang khas pula.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Beriringan dengan pendidikan kejasmaniahannya, orang muda mengalami pula perkembangan
Integrasi Diri
perasaan.90 Ada dua hal penting yang terkait dengan
pendidikan perasaan manusia muda, yaitu (a) manusia
dipanggil untuk hidup dalam kebenaran dan kasih;
(b) setiap orang menemukan pemenuhan melalui pemberian diri
yang tulus. Jadi mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi
yang hidup. Yang terjadi, bukan hanya menciptakan hubungan yang
mendalam, tetapi juga membuat orang tua dan anak ikut ambil bagian
dalam kebenaran dan kasih. Orang tua dinantikan untuk memelihara,
melindungi, menumbuhkembangkan dan membantu anak mencapai
kedewasaannya.
Dari sudut pandang di atas, menjadi jelas bahwa keluarga merupakan
suatu ‘sekolah’ untuk memperkaya kemanusiaan. Keluarga mampu
mencapai kepenuhan hidup dan misinya diperlukan komunikasi perasaan
hati penuh kebaikan, kesepakatan suami istri, dan kerja sama orang tua
yang tekun. Suatu bentuk awal dari komunikasi perasaan dalam keluarga
dan masa kanak-kanak adalah permainan. Kementerian Pendidikan
Finlandia menempatkan permainan secara sentral dalam seluruh sistem
pendidikan, dengan dampak bahwa waktu untuk tatap muka dalam
pelajaran guru dan murid dikurangi. Namun studi mereka menemukan
bahwa dengan permainan, keleluasaan hidup murid mengembang pesat
dan pada gilirannya mempertinggi kecerdasan mereka. Guru lebih
berperan sebagai pendamping. Melalui pendampingan tersebut, anak
dibina sedemikian rupa sehingga kalau mereka sudah dewasa, mereka
mampu bertanggung jawab atas panggilan hidup mereka serta memilih
status hidup mereka. Proses tersebut mengandaikan bahwa orang tua
90 Lih. Gravissimum Educationis, a. 7, yang menekankan pendidikan utuh sampai ke lubuk hati
terdalam.
58
menyadari betapa pentingnya keluarga yg sungguh manusiawi secara
utuh.
Relasi orang tua dengan anak yang terjadi sepanjang hari, melampaui tanda-tanda indra, sampai ke lubuk hati yang paling dalam.
Dengan cara itu, ‘pelayanan pendidikan’ orang tua meresapi seluruh
kepribadian anak. Tanpa banyak mempelajari ilmu mendidik, kebanyakan orang tua membantu anak menuju kedewasaan isik, emosional, afektif, moral dan sosial, juga pembinaan akal budi. Proses itu
ternyata mengandung juga pemberian kebebasan pada anak untuk
mampu memilah dan memilih sendiri jalan guna berkembang91 dalam
menyadari, menggali, menemukan dan membangun kemampuan serta
sikap diri yang tepat, terhadap dirinya sendiri maupun bagi sesama.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dorongan kodrati orang tua untuk mendidik anak-anaknya membawa serta hak dan kewajiban untuk mendidik anak-anak yang bersifat
(a) hakiki karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusia, dan (b)
asal dan utama terhadap peran serta orang-orang lain dalam pendidikan,
karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orang tua dengan
anak-anak. Selain itu, hak dan kewajiban tersebut (c) tidak tergantikan
dan tidak dapat diambil alih, maka tidak dapat diserahkan sepenuhnya
kepada orang-orang lain.
Setiap pendidikan harus dilandasi oleh cinta kasih92
karena tidak ada bagian hidup orang dewasa, yang
Kasih dan
Studi
tidak dijiwai oleh cinta. Sejak awal mula, tiada tempat
yang lebih baik bagi cinta kasih sejati selain daripada
dalam rumah tangga. Keluarga dipersatukan dalam
ikatan cinta kasih yang sejati dan pengabdian kepada kehidupan secara
menyeluruh. Nantinya keluarga merupakan lingkungan pembinaan
yang pertama dan paling mendasar bagi hidup sosial yang lebih luas.
91 Bdk. Bergmann, Wolfgang, Laßt eure Kinder in Ruhe! (München: Kösel, 2011), hlm. 7-80.
92 Bdk. Bergmann, Op.cit., hlm. 44-50.
59
Pendidikan dalam keluarga menjangkau melampaui keterbatasan
sekolah dengan kelas-kelasnya. Sebab keluarga adalah suatu komunitas
kehidupan, baik terungkap jelas maupun dengan pelbagai macam
perlambangan. Dengan aneka bentuk, pendidikan dalam keluarga
berbuah baik di dalam keluarga sendiri, maupun di luarnya. Dengan
kata lain, pendidikan orang tua merupakan cara memperluas penyaluran
hidup: dari yang isik (biologis), meresapi perasaan (afektif), mewujud
dalam tindakan-tindakan, dan mengembang dalam aneka kreativitas
selanjutnya. Kelanjutan buah kehidupan itu tidak senantiasa dapat
dilihat segera, kadang diperlukan puluhan tahun dan beberapa generasi,
sampai buahnya benar masak.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Hal-hal mendesak dalam Pendidikan Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama, seorang manusia mengalami
dunia. Dalam keluarga itulah penciptaan menjadi kenyataan, yang
mulai dengan kesadaran tipis, namun berangsur-angsur menjadi lebih
jelas. Pengalaman perdana seorang bayi adalah pengalaman ‘hadir di
dunia’, yang belum bersifat personal tetapi masih nonpersonal. Darah
dan udara adalah bagian dunia, yang secara nyata dialami seseorang
pada kelahirannya. Namun sudah pada detik-detik pertama hidupnya
di dunia, seorang anak menerima pendidikan dari ibunda bahwa dunia
bukan hanya benda, yaitu udara dan darah, melainkan rekan manusia,
yaitu ibundanya sendiri.93 Intersubjektivitas, relasi dengan subjek
lain, sudah langsung dialaminya, ketika Ibu menunjukkan kasihnya
dengan pelbagai macam cara (pelukan, ciuman, dan sebagainya). Hal
itu dapat dilanjutkan oleh perilaku ayahanda dan anggota keluarga
lain. Kontak kodrati, yang dipelajarinya, mulai dengan tidak banyak
kesadaran, namun dalam waktu yang amat singkat, setiap anak mulai
melatih kecerdasan natural dan interpersonal-nya, yang kelak akan
93 Bdk. Bergmann, Op.cit., hlm. 81-116.
60
berkembang lebih lanjut. Ia mulai dengan menyadari intersubjektivitas
itu untuk dilanjutkan dengan pengetahuan sederhana mengenai lingkungannya. Demikianlah, tanpa banyak formalitas, pendidikan perdana
berlangsung. Bapak dan ibunya akan melanjutkan pendidikan itu
dengan pelbagai bentuk.
Perhatian orang tua menjadi bentuk-bentuk pertama tantangan
pendidikan seorang anak dalam kecerdasan kinestetiknya.94 Pada
tahun berikutnya, anak itu dididik untuk mengembangkan kecerdasan
linguistiknya secara sederhana. Kemudian aneka kecerdasan lain akan
mengikuti proses didik orang tua. Dengan demikian menjadi jelas,
betapa orang tua adalah pendidik perdana dan utama seorang manusia.
Melalui proses tersebut, bayi lambat laun menyadari diri sebagai
manusia dan tahu diri serta paham akan lingkungannya. Pada dasarnya
orang tua mendidiknya untuk menjadi manusia yang lebih utuh.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pada langkah berikut, orang tua membantu manusia muda ini
secara lebih sadar membangun interaksi dengan dunia dan sesamanya,
bahkan berbuat sesuatu bersama orang lain serta bagi sesamanya.
Dalam keluargalah relasi cinta kasih itu diwujudkan
secara lebih sadar dan tertata; betapa pun keluarga itu
Mendidik
sederhana. Manusia muda belajar ikut serta mengemManusia
bangkan suasana keluarga dengan kasih dan damai.
Pemanusiaan dalam kemandirian dan kebersamaan
itu adalah pendidikan dasar dalam hidup seseorang: mendahului segala
jenis pendidikan yang dapat diberikan oleh sekolah formal mana pun.
Bahkan, sekolah formal perlu melanjutkan dan mendukung dasar
pendidikan yang telah dibangun dalam keluarga. Pendidikan dasar
kekeluargaan itu merupakan bekal berharga bagi hidup setiap orang.
Dalam intersubjektivitas itulah seseorang akan mendapat kemungkinan
94 Bdk. Gunarsa Op.cit., terutama hlm. 73-85.
61
untuk mengenal dunia yang lebih luas, namun tetap dalam suasana
kekeluargaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendidikan menata hidup bersama dapat melengkapi dan menyempurnakan pendidikan dasar yang telah kita bahas.95 Tata hidup
bersama dapat saja berbentuk jadwal, disiplin, sopan santun, tata cara
dan ritual yang beraneka warna. Dalam pelbagai praksis kebersamaan
itulah seseorang memperoleh pendidikan baru, yaitu bahwa relasi
intersubjektif memerlukan tenggang rasa dan saling memberi justru
sebagai bentuk kepribadian manusia, bukan sebagai hal yang merugikan.
Lambat laun, orang belajar untuk mengenal pergaulan secara metodis
dan sistematis.
Pendidikan lebih lanjut dapat diberikan kepada seseorang, baik
dalam keluarga maupun di luarnya. Dalam pergaulan yang meluas
itu, lewat pendidikan formal maupun nonformal, seorang manusia
dibantu untuk hidup di tengah keluarga dan masyarakat, membentuk
pandangannya sendiri, penguasaan perasaan dan penentuan langkah
secara mandiri96. Membantu kemandirian anak dan arahan diri anak
untuk pemecahan masalah adalah bagian pendidikan yang tetap
dapat dilakukan oleh orang tua, langsung maupun tidak langsung,
ketika dunia luar keluarga lebih diterjuni. Pendidikan orang tua dapat
mengalami perkembangan, dalam arti berkurang secara isik dan lebih
mendalam secara akal budi. Orang tua dapat mendampingi orang muda
dalam memilah-milah masalah untuk kemudian memilih, manakah
yang paling baik bagi diri dan keluarga serta sesamanya. Dalam proses
itulah, ilmu dan keterampilan yang diperoleh dalam sekolah formal dan
pergaulan nonformal memperkaya pendewasaan seseorang.
95 Lih. Rautenberg, Werner dan Rüdiger Rogoll, Werde, der du werden kannst (Freiburg im Breisgau:
Herder, 2010), hlm. 11-30.
96 Lih. Rautenberg, Op.cit., hlm. 63-106.
62
Risiko Pendidikan
Salah satu hal yang membedakan manusia dari tetumbuhan dan
binatang adalah bahwa orang per orang dapat melakukan hal yang
dikehendakinya. Ia tidak harus melakukan sesuatu hal mengikuti dorongan spontan kodrat atau hal yang persis sama dengan orang lain.
Manusia mempunyai kehendak bebas. Pendidikan keluarga yang baik,
dapat membantu orang untuk mengambil pendapat, perasaan atau
langkah yang dianggapnya terbaik pada waktu tertentu. Kemampuan
untuk membangun kehendak adalah potensi yang memampukan
manusia untuk menjadikan segala tindakan dan buahnya merupakan
buah kreativitasnya, bukan sekadar warisan atau akibat mekanisme
kodrat. Dengan demikian, buah karya itu mempunyai sifat personal:
berwarna amat pribadi97.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari sisi lain, kemampuan itu dapat menghasilkan pikiran, perasaan, dan tindakan yang berbeda dari lingkungannya, dan tidak mustahil
disebut aneh. Sifat itu dapat berarti terlalu halus atau kasar, terlalu
rasional atau emosional, terlalu cepat atau lambat, terlalu kaku atau
sembarangan, terlalu bebas atau diorganisasikan, dan sebagainya.
Langkah seorang muda yang berbeda dari para leluhurnya juga dapat
merupakan langkah inovatif, yang memperkaya diri, keluarga dan
seluruh keluarganya. Pada lapisan ini, kita dapat berjumpa dengan
pembaru dunia.
Orang tua dipanggil untuk mendampingi agar generasi muda mampu
menggunakan pikiran, perasaan dan gerak langkahnya secara bertanggung jawab sehingga keputusan yang diambil, baik bagi dirinya
maupun sesama, sekaligus memperhatikan tradisi dan kreatif, mampu
menyusuri kemungkinan-kemungkinan baru bertumpu pada bekal yang
dimiliki. Kemampuan menjalankan discernment adalah bagian tidak
terpisahkan untuk diupayakan dalam setiap pendidikan dari yang paling
97 Lih. Rautenberg, Op.cit., hlm. 237-287.
63
sederhana sampai yang paling canggih. Pendidikan orang tua membantu
seseorang untuk memperhatikan sekeliling dalam mengambil keputusan
untuk memilih pakaian, makanan atau minuman, bahkan untuk duduk
dan berbaring atau memilih menutup atau membuka mata.
Pendidikan Transenden
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kemampuan untuk memadukan penyadaran makna masa silam,
realisasi masa kini dan ide masa depan adalah sifat manusia yang
mampu mengatasi realitas dirinya dengan situasi dan kondisinya.
Manusia mampu men-transenden diri. Kemampuan mendeteksi benda
di sekitarnya sejak kecil, mengenali nama benda dan menyebut individuindividu yang berkontak dengan seseorang adalah ungkapan transenden:
orang dapat melampaui individualitas barang atau manusia sampai
mendapatkan sebutan general dari hal-hal serupa: membedakan telur
satu yang dipegangnya dari telur lain dengan sekaligus juga menemukan
kesamaannya; menyebut warna hijau suatu daun singkong segar dan
sekaligus juga menamakan daun singkong lain yang sudah cokelat
karena kering. Bahasa adalah sarana-didik penting untuk membangun
kesadaran dan pengetahuan tentang transenden manusia.98
Mengenali panas-dingin, manis-pahit, enak-sakit adalah bentuk lain kesadaran manusia akan kemampuan transendennya. Menyibukkan diri dengan boneka berikut nama-manisnya dan main
rumah-rumahan dengan kakak serta pasar-pasaran adalah latihanlatihan transenden. Orang tua mengembangkan transenden generasi
muda, ketika mengajari membaca, menulis dan berhitung. Sebab di
dalamnya, manusia baru mengenali perluasan cakrawala bayangan dan
perasaan serta pemikiran, yang jauh melampaui yang dilihat, sentuh,
rasa dan pikirkan maupun lakukan sendiri.
98 Lih. Buetow, Op.cit., hlm. 96-134.
64
Pada gilirannya, pengenalan sesuatu ilmu, yang membawa transenden metodis dan sistematis atas suatu perkara, akan diperluas
lagi dengan perjumpaan lintas-disiplin-ilmu. Cara
berpikir ilmu sastra ditemukan oleh seorang murid
Mendidik
berlainan dengan cara berpikir ilmu kimia dan biologi
Transenden
atau matematika. Transenden dapat tumbuh lebih
lanjut ketika seseorang berkenalan dengan ilsafat dan
teologi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari sudut ilsafat, orang tua dapat mendidik orang muda untuk
mendalami hakikat manusia: mengatasi segala gejala kemanusiaan
harian.99 Proses pendidikan itu menolong orang untuk mengerti, bahwa
dibalik ketaatan pada keharusan antre, menaati aturan lalu lintas,
setia pada janji jual-beli, membayar pajak dan kesediaan menanggung
hukuman pidana, tersimpan hakikat hidup bersama, kepentingan hidup
bersama, makna kesetiaan dan juga hakikat hidup sosial, keadilan dan
‘bonum commune’, sampai dengan relasinya dengan alam-semesta.
Dari penyadaran itu, pendidikan awal dalam keluarga sudah dapat
mendidik orang untuk mengerti hakikat manusia dan sosialitas serta
arti alam bagi dirinya. Pengenalan relasi personal dengan transenden
tersebut dapat mendidik orang muda sampai pada lapisan moral dan
iman, ketika orang tua memperkenalkan seseorang dengan syair mulia,
ritus, dan doa. Dalam taraf itu, orang tua mempertemukan anak dengan
Yang Adikodrati, ya Allah sendiri.
Orang Tua Belajar mengerti Kodrat Anak
Interaksi pendidikan antara orang tua dan anak membawa
pendidikan sepanjang hidup kepada orang tua.100 Sebab proses99 Bdk. Sastrapratedja, M., SJ., Pendidikan sebagai Humanisasi (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat
dan Pancasila, 2013), khususnya Bab 1.
100 Lih. Kelley, W. Michael, Rookie Teaching for Dummies (Hoboken: Willey Publishing, 2003), hlm.
217-236.
65
http://facebook.com/indonesiapustaka
didik adalah dialog101; mungkin malah perjumpaan ’multi-subjek’,
mengingat bahwa setiap keluarga merupakan komunitas yang majemuk.
Kekhususan setiap pribadi, ya orang tua, ya anak, membawa serta
pengalaman dan pengertian mengenai majemuknya pihak orang tua
dan majemuknya proses didik. Orang tua yang masih muda juga belajar
menangkap, betapa beranekanya kodrat pihak orang tua maupun anak
satu per satu. Langkah demi langkah orang tua mengalami dan mengerti
aneka sifat pasangannya dalam berinteraksi dengan anak serta pelbagai
kepentingan psikologis relasi-relasi kekeluargaan. Langkah-langkah
parenting102 melingkupi keperluan untuk ’menjadi orang tua yang terusmenerus belajar’: belajar mengenali medan didik dan mengenali partner
didik serta setiap anaknya. Keterbukaan pada hal baru dalam setiap
pribadi dalam proses didik akan membuat orang tua berpikir, melangkah
secara bijaksana, dan penuh pengertian. Dengan sikap
tersebut, orang tua belajar untuk mengetahui sikap apa
anakku
yang harus diambil untuk menghadapi berbagai macam
Beraneka
tingkah laku anak yang dinamis, mengatasi persoalan
yang timbul antara orang tua dan anak.
’Parenting’ membuka banyak peluang untuk menemukan titik temu
antara orang tua yang mengasuh anaknya, serta cara mendampingi
anak dengan pengertian dan kasih sayang. Prosesnya sejak anak masih
bayi; bahkan ada yang meneliti dan mengatakan sejak anak dalam
kandungan. Jejak-jejak perlakuan (baca ’pendidikan’) orang tua sering
kali terbawa sampai jauh ke usia lanjut. ’Pendidikan yang berwarna
positif’ mendampingi seseorang sampai menjadi orang dewasa sehat,
sedangkan ’pendidikan yang berwarna negatif’ memengaruhi orang
menjadi penuh luka batin dan trauma yang dapat amat berat.
101 Bdk. Sastrapratedja Op.cit., khususnya Bab 2. Di sana juga ditelaah pelbagai teori
pendidikan.
102 “Menjadi orang tua”, yakni suatu proses yang mengandung lapisan biologis, psikologis, budaya
dan rohani. Pendalaman mengenai ‘menjadi orang tua’ merupakan hal yang dapat dilakukan
melalui pendidikan khusus, tetapi sudah termaktub dalam naluri kodrati setiap orang tua.
Bdk. Gunarsa, Op.cit., terutama hlm. 87-96.
66
Sesungguhnya, dalam proses mendidik, orang tua terus-menerus
mendampingi seseorang untuk ’mendengarkan pesan orang lain’ dan
sekaligus juga ’memilah untuk memilih pikiran, perasaan, dan tindakan
yang diputuskannya sendiri’. Anak mempunyai kepribadiannya sendiri,
yang dibantu oleh pendidikan orang tua agar mengintegrasikan ’kemampuan mendengarkan’ dengan ’kemampuan terbang mengejar
cita-citanya sendiri, yang mungkin jauh melampaui orang tuanya’.
’Transenden voluntatif’ itu merupakan harta berharga bagi si pribadi
dan seluruh keluarga serta masyarakat. Sesungguhnya, transenden
voluntatif tersebut merupakan pengarah dasar untuk hasrat akan pendidikan yang berkesinambungan.
Kalau proses ’mendengarkan’ adalah proses pertumbuhan manusia
pada umumnya, maka ’parenting’ yang terdalam adalah mendampingi
orang muda, untuk mampu ’mendengarkan transenden’.103 Dengan
demikian, ’parenting sejati’ mengalihkan perhatian pribadi yang ’dididik’
dari dirinya kepada Dia, orang tua utama kita.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendidikan Iman
Sering kali orang menyamakan ‘pendidikan iman’ dengan mengolah
ajaran agama dan pelaksanaan ketakwaan dalam mengerjakan
tradisi keagamaan tertentu.104 Tidak sedikit yang menyamaratakan
‘pendidikan iman’ dengan ‘pelatihan menjalankan ritual keagamaan’.
Tentu saja pelaksanaan ritual beragama merupakan bagian hidup
beragama, namun hidup beragama jauh lebih luas dan mendalam
daripada mempraktikkan ritus beragama, sebab di dalamnya tercakup
103 Angela Merici adalah pendidik Italia yang mendirikan Ordo Santa Ursula, yang ada di
Indonesia, Italia, Perancis, Jerman, Austria, Kanada, USA, hailand, dan belasan negara
lain melayani dunia pendidikan. Secara tepat, dalam nasihatnya yang pertama, Angela
Merici mengorientasikan anak buahnya untuk menjadi ibu, yang mendorong anak-anaknya
mengarahkan hidup kepada Tuhan. Ibu yang baik melaksanakan tugas ‘mengasuh’ ke arah
‘Orang Tua Perdana’, yakni Allah Sang Bapa Utama.
104 Lih. Buetow, Op.cit., hlm. 139-174.
67
http://facebook.com/indonesiapustaka
doa pribadi yang mengungkapkan relasi batin manusia dengan Allah,
termuat juga pengolahan batin secara rendah hati di hadapan Allah,
perwujudan hidup bermoral yang menerjemahkan iman dalam perilaku
bertanggung jawab orang ber-Tuhan (jangan sampai secara tersembunyi
menyingkirkan Tuhan dan digantikan dengan nafsu kuasa pemuka
agama). Sangat mungkin, bahwa pendidikan iman mencakup juga
semuanya itu. Tetapi, kalau kita mencermati baik-baik proses didik
antara orang tua dan anak sekitar ‘pendidikan tentang Allah’, lebih
tepatlah kalau sejak dalam keluarga, pendidikan iman perlu menggapai
ke perjumpaan seorang pribadi dengan Allah yang transenden, yang semakin
lama semakin mesra.
Relasi dengan Yang Mahaagung itu hanya mungkin terjadi, apabila
sejak awal orang tua memberikan teladan bagi anak untuk secara positif
dan rendah hati menghadap Tuhan.105 Artinya, misalnya menggantikan
ancaman hukuman dengan janji kasih, mengubah lukisan malapetaka
dengan aneka tanda cinta. Dengan demikian, anak tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan kasih sayang yang transenden, diperkuat
oleh kesetiaan melakukan latihan rohani terus-menerus secara positif,
bukannya ancaman neraka atau hukuman. Dampak ancaman hukuman
rohani dapat merambat tidak hanya pada terciptanya rasa takut anak
selanjutnya, tetapi juga menciptakan gambaran Allah yang kejam dan
haus akan penghukuman. Cara tersebut akan melahirkan generasi, yang
kehilangan gambar Allah Yang Maharahim, menebalkan lukisan Tuhan
pendendam, menyuburkan gambar neraka di mana-mana, memperalat
Yang Mahakuasa sebagai sarana politis pemuka agama yang lapar
kekerasan politis dengan menyalahgunakan agama sebagai senjata
perebutan kekuasaan. Sebaliknya, semua agama nyatanya mewartakan
Allah yang membagikan cinta dan perdamaian.
105 Bdk. Die bildende Kraft des Religionsunterrichts: Surat resmi uskup Katolik Jerman, 27
September 1996, terutama hlm. 21-25.
68
http://facebook.com/indonesiapustaka
Cara tersebut dapat menciptakan rasa aman orang
yang dididik dalam suasana positif demikian dapatlah
Pendidikan
Iman
memandang hidup dari segi terang. Hidup dilihat sebagai karunia yang membawa kegembiraan. Ia akan
menjadi seseorang dengan rasa aman masuk ke dunia,
mendekati sesama dengan penuh harapan, serta menyongsong masa
depan penuh harapan, karena mengimani bahwa Allah mendengar
dan melihat segala jejak langkahnya. Orang seperti itu akan hidup
dengan menyingkirkan rasa takut sehingga menjadi kreatif dalam
pergaulan maupun pekerjaan. Pendidikan positif juga menciptakan
generasi yang suka damai karena tidak dibebani oleh rasa curiga di
mana pun. Keluarga dan masyarakat diliputi kehangatan karenanya.
Di dalamnya, orang mudah menciptakan komunikasi yang baik dan
terbuka, dengan dasar saling percaya. Secara amat dini, setiap murid
perlu dibantu untuk tumbuh dan berkembang dalam belajar, dengan
cara memandang secara positif pada dirinya sendiri, sesama dan alam
semesta serta kepada Yang Mahaagung:106 jangan sampai dibiasakan
anak merasa diancam oleh banyak hakim, -pada orang tua, sesama,
pendidik-, bahkan Tuhan sendiri.
Untuk pendidikan yang positif diperlukan beberapa cara berkomunikasi yang sungguh membuat semua peserta komunikasi merasa
dapat menyampaikan perasaan atau pemikirannya secara bebas dan
jelas.107 Suasana itu hanya mungkin terbentuk kalau yang bersangkutan
tidak takut, curiga, hatinya merasa tertekan, atau pikirannya dipaksa.
Terutama pihak ‘yang lebih tua atau berkuasa’ perlu memberi suasana
terbuka dan membesarkan hati. Dalam pendidikan, orang yang lebih
muda sesekali membutuhkan pujian yang tepat pada waktunya secara
tulus. Namun, suatu peringatan yang tegas dengan penuh kasih sayang
106 Lih. Noorlaila, Iva, S.Pd., Panduan Lengkap Mengajar PAUD (Yogyakarta: Pinus, 2010),
khususnya hlm. 77-92.
107 Lih. Naisaban, Ladislaus, Psikologi Jung (Jakarta: Grasindo), hlm. 77-89.
69
dapat pula menciptakan relasi yang membaik. Ketulusan terbit apabila
disediakan waktu dan hati untuk menjadi dewasa secara sehat.
Orang-orang dewasa dapat bersama belajar membangun persekutuan yang saling mendidik supaya cinta kasih mewujud tidak
hanya sebagai simbol-simbol artistik, melainkan menjadi manusiamanusia dan persekutuan-persekutuan yang hidup, orang-orang yang
berinteraksi dalam cinta dan optimisme. Cinta dan optimisme itulah
yang terus-menerus membarui kemanusiaan. Dalam pembaruan tanpa
henti itulah alam semesta tumbuh; dan manusia di dalamnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Releksi
70
1.
Dapatkah Anda ingat, peristiwa membahagiakan dalam perjalanan
orang tua selama mendidik Anda?
2.
Ingatlah peristiwa-peristiwa yang Anda nilai negatif ketika Anda
mendidik orang yang lebih muda?
3.
Apakah ada pribadi-pribadi lain yang Anda kenang sebagai salah
satu pendidik yang memikat dalam pertumbuhan kepribadian
Anda?
4.
Apakah ada gejala-gejala dalam masyarakat sekarang yang menunjukkan kelemahan pendidikan keluarga? Lalu apakah ada yang
memperlihatkan kekuatan baru dalam pendidikan keluarga?
5.
Apakah ada gejala-gejala yang dapat disebut sebagai petunjuk
adanya ‘paternalisme atau maternalisme’ dalam rangkaian pendidikan masyarakat kita?
Sikap Didik
Bila kau mencari pendidik,
Carilah yang berisi dan bijak
(Wedatama)
http://facebook.com/indonesiapustaka
Orang Tua di Awal
Darno dan Darni108 masuk Jakarta penuh tekad walau tanpa bekal
materiel yang memadai. Mereka meninggalkan ‘keluarga besar’ mereka
di Gisting, Lampung karena bermimpi mempunyai cucu yang sehat
dan bersemangat. Kepindahan mereka ke Jakarta membawa si Orok,
Dita. Bayi, buah cinta mereka tidak amat gemuk, tetapi jelas sehat.
Setiap hari, si ibu muda ini tanpa lelah melatih anaknya mengucapkan
papa-papa dan mama-mama, sampai suatu ketika gadis kecil itu
benar-benar menarik-narik baju ibunya dengan berseru ‘Mama’. Si ibu
merasa diangkat ke surga. Darno tidak kalah rajin menuntun anaknya
keluar masuk ‘rumah karton’ mereka. Mereka terkejut ketika suatu
saat, di pagi hari perut si bapak diinjak anaknya. Bukannya marah,
mereka senang sekali, karena anak mereka mulai belajar merangkak.
Seterusnya, mereka mendidik Dita dengan menyodorkan bubur dan
kemudian juga menyuapkan sendokan pisang. Setiap selesai makan,
Dini diajari mengucapkan ‘terima kasih’ seraya mencium bapak-ibunya.
Tidak banyak caranya, tetapi perlahan-lahan mereka menikmati dalam
mendidik Dita menjadi anak yang sehat dan periang. Mereka menjadi
108 Dua nama ini biasa di kampung mereka.
71
‘pelaku-didik’.109 Dalam pelaksanaannya, mereka mempunyai ‘sikap
didik’ yang mereka telusuri dari kodrat mereka sebagai bapak-ibu. Sikap
mereka hanyalah mau mengikuti gerak langkah anak, sejauh diperlukan
mereka dapat mendorong anaknya maju sedikit demi sedikit, secara
biologis, isik, psikologis dan mengembangkan perasaan, nalar dan
kegiatan hariannya. Lebih dari itu, mereka tidak merasa mampu, walau
di sekitarnya ada banyak orang yang dapat dimintai nasihat. Tentulah
mereka sudah memikirkan sekolah, tempat anaknya dapat melanjutkan
pendidikan.
Sikap Didik
http://facebook.com/indonesiapustaka
Hampir setiap orang tua, seperti Darno dan Darni ingin bahwa
anaknya menjadi orang baik. Ketika mereka menyerahkan anak ke
sekolah maka keinginan utamanya adalah agar anak itu ‘menjadi orang’;
mereka akan lebih bersyukur kalau anak itu menjadi pandai, apalagi
kalau mudah mencari pekerjaan110. Namun sekali lagi pada akhirnya
sekolah mau dipandang sebagai sarana oleh para orang tua agar seorang
anak ‘menjadi manusia yang baik’ panggilan yang diembannya sejak
bayi dilahirkan.
Manusia dapat dilihat sampai ke segi hakikat-terdalam-nya,
walaupun tentu saja dapat pula ditelaah dari sudut pengalaman hidupnya.
Hidup manusia ditandai oleh pembawaannya, keluarganya, dan sejarah
hidupnya yang pertama pada waktu ia masih kecil. Hal itu membedakan
manusia dari hewan, ia secara tahu dan mau memilih untuk melangkah
ke kiri atau ke kanan, menerima atau menolak makanan, segera tidur
atau bangun. Itulah sebabnya orang menyebut manusia sebagai ‘animal
109 Arthur, James dan Richard Bailey, Schools and Community (London-New York: Falmer Press,
2000), hlm. 27, dst.
110 Bdk. Pudjohartono, Drs. homas Sugiarto, M.T. Penilaian untuk Apa dan untuk Siapa? dalam
Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,
2017), Op.cit., hlm. 191.
72
rationale’. Ia dapat mengenali makanan dan minuman, mencintai si
pemberi makan yakni ibu atau bapaknya, menikmati belaian sayang
atau menolak makanan tertentu, dan sebagainya. Sejak kecil, seseorang
belajar mengambil keputusan, sendiri maupun bersama orang lain.
Sikap didik dikehendaki juga oleh mereka, yang mendirikan suatu
persekutuan di Sumatra Barat pada tahun 1909 dan direvisi tahun 1926
serta kemudian mengambil nama ADABIAH. Muridnya kebanyakan
muslim, tetapi waktu itu tersedia tempat didik bagi murid yang
beragama lain. Mereka menawarkan kepada para orang tua murid, 5
pilar, yang menopang sekolah-sekolah mereka, yaitu:
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ke-Islaman,
Kebangsaan,
Disiplin,
Keprofesionalan,
Kekeluargaan.111
Pilar-pilar ini dijaga baik-baik dan dianut hingga tahun 2016,
ketika para guru berjumpa dengan pengasuh yayasan ini di Padang,
pusat hidup mereka. Tampak sekali bahwa mereka berhasrat menjadi
pendidik-pendidik yang bertanggung jawab: dari satu
sisi menjunjung tinggi tradisi pendidikan Minangkabau,
aneka Sikap
dari sisi lain terbuka pada tuntutan ‘zaman baru’. Secara
Didik
profesional, mereka mempertimbangkan pelbagai sisi
berharga dari masa silam dan masa kini serta masa
depan.112
Berangsur-angsur mereka semakin mau tahu dan sadar akan
kemauannya melangkah secara bertanggung jawab. Dalam pendirian
111 Lih. Keadabiahan, Padang: YSO Adabiah, 2013, hlm. 9 dst.
112 Asnan, Gusti dan Nopriyasman serta Syafrizal (Penyunting), Adabiah: Perintis Pendidikan
Modern di Sumatra Barat (Padang: Penerbit Ombak, 2013). Dibahas dalam buku ini “Pendidikan
mereka di masa silam” (Bab 2, 3, 4); Pendidikan mereka di masa kontemporer (Bab 5). Dalam
penutup mereka membuka diri ke masa depan.
73
mereka itu, bergemalah pendirian banyak pendidik di seluruh dunia:
dengan bertanggung jawab mendampingi para murid untuk menjadi
manusia dewasa yang bijaksana. Semua pendidik bernalar sadar bahwa
diperlukan waktu bertahun-tahun dan banyak tahap untuk membantu
agar orang muda menjadi dewasa dan bijaksana.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Jean Piaget (1896–1980), seorang pendidik, sudah lama membahas
kemampuan manusia untuk menangkap kondisinya dan bahan-bahan
pengambilan keputusan yang dibutuhkannya, sebagai unsur hidup yang
merupakan bagian penting dalam pertumbuhan hidupnya. Ternyata di
setiap tahap hidup, manusia menghadapi tantangan secara berlainan
untuk memastikan dan mewujudkan kehendaknya. Oleh sebab itu,
pendidikan anak berlainan dengan cara didik remaja dan pemuda,
apalagi pendampingan orang dewasa.113 Dari sisi ini pun, ada yang
dilakukan secara individual maupun secara komunal.
Apabila seseorang bersekolah dan memperluas lingkungan pergaulannya, maka sekolah dan lingkungan kawan-sebayanya memberi
pengaruh besar pada pembentukan kepribadiannya.114 Kalau ia sudah
bekerja, lingkungan dan jenis pekerjaan itulah yang memberi ciri
mendalam pada hidup dan seluruh sikapnya. Akhir-akhir ini, teknologi
merambah ke segala bidang studi dan jenis pekerjaan sehingga
kemanusiaan berkembang. Namun dapat terbuka pula kemungkinan
bahwa diam-diam manusia diajari dan belajar untuk sangat dikuasai
oleh benda-benda dan sistem kerja yang sebenarnya diciptakan
oleh manusia sendiri.115 Kalau demikian, orang semakin ditipiskan
kemanusiaannya.
113 Dari studi itu dikembangkan secara khusus “Adult Education= Erwachsenen Bildung”:
pendidikan orang dewasa yang memerlukan telaah khusus. Lihat: Piaget, J. (1935/1970).
he origin of intelligence in the child. London: RKP. Piattelli-Palmarini, M. (red.). (1980)
114 Bdk. Adiyanti, Dr. M.G., M.S., Peran Lembaga Pendidikan Katolik dalam Membangun Kepekaan
Emosi dan Sosial Anak dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 125-139.
115 Bdk. Ruwanto, Bambang, M.S. Sains dan Pendidikan Karakter dalam Suparno, Paul, dkk.,
Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit.,
hlm. 143-152.
74
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari sisi profesinya, kalau tuntutan hidup pribadi dan hidup
berkeluarga memberi desakan agar orang menyibuki pekerjaannya
sedemikian sehingga memberi warna kuat pada dirinya maka manusia
kerap kali dicekam hampir oleh seluruh profesinya. Maka, manusia
membutuhkan sikap hidup dan sikap tepat terhadap peker jaan116
supaya ia tidak kehilangan kemanusiaannya dengan bekerja. Dalam
profesi-nya itu ia seyogianya justru dibantu untuk menjadi semakin
manusiawi. Tanggung jawab dalam hidup itu semakin tampak dalam
orang yang mengambil profesi sebagai pendidik, karena ia secara sadar
terus-menerus mempersiapkan diri dengan sistematis dan metodis
supaya nantinya dapat berinteraksi dengan sesama, yang dibantunya
untuk selangkah demi selangkah mengembangkan kemanusiaannya.
Dengan demikian, jelas bahwa lingkup pendidikan sangatlah luas. Titik
awalnya dimulai oleh interaksi manusia muda dengan orang tuanya:
pendidik perdananya; dilanjutkan melalui tahap-tahap pendidikan
lanjutan. Dalam lingkup-lingkup itu, perkembangan sikap etisnya
mengambil tempat penting, baik secara perseorangan maupun dalam
lingkup kebersamaan.117
Pelbagai pengalaman mengambil keputusan di dunia sekolah
sangatlah dibantu oleh para pembimbing118. Dalam lembaga didik,
perlahan-lahan orang muda dikondisikan untuk semakin mampu
sendirian memperhitungkan banyak faktor dalam pengambilan
keputusan. Sesudah masuk dunia kerja, orang kadang dikepung
dan diresapi oleh banyak faktor, baik dari dirinya sendiri, keluarga,
lingkungan kerja maupun masyarakat luas. Dari penyelenggara kerja,
orang memperoleh banyak batasan untuk mengambil keputusan.
116 Bdk. Tjio, Dedy, S.Pd., Pendidikan Entrepreneurship di SMP Santa Ursula, Menjawab Kebutuhan
Masyarakat Kota Bandung dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 267-276.
117 Pokok-pokok bahasan selanjutnya perlu menyentuh etika, profesi, pendidikan, pendidik,
mengajar, manusia, hidup, dan sekolah.
118 Bdk. Priyani, Dra. M.J. Retno, M.Si., Peran Lembaga Pendidikan Katolik dalam Pendampingan
Cura Personalis Murid dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit, hlm. 203-214.
75
Sementara itu, orang yang bertanggung jawab di tengah lingkungan
kerja perlu menciptakan struktur kerja yang menyebabkan pemasaran
produknya semakin membaik, tanpa terlampau digantungkan kepada
perasaan dan situasi orang per orang. Pada gilirannya, pekerjaan dapat
menciptakan situasi dan kondisi yang ‘mau tidak mau’ harus di-‘layani’
sehingga jadwal kerja dan sasaran kerja terpenuhi sebaik mungkin.
‘Paksaan program’ dapat menjadi sedemikian tinggi sehingga si manusia
sebagai manusia dapat tertepikan.119
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dalam kerangka ini, perlulah seorang yang mengajar
Sikap Etis
mampu menghayati perannya secara etis. Kita tidak perlu
masuk ke dalam pembahasan etika secara utuh, tetapi
perlu mengenalinya demi kepentingan pengertian
pendidikan. ‘Nemo dat quod non habet’ = Tidak seorang
pun memberikan apa yang tidak dimilikinya, artinya di sini seorang
guru hanya dapat memberikan pendidikan watak dan etika, apabila
dia sendiri memiliki watak dan etika yang baik.
Dengan etika, orang mau memahami baik dan buruknya perbuatan
seseorang, yang bertindak sesuai dengan kemerdekaan batinnya.
Dalam proses itu orang menggunakan akal budinya sehingga baik atau
kurang baik tindakannya, sungguh dapat diputuskannya secara bebas
dan rasional. Hanya dengan kondisi itulah keputusannya bertumpu
pada nilai-nilai kemanusiaan, yang hendaknya juga sesuai dengan
norma masyarakat yang dihayatinya. Dengan demikian etika sering
disebut sebagai ilmu mengenai perilaku manusiawi, secara individu dalam
119 Kondisi masyarakat tersebut membuat para tamatan Lembaga Pendidikan disebut “menjadi
Sumber Daya Manusia”: sebutan yang bermuatan masalah besar. Sebab, ‘manusia ini
dididik dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab, tetapi hanya dipasang dalam struktur
masyarakat sejajar dengan sumber daya alam’: kadang dikatakan bahwa ‘harta paling berharga
dalam perusahaan’, tetapi rupanya sering kali memang tetap ‘sekadar harta’ sehingga apabila
ada perkembangan, manusia ini kerap dikalahkan dalam otomatisasi perusahaan dan apabila
perusahaan sudah berkembang, namun menghadapi masalah politik atau ekonomi, buruh
juga yang paling cepat ditanggalkan. Dalam keprihatinan itulah, seorang Menteri Pendidikan
pernah mengarahkan agar sekolah memperhatikan ‘link and match’ dengan perusahaan, artinya
‘mengabdi dunia ekonomi’ (bukannya ‘sebaliknya’).
76
http://facebook.com/indonesiapustaka
kesatuan dengan komunitasnya. Baik buruknya tindakan seseorang
sering dikatakan sekelompok orang, erat berkaitan dengan tujuannya.
Dalam ungkapan Yunani dikatakan bahwa dengan demikian, orang
yang bersangkutan menggunakan etika teleologis. Dengan demikian,
suatu keputusan atau tindakan disebut baik, apabila dilakukan karena
tujuannya baik. Namun juga ada orang-orang yang mengambil keputusan
etis, bukan mengingat tujuannya (baik atau buruk), melainkan karena
diwajibkan. Tindakan seperti itu menggunakan etika deontologis. Dengan
demikian suatu tindakan baik karena sesuai dengan kewajiban.
Etika profesi mau membantu sedemikian sehingga semua yang
bersangkutan dapat menjadi semakin manusiawi karena nilai dasar
kemanusiaan yang dikembangkan di situ. Etika perlu menjiwai lingkungan
kerja seseorang yang berprofesi sebagai pendidik, meliputi dirinya
sendiri, para rekan sekerja, para murid, siapa pun saja yang mendukung
profesinya sebagai pendidik maupun segala pranata dan sarana kerja
yang seharusnya membantu profesinya. Yang bertanggung jawab atas
lingkungan kerja seperti itu di alam modern tidak hanya para guru
sendiri, para pengurus yayasan atau pegawai Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, melainkan juga pengusaha dan pekerja, pemerintah
dan semua yang tersangkut. Mereka semua adalah ‘pemangku kepentingan’
(stakeholder) pada orang-orang itulah persekolahan memercayakan
manusia-manusia yang dididik. Hal itu berarti bahwa semua orang
itu (termasuk petugas pemerintah) mempunyai tanggung jawab
besar untuk menata hidup bersama supaya mencapai pembangunan
seluruh manusia dan seluruh masyarakat. Baik buruknya tindakan
mendidik, dapat dinilai dengan melihat, apakah sesuatu bertujuan
baik atau sesuatu diwajibkan secara baik. Lalu pelbagai langkah didik
membutuhkan tinjauan yang cermat, untuk dapat dinilai, apakah baik
atau kurang baik. Tampaklah, bahwa baik atau buruknya etika pendidik
bukan dihitung dari sertiikat dan tumpukan formulir yang berhasil
diserahkannya ke Sekretariat Kementerian dan Kebudayaan, melainkan
77
dari kesesuaian tindakan mendidiknya dengan tujuan pendidikan dan
kewajiban yang mendasari langkahnya.
Dengan demikian, etika profesi pendidik sesungguhnya tidaklah hanya
menyentuh guru dan orang-orang di sekolah, melainkan kalangan luas di
‘sekitar dunia persekolahan’120: cakrawala pendidikan yang hampir tanpa
batas dan menuntut pertimbangan etis yang teliti. Sementara itu, profesi
perlu dipahami dengan tepat.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Profesi
Saat ini, Indonesia sedang menapaki pangkal abad ke-21, yang
akan semakin memperkayanya dengan aneka profesi, yaitu suatu jenis
pekerjaan tetap di tengah masyarakatnya, yang dipilih orang untuk
mengabdi sesama secara baik dan memenuhi kebutuhan manusiawinya
serta disiapkan sepenuh hati121. Kita harus menyediakan diri, memilih
dan menjalankan profesi itu dengan sadar dan bertanggung jawab,
kalau mau hidup secara manusiawi dengan memanfaatkan hidup dan
bakat serta waktu kita dengan sebaik mungkin. Apalagi kalau kita
mau benar-benar berfungsi dalam keluarga, masyarakat dan jemaat.
Melaksanakan profesi dengan baik, itu melampaui pelaksanaan praktis
administratif, tetapi juga sampai pewarnaan etisnya: melampaui
kepentingan-kepentingan ekonomis dan politisnya. Dalam memilih
dan menjalankan profesi, kita dipanggil untuk mengaktualisasikan diri
secara manusiawi dan mengambil peran positif dalam pembentukan
kehidupan bersama seraya mengembangkan alam semesta. Panggilan
itu menonjolkan pentingnya etika profesi.
Sejauh ini tentulah jelas bahwa untuk pendalamannya diperlukan
bantuan etika yang dalam arti luas mencakup seluruh norma dan pe120 Lihatlah alinea 1 di awal tulisan ini.
121 Bdk. Buku Koehn, Daryl “Landasan Etika Profesi” dalam daftar bacaan.
78
http://facebook.com/indonesiapustaka
nilaian yang dipergunakan oleh suatu masyarakat guna menata anggotaanggotanya agar hidup sebagai pribadi maupun dalam kebersamaannya,
bahkan dalam kaitannya dengan seluruh alam semesta122. Etika dapat
membantu manusia mempertanggungjawabkan pandangan-pandangan
moralnya. Dalam hal ini untuk menilai, cara kita memilih dan menjalankan
profesi. Apalagi kalau pilihan kita masuk pada tindakan mendidik123,
yang sudah kita catat mengandung banyak faktor dan kerangka tindakan serta lapisan penghayatannya.
Dari sudut lain, profesi mempunyai banyak arti.
Sesungguhnya profesi berasal dari bahasa Latin proProfesi
fessio,- yang berakar pada pro-fateor. Kata kerja profateor berarti ‘berbicara dan mengakui di depan umum’.
‘Pengakuan di depan umum’ bermaksud menunjuk
pada cara dan sikap orang untuk berbicara pada ‘publik’ yang dianggap
sesuai dengan pengertian ‘publik’. Oleh sebab itu, profesi yang berkaitan
dengan ‘janji publik’ sering dikaitkan dengan ‘pemahaman publik’. Dalam
arti itu, profesi perlu dihargai sungguh: sebagai “suatu tekad batin dan
tindakan bertanggung jawab, yang dijanjikan secara terbuka di depan umum,
dengan Tuhan sebagai saksi”. Dalam konteks terakhir ini, sifat profesional
bukan tercakup dalam pengertian teknis, melainkan ‘ungkapan tekad
batin’. Oleh sebab itu, semua profesi mempunyai ‘pengertian yang diakui
umum’ dengan aneka ‘ketentuannya’. Ketentuan itu dapat berhubungan
dengan syarat: syarat sosial, syarat akademis maupun syarat moral.
Seseorang disebut bersifat atau bersikap ‘profesional’, apabila sesuai
dengan syarat sosial, syarat akademis maupun syarat moral.124
122 Bdk. Magniz Suseno, Frans, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius).
123 Salah satu bentuk etika yang penting bagi pendidikan adalah sifat edukatif justru tampak
kalau orang tua, guru atau pendidik mana pun sesekali berani mengakui kekurangan dan
memperbaikinya. Murid amat terbantu dengannya. Berbuat salah dan mengoreksinya adalah
bagian dari dinamika pendidikan. Lih. Schmidbauer, Wolfgang, Wenn Helfer Fehler machen:
Rowohlt, Reinek bei Hamburg, 1997, terutama Bab 22: “Ein Modell von Hilfe und Mißbrauch
in Beziehungan”.
124 Bdk. Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21,
Magelang: Tera Indonesia, 1998, hlm. 64 dst. Juga Olssen, Mark dan John Codd dan Anne-
79
http://facebook.com/indonesiapustaka
Profesi ‘guru’ atau ‘pengajar’ tersebut terlaksana secara profesional
apabila:
a.
Secara sosial sesuai dengan ketentuan sosial yang mengikuti adat
lingkungannya. Dalam hal ini, relasi antara pengajar dengan orang
tua murid, hubungan antara pengajar yang satu dengan pengajar
yang lain, jejaring antara para pengajar yang lebih luas, pengaturan
yang lebih luas lagi. Hanya kalau demikian, pengajar dapat diakui
sebagai pendidik melalui pengajaran dan juga lewat kelembagaan
persekolahan terangkai.
b.
Secara akademis perlu memiliki prasyarat akademik yang diselaraskan dengan lapisan pengajaran yang mengandaikan pendidikan
keahlian tertentu. Pengandaian ini dapat berbentuk sertiikat atau
ijazah, namun juga dapat dengan pengakuan sosial. Pemerintah
yang bersangkutan dapat mempertegas bentuk-bentuk prasyarat
akademis tertentu. Lisensi atau izin mengajar merupakan tanda
dan sarana bagi pengakuan bahwa pengajarannya memenuhi syarat
untuk menjadi pendidik, yang tepat asas dan tepat guna.
c.
Secara moral sesuai dengan interaksi sosial yang telah dipahami
dalam pendidikan dan pengajaran. Pendidikan seseorang menuntut secara profesional dan pengetahuan moral setempat
maupun perwujudannya dalam tingkah laku dan tindak didiknya.
Prasyarat tersebut diperlukan secara etis, relasi didik dapat terjadi
sesuai dengan tujuan pendidikan. Setiap lembaga didik mempunyai kewenangan untuk memastikan, agar seorang pengajar
dipersilakan ambil bagian dalam proses didik di lingkungan didik
yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai profesionalisme senantiasa menghendaki
dievaluasi dalam setiap langkah didik dan periode didik demi profesi
yang lebih mendalam. Sebab, dibalik ketiga syarat (sosial, akademis,
dan moral) tersebut, tersimpan ‘nilai-nilai’ yang berkaitan dengan visi
lembaga didik yang bersangkutan. Nilai-nilai itu terumus dalam ’visi
80
lembaga didik’ mana pun: Pancasila atau kerohanian tertentu. Dalam
‘visi resmi’ maupun dalam ‘misi’, suatu lembaga akan memusatkan
segala perhatian, pemikiran, tindakan, dan pengorganisasiannya ke arah
Pancasila. Segala strategi karya akan disesuaikan dengannya, baik dalam
strategi perseorangan maupun secara komunitas. Evaluasi kelembagaan
dirujukkan kepada Pancasila. Sikap guru dan pengorganisasian diakui
bersifat profesional, perilakunya dinilai etis atau tidak juga tergantung
dari visi dan misi tersebut. Dalam arti itulah, akhirnya profesi menemukan
maknanya yang terdalam, yakni ‘pengakuan nilai’ (pro fateor dan profession)
di depan umum, personal maupun struktural.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Etika Profesi
Dalam Kode Etik Profesi Kependidikan Amerika Serikat125, titik
berat diletakkan pada relasi antara pengajar dengan murid dan dengan
profesi. Penekanan pada kedua titik berat itu dapat dipahami. Di
Indonesia, unsur masyarakat dan negara perlu diperhitungkan. Sebab,
secara deskriptif atau empiris, kita dapat mencermati gejala-gejala dalam
upaya manusia melaksanakan profesi, yang amat diperhatikan oleh
kementerian maupun gejala-gejala proses memilih dan menjalankan
profesi secara sedalam-dalamnya, dengan memeriksa tindakan memilih,
menyiapkan dan melaksanakan profesi di tengah pelbagai kalangan
masyarakat. Ada yang memilih menjadi guru karena cinta anak-anak,
menjadi dokter karena cinta ingin menolong pasien, menjadi bidan demi
ibu-ibu muda yang akan bersalin, atau pelaku politik untuk menggapai
kekuasaan. Pencapaiannya ada yang lurus saja, tetapi ada juga yang
melompati pagar budaya. Secara fenomenologis, kita dapat meneliti
Marie O’Neil, Education Policy, Sage, London etc., 2004, terutama hlm. 186 dst. Juga bdk.
Keith-Spiegel, Patricia, dkk., he Ethics of Teaching (Muncie: Ball State University, Indiana,
1993), khususnya hlm. 89-96.
125 Lih. Strike, Kenneth A. dan Jonas F. Soltis, he Ethics of Teaching (Columbia: Teachers College
Press, 1985) (diterjemahkan oleh F. Sinaradi, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2003,
hlm. xi-xiii).
81
kesadaran dan pengalaman orang dalam memilih dan menjalankan
suatu profesi: nilai materi, ekonomis, politis, susilakah yang dominan?
Selanjutnya, kita juga bisa menyusuri liku-liku aliran pendidikan untuk
memperoleh kecakapan mendidik dan mempunyai sikap tepat dalam
mendidik untuk dapat secara normatif bergerak, yaitu dengan kritis
mempertanyakan pandangan-pandangan moral yang tersembunyi
dalam tindakan kita memilih dan melaksanakan profesi serta berusaha
untuk memastikan dasar-dasar moral aksi kita itu. Pendasaran etis
tersebut dapat membantu berkaitan dengan ketekunan atau ketabahan
melaksanakan profesi tertentu. Sementara itu, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
serta Kementerian Dalam Negeri kerap kali menjadi penentu dalam
pelaksanaan atau pelanggaran etika profesi yang nyata.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Gejala yang kita amati dapat secara objektif memperhatikan halhal lahiriah dalam konteks orang menjalankan profesi: kemasan dan
peralatan untuk menjalankan profesi; atau prosedur dan tata kerja profesi
dilaksanakan; bisa pula tata kelola yang diperlukan agar profesi itu dapat
berfungsi secara tepat guna, berdaya guna, dan akhirnya berhasil guna.
Tata kelola yang diamati masih dalam lingkup intern suatu konteks
kerja, dapat pula sampai ke luar lingkupnya: pada cakupan privat atau
lingkup publik. Pengamatan itu dapat dilakukan secara informal saja
atau dengan formal sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan, baik
secara perorangan maupun secara sosial.
Bila ditelaah lebih mendalam lagi, orang dapat saja mengikuti
paham egoisme etis dalam memilih dan menjalankan suatu profesi.
Menurut paham ini, orang tergerak untuk bertindak sesuai dengan
kepentingan-kepentingan sendiri. Dengan egoisme etis, kepentingan
masing-masing orang menjadi rujukan utama dalam memilih dan
menjalankan profesi, sedangkan kepentingan orang lain hanya masuk
perhitungan sejauh diperlukan demi kebahagiaan kita sendiri.
82
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ahli Ilmu Filsafat dari Jerman, yaitu Immanuel Kant mengatakan
bahwa egoisme etis memang dapat dianggap sebagai suatu sikap etis
walaupun tidak sepenuhnya mengatasi motivasi yang secara alamiah
sudah ada pada manusia, sebagaimana ada dalam semua makhluk hidup,
dari tumbuh-tumbuhan sampai kepada binatang yang paling tinggi
tingkatnya, yaitu mencukupi kebutuhannya sendiri. Di sisi lain, adanya
orang yang menganut egoisme etis menunjukkan adanya keyakinan
bahwa manusia yang memperhatikan kepentingan diri sebenarnya tidak
akan mudah diombang-ambingkan oleh nafsu dan dorongan nalurinya,
sebab ia sudah memiliki suatu kematangan mental dasar. Namun
kerap dinilai para ahli bahwa egoisme etis tidak mencukupi untuk
dipergunakan sebagai warna dasar dalam memilih dan menjalankan
profesi; apalagi profesi pendidik. Sebab hidup manusia tidak hanya
sendirian melainkan senantiasa dalam kaitan dengan sesama, entah
dalam lingkup kecil (keluarga kecil), entah dalam lingkup besar (keluarga
besar, kampung, negara, dunia). Apalagi profesi pendidik senantiasa
mencakup hadirnya orang lain (sekurang-kurangnya si murid – dan
keluarganya). Pewujudan profesi pendidik masih berjalinan dengan
banyak pelaku-nilai dalam masyarakat yang amat luas cakupannya.
Egoisme yang mewarnai pemilihan dan pelaksanaan profesi dapat
disebabkan oleh sikap hedonistik, yaitu beranggapan bahwa hanya ada
satu hal yang bernilai pada dirinya sendiri, ialah perasaan senang,
nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit. Maka, orang terdorong
untuk selalu merengkuh perasaan nikmat sebanyak mungkin dan
sedapat-dapatnya mencegah perasaan yang tidak enak. Ukuran baik atau
buruknya suatu profesi dan baik atau buruknya seseorang menjalankan
profesi diambil dari “terasa enak atau tidak enak”. Menurut mereka
itu, dalam proses didik manusia sebetulnya hanya menginginkan
dan mengajak murid mencari yang nikmat dan mengelak dari yang
menyakiti, walaupun barangkali sering membicarakan aneka nilai dan
motivasi, dari yang materialistik sampai yang religius. Namun, orang
83
dapat mengatakan dari pengalaman, bahwa walaupun keinginan akan
kenikmatan itu memang kuat, toh
(1) manusia terdorong mencari banyak hal, entah baik, netral atau
buruk yang tanpa sangkut paut dengan hal nikmat, misalnya:
kekuasaan, kesenangan berolahraga, pekerjaan yang melelahkan
tetapi menimbulkan rasa pemenuhan diri, pengumpulan bendabenda berharga, rasa ingin tahu dan mengerti;
http://facebook.com/indonesiapustaka
(2) manusia dapat bersedia untuk berkurban, bahkan untuk mati demi
tujuan-tujuan luhur. Dalam bangsa mana pun dan pada zaman
mana pun, selalu dapat ditemukan para pahlawan yang rela mati
bagi negaranya. Di zaman sekarang, banyak sekali orang yang
menjadi relawan dalam bencana alam dan bergabung dengan Palang
Merah. Di sana dapat ditemukan orang yang dipandang sebagai
pahlawan hidup bersama;
(3) manusia dapat mengejar nilai-nilai yang dialami sebagai paling
tinggi, seperti keindahan, kebenaran, persahabatan, cinta kasih
dan pengalaman akan Tuhan. Tidak sedikit orang melepaskan
uang tak terbilang, untuk mendapat lukisan klasik dari seorang
pelukis dunia; banyak yang memuji pemilik perusahaan besar,
yang mau menyumbangkan uang untuk membiayai orang miskin
atau pemberantasan suatu penyakit; tidak terbilang orang yang
rela membayar tinggi untuk membelikan hadiah bagi seseorang
yang dihormati atau dicintainya. Nilai-nilai terakhir ini justru akan
hilang kalau dicari demi nikmatnya. Maka, hedonisme bukanlah
pemandu terbaik untuk memilih dan menjalankan profesi.
Akhir-akhir ini, egoisme dalam berprofesi sebenarnya dikatakan
bertumpu juga pada sikap individualistik yaitu, pandangan bahwa masingmasing orang hendaknya mengembangkan diri dan bertindak sesuai
dengan kepribadian, penilaian dan tanggung jawabnya sendiri, daripada
ikut saja dengan arus massa. Maka, kebahagiaan dan perkembangan
84
masing-masing orang merupakan tujuan terakhir sedangkan masyarakat hanya sebagai sarana pencapaiannya; masyarakat tidak lebih
dari jumlah masing-masing orang dan bukan suatu nilai sendiri;
kebebasan masing-masing orang hanya dibatasi oleh hak semua orang
lain atas kebebasan yang sama; sedangkan kewajiban individu terhadap
masyarakat sendiri tidak diakui. Cara berpikir individualistik dapat
membuat orang memilih dan menjalankan profesi, hanya selama dan
sejauh menguntungkan diri, keluarga, atau kelompoknya; orang tidak
mau berpikir mengenai orang lain dan kebutuhan bersama. Sikap
tersebut pada dasarnya memanfaatkan murid untuk kepentingan ego
si guru atau ego kelompok suatu lembaga didik. Namun, para pemikir
tetap menemukan makna altruistik yang lebih mendalam dari segala
keyakinan egoistik itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Karena orang tidak mudah menggunakan etika egoistis sebagai
pegangan dalam memilih dan menjalankan profesi secara bertanggung
jawab, kadang kala orang terdorong untuk memilih dan menjalankan
profesi dengan alasan-alasan yang sekadar pragmatis saja126. Di situ
orang memilih dan menjalankan profesinya dengan motivasi hanya
untuk membereskan masalah-masalah dan menghindari masalah. Sebab
pegangan etisnya berbunyi: Manusia hendaknya hidup sedemikian
rupa sehingga permasalahan hidup yang dialami dapat teratasi sebaik
mungkin. Dalam rangkaian ini, kerap kali orang membiarkan diri tergoda
untuk hanya sekadar mengatasi problem lahiriah dan jasmaniah saja.
126 Salah satu bentuk arus ini adalah arahan Menteri Pendidikan, Nugroho Notosusanto, yang
mementingkan “sekolah harus melayani kebutuhan perusahaan-perusahaan” (supaya tamatan
sekolah nantinya dapat pekerjaan). Pemikiran tersebut memberi kesan sangat menolong
orang tua dan murid karena akan mempermudah pengisian lapangan kerja. Namun, kebijakan
tersebut juga dapat menjerumuskan sekolah dan pendidikan pada sikap melemahkan
pendidikan etika dan karakter; demi praktisnya instruksi. Kerap dilupakan ilmu-ilmu yang
lebih mendasar dan pada jangka panjang akan menguatkan budaya Indonesia. Tidak hanya
menciptakan buruh-buruh perusahaan, melainkan juga membangun generasi yang pandai
berpikir dan mendalami intisari perkembangan ilmu sampai menghasilkan inovasi (akhirnya
juga akan menguntungkan perusahaan mana pun). Politik jangka pendek dan ekonomi picik
dapat merugikan, baik ekonomi makro maupun pendidikan kemanusiaan yang mendalam
dan hakiki.
85
http://facebook.com/indonesiapustaka
Padahal banyak ahli etika berpendapat bahwa manusia dipanggil untuk
lebih positif dengan melampaui batas yang dangkal dalam hidup.
Menurut Charles Sanders Peirce (1839-1914), misalnya, bukan
penyelesaian masalah di permukaan, melainkan pemenuhan citacita tinggi yang memberi motivasi sejati kepada suatu masyarakat
yang harus menjadi tujuan terakhir usaha seluruh masyarakat. 127
Sementara John Dewey (1859-1952), misalnya, merangkum juga
di dalamnya: pertimbangan-pertimbangan kultural, kebatinan dan
sosial kemasyarakatan128. Proses publik demokratis dipahami sebagai
usaha bersama untuk memusyawarahkan pemecahan masalah
sosial kemasyarakatan untuk bermufakat: dalam proses itu sering
kali kepentingan beberapa pihak dan beberapa lapisan hidup perlu
diperhitungkan. Dalam bahasa sehari-hari, sikap itu memuat ajakan
agar kita tanpa banyak berteori, berusaha untuk melaksanakan citacita, seperti misalnya terimplikasikan dalam Pancasila, yang menjadi
tanggung jawab kita bersama. Kedalaman tersebut dapat menarik,
walau sering kali orang kebanyakan berpikir hanya untuk jangka pendek.
Padahal sesuatu dalam jangka pendek tampaknya menyelesaikan
masalah, dapat saja justru sebetulnya menghambat masalah itu dalam
kadarnya yang paling kental, misalnya membuang sampah di sembarang
tempat itu praktis, tetapi menabur keburukan kota, yang akan
menciptakan banyak masalah lain, yang mungkin bahkan lebih gawat.
Mengekspor kayu dengan menebang pohon-pohon di hutan tampaknya
saja membuahkan devisa cepat, namun dalam jangka panjang bahkan
menerbitkan perusakan tanah yang lebih panjang efeknya. Menuruti
arus fanatisme kerohanian memberi kesan bahwa cepat mengatasi
127 Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 Vol. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and
Arthur W. Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931–1958); Vol.
1–6 edited by Charles Harteshorne and Paul Weiss, 1931–1935; Vol. 7–8 edited by Arthur W.
Burks, 1958), terutama Vol. 2 Bagian Pembukaan.
128 Lihat bukunya Moral Principles in Education (Cambridge: he Riverside Press, Project Gutenberg,
1909).
86
krisis kerukunan beragama, namun dalam hitungan beberapa tahun
kemudian justru membangkitkan penindasan di banyak tempat karena
tidak mempunyai dasar pemersatu yang sungguh mendalam dari segi
kerohanian.
Meskipun begitu, situasi dapat sungguh-sungguh
Realisme
mencekam sehingga memunculkan sikap yang makin
altruistik
lama makin menguasai masyarakat, juga dalam memilih
profesi tertentu maupun dalam menjalankannya. Sikap
ini kelihatan saat banyaknya orang yang berpindah
pekerjaan karena tawaran keuangan lebih baik. Prinsip kegunaan
menyebabkan orang melakukan keputusan tertentu karena melihat
bahwa hal yang dipilih memiliki lebih banyak kegunaan; alasan lain
tidak terlalu diperhitungkan.129
http://facebook.com/indonesiapustaka
Orang sering kali terdorong untuk melakukan langkah tertentu
karena berpendapat bahwa setiap situasi adalah unik dan mempunyai tuntutan-tuntutannya yang khas sehingga menyisihkan pedoman
abadi atau aturan tertentu, namun setiap kali harus diselesaikan oleh
orang(-orang) yang sektarian. Dalam pendidikan, dengan interaksi
intensif antara pendidik dan murid, diperlukan cakrawala nilai yang
menolong pertimbangan bijak bagi semua yang tersangkut dalam proses
didik. Lingkup cakrawala pendidikan menyeluruh diperlukan sampai
ke prinsip moral dan transendental masyarakat.
Prinsip moral
Di lapangan nyata, pemilihan sikap tersebut dapat menjadi
sedemikian sehingga orang bahkan memperhitungkan berlakunya
prinsip-prinsip moral yang paling dasar. Dengan sikap itu, sebenarnya
129 ‘Utilitarisme’ ini kerap dimanfaatkan oleh banyak pihak atau partai demi mencapai tujuan
(ingat teleologi) demi kepentingan yang bersifat jangka pendek. Padahal pendidikan sulit
menunjukkan pemanfaatannya pada perencanaan jangka pendek.
87
http://facebook.com/indonesiapustaka
orang sampai pada kemungkinan pembentukan kesepakatan bersama
dan merujuk norma yang umum. Sebab orang mengandaikan prinsip
dasar, yang berlaku bagi semua manusia. Bagi kebanyakan orang,
pegangan ”hak-hak asasi manusia” berlaku dan orang dibawa kepada
kerahiman perjuangan struktural dari hari ke hari melalui pegangan
umum. Dalam rangka itu, ada orang yang mengikuti etika situasi
moderat yang mengakui cinta kasih sebagai prinsip dasar, cukup menjadi
pedoman untuk memutuskan, apa yang harus dilakukan masyarakat
dalam situasi konkret.
Orang-orang tersebut di atas tidak memperhatikan bahwa setiap
situasi, memang kerap kali sungguh unik, namun senantiasa juga
mengambil bagian dalam struktur-struktur alamiah dan sosial yang
lebih umum. Maka diperlukan norma-norma umum juga. Etika situasi
mengandung sebagian kebenaran bahwa pertimbangan-pertimbangan
normatif teoritis tak pernah mencukupi untuk memastikan seratus
persen kewajiban konkret seseorang. Karena itu, manusia selalu harus
mengambil keputusan sesuai dengan suara hatinya. Namun, suara
hati sendiri membutuhkan pengarahan dan untuk itu diperlukan
norma-norma objektif, misalnya cinta kasih sehingga orang tidak dapat
menggantungkan diri seutuhnya pada ‘situasi dan kondisi’.
Namun menyebutkan cinta kasih sebagai prinsip dasar tidaklah
mencukupi karena apabila cinta kasih berhadapan dengan seruanseruan aneka pihak yang saling bertentangan, diperlukan suatu prinsip
lebih konkret untuk menentukan seruan mana yang wajib didahulukan.
Dari sisi lain, hidup kita merupakan keseluruhan yang utuh maka
pada akhirnya kita perlu mempunyai sikap dasar yang konsekuen
dan konsisten, tanpa terombang-ambing terus-menerus oleh situasi
dari luar. Mengikuti etika situasi secara total akan merusak keutuhan
pribadi. Padahal justru kondisi itulah yang kerap kali menyangkut
profesi pendidik.130
130 Mungkin karena itulah ada yang mendidik calon guru dengan mengajak mereka ‘mencintai
keguruan sebagaimana mereka suka pada hobi’.
88
http://facebook.com/indonesiapustaka
Banyak orang sampai kepada kesadaran bahwa
nilai suatu tindakan, juga tindakan memilih dan menNilai
jalankan suatu profesi, mengandung matra baik pribadi
maupun sosial. Orang memilih dan menjalankan suatu
profesi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri seraya
memperhatikan dan bahkan sering kali juga untuk melayani kebutuhan
orang lain, entah keluarga sendiri atau masyarakat umum. Bertolak dari
martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, orang dapat menyadari,
bahwa untuk memilih dan melaksanakan suatu profesi, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, seperti:
1.
kewajiban-kewajiban dalam pelbagai lingkup kehidupan, misalnya
dalam hubungan dengan permulaan kehidupan, masalah pengguguran isi kandungan dan etika seksual. Ini menjadi penting
apabila orang membangun keluarga dan kalau seseorang menjadi
perawat, dokter, ahli farmasi, pedagang obat dan alat medis,
penyuluh kesehatan dan sebagainya. Dapat terjadi bahwa seseorang
memang secara teknis dapat saja melakukan sesuatu tindakan
(menggugurkan kandungan atau memberi obat tertentu), akan
tetapi tidak mau melakukannya karena pertimbangan etis (tidak
mau menghabisi nyawa makhluk hidup). Sikap etis semacam ini
masih hidup pada awal orang menjalankan suatu profesi, tetapi
dapat menjadi samar-samar atau tumpul, kalau orang sudah lebih
terdesak oleh keinginan untuk mengumpulkan uang atau sukses
secepat mungkin. Dalam proses tersebut, pengambilan keputusan
merujuk pada kewajiban biologis pribadi, kewajiban lingkungan
keilmuan, kewajiban organisasi. Kecuali itu, orang juga harus
memperhatikan.
2.
norma-norma etis yang berlaku dalam hubungan dengan satuansatuan kemasyarakatan yang berlembaga, seperti etika keluarga,
etika politik, etika pelbagai profesi, etika pendidikan, wartawan,
89
bisnis dan sebagainya.131 Misalnya, orang seturut kebiasaan umum
memberikan uang pelancar urusan, tetapi tidak mau melakukannya karena berpendapat bahwa etika politik menghendakinya
bertindak bersih; orang dapat saja menyembunyikan kewajiban
pajaknya, kalau licin mempermainkan angka-angka, tetapi tidak
melakukannya karena sadar, bahwa etika bisnis menghendaki
persaingan yang ’fair’. Orang dapat memperoleh uang banyak dari
seorang politisi yang namanya bisa hancur karena berita tertentu,
namun etika wartawan menghendaki bahwa pemberitaan tidak
dipergunakan untuk memeras dan seterusnya. Ilmuwan dapat
juga secara langsung melacurkan diri dengan mengebiri beberapa
arah perkembangan ilmunya demi keuntungan keuangan atau
perasaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ranah Publik
Dalam perluasan cakrawala pendidikan, termasuk di sekitar
pelembagaan pendidikan melalui sekolah sampai universitas, perlulah
ditelaah salah satu bagian hidup berprofesi yang sulit, yaitu etika
politik, yang sering kali memengaruhi tindakan mendidik, khususnya
sehubungan dengan formalisme pelembagaannya. Keruwetan ini
meningkat ketika negara, dengan perkembangan politis, ekonomis,
dan teknik serta sifat interdisipliner ilmu, banyak sekali menerapkan
segi-segi yang merangsang dehumanisasi relasi didik. Dalam etika politik,
orang memperhatikan norma-norma etis, perilaku pribadi-pribadi dan
kelompok-kelompok dalam dan melalui lembaga-lembaga kenegaraan,
yang menyangkut kepentingan banyak golongan, yang sering kali ber’jarak-etis’ amat jauh satu dari yang lain. Jarak tersebut dapat juga
diperjauh, ketika unsur iman dan agama masuk, sebagaimana sejak awal
131 Bdk. Hadisiswoyo, Martinus, SJ., Pembinaan Spiritualitas: Dampaknya bagi Pendidik dan
Peserta Didik dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia
(Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 115-124.
90
http://facebook.com/indonesiapustaka
sering kali memengaruhi langkah politis Indonesia. Pokok bahasannya
adalah legitimasi etis kekuasaan negara berhadapan dengan tempat
hukum agama dalam pergaulan politis132, dalam suatu komunitas
majemuk. Dewasa ini orang semakin sepakat tentang hal-hal berikut:
1.
Negara seharusnya berwujud demokrasi dan bukan negara otoriter;
jadi bahwa kekuasaan negara dijalankan di bawah kontrol nyata
rakyat dan tidak dimonopoli oleh seseorang (diktator), sekelompok
orang (oligarki), sebuah partai pengemban ideologi negara atau oleh
angkatan bersenjata. Sekaligus, sejumlah orang yang dipilih rakyat
untuk menciptakan tata hidup bersama, begitu terpilih ditugasi
untuk menghasilkan dan mengontrol agar pranata kenegaraan
sungguh ditempatkan di atas segala kepentingan kelompok
(ter masuk partai) dan perseorangan. Dalam pelaksanaannya,
prinsip subsidiaritas perlu juga diperhatikan, misalnya pemerintah
atau pengurus pusat tidak mengurusi pelbagai hal yang dapat
diselesaikan oleh lingkup yang langsung mengurusinya. Sementara
pemerintah pusat tetap melayani segala segi kepentingan seluruh
rakyat, terutama yang berkaitan dengan sila-sila dasar negara.
2.
Bahwa negara harus berwujud negara hukum dan bukan negara
kekuasaan. Negara hukum menuntut adanya penegakan hukum, yang berdaya guna sehingga memerlukan sarana-sarana
penegakan hukum nyata. Penegakan hukum yang praktis dapat
saja bergesekan dengan kepentingan iman dan agama, yang juga
menuntut penegakannya. Pelaksanaannya memerlukan kepastian
hukum yang berwujud demi kesejahteraan dan keadilan seluruh
rakyat. Dalam kerangka itu, perlulah dijaga, jangan sampai ada
kelompok atau perseorangan, yang merasa atau ditempatkan di
atas hukum. Dalam perwujudannya, prinsip solidaritas berlaku
bersamaan dengan prinsip kejujuran dan keadilan.
132 Seluruh peristiwa tahun 2016 dan 2017 di Indonesia berkisar pada gesekan-gesekan
tersebut.
91
http://facebook.com/indonesiapustaka
3.
Bahwa hukum harus menjamin hak-hak asasi manusia dan bertujuan
untuk menegakkan keadilan dalam tatanan masyarakat. Kita
sudah mengintegrasikan hak asasi manusia dalam UUD 1945.133
Namun dalam kenyataannya, kepentingan politik seseorang atau
sekelompok kecil orang dapat menghambat penegakan hak asasi
manusia bagi seluruh rakyat. Prinsip kesetaraan dapat melancarkan
pelaksanaan hak asasi manusia. Kesetaraan yang dimaksudkan di
sini berlaku untuk segala lapisan kemanusiaan dari sudut yang
paling teknis, budaya dan kerohanian. Perlu dihindari adanya
kelompok yang dengan alasan apa pun bertindak bagaikan polisi
di luar kelembagaan kepolisian.
4.
Bahwa tujuan negara bukanlah kekuasaannya sendiri melainkan
penciptaan prasarana-prasarana bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Kesejahteraan masyarakat sering dirumuskan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang mewujud dalam kebaikan
segenap rakyat. Dalam hal ini, prinsip kedaulatan rakyat sudah
lama merupakan pedoman di banyak negara. Pewujudannya perlu
mengatasi segala kedaulatan kelompok, baik suku, partai maupun
keyakinan iman. Kemajemukan semakin mencolok di dunia ini.
Namun perlu diwaspadai agar dinamika pengambilan keputusan
dalam dewan mana pun senantiasa menjaga persatuan dalam
kebhinekaan.
Oleh karena itu, dalam tugas etika politik selalu mempertanyakan
kembali nilai-nilai dan kaidah-kaidah etis yang mendasari penetapan
tujuan-tujuan politik konkret seperti keadilan, kesejahteraan, perdamaian, kebebasan, kemakmuran, kesamaan, toleransi, kemanusiaan
dan kepentingan nasional, dan untuk menganalisis ideologi-ideologi
politik secara kritis. Dalam hal ini, keterbukaan bermusyawarah
merupakan nilai penting.
133 Bdk. Murniati, Dra., dkk., Pancasila (Jakarta: Gramedia, 1993), terutama Bab II.
92
Dari keseluruhan tinjauan sampai sekarang menjadi jelas, bahwa
segala pilihan dan pelaksanaan profesi menghendaki pertang gungjawaban
yang etis. Pertanggungjawaban etis mengandaikan pengakuan bahwa
ada norma-norma etis yang berlaku secara umum, yang pelaksanaannya
perlu memperhatikan kepentingan si pribadi, sesama manusianya dan
bahkan dinamika alam semesta, bahkan sampai kepada norma-norma
yang mengikat manusia karena kepercayaannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pertanyaan yang muncul adalah manakah norma-norma moral
yang sebenarnya dan apakah dasar keberlakuannya? Etika normatif
biasa bertugas menentukan prinsip-prinsip akhir yang mendasari
semua norma etis. Dalam penentuan itu, irrasionalisme menolak
kemungkinan adanya prinsip-prinsip yang mendasari semua norma
etis, dengan alasan, bahwa hal itu tidak masuk akal. Emotivisme
menyerahkan norma terakhir pada ”perasaan manusia”, sedangkan
relativisme menolaknya karena berpendapat bahwa segalanya itu relatif
dan tidak ada yang mutlak berlaku untuk siapa saja dan di mana saja
serta kapan saja. Adapun etika situasi sudah kita lihat sebagai aliran
yang membiarkan segalanya berjalan sesuai dengan perkembangan
situasi saja. Etika demikian hanya akan menunda penyelesaian masalah
dan tidak menyajikan penyelesaian yang mantap. Bagi mereka yang
aktif di kalangan pendidikan, sulit menerima etika situasi, relativisme,
emotivisme maupun irrasionalisme, yang semuanya meminimalisasikan
peran interaksi pendidikan secara melembaga dan memanfaatkan akal
budi serta sikap yang dapat diandalkan bagi lembaga didik tertentu.
Prinsip dasar etika teonom134 dan teologis adalah kehendak Allah
sehingga aliran ini berpendapat bahwa prinsip akhir etika adalah
kehendak Tuhan. Namun masalah posisi ini ialah apakah sesuatu
itu baik karena diperintahkan Allah atau diperintahkan Allah karena
baik? Pencampurannya dengan hukum keagamaan dapat mempersulit
134 Dalam bahasa Yunani, theos: Allah dan nomos: hukum.
93
proses didik di suatu masyarakat majemuk, bila pelaksanaannya tidak
diterjemahkan dalam etika profesi yang memakai bahasa ’umum’. Dalam
sejarah diperoleh pencerahan, bisikan Roh Allah tidak menghancurkan
kodrat, melainkan meneguhkan dan mencerahkannya. Penyebabnya
karena Allah tidak mungkin bertentangan dengan karunianya sendiri
dalam manusia yang dicintai-Nya.
Dalam etika normatif yang penting untuk ilsafat pendidikan,
perlulah diperhatikan etika-etika deontologis dan eulogis.135 Menurut
yang pertama, norma-norma moral berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang baik pada dirinya sendiri. Sedangkan menurut yang kedua, betul
atau salahnya suatu tindakan dalam arti moral tergantung dari apakah
tujuannya baik atau buruk. Dalam hal ini, egoisme etis sudah kita lihat
sebagai aliran yang hanya memperhatikan akibat-akibat tindakan bagi si
pelaku sendiri (hedonisme etis dan eudemonisme) sedangkan utilitarisme
menuntut agar kesejahteraan berguna bagi sebanyak-banyaknya orang
yang menjadi tujuan tindakan moral. Banyak ahli etika berpendapat
bahwa suatu teori etika normatif dalam dunia pendidikan perlu bersifat
deontologis, tetapi juga memuat kegunaan tindakan itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Etika Pendidik
Bagi etika pendidik profesional yang mencakup seluruh proses didik, hal
itu berarti bahwa suatu profesi dipilih dan dijalankan karena berguna
dan sekaligus karena diam bil berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang benar, pada lingkup pribadi maupun pada lingkup kebersamaan
manusiawi, serta dapat dilaksanakan secara edukatif. Dengan kata lain
taat asas, berdaya guna, dan berhasil guna.
Kerap kali orang perseorangan ingin dan bersedia saja untuk
memilih dan melaksanakan pekerjaan secara etis, akan tetapi lingkungan pekerjaan mempersulit kehendak baik itu. Orang dapat saja
135 Peters, R.S., Ethics and Education (London: George Allen & Unwin Ltd., 1966), hlm. 333.
94
http://facebook.com/indonesiapustaka
dikondisikan sedemikian sehingga seluruh waktunya dimakan oleh
pekerjaan atau dia di-’kondisikan’ untuk berbuat hal-hal yang tidak
sesuai dengan suara hatinya (berpartisipasi dalam penjualan obat bius
dengan berkedok perdagangan obat-obat medis) atau orang diajak untuk
ikut dalam korupsi secara tidak langsung atau ikut menindas rakyat kecil
dan seterusnya. Oleh sebab itu, masyarakat majemuk seperti negara kita
memerlukan etika profesi struktural.136 Etika profesi menuntut pemilik
lembaga seperti yang disebut di atas atau pemerintah, menyediakan
pranata dan struktur sedemikian, agar:
a.
Si manusia memiliki kemampuan, keterampilan, dan kepercayaan
diri yang memadai untuk menangani profesinya secara bertanggung
jawab. Kekuatan orang merupakan dasar untuk segala usaha.
Memang aneka peralatan semakin canggih, namun pengambil
keputusan inal dan terdalam tetap di tangan manusia. Dalam
hal ini tidak seyogianya kalau manusia diperlakukan sebagai
‘sumber-daya’, walau dengan tambahan istilah menjadi ‘sumber
daya manusia’. Di situ diharapkan bahwa martabat manusia tidak
diturunkan menjadi alat untuk sesuatu yang lain.
b.
Manusia mampu dan mau bekerja sama dengan penuh kepercayaan.
Kebutuhan ini lebih mencolok karena sekarang ini banyak hal
harus diorganisasikan secara ketat, dengan bagan yang jelas
dan dengan peraturan yang tegas. Saling percaya menjadi dasar
pembangunan kerja sama yang tulus. Kreativitas dan spontanitas
sulit dimunculkan dalam pabrik atau kantor atau organisasi besar.
Namun, suatu usaha bersama hanya mungkin langgeng apabila ada
kerja sama yang saling percaya.
c.
Si manusia dapat menjalin kontak yang efektif, di dalam maupun
di luar pekerjaan. Keperluan ini semakin membesar karena kini
banyak hal dilaksanakan secara massal. Bahkan jemaah pun menjadi
136 Peters, Op.cit., terutama bagian 2.
95
massal. Segi afektif dapat menderita sekali karenanya sehingga si
manusia sebagai manusia kehilangan keseimbangan. Tanpa segi
afektif, tidak ada hidup sosial yang berlangsung langgeng.
http://facebook.com/indonesiapustaka
d.
Si manusia bisa merasakan kepribadiannya karena diperlakukan
sebagai pribadi karena dalam pabrik dan kantor serta perkumpulan
mungkin sekarang ia lebih dipandang sebagai bagian dari proses
produksi atau salah satu unsur organisasi atau salah satu warga
bernomor tertentu. Tanpa diakui sebagai pribadi, tidak ada orang
yang mampu bertahan dalam jangka panjang.
Salah satu wujud perlakuan manusiawi yang harus
didorong oleh etika profesi agar terjadi dalam lingkup Mendidik adil
struktural adalah terciptanya pranata dan tatanan kerja
yang adil.137 Keadilan merupakan suatu keutamaan yang
dimiliki oleh pribadi manusia, tetapi juga merupakan
kebutuhan dalam suatu keadaan struktural kemasyarakatan. Dalam
penyusunan maupun penegakannya diperlukan agar keadilan dipenuhi.
Dalam sejarah, keadilan dipahami sebagai tatanan masyarakat yang
semestinya untuk daerah, yang dimana-mana bersifat majemuk. Inti
tuntutannya ialah agar kepada siapa saja diberikan apa yang menjadi
haknya138. Dasar keadilan adalah paham kesetaraan hakiki antara
semua makhluk berakal budi sehingga diberikan sikap hormat terhadap
hak-hak setiap orang. Biasanya orang membedakan antara keadilan
komutatif, yaitu keadilan dalam transaksi tukar-menukar, keadilan legal,
yakni keadilan di hadapan hukum dan peraturan dalam hidup bersama
dalam masyarakat demi kesejahteraan umum, serta keadilan distributif
yang menuntut agar pemerintah dan pemimpin memperlakukan
anggotanya secara sama. Sementara itu masih ada keadilan penal yang
menuntut agar hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dihukum.
137 Peters, Op.Cit., khususnya bagian 3.
138 Dalam bahasa Latin dikatakan suum cuique.
96
http://facebook.com/indonesiapustaka
Orang dapat juga membedakan keadilan, apakah pelaksanaan keadilan
tergantung dari kehendak individual atau dari struktur proses-proses
dalam masyarakat yang dibedakan antara keadilan individual dan
keadilan sosial. Kekhasan keadilan sebagai prinsip dasar moral terletak
dalam kenyataan bahwa dengan prinsip kebaikan hati, tolok ukurnya
bukanlah maksud baik si pelaku, melainkan hak orang lain. Dalam
tindakan adil, otonomi, kebebasan, dan integritas setiap pribadi
dihormati. Sebab, bukanlah rasa simpati dan kasih sayang, melainkan
kesanggupan untuk menghormati hak orang lain yang menunjukkan
kemanusiaan orang.
Dalam rangka pembicaraan tentang keadilan, bangsa kita sejak
lama telah mengenal gagasan keadilan sosial. Tujuannya mau menghargai
seluruh rakyat secara adil. Namun, keadilan sosial yang dalam Pancasila
ditambahkan ’bagi seluruh rakyat’, termuat hasrat untuk memberi
perhatian kepada semua bagian bangsa yang paling lemah. Dalam hal
ini, pelaksanaan keadilan sosial tidak hanya tergantung dari kemauan
orang-orang yang langsung terlibat dalam suatu situasi (”keadilan
individual”), melainkan juga dari proses-proses politik, sosial, ekonomi,
budaya, dan ideologis yang menentukan kehidupan masyarakat. Maka,
keadilan sosial menuntut agar proses-proses tersebut dirancang,
dilaksanakan dan dievaluasi terus-menerus, sedemikian rupa sehingga
setiap anggota dan kelompok dalam masyarakat dapat memperoleh
apa yang menjadi haknya dan mendapat bagian yang wajar dari harta
kekayaan masyarakat sebagai keseluruhan. Keadilan sosial tercipta
apabila hak semua pihak dihormati, apabila kekayaan bersama
masyarakat dibagi sedemikian rupa sehingga semua anggotanya
dapat hidup dengan wajar dan sejahtera serta perbedaan-perbedaan
dalam tingkat pendapatan tidak dibiarkan menjadi terlalu besar.
Minimum harus diusahakan bahwa setiap anggota masyarakat bebas
dari kemiskinan dan dari ketergantungan yang menjadikan mereka
korban dari pelbagai pemerkosaan terhadap hak-hak mereka. Tanda
paling jelas ketidak-adilan sosial adalah apabila pendapatan golongan
97
masyarakat yang sudah kaya terus-menerus naik sedangkan golongan
dengan pendapatan paling bawah tidak berhasil untuk ke luar dari
kemiskinan. Apabila sebagian anggota masyarakat dapat menguasai
suatu pendapatan yang puluhan sampai seratus kali lebih besar dari
golongan masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah.
Tanggung jawab untuk menciptakan keadilan sosial terletak pada
semua pihak yang dapat memengaruhi struktur-struktur kehidupan
masyarakat, terutama pada negara. Keadilan sosial memberi perhatian
istimewa kepada bagian bangsa yang paling rapuh karena mereka itu
paling lemah dalam memperjuangkan keadilan, pengakuan hak yang
sama perlu dilengkapi dengan pemihakan struktural dari masyarakat.
Tanggung Jawab
http://facebook.com/indonesiapustaka
Terutama melalui keadilan sosial menjadi jelas bahwa etika profesi
menyangkut kewajiban kita terhadap sesama, di samping hak kita
untuk menciptakan masa depan pribadi yang cemerlang. Pembicaraan
itu mengandaikan kerelaan kita juga untuk secara mandiri mengambil
keputusan: bukan hanya dipaksa keadaan lalu memilih dan menjalankan
suatu profesi. Di situ diakui bahwa kebebasan ada secara hakiki dalam
etika.
Kita semua sadar bahwa manusia tidak berkembang secara otomatis
menurut hukum alam, melainkan tumbuh setapak demi setapak. Di
hadapan setiap orang terhampar dunia luas yang menyediakan pilihan
tak berhingga. Oleh sebab itu, manusia sering kali dapat menentukan
sendiri sikap dan tindakan mana yang mau diambil. Kesadaran itulah
yang disebut kebebasan. Dari segi diri sendiri, kebebasan berarti
kemampuan untuk menentukan sikap dan tindakannya sendiri (”kebebasan eksistensial”). Kebebasan eksistensial itu merupakan ungkapan
tertinggi martabat manusia. Sebab dalam ’menentukan pilihan’ itu,
manusia dapat mengatasi naluri dan kodrat kaku memutuskan sikap
98
untuk sesuatu dalam relasi dengan orang lain. Maka, manusia merasa
paling dihina apabila ia diperkosa.
Pelaksanaan kebebasan mengandung beberapa matra, yaitu: matra
isik, untuk menggerakkan badan (kebebasan jasmani atau isik), matra
rasional untuk berpikir, menilai, dan menghendaki sesuatu (kebebasan
kehendak atau psikis), dan matra voluntatif untuk menentukan sendiri sikap atau tindakan mana yang mau diambil (kebebasan moral).
Kalau kebebasan isik dapat dibatasi oleh paksaan maka kebebasan
rasional hanya dapat dibatasi secara tidak langsung melalui tekanan
atau manipulasi pemikiran; kebebasan moral dibatasi oleh adanya
kewajiban atau larangan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Di hadapan masyarakat, manusia disebut bebas apabila kemungkinan-kemungkinannya untuk bersikap atau bertindak tidak dibatasi
oleh paksaan, tekanan, dan kewajiban atau larangan (”kebebasan
sosial”). Kebebasan sosial merupakan ruang bagi perkembangan kebebasan
eksistensial.
Manusia merupakan makhluk sosial, maka keBebas
bebasannya menemukan wujudnya yang khas dalam Bertanggung
jawab
keterarahan pada manusia lain. Kebebasan eksistensial
mencapai puncaknya dalam sikap bertanggung jawab:
berhadapan dengan pilihan antara pengambilan sikap
yang disadari karena bernilai tinggi atau wajib di satu pihak dan sikap
menyerah terhadap rasa malas, takut, emosi atau dorongan irasional
lain, ia sanggup untuk memilih yang tepat. Sedangkan menolak untuk
bertanggung jawab berarti membiarkan diri ditentukan oleh dorongandorongan dan emosi-emosi yang tidak dipertanggungjawabkan,
dan dengan demikian membuat manusia semakin tidak kuat untuk
menentukan dirinya sendiri. Masyarakat berhak membatasi kebebasan
sosial anggota-anggotanya untuk menjamin agar semua anggota
menikmati kebebasan yang sama luasnya, dan demi kepentingan
bersama. Tetapi, pembatasan itu harus dipertanggungjawabkan dan
99
hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berwenang dan dalam wilayah
wewenangnya. Pembatasan itu harus dijalankan secara normatif, melalui
kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan. Pemaksaan isik hanya
dapat dibenarkan sejauh perlu bagi orang tua terhadap anaknya yang
belum cukup dewasa dan bagi negara untuk memastikan keberlakuan
hukum. Manipulasi psikis dalam bentuk dan demi tujuan apa pun dan
oleh pihak mana pun tidak pernah dapat dibenarkan karena merupakan
campur tangan dalam keutuhan manusia sebagai pribadi dan oleh
karena itu secara hakiki bertentangan dengan martabat manusia.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Adanya kebebasan eksistensial disangkal oleh determinisme
isikalis yang mengatakan bahwa manusia seluruhnya ditentukan oleh
hukum alam, determinisme psikologis yang mengatakan bahwa manusia
ditentukan oleh mekanisme psikis, dan determinisme sosiologis atau
ekonomis yang berpendapat bahwa manusia ditentukan oleh peranan
sosialnya atau kepentingan-kepentingan kelasnya. Determinisme
mencampuradukkan dua hal: kerangka acuan kebebasan, yaitu manusia
yang memang pasti dan menentukan ruang gerak kebebasan, dengan
kebebasan itu sendiri sebagai kemampuan manusia untuk mengambil
sikap terhadap kerangka acuan tersebut. Adanya kemampuan itu
merupakan kesadaran langsung dan oleh karena itu tidak dapat
disangkal. Apabila kesadaran itu ternyata tidak sesuai dengan suatu
teori, maka bukan kesadaran yang harus diubah (itu tidak mungkin)
melainkan teori itu.
Dalam kerangka memilih dan menjalankan suatu profesi secara
optimal, orang kerap kali merujuk pada keinginan semua manusia untuk
bahagia dan membahagiakan orang yang dicintainya. Kebahagiaan tidak
dapat disamaratakan dengan rasa senang. Ada orang yang tetap bahagia,
walaupun sedang merasakan sedih atau sakit, bahagia mengambil
tempat dalam hidup manusia. Apalagi kalau disadari bahwa kesedihan
yang dialami ternyata berkaitan dengan orang yang dicintai, misalnya
karena mendampingi sakit atau kematiannya. Bahkan, orang dapat
100
memperoleh kebahagiaan justru dalam duka derita yang ditanggung
demi kebaikan orang yang dicintainya. Kebahagiaan yang diperolehnya
dapat justru berlipat ganda. Oleh sebab itu, perlulah kita seyogianya
mendalami makna kebahagiaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kebahagiaan
Dalam ilsafat Yunani Kuno, kebahagiaan (eudaemonisme) adalah
puncak kondisi manusia dan manusia diharapkan hidup sedemikian
rupa sehingga dapat mencapai suatu maksimum kebahagiaan
(eudaemonisme). Melawan hedonisme, Aristoteles menunjukkan bahwa
kebahagiaan tidak ditemukan dalam kenikmatan pasif atau banyaknya
barang yang dimiliki, melainkan segala hal yang diciptakan manusia dari
dirinya sendiri dalam mengembangkan bakat-bakatnya. Kebahagiaan
sendiri tidak dapat diusahakan secara langsung, melainkan merupakan
buah apabila manusia semakin merealisasikan potensi-potensinya.
Untuk itu, ia harus menjadi bebas dari ketergantungan pada nafsunafsu dan dorongan-dorongan irasional. Dengan demikian, kebahagiaan
menjadi paham etis. Hubungan antara tanggung jawab moral dengan
kebahagiaan manusia ini mengatasi kekerasan dan kekosongan suatu
etika kewajiban murni, sebagaimana dikembangkan oleh Kant. Menurut
Thomas Aquinas, tujuan terakhir manusia dan kebahagiaannya,
tercapai dalam memandang Allah di akhirat. Itu berarti bahwa manusia
menemukan identitasnya yang sebenarnya, apabila ia menyerahkan
diri kepada Allah. Maka, manusia tidak akan mencapai kebahagiaan
dengan hanya mengusahakan kepentingannya sendiri saja, melainkan
menjalankan tanggung jawab terhadap masyarakat dan dunia, dalam
ketaatan pada Sang Pencipta.
Bila dikaitkan dengan etika profesi, terlihat di sini suatu warna
pergulatan hidup: tidak hanya seputar pencarian nafkah dan pengembangan bakat, melainkan sampai kepada penemuan kebahagiaan sejati.
Wujud pelaksanaan etika profesi berkaitan dengan perkembangan moral
101
http://facebook.com/indonesiapustaka
manusia dan komunitas yang menciptakan pandangan pendidikan
tertentu. Dalam hal tersebut, arah yang diberikan otoritas moral,-agama
dan negara-, ikut menentukan bagaimanakah etika profesi tampak
dalam pranata pendidikan maupun pelaku didik serta pemimpinpemimpinnya, dalam mengarahkan lembaga didiknya.
Seorang pendidik profesional mempunyai kesempatan untuk mendampingi murid-muridnya; tidak secara kebetulan, tidak terpaksa
dan tidak sembarangan. Ia bertekad mempersiapkan tugasnya dengan
sebaik-baiknya, merancang peran, mempelajari sifat dan kemampuan
murid-muridnya, berinteraksi secara bertanggung jawab dan memberi
masukan sejauh diperlukan supaya si murid dapat menyelami diri
dan sesama serta pengetahuannya sebaik mungkin. Pendidik tersebut
menyadari tugas terdalamnya dan menggali makna kebahagiaan terdalam
dan memadukannya dengan seluruh kebersamaan-didiknya. Pendidik
menemukan kebahagiaannya yang terindah, ketika dapat mendampingi
murid-muridnya untuk lambat laun mampu secara mandiri membangun
hidupnya penuh kebahagiaan dan mengolah segalanya secara bijaksana
dan bertanggung jawab: bersatu dengan sesama dan dalam keutuhan
semesta alam. Muara akhirnya, kebahagiaan tersebut menuju kepada
Sang Asal serta tujuan segala kebahagiaan abadi, yang sesungguhnya
diakui merupakan pribadi pembentuk kepribadian manusia dan pengisi
kebahagiaan serta muara segala proses didik yang sejati: pendidik manusiawi diikutsertakan dalam karya besar pendidikan agung. Ke sanalah
setiap pendidik mengarahkan bakti didiknya. Sebaliknya, kesenangan
karena menghindari penderitaan seraya mengakibatkan kemalangan
bagi bimbingan, justru mungkin sekali meniadakan kebahagiaan.
Peniadaan kebahagiaan tersebut dapat dialami, baik pada yang mendidik
maupun pada yang dididik.
102
http://facebook.com/indonesiapustaka
Releksi
1.
Pendidikan mengandung beberapa segi yang penting untuk
dipahami. Manakah bagi Anda yang paling utama?
2.
Etika memerlukan beberapa penjelasan makna dalam pendidikan.
Apakah Anda menghayati maknanya yang terdalam?
3.
Profesi memuat beberapa pengertian yang mempertegas arah
etisnya. Adakah titik berat yang Anda pilih?
4.
Perwujudan etika profesi pendidikan mencakup beberapa segi
penting. Adakah urutan kepentingan yang meneguhkan praksis
Anda?
5.
Dalam negara diperlukan arah yang menentukan baik etika, profesi
maupun pendidikan. Apa seyogia pedomannya?
103
http://facebook.com/indonesiapustaka
104
Arah Pendidikan
Akulah Jalan,
Kebenaran dan Kehidupan
(Guru dari Nasaret)
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
oto, seperti semua murid di kelas dua Sekolah Dasar pinggiran
Telukbetung, harus antre ketika mau mengambil pekerjaan rumah
yang sudah diperiksa guru. Begitu pun saat membeli gado-gado di kantin
sekolah. Sejak di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan seterusnya,
anak-anak sudah dibiasakan untuk antre. Laki-laki atau perempuan,
besar atau kecil, pandai atau bodoh, semua harus antre. Sebab dalam
diri para murid ditanamkan kesadaran dan keyakinan bahwa semua
manusia pada kodratnya setara. Antre adalah semacam pendidikan
kemasyarakatan untuk menghargai setiap warga masyarakat secara
sama, tanpa peduli lelaki atau perempuan, pintar atau bodoh, suku atau
agama apa pun. Mereka terbiasa memberi kesempatan jalan kepada
penyeberang jalan di tempat yang ditentukan, apalagi kalau dia orang
tua: suatu cara didik kerakyatan demokratis. Polisi yang mengatur
lalu lintas mendidik warga negara untuk tertib, tetapi juga bersikap
sosial sehingga berbagi kesempatan jalan sesuai dengan pranatanya.
Petugas kelurahan mendidik kerelaan untuk tanggap pada hidup
bersama bertetangga baik. Pajak pun dimaksudkan secara mendasar
untuk belajar berbagi beban kemasyarakatan.139 Ada ratusan lembaga
139 Dalam menjelaskan masalah perpajakan dan pengampunan pajak, Menteri Keuangan berkalikali mendidik warga negara untuk mengarahkan pemakaian hartanya sebagai bagian dari
hidup sosial kemasyarakatan.
105
sentuh-menyentuh dengan lembaga pendidikan, jutaan orang terjalin
dalam proses pendidikan: jauh lebih luas daripada yang tersangkut
dengan urusan-urusan persekolahan. Ruang pendidikan memang
melampaui ruang kelas. Sebaliknya, dunia persekolahan mengarahkan
diri pada kehidupan bersama masyarakat dengan melalui hidup sosial
formal di kelas dan sekolah,140 termasuk segala rincian kurikulum mata
ajar mana pun.
Untuk melayani pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan,
kerap digali pengalaman bersama, yang melampaui pengalaman
perseorangan. Pengalaman perseorangan si murid maupun si guru
hanyalah satu bagian yang dapat bersifat personal; apalagi pendidikan
di sekolah, justru karena interaksi sosialnya.141
Semua pendidikan mempunyai arah tertentu, entah dirumuskan
entah tidak. Yang dimaksudkan dengan pendidikan itu seluruhnya, baik
yang formal maupun yang nonformal atau praformal, seperti dalam
keluarga. Karena arah tersebut membawa semua yang bersangkutan,
selalu ‘memandang’ ke arah tertentu, maka dalam bahasa Latin disebut
‘visio’ dan disederhanakan menjadi ‘visi’.
Jangkauan Pendidikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kebanyakan sekolah menyibukkan diri terutama dengan pengajaran. Memang ’bisnis dasar’ sekolah biasanya dipusatkan pada ‘mengajar
140 Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa tidak memadai cara sebagian dari pemerintah untuk
menilai maju mundurnya pendidikan sekolah hanya dengan menggunakan apa yang disebut
Ujian Nasional. Sebab dengan cara itu, yang diperoleh hanyalah gambaran kemampuan murid
menangkap penjelasan buku pelajaran dan guru; sama sekali tidak menyentuh cara murid
menggapai pengetahuan maupun cara guru mendidik; apalagi memeriksa segi karakter dan
kepribadian.
141 Cara yang sejauh ini dipakai untuk Ujian Nasional juga sudah tidak sesuai dengan pola
pengajaran yang sekarang ini juga sudah dipakai di banyak gerakan pendidikan, yang
memperhatikan sekali 8-9 jenis kecerdasan sebagaimana diajarkan Howard Gardner. Itulah
sebabnya, kalau memang mau bersungguh-sungguh dengan pendidikan, perlulah para
penganjur Ujian Nasional lebih dahulu mendalami segi-segi baru dalam Ilmu Pendidikan dan
Ilmu Pembelajaran.
106
anak’. Padahal ketika orang tua menyerahkan seorang anak pada
lembaga sekolah, yang ada dalam benaknya adalah meminta bantuan
para guru supaya ’anaknya menjadi baik’. Dengan demikian, semua
tindakan di sekolah, apa pun bentuknya, bagian jawabnya adalah pada
permintaan orang tua murid: “tolong, bantu mendidik anak kami”.
Dalam konteks ini, pendidikan terdiri dari keseluruhan pengalaman yang
memungkinkan seorang pribadi tumbuh dan berkembang sebagai manusia,
sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat, warga negara, dan
warga dunia. Itulah arah umum pendidikan di sekolah. Pengajaran
hanyalah merupakan salah satu dari upaya-upaya tersebut.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Semua yang ada urusan dengan sekolah perlu merumuskan dengan
jelas mengenai arah pandang, yang dipilihnya dalam menjalankan
peran didiknya. Sebab, mereka dapat mendekati pengertian pendidikan
dari sudut tertentu, ada yang lebih menekankan persaudaraan, ada
yang lebih menonjolkan pengetahuan (malah ada yang menyebutnya
’pengetahuan yang sejajar dengan sekolah luar negeri’), ada pula yang
memfokuskan perhatian pada seni. Kalau sudah jelas ’visi’ tersebut,
dapatlah orang mencoba memahami aneka upaya yang dipilih untuk
mencapainya.
Nyatanya sering muncul dua kutub pandangan mengenai pengertian
pendidikan.142 Ada yang mengartikan pendidikan sebagai usaha menyampaikan pengetahuan dari generasi yang satu kepada generasi yang
berikut. Ada pula yang memahami pendidikan sebagai usaha untuk
membantu menyadarkan dan terbentuknya serta berkembangnya
kemampuan agar seseorang dapat memahami situasi hidupnya. Caranya mulai dengan mendiagnosis, menganalisis, mengembangkan dan
mengambil langkah-langkah bersama-sama, antara pendidik dan
murid.
142 Bdk. Beeby, C.E., Assesment of Indonesian Education, Wellington: Oxford University Press,
1979, khususnya Bab XI. Bdk. juga dengan Van Til, Cornelius, he Dilemma of Education
(Phillipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1956). Ia menandai dilema
dalam pendidikan sebagai ‘yang praktis dan idealistis’.
107
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pandangan pertama di atas dapat menyebabkan orang beranggapan,
bahwa pendidik perlu melimpahkan sejumlah pengetahuan tertentu
untuk dikuasai. Biasanya pewarisan pengetahuan itu mulai dengan
pemberantasan buta huruf dan memuncak dengan mencari pendalaman
dan pengkhususan keahlian. Pandangan kedua memungkinkan
orang berpandangan bahwa orang memerlukan kemampuan
mengenal diri sendiri, kemampuan dan bekal-bekal manusiawinya,
terutama menggunakan pikiran analitis. Selain itu, orang dibantu
untuk mengenali teman-teman di sekitarnya. Usaha pembinaannya
berlangsung dengan membantu terbentuknya sikap menghargai
diri dan lingkungannya, membangun sikap kritis, berani dan dapat
mempersoalkan segala hal dengan bertanggung jawab. Dibalik usaha
itu ada keyakinan bahwa dalam hidup ini segala hal mempunyai makna
dalam kaitan dengan si manusia: ya dirinya sendiri, ya sesamanya.
Dalam kerangka itu, hanya ada sedikit sekali hal yang sungguh pasti,
lepas dari manusia. Oleh sebab itu, dalam pendidikan, orang dilatih
untuk bertanya atau mempersoalkan hal-hal yang diragukan kebenaran
dan kebaikannya.143
Kedua arah pandangan tersebut menimbulkan
Muara Didik
banyak ketegangan sosial tentang peranan proses
pendidikan dengan lembaga-lembaganya dalam masyarakat. Situasi itu mendorong pemerintah di berbagai
negara untuk mengatur masalah pendidikan serta
membangkitkan perdebatan di kalangan para ahli pendidikan dan para
pendukung makna pendidikan tersebut.
Timbullah pelbagai sarana alternatif tentang bagaimana mengkonsepsikan pendidikan. Ada yang memusatkan perhatian untuk
menyusun kurikulum yang selengkap mungkin. Lainnya mau agar
pendidikan berurusan dengan penyampaian hal-hal yang bernilai, agar
143 Bdk. Peters, R.S., Ethics and Education (London: George Allen & Unwin Ltd., 1996), terutama
Bagian II.
108
pendidikan mengandung unsur cipta, unsur rasa, maupun unsur karsa.
Arus lain menghendaki agar pendidikan lebih dilihat sebagai usaha
pengembangan manusia dengan menghormati kebebasannya.144 Para
pemimpin Gereja Katolik yang bermusyawarah dalam Konsili Vatikan II
di pertengahan abad 20, membawa serta segala pengalaman dari kelima
benua sehingga dapat dirujuk sebagai pertemuan semesta, meyakini
bahwa pendidikan sejati bertujuan membentuk pribadi manusia dalam
kaitannya dengan arah terakhir hidupnya dan sekaligus dalam kaitannya
dengan kebaikan seluruh masyarakat; sebab dalam masyarakat itulah
seseorang hidup dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai warga
dewasa145. Di tempat lain, para peserta Konsili Vatikan II tersebut
menegaskan tujuan pendidikan: agar bukan hanya menghasilkan orang
yang berbakat tinggi, melainkan juga pribadi-pribadi yang berjiwa
besar146. Dengan kata lain, menurut Konsili Vatikan II, sebagai sidang
semesta Gereja147, arah pelayanan pendidikan, yaitu:
1.
2.
http://facebook.com/indonesiapustaka
3.
pembentukan pribadi-pribadi yang berjiwa besar dan berbakat
tinggi;
pribadi-pribadi itu mampu mengambil tempat dan berperan
serta dalam masyarakat secara bertanggung jawab sebagai warga
dewasa;
pribadi-pribadi itu pun melihat dan menghayati seluruhnya dengan
cakrawala tujuan akhir hidupnya untuk bersatu dengan Allah.148
144 Lih. Keith-Spiegel, Patricia dan Arno F. Wittig, David V. Perkins, Deborah Ware Balogh dan
Bernard E. Whitley Jr., he Ethics of Teaching (Muncie: Ball State University, 1993), terutama
Bab 8 dan Bab 11.
145 Bdk. Dekrit Konsili Vatikan II mengenai Pendidikan, Gravissimum Educationis (GE). art. 1
146 Bdk. Keputusan Konsili Vatikan II mengenai Gereja dalam Dunia, Gaudium et Spes (GS). art.
31
147 Hal tersebut dikukuhkan lagi oleh Synodus Luar Biasa Para Uskup November 1985.
148 Hal itu terutama dibahas dalam Konstitusi Dogmatis mengenai Wahyu, Dei Verbum, khususnya
pada 6 artikelnya yang pertama dan dalam Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, Lumen
Gentium, khususnya pada artikel 1. Secara lebih khas, bahan itu diolah dalam Dekritnya
mengenai Komunikasi Sosial, yang membicarakan pelbagai hal sekitar cara mengomunikasikan
hal yang benar dan baik untuk petugas-petugas gerejawi. Dokumen yang berupa pernyataan
mengenai hak manusia, Dignitatis Humanae, secara terarah membicarakan kebenaran dan
kebaikan dalam relasi Gereja Katolik dengan para penganut Gereja serta agama lain.
109
Dengan demikian, menurut pandangan Gereja Katolik, arah
pendidikan sesungguhnya menuju pada proses agar dalam diri seseorang
semakin tumbuh suburlah hal-hal yang bernilai bagi dirinya sendiri
dan bagi lingkungannya, di hadapan Tuhan yang memanggilnya ke
arah hidup abadi, puncak segala nilai. Dari sudut pandangan itu, para
pendidik mempunyai panggilan yang sekaligus manusiawi (supaya
murid menjadi ‘orang baik’) dan rohani (supaya murid dijiwai Roh Suci),
yang melampaui segala batas kelompok manusia dan alam semesta.
http://facebook.com/indonesiapustaka
menuju muara Didik
Entah sadar atau tidak, entah terucap secara bagus atau tidak,
setiap orang tua mau mendidik anaknya. Semua pihak lainnya hanya
sekadar membantu tugas pokok orang tua itu. Di antara semua yang
membantu orang tua murid, berdirilah sekolah. Dalam sekolah itu,
gurulah yang bertugas mendidiknya. Dalam menunaikan tugasnya,
guru dan sekolah seharusnya dibantu oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Jadi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mempunyai tugas dan kewajiban membantu sekolah dan orang tua
murid dengan berusaha untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu
membantu manusia Indonesia, dalam rangka usaha ke arah tercapainya
tujuan yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam
Pembukaan UUD 1945 tersurat maksud: terwujudnya masyarakat
Indonesia yang cerdas dalam hidup berbangsa, yang bebas merdeka,
berdaulat, bersatu adil dan makmur, dalam wadah Negara Republik
Indonesia, berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain, pemerintah
dan semua petugasnya mempunyai peran subsidier yang berlipat
ganda. Arah seluruh pendidikan itu dalam konteks kenegaraan adalah
menciptakan segala akomodasi dan fasilitas agar seluruh proses didik
dalam bangsa dapat sampai ke muaranya: bangsa yang semakin baik
karena manusianya semakin berkeutamaan.
110
Mengingat visi itu, guru menuju ke cita-cita149 bahwa anak-anak
mengenal diri sendiri, mengenal alam semesta, mengenal sesama
sebagai manusia, tanpa pandang bulu, dan seluruhnya itu mengenal
Yang Ilahi, Pencipta segalanya. Guru diarahkan kepada harapan bahwa
anak-anak mengenal alam sebagai bagian penciptaan yang harus
dihormati. Guru menuju ke masa depan, di mana perikemanusiaan
dilaksanakan, persatuan diwujudkan, permusyawaratan dilakukan dan
keadilan sosial diusahakan karena Tuhan disembah di mana-mana dan
oleh siapa pun.150 Hal itu merupakan tujuan pendidikan pada taraf apa
pun. Di tingkat TK dan SD hal itu tidak perlu dirumuskan sangat rinci,
namun tetap harus disampaikan kepada anak-anak, dengan cara yang
selaras dengan usia mereka.
Para pemangku sekolah dapat saja mempunyai sesuatu warna
pendidikan tertentu, dari sudut segi didik maupun dari ideologinya.
Namun fungsi menyeluruhnya, sekolah tetap membantu arah dasar
pendidikan, agar manusia menjadi semakin manusiawi. Oleh karena itu,
tahap-tahap sekolah memang perlu membantu siswa agar ada warna
khusus yang mengarahkan gerak pendidikan dalam setiap jenjang
pendidikan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pusat Perhatian
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, orang tua memakai
segala yang tersedia bagi mereka: hidup sehari-hari dan saat-saat
intim dalam keluarga. Guru menolongnya dengan lebih memperluas
lingkup pengalaman serta pemahaman anak. Dalam pelaksanaannya,
guru mempergunakan pelbagai sarana dan prasarana sekolah yang
149 Bdk. Esquith, Rafe, here are No Shortcuts (New York: Anchor Books, 2003), terutama Bab 1
dan 6.
150 Bandingkan dengan ujud Keuskupan Agung Jakarta sejak 2015-2016-2017 dst.
111
http://facebook.com/indonesiapustaka
secara adil tersedia bagi semua murid tanpa pandang bulu. Prioritasnya
selaras dengan visi dan misi lembaga yang bersangkutan. Diharapkan
bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sungguh-sungguh
secara tepat asas151 menyelenggarakan perencanaan, menentukan kebijaksanaan, dan mengadakan pembinaan terhadap:
a.
Usaha dan kegiatan pendidikan dalam sekolah dan luar sekolah,
sesuai dengan dasar pandangan bahwa pada hakikatnya pendidikan
berlangsung sepanjang hidup manusia (long life education). Usaha
dan kegiatan pendidikan tersebut mencakup seluruh hidup
manusia, maka diperlukan usaha profesional yang menjalin seluruh
manusia maupun semua manusia. Albert Biesinger menegaskan
bahwa interaksi antarmanusia dalam rangka pendidikan yang
mengikuti dinamika kemanusiaan, sebagaimana dipahami oleh
Martin Buber, mengandung pembentukan kepribadian yang
fundamental. 152 Oleh karena itu, perlulah dibedakan antara
pendidikan dan pengajaran. Cita-cita semua lembaga pendidikan
adalah terjadilah ‘pengajaran yang mendidik’ di sekolah. Harapan
itu dapat digapai apabila dipenuhi syaratnya bahwa pengajaran
yang mendidik itu dilakukan secara sadar dalam kesatuan dengan
masyarakatnya.153
b.
Usaha dan kegiatan hendaknya memajukan keolahragaan,
kepemudaan, dan kebudayaan nasional. Di masa millennium III
perlu kita sadari bahwa dewasa ini kita masih berhadapan dengan
2 problem besar, yaitu: kemiskinan dan keterbelakangan. Artinya,
anak-anak secara perlahan-lahan perlu diantar mengenali kedua
permasalahan dasar tentang martabat manusia tersebut, yang
151 Bdk. Keith-Spiegel, Patricia dll., he Ethics of Teaching (Muncie: Ball State University, 1993),
terutama Bab 18.
152 Bdk. Rotter, Hans dan Günter Virt (Hrsgs.), Neues Lexikon der Christlichen Moral (InnsburckWien: Tyrolia Verlag, 1990), s.v. Erziehung.
153 Bdk. Juga dengan Pernyataan Konsili Vatikan II mengenai pendidikan (Gravissimum
Educationis), artikel 3.
112
sesungguhnya tidak mengizinkan orang melecehkan orang lain
hanya atas dasar kondisi ekonomi, budaya maupun imannya.
Program ini tidak dapat dirancang hanya atas dasar keinginankeinginan semata-mata, melainkan atas dasar perhitungan
dan perencanaan yang benar-benar dapat dilaksanakan atau
diwujudkan, tahap demi tahap, berdasarkan ketentunan-ketentuan
prioritas.
Dalam tahap pembangunan sampai sekarang ini, pemerintah
telah mengutamakan bidang ekonomi atau materiel agar problem
atau musuh yang pertama, yaitu kemiskinan, dapat terselesaikan
lebih dahulu, dengan tidak mengabaikan bidang spiritual (pendidikan
agama dan seterusnya). Telah dipahami bahwa kesejahteraan, baik
materiel maupun spiritual sangat perlu, tetapi karena keduanya
tidak dapat diselesaikan sekaligus, maka dipilihlah terlebih dahulu
bidang materielnya. Namun, pengalaman sudah menunjukkan bahwa
masalahnya tidaklah terletak pada bidang lahiriah, melainkan sikap
dasar yang tersimpan dibalik kesenjangan kaya dan miskin: yaitu dalam
‘cara manusia saling menghargai dan saling memberi kesempatan secara
setara’. Segala perundang-undangan dan peraturan pemerintah hanya
tepat, apabila memungkinkan seluruh upaya pendidikan menuju ke
‘arah pendidikan’, sebagaimana telah dicermati.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Warna Didik
Pada tahap pembangunan sekarang ini, pendidikan jelas dipilih
sebagai bidang yang menjadi prioritas utama, tugas pokok masyarakat,
yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ada dua warna yang
menonjol di masyarakat Indonesia sekitar 50 tahun terakhir ini.
Warna pertama adalah warna ‘global’ yang menyebabkan orang tergoda
membangun persekolahan dengan slogan ‘sekolah internasional’. Warna
kedua yang berkembang adalah ‘warna Pancasila’, yang diperjuangkan
113
sejak Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan. Namun, sekitar
tahun 1950 sudah ada yang menginginkan agar pendidikan lebih
bernada ‘agamis’ sehingga mendorong orang menawarkan sekolah
dengan ‘mencuatkan agamanya’.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Warna pertama menawarkan arah bahwa tamatan suatu sekolah
akan mudah memperoleh ilmu yang menggampangkan ia diterima di
sekolah-sekolah yang lebih tinggi dan juga internasional dari negara
mana pun. Mereka berusaha untuk menyampaikan bahwa ada sejumlah
hal ‘tambahan’ di samping kurikulum dasar. Dalam upaya untuk
mendapat ‘keuntungan’ itu disisihkan dari kesadaran bahwa ‘membaca,
menulis, dan berhitung’ adalah dasar segala ilmu berikutnya. Dengan
tiga kemampuan dasar itu, studi di dunia internasional dilandasi dan
sebenarnya sudah tersedia pula warna globalisasi sekolah. Dengan kata
lain, sering kali orang mengaitkan sifat internasional suatu sekolah pada
hubungan lahiriah sekolahnya di Indonesia dengan sesuatu sekolah di
dunia internasional. Hubungan lahiriah itu terdapat pada ‘diterimatidaknya seseorang yang tamat sekolah Indonesia di sekolah luar
negeri, -terutama U.S.A. atau Inggris atau Australia-, dan sebagainya.
Untuk mencapai kaitan lahiriah itu, murid diberi banyak mata pelajaran
sehingga mereka kewalahan memenuhi nafsu lahiriah para pendidik.
Padahal kita mengetahui, Finlandia menawarkan pendidikan yang
prima, justru dengan sedikit memendam murid di kelas, mengurangi
jumlah mata pelajaran, dan mengupayakan agar anak-anak lebih
berkembang kemanusiaannya dengan bergaul dan praktik hidup.
Warna kedua menawarkan warna transenden, yakni suatu citacita agar manusia Indonesia mempelajari dunia seilmiah mungkin,
namun ingin juga melampaui dunia yang terbatas. Pada Pembukaan
UUD 1945 yang tercantum Pancasila di dalamnya, ingin ditegaskan
bahwa rakyat Indonesia mau dibantu menjadi cerdas hingga melampaui
keterbatasan materi. Generasi baru harus mampu menggapai ke arah
yang transenden, bahkan pada Yang Maha-akbar. Dalam mencapai arah
114
http://facebook.com/indonesiapustaka
itu sering diperlihatkan bahwa pendidikan mencakup sebagian sifat
agama, yang hanya mempunyai makna apabila ada iman. Dalam upaya
menggapai rakyat dan murid, banyak hal lahiriah disajikan, seperti
pakaian, bahasa dan pelbagai ritual. Ketiganya dapat membantu,
namun bukanlah intisari iman, yakni ‘relasi mendalam manusia dengan
Allah’, yang merupakan isi hakiki setiap iman dari agama apa pun.
Memusatkan perhatian pada hal-hal lahiriah dapat menyelewengkan
murid (dan orang tuanya) kepada hal-hal ‘luar’ dari iman; bukan
pada sari iman sejati. Pengalihan perhatian itu dapat bertambah lagi,
ketika kepada orang muda disorongkan pendirian-pendirian sosial
politis tertentu sehingga orang mengidentikkan posisi politis tertentu
dengan keyakinan keagamaan tertentu. Pada awal millennium ketiga,
ada banyak percobaan ke arah ini; bahkan juga menuju ke arus radikal
dan fanatik154.
Arus utama sekolah adalah mau mengarahkan pendidikan,
sedemikian sehingga murid dibantu untuk menjumpai Tuhan dan
ciptaan-Nya dengan mendidik murid masuk kepada inti dirinya.155
Artinya, murid dibantu untuk mengenali martabat kemanusiaannya
secara tepat dan mempelajari maknanya dalam pergaulan dan hidup.
Bekal utama dikatakan tersedia secara mendasar dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional 2003, yang bertumpu pada Pembukaan UUD
1945 dengan dasar Pancasilanya. Di samping merencanakan dan
melaksanakan usaha dan kegiatan dalam rangka memerangi problema
atau musuh kita yang kedua, yaitu keterbelakangan, maka kita harus
melaksanakan usaha dan kegiatan-kegiatan kita pertama-tama untuk
mendukung kebijaksanaan masyarakat seperti tersebut di atas, yaitu
dengan mengaitkan pendidikan langsung kepada pengalaman anak-anak
yang dalam tahap sekarang memberikan prioritasnya kepada bidang
154 Penelitian KOMPAS dan SETARA di awal tahun 2017 memperlihatkan arus radikal tersebut
di banyak sekolah.
155 Bdk. NN., Mencari Pendidikan Jesuit: Finding true Spirit.
115
materiel. Pendidikan harus lebih diorientasikan pada perkembangan
budi dan hati anak-anak agar pendidikan benar-benar dapat memenuhi
kebutuhan nyata masyarakat dan akhirnya dapat memusnahkan
musuh kita: keterbelakangan atau kebodohan. Untuk dapat mengatasi
keterbelakangan156 itu, arah pendidikan menjadi lebih dalam dan lebih
luas dari pada sekadar di lapisan materi dan kuantitatif saja. Peranan
pendidikan demikian itulah yang harus kita laksanakan.
Penekanan pada inti pendidikan dalam sari kemanusiaan,
menolong murid untuk tak tersangkut pada kulit-ari, tetapi masuk ke
daging pendidikan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tanggung Jawab Didik
Sejak awal sudah beberapa kali tampak bahwa seluruh bangsa
mempunyai tanggung jawab didik agar generasi muda semakin mengenal
panggilannya sebagai manusia di tengah sesama dan dunianya. Setiap
bagian masyarakat perlu melaksanakan pendidikan dalam kerja sama
nyata dengan keadaan orang tua murid.157 Keadaan ekonomi orang tua
murid dapat berlapis-lapis: dari amat kaya sampai amat miskin, dari
kebudayaan satu ke kebudayaan lain. Penyelenggara pendidikan dapat
melaksanakan pendidikan yang baik apabila melayani kebutuhan setiap
bagian masyarakat. Misalnya, agar pelayanan sekolah selaras dengan
hasrat terdalam orang tua dan jangan sampai keluarga menghabiskan
investasinya untuk biaya sekolah sedemikian sehingga hidup keluarga
pincang. Dalam hal pembiayaan pendidikan, pemerintah perlu menjaga
agar penyelenggaraan dan kelancaran pendidikan menjadi tanggung
jawab bersama: pemerintah, orang tua murid dan masyarakat.158 Sila
156 Bdk. Sugi, Br. Frans, FIC., Jati Diri Pendidikan (Muntilan: Percetakan Pangudi Luhur, 2008),
hlm. 323.
157 Bdk. Arthur, James with Richard Bailey, Schools and Commmunity (London-New York: Falmer
Press, 2000), hlm. 27-46.
158 Bdk. Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
khususnya Bab V.
116
kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menemukan
wujudnya yang nyata dan amat berharga dalam pembiayaan pendidikan,
yang sejak beberapa tahun memakan 20% Anggaran Belanja Negara.
Pengertian dan kerja sama atau bantuan dari masya rakat tetap
merupakan hal yang mutlak diperlukan. Namun, hendaknya hal ini tidak
melupakan kenyataan bahwa orang tua murid telah membayar iuran
mereka: berupa sekian banyak pajak dari PBB sampai pajak penghasilan
dan aneka pajak lain. Dengan kata lain, pemerintah harus didesak untuk
mengakui bahwa wajib menyediakan porsi banyak pengeluaran negara
di bidang pendidikan.159
Peran Sekolah
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tugas mendidik secara perdana sudah dilihat sebagai panggilan
orang tua. Hal serupa dilakukan oleh ‘keluarga besar’, yang meliputi
masyarakat setempat. Kerap kali mereka disebut sebagai ‘pendidikan
informal’; suatu rumusan yang sesungguhnya dapat menyelewengkan
tata pendidikan keseluruhan. Setiap sekolah mengambil tanggung
jawab untuk merangsang pertumbuhan kepribadian melalui aktivitasaktivitas berencana dan yang mempunyai sasaran-sasaran tertentu.160
Sekolah dapat ikut mengusahakan agar kelak persoalanpersoalan besar pendidikan dapat dipecahkan dengan
Kecerdasan
lebih baik.
Salah satu fungsi penting sekolah yang sering kali
dikemukakan adalah ‘mencerdaskan’ anak. Fungsi ini
perlu dijalankan dengan terus memberi tempat utama pada orang tua
sebagai pendidik utama. Pelayanan sekolah akan memenuhi tugasnya
159 Bdk. Freire, Paulo, he Politics of Education, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari
bahasa Inggris yang merupakan terjemahan juga dari bahasa Brasil. Terjemahan Indonesia
dilakukan oleh Read, Yogyakarta, 1999. Bab 7 dan 8 secara khusus menyentuh bagian yang
sedang dikupas ini.
160 Bdk. Arthur, James with Richard Bailey, Schools and Commmunity (London-New York: Falmer
Press, 2000), hlm. 27-46), terutama Bab 3 dan 7.
117
http://facebook.com/indonesiapustaka
secara profesional, apabila memperhatikan ajaran Howard Gardner,161
bahwa para murid dapat saja memiliki beraneka kecerdasan. Tradisi biasa
memusatkan perhatian kepada kecerdasan logis-matematis. Itulah
sebabnya, mengapa pelajaran matematika sering mendapat tekanan
besar, baik dari pihak sekolah maupun para murid, dengan segala
dampak pedagogisnya. Padahal diakui adanya kecerdasan bahasa, yang
juga amat berarti dalam hidup manusia. Bahkan Persatuan Indonesia
(sila ketiga) maupun Kedaulatan Rakyat yang diwujudkan dalam
musyawarah untuk mufakat (sila keempat) hanya mungkin terlaksana,
apabila para murid sejak muda dilatih dalam kecerdasan linguistik.
Untuk pelaksanaannya diperlukan kecerdasan interpersonal sehingga
memungkinkan orang berinteraksi dengan sesama, secara cerdas.
Kecerdasan interpersonal disadari sejak zaman Sumpah Pemuda dan
penciptaan lambang negara, yang mencantumkan Bhinneka Tunggal Ika
secara mencolok. Luasnya negeri, banyaknya suku serta melimpahnya
keyakinan serta keimanan orang Indonesia hanya dapat diolah agar
memuaskan apabila kecerdasan interpersonal sungguh digarap. Didalamnya termaktub kebutuhan akan tata bahasa dan penguasaan bahasa
lisan di samping pemahaman sastra Indonesia yang berwarna dasar
kebudayaan tertentu.
Interpersonalitas relasi tersebut membutuhkan kecerdasan
intra personal, yang membawa seseorang mampu memasuki diri
secara mendalam, guna menangkap potensi-potensinya.162 Sebab
interpersonalitas pada dasarnya kecerdasan dalam membagikan
diri, dari yang paling materiel sampai pada yang bersifat kejiwaan.
Dalam komunikasi, di antara potensi-potensi manusia, seseorang
dapat memiliki kecerdasan musikal, yang membawanya tidak hanya
sukacita bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi sesamanya. Nyatanya
161 Gardner, Howard, Multiple Intelligences (New York: Harvard University, 1998), terutama
Bab 1.
162 Bdk. Pradipto, Op.cit, khususnya Bab IV.
118
http://facebook.com/indonesiapustaka
segala kebudayaan Indonesia dan seluruh dunia disuburkan oleh
sukacita yang terungkap melalui kecerdasan musikal. Dalam pergaulan
bersama berikut aneka kegiatannya, seseorang dapat menemukan
dan mengembangkan kecerdasan visual-spasial, yang memperkaya
penguasaan medan yang bersifat amat sosial. Latihan berorganisasi dan
penyelenggaraan pertemuan, yang diperlukan untuk menyempurnakan
kecerdasan interpersonal, membutuhkan kecerdasan visual-spasial.
Selain itu, seseorang dapat memiliki kecerdasan kinestetik, yang
memungkinkannya untuk mengembangkan pelbagai cara dan metode
pemanfaatan segala daya dan tenaganya untuk maju dalam hidup.
Di sana kemampuan berolahraga dan bergerak dalam kebersamaan
menyediakan ruang luas guna melaksanakan kecerdasan-kecerdasan
lain. Lebih lanjut, seseorang akan menjadi pribadi yang amat kaya,
apabila memiliki kecerdasan natural, yang memungkinkannya
menangkap aneka peluang berelasi dengan alam semesta. Kecerdasan
itu menyebabkan ia dapat kreatif sekali memanfaatkan situasi dan
kondisi di sekitarnya. Apalagi kalau pendidikan mau membangkitkan
cinta ekologis demi masa depan nusantara. Akhirnya Howard Gardner
masih menemukan kecerdasan spiritual, yang memungkinkan manusia
menggapai ke arah pusat segala intelektualitas, yakni Yang Ilahi.
Pada segi ini, pengembangan kecerdasan spiritual bukanlah sesuatu
yang seyogianya disempitkan dalam bidang agama, melainkan pada
kemampuan untuk saling berbagi pengalaman secara rendah hati dan
sosial demi kebersamaan bangsa yang menjunjung tinggi Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Biasanya dengan program sekolah, anak didorong untuk menemukan kecerdasan dan mengembangkannya secara optimal. Oleh
sebab itu, porsi besar diberikan oleh sekolah untuk sungguh membuat
anak berkembang dalam aneka segi dirinya. Dengan pengembangan
kecerdasan majemuk itu, anak dapat menangkap relasi-relasi sosial
dan hubungannya dengan sesama dan alam semesta, tidak hanya
pada lapisan afektif dan emosional melainkan secara serebral dan
119
intelektual.163 Hal tersebut pada gilirannya akan membantunya untuk
bersikap dewasa dan rasional dalam mengembangkan relasi afektif dan
relasi sosialnya.
Tuntutan sekolah untuk ‘mencerdaskan murid’ perlu dipahami
secara tepat. Tugas itu menjadi sarana pendidikan yang baik, apabila
murid dibantu untuk memahami banyak masalah afektif dan sosial
serta spiritual dengan cerdas, ia dibantu memahami makna tradisi
dan kebudayaan secara cerdas. Murid perlu dibantu mengerti dengan
cerdas ‘aneka prinsip dan dasar pedoman etika dan moral sehingga
siap juga menyambut pewahyuan Tuhan yang disembahnya’. Sekolah
tidak cukup mendidik, apabila hanya menyuruh murid secara fasih
mendaraskan doa dan bagian-bagian kitab suci. Sekolah dipanggil juga
untuk mendampingi murid memahami ajaran iman secara cerdas, seraya
menatanya dalam integrasi diri yang siap memberi diri pada sesama.
Dasar pemikiran tersebut terletak dalam keyakinan bahwa: yang
diciptakan Tuhan itu diri murid yang mencakup si hati, si budi
maupun seluruh kehendaknya untuk bertindak dan melangkah, dalam
keluarga besar umat manusia. Perkembangan ilmu sejauh ini membawa
keyakinan pula bahwa manusia juga harus mampu mengintegrasikan
diri dalam kesatuan semesta alam.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Syarat Sekolah
Mengingat kompleksnya pendidikan, sekolah hanya dapat
berfungsi dengan tepat asas dan berhasil guna apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat itu menyangkut murid164, guru, lembaga
dan metode serta sikap dasar yang perlu dipenuhi oleh seluruh lingkup
persekolahan, seperti:
163 Bdk. Arthur, Op.cit., khususnya Bab 2 dan 7.
164 Bdk. Willingham, Daniel T., Why don’t Students like Schools? (San Francisco: Jossey Bass, 2009),
terutama Bab 1 dan 6.
120
http://facebook.com/indonesiapustaka
a.
Sekolah perlu secara berkala menyusun dan merumuskan kembali
visi, yang selaras dengan arah dasar pendidikan yang sejati. Visi
tersebut dijabarkan dalam misi yang terlaksana secara tepat asas.
Tak perlu dipanjanglebarkan bahwa seyogianya penentuan visi
tersebut dilaksanakan dalam interaksi (atau sepengetahuan) orang
tua murid, yang merupakan pendidik perdana.
b.
Sekolah memberi bantuan kepada murid agar menggali dan
mengembangkan kepribadian yang integral dan suara hati yang
jernih. Suara hati didalami dan dikembangkan melalui pendalaman iman yang perlu dilakukan secara profesional juga.
Profesionalitas tersebut diandaikan dimiliki oleh guru resmi
dari lembaga persekolahan yang bersangkutan. Sementara itu, di
banyak tempat, orang tua terbiasa untuk mengadakan pelajaran
tambahan, termasuk pelajaran tambahan pada lapisan iman.
Murid akan mengalami kesulitan, apabila arus keimanan dalam
lembaga berbeda profesionalitasnya dengan yang ditambahkan di
luar sekolah. Dengan bekal yang sama-sama profesional itu, murid
diharapkan menjadi pribadi yang matang dalam mengambil bagian
di masyarakat dengan semangat solidaritas.
c.
Selain itu, sekolah perlu diusahakan menjadi bagian integral
dari masyarakat sekitarnya termasuk negara. Sesuai dengan
asas pendidikan seumur hidup, sekolah hendaknya mempunyai
dwifungsi: mampu memberikan pendidikan formal dan sekaligus
pendidikan informal, baik untuk para pemuda-pemudi maupun
untuk orang pria dan wanita dewasa;
d.
Sekolah hendaknya memperhatikan pula keterpaduan dengan
kerja sama di masyarakat. Dalam kerja sama luas, segi-segi
politis, ekonomis, teknis, budaya mengambil bagian penting. Di
antaranya yang terpenting adalah terbentuknya kepribadian yang
mandiri, memiliki hati nurani yang benar, memiliki rasa sosial yang
terbuka, dan juga menyiapkan tenaga kerja yang memiliki watak,
121
http://facebook.com/indonesiapustaka
pengetahuan dan keterampilan bagi pembangunan bangsa dan
negara di berbagai bidang. Cara mendidik tersebut dari satu sisi
memungkinkan tumbuhnya generasi yang mandiri dan kreatif, dari
sisi lain juga mampu melanjutkan pelbagai tahapan yang sudah
dicapai oleh generasi sebelumnya.
e.
Selanjutnya, sekolah hendaknya mempunyai sarana atau prasarana dan sesuai dengan tujuannya. Sarana atau prasarana dapat
mengandung posisi geograis ke luar dan ke dalam secara tepat
guna, dapat pula bentuk ruang-ruang yang memungkinkan proses didik berjalan secara berhasil guna. Konstruksi tersebut perlu
didukung oleh peralatan yang juga tepat guna supaya proses didik
tidak menjadi pincang apabila deisit dalam penyiapannya. Oleh
sebab itu, petugas pelaksananya tidak dapat dipandang sekadar
sebagai buruh dan tukang, melainkan juga menjadi bagian penting
dalam proses didik. Oleh sebab itu, sangat berharga sekali para
petugas yang memiliki rasa dan kemampuan secukupnya dalam
menjalankan ‘interaksi didik’ dengan para murid.
f.
Seluruh pertimbangan sejauh ini menunjukkan, betapa banyak
unsur-unsur yang diperlukan, apabila sekolah mau menjadi
lembaga didik yang tepat asas, berdaya guna dan berhasil guna.
‘Berguna-tidak’-nya sekolah sudah tampak sejauh ini, memang
mengandung unsur-unsur materiel, organisatoris, namun yang
paling penting ‘memiliki profesionalisme manusiawi’ yang tepat.
Pelbagai syarat tersebut di atas diperlukan justru karena peran sekolah adalah subsidier: sekolah membantu para pemangku kepentingan.
Diperlukan suatu mekanisme untuk menjamin terpeliha ranya
dialog yang berkesinambungan antara sekolah, orang tua murid dan
masyarakat, mengenai hal-hal seperti: pembinaan wilayah, masalah
kesempatan bekerja, pembelanjaan pendidikan, dan sebagainya.
Dialog intern pun, yaitu intrasekolah dan antarsekolah amat perlu
agar dalam implementasi pendidikan masing-masing dan bersama122
sama dapat dicapai tujuan pendidikan yang sebenarnya. Suatu lembaga
persekolahan dapat saja mempunyai sasaran didik yang khas, selaras
dengan tujuan diciptakannya.
Sasaran Didik Sekolah
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendidikan berlangsung demi pertumbuhan murid dan masyarakat,
yang tidak senantiasa dapat diramalkan sebelumnya. Oleh sebab itu,
sekolah yang membantu proses didik perlu peka menangkap sasaran
pendidikan yang mampu dijalankannya. Di dalamnya termaktub
pengakuan bahwa sekolah tidak begitu saja dapat melaksanakan segala tugasnya dari segi luas, tetapi juga
dari segi tahapan pendidikan. Oleh sebab itu, tujuan Sasaran Didik
pendidikan persekolahan perlu dijabarkan dalam
paduan-paduan sasaran yang khas, seperti berikut:
a.
pendidikan watak, yang tampak dalam penyadaran dan pendalaman
nilai serta sikap-sikap (value and attitudes); pendidikan watak ini
erat berkaitan dengan suara hati yang pembentukannya membutuhkan kebatinan yang tepat. Namun, dalam suatu negara
majemuk, perlu sekali pengertian watak yang terbuka dan tidak
begitu saja diidentikkan dengan sesuatu agama. Pendidikan
watak membutuhkan orientasi ke-Indonesiaan, yang menguatkan
persatuan kebangsaan, dalam kesadaran mendalam yang toh sudah
dapat dijabarkan dari Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, di samping Persatuan Bangsa Indonesia.
Ketiga sila tersebut dapat mendorong terbentuknya watak yang
tepat bagi warga negara yang semakin dewasa.
b.
pengetahuan (knowledge); proses-proses kognitif (cognitive processes), yakni proses, kemampuan dan tindakan untuk mengetahui
sesuatu. Bagi pembinaan kurikulum dan silabus adalah amat penting
untuk pertama-tama menentukan imbangan atau persentase di
123
antara kelima sasaran pendidikan tersebut. Berikutnya sangatlah
penting untuk mengetahui komponen-komponen tiap-tiap bidang
sasaran sehingga dapat ditentukan dengan tepat jenis-jenis mata
pelajaran yang terbaik dapat mewakili atau mencakup komponenkomponen tersebut. Selanjutnya berguna sekali untuk mengadakan
penyebaran jenis-jenis mata pelajaran secara seimbang di dalam dan
di antara setiap tingkat dan tahap pendidikan, serta memberikan
isi pelajarannya yang paling sesuai. Sekaligus perlulah sekolah tahu
diri, pendidikan terjadi, baik di sekolah maupun di luarnya, seperti
dalam keluarga dan melalui radio, televisi, dan media elektronik
yang beraneka macam. Sekolah tidak hanya tidak mampu, tetapi
juga tidak layak mengira dapat memonopoli pendidikan. Seluruh
‘stake holders’ mempunyai tugas untuk mendidik dan karena itu
mengambil bagian dalam proses didik.
http://facebook.com/indonesiapustaka
1. Pendidikan Watak
Pada bagian-bagian awal berkali-kali disebut harapan orang tua
ketika menitipkan anak kepada guru atau sekolah “supaya menjadi
orang baik”. Harapan itu dimiliki orang tua di seluruh dunia. Di
Indonesia, ada harapan agar anak memiliki watak yang baik. Artinya,
murid mampu mengenali diri sendiri secara memadai sesuai dengan
usia dan tahap pendidikannya, memiliki kecerdasan yang berkembang
selaras dengan tingkat hidupnya, mempunyai kreativitas dalam
menempatkan diri di tengah alam dan sesamanya, menata perasaan
yang tepat waktu serta tepat tempat maupun tepat sahabat. Untuk
itu, murid membutuhkan pendampingan membentuk diri, khususnya
wataknya. Melalui pendidikan watak, murid diharapkan berperilaku
semakin lama semakin baik, menjadi manusia yang berwatak baik.
Dalam rangkaian dengan Pancasila, baik melalui pengajaran tiap-tiap
sila dari Pancasila, maupun melalui praktikum dan praktik pengamalan
serta pengamanan keseluruhan integralnya, murid diharap memiliki
124
watak pancasilais. Pendidikan watak bertujuan membentuk manusia
yang mandiri, cakap, kreatif, optimistis, dan bertanggung jawab.
Cara pendidikan watak menyeluruh, baik dengan mengikuti
pengajaran tentang aneka watak, maupun dengan mengambil bagian
dalam seluruh kegiatan sekolah, yang menuntut kreativitas dan
komitmen kepribadian seutuhnya. Oleh sebab itu, kurang memadai
kalau pendidikan watak hanya dilakukan melalui ‘pelajaran budi pekerti’
atau ‘pelajaran kerohanian’, atau ‘pendalaman Pancasila’. Sebab, watak
bukanlah teori mengenai moralitas, melainkan perwujudannya dalam
tindakan pribadi maupun berkelompok.
Bahkan pada akhirnya, tanggung jawab yang begitu penting dalam
pembentukan watak, perlu ditunjukkan dalam pertanggungjawaban
kepada Dia, Yang Menyelenggarakan seluruh pendidikan. Oleh sebab
itu, pendidikan watak, memang tidak identik dengan pendidikan
keimanan, tetapi erat berkaitan satu dengan lainnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kekuatan dan kedalamannya semakin tampak, ketika orang
menyadari dan mengimani bahwa segala sesuatunya ada, berkembang
serta menjadi dewasa, apabila semakin disuburkan oleh rahmat dan
karunia Yang Mahasuci.
Pendidikan watak akan terintegrasikan dalam pendidikan yang utuh,
apabila pendidikan perwatakan dari agama dapat diungkapkan selaras
dengan pendidikan watak budaya dan kemanusiaan dasariah. Sebab
dengan demikian, pengertian-pengertian yang cenderung berwarna
teologis dan ilosois, dapat diintegrasikan dengan pengalaman harian
perseorangan maupun sosial. Tanpa upaya itu, pendidikan watak dapat
tinggal di permukaan atau bersifat verbal dan ritualistik. Seluruhnya
berjarak dari inti diri yang tersadari. Pendidikan watak memerlukan
sifat yang integral.
125
2. Pendidikan Pengetahuan
Sumbang sih yang sering diharapkan orang tua dari sekolah adalah
memperkaya diri manusia muda antara lain dari segi pengembangan
akal budi, pendewasaan perasaan, serta kemampuan menguasai tindak
langkah selaras dengan kewajiban diri dan sesamanya: sejumlah hal yang
memang terintegrasikan dengan pendidikan watak. Untuk mencapai
semua itu, diperlukan banyak pengetahuan. Pendidikan pengetahuan
pada asasnya merupakan pendidikan untuk mengembangkan
kecerdasan, yang mengandung 8 kecerdasan dan pada umumnya
dikatakan dapat dicapai melalui 2 kelompok ilmu-ilmu pengetahuan,
yakni kelompok matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, serta
kelompok ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Dua kelompok
ilmu tersebut membentuk satu perpaduan, walau dalam pelaksanaannya
sangat sering dibeda-bedakan; bahkan sering dipersaingkan. Namun
karena manusia adalah utuh, kedua bidang keilmuan tersebut
membutuhkan kesesuaian satu sama lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka
2.1 Pendidikan Matematik dan Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam
Orang yang baik, sebagaimana diharapkan orang tua, diharapkan
tidak bicara seakan-akan mimpi atau melamun, melainkan berdiri di
bumi nyata, membuka mata dan telinga atas kejadian sebenarnya di
sekitarnya, melangkah dengan kewaspadaan apa adanya. Untuk itulah
diberikan pendidikan logis matematis, kritis dan kreatif. Semuanya
dapat dicapai melalui matematika dan aneka ilmu-ilmu pengetahuan
alam. Konsep-konsep science adalah ilmu manusiawi, yang merupakan
hasil dari usaha manusia untuk mengategorisasikan, mengorelasikan,
dan menerangkan pengamatan-pengamatannya tentang lingkunganlingkungan isik dan biologisnya. Struktur konsepsional dari science
adalah dinamis dan bukan merupakan suatu kumpulan pengetahuan
yang statis. Tiap-tiap konsep harus dianggap sebagai pernyataan,
yang berguna dalam arti dapat meramalkan kejadian-kejadian di masa
126
depan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut
sambil memberikan arah untuk membuat pengamatan-pengamatan
lebih banyak lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Untuk pengembangan ilmu tersebut diperlukan sejumlah prosesproses utama, yang mencakup sebagian terbesar dari aktivitas-aktivitas
murid yang cocok untuk pengenalan dunia:
a.
mengamati (observing), yaitu yang membuka orang pada hal-hal di
luar dirinya;
b.
menggolong-golongkan (classifying), yaitu yang menolong orang
membagikan jutaan data menjadi kelompok-kelompok yang
mempermudah pemahamannya;
c.
menurunkan (inferring, aleiden), yaitu yang membantu orang untuk
menjabarkan hal-hal yang ditangkapnya dalam golongan-golongan
yang lebih dapat dimengerti;
d.
meramalkan (predicting), yaitu memperhitungkan perkembangan
data mengikuti dinamika pertumbuhannya;
e.
mengukur (measuring), yaitu memahami kait-mengait bagianbagian dari data yang bersangkutan, untuk mencakupnya dalam
gugusan yang lebih terpahami;
f.
mengomunikasikan (communicating), yaitu proses untuk menjadikan
hasil studi sebagai bahan untuk memperkaya kebersamaan manusia
dengan tambahan pengetahuan baru;
g.
menafsirkan data (interpreting data), yaitu proses menangkap
makna setiap data demi kepentingan pengetahuan dalam urutan
atau kaitan satu sama lain;
h.
membuat definisi-definisi operasional (making operational
deinitions), yaitu merumuskan kembali data sehingga mempermudah komunikasi lebih lanjut;
127
i.
merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan hipotesa-hipotesa (formulating questions and hypotheses), yaitu membangun ancangan
untuk pengetahuan lebih lanjut tentang buah pemikiran yang
beraneka warna;
j.
bereksperimen (experimenting), yaitu mencoba beberapa kemungkinan pemahaman baru dari kait-mengait antara beberapa
data dan pemahaman, yang dihasilkan oleh hipotesis-hipotesis;
k.
merumuskan model-model (formulating models), yaitu mengalimatkan alternatif-alternatif perkembangan teori ilmu yang baru atas
aneka kait-mengait hasil pemikiran yang sudah tercapai.
Kemampuan menganalisis ini perlu dilengkapi dengan daya sintesis
untuk dapat memanfaatkan perkembangan bagian ilmu yang sudah
dikembangkan guna sesuatu kepentingan, serta memberi kemampuan
kepadanya untuk mewujudkan pemanfaatan tersebut.
http://facebook.com/indonesiapustaka
2.2 Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial
Juga dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial, yang mencakup sejarah,
geograi, antropologi, sosiologi, ekonomi dan ilmu politik, hendaknya
ditempuh “inquiry-centered approach”. Pengetahuan faktual merupakan
“conventional wisdom” yang terus-menerus membutuhkan langkah
lebih lanjut. Tidak semua fakta dapat atau seharusnya dipelajari, tetapi
para pendidik hendaknya membantu para murid untuk mengumpulkan kompleksitas dari fakta-fakta yang mereka hadapi dan menyusunnya dalam konsep-konsep. Konsep adalah wahana pemikiran
yang merupakan abstraksi yang dipakai untuk mengorganisasikan,
memberikan arti, dan mengomunikasikan pengalaman manusia.
Dua konsep atau lebih, dapat mempunyai hubungan, dan timbullah
generalisasi. Konsep dan generalisasi dianggap sebagai tahap-tahap
untuk menyederhanakan pengalaman manusia. Konsep-konsep
memberikan urutan-urutan dan arti kepada data-data, se dangkan
128
generalisasi memberikan urutan-urutan dan arti kepada konsepkonsep.
Dilihat dari segi pembinaan kurikulum hendaknya jangan dilupakan fakta bahwa antara science dan aktivitas-aktivitas manusia
terdapat pengaruh-pengaruh timbal balik: science memengaruhi
aktivitas-aktivitas manusia, dan sebaliknya science pun dipengaruhi oleh
aktivitas-aktivitas manusia. Dalam kaitan satu sama lain itulah, hidup
manusia tumbuh dan berkembang tanpa henti. Dalam perkembangan
itu pun hukum alam ditemukan lagi dan lagi: manusia semakin kenal
dengan mempelajari alam semesta dalam dan di luar tubuhnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Perpaduan
Integrasi seluruh proses pengetahuan tersebut menciptakan
manusia yang semakin lama semakin kenal alam semesta dan
kemanusiaan dalam kaitan satu sama lain; bukan sekadar tahu yang
terkeping-keping. Dengan memperpadukan watak pengetahuan dan
kecerdasan keterampilan diharapkan tercapailah suatu imbangan yang
harmonis antara “hati - budi - kaki” bagi setiap murid, yang disesuaikan
dengan kemampuan, hasrat, dan bakat mereka masing-masing, demi
kepentingan masa depan baik anak didik itu sendiri
maupun masyarakat di sekitarnya, di mana ia selalu
Learning by
harus dapat berkomunikasi dan menyesuaikan diri.165
Doing
Keterpaduan pengetahuan menjadikan manusia dapat
menguasai diri dan lingkungannya: manusia yang
seimbang.
Untuk dapat melaksanakan proses didik tersebut, tentu saja
diperlukan banyak persiapan-persiapan serta perencanaan-perencanaan
165 Bdk. Panduan Sekolah Demokrasi untuk Komunitas FBO (Faith Based Organization) dalam
Pendidikan Demokrasi untuk Faith Based Organization: Modul Civic Education (Jakarta: PBNU,
2013), hlm. 29-43.
129
cermat, antara lain mengenai tenaga, alat-alat dan kurikulum. Secara
sederhana, dalam kerangka ini, ‘mengajar’ adalah memberi stimulus
atau perangsang untuk belajar. Sedangkan belajar adalah proses aktif
yang dijalani melalui berbuat, mengadakan reaksi, dan mengalami.
Akan tetapi, anak didik itu bukanlah sekadar rangkaian mekanisme
stimulus-response. Murid dalam proses belajar itu dibantu untuk mampu
mengambil bagian utuh dalam pendidikan dirinya sendiri.
Segala sesuatu yang dilakukan untuk mendinamisasikan proses
belajar itu tercakup dalam metode mengajar. Metode adalah rangkaian
prosedur sistematis yang dibentuk untuk menyalurkan sejumlah
aktivitas yang bulat sehingga seluruhnya membentuk kesatuan. Adapun
teknik dan cara adalah bagian-bagian dalam metode termaksud. Teknik
dan cara itu adalah prosedur-prosedur pembantu yang direncanakan
untuk suatu tujuan, hal atau saat yang khusus.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Metode sistematis itu adalah sangat penting dalam bidang-bidang:
mengetahui, berpikir, belajar, dan mengajar. Metode-metode itu harus
memperhitungkan sifat dari proses belajar dan dari pelajar, tujuan
atau hasil belajar yang dikehendaki. Metode-metode itu harus berbeda
apabila tantangan-tantangannya berbeda-beda dan untuk tujuan
pendidikan umum dan khusus yang berbeda-beda pula. Namun, mereka
semua tetap harus membentuk keutuhan.
Proses belajar dari murid tergantung pula pada tahap perkembangan
atau kematangan dari daya tangkap, inteligensi, dan temperamennya.
Ada kalanya faktor-faktor keturunan dan bukan faktor-faktor latihan
yang memegang peranan dalam kapasitasnya untuk maju dalam suatu
bidang.
Penghambat Pendidikan Sekolah
Jarak antara Sekolah dan masyarakat
Sebagai suatu lembaga, sekolah-sekolah mengambil posisi
tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian, tentulah ada sesuatu
130
http://facebook.com/indonesiapustaka
jarak antara sekolah dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini
melambangkan adanya maksud untuk memberi tempat khusus kepada
sekolah yang diharapkan memang mempunyai makna bagi masyarakat,
namun tetap berada dalam sesuatu jarak dengan perwujudan hidup
kemasyarakatan. Sebab sekolah dilembagakan justru untuk memberi
fokus gerak tertentu, demi persiapan profesional, agar
generasi muda membawa masyarakat bergerak lebih
Sekolah di
maju lagi. Dalam hal ini tujuan utama sekolah tidaklah
Masyarakat
untuk merugikan masyarakat. Namun, jarak tersebut
dapat juga menghambat berfungsinya sekolah bagi
masyarakat.
Negara-negara yang telah mencapai tingkat kemajuan tertentu,
melihat bahwa sekolah adalah suatu kekuatan positif bagi berjalannya
roda masyarakat secara profesional. Tetapi negara-negara itu pun
melihat pula bahwa sekolah tidak serta merta tumbuh menjadi kekuatan pembaruan karena ada syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi terlebih dahulu apabila benar-benar dikehendaki adanya
kekuatan-kekuatan itu. Tanpa terpenuhinya syarat-syarat itu, sekolah
lebih banyak bersifat konsumtif daripada bersifat produktif, sekolah
mungkin saja cenderung lebih banyak bersifat mengawetkan nilai-nilai
yang sudah usang daripada menjadi sumber inspirasi nilai-nilai baru,
sekolah lebih banyak merupakan masalah daripada merupakan potensi,
sekolah lebih bersifat ‘survival’ dan bukannya bersifat ‘developmental’,
dan sekolah dapat berperan sebagai kekuatan dan benteng yang terkuat
dalam menentang segala macam pembaruan.
Ketidakseimbangan Vertikal
Dalam hubungan ini pula, di antara masalah-masalah pendidikan
yang sangat erat hubungannya dengan sistem pendidikan itu adalah
antara lain tidak adanya keseimbangan vertikal, yaitu perimbangan
kesempatan belajar (penampungan) dari tingkat sekolah di bawahnya
131
ke tingkat di atasnya sangat tidak memadai sehingga pola piramida
pendidikan menunjukkan gambar yang tidak serasi.
Akibat tidak ada keseimbangan vertikal tersebut di atas, sangat dirasakan di mana setiap permulaan tahun ajaran selalu timbul kegelisahan dan kegoncangan dalam masyarakat, tidak adanya
keseimbangan antara permintaan dan penyediaan tempat penampungan dan secara akumulatif menimbulkan distorsi dalam pola
penyediaan tenaga kerja di Indonesia, yang memerlukan waktu sangat
lama untuk memperbaikinya. Sedangkan tidak adanya keseimbangan
vertikal mengakibatkan sekolah kurang dapat menunjang keperluan
pembangunan dalam penyediaan man power menambah jumlah
pengangguran intelektual dan menambah kuatnya arus “urbanisasi”
yang sekaligus menimbulkan kekosongan tenaga potensial di desa
atau daerah.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ketidakseimbangan Horizontal
Sementara itu dapat pula terjadi bahwa terganggulah keseimbangan
horizontal, yaitu bahwa perbandingan jumlah, baik mengenai banyaknya
pelajaran maupun kesempatan belajar, antara pendidikan kejuruan atau
teknik dan pendidikan umum atau sosial, sangat tidak serasi, dan tidak
sesuai dengan kebutuhan. Kepincangan tersebut menyebabkan orang
tidak melihat alternatif sekolah generasi muda. Murid juga tertutup
matanya untuk melihat bahwa sekolah umum dan sekolah ‘vokasional’
sama-sama merupakan tempat pengembangan diri: tergantung dari
jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Ketidakseimbangan
horizontal dapat pula disebabkan oleh kelengahan pemerintah, dalam
hal menjelaskan kepada rakyat mengenai kebutuhan masyarakat yang
dapat dipenuhi, baik dengan sekolah jenis A, B, atau C, pada tingkat
mana pun.
132
Dalam masyarakat, kerap disebarkan iklan yang mementingkan
sekolah umum, padahal sebenarnya banyak murid lebih cocok pada
sekolah kejuruan. Kecocokan tersebut dapat disebabkan oleh kondisi
daerah, kondisi ekonomi, kecakapan murid maupun tersedianya
guru yang kompeten. Masyarakat juga sering mengikuti arus, sekitar
50 tahun yang sering dipropagandakan, yakni “sekolahlah”; tanpa
menjelaskan aneka jenis persekolahan. Pada masa sekarang diperlukan
penjelasan yang lebih cermat, mengenai pelbagai macam sekolah.
Penjelasan yang lebih tepat mengenai aneka kemungkinan bersekolah
dapat membantu masyarakat untuk terbuka pada bentuk-bentuk
lembaga yang ditawarkan demi pertumbuhan pribadi generasi muda.
Pelbagai macam tawaran tersebut tidak hanya membuka mata pada
kemungkinan-kemungkinan sekolah, tetapi peluang kerja di masa
depan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
metode Verbalistis
Pendidikan, terutama di sekolah, akhir-akhir ini berkaitan erat
dengan kertas dan buku. Bukanlah pemandangan istimewa, kalau di
pagi hari, bus dan kereta api serta jalan-jalan dipenuhi oleh ribuan
anak, yang dibebani tas penuh lembaran kertas. Bahkan, Pendidikan
Anak Usia Dini dan Taman Kanak-kanak sudah harus menyeret tas
berat. Guru diwajibkan menuliskan persiapan pelajaran dan kemudian
mencatat evaluasinya, serta pada waktu tertentu dilaporkan (dengan
kertas pula) dengan ratusan kata ke Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Ujian juga ditentukan dalam bentuk tes kata-kata.
Verbalisme menyebar sebagai penyakit di sekolah. Metode verbalistis
dianggap mempermudah negara mengevaluasi ‘dunia pendidikan’.
“Wörter über alles” = kata-kata di atas segalanya. Dengan demikian,
dunia persekolahan diwajibkan menonjolkan ‘kecerdasan logis
matematis’, sesuatu yang merupakan salah satu dari 8 kecerdasan, yang
dipelajari Howard Gardner. Rapor murid dipenuhi hasil tes mengenai
133
bagian kecerdasan logis matematis (paling jauh ditambah ‘kecerdasan
musikal’). Pelaporan mengenai kecerdasan interpersonal dan kecerdasan
intrapersonal, apalagi kecerdasan spiritual sangatlah tipis.
Suatu masalah yang penting dikemukakan dalam hubungan ini
pula adalah masih berlakunya metode pendidikan yang verbalistis di
mana dipergunakan cara bercerita (lecture) dan menghafal, yang kurang
dapat mengembangkan inisiatif dan kreasi murid, serta canggung
dalam mencari pemecahan persoalan, demikian pula kurang adanya
kesempatan untuk mengadakan pengelolaan dalam segi mental
dan pengembangan kepribadian. Dampaknya muncul ketika murid
tamat dan melamar pekerjaan, yang menantang untuk mengeluarkan
kecakapan lebih luas daripada hafalan mereka. Penelitian PISA
2016 menunjukkan lemahnya kemampuan murid Indonesia untuk
memahami bacaan.
Paduan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kenyataan-kenyataan di atas membawa kita kepada keharusan
untuk berani meninjau kembali sistem pendidikan yang hingga kini
masih berlaku di negara kita. Sementara itu, setiap kebijakan pendidikan haruslah dapat mencakup 2 tujuan, yaitu memecahkan masalahmasalah yang kita hadapi sekarang dan memberikan pendidikan suatu
peranan yang prospektif.
Kreativitas dan kecerdasan-kecerdasan di luar logis matematis
perlu mendapat tempat dalam sistem pendidikan kita. Kecerdasan
tersebut perlu diintegrasikan dalam sistem pendidikan, penilaian murid
dan evaluasi seluruh cara mendidik. Bila perluasan dan pendalaman
tidak terjadi dalam cara pendidikan di sekolah, dapatlah sekolah-sekolah
menghasilkan murid yang justru dihambat kemanusiaannya.
134
Yang Paling Butuh
Dari antara penduduk Indonesia, sangat banyak calon murid yang
tidak mendapat tempat di sekolah-sekolah serta tidak memperoleh
kesempatan pendidikan luar sekolah, apalagi ’home schooling’. Dari
antara mereka itu terdapat jutaan (calon) murid dari daerah terpencil
dan miskin. Merekalah yang paling membutuhkan pendidikan.
Pelayanan bagi ’yang kecil’ dalam lingkup pendidikan, baik formal
maupun nonformal dapat dilihat dalam kerangka
pandangan tentang pergulatan rakyat Indonesia
Yang butuh
didik
maupun tentang iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Inilah bagian kewajiban bangsa untuk mengusahakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
http://facebook.com/indonesiapustaka
a.
Dari tinjauan umum atas pergulatan rakyat Indonesia dapat dilihat
bahwa masalah yang paling terasa adalah pemenuhan kebutuhan
sehari-hari. Yang paling menderita dalam urusan itu adalah para
buruh desa, buruh kota, pegawai rendahan, prajurit dan sebagainya,
singkatnya rakyat kecil. Secara konstitusional dasariah, mereka
mendapat perhatian besar dari negara, tetapi secara nyata mereka
kerap terjepit. Maka, mayoritas rakyat memang bergulat dalam
situasi terjepit sebagai rakyat kecil. Pengacuan pendidikan pada
interaksi manusia dengan sesama, dalam hal ini terjalin dalam
keseluruhan interaksi orang-orang kecil yang terjepit. Keterjepitan
mereka itu kerap kali tidak pertama-tama disebabkan oleh keengganan atau kemalasan mereka sendiri, kadang-kadang juga
bukan karena satu atau dua orang atasan mereka yang jahat dan
bukan karena kurangnya kehendak baik pada banyak pejabat.
Keterjepitan orang kecil ini pada banyak hal lebih dikarenakan
struktur masyarakat (nasional maupun internasional) yang tidak
adil bagi kaum kecil (entah perorangan, entah negara kecil).
Maka, kalau pendidikan mau membantu agar orang berkembang
135
http://facebook.com/indonesiapustaka
dan dapat menempatkan diri secara bertanggung jawab dalam
lingkungannya, haruslah berurusan dengan problematik keadilan
bagi rakyat kecil. Jadi, dari sudut pengamatan kemasyarakatan,
pengacuan pada masalah keadilan bagi rakyat kecil merupakan
matra konstitusi bagi setiap proses pendidikan (entah formal,
entah nonformal).
136
b.
Dari tinjauan hidup beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
dapat ditemukan bahwa setiap orang beriman, orang kecil harus
memperoleh prioritas pelayanan. Sebab identiikasi Tuhan dengan
si kecil sedemikian menonjol dalam semua agama sehingga tolok
ukur utama, apakah seseorang pantas masuk ke surga adalah kadar
perhatiannya kepada si kecil. ”... sesungguhnya segala sesuatu yang
kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling
hina, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25: 40).
Jadi, orang yang terbaik adalah orang yang memberi perhatian
kepada manusia-manusia yang paling hina dan paling kecil. Lalu
kalau pendidikan adalah usaha-usaha terpadu untuk membantu
agar murid menjadi ’orang baik’ itu berarti bahwa arah pelayanan
pendidikan haruslah menuju ke pelayanan bagi yang terkecil. Jadi,
dari sudut pemahaman dan penghayatan iman kepada Tuhan Yang
Maha Esa, pendidikan juga mempunyai matra konstitusi untuk
memprioritaskan pelayanan bagi orang-orang kecil.
c.
Beberapa taraf pengarahan pendidikan yang memprioritaskan
pelayanan bagi orang kecil. Tidak semua dari kita memiliki kesempatan dan kemampuan serta kemudahan atau jalur yang sama
dalam dunia pendidikan, sungguh memberi prioritas pelayanan
bagi orang kecil. Oleh sebab itu, bentuk pelayanannya dapat berbeda-beda. Dan memang dampaknya juga berlain-lainan. Namun,
ada satu hal yang dapat dilakukan oleh semua, yakni menarik
perhatian semua murid adanya ’orang miskin di dekat rumah
mereka’ (bahkan mungkin dalam rumah sendiri). Seluruh rakyat
perlu diberi pendidikan mengenai ’adanya orang yang lebih miskin
dan lebih rapuh dari dirinya sendiri’. Agaknya satu sama lain perlu
diusahakan untuk dapat saling melengkapi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
1) Pada taraf petugas langsung pendidikan, kita dapat berbuat
di bidang personal banyak hal harian yang pasti cepat terasa
dan tampak dampaknya. ’Petugas langsung pendidikan’
yang dimaksudkan adalah guru di kelas. Petugas semacam
ini memiliki kesempatan banyak untuk lebih memihak si
kecil, yaitu anak-anak dari lingkungan ekonomi lemah, tanpa
menjadikan mereka objek belas kasih dan amal kasih maupun
membuat mereka kikuk di tengah kawan-kawan. Namun
perlu diingat, bahwa menerima sekian persen anak miskin di
sekolah belum pasti memadai untuk ’pendidikan bagi yang
paling membutuhkan pendidikan’. Sebab, latar belakang sosio
kultural dapat tetap menghambat anak miskin, di samping
bekal gizi serta kesempatan maupun semangat kokurikuler
dan ekstrakurikuler dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
kecil dan dapat membuyarkan cita-cita melayani orang kecil.
Maka, solidaritas antara siswa dapat dirangsang.
2) Pada taraf pimpinan unit pendidikan beberapa hal struktural
sudah mulai dapat dilengkapi kepada usaha-usaha personal
di atas. ’Pimpinan unit pendidikan’ yang saya maksudkan
adalah kepala sekolah, ketua yayasan, dan pimpinan
kompleks pendidikan. Mereka ini mempunyai kesempatan
dan kemudahan untuk menciptakan struktur pendidikan
sedemikian sehingga prioritas pelayanan kepada orang kecil
(siswa dan karyawan) tidak digantungkan kepada kemauan
sukarela petugas langsung melainkan dikondisikan supaya
mendapat mekanisme tetap. Mekanisme itu dapat berupa
aturan penerimaan, aturan gaji, aturan beasiswa, pelayanan
studi atau bimbingan dan sebagainya. Lebih lanjut lagi, para
137
pimpinan taraf ini sering kali harus memanfaatkan kontak
dengan lembaga-lembaga sejenis dan petugas pemerintah
untuk secara struktural meluas dapat mendorong perhatian
real kepada orang kecil.
http://facebook.com/indonesiapustaka
3) Pimpinan regional atau nasional unit-unit pendidikan biasanya
tak memiliki banyak kemungkinan untuk secara langsung
menangani pelayanan pendidikan bagi orang kecil. Tetapi, ada
beberapa hal struktural dan personal toh dapat dikerjakan.
Dalam hal struktural, mereka dapat mengusahakan agar
disusun kebijakan regional atau nasional seputar aturan
penerimaan, aturan penggajian, pola kegiatan kokurikuler
dan ekstrakurikuler dan sebagai nya. Mereka juga dapat
mengusahakan hari-hari studi atau rapat kerja untuk mengolah
kebijakan-kebijakan yang lebih rumit maupun pendalaman
ilmiah atau spiritual perihal pengarahan pendidikan dengan
implikasi-implikasi administratifnya. Mereka juga dapat
memprakarsai pembicaraan-pembicaraan serupa dengan
lembaga-lembaga pendidikan lain. Dalam hal personal, mereka
dapat mengusahakan agar bagi lembaga-lembaga pendidikan
dipilih orang-orang yang tepat dengan orientasi dan kecakapan
serasi untuk kepentingan ini. Mereka dapat mengusulkan
penyiapan tenaga-tenaga muda secara terperinci. Mereka
dapat mengusahakan pembimbing-pembimbing rekoleksi atau
retret yang sesuai bagi para petugas lapangan.
4) Bagi orang barangkali tersedia kesempatan, kecakapan, dan
keleluasaan untuk menulis dan mendokumentasikan pengalaman-pengalaman pelbagai unit dalam arah pelayanan
dengan prioritas bagi si kecil. Hal itu akan dapat berguna bagi
keperluan intern tetapi juga bisa merupakan sumber berharga
bagi mereka-mereka yang bekerja dan berjuang di tempat
lain (awam, rekan lain). Sebab dokumentasi semacam itu
138
merupakan bahan berharga untuk mengembangkan pemikiran
bagi:
a) perekayasaan sosial kemasyarakatan di bidang pendidikan;
b) penyusunan sistem pendidikan nasional (berikut perundang-undangan dan perangkat administratifnya);
c) pembuatan sistem dan gaya pengelolaan lokal yang
berorientasi pada rakyat kecil;
d) teknologi pendidikan (khususnya kurikulum) yang
merakyat. Berbagi tulisan itu di majalah atau koran atau
membukukannya dapatlah meningkatkan profesionalisasi
pendidikan bagi ’yang butuh’.
http://facebook.com/indonesiapustaka
d.
Beberapa unsur pendidikan bagi keadilan. Mungkin ada gunanya
kalau masih disebutkan dengan singkat beberapa unsur yang layak
untuk diperhatikan dari sudut isi pendidikan untuk berorientasi
kepada rakyat kecil. Dalam lingkup ini, daerah terpencil dan guru
yang ditugasi di daerah pedalaman serta penggajian atau honor bagi
’guru-guru kecil’ perlu dipandang sebagai bagian penting. 20% dari
Rencana Anggaran Pembangunan Daerah (RAPBD) atau Rencana
Anggaran Pembangunan Negara (RAPBN) perlu diperuntukkan
bagi ’orang-orang yang membagikan kemanusiaannya bagi
pendidikan rakyat tersisih’. Dalam hal ini, fokus kita letakkan pada
’manusia tersisih yang mendidik murid tersisih’. Unsur-unsur ini
tidak bersifat ’exhaustive’, seakan-akan tak ada lain lagi yang dapat
ditambahkan, tetapi memang dicoba untuk cukup lengkap.
Bimbingan Bagi Sekolah
Pelayanan pendidikan di sekolah tidak datang begitu saja; apalagi
karena dalam sekolah keguruan di masa silam maupun lembaga
pendidikan guru sekarang, bagian pelayanan sekolah sulit diberi tempat
139
http://facebook.com/indonesiapustaka
penting. Sebab, model perguruan tinggi dalam hal ini sering terpenuhi
oleh ’tugas-tugas birokratis’. Oleh sebab itu, diperlukan pemikiran yang
lebih menyeluruh mengenai ”bimbingan bagi sekolah”.
140
a.
Bimbingan untuk membuka mata terhadap kenyataan masyarakat
atau jemaah setempat. Dalam bimbingan ini termasuk tidak hanya
masukan intelektual dan latihan keterampilan maupun dorongan
voluntative, tetapi juga penciptaan mekanisme struktural yang
barangkali membutuhkan koreksi kurikuler atau kokurikuler dan
ekstrakurikuler. Makin baik lagi bila dibimbing mengenali aneka
kecerdasan dan cara memanfaatkannya bagi proses didik di kelas
maupun di luar kelas.
b.
Bimbingan untuk membuka hati terhadap orang-orang yang
terjebak dalam dunia rakyat kecil. Di sini, murid dibantu untuk
tidak hanya secara teoretis dan intelektual belaka memandang
permasalahan rakyat kecil, melainkan dengan sepenuh hati
melibatkan seluruh hati dan pribadi orang. Rasa solidaritaslah
yang menjadi sasaran bimbingan semacam ini. Oleh sebab itu,
segi tersebut merupakan bagian hakiki bagi perkembangan murid
untuk menjadi murid yang manusiawi: menjadi orang yang lebih
baik. Kita perlu mempelajari cara-cara mendidik altruisme yang
tulus.
c.
Bantuan untuk mempunyai sikap kritis yang tepat terhadap situasi
rakyat kecil. Di situ, para murid ditolong untuk benar-benar
menganalisis usaha-usaha peningkatan kesejahteraan kaum miskin
dengan sikap kritis yang objektif. Lebih baik lagi kalau mereka
didampingi agar berani dan mampu memikirkan arah dan pola
pelayanan alternatif. Jadi, mereka belajar bersikap positif dan tidak
hanya situasi negatif saja. Dalam hal itu, baiklah mereka dibantu
mengenali masalah sosial melalui majalah, koran, televisi, media
sosial, dan pergaulan kemasyarakatan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
d.
Pertolongan untuk meneliti hubungan antara keterlibatan mereka
dalam situasi rakyat kecil itu dengan panggilan iman masingmasing. Di situ, mereka diajak untuk menembus keprihatinan
emosional, perhatian intelektual, minat sosial, cita-cita politis
maupun gagasan-gagasan ideologis sampai ke dasar cinta kasih,
yaitu bahwa mereka sudah lebih dahulu dicintai Tuhan dan
karena itu atas dasar iman pada kebaikan Tuhan terpanggil untuk
menyebar cinta secara nyata agar rakyat kecil juga percaya bahwa
cinta masih ada. Barangkali masak pula kesempatannya untuk
mempelajari ’mysterium iniquitatis’ dan ’menengadah kepada
Tuhan dalam situasi yang paling buruk sekalipun’ perihal makna
penderitaan, kejahatan. Di sana permasalahan dosa, dosa, personal
dan struktural, dosa asal, penebusan dan rahmat menjadi bahan
penting agar orang beriman dapat menemukan makna iman dalam
situasi yang hampir membuat orang putus asa. Bagi kita tak terlalu
sulit bila meyakini bahwa justru melalui menyerahkan diri demi
ketaatan pada Tuhan dan cinta pada manusia dengan menderitalah,
manusia akan memperoleh kebahagiaan terdalam.
e.
Atas dasar renungan iman itu perlu dikembangkan kesadaran
bahwa tidak hanya peroranganlah yang harus terlibat dalam
urusan perjuangan bagi rakyat kecil. Seluruh jemaat dan segenap masyarakat dengan semua pranata dan tatanannya harus
dikerahkan untuk kepentingan itu. Sasarannya kesejahteraan dan
solidaritas antara semua umat Allah.
menilai Pendidikan
Semua pekerjaan membutuhkan penilaian, sejauh manakah sudah
mencapai apa yang disebut dalam visi dan misi. Pada tataran yang
lebih sempit, setiap murid membutuhkan penilaian, apa sajakah buah
141
http://facebook.com/indonesiapustaka
pembelajarannya.166 Namun, rumitnya proses didik menyebabkan
beranekawarnanya cara maupun buah penilaian pendidikan. Banyak
sekali ditemukan alat pengukur hasil penilaian pendidikan. Salah satu
yang sejak beberapa tahun ditawarkan oleh pemerintah Indonesia
diberi nama ‘Ujian Nasional’, yang dimaksudkan untuk mengetahui
hasil didik seluruh Indonesia. Apabila diperhatikan unsur-unsur yang
memengaruhi pendidikan, apalagi dalam lembaga pendidikan (sekolah),
tidak mudah menyelenggarakan Ujian Nasional yang sama bagi semua
daerah Indonesia. Sesungguhnya, kesulitan tersebut mudah dipahami
kalau diingat bahwa Indonesia paling barat sampai ke Indonesia paling
timur; yang paling utara sampai ke wilayah paling selatan, membentang
di daerah geograis dan wilayah budaya seperti dari Portugis sampai ke
Rusia. Di Eropa, penilaian pendidikan dilakukan secara berlain-lainan
selaras dengan daerahnya; di Indonesia, daerah seluas itu mau menilai
pendidikannya secara sama.
Yang paling dapat dipahami dan dilaksanakan adalah evaluasi tiap
daerah dan tiap bidang studi. Itu pun baru menghasilkan beberapa
segi studi. 167 Kondisi menjadi lebih sulit, apabila diperhitungkan juga
situasi dan kondisi murid dan guru serta sekolah. Kurikulum yang
terbaik menurut cara penyusunan Indonesia sejauh ini,
tidak mudah dievaluasi pelaksanaan dan hasilnya.168
Menilai
Dari pengalaman muncul kenyataan bahwa penilaian
pendidikan seperti itu baru memuaskan pada tingkat
daerah, bahkan dengan catatan-catatan seputar bidang
penguasaan bahan.
Selain itu muncul masalah mengenai alat-akat ukur dan bobotbobot pengukurannya. Yang sering diperoleh sebagai buah evaluasi
166 Lih. Misalnya: Masidjo, Ign., Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), terutama hlm. 10-37.
167 Lih. Masidjo Op.cit. khususnya Bab I, Pendahuluan.
168 Bdk. Masidjo, Op.cit. hlm. 184.
142
adalah penilaian selaras dengan kelembagaan berkelompok maupun
sesuai dengan jurusan masing-masing. Bagaimanapun juga yang dapat
dipetik sebagai bahan dan hasil evaluasi adalah kalau evaluasi diadakan
setiap lembaga pendidikan. Dalam hal ini pun dapat didiskusikan,
penilaiannya menuju pada pembandingan kemampuan antara para
murid sehingga ada pengurutan kepandaian. Cara pengurutan
dapat menciptakan suasana persaingan di antara para murid yang
mempunyai dampak perkembangan egoisme intelektual. Banyak
pemikir yang menganjurkan penilaian pertumbuhan pendidikan dengan
mempergunakan pengamatan kerja sama, seperti yang akhir-akhir
ini berkembang di Finlandia dan daerah Skandinavia. Cara demikian
masih juga menguatkan pendidikan kerja sama manusia dewasa di
kelak kemudian hari.169
Dalam pelaksanaannya penilaian pendidikan diperoleh dari
evaluasi lembaga yang bersangkutan dan lembaga-lembaga yang
nantinya memanfaatkan buah didik setiap lembaga.
menuju masa Depan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Arah pelayanan kita di bidang pendidikan telah kita telaah
dengan memperhatikan lingkungan, sebagai Indonesia, pergumulan
khusus dunia pendidikan. Sebetulnya masih diperlukan studi lebih
lanjut mengenai dasar keterlibatan kelompok kita sendiri. Kerangka
keterlibatan itu menuntut pengolahan lebih khusus.
Releksi
1.
Hal positif atau negatif apa yang membekas dalam pengalaman
didik Anda sehingga memengaruhi cara didik Anda?
169 Subiyanto, Paulus, Dari Kompetitif ke Kooperatif, dalam Media MNPK, No. 3-4, Tahun XXIII,
Agustus-September 2002, hlm. 39-40.
143
http://facebook.com/indonesiapustaka
144
2.
Jelaskah arah pendidikan dari mereka yang mendidik Anda?
3.
Apakah ada pihak lain yang memengaruhi arah pendidikan itu?
Caranya?
4.
Bagaimana perkembangan teknologi berpengaruh pada arah murid
belajar?
5.
Apakah ada tanda-tanda bahwa Yang Ilahi ada di hati para murid
Anda?
Sekolah sebagai Lembaga Didik
Ing Ngarsa Sung Tuladha,
Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani.
(Ki Hadjar Dewantara)
http://facebook.com/indonesiapustaka
L
isa dan Lina, yang penuh kasih kepada anaknya, hampir tidak
sampai hati melepaskan Rani dan Rini, anak-anak mereka yang
menangis ketika untuk pertama kalinya di tinggal dalam kelas
Pendidikan Anak Usia Dini. Hanya cinta saja yang memaksa kedua ibu
itu untuk meninggalkan di tempat yang sejauh itu masih asing bagi
mereka. Pendidikan di sekolah, dengan seberapa pun penderitaan,
berjiwakan cinta kasih. Sekian banyak beban di kelas, di sekolah,
dalam perjalanan dan dalam pergaulan adalah ‘tempat dan kesempatan
menunjukkan dan memperoleh serta mengembangkan cinta kasih’. Dari
rumah, terbayang-bayang anak-anak itu di sekolah mendapat ‘cinta
lain’, yakni dari guru dan teman-teman baru. Melepaskan anak-anak
kepada komunitas baru dengan teman-teman sebaya bersama pendidik
mereka adalah tanda cinta orang tua. Kadang kala para ibu dan ayah
masih berani ‘lebih nekat’ lagi dengan mendorong anak-anak untuk
melakukan ‘pelayanan sosial kecil-kecilan’, yaitu berbagi bekal dengan
teman-teman yang ‘tidak seberuntung dari mereka’. Semua ibu yang
sehat akan penuh kasih sayang kalau memandang anak-anak kecil itu
saling ‘berbagi cerita’ dan saling ‘memberi nasihat’ sehingga sedikit
demi sedikit membangun persahabatan. Mulut-mulut kecil mereka
kerap kali sudah saling mengajarkan akal-akal kecil dan kebijakan
sederhana mereka untuk mengatasi pekerjaan di kelas atau di rumah.
145
‘Petualangan cinta orang tua’ tersebut dapat dibayangkan lebih besar
lagi kalau daerah mereka dan sekolah anak-anak kecil itu terletak di
lingkungan ‘asing’,- asing dari sudut bahasa, asing dari sudut agama,
dan sebagainya. Begitulah komunitas anak-anak kecil itu berkembang
bersama dengan perluasan pergaulan dan kepandaian mereka. Sejak
PAUD, Sekolah Dasar dan selanjutnya, pendidikan dibentuk dalam
kelembagaan. Kelembagaan tercipta dengan pelbagai macam cara
dan bentuk. Tetapi yang dicita-citakan, semua dijiwai oleh cinta kasih
dengan pelbagai macam cara dan kepekatannya. Pendidikan yang terjadi
di seluruh dunia mencuat melalui peristiwa-peristiwa di atas. Kadang
kala cinta orang tua tidak dapat memilih kecuali mengantarkan anakanak pada lingkup baru tersebut. Pada akhirnya, yang menjalankan
proses belajar adalah anak-anak itu: belajar hidup sebagai manusia yang
lambat laun menjadi dewasa.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Belajar dari Sejarah
Sejak masa Hindia Belanda, di Sumatra bagian utara sudah berdiri
suatu lembaga pendidikan, yang disebut Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers Tanobatu (1862). Kweekschool (Sekolah Guru) ini didirikan
oleh Willem Iskander, yang dilahirkan (1840) sebagai Sati Nasution,
anak Raja Tinating di Pidoli Lombang, Panyabungan, Ibukota Asisten
Residensi, Mandailing Angkola.170 Sementara itu di Jawa Tengah, Frans
van Lith, yang amat dihargai oleh masyarakat pendidikan Indonesia,
memulai lembaga didik.171 Sementara itu, pada tahun 1922, Taman
Siswa didirikan oleh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, dari keluarga
Pakualam di Yogyakarta.172 Pada tanggal 31 Oktober 1926, Inlandsche
170 Sularto, St., Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, 2016),
hlm. 9-11.
171 Lih. Rosariyanto, Fl. Hasto, SJ, Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa (Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2009), hlm. viii-265.
172 Inspirasi Kebangsaan, Op.cit., hlm. 57 dst.
146
http://facebook.com/indonesiapustaka
Nijverheid School yang kemudian bernama Institut Nasional Sjafe’i
Kayutanam, didirikan pula oleh Engku Muhammad Sjafe’i.173 Hal serupa
dilakukan oleh Paguyuban Adabiah di Padang.174 Di Jakarta, sejak dini
berdiri Perkumpulan Strada, sebagai lembaga didik. Strada sadar sekali
bahwa dasar pendidikan diletakkan dalam keluarga.175 Sementara itu,
orang tua dari keluarga mana pun di masa kini tidak dapat memberi
pendidikan lengkap sendirian. Mereka memerlukan orang lain untuk
membantu mendidik anak-anak. Bantuan tersebut dapat dilakukan
dengan pelbagai cara: dapat secara insidental, seperti apabila petugas
PMI mendidik kesehatan bagi anak-anak di kampung atau orang
kelurahan mendidik ketertiban hidup bersama. Diperlukan cara didik
yang berkesinambungan dan terorganisasikan dengan baik sehingga
pelbagai kemampuan hidup dapat dipelajari murid-murid menyongsong
masa depannya. Itulah sekolah, yakni pendidikan yang dilembagakan: ya
didirikannya, dikerjakannya, dievaluasikan dan direncanakan lebih
lanjut. Sesungguhnyalah, mereka bermaksud melembagakan pendidikan
untuk membantu orang tua mendidik para murid. Sebenarnya, pada
awal mula sekolah diciptakan sesuai dengan kebutuhan setempat dan
sewaktu.176 Sejak lahirnya negara seperti Republik Indonesia, terbit
pula banyak aturan kenegaraan, yang perlu diperhatikan oleh sekolah,
seperti Strada, Adabiah, Kanisius, Pangudi Luhur, Tarakanita, untuk
melayani pendidikan dalam masyarakat. Aturan-aturan itu beredar
silih berganti: tidak semua dengan kebijakan yang sama, tetapi kerap
kali juga dengan ‘daya paksa’ yang tidak terlampau berjauhan satu dari
yang lain. Para penyusun dibalik aturan-aturan itu sering menimbulkan
kesan, seakan-akan mereka melupakan kenyataan, bahwa sebelum
173 Inspirasi Kebangsaan, Op.cit., hlm. 103.
174 Asnan, Op.cit.
175 Bdk. Adiwahyanto, V.A., (ed. dkk), Sejarah Peziarahan Perkumpulan Strada 1924-1994 (Jakarta:
Grasindo, 1995), terutama hlm. 1-7.
176 Pada dasarnya, sekolah seharusnya ‘tailor-made’, boleh ‘fashionable’, namun selaras dengan
kehendak orang tua.
147
penugasan mereka, banyak sekali sekolah swasta, yang sudah hadir
dan melayani masyarakat; tidak selalu lebih buruk daripada sekolah
negeri sekarang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Oleh sebab itu, dirasakan sangat berguna sesekali di suatu lembaga
didik diselenggarakan tidak hanya rangkaian lomba dan permainan
bagi peserta didik, melainkan juga releksi mengenai arahnya sebagai
lembaga didik. Dengan demikian, secara tidak langsung mau dikatakan
bahwa pertama, peran lembaga itu lebih luas dari sekadar lembaga ajar;
kedua, bahwa bukan hanya sebagai lembaga mereka mempersembahkan bakti kepada masyarakat, tetapi juga mewujudkan cita-cita bangsa
melalui visi pendidikan mereka. Kalau releksi seperti diharapkan di
atas mau dilaksanakan dengan baik, releksi itu tidak hanya menjadi
‘permainan intelektual’ bagi pengelola dan pelaku didik di lapangan,
melainkan juga bermanfaat bagi seluruh ‘civitas educativa’.177 Sebab
komunitas pendidikan mencakup banyak pihak sehingga tidak perlu
ada yang disebut staf didik dan staf pembantu atau staf pendukung.
Setiap bagian dari komunitas lembaga didik menyumbang pada sifat
didik seluruhnya.
Perlu diingat bahwa istilah ‘lembaga didik’ (dan
Lembaga
‘lembaga pendidikan’) tidak sering dipakai dalam UU
Sekolah
Sisdiknas Republik Indonesia yang terbaru. Namun
praktis seluruh UU itu berbicara mengenai ‘lembaga
didik’, sebagaimana dipahami setiap anak kecil yang
pagi hari berangkat dari rumah untuk pergi belajar di suatu lembaga
didik. Bahkan, setiap anak tidak akan berkata “pergi ke lembaga didik”
melainkan “pergi ke sekolah”. Maka, catatan-catatan berikut ini, di satu
sisi menyesuaikan diri dengan keterbatasan UU yang disahkan dengan
177 Seri Forum LPPS No. 9 Mencari Pendidikan Alternatif dalam Karya-karya Pendidikan Katolik
(Jakarta: KWI, 1987), mengupas masalah yang secara jelas menunjukkan betapa sekolah
dalam arti tradisional tidak mencakup seluruh ‘dunia pendidikan’, terutama pada halaman
25 sampai akhir.
148
banyak cacat itu; di sisi lain mau menyampaikan juga tambahan serius
kepadanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Warna dasar yang menyelimuti proses didik adalah cinta kasih,
bagi si murid, ya dari pihak orang tua, ya dari guru, sekolah, Yayasan,
dan semua yang bersangkutan dengannya. Kemana-mana mata
memandang, ke manapun kita mendengarkan, kita melihat cinta
kasih. Setiap pendidikan diresapi oleh pemandangan yang berisi cinta.
Oleh sebab itulah mengapa diadakan banyak pranata yang menjamin
berlangsungnya relasi cinta. Karena itu, kejahatan di sekolah, pelecehan,
dan kekerasan di ranah didik, senantiasa dicela di negara dan bangsa
mana pun. Segala konsultasi dilindungi dari penyalahgunaan tandatanda cinta. Pro kontra sekolah 5 hari atau sekolah sepanjang hari,
diliputi oleh pertanyaan: apakah dengan cara A atau B, bagi murid
terbuka kemungkinan untuk mengembangkan cinta kasih dengan bapak
atau ibunya, dengan teman sebaya atau dengan guru dan lingkungannya.
Itulah pula sebabnya, Finlandia tidak banyak memberikan mata
pelajaran dan sedikit sekali memberi pekerjaan rumah; memperbanyak
kesempatan berbagi hati dan berbagi ceria dengan kawan-kawannya.
Justru karena itulah murid-murid Finlandia diakui oleh PISA sebagai
yang paling cerdas sedunia. Juga bagi generasi milenial, pendidikan
diwarnai oleh dorongan untuk meningkatkan kecerdasan interpersonal,
musikal, dan kinestesis, bukan kecerdasan-kecerdasan yang lain,
menurut Howard Gardner.
Dengan perspektif itu, perlulah kita menelaah arah dan isi pokok
yang hendak diberikan kepada lembaga didik. Sudut telaah dapat sangat
berbeda-beda, misalnya:
Kami berpendapat bahwa kelima segi itu perlu diperhatikan kalau
kita mau menelaah “lembaga didik, seperti lembaga didik”.178
178 Lih. Gravissimum Educationis, a. 5 dan 7.
149
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari sudut metodik didaktik: lembaga didik adalah lembaga yang
hanya berfungsi subsidier. Artinya, tugas pokok lembaga didik adalah
membantu suatu proses yang sudah lebih dahulu dan seterusnya
berjalan (terutama) di luar lembaga didik. Walaupun ‘hanya membantu’,
lembaga didik perlu memikirkan dan melaksanakan metodik didaktik
yang profesional. Artinya, cara mengajar yang utuh dan konsisten
bersifat pedagogis; jadi berfokus pada murid. Pendidikan dalam arti yang
paling mendasar adalah bantuan agar seseorang dapat mengembangkan
dirinya supaya dapat mengambil tempat yang wajar di tengah sesama dan
alam secara tahu diri dan sadar diri. Maka, secara metodis, pendidikan
berpangkal pada murid, berbasis murid, dilaksanakan oleh murid
dan pertama-tama demi kepentingan murid. Pangkal pendidikan itu
murid artinya bukanlah guru, sekolah, kurikulum, atau kepentingan
bangsa. Kalau dalam UUD 1945 disebutkan upaya ‘mencerdaskan
bangsa’, maka harus dipahami bukan bangsa dalam arti global dan
menyeluruh, melainkan ‘bangsa sebagaimana terwujud dalam rakyat,
dalam hal ini para murid’. Sebab, bangsa dalam ‘arti global’ itu tidak
konkret. Yang konkret adalah manusianya dan dalam hal ini, si murid.
Itulah kesalahan dasar UU Sisdiknas terbaru republik ini. Pendidikan
harus menjadi suatu proses ‘didaktis’, yang berasal dari kata ‘discere’.
Artinya, setiap pendidikan termasuk yang ada di lembaga didik,
merupakan proses pembelajaran. Dan belajar itu sedikit demi sedikit,
langkah demi langkah untuk masuk ke inti masalah yang semakin lama
semakin mendalam. Namun, selaras dengan deinisi pendidikan di atas,
didaktik yang benar senantiasa membantu agar yang dipelajari oleh murid
itu semakin terintegrasikan ke dalam diri si murid.
Oleh sebab itu, lembaga didik erat berkaitan dengan keadaan
materi manusia yang belajar, teman belajarnya dan guru pelajarannya.
Lembaga didik harus memberi fasilitas agar relasi-relasi para pribadi
yang tersangkut itu terjadi. Hal ini berbeda dengan pendirian UU
Sisdiknas yang malah sudah merancang studi jarak jauh juga bagi pra-
150
lembaga-didik dan lembaga didik dasar. Saya berpendapat bahwa semua
alat hanyalah pembantu bagi proses interpersonal. Lembaga didik harus
memungkinkan hal itu; bukan malah merusaknya; publik (termasuk
departemen) harus menolongnya, bukan malah menghancurkannya
(misalnya dengan UU atau PP).
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari sudut konteks budaya, murid memulai proses didiknya waktu
di tengah keluarganya; bahkan sejak dalam kandungan. Seluruh
pendampingan perasaan, pengembangan pikiran, dan latihan bertindak
sejak anak dalam keluarga senantiasa terjadi dalam konteks budaya
tertentu. Pada tanggal 7 September 2004, ada wawancara suatu radio
di Jakarta dengan sepasang suami-istri dari Amerika Serikat yang
melahirkan dan membesarkan beberapa anaknya di tengah Papua.
Anak-anak itu belajar baik bahasa Inggris, Indonesia maupun bahasa
setempat. Kecuali itu, bersama si ibu, anak itu juga mempelajari cara
hidup suku yang menerima mereka sebagai bagian tak terpisahkan.
Dalam lingkup yang lebih luas atau struktur masyarakat de
facto, kaitan itu nyatanya menyangkut situasi politis, ekonomis, dan
birokratis Indonesia, yang pada tahun-tahun terakhir ini mengalami
gejolak tidak kecil. Gejolaknya memang berhubungan dengan krisis
moneter, pelbagai krisis kemasyarakatan, yang sekarang pun belum
usai. Di satu pihak, kita berada di dalam situasi yang menguntungkan
karena suasana yang menghendaki perubahan mendalam, tetapi di
pihak lain justru pengalaman dan akibat di atas menunjukkan kepada
kita betapa rumitnya persoalan yang hendak digarap. Sering dikatakan
bahwa peran lembaga didik itu untuk membentuk manusia-manusia
yang bersedia dan sanggup mengemban tuntutan pembangunan
tetapi tidak dapat dilupakan juga, bahwa di dalam jangka panjang
pembangunan materiel ini harus diikuti oleh peningkatan penghargaan
mendasar pada harkat dan martabat manusia Indonesia. Kita ikut
dalam situasi dunia yang berlomba-lomba masuk ke abad 21. Dalam
waktu itu, taraf perkembangan bangsa kita sudah harus dapat
151
http://facebook.com/indonesiapustaka
memperlihatkan pertumbuhan elemen-elemen psikososial sebagai
sumber enersi bagi proses perkembangan selanjutnya, apabila di
abad 21 kita hendak digolongkan dalam bagian dunia yang berhasil
mengatasi masa transisinya atau sedikitnya menunjukkan tanda-tanda
real untuk meninggalkan masa transisi itu. Tidak mungkin lembagadidik mengambil model politik perkembangan yang
sampai sekarang dipakai, yakni mengambil ”pendekatan
sumber daya manusia” sebagai fase pertama dan Transformasi
kemudian memberikan imbangan melalui ’pendekatan
budaya’; seakan-akan si murid hanya berfungsi seperti
‘resources’ lain.
Kalau dalam jangka waktu dekade ini berhasil disusun perumusan
pembaruan lembaga didik dan pengajaran yang matang, maka 20 tahun
yang akan datang, sedikitnya manusia-manusia lulusan lembaga didik
menengah atas dan yang setingkat dengan itu sudah harus mulai sadar
akan dan bersedia untuk melaksanakan partisipasinya secara terarah
dan teratur dalam masyarakat. Mengingat banyaknya orang yang
berhenti dari lembaga didik di tingkat menengah, maka hal ini tidak
dapat dituntut pada manusia-manusia didik lulusan universitas dan
lembaga-lembaga yang setingkat. Sebab pengutusan universitas adalah
membangun kesanggupan memberikan proporsi yang tepat antara
ilmu dan partisipasi lulusannya dalam masyarakat sebagai bibit-bibit
pencipta budaya. Proses pertumbuhan bangsa kita ditentukan oleh
proses peralihan budaya, yakni kreativitas manusia dalam melahirkan
perubahan tata cara dan nilai-nilai teknik, organisasi dan struktur
masyarakatnya. Kreativitas itu membuahkan transformasi masyarakat
secara luas dan mendalam. Pada dasarnya, perubahan budaya ini tidak
perlu datang dari luar, ia harus dihasilkan dari dalam sendiri. Apabila
hendak dicari persoalan masa depan negara kita, maka ia tidak lain
adalah transformasi ini.
152
Dalam transformasi masyarakat tercipta identitas baru bangsa.
Maka, transformasi dijiwai oleh pembangunan identitas, baik bagi
perorangan maupun bagi keseluruhan masyarakat majemuk sebagai
satu kesatuan. Banyak orang yakin bahwa sedikitnya dalam taraf
pertama pembangunan ekonomi mutlak perlu dan karena itu kadang
memperluas sikap materialistis. Namun, dalam intinya yang terdalam
justru ekonomi dan teknologi yang menyertainya mempunyai
latar belakang ideologis dan budaya.179 Latar belakang itulah yang
memengaruhi perkembangan kemajuannya.180 Pemikiran tersebut
perlu memperkaya seluruh cara pandang kebijakan pendidikan di
sekolah, yang dilayani oleh pemerintah. Penyempitan pendidikan
dalam administrasi atau birokrasi dapat memiskinkan kemajuan
seluruh masyarakat. Segala perbaikan administrasi dan birokrasi, yang
sungguh amat diperlukan, menjadi pelayanan bagi pelatihan budaya
seluruh komunitas didik; bukan penggantinya; apalagi penghambatnya.
Pembiasaan hidup berbudaya secara tepat asas dan berdaya guna, hanya
akan benar-benar berhasil guna apabila dijiwai oleh spirit yang tertanam
teguh dalam seluruh bangsa yang melahirkan generasi baru. Dalam
pengertian itulah kebijakan pendidikan seluruh bangsa perlu peduli
pada penghargaan pembangunan hidup berkeluarga yang kokoh.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dari Sudut Lembaga Didik sebagai Lembaga Sendiri
Lembaga didik bertugas menjadi menciptakan mekanisme
sehingga murid mampu mengembangkan seluruh daya pribadi yang
secara sadar menggairahkan seluruh proses didiknya. Di situ tampak
bahwa pengandaian dasarnya adalah manusia tidak hanya dikuasai
oleh naluri melainkan juga bertumpu pada budi yang memungkinkan
orang mengembangkan pemikiran. Dengan bekal budi yang dilengkapi
179 Wilbert E. Moore, Sociale Verandering (Social Change), (Utrecht Het Spectrum, 1965), hlm.
127.
180 Wilbert E. Moore, ibid, hlm. 136.
153
perasaan yang tertata, manusia muda disiapkan untuk mengambil
keputusan guna melakukan tindakan tertentu selaras dengan martabatnya sebagai manusia. Proses dasar manusiawi
tersebut akan mengembangkan penghayatan martabat
Mekanisme
fundamental murid.
Lembaga
http://facebook.com/indonesiapustaka
Paham dasar tentang proses penghayatan hidup
manusia bermartabat ini juga merupakan orientasi pokok,
mekanisme lembaga didik macam apa yang akan kita bangun. Sebab,
paham dasar itu akan menentukan, isi didik yang tersimpan dalam
segala ajaran maupun cara ajar serta mekanisme ajar seluruh proses
lembaga didik. Di dalamnya tersimpan pula cara mengorganisasikan
lembaga didik: baik pada tingkat mikro di lembaga didik masingmasing maupun di tingkat makro dalam departemen. Pada langkah
selanjutnya, orientasi itu juga akan menentukan masyarakat macam
apakah yang akhirnya menjadi visi pembangunan kita. Dengan kata lain,
perbincangan mengenai lembaga didik menyangkut arah dan proses
perkembangan negara serta masa depan bangsa secara menyeluruh.
Dalam arti tertentu, manusia tumbuh menjadi manusia melalui
pendidikan, namun kita tidak mengikuti pandangan deterministis,
seakan-akan manusia tidak memiliki independensi terhadap pengaruh
dari luar dirinya. Pada akhirnya manusia memiliki kehendak bebas yang
menjadikan dirinya makhluk moral.
Dari Sudut Pelaku Didik
Murid mendidik diri. Pada awalnya, seluruh keluarga, -dari ayah
dan ibu sampai ke saudara kandung-, membantunya mendidik diri.
Kemudian teman sebaya dan sekolah melanjutkan pendampingan
didik. Setiap kali, seorang pribadi berlatih menyadari diri, merasakan
kebersamaan dan memikirkan hal-hal yang diakuinya baik bagi dirinya.
Dengan kesadaran akan kehendak bebas, manusia mengakui bahwa
konteks hidup mengambil peran penting dalam pertumbuhannya.
154
http://facebook.com/indonesiapustaka
Konteks itu menyangkut baik hubungan manusia dengan alam maupun relasi manusia dengan sesama manusia dan segala kegiatan
manusiawinya serta penempatan dirinya di hadapan Yang Mahatinggi
Pencipta semesta alam. Artinya, pertumbuhan manusia dalam
kerangka didik mencakup segi berpikir, merasakan dan kehendak
manusia maupun aneka segi-segi kodratinya. Jadi, manusia dialami
dan dipahami dalam relasinya dengan dunia, dengan sesama manusia,
dan dengan Yang Mahaagung.181 Kita dapat mempelajari kompleksitas
pemahaman manusia itu dengan memperhatikan masukan-masukan,
baik dari ahli seperti Freud dan Gehlen, maupun dari mereka yang
menekankan pemahaman manusia dari telaah eksistensialis sampai
pada tinjauan logo terapi, seperti ditawarkan Viktor Frankl.182 Dalam
telaah-telaah itu diakui kepentingan kodrat manusia yang antara lain
tampak dalam naluri maupun kehendak bebas manusia yang dikuatkan
oleh daya pikir dan karena itu mengokohkan tanggung jawab dalam
aneka pengambilan keputusannya. Rasionalitas yang dipahami lebih
luas daripada intelektualitas inilah yang menjadikan manusia adalah
manusia.183 Sebab dalam rasionalitas utuh itu, nurani manusia terbentuk
dan dengan nurani itu manusia mengambil keputusan berdasarkan
prinsip moral umum dalam kondisi yang khas setiap waktu dan tempat
yang konkret.184
Cara pandang tersebut memungkinkan kita memahami cara
manusia mengambil sikap secara bebas terhadap nalurinya.185 Pengambilan keputusan manusia menunjukkan bahwa manusia memang
memiliki kemampuan sendiri namun harus bertanggung jawab dalam
menerapkan kemampuan itu untuk berinteraksi dengan dunia dan
181 Friedrich Glaeser, Existenzielle Erziehung, (München/Basel: Ernst Reinhardt Verlag, 1963),
hlm. 241.
182 Karl Dienelt, Op.cit., hlm. 92.
183 ibid, hlm. 93.
184 ibid, hlm. 95.
185 ibid, hlm. 96.
155
sesamanya. Interaksi itu terlaksana dengan memenuhi dorongan suara
hati yang menggapai nilai-nilai. Pendidikan yang melatarbelakangi
lembaga didik, membantu murid untuk mengenali kekuatan-kekuatan
maupun kelemahan-kelemahan dasar manusia, namun sekaligus juga
untuk menemukan peluang dan ancaman di luar diri manusia agar
dapat mengambil keputusan kreatif yang bermakna. Misalnya, kalau
seseorang memutuskan untuk memberi derma, maka ia melakukan itu
karena tindakan itu dianggapnya bermakna, bukan karena merupakan
kebiasaan saja. Pendidikan menolong seorang murid untuk membangun
kebiasaan bertindak karena sesuatu tindakan itu dianggapnya bermakna.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dalam proses pendidikan kepribadian murid ada beberapa unsur
yang penting: tanggung jawab, suara hati, dan nilai. Sudah kita lihat
bahwa manusia adalah manusia sejauh ia bertanggung
jawab untuk keputusan-keputusannya. Dikatakan oleh
Nurani
V.V. Weizsäcker bahwa kebebasan manusia menuntut
186
Sesungguhnya, tanggung
rasa tanggung jawab.
jawab adalah sikap transenden antara kebebasan dan
keterikatan.
Selain itu, penting pendidikan suara hati atau hati nurani. Budi
nurani tidak boleh direduksi menjadi ‘super ego’ (Freud) atau, menurut
Caruso, modifikasi super ego. Dalam aliran psikoanalisa modern,
pandangan di atas dilepaskan sama sekali.187 Melanjutkan keyakinan
para ahli moral abad pertengahan, orang semakin yakin bahwa dalam
diri manusia ada semacam pendirian ‘pra moralis’, yang menjadi faktor
penting dalam pengambilan keputusan.188 Dalam eksistensialisme, budi
186 V. V. Weizsächer, Menschenführung, (Göttingen, 1955), hlm. 60.
187 Frederick A. Weiss, American Journal of Psychoanalysis, 1952, 41; Karl Dienelt, Op.cit. hlm.
144.
188 Karl Dienelt, Op.cit., hlm. 144.
156
nurani adalah daya intuitif yang dapat mencari dan menemukan makna
yang bersifat budi nurani adalah ‘suatu sarana penemuan makna’.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Budi nurani adalah sesuatu yang terbentuk melalui proses perkembangan interaksi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan
sesama dan bahkan dengan seluruh pengalaman hidup. Dalam fase-fase
perkembangan tertentu, kita lihat anak-anak muda terjadi penolakan
terhadap orde orang tua. Hal ini bukan sekadar protes akibat penekanan
naluri, melainkan dapat dipandang sebagai suatu sikap kritis terhadap
tuntutan moral orang tua. Sikap kritis perlu dipahami sebagai bagian
dari ’latihan rohani’ untuk membentuk pribadi, yang memiliki kehendak untuk bertanggung jawab atas pendirian-pendiriannya. Dinamika kritis, bukanlah sekadar negatif, dalam arti mengkritik pendapat
orang lain, tetapi ’mencari kebenaran yang diyakini secara mendalam’
(kriνeiν-krinein). Adanya instansi-instansi seperti orang tua, agama,
dan otoritas lainnya memang memengaruhi, tetapi instansi-instansi
ini tidak membentuk sesuatu yang keyakinan akan kebenaran yang
sudah jadi: satu tata sikap yang berlaku secara umum. Ia merupakan
prasyarat terjadinya suatu perkembangan budi nurani secara wajar
yang didasarkan kepada kesadaran akan kebenaran dan pengakuan
pada nilai yang benar.
Makin menjadi jelaslah kiranya bahwa budi nurani adalah sesuatu
bagian manusia yang erat berkaitan dengan kemandirian subjek. Betapa
pun ia dibentuk di dalam satu tata hidup tertentu (orang tua), pada
suatu ketika akan timbul tuntutan untuk mengambil sikap terhadapnya.
Generasi baru mempunyai kemampuan untuk mengembangkan satu
sistem makna dan nilai sendiri.
Budi nurani ini pun dapat membawa manusia pada suatu perbatasan, tempat orang harus mengambil sikap. Pada suatu ketika akan
terjadi bahwa manusia ditempatkan dalam posisi untuk memahami
suatu makna dan menafsirkannya agar dapat mewujudkannya. Hal
itu memperkaya si manusia apabila ia mempunyai kebebasan untuk
157
menafsirkannya, tanggung jawab untuk penafsiran yang benar serta
keteguhan untuk mewujudkannya.
Pengejaran nilai: Dalam perkembangannya, seseorang mengambil
alih nilai yang diperolehnya dari lingkungan. Pada langkah berikut,
ia terdorong untuk mencari nilai dan berorientasi kepada makna,
yang dipahami dan diterima serta dipeluk untuk diwujudkannya.
Orang muda di dalam fase berturut-turut dapat belajar menangkap
makna, menemukan makna baru, menciptakan makna lebih lanjut dan
membangun dunia baru.
http://facebook.com/indonesiapustaka
melampaui Diri
Perjalanan hidup manusia melangkah didorong oleh penjiwaan
dalam akal budi dan perasaannya. Ia mencoba menggapai sesuatu yang
sesuai dengan hasratnya dan karena itu diinginkannya. Dalam proses
itu, orang berjumpa dengan nilai. Dengan nilai yang dimaksudkan
adalah hal-hal konkret atau abstrak, benda-benda atau manusia, hakikat-hakikat atau peristiwa, yang dapat memenuhi hasrat manusia.
Pada dasarnya, pendidikan adalah bantuan pada seseorang untuk
menyadari sesuatu nilai dalam diri atau di sekitar dirinya, memahami
dan membentuk atau mengejarnya. Dalam pendidikan, dikembangkannya pemahaman atas harga yang diberikan sebagai ukuran terhadap
nilai itu. Melalui pengalaman itulah seseorang menemukan makna
benda, sesama, dunia dan peristiwa. Makna ini adalah sesuatu yang
bersifat trans subjektif dan bukannya intersubjektif. Komitmen untuk
menggapai makna dan mengusahakannya di tengah tuntutan makna
lingkungannya menjadi pencarian makna hidup manusia, yang pada
gilirannya akan dipertanggungjawabkan oleh budi nurani manusia.189
Berdasarkan ini, Viktor Frankl menyatakan bahwa hakikat adanya
manusia adalah ‘Selbsttransendenz’, alias ‘melampaui diri sendiri’.
189 Karl Dienelt, Op.cit., hlm. 145.
158
Manusia senantiasa terdorong untuk mengarah ke luar dari dirinya,
kepada suatu makna yang tidak bernaung di dalam dirinya; dalam
bahasa Latin disebut ‘men-transenden diri’. Makna adalah sesuatu
yang objektif. Dalam cakupan inilah dapat ditemukan, dibentuk dan
dikembangkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu komunitas
manusia; bahkan sampai universal, seperti hak-hak asasi manusia.
Cakrawala lebih lanjut membawa seorang pribadi pada transenden
sosial, ketika manusia di tengah hidup bersama perlu menemukan
nilai sosial yang baru, serta mungkin ’men-transformasi-kan’ diri
supaya terintegrasikan dalam hidup sosial tertentu. Di situlah, manusia
berinteraksi dengan struktur kehidupan bersama, yang memang
mengandung aturan dan hukum, tetapi terutama memuat pelbagai
nilai. Pada dasarnya, nilai-nilai inilah yang menjiwai setiap pembentuk
struktur kemasyarakatan dan menjadi pendorong kehidupan bersama.
Sesungguhnya, pendidikan mendasarkan diri pada struktur sosial, yang
melatarbelakangi ketentuan atau struktur moral itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dalam pembahasan mengenai struktur moral,190 kita dapat melihat bagaimana proses perkembangan dari penyadaran nilai, pemahamannya, penerimaan dan proses mengambil bagian dalam
bersama-sama menghayati nilai-nilai itu. Proses ini berlangsung dari
tahap penyadaran akan keterlibatan seseorang pada sesuatu nilai,
masuk ke penghayatan secara pralogis kepada tahap-tahap penjiwaan
nilai selanjutnya.
Pendidikan dapat berusaha membantu agar murid secara teratur
dan bertahap disadarkan akan nilai-nilai, dikenalkan hakikat dan makna
pragmatis sesuatu nilai, dan setelah terjadi pendalaman mengenai
nilai-nilai itu, murid diantar untuk pindah dari fase penilaian secara
faktis kepada fase penilaian secara normatif, bertransenden kepada
nilai-nilai itu. Kesemuanya ini dengan tujuan supaya di kemudian
190 Dieter Wyss, Strukturen der Moral, Untersuchungen zur Antropologie und Genealogie
moralischer Verhaltensweisen, (Götingen: Vandenhoeck + Ruprecht, 1970).
159
hari perpindahan dari fase penilaian yang satu kepada lainnya dapat
bersifat relektif. Proses itu dapat diperdalam, bila seseorang dibantu
untuk mengenali makna pragmatis suatu nilai dan hakikat metaisis
keseluruhan nilai.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendidikan yang utuh berusaha agar murid dibiasakan untuk
memadukan ajaran dengan pemahaman makna ajaran itu. Murid
dibantu untuk ‘men-transenden’ penilaian faktisitas, memasuki pemaknaan hakiki untuk kemudian memadukannya sebagai patokan
hidup nyata, secara pribadi maupun sosial. Demikianlah murid dibantu menangkap nilai, menjabarkannya dalam tindakan nyata
serta mengembangkannya lebih lanjut. Proses didik tersebut dapat
membantu seseorang untuk secara berkesinambungan menghadapi
‘krisis nilai’ dengan sehat.
Proses didik melalui pendidikan nilai dapat membantu seorang
pribadi dari satu sisi mengenal arti isik dan praktis pelbagai hal dalam hidupnya (benda maupun relasi atau organisasi), dari sisi lain
mendalami makna terdalam aneka hal itu bagi pribadi manusia; apabila dilanjutkan, cara ini membantu orang untuk men-transenden
seluruhnya, sampai mengembangkan penghayatan tentang makna
ilahi, yang melampaui segala nilai duniawi. Pemahaman makna nilai
ilahi dengan proses tersebut pada gilirannya membantu manusia untuk
mengatasi penilaian praksis keagamaan, supaya tidak terjerat pada
hukum dan ritual, melainkan sampai kepada relasi pribadi dengan Yang
Mahaluhur. Cara tersebut akan menghindarkan manusia dari takhayul
dan berhala, yang tampaknya meyakinkan sebagai ‘jalan ke kesucian’,
tetapi sebenarnya ‘menjerumuskan orang dalam merendahkan iman
dan agama’.
Pendidikan Interaktif
Pendidikan mendampingi orang muda untuk menyadari interaksinya dengan dunia, sesama dan akhirnya dengan Yang Mahaluhur.
160
Pendidikan senantiasa bersifat interaktif. Sifat interaktif pendidikan
sudah mulai sejak seseorang lahir, berinteraksi dengan keluarga, dan
alam semesta di sekitarnya. Pada gilirannya, seseorang akan belajar
lebih lanjut, dengan akal budi, perasaan maupun dengan aksinya,
melalui interaksinya dengan masyarakat luas. Dalam proses didik
yang memperhatikan interaksi kodrati, seseorang disadarkan untuk
kemudian diajak paham supaya dapat mengembangkan relasinya: dia
sebagai orang yang memiliki kebebasan dengan ‘pihak lain’ yang kerap
dipandang ‘berwibawa dan berwewenang’, dari sudut isis, psikologis,
sosial, politis, dan religius. Dalam proses itu, pendewasaan manusia
mendorong pengambilan keputusan yang tepat dalam interaksinya
dengan pihak lain. Proses itu mempertemukan seseorang dengan hal
baru memasuki dunia baru191.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sifat interaktif hidup manusia menyadarkan orang akan ajakan
guna memadukan pelbagai nilai dalam hidupnya. Sebab nilai-nilai
itu berkaitan satu sama lain.192 Dibalik nilai isis, kultural, politis dan
ekonomis, tersimpan nilai metaisis dan religius. Begitulah pendidikan
transenden bukanlah sekadar tahap pendidikan nilai, melainkan cara
memandang hidup sebagai satu kesatuan integral. Nilai-nilai pun
menjadi kesatuan yang terpadu dalam hidup manusia. Tampaknya hidup
manusia kadang diwarnai oleh ketegangan nilai karena sebenarnya
hidup manusia dipadukan oleh aneka nilai. Di sanalah pendidikan nilai
menemukan dasarnya.
191 Hans Netzer, Erziehungslehre, (Bad Heilbrunn/Obb: Julius Flinghardt Verlag, 1968),
hlm. 36.
192 Bdk. Slavin, Robert E., Cooperative Learning (London: Allymand Bacon, 2005), terutama Bab
2 dan 6. Dalam gagasan-gagasan Slavin bergema pula cara orang-orang Finlandia sekarang
mengembangkan strategi pendidikannya, dengan banyak mendorong para murid untuk
menyelesaikan soal-soal didik secara bersama. Dengan demikian, mereka dijauhkan dari model
kompetisi (yang di beberapa negara dimajukan dengan menentukan urut-urutan ‘kepandaian’
seseorang di kelas, dan menyebabkan persaingan yang dapat memecah persekutuan yang
nanti juga dapat merusak persaudaraan) sekaligus mereka diajari untuk mengenali sifat
komunitas dari kebenaran dan ilmu. Dengan demikian, bekerja sama bukan diterima secara
afektif, tetapi juga disambut sebagai dinamika akal budi dalam proses pembelajaran seumur
hidup.
161
Pendidikan: antara kini dan kelak
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kerap kali orang muda didoakan akan tumbuh dan menjadi generasi
penerus. Puja-puji yang dianggap ‘Upah Minimum Regional’ itu kadang
kala mengandung penghargaan semu kepada generasi muda. Mereka
dianggap hanya ‘meneruskan’ apa yang sudah dicapai pendahulunya.
Pengalaman berabad-abad menunjukkan bahwa generasi muda kerap
kali amat kreatif dan tidak sekadar meneruskan tradisi lama, melainkan
menemukan hal-hal baru. Tidak hanya Columbus menemukan ‘Dunia
Baru’ atau Einstein mendeteksi hukum relativitas serta segala penemuan
baru; tetapi penemuan-penemuan baru di dunia teknik dan budaya
memperlihatkan, betapa kreativitas merupakan nilai kemanusiaan,
yang menjiwai generasi baru. Pendidikan, formal maupun nonformal,
sungguh hanya mendampingi generasi muda untuk menyadari nilai
dirinya dan mengembangkannya. Setiap pendidikan adalah interaksi
antara ‘yang kini dan yang kelak’.
Pada dasarnya, pendidikan mengantar generasi muda untuk menemukan potensinya sendiri, mengembangkannya untuk menuju ke
masa kelak, bersama dengan generasi sebelumnya. Tradisi merupakan
landasan untuk menggapai situasi dan kondisi baru di hari kelak. Pemahaman nilai terdalam tradisi akan membawa manusia kepada dinamika perkembangan yang mendorong generasi baru menciptakan
hal-hal baru, yang tidak pernah terpikirkan. Yang terjadi bukanlah
perlawanan antara yang silam dan yang mendatang, melainkan menemukan dinamika terdalam kreativitas manusiawi. Pendidikan menolong
manusia untuk mendekatkan yang silam ke ‘sekarang’ dan menggapai
yang masih dikatakan ‘kelak’; walau sebelumnya sudah ‘tersimpan
dalam kodrat manusia’.
Oleh sebab itu, pendidikan sungguh berperan membuka sifat dinamis kemanusiaan dalam diri anak didik: itulah perspektif kreatif yang
mewarnai manusia sejak awal mula hingga sekarang. Dengan proses
didik yang sehat, murid belajar yang terdalam, yakni dilatih untuk tidak
162
henti-hentinya menggali dinamika kreatif kemanusiaan, menemukan
makna hidup, dan mengarahkan hidupnya sendiri maupun sesamanya
menuju keabadian. Dalam seluruh proses didik, murid berangsurangsur mengerti potensi dan kreativitas seluruh masyarakat. Orang
muda dibantu untuk ikut merasa bertanggung jawab agar dinamika
kreatif masyarakat semakin berkembang dalam diri dan generasinya,
melampaui kepuasan akan sukses sesaat untuk menggapai masa depan.
Cara pandang kreatif itu menghidupkan dirinya dan masyarakatnya.
Lembaga didik bertugas untuk melampaui dirinya sendiri sehingga
memang mulai dengan titik penting masa kini tetapi memiliki visi
dinamis ke masa depan. Melalui lembaga didik perlulah diciptakan
generasi baru yang kreatif melalui pembentukan visi baru dan dibina
untuk mampu memberikan penafsiran-penafsiran baru terhadap nilainilai yang ada; bahkan menemukan nilai baru. Penemuan nilai baru
atau perumusan nilai baru dapat merangsang terbentuknya inovasi
kemasyarakatan yang lebih luas.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Nilai-nilai Baru
Sejak awal hidup manusia, generasi-generasi saling menggantikan
dengan cara hidup yang baru. ‘Techne’ adalah hal yang sekarang disebut
‘teknik’ dan sudah berkembang sejak zaman agraris, peternakan yang
amat banyak berpindah-pindah sampai dengan menetap. Setiap kali
ditemukan cara kerja yang baru. Sangat menarik bahwa semakin lama,
penemuan peralatan baru semakin cepat. Teknik memperkaya manusia,
dan sekaligus juga mencuatkan sifat kreatif bangsa manusia. Oleh sebab
itu, perkembangan setiap bangsa sekarang memerlukan kepekaan
terhadap kecepatan kemajuan teknologi. Perubahan teknologi tidak
dapat disempitkan menjadi penemuan gadget baru, tetapi perlu dilihat
sebagai pertumbuhan kreativitas.
163
http://facebook.com/indonesiapustaka
Perkembangan teknologi itu mendorong perubahan relasi-relasi
sosial. Dari satu sisi, teknologi membantu meningkatkan relasi sosial,
suatu hal yang biasanya bersifat positif. Dari sisi lain, teknologi kadang
‘menggantikan’ relasi sosial yang langsung, suatu hal yang tidak jarang
menghambat pembentukan komunitas secara mendalam. Oleh sebab
itu, pertumbuhan relasi sosial sangat memengaruhi sikap manusia,
kepada dirinya, sesama dan alam semesta. Entah sisi positifnya, entah
sisi negatifnya, teknologi menghadapkan manusia pada wujud baru
dari nilai-nilai baru (baik yang endogen maupun eksogen). Teknologi
diatur oleh banyak negara dengan hukum, sejauh infrastruktur materiel
(teknik: berupa hardware maupun software) sudah cukup sempurna,
agar ‘bonum commune’ oleh pelbagai kemajuan didukung dan bukannya
justru dirugikan. Pengaturan itu sendiri membutuhkan teknologi
yang mengatasi segi-segi hidup manusia secara perseorangan maupun
sosial.
Bagaimana pun juga, teknologi dengan segala seginya, telah menjadikan kebudayaan lokal maupun universal mengalami tantangan baru.
Kebudayaan yang semula amat erat berkaitan dengan ‘budi’ dan ‘daya’,
sekarang ditantang oleh ‘buah karya budi’ menjadi ‘daya baru’, yang
sering kali ‘menundukkan manusia’. Manusia menghadapi pertanyaan,
apakah masih menguasai dunia? Maka, berdasarkan kenyataan ini, yakni
adanya teknologi sebagai nilai, manusia harus sadar akan peranannya
yang baru. Manusia perlu membuat reorientasi kebudayaannya. Sebutan
manusia sebagai Homo Technologicus, yakni manusia yang sadar bahwa
ia harus menguasai teknologi, membawa warna baru untuk identitas
kemanusiaan. Kalaulah manusia mau sepenuhnya menguasai alam
semesta, pedoman dasarnya perlu dicermati lebih lanjut.193 Pendidikan
dalam kaitan dengan teknologi, tidak cukup dengan membantu murid
mengenali teknik, melainkan harus membantu mereka juga untuk
193 Victor C. Ferkiss, Technological Man: he Myth and he Reality (London: Heinemann, 1969),
hlm. 246.
164
berpapasan dengan identitas manusia baru. Identitas baru manusia
mendorong manusia untuk melihat masa depan secara baru: bagi
dirinya sendiri maupun generasinya. Oleh sebab itu, ‘homo technologicus’
perlu dibantu untuk membarui visinya atas hidup dan masa depannya.
Manusia ditantang untuk merumuskan hari depan dan mengembangkan
satu ilsafat baru berdasarkan identitas barunya.194 Dalam identitas baru
ini ditemukan nilai yang baru.
Teknologi itu sudah menjadi nilai yang bersifat umum, jadi bukan
berlaku hanya bagi orang-orang teknik, hal ini dapat kita lihat misalnya
di dalam tulisan Nigel Calder195. Tulisan itu menguraikan diskusi teknis
tetapi juga debat kultural ketika dicoba untuk menempatkan proses
pengesahan pembuatan kapal udara Concorde di tengah gejolak ekonomi
dan sosial politik Inggris. Dalam perbincangan itu, perkembangan
teknologi menyangkut pemikiran tentang posisi budaya suatu masyarakat karena teknologi menempatkan kebudayaan menjadi unsur
dinamika teknologi. Dalam pertimbangan itu ideologi keseimbangan
berhadapan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Di dalamnya
tercakup ketidakseimbangan perkembangan budaya masyarakat yang
bersangkutan. Pertimbangan-pertimbangan semacam ini sudah patut
dimasukkan dalam merumuskan pembaharuan pendidikan kita.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Politik Pendidikan
Di semua negara, urusan persekolahan diserahkan kepada kementerian pendidikan atau pembentukan. Sementara itu, kita sudah
melihat bahwa pendidikan tidak begitu saja identik dengan persekolahan. Dalam banyak negara, tidak sedikit keluarga yang memilih
‘home school’ karena merasakan bahwa sekolah mengganggu pendidikan
194 ibid, hlm. 246-247.
195 Nigel Calder, Technopolis, Maatschappelijke controle op de toepassing van de wetenschap
(Leyden: A.W. Sythof, 1970).
165
http://facebook.com/indonesiapustaka
generasi muda. Salah satu sebab yang sering dianggap ada dibalik
masalah itu adalah adanya birokrat di lingkungan kementerian yang
bersangkutan, yang lebih berpikir sesuai dengan posisi politis partainya
daripada selaras dengan asas pendidikan yang sehat. Dalam praksis
tersebut, sesungguhnya diperlukan kesadaran dan rekayasa sehat
sekitar pengertian pendidikan, persekolahan maupun transformasi
identitas pribadi dan bangsa.
Dalam perkembangan suatu bangsa, sampai taraf tertentu identitas
ini memang ditemukan dalam ide nasionalisme. Persoalannya sering
dirumuskan bahwa di luar dan di atas kesatuan-kesatuan adat, kesukuan,
dan lapisan-lapisan sosial di masyarakat hanya terdapat perasaan dan
hubungan solidaritas yang lemah sehingga pembentukan kesadaran
nasional dan nasionalisme dianggap menjadi alat mobilisasi yang dapat
mencapai integrasi yang luas daripada warganya, sekaligus sebagai
alat menuju kemajuan bersama. Tetapi akhir-akhir ini, semakin diakui
bahwa identitas nasional bukan sesuatu yang tetap saja, ia berubah dari
generasi ke generasi dan setiap waktu mengalami perubahan di dalam
isinya. Apabila nasionalisme dalam penafsirannya, cara menghidupinya
dan cara penerusannya mempergunakan pendekatan dari zaman
kemerdekaan, maka bagi generasi muda sulit dipahami. Malah ia sama
sekali bisa dianggap tak berarti, bagaimanapun juga
tidak dapat disangkal bahwa dalam nasionalisme di
Dinamika
atas itu terkandung unsur-unsur kultural masa silam.
Metode
Wujud budaya masa kini sudah berubah banyak. Maka,
paham nasionalismenya juga berkembang.
Apabila kini hendak ditafsirkan bahwa bentuk konkret nasionalisme
dan kesadaran nasional itu terletak di dalam hubungan antarmanusia
dalam mengemban dan menggarap satu persoalan bersama, maka
dalam taraf tertentu, yang terakhir ini bukanlah alat pendorong terjadinya integrasi secara meluas. Kalau pun dapat, hubungan ini lebih
bersifat ’apa adanya’, yang didasarkan kepada kemajuan ekonomi dan
166
http://facebook.com/indonesiapustaka
teknik. Sifat yang sedemikian ini hanya dapat menjamin kelangsungan
perkembangan apabila manusia-manusianya sudah mempunyai kedewasaan tertentu. Maka, agar pengisian ide nasionalisme mendapatkan
dukungan, ia harus dibantu dengan suatu tradisi. Tradisi inilah yang
harus diciptakan di dalam masa pendidikan, tradisi yang merupakan
alat pengikat yang lebih daripada sekadar ’apa adanya’. Apabila kita
meninjau kembali perspektif futurologis di dalam pendidikan, maka
di sinilah letak dasar dan isi ide nasionalisme dan kesadaran nasional.
Dengan demikian perlu dibangkitkan satu kesadaran akan adanya
kekuatan mendekatkan kenyataan (hari depan) kepada pemikiran (visi).
Bila pekerjaan ini sudah ditradisikan di bangku lembaga didik, maka
rasa bersama yang ditumbuhkan semasa bersama-sama membangun
hari depan itu akan dapat dibawa untuk seterusnya. Di sinilah kita
lihat pengaruh perubahan ide yang dewasa ini menjadi soal yang cukup
aktual.
Bagi pendidikan, merupakan hal yang penting setiap saat mengadakan pertimbangan, sejauh mana pendekatan yang diberikan
itu dapat menciptakan kemungkinan penerjemahan ajaran kepada
sikap dan tindakan. Hal ini dengan sendirinya tergantung kepada
makna dan isi ajaran ini bagi anak didik. Pendidikan politik dalam
praktik pemberian kewarganegaraan di bangku lembaga didik sebagai
ajaran hampir tidak mempunyai maknanya lagi. Oleh karena itu,
pendekatan demikian tidak lagi dapat memberikan dan membuka
jalan pembentukan alternatif-alternatif perspektif hidup dalam diri
si anak didik. Kita tidak boleh melupakan kecenderungan psikologis
murid, yang terletak dalam ketegangan untuk mempunyai hari depan
yang baik. Dalam ketegangan inilah terkandung dorongan untuk ikut
berpartisipasi dalam pembaharuan. Kiranya pendidikan politik untuk
dimensi kehidupan dewasa ini, di mana hari depan sudah menjadi
nilai adalah usaha mendorong murid untuk membuat gambaran
mengenai hari depan: dalam perkembangan ini secara proporsional
167
aspek-aspek politis akan masuk. Rasa kesatuan hanya bisa dibangun
melalui dan berada dalam ”hari depan” bersama. Bila murid hendak
dibangun menjadi manusia yang sadar nasional, maka mereka harus
mampu membuat gambaran mengenai hari depannya dahulu dan
secara bertahap dipindahkan dari cara berpikir egosentris kepada tahap
ketegangan antara ”saya” dan ”sesama manusia”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pendidikan Hidup Komunitas
Hampir tidak ada negara yang tidak majemuk. Gelombang besar
pengungsian di awal milenium ketiga di Asia, Afrika, dan Eropa telah
menambah warna warni penduduk benua-benua. Latar belakang budaya dan terutama agama telah menciptakan sejumlah ketegangan di
banyak negara serta menerbitkan beberapa perselisihan dan kekerasan.
Sedikit saja negara yang tidak mengalami konlik internal. Bila kita
hendak membangun kesadaran nasional melalui visi hari depan, harus
cukup dini disadarkan kepada para murid bahwa perjumpaan orang
dari beraneka budaya akan menimbulkan gesekan norma-norma yang
berlaku bagi beberapa bagian penduduk dunia. Namun, bila pendidikan
kesadaran nasional dilakukan dengan menggunakan pendekatan
optimistis ke masa depan maka kesatuan dan kerukunan pun dapat
digarap. Untuk memperdalam arah-didik-damai, sepantasnyalah
lembaga didik pada lingkup mana pun menunjukkan dan melatih
murid untuk mendorong ‘metode pembelajaran kooperatif ’, menciptakan
dinamika belajar sedemikian sehingga kebenaran dan keilmuan adalah
buah ‘kooperasi’ dan bukan hasil agresi dan kompetisi.196
Pendidikan mengenai damai adalah model pendidikan kerukunan
yang hakiki bagi semua bangsa. Walter Rest merumuskan hal ini
sebagai satu utopi produktif. Persoalan ini berhubungan dengan satu
196 Bdk. Slavin, Op.cit., khususnya Bab 3.
168
visi kemanusiaan, yang nyata dalam pendidikan perdamaian, menuju
ke arah perdamaian dunia.197
Pendidikan mengenai damai bukanlah sekadar berfungsi membenarkan adanya perdamaian. Hal ini secara tidak disadari sudah selalu
termaktub oleh pendidikan. Tetapi, pendidikan kepada perdamaian
ini bertugas menyadarkan adanya perdamaian sebagai nilai. Untuk
itu sangat perlulah bahwa guru atau dosen mengambil sikap damai
juga dalam menyikapi sikap didik murid; bukannya menghadapi sikap
kritis murid dengan menghukum dan karena itu menerbitkan suasana
‘perang dingin’.198 Dalam pada itu, situasi ‘Perang Dingin antara Barat
dan Timur’ memperlihatkan, seakan-akan perdamaian abadi adalah
mimpi belaka, sedangkan perang ada realita yang justru nyata. Warisan
Latin kerap dianggap harta berharga: ‘si vis pacem, para bellum’ (kalau
menghendaki damai, siapkan perang).
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ada pula berlaku tafsir-tafsir campuran seperti ‘Perdamaian
setelah Peperangan’: maknanya, akibat peperangan yang biar pun
membawa pembudakan, wajib pemberian upeti dan lain sebagainya,
dijadikan satu bentuk perdamaian yang riil. Padahal sebenarnya juga
ada yang menyebutnya sebagai damai semu. Relevannya persoalan
ini dapat kita lihat dari perumusan pendidikan sebagai belajar untuk
hidup dalam keanekaragaman, hidup dengan teknik, hidup dengan
aparatur, hidup dengan demokrasi, dan hidup dengan perdamaian di
tengah kekerasan.
Pendidikan menghadapi juga ‘perang-perang politis’, yang tersimpan dalam transaksi politik, ekonomi, dan militer; dalam kondisi
itu, kompromi menjadi kebiasaan dan damai menjadi dalih perundingan. Dalam hubungan internasional misalnya, “onvrede” kolektif ini
197 Walter Rest, “Friedenserziehung”, Wafenlos zwischen den Fronten, Ibid (H.O. Franco Rest, ed.),
(Graz: Styria Verlag, 1971), hlm. 253.
198 Bdk. NN., Mempertimbangkan Hukuman pada Anak (Yogyakarta: Pustaka Familia Kanisius,
2007), khususnya hlm. 44-51. Lihat juga Gunarsa Op.cit., khususnya Bab 12.
169
dapat dilihat daripada “Abschreckung” (dissuasion), yang bukan lagi
merupakan satu aspek strategi politik, melainkan sudah berbentuk
organisasi di dalam masyarakat yang menjalankan politik ini.199 Jadi,
sudah menjadi semacam nilai.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Maria Montessori melihat hakikat persoalan ini dari dasar hubungan
kanak-kanak dan orang dewasa, di mana peperangan itu sendiri sudah
dimulai. Orang dewasa sering mengambil peran sebagai pemenang
dan membentuk kanak-kanak berdasarkan model ‘perdamaian setelah peperangan’: tidak lain merupakan pemaksaan adaptasi dan
pemerkosaan segi-segi positif yang dimiliki si anak. Suasana semacam
ini akan tertanam dalam diri si anak dan akan dibawa terus di dalam
perjalanan hidupnya. Maria Montessori menyerukan kepada orang
dewasa untuk melihat kanak-kanak secara lain, sebagai satu inkarnasi,
bibit-bibit perbaikan, pengharapan, dan pembaharuan.
Kemampuan untuk damai kadang kala dirasakan sebagai bukan
warisan manusia secara alamiah (Kant.: status naturalis): hal ini sering
dikaitkan dengan kesadaran lain bahwa setiap manusia memiliki
agresivitas. Oleh karena naluri agresi disebut sebagai tidak apriori jelek
atau jahat, maka dikatakan bahwa bukanlah tugas pendidikan untuk
menekan atau memusnahkan naluri ini, melainkan memungkinkan
anak didik untuk mengarahkan diri kepada yang baik, menggunakan
energinya untuk kepentingan yang ‘baik’ itu. Dengan sendirinya status
naturalis manusia harus menjadi pertimbangan, manusia memiliki
egoisme, jadi punya kemauan untuk berkuasa, memiliki agresivitas, jadi
tidak bisa seutuhnya diperhitungkan sebelumnya, tetapi yang apriori
tidak negatif. Padahal, kita juga dapat melihat agresivitas sebagai bagian
dinamika manusia untuk maju ke depan dalam menghadapi pelbagai
situasi dan kondisi masyarakatnya. Demikianlah pendidikan menjawab
‘sifat natural’.
199 Karl F. Roth, “Erziehung zum Friedensdenken”, Friedenspaedagogik, (Hermen Rbhrs, ed.),
(Frankfurt: Akademische Verlagsgesellschaft, 1970), hlm. 90-91.
170
http://facebook.com/indonesiapustaka
Releksi
1.
Menurut pengalaman Anda, pendidikan dilaksanakan oleh
siapa?
2.
Sesudah masa sekolah, masihkah Anda mengalami pendidikan?
Jelaskan!
3.
Sejauh manakah petugas negara menjalankan perannya untuk
dunia pendidikan?
4.
Dalam masa didik Anda, apakah ada orang yang secara khusus
memberi pendidikan hidup?
5.
“Naik kelas” memberi dampak positif ataukah negatif dalam
pendidikan?
171
Belajar Mendidik Berkesinambungan
S
etiap guru yang profesional mengakui dengan rendah hati bahwa
setiap interaksi didik membawa serta proses pembelajaran. Proses
itu berlaku bagi bapak/ibu yang mendapat anak ‘lagi’, maupun guru
yang menerima murid baru. Sebab gerak langkah mendidik yang berupa
interaksi adalah tindakan yang senantiasa dimulai kembali apabila
partner didiknya berubah. Hal serupa terjadi juga ketika seorang murid
naik kelas atau berganti tingkat persekolahan karena dengan demikian
gurunya baru. Apabila tiba saatnya pengajaran diberikan oleh guru
berbeda karena mata ajarnya terspesialisasikan pada guru tertentu,
relasi didik diperbarui kembali. Dengan kata lain terjadilah “belajar
mendidik yang berkesinambungan”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Murid maupun guru yang bersungguh-sungguh, mengalami
kesinambungan yang beraneka warna, sesuai dengan pribadi, tempat
maupun mata ajar serta metodenya. Dengan demikian, judul tulisan
“Belajar Mendidik” ini bukanlah untuk sekadar diartikan secara haraiah
maupun sebagai ungkapan kebahasaan, melainkan berharap dipahami
secara sadar: mendidik bukanlah tindakan yang terjadi secara serta
merta, otomatis, atau serupa mesin, melainkan rangkaian-rangkaian
komunikasi personal yang dinamis.
“Pada tahap berikut perlu didalami: Komunitas Belajar”
172
Daftar Pustaka
Pendidikan Umum
Jauhari, Moh., S.Pd. 2008. Glossarium Pendidikan. Jakarta: Cerdas Pustaka, hlm. 430.
Koehn, Daryl. 1994. he Ground of Profesional Ethics. London: Routledge.
Morin, Edgar. 1999. Seven Complex Lessons in Education for the Future UNESCO. Paris.
Newman, John Henry Cardinal. 1995. On the Scope and Nature of University Education.
London: Everyman’s Library No. 723.
Widiastono, Tonny D. (penyunting). 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta:
Kompas.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Belajar
Ayah Edy (VCD). 2014. Inspirasi Pendidikan. Jakarta: Audio Book.
Budimansyah, Dr. Dasim, M.Si. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian. Bandung:
Genesindo, hlm. viii-148.
Cabrera, Derek and Laura Colosi. 2012. hinking at Every Desk. New York and London:
W.W. Norton and Company, hlm. xii-148.
Pradipto, Y. Dedy. 2007. Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional. Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 271.
Johnson, Brad and Julie Sessions. 2015. What Schools Don’t Teach. New York-London:
Routledge, hlm. x-194.
Kelley, W. Michael. 2003. Rookie Teaching for Dummies. New Jersey: Wiley Publishing,
Inc, hlm. xx-332.
Moyle, Helen. 1997. he Experience of Learning. Dalam: he Way, Vol. 37, April 1997,
Nr. 2, hlm. 110-119.
NN. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan Taman Siswa.
Yogyakarta, hlm. 555.
Parapak, Jonathan. 2002. Pembelajar dan Pelayan Mahardika. Jakarta, hlm. v-304.
Kecerdasan
Goleman, David. 1995. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. etc., hlm.
xv-413.
Psikologi Pendidikan
Koesoema A., Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo, hlm. viii-380.
Frankl, Viktor E. 1959. Man’s Search for Meaning. New York: Pocket Books, hlm. xiii237.
Suparno, Paul, dkk. 2003. Pendidikan Budi Pekerti. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 136.
Rautenberg, Werner dan Rüdiger Rogoll. 2010. Werde, der du werden kannst. Freiburg
im Breisgau: Herder, hlm. 11-30.
173
Etika Pendidikan
Gustafson, James M., cs. 1970. Moral Education. Cambridge: Harvard. etc., hlm. 136.
Peters, R.S. 1966. Ethics and Education. London: George Allen & Unwin Ltd., hlm.
333.
Nugroho, Alois A. 2013. Negara Gagal Etika. Suara Pembaruan, 11 Mei.
Peters, R.S. 1966. Ethics and Education. London: George Allen & Unwin Ltd.
Sekolah
Azhar, Khairil. 2013. School, Fraud and the Sacriice of Socrates. he he Jakarta Post,
4 Mei.
Sekolah Katolik
Adiwahyanto, V. A, dkk. 1995. Sejarah Peziarahan Perkumpulan Strada 1924-1994.
Jakarta: Grasindo, hlm. xviii-338.
Arthur, James with Richard Bailey. 2000. Schools and Community. London-New York:
Falmer Press, hlm. ix-165.
Buetow, Harold A., 1988. he Catholic School: Its Roots, Identity and Future. New York:
Crossroad.
Suparno, Paul, dkk. 2017. Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: PT Kanisius.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Katolik – Sekolah Alternatif
Lowney, Chris. 2003. Refuse No Talent, Nor Any Man of Quality dalam Heroic Leadership.
Chicago: Loyola Press, hlm. 169-202.
NN. 1987. Mencari Pendidikan Alternatif dalam Karya-karya Pendidikan Katolik. LPPSKWI, hlm. 42.
Ruf, K. 1980. Zukunftsfragen der Sonderschule dalam Stimmen der Zeit Heft 12,
Dezember, hlm. 841-850.
Willingham, Daniel T. 2009. Why Don’t Students Like School? California: Jossey Bass,
hlm. 228.
Gunawan, Hendra. 2013. Potret (Buram) Pendidikan Tinggi Kita. Kompas, 2 Mei.
Guru
Drost, J., SJ. 1995. Pengajaran dan Pendidikan Pribadi. Jakarta, hlm. 63.
Keith-Spiegel, Patricia and Arno F. Wittig, David V. Perkins, Deborah Ware Balogh,
Bernard E. Whitley Jr. 1993. he Ethics of Teaching. Muncie: Ball State University,
hlm. xvii-165.
Komisi Kerasulan Awam KAJ. 1987. Etika Profesi. Jakarta: Keuskupan Agung Jakarta, hlm. 14.
Komisi Pendidikan KWI. 2008. Awam Katolik di Sekolah: Saksi-saksi Iman. KWI: Jakarta, hlm. 51.
Mardiatmadja, B.S. 2013. Terkenang Guru. Sinar Harapan, 2 Mei.
174
http://facebook.com/indonesiapustaka
NN., 2015. Funny Teachers’ Stories dalam Reader’s Digest Asia, November, hlm. 68-73.
Schmidbauer, Wolfgang. 1997. Wenn Helfer Fehler machen Rowohlt, Reinbek bei
Hamburg, hlm. 319.
Highet, Gilbert. 1950. he Art of Teaching. New York: Pyramid Books.
Tubbs, Nigel. 2005. Philosophy of the Teacher. Carlton: Blackwell Publishing, hlm. viii245.
Politik Pendidikan
Beeby, C.E. 1979. Assessment of Indonesian Education. Wellington: New Zealand Council
for Educational Research.
Depdiknas. 2003. UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas,
hlm. iv-72.
Depdiknas. 2005. UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas, hlm.
i-85.
Depdiknas. 2009. UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta: Depdiknas,
hlm. 88.
Fiske, Edward B. 1996. Decentralisation of Education. Politics and Consensus. Washington:
World Bank.
Freire, Paulo. 1999. he Politic of Education: Culture, Power and Liberation. New York:
Routledge.
Johny, M., SH., (ed). 1999. UUD 1945, UU Pendidikan, UU Perguruan Tinggi serta Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Bandung: Jemmars, hlm. 222.
Kennedy, Kerry (ed.). 1997. Citizenship Education and the Modern State. Bristol: Falmer
Press, hlm. x-185.
Mangkunegara IV, KGPA. 1900-an. Wedhatama. Surakarta.
Mardiatmadja, B., SJ. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, hlm.
144.
Media MNPK. 2003. Proses, Sikap, dan Implementasi UU Sisdiknas. Jakarta: MNPK, No.
03-04, Tahun XXIV, Agustus-September 2003, hlm. 18.
Mubyarto, Prof. Dr. 2004. Menggugat Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Aditya
Media, hlm. 29.
Tambahan Lembaran Negara No. 4310. 2003. Penjelasan tentang UU Republik Indonesia
No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sugi, Br. Frans, FIC. (ed.). 2008. Jati Diri Pendidikan: Debat Sisdiknas 2003. Muntilan:
Percetakan Pangudi Luhur, hlm. vi-323.
Tilaar, H.A.R. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif
Abad 21. Tera Indonesia, hlm. 450.
Kalla, M. Jusuf. 2013. Ujian Nasional. Kompas, 2 Mei.
Koesoema A., Doni. 2013. Panik Sertiikasi. Kompas, 4 Mei.
Maryanto. 2013. Kurikulum 2013 di Tengah Kisruh Ujian Nasional. Koran Tempo, 2
Mei.
175
Oey-Gardiner, Mayling. 2013. Assessing University Autonomy. he Jakarta Post, 4 Mei.
Saidi, Acep Iwan. 2013. Pendidikan Minus Kebudayaan. Kompas, 4 Mei.
Sutrisno. 2013. Hardiknas dan Agenda Pendidikan. Suara Pembaruan, 2 Mei.
Swasono, Sri-Edi. 2013. Keprihatinan di Hari Pendidikan. Kompas, 2 Mei.
Guru
Widyastuti, Sr. Avriana, CB. (ed.). 2009. Bu Guru Ngomong Apa Sih? Yogyakarta: CB
Media, hlm. 212.
Clark, Ron. 2004. he Excellent 11. New York: Hyperion, hlm. xiii-266.
Esquith, Rafe. 2003. here are no Shortcuts. New York: Anchor Books, hlm. x-210.
llingworth, Martin. 2015. hink Before You Teach. Glasgow: Independent hinking
Press, hlm. x-171.
NN. 2013. Wajah Guru dalam Tarikan Kepentingan. Survei Pendidikan, Kompas 13
Mei
Hutchinson, Francis P. 1996. Educating Beyond Violent Futures. London-New York:
Routledge, hlm. xii-304.
Kurikulum
2004. Educare No. 1/1/April 2004. Jakarta: KWI.
2004 Educare No. 2/1/Mei 2004. Jakarta: KWI.
Rusman, Dr., M.Pd. 2009. Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. xiii590.
Sari Jatmiko, Y., dan A. Ferry T. Indratno. 2006. Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan
Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar-Misereor, hlm. 260.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Pranata Didik
Dreikurs, Rudolf, MD, Pearl Cassel, M.Ed., Eca Dreikurs Ferguson, Ph.D., 1972. Discipline
Without Tears Revised Edition. Canada: Wiley, hlm. viii-148.
Fullan, Michael. 2003. he Mord Imperative of School Leadership. Ontario Principals
Council and Corwin Press, hlm. xi-88.
Orang muda pada Umumnya
Bergmann, Wolfgang. 2011. Lasset eure Kinder in Ruhe! München: Kösel, hlm. 142.
Dahlke, Rüdiger. 1970. Lebenskrisen als Entwicklungschancen. München: Mosaik bei
Goldmann, hlm. 415.
Doolittle, Robert. 1993. Searching Young Hearts. Winona: Saint Mary’s Press, hlm. 78.
Griess, Tobia, Sr., 1985. Verwurzelt – entwurzelt. Jugend in Indonesien dalam
Ordensnachrichten, 24 Jhrg. 1985/Heft 5, hlm. 270-281
Hartoko, Dick (Penyunting). 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta:
Kanisius.
Lewis, C.S. 1941. he Screwtape Letters. London: Geofrey Bles.
Ribes, Peter, SJ. 1992. Self Discovery. Bombay: St. Paul Publications, hlm. 137.
176
Download