http://facebook.com/indonesiapustaka BELAJAR MENDIDIK http://facebook.com/indonesiapustaka Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ PENERBIT PT KANISIUS BELAJAR mENDIDIK Oleh: Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ 1017004254 ©2017 PT Kanisius PENERBIT PT KANISIUS Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 E-mail: [email protected] Website: www.kanisiusmedia.co.id http://facebook.com/indonesiapustaka Editor: Y. Hery Kurniyanta Tata letak: Marini Desain sampul: Hermanus Yudi Ilustrator: Roosje W. Model sampul: Louisa Bianca T.P. dan Benedict Kaindra A. – SD Joannes Bosco Yogyakarta Edisi elektronik diproduksi oleh Divisi Digital Kanisius tahun 2017. ISBN 978-979-21-5408-5 (pdf) ISBN 978-979-21-5407-8 (cetak) Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit. Prakata S etiap orang tua mempunyai panggilan untuk mendidik anakanaknya: melampaui semua pihak lain. Panggilan itu berakar pada kodratnya sebagai ayah dan ibu anak-anaknya. Oleh karena itu, keterampilan dan kemampuan untuk mendidik “secara tepat”, perlu terus-menerus dikembangkan supaya selaras dengan kemampuan optimalnya, maupun sesuai dengan pertumbuhan anak serta dengan memperhatikan perkembangan masyarakat. Kelompok-kelompok dalam masyarakat maupun pemerintah merasa wajib untuk membantu (secara subsidi) orang tua dalam mendidik. Perasaan wajib tersebut dapat sedemikian luas sehingga terbitlah tradisi “wajib belajar”, yakni “pemerintah mewajibkan rakyatnya untuk belajar”. Secara psikologis, kewajiban belajar sangat membantu perkembangan pribadi manusia. Namun, “kewajiban belajar” dapat juga menembus wewenang perdana orang tua untuk mendidik anaknya terutama berkaitan dengan “penyempitan pendidikan menjadi identik dengan penyekolahan”. http://facebook.com/indonesiapustaka Salah satu “penyempitan yang sering dinilai berlebihan karena pemerintah mewajibkan regionalisasi pendidikan dan menciptakan sekolah sepanjang hari” masih membutuhkan diskusi yang lebih cermat. Sejauh manakah hak orang tua untuk mendidik dapat diwujudkan? Dalam kerangka tersebut, baik orang tua, perkumpulan masyarakat maupun negara sungguh-sungguh perlu “BELAJAR MENDIDIK”. Rangkaian pemikiran sekitar ‘belajar mendidik’ dihidangkan untuk mengajak semua pihak secara jernih mendalami: makna terdalam pendidikan, arti belajar dan mengajar, kaitan maupun perbedaan antara pendidikan dan sekolah sampai dengan pengorganisasiannya. 3 Marilah kita memberikan “yang terbaik bagi generasi berikut melalui pendidikan, pengajaran, dan membangun pembelajaran yang setia pada kodrat dan panggilan kita masing-masing”. http://facebook.com/indonesiapustaka Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ 4 http://facebook.com/indonesiapustaka Daftar Isi Prakata ............................................................................................................................................... 3 Daftar Isi ........................................................................................................................................... 5 Belajar mendidik ...................................................................................................................... 7 Prawacana ........................................................................................................................................ 9 Releksi ...................................................................................................................................... 19 Belajar ................................................................................................................................................. 21 Releksi ...................................................................................................................................... 41 mengajar: membantu Belajar ....................................................................................... 43 Releksi ...................................................................................................................................... 52 Orang Tua: Pendidik Utama ........................................................................................... 55 Releksi ...................................................................................................................................... 70 Sikap Didik ...................................................................................................................................... 71 Releksi ...................................................................................................................................... 103 Arah Pendidikan ........................................................................................................................ 105 Releksi ...................................................................................................................................... 143 Sekolah sebagai Lembaga Didik .................................................................................. 145 Releksi ...................................................................................................................................... 171 Belajar mendidik Berkesinambungan .................................................................. 172 Daftar Pustaka ............................................................................................................................. 173 5 http://facebook.com/indonesiapustaka 6 http://facebook.com/indonesiapustaka BELAJAR MENDIDIK 7 http://facebook.com/indonesiapustaka 8 Prawacana 1 “Ajarilah kami bahasa cinta-Mu” (PML Yogyakarta) I http://facebook.com/indonesiapustaka bu dan Bapak Budi2 bergembira karena anaknya, yaitu si kembar, Dudi dan Dini, akhirnya belajar akrab dengan gurunya di kelas I Sekolah Dasar, Ibu Gita3. Adapun Ibu Budi, walau kerap hanya sebentar, biasa mengambil waktu untuk berkontak dengan guru anak-anaknya. Sebab perkawinan Budi dilakukan karena cinta mendalam. Mereka mencintai anak-anaknya sejak ada dalam kandungan dan meneruskan cinta itu sejak lahir untuk belajar mengenal Belajar dari akar Bapak, Ibu, dan saudara serta melanjutkan dengan memercayakannya kepada guru-guru yang akan mendidik di sekolah.4 Bapak dan Ibu Budi serta Gita kadang saling bercerita tentang beberapa kebiasaan Dudi dan Dini. Mereka setiap hari berjalan 1 2 3 4 Dalam tulisan ini akan tercakup juga beberapa tulisan atau ceramah yang pernah diterbitkan di Harian KOMPAS atau Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Media Indonesia, Majalah HIDUP dan BASIS dengan beberapa besutan. Terima kasih untuk semua yang termaktub di dalamnya dan para rekan diskusi. Sebut begitu saja nama orang tua yang mendaftarkan anak pertamanya di sekolah dasar di kampung tetangganya di daerah Bekasi, tempat mereka ‘menyekolahkan’ anaknya. Begitulah bu guru muda itu disebut sepanjang di sekolahnya. Waktu upacara perkawinan, mereka saling berjanji untuk mencintai dan mendidik anak-anak yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka. 9 kaki dari rumah ke sekolah, setia menyambut kedatangan Gita dan memperlihatkan bekalnya. Di rumah, mereka bercerita kalau di sekolah telah berbagi makanan dengan teman-temannya, bersama membersihkan kelas, dan sebagainya. Bu Budi menjelaskan bahwa sedapat mungkin anak-anaknya memperhatikan teman yang tidak membawa bekal ke sekolah dan mereka tidak beli makanan ‘di luar’. Semula Dudi dan Dini waktu istirahat sering hanya berduaan saja, seperti di rumah. Lama-kelamaan mereka belajar bergaul dengan temantemannya. Beberapa teman-temannya ternyata tinggal tidak jauh dari rumah mereka sendiri. Ibu Gita gembira, karena dengan percakapan antara orang tua dan guru tersebut, ia menerima sebagian ‘estafet’ pendidikan dari orang tua murid barunya.5 Bila tidak, ia akan memerlukan banyak waktu dan pencermatan untuk mengamat-amati, memandang dan mendengarkan Dudi maupun Dini, supaya dapat mulai ‘ikut mendidik’-nya. Gita6 memang bersyukur karena dari pendidikan guru, ia mengaku diwarisi pendirian bahwa guru memperoleh murid yang sudah beberapa waktu dididik oleh orang tuanya sendiri. Dengan cara pandang demikian, Gita memang mengajar dengan penuh kesungguhan7 dan merasa ‘tidak sendirian’. Sebenarnya, ia tahu diri bahwa fungsinya8 adalah 5 http://facebook.com/indonesiapustaka 6 7 8 10 Dalam hal itu Gita sejalan dengan pemikiran Esquith, Rafe, here are no Shortcuts: Anchorbooks, New York, 2003, yang dalam Bab 1 bukunya mendalami relasi guru dengan keluarga. Bersama dia, juga semua dosen. Secara khusus, mereka memperhatikan ajaran Santa Angela Merici, yang mewariskan banyak pedoman mendidik bagi para pengikutnya, para Suster Ursulin, sehingga sekolah-sekolah mereka di masa silam sampai sekarang termasuk sekolah dengan pendidikan yang sangat memperhatikan pendampingan pribadi yang tulus. Di tempat lain sikap didik itu disebut personal care. Lih. UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen, khususnya pasal 7. Seiring dengan pengalaman Ibu Guru ini, ada Peraturan Menteri yang bertabrakan dengan tugas guru, walau dalam lapisan lain. Kementerian lain menerbitkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 20/2017. Surat itu menentukan penilaian dosen terutama pada publikasi ilmiah, khususnya dalam majalah internasional. Peraturan tersebut menyentuh segi ilmiah pribadi dosen: beberapa pihak menyebutnya bagus sebagai dorongan untuk meningkatkan keilmuan mereka. Namun dari segi komunitas akademis, dikritik oleh Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum karena menimbulkan masalah mengenai Tiga Tugas Dosen/Guru, yang antara lain, menegaskan subsidier, yakni memberi bantuan9 kepada Bapak dan Ibu Budi dalam mendidik anak untuk pembentukan kepribadiannya.10 Jadi, ‘keberhasilanpendidikan’ dihayatinya jauh melampaui ijazah atau rapor atau kepandaian merangkai bunga yang memang tidak gampang. Sedapat mungkin dalam mendampingi murid merasuk ke jiwa sehingga tumbuh dari anak sampai remaja dan dewasa. http://facebook.com/indonesiapustaka Langkah demi langkah, ia ‘belajar mendidik’. Ia Dengan mulai kritis bila kerap mendengar apabila sekolah mendidik, kita sendiri belajar, diukur dari tumpukan kertas yang harus dikirim terus-menerus ke Kementerian Pen didikan dan Kebudayaan dari persentase kelulusan siswanya. Ia sendiri bangga menjadi guru, namun tidak selalu merasa nyaman bila dikatakan seakan-akan pendidik utama adalah guru. Dalam pengertian itulah, ia risau kalau guru disebut sebagai paGU dan paRU-paru bangsa, yakni orang yang menjadi patokan hidup serta menyebabkan seluruh umat manusia dapat bernapas lega dalam kepercayaan di tengah himpitan masalah hidup, membangun hidup dalam cinta dan mencipta harapan untuk masa depan. Akhir-akhir ini perlunya memberi bimbingan kepada murid atau mahasiswa untuk menguasai pengetahuan. Untuk dapat melaksanakan tugas ini, sebenarnya diperlukan waktu dan hati untuk mengajar maupun mendampingi manusia muda supaya mampu menyadari ilmu, mengetahui isi ilmu, mengembangkan ilmu dan akhirnya melaksanakan. Upaya pendampingan ini memerlukan hati yang luas dan sering imbalannya adalah lelah dan hati yang capai. Pendidikan itulah yang berlangsung melampaui pengajaran. Bdk. Suara Pembaruan, 3 Maret 2017 halaman 16. Kadang dilupakan bahwa Kementerian Perguruan Tinggi dan Riset ini juga memakai kata ‘pendidikan’ sehingga seharusnya tetap mementingkan tugas ‘mendidik’. Tidak seyogianyalah kalau kata ‘pendidikan’ diubah menjadi birokrasi atau pengurusan administrasi laporan kegiatan atau disempitkan menjadi ‘kemajuan dosen-dosen’ atau pengajar-pengajar. Sebab, di tingkat atas juga, pendidikan keilmuan tetaplah merupakan pendidikan, dan tidak dapat diandaikan terjadi secara otomatis. Sukses seorang dosen menulis artikel atau buku ilmiah, tidaklah sejajar dengan sumbangsihnya mendampingi mahasiswa menjadi berilmu dan beretika. 9 Kata ini berkaitan dengan kata bahasa Latin subsidium, yang memang berarti bantuan. ‘Bantuan keilmuan’ dapat dipandang berharga sekali: baik untuk seorang mahasiswa maupun bagi negara yang harus menyiapkan ilmuwan. 10 Lih. Buetow, Harold A., he Catholic School (New York: Crossroad, 1988), hlm. 50-70. 11 guru-tokoh bangsa itu, kendati pujian dalam ‘lagu bagi guru’11 yang indah, telah terperangkap dalam situasi ragu dalam aneka masalah bangsa12, antara lain perbaikan birokrasinya. Masalah sekitar guru di Indonesia amat rumit13, namun dalam rangka koreksi seluruh birokrasi, sudah sejak beberapa waktu, guru dinilai dari sudut kerajinannya mengisi formulir-formulir yang sering bermanfaat sekali saja. Namun, sulit dibenarkan bila pengisian formulir dipandang sebagai fokus terbaik bagi pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan kembali pandangan mengenai ‘pendidik dan pendidikan’, baik pada tingkat kementerian maupun kemasyarakatan. http://facebook.com/indonesiapustaka Dibalik masalah ‘pentingnya guru’, tersembunyi arti pendidikan yang terdalam dan peran guru atau dosen di dalamnya. Tidak jarang, orang menyebutkan bahwa guru adalah tokoh pendidikan yang terpenting. Ada orang yang mempertanyakan, apakah rakyat dan negara sudah melakukan tugasnya untuk sungguh menghargai guru secara psikologis, politis, dan ekonomis? Bagaimana harus mengartikan ungkapan tersebut? Bagaimana dengan daerah-daerah terpencil karena di sana tidak ada guru tetap yang bekerja penuh waktu? Dapatkah dikatakan, seakan-akan di daerah terpojok itu tidak ada pendidikan? Jawaban atas pertanyaan tersebut lebih mendesak lagi karena orang perlu juga ingat akan catatan John I. Goodlad14, bahwa 11 Naskah lagu yang diciptakan oleh Sartono, seorang guru di Jawa Timur itu berbunyi: “Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru; namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku, s’bagai prasasti t’rima kasihku ‘tuk pengabdianmu. Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa... Terpujilah ...” “Perubahan teks pada lagu ini, sekarang malah merusak intensi maksud terdalam pengarang Sartono dan juga melanggar hak milik penulis yi Sartono”. 12 Dalam Rembug Nasional tentang pendidikan, yang resmi ditutup 28-2-2012, guru dan panggilan serta hakikat tugasnya tidaklah dibicarakan secara khusus, melainkan hanya ‘tersangkut’ dalam sekian banyak tema (PAUD dan PNF; Pendidikan Dasar; Wajar 12 h; PTK; Integrasi Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi; RSBI; Bahasa; Integrasi Kebudayaan dalam Pendidikan). Hal ini menunjukkan betapa guru tidak dihitung sebagai masalah penting, bahkan dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan. 13 Lih. KOMPAS, 5 Maret 2012, halaman 1. 14 Goodlad, John I., Educating Teachers: Getting it Right the First Time, dalam Roth, Robert A. (ed.), he Role of the University in the Preparation of Teachers (London: Falmer Press), pp. 1-2 12 “Sesungguhnya setiap bangsa, lepas dari ada-tidaknya guru yang kompeten atau tidak15, sudah senantiasa melakukan kegiatan, yang disebut ‘mendidik’.” http://facebook.com/indonesiapustaka Dari sisi kita di Nusantara, sudah sejak awal Mendidik: membagikan diproklamasikan 16, Republik Indonesia me lenilai-nilai dasar tak kan proses mendidik sebagai ‘proyek-dasar’ kemanusiaan ke merdekaannya 17. Sesungguhnya, pendidikan dan pencerdasan diakui oleh banyak orang yang terlibat di dalamnya, sebagai seluruh pewarisan nilai-nilai kemanusiaan terpenting suatu bangsa, suatu keluarga dan setiap orang yang mau mendampingi orang lain ke masa depan yang lebih baik. Apakah nilai-nilai kemanusiaan hanya dapat dilakukan dalam lembaga sekolah sebagaimana dilaksanakan di banyak tempat di Indonesia? Kalau pendidikan dapat dilaksanakan di luar lembaga formal persekolahan, adakah cara untuk mendalaminya supaya ditemukan gambaran pendidikan yang benar-benar baik? Tampaknya dalam melaksanakan langkah-langkah itu, diperlukan sikap batin yang rendah hati, serta penuh tanggung jawab bersama agar tindakan mendidik secara keseluruhan dipikirkan, disiapkan dengan baik dan dilaksanakan secara tepat asas, tepat guna sehingga berhasil guna.18 Kalau orang melaksanakan pendidikan dengan terpikirkan baik-baik, dengan sepenuh hati maupun dilengkapi komitmen seutuh diri dapatlah kita mendapatkan pendidikan profesional dan secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Dari sudut pertanggungjawaban ini dapat dikatakan bahwa perwujudannya membutuhkan etika yang profesional dalam ranah didik. 15 Lih. KOMPAS, 6 Maret 2012, halaman 1. 16 Bdk. , Tulisan saya Arah dan Ranah Pendidikan dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 31. 17 Pembukaan UUD 1945. 18 Bdk. UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi terutama pasal 1 ayat 1. 13 Kalau demikian, seyogianya dicari juga pemahaman dan pendalaman yang sistematis dan metodis sekitar “Etika Profesi Pendidik”. Dalam pencarian itu termaktub tiga hal penting, yaitu ‘etika’, ‘profesi’, dan ‘pendidik’. Artinya, pada umumnya perlu dicermati bahwa Pikir, lalu mengajar tindakan mendidik itu dilakukan oleh seseorang dengan gembira 19 (misalnya orang tua atau guru) , baik sebagai kegiatan penuh sukacita maupun sebagai sarana untuk menopang penghidupan dan sebagai profesi yang menuntut keahlian serta ketekunan. Untuk melaksanakan profesi tersebut, seorang pendidik bertindak tidak hanya sesuai dengan keinginannya sendiri atau hanya mengikuti arus zaman, melainkan selaras dengan pengetahuan dan kemauannya. Langkah-langkah itu dilaksanakan dalam suatu konteks profesi tertentu sehingga semua dapat dipertanggungjawabkan, juga kepada orang(-orang) dan instansi lain. Dalam hal program studi dan jurusan tertentu, penentunya sering sampai pada lembaga akademis, badan kenegaraan serta lembaga agama yang bersangkutan20. http://facebook.com/indonesiapustaka Perlunya pembicaraan tersebut masih disebabkan lagi karena beberapa puluh tahun masyarakat Indonesia belajar menerima bahwa anaknya harus masuk sekolah21 kalau mau disebut terdidik. Seakan19 Bdk. Deklarasi Konsili Vatikan II mengenai Pendidikan (Gravissimum Educationis), artikel 1. 20 Bdk. Adi, Dr. C. Kuntoro, SJ., Mewujudkan Identitas dan Karakteristik Pendidikan Katolik melalui Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017) Op.cit., hlm. 15-30. 21 Pemerintah Indonesia pernah membentuk ‘Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan’, yang menunjukkan kesadaran untuk membedakan antara ‘pendidikan’ dan ‘pengajaran’. Kemudian namanya diganti menjadi ‘Departemen Pendidikan dan Kebudayaan’. Lalu lembaga itu disebut ‘Kementerian Pendidikan’ tetapi kemudian digeser lagi karena diminta untuk tidak mengurusi ‘Penelitian dan Universitas’,- seakan-akan dalam usia sampai dengan 19-an, murid-murid tidak diajari meneliti dan seakan-akan di universitas tidak ada pendidikan (mungkinkah karena itu banyak perploncoan berbunga penyiksaan?) dan seakanakan dilupakanlah peribahasa ‘Pendidikan seumur hidup’ (‘on going formation’). Ataukah ya karena itu penelitian PISA 2016 menghasilkan penemuan bahwa anak-anak sekolah Indonesia amat lemah sekali dalam hal membaca, menulis, dan berhitung? Kebiasaan ‘bully’ dan 14 akan yang dilakukan bapak dan ibu sejak detik pertama seorang anak lahir itu bukan tindakan mendidik.22 Orang dibujuk berpendapat bahwa usaha si ibu dan bapak agar si orok dapat lambat laun menyebut ‘mama atau ibu’ dan ‘papa atau bapak’, itu bukan pendidikan dasar, karena UU Sistem Pendidikan Nasional 2003 mengatakan ‘sekolah dasar itu sejak anak umur 6 sampai 12 tahun’. Rakyat dibelokkan pendiriannya, seakan-akan mengajari anaknya bilang ‘terima kasih’ setiap diberi ‘makan’ atau ‘minum’ dan antre dalam mengambil makanan atau minuman, itu bukan awal mendidik. Bangsa ini diselewengkan paham dasarnya, seakan-akan ‘menjadi bapak dan ibu’ tidaklah merangkum juga ‘panggilan untuk mendidik generasi baru pada langkah perdana’. Orang mau diceraikan dari keyakinan dasar yang memadukan rangkaian panggilan manusia untuk ‘membangun keluarga – mendidik generasi baru – pewarisan budaya – dengan pembangunan kepribadian’ sejak dalam keluarga. Generasi ini hampir dijerumuskan pada pengertian ‘pendidik’ atau ‘pendidikan’, yang menyeret perhatian orang memasuki ranah yang terlampau teoretis atau birokratis-institusional kenegaraan. Pendidikan disempitkan artinya sebagai pekerjaan sekelompok orang dalam masyarakat persekolahan; bukannya tindakan dasar manusia mengantar manusia muda menjadi dewasa, langkah demi langkah, lapis demi lapis, napas demi napas. http://facebook.com/indonesiapustaka Sekarang ini, ‘pendidikan’ maupun ‘pendidik’ sebagai bentuk kata (kata jadian) diberi warna teori dan administratif. Padahal ‘pendidikan’ terlaksana secara konkret, yakni interaksi antara murid kejahatan susila banyak terjadi akhir-akhir ini di sekolah (bahkan juga di Perguruan Tinggi) adalah a.l. karena kata ‘kebudayaan’ disingkirkan dari kementerian ini dan ditempelkan pada Kementerian Pariwisata? Kata ‘sekolah’ memang diambil dari bahasa dan pola kerja Nederland tetapi birokrat Kementerian persekolahan Indonesia enggan belajar dari Nederland: cara mengorganisir disiplinnya, pemilihan bahan yang hemat tetapi mendasar, penyiapan gurunya yang cermat serta pengorientasian manusiawinya. 22 Lukisan yang lebih lengkap mengenai hubungan antara sekolah dengan pendidikan dipaparkan oleh Suiyanto, A. Mintara, SJ dan Yulia Sri Prihartini, S.Pd., M. Hum., dalam buku mereka Sang Guru – Sang Peziarah (Jakarta: Obor, 2014 cetakan 4), hlm. xxii-248. 15 dengan orang tua dan/atau para guru atau dosen atau pendidik.23 Kita tidak mau melupakan bahwa konteks dekat kalau orang berbicara tentang ‘pendidikan’ pun kerap kali yang dimaksudkan terutama ‘dunia persekolahan’24, lalu prosesnya senantiasa dikaitkan dengan ‘kurikulum’25 dan organisasi persekolahan26. http://facebook.com/indonesiapustaka Oleh sebab itu, sungguh perlu dicermati kembali permasalahan sekitar pendidikan tanpa serta-merta merekatkan ‘lembaga sekolah’ dengan ‘pendidikan’ 27; sekolah bertugas khususnya membantu orang tua mendidik anaknya. Semua usaha dan organisasi di sekolah dan sekitar sekolah seyogianya men-‘support’ pendidik utama dan berorientasi meningkatkan ‘daya didik’-nya. Berbagai aturan kenegaraan berfungsi untuk melaksanakan tugas negara ‘mendidik warga negara’, menembus kepentingan ekonomis, politis dan ketenagakerjaan. Bahkan lembaga swasta, khususnya agama-agama, bertindak taat asas apabila 16 23 Bdk. Sastrapratedja, M., S.J., Pendidikan Sebagai Humanisasi (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2013), khususnya Bagian I, Bab 2. 24 Salah satu akibatnya adalah seluruh peristiwa pendidikan diukur menurut apa yang terjadi di sekolah. Pendidikan disamakan dengan institusi persekolahan dan itu pun disempitkan pada sudut birokrasinya; bahkan kalau mau menilai proses didik dan perilaku pendidik, yang ternyata diidentikkan dengan guru. Guru memang penting, tetapi bila pendidikan diidentikkan dengan sekolah, maka beban guru dipojokkan pada sudut birokrasi dan administrasi; tanpa memperhitungkan peran orang tua dan sekian banyak ‘pendidik lain’, seperti radio, televisi, petugas pemerintah daerah maupun pusat, dan wartawan. Menariknya adalah sejak beberapa tahun, evaluasi maju mundurnya pendidikan, dalam kompleksnya pendidikan itu, mau dipaksakan untuk diukur melalui Ujian Nasional; tanpa memedulikan perbedaan kondisi sosial dan kebudayaan Indonesia yang amat beraneka warna. Ketika Menteri Pendidikan mau menghentikan Ujian Nasional atas dasar konsultasi yang dia lakukan, ada yang mencegahnya: dan itu adalah orang-orang yang pengalamannya mendampingi pendidikan dasar dan menengah amat tipis. Betapa pentingnya: usaha mendalami kembali makna pendidikan dan kaitannya dengan persekolahan serta pendidikan etis maupun pertimbangan etis para penanggungjawabnya. 25 Lih. Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati versus Kurikulum Nasional (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 51-73. Bdk. Mbula, Dr. V. Darmin, OFM, Mendesain Kurikulum Integral Sekolah Katolik dalam Dinamika Perkembangan Kurikulum Nasional dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 91114. 26 Bdk. Sarkim, T., M.Ed., Ph.D., Sekolah Katolik: Penegasan Misi, Penguatan Tata Kelola dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 61-90. 27 Bdk. Suparno, Prof. Dr. Paul, SJ., Idealisme Sekolah Katolik dalam Tantangan Zaman dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 47-60. memperdalam dan memperluas cakrawala manusia muda. Bukannya menyempitkannya pada kebiasaan-kebiasaan lama, ritual atau ajaran keagamaan, tanpa membantu murid memikirkan, merasakan, dan mewujudkan bakti Ilahi yang sejati. Dalam segi inilah, upaya mendidik bersentuhan dengan panggilan lembaga-lembaga keagamaan untuk mendampingi pendidikan iman yang utuh, sesuatu yang erat berkaitan juga dengan upaya-upaya manusiawi. http://facebook.com/indonesiapustaka Oleh sebab itu, pelbagai tinjauan atas sekolah Mendidik perlu dilakukan dalam kerangka utuh tersebut dan sebagai Bakti sekaligus berorientasi pada pendidikan yang terdalam.28 Tugas kita semualah untuk sungguh memikirkan dan mengolah semua cita-cita itu bersama para murid (‘educêre’=menuntun ke luar, Latin) dan menggali potensi murid (‘educare’=mengeluarkan, Latin) atau ‘Erziehung’=menarik ke luar, Jerman); dengan cara ‘memberi santapan lahir dan batin dan keilmuan’ kepada murid (‘opvoeden’=memberi makan, Belanda) dalam rangka ‘membimbing’ (‘opleiden’=menuntun, Belanda) para ‘murid’ (=’berusaha berkembang’, Sanskerta atau ‘Ausbildung’=membangun lebih lanjut, Jerman) menuju masa depan, melampaui sekolah29. Sekolah, yang biasa disebut sebagai ‘tempat pendidikan utama’30 dan ‘alamat perdana yang dituju Mendidik > Menyekolahkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan’ perlu didorong untuk terus-menerus membangun kontak yang mendalam dengan orang tua murid. Tepatlah bahwa ratusan guru Perkumpulan Strada di Jakarta mempunyai kewajiban untuk membangun kontak secara tetap dengan orang tua dari murid-murid di sekolah mereka, dari PAUD, Taman 28 Morin, Edgar, Seven Complex Lessons in Education for the Future: UNESCO, Paris, 1999, khususnya Bab 1. 29 Lih.a.l. NN., hink Beyond the School: Sampoerna School System, Jakarta, tak jelas tahunnya tetapi kutipan terakhir 2012. 30 Bdk. UU No. 20/1923, terutama Pasal 1. 17 Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Komunikasi didik yang sehat dan akrab itulah yang menyebabkan para murid memperoleh pendampingan didik yang memadai, di tengah masyarakat, yang kerap diburu-buru oleh kehausan akan kebutuhan ekonomis dan diharubiru oleh kepentingan-kepentingan politik dan sektarian; melampaui kesejahteraan rakyat terdalam. Anggaran Dasar Perkumpulan Strada sangat memperhatikan hal itu. Sementara itu, disadari sekali, bahwa dibalik tekad tersebut, tersimpan keyakinan dasar berlandaskan iman: pendidikan adalah panggilan setiap orang tua, yang mengambil bagian dalam karya Tuhan untuk mendidik manusia tanpa batas waktu, usia dan keterampilan atau kepandaian; sekolah mendukungnya31. http://facebook.com/indonesiapustaka Di dalam upaya tersebut dapat dilaksanakan Pancasila, tanpa kehilangan jiwa keimanan masing-masing dan tanpa penghancuran budaya setiap bagian rakyat Indonesia32; namun juga tanpa menonjolkan sesuatu agama di atas agama dan keyakinan lain. Pendidikan yang bertanggung jawab perlu menolong, agar hidup bersama antara warga bangsa kita memang terungkap dengan upacara bendera, tetapi lebih dalam lagi: saling memahami keyakinan terdalam setiap golongan agama sedemikian sehingga keyakinan itu dapat dikomunikasikan dengan luwes, dengan kata dan sikap yang komunikatif, sejak dini dalam pendidikan. Ilmu Pedagogi33 menegaskan bahwa setiap pendidikan mengandung segi transenden. 31 Lih. Visi, Misi, Tujuan Perkumpulan Strada: Perkumpulan Strada, Jakarta, Buku 2, 2012, hlm. 24-25. 32 Bdk. Sastrapratedja Op.cit., hlm. 16-20. 33 Sebagai awal, baiklah kita memahami ‘Pendidikan’ sebagai kata Indonesia untuk ilmu, yang secara internasional disebut pedagogi atau pedagogy. Kata pedagogi sendiri berasal dari kata Yunani paideutike, yang mau mengatakan ‘seni mengajar orang muda’. Akarnya dapat ditemukan pada kata Yunani paido, yang artinya anak-anak. Sudah agak lama di Indonesia, pendidikan dipandang mencakup segala praktik dan proses, yang dipakai oleh orang tua-gurudosen-sesepuh untuk mendampingi murid atau anak muda mengetahui sesuatu dan yang lebih banyak lagi serta lebih dalam lagi, supaya menjadi manusia yang lebih baik di tengah keluarga, jemaat dan masyarakat. Lihat, misalnya buku Sejarah Peziarahan Perkumpulan Strada 1924-1994 (Penyunting V. A. Adiwahyanto, dkk.) (Jakarta: Grasindo, 1995), khususnya ‘Masa Awal’ hal. 1 dst. 18 Rangkaian Tulisan Meneruskan pelbagai pemikiran awal tersebut, rangkaian tulisan ini ingin memperdalam penyusuran pengalaman pendidikan, dan memaknainya. Cara pandangnya tidak mulai dengan definisi, melainkan dengan perjalanan hidup manusia dalam ‘belajar’ dan ‘mengajar’. Sesudahnya akan ada pembicaraan mengenai ‘pendidikan’ dan ‘persekolahan’34 dari sudut ‘tahap-tahap pendidikan, sebagaimana masyarakat dan negara membahas’. Beberapa hal akan ditelaah lebih dari sekali. Cara tersebut dilakukan atas dasar alasan ingin ditekankan bahwa aneka segi didik sungguh penting; kecuali itu, sejumlah hal kadang perlu ditelaah dari segi berbeda-beda. Selain itu, diharapkan pendidikan terus-menerus disadari sebagai suatu sumbangsih yang komprehensif terhadap kemanusiaan. Sering kali tidak mudah menentukan, hal manakah yang perlu dibahas lebih dahulu. Kepekatan masalah dan keluasannya menciptakan peluang membicarakannya dalam aneka konteks. http://facebook.com/indonesiapustaka Releksi 1. Adakah pengalaman yang manis atau pahit dalam mendidik seseorang? 2. Pernahkah ada konlik antara pendidikan orang tua dan guru Anda? 3. Adakah pengalaman tentang pengaruh (baik atau buruk) dari pemerintah terhadap pendidikan pada orang tua Anda atau guru sekolah Anda? 34 Sudah di sini pantaslah dicatat bahwa ‘pendidikan’ ingin dipahami tidak serta merta sama dengan ‘sekolah’. 19 http://facebook.com/indonesiapustaka 20 4. Adakah pengalaman (manis dan pahit) karena pengaruh lembaga agama Anda pada sekolah Anda? 5. Apakah Anda mengalami singgungan antara pendidikan menurut pemerintah dan lembaga keimanan Anda? Belajar Selamat pagi Bunda, Selamat pagi Bapa. (Madah Bakti) W http://facebook.com/indonesiapustaka ayan sudah lama menjadi guru berenang. Beberapa murid yang belajar padanya sudah menjadi juara renang di sekolahnya. Tetapi, beberapa kali ia gagal mengajari berenang, khususnya bila si murid segan masuk ke air dan malas menggerak-gerakkan kaki serta tangannya. Banyak dari mereka itu hanya mengikuti perintah orang tua atau jadwal sekolah untuk pergi belajar berenang. Mereka sendiri tidak mau belajar bersungguh-sungguh. Padahal guru berenang atau guru apa pun mengandaikan bahwa muridnya sendiri belajar. Memang, pada intinya langkah ‘belajar’ adalah langkah dasar yang diandaikan dalam segala pengajaran dan pendidikan.35 Pada gilirannya, sesungguhnya semua guru dan pendidik mengayunkan langkah pertamanya juga dengan belajar, termasuk belajar mengajar dan belajar mendidik. Sesungguhnya mengajar adalah tindakan sekunder. Yang primer adalah tindakan belajar (‘actus36 belajar’)37. Sebab ‘actus mengajar’ adalah 35 Bdk. Sastrapratedja, Op.cit., khususnya Bagian I, Bab 3. 36 Actus dalam hal ini dijajarkan dengan potentia, sebagaimana biasa dalam ilsafat. Lihat catatan berikut. 37 Beberapa orang dengan cerdas telah mendalami kesatuan erat antara pendidikan dan tindakbelajar: Senge, Peter, and Nelda Cambron, McCabe, Timothy Lucas, Bryan Smith, Janis Dutton, 21 tindakan untuk mendukung ‘actus belajar’ seorang manusia.38 Tindakan mengajar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada tindakan belajar (sebagai ‘actus primer’). Pandangan mengenai adanya kait mengait antara ‘belajar’ dan ‘mengajar’, sesungguhnya menghargai langkah mendasar seorang manusia yang mau ‘belajar’ dan ingin memberi tempat selayaknya untuk ‘mengajar’. Dengan demikian, sepasang kata tersebut merupakan rangkaian tindakan-tindakan yang sangat mendasar dalam dunia pendidikan. http://facebook.com/indonesiapustaka Sejak dini sekali, seorang manusia sudah belajar.39 Belajar sejak Ada penelitian yang menunjukkan, beberapa ibu sejak akar mengandung anaknya, biasa memutar lagu-lagu klasik (gamelan maupun J.A. Mozart, J. Haydn lajar, dan sebagainya). Kemudian anak-anak yang dilahirkannya menjadi pencinta musik klasik dan beberapa bahkan menjadi pemain musik sendiri. Mereka belajar sedikit demi sedikit melalui indra pendengaran (indra yang terakhir berfungsi ketika manusia berangkat pulang kepada Allah). Pernah di Innsbruck, Austria, ada sepasang suamiistri, yang satu berasal dari Perancis dan satunya dari Rusia. Sejak awal perkawinan, mereka secara sadar tetap menggunakan kedua bahasa ibu, plus bahasa Jerman, tempat mereka tinggal. Anak mereka, sejak bayi terbiasa mendengarkan dan mempelajari ketiga bahasa yang dipakai orang tuanya. Sebagai siswa dan kemudian mahasiswa, orang muda ini belajar tiga bahasa. Selain itu, dia juga menguasai logat harian, yang membedakan ketiga tradisi, yang dipelihara oleh kedua orang tuanya. Art Kleiner, Schools that learn: I-II-III, Nicholas Brealey, London-Boston, 2012. Titik pangkal segala kegiatan pendidikan persekolahan adalah kehausan anak untuk mempelajari hal-hal baru. 38 Bdk. Van Til, Cornelius, he Dilemma of Education: he National Union of Christian Schools, USA, 1956, terutama Chapter II. 39 Derek Cabrera melukiskan ‘meja makan keluarganya adalah almamaternya’. Di sanalah dia untuk pertama kalinya diajari untuk belajar. Lih. Cabrera, Derek dan Laura Colosi, hinking at every Desk (New York-London: W.W. Norton & Company, 2012), hlm. xi. 22 Kemudian, dalam perguruan tinggi, orang ini mempelajari antropologi bangsa-bangsa dan menjadi ahli yang berpengaruh di zamannya. Belajar adalah sesuatu yang dilakukan manusia tanpa henti, sejak kecil menyusuri seluruh perjalanan hidupnya.40 Belajar adalah mengenali sesuatu dalam diri maupun di luar diri serta hubungan antara semua itu sehingga memperkaya diri sendiri.41 Melalui ‘belajar’, seseorang diperkaya dalam beberapa segi hidup dan hidupnya berkembang karenanya: pada lapisan biologis, teknis, perasaan, pikiran dan penghayatan kejiwaannya. http://facebook.com/indonesiapustaka Pembelajaran biologis terjadi ketika bayi lahir dan sesekali merasakan kebutuhan untuk tidur atau menarik napas.42 Proses belajar dalam tahap ini berlangsung tanpa senantiasa disadari (sekali) dan baru kelak lebih tersadari. Makan dan minum dengan segala sarana dan dinamika lainnya dipelajari seseorang dari tahap tanpa sadar, kurang sadar sampai dengan disadari. Kelak, bila orang berlatih yoga, belajarlah ia menyadari pernafasan dan meningkatkannya. Pembelajaran biologis tersebut berjalan bersama dengan langkah-langkahnya belajar tindakan-tindakan teknis. Segi teknis juga mulai dengan sangat tidak disadari sampai menjadi lebih disadari. Anak kecil menggaruk ketika tangannya gatal karena digigit nyamuk. Kemudian, ia belajar merangkak dan berdiri untuk kemudian berjalan. Selangkah demi selangkah, orang belajar keseimbangan diri, berlari dan mengatur larinya ketika mau mengikuti lomba maraton. Sebagai penari, seseorang secara sadar menata gerak 40 Johnson, Brad dan Julie Sessions, What Schools Don’t Teach (New York-London: Routledge, 2015), hlm. 1-3. 41 Bdk. Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2007). Penulis menyebut ‘belajar’ sebagai ‘kesadaran’ (hlm. 68). Namun, kita semua tahu dan mengalami sendiri, betapa banyak ‘momentum belajar’ yang kita temukan, baik waktu kecil maupun sesudah dewasa, yang tidak kita sadari. Baru kemudian, ketika kita releksikan, kita temukan ‘momentum belajar’ itu. Dari situlah saya memilih deinisi yang saya tuliskan di atas. 42 “he drive to learn is as strong as the sexual drive” kata antropolog Edward T. Hall, dalam “he Drive to learn: An Interview with Edward T.Hall.” Santa Fe Lifestyle, Spring, 1988, 12-14 sebagaimana dimuat dalam Senge, Peter, etc., Schools that Learn, I-II-III (London-Boston: Nicholas Brealey Publishing, 2012), hlm. 4-5. 23 tangan, kaki dan seluruh badannya. Kedewasaan orang tampak ketika pelbagai pembelajaran-pembelajaran itu lebih disistematisasikan. Ia bahkan masih belajar ketika berumur 85 tahun dan harus menggunakan tongkat untuk mengayunkan langkah secara berat: belajar untuk melangkah tertatih-tatih. ‘Actus’ belajar tersebut dilanjutkan sampai ketika mengenakan sarana untuk menghirup zat asam sebagai bantuan bernafas karena lemahnya daya releks menjelang akhir hayat. http://facebook.com/indonesiapustaka Proses pembelajaran isik-teknis seorang anak kecil hampir selalu beriringan dengan perkembangan kultural.43 Dalam perkembangannya, seseorang dapat belajar melakukan sesuatu, tetapi sesekali juga mematangkan tindakan tertentu, atau bahkan melakukannya dengan ‘hati-hati’. Anak kecil belajar makan dengan tidak mengeluarkan suara dari mulutnya demi sopan santun. Dalam pergaulan, seseorang belajar mengambil makanan secara bergiliran. Anak sekolah, belajar untuk berbagi bekal makanan dan tidak menghabiskan segalanya sendirian. Lalu, anak belajar memakan miliknya sendiri dan tidak merebut makanan teman. Peningkatan atau pengurangan intensitas bertindak tersebut dipelajari seseorang tahap demi tahap, selaras dengan pendampingan orang-orang di sekitarnya dan sering kali erat berkaitan dengan kultur setempat, seperti menutup mulut apabila batuk.44 Dari pembelajaran bertahap itulah, seseorang dalam kultur tertentu diajari untuk berbicara dan Kultur Belajar bertindak secara berhati-hati, sedangkan dalam kultur lain terdorong untuk lebih bebas melangkah. Begitulah kadang orang belajar makan dengan sendok, umumnya di tangan kanan dan menyuapkan makan baru sesudah makanan di mulut habis. Tindakan-tindakan tersebut sungguh sering bersifat fisik belaka, tetapi dengan perkembangan waktu menggunakan 43 Bdk. Sastrapratedja, Op.cit., khususnya Bagian I, Bab 4 dan Bagian V. 44 Dalam hal ini pendidikan bergesekan dengan pengetahuan maupun perilaku dan penafsirannya. Bdk. Juga dengan Sastrapratedja, Op.cit., hlm. 46, dst. 24 kepekaan kultural yang lebih menyentuh perasaan, seperti tertawa waktu makan atau bersendawa secara sopan. Dalam perjalanan waktu terbentuklah yang disebut ‘tata krama di meja makan’. Lalu segala bangsa mengembangkan aneka ragam sopan santun dan olah gerak hidup bersama. http://facebook.com/indonesiapustaka Di antara sekian banyak bentuk pembelajaran isik itu termasuk ‘belajar berbahasa’, yang terutama kena pada artikulasi (dan sesekali juga isyarat serta pemakaian indra yang lebih luas) serta tata bahasa. Pembelajaran kultural semakin tampak ketika orang muda harus belajar membedakan ‘I’ dan ‘You’ serta ‘hou’ (Inggris), ‘jij’ dan ‘U’ (Belanda), ‘Du’ dan Sie’ (Jerman) atau ‘Saya’ dan ‘Anda’ sampai kepada ‘aku-kowé’ (Jawa Ngoko) dengan ‘kula-panjenengan’ (Jawa Krama). Selaras dengan kepekaan kultural, pembelajaran dilakukan oleh setiap orang di tengah lingkungan hidupnya serta diperkaya dalam pergaulan lintas suku dan lintas bangsa. Sebab ‘bahasa sungguh menunjukkan bangsa’. Pembelajaran diawali dengan bimbingan ayah dan ibu. Orang tua merupakan tokoh perdana dalam proses pembelajaran manusia yang dilanjutkan oleh para guru dan dosen, dalam pembelajaran formal pada tahap-tahap berikutnya45. Dengan cara pandang ini, maka pendidikan sungguh mulai dari pangkuan orang tua, bukan dari para guru walaupun di sekolah mereka mengambil peran penting itu. Secara sistematis, guru meneruskan proses didik dengan kurikulum tertentu. Namun, kurikulum apa pun yang disediakan bagi suatu generasi, semua hanya dilaksanakan oleh tindak belajar yang dilakukan oleh si individu. Segala lapisan dan jenis pendidikan mengandung unsur pembelajaran, yang tokoh utamanya adalah si individu sendiri; orang tua dan guru adalah ‘fasilitator’, atau ‘yang mempermudah proses belajar’. Pembelajaran aksi-teknis pada masa kecil sudah cukup dini disertai dengan pembelajaran perasaan dan pemikiran atau nalar. Pembelajaran 45 Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan, Gravissimum Educationis, art. 2. 25 teknis sering dilakukan bersamaan dengan pembimbingan seorang ‘pekerja rumah tangga’ (yang sekaligus sering juga memberi pendidikan afektif dan rasional). Saudara sekandung, sebaya atau yang lebih tua membimbing pembelajaran lebih lanjut. Pembelajaran perdana ini erat berkaitan dengan mulainya proses seorang pribadi berkembang secara sadar, walau dengan sederhana, berbeda dengan naluri belajar anak-anak ‘animalia’. Sebab segi afeksi mengambil tempat yang jelas. Kemudian pengambilan sikap atas dasar nalar, secara berangsur-angsur mengembang juga. Di sanalah segi kehendak perlahan-lahan mengambil bagian. http://facebook.com/indonesiapustaka Pembelajaran segi teknis dan budaya sudah mengandung unsur-unsur yang menyangkut kepribadian manusia selanjutnya, dengan kepekaan manusia, yang melampaui aspek teknis. Sudah pada usia muda sekali, seseorang belajar pada segi afektif atau perasaan. Setiap anak kecil mempelajari perasaan yang berlain-lainan, ketika tersenyum dan melambaikan tangan (dengan atau tanpa ‘cium-jauh’). Dibandingkan dengan pembelajaran teknis dan biologis, pembelajaran perasaan lebih memerlukan kepekaan dan menyangkut lebih banyak daripada sekadar langkah isik belaka. Namun pada tahap awal, pembelajaran pada segi afektif dialami menyatu dengan segi teknis dan biologis. Oleh sebab itu, pembelajaran afektif lebih terjadi antara orang-orang sekeluarga. Pribadi anak-anak juga belajar mengambil keputusan guna membentuk dan membulatkan kehendak, ‘selaras dengan penciptaan kehendak’. Dalam proses inilah kepribadian manusia menjadi realita. Pembelajaran afektif berkembang lebih lanjut pada masa remaja, ketika seseorang membuka budi dan hatinya secara lebih luas dan mendalam. Pelbagai segi hidup berkembang melalui belajar: melalui pengetahuan ilmu alam (Biologi), seseorang belajar perihal dunia materiel seperti arti air bagi hidupnya, melalui pengetahuan ilmu bumi (Geograi), seseorang belajar mengenal bangsa-bangsa lain agar memahami pulau-pulau lain. 26 http://facebook.com/indonesiapustaka Bersamaan dengan pengenalan itu, mulailah hatinya belajar memasuki makna benda alam bagi hidupnya, sesama untuk pergaulan dan waktu untuk pertumbuhannya. Dalam perjalanan belajar, orang menemukan arti-arti baru benda dan manusia di sekitarnya: dari sekadar benda sampai menjadi sesuatu atau seseorang yang bernilai bagi keamanan dan kenyamanan hidupnya. Perasaannya mekar dalam pelbagai relasi, dari yang paling umum sampai yang intim, seperti sekadar berpegangan tangan sampai dengan memeluk dan mencium. Proses belajar dalam perasaan ini merangsang pembelajaran komitmen hidup, yang sebelumnya tidak begitu disadari, sehingga mengerti bahwa orang yang kerap dijumpainya waktu bangun, itu adalah ibu atau ayahnya, yang mencintainya lebih dari tetangga. Demikianlah seseorang juga mengembangkan komitmen pada sesama dan hidup bersama sehingga lebih taat kepada ayah daripada kepada kawan bermainnya.46 Selanjutnya, biasanya orang tua suka kalau nalar Nalar untuk anaknya berkembang. Anak kecil didorong untuk Belajar belajar mencium tangan orang tua, dengan dijelaskan artinya ’hormat dan cinta’. Berangsur-angsur, anak belajar menyatukan cinta dan sikap badan, demi mengungkapkan perasaan: mencium dengan dingin ataukah dengan tersenyum, menyalami dengan cemberut ataukah berterima kasih dengan menundukkan kepala sedikit. Apa yang secara teknis dilakukan, harus dirasakan, secara sosial dibiasakan, semua mempunyai alasan yang masuk akal. Akal budi itu memberi nilai kepada tindakan yang amat memperkaya sebagai nilai manusiawi. Orang harus belajar sedikit demi sedikit untuk mengenali akal budi, kekuatannya, cara kerjanya, yang berbeda dari hal-hal teknis atau psikis atau perasaan dan budaya. Dengan berkembangnya orang, bertumbuh pula pengertiannya mengenai alasan bahwa sebelum makan perlu mencuci tangan lebih 46 Bdk. Sastrapratedja, Op.cit., Bagian V, Bab 22. 27 dahulu dan sesudah bermain di halaman perlu mencuci kaki. Begitulah perkembangan pembelajaran orang dengan pendalaman akal budi yang baik. Kita berharap bahwa seorang remaja sudah belajar untuk semakin bijaksana memakai nalarnya dalam berbincang dan bergaul. Kalau begitu, sering dibilang bahwa ia sudah bukan anak kecil lagi. Berkembangnya nalar diakui sebagai salah satu tujuan penting dalam pembelajaran. Sebab dengannya hidup seorang manusia dapat diper-tanggungjawab-kan secara lebih jernih. Namun tetaplah perlu diingat bahwa nalar bukanlah satu-satunya kemampuan manusia yang menandai nilai seorang manusia. Para cerdik pandai dari abad ke abad bahkan menemukan bahwa manusia akan terus-menerus mempelajari hidupnya, sampai ke inti diri yang terdalam.47 Transenden menjadi ranah belajar yang terluas juga. Sedikit demi sedikit, akal budi seseorang mengerti bahwa ‘di atas langit masih ada langit’. http://facebook.com/indonesiapustaka Dengan demikian, kita sudah melihat bahwa pendidikan mempunyai beberapa sasaran, agar seseorang bersemi secara isik-biologis, tumbuh secara afektif, terintegrasi secara sosial, mekar secara nalar, beraneka warna dari sudut aktivitasnya yang bertanggung jawab dan mendalam secara spiritual. Perkembangan nalar sering dikupas panjang lebar. Dengan demikian, tidaklah perlu dipikirkan, seakan-akan nalar mempunyai tempat yang secara mutlak di atas segala potensi lain. Sebab segala potensi manusia memiliki posisi relasional dalam proses didik. 47 Dalam hal ini pantaslah dikagumi K.G.P.A.A. Mangkunagara IV, dari abad 19 yang mendorong murid-muridnya untuk meneruskan belajarnya sampai masuk ke inti diri yang terdalam: lihatlah ajarannya dalam Wedhatama, Bagian Sinom. 28 Peran Akal Budi Teilhard de Chardin, peneliti Homo Pekinensis, seperti semua ahli, menggunakan akal budi untuk mengamati sesuatu, menganalisis yang ditemukannya, mensintesiskan pelbagai temuan serta menyimpulkan aneka penemuan itu. Hasilnya, ia mampu memperhitungkan umur suatu fosil dengan menentukan jejak-jejak berbagai unsur serta besarnya otak. Dengan asumsi bahwa manusia membedakan dirinya dari binatang karena mempunyai pikiran. Susunan bangunan laba-laba tidak kalah dengan arsitektur manusia terhebat. Namun, manusia memang memiliki kelebihan karena dapat mengubah rencana dan memikirkan pelaksanaannya dengan terpilahpilah. http://facebook.com/indonesiapustaka Kalau binatang melakukan tindakannya kerap kali karena dorongan naluri, rasa sakit, atau rasa tertarik karena indranya, maka manusia dapat memakai nalarnya untuk memutuskan, apakah akan mengikuti desakan naluri atau tidak. Penggunaan nalar untuk memilah dan memilih sesuatu merupakan kekayaan manusiawi di tengah alam semesta.48 Semakin seseorang dewasa, maka si nalar semakin memampukannya mengatasi segala rangsangan jiwa dan raga untuk mengambil keputusan sendiri. Kelak kemampuan untuk mengambil keputusan dan berkehendak bahkan menjadi tolok ukur dalam menilai kedewasaan moral seseorang. Dalam kerangka ini, nalar juga yang dapat memberi mutu kepada hidup bersama dalam suatu bangsa dan negara. Oleh sebab itu, kebebasan warga negara untuk mengambil pelbagai macam keputusan dalam hidup bernegara (memilih, wakil, menentukan agama yang dianut dan seterusnya) merupakan salah satu tolok ukur dewasanya demokrasi suatu negara. 48 Dalam Latihan Rohani, Iñigo dari Loyola dari abad 16 menyebut langkah memilah dan memilih itu sebagai discretio spirituum (membeda-bedakan roh yang bergerak-gerak mendorong langkah kita). 29 Konrad Lorenz menemukan bahwa binatang dapat dilatih melakukan tindakan tertentu49, yang sering membayangkan kemiripan dengan ‘kehendak’. Sirkus-sirkus besar dan penampilan-penampilan dalam Brittain’s Got Talent sering menampilkan anjing, burung, kucing yang terlatih secara mengesankan. Biasanya binatang bertaraf tinggi membutuhkan waktu relatif lebih pendek dibandingkan dengan anak manusia untuk mandiri dalam mencari makan. Dalam waktu singkat, anak kambing, sapi dan simpanse dapat mencari makan sendiri. Untuk itu, hanya diperlukan makan dan kemampuan meniru perbuatan induk dan teman-teman sebayanya. http://facebook.com/indonesiapustaka Sementara itu, anak manusia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk belajar berjalan tegak dan memakai anggota badannya secara penuh. Waktu lebih lama lagi diperlukan manusia untuk menjadi dewasa secara penuh sehingga dapat memakai nalarnya dalam menentukan langkah memilih jalan tertentu, mencari nafkah (sebagai penjahat, penguasa, pengusaha, atau guru). Pengembangan nalar memerlukan waktu dan latihan tidak sedikit. Orang harus banyak mengasah otaknya, mengadu argumentasi, memperhitungkan pelbagai akibat, dan mencoba suatu pendirian untuk mempertajam nalarnya. Dalam belajar melatih nalar, manusia memerlukan sesama supaya dalam diskusi dan debat, akal budinya berkembang lebih luas dan lebih mendalam. Langkah demi langkah terjadi proses hominisasi: proses bertindak sebagai manusia. Hominisasi dan Humanisasi Dalam proses ‘hominisasi’, yaitu proses seorang manusia untuk mampu melakukan perilaku khas yang membedakannya dari tingkah laku binatang, banyak latihan (dril) dibutuhkan. Bayi dilatih ibu untuk mampu Belajar jadi orang 49 Bdk. Die Rückseite des Spiegels. Versuch einer Naturgeschichte menschlichen Erkennens dri Konrad Lorenz (1903-1989, seorang ahli perilaku dari Austria). 30 mengucapkan pelbagai bunyi (yang kemudian berkembang menjadi bahasa), memakai tangan kanan atau kiri dalam bersalaman (yang kelak tumbuh menjadi etiket) atau membersihkan diri. http://facebook.com/indonesiapustaka Kemudian beberapa lingkungan budaya melatih anak-anak untuk membungkuk atau tegak dalam menghormati sesama, membalas salam atau memakai cara berjalan tertentu guna menunjukkan sikap tertentu. Orang belajar dari lingkungannya untuk menjadi bagian terhormat dari lingkungan budayanya, selaras dengan tugas dan perannya. Demikian terjadilah proses humanisasi.50 Khususnya dalam olahraga dan militer dilatih beberapa dril yang mengondisikan orang untuk secara releks, tanpa banyak pikir, mengambil sikap tertentu, mengucapkan kata-kata tertentu, atau melakukan tindakan tertentu. Hal ini amat diperlukan agar orang tidak menghabiskan terlalu banyak waktu atau energi guna mengambil keputusan sehingga segera dapat melakukan hal-hal yang dianggap lebih penting seperti menembak atau menarik picu senjata. Sebab keselamatan dalam perang atau terbang sering tergantung pada kecepatan bertindak dalam beberapa detik atau sepersepuluhan detik. Sementara dalam menari, orang mempelajari gaya seni yang memperindah gerakannya. Seorang seniman ilm akan diajak untuk mengembangkan kemampuannya berakting sebagaimana orang yang diperankannya. Memang beberapa profesi membutuhkan kecepatan reaksi isik yang harus dilatih ketat melalui banyak dril. Dalam profesi semacam itu nalar dipergunakan tidak dalam aksi spontan, melainkan dalam lapisan pengambilan keputusan tertinggi. Itulah sebabnya mengapa dalam banyak negara, orang berusaha menempatkan militer tidak dalam bidang-bidang yang membutuhkan perundingan, agar mereka tidak kehilangan refleks militernya. Hanya sedikit sekali militer tingkat tinggi yang sehari-harinya memang berkecimpung di bidang 50 Bdk. Sudiarja, A., Pendidikan dalam Tantangan Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 29-33. 31 pengambilan keputusan dengan banyak negosiasi dan permenungan, yang kemudian mampu bergerak di bidang politik, seperti Eisenhower dan sebagainya. Sebaliknya politikus atau ahli psikologi sulit menjadi militer di lapangan karena terbiasa untuk banyak memakai perhitungan dan perundingan sehingga tidak releks untuk cepat bertindak. Para ulama cenderung untuk melihat masalah dari sudut prinsip yang terdalam dan terluas karena memang profesinya di bidang pelayanan yang menyangkut hidup keseluruhan sehingga tidak selalu mudah mereka terjun dalam konsultasi organisatoris yang lebih rinci. Masyarakat yang semakin maju mengembangkan spesialisasi yang semakin tinggi bagi profesi-profesi tertentu. Eisiensi dunia modern tidak memungkinkan lagi orang mencampuradukkan pelbagai profesi yang mempunyai tuntutan kejiwaan dan fisik yang berlainan. Hal itu tidak untuk meremehkan profesi mana pun, melainkan untuk justru memungkinkan setiap profesi mengembangkan kekhasannya sendiri-sendiri. Justru bila masing-masing profesi diberi kesempatan mengembangkan pembelajarannya sendiri-sendiri sambil berkomunikasi satu sama lain51, maka masyarakat dapat berjalan baik. Dalam beberapa tahap itu terjadilah proses humanisasi. http://facebook.com/indonesiapustaka Belajar Bernalar Setiap orang dianugerahi nalar. Maka setiap orang akan menggunakan penalaran dalam hidupnya: belajar untuk dapat menggunakannya semakin lama semakin baik. Pendidikan membantu orang untuk mengembangkan dan memperdalam serta menggunakan penalaran secara metodis dan sistematis. 51 Bdk. Ribes, Peter, SJ., Self Discovery (Bombay: St. Paul Publications, 1992), terutama hlm. 7-11. 32 http://facebook.com/indonesiapustaka Dengan atau tanpa sekolah, orang tua secara berangsur-angsur menolong anak menumbuhkan penalaran yang diperlukan untuk hidup.52 Semula anak hanya belajar bahwa tidak boleh main-main dengan korek, lalu secara berangsur-angsur ia mempelajari alasan mengenai bahaya kebakaran, kemudian ia menggunakan korek dengan baik, dan akhirnya mungkin seseorang mampu mengembangkan nalarnya untuk menemukan hakikat api dan membuat energi yang menghasilkan banyak daya. Karena tidak semua orang tua mampu, maka sekolah menolong dengan kurikulumnya untuk mengembangkan nalar anak. Di sekolah, anak belajar bernalar lebih lanjut dalam menghadapi alam dan sesamanya. Ia belajar menangkap pokok-pokok hukum alam dan hukum sosial maupun susila. Dengan demikian, tindakannya tidak hanya spontan saja melainkan berangsur-angsur semakin memperhatikan sebab-akibat maupun argumentasi yang jelas. Sesungguhnya semakin anak berkembang dalam mencari sebab musabab suatu peristiwa serta mempertanyakan pelbagai kejadian berikut alasannya, kita harus semakin gembira. Kalau sekarang banyak mahasiswa dan pemuda bergerak untuk mempermasalahkan aneka peristiwa (entah alam, seperti kebakaran hutan, entah sosial, seperti diamnya DPR yang katanya wakil rakyat, entah politisi, seperti kenapa orang tak boleh mendirikan partai baru, entah keamanan, seperti kenapa teman yang kemarin vokal kok tiba-tiba hilang dan ketika kembali menjadi pendiam sekali) sebetulnya merupakan tanda yang menggembirakan pendidikan: rupanya pendidikan bernalar menghasilkan buah. Sebaliknya masyarakat bersedih hati apabila orang muda tidak cukup menggunakan nalar, sehingga mem-’bully’ sesamanya, berkelahi secara bergerombol, rela dibujuk untuk demonstrasi karena ikut-ikutan dengan 52 Sr. Avriana memaparkan banyak contoh, cara sekolah membantu, tetapi juga dapat mengganggu pembelajaran seseorang dalam proses yang disebut pendidikan. Lih. Widyastuti, Sr. Avriana, CB., Bu Guru Ngomong Apa Sih? (CB Media, 2009), hlm. 212. 33 golongan atau partai sektarian yang fanatik, membunuh sebayanya tanpa memikirkan sebab-akibatnya. http://facebook.com/indonesiapustaka Untuk memperkaya manusia agar lebih lancar menggunakan perasaan dan tindakan, maka nalar belajar dengan mengasah argumentasi. ’Pendidikan bernalar membutuhkan banyak diskusi dan berdebat secara teratur’. Mempersempit kesempatan berdiskusi dan berdebat pada hakikatnya melumpuhkan pendidikan bernalar. Ada beberapa cara yang menghambat pembelajaran bernalar. Salah satunya adalah memperbanyak tugas menghafalkan. Dalam kegiatan menghafalkan, proses bernalar dikesampingkan dibandingkan dengan kemampuan manusia lain, seperti ingatan. Latihan gerak isik yang berlebihan juga menyebabkan kemampuan berpikir kurang berkembang. Murid tidak belajar bernalar apabila melakukan banyak tindakan bergerombol. Sebab dalam tindakan bergerombol, orang tidak dituntut banyak berargumentasi. Banyak demonstrasi menyebabkan diskusi dengan banyak argumentasi menyusut sehingga nalar kurang dikembangkan fungsinya dalam hidup bersama.53 Pendidikan bernalar membutuhkan banyak diskusi dan perdebatan agar rekan-rekan dalam hidup dapat saling belajar: dasar apa yang ada dibalik tindakan isik, sikap psikis atau kebiasaan kultural. Dengan cara itu, orang juga belajar mensistematisasikan hasrat ingin tahunya. Pada gilirannya, nalar akan meletakkan landasan penting untuk tumbuhnya sikap penelitian. Sikap mau meneliti adalah dasar berharga untuk mengembangkan jiwa keilmuan. Jiwa keilmuan itulah yang dapat mendorong ilmu teknologi sejati.54 Bila tidak, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya menjadi slogan politis saja atau merupakan komoditas 53 Menteri Pendidikan Finlandia menceritakan bahwa pengajaran di kelas amat sedikit, pekerjaan rumah juga minimal. Murid lebih banyak didorong berkreasi, bergaul satu sama lain, berdebat dalam kelompok demi kemajuan berargumentasi yang mengasah pikiran serta merasakan kebahagiaan bersama. Maka, murid Finlandia dinilai oleh PISA sebagai murid-murid yang terdidik terbaik di dunia. 54 Bdk. Clark, Ron., Balance dalam he Excellent 11 (New York: Hyperion, 2004), hlm. 108-121. 34 ekonomi yang harganya tidak lebih tinggi dari peniti yang diimpor karena nalar kita tidak sampai memikirkan cara membuat peniti dan pensil gambar yang bermutu. http://facebook.com/indonesiapustaka Sementara itu, menyempitkan sekolah hanya menjadi rangkaian administrasi formulir dan deretan acara rapat atau acara tanpa perluasan kesempatan mengembangkan pendidikan nalar adalah menipu orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan janji palsu bahwa anaknya akan tambah pandai.55 Apalagi kalau di sekolah anak tidak dibantu belajar budi pekerti yang baik, karena oleh guru dibiarkan saja menyontek dan membolos atau menyelesaikan permasalahan dengan batu atau pisau, bukannya mengasah argumentasi nalar secara teliti, jujur, dan konsisten. Apalagi murid hanya dilatih untuk sekadar menirukan ritual religius atau nasional secara teliti, tetapi kurang dilatih mempertanggungjawabkan tindak imannya. Dengan demikian, murid tidak dibimbing menjadi agamawan yang utuh, artinya tetap menggunakan nalar, yang juga karunia ilahi. Namun, perkembangan nalar murid memang tidak dapat dibatasi di sekolah saja. Ia sepanjang hari harus Nalar dan Iman mengasuh nalarnya agar terasah. Hal itu tidak terbantu apabila dalam masyarakat orang dibiasakan tidak mengasah nalar, melainkan lebih suka menyelesaikan soal dengan instruksi, keputusan, penataran, rekayasa ekonomis dan politis, penculikan, ancaman hukuman, dan penyiksaan isik atau ikut-ikutan gerombolan bergerak tanpa berpikir dahulu. Nalar dirusak ketika orang dipaksa untuk menjadi robot atau menjadi bagian gerombolan manusia, yang digerakkan oleh motor ideologis atau fanatisme sektarian.56 55 Bdk. Green, Andy, Education and State Formation in Europe and Asia: dalam Kerry, Kennedy (ed.), Citizenship Education and the Modern State (Hongkong: Falmer Press, 1997), terutama hlm. 9-26. 56 Bdk. Johnson, Brad dan Julie Sessions, What Schools Don’t Teach (New York-London: Routledge, 2015), terutama Bab 4, 8, 19. 35 Disiplin Belajar Setiap metodologi belajar mengandung satu hal penting yakni bahwa belajar perlu diulang-ulang secara disiplin. ‘Repetitio est mater studiorum’ = Pengulangan adalah bunda studi. Dengan latar belakang sikap tersebut, pengulangan tidak sama Disiplin dengan penghafalan, melainkan menciptakan suatu Belajar mekanisme dalam diri manusia, sehingga isi dicerna lagi dan lagi. Dengan kata lain, segi akal budi masuk dalam ‘repetisi’. Di sana ‘jembatan keledai’ sering banyak membantu. Hanya saja, diperlukan cara kreatif untuk mengevaluasi hasil belajar sejati, agar tidak pertama-tama memeriksa hafalan, melainkan ‘pengertian’. Dalam rangka itu, ‘pilihan ganda’ mempermudah evaluasi, tetapi menumpulkan evaluasi dari sudut akal budi. http://facebook.com/indonesiapustaka Tambahan pula bahwa Indonesia dipenuhi dengan banyak sekali aturan yang mengikat guru atau dosen serta menjadi patokan penting untuk penilaian suatu sekolah agar mendapat ’pengakuan’ dari pemerintah. Bahkan cara menyusun dan mengirim karangan ilmiah ditentukan secara amat rinci. Dampaknya adalah meluasnya bahaya bahwa penghafalan menjadi fokus pembelajaran. Kreativitas tidak terdukung dalam hal itu. Dalam kaitan tersebut, Senge, dkk. mencatat bahwa ”Sekolah-sekolah yang melatih orang hanya untuk tunduk pada otoritas dan mengikuti aturan, pastilah kurang mempersiapkan murid-murid untuk dunia yang semakin kompleks dan interdependen... Di zaman sekarang orang dari segala jalur hidup dipanggil untuk bertindak otonom, memimpin maupun mengikuti sesama... membentuk masa depan kita.”57 Untuk dapat melaksanakannya, diperlukan kesadaran bahwa memimpin belajar, bukanlah cara otoriter dan monolog, melainkan ’mengajar secara terbuka dan majemuk’. 57 Senge I, Op.cit., hlm. 7 36 Ketekunan Belajar http://facebook.com/indonesiapustaka Pengalaman berabad-abad menunjukkan bahwa proses belajar menyangkut orang secara menyeluruh, walau sering dikira, seakanakan hanya kena pada pikiran manusia saja. Bahkan andaikan terutama mengena pada pikiran manusia, tindakan belajar mencakup manusia utuh, termasuk perasaan dan perbuatan. Salah satu bentuknya tampak dari penemuan bahwa membuat ringkasan dan bahkan menuliskan tahaptahap peringkasan merupakan cara baik untuk mengerti sesuatu hal, baik pada bidang ilmu pasti (alam) maupun ilmu sosial dan humaniora. Cara penulisan membuat seluruh diri manusia dilibatkan dalam proses belajar dan memahami sesuatu. Khususnya kalau studi menuntut penguasaan personal, seperti belajar berbahasa. Penguasaan personal adalah kemampuan untuk mengintegrasikan apa yang dipelajari ke dalam diri seseorang. Terutama dalam bahasa Jawa, tetapi juga dalam bahasa Latin dan Jerman serta sejumlah bahasa lain, belajar bahasa menyebabkan sejumlah kata dikuasai, tetapi sekaligus juga relasi antara si pribadi dengan pribadi-pribadi lain, karena relasi dapat mengubah bentuk kata atau kalimat. Proses belajar itu sekaligus juga merupakan proses integrasi si pribadi ke dalam komunitas tertentu dan proses membentuk diri untuk mengambil sikap tertentu dalam membangun komunikasi dengan pribadi-pribadi lain. Proses belajar juga mendidik seseorang untuk memasuki fokus hidup ke dalam visi tertentu. Melampaui Berproses Belajar penguasaan bahasa, yang sudah tampak memasukkan orang ke dalam komunitas tertentu, pembelajaran bersungguh-sungguh atas ilmu sastra atau ilosoi dapat mendorong orang menyelami cara pandang bersama. Ilmu-ilmu tersebut membawa seseorang menyelami makna berpikir dan makna bertindak dalam komunitasnya. Bila orang lama sekali dididik dalam suasana Jerman, maka banyak cara pandang dipengaruhi oleh tata bahasa Jerman, misalnya melalui peletakan kata kerja dan kata sifat 37 dalam kalimat. Bila kemudian diperoleh kesempatan untuk mempelajari bahasa Portugis, Spanyol, dan Italia, akan muncul kaitan sintaksis baru, yang memperlihatkan sumber-sumber Latinnya. Maka akan terbuka cara pandang baru. Perkembangan pola berpikir tersebut masih tampak andaikata orang mendapat kesempatan mempelajari bahasa-bahasa dari rumpun lain, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea. Bila ditekuni betul-betul, visi orang atas hidup dan masa hidupnya dapat terpengaruh. Orang dapat terdorong untuk terlibat dalam aliran kemasyarakatan tertentu. Keterlibatan itu dapat memadukannya dalam gerakan tertentu. http://facebook.com/indonesiapustaka Belajar dengan pelbagai fokus tersebut dapat menLintas Ilmu dorong orang mendalami pelbagai model mental. Pelajaran tersebut terjadi dengan mencermati pelbagai lapisan mentalitas yang berkembang dalam masyarakat. Mentalitas yang mekar itu dapat menembus urusan komitmen perseorangan, tetapi juga melintasi beberapa komunitas bersama. Sebab mentalitas dapat bertumpu pada sejarah hidup perseorangan (yang beraneka) dan juga dipengaruhi oleh pergumulan komunitas (yang dapat berwarna-warni). Pembelajaran pada lapisan ini dapat memengaruhi mentalitas seseorang, tanpa melupakan komitmen pribadi maupun komitmen sosialnya. Orang-orang yang menceburkan diri dalam pelbagai rumpun bahasa dan budaya sangat mudah terkondisikan menjadi orang yang terbuka pada pergaulan luas; tidak mudah menjadi sektarian dan bermental fanatik. Beberapa puluh tahun yang silam ini, dengan pesatnya proses globalisasi, belajar dalam kelompok/tim berkembang pesat. Cara kerjanya lebih luas daripada sekadar belajar dalam ’pondok’ atau ’taman’ seperti dilaksanakan dalam Pondok Pesantren di Jawa Timur atau Taman Siswa di Yogyakarta atau Adabiah di Sumatra Barat, melainkan cara belajar yang secara mendasar memang mengelompok bukan secara 38 http://facebook.com/indonesiapustaka individual.58 Cara belajar ini mengondisikan seseorang belajar dengan memperhatikan pemikiran sesama, memedulikan perasaan yang lain dan mengerjakan sesuatu secara berkelompok. Cara belajar ini mendorong ’belajar bersama’ lama-kelamaan menjadi ’cara hidup bersama’. Pertumbuhannya tidak menyebabkan orang pasif atau bersembunyi dalam kelompok, tetapi menjadikan ’hidup bersama dan mengupas masalah secara bersama’ merupakan model hidup. Komunitas yang lebih besar dapat terjadi karenanya. Bila dicermati lagi, masih dapat ditemukan cara belajar yang lebih mendalam. Bila orang mempelajari pelbagai ilmu, yang sering harus dilakukan dalam ’mata kuliah umum’ atau dari hasrat perseorangan, lalu akan tampak adanya beberapa butir masalah, yang tampil dari sistematika ilmu yang berlainan. Mircea Eliade menciptakan suatu ensiklopedia, yang membicarakan masalah-masalah seputar agama, dari sudut ilmu agama, ilsafat agama, ilmu bahasa dan sesekali juga teologi. Cara belajar ini mendorong belajar secara lintas sistematika. Diperlukan kerendahan hati yang sungguh namun juga kerelaan untuk melintasi batas-batas spesialisasi ilmu. Tradisi baru interdisipliner ilmu memberi peluang tumbuhnya cara belajar ini. Bila dikerjakan dengan disiplin ilmu yang tinggi, dapatlah dikembangkan pembelajaran yang amat kaya. Sebutlah namanya cara belajar interdisipliner.59 Langkah hidup dengan lintas sistem semakin diperlukan ketika sifat interdisipliner meresapi hampir segala kesibukan harian. Sebab dunia teknis dan pembahasaan mewarnai segala segi kehidupan. Perkembangan IT telah membuka kemungkinan interdisipliner yang lebih lanjut. 58 Bdk. Johnson, Op.cit., khususnya Bab 16 dan 17. 59 Bdk. Senge I, Op.cit., hlm. 7-9. 39 Pelbagai Potensi http://facebook.com/indonesiapustaka Keanekaan perwujudan makhluk bernalar dalam manusia sangat penting diperhatikan kalau kita merencanakan transformasi politik, ekonomi atau spiritual. Tanpa nalar yang sehat dan berkembang, tidak usah kita mimpi tinggal landas dalam arti apa pun.60 Namun nalar memang bukan satu-satunya potensi manusia yang harus dikembangkan. Nalar perlu ditemani oleh afeksi dan emosi yang sehat. Kita sudah mengalami bagaimana nalar orang terpeleset ketika emosi dibakar oleh sentimen keagamaan atau fanatisme politik. Oleh sebab itu diperlukan keberanian dan kecakapan serta rekayasa sistematis untuk belajar nalar yang terpadukan dengan afeksi. Sementara itu, dari pengalaman cinta dan seni dengan segala kemungkinan dampaknya, dapatlah manusia belajar bahwa ada potensi manusia yang melampaui daya nalar manusia. Transenden itu masih dapat berkanjang dalam dunia kodrat manusiawi, tetapi pada suatu titik, manusia mendapatkan arah ‘adi kodrati’ yang membawanya kepada transenden. Potensipotensi manusia seluruhnya membutuhkan pembelajaran yang terpadu, agar manusia belajar tumbuh secara utuh. Kita memerlukan masyarakat selain belajar berPotensi nalar juga mempelajari empati solidaritas yang dapat Belajar membangun persaudaraan lintas golongan. Sikap tersebut dapat dimiliki suatu bangsa, misalnya pada bangsa Indonesia di sekitar tahun 1928 dan masa Proklamasi Kemerdekaan. Ketika itu, para mahasiswa bernalar untuk memimpin kemerdekaan Indonesia, mampu mengembangkan emosi dan afeksi persaudaraan, melintasi batas profesi, status sosial, suku, 60 Semakin lama orang semakin sadar bahwa nalar perlu diolah bersamaan dengan potensipotensi manusia lain untuk kemudian membawa manusia belajar mengenal hal-hal yang transenden, melampaui indra dan pengetahuannya sendiri. Pembelajaran yang luas ini perlu dialami oleh siapa pun yang mau menjadi manusia yang utuh. Bdk. Moyle, Helen, he Experience of Learning dalam he Way, Vol. 37, April 1997, No. 2, hlm. 110-119 dan Cadrin, Daniel, Heart and Head: Searching for God dalam he Way, Op.cit., hlm. 120-128. 40 agama dan aliran politik. Tentu saja ada upaya politik untuk mengadu kekuatan dalam memimpin negara, tetapi nalar dan afeksi bersaudara jauh lebih kuat daripada sekarang. Bangsa Indonesia pernah mengalami satu dua usaha separatis, tetapi tekad seluruh negara bukan persaingan, perkelahian, pembunuhan, atau penyiksaan antarkita, melainkan persaudaraan. Sekarang ini, persatuan hanya dicapai secara politis, itu pun terutama secara formal; lagi pula baru secara kuantitatif dengan rekayasa sistem persidangan yang amat menipiskan argumentasi nalar. Rekayasa persidangan itu dapat diperburuk lagi oleh akal untuk menciptakan undang-undang atau peraturan yang sengaja diberi lubang-lubang demi perusakan-perusakan persidangan yang tampaknya saja legal. Akhirnya tanpa nalar yang sehat, persatuan tidak dapat juga diisi dengan afeksi yang sehat.61 Kita masih harus banyak belajar mengembangkan nalar, afeksi dan aksi, yakni pada diri sendiri, anak-anak kita, dan orang dewasa. Terlebihlebih pada pemangku tugas publik, yakni orang yang secara badaniah dan kejiwaan, katanya sudah dewasa. Tepatlah harapan Andrias Harefa, agar kita semua menjadi manusia pemelajar62, tanpa batas. Hanya dengan demikian, pendidikan dalam arti yang paling luas dan paling mendalam akan dapat terwujud secara bertanggung jawab. http://facebook.com/indonesiapustaka Releksi 1. Apakah Anda pernah belajar sesuatu yang amat berat sehingga membutuhkan perjuangan yang lama? 2. Apakah ada pendidik yang secara menarik melatih Anda untuk belajar? 61 Pelbagai peristiwa tahun 2016 dan 2017 di jalan-jalan maupun di DPR dan medan pengadilan telah mencemaskan rakyat Indonesia yang mencintai Bhinneka Tunggal Ika. 62 Harefa, Andrias,. Menjadi Manusia Pembelajar (Jakarta: Kompas, 2002 cetakan 6), terutama Bab 2 dan Bab 9. 41 http://facebook.com/indonesiapustaka 42 3. Apakah ada kesempatan pada saat ini untuk belajar sesuatu? 4. Pernahkah Anda menemukan pembelajaran politis di negara kita? 5. Apakah Anda pernah belajar beriman dan berdebat? Mengajar: Membantu Belajar Belajarlah dari-Ku Sebab aku rendah hati (Sang Guru dalam Injil: tentang mengajar) http://facebook.com/indonesiapustaka B utet, memasuki kelas untuk mengajar di tahun pertama, dengan hati berdebar-debar dan pikiran simpang siur, walau sudah selalu mempersiapkan Satuan Acara Pengajaran/Perkuliahan (SAP). Selain itu, perasaannya campur aduk, antara senang karena mengawali karier dan risau untuk menjumpai belasan murid dari aneka latar belakang. Darto lebih kacau lagi hatinya, karena untuk pertama kali ia mengajar di suatu sekolah menengah, yang terkenal, biasa ‘melatih guruguru baru’ dengan pelbagai ‘percobaan’. Ketut, lebih tenang sebagai seorang berbadan kekar dan mengajar olahraga, kelas pertamanya diharapkannya akan berjalan lancar; walau pada menit-menit pertama ia harus menghadapi murid-murid yang penuh canda. Tiga sahabat muda itu mempunyai satu sikap mengajar yang sama. Mereka merasa bahwa untuk mengajar, mereka perlu mempersiapkan diri cukup baik, tahu secara memadai hal tertentu untuk menghidangkannya kepada murid-murid di kelasnya. Sikap dasar yang tersimpan dalam diri para guru muda adalah ‘kesediaan untuk memercayai bahwa para murid menyimpan banyak hal yang baik’.63 ‘Memercayai para murid’ adalah 63 Seorang pendidik Spanyol dari abad 16, namanya Iñigo dari Loyola, memberi pegangan sederhana kepada murid-muridnya yang akan mendidik orang lain: “… Kita harus berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kebaikan-kebaikan…” Sikap itu tidak diyakini secara insidental, 43 http://facebook.com/indonesiapustaka awal proses didik yang penting sekali. Pada minggu-minggu pertama, guru baru berbekal dengan ‘penguasaan bahan secara personal’, yang biasanya memadai, kalau mereka adalah guru yang mau bertanggung jawab. Namun, mereka masih akan masuk dalam ‘ujian-ujian praktik’ yang lain, terutama berkaitan dengan ‘percaya kepada para murid’. Sebab ‘sifat baik yang diandaikan ada pada para murid’, tidak jarang dicampur dengan pelbagai bumbu sifat dan konteks persekolahan yang beraneka ragam. Perjumpaannya dengan persiapan guru dapat berdampak lancar atau tersendat. Untuk menjalankan tugas ini, diperlukan jiwa mengajar yang tepat asas dan tepat guna. Dengan demikian diperlukan pencermatan, dibalik tugas meng ajarnya, apa sebenarnya yang menjiwai seorang guru? Perihal ‘sesuatu yang menjiwai seorang guru’ amatlah dipentingkan oleh Maria Montessori (1870-1952) dan Friedrich Wilhelm August Fröbel (1782-1852) yang mengarahkan, agar guru-gurunya memiliki ‘hati bagi murid-muridnya’. Menteri Ki Hadjar Dewantara memesan para guru untuk mengantar para murid menjadi bagian yang integral dalam masyarakat.64 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto pernah mengarahkan guru-guru agar mereka mengajar murid-murid sehingga ada hubungan erat antara sekolah dengan dunia industri, tempat mereka nanti akan bekerja. Aliran ini melihat tugas mengajar sebagai menyiapkan ‘tenaga kerja’ bagi dunia kerja. Aliran lain lebih menganjurkan guru untuk mengantar murid menyiapkan diri bagi hidup mendatang dengan mengenali masyarakat dan aneka tuntutannya, khususnya lewat ilmu pengetahuan. Mereka ini ingin membekali murid jauh lebih banyak dan mendalam daripada hanya menjadikan mereka nanti alat atau sumber daya (human resource) bagi suatu perusahaan. Mereka harus mengembangkan akal budi yang melainkan merupakan sikap dasar, sedemikian sehingga murid-murid merujuknya dengan menyebutnya ‘Pandangan Bapa’. Lih. Latihan Rohani No. 22. 64 Sularto, St., Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Jakarta: KOMPAS, 2016), khususnya hlm. 168 dst. 44 kreatif sehingga mampu menciptakan cara kerja atau bahkan kreasi baru secara inovatif. http://facebook.com/indonesiapustaka Banyak yang dapat membantu tindakan belajar, khususnya suasana, peralatan, kondisi, tempat dan Mengantar Belajar orang yang juga dapat melakukannya dengan banyak cara. Profesor, dosen, guru, dan para pendukung di sekolah serta orang tua murid mampu membantu belajar dengan cara dan dari posisi masing-masing. Bantuan mereka dapat membantu murid memilih arah belajar. Dengan memperhatikan aneka arah tindakan belajar itu, dapatlah kita melakukan pendampingan yang dilaksanakan dengan bermacam-macam. Khususnya guru dapat mendampingi langkah belajar dengan mengajar yang merupakan unsur pendidikan yang penting, walau bukan satu-satunya, bahkan di sekolah sekalipun. Guru dapat mulai dengan mencermati pelbagai visi, berikut implikasinya dalam mendampingi pembelajaran murid. Adapun visi dapat ditentukan oleh orang tua atau pengambil prakarsa kelembagaan sekolah atau negara. Koran Republika pernah, misalnya, merumuskan visi mengajar dengan ‘menciptakan asrama agar pembelajaran dapat komprehensif’.65 Sebab visi suatu pembelajaran menunjukkan, arah yang dituju murid dalam belajar dan cara yang dipilih guru dalam mengajar murid. Adapun visi tersebut memberikan bayangan, yang mau dicapai apabila cara-cara tertentu dalam proses belajar-mengajar dilaksanakan. Seorang Franciscus van Lith membayangkan suatu komunitas Jawa (agama apa pun), yang dapat memimpin dirinya sendiri; tidak tergantung dari bangsa lain. Oleh sebab itu, dia mengajarkan murid Muntilan untuk mampu berkomunikasi dengan orang lain (belajar bahasa asing), mampu berhadapan dengan dunia modern (belajar ilmu-ilmu modern), mampu bekerja sama dengan orang se-Hindia Belanda (belajar hidup bersama 65 Lih. Republika 5 Mei 2017. 45 dalam asrama dengan suku-suku lain).66 Hal serupa dilakukan oleh J. Beek ketika memimpin asrama Realino di Yogya.67 Visi seorang Ahmad Dahlan sebenarnya tidak berbeda, walau bahan dan ‘penggetarnya’-nya berlainan dengan van Lith. Maka prinsip dasar Muhammadiyah tidak banyak berbeda dari van Lith. Dari visi dan misi itulah lahir tradisi Muhammadiyah untuk mendirikan banyak sekolah: dari yang paling dasar sampai perguruan tinggi. http://facebook.com/indonesiapustaka Sementara itu, banyak visi perguruan modern kita Bank Ilmu menunjukkan masa depan yang mengandung banyak ‘diferensiasi’ dalam ilmu, walau hasil didikannya tidak perlu menguasai segala ilmu secara komprehensif. Dengan visi seperti itu, ditemukan proses belajar mengajar, yang lebih menekankan terciptanya banyak spesialis, pengetahuannya sedikit tetapi mendalam. Sementara dalam gambaran van Lith yang dituju dalam proses belajar mengajar bersifat ‘generalis’: orang-orang yang memiliki pengetahuan umum. Dengan demikian para murid dipersiapkan menghadapi masa depan, yang tidak mudah diramalkan kekhususannya. Mengajar dapat juga dibedakan dari sudut cara keseluruhannya. Orang dapat mempunyai pendirian bahwa mengajar adalah memindahkan suatu kumpulan pengetahuan, dari guru kepada murid.68 Latar belakang paham itu adalah pertama, karena pengajaran memang erat berkaitan dengan tahu dan tidaknya seseorang mengenai sesuatu hal; kedua, karena tambahnya pengetahuan juga merupakan suatu nilai yang mendukung perkembangan manusia dan masyarakat. Dengan cara pandang itu, hasil pengajaran adalah pindahnya satu 66 Lih. VCD mengenai F. van Lith ketika mendirikan sekolahnya di Muntilan 67 Lih. Sudarmanto, J., Pater Beek, SJ., Larut tetapi Tidak Hanyut (Jakarta: Obor, 2008), hlm. 272. 68 Lih. Goodlad, John I. (ed.), Educating Teachers: Getting It Right In he First Time dalam Robert A. Roth, he Role of he University in he Preparation of Teachers (London: Falmer Press, 1999), Bab 1. 46 http://facebook.com/indonesiapustaka gugus pengetahuan dari manusia satu kepada lainnya. Pemindahan itu sering dirancang melalui cara mengajar dengan pegangan suatu buku atau kurikulum tertentu: cara pemindahan pengetahuan itu dengan memberitahukan dan meminta murid mengertinya: biasanya dengan memahami dan menghafalkannya. Cara memeriksa, sejauh manakah pengajaran tersebut berhasil atau tidak adalah dengan ‘menguji, sejauh manakah murid sudah mampu mengalimatkan kembali segala pengajaran gurunya’. Apabila seluruh daerah diharapkan memakai cara mengajar seperti ‘mengirim harta pengetahuan dari bank satu ke bank lain’. Dianggap mudah memeriksa kesuksesan pemindahan itu dengan melakukan ujian yang sama seluruh daerah atau nasional. Persentase ‘penguasaan pengetahuan murid’ dianalogikan dengan pemindahan jumlah uang Cara Berilmu tertentu lintas bank. Oleh sebab itu, cara berpikir itu sering disebut mengajar dengan cara bank’. Namun, orang juga dapat berpendapat, bahwa belajar adalah proses ketika murid menemukan relasi intelektual dengan dunia sekitarnya. Di situ mengajar terjadi tatkala guru mendampingi murid menjadi manusia yang berinteraksi dengan dunia sebagai jaringan hal-hal yang perlu diketahui, dengan menangkap metode pencarian kebenaran dan pemahaman kebenaran. Dengan demikian, murid dibantu untuk mencari data, bukannya disodori sekumpulan data. Tujuannya, murid dapat melihat belajar sebagai perjalanan manusia mengenali dunia dengan segala duduk perkaranya. Di sini belajar mengerti sebagai usaha manusia untuk mengenal seluk-beluk dunia dan sekitarnya. Mengajar dalam hal itu memperkenalkan metode memperoleh pengetahuan, agar selanjutnya murid dapat mengembangkan pencarian pengetahuannya sendiri. Harapannya adalah bahwa murid akan terbantu untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang ada di ‘luar sana’ melainkan ‘terbenihkan dalam jiwa setiap manusia’. Pengetahuan bukan pula suatu kotak mati, melainkan suatu 47 rangkaian ‘proses mengetahui segi-segi dunia yang hidup’. Oleh sebab itu, ilmu senantiasa mendorong pengetahuan yang lebih lanjut dan murid serta ilmuwan perlu dibantu untuk menemukan metode tepat guna menyusun pengetahuan secara metodis. Metode yang tepat bagi sesuatu ilmu dapat saja tidak sesuai bagi yang lain. metode dalam mengajar http://facebook.com/indonesiapustaka Melanjutkan gagasan itu, visi Ki Hadjar Dewantara adalah penciptaan komunitas pembelajaran yang dilakukan bersama pengajar yang hidup bersama murid. Itulah sebabnya mengapa dia memperjuangkan diciptakannya ‘pondok-pondok’.69 Ki Hadjar juga sangat menekankan relasi kekeluargaan antara guru dan murid. Hal itu termasuk cara baru pada zamannya. Cara pengajaran di situ terdiri dari menciptakan lingkungan pembelajaran yang kuat. Harapannya adalah penyuburan lingkungan akan meningkatkan mutu pembelajaran. Proses belajar mengajar dalam gaya Ki Hadjar dialami jauh lebih manusiawi. Pada dasarnya, cara tersebut bukannya tidak peduli pada intelektualitas, tetapi memaknainya dalam kultur yang kekeluargaan dan menempatkannya dalam konteks hidup yang lebih kaya. Kita juga dapat meneropong proses belajar mengajar Tujuan Belajar dengan mengupas tujuan pembelajaran tertentu.70 Tujuan itu menentukan cara seseorang mendampingi murid untuk belajar. Oleh sebab itu, perlulah kita menelaah arah dan isi pokok yang hendak diberikan kepada sekolah. Sudut telaah dapat sangat berbeda-beda, misalnya dari sudut pengajar, pelajar, konteks budaya, kepentingan nasional dan sebagainya. Kita juga tahu 69 Lih. Dewantara, Ki Hadjar. Menuju Manusia Merdeka (Yogyakarta: Leutika, 2009), hlm. 4142. 70 Robert B. Barr and John Tagg. From Teaching to Learning: A New Paradigm for Undergraduate Education. Palomar College, San Marcos, California. 48 bahwa orang belajar untuk beberapa kepentingan entah bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi lingkungan yang lebih luas, sampai bagi kemuliaan Tuhan. Suatu Perguruan Tinggi di Indonesia ini memasang ‘motto’ latin di depan umum: “non scholae sed vitae discimus”. Perbedaan kepentingan-kepentingan itu pasti memengaruhi cara orang belajar. http://facebook.com/indonesiapustaka Kita pun dapat mempelajari aneka proses mengajar dengan jalan meneliti pelbagai tipe kecerdasan manusia.71 Lalu cara-cara belajar dapat dibeda-bedakan menurut tipe kecerdasan manusia. Sebab, menurut Howard Gardner, profesor Universitas Harvard, ada beberapa tipe kecerdasan manusia. Dalam konsep kecerdasan majemuk, Gardner mengelompokkan kecerdasan menjadi tipe-tipe: linguistik, logis matematis, spasial, musikal, natural, kinestetikal, interpersonal, intrapersonal, eksistensial. Kemudian, ia akan menambahkan tipe spiritual. Setiap jenis kecerdasan membutuhkan cara mendidik yang tersendiri: sekurang-kurangnya dari sudut tekanan dan pusat perhatiannya. Proses belajar mengajar juga dapat dicermati dengan mengingat bahwa persekolahan juga erat berkaitan dengan keadaan si manusia atau struktur masyarakat de facto.72 Kaitan itu nyatanya menyangkut situasi politis, ekonomis dan birokratis Indonesia, yang dalam dekade kedua milenium ketiga ini mengalami gejolak tidak kecil. Gejolaknya memang berhubungan dengan krisis moneter, pelbagai krisis kemasyarakatan, yang sekarang pun belum usai. Di satu sisi, kita berada dalam situasi yang menguntungkan oleh karena suasana yang menghendaki per71 Gardner, Howard (1983), Frames of Mind: he heory of Multiple Intelligences, Basic Books, ISBN 0133306143; (1993), Multiple Intelligences: he heory in Practice, Basic Books, ISBN 046501822X; (1999), Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century, Basic Books, ISBN 978-0-465-02611-1; (2004), Changing Minds: he Art and Science of Changing Our Own and Other People’s Minds, Harvard Business School Press, ISBN 1422103293; (2006), Multiple Intelligences: New Horizons in heory and Practice, Basic Books, ISBN 978-0465047680 72 Bdk. Misalnya mengenai sekolah dari pukul 07.00–15.00 dengan hari sekolah Senin-Jumat, yang terus-menerus dilontar-lontarkan beberapa pihak, tetapi tidak begitu saja diterima banyak orang, termasuk Presiden Joko Widodo. Lih. Harian KOMPAS dan Harian TEMPO 20 Juni 2017, masing-masing di halaman 1 dst. 49 ubahan mendalam, tetapi dari sisi lain justru pengalaman dan akibat di atas menunjukkan kepada kita betapa sulitnya persoalan yang hendak digarap. Pandangan ke depan masyarakat menciptakan pandangan ke depan pula bagi tindakan mendidik pada umumnya dan mengajar di sekolah pada khususnya. Demikianlah cara dan metode mengajar perlu didasarkan pada visi dibalik tindak mengajar dalam mendidik di sekolah. http://facebook.com/indonesiapustaka Visi Setiap lembaga yang mendirikan sekolah, mempunyai ‘gambaran ke masa depan’ (visio). Visi tersebut untuk jangka pendek, tetapi juga dapat untuk jangka panjang. Dalam pandangan ke depan itulah suatu program didik disusun. Jadi, sekolah didirikan untuk mewujudkan suatu visi. Pendidik menjalin relasi penuh kepercayaan dengan murid untuk mendorongnya menggali pengetahuan, membangun relasi dengan sesama, mencintai sesama serta memuliakan Yang Mahaagung. 73 Pengorganisasian seluruh persekolahan dan khususnya pengajaran yang dilakukan guru, mengandung pesan digapainya visi, sebagaimana sudah kita singgung. Pengajaran bertugas untuk menciptakan mekanisme batin dalam diri guru dan murid sehingga dapat mengembangkan proses pembelajarannya sebagai bagian dari seluruh proses didiknya. Di situ tampak bahwa pengandaian dasarnya adalah bahwa manusia tidak hanya dikuasai oleh kemampuan menghafalkan pengetahuan melainkan juga untuk mengkritisinya serta dilengkapi dengan budi yang memungkinkan orang mendalami jalinan-jalinan data kemudian 73 Visi didik tersebut, menurut Iñigo dari Loyola dapat disusun dan diuraikan sbb: 1. Memercayai dengan memberi kebebasan dan tanggung jawab; 2. Memperlakukan murid sebagai pribadi (cura personalis); 3. Mendorong untuk selalu mau maju; 4. Bukan banyak tetapi bermutu (non multa sed multum); 5. Relektif dan kritis; 6. Mendidik seluruh pribadi murid; 7. Bersama dengan mengakui perbedaan; 8. Menemukan Allah dalam segala; 9. Dalam segalanya mencintai dan melayani (en todo amar y servir); 10. Penuh syukur. Bdk. Dalcq Guy, Perspectief en doelstellingen in het ignatiaans onderwijs: dalam Majalah Cardoner, 2017/I, hlm. 34-44. 50 http://facebook.com/indonesiapustaka menciptakan jaringan pengetahuan sebagai bahan guna mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu secara sadar selaras dengan martabatnya sebagai manusia, bersama manusia lain. Visi dasar atas manusia ini berlaku bagi semua Visi Studi manusia sebagai visi dasar terhadap murid. Visi tersebut menentukan isi dan metode pengajaran. Isi dan metode pengajaran tersebut perlu disepakati untuk menjadi cara kerja sama dalam lembaga pengajaran tertentu. Sebab paham dasar itu akan menentukan, isi didik yang tersimpan dalam segala ajaran maupun cara ajar serta mekanisme ajar seluruh proses sekolah. Di dalamnya tersimpan pula cara mengorganisasikan sekolah, baik pada tingkat mikro di sekolah masing-masing maupun di tingkat makro di kementerian. Pada langkah selanjutnya, orientasi itu juga akan menentukan masyarakat macam apakah yang akhirnya menjadi visi pembangunan negara. Dengan kata lain, perbincangan mengenai sekolah menyangkut arah dan proses perkembangan negara serta masa depan bangsa secara menyeluruh. Dalam arti tertentu manusia tumbuh menjadi manusia melalui pendidikan74. Dalam Pembukaan UUD 1945 jelas bahwa pencerdasan yang dicita-citakan bangsa ini berlatar belakang pendirian mendalam mengenai sifat bebas dan bertanggung jawab setiap manusia.75 Itulah tanggung jawab etis setiap guru dalam mengajar, agar tercapailah cita-cita dan visi pendidikan yang terluas. Cita-cita tersebut dipadukan dengan hasrat kemerdekaan bangsa Indonesia. Demikian berhargalah pendidikan bagi bangsa Indonesia, yang merdeka. 74 Bdk. Jaeger, Werner, Paideia (Berlin: Walter De Gruyter & Co., 1947), hlm. 1-3. 75 Tentu saja di tahun 1945 belumlah diperhitungkan aneka kecerdasan, sebagaimana kelak dipaparkan oleh Howard Gardner, beberapa puluh tahun sesudahnya. Pencerdasan, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dipahami sebagai pendidikan melalui sekolah yang diharapkan secara struktural akan meningkatkan kepandaian rakyat Indonesia secara menyeluruh: suatu pengandaian penting untuk meninggikan mutu demokrasi yang membutuhkan komunikasi di seluruh lapisan hidup kenegaraan. 51 Simpul Bagi Pengajar Pangeran Mangkunegara IV di awal abad 20 di Surakarta mengajarkan kepada murid-muridnya76, agar membimbing terutama dengan tindak tanduk, namun dengan batin yang jernih.77 Hal serupa disebutkan oleh seorang pendidik dari Spanyol yang lama mengajar di Jepang dan Filipina, yakni Adolfo Nicolas, SJ, ketika pada tahun 201078, menunjukkan pentingnya para pengajar untuk memberikan dirinya secara utuh dan profesional. Dengan demikian, segi objektif dan segi subjektif dibagikan secara bersama oleh seorang guru. Dengan demikian, pelbagai bahan dan metode dapat disajikan oleh pengajar untuk membantu agar murid semakin mampu mengenal kemampuankemampuannya serta mengenal dunia dan sesamanya, untuk akhirnya mengenal penciptanya. Namun bukan banyaknya bahanlah yang memperkaya murid, melainkan pemahaman serta penghayatan mengenai maknanya.79 http://facebook.com/indonesiapustaka Releksi 1. Catatlah hal-hal yang menggembirakan dan menyedihkan dalam pengalamannya Anda mengajar! 2. Hal apakah yang paling sering Anda tekankan dalam mengajar: si murid, si bahan, ataukah cara mencapai bahan yang Anda ajarkan? 76 Lihat tulisannya yang terkenal Wedhatama, Bagian Pocung: bdk. Wedhatama Jinarwa, ‘Pelajar’, Surakarta: ditemukan sumber akhirnya di Yogyakarta, pertengahan dekade 1960-an. 77 Bdk. Op.cit. Bagian Sinom. 78 Lih. Nicolas, Adolfo, SJ. Depth Universality and Learned Ministry: Challenges to Jesuit Higher Education Today, Universitas Iberoamericana, Mexico, 23 April 2010, Bagian I. 79 Iñigo dari Loyola mengatakannya ‘bukan banyaknya hal memperkaya seseorang, melainkan penghayatan makna dan pencecapannya…’ Latihan Rohani, Annotasi 2. Dalam bahasa Latin, ada ungkapan ‘non multa sed multum’ (bukan banyaknya, tetapi mutunya). 52 http://facebook.com/indonesiapustaka 3. Apakah ada dalam lembaga sekolah Anda, hal-hal yang secara terus-menerus mempersulit cara mengajar Anda? Sebabnya? 4. Apakah ada pengajar yang mengesankan Anda dalam mengajar Anda sehingga Anda menjadi seperti sekarang? 5. Hal apa yang perlu diperbaiki dalam cara mengajar Anda? 53 http://facebook.com/indonesiapustaka 54 Orang Tua: Pendidik Utama O, Ibu dan Ayah, selamat pagi; Kupergi belajar, sampai kan nanti (Ibu Sud) http://facebook.com/indonesiapustaka Pendahuluan Tono dan Tini adalah gambaran dari pasangan suami istri kebanyakan. Ketika anaknya dua, kedua orang tua muda itu tetap bekerja. Tono sebagai buruh dan Tini sebagai juru masak di suatu keluarga tetangga mereka. Anak-anak dirawat oleh Ibu Tini. Mereka bekerja keras, tetapi setiap sore, sebelum matahari terbenam pasti diusahakan sudah pulang. Tujuannya satu, yaitu main dengan anak-anak dan sedikit nonton televisi bersama anak-anak, menyatu dalam keluarga, walau Tono bekerja di suatu proyek pembangunan perumahan rakyat.80 Dengan cepat anak-anak dapat mengucapkan ’papa’ dan ’mama’ serta belajar merangkak dan kemudian berjalan sendiri. Begitulah mereka ’sambil jalan, belajar mendidik kedua buah hati’ mereka.81 80 Bdk. Juga Doolittle, Robert, Searching Young Hearts (Winona: St. Mary’s Press, 1993), terutama Bab 1. 81 Bdk. Peters, R.S., Ethics and Education (London: George Allen & Unwin Ltd., 1966), terutama Bab 1. 55 Memang, perkawinan mencakup, baik relasi kedua mempelai, maupun relasi mereka berdua dengan anak-anak, yang akan dikaruniakan Allah kepada mereka. Secara kodrati, orang tualah pendidik utama dan perdana.82 Peran itu tidak selalu berkaitan dengan kecerdasan si bapak atau si ibu, yang juga begitu majemuknya. Dengan atau tanpa ijazah dan rapor sekolah yang hebat, ayah-ibu dipanggil untuk mendidik anakanaknya. Hampir semua orang tua belajar melaksanakan tugas mendidik itu: yang satu lebih baik daripada yang lain. Para orang tua mendampingi anak untuk setapak demi setapak membentuk83 diri menjadi manusia, yang semakin lama semakin dewasa, termasuk menyadari dirinya sebagai pria dan wanita.84 Dalam gambaran itu, anak adalah bagian utuh keluarga dan orang tua bertanggung jawab untuk setiap langkahnya membesarkan anak.85 http://facebook.com/indonesiapustaka Dalam kaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengingat bahwa Allah diimani telah menciptakan manusia, maka pendidikan orang tua menjadi wujud dari penyelenggaraan Allah untuk kemanusiaan.86 Pendidikan anak sudah menjadi kebutuhan untuk meningkatkan kesempatan anak memperoleh hidup yang bahagia, sukses dan produktif87 di masa depan yg sesuai dgn rencana Allah. Keberhasilan seorang anak tidak terjadi begitu saja, tetapi memerlukan 82 Bdk. Gunarsa, Dra. Yulia Singgih D., dan Prof. Dr. Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga (Jakarta: Libri, 2012), terutama hlm. 11-17. 83 ‘Membentuk’ berkaitan dengan kata Latin ‘formare’ yang mendasari kata ‘formation’, kata itu dalam bahasa modern berarti ‘membentuk’. Istilah ‘membentuk’ menjadi sumber pengertian dari ‘mendidik’ ke arah ‘membentuk seorang pribadi menjadi manusia yang semakin lama semakin sempurna’. Itulah yang dilakukan dalam ‘education’, kalau mau sungguh ‘komprehensif’. Lih. Gravissimum Educationis, artikel 2. 84 Bdk. Ensiklik Divini Illius Magistri, No. 2 dari Pius XI, 1929. 85 Lih. Buetow, Op.cit., hlm. 139-174. 86 Bdk. Gravissimum Educationis art. 2 dan 3. Lih. Gielen, Prof J., dan Prof S. Strasser, Ilmu Mendidik, Yogyakarta: FKIP Sanata Dharma (Penerjemah), seluruh Bab I, khususnya, hlm. 4, hlm. 12, dst. 87 Arti kata ‘sukses, ‘produktif ’, ‘berhasil’ semakin sering diiklankan untuk memancing orang memilih sesuatu lembaga sekolah atau kursus. Pada waktunya perlu diperjelas arti terdalamnya: sukses atau produktif sekadar secara ekonomis atau politiskah ataukah juga dengan memperhatikan segi etis dan moral. Muatan kata ‘pendidikan’ perlu dicermati. 56 hubungan kasih antara anak dan orang tua. Dalam kerangka ini dikatakan bahwa baik buruknya anak, sebagian besar bergantung pada pendidikan dari orang tua. Bantuan orang tua sangat diperlukan oleh setiap anak saat mulai lahir sampai dewasa, jadi tidak ada kata terlambat atau terlalu awal. http://facebook.com/indonesiapustaka Pendidikan anak perlu menurut jalan yang baik dan benar, sehingga di masa tuanya tidak akan menyimpang dari jalan yang benar.88 Namun, makna ’baik’ dan ’buruk’ perlu setiap kali diperjelas, baik oleh si pribadi maupun lingkungannya dalam suatu proses yang penuh dengan keunikan individual. Sebab, sebagaimana terbentuknya secara isik, setiap anak manusia secara keseluruhan tumbuh sedikit demi sedikit. Perkembangan itu pun merupakan peristiwa majemuk yang amat kaya. Sudah dari segi biologis, manusia menyempurnakan pembentukan dirinya secara beraneka warna. Rambut dan kuku berkembang secara berlainan dibandingkan dengan jantung dan hatinya. Otak dan syaraf memiliki pola berbeda lagi. Pancaindra tumbuh secara berlain-lainan. Sementara itu, perasaan merupakan bagian manusia yang akan berkembang tanpa henti sepanjang hidup, bersamaan dengan akal budi. Orang tua amat diperlukan oleh seorang manusia muda, agar pertumbuhan badan dan kepribadiannya berlangsung sebaik mungkin. Langkah-langkah itulah yang terjadi dalam pendidikan ayah dan ibu. Sebagai orang-orang yang memiliki pengalaman hidup, orang tua mendidik anak-anaknya untuk dapat mengintegrasikan seluruh perkembangan dirinya sehingga menjadi satu kesatuan. Khususnya pada masa remaja dan menjelang dewasa89, orang tua amat diperlukan mendampingi pendidikan anaknya. Setiap keluarga mengalami, bahwa perkembangan pribadi-pribadi orang muda tidaklah seragam, seakan-akan mirip proses pencetakan patung di pabrik. Setiap pribadi 88 Bdk. Doolittle Op.cit., hlm. 72-77, yang memperlihatkan lapisan-lapisan kebenaran dan kebaikan. 89 Lih. Doolittle Op.cit, Bab 2 dan 3. 57 berinteraksi dengan lingkungannya secara sangat khas, sehingga membentuk kepribadian yang khas pula. http://facebook.com/indonesiapustaka Beriringan dengan pendidikan kejasmaniahannya, orang muda mengalami pula perkembangan Integrasi Diri perasaan.90 Ada dua hal penting yang terkait dengan pendidikan perasaan manusia muda, yaitu (a) manusia dipanggil untuk hidup dalam kebenaran dan kasih; (b) setiap orang menemukan pemenuhan melalui pemberian diri yang tulus. Jadi mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi yang hidup. Yang terjadi, bukan hanya menciptakan hubungan yang mendalam, tetapi juga membuat orang tua dan anak ikut ambil bagian dalam kebenaran dan kasih. Orang tua dinantikan untuk memelihara, melindungi, menumbuhkembangkan dan membantu anak mencapai kedewasaannya. Dari sudut pandang di atas, menjadi jelas bahwa keluarga merupakan suatu ‘sekolah’ untuk memperkaya kemanusiaan. Keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya diperlukan komunikasi perasaan hati penuh kebaikan, kesepakatan suami istri, dan kerja sama orang tua yang tekun. Suatu bentuk awal dari komunikasi perasaan dalam keluarga dan masa kanak-kanak adalah permainan. Kementerian Pendidikan Finlandia menempatkan permainan secara sentral dalam seluruh sistem pendidikan, dengan dampak bahwa waktu untuk tatap muka dalam pelajaran guru dan murid dikurangi. Namun studi mereka menemukan bahwa dengan permainan, keleluasaan hidup murid mengembang pesat dan pada gilirannya mempertinggi kecerdasan mereka. Guru lebih berperan sebagai pendamping. Melalui pendampingan tersebut, anak dibina sedemikian rupa sehingga kalau mereka sudah dewasa, mereka mampu bertanggung jawab atas panggilan hidup mereka serta memilih status hidup mereka. Proses tersebut mengandaikan bahwa orang tua 90 Lih. Gravissimum Educationis, a. 7, yang menekankan pendidikan utuh sampai ke lubuk hati terdalam. 58 menyadari betapa pentingnya keluarga yg sungguh manusiawi secara utuh. Relasi orang tua dengan anak yang terjadi sepanjang hari, melampaui tanda-tanda indra, sampai ke lubuk hati yang paling dalam. Dengan cara itu, ‘pelayanan pendidikan’ orang tua meresapi seluruh kepribadian anak. Tanpa banyak mempelajari ilmu mendidik, kebanyakan orang tua membantu anak menuju kedewasaan isik, emosional, afektif, moral dan sosial, juga pembinaan akal budi. Proses itu ternyata mengandung juga pemberian kebebasan pada anak untuk mampu memilah dan memilih sendiri jalan guna berkembang91 dalam menyadari, menggali, menemukan dan membangun kemampuan serta sikap diri yang tepat, terhadap dirinya sendiri maupun bagi sesama. http://facebook.com/indonesiapustaka Dorongan kodrati orang tua untuk mendidik anak-anaknya membawa serta hak dan kewajiban untuk mendidik anak-anak yang bersifat (a) hakiki karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusia, dan (b) asal dan utama terhadap peran serta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orang tua dengan anak-anak. Selain itu, hak dan kewajiban tersebut (c) tidak tergantikan dan tidak dapat diambil alih, maka tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain. Setiap pendidikan harus dilandasi oleh cinta kasih92 karena tidak ada bagian hidup orang dewasa, yang Kasih dan Studi tidak dijiwai oleh cinta. Sejak awal mula, tiada tempat yang lebih baik bagi cinta kasih sejati selain daripada dalam rumah tangga. Keluarga dipersatukan dalam ikatan cinta kasih yang sejati dan pengabdian kepada kehidupan secara menyeluruh. Nantinya keluarga merupakan lingkungan pembinaan yang pertama dan paling mendasar bagi hidup sosial yang lebih luas. 91 Bdk. Bergmann, Wolfgang, Laßt eure Kinder in Ruhe! (München: Kösel, 2011), hlm. 7-80. 92 Bdk. Bergmann, Op.cit., hlm. 44-50. 59 Pendidikan dalam keluarga menjangkau melampaui keterbatasan sekolah dengan kelas-kelasnya. Sebab keluarga adalah suatu komunitas kehidupan, baik terungkap jelas maupun dengan pelbagai macam perlambangan. Dengan aneka bentuk, pendidikan dalam keluarga berbuah baik di dalam keluarga sendiri, maupun di luarnya. Dengan kata lain, pendidikan orang tua merupakan cara memperluas penyaluran hidup: dari yang isik (biologis), meresapi perasaan (afektif), mewujud dalam tindakan-tindakan, dan mengembang dalam aneka kreativitas selanjutnya. Kelanjutan buah kehidupan itu tidak senantiasa dapat dilihat segera, kadang diperlukan puluhan tahun dan beberapa generasi, sampai buahnya benar masak. http://facebook.com/indonesiapustaka Hal-hal mendesak dalam Pendidikan Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama, seorang manusia mengalami dunia. Dalam keluarga itulah penciptaan menjadi kenyataan, yang mulai dengan kesadaran tipis, namun berangsur-angsur menjadi lebih jelas. Pengalaman perdana seorang bayi adalah pengalaman ‘hadir di dunia’, yang belum bersifat personal tetapi masih nonpersonal. Darah dan udara adalah bagian dunia, yang secara nyata dialami seseorang pada kelahirannya. Namun sudah pada detik-detik pertama hidupnya di dunia, seorang anak menerima pendidikan dari ibunda bahwa dunia bukan hanya benda, yaitu udara dan darah, melainkan rekan manusia, yaitu ibundanya sendiri.93 Intersubjektivitas, relasi dengan subjek lain, sudah langsung dialaminya, ketika Ibu menunjukkan kasihnya dengan pelbagai macam cara (pelukan, ciuman, dan sebagainya). Hal itu dapat dilanjutkan oleh perilaku ayahanda dan anggota keluarga lain. Kontak kodrati, yang dipelajarinya, mulai dengan tidak banyak kesadaran, namun dalam waktu yang amat singkat, setiap anak mulai melatih kecerdasan natural dan interpersonal-nya, yang kelak akan 93 Bdk. Bergmann, Op.cit., hlm. 81-116. 60 berkembang lebih lanjut. Ia mulai dengan menyadari intersubjektivitas itu untuk dilanjutkan dengan pengetahuan sederhana mengenai lingkungannya. Demikianlah, tanpa banyak formalitas, pendidikan perdana berlangsung. Bapak dan ibunya akan melanjutkan pendidikan itu dengan pelbagai bentuk. Perhatian orang tua menjadi bentuk-bentuk pertama tantangan pendidikan seorang anak dalam kecerdasan kinestetiknya.94 Pada tahun berikutnya, anak itu dididik untuk mengembangkan kecerdasan linguistiknya secara sederhana. Kemudian aneka kecerdasan lain akan mengikuti proses didik orang tua. Dengan demikian menjadi jelas, betapa orang tua adalah pendidik perdana dan utama seorang manusia. Melalui proses tersebut, bayi lambat laun menyadari diri sebagai manusia dan tahu diri serta paham akan lingkungannya. Pada dasarnya orang tua mendidiknya untuk menjadi manusia yang lebih utuh. http://facebook.com/indonesiapustaka Pada langkah berikut, orang tua membantu manusia muda ini secara lebih sadar membangun interaksi dengan dunia dan sesamanya, bahkan berbuat sesuatu bersama orang lain serta bagi sesamanya. Dalam keluargalah relasi cinta kasih itu diwujudkan secara lebih sadar dan tertata; betapa pun keluarga itu Mendidik sederhana. Manusia muda belajar ikut serta mengemManusia bangkan suasana keluarga dengan kasih dan damai. Pemanusiaan dalam kemandirian dan kebersamaan itu adalah pendidikan dasar dalam hidup seseorang: mendahului segala jenis pendidikan yang dapat diberikan oleh sekolah formal mana pun. Bahkan, sekolah formal perlu melanjutkan dan mendukung dasar pendidikan yang telah dibangun dalam keluarga. Pendidikan dasar kekeluargaan itu merupakan bekal berharga bagi hidup setiap orang. Dalam intersubjektivitas itulah seseorang akan mendapat kemungkinan 94 Bdk. Gunarsa Op.cit., terutama hlm. 73-85. 61 untuk mengenal dunia yang lebih luas, namun tetap dalam suasana kekeluargaan. http://facebook.com/indonesiapustaka Pendidikan menata hidup bersama dapat melengkapi dan menyempurnakan pendidikan dasar yang telah kita bahas.95 Tata hidup bersama dapat saja berbentuk jadwal, disiplin, sopan santun, tata cara dan ritual yang beraneka warna. Dalam pelbagai praksis kebersamaan itulah seseorang memperoleh pendidikan baru, yaitu bahwa relasi intersubjektif memerlukan tenggang rasa dan saling memberi justru sebagai bentuk kepribadian manusia, bukan sebagai hal yang merugikan. Lambat laun, orang belajar untuk mengenal pergaulan secara metodis dan sistematis. Pendidikan lebih lanjut dapat diberikan kepada seseorang, baik dalam keluarga maupun di luarnya. Dalam pergaulan yang meluas itu, lewat pendidikan formal maupun nonformal, seorang manusia dibantu untuk hidup di tengah keluarga dan masyarakat, membentuk pandangannya sendiri, penguasaan perasaan dan penentuan langkah secara mandiri96. Membantu kemandirian anak dan arahan diri anak untuk pemecahan masalah adalah bagian pendidikan yang tetap dapat dilakukan oleh orang tua, langsung maupun tidak langsung, ketika dunia luar keluarga lebih diterjuni. Pendidikan orang tua dapat mengalami perkembangan, dalam arti berkurang secara isik dan lebih mendalam secara akal budi. Orang tua dapat mendampingi orang muda dalam memilah-milah masalah untuk kemudian memilih, manakah yang paling baik bagi diri dan keluarga serta sesamanya. Dalam proses itulah, ilmu dan keterampilan yang diperoleh dalam sekolah formal dan pergaulan nonformal memperkaya pendewasaan seseorang. 95 Lih. Rautenberg, Werner dan Rüdiger Rogoll, Werde, der du werden kannst (Freiburg im Breisgau: Herder, 2010), hlm. 11-30. 96 Lih. Rautenberg, Op.cit., hlm. 63-106. 62 Risiko Pendidikan Salah satu hal yang membedakan manusia dari tetumbuhan dan binatang adalah bahwa orang per orang dapat melakukan hal yang dikehendakinya. Ia tidak harus melakukan sesuatu hal mengikuti dorongan spontan kodrat atau hal yang persis sama dengan orang lain. Manusia mempunyai kehendak bebas. Pendidikan keluarga yang baik, dapat membantu orang untuk mengambil pendapat, perasaan atau langkah yang dianggapnya terbaik pada waktu tertentu. Kemampuan untuk membangun kehendak adalah potensi yang memampukan manusia untuk menjadikan segala tindakan dan buahnya merupakan buah kreativitasnya, bukan sekadar warisan atau akibat mekanisme kodrat. Dengan demikian, buah karya itu mempunyai sifat personal: berwarna amat pribadi97. http://facebook.com/indonesiapustaka Dari sisi lain, kemampuan itu dapat menghasilkan pikiran, perasaan, dan tindakan yang berbeda dari lingkungannya, dan tidak mustahil disebut aneh. Sifat itu dapat berarti terlalu halus atau kasar, terlalu rasional atau emosional, terlalu cepat atau lambat, terlalu kaku atau sembarangan, terlalu bebas atau diorganisasikan, dan sebagainya. Langkah seorang muda yang berbeda dari para leluhurnya juga dapat merupakan langkah inovatif, yang memperkaya diri, keluarga dan seluruh keluarganya. Pada lapisan ini, kita dapat berjumpa dengan pembaru dunia. Orang tua dipanggil untuk mendampingi agar generasi muda mampu menggunakan pikiran, perasaan dan gerak langkahnya secara bertanggung jawab sehingga keputusan yang diambil, baik bagi dirinya maupun sesama, sekaligus memperhatikan tradisi dan kreatif, mampu menyusuri kemungkinan-kemungkinan baru bertumpu pada bekal yang dimiliki. Kemampuan menjalankan discernment adalah bagian tidak terpisahkan untuk diupayakan dalam setiap pendidikan dari yang paling 97 Lih. Rautenberg, Op.cit., hlm. 237-287. 63 sederhana sampai yang paling canggih. Pendidikan orang tua membantu seseorang untuk memperhatikan sekeliling dalam mengambil keputusan untuk memilih pakaian, makanan atau minuman, bahkan untuk duduk dan berbaring atau memilih menutup atau membuka mata. Pendidikan Transenden http://facebook.com/indonesiapustaka Kemampuan untuk memadukan penyadaran makna masa silam, realisasi masa kini dan ide masa depan adalah sifat manusia yang mampu mengatasi realitas dirinya dengan situasi dan kondisinya. Manusia mampu men-transenden diri. Kemampuan mendeteksi benda di sekitarnya sejak kecil, mengenali nama benda dan menyebut individuindividu yang berkontak dengan seseorang adalah ungkapan transenden: orang dapat melampaui individualitas barang atau manusia sampai mendapatkan sebutan general dari hal-hal serupa: membedakan telur satu yang dipegangnya dari telur lain dengan sekaligus juga menemukan kesamaannya; menyebut warna hijau suatu daun singkong segar dan sekaligus juga menamakan daun singkong lain yang sudah cokelat karena kering. Bahasa adalah sarana-didik penting untuk membangun kesadaran dan pengetahuan tentang transenden manusia.98 Mengenali panas-dingin, manis-pahit, enak-sakit adalah bentuk lain kesadaran manusia akan kemampuan transendennya. Menyibukkan diri dengan boneka berikut nama-manisnya dan main rumah-rumahan dengan kakak serta pasar-pasaran adalah latihanlatihan transenden. Orang tua mengembangkan transenden generasi muda, ketika mengajari membaca, menulis dan berhitung. Sebab di dalamnya, manusia baru mengenali perluasan cakrawala bayangan dan perasaan serta pemikiran, yang jauh melampaui yang dilihat, sentuh, rasa dan pikirkan maupun lakukan sendiri. 98 Lih. Buetow, Op.cit., hlm. 96-134. 64 Pada gilirannya, pengenalan sesuatu ilmu, yang membawa transenden metodis dan sistematis atas suatu perkara, akan diperluas lagi dengan perjumpaan lintas-disiplin-ilmu. Cara berpikir ilmu sastra ditemukan oleh seorang murid Mendidik berlainan dengan cara berpikir ilmu kimia dan biologi Transenden atau matematika. Transenden dapat tumbuh lebih lanjut ketika seseorang berkenalan dengan ilsafat dan teologi. http://facebook.com/indonesiapustaka Dari sudut ilsafat, orang tua dapat mendidik orang muda untuk mendalami hakikat manusia: mengatasi segala gejala kemanusiaan harian.99 Proses pendidikan itu menolong orang untuk mengerti, bahwa dibalik ketaatan pada keharusan antre, menaati aturan lalu lintas, setia pada janji jual-beli, membayar pajak dan kesediaan menanggung hukuman pidana, tersimpan hakikat hidup bersama, kepentingan hidup bersama, makna kesetiaan dan juga hakikat hidup sosial, keadilan dan ‘bonum commune’, sampai dengan relasinya dengan alam-semesta. Dari penyadaran itu, pendidikan awal dalam keluarga sudah dapat mendidik orang untuk mengerti hakikat manusia dan sosialitas serta arti alam bagi dirinya. Pengenalan relasi personal dengan transenden tersebut dapat mendidik orang muda sampai pada lapisan moral dan iman, ketika orang tua memperkenalkan seseorang dengan syair mulia, ritus, dan doa. Dalam taraf itu, orang tua mempertemukan anak dengan Yang Adikodrati, ya Allah sendiri. Orang Tua Belajar mengerti Kodrat Anak Interaksi pendidikan antara orang tua dan anak membawa pendidikan sepanjang hidup kepada orang tua.100 Sebab proses99 Bdk. Sastrapratedja, M., SJ., Pendidikan sebagai Humanisasi (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2013), khususnya Bab 1. 100 Lih. Kelley, W. Michael, Rookie Teaching for Dummies (Hoboken: Willey Publishing, 2003), hlm. 217-236. 65 http://facebook.com/indonesiapustaka didik adalah dialog101; mungkin malah perjumpaan ’multi-subjek’, mengingat bahwa setiap keluarga merupakan komunitas yang majemuk. Kekhususan setiap pribadi, ya orang tua, ya anak, membawa serta pengalaman dan pengertian mengenai majemuknya pihak orang tua dan majemuknya proses didik. Orang tua yang masih muda juga belajar menangkap, betapa beranekanya kodrat pihak orang tua maupun anak satu per satu. Langkah demi langkah orang tua mengalami dan mengerti aneka sifat pasangannya dalam berinteraksi dengan anak serta pelbagai kepentingan psikologis relasi-relasi kekeluargaan. Langkah-langkah parenting102 melingkupi keperluan untuk ’menjadi orang tua yang terusmenerus belajar’: belajar mengenali medan didik dan mengenali partner didik serta setiap anaknya. Keterbukaan pada hal baru dalam setiap pribadi dalam proses didik akan membuat orang tua berpikir, melangkah secara bijaksana, dan penuh pengertian. Dengan sikap tersebut, orang tua belajar untuk mengetahui sikap apa anakku yang harus diambil untuk menghadapi berbagai macam Beraneka tingkah laku anak yang dinamis, mengatasi persoalan yang timbul antara orang tua dan anak. ’Parenting’ membuka banyak peluang untuk menemukan titik temu antara orang tua yang mengasuh anaknya, serta cara mendampingi anak dengan pengertian dan kasih sayang. Prosesnya sejak anak masih bayi; bahkan ada yang meneliti dan mengatakan sejak anak dalam kandungan. Jejak-jejak perlakuan (baca ’pendidikan’) orang tua sering kali terbawa sampai jauh ke usia lanjut. ’Pendidikan yang berwarna positif’ mendampingi seseorang sampai menjadi orang dewasa sehat, sedangkan ’pendidikan yang berwarna negatif’ memengaruhi orang menjadi penuh luka batin dan trauma yang dapat amat berat. 101 Bdk. Sastrapratedja Op.cit., khususnya Bab 2. Di sana juga ditelaah pelbagai teori pendidikan. 102 “Menjadi orang tua”, yakni suatu proses yang mengandung lapisan biologis, psikologis, budaya dan rohani. Pendalaman mengenai ‘menjadi orang tua’ merupakan hal yang dapat dilakukan melalui pendidikan khusus, tetapi sudah termaktub dalam naluri kodrati setiap orang tua. Bdk. Gunarsa, Op.cit., terutama hlm. 87-96. 66 Sesungguhnya, dalam proses mendidik, orang tua terus-menerus mendampingi seseorang untuk ’mendengarkan pesan orang lain’ dan sekaligus juga ’memilah untuk memilih pikiran, perasaan, dan tindakan yang diputuskannya sendiri’. Anak mempunyai kepribadiannya sendiri, yang dibantu oleh pendidikan orang tua agar mengintegrasikan ’kemampuan mendengarkan’ dengan ’kemampuan terbang mengejar cita-citanya sendiri, yang mungkin jauh melampaui orang tuanya’. ’Transenden voluntatif’ itu merupakan harta berharga bagi si pribadi dan seluruh keluarga serta masyarakat. Sesungguhnya, transenden voluntatif tersebut merupakan pengarah dasar untuk hasrat akan pendidikan yang berkesinambungan. Kalau proses ’mendengarkan’ adalah proses pertumbuhan manusia pada umumnya, maka ’parenting’ yang terdalam adalah mendampingi orang muda, untuk mampu ’mendengarkan transenden’.103 Dengan demikian, ’parenting sejati’ mengalihkan perhatian pribadi yang ’dididik’ dari dirinya kepada Dia, orang tua utama kita. http://facebook.com/indonesiapustaka Pendidikan Iman Sering kali orang menyamakan ‘pendidikan iman’ dengan mengolah ajaran agama dan pelaksanaan ketakwaan dalam mengerjakan tradisi keagamaan tertentu.104 Tidak sedikit yang menyamaratakan ‘pendidikan iman’ dengan ‘pelatihan menjalankan ritual keagamaan’. Tentu saja pelaksanaan ritual beragama merupakan bagian hidup beragama, namun hidup beragama jauh lebih luas dan mendalam daripada mempraktikkan ritus beragama, sebab di dalamnya tercakup 103 Angela Merici adalah pendidik Italia yang mendirikan Ordo Santa Ursula, yang ada di Indonesia, Italia, Perancis, Jerman, Austria, Kanada, USA, hailand, dan belasan negara lain melayani dunia pendidikan. Secara tepat, dalam nasihatnya yang pertama, Angela Merici mengorientasikan anak buahnya untuk menjadi ibu, yang mendorong anak-anaknya mengarahkan hidup kepada Tuhan. Ibu yang baik melaksanakan tugas ‘mengasuh’ ke arah ‘Orang Tua Perdana’, yakni Allah Sang Bapa Utama. 104 Lih. Buetow, Op.cit., hlm. 139-174. 67 http://facebook.com/indonesiapustaka doa pribadi yang mengungkapkan relasi batin manusia dengan Allah, termuat juga pengolahan batin secara rendah hati di hadapan Allah, perwujudan hidup bermoral yang menerjemahkan iman dalam perilaku bertanggung jawab orang ber-Tuhan (jangan sampai secara tersembunyi menyingkirkan Tuhan dan digantikan dengan nafsu kuasa pemuka agama). Sangat mungkin, bahwa pendidikan iman mencakup juga semuanya itu. Tetapi, kalau kita mencermati baik-baik proses didik antara orang tua dan anak sekitar ‘pendidikan tentang Allah’, lebih tepatlah kalau sejak dalam keluarga, pendidikan iman perlu menggapai ke perjumpaan seorang pribadi dengan Allah yang transenden, yang semakin lama semakin mesra. Relasi dengan Yang Mahaagung itu hanya mungkin terjadi, apabila sejak awal orang tua memberikan teladan bagi anak untuk secara positif dan rendah hati menghadap Tuhan.105 Artinya, misalnya menggantikan ancaman hukuman dengan janji kasih, mengubah lukisan malapetaka dengan aneka tanda cinta. Dengan demikian, anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kasih sayang yang transenden, diperkuat oleh kesetiaan melakukan latihan rohani terus-menerus secara positif, bukannya ancaman neraka atau hukuman. Dampak ancaman hukuman rohani dapat merambat tidak hanya pada terciptanya rasa takut anak selanjutnya, tetapi juga menciptakan gambaran Allah yang kejam dan haus akan penghukuman. Cara tersebut akan melahirkan generasi, yang kehilangan gambar Allah Yang Maharahim, menebalkan lukisan Tuhan pendendam, menyuburkan gambar neraka di mana-mana, memperalat Yang Mahakuasa sebagai sarana politis pemuka agama yang lapar kekerasan politis dengan menyalahgunakan agama sebagai senjata perebutan kekuasaan. Sebaliknya, semua agama nyatanya mewartakan Allah yang membagikan cinta dan perdamaian. 105 Bdk. Die bildende Kraft des Religionsunterrichts: Surat resmi uskup Katolik Jerman, 27 September 1996, terutama hlm. 21-25. 68 http://facebook.com/indonesiapustaka Cara tersebut dapat menciptakan rasa aman orang yang dididik dalam suasana positif demikian dapatlah Pendidikan Iman memandang hidup dari segi terang. Hidup dilihat sebagai karunia yang membawa kegembiraan. Ia akan menjadi seseorang dengan rasa aman masuk ke dunia, mendekati sesama dengan penuh harapan, serta menyongsong masa depan penuh harapan, karena mengimani bahwa Allah mendengar dan melihat segala jejak langkahnya. Orang seperti itu akan hidup dengan menyingkirkan rasa takut sehingga menjadi kreatif dalam pergaulan maupun pekerjaan. Pendidikan positif juga menciptakan generasi yang suka damai karena tidak dibebani oleh rasa curiga di mana pun. Keluarga dan masyarakat diliputi kehangatan karenanya. Di dalamnya, orang mudah menciptakan komunikasi yang baik dan terbuka, dengan dasar saling percaya. Secara amat dini, setiap murid perlu dibantu untuk tumbuh dan berkembang dalam belajar, dengan cara memandang secara positif pada dirinya sendiri, sesama dan alam semesta serta kepada Yang Mahaagung:106 jangan sampai dibiasakan anak merasa diancam oleh banyak hakim, -pada orang tua, sesama, pendidik-, bahkan Tuhan sendiri. Untuk pendidikan yang positif diperlukan beberapa cara berkomunikasi yang sungguh membuat semua peserta komunikasi merasa dapat menyampaikan perasaan atau pemikirannya secara bebas dan jelas.107 Suasana itu hanya mungkin terbentuk kalau yang bersangkutan tidak takut, curiga, hatinya merasa tertekan, atau pikirannya dipaksa. Terutama pihak ‘yang lebih tua atau berkuasa’ perlu memberi suasana terbuka dan membesarkan hati. Dalam pendidikan, orang yang lebih muda sesekali membutuhkan pujian yang tepat pada waktunya secara tulus. Namun, suatu peringatan yang tegas dengan penuh kasih sayang 106 Lih. Noorlaila, Iva, S.Pd., Panduan Lengkap Mengajar PAUD (Yogyakarta: Pinus, 2010), khususnya hlm. 77-92. 107 Lih. Naisaban, Ladislaus, Psikologi Jung (Jakarta: Grasindo), hlm. 77-89. 69 dapat pula menciptakan relasi yang membaik. Ketulusan terbit apabila disediakan waktu dan hati untuk menjadi dewasa secara sehat. Orang-orang dewasa dapat bersama belajar membangun persekutuan yang saling mendidik supaya cinta kasih mewujud tidak hanya sebagai simbol-simbol artistik, melainkan menjadi manusiamanusia dan persekutuan-persekutuan yang hidup, orang-orang yang berinteraksi dalam cinta dan optimisme. Cinta dan optimisme itulah yang terus-menerus membarui kemanusiaan. Dalam pembaruan tanpa henti itulah alam semesta tumbuh; dan manusia di dalamnya. http://facebook.com/indonesiapustaka Releksi 70 1. Dapatkah Anda ingat, peristiwa membahagiakan dalam perjalanan orang tua selama mendidik Anda? 2. Ingatlah peristiwa-peristiwa yang Anda nilai negatif ketika Anda mendidik orang yang lebih muda? 3. Apakah ada pribadi-pribadi lain yang Anda kenang sebagai salah satu pendidik yang memikat dalam pertumbuhan kepribadian Anda? 4. Apakah ada gejala-gejala dalam masyarakat sekarang yang menunjukkan kelemahan pendidikan keluarga? Lalu apakah ada yang memperlihatkan kekuatan baru dalam pendidikan keluarga? 5. Apakah ada gejala-gejala yang dapat disebut sebagai petunjuk adanya ‘paternalisme atau maternalisme’ dalam rangkaian pendidikan masyarakat kita? Sikap Didik Bila kau mencari pendidik, Carilah yang berisi dan bijak (Wedatama) http://facebook.com/indonesiapustaka Orang Tua di Awal Darno dan Darni108 masuk Jakarta penuh tekad walau tanpa bekal materiel yang memadai. Mereka meninggalkan ‘keluarga besar’ mereka di Gisting, Lampung karena bermimpi mempunyai cucu yang sehat dan bersemangat. Kepindahan mereka ke Jakarta membawa si Orok, Dita. Bayi, buah cinta mereka tidak amat gemuk, tetapi jelas sehat. Setiap hari, si ibu muda ini tanpa lelah melatih anaknya mengucapkan papa-papa dan mama-mama, sampai suatu ketika gadis kecil itu benar-benar menarik-narik baju ibunya dengan berseru ‘Mama’. Si ibu merasa diangkat ke surga. Darno tidak kalah rajin menuntun anaknya keluar masuk ‘rumah karton’ mereka. Mereka terkejut ketika suatu saat, di pagi hari perut si bapak diinjak anaknya. Bukannya marah, mereka senang sekali, karena anak mereka mulai belajar merangkak. Seterusnya, mereka mendidik Dita dengan menyodorkan bubur dan kemudian juga menyuapkan sendokan pisang. Setiap selesai makan, Dini diajari mengucapkan ‘terima kasih’ seraya mencium bapak-ibunya. Tidak banyak caranya, tetapi perlahan-lahan mereka menikmati dalam mendidik Dita menjadi anak yang sehat dan periang. Mereka menjadi 108 Dua nama ini biasa di kampung mereka. 71 ‘pelaku-didik’.109 Dalam pelaksanaannya, mereka mempunyai ‘sikap didik’ yang mereka telusuri dari kodrat mereka sebagai bapak-ibu. Sikap mereka hanyalah mau mengikuti gerak langkah anak, sejauh diperlukan mereka dapat mendorong anaknya maju sedikit demi sedikit, secara biologis, isik, psikologis dan mengembangkan perasaan, nalar dan kegiatan hariannya. Lebih dari itu, mereka tidak merasa mampu, walau di sekitarnya ada banyak orang yang dapat dimintai nasihat. Tentulah mereka sudah memikirkan sekolah, tempat anaknya dapat melanjutkan pendidikan. Sikap Didik http://facebook.com/indonesiapustaka Hampir setiap orang tua, seperti Darno dan Darni ingin bahwa anaknya menjadi orang baik. Ketika mereka menyerahkan anak ke sekolah maka keinginan utamanya adalah agar anak itu ‘menjadi orang’; mereka akan lebih bersyukur kalau anak itu menjadi pandai, apalagi kalau mudah mencari pekerjaan110. Namun sekali lagi pada akhirnya sekolah mau dipandang sebagai sarana oleh para orang tua agar seorang anak ‘menjadi manusia yang baik’ panggilan yang diembannya sejak bayi dilahirkan. Manusia dapat dilihat sampai ke segi hakikat-terdalam-nya, walaupun tentu saja dapat pula ditelaah dari sudut pengalaman hidupnya. Hidup manusia ditandai oleh pembawaannya, keluarganya, dan sejarah hidupnya yang pertama pada waktu ia masih kecil. Hal itu membedakan manusia dari hewan, ia secara tahu dan mau memilih untuk melangkah ke kiri atau ke kanan, menerima atau menolak makanan, segera tidur atau bangun. Itulah sebabnya orang menyebut manusia sebagai ‘animal 109 Arthur, James dan Richard Bailey, Schools and Community (London-New York: Falmer Press, 2000), hlm. 27, dst. 110 Bdk. Pudjohartono, Drs. homas Sugiarto, M.T. Penilaian untuk Apa dan untuk Siapa? dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 191. 72 rationale’. Ia dapat mengenali makanan dan minuman, mencintai si pemberi makan yakni ibu atau bapaknya, menikmati belaian sayang atau menolak makanan tertentu, dan sebagainya. Sejak kecil, seseorang belajar mengambil keputusan, sendiri maupun bersama orang lain. Sikap didik dikehendaki juga oleh mereka, yang mendirikan suatu persekutuan di Sumatra Barat pada tahun 1909 dan direvisi tahun 1926 serta kemudian mengambil nama ADABIAH. Muridnya kebanyakan muslim, tetapi waktu itu tersedia tempat didik bagi murid yang beragama lain. Mereka menawarkan kepada para orang tua murid, 5 pilar, yang menopang sekolah-sekolah mereka, yaitu: http://facebook.com/indonesiapustaka Ke-Islaman, Kebangsaan, Disiplin, Keprofesionalan, Kekeluargaan.111 Pilar-pilar ini dijaga baik-baik dan dianut hingga tahun 2016, ketika para guru berjumpa dengan pengasuh yayasan ini di Padang, pusat hidup mereka. Tampak sekali bahwa mereka berhasrat menjadi pendidik-pendidik yang bertanggung jawab: dari satu sisi menjunjung tinggi tradisi pendidikan Minangkabau, aneka Sikap dari sisi lain terbuka pada tuntutan ‘zaman baru’. Secara Didik profesional, mereka mempertimbangkan pelbagai sisi berharga dari masa silam dan masa kini serta masa depan.112 Berangsur-angsur mereka semakin mau tahu dan sadar akan kemauannya melangkah secara bertanggung jawab. Dalam pendirian 111 Lih. Keadabiahan, Padang: YSO Adabiah, 2013, hlm. 9 dst. 112 Asnan, Gusti dan Nopriyasman serta Syafrizal (Penyunting), Adabiah: Perintis Pendidikan Modern di Sumatra Barat (Padang: Penerbit Ombak, 2013). Dibahas dalam buku ini “Pendidikan mereka di masa silam” (Bab 2, 3, 4); Pendidikan mereka di masa kontemporer (Bab 5). Dalam penutup mereka membuka diri ke masa depan. 73 mereka itu, bergemalah pendirian banyak pendidik di seluruh dunia: dengan bertanggung jawab mendampingi para murid untuk menjadi manusia dewasa yang bijaksana. Semua pendidik bernalar sadar bahwa diperlukan waktu bertahun-tahun dan banyak tahap untuk membantu agar orang muda menjadi dewasa dan bijaksana. http://facebook.com/indonesiapustaka Jean Piaget (1896–1980), seorang pendidik, sudah lama membahas kemampuan manusia untuk menangkap kondisinya dan bahan-bahan pengambilan keputusan yang dibutuhkannya, sebagai unsur hidup yang merupakan bagian penting dalam pertumbuhan hidupnya. Ternyata di setiap tahap hidup, manusia menghadapi tantangan secara berlainan untuk memastikan dan mewujudkan kehendaknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak berlainan dengan cara didik remaja dan pemuda, apalagi pendampingan orang dewasa.113 Dari sisi ini pun, ada yang dilakukan secara individual maupun secara komunal. Apabila seseorang bersekolah dan memperluas lingkungan pergaulannya, maka sekolah dan lingkungan kawan-sebayanya memberi pengaruh besar pada pembentukan kepribadiannya.114 Kalau ia sudah bekerja, lingkungan dan jenis pekerjaan itulah yang memberi ciri mendalam pada hidup dan seluruh sikapnya. Akhir-akhir ini, teknologi merambah ke segala bidang studi dan jenis pekerjaan sehingga kemanusiaan berkembang. Namun dapat terbuka pula kemungkinan bahwa diam-diam manusia diajari dan belajar untuk sangat dikuasai oleh benda-benda dan sistem kerja yang sebenarnya diciptakan oleh manusia sendiri.115 Kalau demikian, orang semakin ditipiskan kemanusiaannya. 113 Dari studi itu dikembangkan secara khusus “Adult Education= Erwachsenen Bildung”: pendidikan orang dewasa yang memerlukan telaah khusus. Lihat: Piaget, J. (1935/1970). he origin of intelligence in the child. London: RKP. Piattelli-Palmarini, M. (red.). (1980) 114 Bdk. Adiyanti, Dr. M.G., M.S., Peran Lembaga Pendidikan Katolik dalam Membangun Kepekaan Emosi dan Sosial Anak dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 125-139. 115 Bdk. Ruwanto, Bambang, M.S. Sains dan Pendidikan Karakter dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 143-152. 74 http://facebook.com/indonesiapustaka Dari sisi profesinya, kalau tuntutan hidup pribadi dan hidup berkeluarga memberi desakan agar orang menyibuki pekerjaannya sedemikian sehingga memberi warna kuat pada dirinya maka manusia kerap kali dicekam hampir oleh seluruh profesinya. Maka, manusia membutuhkan sikap hidup dan sikap tepat terhadap peker jaan116 supaya ia tidak kehilangan kemanusiaannya dengan bekerja. Dalam profesi-nya itu ia seyogianya justru dibantu untuk menjadi semakin manusiawi. Tanggung jawab dalam hidup itu semakin tampak dalam orang yang mengambil profesi sebagai pendidik, karena ia secara sadar terus-menerus mempersiapkan diri dengan sistematis dan metodis supaya nantinya dapat berinteraksi dengan sesama, yang dibantunya untuk selangkah demi selangkah mengembangkan kemanusiaannya. Dengan demikian, jelas bahwa lingkup pendidikan sangatlah luas. Titik awalnya dimulai oleh interaksi manusia muda dengan orang tuanya: pendidik perdananya; dilanjutkan melalui tahap-tahap pendidikan lanjutan. Dalam lingkup-lingkup itu, perkembangan sikap etisnya mengambil tempat penting, baik secara perseorangan maupun dalam lingkup kebersamaan.117 Pelbagai pengalaman mengambil keputusan di dunia sekolah sangatlah dibantu oleh para pembimbing118. Dalam lembaga didik, perlahan-lahan orang muda dikondisikan untuk semakin mampu sendirian memperhitungkan banyak faktor dalam pengambilan keputusan. Sesudah masuk dunia kerja, orang kadang dikepung dan diresapi oleh banyak faktor, baik dari dirinya sendiri, keluarga, lingkungan kerja maupun masyarakat luas. Dari penyelenggara kerja, orang memperoleh banyak batasan untuk mengambil keputusan. 116 Bdk. Tjio, Dedy, S.Pd., Pendidikan Entrepreneurship di SMP Santa Ursula, Menjawab Kebutuhan Masyarakat Kota Bandung dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 267-276. 117 Pokok-pokok bahasan selanjutnya perlu menyentuh etika, profesi, pendidikan, pendidik, mengajar, manusia, hidup, dan sekolah. 118 Bdk. Priyani, Dra. M.J. Retno, M.Si., Peran Lembaga Pendidikan Katolik dalam Pendampingan Cura Personalis Murid dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit, hlm. 203-214. 75 Sementara itu, orang yang bertanggung jawab di tengah lingkungan kerja perlu menciptakan struktur kerja yang menyebabkan pemasaran produknya semakin membaik, tanpa terlampau digantungkan kepada perasaan dan situasi orang per orang. Pada gilirannya, pekerjaan dapat menciptakan situasi dan kondisi yang ‘mau tidak mau’ harus di-‘layani’ sehingga jadwal kerja dan sasaran kerja terpenuhi sebaik mungkin. ‘Paksaan program’ dapat menjadi sedemikian tinggi sehingga si manusia sebagai manusia dapat tertepikan.119 http://facebook.com/indonesiapustaka Dalam kerangka ini, perlulah seorang yang mengajar Sikap Etis mampu menghayati perannya secara etis. Kita tidak perlu masuk ke dalam pembahasan etika secara utuh, tetapi perlu mengenalinya demi kepentingan pengertian pendidikan. ‘Nemo dat quod non habet’ = Tidak seorang pun memberikan apa yang tidak dimilikinya, artinya di sini seorang guru hanya dapat memberikan pendidikan watak dan etika, apabila dia sendiri memiliki watak dan etika yang baik. Dengan etika, orang mau memahami baik dan buruknya perbuatan seseorang, yang bertindak sesuai dengan kemerdekaan batinnya. Dalam proses itu orang menggunakan akal budinya sehingga baik atau kurang baik tindakannya, sungguh dapat diputuskannya secara bebas dan rasional. Hanya dengan kondisi itulah keputusannya bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan, yang hendaknya juga sesuai dengan norma masyarakat yang dihayatinya. Dengan demikian etika sering disebut sebagai ilmu mengenai perilaku manusiawi, secara individu dalam 119 Kondisi masyarakat tersebut membuat para tamatan Lembaga Pendidikan disebut “menjadi Sumber Daya Manusia”: sebutan yang bermuatan masalah besar. Sebab, ‘manusia ini dididik dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab, tetapi hanya dipasang dalam struktur masyarakat sejajar dengan sumber daya alam’: kadang dikatakan bahwa ‘harta paling berharga dalam perusahaan’, tetapi rupanya sering kali memang tetap ‘sekadar harta’ sehingga apabila ada perkembangan, manusia ini kerap dikalahkan dalam otomatisasi perusahaan dan apabila perusahaan sudah berkembang, namun menghadapi masalah politik atau ekonomi, buruh juga yang paling cepat ditanggalkan. Dalam keprihatinan itulah, seorang Menteri Pendidikan pernah mengarahkan agar sekolah memperhatikan ‘link and match’ dengan perusahaan, artinya ‘mengabdi dunia ekonomi’ (bukannya ‘sebaliknya’). 76 http://facebook.com/indonesiapustaka kesatuan dengan komunitasnya. Baik buruknya tindakan seseorang sering dikatakan sekelompok orang, erat berkaitan dengan tujuannya. Dalam ungkapan Yunani dikatakan bahwa dengan demikian, orang yang bersangkutan menggunakan etika teleologis. Dengan demikian, suatu keputusan atau tindakan disebut baik, apabila dilakukan karena tujuannya baik. Namun juga ada orang-orang yang mengambil keputusan etis, bukan mengingat tujuannya (baik atau buruk), melainkan karena diwajibkan. Tindakan seperti itu menggunakan etika deontologis. Dengan demikian suatu tindakan baik karena sesuai dengan kewajiban. Etika profesi mau membantu sedemikian sehingga semua yang bersangkutan dapat menjadi semakin manusiawi karena nilai dasar kemanusiaan yang dikembangkan di situ. Etika perlu menjiwai lingkungan kerja seseorang yang berprofesi sebagai pendidik, meliputi dirinya sendiri, para rekan sekerja, para murid, siapa pun saja yang mendukung profesinya sebagai pendidik maupun segala pranata dan sarana kerja yang seharusnya membantu profesinya. Yang bertanggung jawab atas lingkungan kerja seperti itu di alam modern tidak hanya para guru sendiri, para pengurus yayasan atau pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan juga pengusaha dan pekerja, pemerintah dan semua yang tersangkut. Mereka semua adalah ‘pemangku kepentingan’ (stakeholder) pada orang-orang itulah persekolahan memercayakan manusia-manusia yang dididik. Hal itu berarti bahwa semua orang itu (termasuk petugas pemerintah) mempunyai tanggung jawab besar untuk menata hidup bersama supaya mencapai pembangunan seluruh manusia dan seluruh masyarakat. Baik buruknya tindakan mendidik, dapat dinilai dengan melihat, apakah sesuatu bertujuan baik atau sesuatu diwajibkan secara baik. Lalu pelbagai langkah didik membutuhkan tinjauan yang cermat, untuk dapat dinilai, apakah baik atau kurang baik. Tampaklah, bahwa baik atau buruknya etika pendidik bukan dihitung dari sertiikat dan tumpukan formulir yang berhasil diserahkannya ke Sekretariat Kementerian dan Kebudayaan, melainkan 77 dari kesesuaian tindakan mendidiknya dengan tujuan pendidikan dan kewajiban yang mendasari langkahnya. Dengan demikian, etika profesi pendidik sesungguhnya tidaklah hanya menyentuh guru dan orang-orang di sekolah, melainkan kalangan luas di ‘sekitar dunia persekolahan’120: cakrawala pendidikan yang hampir tanpa batas dan menuntut pertimbangan etis yang teliti. Sementara itu, profesi perlu dipahami dengan tepat. http://facebook.com/indonesiapustaka Profesi Saat ini, Indonesia sedang menapaki pangkal abad ke-21, yang akan semakin memperkayanya dengan aneka profesi, yaitu suatu jenis pekerjaan tetap di tengah masyarakatnya, yang dipilih orang untuk mengabdi sesama secara baik dan memenuhi kebutuhan manusiawinya serta disiapkan sepenuh hati121. Kita harus menyediakan diri, memilih dan menjalankan profesi itu dengan sadar dan bertanggung jawab, kalau mau hidup secara manusiawi dengan memanfaatkan hidup dan bakat serta waktu kita dengan sebaik mungkin. Apalagi kalau kita mau benar-benar berfungsi dalam keluarga, masyarakat dan jemaat. Melaksanakan profesi dengan baik, itu melampaui pelaksanaan praktis administratif, tetapi juga sampai pewarnaan etisnya: melampaui kepentingan-kepentingan ekonomis dan politisnya. Dalam memilih dan menjalankan profesi, kita dipanggil untuk mengaktualisasikan diri secara manusiawi dan mengambil peran positif dalam pembentukan kehidupan bersama seraya mengembangkan alam semesta. Panggilan itu menonjolkan pentingnya etika profesi. Sejauh ini tentulah jelas bahwa untuk pendalamannya diperlukan bantuan etika yang dalam arti luas mencakup seluruh norma dan pe120 Lihatlah alinea 1 di awal tulisan ini. 121 Bdk. Buku Koehn, Daryl “Landasan Etika Profesi” dalam daftar bacaan. 78 http://facebook.com/indonesiapustaka nilaian yang dipergunakan oleh suatu masyarakat guna menata anggotaanggotanya agar hidup sebagai pribadi maupun dalam kebersamaannya, bahkan dalam kaitannya dengan seluruh alam semesta122. Etika dapat membantu manusia mempertanggungjawabkan pandangan-pandangan moralnya. Dalam hal ini untuk menilai, cara kita memilih dan menjalankan profesi. Apalagi kalau pilihan kita masuk pada tindakan mendidik123, yang sudah kita catat mengandung banyak faktor dan kerangka tindakan serta lapisan penghayatannya. Dari sudut lain, profesi mempunyai banyak arti. Sesungguhnya profesi berasal dari bahasa Latin proProfesi fessio,- yang berakar pada pro-fateor. Kata kerja profateor berarti ‘berbicara dan mengakui di depan umum’. ‘Pengakuan di depan umum’ bermaksud menunjuk pada cara dan sikap orang untuk berbicara pada ‘publik’ yang dianggap sesuai dengan pengertian ‘publik’. Oleh sebab itu, profesi yang berkaitan dengan ‘janji publik’ sering dikaitkan dengan ‘pemahaman publik’. Dalam arti itu, profesi perlu dihargai sungguh: sebagai “suatu tekad batin dan tindakan bertanggung jawab, yang dijanjikan secara terbuka di depan umum, dengan Tuhan sebagai saksi”. Dalam konteks terakhir ini, sifat profesional bukan tercakup dalam pengertian teknis, melainkan ‘ungkapan tekad batin’. Oleh sebab itu, semua profesi mempunyai ‘pengertian yang diakui umum’ dengan aneka ‘ketentuannya’. Ketentuan itu dapat berhubungan dengan syarat: syarat sosial, syarat akademis maupun syarat moral. Seseorang disebut bersifat atau bersikap ‘profesional’, apabila sesuai dengan syarat sosial, syarat akademis maupun syarat moral.124 122 Bdk. Magniz Suseno, Frans, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius). 123 Salah satu bentuk etika yang penting bagi pendidikan adalah sifat edukatif justru tampak kalau orang tua, guru atau pendidik mana pun sesekali berani mengakui kekurangan dan memperbaikinya. Murid amat terbantu dengannya. Berbuat salah dan mengoreksinya adalah bagian dari dinamika pendidikan. Lih. Schmidbauer, Wolfgang, Wenn Helfer Fehler machen: Rowohlt, Reinek bei Hamburg, 1997, terutama Bab 22: “Ein Modell von Hilfe und Mißbrauch in Beziehungan”. 124 Bdk. Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998, hlm. 64 dst. Juga Olssen, Mark dan John Codd dan Anne- 79 http://facebook.com/indonesiapustaka Profesi ‘guru’ atau ‘pengajar’ tersebut terlaksana secara profesional apabila: a. Secara sosial sesuai dengan ketentuan sosial yang mengikuti adat lingkungannya. Dalam hal ini, relasi antara pengajar dengan orang tua murid, hubungan antara pengajar yang satu dengan pengajar yang lain, jejaring antara para pengajar yang lebih luas, pengaturan yang lebih luas lagi. Hanya kalau demikian, pengajar dapat diakui sebagai pendidik melalui pengajaran dan juga lewat kelembagaan persekolahan terangkai. b. Secara akademis perlu memiliki prasyarat akademik yang diselaraskan dengan lapisan pengajaran yang mengandaikan pendidikan keahlian tertentu. Pengandaian ini dapat berbentuk sertiikat atau ijazah, namun juga dapat dengan pengakuan sosial. Pemerintah yang bersangkutan dapat mempertegas bentuk-bentuk prasyarat akademis tertentu. Lisensi atau izin mengajar merupakan tanda dan sarana bagi pengakuan bahwa pengajarannya memenuhi syarat untuk menjadi pendidik, yang tepat asas dan tepat guna. c. Secara moral sesuai dengan interaksi sosial yang telah dipahami dalam pendidikan dan pengajaran. Pendidikan seseorang menuntut secara profesional dan pengetahuan moral setempat maupun perwujudannya dalam tingkah laku dan tindak didiknya. Prasyarat tersebut diperlukan secara etis, relasi didik dapat terjadi sesuai dengan tujuan pendidikan. Setiap lembaga didik mempunyai kewenangan untuk memastikan, agar seorang pengajar dipersilakan ambil bagian dalam proses didik di lingkungan didik yang bersangkutan. Ketentuan mengenai profesionalisme senantiasa menghendaki dievaluasi dalam setiap langkah didik dan periode didik demi profesi yang lebih mendalam. Sebab, dibalik ketiga syarat (sosial, akademis, dan moral) tersebut, tersimpan ‘nilai-nilai’ yang berkaitan dengan visi lembaga didik yang bersangkutan. Nilai-nilai itu terumus dalam ’visi 80 lembaga didik’ mana pun: Pancasila atau kerohanian tertentu. Dalam ‘visi resmi’ maupun dalam ‘misi’, suatu lembaga akan memusatkan segala perhatian, pemikiran, tindakan, dan pengorganisasiannya ke arah Pancasila. Segala strategi karya akan disesuaikan dengannya, baik dalam strategi perseorangan maupun secara komunitas. Evaluasi kelembagaan dirujukkan kepada Pancasila. Sikap guru dan pengorganisasian diakui bersifat profesional, perilakunya dinilai etis atau tidak juga tergantung dari visi dan misi tersebut. Dalam arti itulah, akhirnya profesi menemukan maknanya yang terdalam, yakni ‘pengakuan nilai’ (pro fateor dan profession) di depan umum, personal maupun struktural. http://facebook.com/indonesiapustaka Etika Profesi Dalam Kode Etik Profesi Kependidikan Amerika Serikat125, titik berat diletakkan pada relasi antara pengajar dengan murid dan dengan profesi. Penekanan pada kedua titik berat itu dapat dipahami. Di Indonesia, unsur masyarakat dan negara perlu diperhitungkan. Sebab, secara deskriptif atau empiris, kita dapat mencermati gejala-gejala dalam upaya manusia melaksanakan profesi, yang amat diperhatikan oleh kementerian maupun gejala-gejala proses memilih dan menjalankan profesi secara sedalam-dalamnya, dengan memeriksa tindakan memilih, menyiapkan dan melaksanakan profesi di tengah pelbagai kalangan masyarakat. Ada yang memilih menjadi guru karena cinta anak-anak, menjadi dokter karena cinta ingin menolong pasien, menjadi bidan demi ibu-ibu muda yang akan bersalin, atau pelaku politik untuk menggapai kekuasaan. Pencapaiannya ada yang lurus saja, tetapi ada juga yang melompati pagar budaya. Secara fenomenologis, kita dapat meneliti Marie O’Neil, Education Policy, Sage, London etc., 2004, terutama hlm. 186 dst. Juga bdk. Keith-Spiegel, Patricia, dkk., he Ethics of Teaching (Muncie: Ball State University, Indiana, 1993), khususnya hlm. 89-96. 125 Lih. Strike, Kenneth A. dan Jonas F. Soltis, he Ethics of Teaching (Columbia: Teachers College Press, 1985) (diterjemahkan oleh F. Sinaradi, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2003, hlm. xi-xiii). 81 kesadaran dan pengalaman orang dalam memilih dan menjalankan suatu profesi: nilai materi, ekonomis, politis, susilakah yang dominan? Selanjutnya, kita juga bisa menyusuri liku-liku aliran pendidikan untuk memperoleh kecakapan mendidik dan mempunyai sikap tepat dalam mendidik untuk dapat secara normatif bergerak, yaitu dengan kritis mempertanyakan pandangan-pandangan moral yang tersembunyi dalam tindakan kita memilih dan melaksanakan profesi serta berusaha untuk memastikan dasar-dasar moral aksi kita itu. Pendasaran etis tersebut dapat membantu berkaitan dengan ketekunan atau ketabahan melaksanakan profesi tertentu. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Dalam Negeri kerap kali menjadi penentu dalam pelaksanaan atau pelanggaran etika profesi yang nyata. http://facebook.com/indonesiapustaka Gejala yang kita amati dapat secara objektif memperhatikan halhal lahiriah dalam konteks orang menjalankan profesi: kemasan dan peralatan untuk menjalankan profesi; atau prosedur dan tata kerja profesi dilaksanakan; bisa pula tata kelola yang diperlukan agar profesi itu dapat berfungsi secara tepat guna, berdaya guna, dan akhirnya berhasil guna. Tata kelola yang diamati masih dalam lingkup intern suatu konteks kerja, dapat pula sampai ke luar lingkupnya: pada cakupan privat atau lingkup publik. Pengamatan itu dapat dilakukan secara informal saja atau dengan formal sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan, baik secara perorangan maupun secara sosial. Bila ditelaah lebih mendalam lagi, orang dapat saja mengikuti paham egoisme etis dalam memilih dan menjalankan suatu profesi. Menurut paham ini, orang tergerak untuk bertindak sesuai dengan kepentingan-kepentingan sendiri. Dengan egoisme etis, kepentingan masing-masing orang menjadi rujukan utama dalam memilih dan menjalankan profesi, sedangkan kepentingan orang lain hanya masuk perhitungan sejauh diperlukan demi kebahagiaan kita sendiri. 82 http://facebook.com/indonesiapustaka Ahli Ilmu Filsafat dari Jerman, yaitu Immanuel Kant mengatakan bahwa egoisme etis memang dapat dianggap sebagai suatu sikap etis walaupun tidak sepenuhnya mengatasi motivasi yang secara alamiah sudah ada pada manusia, sebagaimana ada dalam semua makhluk hidup, dari tumbuh-tumbuhan sampai kepada binatang yang paling tinggi tingkatnya, yaitu mencukupi kebutuhannya sendiri. Di sisi lain, adanya orang yang menganut egoisme etis menunjukkan adanya keyakinan bahwa manusia yang memperhatikan kepentingan diri sebenarnya tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh nafsu dan dorongan nalurinya, sebab ia sudah memiliki suatu kematangan mental dasar. Namun kerap dinilai para ahli bahwa egoisme etis tidak mencukupi untuk dipergunakan sebagai warna dasar dalam memilih dan menjalankan profesi; apalagi profesi pendidik. Sebab hidup manusia tidak hanya sendirian melainkan senantiasa dalam kaitan dengan sesama, entah dalam lingkup kecil (keluarga kecil), entah dalam lingkup besar (keluarga besar, kampung, negara, dunia). Apalagi profesi pendidik senantiasa mencakup hadirnya orang lain (sekurang-kurangnya si murid – dan keluarganya). Pewujudan profesi pendidik masih berjalinan dengan banyak pelaku-nilai dalam masyarakat yang amat luas cakupannya. Egoisme yang mewarnai pemilihan dan pelaksanaan profesi dapat disebabkan oleh sikap hedonistik, yaitu beranggapan bahwa hanya ada satu hal yang bernilai pada dirinya sendiri, ialah perasaan senang, nikmat dan kebebasan dari perasaan sakit. Maka, orang terdorong untuk selalu merengkuh perasaan nikmat sebanyak mungkin dan sedapat-dapatnya mencegah perasaan yang tidak enak. Ukuran baik atau buruknya suatu profesi dan baik atau buruknya seseorang menjalankan profesi diambil dari “terasa enak atau tidak enak”. Menurut mereka itu, dalam proses didik manusia sebetulnya hanya menginginkan dan mengajak murid mencari yang nikmat dan mengelak dari yang menyakiti, walaupun barangkali sering membicarakan aneka nilai dan motivasi, dari yang materialistik sampai yang religius. Namun, orang 83 dapat mengatakan dari pengalaman, bahwa walaupun keinginan akan kenikmatan itu memang kuat, toh (1) manusia terdorong mencari banyak hal, entah baik, netral atau buruk yang tanpa sangkut paut dengan hal nikmat, misalnya: kekuasaan, kesenangan berolahraga, pekerjaan yang melelahkan tetapi menimbulkan rasa pemenuhan diri, pengumpulan bendabenda berharga, rasa ingin tahu dan mengerti; http://facebook.com/indonesiapustaka (2) manusia dapat bersedia untuk berkurban, bahkan untuk mati demi tujuan-tujuan luhur. Dalam bangsa mana pun dan pada zaman mana pun, selalu dapat ditemukan para pahlawan yang rela mati bagi negaranya. Di zaman sekarang, banyak sekali orang yang menjadi relawan dalam bencana alam dan bergabung dengan Palang Merah. Di sana dapat ditemukan orang yang dipandang sebagai pahlawan hidup bersama; (3) manusia dapat mengejar nilai-nilai yang dialami sebagai paling tinggi, seperti keindahan, kebenaran, persahabatan, cinta kasih dan pengalaman akan Tuhan. Tidak sedikit orang melepaskan uang tak terbilang, untuk mendapat lukisan klasik dari seorang pelukis dunia; banyak yang memuji pemilik perusahaan besar, yang mau menyumbangkan uang untuk membiayai orang miskin atau pemberantasan suatu penyakit; tidak terbilang orang yang rela membayar tinggi untuk membelikan hadiah bagi seseorang yang dihormati atau dicintainya. Nilai-nilai terakhir ini justru akan hilang kalau dicari demi nikmatnya. Maka, hedonisme bukanlah pemandu terbaik untuk memilih dan menjalankan profesi. Akhir-akhir ini, egoisme dalam berprofesi sebenarnya dikatakan bertumpu juga pada sikap individualistik yaitu, pandangan bahwa masingmasing orang hendaknya mengembangkan diri dan bertindak sesuai dengan kepribadian, penilaian dan tanggung jawabnya sendiri, daripada ikut saja dengan arus massa. Maka, kebahagiaan dan perkembangan 84 masing-masing orang merupakan tujuan terakhir sedangkan masyarakat hanya sebagai sarana pencapaiannya; masyarakat tidak lebih dari jumlah masing-masing orang dan bukan suatu nilai sendiri; kebebasan masing-masing orang hanya dibatasi oleh hak semua orang lain atas kebebasan yang sama; sedangkan kewajiban individu terhadap masyarakat sendiri tidak diakui. Cara berpikir individualistik dapat membuat orang memilih dan menjalankan profesi, hanya selama dan sejauh menguntungkan diri, keluarga, atau kelompoknya; orang tidak mau berpikir mengenai orang lain dan kebutuhan bersama. Sikap tersebut pada dasarnya memanfaatkan murid untuk kepentingan ego si guru atau ego kelompok suatu lembaga didik. Namun, para pemikir tetap menemukan makna altruistik yang lebih mendalam dari segala keyakinan egoistik itu. http://facebook.com/indonesiapustaka Karena orang tidak mudah menggunakan etika egoistis sebagai pegangan dalam memilih dan menjalankan profesi secara bertanggung jawab, kadang kala orang terdorong untuk memilih dan menjalankan profesi dengan alasan-alasan yang sekadar pragmatis saja126. Di situ orang memilih dan menjalankan profesinya dengan motivasi hanya untuk membereskan masalah-masalah dan menghindari masalah. Sebab pegangan etisnya berbunyi: Manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga permasalahan hidup yang dialami dapat teratasi sebaik mungkin. Dalam rangkaian ini, kerap kali orang membiarkan diri tergoda untuk hanya sekadar mengatasi problem lahiriah dan jasmaniah saja. 126 Salah satu bentuk arus ini adalah arahan Menteri Pendidikan, Nugroho Notosusanto, yang mementingkan “sekolah harus melayani kebutuhan perusahaan-perusahaan” (supaya tamatan sekolah nantinya dapat pekerjaan). Pemikiran tersebut memberi kesan sangat menolong orang tua dan murid karena akan mempermudah pengisian lapangan kerja. Namun, kebijakan tersebut juga dapat menjerumuskan sekolah dan pendidikan pada sikap melemahkan pendidikan etika dan karakter; demi praktisnya instruksi. Kerap dilupakan ilmu-ilmu yang lebih mendasar dan pada jangka panjang akan menguatkan budaya Indonesia. Tidak hanya menciptakan buruh-buruh perusahaan, melainkan juga membangun generasi yang pandai berpikir dan mendalami intisari perkembangan ilmu sampai menghasilkan inovasi (akhirnya juga akan menguntungkan perusahaan mana pun). Politik jangka pendek dan ekonomi picik dapat merugikan, baik ekonomi makro maupun pendidikan kemanusiaan yang mendalam dan hakiki. 85 http://facebook.com/indonesiapustaka Padahal banyak ahli etika berpendapat bahwa manusia dipanggil untuk lebih positif dengan melampaui batas yang dangkal dalam hidup. Menurut Charles Sanders Peirce (1839-1914), misalnya, bukan penyelesaian masalah di permukaan, melainkan pemenuhan citacita tinggi yang memberi motivasi sejati kepada suatu masyarakat yang harus menjadi tujuan terakhir usaha seluruh masyarakat. 127 Sementara John Dewey (1859-1952), misalnya, merangkum juga di dalamnya: pertimbangan-pertimbangan kultural, kebatinan dan sosial kemasyarakatan128. Proses publik demokratis dipahami sebagai usaha bersama untuk memusyawarahkan pemecahan masalah sosial kemasyarakatan untuk bermufakat: dalam proses itu sering kali kepentingan beberapa pihak dan beberapa lapisan hidup perlu diperhitungkan. Dalam bahasa sehari-hari, sikap itu memuat ajakan agar kita tanpa banyak berteori, berusaha untuk melaksanakan citacita, seperti misalnya terimplikasikan dalam Pancasila, yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Kedalaman tersebut dapat menarik, walau sering kali orang kebanyakan berpikir hanya untuk jangka pendek. Padahal sesuatu dalam jangka pendek tampaknya menyelesaikan masalah, dapat saja justru sebetulnya menghambat masalah itu dalam kadarnya yang paling kental, misalnya membuang sampah di sembarang tempat itu praktis, tetapi menabur keburukan kota, yang akan menciptakan banyak masalah lain, yang mungkin bahkan lebih gawat. Mengekspor kayu dengan menebang pohon-pohon di hutan tampaknya saja membuahkan devisa cepat, namun dalam jangka panjang bahkan menerbitkan perusakan tanah yang lebih panjang efeknya. Menuruti arus fanatisme kerohanian memberi kesan bahwa cepat mengatasi 127 Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 Vol. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur W. Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931–1958); Vol. 1–6 edited by Charles Harteshorne and Paul Weiss, 1931–1935; Vol. 7–8 edited by Arthur W. Burks, 1958), terutama Vol. 2 Bagian Pembukaan. 128 Lihat bukunya Moral Principles in Education (Cambridge: he Riverside Press, Project Gutenberg, 1909). 86 krisis kerukunan beragama, namun dalam hitungan beberapa tahun kemudian justru membangkitkan penindasan di banyak tempat karena tidak mempunyai dasar pemersatu yang sungguh mendalam dari segi kerohanian. Meskipun begitu, situasi dapat sungguh-sungguh Realisme mencekam sehingga memunculkan sikap yang makin altruistik lama makin menguasai masyarakat, juga dalam memilih profesi tertentu maupun dalam menjalankannya. Sikap ini kelihatan saat banyaknya orang yang berpindah pekerjaan karena tawaran keuangan lebih baik. Prinsip kegunaan menyebabkan orang melakukan keputusan tertentu karena melihat bahwa hal yang dipilih memiliki lebih banyak kegunaan; alasan lain tidak terlalu diperhitungkan.129 http://facebook.com/indonesiapustaka Orang sering kali terdorong untuk melakukan langkah tertentu karena berpendapat bahwa setiap situasi adalah unik dan mempunyai tuntutan-tuntutannya yang khas sehingga menyisihkan pedoman abadi atau aturan tertentu, namun setiap kali harus diselesaikan oleh orang(-orang) yang sektarian. Dalam pendidikan, dengan interaksi intensif antara pendidik dan murid, diperlukan cakrawala nilai yang menolong pertimbangan bijak bagi semua yang tersangkut dalam proses didik. Lingkup cakrawala pendidikan menyeluruh diperlukan sampai ke prinsip moral dan transendental masyarakat. Prinsip moral Di lapangan nyata, pemilihan sikap tersebut dapat menjadi sedemikian sehingga orang bahkan memperhitungkan berlakunya prinsip-prinsip moral yang paling dasar. Dengan sikap itu, sebenarnya 129 ‘Utilitarisme’ ini kerap dimanfaatkan oleh banyak pihak atau partai demi mencapai tujuan (ingat teleologi) demi kepentingan yang bersifat jangka pendek. Padahal pendidikan sulit menunjukkan pemanfaatannya pada perencanaan jangka pendek. 87 http://facebook.com/indonesiapustaka orang sampai pada kemungkinan pembentukan kesepakatan bersama dan merujuk norma yang umum. Sebab orang mengandaikan prinsip dasar, yang berlaku bagi semua manusia. Bagi kebanyakan orang, pegangan ”hak-hak asasi manusia” berlaku dan orang dibawa kepada kerahiman perjuangan struktural dari hari ke hari melalui pegangan umum. Dalam rangka itu, ada orang yang mengikuti etika situasi moderat yang mengakui cinta kasih sebagai prinsip dasar, cukup menjadi pedoman untuk memutuskan, apa yang harus dilakukan masyarakat dalam situasi konkret. Orang-orang tersebut di atas tidak memperhatikan bahwa setiap situasi, memang kerap kali sungguh unik, namun senantiasa juga mengambil bagian dalam struktur-struktur alamiah dan sosial yang lebih umum. Maka diperlukan norma-norma umum juga. Etika situasi mengandung sebagian kebenaran bahwa pertimbangan-pertimbangan normatif teoritis tak pernah mencukupi untuk memastikan seratus persen kewajiban konkret seseorang. Karena itu, manusia selalu harus mengambil keputusan sesuai dengan suara hatinya. Namun, suara hati sendiri membutuhkan pengarahan dan untuk itu diperlukan norma-norma objektif, misalnya cinta kasih sehingga orang tidak dapat menggantungkan diri seutuhnya pada ‘situasi dan kondisi’. Namun menyebutkan cinta kasih sebagai prinsip dasar tidaklah mencukupi karena apabila cinta kasih berhadapan dengan seruanseruan aneka pihak yang saling bertentangan, diperlukan suatu prinsip lebih konkret untuk menentukan seruan mana yang wajib didahulukan. Dari sisi lain, hidup kita merupakan keseluruhan yang utuh maka pada akhirnya kita perlu mempunyai sikap dasar yang konsekuen dan konsisten, tanpa terombang-ambing terus-menerus oleh situasi dari luar. Mengikuti etika situasi secara total akan merusak keutuhan pribadi. Padahal justru kondisi itulah yang kerap kali menyangkut profesi pendidik.130 130 Mungkin karena itulah ada yang mendidik calon guru dengan mengajak mereka ‘mencintai keguruan sebagaimana mereka suka pada hobi’. 88 http://facebook.com/indonesiapustaka Banyak orang sampai kepada kesadaran bahwa nilai suatu tindakan, juga tindakan memilih dan menNilai jalankan suatu profesi, mengandung matra baik pribadi maupun sosial. Orang memilih dan menjalankan suatu profesi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri seraya memperhatikan dan bahkan sering kali juga untuk melayani kebutuhan orang lain, entah keluarga sendiri atau masyarakat umum. Bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, orang dapat menyadari, bahwa untuk memilih dan melaksanakan suatu profesi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti: 1. kewajiban-kewajiban dalam pelbagai lingkup kehidupan, misalnya dalam hubungan dengan permulaan kehidupan, masalah pengguguran isi kandungan dan etika seksual. Ini menjadi penting apabila orang membangun keluarga dan kalau seseorang menjadi perawat, dokter, ahli farmasi, pedagang obat dan alat medis, penyuluh kesehatan dan sebagainya. Dapat terjadi bahwa seseorang memang secara teknis dapat saja melakukan sesuatu tindakan (menggugurkan kandungan atau memberi obat tertentu), akan tetapi tidak mau melakukannya karena pertimbangan etis (tidak mau menghabisi nyawa makhluk hidup). Sikap etis semacam ini masih hidup pada awal orang menjalankan suatu profesi, tetapi dapat menjadi samar-samar atau tumpul, kalau orang sudah lebih terdesak oleh keinginan untuk mengumpulkan uang atau sukses secepat mungkin. Dalam proses tersebut, pengambilan keputusan merujuk pada kewajiban biologis pribadi, kewajiban lingkungan keilmuan, kewajiban organisasi. Kecuali itu, orang juga harus memperhatikan. 2. norma-norma etis yang berlaku dalam hubungan dengan satuansatuan kemasyarakatan yang berlembaga, seperti etika keluarga, etika politik, etika pelbagai profesi, etika pendidikan, wartawan, 89 bisnis dan sebagainya.131 Misalnya, orang seturut kebiasaan umum memberikan uang pelancar urusan, tetapi tidak mau melakukannya karena berpendapat bahwa etika politik menghendakinya bertindak bersih; orang dapat saja menyembunyikan kewajiban pajaknya, kalau licin mempermainkan angka-angka, tetapi tidak melakukannya karena sadar, bahwa etika bisnis menghendaki persaingan yang ’fair’. Orang dapat memperoleh uang banyak dari seorang politisi yang namanya bisa hancur karena berita tertentu, namun etika wartawan menghendaki bahwa pemberitaan tidak dipergunakan untuk memeras dan seterusnya. Ilmuwan dapat juga secara langsung melacurkan diri dengan mengebiri beberapa arah perkembangan ilmunya demi keuntungan keuangan atau perasaan. http://facebook.com/indonesiapustaka Ranah Publik Dalam perluasan cakrawala pendidikan, termasuk di sekitar pelembagaan pendidikan melalui sekolah sampai universitas, perlulah ditelaah salah satu bagian hidup berprofesi yang sulit, yaitu etika politik, yang sering kali memengaruhi tindakan mendidik, khususnya sehubungan dengan formalisme pelembagaannya. Keruwetan ini meningkat ketika negara, dengan perkembangan politis, ekonomis, dan teknik serta sifat interdisipliner ilmu, banyak sekali menerapkan segi-segi yang merangsang dehumanisasi relasi didik. Dalam etika politik, orang memperhatikan norma-norma etis, perilaku pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok dalam dan melalui lembaga-lembaga kenegaraan, yang menyangkut kepentingan banyak golongan, yang sering kali ber’jarak-etis’ amat jauh satu dari yang lain. Jarak tersebut dapat juga diperjauh, ketika unsur iman dan agama masuk, sebagaimana sejak awal 131 Bdk. Hadisiswoyo, Martinus, SJ., Pembinaan Spiritualitas: Dampaknya bagi Pendidik dan Peserta Didik dalam Suparno, Paul, dkk., Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2017), Op.cit., hlm. 115-124. 90 http://facebook.com/indonesiapustaka sering kali memengaruhi langkah politis Indonesia. Pokok bahasannya adalah legitimasi etis kekuasaan negara berhadapan dengan tempat hukum agama dalam pergaulan politis132, dalam suatu komunitas majemuk. Dewasa ini orang semakin sepakat tentang hal-hal berikut: 1. Negara seharusnya berwujud demokrasi dan bukan negara otoriter; jadi bahwa kekuasaan negara dijalankan di bawah kontrol nyata rakyat dan tidak dimonopoli oleh seseorang (diktator), sekelompok orang (oligarki), sebuah partai pengemban ideologi negara atau oleh angkatan bersenjata. Sekaligus, sejumlah orang yang dipilih rakyat untuk menciptakan tata hidup bersama, begitu terpilih ditugasi untuk menghasilkan dan mengontrol agar pranata kenegaraan sungguh ditempatkan di atas segala kepentingan kelompok (ter masuk partai) dan perseorangan. Dalam pelaksanaannya, prinsip subsidiaritas perlu juga diperhatikan, misalnya pemerintah atau pengurus pusat tidak mengurusi pelbagai hal yang dapat diselesaikan oleh lingkup yang langsung mengurusinya. Sementara pemerintah pusat tetap melayani segala segi kepentingan seluruh rakyat, terutama yang berkaitan dengan sila-sila dasar negara. 2. Bahwa negara harus berwujud negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Negara hukum menuntut adanya penegakan hukum, yang berdaya guna sehingga memerlukan sarana-sarana penegakan hukum nyata. Penegakan hukum yang praktis dapat saja bergesekan dengan kepentingan iman dan agama, yang juga menuntut penegakannya. Pelaksanaannya memerlukan kepastian hukum yang berwujud demi kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat. Dalam kerangka itu, perlulah dijaga, jangan sampai ada kelompok atau perseorangan, yang merasa atau ditempatkan di atas hukum. Dalam perwujudannya, prinsip solidaritas berlaku bersamaan dengan prinsip kejujuran dan keadilan. 132 Seluruh peristiwa tahun 2016 dan 2017 di Indonesia berkisar pada gesekan-gesekan tersebut. 91 http://facebook.com/indonesiapustaka 3. Bahwa hukum harus menjamin hak-hak asasi manusia dan bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam tatanan masyarakat. Kita sudah mengintegrasikan hak asasi manusia dalam UUD 1945.133 Namun dalam kenyataannya, kepentingan politik seseorang atau sekelompok kecil orang dapat menghambat penegakan hak asasi manusia bagi seluruh rakyat. Prinsip kesetaraan dapat melancarkan pelaksanaan hak asasi manusia. Kesetaraan yang dimaksudkan di sini berlaku untuk segala lapisan kemanusiaan dari sudut yang paling teknis, budaya dan kerohanian. Perlu dihindari adanya kelompok yang dengan alasan apa pun bertindak bagaikan polisi di luar kelembagaan kepolisian. 4. Bahwa tujuan negara bukanlah kekuasaannya sendiri melainkan penciptaan prasarana-prasarana bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Kesejahteraan masyarakat sering dirumuskan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang mewujud dalam kebaikan segenap rakyat. Dalam hal ini, prinsip kedaulatan rakyat sudah lama merupakan pedoman di banyak negara. Pewujudannya perlu mengatasi segala kedaulatan kelompok, baik suku, partai maupun keyakinan iman. Kemajemukan semakin mencolok di dunia ini. Namun perlu diwaspadai agar dinamika pengambilan keputusan dalam dewan mana pun senantiasa menjaga persatuan dalam kebhinekaan. Oleh karena itu, dalam tugas etika politik selalu mempertanyakan kembali nilai-nilai dan kaidah-kaidah etis yang mendasari penetapan tujuan-tujuan politik konkret seperti keadilan, kesejahteraan, perdamaian, kebebasan, kemakmuran, kesamaan, toleransi, kemanusiaan dan kepentingan nasional, dan untuk menganalisis ideologi-ideologi politik secara kritis. Dalam hal ini, keterbukaan bermusyawarah merupakan nilai penting. 133 Bdk. Murniati, Dra., dkk., Pancasila (Jakarta: Gramedia, 1993), terutama Bab II. 92 Dari keseluruhan tinjauan sampai sekarang menjadi jelas, bahwa segala pilihan dan pelaksanaan profesi menghendaki pertang gungjawaban yang etis. Pertanggungjawaban etis mengandaikan pengakuan bahwa ada norma-norma etis yang berlaku secara umum, yang pelaksanaannya perlu memperhatikan kepentingan si pribadi, sesama manusianya dan bahkan dinamika alam semesta, bahkan sampai kepada norma-norma yang mengikat manusia karena kepercayaannya. http://facebook.com/indonesiapustaka Pertanyaan yang muncul adalah manakah norma-norma moral yang sebenarnya dan apakah dasar keberlakuannya? Etika normatif biasa bertugas menentukan prinsip-prinsip akhir yang mendasari semua norma etis. Dalam penentuan itu, irrasionalisme menolak kemungkinan adanya prinsip-prinsip yang mendasari semua norma etis, dengan alasan, bahwa hal itu tidak masuk akal. Emotivisme menyerahkan norma terakhir pada ”perasaan manusia”, sedangkan relativisme menolaknya karena berpendapat bahwa segalanya itu relatif dan tidak ada yang mutlak berlaku untuk siapa saja dan di mana saja serta kapan saja. Adapun etika situasi sudah kita lihat sebagai aliran yang membiarkan segalanya berjalan sesuai dengan perkembangan situasi saja. Etika demikian hanya akan menunda penyelesaian masalah dan tidak menyajikan penyelesaian yang mantap. Bagi mereka yang aktif di kalangan pendidikan, sulit menerima etika situasi, relativisme, emotivisme maupun irrasionalisme, yang semuanya meminimalisasikan peran interaksi pendidikan secara melembaga dan memanfaatkan akal budi serta sikap yang dapat diandalkan bagi lembaga didik tertentu. Prinsip dasar etika teonom134 dan teologis adalah kehendak Allah sehingga aliran ini berpendapat bahwa prinsip akhir etika adalah kehendak Tuhan. Namun masalah posisi ini ialah apakah sesuatu itu baik karena diperintahkan Allah atau diperintahkan Allah karena baik? Pencampurannya dengan hukum keagamaan dapat mempersulit 134 Dalam bahasa Yunani, theos: Allah dan nomos: hukum. 93 proses didik di suatu masyarakat majemuk, bila pelaksanaannya tidak diterjemahkan dalam etika profesi yang memakai bahasa ’umum’. Dalam sejarah diperoleh pencerahan, bisikan Roh Allah tidak menghancurkan kodrat, melainkan meneguhkan dan mencerahkannya. Penyebabnya karena Allah tidak mungkin bertentangan dengan karunianya sendiri dalam manusia yang dicintai-Nya. Dalam etika normatif yang penting untuk ilsafat pendidikan, perlulah diperhatikan etika-etika deontologis dan eulogis.135 Menurut yang pertama, norma-norma moral berdasarkan prinsip-prinsip moral yang baik pada dirinya sendiri. Sedangkan menurut yang kedua, betul atau salahnya suatu tindakan dalam arti moral tergantung dari apakah tujuannya baik atau buruk. Dalam hal ini, egoisme etis sudah kita lihat sebagai aliran yang hanya memperhatikan akibat-akibat tindakan bagi si pelaku sendiri (hedonisme etis dan eudemonisme) sedangkan utilitarisme menuntut agar kesejahteraan berguna bagi sebanyak-banyaknya orang yang menjadi tujuan tindakan moral. Banyak ahli etika berpendapat bahwa suatu teori etika normatif dalam dunia pendidikan perlu bersifat deontologis, tetapi juga memuat kegunaan tindakan itu. http://facebook.com/indonesiapustaka Etika Pendidik Bagi etika pendidik profesional yang mencakup seluruh proses didik, hal itu berarti bahwa suatu profesi dipilih dan dijalankan karena berguna dan sekaligus karena diam bil berdasarkan prinsip-prinsip moral yang benar, pada lingkup pribadi maupun pada lingkup kebersamaan manusiawi, serta dapat dilaksanakan secara edukatif. Dengan kata lain taat asas, berdaya guna, dan berhasil guna. Kerap kali orang perseorangan ingin dan bersedia saja untuk memilih dan melaksanakan pekerjaan secara etis, akan tetapi lingkungan pekerjaan mempersulit kehendak baik itu. Orang dapat saja 135 Peters, R.S., Ethics and Education (London: George Allen & Unwin Ltd., 1966), hlm. 333. 94 http://facebook.com/indonesiapustaka dikondisikan sedemikian sehingga seluruh waktunya dimakan oleh pekerjaan atau dia di-’kondisikan’ untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan suara hatinya (berpartisipasi dalam penjualan obat bius dengan berkedok perdagangan obat-obat medis) atau orang diajak untuk ikut dalam korupsi secara tidak langsung atau ikut menindas rakyat kecil dan seterusnya. Oleh sebab itu, masyarakat majemuk seperti negara kita memerlukan etika profesi struktural.136 Etika profesi menuntut pemilik lembaga seperti yang disebut di atas atau pemerintah, menyediakan pranata dan struktur sedemikian, agar: a. Si manusia memiliki kemampuan, keterampilan, dan kepercayaan diri yang memadai untuk menangani profesinya secara bertanggung jawab. Kekuatan orang merupakan dasar untuk segala usaha. Memang aneka peralatan semakin canggih, namun pengambil keputusan inal dan terdalam tetap di tangan manusia. Dalam hal ini tidak seyogianya kalau manusia diperlakukan sebagai ‘sumber-daya’, walau dengan tambahan istilah menjadi ‘sumber daya manusia’. Di situ diharapkan bahwa martabat manusia tidak diturunkan menjadi alat untuk sesuatu yang lain. b. Manusia mampu dan mau bekerja sama dengan penuh kepercayaan. Kebutuhan ini lebih mencolok karena sekarang ini banyak hal harus diorganisasikan secara ketat, dengan bagan yang jelas dan dengan peraturan yang tegas. Saling percaya menjadi dasar pembangunan kerja sama yang tulus. Kreativitas dan spontanitas sulit dimunculkan dalam pabrik atau kantor atau organisasi besar. Namun, suatu usaha bersama hanya mungkin langgeng apabila ada kerja sama yang saling percaya. c. Si manusia dapat menjalin kontak yang efektif, di dalam maupun di luar pekerjaan. Keperluan ini semakin membesar karena kini banyak hal dilaksanakan secara massal. Bahkan jemaah pun menjadi 136 Peters, Op.cit., terutama bagian 2. 95 massal. Segi afektif dapat menderita sekali karenanya sehingga si manusia sebagai manusia kehilangan keseimbangan. Tanpa segi afektif, tidak ada hidup sosial yang berlangsung langgeng. http://facebook.com/indonesiapustaka d. Si manusia bisa merasakan kepribadiannya karena diperlakukan sebagai pribadi karena dalam pabrik dan kantor serta perkumpulan mungkin sekarang ia lebih dipandang sebagai bagian dari proses produksi atau salah satu unsur organisasi atau salah satu warga bernomor tertentu. Tanpa diakui sebagai pribadi, tidak ada orang yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Salah satu wujud perlakuan manusiawi yang harus didorong oleh etika profesi agar terjadi dalam lingkup Mendidik adil struktural adalah terciptanya pranata dan tatanan kerja yang adil.137 Keadilan merupakan suatu keutamaan yang dimiliki oleh pribadi manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan dalam suatu keadaan struktural kemasyarakatan. Dalam penyusunan maupun penegakannya diperlukan agar keadilan dipenuhi. Dalam sejarah, keadilan dipahami sebagai tatanan masyarakat yang semestinya untuk daerah, yang dimana-mana bersifat majemuk. Inti tuntutannya ialah agar kepada siapa saja diberikan apa yang menjadi haknya138. Dasar keadilan adalah paham kesetaraan hakiki antara semua makhluk berakal budi sehingga diberikan sikap hormat terhadap hak-hak setiap orang. Biasanya orang membedakan antara keadilan komutatif, yaitu keadilan dalam transaksi tukar-menukar, keadilan legal, yakni keadilan di hadapan hukum dan peraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat demi kesejahteraan umum, serta keadilan distributif yang menuntut agar pemerintah dan pemimpin memperlakukan anggotanya secara sama. Sementara itu masih ada keadilan penal yang menuntut agar hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dihukum. 137 Peters, Op.Cit., khususnya bagian 3. 138 Dalam bahasa Latin dikatakan suum cuique. 96 http://facebook.com/indonesiapustaka Orang dapat juga membedakan keadilan, apakah pelaksanaan keadilan tergantung dari kehendak individual atau dari struktur proses-proses dalam masyarakat yang dibedakan antara keadilan individual dan keadilan sosial. Kekhasan keadilan sebagai prinsip dasar moral terletak dalam kenyataan bahwa dengan prinsip kebaikan hati, tolok ukurnya bukanlah maksud baik si pelaku, melainkan hak orang lain. Dalam tindakan adil, otonomi, kebebasan, dan integritas setiap pribadi dihormati. Sebab, bukanlah rasa simpati dan kasih sayang, melainkan kesanggupan untuk menghormati hak orang lain yang menunjukkan kemanusiaan orang. Dalam rangka pembicaraan tentang keadilan, bangsa kita sejak lama telah mengenal gagasan keadilan sosial. Tujuannya mau menghargai seluruh rakyat secara adil. Namun, keadilan sosial yang dalam Pancasila ditambahkan ’bagi seluruh rakyat’, termuat hasrat untuk memberi perhatian kepada semua bagian bangsa yang paling lemah. Dalam hal ini, pelaksanaan keadilan sosial tidak hanya tergantung dari kemauan orang-orang yang langsung terlibat dalam suatu situasi (”keadilan individual”), melainkan juga dari proses-proses politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ideologis yang menentukan kehidupan masyarakat. Maka, keadilan sosial menuntut agar proses-proses tersebut dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi terus-menerus, sedemikian rupa sehingga setiap anggota dan kelompok dalam masyarakat dapat memperoleh apa yang menjadi haknya dan mendapat bagian yang wajar dari harta kekayaan masyarakat sebagai keseluruhan. Keadilan sosial tercipta apabila hak semua pihak dihormati, apabila kekayaan bersama masyarakat dibagi sedemikian rupa sehingga semua anggotanya dapat hidup dengan wajar dan sejahtera serta perbedaan-perbedaan dalam tingkat pendapatan tidak dibiarkan menjadi terlalu besar. Minimum harus diusahakan bahwa setiap anggota masyarakat bebas dari kemiskinan dan dari ketergantungan yang menjadikan mereka korban dari pelbagai pemerkosaan terhadap hak-hak mereka. Tanda paling jelas ketidak-adilan sosial adalah apabila pendapatan golongan 97 masyarakat yang sudah kaya terus-menerus naik sedangkan golongan dengan pendapatan paling bawah tidak berhasil untuk ke luar dari kemiskinan. Apabila sebagian anggota masyarakat dapat menguasai suatu pendapatan yang puluhan sampai seratus kali lebih besar dari golongan masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah. Tanggung jawab untuk menciptakan keadilan sosial terletak pada semua pihak yang dapat memengaruhi struktur-struktur kehidupan masyarakat, terutama pada negara. Keadilan sosial memberi perhatian istimewa kepada bagian bangsa yang paling rapuh karena mereka itu paling lemah dalam memperjuangkan keadilan, pengakuan hak yang sama perlu dilengkapi dengan pemihakan struktural dari masyarakat. Tanggung Jawab http://facebook.com/indonesiapustaka Terutama melalui keadilan sosial menjadi jelas bahwa etika profesi menyangkut kewajiban kita terhadap sesama, di samping hak kita untuk menciptakan masa depan pribadi yang cemerlang. Pembicaraan itu mengandaikan kerelaan kita juga untuk secara mandiri mengambil keputusan: bukan hanya dipaksa keadaan lalu memilih dan menjalankan suatu profesi. Di situ diakui bahwa kebebasan ada secara hakiki dalam etika. Kita semua sadar bahwa manusia tidak berkembang secara otomatis menurut hukum alam, melainkan tumbuh setapak demi setapak. Di hadapan setiap orang terhampar dunia luas yang menyediakan pilihan tak berhingga. Oleh sebab itu, manusia sering kali dapat menentukan sendiri sikap dan tindakan mana yang mau diambil. Kesadaran itulah yang disebut kebebasan. Dari segi diri sendiri, kebebasan berarti kemampuan untuk menentukan sikap dan tindakannya sendiri (”kebebasan eksistensial”). Kebebasan eksistensial itu merupakan ungkapan tertinggi martabat manusia. Sebab dalam ’menentukan pilihan’ itu, manusia dapat mengatasi naluri dan kodrat kaku memutuskan sikap 98 untuk sesuatu dalam relasi dengan orang lain. Maka, manusia merasa paling dihina apabila ia diperkosa. Pelaksanaan kebebasan mengandung beberapa matra, yaitu: matra isik, untuk menggerakkan badan (kebebasan jasmani atau isik), matra rasional untuk berpikir, menilai, dan menghendaki sesuatu (kebebasan kehendak atau psikis), dan matra voluntatif untuk menentukan sendiri sikap atau tindakan mana yang mau diambil (kebebasan moral). Kalau kebebasan isik dapat dibatasi oleh paksaan maka kebebasan rasional hanya dapat dibatasi secara tidak langsung melalui tekanan atau manipulasi pemikiran; kebebasan moral dibatasi oleh adanya kewajiban atau larangan. http://facebook.com/indonesiapustaka Di hadapan masyarakat, manusia disebut bebas apabila kemungkinan-kemungkinannya untuk bersikap atau bertindak tidak dibatasi oleh paksaan, tekanan, dan kewajiban atau larangan (”kebebasan sosial”). Kebebasan sosial merupakan ruang bagi perkembangan kebebasan eksistensial. Manusia merupakan makhluk sosial, maka keBebas bebasannya menemukan wujudnya yang khas dalam Bertanggung jawab keterarahan pada manusia lain. Kebebasan eksistensial mencapai puncaknya dalam sikap bertanggung jawab: berhadapan dengan pilihan antara pengambilan sikap yang disadari karena bernilai tinggi atau wajib di satu pihak dan sikap menyerah terhadap rasa malas, takut, emosi atau dorongan irasional lain, ia sanggup untuk memilih yang tepat. Sedangkan menolak untuk bertanggung jawab berarti membiarkan diri ditentukan oleh dorongandorongan dan emosi-emosi yang tidak dipertanggungjawabkan, dan dengan demikian membuat manusia semakin tidak kuat untuk menentukan dirinya sendiri. Masyarakat berhak membatasi kebebasan sosial anggota-anggotanya untuk menjamin agar semua anggota menikmati kebebasan yang sama luasnya, dan demi kepentingan bersama. Tetapi, pembatasan itu harus dipertanggungjawabkan dan 99 hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berwenang dan dalam wilayah wewenangnya. Pembatasan itu harus dijalankan secara normatif, melalui kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan. Pemaksaan isik hanya dapat dibenarkan sejauh perlu bagi orang tua terhadap anaknya yang belum cukup dewasa dan bagi negara untuk memastikan keberlakuan hukum. Manipulasi psikis dalam bentuk dan demi tujuan apa pun dan oleh pihak mana pun tidak pernah dapat dibenarkan karena merupakan campur tangan dalam keutuhan manusia sebagai pribadi dan oleh karena itu secara hakiki bertentangan dengan martabat manusia. http://facebook.com/indonesiapustaka Adanya kebebasan eksistensial disangkal oleh determinisme isikalis yang mengatakan bahwa manusia seluruhnya ditentukan oleh hukum alam, determinisme psikologis yang mengatakan bahwa manusia ditentukan oleh mekanisme psikis, dan determinisme sosiologis atau ekonomis yang berpendapat bahwa manusia ditentukan oleh peranan sosialnya atau kepentingan-kepentingan kelasnya. Determinisme mencampuradukkan dua hal: kerangka acuan kebebasan, yaitu manusia yang memang pasti dan menentukan ruang gerak kebebasan, dengan kebebasan itu sendiri sebagai kemampuan manusia untuk mengambil sikap terhadap kerangka acuan tersebut. Adanya kemampuan itu merupakan kesadaran langsung dan oleh karena itu tidak dapat disangkal. Apabila kesadaran itu ternyata tidak sesuai dengan suatu teori, maka bukan kesadaran yang harus diubah (itu tidak mungkin) melainkan teori itu. Dalam kerangka memilih dan menjalankan suatu profesi secara optimal, orang kerap kali merujuk pada keinginan semua manusia untuk bahagia dan membahagiakan orang yang dicintainya. Kebahagiaan tidak dapat disamaratakan dengan rasa senang. Ada orang yang tetap bahagia, walaupun sedang merasakan sedih atau sakit, bahagia mengambil tempat dalam hidup manusia. Apalagi kalau disadari bahwa kesedihan yang dialami ternyata berkaitan dengan orang yang dicintai, misalnya karena mendampingi sakit atau kematiannya. Bahkan, orang dapat 100 memperoleh kebahagiaan justru dalam duka derita yang ditanggung demi kebaikan orang yang dicintainya. Kebahagiaan yang diperolehnya dapat justru berlipat ganda. Oleh sebab itu, perlulah kita seyogianya mendalami makna kebahagiaan. http://facebook.com/indonesiapustaka Kebahagiaan Dalam ilsafat Yunani Kuno, kebahagiaan (eudaemonisme) adalah puncak kondisi manusia dan manusia diharapkan hidup sedemikian rupa sehingga dapat mencapai suatu maksimum kebahagiaan (eudaemonisme). Melawan hedonisme, Aristoteles menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak ditemukan dalam kenikmatan pasif atau banyaknya barang yang dimiliki, melainkan segala hal yang diciptakan manusia dari dirinya sendiri dalam mengembangkan bakat-bakatnya. Kebahagiaan sendiri tidak dapat diusahakan secara langsung, melainkan merupakan buah apabila manusia semakin merealisasikan potensi-potensinya. Untuk itu, ia harus menjadi bebas dari ketergantungan pada nafsunafsu dan dorongan-dorongan irasional. Dengan demikian, kebahagiaan menjadi paham etis. Hubungan antara tanggung jawab moral dengan kebahagiaan manusia ini mengatasi kekerasan dan kekosongan suatu etika kewajiban murni, sebagaimana dikembangkan oleh Kant. Menurut Thomas Aquinas, tujuan terakhir manusia dan kebahagiaannya, tercapai dalam memandang Allah di akhirat. Itu berarti bahwa manusia menemukan identitasnya yang sebenarnya, apabila ia menyerahkan diri kepada Allah. Maka, manusia tidak akan mencapai kebahagiaan dengan hanya mengusahakan kepentingannya sendiri saja, melainkan menjalankan tanggung jawab terhadap masyarakat dan dunia, dalam ketaatan pada Sang Pencipta. Bila dikaitkan dengan etika profesi, terlihat di sini suatu warna pergulatan hidup: tidak hanya seputar pencarian nafkah dan pengembangan bakat, melainkan sampai kepada penemuan kebahagiaan sejati. Wujud pelaksanaan etika profesi berkaitan dengan perkembangan moral 101 http://facebook.com/indonesiapustaka manusia dan komunitas yang menciptakan pandangan pendidikan tertentu. Dalam hal tersebut, arah yang diberikan otoritas moral,-agama dan negara-, ikut menentukan bagaimanakah etika profesi tampak dalam pranata pendidikan maupun pelaku didik serta pemimpinpemimpinnya, dalam mengarahkan lembaga didiknya. Seorang pendidik profesional mempunyai kesempatan untuk mendampingi murid-muridnya; tidak secara kebetulan, tidak terpaksa dan tidak sembarangan. Ia bertekad mempersiapkan tugasnya dengan sebaik-baiknya, merancang peran, mempelajari sifat dan kemampuan murid-muridnya, berinteraksi secara bertanggung jawab dan memberi masukan sejauh diperlukan supaya si murid dapat menyelami diri dan sesama serta pengetahuannya sebaik mungkin. Pendidik tersebut menyadari tugas terdalamnya dan menggali makna kebahagiaan terdalam dan memadukannya dengan seluruh kebersamaan-didiknya. Pendidik menemukan kebahagiaannya yang terindah, ketika dapat mendampingi murid-muridnya untuk lambat laun mampu secara mandiri membangun hidupnya penuh kebahagiaan dan mengolah segalanya secara bijaksana dan bertanggung jawab: bersatu dengan sesama dan dalam keutuhan semesta alam. Muara akhirnya, kebahagiaan tersebut menuju kepada Sang Asal serta tujuan segala kebahagiaan abadi, yang sesungguhnya diakui merupakan pribadi pembentuk kepribadian manusia dan pengisi kebahagiaan serta muara segala proses didik yang sejati: pendidik manusiawi diikutsertakan dalam karya besar pendidikan agung. Ke sanalah setiap pendidik mengarahkan bakti didiknya. Sebaliknya, kesenangan karena menghindari penderitaan seraya mengakibatkan kemalangan bagi bimbingan, justru mungkin sekali meniadakan kebahagiaan. Peniadaan kebahagiaan tersebut dapat dialami, baik pada yang mendidik maupun pada yang dididik. 102 http://facebook.com/indonesiapustaka Releksi 1. Pendidikan mengandung beberapa segi yang penting untuk dipahami. Manakah bagi Anda yang paling utama? 2. Etika memerlukan beberapa penjelasan makna dalam pendidikan. Apakah Anda menghayati maknanya yang terdalam? 3. Profesi memuat beberapa pengertian yang mempertegas arah etisnya. Adakah titik berat yang Anda pilih? 4. Perwujudan etika profesi pendidikan mencakup beberapa segi penting. Adakah urutan kepentingan yang meneguhkan praksis Anda? 5. Dalam negara diperlukan arah yang menentukan baik etika, profesi maupun pendidikan. Apa seyogia pedomannya? 103 http://facebook.com/indonesiapustaka 104 Arah Pendidikan Akulah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan (Guru dari Nasaret) http://facebook.com/indonesiapustaka T oto, seperti semua murid di kelas dua Sekolah Dasar pinggiran Telukbetung, harus antre ketika mau mengambil pekerjaan rumah yang sudah diperiksa guru. Begitu pun saat membeli gado-gado di kantin sekolah. Sejak di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan seterusnya, anak-anak sudah dibiasakan untuk antre. Laki-laki atau perempuan, besar atau kecil, pandai atau bodoh, semua harus antre. Sebab dalam diri para murid ditanamkan kesadaran dan keyakinan bahwa semua manusia pada kodratnya setara. Antre adalah semacam pendidikan kemasyarakatan untuk menghargai setiap warga masyarakat secara sama, tanpa peduli lelaki atau perempuan, pintar atau bodoh, suku atau agama apa pun. Mereka terbiasa memberi kesempatan jalan kepada penyeberang jalan di tempat yang ditentukan, apalagi kalau dia orang tua: suatu cara didik kerakyatan demokratis. Polisi yang mengatur lalu lintas mendidik warga negara untuk tertib, tetapi juga bersikap sosial sehingga berbagi kesempatan jalan sesuai dengan pranatanya. Petugas kelurahan mendidik kerelaan untuk tanggap pada hidup bersama bertetangga baik. Pajak pun dimaksudkan secara mendasar untuk belajar berbagi beban kemasyarakatan.139 Ada ratusan lembaga 139 Dalam menjelaskan masalah perpajakan dan pengampunan pajak, Menteri Keuangan berkalikali mendidik warga negara untuk mengarahkan pemakaian hartanya sebagai bagian dari hidup sosial kemasyarakatan. 105 sentuh-menyentuh dengan lembaga pendidikan, jutaan orang terjalin dalam proses pendidikan: jauh lebih luas daripada yang tersangkut dengan urusan-urusan persekolahan. Ruang pendidikan memang melampaui ruang kelas. Sebaliknya, dunia persekolahan mengarahkan diri pada kehidupan bersama masyarakat dengan melalui hidup sosial formal di kelas dan sekolah,140 termasuk segala rincian kurikulum mata ajar mana pun. Untuk melayani pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, kerap digali pengalaman bersama, yang melampaui pengalaman perseorangan. Pengalaman perseorangan si murid maupun si guru hanyalah satu bagian yang dapat bersifat personal; apalagi pendidikan di sekolah, justru karena interaksi sosialnya.141 Semua pendidikan mempunyai arah tertentu, entah dirumuskan entah tidak. Yang dimaksudkan dengan pendidikan itu seluruhnya, baik yang formal maupun yang nonformal atau praformal, seperti dalam keluarga. Karena arah tersebut membawa semua yang bersangkutan, selalu ‘memandang’ ke arah tertentu, maka dalam bahasa Latin disebut ‘visio’ dan disederhanakan menjadi ‘visi’. Jangkauan Pendidikan http://facebook.com/indonesiapustaka Kebanyakan sekolah menyibukkan diri terutama dengan pengajaran. Memang ’bisnis dasar’ sekolah biasanya dipusatkan pada ‘mengajar 140 Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa tidak memadai cara sebagian dari pemerintah untuk menilai maju mundurnya pendidikan sekolah hanya dengan menggunakan apa yang disebut Ujian Nasional. Sebab dengan cara itu, yang diperoleh hanyalah gambaran kemampuan murid menangkap penjelasan buku pelajaran dan guru; sama sekali tidak menyentuh cara murid menggapai pengetahuan maupun cara guru mendidik; apalagi memeriksa segi karakter dan kepribadian. 141 Cara yang sejauh ini dipakai untuk Ujian Nasional juga sudah tidak sesuai dengan pola pengajaran yang sekarang ini juga sudah dipakai di banyak gerakan pendidikan, yang memperhatikan sekali 8-9 jenis kecerdasan sebagaimana diajarkan Howard Gardner. Itulah sebabnya, kalau memang mau bersungguh-sungguh dengan pendidikan, perlulah para penganjur Ujian Nasional lebih dahulu mendalami segi-segi baru dalam Ilmu Pendidikan dan Ilmu Pembelajaran. 106 anak’. Padahal ketika orang tua menyerahkan seorang anak pada lembaga sekolah, yang ada dalam benaknya adalah meminta bantuan para guru supaya ’anaknya menjadi baik’. Dengan demikian, semua tindakan di sekolah, apa pun bentuknya, bagian jawabnya adalah pada permintaan orang tua murid: “tolong, bantu mendidik anak kami”. Dalam konteks ini, pendidikan terdiri dari keseluruhan pengalaman yang memungkinkan seorang pribadi tumbuh dan berkembang sebagai manusia, sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia. Itulah arah umum pendidikan di sekolah. Pengajaran hanyalah merupakan salah satu dari upaya-upaya tersebut. http://facebook.com/indonesiapustaka Semua yang ada urusan dengan sekolah perlu merumuskan dengan jelas mengenai arah pandang, yang dipilihnya dalam menjalankan peran didiknya. Sebab, mereka dapat mendekati pengertian pendidikan dari sudut tertentu, ada yang lebih menekankan persaudaraan, ada yang lebih menonjolkan pengetahuan (malah ada yang menyebutnya ’pengetahuan yang sejajar dengan sekolah luar negeri’), ada pula yang memfokuskan perhatian pada seni. Kalau sudah jelas ’visi’ tersebut, dapatlah orang mencoba memahami aneka upaya yang dipilih untuk mencapainya. Nyatanya sering muncul dua kutub pandangan mengenai pengertian pendidikan.142 Ada yang mengartikan pendidikan sebagai usaha menyampaikan pengetahuan dari generasi yang satu kepada generasi yang berikut. Ada pula yang memahami pendidikan sebagai usaha untuk membantu menyadarkan dan terbentuknya serta berkembangnya kemampuan agar seseorang dapat memahami situasi hidupnya. Caranya mulai dengan mendiagnosis, menganalisis, mengembangkan dan mengambil langkah-langkah bersama-sama, antara pendidik dan murid. 142 Bdk. Beeby, C.E., Assesment of Indonesian Education, Wellington: Oxford University Press, 1979, khususnya Bab XI. Bdk. juga dengan Van Til, Cornelius, he Dilemma of Education (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1956). Ia menandai dilema dalam pendidikan sebagai ‘yang praktis dan idealistis’. 107 http://facebook.com/indonesiapustaka Pandangan pertama di atas dapat menyebabkan orang beranggapan, bahwa pendidik perlu melimpahkan sejumlah pengetahuan tertentu untuk dikuasai. Biasanya pewarisan pengetahuan itu mulai dengan pemberantasan buta huruf dan memuncak dengan mencari pendalaman dan pengkhususan keahlian. Pandangan kedua memungkinkan orang berpandangan bahwa orang memerlukan kemampuan mengenal diri sendiri, kemampuan dan bekal-bekal manusiawinya, terutama menggunakan pikiran analitis. Selain itu, orang dibantu untuk mengenali teman-teman di sekitarnya. Usaha pembinaannya berlangsung dengan membantu terbentuknya sikap menghargai diri dan lingkungannya, membangun sikap kritis, berani dan dapat mempersoalkan segala hal dengan bertanggung jawab. Dibalik usaha itu ada keyakinan bahwa dalam hidup ini segala hal mempunyai makna dalam kaitan dengan si manusia: ya dirinya sendiri, ya sesamanya. Dalam kerangka itu, hanya ada sedikit sekali hal yang sungguh pasti, lepas dari manusia. Oleh sebab itu, dalam pendidikan, orang dilatih untuk bertanya atau mempersoalkan hal-hal yang diragukan kebenaran dan kebaikannya.143 Kedua arah pandangan tersebut menimbulkan Muara Didik banyak ketegangan sosial tentang peranan proses pendidikan dengan lembaga-lembaganya dalam masyarakat. Situasi itu mendorong pemerintah di berbagai negara untuk mengatur masalah pendidikan serta membangkitkan perdebatan di kalangan para ahli pendidikan dan para pendukung makna pendidikan tersebut. Timbullah pelbagai sarana alternatif tentang bagaimana mengkonsepsikan pendidikan. Ada yang memusatkan perhatian untuk menyusun kurikulum yang selengkap mungkin. Lainnya mau agar pendidikan berurusan dengan penyampaian hal-hal yang bernilai, agar 143 Bdk. Peters, R.S., Ethics and Education (London: George Allen & Unwin Ltd., 1996), terutama Bagian II. 108 pendidikan mengandung unsur cipta, unsur rasa, maupun unsur karsa. Arus lain menghendaki agar pendidikan lebih dilihat sebagai usaha pengembangan manusia dengan menghormati kebebasannya.144 Para pemimpin Gereja Katolik yang bermusyawarah dalam Konsili Vatikan II di pertengahan abad 20, membawa serta segala pengalaman dari kelima benua sehingga dapat dirujuk sebagai pertemuan semesta, meyakini bahwa pendidikan sejati bertujuan membentuk pribadi manusia dalam kaitannya dengan arah terakhir hidupnya dan sekaligus dalam kaitannya dengan kebaikan seluruh masyarakat; sebab dalam masyarakat itulah seseorang hidup dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai warga dewasa145. Di tempat lain, para peserta Konsili Vatikan II tersebut menegaskan tujuan pendidikan: agar bukan hanya menghasilkan orang yang berbakat tinggi, melainkan juga pribadi-pribadi yang berjiwa besar146. Dengan kata lain, menurut Konsili Vatikan II, sebagai sidang semesta Gereja147, arah pelayanan pendidikan, yaitu: 1. 2. http://facebook.com/indonesiapustaka 3. pembentukan pribadi-pribadi yang berjiwa besar dan berbakat tinggi; pribadi-pribadi itu mampu mengambil tempat dan berperan serta dalam masyarakat secara bertanggung jawab sebagai warga dewasa; pribadi-pribadi itu pun melihat dan menghayati seluruhnya dengan cakrawala tujuan akhir hidupnya untuk bersatu dengan Allah.148 144 Lih. Keith-Spiegel, Patricia dan Arno F. Wittig, David V. Perkins, Deborah Ware Balogh dan Bernard E. Whitley Jr., he Ethics of Teaching (Muncie: Ball State University, 1993), terutama Bab 8 dan Bab 11. 145 Bdk. Dekrit Konsili Vatikan II mengenai Pendidikan, Gravissimum Educationis (GE). art. 1 146 Bdk. Keputusan Konsili Vatikan II mengenai Gereja dalam Dunia, Gaudium et Spes (GS). art. 31 147 Hal tersebut dikukuhkan lagi oleh Synodus Luar Biasa Para Uskup November 1985. 148 Hal itu terutama dibahas dalam Konstitusi Dogmatis mengenai Wahyu, Dei Verbum, khususnya pada 6 artikelnya yang pertama dan dalam Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, Lumen Gentium, khususnya pada artikel 1. Secara lebih khas, bahan itu diolah dalam Dekritnya mengenai Komunikasi Sosial, yang membicarakan pelbagai hal sekitar cara mengomunikasikan hal yang benar dan baik untuk petugas-petugas gerejawi. Dokumen yang berupa pernyataan mengenai hak manusia, Dignitatis Humanae, secara terarah membicarakan kebenaran dan kebaikan dalam relasi Gereja Katolik dengan para penganut Gereja serta agama lain. 109 Dengan demikian, menurut pandangan Gereja Katolik, arah pendidikan sesungguhnya menuju pada proses agar dalam diri seseorang semakin tumbuh suburlah hal-hal yang bernilai bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya, di hadapan Tuhan yang memanggilnya ke arah hidup abadi, puncak segala nilai. Dari sudut pandangan itu, para pendidik mempunyai panggilan yang sekaligus manusiawi (supaya murid menjadi ‘orang baik’) dan rohani (supaya murid dijiwai Roh Suci), yang melampaui segala batas kelompok manusia dan alam semesta. http://facebook.com/indonesiapustaka menuju muara Didik Entah sadar atau tidak, entah terucap secara bagus atau tidak, setiap orang tua mau mendidik anaknya. Semua pihak lainnya hanya sekadar membantu tugas pokok orang tua itu. Di antara semua yang membantu orang tua murid, berdirilah sekolah. Dalam sekolah itu, gurulah yang bertugas mendidiknya. Dalam menunaikan tugasnya, guru dan sekolah seharusnya dibantu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas dan kewajiban membantu sekolah dan orang tua murid dengan berusaha untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu membantu manusia Indonesia, dalam rangka usaha ke arah tercapainya tujuan yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersurat maksud: terwujudnya masyarakat Indonesia yang cerdas dalam hidup berbangsa, yang bebas merdeka, berdaulat, bersatu adil dan makmur, dalam wadah Negara Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain, pemerintah dan semua petugasnya mempunyai peran subsidier yang berlipat ganda. Arah seluruh pendidikan itu dalam konteks kenegaraan adalah menciptakan segala akomodasi dan fasilitas agar seluruh proses didik dalam bangsa dapat sampai ke muaranya: bangsa yang semakin baik karena manusianya semakin berkeutamaan. 110 Mengingat visi itu, guru menuju ke cita-cita149 bahwa anak-anak mengenal diri sendiri, mengenal alam semesta, mengenal sesama sebagai manusia, tanpa pandang bulu, dan seluruhnya itu mengenal Yang Ilahi, Pencipta segalanya. Guru diarahkan kepada harapan bahwa anak-anak mengenal alam sebagai bagian penciptaan yang harus dihormati. Guru menuju ke masa depan, di mana perikemanusiaan dilaksanakan, persatuan diwujudkan, permusyawaratan dilakukan dan keadilan sosial diusahakan karena Tuhan disembah di mana-mana dan oleh siapa pun.150 Hal itu merupakan tujuan pendidikan pada taraf apa pun. Di tingkat TK dan SD hal itu tidak perlu dirumuskan sangat rinci, namun tetap harus disampaikan kepada anak-anak, dengan cara yang selaras dengan usia mereka. Para pemangku sekolah dapat saja mempunyai sesuatu warna pendidikan tertentu, dari sudut segi didik maupun dari ideologinya. Namun fungsi menyeluruhnya, sekolah tetap membantu arah dasar pendidikan, agar manusia menjadi semakin manusiawi. Oleh karena itu, tahap-tahap sekolah memang perlu membantu siswa agar ada warna khusus yang mengarahkan gerak pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan. http://facebook.com/indonesiapustaka Pusat Perhatian Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, orang tua memakai segala yang tersedia bagi mereka: hidup sehari-hari dan saat-saat intim dalam keluarga. Guru menolongnya dengan lebih memperluas lingkup pengalaman serta pemahaman anak. Dalam pelaksanaannya, guru mempergunakan pelbagai sarana dan prasarana sekolah yang 149 Bdk. Esquith, Rafe, here are No Shortcuts (New York: Anchor Books, 2003), terutama Bab 1 dan 6. 150 Bandingkan dengan ujud Keuskupan Agung Jakarta sejak 2015-2016-2017 dst. 111 http://facebook.com/indonesiapustaka secara adil tersedia bagi semua murid tanpa pandang bulu. Prioritasnya selaras dengan visi dan misi lembaga yang bersangkutan. Diharapkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sungguh-sungguh secara tepat asas151 menyelenggarakan perencanaan, menentukan kebijaksanaan, dan mengadakan pembinaan terhadap: a. Usaha dan kegiatan pendidikan dalam sekolah dan luar sekolah, sesuai dengan dasar pandangan bahwa pada hakikatnya pendidikan berlangsung sepanjang hidup manusia (long life education). Usaha dan kegiatan pendidikan tersebut mencakup seluruh hidup manusia, maka diperlukan usaha profesional yang menjalin seluruh manusia maupun semua manusia. Albert Biesinger menegaskan bahwa interaksi antarmanusia dalam rangka pendidikan yang mengikuti dinamika kemanusiaan, sebagaimana dipahami oleh Martin Buber, mengandung pembentukan kepribadian yang fundamental. 152 Oleh karena itu, perlulah dibedakan antara pendidikan dan pengajaran. Cita-cita semua lembaga pendidikan adalah terjadilah ‘pengajaran yang mendidik’ di sekolah. Harapan itu dapat digapai apabila dipenuhi syaratnya bahwa pengajaran yang mendidik itu dilakukan secara sadar dalam kesatuan dengan masyarakatnya.153 b. Usaha dan kegiatan hendaknya memajukan keolahragaan, kepemudaan, dan kebudayaan nasional. Di masa millennium III perlu kita sadari bahwa dewasa ini kita masih berhadapan dengan 2 problem besar, yaitu: kemiskinan dan keterbelakangan. Artinya, anak-anak secara perlahan-lahan perlu diantar mengenali kedua permasalahan dasar tentang martabat manusia tersebut, yang 151 Bdk. Keith-Spiegel, Patricia dll., he Ethics of Teaching (Muncie: Ball State University, 1993), terutama Bab 18. 152 Bdk. Rotter, Hans dan Günter Virt (Hrsgs.), Neues Lexikon der Christlichen Moral (InnsburckWien: Tyrolia Verlag, 1990), s.v. Erziehung. 153 Bdk. Juga dengan Pernyataan Konsili Vatikan II mengenai pendidikan (Gravissimum Educationis), artikel 3. 112 sesungguhnya tidak mengizinkan orang melecehkan orang lain hanya atas dasar kondisi ekonomi, budaya maupun imannya. Program ini tidak dapat dirancang hanya atas dasar keinginankeinginan semata-mata, melainkan atas dasar perhitungan dan perencanaan yang benar-benar dapat dilaksanakan atau diwujudkan, tahap demi tahap, berdasarkan ketentunan-ketentuan prioritas. Dalam tahap pembangunan sampai sekarang ini, pemerintah telah mengutamakan bidang ekonomi atau materiel agar problem atau musuh yang pertama, yaitu kemiskinan, dapat terselesaikan lebih dahulu, dengan tidak mengabaikan bidang spiritual (pendidikan agama dan seterusnya). Telah dipahami bahwa kesejahteraan, baik materiel maupun spiritual sangat perlu, tetapi karena keduanya tidak dapat diselesaikan sekaligus, maka dipilihlah terlebih dahulu bidang materielnya. Namun, pengalaman sudah menunjukkan bahwa masalahnya tidaklah terletak pada bidang lahiriah, melainkan sikap dasar yang tersimpan dibalik kesenjangan kaya dan miskin: yaitu dalam ‘cara manusia saling menghargai dan saling memberi kesempatan secara setara’. Segala perundang-undangan dan peraturan pemerintah hanya tepat, apabila memungkinkan seluruh upaya pendidikan menuju ke ‘arah pendidikan’, sebagaimana telah dicermati. http://facebook.com/indonesiapustaka Warna Didik Pada tahap pembangunan sekarang ini, pendidikan jelas dipilih sebagai bidang yang menjadi prioritas utama, tugas pokok masyarakat, yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ada dua warna yang menonjol di masyarakat Indonesia sekitar 50 tahun terakhir ini. Warna pertama adalah warna ‘global’ yang menyebabkan orang tergoda membangun persekolahan dengan slogan ‘sekolah internasional’. Warna kedua yang berkembang adalah ‘warna Pancasila’, yang diperjuangkan 113 sejak Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan. Namun, sekitar tahun 1950 sudah ada yang menginginkan agar pendidikan lebih bernada ‘agamis’ sehingga mendorong orang menawarkan sekolah dengan ‘mencuatkan agamanya’. http://facebook.com/indonesiapustaka Warna pertama menawarkan arah bahwa tamatan suatu sekolah akan mudah memperoleh ilmu yang menggampangkan ia diterima di sekolah-sekolah yang lebih tinggi dan juga internasional dari negara mana pun. Mereka berusaha untuk menyampaikan bahwa ada sejumlah hal ‘tambahan’ di samping kurikulum dasar. Dalam upaya untuk mendapat ‘keuntungan’ itu disisihkan dari kesadaran bahwa ‘membaca, menulis, dan berhitung’ adalah dasar segala ilmu berikutnya. Dengan tiga kemampuan dasar itu, studi di dunia internasional dilandasi dan sebenarnya sudah tersedia pula warna globalisasi sekolah. Dengan kata lain, sering kali orang mengaitkan sifat internasional suatu sekolah pada hubungan lahiriah sekolahnya di Indonesia dengan sesuatu sekolah di dunia internasional. Hubungan lahiriah itu terdapat pada ‘diterimatidaknya seseorang yang tamat sekolah Indonesia di sekolah luar negeri, -terutama U.S.A. atau Inggris atau Australia-, dan sebagainya. Untuk mencapai kaitan lahiriah itu, murid diberi banyak mata pelajaran sehingga mereka kewalahan memenuhi nafsu lahiriah para pendidik. Padahal kita mengetahui, Finlandia menawarkan pendidikan yang prima, justru dengan sedikit memendam murid di kelas, mengurangi jumlah mata pelajaran, dan mengupayakan agar anak-anak lebih berkembang kemanusiaannya dengan bergaul dan praktik hidup. Warna kedua menawarkan warna transenden, yakni suatu citacita agar manusia Indonesia mempelajari dunia seilmiah mungkin, namun ingin juga melampaui dunia yang terbatas. Pada Pembukaan UUD 1945 yang tercantum Pancasila di dalamnya, ingin ditegaskan bahwa rakyat Indonesia mau dibantu menjadi cerdas hingga melampaui keterbatasan materi. Generasi baru harus mampu menggapai ke arah yang transenden, bahkan pada Yang Maha-akbar. Dalam mencapai arah 114 http://facebook.com/indonesiapustaka itu sering diperlihatkan bahwa pendidikan mencakup sebagian sifat agama, yang hanya mempunyai makna apabila ada iman. Dalam upaya menggapai rakyat dan murid, banyak hal lahiriah disajikan, seperti pakaian, bahasa dan pelbagai ritual. Ketiganya dapat membantu, namun bukanlah intisari iman, yakni ‘relasi mendalam manusia dengan Allah’, yang merupakan isi hakiki setiap iman dari agama apa pun. Memusatkan perhatian pada hal-hal lahiriah dapat menyelewengkan murid (dan orang tuanya) kepada hal-hal ‘luar’ dari iman; bukan pada sari iman sejati. Pengalihan perhatian itu dapat bertambah lagi, ketika kepada orang muda disorongkan pendirian-pendirian sosial politis tertentu sehingga orang mengidentikkan posisi politis tertentu dengan keyakinan keagamaan tertentu. Pada awal millennium ketiga, ada banyak percobaan ke arah ini; bahkan juga menuju ke arus radikal dan fanatik154. Arus utama sekolah adalah mau mengarahkan pendidikan, sedemikian sehingga murid dibantu untuk menjumpai Tuhan dan ciptaan-Nya dengan mendidik murid masuk kepada inti dirinya.155 Artinya, murid dibantu untuk mengenali martabat kemanusiaannya secara tepat dan mempelajari maknanya dalam pergaulan dan hidup. Bekal utama dikatakan tersedia secara mendasar dalam UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, yang bertumpu pada Pembukaan UUD 1945 dengan dasar Pancasilanya. Di samping merencanakan dan melaksanakan usaha dan kegiatan dalam rangka memerangi problema atau musuh kita yang kedua, yaitu keterbelakangan, maka kita harus melaksanakan usaha dan kegiatan-kegiatan kita pertama-tama untuk mendukung kebijaksanaan masyarakat seperti tersebut di atas, yaitu dengan mengaitkan pendidikan langsung kepada pengalaman anak-anak yang dalam tahap sekarang memberikan prioritasnya kepada bidang 154 Penelitian KOMPAS dan SETARA di awal tahun 2017 memperlihatkan arus radikal tersebut di banyak sekolah. 155 Bdk. NN., Mencari Pendidikan Jesuit: Finding true Spirit. 115 materiel. Pendidikan harus lebih diorientasikan pada perkembangan budi dan hati anak-anak agar pendidikan benar-benar dapat memenuhi kebutuhan nyata masyarakat dan akhirnya dapat memusnahkan musuh kita: keterbelakangan atau kebodohan. Untuk dapat mengatasi keterbelakangan156 itu, arah pendidikan menjadi lebih dalam dan lebih luas dari pada sekadar di lapisan materi dan kuantitatif saja. Peranan pendidikan demikian itulah yang harus kita laksanakan. Penekanan pada inti pendidikan dalam sari kemanusiaan, menolong murid untuk tak tersangkut pada kulit-ari, tetapi masuk ke daging pendidikan. http://facebook.com/indonesiapustaka Tanggung Jawab Didik Sejak awal sudah beberapa kali tampak bahwa seluruh bangsa mempunyai tanggung jawab didik agar generasi muda semakin mengenal panggilannya sebagai manusia di tengah sesama dan dunianya. Setiap bagian masyarakat perlu melaksanakan pendidikan dalam kerja sama nyata dengan keadaan orang tua murid.157 Keadaan ekonomi orang tua murid dapat berlapis-lapis: dari amat kaya sampai amat miskin, dari kebudayaan satu ke kebudayaan lain. Penyelenggara pendidikan dapat melaksanakan pendidikan yang baik apabila melayani kebutuhan setiap bagian masyarakat. Misalnya, agar pelayanan sekolah selaras dengan hasrat terdalam orang tua dan jangan sampai keluarga menghabiskan investasinya untuk biaya sekolah sedemikian sehingga hidup keluarga pincang. Dalam hal pembiayaan pendidikan, pemerintah perlu menjaga agar penyelenggaraan dan kelancaran pendidikan menjadi tanggung jawab bersama: pemerintah, orang tua murid dan masyarakat.158 Sila 156 Bdk. Sugi, Br. Frans, FIC., Jati Diri Pendidikan (Muntilan: Percetakan Pangudi Luhur, 2008), hlm. 323. 157 Bdk. Arthur, James with Richard Bailey, Schools and Commmunity (London-New York: Falmer Press, 2000), hlm. 27-46. 158 Bdk. Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional (Yogyakarta: Kanisius, 2007), khususnya Bab V. 116 kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menemukan wujudnya yang nyata dan amat berharga dalam pembiayaan pendidikan, yang sejak beberapa tahun memakan 20% Anggaran Belanja Negara. Pengertian dan kerja sama atau bantuan dari masya rakat tetap merupakan hal yang mutlak diperlukan. Namun, hendaknya hal ini tidak melupakan kenyataan bahwa orang tua murid telah membayar iuran mereka: berupa sekian banyak pajak dari PBB sampai pajak penghasilan dan aneka pajak lain. Dengan kata lain, pemerintah harus didesak untuk mengakui bahwa wajib menyediakan porsi banyak pengeluaran negara di bidang pendidikan.159 Peran Sekolah http://facebook.com/indonesiapustaka Tugas mendidik secara perdana sudah dilihat sebagai panggilan orang tua. Hal serupa dilakukan oleh ‘keluarga besar’, yang meliputi masyarakat setempat. Kerap kali mereka disebut sebagai ‘pendidikan informal’; suatu rumusan yang sesungguhnya dapat menyelewengkan tata pendidikan keseluruhan. Setiap sekolah mengambil tanggung jawab untuk merangsang pertumbuhan kepribadian melalui aktivitasaktivitas berencana dan yang mempunyai sasaran-sasaran tertentu.160 Sekolah dapat ikut mengusahakan agar kelak persoalanpersoalan besar pendidikan dapat dipecahkan dengan Kecerdasan lebih baik. Salah satu fungsi penting sekolah yang sering kali dikemukakan adalah ‘mencerdaskan’ anak. Fungsi ini perlu dijalankan dengan terus memberi tempat utama pada orang tua sebagai pendidik utama. Pelayanan sekolah akan memenuhi tugasnya 159 Bdk. Freire, Paulo, he Politics of Education, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan juga dari bahasa Brasil. Terjemahan Indonesia dilakukan oleh Read, Yogyakarta, 1999. Bab 7 dan 8 secara khusus menyentuh bagian yang sedang dikupas ini. 160 Bdk. Arthur, James with Richard Bailey, Schools and Commmunity (London-New York: Falmer Press, 2000), hlm. 27-46), terutama Bab 3 dan 7. 117 http://facebook.com/indonesiapustaka secara profesional, apabila memperhatikan ajaran Howard Gardner,161 bahwa para murid dapat saja memiliki beraneka kecerdasan. Tradisi biasa memusatkan perhatian kepada kecerdasan logis-matematis. Itulah sebabnya, mengapa pelajaran matematika sering mendapat tekanan besar, baik dari pihak sekolah maupun para murid, dengan segala dampak pedagogisnya. Padahal diakui adanya kecerdasan bahasa, yang juga amat berarti dalam hidup manusia. Bahkan Persatuan Indonesia (sila ketiga) maupun Kedaulatan Rakyat yang diwujudkan dalam musyawarah untuk mufakat (sila keempat) hanya mungkin terlaksana, apabila para murid sejak muda dilatih dalam kecerdasan linguistik. Untuk pelaksanaannya diperlukan kecerdasan interpersonal sehingga memungkinkan orang berinteraksi dengan sesama, secara cerdas. Kecerdasan interpersonal disadari sejak zaman Sumpah Pemuda dan penciptaan lambang negara, yang mencantumkan Bhinneka Tunggal Ika secara mencolok. Luasnya negeri, banyaknya suku serta melimpahnya keyakinan serta keimanan orang Indonesia hanya dapat diolah agar memuaskan apabila kecerdasan interpersonal sungguh digarap. Didalamnya termaktub kebutuhan akan tata bahasa dan penguasaan bahasa lisan di samping pemahaman sastra Indonesia yang berwarna dasar kebudayaan tertentu. Interpersonalitas relasi tersebut membutuhkan kecerdasan intra personal, yang membawa seseorang mampu memasuki diri secara mendalam, guna menangkap potensi-potensinya.162 Sebab interpersonalitas pada dasarnya kecerdasan dalam membagikan diri, dari yang paling materiel sampai pada yang bersifat kejiwaan. Dalam komunikasi, di antara potensi-potensi manusia, seseorang dapat memiliki kecerdasan musikal, yang membawanya tidak hanya sukacita bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi sesamanya. Nyatanya 161 Gardner, Howard, Multiple Intelligences (New York: Harvard University, 1998), terutama Bab 1. 162 Bdk. Pradipto, Op.cit, khususnya Bab IV. 118 http://facebook.com/indonesiapustaka segala kebudayaan Indonesia dan seluruh dunia disuburkan oleh sukacita yang terungkap melalui kecerdasan musikal. Dalam pergaulan bersama berikut aneka kegiatannya, seseorang dapat menemukan dan mengembangkan kecerdasan visual-spasial, yang memperkaya penguasaan medan yang bersifat amat sosial. Latihan berorganisasi dan penyelenggaraan pertemuan, yang diperlukan untuk menyempurnakan kecerdasan interpersonal, membutuhkan kecerdasan visual-spasial. Selain itu, seseorang dapat memiliki kecerdasan kinestetik, yang memungkinkannya untuk mengembangkan pelbagai cara dan metode pemanfaatan segala daya dan tenaganya untuk maju dalam hidup. Di sana kemampuan berolahraga dan bergerak dalam kebersamaan menyediakan ruang luas guna melaksanakan kecerdasan-kecerdasan lain. Lebih lanjut, seseorang akan menjadi pribadi yang amat kaya, apabila memiliki kecerdasan natural, yang memungkinkannya menangkap aneka peluang berelasi dengan alam semesta. Kecerdasan itu menyebabkan ia dapat kreatif sekali memanfaatkan situasi dan kondisi di sekitarnya. Apalagi kalau pendidikan mau membangkitkan cinta ekologis demi masa depan nusantara. Akhirnya Howard Gardner masih menemukan kecerdasan spiritual, yang memungkinkan manusia menggapai ke arah pusat segala intelektualitas, yakni Yang Ilahi. Pada segi ini, pengembangan kecerdasan spiritual bukanlah sesuatu yang seyogianya disempitkan dalam bidang agama, melainkan pada kemampuan untuk saling berbagi pengalaman secara rendah hati dan sosial demi kebersamaan bangsa yang menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa. Biasanya dengan program sekolah, anak didorong untuk menemukan kecerdasan dan mengembangkannya secara optimal. Oleh sebab itu, porsi besar diberikan oleh sekolah untuk sungguh membuat anak berkembang dalam aneka segi dirinya. Dengan pengembangan kecerdasan majemuk itu, anak dapat menangkap relasi-relasi sosial dan hubungannya dengan sesama dan alam semesta, tidak hanya pada lapisan afektif dan emosional melainkan secara serebral dan 119 intelektual.163 Hal tersebut pada gilirannya akan membantunya untuk bersikap dewasa dan rasional dalam mengembangkan relasi afektif dan relasi sosialnya. Tuntutan sekolah untuk ‘mencerdaskan murid’ perlu dipahami secara tepat. Tugas itu menjadi sarana pendidikan yang baik, apabila murid dibantu untuk memahami banyak masalah afektif dan sosial serta spiritual dengan cerdas, ia dibantu memahami makna tradisi dan kebudayaan secara cerdas. Murid perlu dibantu mengerti dengan cerdas ‘aneka prinsip dan dasar pedoman etika dan moral sehingga siap juga menyambut pewahyuan Tuhan yang disembahnya’. Sekolah tidak cukup mendidik, apabila hanya menyuruh murid secara fasih mendaraskan doa dan bagian-bagian kitab suci. Sekolah dipanggil juga untuk mendampingi murid memahami ajaran iman secara cerdas, seraya menatanya dalam integrasi diri yang siap memberi diri pada sesama. Dasar pemikiran tersebut terletak dalam keyakinan bahwa: yang diciptakan Tuhan itu diri murid yang mencakup si hati, si budi maupun seluruh kehendaknya untuk bertindak dan melangkah, dalam keluarga besar umat manusia. Perkembangan ilmu sejauh ini membawa keyakinan pula bahwa manusia juga harus mampu mengintegrasikan diri dalam kesatuan semesta alam. http://facebook.com/indonesiapustaka Syarat Sekolah Mengingat kompleksnya pendidikan, sekolah hanya dapat berfungsi dengan tepat asas dan berhasil guna apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat itu menyangkut murid164, guru, lembaga dan metode serta sikap dasar yang perlu dipenuhi oleh seluruh lingkup persekolahan, seperti: 163 Bdk. Arthur, Op.cit., khususnya Bab 2 dan 7. 164 Bdk. Willingham, Daniel T., Why don’t Students like Schools? (San Francisco: Jossey Bass, 2009), terutama Bab 1 dan 6. 120 http://facebook.com/indonesiapustaka a. Sekolah perlu secara berkala menyusun dan merumuskan kembali visi, yang selaras dengan arah dasar pendidikan yang sejati. Visi tersebut dijabarkan dalam misi yang terlaksana secara tepat asas. Tak perlu dipanjanglebarkan bahwa seyogianya penentuan visi tersebut dilaksanakan dalam interaksi (atau sepengetahuan) orang tua murid, yang merupakan pendidik perdana. b. Sekolah memberi bantuan kepada murid agar menggali dan mengembangkan kepribadian yang integral dan suara hati yang jernih. Suara hati didalami dan dikembangkan melalui pendalaman iman yang perlu dilakukan secara profesional juga. Profesionalitas tersebut diandaikan dimiliki oleh guru resmi dari lembaga persekolahan yang bersangkutan. Sementara itu, di banyak tempat, orang tua terbiasa untuk mengadakan pelajaran tambahan, termasuk pelajaran tambahan pada lapisan iman. Murid akan mengalami kesulitan, apabila arus keimanan dalam lembaga berbeda profesionalitasnya dengan yang ditambahkan di luar sekolah. Dengan bekal yang sama-sama profesional itu, murid diharapkan menjadi pribadi yang matang dalam mengambil bagian di masyarakat dengan semangat solidaritas. c. Selain itu, sekolah perlu diusahakan menjadi bagian integral dari masyarakat sekitarnya termasuk negara. Sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup, sekolah hendaknya mempunyai dwifungsi: mampu memberikan pendidikan formal dan sekaligus pendidikan informal, baik untuk para pemuda-pemudi maupun untuk orang pria dan wanita dewasa; d. Sekolah hendaknya memperhatikan pula keterpaduan dengan kerja sama di masyarakat. Dalam kerja sama luas, segi-segi politis, ekonomis, teknis, budaya mengambil bagian penting. Di antaranya yang terpenting adalah terbentuknya kepribadian yang mandiri, memiliki hati nurani yang benar, memiliki rasa sosial yang terbuka, dan juga menyiapkan tenaga kerja yang memiliki watak, 121 http://facebook.com/indonesiapustaka pengetahuan dan keterampilan bagi pembangunan bangsa dan negara di berbagai bidang. Cara mendidik tersebut dari satu sisi memungkinkan tumbuhnya generasi yang mandiri dan kreatif, dari sisi lain juga mampu melanjutkan pelbagai tahapan yang sudah dicapai oleh generasi sebelumnya. e. Selanjutnya, sekolah hendaknya mempunyai sarana atau prasarana dan sesuai dengan tujuannya. Sarana atau prasarana dapat mengandung posisi geograis ke luar dan ke dalam secara tepat guna, dapat pula bentuk ruang-ruang yang memungkinkan proses didik berjalan secara berhasil guna. Konstruksi tersebut perlu didukung oleh peralatan yang juga tepat guna supaya proses didik tidak menjadi pincang apabila deisit dalam penyiapannya. Oleh sebab itu, petugas pelaksananya tidak dapat dipandang sekadar sebagai buruh dan tukang, melainkan juga menjadi bagian penting dalam proses didik. Oleh sebab itu, sangat berharga sekali para petugas yang memiliki rasa dan kemampuan secukupnya dalam menjalankan ‘interaksi didik’ dengan para murid. f. Seluruh pertimbangan sejauh ini menunjukkan, betapa banyak unsur-unsur yang diperlukan, apabila sekolah mau menjadi lembaga didik yang tepat asas, berdaya guna dan berhasil guna. ‘Berguna-tidak’-nya sekolah sudah tampak sejauh ini, memang mengandung unsur-unsur materiel, organisatoris, namun yang paling penting ‘memiliki profesionalisme manusiawi’ yang tepat. Pelbagai syarat tersebut di atas diperlukan justru karena peran sekolah adalah subsidier: sekolah membantu para pemangku kepentingan. Diperlukan suatu mekanisme untuk menjamin terpeliha ranya dialog yang berkesinambungan antara sekolah, orang tua murid dan masyarakat, mengenai hal-hal seperti: pembinaan wilayah, masalah kesempatan bekerja, pembelanjaan pendidikan, dan sebagainya. Dialog intern pun, yaitu intrasekolah dan antarsekolah amat perlu agar dalam implementasi pendidikan masing-masing dan bersama122 sama dapat dicapai tujuan pendidikan yang sebenarnya. Suatu lembaga persekolahan dapat saja mempunyai sasaran didik yang khas, selaras dengan tujuan diciptakannya. Sasaran Didik Sekolah http://facebook.com/indonesiapustaka Pendidikan berlangsung demi pertumbuhan murid dan masyarakat, yang tidak senantiasa dapat diramalkan sebelumnya. Oleh sebab itu, sekolah yang membantu proses didik perlu peka menangkap sasaran pendidikan yang mampu dijalankannya. Di dalamnya termaktub pengakuan bahwa sekolah tidak begitu saja dapat melaksanakan segala tugasnya dari segi luas, tetapi juga dari segi tahapan pendidikan. Oleh sebab itu, tujuan Sasaran Didik pendidikan persekolahan perlu dijabarkan dalam paduan-paduan sasaran yang khas, seperti berikut: a. pendidikan watak, yang tampak dalam penyadaran dan pendalaman nilai serta sikap-sikap (value and attitudes); pendidikan watak ini erat berkaitan dengan suara hati yang pembentukannya membutuhkan kebatinan yang tepat. Namun, dalam suatu negara majemuk, perlu sekali pengertian watak yang terbuka dan tidak begitu saja diidentikkan dengan sesuatu agama. Pendidikan watak membutuhkan orientasi ke-Indonesiaan, yang menguatkan persatuan kebangsaan, dalam kesadaran mendalam yang toh sudah dapat dijabarkan dari Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, di samping Persatuan Bangsa Indonesia. Ketiga sila tersebut dapat mendorong terbentuknya watak yang tepat bagi warga negara yang semakin dewasa. b. pengetahuan (knowledge); proses-proses kognitif (cognitive processes), yakni proses, kemampuan dan tindakan untuk mengetahui sesuatu. Bagi pembinaan kurikulum dan silabus adalah amat penting untuk pertama-tama menentukan imbangan atau persentase di 123 antara kelima sasaran pendidikan tersebut. Berikutnya sangatlah penting untuk mengetahui komponen-komponen tiap-tiap bidang sasaran sehingga dapat ditentukan dengan tepat jenis-jenis mata pelajaran yang terbaik dapat mewakili atau mencakup komponenkomponen tersebut. Selanjutnya berguna sekali untuk mengadakan penyebaran jenis-jenis mata pelajaran secara seimbang di dalam dan di antara setiap tingkat dan tahap pendidikan, serta memberikan isi pelajarannya yang paling sesuai. Sekaligus perlulah sekolah tahu diri, pendidikan terjadi, baik di sekolah maupun di luarnya, seperti dalam keluarga dan melalui radio, televisi, dan media elektronik yang beraneka macam. Sekolah tidak hanya tidak mampu, tetapi juga tidak layak mengira dapat memonopoli pendidikan. Seluruh ‘stake holders’ mempunyai tugas untuk mendidik dan karena itu mengambil bagian dalam proses didik. http://facebook.com/indonesiapustaka 1. Pendidikan Watak Pada bagian-bagian awal berkali-kali disebut harapan orang tua ketika menitipkan anak kepada guru atau sekolah “supaya menjadi orang baik”. Harapan itu dimiliki orang tua di seluruh dunia. Di Indonesia, ada harapan agar anak memiliki watak yang baik. Artinya, murid mampu mengenali diri sendiri secara memadai sesuai dengan usia dan tahap pendidikannya, memiliki kecerdasan yang berkembang selaras dengan tingkat hidupnya, mempunyai kreativitas dalam menempatkan diri di tengah alam dan sesamanya, menata perasaan yang tepat waktu serta tepat tempat maupun tepat sahabat. Untuk itu, murid membutuhkan pendampingan membentuk diri, khususnya wataknya. Melalui pendidikan watak, murid diharapkan berperilaku semakin lama semakin baik, menjadi manusia yang berwatak baik. Dalam rangkaian dengan Pancasila, baik melalui pengajaran tiap-tiap sila dari Pancasila, maupun melalui praktikum dan praktik pengamalan serta pengamanan keseluruhan integralnya, murid diharap memiliki 124 watak pancasilais. Pendidikan watak bertujuan membentuk manusia yang mandiri, cakap, kreatif, optimistis, dan bertanggung jawab. Cara pendidikan watak menyeluruh, baik dengan mengikuti pengajaran tentang aneka watak, maupun dengan mengambil bagian dalam seluruh kegiatan sekolah, yang menuntut kreativitas dan komitmen kepribadian seutuhnya. Oleh sebab itu, kurang memadai kalau pendidikan watak hanya dilakukan melalui ‘pelajaran budi pekerti’ atau ‘pelajaran kerohanian’, atau ‘pendalaman Pancasila’. Sebab, watak bukanlah teori mengenai moralitas, melainkan perwujudannya dalam tindakan pribadi maupun berkelompok. Bahkan pada akhirnya, tanggung jawab yang begitu penting dalam pembentukan watak, perlu ditunjukkan dalam pertanggungjawaban kepada Dia, Yang Menyelenggarakan seluruh pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan watak, memang tidak identik dengan pendidikan keimanan, tetapi erat berkaitan satu dengan lainnya. http://facebook.com/indonesiapustaka Kekuatan dan kedalamannya semakin tampak, ketika orang menyadari dan mengimani bahwa segala sesuatunya ada, berkembang serta menjadi dewasa, apabila semakin disuburkan oleh rahmat dan karunia Yang Mahasuci. Pendidikan watak akan terintegrasikan dalam pendidikan yang utuh, apabila pendidikan perwatakan dari agama dapat diungkapkan selaras dengan pendidikan watak budaya dan kemanusiaan dasariah. Sebab dengan demikian, pengertian-pengertian yang cenderung berwarna teologis dan ilosois, dapat diintegrasikan dengan pengalaman harian perseorangan maupun sosial. Tanpa upaya itu, pendidikan watak dapat tinggal di permukaan atau bersifat verbal dan ritualistik. Seluruhnya berjarak dari inti diri yang tersadari. Pendidikan watak memerlukan sifat yang integral. 125 2. Pendidikan Pengetahuan Sumbang sih yang sering diharapkan orang tua dari sekolah adalah memperkaya diri manusia muda antara lain dari segi pengembangan akal budi, pendewasaan perasaan, serta kemampuan menguasai tindak langkah selaras dengan kewajiban diri dan sesamanya: sejumlah hal yang memang terintegrasikan dengan pendidikan watak. Untuk mencapai semua itu, diperlukan banyak pengetahuan. Pendidikan pengetahuan pada asasnya merupakan pendidikan untuk mengembangkan kecerdasan, yang mengandung 8 kecerdasan dan pada umumnya dikatakan dapat dicapai melalui 2 kelompok ilmu-ilmu pengetahuan, yakni kelompok matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, serta kelompok ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Dua kelompok ilmu tersebut membentuk satu perpaduan, walau dalam pelaksanaannya sangat sering dibeda-bedakan; bahkan sering dipersaingkan. Namun karena manusia adalah utuh, kedua bidang keilmuan tersebut membutuhkan kesesuaian satu sama lain. http://facebook.com/indonesiapustaka 2.1 Pendidikan Matematik dan Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam Orang yang baik, sebagaimana diharapkan orang tua, diharapkan tidak bicara seakan-akan mimpi atau melamun, melainkan berdiri di bumi nyata, membuka mata dan telinga atas kejadian sebenarnya di sekitarnya, melangkah dengan kewaspadaan apa adanya. Untuk itulah diberikan pendidikan logis matematis, kritis dan kreatif. Semuanya dapat dicapai melalui matematika dan aneka ilmu-ilmu pengetahuan alam. Konsep-konsep science adalah ilmu manusiawi, yang merupakan hasil dari usaha manusia untuk mengategorisasikan, mengorelasikan, dan menerangkan pengamatan-pengamatannya tentang lingkunganlingkungan isik dan biologisnya. Struktur konsepsional dari science adalah dinamis dan bukan merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang statis. Tiap-tiap konsep harus dianggap sebagai pernyataan, yang berguna dalam arti dapat meramalkan kejadian-kejadian di masa 126 depan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut sambil memberikan arah untuk membuat pengamatan-pengamatan lebih banyak lagi. http://facebook.com/indonesiapustaka Untuk pengembangan ilmu tersebut diperlukan sejumlah prosesproses utama, yang mencakup sebagian terbesar dari aktivitas-aktivitas murid yang cocok untuk pengenalan dunia: a. mengamati (observing), yaitu yang membuka orang pada hal-hal di luar dirinya; b. menggolong-golongkan (classifying), yaitu yang menolong orang membagikan jutaan data menjadi kelompok-kelompok yang mempermudah pemahamannya; c. menurunkan (inferring, aleiden), yaitu yang membantu orang untuk menjabarkan hal-hal yang ditangkapnya dalam golongan-golongan yang lebih dapat dimengerti; d. meramalkan (predicting), yaitu memperhitungkan perkembangan data mengikuti dinamika pertumbuhannya; e. mengukur (measuring), yaitu memahami kait-mengait bagianbagian dari data yang bersangkutan, untuk mencakupnya dalam gugusan yang lebih terpahami; f. mengomunikasikan (communicating), yaitu proses untuk menjadikan hasil studi sebagai bahan untuk memperkaya kebersamaan manusia dengan tambahan pengetahuan baru; g. menafsirkan data (interpreting data), yaitu proses menangkap makna setiap data demi kepentingan pengetahuan dalam urutan atau kaitan satu sama lain; h. membuat definisi-definisi operasional (making operational deinitions), yaitu merumuskan kembali data sehingga mempermudah komunikasi lebih lanjut; 127 i. merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan hipotesa-hipotesa (formulating questions and hypotheses), yaitu membangun ancangan untuk pengetahuan lebih lanjut tentang buah pemikiran yang beraneka warna; j. bereksperimen (experimenting), yaitu mencoba beberapa kemungkinan pemahaman baru dari kait-mengait antara beberapa data dan pemahaman, yang dihasilkan oleh hipotesis-hipotesis; k. merumuskan model-model (formulating models), yaitu mengalimatkan alternatif-alternatif perkembangan teori ilmu yang baru atas aneka kait-mengait hasil pemikiran yang sudah tercapai. Kemampuan menganalisis ini perlu dilengkapi dengan daya sintesis untuk dapat memanfaatkan perkembangan bagian ilmu yang sudah dikembangkan guna sesuatu kepentingan, serta memberi kemampuan kepadanya untuk mewujudkan pemanfaatan tersebut. http://facebook.com/indonesiapustaka 2.2 Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Juga dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial, yang mencakup sejarah, geograi, antropologi, sosiologi, ekonomi dan ilmu politik, hendaknya ditempuh “inquiry-centered approach”. Pengetahuan faktual merupakan “conventional wisdom” yang terus-menerus membutuhkan langkah lebih lanjut. Tidak semua fakta dapat atau seharusnya dipelajari, tetapi para pendidik hendaknya membantu para murid untuk mengumpulkan kompleksitas dari fakta-fakta yang mereka hadapi dan menyusunnya dalam konsep-konsep. Konsep adalah wahana pemikiran yang merupakan abstraksi yang dipakai untuk mengorganisasikan, memberikan arti, dan mengomunikasikan pengalaman manusia. Dua konsep atau lebih, dapat mempunyai hubungan, dan timbullah generalisasi. Konsep dan generalisasi dianggap sebagai tahap-tahap untuk menyederhanakan pengalaman manusia. Konsep-konsep memberikan urutan-urutan dan arti kepada data-data, se dangkan 128 generalisasi memberikan urutan-urutan dan arti kepada konsepkonsep. Dilihat dari segi pembinaan kurikulum hendaknya jangan dilupakan fakta bahwa antara science dan aktivitas-aktivitas manusia terdapat pengaruh-pengaruh timbal balik: science memengaruhi aktivitas-aktivitas manusia, dan sebaliknya science pun dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas manusia. Dalam kaitan satu sama lain itulah, hidup manusia tumbuh dan berkembang tanpa henti. Dalam perkembangan itu pun hukum alam ditemukan lagi dan lagi: manusia semakin kenal dengan mempelajari alam semesta dalam dan di luar tubuhnya. http://facebook.com/indonesiapustaka Perpaduan Integrasi seluruh proses pengetahuan tersebut menciptakan manusia yang semakin lama semakin kenal alam semesta dan kemanusiaan dalam kaitan satu sama lain; bukan sekadar tahu yang terkeping-keping. Dengan memperpadukan watak pengetahuan dan kecerdasan keterampilan diharapkan tercapailah suatu imbangan yang harmonis antara “hati - budi - kaki” bagi setiap murid, yang disesuaikan dengan kemampuan, hasrat, dan bakat mereka masing-masing, demi kepentingan masa depan baik anak didik itu sendiri maupun masyarakat di sekitarnya, di mana ia selalu Learning by harus dapat berkomunikasi dan menyesuaikan diri.165 Doing Keterpaduan pengetahuan menjadikan manusia dapat menguasai diri dan lingkungannya: manusia yang seimbang. Untuk dapat melaksanakan proses didik tersebut, tentu saja diperlukan banyak persiapan-persiapan serta perencanaan-perencanaan 165 Bdk. Panduan Sekolah Demokrasi untuk Komunitas FBO (Faith Based Organization) dalam Pendidikan Demokrasi untuk Faith Based Organization: Modul Civic Education (Jakarta: PBNU, 2013), hlm. 29-43. 129 cermat, antara lain mengenai tenaga, alat-alat dan kurikulum. Secara sederhana, dalam kerangka ini, ‘mengajar’ adalah memberi stimulus atau perangsang untuk belajar. Sedangkan belajar adalah proses aktif yang dijalani melalui berbuat, mengadakan reaksi, dan mengalami. Akan tetapi, anak didik itu bukanlah sekadar rangkaian mekanisme stimulus-response. Murid dalam proses belajar itu dibantu untuk mampu mengambil bagian utuh dalam pendidikan dirinya sendiri. Segala sesuatu yang dilakukan untuk mendinamisasikan proses belajar itu tercakup dalam metode mengajar. Metode adalah rangkaian prosedur sistematis yang dibentuk untuk menyalurkan sejumlah aktivitas yang bulat sehingga seluruhnya membentuk kesatuan. Adapun teknik dan cara adalah bagian-bagian dalam metode termaksud. Teknik dan cara itu adalah prosedur-prosedur pembantu yang direncanakan untuk suatu tujuan, hal atau saat yang khusus. http://facebook.com/indonesiapustaka Metode sistematis itu adalah sangat penting dalam bidang-bidang: mengetahui, berpikir, belajar, dan mengajar. Metode-metode itu harus memperhitungkan sifat dari proses belajar dan dari pelajar, tujuan atau hasil belajar yang dikehendaki. Metode-metode itu harus berbeda apabila tantangan-tantangannya berbeda-beda dan untuk tujuan pendidikan umum dan khusus yang berbeda-beda pula. Namun, mereka semua tetap harus membentuk keutuhan. Proses belajar dari murid tergantung pula pada tahap perkembangan atau kematangan dari daya tangkap, inteligensi, dan temperamennya. Ada kalanya faktor-faktor keturunan dan bukan faktor-faktor latihan yang memegang peranan dalam kapasitasnya untuk maju dalam suatu bidang. Penghambat Pendidikan Sekolah Jarak antara Sekolah dan masyarakat Sebagai suatu lembaga, sekolah-sekolah mengambil posisi tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian, tentulah ada sesuatu 130 http://facebook.com/indonesiapustaka jarak antara sekolah dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini melambangkan adanya maksud untuk memberi tempat khusus kepada sekolah yang diharapkan memang mempunyai makna bagi masyarakat, namun tetap berada dalam sesuatu jarak dengan perwujudan hidup kemasyarakatan. Sebab sekolah dilembagakan justru untuk memberi fokus gerak tertentu, demi persiapan profesional, agar generasi muda membawa masyarakat bergerak lebih Sekolah di maju lagi. Dalam hal ini tujuan utama sekolah tidaklah Masyarakat untuk merugikan masyarakat. Namun, jarak tersebut dapat juga menghambat berfungsinya sekolah bagi masyarakat. Negara-negara yang telah mencapai tingkat kemajuan tertentu, melihat bahwa sekolah adalah suatu kekuatan positif bagi berjalannya roda masyarakat secara profesional. Tetapi negara-negara itu pun melihat pula bahwa sekolah tidak serta merta tumbuh menjadi kekuatan pembaruan karena ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu apabila benar-benar dikehendaki adanya kekuatan-kekuatan itu. Tanpa terpenuhinya syarat-syarat itu, sekolah lebih banyak bersifat konsumtif daripada bersifat produktif, sekolah mungkin saja cenderung lebih banyak bersifat mengawetkan nilai-nilai yang sudah usang daripada menjadi sumber inspirasi nilai-nilai baru, sekolah lebih banyak merupakan masalah daripada merupakan potensi, sekolah lebih bersifat ‘survival’ dan bukannya bersifat ‘developmental’, dan sekolah dapat berperan sebagai kekuatan dan benteng yang terkuat dalam menentang segala macam pembaruan. Ketidakseimbangan Vertikal Dalam hubungan ini pula, di antara masalah-masalah pendidikan yang sangat erat hubungannya dengan sistem pendidikan itu adalah antara lain tidak adanya keseimbangan vertikal, yaitu perimbangan kesempatan belajar (penampungan) dari tingkat sekolah di bawahnya 131 ke tingkat di atasnya sangat tidak memadai sehingga pola piramida pendidikan menunjukkan gambar yang tidak serasi. Akibat tidak ada keseimbangan vertikal tersebut di atas, sangat dirasakan di mana setiap permulaan tahun ajaran selalu timbul kegelisahan dan kegoncangan dalam masyarakat, tidak adanya keseimbangan antara permintaan dan penyediaan tempat penampungan dan secara akumulatif menimbulkan distorsi dalam pola penyediaan tenaga kerja di Indonesia, yang memerlukan waktu sangat lama untuk memperbaikinya. Sedangkan tidak adanya keseimbangan vertikal mengakibatkan sekolah kurang dapat menunjang keperluan pembangunan dalam penyediaan man power menambah jumlah pengangguran intelektual dan menambah kuatnya arus “urbanisasi” yang sekaligus menimbulkan kekosongan tenaga potensial di desa atau daerah. http://facebook.com/indonesiapustaka Ketidakseimbangan Horizontal Sementara itu dapat pula terjadi bahwa terganggulah keseimbangan horizontal, yaitu bahwa perbandingan jumlah, baik mengenai banyaknya pelajaran maupun kesempatan belajar, antara pendidikan kejuruan atau teknik dan pendidikan umum atau sosial, sangat tidak serasi, dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Kepincangan tersebut menyebabkan orang tidak melihat alternatif sekolah generasi muda. Murid juga tertutup matanya untuk melihat bahwa sekolah umum dan sekolah ‘vokasional’ sama-sama merupakan tempat pengembangan diri: tergantung dari jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Ketidakseimbangan horizontal dapat pula disebabkan oleh kelengahan pemerintah, dalam hal menjelaskan kepada rakyat mengenai kebutuhan masyarakat yang dapat dipenuhi, baik dengan sekolah jenis A, B, atau C, pada tingkat mana pun. 132 Dalam masyarakat, kerap disebarkan iklan yang mementingkan sekolah umum, padahal sebenarnya banyak murid lebih cocok pada sekolah kejuruan. Kecocokan tersebut dapat disebabkan oleh kondisi daerah, kondisi ekonomi, kecakapan murid maupun tersedianya guru yang kompeten. Masyarakat juga sering mengikuti arus, sekitar 50 tahun yang sering dipropagandakan, yakni “sekolahlah”; tanpa menjelaskan aneka jenis persekolahan. Pada masa sekarang diperlukan penjelasan yang lebih cermat, mengenai pelbagai macam sekolah. Penjelasan yang lebih tepat mengenai aneka kemungkinan bersekolah dapat membantu masyarakat untuk terbuka pada bentuk-bentuk lembaga yang ditawarkan demi pertumbuhan pribadi generasi muda. Pelbagai macam tawaran tersebut tidak hanya membuka mata pada kemungkinan-kemungkinan sekolah, tetapi peluang kerja di masa depan. http://facebook.com/indonesiapustaka metode Verbalistis Pendidikan, terutama di sekolah, akhir-akhir ini berkaitan erat dengan kertas dan buku. Bukanlah pemandangan istimewa, kalau di pagi hari, bus dan kereta api serta jalan-jalan dipenuhi oleh ribuan anak, yang dibebani tas penuh lembaran kertas. Bahkan, Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-kanak sudah harus menyeret tas berat. Guru diwajibkan menuliskan persiapan pelajaran dan kemudian mencatat evaluasinya, serta pada waktu tertentu dilaporkan (dengan kertas pula) dengan ratusan kata ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ujian juga ditentukan dalam bentuk tes kata-kata. Verbalisme menyebar sebagai penyakit di sekolah. Metode verbalistis dianggap mempermudah negara mengevaluasi ‘dunia pendidikan’. “Wörter über alles” = kata-kata di atas segalanya. Dengan demikian, dunia persekolahan diwajibkan menonjolkan ‘kecerdasan logis matematis’, sesuatu yang merupakan salah satu dari 8 kecerdasan, yang dipelajari Howard Gardner. Rapor murid dipenuhi hasil tes mengenai 133 bagian kecerdasan logis matematis (paling jauh ditambah ‘kecerdasan musikal’). Pelaporan mengenai kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal, apalagi kecerdasan spiritual sangatlah tipis. Suatu masalah yang penting dikemukakan dalam hubungan ini pula adalah masih berlakunya metode pendidikan yang verbalistis di mana dipergunakan cara bercerita (lecture) dan menghafal, yang kurang dapat mengembangkan inisiatif dan kreasi murid, serta canggung dalam mencari pemecahan persoalan, demikian pula kurang adanya kesempatan untuk mengadakan pengelolaan dalam segi mental dan pengembangan kepribadian. Dampaknya muncul ketika murid tamat dan melamar pekerjaan, yang menantang untuk mengeluarkan kecakapan lebih luas daripada hafalan mereka. Penelitian PISA 2016 menunjukkan lemahnya kemampuan murid Indonesia untuk memahami bacaan. Paduan http://facebook.com/indonesiapustaka Kenyataan-kenyataan di atas membawa kita kepada keharusan untuk berani meninjau kembali sistem pendidikan yang hingga kini masih berlaku di negara kita. Sementara itu, setiap kebijakan pendidikan haruslah dapat mencakup 2 tujuan, yaitu memecahkan masalahmasalah yang kita hadapi sekarang dan memberikan pendidikan suatu peranan yang prospektif. Kreativitas dan kecerdasan-kecerdasan di luar logis matematis perlu mendapat tempat dalam sistem pendidikan kita. Kecerdasan tersebut perlu diintegrasikan dalam sistem pendidikan, penilaian murid dan evaluasi seluruh cara mendidik. Bila perluasan dan pendalaman tidak terjadi dalam cara pendidikan di sekolah, dapatlah sekolah-sekolah menghasilkan murid yang justru dihambat kemanusiaannya. 134 Yang Paling Butuh Dari antara penduduk Indonesia, sangat banyak calon murid yang tidak mendapat tempat di sekolah-sekolah serta tidak memperoleh kesempatan pendidikan luar sekolah, apalagi ’home schooling’. Dari antara mereka itu terdapat jutaan (calon) murid dari daerah terpencil dan miskin. Merekalah yang paling membutuhkan pendidikan. Pelayanan bagi ’yang kecil’ dalam lingkup pendidikan, baik formal maupun nonformal dapat dilihat dalam kerangka pandangan tentang pergulatan rakyat Indonesia Yang butuh didik maupun tentang iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inilah bagian kewajiban bangsa untuk mengusahakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. http://facebook.com/indonesiapustaka a. Dari tinjauan umum atas pergulatan rakyat Indonesia dapat dilihat bahwa masalah yang paling terasa adalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Yang paling menderita dalam urusan itu adalah para buruh desa, buruh kota, pegawai rendahan, prajurit dan sebagainya, singkatnya rakyat kecil. Secara konstitusional dasariah, mereka mendapat perhatian besar dari negara, tetapi secara nyata mereka kerap terjepit. Maka, mayoritas rakyat memang bergulat dalam situasi terjepit sebagai rakyat kecil. Pengacuan pendidikan pada interaksi manusia dengan sesama, dalam hal ini terjalin dalam keseluruhan interaksi orang-orang kecil yang terjepit. Keterjepitan mereka itu kerap kali tidak pertama-tama disebabkan oleh keengganan atau kemalasan mereka sendiri, kadang-kadang juga bukan karena satu atau dua orang atasan mereka yang jahat dan bukan karena kurangnya kehendak baik pada banyak pejabat. Keterjepitan orang kecil ini pada banyak hal lebih dikarenakan struktur masyarakat (nasional maupun internasional) yang tidak adil bagi kaum kecil (entah perorangan, entah negara kecil). Maka, kalau pendidikan mau membantu agar orang berkembang 135 http://facebook.com/indonesiapustaka dan dapat menempatkan diri secara bertanggung jawab dalam lingkungannya, haruslah berurusan dengan problematik keadilan bagi rakyat kecil. Jadi, dari sudut pengamatan kemasyarakatan, pengacuan pada masalah keadilan bagi rakyat kecil merupakan matra konstitusi bagi setiap proses pendidikan (entah formal, entah nonformal). 136 b. Dari tinjauan hidup beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat ditemukan bahwa setiap orang beriman, orang kecil harus memperoleh prioritas pelayanan. Sebab identiikasi Tuhan dengan si kecil sedemikian menonjol dalam semua agama sehingga tolok ukur utama, apakah seseorang pantas masuk ke surga adalah kadar perhatiannya kepada si kecil. ”... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25: 40). Jadi, orang yang terbaik adalah orang yang memberi perhatian kepada manusia-manusia yang paling hina dan paling kecil. Lalu kalau pendidikan adalah usaha-usaha terpadu untuk membantu agar murid menjadi ’orang baik’ itu berarti bahwa arah pelayanan pendidikan haruslah menuju ke pelayanan bagi yang terkecil. Jadi, dari sudut pemahaman dan penghayatan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan juga mempunyai matra konstitusi untuk memprioritaskan pelayanan bagi orang-orang kecil. c. Beberapa taraf pengarahan pendidikan yang memprioritaskan pelayanan bagi orang kecil. Tidak semua dari kita memiliki kesempatan dan kemampuan serta kemudahan atau jalur yang sama dalam dunia pendidikan, sungguh memberi prioritas pelayanan bagi orang kecil. Oleh sebab itu, bentuk pelayanannya dapat berbeda-beda. Dan memang dampaknya juga berlain-lainan. Namun, ada satu hal yang dapat dilakukan oleh semua, yakni menarik perhatian semua murid adanya ’orang miskin di dekat rumah mereka’ (bahkan mungkin dalam rumah sendiri). Seluruh rakyat perlu diberi pendidikan mengenai ’adanya orang yang lebih miskin dan lebih rapuh dari dirinya sendiri’. Agaknya satu sama lain perlu diusahakan untuk dapat saling melengkapi. http://facebook.com/indonesiapustaka 1) Pada taraf petugas langsung pendidikan, kita dapat berbuat di bidang personal banyak hal harian yang pasti cepat terasa dan tampak dampaknya. ’Petugas langsung pendidikan’ yang dimaksudkan adalah guru di kelas. Petugas semacam ini memiliki kesempatan banyak untuk lebih memihak si kecil, yaitu anak-anak dari lingkungan ekonomi lemah, tanpa menjadikan mereka objek belas kasih dan amal kasih maupun membuat mereka kikuk di tengah kawan-kawan. Namun perlu diingat, bahwa menerima sekian persen anak miskin di sekolah belum pasti memadai untuk ’pendidikan bagi yang paling membutuhkan pendidikan’. Sebab, latar belakang sosio kultural dapat tetap menghambat anak miskin, di samping bekal gizi serta kesempatan maupun semangat kokurikuler dan ekstrakurikuler dapat menimbulkan komplikasi yang tidak kecil dan dapat membuyarkan cita-cita melayani orang kecil. Maka, solidaritas antara siswa dapat dirangsang. 2) Pada taraf pimpinan unit pendidikan beberapa hal struktural sudah mulai dapat dilengkapi kepada usaha-usaha personal di atas. ’Pimpinan unit pendidikan’ yang saya maksudkan adalah kepala sekolah, ketua yayasan, dan pimpinan kompleks pendidikan. Mereka ini mempunyai kesempatan dan kemudahan untuk menciptakan struktur pendidikan sedemikian sehingga prioritas pelayanan kepada orang kecil (siswa dan karyawan) tidak digantungkan kepada kemauan sukarela petugas langsung melainkan dikondisikan supaya mendapat mekanisme tetap. Mekanisme itu dapat berupa aturan penerimaan, aturan gaji, aturan beasiswa, pelayanan studi atau bimbingan dan sebagainya. Lebih lanjut lagi, para 137 pimpinan taraf ini sering kali harus memanfaatkan kontak dengan lembaga-lembaga sejenis dan petugas pemerintah untuk secara struktural meluas dapat mendorong perhatian real kepada orang kecil. http://facebook.com/indonesiapustaka 3) Pimpinan regional atau nasional unit-unit pendidikan biasanya tak memiliki banyak kemungkinan untuk secara langsung menangani pelayanan pendidikan bagi orang kecil. Tetapi, ada beberapa hal struktural dan personal toh dapat dikerjakan. Dalam hal struktural, mereka dapat mengusahakan agar disusun kebijakan regional atau nasional seputar aturan penerimaan, aturan penggajian, pola kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dan sebagai nya. Mereka juga dapat mengusahakan hari-hari studi atau rapat kerja untuk mengolah kebijakan-kebijakan yang lebih rumit maupun pendalaman ilmiah atau spiritual perihal pengarahan pendidikan dengan implikasi-implikasi administratifnya. Mereka juga dapat memprakarsai pembicaraan-pembicaraan serupa dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Dalam hal personal, mereka dapat mengusahakan agar bagi lembaga-lembaga pendidikan dipilih orang-orang yang tepat dengan orientasi dan kecakapan serasi untuk kepentingan ini. Mereka dapat mengusulkan penyiapan tenaga-tenaga muda secara terperinci. Mereka dapat mengusahakan pembimbing-pembimbing rekoleksi atau retret yang sesuai bagi para petugas lapangan. 4) Bagi orang barangkali tersedia kesempatan, kecakapan, dan keleluasaan untuk menulis dan mendokumentasikan pengalaman-pengalaman pelbagai unit dalam arah pelayanan dengan prioritas bagi si kecil. Hal itu akan dapat berguna bagi keperluan intern tetapi juga bisa merupakan sumber berharga bagi mereka-mereka yang bekerja dan berjuang di tempat lain (awam, rekan lain). Sebab dokumentasi semacam itu 138 merupakan bahan berharga untuk mengembangkan pemikiran bagi: a) perekayasaan sosial kemasyarakatan di bidang pendidikan; b) penyusunan sistem pendidikan nasional (berikut perundang-undangan dan perangkat administratifnya); c) pembuatan sistem dan gaya pengelolaan lokal yang berorientasi pada rakyat kecil; d) teknologi pendidikan (khususnya kurikulum) yang merakyat. Berbagi tulisan itu di majalah atau koran atau membukukannya dapatlah meningkatkan profesionalisasi pendidikan bagi ’yang butuh’. http://facebook.com/indonesiapustaka d. Beberapa unsur pendidikan bagi keadilan. Mungkin ada gunanya kalau masih disebutkan dengan singkat beberapa unsur yang layak untuk diperhatikan dari sudut isi pendidikan untuk berorientasi kepada rakyat kecil. Dalam lingkup ini, daerah terpencil dan guru yang ditugasi di daerah pedalaman serta penggajian atau honor bagi ’guru-guru kecil’ perlu dipandang sebagai bagian penting. 20% dari Rencana Anggaran Pembangunan Daerah (RAPBD) atau Rencana Anggaran Pembangunan Negara (RAPBN) perlu diperuntukkan bagi ’orang-orang yang membagikan kemanusiaannya bagi pendidikan rakyat tersisih’. Dalam hal ini, fokus kita letakkan pada ’manusia tersisih yang mendidik murid tersisih’. Unsur-unsur ini tidak bersifat ’exhaustive’, seakan-akan tak ada lain lagi yang dapat ditambahkan, tetapi memang dicoba untuk cukup lengkap. Bimbingan Bagi Sekolah Pelayanan pendidikan di sekolah tidak datang begitu saja; apalagi karena dalam sekolah keguruan di masa silam maupun lembaga pendidikan guru sekarang, bagian pelayanan sekolah sulit diberi tempat 139 http://facebook.com/indonesiapustaka penting. Sebab, model perguruan tinggi dalam hal ini sering terpenuhi oleh ’tugas-tugas birokratis’. Oleh sebab itu, diperlukan pemikiran yang lebih menyeluruh mengenai ”bimbingan bagi sekolah”. 140 a. Bimbingan untuk membuka mata terhadap kenyataan masyarakat atau jemaah setempat. Dalam bimbingan ini termasuk tidak hanya masukan intelektual dan latihan keterampilan maupun dorongan voluntative, tetapi juga penciptaan mekanisme struktural yang barangkali membutuhkan koreksi kurikuler atau kokurikuler dan ekstrakurikuler. Makin baik lagi bila dibimbing mengenali aneka kecerdasan dan cara memanfaatkannya bagi proses didik di kelas maupun di luar kelas. b. Bimbingan untuk membuka hati terhadap orang-orang yang terjebak dalam dunia rakyat kecil. Di sini, murid dibantu untuk tidak hanya secara teoretis dan intelektual belaka memandang permasalahan rakyat kecil, melainkan dengan sepenuh hati melibatkan seluruh hati dan pribadi orang. Rasa solidaritaslah yang menjadi sasaran bimbingan semacam ini. Oleh sebab itu, segi tersebut merupakan bagian hakiki bagi perkembangan murid untuk menjadi murid yang manusiawi: menjadi orang yang lebih baik. Kita perlu mempelajari cara-cara mendidik altruisme yang tulus. c. Bantuan untuk mempunyai sikap kritis yang tepat terhadap situasi rakyat kecil. Di situ, para murid ditolong untuk benar-benar menganalisis usaha-usaha peningkatan kesejahteraan kaum miskin dengan sikap kritis yang objektif. Lebih baik lagi kalau mereka didampingi agar berani dan mampu memikirkan arah dan pola pelayanan alternatif. Jadi, mereka belajar bersikap positif dan tidak hanya situasi negatif saja. Dalam hal itu, baiklah mereka dibantu mengenali masalah sosial melalui majalah, koran, televisi, media sosial, dan pergaulan kemasyarakatan. http://facebook.com/indonesiapustaka d. Pertolongan untuk meneliti hubungan antara keterlibatan mereka dalam situasi rakyat kecil itu dengan panggilan iman masingmasing. Di situ, mereka diajak untuk menembus keprihatinan emosional, perhatian intelektual, minat sosial, cita-cita politis maupun gagasan-gagasan ideologis sampai ke dasar cinta kasih, yaitu bahwa mereka sudah lebih dahulu dicintai Tuhan dan karena itu atas dasar iman pada kebaikan Tuhan terpanggil untuk menyebar cinta secara nyata agar rakyat kecil juga percaya bahwa cinta masih ada. Barangkali masak pula kesempatannya untuk mempelajari ’mysterium iniquitatis’ dan ’menengadah kepada Tuhan dalam situasi yang paling buruk sekalipun’ perihal makna penderitaan, kejahatan. Di sana permasalahan dosa, dosa, personal dan struktural, dosa asal, penebusan dan rahmat menjadi bahan penting agar orang beriman dapat menemukan makna iman dalam situasi yang hampir membuat orang putus asa. Bagi kita tak terlalu sulit bila meyakini bahwa justru melalui menyerahkan diri demi ketaatan pada Tuhan dan cinta pada manusia dengan menderitalah, manusia akan memperoleh kebahagiaan terdalam. e. Atas dasar renungan iman itu perlu dikembangkan kesadaran bahwa tidak hanya peroranganlah yang harus terlibat dalam urusan perjuangan bagi rakyat kecil. Seluruh jemaat dan segenap masyarakat dengan semua pranata dan tatanannya harus dikerahkan untuk kepentingan itu. Sasarannya kesejahteraan dan solidaritas antara semua umat Allah. menilai Pendidikan Semua pekerjaan membutuhkan penilaian, sejauh manakah sudah mencapai apa yang disebut dalam visi dan misi. Pada tataran yang lebih sempit, setiap murid membutuhkan penilaian, apa sajakah buah 141 http://facebook.com/indonesiapustaka pembelajarannya.166 Namun, rumitnya proses didik menyebabkan beranekawarnanya cara maupun buah penilaian pendidikan. Banyak sekali ditemukan alat pengukur hasil penilaian pendidikan. Salah satu yang sejak beberapa tahun ditawarkan oleh pemerintah Indonesia diberi nama ‘Ujian Nasional’, yang dimaksudkan untuk mengetahui hasil didik seluruh Indonesia. Apabila diperhatikan unsur-unsur yang memengaruhi pendidikan, apalagi dalam lembaga pendidikan (sekolah), tidak mudah menyelenggarakan Ujian Nasional yang sama bagi semua daerah Indonesia. Sesungguhnya, kesulitan tersebut mudah dipahami kalau diingat bahwa Indonesia paling barat sampai ke Indonesia paling timur; yang paling utara sampai ke wilayah paling selatan, membentang di daerah geograis dan wilayah budaya seperti dari Portugis sampai ke Rusia. Di Eropa, penilaian pendidikan dilakukan secara berlain-lainan selaras dengan daerahnya; di Indonesia, daerah seluas itu mau menilai pendidikannya secara sama. Yang paling dapat dipahami dan dilaksanakan adalah evaluasi tiap daerah dan tiap bidang studi. Itu pun baru menghasilkan beberapa segi studi. 167 Kondisi menjadi lebih sulit, apabila diperhitungkan juga situasi dan kondisi murid dan guru serta sekolah. Kurikulum yang terbaik menurut cara penyusunan Indonesia sejauh ini, tidak mudah dievaluasi pelaksanaan dan hasilnya.168 Menilai Dari pengalaman muncul kenyataan bahwa penilaian pendidikan seperti itu baru memuaskan pada tingkat daerah, bahkan dengan catatan-catatan seputar bidang penguasaan bahan. Selain itu muncul masalah mengenai alat-akat ukur dan bobotbobot pengukurannya. Yang sering diperoleh sebagai buah evaluasi 166 Lih. Misalnya: Masidjo, Ign., Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah (Yogyakarta: Kanisius, 1995), terutama hlm. 10-37. 167 Lih. Masidjo Op.cit. khususnya Bab I, Pendahuluan. 168 Bdk. Masidjo, Op.cit. hlm. 184. 142 adalah penilaian selaras dengan kelembagaan berkelompok maupun sesuai dengan jurusan masing-masing. Bagaimanapun juga yang dapat dipetik sebagai bahan dan hasil evaluasi adalah kalau evaluasi diadakan setiap lembaga pendidikan. Dalam hal ini pun dapat didiskusikan, penilaiannya menuju pada pembandingan kemampuan antara para murid sehingga ada pengurutan kepandaian. Cara pengurutan dapat menciptakan suasana persaingan di antara para murid yang mempunyai dampak perkembangan egoisme intelektual. Banyak pemikir yang menganjurkan penilaian pertumbuhan pendidikan dengan mempergunakan pengamatan kerja sama, seperti yang akhir-akhir ini berkembang di Finlandia dan daerah Skandinavia. Cara demikian masih juga menguatkan pendidikan kerja sama manusia dewasa di kelak kemudian hari.169 Dalam pelaksanaannya penilaian pendidikan diperoleh dari evaluasi lembaga yang bersangkutan dan lembaga-lembaga yang nantinya memanfaatkan buah didik setiap lembaga. menuju masa Depan http://facebook.com/indonesiapustaka Arah pelayanan kita di bidang pendidikan telah kita telaah dengan memperhatikan lingkungan, sebagai Indonesia, pergumulan khusus dunia pendidikan. Sebetulnya masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai dasar keterlibatan kelompok kita sendiri. Kerangka keterlibatan itu menuntut pengolahan lebih khusus. Releksi 1. Hal positif atau negatif apa yang membekas dalam pengalaman didik Anda sehingga memengaruhi cara didik Anda? 169 Subiyanto, Paulus, Dari Kompetitif ke Kooperatif, dalam Media MNPK, No. 3-4, Tahun XXIII, Agustus-September 2002, hlm. 39-40. 143 http://facebook.com/indonesiapustaka 144 2. Jelaskah arah pendidikan dari mereka yang mendidik Anda? 3. Apakah ada pihak lain yang memengaruhi arah pendidikan itu? Caranya? 4. Bagaimana perkembangan teknologi berpengaruh pada arah murid belajar? 5. Apakah ada tanda-tanda bahwa Yang Ilahi ada di hati para murid Anda? Sekolah sebagai Lembaga Didik Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. (Ki Hadjar Dewantara) http://facebook.com/indonesiapustaka L isa dan Lina, yang penuh kasih kepada anaknya, hampir tidak sampai hati melepaskan Rani dan Rini, anak-anak mereka yang menangis ketika untuk pertama kalinya di tinggal dalam kelas Pendidikan Anak Usia Dini. Hanya cinta saja yang memaksa kedua ibu itu untuk meninggalkan di tempat yang sejauh itu masih asing bagi mereka. Pendidikan di sekolah, dengan seberapa pun penderitaan, berjiwakan cinta kasih. Sekian banyak beban di kelas, di sekolah, dalam perjalanan dan dalam pergaulan adalah ‘tempat dan kesempatan menunjukkan dan memperoleh serta mengembangkan cinta kasih’. Dari rumah, terbayang-bayang anak-anak itu di sekolah mendapat ‘cinta lain’, yakni dari guru dan teman-teman baru. Melepaskan anak-anak kepada komunitas baru dengan teman-teman sebaya bersama pendidik mereka adalah tanda cinta orang tua. Kadang kala para ibu dan ayah masih berani ‘lebih nekat’ lagi dengan mendorong anak-anak untuk melakukan ‘pelayanan sosial kecil-kecilan’, yaitu berbagi bekal dengan teman-teman yang ‘tidak seberuntung dari mereka’. Semua ibu yang sehat akan penuh kasih sayang kalau memandang anak-anak kecil itu saling ‘berbagi cerita’ dan saling ‘memberi nasihat’ sehingga sedikit demi sedikit membangun persahabatan. Mulut-mulut kecil mereka kerap kali sudah saling mengajarkan akal-akal kecil dan kebijakan sederhana mereka untuk mengatasi pekerjaan di kelas atau di rumah. 145 ‘Petualangan cinta orang tua’ tersebut dapat dibayangkan lebih besar lagi kalau daerah mereka dan sekolah anak-anak kecil itu terletak di lingkungan ‘asing’,- asing dari sudut bahasa, asing dari sudut agama, dan sebagainya. Begitulah komunitas anak-anak kecil itu berkembang bersama dengan perluasan pergaulan dan kepandaian mereka. Sejak PAUD, Sekolah Dasar dan selanjutnya, pendidikan dibentuk dalam kelembagaan. Kelembagaan tercipta dengan pelbagai macam cara dan bentuk. Tetapi yang dicita-citakan, semua dijiwai oleh cinta kasih dengan pelbagai macam cara dan kepekatannya. Pendidikan yang terjadi di seluruh dunia mencuat melalui peristiwa-peristiwa di atas. Kadang kala cinta orang tua tidak dapat memilih kecuali mengantarkan anakanak pada lingkup baru tersebut. Pada akhirnya, yang menjalankan proses belajar adalah anak-anak itu: belajar hidup sebagai manusia yang lambat laun menjadi dewasa. http://facebook.com/indonesiapustaka Belajar dari Sejarah Sejak masa Hindia Belanda, di Sumatra bagian utara sudah berdiri suatu lembaga pendidikan, yang disebut Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobatu (1862). Kweekschool (Sekolah Guru) ini didirikan oleh Willem Iskander, yang dilahirkan (1840) sebagai Sati Nasution, anak Raja Tinating di Pidoli Lombang, Panyabungan, Ibukota Asisten Residensi, Mandailing Angkola.170 Sementara itu di Jawa Tengah, Frans van Lith, yang amat dihargai oleh masyarakat pendidikan Indonesia, memulai lembaga didik.171 Sementara itu, pada tahun 1922, Taman Siswa didirikan oleh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, dari keluarga Pakualam di Yogyakarta.172 Pada tanggal 31 Oktober 1926, Inlandsche 170 Sularto, St., Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, 2016), hlm. 9-11. 171 Lih. Rosariyanto, Fl. Hasto, SJ, Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2009), hlm. viii-265. 172 Inspirasi Kebangsaan, Op.cit., hlm. 57 dst. 146 http://facebook.com/indonesiapustaka Nijverheid School yang kemudian bernama Institut Nasional Sjafe’i Kayutanam, didirikan pula oleh Engku Muhammad Sjafe’i.173 Hal serupa dilakukan oleh Paguyuban Adabiah di Padang.174 Di Jakarta, sejak dini berdiri Perkumpulan Strada, sebagai lembaga didik. Strada sadar sekali bahwa dasar pendidikan diletakkan dalam keluarga.175 Sementara itu, orang tua dari keluarga mana pun di masa kini tidak dapat memberi pendidikan lengkap sendirian. Mereka memerlukan orang lain untuk membantu mendidik anak-anak. Bantuan tersebut dapat dilakukan dengan pelbagai cara: dapat secara insidental, seperti apabila petugas PMI mendidik kesehatan bagi anak-anak di kampung atau orang kelurahan mendidik ketertiban hidup bersama. Diperlukan cara didik yang berkesinambungan dan terorganisasikan dengan baik sehingga pelbagai kemampuan hidup dapat dipelajari murid-murid menyongsong masa depannya. Itulah sekolah, yakni pendidikan yang dilembagakan: ya didirikannya, dikerjakannya, dievaluasikan dan direncanakan lebih lanjut. Sesungguhnyalah, mereka bermaksud melembagakan pendidikan untuk membantu orang tua mendidik para murid. Sebenarnya, pada awal mula sekolah diciptakan sesuai dengan kebutuhan setempat dan sewaktu.176 Sejak lahirnya negara seperti Republik Indonesia, terbit pula banyak aturan kenegaraan, yang perlu diperhatikan oleh sekolah, seperti Strada, Adabiah, Kanisius, Pangudi Luhur, Tarakanita, untuk melayani pendidikan dalam masyarakat. Aturan-aturan itu beredar silih berganti: tidak semua dengan kebijakan yang sama, tetapi kerap kali juga dengan ‘daya paksa’ yang tidak terlampau berjauhan satu dari yang lain. Para penyusun dibalik aturan-aturan itu sering menimbulkan kesan, seakan-akan mereka melupakan kenyataan, bahwa sebelum 173 Inspirasi Kebangsaan, Op.cit., hlm. 103. 174 Asnan, Op.cit. 175 Bdk. Adiwahyanto, V.A., (ed. dkk), Sejarah Peziarahan Perkumpulan Strada 1924-1994 (Jakarta: Grasindo, 1995), terutama hlm. 1-7. 176 Pada dasarnya, sekolah seharusnya ‘tailor-made’, boleh ‘fashionable’, namun selaras dengan kehendak orang tua. 147 penugasan mereka, banyak sekali sekolah swasta, yang sudah hadir dan melayani masyarakat; tidak selalu lebih buruk daripada sekolah negeri sekarang. http://facebook.com/indonesiapustaka Oleh sebab itu, dirasakan sangat berguna sesekali di suatu lembaga didik diselenggarakan tidak hanya rangkaian lomba dan permainan bagi peserta didik, melainkan juga releksi mengenai arahnya sebagai lembaga didik. Dengan demikian, secara tidak langsung mau dikatakan bahwa pertama, peran lembaga itu lebih luas dari sekadar lembaga ajar; kedua, bahwa bukan hanya sebagai lembaga mereka mempersembahkan bakti kepada masyarakat, tetapi juga mewujudkan cita-cita bangsa melalui visi pendidikan mereka. Kalau releksi seperti diharapkan di atas mau dilaksanakan dengan baik, releksi itu tidak hanya menjadi ‘permainan intelektual’ bagi pengelola dan pelaku didik di lapangan, melainkan juga bermanfaat bagi seluruh ‘civitas educativa’.177 Sebab komunitas pendidikan mencakup banyak pihak sehingga tidak perlu ada yang disebut staf didik dan staf pembantu atau staf pendukung. Setiap bagian dari komunitas lembaga didik menyumbang pada sifat didik seluruhnya. Perlu diingat bahwa istilah ‘lembaga didik’ (dan Lembaga ‘lembaga pendidikan’) tidak sering dipakai dalam UU Sekolah Sisdiknas Republik Indonesia yang terbaru. Namun praktis seluruh UU itu berbicara mengenai ‘lembaga didik’, sebagaimana dipahami setiap anak kecil yang pagi hari berangkat dari rumah untuk pergi belajar di suatu lembaga didik. Bahkan, setiap anak tidak akan berkata “pergi ke lembaga didik” melainkan “pergi ke sekolah”. Maka, catatan-catatan berikut ini, di satu sisi menyesuaikan diri dengan keterbatasan UU yang disahkan dengan 177 Seri Forum LPPS No. 9 Mencari Pendidikan Alternatif dalam Karya-karya Pendidikan Katolik (Jakarta: KWI, 1987), mengupas masalah yang secara jelas menunjukkan betapa sekolah dalam arti tradisional tidak mencakup seluruh ‘dunia pendidikan’, terutama pada halaman 25 sampai akhir. 148 banyak cacat itu; di sisi lain mau menyampaikan juga tambahan serius kepadanya. http://facebook.com/indonesiapustaka Warna dasar yang menyelimuti proses didik adalah cinta kasih, bagi si murid, ya dari pihak orang tua, ya dari guru, sekolah, Yayasan, dan semua yang bersangkutan dengannya. Kemana-mana mata memandang, ke manapun kita mendengarkan, kita melihat cinta kasih. Setiap pendidikan diresapi oleh pemandangan yang berisi cinta. Oleh sebab itulah mengapa diadakan banyak pranata yang menjamin berlangsungnya relasi cinta. Karena itu, kejahatan di sekolah, pelecehan, dan kekerasan di ranah didik, senantiasa dicela di negara dan bangsa mana pun. Segala konsultasi dilindungi dari penyalahgunaan tandatanda cinta. Pro kontra sekolah 5 hari atau sekolah sepanjang hari, diliputi oleh pertanyaan: apakah dengan cara A atau B, bagi murid terbuka kemungkinan untuk mengembangkan cinta kasih dengan bapak atau ibunya, dengan teman sebaya atau dengan guru dan lingkungannya. Itulah pula sebabnya, Finlandia tidak banyak memberikan mata pelajaran dan sedikit sekali memberi pekerjaan rumah; memperbanyak kesempatan berbagi hati dan berbagi ceria dengan kawan-kawannya. Justru karena itulah murid-murid Finlandia diakui oleh PISA sebagai yang paling cerdas sedunia. Juga bagi generasi milenial, pendidikan diwarnai oleh dorongan untuk meningkatkan kecerdasan interpersonal, musikal, dan kinestesis, bukan kecerdasan-kecerdasan yang lain, menurut Howard Gardner. Dengan perspektif itu, perlulah kita menelaah arah dan isi pokok yang hendak diberikan kepada lembaga didik. Sudut telaah dapat sangat berbeda-beda, misalnya: Kami berpendapat bahwa kelima segi itu perlu diperhatikan kalau kita mau menelaah “lembaga didik, seperti lembaga didik”.178 178 Lih. Gravissimum Educationis, a. 5 dan 7. 149 http://facebook.com/indonesiapustaka Dari sudut metodik didaktik: lembaga didik adalah lembaga yang hanya berfungsi subsidier. Artinya, tugas pokok lembaga didik adalah membantu suatu proses yang sudah lebih dahulu dan seterusnya berjalan (terutama) di luar lembaga didik. Walaupun ‘hanya membantu’, lembaga didik perlu memikirkan dan melaksanakan metodik didaktik yang profesional. Artinya, cara mengajar yang utuh dan konsisten bersifat pedagogis; jadi berfokus pada murid. Pendidikan dalam arti yang paling mendasar adalah bantuan agar seseorang dapat mengembangkan dirinya supaya dapat mengambil tempat yang wajar di tengah sesama dan alam secara tahu diri dan sadar diri. Maka, secara metodis, pendidikan berpangkal pada murid, berbasis murid, dilaksanakan oleh murid dan pertama-tama demi kepentingan murid. Pangkal pendidikan itu murid artinya bukanlah guru, sekolah, kurikulum, atau kepentingan bangsa. Kalau dalam UUD 1945 disebutkan upaya ‘mencerdaskan bangsa’, maka harus dipahami bukan bangsa dalam arti global dan menyeluruh, melainkan ‘bangsa sebagaimana terwujud dalam rakyat, dalam hal ini para murid’. Sebab, bangsa dalam ‘arti global’ itu tidak konkret. Yang konkret adalah manusianya dan dalam hal ini, si murid. Itulah kesalahan dasar UU Sisdiknas terbaru republik ini. Pendidikan harus menjadi suatu proses ‘didaktis’, yang berasal dari kata ‘discere’. Artinya, setiap pendidikan termasuk yang ada di lembaga didik, merupakan proses pembelajaran. Dan belajar itu sedikit demi sedikit, langkah demi langkah untuk masuk ke inti masalah yang semakin lama semakin mendalam. Namun, selaras dengan deinisi pendidikan di atas, didaktik yang benar senantiasa membantu agar yang dipelajari oleh murid itu semakin terintegrasikan ke dalam diri si murid. Oleh sebab itu, lembaga didik erat berkaitan dengan keadaan materi manusia yang belajar, teman belajarnya dan guru pelajarannya. Lembaga didik harus memberi fasilitas agar relasi-relasi para pribadi yang tersangkut itu terjadi. Hal ini berbeda dengan pendirian UU Sisdiknas yang malah sudah merancang studi jarak jauh juga bagi pra- 150 lembaga-didik dan lembaga didik dasar. Saya berpendapat bahwa semua alat hanyalah pembantu bagi proses interpersonal. Lembaga didik harus memungkinkan hal itu; bukan malah merusaknya; publik (termasuk departemen) harus menolongnya, bukan malah menghancurkannya (misalnya dengan UU atau PP). http://facebook.com/indonesiapustaka Dari sudut konteks budaya, murid memulai proses didiknya waktu di tengah keluarganya; bahkan sejak dalam kandungan. Seluruh pendampingan perasaan, pengembangan pikiran, dan latihan bertindak sejak anak dalam keluarga senantiasa terjadi dalam konteks budaya tertentu. Pada tanggal 7 September 2004, ada wawancara suatu radio di Jakarta dengan sepasang suami-istri dari Amerika Serikat yang melahirkan dan membesarkan beberapa anaknya di tengah Papua. Anak-anak itu belajar baik bahasa Inggris, Indonesia maupun bahasa setempat. Kecuali itu, bersama si ibu, anak itu juga mempelajari cara hidup suku yang menerima mereka sebagai bagian tak terpisahkan. Dalam lingkup yang lebih luas atau struktur masyarakat de facto, kaitan itu nyatanya menyangkut situasi politis, ekonomis, dan birokratis Indonesia, yang pada tahun-tahun terakhir ini mengalami gejolak tidak kecil. Gejolaknya memang berhubungan dengan krisis moneter, pelbagai krisis kemasyarakatan, yang sekarang pun belum usai. Di satu pihak, kita berada di dalam situasi yang menguntungkan karena suasana yang menghendaki perubahan mendalam, tetapi di pihak lain justru pengalaman dan akibat di atas menunjukkan kepada kita betapa rumitnya persoalan yang hendak digarap. Sering dikatakan bahwa peran lembaga didik itu untuk membentuk manusia-manusia yang bersedia dan sanggup mengemban tuntutan pembangunan tetapi tidak dapat dilupakan juga, bahwa di dalam jangka panjang pembangunan materiel ini harus diikuti oleh peningkatan penghargaan mendasar pada harkat dan martabat manusia Indonesia. Kita ikut dalam situasi dunia yang berlomba-lomba masuk ke abad 21. Dalam waktu itu, taraf perkembangan bangsa kita sudah harus dapat 151 http://facebook.com/indonesiapustaka memperlihatkan pertumbuhan elemen-elemen psikososial sebagai sumber enersi bagi proses perkembangan selanjutnya, apabila di abad 21 kita hendak digolongkan dalam bagian dunia yang berhasil mengatasi masa transisinya atau sedikitnya menunjukkan tanda-tanda real untuk meninggalkan masa transisi itu. Tidak mungkin lembagadidik mengambil model politik perkembangan yang sampai sekarang dipakai, yakni mengambil ”pendekatan sumber daya manusia” sebagai fase pertama dan Transformasi kemudian memberikan imbangan melalui ’pendekatan budaya’; seakan-akan si murid hanya berfungsi seperti ‘resources’ lain. Kalau dalam jangka waktu dekade ini berhasil disusun perumusan pembaruan lembaga didik dan pengajaran yang matang, maka 20 tahun yang akan datang, sedikitnya manusia-manusia lulusan lembaga didik menengah atas dan yang setingkat dengan itu sudah harus mulai sadar akan dan bersedia untuk melaksanakan partisipasinya secara terarah dan teratur dalam masyarakat. Mengingat banyaknya orang yang berhenti dari lembaga didik di tingkat menengah, maka hal ini tidak dapat dituntut pada manusia-manusia didik lulusan universitas dan lembaga-lembaga yang setingkat. Sebab pengutusan universitas adalah membangun kesanggupan memberikan proporsi yang tepat antara ilmu dan partisipasi lulusannya dalam masyarakat sebagai bibit-bibit pencipta budaya. Proses pertumbuhan bangsa kita ditentukan oleh proses peralihan budaya, yakni kreativitas manusia dalam melahirkan perubahan tata cara dan nilai-nilai teknik, organisasi dan struktur masyarakatnya. Kreativitas itu membuahkan transformasi masyarakat secara luas dan mendalam. Pada dasarnya, perubahan budaya ini tidak perlu datang dari luar, ia harus dihasilkan dari dalam sendiri. Apabila hendak dicari persoalan masa depan negara kita, maka ia tidak lain adalah transformasi ini. 152 Dalam transformasi masyarakat tercipta identitas baru bangsa. Maka, transformasi dijiwai oleh pembangunan identitas, baik bagi perorangan maupun bagi keseluruhan masyarakat majemuk sebagai satu kesatuan. Banyak orang yakin bahwa sedikitnya dalam taraf pertama pembangunan ekonomi mutlak perlu dan karena itu kadang memperluas sikap materialistis. Namun, dalam intinya yang terdalam justru ekonomi dan teknologi yang menyertainya mempunyai latar belakang ideologis dan budaya.179 Latar belakang itulah yang memengaruhi perkembangan kemajuannya.180 Pemikiran tersebut perlu memperkaya seluruh cara pandang kebijakan pendidikan di sekolah, yang dilayani oleh pemerintah. Penyempitan pendidikan dalam administrasi atau birokrasi dapat memiskinkan kemajuan seluruh masyarakat. Segala perbaikan administrasi dan birokrasi, yang sungguh amat diperlukan, menjadi pelayanan bagi pelatihan budaya seluruh komunitas didik; bukan penggantinya; apalagi penghambatnya. Pembiasaan hidup berbudaya secara tepat asas dan berdaya guna, hanya akan benar-benar berhasil guna apabila dijiwai oleh spirit yang tertanam teguh dalam seluruh bangsa yang melahirkan generasi baru. Dalam pengertian itulah kebijakan pendidikan seluruh bangsa perlu peduli pada penghargaan pembangunan hidup berkeluarga yang kokoh. http://facebook.com/indonesiapustaka Dari Sudut Lembaga Didik sebagai Lembaga Sendiri Lembaga didik bertugas menjadi menciptakan mekanisme sehingga murid mampu mengembangkan seluruh daya pribadi yang secara sadar menggairahkan seluruh proses didiknya. Di situ tampak bahwa pengandaian dasarnya adalah manusia tidak hanya dikuasai oleh naluri melainkan juga bertumpu pada budi yang memungkinkan orang mengembangkan pemikiran. Dengan bekal budi yang dilengkapi 179 Wilbert E. Moore, Sociale Verandering (Social Change), (Utrecht Het Spectrum, 1965), hlm. 127. 180 Wilbert E. Moore, ibid, hlm. 136. 153 perasaan yang tertata, manusia muda disiapkan untuk mengambil keputusan guna melakukan tindakan tertentu selaras dengan martabatnya sebagai manusia. Proses dasar manusiawi tersebut akan mengembangkan penghayatan martabat Mekanisme fundamental murid. Lembaga http://facebook.com/indonesiapustaka Paham dasar tentang proses penghayatan hidup manusia bermartabat ini juga merupakan orientasi pokok, mekanisme lembaga didik macam apa yang akan kita bangun. Sebab, paham dasar itu akan menentukan, isi didik yang tersimpan dalam segala ajaran maupun cara ajar serta mekanisme ajar seluruh proses lembaga didik. Di dalamnya tersimpan pula cara mengorganisasikan lembaga didik: baik pada tingkat mikro di lembaga didik masingmasing maupun di tingkat makro dalam departemen. Pada langkah selanjutnya, orientasi itu juga akan menentukan masyarakat macam apakah yang akhirnya menjadi visi pembangunan kita. Dengan kata lain, perbincangan mengenai lembaga didik menyangkut arah dan proses perkembangan negara serta masa depan bangsa secara menyeluruh. Dalam arti tertentu, manusia tumbuh menjadi manusia melalui pendidikan, namun kita tidak mengikuti pandangan deterministis, seakan-akan manusia tidak memiliki independensi terhadap pengaruh dari luar dirinya. Pada akhirnya manusia memiliki kehendak bebas yang menjadikan dirinya makhluk moral. Dari Sudut Pelaku Didik Murid mendidik diri. Pada awalnya, seluruh keluarga, -dari ayah dan ibu sampai ke saudara kandung-, membantunya mendidik diri. Kemudian teman sebaya dan sekolah melanjutkan pendampingan didik. Setiap kali, seorang pribadi berlatih menyadari diri, merasakan kebersamaan dan memikirkan hal-hal yang diakuinya baik bagi dirinya. Dengan kesadaran akan kehendak bebas, manusia mengakui bahwa konteks hidup mengambil peran penting dalam pertumbuhannya. 154 http://facebook.com/indonesiapustaka Konteks itu menyangkut baik hubungan manusia dengan alam maupun relasi manusia dengan sesama manusia dan segala kegiatan manusiawinya serta penempatan dirinya di hadapan Yang Mahatinggi Pencipta semesta alam. Artinya, pertumbuhan manusia dalam kerangka didik mencakup segi berpikir, merasakan dan kehendak manusia maupun aneka segi-segi kodratinya. Jadi, manusia dialami dan dipahami dalam relasinya dengan dunia, dengan sesama manusia, dan dengan Yang Mahaagung.181 Kita dapat mempelajari kompleksitas pemahaman manusia itu dengan memperhatikan masukan-masukan, baik dari ahli seperti Freud dan Gehlen, maupun dari mereka yang menekankan pemahaman manusia dari telaah eksistensialis sampai pada tinjauan logo terapi, seperti ditawarkan Viktor Frankl.182 Dalam telaah-telaah itu diakui kepentingan kodrat manusia yang antara lain tampak dalam naluri maupun kehendak bebas manusia yang dikuatkan oleh daya pikir dan karena itu mengokohkan tanggung jawab dalam aneka pengambilan keputusannya. Rasionalitas yang dipahami lebih luas daripada intelektualitas inilah yang menjadikan manusia adalah manusia.183 Sebab dalam rasionalitas utuh itu, nurani manusia terbentuk dan dengan nurani itu manusia mengambil keputusan berdasarkan prinsip moral umum dalam kondisi yang khas setiap waktu dan tempat yang konkret.184 Cara pandang tersebut memungkinkan kita memahami cara manusia mengambil sikap secara bebas terhadap nalurinya.185 Pengambilan keputusan manusia menunjukkan bahwa manusia memang memiliki kemampuan sendiri namun harus bertanggung jawab dalam menerapkan kemampuan itu untuk berinteraksi dengan dunia dan 181 Friedrich Glaeser, Existenzielle Erziehung, (München/Basel: Ernst Reinhardt Verlag, 1963), hlm. 241. 182 Karl Dienelt, Op.cit., hlm. 92. 183 ibid, hlm. 93. 184 ibid, hlm. 95. 185 ibid, hlm. 96. 155 sesamanya. Interaksi itu terlaksana dengan memenuhi dorongan suara hati yang menggapai nilai-nilai. Pendidikan yang melatarbelakangi lembaga didik, membantu murid untuk mengenali kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahan dasar manusia, namun sekaligus juga untuk menemukan peluang dan ancaman di luar diri manusia agar dapat mengambil keputusan kreatif yang bermakna. Misalnya, kalau seseorang memutuskan untuk memberi derma, maka ia melakukan itu karena tindakan itu dianggapnya bermakna, bukan karena merupakan kebiasaan saja. Pendidikan menolong seorang murid untuk membangun kebiasaan bertindak karena sesuatu tindakan itu dianggapnya bermakna. http://facebook.com/indonesiapustaka Dalam proses pendidikan kepribadian murid ada beberapa unsur yang penting: tanggung jawab, suara hati, dan nilai. Sudah kita lihat bahwa manusia adalah manusia sejauh ia bertanggung jawab untuk keputusan-keputusannya. Dikatakan oleh Nurani V.V. Weizsäcker bahwa kebebasan manusia menuntut 186 Sesungguhnya, tanggung rasa tanggung jawab. jawab adalah sikap transenden antara kebebasan dan keterikatan. Selain itu, penting pendidikan suara hati atau hati nurani. Budi nurani tidak boleh direduksi menjadi ‘super ego’ (Freud) atau, menurut Caruso, modifikasi super ego. Dalam aliran psikoanalisa modern, pandangan di atas dilepaskan sama sekali.187 Melanjutkan keyakinan para ahli moral abad pertengahan, orang semakin yakin bahwa dalam diri manusia ada semacam pendirian ‘pra moralis’, yang menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan.188 Dalam eksistensialisme, budi 186 V. V. Weizsächer, Menschenführung, (Göttingen, 1955), hlm. 60. 187 Frederick A. Weiss, American Journal of Psychoanalysis, 1952, 41; Karl Dienelt, Op.cit. hlm. 144. 188 Karl Dienelt, Op.cit., hlm. 144. 156 nurani adalah daya intuitif yang dapat mencari dan menemukan makna yang bersifat budi nurani adalah ‘suatu sarana penemuan makna’. http://facebook.com/indonesiapustaka Budi nurani adalah sesuatu yang terbentuk melalui proses perkembangan interaksi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan bahkan dengan seluruh pengalaman hidup. Dalam fase-fase perkembangan tertentu, kita lihat anak-anak muda terjadi penolakan terhadap orde orang tua. Hal ini bukan sekadar protes akibat penekanan naluri, melainkan dapat dipandang sebagai suatu sikap kritis terhadap tuntutan moral orang tua. Sikap kritis perlu dipahami sebagai bagian dari ’latihan rohani’ untuk membentuk pribadi, yang memiliki kehendak untuk bertanggung jawab atas pendirian-pendiriannya. Dinamika kritis, bukanlah sekadar negatif, dalam arti mengkritik pendapat orang lain, tetapi ’mencari kebenaran yang diyakini secara mendalam’ (kriνeiν-krinein). Adanya instansi-instansi seperti orang tua, agama, dan otoritas lainnya memang memengaruhi, tetapi instansi-instansi ini tidak membentuk sesuatu yang keyakinan akan kebenaran yang sudah jadi: satu tata sikap yang berlaku secara umum. Ia merupakan prasyarat terjadinya suatu perkembangan budi nurani secara wajar yang didasarkan kepada kesadaran akan kebenaran dan pengakuan pada nilai yang benar. Makin menjadi jelaslah kiranya bahwa budi nurani adalah sesuatu bagian manusia yang erat berkaitan dengan kemandirian subjek. Betapa pun ia dibentuk di dalam satu tata hidup tertentu (orang tua), pada suatu ketika akan timbul tuntutan untuk mengambil sikap terhadapnya. Generasi baru mempunyai kemampuan untuk mengembangkan satu sistem makna dan nilai sendiri. Budi nurani ini pun dapat membawa manusia pada suatu perbatasan, tempat orang harus mengambil sikap. Pada suatu ketika akan terjadi bahwa manusia ditempatkan dalam posisi untuk memahami suatu makna dan menafsirkannya agar dapat mewujudkannya. Hal itu memperkaya si manusia apabila ia mempunyai kebebasan untuk 157 menafsirkannya, tanggung jawab untuk penafsiran yang benar serta keteguhan untuk mewujudkannya. Pengejaran nilai: Dalam perkembangannya, seseorang mengambil alih nilai yang diperolehnya dari lingkungan. Pada langkah berikut, ia terdorong untuk mencari nilai dan berorientasi kepada makna, yang dipahami dan diterima serta dipeluk untuk diwujudkannya. Orang muda di dalam fase berturut-turut dapat belajar menangkap makna, menemukan makna baru, menciptakan makna lebih lanjut dan membangun dunia baru. http://facebook.com/indonesiapustaka melampaui Diri Perjalanan hidup manusia melangkah didorong oleh penjiwaan dalam akal budi dan perasaannya. Ia mencoba menggapai sesuatu yang sesuai dengan hasratnya dan karena itu diinginkannya. Dalam proses itu, orang berjumpa dengan nilai. Dengan nilai yang dimaksudkan adalah hal-hal konkret atau abstrak, benda-benda atau manusia, hakikat-hakikat atau peristiwa, yang dapat memenuhi hasrat manusia. Pada dasarnya, pendidikan adalah bantuan pada seseorang untuk menyadari sesuatu nilai dalam diri atau di sekitar dirinya, memahami dan membentuk atau mengejarnya. Dalam pendidikan, dikembangkannya pemahaman atas harga yang diberikan sebagai ukuran terhadap nilai itu. Melalui pengalaman itulah seseorang menemukan makna benda, sesama, dunia dan peristiwa. Makna ini adalah sesuatu yang bersifat trans subjektif dan bukannya intersubjektif. Komitmen untuk menggapai makna dan mengusahakannya di tengah tuntutan makna lingkungannya menjadi pencarian makna hidup manusia, yang pada gilirannya akan dipertanggungjawabkan oleh budi nurani manusia.189 Berdasarkan ini, Viktor Frankl menyatakan bahwa hakikat adanya manusia adalah ‘Selbsttransendenz’, alias ‘melampaui diri sendiri’. 189 Karl Dienelt, Op.cit., hlm. 145. 158 Manusia senantiasa terdorong untuk mengarah ke luar dari dirinya, kepada suatu makna yang tidak bernaung di dalam dirinya; dalam bahasa Latin disebut ‘men-transenden diri’. Makna adalah sesuatu yang objektif. Dalam cakupan inilah dapat ditemukan, dibentuk dan dikembangkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu komunitas manusia; bahkan sampai universal, seperti hak-hak asasi manusia. Cakrawala lebih lanjut membawa seorang pribadi pada transenden sosial, ketika manusia di tengah hidup bersama perlu menemukan nilai sosial yang baru, serta mungkin ’men-transformasi-kan’ diri supaya terintegrasikan dalam hidup sosial tertentu. Di situlah, manusia berinteraksi dengan struktur kehidupan bersama, yang memang mengandung aturan dan hukum, tetapi terutama memuat pelbagai nilai. Pada dasarnya, nilai-nilai inilah yang menjiwai setiap pembentuk struktur kemasyarakatan dan menjadi pendorong kehidupan bersama. Sesungguhnya, pendidikan mendasarkan diri pada struktur sosial, yang melatarbelakangi ketentuan atau struktur moral itu. http://facebook.com/indonesiapustaka Dalam pembahasan mengenai struktur moral,190 kita dapat melihat bagaimana proses perkembangan dari penyadaran nilai, pemahamannya, penerimaan dan proses mengambil bagian dalam bersama-sama menghayati nilai-nilai itu. Proses ini berlangsung dari tahap penyadaran akan keterlibatan seseorang pada sesuatu nilai, masuk ke penghayatan secara pralogis kepada tahap-tahap penjiwaan nilai selanjutnya. Pendidikan dapat berusaha membantu agar murid secara teratur dan bertahap disadarkan akan nilai-nilai, dikenalkan hakikat dan makna pragmatis sesuatu nilai, dan setelah terjadi pendalaman mengenai nilai-nilai itu, murid diantar untuk pindah dari fase penilaian secara faktis kepada fase penilaian secara normatif, bertransenden kepada nilai-nilai itu. Kesemuanya ini dengan tujuan supaya di kemudian 190 Dieter Wyss, Strukturen der Moral, Untersuchungen zur Antropologie und Genealogie moralischer Verhaltensweisen, (Götingen: Vandenhoeck + Ruprecht, 1970). 159 hari perpindahan dari fase penilaian yang satu kepada lainnya dapat bersifat relektif. Proses itu dapat diperdalam, bila seseorang dibantu untuk mengenali makna pragmatis suatu nilai dan hakikat metaisis keseluruhan nilai. http://facebook.com/indonesiapustaka Pendidikan yang utuh berusaha agar murid dibiasakan untuk memadukan ajaran dengan pemahaman makna ajaran itu. Murid dibantu untuk ‘men-transenden’ penilaian faktisitas, memasuki pemaknaan hakiki untuk kemudian memadukannya sebagai patokan hidup nyata, secara pribadi maupun sosial. Demikianlah murid dibantu menangkap nilai, menjabarkannya dalam tindakan nyata serta mengembangkannya lebih lanjut. Proses didik tersebut dapat membantu seseorang untuk secara berkesinambungan menghadapi ‘krisis nilai’ dengan sehat. Proses didik melalui pendidikan nilai dapat membantu seorang pribadi dari satu sisi mengenal arti isik dan praktis pelbagai hal dalam hidupnya (benda maupun relasi atau organisasi), dari sisi lain mendalami makna terdalam aneka hal itu bagi pribadi manusia; apabila dilanjutkan, cara ini membantu orang untuk men-transenden seluruhnya, sampai mengembangkan penghayatan tentang makna ilahi, yang melampaui segala nilai duniawi. Pemahaman makna nilai ilahi dengan proses tersebut pada gilirannya membantu manusia untuk mengatasi penilaian praksis keagamaan, supaya tidak terjerat pada hukum dan ritual, melainkan sampai kepada relasi pribadi dengan Yang Mahaluhur. Cara tersebut akan menghindarkan manusia dari takhayul dan berhala, yang tampaknya meyakinkan sebagai ‘jalan ke kesucian’, tetapi sebenarnya ‘menjerumuskan orang dalam merendahkan iman dan agama’. Pendidikan Interaktif Pendidikan mendampingi orang muda untuk menyadari interaksinya dengan dunia, sesama dan akhirnya dengan Yang Mahaluhur. 160 Pendidikan senantiasa bersifat interaktif. Sifat interaktif pendidikan sudah mulai sejak seseorang lahir, berinteraksi dengan keluarga, dan alam semesta di sekitarnya. Pada gilirannya, seseorang akan belajar lebih lanjut, dengan akal budi, perasaan maupun dengan aksinya, melalui interaksinya dengan masyarakat luas. Dalam proses didik yang memperhatikan interaksi kodrati, seseorang disadarkan untuk kemudian diajak paham supaya dapat mengembangkan relasinya: dia sebagai orang yang memiliki kebebasan dengan ‘pihak lain’ yang kerap dipandang ‘berwibawa dan berwewenang’, dari sudut isis, psikologis, sosial, politis, dan religius. Dalam proses itu, pendewasaan manusia mendorong pengambilan keputusan yang tepat dalam interaksinya dengan pihak lain. Proses itu mempertemukan seseorang dengan hal baru memasuki dunia baru191. http://facebook.com/indonesiapustaka Sifat interaktif hidup manusia menyadarkan orang akan ajakan guna memadukan pelbagai nilai dalam hidupnya. Sebab nilai-nilai itu berkaitan satu sama lain.192 Dibalik nilai isis, kultural, politis dan ekonomis, tersimpan nilai metaisis dan religius. Begitulah pendidikan transenden bukanlah sekadar tahap pendidikan nilai, melainkan cara memandang hidup sebagai satu kesatuan integral. Nilai-nilai pun menjadi kesatuan yang terpadu dalam hidup manusia. Tampaknya hidup manusia kadang diwarnai oleh ketegangan nilai karena sebenarnya hidup manusia dipadukan oleh aneka nilai. Di sanalah pendidikan nilai menemukan dasarnya. 191 Hans Netzer, Erziehungslehre, (Bad Heilbrunn/Obb: Julius Flinghardt Verlag, 1968), hlm. 36. 192 Bdk. Slavin, Robert E., Cooperative Learning (London: Allymand Bacon, 2005), terutama Bab 2 dan 6. Dalam gagasan-gagasan Slavin bergema pula cara orang-orang Finlandia sekarang mengembangkan strategi pendidikannya, dengan banyak mendorong para murid untuk menyelesaikan soal-soal didik secara bersama. Dengan demikian, mereka dijauhkan dari model kompetisi (yang di beberapa negara dimajukan dengan menentukan urut-urutan ‘kepandaian’ seseorang di kelas, dan menyebabkan persaingan yang dapat memecah persekutuan yang nanti juga dapat merusak persaudaraan) sekaligus mereka diajari untuk mengenali sifat komunitas dari kebenaran dan ilmu. Dengan demikian, bekerja sama bukan diterima secara afektif, tetapi juga disambut sebagai dinamika akal budi dalam proses pembelajaran seumur hidup. 161 Pendidikan: antara kini dan kelak http://facebook.com/indonesiapustaka Kerap kali orang muda didoakan akan tumbuh dan menjadi generasi penerus. Puja-puji yang dianggap ‘Upah Minimum Regional’ itu kadang kala mengandung penghargaan semu kepada generasi muda. Mereka dianggap hanya ‘meneruskan’ apa yang sudah dicapai pendahulunya. Pengalaman berabad-abad menunjukkan bahwa generasi muda kerap kali amat kreatif dan tidak sekadar meneruskan tradisi lama, melainkan menemukan hal-hal baru. Tidak hanya Columbus menemukan ‘Dunia Baru’ atau Einstein mendeteksi hukum relativitas serta segala penemuan baru; tetapi penemuan-penemuan baru di dunia teknik dan budaya memperlihatkan, betapa kreativitas merupakan nilai kemanusiaan, yang menjiwai generasi baru. Pendidikan, formal maupun nonformal, sungguh hanya mendampingi generasi muda untuk menyadari nilai dirinya dan mengembangkannya. Setiap pendidikan adalah interaksi antara ‘yang kini dan yang kelak’. Pada dasarnya, pendidikan mengantar generasi muda untuk menemukan potensinya sendiri, mengembangkannya untuk menuju ke masa kelak, bersama dengan generasi sebelumnya. Tradisi merupakan landasan untuk menggapai situasi dan kondisi baru di hari kelak. Pemahaman nilai terdalam tradisi akan membawa manusia kepada dinamika perkembangan yang mendorong generasi baru menciptakan hal-hal baru, yang tidak pernah terpikirkan. Yang terjadi bukanlah perlawanan antara yang silam dan yang mendatang, melainkan menemukan dinamika terdalam kreativitas manusiawi. Pendidikan menolong manusia untuk mendekatkan yang silam ke ‘sekarang’ dan menggapai yang masih dikatakan ‘kelak’; walau sebelumnya sudah ‘tersimpan dalam kodrat manusia’. Oleh sebab itu, pendidikan sungguh berperan membuka sifat dinamis kemanusiaan dalam diri anak didik: itulah perspektif kreatif yang mewarnai manusia sejak awal mula hingga sekarang. Dengan proses didik yang sehat, murid belajar yang terdalam, yakni dilatih untuk tidak 162 henti-hentinya menggali dinamika kreatif kemanusiaan, menemukan makna hidup, dan mengarahkan hidupnya sendiri maupun sesamanya menuju keabadian. Dalam seluruh proses didik, murid berangsurangsur mengerti potensi dan kreativitas seluruh masyarakat. Orang muda dibantu untuk ikut merasa bertanggung jawab agar dinamika kreatif masyarakat semakin berkembang dalam diri dan generasinya, melampaui kepuasan akan sukses sesaat untuk menggapai masa depan. Cara pandang kreatif itu menghidupkan dirinya dan masyarakatnya. Lembaga didik bertugas untuk melampaui dirinya sendiri sehingga memang mulai dengan titik penting masa kini tetapi memiliki visi dinamis ke masa depan. Melalui lembaga didik perlulah diciptakan generasi baru yang kreatif melalui pembentukan visi baru dan dibina untuk mampu memberikan penafsiran-penafsiran baru terhadap nilainilai yang ada; bahkan menemukan nilai baru. Penemuan nilai baru atau perumusan nilai baru dapat merangsang terbentuknya inovasi kemasyarakatan yang lebih luas. http://facebook.com/indonesiapustaka Nilai-nilai Baru Sejak awal hidup manusia, generasi-generasi saling menggantikan dengan cara hidup yang baru. ‘Techne’ adalah hal yang sekarang disebut ‘teknik’ dan sudah berkembang sejak zaman agraris, peternakan yang amat banyak berpindah-pindah sampai dengan menetap. Setiap kali ditemukan cara kerja yang baru. Sangat menarik bahwa semakin lama, penemuan peralatan baru semakin cepat. Teknik memperkaya manusia, dan sekaligus juga mencuatkan sifat kreatif bangsa manusia. Oleh sebab itu, perkembangan setiap bangsa sekarang memerlukan kepekaan terhadap kecepatan kemajuan teknologi. Perubahan teknologi tidak dapat disempitkan menjadi penemuan gadget baru, tetapi perlu dilihat sebagai pertumbuhan kreativitas. 163 http://facebook.com/indonesiapustaka Perkembangan teknologi itu mendorong perubahan relasi-relasi sosial. Dari satu sisi, teknologi membantu meningkatkan relasi sosial, suatu hal yang biasanya bersifat positif. Dari sisi lain, teknologi kadang ‘menggantikan’ relasi sosial yang langsung, suatu hal yang tidak jarang menghambat pembentukan komunitas secara mendalam. Oleh sebab itu, pertumbuhan relasi sosial sangat memengaruhi sikap manusia, kepada dirinya, sesama dan alam semesta. Entah sisi positifnya, entah sisi negatifnya, teknologi menghadapkan manusia pada wujud baru dari nilai-nilai baru (baik yang endogen maupun eksogen). Teknologi diatur oleh banyak negara dengan hukum, sejauh infrastruktur materiel (teknik: berupa hardware maupun software) sudah cukup sempurna, agar ‘bonum commune’ oleh pelbagai kemajuan didukung dan bukannya justru dirugikan. Pengaturan itu sendiri membutuhkan teknologi yang mengatasi segi-segi hidup manusia secara perseorangan maupun sosial. Bagaimana pun juga, teknologi dengan segala seginya, telah menjadikan kebudayaan lokal maupun universal mengalami tantangan baru. Kebudayaan yang semula amat erat berkaitan dengan ‘budi’ dan ‘daya’, sekarang ditantang oleh ‘buah karya budi’ menjadi ‘daya baru’, yang sering kali ‘menundukkan manusia’. Manusia menghadapi pertanyaan, apakah masih menguasai dunia? Maka, berdasarkan kenyataan ini, yakni adanya teknologi sebagai nilai, manusia harus sadar akan peranannya yang baru. Manusia perlu membuat reorientasi kebudayaannya. Sebutan manusia sebagai Homo Technologicus, yakni manusia yang sadar bahwa ia harus menguasai teknologi, membawa warna baru untuk identitas kemanusiaan. Kalaulah manusia mau sepenuhnya menguasai alam semesta, pedoman dasarnya perlu dicermati lebih lanjut.193 Pendidikan dalam kaitan dengan teknologi, tidak cukup dengan membantu murid mengenali teknik, melainkan harus membantu mereka juga untuk 193 Victor C. Ferkiss, Technological Man: he Myth and he Reality (London: Heinemann, 1969), hlm. 246. 164 berpapasan dengan identitas manusia baru. Identitas baru manusia mendorong manusia untuk melihat masa depan secara baru: bagi dirinya sendiri maupun generasinya. Oleh sebab itu, ‘homo technologicus’ perlu dibantu untuk membarui visinya atas hidup dan masa depannya. Manusia ditantang untuk merumuskan hari depan dan mengembangkan satu ilsafat baru berdasarkan identitas barunya.194 Dalam identitas baru ini ditemukan nilai yang baru. Teknologi itu sudah menjadi nilai yang bersifat umum, jadi bukan berlaku hanya bagi orang-orang teknik, hal ini dapat kita lihat misalnya di dalam tulisan Nigel Calder195. Tulisan itu menguraikan diskusi teknis tetapi juga debat kultural ketika dicoba untuk menempatkan proses pengesahan pembuatan kapal udara Concorde di tengah gejolak ekonomi dan sosial politik Inggris. Dalam perbincangan itu, perkembangan teknologi menyangkut pemikiran tentang posisi budaya suatu masyarakat karena teknologi menempatkan kebudayaan menjadi unsur dinamika teknologi. Dalam pertimbangan itu ideologi keseimbangan berhadapan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Di dalamnya tercakup ketidakseimbangan perkembangan budaya masyarakat yang bersangkutan. Pertimbangan-pertimbangan semacam ini sudah patut dimasukkan dalam merumuskan pembaharuan pendidikan kita. http://facebook.com/indonesiapustaka Politik Pendidikan Di semua negara, urusan persekolahan diserahkan kepada kementerian pendidikan atau pembentukan. Sementara itu, kita sudah melihat bahwa pendidikan tidak begitu saja identik dengan persekolahan. Dalam banyak negara, tidak sedikit keluarga yang memilih ‘home school’ karena merasakan bahwa sekolah mengganggu pendidikan 194 ibid, hlm. 246-247. 195 Nigel Calder, Technopolis, Maatschappelijke controle op de toepassing van de wetenschap (Leyden: A.W. Sythof, 1970). 165 http://facebook.com/indonesiapustaka generasi muda. Salah satu sebab yang sering dianggap ada dibalik masalah itu adalah adanya birokrat di lingkungan kementerian yang bersangkutan, yang lebih berpikir sesuai dengan posisi politis partainya daripada selaras dengan asas pendidikan yang sehat. Dalam praksis tersebut, sesungguhnya diperlukan kesadaran dan rekayasa sehat sekitar pengertian pendidikan, persekolahan maupun transformasi identitas pribadi dan bangsa. Dalam perkembangan suatu bangsa, sampai taraf tertentu identitas ini memang ditemukan dalam ide nasionalisme. Persoalannya sering dirumuskan bahwa di luar dan di atas kesatuan-kesatuan adat, kesukuan, dan lapisan-lapisan sosial di masyarakat hanya terdapat perasaan dan hubungan solidaritas yang lemah sehingga pembentukan kesadaran nasional dan nasionalisme dianggap menjadi alat mobilisasi yang dapat mencapai integrasi yang luas daripada warganya, sekaligus sebagai alat menuju kemajuan bersama. Tetapi akhir-akhir ini, semakin diakui bahwa identitas nasional bukan sesuatu yang tetap saja, ia berubah dari generasi ke generasi dan setiap waktu mengalami perubahan di dalam isinya. Apabila nasionalisme dalam penafsirannya, cara menghidupinya dan cara penerusannya mempergunakan pendekatan dari zaman kemerdekaan, maka bagi generasi muda sulit dipahami. Malah ia sama sekali bisa dianggap tak berarti, bagaimanapun juga tidak dapat disangkal bahwa dalam nasionalisme di Dinamika atas itu terkandung unsur-unsur kultural masa silam. Metode Wujud budaya masa kini sudah berubah banyak. Maka, paham nasionalismenya juga berkembang. Apabila kini hendak ditafsirkan bahwa bentuk konkret nasionalisme dan kesadaran nasional itu terletak di dalam hubungan antarmanusia dalam mengemban dan menggarap satu persoalan bersama, maka dalam taraf tertentu, yang terakhir ini bukanlah alat pendorong terjadinya integrasi secara meluas. Kalau pun dapat, hubungan ini lebih bersifat ’apa adanya’, yang didasarkan kepada kemajuan ekonomi dan 166 http://facebook.com/indonesiapustaka teknik. Sifat yang sedemikian ini hanya dapat menjamin kelangsungan perkembangan apabila manusia-manusianya sudah mempunyai kedewasaan tertentu. Maka, agar pengisian ide nasionalisme mendapatkan dukungan, ia harus dibantu dengan suatu tradisi. Tradisi inilah yang harus diciptakan di dalam masa pendidikan, tradisi yang merupakan alat pengikat yang lebih daripada sekadar ’apa adanya’. Apabila kita meninjau kembali perspektif futurologis di dalam pendidikan, maka di sinilah letak dasar dan isi ide nasionalisme dan kesadaran nasional. Dengan demikian perlu dibangkitkan satu kesadaran akan adanya kekuatan mendekatkan kenyataan (hari depan) kepada pemikiran (visi). Bila pekerjaan ini sudah ditradisikan di bangku lembaga didik, maka rasa bersama yang ditumbuhkan semasa bersama-sama membangun hari depan itu akan dapat dibawa untuk seterusnya. Di sinilah kita lihat pengaruh perubahan ide yang dewasa ini menjadi soal yang cukup aktual. Bagi pendidikan, merupakan hal yang penting setiap saat mengadakan pertimbangan, sejauh mana pendekatan yang diberikan itu dapat menciptakan kemungkinan penerjemahan ajaran kepada sikap dan tindakan. Hal ini dengan sendirinya tergantung kepada makna dan isi ajaran ini bagi anak didik. Pendidikan politik dalam praktik pemberian kewarganegaraan di bangku lembaga didik sebagai ajaran hampir tidak mempunyai maknanya lagi. Oleh karena itu, pendekatan demikian tidak lagi dapat memberikan dan membuka jalan pembentukan alternatif-alternatif perspektif hidup dalam diri si anak didik. Kita tidak boleh melupakan kecenderungan psikologis murid, yang terletak dalam ketegangan untuk mempunyai hari depan yang baik. Dalam ketegangan inilah terkandung dorongan untuk ikut berpartisipasi dalam pembaharuan. Kiranya pendidikan politik untuk dimensi kehidupan dewasa ini, di mana hari depan sudah menjadi nilai adalah usaha mendorong murid untuk membuat gambaran mengenai hari depan: dalam perkembangan ini secara proporsional 167 aspek-aspek politis akan masuk. Rasa kesatuan hanya bisa dibangun melalui dan berada dalam ”hari depan” bersama. Bila murid hendak dibangun menjadi manusia yang sadar nasional, maka mereka harus mampu membuat gambaran mengenai hari depannya dahulu dan secara bertahap dipindahkan dari cara berpikir egosentris kepada tahap ketegangan antara ”saya” dan ”sesama manusia”. http://facebook.com/indonesiapustaka Pendidikan Hidup Komunitas Hampir tidak ada negara yang tidak majemuk. Gelombang besar pengungsian di awal milenium ketiga di Asia, Afrika, dan Eropa telah menambah warna warni penduduk benua-benua. Latar belakang budaya dan terutama agama telah menciptakan sejumlah ketegangan di banyak negara serta menerbitkan beberapa perselisihan dan kekerasan. Sedikit saja negara yang tidak mengalami konlik internal. Bila kita hendak membangun kesadaran nasional melalui visi hari depan, harus cukup dini disadarkan kepada para murid bahwa perjumpaan orang dari beraneka budaya akan menimbulkan gesekan norma-norma yang berlaku bagi beberapa bagian penduduk dunia. Namun, bila pendidikan kesadaran nasional dilakukan dengan menggunakan pendekatan optimistis ke masa depan maka kesatuan dan kerukunan pun dapat digarap. Untuk memperdalam arah-didik-damai, sepantasnyalah lembaga didik pada lingkup mana pun menunjukkan dan melatih murid untuk mendorong ‘metode pembelajaran kooperatif ’, menciptakan dinamika belajar sedemikian sehingga kebenaran dan keilmuan adalah buah ‘kooperasi’ dan bukan hasil agresi dan kompetisi.196 Pendidikan mengenai damai adalah model pendidikan kerukunan yang hakiki bagi semua bangsa. Walter Rest merumuskan hal ini sebagai satu utopi produktif. Persoalan ini berhubungan dengan satu 196 Bdk. Slavin, Op.cit., khususnya Bab 3. 168 visi kemanusiaan, yang nyata dalam pendidikan perdamaian, menuju ke arah perdamaian dunia.197 Pendidikan mengenai damai bukanlah sekadar berfungsi membenarkan adanya perdamaian. Hal ini secara tidak disadari sudah selalu termaktub oleh pendidikan. Tetapi, pendidikan kepada perdamaian ini bertugas menyadarkan adanya perdamaian sebagai nilai. Untuk itu sangat perlulah bahwa guru atau dosen mengambil sikap damai juga dalam menyikapi sikap didik murid; bukannya menghadapi sikap kritis murid dengan menghukum dan karena itu menerbitkan suasana ‘perang dingin’.198 Dalam pada itu, situasi ‘Perang Dingin antara Barat dan Timur’ memperlihatkan, seakan-akan perdamaian abadi adalah mimpi belaka, sedangkan perang ada realita yang justru nyata. Warisan Latin kerap dianggap harta berharga: ‘si vis pacem, para bellum’ (kalau menghendaki damai, siapkan perang). http://facebook.com/indonesiapustaka Ada pula berlaku tafsir-tafsir campuran seperti ‘Perdamaian setelah Peperangan’: maknanya, akibat peperangan yang biar pun membawa pembudakan, wajib pemberian upeti dan lain sebagainya, dijadikan satu bentuk perdamaian yang riil. Padahal sebenarnya juga ada yang menyebutnya sebagai damai semu. Relevannya persoalan ini dapat kita lihat dari perumusan pendidikan sebagai belajar untuk hidup dalam keanekaragaman, hidup dengan teknik, hidup dengan aparatur, hidup dengan demokrasi, dan hidup dengan perdamaian di tengah kekerasan. Pendidikan menghadapi juga ‘perang-perang politis’, yang tersimpan dalam transaksi politik, ekonomi, dan militer; dalam kondisi itu, kompromi menjadi kebiasaan dan damai menjadi dalih perundingan. Dalam hubungan internasional misalnya, “onvrede” kolektif ini 197 Walter Rest, “Friedenserziehung”, Wafenlos zwischen den Fronten, Ibid (H.O. Franco Rest, ed.), (Graz: Styria Verlag, 1971), hlm. 253. 198 Bdk. NN., Mempertimbangkan Hukuman pada Anak (Yogyakarta: Pustaka Familia Kanisius, 2007), khususnya hlm. 44-51. Lihat juga Gunarsa Op.cit., khususnya Bab 12. 169 dapat dilihat daripada “Abschreckung” (dissuasion), yang bukan lagi merupakan satu aspek strategi politik, melainkan sudah berbentuk organisasi di dalam masyarakat yang menjalankan politik ini.199 Jadi, sudah menjadi semacam nilai. http://facebook.com/indonesiapustaka Maria Montessori melihat hakikat persoalan ini dari dasar hubungan kanak-kanak dan orang dewasa, di mana peperangan itu sendiri sudah dimulai. Orang dewasa sering mengambil peran sebagai pemenang dan membentuk kanak-kanak berdasarkan model ‘perdamaian setelah peperangan’: tidak lain merupakan pemaksaan adaptasi dan pemerkosaan segi-segi positif yang dimiliki si anak. Suasana semacam ini akan tertanam dalam diri si anak dan akan dibawa terus di dalam perjalanan hidupnya. Maria Montessori menyerukan kepada orang dewasa untuk melihat kanak-kanak secara lain, sebagai satu inkarnasi, bibit-bibit perbaikan, pengharapan, dan pembaharuan. Kemampuan untuk damai kadang kala dirasakan sebagai bukan warisan manusia secara alamiah (Kant.: status naturalis): hal ini sering dikaitkan dengan kesadaran lain bahwa setiap manusia memiliki agresivitas. Oleh karena naluri agresi disebut sebagai tidak apriori jelek atau jahat, maka dikatakan bahwa bukanlah tugas pendidikan untuk menekan atau memusnahkan naluri ini, melainkan memungkinkan anak didik untuk mengarahkan diri kepada yang baik, menggunakan energinya untuk kepentingan yang ‘baik’ itu. Dengan sendirinya status naturalis manusia harus menjadi pertimbangan, manusia memiliki egoisme, jadi punya kemauan untuk berkuasa, memiliki agresivitas, jadi tidak bisa seutuhnya diperhitungkan sebelumnya, tetapi yang apriori tidak negatif. Padahal, kita juga dapat melihat agresivitas sebagai bagian dinamika manusia untuk maju ke depan dalam menghadapi pelbagai situasi dan kondisi masyarakatnya. Demikianlah pendidikan menjawab ‘sifat natural’. 199 Karl F. Roth, “Erziehung zum Friedensdenken”, Friedenspaedagogik, (Hermen Rbhrs, ed.), (Frankfurt: Akademische Verlagsgesellschaft, 1970), hlm. 90-91. 170 http://facebook.com/indonesiapustaka Releksi 1. Menurut pengalaman Anda, pendidikan dilaksanakan oleh siapa? 2. Sesudah masa sekolah, masihkah Anda mengalami pendidikan? Jelaskan! 3. Sejauh manakah petugas negara menjalankan perannya untuk dunia pendidikan? 4. Dalam masa didik Anda, apakah ada orang yang secara khusus memberi pendidikan hidup? 5. “Naik kelas” memberi dampak positif ataukah negatif dalam pendidikan? 171 Belajar Mendidik Berkesinambungan S etiap guru yang profesional mengakui dengan rendah hati bahwa setiap interaksi didik membawa serta proses pembelajaran. Proses itu berlaku bagi bapak/ibu yang mendapat anak ‘lagi’, maupun guru yang menerima murid baru. Sebab gerak langkah mendidik yang berupa interaksi adalah tindakan yang senantiasa dimulai kembali apabila partner didiknya berubah. Hal serupa terjadi juga ketika seorang murid naik kelas atau berganti tingkat persekolahan karena dengan demikian gurunya baru. Apabila tiba saatnya pengajaran diberikan oleh guru berbeda karena mata ajarnya terspesialisasikan pada guru tertentu, relasi didik diperbarui kembali. Dengan kata lain terjadilah “belajar mendidik yang berkesinambungan”. http://facebook.com/indonesiapustaka Murid maupun guru yang bersungguh-sungguh, mengalami kesinambungan yang beraneka warna, sesuai dengan pribadi, tempat maupun mata ajar serta metodenya. Dengan demikian, judul tulisan “Belajar Mendidik” ini bukanlah untuk sekadar diartikan secara haraiah maupun sebagai ungkapan kebahasaan, melainkan berharap dipahami secara sadar: mendidik bukanlah tindakan yang terjadi secara serta merta, otomatis, atau serupa mesin, melainkan rangkaian-rangkaian komunikasi personal yang dinamis. “Pada tahap berikut perlu didalami: Komunitas Belajar” 172 Daftar Pustaka Pendidikan Umum Jauhari, Moh., S.Pd. 2008. Glossarium Pendidikan. Jakarta: Cerdas Pustaka, hlm. 430. Koehn, Daryl. 1994. he Ground of Profesional Ethics. London: Routledge. Morin, Edgar. 1999. Seven Complex Lessons in Education for the Future UNESCO. Paris. Newman, John Henry Cardinal. 1995. On the Scope and Nature of University Education. London: Everyman’s Library No. 723. Widiastono, Tonny D. (penyunting). 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. http://facebook.com/indonesiapustaka Belajar Ayah Edy (VCD). 2014. Inspirasi Pendidikan. Jakarta: Audio Book. Budimansyah, Dr. Dasim, M.Si. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian. Bandung: Genesindo, hlm. viii-148. Cabrera, Derek and Laura Colosi. 2012. hinking at Every Desk. New York and London: W.W. Norton and Company, hlm. xii-148. Pradipto, Y. Dedy. 2007. Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 271. Johnson, Brad and Julie Sessions. 2015. What Schools Don’t Teach. New York-London: Routledge, hlm. x-194. Kelley, W. Michael. 2003. Rookie Teaching for Dummies. New Jersey: Wiley Publishing, Inc, hlm. xx-332. Moyle, Helen. 1997. he Experience of Learning. Dalam: he Way, Vol. 37, April 1997, Nr. 2, hlm. 110-119. NN. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan Taman Siswa. Yogyakarta, hlm. 555. Parapak, Jonathan. 2002. Pembelajar dan Pelayan Mahardika. Jakarta, hlm. v-304. Kecerdasan Goleman, David. 1995. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. etc., hlm. xv-413. Psikologi Pendidikan Koesoema A., Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo, hlm. viii-380. Frankl, Viktor E. 1959. Man’s Search for Meaning. New York: Pocket Books, hlm. xiii237. Suparno, Paul, dkk. 2003. Pendidikan Budi Pekerti. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 136. Rautenberg, Werner dan Rüdiger Rogoll. 2010. Werde, der du werden kannst. Freiburg im Breisgau: Herder, hlm. 11-30. 173 Etika Pendidikan Gustafson, James M., cs. 1970. Moral Education. Cambridge: Harvard. etc., hlm. 136. Peters, R.S. 1966. Ethics and Education. London: George Allen & Unwin Ltd., hlm. 333. Nugroho, Alois A. 2013. Negara Gagal Etika. Suara Pembaruan, 11 Mei. Peters, R.S. 1966. Ethics and Education. London: George Allen & Unwin Ltd. Sekolah Azhar, Khairil. 2013. School, Fraud and the Sacriice of Socrates. he he Jakarta Post, 4 Mei. Sekolah Katolik Adiwahyanto, V. A, dkk. 1995. Sejarah Peziarahan Perkumpulan Strada 1924-1994. Jakarta: Grasindo, hlm. xviii-338. Arthur, James with Richard Bailey. 2000. Schools and Community. London-New York: Falmer Press, hlm. ix-165. Buetow, Harold A., 1988. he Catholic School: Its Roots, Identity and Future. New York: Crossroad. Suparno, Paul, dkk. 2017. Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: PT Kanisius. http://facebook.com/indonesiapustaka Katolik – Sekolah Alternatif Lowney, Chris. 2003. Refuse No Talent, Nor Any Man of Quality dalam Heroic Leadership. Chicago: Loyola Press, hlm. 169-202. NN. 1987. Mencari Pendidikan Alternatif dalam Karya-karya Pendidikan Katolik. LPPSKWI, hlm. 42. Ruf, K. 1980. Zukunftsfragen der Sonderschule dalam Stimmen der Zeit Heft 12, Dezember, hlm. 841-850. Willingham, Daniel T. 2009. Why Don’t Students Like School? California: Jossey Bass, hlm. 228. Gunawan, Hendra. 2013. Potret (Buram) Pendidikan Tinggi Kita. Kompas, 2 Mei. Guru Drost, J., SJ. 1995. Pengajaran dan Pendidikan Pribadi. Jakarta, hlm. 63. Keith-Spiegel, Patricia and Arno F. Wittig, David V. Perkins, Deborah Ware Balogh, Bernard E. Whitley Jr. 1993. he Ethics of Teaching. Muncie: Ball State University, hlm. xvii-165. Komisi Kerasulan Awam KAJ. 1987. Etika Profesi. Jakarta: Keuskupan Agung Jakarta, hlm. 14. Komisi Pendidikan KWI. 2008. Awam Katolik di Sekolah: Saksi-saksi Iman. KWI: Jakarta, hlm. 51. Mardiatmadja, B.S. 2013. Terkenang Guru. Sinar Harapan, 2 Mei. 174 http://facebook.com/indonesiapustaka NN., 2015. Funny Teachers’ Stories dalam Reader’s Digest Asia, November, hlm. 68-73. Schmidbauer, Wolfgang. 1997. Wenn Helfer Fehler machen Rowohlt, Reinbek bei Hamburg, hlm. 319. Highet, Gilbert. 1950. he Art of Teaching. New York: Pyramid Books. Tubbs, Nigel. 2005. Philosophy of the Teacher. Carlton: Blackwell Publishing, hlm. viii245. Politik Pendidikan Beeby, C.E. 1979. Assessment of Indonesian Education. Wellington: New Zealand Council for Educational Research. Depdiknas. 2003. UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, hlm. iv-72. Depdiknas. 2005. UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas, hlm. i-85. Depdiknas. 2009. UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta: Depdiknas, hlm. 88. Fiske, Edward B. 1996. Decentralisation of Education. Politics and Consensus. Washington: World Bank. Freire, Paulo. 1999. he Politic of Education: Culture, Power and Liberation. New York: Routledge. Johny, M., SH., (ed). 1999. UUD 1945, UU Pendidikan, UU Perguruan Tinggi serta Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Bandung: Jemmars, hlm. 222. Kennedy, Kerry (ed.). 1997. Citizenship Education and the Modern State. Bristol: Falmer Press, hlm. x-185. Mangkunegara IV, KGPA. 1900-an. Wedhatama. Surakarta. Mardiatmadja, B., SJ. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 144. Media MNPK. 2003. Proses, Sikap, dan Implementasi UU Sisdiknas. Jakarta: MNPK, No. 03-04, Tahun XXIV, Agustus-September 2003, hlm. 18. Mubyarto, Prof. Dr. 2004. Menggugat Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media, hlm. 29. Tambahan Lembaran Negara No. 4310. 2003. Penjelasan tentang UU Republik Indonesia No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sugi, Br. Frans, FIC. (ed.). 2008. Jati Diri Pendidikan: Debat Sisdiknas 2003. Muntilan: Percetakan Pangudi Luhur, hlm. vi-323. Tilaar, H.A.R. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Tera Indonesia, hlm. 450. Kalla, M. Jusuf. 2013. Ujian Nasional. Kompas, 2 Mei. Koesoema A., Doni. 2013. Panik Sertiikasi. Kompas, 4 Mei. Maryanto. 2013. Kurikulum 2013 di Tengah Kisruh Ujian Nasional. Koran Tempo, 2 Mei. 175 Oey-Gardiner, Mayling. 2013. Assessing University Autonomy. he Jakarta Post, 4 Mei. Saidi, Acep Iwan. 2013. Pendidikan Minus Kebudayaan. Kompas, 4 Mei. Sutrisno. 2013. Hardiknas dan Agenda Pendidikan. Suara Pembaruan, 2 Mei. Swasono, Sri-Edi. 2013. Keprihatinan di Hari Pendidikan. Kompas, 2 Mei. Guru Widyastuti, Sr. Avriana, CB. (ed.). 2009. Bu Guru Ngomong Apa Sih? Yogyakarta: CB Media, hlm. 212. Clark, Ron. 2004. he Excellent 11. New York: Hyperion, hlm. xiii-266. Esquith, Rafe. 2003. here are no Shortcuts. New York: Anchor Books, hlm. x-210. llingworth, Martin. 2015. hink Before You Teach. Glasgow: Independent hinking Press, hlm. x-171. NN. 2013. Wajah Guru dalam Tarikan Kepentingan. Survei Pendidikan, Kompas 13 Mei Hutchinson, Francis P. 1996. Educating Beyond Violent Futures. London-New York: Routledge, hlm. xii-304. Kurikulum 2004. Educare No. 1/1/April 2004. Jakarta: KWI. 2004 Educare No. 2/1/Mei 2004. Jakarta: KWI. Rusman, Dr., M.Pd. 2009. Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. xiii590. Sari Jatmiko, Y., dan A. Ferry T. Indratno. 2006. Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar-Misereor, hlm. 260. http://facebook.com/indonesiapustaka Pranata Didik Dreikurs, Rudolf, MD, Pearl Cassel, M.Ed., Eca Dreikurs Ferguson, Ph.D., 1972. Discipline Without Tears Revised Edition. Canada: Wiley, hlm. viii-148. Fullan, Michael. 2003. he Mord Imperative of School Leadership. Ontario Principals Council and Corwin Press, hlm. xi-88. Orang muda pada Umumnya Bergmann, Wolfgang. 2011. Lasset eure Kinder in Ruhe! München: Kösel, hlm. 142. Dahlke, Rüdiger. 1970. Lebenskrisen als Entwicklungschancen. München: Mosaik bei Goldmann, hlm. 415. Doolittle, Robert. 1993. Searching Young Hearts. Winona: Saint Mary’s Press, hlm. 78. Griess, Tobia, Sr., 1985. Verwurzelt – entwurzelt. Jugend in Indonesien dalam Ordensnachrichten, 24 Jhrg. 1985/Heft 5, hlm. 270-281 Hartoko, Dick (Penyunting). 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta: Kanisius. Lewis, C.S. 1941. he Screwtape Letters. London: Geofrey Bles. Ribes, Peter, SJ. 1992. Self Discovery. Bombay: St. Paul Publications, hlm. 137. 176