Uploaded by adamgubed

BUKU PDAM

advertisement
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Sekapur Sirih
Daftar Isi
Bab 1
Surat Protes Buat PDAM
1
Bab 2 Rp 4,3 Triliun Utang PDAM
Bab 3 Menata Piramid PDAM
Bab 4 Trilogi Air
Bab 5 Perbaiki Pilar PDAM
Bab 6 Pegawai Yang Cakap
Bab 7 Desain yang Inovatif
Bab 8 Area Servis Perluas Terus
Bab 9 Manajemen Akur Bermoral
Bab 10 Tarif vs Mau-Bayar
Bab 11 PDAM atau PAM Swasta?
Bab 12 Amik versus Amiku
Bab 13 Membasmi Wabah Pemula
Bab 14 “Wabah” Petamula
Bab 15 “Beternak” Bakteri
Daftar Pustaka
15
31
44
64
72
87
104
122
144
171
193
213
233
247
259
Sekilas Penulis
Amazon Pond Institute
261
262
MEMAKNAI KONSEP ALAM CERDAS DAN KEARIFAN NILAI BUDAYA LOKAL
(CEKUNGAN BANDUNG, TATAR SUNDA, NUSANTARA, DAN DUNIA)
ASAS-ASAS
PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP
PIDATO ILMIAH DALAM RANGKA DIES NATALIS KE XXV DAN
WISUDA SARJANA KE VIII TAHUN 2010 UNIVERSITAS KEBANGSAAN
DI AULA UNIVERSITAS KEBANGSAAN, BANDUNG 16 OKTOBER 2010
oleh
Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita
Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
Dosen Fakultas Tekologi Industri ITB Teknologi Kimia
Dosen Sekolah Pascasarjana UPI Kajian Fenomenologi Nilai
Dosen Sekolah Pascasarjana UNAIR Ekonomi Islam
Dosen Fakultas Psikologi UNPAD Konsep Teknologi
Jalan Ganesha No. 10 Bandung 40132
E-mail : [email protected]
Abstrak
Hipotesa keilmuan yang melandaskan diri pada keterbatasan sumberdaya alam karena
pertambahan penduduk ternyata tidak benar dan mengingkari keyakinan kehadiran Kasih
sayang dan Kemahadilan Allah Yang Mahakuasa. Keberlanjutan kehidupan manusia justru
memerlukan pertambahan kehidupan lain, yaitu tanaman dan binatang, sehingga hipotesa
keilmuan yang seharusnya diterapkan adalah memelihara dan menjamin terjadinya
keseimbangan antara pertambahan penduduk dengan pertambahan tanaman dan binatang.
Pertambahan kehidupan memerlukan ruang hidup untuk tumbuh, bergerak, menyimpan pasokan
air dan udara sebagai sumber kehidupan. Dengan demikian dapat diidentifikasi adanya dua
siklus utama yang berinteraksi kuat dalam suatu ekosistem yaitu siklus ruang dan siklus
kehidupan, yang seharusnya menjadi sasaran semua upaya keilmuan. Rujukan hipotesa baru ini
akan mencetuskan berbagai kegiatan ramah lingkungan dan ramah kehidupan, seperti pertanian,
perindustrian, perekonomian, dan pengembangan wilayah yang ramah lingkungan. Dikemukakan
pula tiga prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin keberlanjutan, yaitu paradigma
keterkaitan alami (ekosistem), keterkaitan hayati (keanekaragam), dan keterkaitan insani
(kesejahteraan). Ketiga prinsip dasar ini memerlukan pemahaman yang benar, utuh dan tulus
pada semua tingkatan, namun penguasaan keterampilan dan penerapannya akan berbeda sesuai
dengan kemampuan dan skala interaksi yang mampu dilakukannya. Ketiga prinsip dasar tadi
sebenarnya sudah merupakan kearifan budaya lokal di Tatar Sunda, yang akan memelihara
keberlanjutan peradabannya dengan mengacu prinsip siliasih, siliasah, dan siliasuh, untuk
meraih predikat Siliwangi. Pengelolaan ketiga prinsip keterkaitan di atas merujuk polapikir
kesinambungan yang memperhatikan struktur ekosistem untuk pengembangan infrastruktur alam
dan buatannya, evolusi nilai pembudayaannya, dan pengembangan kelembagaan upaya
penerapannya.
Penerapan hipotesa baru keilmuan pada olah lahan membuka inovasi penggunaan kompos
sebagai generator siklus ruang dan mikroorganisme lokal (MOL) sebagai pemicu terjadinya
siklus kehidupan, dan bangunan keterkaitan alami, hayati dan insani secara utuh mampu
membuka paradigma baru penyuburan bumi untuk mewujudkan kesejahteraan penduduknya,
khususnya bagi para petani.
Kata Kunci :
Hipotesa Baru Keilmuan, Siklus Ruang, Siklus Kehidupan, Keterkaitan Ekosistem, Keterkaitan
Keanekaragaman, Keterkaitan Kesejahteraan, Model Budaya, Siliasih, Siliasah, Siliasuh,
Siliwangi, Infrastruktur Alam, Infrastruktur Buatan, Siklus Udara, Siklus Air, Siklus Biomassa,
Ekosistem Bioreaktor-Tanaman, Kompos, Mikroorganisme lokal (MOL), Intensifikasi Proses
(PI), Production on demand (POD), Pendidikan Lingkungan Hidup
1. Hipotesa Baru Keilmuan
Hipotesa keilmuan yang melandaskan diri pada keterbatasan sumberdaya alam akibat
pertambahan penduduk perlu dipertanyakan. Karena kalau hipotesa ini benar berarti
Gusti Allah tidak adil, hanya memberikan yang lebih baik kepada generasi terdahulu,
padahal keyakinan agama mengajarkan Kemahaadilan Allah yang melebihi batas waktu
seperti itu. Lebih lanjut untuk mengatasi masalah terbatasnya sumberdaya alam ternyata
banyak pilihan yang ditawarkan sebagai solusi ilmiah hanya menjadi sumber
pembenaran ketidakadilan. Hal ini terjadi karena pengembangan ilmu yang menganggap
dirinya harus bebas nilai, akhirnya tunanilai, dan sekuler.
Hipotesa keilmuan yang lebih benar yang mengacu adanya fenomena nilai harus dicari,
dengan kembali mempertanyakan apalagi yang bisa bertambah di muka bumi ini selain
manusia, karena memang jumlah tanah, air dan udara adalah tetap tidak bertambah.
Ternyata yang bisa bertambah hanyalah tanaman dan binatang, sementara keberlanjutan
kehidupan manusia justru memerlukan pertambahan kehidupan lain yaitu tanaman dan
binatang. Sehingga hipotesa keilmuan yang seharusnya diterapkan adalah memelihara
dan menjamin terjadinya keseimbangan antara pertambahan penduduk dengan
pertambahan tanaman dan binatang.
Upaya untuk menambah tanaman dan binatang ilmu lama memberikan solusi dengan
menambah luasan lahan sehingga terjebak pada hipotesa keterbatasan sumberdaya alam.
Padahal yang diperlukan untuk pertambahan kehidupan adalah pertambahan ruang
hidup untuk tumbuh, bergerak, menyimpan pasokan air dan udara sebagai sumber
kehidupan, bukan pertambahan luas lahan. Fenomena rekayasa pertambahan ruang ini
secara alami diajarkan oleh tanaman, yang tumbuh berdahan, bercabang dan beranting,
menambah ruang hidup yang memberikan kesempatan hidup bagi banyak makhluk lain.
Kemudian pada saat tanaman mati, dikompos lalu dikubur dalam tanah, memberikan
banyak ruang kecil bagi kehidupan mikro di dalam tanah. Kehidupan kecil ini tidak akan
ada kalau ruang hidupnya tidak disediakan, dan kalau kehidupan berskala kecil ini tidak
ada maka kehidupan berskala besar pun tidak akan ada.
Dengan demikian dapat diidentifikasi adanya dua siklus utama yang berinteraksi kuat di
alam ini yaitu siklus ruang dan siklus kehidupan, yang seharusnya kedua siklus utama
ini menjadi sasaran semua upaya keilmuan. Rujukan hipotesa baru ini akan mencetuskan
berbagai kegiatan ramah lingkungan dan ramah kehidupan, seperti pertanian,
perindustrian, perekonomian, dan pengembangan wilayah yang ramah lingkungan.
2. Paradigma Keterkaitan Alami (Ekosistem)
Keterkaitan alami atau keterkaitan ekosistem mendefinisikan batas alam interaksi
keberadaan seluruh unsur alam, makhluk hidup dan manusia lainnya dalam satu ruang
alam yang sama. Bentuk keterkaitan ekosistem yang sering diungkapkan adalah
fenomena globalisasi, suatu peristiwa alamiah yang menggeser pendekatan sistem
terbuka menjadi sistem semitertutup atau sistem tertutup. Mengubah pandangan konsep
nilai tambah ke nilai manfaat, yang meminimumkan masukan sumberdaya alam dan
keluaran limbah, yang memelihara hak-hak alam sehingga kesinambungan dijamin oleh
kompleksnya siklus rangkai manfaat, bukan oleh penguasaan hulu hilir sepenuhnya
secara sepihak. Suatu siklus rangkai tertutup dari berbagai usaha yang saling terkait
dirancang untuk memaksimumkan nilai manfaat dan meminimumkan penggunaan
sumberdaya alam serta buangan limbahnya, yang sekaligus menjamin berlangsungnya
semua aktivitas secara berkesinambungan.
Dalam bahasa sehari-hari pendekatan sistem terbuka dinyatakan dalam ungkapan “saya
hanya peduli pada diri saya sendiri, karena yang lain bukan bagian dari sistem saya
atau di luar sistem saya, yang penting bagi saya, harus membuat untung sistem saya
saja, saya tidak peduli orang lain rugi”. Ungkapan kata akan berubah tatkala
menggunakan pendekatan sistem semitertutup menjadi : “saya dan yang lain berada
dalam satu sistem yang sama, sehingga saya dan yang lain harus sama-sama untung,
saling menarik manfaat ”. Pernyataan terakhir ini identik dengan pesan kearifan budaya
lokal Sunda: Siliasih, yaitu saling mengasihi karena berada bersama dalam satu sistem
yang sama: sadulur, sasumur, salembur, dan seterusnya sesuai dengan skala interaksi
keberadaannya.
3. Paradigma Keterkaitan Hayati (Keanekaragaman)
Secara alamiah penganekaragaman terjadi karena adanya interaksi multikomponen dan
multiskala yang memiliki ciri khasnya masing-masing pada suatu ekosistem yang
terdefinisi. Kehadiran banyak skala dan banyak pihak ini justru untuk saling menguatkan
dan menstabilkan dinamika ekosistem pada tingkat efisiensi dan efektivitas yang paling
baik untuk suatu ketersediaan sumberdaya tertentu, sehingga lebih menjamin
berlangsungnya kesinambungan peradaban. Contoh alam paradigma ini diberikan oleh
aliran air di sungai yang terlihat memiliki banyak pusaran besar atau kecil yang masingmasing berputar pada porosnya selain mengikuti aliran utama sungai itu sendiri.
Keterkaitan keanekaragaman juga dapat ditunjukkan dengan cara putaran perekonomian
mikro, makro dan global yang tidak bisa dibiarkan semata-mata hanya berputar pada satu
poros perputaran ekonomi global saja, karena hal tersebut hanya akan menambah beban,
memberatkan dan menyebabkan keruntuhan putaran ekonomi secara keseluruhan.
Hal yang sama juga terjadi pada fenomena perubahan iklim global akibat keseimbangan
ekosistem pada skala mikro dan regionalnya tidak tercapai sehingga semua
penyimpangan terakumulasi pada skala yang paling besar yang mengakibatkan terjadinya
bencana yang semakin sering dan besar daya rusaknya. Inilah yang melahirkan kesadaran
think globaly but act locally, berfikir harus dengan wawasan global tapi dalam bertindak
harus dalam keterkaitan utuh setempat atau secara lokal. Memulai dari yang kecil, dari
diri sendiri, pada saat ini juga.
Secara sosial-budaya paradigma ini merupakan upaya yang akan mencegah terjadinya
sentralisasi dan penyeragaman yang selalu akan membuat kerdil dan tidak bertahan lama.
Tuntutan kebebasan, otonomi dan perlindungan hak asasi manusia adalah bentuk
pengungkapan paradigma ini dalam bahasa sosial-budaya, seperti juga ungkapan pesan
kearifan budaya Sunda Siliasah, saling mendukung dan memberi peluang kebebasan
untuk berkembang secara mandiri.
4. Paradigma Keterkaitan Insani (Kesejahteraan)
Keterkaitan kesejahteraan ditunjukkan dengan tumbuh-kembangnya ekonomi jasa secara
eksponensial. Pentingnya usaha jasa ini dapat diukur dengan melihat kenyataan
keberhasilan ekonomi di suatu tempat sangat ditentukan oleh usaha jasanya yang efisien
dan efektif, hampir 70% kegiatan ekonomi adalah usaha jasa, peluang kerja yang dapat
diciptakan sangat luas baik jenis maupun jumlahnya, raihan kesejahteraan yang diberikan
dapat meningkatkan secara berarti dan merata di berbagai lapisan masyarakat, jauh lebih
baik daripada sekedar pemerataan kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin,
berkembangnya usaha jasa dalam masyarakat akan berdampak baik pada peningkatan
layanan publik oleh masyarakat, yang berarti menciptakan privatisasi layanan publik
secara spontan dan benar, serta menciptakan birokrasi pemerintahan yang lebih ramping
sehingga efisien dan efektif.
Harapan kesejahteraan pada kesempatan kerja jasa menyangkut kemampuan atau
keterampilan yang khas pada setiap individu atau kelompok, sehingga sebenarnya
pengangguran itu tidak perlu terjadi bila keterkaitan usaha jasa bisa dibangun secara
spontan, yang pada akhirnya juga akan membangun keterkaitan kesejahteraan manusia
seluas mungkin. Kesempatan tersebut tentunya terbuka selama kualitas dan kemampuan
diri manusianya tersedia dan memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Terbukanya peluang
kesempatan kerja tidak karena ketiadaan melainkan karena kesiapan manusianya yang
setiap saat dapat diantisipasi oleh pendidikan dan perencanaan kerja. Ekonomi jasa tidak
dapat dipaksakan dengan kemampuan yang tidak teruji, melainkan timbul secara spontan
karena kesiapan manusianya baik secara kemampuan maupun kemauan.
Demikianlah keterkaitan kesejahteraan timbul bukan karena membagi-bagikan uang atau
kekayaan melainkan dengan keterbagian kesempatan kerja yang sesuai di antara manusia
yang ada. Paradigma ini sangat mendasar bagi kemanusiaan, yang dalam pesan nilai
kearifan budaya Sunda disebut Siliasuh, saling membuka peluang atau memfasilitasi agar
semua orang dapat bekerja atau berkiprah sesuai dengan kemampuannya untuk
kesejahteraan bersama, rempug jukung babarengan nyambut gawe sauyunan.
5. Kerangka Pikir Kesinambungan Struktur Ekosistem
Terdapat tiga aspek penataan yang diperlukan untuk menjamin kesinambungan, yaitu:
Struktur Ekosistem, Perkembangan Nilai,
dan Perkembangan Kelembagaan.
Pemahaman ekologi sangat penting untuk dapat merancang struktur keterkaitan
ekosistem. Keterkaitan ini akan menjadi operasional kalau ditunjang oleh infrastruktur
yang diperlukan. Investasi infrastruktur sangat mahal, namun merupakan suatu
kemestian, sehingga perlu dipahami dengan baik adanya infrastruktur alam dan
infrastruktur buatan. Perbedaan mendasar dari infrastruktur alam dan infrastruktur buatan
adalah pada keandalan proses alam yang harus ditegakkannya. Infrastruktur alam seperti
hutan, sungai, danau dan sebagainya memberikan jaminan agar siklus alam yang
dihasilkannya benar-benar ditunjang oleh proses alam yang tidak terpotong-potong
sehingga biaya operasi dan investasinya dapat ditekan seminimal mungkin. Peran
infrastruktur alam umumnya tidak tergantikan, sehingga infrastruktur buatan hanya
dibuat untuk menguatkan peran infrastruktur alam, dan tidak akan pernah mampu
menggantikannya. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur harus dimulai dengan
penyelamatan atau pemulihan fungsi infrastruktur alamnya terlebih dahulu.
Dalam hal tertentu peran infrastruktur alam ini sangat menentukan sehingga bukan saja
tidak tergantikan bahkan pengabaiannya akan menjadi sumber bencana, menutup peluang
penambahan kapasitas dan peningkatan nilai manfaat, inilah yang biasa disebut dengan
pusaka alam atau warisan alam, seperti puncak-puncak gunung, puncak-puncak bukit,
lembah alam, hutan pantai, lorong angin, urat air dan lainnya yang secara kearifan budaya
lokal yang sering dianggap keramat. Pengeramatan ini lebih bersifat metoda edukatif,
karena seringkali makam yang dirujuk sebagai keramat hanyalah kuburan kosong belaka,
semata-mata untuk mencegah agar para pengembang tidak merambah hingga ke puncakpuncak gunung atau bukit, dengan ditunjukkan seakan-akan wilayah itu sudah ada yang
menguasai yang maha adil dan maha mengetahui, aya anu ngageugeuh.
Kearifan budaya Sunda membagi ketinggian topografis gunung atau bukit menjadi tiga
bagian, yaitu : 1/3 pada bagian puncak merupakan wilayah hak alam tempat awan sumber
air terikat, bagian ini sama sekali tidak boleh diganggu oleh aktivitas manusia, disebut
leuweung tutupan; 1/3 pada bagian tengah merupakan hak kehidupan agar tanaman dan
binatang dapat berkembang biak, disebut leuweung titipan; dan hak untuk manusia untuk
memanfaatkannya secara komersial berada pada 1/3 bagian paling bawah, disebut
leuweung baladaheun. Budaya Sunda mengartikan leuweung dengan penuh makna
sehingga mampu menjamin kesinambungan dan keberlanjutan, tidak sebatas dengan apa
yang disebut hutan yang bermakna terbatas. Oleh karena itu, tidak perlu kaget bila
kearifan budaya Sunda menginginkan sebuah kota di leuweung bukan sekedar hutan kota.
Tatar Sunda memang berbasis budaya leuweung, baik itu lahan pertanian, permukiman,
desa, kota maupun infrastruktur buatan lainnya tidak boleh mengurangi atau meniadakan
makna yang kaya dari leuweung, yaitu adanya keterkaitan alami, hayati dan insani yang
paripurna. Memang peran infrastruktur alam hutan sebagai generator oksigen, air dan
biomasa tidak terbantahkan, sehingga konsep hutan sebagai kawasan lindung harus
dikonsepsikan lebih utuh lagi sebagai leuweung: leuweung ruksak, cai beak, manusa
balangsak (no forest, no water, no future).
Sementara itu dalam penanganan infrastruktur pada umumnya terdapat tiga hal yang
harus diperhatikan. Pertama, menyangkut semua sektor aktivitas, tidak ada dominasi
sektor tertentu, semua sesuai dengan manfaat dalam keterkaitannya; yang kedua adalah
menyangkut cara menetapkan pilihan alat dan prosedur yang menjamin tercapainya
interaksi keterkaitan; dan yang ketiga adalah inisiatif yang merupakan inti dari upaya
pengembangan yang berkesinambungan. Jelas sekali bahwa tugas research and
developement (R&D) pada dasarnya adalah mengelola inisiatif, terutama dari dalam yaitu
dari sumber daya manusianya. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya manusia menjadi
sangat vital.
Ketiga unsur keberlanjutan akan bermuara pada mutu kemampuan manusianya, bukan
saja dalam inisiatif operasional namun juga dalam inisiatif pengembangan nilai atau
pembudayaan, maupun pengembangan kelembagaannnya. Kemampuan orang seorang
diri akan selalu terkalahkan oleh kemampuan terorganisir dalam kerjasama, misalnya
dalam ketahanan dan kecermatan. Demikian juga nilai yang berkembang secara bersama
dalam pembudayaan masyarakat akan lebih tahan dan lebih dapat diandalkan daripada
peningkatan nilai individual semata.
6. Kerangka Pikir Kesinambungan Evolusi Nilai dan Kelembagaan
Jaminan agar proses keterkaitan berlangsung ke arah yang lebih utuh dan
berkesinambungan adalah tumbuh-kembangnya kelembagaan yang terkait, yaitu lembaga
pemberdayaan maupun lembaga pembudayaannya. Upaya pemberdayaan sekurangkurangnya memerlukan tiga lembaga pemberdayaan, yaitu lembaga keuangan, lembaga
pasar, serta lembaga penyimpanan dan penyampaian. Ketiga lembaga ini akan berbeda
untuk setiap skala ruang dan waktu yang berbeda. Penggabungan kelembagaan secara
vertikal untuk semua skala akan menghasilkan mekanisme sentralisasi dan penyeragaman
yang bertentangan dengan paradigma multiskala atau keanekaragaman.
Lembaga keuangan terdiri atas lembaga keuangan mikro di perekonomian rakyat,
lembaga keuangan makro di perekonomian nasional, dan lembaga keuangan dunia
(mega) dalam perekonomian global. Keterkaitan vertikal yang sentralisasi di antara
lembaga ketiga skala tersebut membuat praktik ekonomi sangat bergantung pada putaran
global yang mengakibatkan kerentanan untuk mengalami krisis kemandekan.
Lembaga pasar juga seharusnya memperhatikan paradigma multiskala, sehingga antara
pasar dunia, pasar regional, pasar nasional, dan pasar tradisional harus jelas perbedaan
mekanismenya. Secara fisik pasar saat ini masih merupakan tempat tercampur baurnya
berbagai kegiatan mulai dari tempat menjajakan, menyimpan hingga tempat tinggal
pedagangnya sekaligus. Padahal dalam perkembangannya ke masa depan pasar bukan
lagi untuk menjadi gudang atau pusat pengepakan barang melainkan akan lebih
merupakan pusat pertukaran informasi, sementara barangnya sendiri bisa langsung
dikirim dari gudang atau produsen ke konsumen. Pasar modern akan menjadi pusat
informasi bagi putaran skala ekonominya, sementara pasar tradisional akan tetap bertahan
sebagai sarana pertukaran barang sekaligus sehingga secara fisik perlu dirancang kembali
agar fasilitas dan fungsi layanannya lebih cepat, efisien dan efektif.
Lembaga penyimpanan dan penyampaian, khususnya untuk barang, praktis belum
dipahami secara luas terutama berkaitan dengan paradigma multiskala. Hilangnya
pengertian lumbung rumah atau lumbung desa untuk putaran perekonomian desa juga
adalah akibat hilangnya kesadaran akan keberadaan paradigma multiskala. Upaya
pembudayaan atau evolusi nilai merupakan upaya untuk proses kesinambungan yang
akan berfungsi membangun kepekaan aspiratif untuk meningkatkan potensi manfaat.
Upaya ini juga sekurang-kurangnya memerlukan tiga lembaga, yaitu lembaga keyakinan,
lembaga silaturahmi dan lembaga pembelajaran atau pendidikan.
Lembaga keyakinan berfungsi seperti bank aspirasi yang akan memelihara arah evolusi
nilai mulai dari keyakinan ilahiyah (ketakwaan, moralitas dan akhlak) menjadi aspirasi
keikhlasan dan kearifan yang lebih operasional dalam aktivitas pembudayaan sehari-hari.
Lembaga silaturahmi atau kenduri berfungsi seperti pasar aspirasi untuk membangun
nilai kebersamaan dan sinergi secara berkesinambungan dalam aktivitas pembudayaan
sehari-hari. Lembaga pembelajaran berfungsi sebagai gudang dan wahana perpindahan
aspirasi, tempat tumbuh kembangnya aspirasi secara berkesinambungan dalam aktivitas
pembudayaan sehari-hari.
7. Model Budaya Pengelolaan dan Pendidikan Lingkungan Hidup
Model budaya akan menjadi sumber inspirasi dan aspirasi bagi tumbuh kembangnya
kreativitas dan evolusi nilai dalam pendidikan sehari-hari. Tanpa sumber inspirasi dan
aspirasi, pendidikan menjadi hanya sebatas mesin produksi atau infrastruktur ekonomi
semata, bukan merupakan bagian dari ruh kesinambungan membangun peradaban
kemanusiaan. Produknya hanya akan berupa keangkuhan ilmu dan miskin manfaat, baik
secara individual maupun profesional.
Membangun model budaya merujuk langkah berikut:
1. Mengidentifikasi ciri kunci budaya;
2. Mendefinisikan lingkup wilayah;
3. Menciptakan budaya kerja sendiri;
4. Mengevaluasi dengan memperbandingkan terhadap standar global;
5. Menyempurnakan dan percepatan dengan koreksi pada langkah 1, 2 dan 3.
Ciri kunci budaya bagaikan unsur genetika dalam kehidupan, artinya merupakan ciri
hidup, daya hidup, bahkan mencakup penangkalan terhadap potensi penyimpangan
karena semua kecenderungan telah terpetakan dalam ciri kunci budaya ini. Ciri kunci
budaya Sunda yang sangat berharga untuk upaya ini adalah rujukan siliasih, siliasah, dan
siliasuh yang sebenarnya merupakan kesadaran keterkaitan ekosistem (globalisasi),
keterkaitan multiskala (keanekaragaman), dan keterkaitan kesejahteraan (ekonomi jasa),
yang sangat sesuai dengan rujukan pendidikan pascamodern membangun keterkaitan
alami, hayati dan insani, yang diharapkan mampu memberi dasar kemampuan bersinergi
saling mewangikan, siliwangi.
8. Konsep Alam Cerdas Indonesia
Fenomena pergeseran lempeng bumi di Indonesia dan kerentanan pergerakan tanah di
Jawa Barat memberikan kesadaran akan konsep alam cerdas pertama yang harus
dipahami, karena akan melandasi rancangan peradaban kemanusiaan yang akan
dibangun di Nusantara. Kearifan budaya Sunda sudah merespon dengan baik kenyataan
alam ini dengan membangun rumah-rumahnya menggunakan material bambu yang
ringan dan lentur, dan tidak meletakkan pemukimannya di lereng bukit yang labil
sehingga mampu meredam bencana ketika gempa bumi terjadi. Kealfaan akan hal ini
mengundang bencana alam yang besar dan memaksa penduduknya untuk mengkaji
ulang ketahanan papan dalam perjalanan peradabannya.
Konsep alam kedua adalah pergerakan aliran udara dan air di Indonesia yang dalam
kenyataan alamnya berpulau-pulau besar-kecil dan banyak, yang terbentang di antara
dua benua dan dua lautan serta dilintasi garis khatulistiwa. Hal ini menempatkan
Nusantara sebagai pusat sirkulasi udara dan aliran air di muka bumi yang terjadi secara
bersamaan yang akan berperan penting dan memiliki tingkat sensitivitas yang sangat
tinggi dalam perubahan iklim dan cuaca di dunia, baik global, regional maupun lokal.
Sangat layak Indonesia ditempatkan di bagian tengah peta dunia sebagai pusar dunia
sehingga mampu menyadarkan masyarakat global maupun lokal akan peran penting
alami Nusantara dalam membuka peluang kehidupan di muka bumi ini.
Konsep alam ketiga berkaitan dengan kenyataan percepatan pertumbuhan berbagai
jenis kehidupan yang tinggi di alam Indonesia. Sesungguhnya hipotesa keterbatasan
sumber daya karena pertambahan penduduk, tidak sepenuhnya benar. Kehidupan
manusia justru memerlukan kehidupan lain yaitu tanaman dan binatang, sehingga
hipotesa yang harus diambil adalah menjamin terjadinya keseimbangan pertambahan
penduduk dengan pertambahan kehidupan lainnya. Pertambahan kehidupan tidak
semata-mata memerlukan luas bidang lahan sebagai pijakan, namun memerlukan ruang
hidup untuk menjamin tersedianya aliran air dan udara sebagai sumber kehidupan.
Indonesia dapat diidentifikasi sebagai tempat terjadinya interaksi kuat dua siklus utama
ekosistem yaitu siklus kehidupan dan siklus ruang.
Contoh alam adanya keterkaitan siklus ruang dan siklus kehidupan ini adalah
penggunaan kompos sebagai generator siklus ruang pada olah lahan pertanian.
Penggunaan kompos pada tanah merupakan input ruang, terutama ruang berskala mikro
dalam jumlah yang banyak dengan bentuk dan ukuran yang beraneka, dan bisa berubah
dari waktu ke waktu secara berkelanjutan, yang disebut sebagai siklus ruang. Struktur
ruang intensif ini memungkinkan sekaligus fasilitasi air, udara, perkembangan
perakaran dan kehidupan biota tanah yang akan berada dalam ruang hidup tersebut
secara bersamaan dan berketerkaitan, menyelenggarakan intensifikasi proses dan
mekanisme production on demand.
Rekayasa ruang dalam tanah ini hanya bisa dilakukan oleh kompos yang mengandung
unsur keanekaragaman dan merupakan bahan organik, tidak oleh butiran tanah yang
homogen. Ruang antarpori, antarakar, dan antaragregat dalam tanah lebih diperkaya
oleh rekayasa ruang yang dilakukan, sebagai pabrik mikro dengan segala fungsi ruang
dan prosesnya. Jumlah dan keanekaragaman hayati yang hidup dalam ruang ini
berfungsi sebagai para pekerja pabrik nutrisi bagi tanaman atau mahluk lainnya.
Pertumbuhan dan perkembangan biota tanah ini dipicu oleh semaian mikroorganisme
lokal yang diaplikasikan pada ruang hidup dalam tanah yang telah tersedia. Sistem
kehidupan dalam ruang dalam tanah tersebut kemudian berkembang menjadi suatu
siklus kehidupan yang pada gilirannya merupakan suatu siklus nutrisi yang sangat
handal di mana tanaman itu sendiri berada di dalamnya.
9. Peran Hutan dan Semak Belukar sebagai Infrastruktur Alam
Sejalan dengan peran kompos sebagai generator siklus ruang mikro dalam tanah maka
peran tanaman besar adalah sebagai pemicu siklus ruang pada skala makro untuk
menegakkan fungsi konservasi baik di hutan maupun di kebun. Keberadaan tanaman
besar yang bisa mencapai ketinggian dan diameter naungan tanaman hingga 10 meter,
bercabang banyak dan berdaun lebat dengan ukuran perlembar daun hingga 11-12 cm,
maka tanaman besar akan mampu berfungsi sebagai tajuk puncak atau kanopi utama
tutupan hutan, yang memungkinkan fasilitasi siklus kehidupan yang lebih banyak dan
beraneka ragam. Dalam kerangka pikir kesinambungan yang seutuhnya, aplikasi
tanaman seperti ini akan membangun ekosistem skala makro sebagai infrastruktur alam
untuk menjamin keberlajutan pada skala ekosistem berikutnya yang lebih kecil.
Terdapat dua jenis infrastruktur yaitu infrastruktur buatan seperti jalan, jembatan,
bangunan, bendungan, dan infrastruktur alam seperti hutan dan semak belukar, danau,
sungai, lembah, puncak-puncak bukit, dst. Hal pertama dan utama yang harus direalisir
adalah infrastruktur alam, karena infrastruktur buatan tidak akan pernah bisa
menggantikannya melainkan hanya untuk memperkuat dan menambah manfaat dari
peran infrastruktur alam itu. Dalam kegiatan pertanian untuk pencapaian semua
sasarannya peran infrastruktur alam sangat menentukan. Semua masukan primer sistem
semitertutup pertanian baik pada skala tanaman, skala kebun, maupun skala global
sumbernya hanya dari infrastruktur alam hutan dan semak belukar. Terdapat tiga peran
hutan dan semak belukar yang tidak tergantikan, pertama sebagai generator siklus
oksigen, kedua sebagai generator siklus air, dan ketiga sebagai generator siklus karbon
atau biomassa yang akan menjadi sumber bahan kompos dalam jumlah yang senantiasa
tersedia dan dalam ketersebaran yang diperlukan, sebagai pembangkit siklus ruang dan
siklus kehidupan untuk kegiatan pertanian.
Hutan dan semak belukar, terutama di puncak-puncak bukit dan gunung merupakan
generator siklus air yang sangat andal. Tiga perempat dari hujan yang jatuh di hutan dan
semak belukar akan kembali diuapkan sebagai awan yang menggantung di atasnya,
sementara seperempatnya secara berkesinambungan akan diatur sebagai pasokan air
yang ke luar sepanjang tahun dari mata air. Jadi gudang air yang sebenarnya adalah di
awan di puncak bukit dan gunung itu, yang hanya bisa dikendalikan dengan menurunkan
temperatur muka bumi dan memanfaatkan pengaruh topografi bumi terhadap aliran
awan rendah tersebut. Satu-satunya upaya untuk dapat melakukan itu adalah dengan
menjaga hutan dan semak belukar dalam ruang yang memadai di puncak bukit dan
gunung, lembah dan daerah-daerah antarmuka di mana awan dapat ditimbulkan.
10. Keterkaitan Ekosistem Multiskala
Sebaiknya digunakan istilah ekosistem bukan lingkungan. Dengan istilah lingkungan
seolah-olah ada sistem dan ada bagian di luar sistem yang disebut lingkungan, padahal
yang dimaksud adalah baik sistem maupun lingkungannya dianggap sebagai satu sistem
bersama. Jadi lebih tepat menganalisis keterkaitan ekosistem, bukan analisis dampak
lingkungan. Analisis dilakukan sebelum intervensi terhadap ekosistem dikerjakan.
Sasarannya adalah menjamin kesinambungan ekosistem, memelihara ketersediaan, dan
menambah manfaat.
Contoh alam suatu ekosistem adalah ekosistem tanaman dengan bioreaktornya.
Pengendalian sistem semi-tertutup antara tanaman dengan bioreaktornya dalam tanah
dengan siklus ruangnya dilakukan oleh tanaman itu sendiri dengan menggunakan
mekanisme eksudasi. Eksudat yang secara fisik berupa bahan kimia padat atau cairan
adalah komunikator antara tanaman dengan sistem biota dalam bioreaktornya (siklus
kehidupan), sehingga terjadi kesesuaian antara bahan yang diperlukan oleh tanaman dan
bahan yang diproduksi oleh biota tanah. Siklus kehidupan dalam tanah cenderung
menghasilkan jenis nutrisi tertentu sesuai dengan interpretasinya atas informasi yang
dibawa oleh komunikator yang berasal dari tanaman secara berkesesuaian dan
berkesepadanan. Oleh karena itu penggunaan bahan kimia (buatan) terhadap tanaman
baik sebagai pupuk maupun pestisida harus dihindarkan, terutama untuk menjaga agar
tidak terjadi persenyawaan kimia yang akan mengikat dan menghilangkan fungsi bahan
komunikator sehingga informasi dari tanaman tidak dapat sampai kepada kehidupan di
dalam tanah, yang akhirnya baik tanaman maupun kehidupan dalam tanah hidup sendirisendiri tanpa sinergi dan memutus siklus kehidupan yang seharusnya berfungsi sebagai
siklus nutrisi yang dapat diandalkan.
Dalam sistem semitertutup kriteria yang diukur bukan lagi nilai tambah, melainkan nilai
manfaat yang didasarkan pada pertukaran aliran di dalam sistem, yang secara
termodinamika merujuk neraca exergetik. Terlihat pada ekosistem skala yang pertama
(N1) mencakup interaksi antara tanaman dengan bioreaktornya, maksimasi keluarannya
berupa produk panen buah didasarkan pada maksimasi masukan berupa make-up
kompos yang ditambahkan. Hal ini sesuai dengan pemahaman di lapangan, karena
kegiatan pertanian tidak pernah menghasilkan panen NPK tetapi memanen CxHyOz
berupa pati atau gula atau selulosa dan sebangsanya. Berarti kalaupun ada input yang
diperlukan maka seharusnya adalah penambahan CxHyOz juga. Berupa penambahan C
sebagai kompos yang selain berfungsi sebagai generator siklus ruang juga berfungsi
sebagai sumber C yang memberikan pasokan energi dan gas CO2 secara setempat pada
jumlah dan kecepatan yang bersesuaian dengan kebutuhan tanaman. Penambahan H
diberikan berupa ketersediaan air yang tersimpan dalam ruang mikro dalam kompos, dan
penambahan O berasal dari udara yang bisa masuk ke dalam ruang mikro di dalam
kompos juga. Sementara kebutuhan NPK dan nutrisi mikro dipenuhi sepenuhnya oleh
siklus kehidupan yang beranekaragam yang tumbuh dan berkembang dalam siklus ruang
yang diciptakan oleh penggunaan kompos, yang merupakan siklus semitertutup antara
tanaman dengan bioreaktornya.
Pada ekosistem skala yang kedua (N2) mencakup bumi dan cahaya matahari yang
masuk ke dalam atmosfer bumi yang juga merupakan sebuah sistem semitertutup.
Dengan masukan cahaya matahari inilah biomassa berupa hutan dan semak-belukar
dapat tumbuh dan berkembang sebagai sumber bahan kompos untuk menciptakan siklus
ruang di dalam tanah, yang pada gilirannya memfasilitasi tumbuh dan kembangnya
siklus kehidupan yang dapat mengimbangi kebutuhan nutrisi atau energi yang
diperlukan manusia dan pertambahannya. Terbukanya peluang penyeimbangan
kebutuhan karena pertambahan penduduk adalah akibat dimungkinkannya pertambahan
siklus kehidupan yang dipicu oleh kemampuan pertambahan siklus ruang dalam tanah
dengan menggunakan kompos yang bersumber dari pertambahan produksi biomassa di
muka bumi ini, yang juga dibangun oleh generator siklus ruang pada skala makro berupa
tanaman, pepohonan dan semak belukar yang beragam ukuran, bentuk dan ketinggian
dalam biosfer di atas permukaan bumi.
11. Rancangan Penerapan
Rancangan penanaman sumber biomassa dan percepatannya, serta pengelolaannya
menjadi generator siklus ruang merupakan langkah awal paling penting untuk
meningkatkan kegiatan pertanian dan produktivitasnya, untuk menjamin ketersediaan
pasokan pangan dan energi bagi umat manusia. Teknik pengomposan, saung kompos
dan pembudayaan pembuatan dan penggunaan kompos secara mandiri (pada lokasi yang
terdistribusi) adalah langkah strategis yang harus digarap dengan baik. Demikian juga
upaya memperkaya jenis dan ukuran tanaman di hutan dan kebun yang juga merupakan
generator siklus ruang pada skala makro harus dijadikan rujukan utama pengelolaannya.
Dengan ketiga fungsinya sebagai generator siklus oksigen, siklus air dan siklus
biomassa, ruang hutan dan semak belukar benar-benar merupakan infrastruktur alam
yang sangat menentukan dan harus menjadi prioritas penataan sistem pertanian dan
pembudayaannya.
Demikianlah dalam kerangka pikir kesinambungan, teknologi intensifikasi proses yang
digagas penulis di atas hanyalah memberikan masukan untuk mendapatkan rujukan
prosedur kerja, menyangkut masalah teknis dan tampilan fisik semata. Akan tetapi
aplikasi secara lebih menyeluruh akan memerlukan rujukan tentang keutuhan aktivitas
semua sektor yang ada, yang tentunya harus sejalan dengan upaya pengembangan
kelembagaan upaya tani yang seharusnya. Juga memerlukan rujukan upaya inisiatif
pengembangan yang harus sejalan dengan rencana pengembangan pembudayaan upaya
tani yang seharusnya juga. Hal ini merupakan arah pengembangan pasca-industri yang
menggali kembali nilai dasar pertanian untuk penguatan dan penyempurnaan aktivitas
perindustrian. Tentunya hal ini akan menjadi peluang besar bagi peran Indonesia dengan
konsep alam cerdas dan kearifan budayanya yang sejalan dengan itu.
12. Menerapkan Tani Ramah Lingkungan di Rumah, Kota dan Desa
Lebih lanjut dengan adanya kenyataan ujicoba pertanian di pot yang selalu lebih baik,
karena memang rancangan paling sempurna antara tanaman dengan bioreaktornya akan
diperoleh dalam pot sementara di lapangan akan melibatkan lebih banyak lagi faktor lain
yang akan berpengaruh. Pada kenyataan penggunaan teknologi intensifikasi proses ini di
pot mampu memberikan peningkatan produktivitas yang sangat berarti hingga 10
kalinya adalah sesuatu yang bisa dipertimbangkan untuk mengembangkan gagasan
pertanian produktif baru, yang lebih dapat diandalkan, lebih mandiri dengan sumber
pasokan, dan lebih menjamin kesinambungan. Maksud tersebut memerlukan
perancangan gagasan yang lebih menyeluruh dengan pola pikir yang telah diubah.
Memanfaatkan sampah kota untuk kompos, dan menggunakan komposnya untuk
pertanian di pot dan dilaksanakan juga oleh masyarakat kota, dan bukan saja untuk
maksud estetika atau bahan racikan obat atau bahan bumbu makanan tetapi untuk
menjaga ketersediaan dan keanekaragaman pangan sebagai bagian dari program
ketahanan pangan dan kesehatan di kota, maka sesungguhnya penulis sedang mulai
membangun kembali suatu budaya pertanian kota yang baru, baru dari sisi argumentasi
ilmiah namun lebih sesuai dengan kearifan budaya dan kecerdasan lokal yang ada.
Pengembangan pertanian produktif di pot bukan saja membuka peluang pembudayaan
pertanian di kota, tetapi juga membawa kegiatan produktif secara terdistribusi ke
wilayah konsumen, sehingga prinsip production on demand dapat juga dikembangkan
secara multiskala, ke skala yang lebih luas. Demikian juga kearifan lokal budaya Sunda
yang menunjuk leuweung sebagai infrastruktur alam menjadi lebih realistis, karena akan
lebih banyak lahan pertanian tersedia yang alih fungsinya justru untuk penguatan
infrastruktur alam menjadi hutan dan semak belukar atau leuweung, yang bisa
diterapkan secara lebih terdistribusi baik di dataran tinggi, rendah maupun perkotaan.
Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak, atau no forest, no water, no future.
13. Kesimpulan
Penegakan asas-asas pembangunan lingkungan hidup merupakan langkah awal dari
upaya pembangunan secara menyeluruh dan berkesinambungan di semua sektor
pembangunan, bukan sekedar pembangunan sektoral.
Asas-asas pembangunan lingkungan hidup bersumber dari hipotesa keilmuan yang
menjunjung tinggi keyakinan nilai Kasihsayang dan Kemahaadilan Allah yang
Mahakuasa : bertambahnya manusia harus diimbangi dengan bertambahnya tanaman
dan binatang atas dasar pengembangan siklus ruang dan siklus kehidupan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip keterkaitan alami, hayati, dan insani.
Membangun Struktur Fisik Ekosistem, Kelembagaan Pemberdayaan dan Pembudayaan
dalam kerangka pikir kesinambungan memerlukan komitmen dan kerja nyata semua
pihak dalam upaya penegakan kegiatan olah lahan yang ramah lingkungan:
o Memulihkan infrastruktur alam untuk menjamin kesinambungan, ketersediaan
dan kemanfaatan daur alami air, udara dan biomassa agar siklus ruang dan siklus
kehidupan berlangsung menunjang keandalan kinerja pertanian menyediakan
pangan, papan dan energi.
o Menggunakan secara maksimal bahan lokal yang strategis seperti kompos dan
mikroorganisme lokal serta penguasaan ilmunya untuk membangun kembali jati
diri dan kemandirian pertanian.
o Menggunakan potensi keanekaragaman hayati untuk keandalan ketersediaan,
manfaat dan kesinambungan.
o Revitalisasi organisasi dan pengembangan kelembagaan pada semua tahap
kegiatan pertanian untuk meningkatkan kecepatan, ketepatan dan kecermatan
layanan kerja, mencakup semua aktivitas sektor secara menyeluruh sehingga
mampu mengantisipasi kompleksitas permasalahan dengan upaya penyempurnaan
yang berkelanjutan.
o Mengelola secara seksama potensi pasar domestik dan upaya cerdas untuk
menembus pasar dunia.
o Membangun keterbagian yang cerdas dan berkearifan antara kegiatan pertanian
untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan maupun bahan energi terbarukan.
o Membangun metodologi pertanian adaptif yang sesuai dengan kegiatan pertanian
di luar Pulau Jawa yang kurang penduduk dengan di pulau Jawa yang rapat
penduduk, antara tani rakyat dalam skala keluarga dengan usaha tani dalam skala
perusahaan.
o Melakukan upaya pembudayaan kembali kegiatan pertanian pada berbagai
lapisan masyarakat dan wilayah di Indonesia di desa maupun di kota sebagai arah
peradaban pasca-industri
Perlunya Pendidikan Lingkungan Hidup menunjukkan harapan kuat dari semua pihak
agar mampu membangun kenyataan perilaku sehari-hari generasi barunya menjadi
lebih pro-lingkungan, pro-kehidupan, dan pro-kemanusian sesuai dengan
perkembangan ruang dan waktu keberadaannya sehingga lebih mampu menjamin
kesinambungan peradaban kemanusiaan.
Identifikasi konsep-konsep alamnya yang cerdas dan kearifan budaya lokalnya yang
sejalan akan memahamkan generasi baru Indonesia pada wawasan lingkungan alam,
kehidupan dan kemanusiaannya secara praktis dan kreatif pada skala individu,
keluarga, kota, negara, bahkan global sehingga lebih mampu menciptakan pemecahan
masalah lingkungan yang dihadapinya, serta membangun kembali kualitas kehidupan
dan kesejahteraannya secara nyata dan berkelanjutan, sebagai wawasan kebangsaan
baru Indonesia.
Sumber Pustaka
1. Mubiar Purwasasmita, “Konsep Teknologi”, ITB, 1990.
2. Mubiar Purwasasmita, ”Kajian Fenomenologi Nilai”, Pascasajana UPI, 2000.
3. Mubiar Purwasasmita, ”Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Sumberdaya
Lokal”, Seminar Teknik Kimia Suhadi Reksowardoyo, Bandung, Desember 2007.
4. Mubiar Purwasasmita, ”Wawasan Lingkungan Hidup Kota Bandung”, Semiloka
Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup untuk sekolah dasar dan menengah
sekota Bandung, UNPAS, 2008.
5. Mubiar Purwasasmita,” Menerapkan Intensifikasi Proses (PI) dan Produksi yang
Berkesepadanan (POD) dalam bidang Pertanian”, Teknik Kimia ITB, 2009.
6. Mubiar Purwasasmita, “System of Rice of Rice Intensification (SRI) : Olah lahan
sebagai Bioreaktor- Menerapkan Process Intensification dan Production on
Demand dalam Bidang pertanian”, Bahan Seminar yang disampaikan di
BALITPA Bogor, Kamis,24 Mei 2007.
7. Mubiar Purwasasmita, ”Wanatani - Upaya Konservasi DAS Hulu Melalui
Pemberdayaan Kelompok Tani”, Lokakarya PLA - Departemen Pertanian, SOLO
15 April 2008.
8. Mubiar Purwasasmita, Hutan dan Semak belukar Infrastruktur Alam, CiomasCiamis 2009.
9. Settle,W., “Living Soil, Training exercise for integrated soils management”,
2000.
10. Christian V. Stevens and Roland Verhe, “Renewable Bioresources, Scope and
Modification for non-food application”, Wiley, 2004.
11. P Morrisey, JM Dow, GL Mark, FO Gary, “Are microbe at the root of a solution
to world food production : Rational exploitation of interactions between microbes
and plants can help to transform agriculture”, European Molecular Biology
Organization Reports vol.5, No. 10, 2004.
12. N. Kockmann, “Transport Phenomena in Micro Process Engineering”, SpringerVerlag, Berlin Haidelberg, 2008.
13. Stankievics, Moulijn, “Re-engineering the Chemical Processing Plant: Process
Intensification” , Marcel Dekker Inc, New York, 2004.
Ucapan terima kasih:
Disampaikan kepada teman-teman, lembaga swadaya masyarakat dan berbagai pihak
yang secara konsisten memelopori dan memberikan pemahaman baru tentang keterkaitan
alami, hayati, dan insani di berbagai pelosok Indonesia melalui penyebarluasan kegiatan
tani ramah lingkungan. *
PENGANTAR
Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita
No forest - no water - no future; hilang hutan hilang air - hilang masa depan; leuweung ruksak - cai
beak - manusa balangsak. Itulah aspirasi adat atau
keseharian-nya masyarakat Jawa Barat, suatu logika utuh
ekosistem yang menjadi basis kerja DPKLTS (Dewan
Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda).
Betapa sulitnya kita. Kita dihadapkan pada ancaman
hilangnya air di tatar Sunda karena hutannya dijarah dan
tidak dikelola dengan baik, sementara banyak pihak yang
masih belum tergerak untuk menuju ke arah keutuhan
hutan sebagai sumber utama air bagi kehidupan.
Demikian pula hal yang dikemukakan Sdr. Gede H.
Cahyana dalam buku ini. Keberadaan air di tengahtengah kita, dirundung banyak permasalahan yang
mendasar dalam pengelolaannya. Air yang semakin hari
semakin langka ketersediaannya itu baru menggugah
usaha bagi para pemodal untuk meraup keuntungan yang
lebih besar, sementara masyarakat kebanyakan masih
terlena, kurang peduli, dan pasrah pada pengelolaan apa
adanya.
Juga tidak ada program, baik formal maupun
inisiatif masyarakat guna memelihara keberfungsian
sumur atau tampian di pedesaan. Bahkan di daerah
perkotaan pun usaha publik pengelolaan air PDAM
dibiarkan kehilangan kemampuannya bahkan jati dirinya.
Lalu, bagaimana air yang tersedia ini harus
dikelola? Bagaimana organisasi pengelola seperti PDAM
itu harus berbuat? Perubahan paradigma apa yang harus
terjadi di tataran masyarakat, pemerintahan maupun
pengelola air? Maka, ketika Rancangan Undang-undang
i
Sumber Daya Air (RUSDA) disahkan menjadi Undangundang, kami pun terhenyak karena menyisakan banyak
pertanyaan. Ganjalan bagi DPKLTS adalah prinsipprinsip pengaturan kegiatan dan usaha pemanfaatan air,
terlebih lagi untuk PDAM atau PAM swasta bila ada
kelak.
Dalam kaitan dengan itu, buku PDAM
BANGKRUT? Awas Perang Air ini minimal mampu
membuka mata kita pada masalah air khususnya air
minum. Sebab, bukan tak mungkin terjadi “perang”
dalam memperebutkan sumber air di masa nanti. Dalam
kasus-kasus terbatas, perkelahian fisik dan jebolmenjebol saluran air sering terjadi. Baik di daerah yang
sudah punya organisasi air seperti Mitracai di Jawa
Barat, Darmatirta di Jawa Tengah, Subak di Bali,
maupun yang dikelola secara tradisional.
Penulis juga mengangkat perang air antara air
minum kemasan (amik) dengan depot air minum
kemasan ulang (amiku). Juga potensi perang antara
PDAM dan lembaga lain dan bahkan antar-PDAM itu
sendiri. Terasa semrawut urusan air ini. Pemerintah,
apalagi pemerintah daerah, tentu tidak boleh diam
menunggu kasusnya meletus.
Di lain sisi, PDAM bisa bangkrut kalau tidak mulai
menata dirinya. Secara menarik, penulis menganalogikan
upaya perbaikan atau reformasi PDAM dengan piramid.
Setiap sudut piramid merepresentasikan pilar P, D, A,
dan M. Pilar P untuk pegawai, D untuk Desain, A adalah
Area servis, dan M, manajemen. Inilah, menurut penulis,
yang harus ditata kembali agar PDAM tidak bangkrut.
Kalau itu tidak diindahkan oleh PDAM, juga oleh
pemerintah kabupaten/kota, maka bencana massal dapat
terjadi. Misalnya, wabah penyakit menular lewat air seperti tifus, muntaber, disentri. Juga penyakit akibat zat
ii
pencemar dalam air minum. Ini melanda seluruh penduduk kota. Semua orang sakit.
Maka, alangkah baiknya PDAM introspeksi dan
mau menelusuri pola reparasi piramid yang ditawarkan
buku ini. Yaitu, memperbarui kualitas SDM-nya,
meluaskan area servisnya, memodernkan desainnya, dan
menata lagi manajemennya agar efisien dan efektif.
Demikianlah langkah demi langkah yang dilakukan
Sdr. Gede untuk membuka wacana publik dalam membahas pengelolaan air bagi kesejahteraan masyarakat kita
khususnya di perkotaan dengan PDAM-nya. Dan masih
banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pengelola air
sebagai sarana publik ini, yang masih menjadi tumpuan
harapan bagi masyarakat calon/pelanggan di perkotaan.
Mudah-mudahan saja bahasan seperti ini akan terus
berkembang, membuka wacana terbuka bagi seluruh
stake holders-nya. Jangan sampai kebijakan yang diambil
untuk PDAM justru menjadi bumerang bagi
kesinambungan pengelolaan air di perkotaan. Kenalilah
PDAM dengan segala permasalahannya; tak kenal maka
tak sayang. Itu-lah semangat nyata dan manfaat
kehadiran buku ini.
Maka, DPKLTS sangat mendukung penerbitan buku
ini. Buku ini layak menjadi bacaan wajib pejabat pusat
dan daerah, anggota dewan, rekan-rekan pegiat di LSM,
guru, dosen, mahasiswa, juga pengusaha, apalagi pemilik
pabrik yang potensial mencemari lingkungan. Pelanggan
PDAM pun hendaklah membaca buku ini. Terlebih lagi
orang PDAM, pengusaha amik dan amiku.
Semoga buku ini mampu membangun sinergi antara
pemerintah sebagai regulator, PDAM sebagai pengelola,
dan masyarakat sebagai pengguna sekaligus pengontrol.
Jangan sampai aset dan masa depan kita digantungkan
pada pihak asing.
iii
Demikian dan selamat membaca.
Bandung, Mei 2004
DPKLTS
Ketua Dewan Pakar
Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita
iv
Sekapur Sirih
Tak putus dirundung malang. Tiada hari tanpa
keluhan. Tidak kemarau, tidak musim hujan, pelanggan selalu mengeluh. Ada-ada saja sebabnya. Benarbenar tak habis pikir dibuatnya. Aneh tapi nyata.
Semuanya terkait dengan layanan PDAM yang
tak jua membaik. Sekali waktu lantaran airnya keruh
dan kali lain karena airnya tak mengalir. Sering juga
akibat debitnya kecil. Atau, ada pipa bocor di jalan
yang tak kunjung diperbaiki. Tarifnya sudah berkalikali naik, tetapi servisnya tetap buruk. Tak terhitung
lagi jumlah surat protes yang diterima redaksi koran,
majalah, dan radio perihal perusahaan ini.
Bayangkan saja, di sela-sela tumpukan utangnya
yang mencapai Rp 4,3 triliun (tahun 2003), kita terus
saja dihantui (malah disetani & diiblisi) oleh wabah
penyakit menular lewat air seperti tifus, disentri, dan
diare. Bahkan kolera pun boleh jadi meletus lagi dan
merajalela di mana-mana terutama di daerah rawan
air bersih. Tapi ironisnya, kasus tersebut justru kerap
mengepidemi di daerah yang ada sumber airnya dan/
atau ada PDAM. Kalau begitu apa masalahnya?
Begini. Sekarang ini tak seorangpun mengingkari
bahwa perusahaan daerah tadi menyimpan seabrek
masalah, mulai dari kualitas dan kuantitas air, mutu
SDM hingga manajemennya. Pun setumpuk problem
lainnya, seperti bentrok alias “perang” dengan warga
dan departemen atau lembaga lain. Atau, “perang”
ii
dengan PAM swasta, pabrik air minum kemasan dan
air isi ulang. Perang persaingan ini kian tajam saja.
Satu contoh problemnya ialah soal servis. Bisa
diduga, semua pelanggannya pernah kecewa walaupun hanya sebagian yang melayangkan surat protes
ke media massa selain dikirim langsung ke PDAM.
Aneka ragam alasannya. Misal, karena tak pernah
kebagian air sehingga meter air dan kran-krannya
cuma menjadi penghias rumah sementara tagihannya
jalan terus. Atau, airnya sering keruh; jangankan
untuk makan-minum, buat mandi saja banyak yang
enggan memakainya. Waswas takut sakit; cemas
keracunan. Ini menggayut di hati pelanggannya.
Bukan itu saja. Mutu administrasinya pun jadi
masalah krusial. Gawat dan kacau. Soal tagihan air
sekian tahun silam, misalnya. Pelanggan yang terus
telaten menyimpan rekening tagihan airnya tentu
takkan bermasalah. Lain halnya dengan yang tidak
dapat memperlihatkan bukti pembayarannya karena
hilang atau sebab-sebab lain. Tak pelak lagi mereka
diharuskan bayar ulang. Bayangkan, bayar lagi! Di
sini boleh jadi ada oknum yang ingin dapat untung
dalam kebuntungan orang lain. Tetapi tak menutup
kemungkinan karena ketakbecusan administratif!
Problem tersebut kerapkali menimpa pengontrak
rumah. Para “kontraktor”. Khususnya rumah yang
dikontrakkan dari tahun ke tahun dan berbeda-beda
pengontraknya. Sebab, tidak ada estafet rekening air
antar pengontrak. Tentu saja bisa terjadi sebaliknya.
Pengontrak sebelumnya memang benar menunggak.
Hanya saja PDAM belum memutus atau menyegel
iii
meter airnya sehingga pengontrak berikutnya yang
kena getahnya. Sudah pasti rumah yang dihuni oleh
si empunya juga bisa mengalami kasus serupa.
Yang juga kerap diprotes ialah soal tarif. Tidak
jarang terjadi, baru sebatas niat yang dipublikasikan
di koran-koran saja kontan diprotes oleh pelanggan.
Pelanggan dan LSM bak kebakaran jenggot. Panik.
Terjadi tarik-ulur. Ada yang setuju, ada pula yang
menentang. Yang emosi pun ada dan menuntut agar
PDAM dibubarkan. Adapun kelompok yang setuju
biasanya merasa butuh PDAM dan tetap berharap
agar ada reformasi di PDAM. Baru setelah itu, kalau
kinerjanya belum optimal juga, mereka setuju pada
kehadiran PAM swasta dan melikuidasi PDAM.
Ini saya kutipkan contoh protes itu.
“... naik tarif, saya tidak setuju. Tingkatkan dulu
servisnya,” gugat konsumen. “Bau kaporitnya jangan
terlalu keras, takut ada dampak buruknya!” katanya
lagi. Ada juga yang begini. “…belum pernah sekali
pun menunggak bayar rekening. Tiba-tiba ada surat
panggilan bahwa saya belum bayar selama dua bulan
setahun lewat. Uang tagihannya, bagi ukuran saya,
sangat mahal. Ketika ke PDAM mereka meminta
saya menunjukkan bukti tagihan itu. Karena teledor,
bukti itu tak bisa saya temukan. Tapi PDAM ngotot
agar saya melunasi tagihan itu dulu…” Dan..., masih
sebendel lagi hal serupa itu ada di koran-koran.
Belum lagi di radio dan televisi.
Demikianlah faktanya. Sejatinya PDAM memang
tidak bernasib mujur seperti perusahaan air minum
kemasan (amik) atau depot air minum kemasan
iv
ulang (amiku). Ia lebih rawan digugat konsumennya.
Selain masalah sumber air dan kinerja instalasinya,
juga karena jaringan pipanya banyak yang bocor dan
jebol lantaran tua atau salah rawat. Namun, kalau
diurai lagi dan kita jujur menanggapinya seharusnya
masyarakat dan industri pun ikut bertanggung jawab.
Sebab, buruknya kinerja PDAM bukan semata-mata
kesalahannya melainkan juga kesalahan masyarakat
dan industri yang telah memporak-porandakan dan
mencemari sumber-sumber airnya. Tak peduli pada
konservasi air sekaligus sebagai perusak lingkungan.
Di lain sisi, banyak juga yang menginginkan ada
privatisasi atau penswastaan di PDAM asalkan tarifnya tak terlalu tinggi. Masih terjangkau oleh warga
kebanyakan. Walaupun demikian, ada juga kalangan
yang setuju pada tarif tinggi namun disertai syarat:
airnya bermutu tinggi dan tak perlu diolah lagi. Tak
berbahaya dan siap diminum. Tinggal buka kran dan
langsung bisa di-glek. Hal seperti ini, dari kacamata
peluang dan tantangan bisnis, tentu baik-baik saja
buat kemajuan PDAM. Dan memang itu tujuannya.
Penikmat air yang saya hormati, pernak-pernik di
atas lalu ditambah dengan paparan tentang piramid
PDAM yang terdiri atas pilar P (pegawai), pilar D
(desain), pilar A (area servis), dan pilar M (manajemen) sebagai pola reparasinya dan soal perseteruan
amik dan depot amiku, dikupas di buku ini tanpa
sedikit pun maksud untuk menyudutkan salah satu
pihak. Bagi saya, sebagaimana PDAM, mereka pun
rekan dalam perairminuman. Apalagi ceruk pasarnya
khas. Tersegmentasi. Hanya saja perlu dibuat aturan
v
main agar sama-sama untung: produsen untung, konsumen untung, negara atau pemerintah pun untung!
Sebagai tambahan dan masih terkait dengan air
minum, di Bab 13 saya kupas ringkas tentang upaya
membasmi wabah pemula (penyakit menular lewat
air, waterborne diseases) seperti tifus, kolera, dan
disentri. Dalam kupasan itu saya tulis beberapa cara
disinfeksi untuk membasmi kuman/mikroba dalam
air. Maka, andaikata air olahan PDAM sudah baik
kualitasnya, cukup debitnya dan tersedia 24 jam
tentu makin mudah kita menumpas pemula itu.
Saya juga mengajak pembaca “terbang” ke abad
XIX dengan memakai mesin waktu atau dengan
loncatan kuantum, ke sebuah sumur tua di kawasan
Broad Street, London, Inggris yang menjadi saksi
bisu manakala wabah pemula berjangkit amat sangat
di situ. Tak kurang dari 10.000 orang tewas atau
20.000-an orang menemui ajalnya jika wabah akibat
polusi di Sungai Thames disertakan. Pada masa itu
angka tersebut fantastis benar! Itulah sebabnya kasus
tadi dijadikan pilar klasik sejarah perwabahan kolera
di dunia. Atau, sebut saja: menjadi pilar pemula.
Lalu di Bab 14 saya tambahi dengan persoalan
penyakit tak menular lewat air (petamula) yang erat
hubungannya dengan zat kimia, baik tidak sengaja
karena kasus pencemaran maupun yang berasal dari
reagen (zat untuk reaksi kimia) dalam proses pengolahan air. Penyakit jenis ini memang tidak mewabah
seperti diare, tapi bisa membunuh secara diam-diam
sekian tahun berselang setelah bertumpuk-tumpuk di
dalam organ tubuh kita. Timbul pascaakumulasi.
vi
Adapun di bab pamungkas, yaitu Bab 15, saya
hendak “membela” bakteri yang di bab sebelumnya
begitu banyak dituduh dan didakwa sebagai biang
kerok pemula. Saya percaya betul pada keganasan
jasad renik ini. Saya dan keluarga pernah berurusan
dengannya. Namun, lepas dari sisi buruknya itu, di
bab ini saya uraikan manfaat bakteri bagi kita, bumi
dan makhluk lainnya. Akan tampak betapa jasad
renik itu begitu besar faedahnya bagi kita dan telah
kita akrabi tanpa kita sadari.
Lantas, atas segala kekurangan dan kesalahan isi
buku ini (apapun ujudnya) sehingga mengakibatkan
ketaknyamanan hati pelbagai pihak, maka saya,
lewat Sekapur Sirih ini, meminta maaf. Maaf yang
setulus-tulusnya. Sebab, dalam buku ini saya hanya
hendak menyingkap sejumput persoalan air minum
lalu mengabarkannya kepada penikmatnya. Semoga
kita belum terlambat melawan potensi bahaya yang
ada dalam air minum sembari terus mengupayakan
pencegahannya. Itu semua demi kesehatan kita!
Lebih jauh lagi saya berharap agar air minum tak
akan pernah menjadi “emas” pada masa mendatang.
Jangan pernah terjadi. Kalau air saja bisa semahal
itu, saya khawatir udara pun khususnya oksigen akan
harus dibeli juga. Mudah-mudahan ini tidak terjadi.
Sekali lagi, dalam hal air, kita kaya air. Dan sainstek
pun sudah maju. Pasti ada solusinya. Jangan sampai
kita seperti ayam mati di lumbung padi. Pandir nian
kalau ini terjadi. Kaya air tapi krisis air. Keterlaluan.
Sangat-sangat tidak lucu; kecuali kita badut semua.
vii
Juga, harapan saya, janganlah kita tunduk atas
interes anasir lokal-interlokal, nasional-internasional
yang haus rakus akan air kita. Jangan jual negeri ini;
jangan jual tanah ini; jangan jual pula air ini kepada
imperialis berbaju investasi. Investor, kita memang
butuh. Tapi jangan yang ingin laba semata di tengah
mayoritas rakyat sekarat yang kerongkongannya pun
tercekat. Minat kita ialah investasi (investment) yang
bukan infestasi (infestation: serbuan, gangguan) atas
kedaulatan kita di negeri ini. Masa kita mau dijajah
dan menjadi jongos kaum imperialis-materialis itu?!
Mari kita acu lagi pasal sosioekologis, yaitu pasal
33 UUD 1945. Kita tafsirkan atas nurani bersih demi
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jelasjelas di sana tertulis bahwa kekayaan alam yang ada
di bumi pertiwi ini adalah milik rakyat. Dan negara
wajib sewajib-wajibnya memberikan kekayaan alam
itu kepada pemiliknya: rakyat. Negara, lewat tangan
pemerintah, wajib mempermudah kehidupan rakyat.
Bukannya malah membantai dan menggusur rakyat
tanpa mencarikan solusinya. Ini bukan jargon. Tak
hendak saya begitu. Sekelebat pun tiada niat jual
kecap. Sebab, setuju-menolak, peduli-semau gue, itu
terserah Anda, pejabat di legislatif dan eksekutif.
Pembaca, sebelum saya pungkasi tulisan ini, saya
mengajak Anda untuk menghela napas dalam-dalam,
tahan sejenak, lalu hembuskan pelan-pelan lewat
sela-sela gigi (dua rahang dikatupkan) sambil merenungkan satu nukilan berikut, satu refleksi. Lakukan
sambil santai saat duduk, berdiri, berbaring. Siangmalam, pagi-petang.
viii
“Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap
mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern,”
tandas E.F. Schumacher. Namun, saya tak hendak
membahasnya. Selanjutnya, terserah Anda. Silakan
tafsirkan siratan maknanya sebanyak-banyaknya.
Kemudian, saya berterima kasih kepada pakar
lingkungan Universitas Padjadjaran, Bapak Prof. Dr.
Ir. Otto Soemarwoto, atas masukan dan koreksi yang
diberikan. Hal senada saya tujukan kepada sesepuh
masyarakat Jawa Barat yang juga menjadi Ketua
Dewan Penasihat DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda), Bapak Letjen
TNI (purn) Solihin GP, seorang mantan Gubernur
Jawa Barat dan Sesdalobang yang peduli pada mutu
lingkungan tatar Sunda. Juga kepada Ketua Dewan
Pakar DPKLTS, Bapak Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita,
yang memberikan seuntai pengantar untuk buku ini.
Terakhir, tentu saja terima kasih kepada rekan-rekan
aktivis atau pegiat lingkungan di DPKLTS.
Akhir kata, semoga buku ini dapat meluaskan
kawasan dan wawasan khalayak pembaca, terutama
yang tidak berlatar studi Teknik Lingkungan, tentang
potensi perang air, perairminuman di Indonesia, baik
itu PDAM, amik, amiku maupun PAM swasta bila
hadir kelak di kemudian hari.
Bandung, Mei 2004
Gede H. Cahyana
ix
Bingkisan untuk:
Bapak & Ibu di Bali,
Nuning dan zuriatku:
Yasmin, Faris, dan Rehani.
x
1
SURAT PROTES BUAT PDAM

Di Bandung.
Parijs van Java, pada suatu ketika.
Waktu itu pagi-pagi benar, nyaris semua orang di
perumahan yang lokasinya di selatan kota itu heboh.
Ada yang menggerutu, menggumam, kesal, sebal.
Juga ada cetusan sumpah serapah. Berkecamuk. Dari
siswa sekolah, kaum ibu hingga para bapak yang
hendak berangkat kerja. Tak sedikit yang bertanyatanya, gerangan apa yang terjadi. Sebelumnya tak
pernah separah ini. Baru kali inilah fatal kasusnya.
Terjadi panik masal.
Apa pasal?
Ini peristiwanya. Semalaman, dari petang hingga
pagi, air PDAM di kompleks itu tak keluar setetes
pun. Bayangkan, disedot dengan pompa cuma angin
yang mendesis. Sessss.... kontan saja penghuninya
kalang kabut terutama yang akan pergi karena tidak
bisa mandi dan tidak pula mencuci. Untuk minum,
air minum kemasan (singkat, amik) dan air minum
isi ulang (air minum kemasan ulang, amiku) menjadi
pilihan. Mahal, tentu saja. Dengan berat hati dibeli
juga. Namun, dalam kemuraman itu ternyata masih
16
ada yang lega lantaran sehari sebelumnya sempat
mengisi bak-bak airnya. Tapi, selang sehari, habislah
air tampungannya itu karena pasokan PDAM tak jua
kunjung tiba.
Pukul enam dua puluh menit.
Pagi-pagi sekali.
Pagi itu juga kasus tadi sudah mengudara lewat
radio. Paling tidak, seingat saya, ada tiga atau empat
stasiun radio yang membahasnya. Pokoknya ramai.
Riuh dan hiruk-pikuk. Sampai-sampai ada penyiar
yang kesal. Sebab, berkali-kali Humas PDAM ditelefon tapi tiada tanggapan. Katanya, kalau nadanya
tidak sibuk terus, pasti tak ada yang ngangkat.
Maka bertubi-tubilah keluhan, umpatan, cacian,
makian, hujatan, dan kritikan menyembur dari penelefon lalu lepas ke angkasa lewat pemancar radio,
menyusup ke rumah, warung, toko, pasar, dan kantor
PDAM (jika tune in di gelombang radio itu, tentu
saja). Hingga petang krisis air itu jadi topik bincangbincang hangat kalau tak bisa disebut panas. Benarbenar seru!
Hari kedua air belum juga muncul.
Cucian setumpuk. Lantai berdaki. Badan bau.
Untung ada titik terang. Kata pejabat PDAM,
lewat radio juga, ada perbaikan di ruas pipa dan ini
berdampak pada aliran air ke sejumlah perumahan.
Bagaimanapun, paparnya, ini bagian dari perawatan
jaringan distribusi demi peningkatan mutu layanan
ke depan. Perbaikan seperti ini, lanjutnya, akan terus
ada baik di sistem distribusi, transmisi maupun di
instalasi pengolahnya. Waktu itu juga, PDAM yang
layanannya baru 53% dari total warga Bandung ini,
17
minta maaf bila setelah perbaikan nanti airnya agak
keruh. Tapi tidak lama; berangsur-angsur akan jernih
kembali, tuturnya lagi.
Empat hari berlalu.
Pagi itu, matahari sudah sepenggalahan naik.
Sambil buka-buka koran, mata saya terpaku di
lembar tengah. Saya terhenyak. Ada surat pembaca
di koran lokal Jawa Barat itu yang amat pedas katakatanya. Memerahkan telinga semua petugas sektor
keairan ini. Heboh pagi itu isinya. Dan ada belasan
pucuk surat senada, tulis koran bertiras terbesar di
Jawa Barat itu, masuk ke redaksi.
Ini fakta. Surat itu adalah bukti, alangkah luas
kegalauan pelanggan akan air bersih. Satu-satu tanpa
disuruh, tanpa dikomando, mereka mengirim surat
protes lewat koran. Dimuat atau tidak, ditanggapi
atau tidak, itu bukan soal; itu soal ke sekian. Yang
penting bagi mereka, unek-uneknya bisa lepas lewat
tulisan, jadi pelipur lara pereda stres/stress. Syukursyukur dijawab oleh PDAM via surat pembaca juga.
Lalu apa kenyataannya? Jauh lebih banyak yang tak
dijawab. Cuma dimuat, dibaca dan dilupakan. Bak
angin semilir yang lalu begitu saja.
Pada kali lain saya sempat membaca surat-surat
protes pelanggan PDAM di Jakarta, Tangerang, dan
Palembang yang dimuat di koran terbitan Jakarta.
Surat-surat serupa itu, saya yakin, banyak bertebaran
di kota-kota lain dan di koran-koran lain yang tidak
saya baca. Isinya pasti rupa-rupa. Namun intinya tak
akan jauh dari kekecewaan atas buruknya layanan
PDAM. Kritik yang tak tanggung-tanggung itu tentu
tamparan telak bagi segenap pelaku perairbersihan
18
di Indonesia, tanpa kecuali. Mirip cermin retak atau
pazel (puzzle), mainan anak balita. Sudah tak utuh
lagi potret wajahnya. Centang perenang.
Pada satu-dua alinea berikut ini saya kutipkan
sepenggal-dua penggal surat-surat pelanggan yang
berserakan itu. Isinya saya ringkas sedemikian rupa
sehingga fokus ke soal PDAM semata. Adapun surat
aslinya tentu saja luas lagi panjang. Ini saripatinya.
Mari kita simak lalu diresaprenungkan. Adakah hal
serupa itu menimpa kita? Lantas apa dan bagaimana
jalan keluarnya? Saya optimis, pasti ada solusinya.
Tinggal dicari. Bisa lewat diskusi, textbook, dana,
dan kemauan keras!
Isinya seperti ini.
“…setahun ini, air PDAM yang mengalir ke
rumah kami cuma sekali seminggu. Itu pun hanya
sepuluh menit dan tidak besar sehingga dalam satu
minggu kami hanya kebagian sepanci air. Sepanci!
Meskipun jarang mengucur, rekening tagihannya
tetap harus dibayar. Ini memberatkan dan tidak adil.
Kalau lancar pasti kami mau membayarnya. Berapa
yang kami pakai, segitu juga yang kami bayar. Ada
hak, ada kewajiban …”
Yang lain, seorang pensiunan, menulis begini.
“…kami tak setuju kenaikan tarif. Tingkatkan
dulu layanannya, baru tarifnya. Apalagi airnya kerap
keruh dan tidak pernah mengalir sehari penuh atau
semalaman. Paling sering dapat air pada malam hari
terutama dini hari, sekitar jam tiga. Jadi kami harus
begadang. Capek, bukan? Kalau tidak, terpaksa beli
ke tukang air yang sejerikennya, isi 20 liter, seharga
19
seribu rupiah. Kalau sepuluh jeriken atau 200 liter
berarti sepuluh ribu rupiah…”
Pernah seorang ibu menulis surat yang nadanya
begini. “…belum pernah sekali pun saya menunggak
bayar air. Tiba-tiba ada surat panggilan bahwa saya
belum bayar selama dua bulan, setahun lewat. Uang
tagihannya, bagi ukuran saya, sangat mahal. Ketika
datang ke PDAM, mereka terus meminta saya untuk
menunjukkan bukti tagihan itu. Karena teledor, bukti
itu tidak bisa saya temukan. Tapi PDAM ngotot agar
saya melunasi tagihan itu dulu…”
Demikianlah surat-surat itu. Protes, itu intinya.
Kata yang populer pada saat reformasi 1998 ini sarat
akan rasa tidak puas. Rasa tidak senang atas sesuatu.
Haus perubahan, lapar perbaikan. Temannya tak lain
daripada demonstrasi. Hulunya selalu saja masalah
rakyat kecil, para wong cilik. Atau, cuma mencatutcatut dan mengeksploitasi nama mereka di semua
lini tanpa kecuali seperti politik, ekonomi, agama,
budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan, kebijakan yang tak bijak, tidak populis, dan tidak merakyat.
Kita sama-sama tahu. Tahu dari mata kepala ini.
Apalagi mata hati, nurani. Bahwa itu terjadi sampai
detik ini. Omong kosong kalau ada yang berkata
bahwa keadaan sekarang, yaitu pancawarsa kedua
pasacareformasi, jauh lebih baik. Apanya yang lebih
baik? Apa pembandingnya?
Dari paparan di atas bisa kita lihat betapa besar
peran media massa dalam soal per-PDAM-an. Kita
percaya media massa mampu mencetak opini. Opini
apa saja. Yang positif, bisa; negatif juga bisa; yang
benar dan yang rumor alias gosip pun bisa. Perannya
20
pun tak sekadar penyebar ketakpuasan warga atas
layanan peladen rakyat, aparat pamong praja dan
pelaku manajemen di perusahaan daerah, tapi lebih
dari itu juga efektif dalam mengubah kebijakan yang
tidak populer, tak populis dan berseberangan dengan
kemauan kebanyakan warga.
Contohnya, PDAM Kota Bandung. Selama lima
tahun (hingga Oktober 2001) PDAM ini selalu gagal
menaikkan tarifnya karena diprotes banyak kalangan
di banyak media massa. Itu terjadi setelah ribut-ribut
di koran yang akhirnya berpengaruh pada keputusan
DPRD, yakni menolak rencana tarif baru. Semuanya
bermula dari protes dan informasi warga yang terus
diudarakan di radio dan ditulis di koran-koran.
Selain melalui koran, tabloid, dan majalah ada
juga protes yang dilayangkan lewat radio dan TV.
Sekadar contoh adalah lewat radio swasta Maraghita
yang lebih dikenal dengan sebutan Mara. Di acara
Info Mara-nya, penghuni 106,7 FM ini siap menerima keluh-kesah orang Bandung. Acara yang mengudara dari Senin sampai Sabtu, tiga kali sehari ini:
pagi (06.00-09.00), siang (12.00-13.00), dan malam
(18.00-20.00) berupaya menampung semua problem
pendengarnya yang disampaikan lewat telefon, surat,
faksimili atau SMS (servis madah singkat) seperti
fenomena sosial, layanan PLN, Telkom, angkot,
kereta api, tol, sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan
tingkah-polah aparat negara. Dari amatan saya kirakira 40% berkaitan dengan PDAM.
Apa yang dilakoni Mara dan media massa lainnya penting bagi masyarakat. Penting buat kita. Kita
butuh informasi yang cepat, akurat, dan bermanfaat.
21
Misalnya begini: ketika pipa transmisi air baku dari
Sungai Cisangkuy pecah pada Agustus 2001, Mara
lalu menyiarkannya kepada pelanggan PDAM Kota
Bandung. Waktu itu suplai air tersendat-sendat terutama di Bandung Tengah-Selatan dan sebagian di
Timur-Barat. Pelanggan kecewa. Mereka heran dan
tak habis pikir mengapa pipa sepenting itu, yang
fungsinya bak urat nadi kita, bisa bocor begitu saja.
Entah apa dan bagaimana asal-muasalnya, entah
siapa yang iseng, tiba-tiba ada seloroh. Ada sabotase. Teror. Pipa itu dibom, begitu isu atau tepatnya
gosip yang muncul. Namanya juga gosip, tentu tak
dijamin kebenarannya. (Maklumlah, pada Agustus
2001 itu sudah belasan kali terjadi ledakan bom di
banyak daerah di Indonesia menyambut duet anyar
buah Sidang Istimewa MPR: Presiden Megawati
dan Wapres Hamzah Haz, pasca-pelengseran Gus
Dur atau Abdurahman Wahid).
Dengan upayanya, pada saat itu Mara berhasil
mengontak manajemen PDAM yang berada di lokasi
kebocoran di Pameungpeuk, Kabupaten Bandung
dan menyiarkan perbaikan pipa transmisi berusia 40
tahun itu. Adapun pihak PDAM selain minta maaf di
media massa juga menyarankan pelanggannya untuk
menampung air yang dialirkan dari reservoir PDAM
buat keperluan dua-tiga hari ke depan. Mau tak mau,
pelanggan pun akhirnya maklum. Sebab, kalaupun
tak rela, mereka tetap tak bisa mengubah keadaan itu
menjadi lebih baik.
Bisa kita lihat betapa efektif peran media massa
dalam mengubah opini masyarakat termasuk untuk
meraih haknya. Dalam banyak kasus, media massa
22
bahkan jadi pencetus gerakan rakyat lewat berita dan
opininya kemudian menerjang kemapanan dan membuka revolusi. Gerakan mahasiswa 1998 contohnya.
(Ini sisi positifnya. Sisi negatifnya tak kalah banyak
seperti memopulerkan hedonisme/budak nafsu, gaulseks bebas, propaganda minor, dusta-publik, dan
berkepribadian ganda/split personality, berperilaku
menyimpang, hidup ber-MKKN, dll.)
Karena itu, khususnya di Bandung, peran media
massa (cetak & elektronik) begitu besar. Makanya
banyak pelanggan yang lebih suka melapor ke Mara
daripada ke PDAM. Alasannya, katanya, lebih cepat
ditanggapi. Kalau lewat surat, selain waktunya lama
juga tidak langsung diterima oleh direksinya. Kalau
lewat hot-line-nya, nadanya sering sibuk atau tidak
diangkat-angkat. Namun, jika lewat radio mungkin
salah satu direkturnya, atau kepala bagiannya atau
petugas lainnya sedang memonitor sehingga segera
bisa ditanggapi dan ditindaklanjuti. Begitulah alasan
pelanggan. (Tapi bisa juga terjadi pelanggan malah
diomeli oleh sang petugas lapangan karena melapor
ke radio, bukannya ke PDAM. Barangkali petugas
ini didamprat oleh atasannya karena tidak cepatcepat memperbaiki kerusakan).
Dari gambaran di atas bisa kita katakan bahwa
gundukan protes tadi tak lain daripada lukisan kelam
PDAM sekaligus rekaman kondisi hubungan antara
pelanggan dan PDAM yang masih buram, kusam,
belum harmonis. Posisi jual belinya belum setara.
Dacinnya timpang. Ini mesti dibenahi agar sejajar.
Sepadan! Jangan dibiarkan berlarut-larut. Bisa bum
di kemudian hari. Meledak. Apalagi protes demi
23
protes itu bukanlah barang baru dewasa ini. Ia sudah
lama bergulir di metropolis Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Bisa menular kapan saja ke lain
PDAM. Lihat saja nanti. Tunggu waktunya. Disulut
sudah sumbunya; sudah hitung mundur, countdown:
4, 3, 2, 1, bum!
Satu contoh yang kerapkali diprotes adalah tarif,
yaitu kebijakan tarif yang tidak bijak. Semua orang
tahu, di sektor apapun: listrik, telefon, angkot, kereta
api, dan bis, kenaikan tarif pasti sensitif. Lebih-lebih
lagi di sektor yang terpeka, yaitu air bersih komunal
yang nyaris tak seorang pun yang tidak membutuhkannya. Protes pun menggelora. Di mana-mana!
Saat ini apalagi. Pascarezim Orde Baru ambruk,
terutama pancawarsa pertama, setiap ada tarif baru
selalu saja meletupkan protes. Gegap-gempita dan
anarkhistis. Begitu pun di PDAM. Tak pelak lagi, ini
nyaris terjadi di lebih dari 300-an PDAM di tanah air
kita, dari yang kaya seperti PAM Jaya di Jakarta
sampai PDAM miskin yang untuk sekadar hidup
saja masih terseok-seok di pelosok. PDAM miskin
inilah yang justru banyak jumlahnya.
Berhasilkah protes-protes itu? Dari amatan saya,
ternyata belum. Belum signifikan. Tak terasa bagi
mayoritas pelanggan. Andaipun ada, saya yakin tak
banyak hasilnya. Cuma secuil. Maknanya, kesulitan
pelanggan belum juga sirna. Kemalangannya belum
beranjak. Bergeming saja. Mirip buah simalakama,
kian terjepit. Begini alasannya: jika berlangganan,
tutur pelanggan, layanannya tidak memuaskan; tapi
jika tidak langganan bisa-bisa malah tambah susah
24
air karena tidak ada lagi sumber air yang lain. Cuma
PDAM sumber airnya. Cuma itu.
Bayangkan.
Siapa yang tak butuh air?
Yang benar-benar bersih?
Yang 100% laik diminum?
Jangankan kita, hewan dan tumbuhan saja perlu
air. Apalagi 65% berat badan kita dan kira-kira 75%
berat badan anak-anak adalah air. Air! Sekali lagi,
air. Mau tak mau, suka tak suka, rela tak rela, harus
terus jadi pelanggan setia walaupun kecewa berat.
Begitulah keluhan pelanggan terutama yang tinggal
di zone rawan air bersih sepanjang tahun. Janganjangan kita termasuk di dalamnya.
Itu kenyataannya. Aksi protes sekeras apapun
terbukti belum mampu mengubah kinerja PDAM
menjadi lebih baik. Demo masif pun tak mempan.
Seolah-olah kebal diprotes, tahan digugat. Makanya
tumbuh isu minor bahwa sulit dan berbelit-belit bila
berurusan dengan PDAM. Capek. Banyak dukanya
ketimbang sukanya, sergah pelanggan.
Ini buktinya: dari dulu sampai sekarang kondisi
pelanggan begitu-begitu saja, tak pernah membaik.
Sayangnya lagi, pelanggan pun masih belum mampu
berbuat banyak kendati ada landasan yuridisnya:
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No.
8/1999 yang telah berlaku efektif per 20 April 2000.
Memang, sejumlah kasus gugat perwalian atau
class action pernah mencuat di satu-dua kota besar
tapi akhirnya pupus ditelan masa. Tiada beritanya
lagi; nyaris luput dari pemberitaan nasional. Ini tentu
lantaran posisi tawar pelanggan berada di bawah
25
PDAM. Maju kena, mundur kena. Kiri-kanan, atasbawah tak bisa apa-apa. Diam, tak beringsut jua.
Kalau demikian keadaannya akankah pelanggan
diam saja, pasrah pada nasib? Tak berdaya apa-apa?
Pada saat yang sama, apa yang mesti diperbuat oleh
PDAM yang katanya menjadi pelayan publik agar
misi servisnya tercapai sekaligus menampik tuduhan
sebagai perusahaan berkuping tebal, masuk telinga
kiri keluar telinga kanan? Benarkah pemegang otoritas air publik ini yang salah total tanpa senoktah
celah kebenaran? Bagaimana caranya agar noda,
cacat, stigmanya itu lenyap dari tubuh PDAM? Lalu,
tidakkah pelanggan kebablasan dalam memojokkan
citra PDAM dan tak senang jika tarifnya naik?
Yang pasti, kedua pihak hendaklah mau bekerja
sama, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Adil! Adil antara hak dan wajib. Ini posisi idealnya:
pelanggan mudah mendapatkan air yang menyehatkan, setidak-tidaknya tidak menimbulkan penyakit;
di lain sisi PDAM jangan sampai rugi. Jangankan
rugi, impas saja tidak boleh. Harus untung. Namun
ada syaratnya. Semua labanya itu wajib digunakan
untuk mengembangkan usahanya agar area servisnya
kian luas seraya terus serius menata profesionalisme.
Kecuali itu, tentu saja buat kesejahteraan pegawai
dan sanak keluarganya. Dan ujung-ujungnya tak lain
daripada kepuasan dambaan pelanggannya.
Karena itu, ketidakberdayaan PDAM selama ini
sehingga terus-menerus menuai protes hendaknya
dicari sebab-musababnya apakah karena perlakuan
pemerintah provinsi, kota, atau kabupaten yang tidak
tepat ataukah lantaran kemampuan dan kecakapan
26
sumber daya insaninya yang rendah. Boleh jadi juga
lantaran kuantitas dan kualitas sumber-sumber air
bakunya yang betul-betul kritis (debitnya kecil tetapi
besar polusinya) sehingga membebani biaya operasirawat instalasinya. Ongkosnya terlalu mahal karena
rendah efisiensinya. Mungkin inilah salah satu dari
sekian banyak penggerogot kekayaan PDAM.
Yang juga harus dicek ialah tarif airnya. Janganjangan terlampau murah dan tak sebanding dengan
ongkos produksinya. Makanya perlu ada bincangbincang antara PDAM dan pelanggannya atau antara
kepala daerah, DPRD, pakar terkait, dan lembaga
perwakilan pelanggan yang betul-betul jadi tameng
pelanggan. Jadi pelindungnya. Tetapi sayang sejuta
sayang, lembaga atau badan semacam ini belum ada.
Kalaupun ada, pelanggan merasa tak terwakili dan
aspirasinya tak diindahkan. Sebab, tak ada komunikasi intensif. Malah cenderung mengusung misi dan
kepentingannya sendiri. Mencari duit buat dirinya
sendiri dengan pura-pura dan seolah-olah membela
pelanggan. Padahal itu tak lebih daripada tindakan
eksploitasi. Kata orangtua, pengisap darah: lintah!
Masalah lainnya adalah keadilan tarif antarjenis
pelanggan. Intinya, subsidi silang atas asas keadilan.
Pelanggan domestik atau rumah tangga harus lebih
murah dibandingkan dengan tarif industri (termasuk
home industry), hotel, toko, kantor, dan segmen
komersial lainnya. Pelanggan domestik pun masih
harus dipilah-pilah lagi sesuai dengan kemampuan
ekonominya, termasuk pemberlakuan tarif progresif.
Polanya ialah si kaya membantu si miskin. Tinggal
dirumuskan alat atau instrumennya yang pas guna
27
pemilahannya itu. Tata-tarif itu pun harus senantiasa
mengacu pada kondisi ekonomi mayoritas pelanggan
dan fakta debit dan mutu sumber air baku PDAM.
Yang terakhir tapi tak kalah penting atau malah
jauh lebih penting adalah soal kepastian bahwa tidak
ada manipulasi dana dalam wujud apapun. Misalnya,
pencurian air dengan segenap modusnya termasuk
proyek-proyek fiktif-kolutif yang membuat PDAM
sengsara seperti saat ini. Ini memang sulit tapi tidak
berarti tak bisa diminimalkan. Malah kalau bisa,
dibasmi habis saja. Musnahkan!
Kepastian yang lain, coba akhiri kreasi dulangmendulang uang PDAM buat kepentingan pribadi
pejabat pemegang kemudi, baik itu kepala daerah
dengan jajarannya, anggota dewan, maupun pejabat
teras di perusahaan air itu dan juga aktivis LSM.
Harapan kita, jika tak bisa 100% bersih mudahmudahan bisa berkurang lantas terkikis pelan-pelan
dalam rotasi waktu.
Semoga kita bisa berbangga hati atas kejujuran
aparat dan kecanggihan PDAM pada saatnya nanti.*
Pengada air bersih layak dianugerahi, tidak cuma
Nobel, tapi juga bintang.
28
Yang pasti,
pelanggan dan PDAM
harus bekerja sama. Berdiri sama
tinggi dan duduk sama rendah.
Pelanggan harus untung
dan PDAM pun tak boleh rugi;
malah harus berkembang
dan makin profesional,
makin cakap.
29
6
PEGAWAI YANG CAKAP

Pintar. Profesional.
Daya saingnya tinggi. Posisi tawarnya bagus.
Itulah sifat yang dapat melekat pada manusia.
Maka, langkah pertama untuk menata ulang PDAM
adalah mereformasi pilar atau sudut P piramid, yaitu
pegawai. Biasa disebut SDM: sumber daya manusia
atau SDI: sumber daya insani.
Inilah otak PDAM. Ini yang membentuk corak
wataknya. Merekalah ujung tombak perusahaan jasa
pengolah air milik pemerintah daerah (kabupaten
atau kota) ini sehingga maju-mundurnya bergantung
pada potensi insan-insan tadi. Semestinyalah mereka
bahu-membahu, bersama-sama menegakkan pilar
PDAM. Sama persis dengan filosofi lidi yang jadi
adikuasa saat bergabung menjadi sekepal sapu.
Menata sudut P tak lain dari membengkelkan
SDI lalu mereparasinya secara total dan sungguhsungguh. Turun mesin, cuci otak lantas memberinya
energi, daya, ilmu, dan motivasi supaya bersemangat
dan bekerja optimal.
88
Hakikatnya, inilah reformasi kekaryaan, yaitu
memperbarui mutu SDI agar mumpuni. Profesional.
Tidak hanya cakap otak atau intelegensia tapi juga
cakap emosi. Lebih baik lagi kalau mencapai taraf
cakap tertinggi, yaitu cakap spiritual. Menjadi orang
yang kaya komitmen, senantiasa memberdayakan
dirinya sekaligus orang lain. Mengerahkan kekuatan
kolektif guna meraih cita-cita diri dan perusahaan,
yaitu kesuksesan. Intelegensia terakhir inilah yang
diharapkan mampu mengontrol etika, moral, etos
kerja, dan spirit pegawai. Ujung-ujungnya tak lain
dari peningkatan layanan dan laba perusahaan.
Ada kisah yang ilustrasinya seperti ini. Seorang
calon pelanggan marah-marah bukan kepalang. Hatinya suntuk. Unek-uneknya lantas dia lepas ke radio
lewat acara bincang-bincang (talk show). Dia ditipu.
Tertipu sambungan baru yang fiktif belaka. Melapor
ke PDAM sudah dilakukannya. Berkali-kali, malah.
Adu argumentasi, silat lidah dengan pegawai PDAM
pun dilakoninya. Tapi itulah, mentah-mentah ia diperdayai. Habis-habisan lagi! Habis tenaga, habis
waktu, habis uang, dan habislah harga dirinya sebab
tidak dimanusiakan.
Celakanya lagi, sudah hilang ratusan ribu uang
panjarnyadiserahkan ke orang berseragam PDAM
yang mendatangi rumahnyalenyap pulalah idamannya memperoleh sambungan air minum. Pupuslah
harapannya menjadi pelanggan. Raiblah mimpinya
memperoleh air kran. Hanya mengurut dada yang
bisa ia lakukan. Cuma itulah pelampiasannya. Ini
menjadi bukti, meskipun baik niatnya tapi karena
89
kurang informasi dan tidak waspada malah buruk
hasilnya. Semoga kasus ini ada hikmahnya bagi kita.
Saya yakin kasus seperti itu tidak cuma sekali
duakali terjadi. Pasti kerapkali terjadi. Dan tinggi
kekerapannya. Bagaikan puncak gunung es, cuma
puncaknya yang menyembul di muka laut. Yang tak
kelihatan lebih banyak lagi. Di sini saya tidak bicara
soal persentase. Sekecil apapun persentasenya tetap
tak dapat ditolerir. Apalagi fakta di lapangan berkata
lain. Ya itu tadi, banyak kasus serupa namun tidak
tersingkap ke permukaan karena, mungkin saja, sang
korban malu atau enggan melapor ke polisi, koran,
majalah atau radio. Atau, bisa juga lantaran sebabsebab lain yang bersifat pribadi dan rahasia.
Namun yang betul-betul aneh, kasus seperti ini
senantiasa terjadi di mana-mana padahal direksi dan
humas PDAM telah mengumumkan lewat media
massa bahwa tidak ada sambungan baru pada tahun
itu. Selain di kantor pusat PDAM, di banyak tempat
pembayaran rekening pun pengumuman itu sudah
ditempelkan dengan jelas, terang, mudah dilihat dan
gampang dibaca. Meskipun sudah dipampangkan di
lokasi strategis tetapi yang tertipu tetap saja ada.
Malah tak berbilang jumlahnya. Seabrek.
Kalau begitu, siapa yang salah? Setahu saya dan
ini biasa terjadi, yang salah atau disalahkan adalah si
kambing hitam. Pada kasus itu dan juga kasus-kasus
lainnya, si kambing hitam biasanya laris. Dan yang
dikambinghitamkan lagi-lagi orang bernama oknum.
Oknum. Sepatah kata ini acapkali dimunculkan buat
mematahkan opini yang beredar di masyarakat. Kata
90
ini biasanya muncul jika ada hal yang menyangkut
tindak kriminal seperti penipuan sambungan baru,
pemutusan aliran air (penyegelan meter air) dan
penyambungannya kembali lewat “belakang” atau
kasus-kasus pembayaran tunggakan di jalur tol alias
tidak resmi. Orang yang terkait itu pun saling lempar
tanggung jawab, mengklaim dirinya tidak bersalah
sambil menunjuk batang hidung orang lain yang ia
anggap bersalah atau dipersalahkan. Barangkali pas
kalau kita sebut dengan oknum terorganisir.
Adakah dampak buruknya bagi SDM? Saya rasa
Anda menjawab, ada! Jawaban saya pun demikian.
Dengan selalu mengorbankan oknum dalam setiap
kasus berarti, bisa disinyalir, PDAM sebagai institusi
seakan-akan tak rela disalahkan. Padahal institusi, di
mana saja, tak bisa lepas dari orang-orangnya. Orang
bisa mencetak institusi; sebaliknya institusi pun bisa
membentuk bahkan mengubah total karakter, watak
atau perilaku orang yang bekerja di dalamnya.
Insan arif yang bekerja di institusi bobrok bisa
drastis berubah menjadi bobrok karena ikut-ikutan
rekan sekerjanya, diimbas lalu dibelit oleh jaringan
kriminal korporasi masif yang sulit diurai. Coba saja
bayangkan, andaikan dari jajaran direksi sampai
klinsi (cleaning service) terjerat tindak amoral maka
semua pilarnya akan lemah. Remuk lalu ambruk.
Dan daya rusak terbesarnya tentulah ada di otak para
pejabatnya. Ada pada perilaku pejabatnya.
Kini, berbusuk moral seperti itu sudah bukan
rahasia lagi. Sudah rahasia umum dan tak terhitung
jumlahnya. Macam-macam modusnya. Ini sekadar
91
contoh. Ada oknum: satu atau dua orang, mungkin
juga lebih, berseragam PDAM menyambangi rumah
pelanggan sambil membawa gulungan kertas berisi
angka atau data (entah angka atau data apa) yang
ditujukan pada ibu-ibu rumah tangga. Kebanyakan
mengaku dari LSM, konsultan PDAM, atau sebagai
petugas survei lapangan.
Setelah melihat-lihat meter air, bertanya ini-itu
dan berlagak sok tahu, ujung-ujungnya selalu biaya.
Muaranya di ongkos. Uang. Pungutan liar. Tipuan
klasik berdalih memudahkan urusan ini tak lain dari
eksploitasi keawaman pelanggan. Apalagi ibu-ibu
rumah tangga (terlebih lagi pembantu rumah tangga)
enggan bertanya tentang maksud dan tujuan oknum
tadi. Dan fakta berkata, mayoritas pelanggan masih
awam akan PDAM sehingga perlu terus dicerahkan
baik lewat pamflet, seminar, penyuluhan, maupun
lewat buku. Ini adalah tugas kita, para insan sanitasi,
dan terutama sekali tugas pemerintah.
Begitu pun soal pencurian air oleh oknum insan
PDAM atau orang yang mengaku dari PDAM. Ada
yang terang-terangan dengan cara memotong pipa
servis distribusi lalu memasanginya dengan pipa lain
dan menyalurkan airnya ke rumah, toko, hotel, atau
perusahaan yang membayarnya. Tebaran sambungan
ilegal ini disinyalir ada di setiap PDAM. Jumlahnya
saja yang berbeda. Ada yang tinggi persentasenya,
ada juga yang rendah. Jadi, nyaris tiada PDAM yang
bebas dari pencurian air. Ini berarti di setiap kota
selalu saja ada pencuri. Ada penjahat.
92
Yang merepotkan, kebanyakan sambungan liar
itu sulit dideteksi karena ada di dalam tanah. Lebihlebih lagi kalau sistem perpipaannya tidak teratur,
tumpang-tindih, dan semrawut. Jarang atau bahkan
mungkin tidak ada gambar utuh yang bisa dijadikan
acuan jalur pipa yang tepat, khususnya di kota-kota
besar. Hal inilah yang bisa merepotkan semua orang.
Ketika ada perbaikan, yang pusing tak hanya buruh
gali dan mandornya tapi juga kontraktor dan PDAM.
Termasuk warga pengguna jalan. Masih ada dampak
lainnya, yaitu sulit mengontrol secara akurat volume
airnya yang terjual. (Apalagi kalau tanpa koordinasi
antara satu galian dengan galian lainnya. Minggu
ini digali oleh PDAM, minggu berikutnya digali lagi
oleh PLN, lalu digali lagi oleh Telkom. Begitulah
siklusnya. Dan lebih parah lagi kalau kontraktornya
bekerja asal-asalan. Bisa berantakan itu jalan).
Kita kembali ke soal pencurian air. Ini bisa juga
dilakukan di atas kertas, secara administratif. Caranya dengan memanipulasi angka tagihan rekening
pelanggan sehingga sekian persen uang pelanggan
masuk ke saku oknum. Biasanya ada kerjasama dan
melibatkan orang dalam, antara oknum pegawai dan
pelanggan atau orang yang diamanati membayarkan
tagihan sekelompok rumah dalam lingkup RT/RW.
Biasanya terjadi di perumahan yang jauh dari kantor
pembayaran rekening sehingga ada yang mengoordinasikannya. Pada kasus ini yang rugi bisa PDAM,
bisa juga pelanggan, dan bisa juga keduanya.
Dari dua modus pencurian tersebut sungguh luar
biasa hasilnya: air produksi yang hilang mencapai
93
40-50%. Setengah dari total air olahannya. Nyaris
sama dengan penghasilan PDAM per bulan. Angka
ini begitu besar jikalau dibandingkan dengan jumlah
air olahannya. Nilainya bisa miliaran rupiah dalam
sehari. Satu hari! Boros dan mubazir. Atau, apakah
ini disengaja oleh kalangan terkait, oleh penguasa
daerah setempat demi alasan tertentu? Katakanlah,
alasan politis, keamanan atau imej (image) dari
donor dan investor? Selain pelakunya, pasti Tuhan
sematalah yang tahu.
Ada lagi masalah parah lainnya. Misalnya, soal
proyek-proyek penyediaan air bersih untuk kaum
miskin di berbagai daerah berdana miliaran rupiah.
Ini kerap melibatkan, selain pejabat di eksekutif dan
legislatif, juga konsultan-konsultanan yang tak jelas
juntrungannya. Kinerjanya tidak memuaskan dan
kemampuannya dipertanyakan. Mereka lebih mirip
konsultan gurem atau LSM benalu yang perlahanlahan mengisap PDAM sembari berteriak-teriak atas
nama konsumen, berkoar-koar layaknya pendekar
pembela rakyat sambil memenuhi kocek-koceknya
dengan duit proyek-proyekan. Makanya tak usah
heran kalau banyak pipa, hidran umum, dan tempattempat MCK yang buruk mutunya. Bobrok. Cuma
seumur jagung. Sekali jadi lalu mati dan memfosil.
Sekadar tugu atau monumen kesaksian MKKN anak
negeri ini.
Pelanggan sejati, begitulah penyakit kronis yang
bersangkut-paut dengan profesionalisme insan-insan
PDAM. Profesionalismenya itu pun bisa kita kaitkan
dengan semangat kerjanya. Entahlah, apakah mereka
94
bekerja sepenuh hati pada jam-jam kerjanya ataukah
sama-sebangun dengan pegawai-pegawai negeri di
kantor pemerintah lainnya yang, kata orang-orang,
pola karibnya ialah datang, duduk, baca koran, tulistulis, rehat lalu pulang. Kemudian, awal bulan dapat
gaji tapi merasa tidak cukup lantas minta naik lagi
sementara negara tak berdaya untuk memenuhinya.
Padahal beragam pajak & retribusi telah dibuat (atau
dibuat-buat) dan diterapkan sampai-sampai menjerat
leher rakyat miskin nan kurus kering. Sedihnya lagi,
separo dari pajak itu, kata anggota dewan, dikorupsi
pejabat di kantor perpajakan. Pagar makan tanaman.
Tak berlebihan apabila ada beberapa pakar ilmu
pemerintahan yang mempredikati PNS itu dengan
julukan brigade 804: datang jam delapan, kinerja nol
besar, pulang jam empat sore. Malah banyak yang
mangkir, tak bekerja tanpa alasan jelas. Terlebih lagi
pada liburan massal seperti hari raya dan tahun baru.
Banyak yang bilang lembek disiplinnya, tapi keras
malasnya. Sekadar contoh, saya kebetulan membaca
Metro, 30/9/03. Judul beritanya, PNS Cianjur Sering
Mangkir. Dan di Metro, 28/2/04: Puluhan PNS
Ditangkap Saat Keluyuran di Ciamis. Juga ada yang
main gaple saat ngantor. Maka dengan serta-merta
warta teranyar itu mengisi buku ini agar dijadikan
pelajaran. Hikmahnya diambil.
Tentu saja temuan GOWA (Government Watch)
itu hanyalah sebuah sampel. Artinya, di lain tempat
pasti terjadi hal serupa. Sudah rahasia umum. Tiada
yang mampu membantahnya. Adakah yang bisa
mengelak? Tengok saja di supermarket, mal ataupun
95
pusat belanja dan bermain lainnya pasti ada orang
berseragam pegawai yang asyik “bekerja” pada jamjam kantor (bagaimana dengan PNS yang tidak di
bawah pemda?) Untuk yang satu ini masyarakat nonPNS wajar bertanya, apakah siklus kerjanya identik
seperti itu atau lebih parah lagi? Kalbulah yang jujur
menjawabnya; nurani tidak bisa berbohong. Letupan
suara hati tak mungkin dusta, bukan?
Namun demikian, kendati berita seperti itu telah
menjadi cap buruk atas kinerja PNS yang kian santer
disingkap media massa dari dulu sampai sekarang,
saya masih yakin bahwa tidak semua insan PNS itu,
khususnya insan-insan PDAM, berperilaku begitu.
Saya pun sangat-sangat tidak ingin menuduh bahwa
semua pegawainya begitu. Saya masih optimis. Saya
yakin, betul-betul yakin, masih ada PNS yang tinggi
dedikasinya, mengemban amanahnya, mau bekerja
keras. Minimal buat rakyat yang perlu layanannya
lewat curahan ilmu, waktu, daya pikir, tenaga, dan
kemampuannya.
Memang, orang-orang seperti itu pada zaman
edanisme ini adalah orang-orang langka tapi nyata.
Insan profesional. Hanya saja personil seperti ini di
sejumlah PDAMjadi tidak di semua PDAMbelum
berpeluang tampil menjadi pejabat yang mereparasi
PDAM. Kebanyakan masih berkutat di manajemen
menengah-bawah dan tidak (belum) meraih peluang
promosi. Karena itu, sayang sekali kalau insan-insan
profesional seperti itu tak diberi kesempatan untuk
memajukan PDAM, sementara potensinya sudah tak
diragukan lagi dan etos kerjanya telah teruji. Yang
96
rugi pastilah perusahaan, baik rugi duit maupun rugi
spirit dalam bekerja.
Malah yang kerap terjadi, akibat adanya politik
suka-tak suka atau like-dislike, mereka kebanyakan
dikebiri. Dibonsai oleh atasannya. Karirnya memang
tidak dibunuh tapi tidak diberi peluang berkembang
menjadi besar. Mereka diarahkan menjadi orang
yang biasa-biasa saja, bukan orang yang luar biasa
prestasinya lantaran takut prestasi insan-insan cakap
ini dapat menggeser posisinya kelak. Pejabat seperti
ini, yang hanya ingin enak sendiri, adalah manusia
paling egois di jagat ini. Makanya, kalau tidak bisa
dinasihati, ya basmi saja. Jangan pernah diamanahi
jabatan atau posisi penting apapun kalau tidak mau
perusahaan menjadi hancur. Sebab, pada akhirnya,
yang rugi masyarakat juga.
Tentu saja kasus di atas tidak berdiri sendiri tapi
erat kaitannya dengan para pejabat di eksekutif dan
legislatif. Nuansa politisnya kental sekali. Jabatan
penting di perusahaan daerah seperti itu, kita tahu,
sangat bergantung pada kepala daerah, yaitu bupati walikota dan juga lembaga kontrolnya, yaitu DPRD.
Merekalah yang benar-benar bisa mewarnai PDAM.
Mau hitam, bisa; mau putih, bisa; mau pelangi bisa;
mau tanpa warna pun bisa. (Saya jadi teringat pada
tutur kata seseorang. Kita, demikian ujaran orang
itu, sebagai orang yang peduli akan gerak maju
semua perusahaan daerah, BUMN, dan mekanisme
birokrasi daerah dan pusat, hendaklah senantiasa
memilih orang yang amanah, jujur dan adil. Jangan
yang cacat moral dan tak jelas juntrungannya).
97
Atau, jangan-jangan pegawai profesional itu
telah langgeng terkungkung dan dibelit oleh tentakel
“gurita” di dalam labirin korporasi yang pekat dan
jenuh akan orang-orang berbusuk moral. Andaikata
sinyalemen ini benar, seperti halnya Anda, saya pun
berdoa semoga tak lama lagi terjadi perubahan di
PDAM dan di instansi pemerintah lainnya agar pembaruan segera terwujud. Lalu siapa yang memulai?
Tentu saja kita semua. Dan tak usah muluk-muluk.
Mulailah dari diri sendiri sambil berupaya mengubah lingkungan dan sistemnya.
Sampai di sini bisa kita pahami, betapa penting
peran pegawai terutama karakternya. Sikap jujur,
cakap, dan etos kerjanya yang tinggi, bila ini benarbenar mendarah daging memang bukan main. Sebab,
kemajuan bergantung pada kinerja dan moral SDM
atau SDI. Merekalah pengoperasi dan pengatur
benda-benda mati seperti mesin-mesin, dosing zat
kimia, pintu air, katup, dan tata-kerja unit instalasi
agar berfungsi optimal dan menghasilkan air layak
minum. Mereka pula yang mengelola dana miliaran
rupiah dalam sebulan hasil berjualan air. Termasuk
membagi-baginya menurut alokasi dalam rencana
pengembangan perusahaan. Bisa diduga apa yang
akan terjadi kalau dana itu dikelola oleh orang yang
khianat dan culas!?
Kemudian, yang juga sering disoroti adalah etos
kerja untuk senantiasa bekerja sama dalam tim yang
akur. Saling dukung antarkaryawan. Mau menerima
gagasan dari rekan kerja meskipun sang penggagas
lebih muda dalam hal usia dan ilmu. Sebab, mutiara
98
ilmu bisa datang dari mana saja dan dari siapa saja.
Jangan sekali-kali ada nafsu untuk sikut sana-sikut
sini tapi berkompetisilah secara sehat untuk menjadi
pegawai yang betul-betul berkompeten di bidangnya
dan mampu mengukir prestasi.
Misalnya, jabatan yang erat kaitannya dengan
Teknik Lingkungandunia akademis paham bahwa
PDAM ditulangpunggungi oleh sainstek ke-TL-an
sebaiknya dilimpahkan kepada orang yang berlatar
TL. Lebih bagus lagi orang TL yang tinggi daya atau
kemampuan manajerialnya dan memiliki intuisi dan
insting kepemimpinan, leadership! Apalagi kalau
diikuti oleh moral yang baik. Tentu inilah insan yang
mendekati ideal, yang tak cuma cerdas otaknya tapi
juga cerdas spiritual (termasuk di dalamnya cerdas
secara emosi).
Bagaimana kalau tak ada sarjana TL di PDAM?
Sudah pasti boleh-boleh saja orang lain asal paham
soal ke-TL-an, berpengalaman di bidang ke-TL-an,
dan berkemampuan manajerial dan kepemimpinan.
(Lewat buku ini saya menggugah dan menghimbau
alumni baru TL agar mau bekerja di PDAM untuk
mengelola air minum bagi masyarakat. Daya pikir
Anda diperlukan sekarang. Ayolah! Siapa lagi yang
bakal memajukan PDAM kalau bukan Anda, wahai
alumni TL. Percayalah, Anda pasti bisa!)
Oleh karena itu, sebagai perusahaan, sekalipun
perusahaan daerah yang kerap dicap tidak bonafid,
tidak bermutu, underdog, bahkan perusahaan kelas
teri, semestinya PDAM memiliki visi profesional,
unggul kualitas personalnya, dan ahli dalam ilmunya
99
seperti yang dikembangkan oleh perusahaan swasta
mapan dengan prinsip “orang tepat di tempat yang
tepat, the right man on the right place”. Peduli amat
dengan sindiran seperti itu. Jangan terlalu diambil
pusing. Anggap saja gesekan untuk maju. Bukankah
kita perlu gesekan atau friksi, kata Newton, untuk
bergerak? Seperti ditulis di alinea di atas, insan yang
hampir ideal ini berpeluang memajukan perusahaan,
bukan menjadikannya ambruk terpuruk.
Maka, mau maju atau mundur atau mau hancur
sekalipun itu semua kembali pada orang-orang yang
mengelola perusahaan, yaitu pegawai. Pegawai itu
mirip orang yang menggenggam pistol. The man
behind the gun. Kalau baik orangnya, tentu baik pula
hasilnya. Kalau buruk orangnya, buruk pula perusahaan itu. Maka terbukti, pembinaan pegawai yang
terkait dengan jabatannya menduduki kursi penting
dalam pilar PDAM.
Selanjutnya, jabatan tersebut hendaklah dipadupadankan dengan tingkat kebutuhannya dan besarkecilnya perusahaan. Di PDAM besar berpelanggan
ratusan ribu unit tentu ketersediaan jabatannya lebih
besar dibandingkan dengan PDAM yang pelanggannya cuma belasan ribu unit. Tetapi yang pasti, dan
ini terbukti, kebutuhan tenaga ahli perairminuman
ini akan meningkat seiring pertumbuhan penduduk.
Apalagi kalau PAMS buat kalangan terbatas benarbenar hadir pada masa mendatang dengan tetap
mengindahkan pasal 33 UUD 1945, tentu kebutuhan
sarjana teknik ini makin banyak lagi.
100
Namun begitu, harus diupayakan agar jabatan
struktural jangan sampai gemuk agar terhindar dari
beban berlebih yang percuma. Struktur organisasi
sebaiknya ramping-ramping saja. Hindarilah ‘arisan’
jabatan tanpa mengindahkan kompetensi atau kapabilitas. Apalagi kalau cuma diada-adakan sekadar
bagi-bagi jabatan antarteman. Semua kawan diberi
posisi syahdan yang di luar ilmu dan kecakapannya.
Membabi buta. Beraji mumpung.
Atau, penyakit kronis lainnya, yaitu nepotisme:
memilih orang-orang dekat atau yang kira-kira bisa
disetir dan penurut. Ini tidak sehat. Makanya pakar
manajemen bilang, mereka adalah orang-orang tak
tahu diri; ambisius nista! Itu ditempuh hanya untuk
menancapkan kuku-kukunya agar langgeng berkuasa
tanpa peduli pada prestasi, kerja keras, nasib orang
lain dan perusahaan.
Pola pikir di atas amat riskan. Mesti dihilangkan
karena dapat membunuh organisasi baik perusahaan
swasta (CV, NV, firma, PT), BUMN, BUMD, LSM,
koperasi, yayasan, lembaga kursus, dan pendidikan.
Paling tidak, bisa membunuh karakter dan spirit
kerja pegawai. Jika ini melanda PDAM, semuanya
bakal rugi: insan PDAM, pelanggan, rekanan
konsultan, kontraktor, vendor, dan pemda. Bahkan
menimpa kaum akademisi, dosen dan mahasiswa,
jika PDAM bangkrut. Sebab, tak ada lagi peluang
magang, praktek dan riset di PDAM.
Kalau demikian, percayalah. Kita rugi, langsung
tak langsung. Orang Betawi bilang, sudah kagak
ketulungan lagi. Ente-ane bakal apes. *
101
Ibaratnya,
pegawai adalah orang yang
menggenggam pistol. The man
behind the gun.
Kalau baik orangnya, baik pula
hasilnya. Kalau buruk orangnya,
tentu buruk pula perusahaan itu.
Agar segar, airlah penawarnya.
102
7
DESAIN YANG INOVATIF

Kekaryaan, kepegawaian, SDM, atau SDI.
Itulah reformasi pertama.
Dan selanjutnya,......?
PDAM, kini, mengemban reformasi rekayasa.
Pembaruan desain, baik desain instalasi pengolahnya
maupun perpipaannya, yaitu transmisi dan distribusi,
termasuk volume dan lokasi tandon-(tandon) atau
reservoir-(reservoirnya). Ini tentu pekerjaan besar,
rumit dan sarat modal. Dibutuhkan konsultan yang
kepakarannya tak diragukan lagi dan penyandang
dana (investor) dari dalam dan luar negeri. Tentang
hal ini, yaitu rambu privatisasi dan kemitraan antara
PDAM dan swasta saya uraikan di Bab 11.
Tetapi, kalau kita mau dan serius bisa saja dana
itu berasal dari APBN dan/atau APBD. Bukankah ini
tugas negara atau pemerintah yang berkuasa baik di
pusat maupun daerah untuk menyediakan air bersih?
Apalagi tak seorang rakyat pun yang tidak perlu air.
Yang kaya dan yang miskin, sama saja, semuanya
butuh air. Jadi, harus ada teknologi yang mampu
menyediakan air bersih 24 jam per hari, tujuh hari
per minggu. Maka, apabila kita banding-bandingkan,
103
nilai penting desain ini setara dengan SDM, pilar
pertama piramid.
Kalau diandaikan dengan organ tubuh kita maka
instalasi pengolah air dan perpipaan PDAM serupa
dengan jantung, aorta, dan arteri atau urat nadi. Dari
“jantung” inilah air dialirkan (dipompa atau secara
gravitasi) ke pelanggan. Jika jantungnya sehat, sehat
pula pelanggannya. Begitu sebaliknya. Jantunglah
kunci mutu dan tolokukur atau barometer air olahan
PDAM. Dan ini tak lepas dari “urat nadinya”. Lewat
urat nadi atau pipa-pipa inilah air PDAM masuk ke
rumah-rumah pelanggan.
Jikalau pipa-pipanya bocor, sambungannya tak
kedap air, alirannya tak kontinu atau sistemnya tak
laik guna maka tercemar lagilah air olahannya itu.
Mutunya memburuk, nyaris sama dengan air yang
belum diolah seperti air sungai, danau, atau waduk
yang penuh bakteri, kaya pencemar. Jangan-jangan
malah jauh lebih parah.
Lantaran itulah, pilar kedua ini, yaitu reformasi
desain menjadi signifikan bukan hanya karena debit
air bakunya yang kian susut melainkan juga karena
mutunya yang kian buruk akibat polusi yang terus
menderanya sehingga airnya kaya akan pelbagai zat
berbahaya dan beracun. PDAM mau tak mau harus
legowo mengakui bahwa jantungnya atau teknologi
pengolah airnya sudah tidak mampu lagi menangani
zat seperti logam berat, pestisida, sabun, deterjen,
nitrat, nitrit, dan lain-lain yang justru makin tinggi
konsentrasinya dalam air baku.
104
Artinya, sekali lagi, pada masa sekarang ini ada
PDAM sudah dalam taraf mengolah air baku yang
sekualitas dengan air comberan. Maka logikanya,
PDAM harus membuat unit pengolah yang mampu
mengolah air “comberan” itu. Masalah yang sedikit
berbeda dialami oleh PDAM Banjarmasin. PDAM
ini pernah tidak berproduksi karena kadar garam air
Sungai Barito dan Martapura melebihi 250 mg/l.
Kualitas air sungai itu memang dipengaruhi pasang
surut air laut karena landai kemiringannya. Dan ini
berlangsung setiap tahun terutama saat kemarau.
Buruknya kualitas air baku dan terjadinya kasus
pencemaran lagi (rekontaminasi) air olahan PDAM
di sistem distribusi itulah yang menyikalbakali ide
reformasi desain instalasi dan distribusi. Mesti ada
pembaruan! Jangan berkutat dan berputar-putar dari
sistem itu ke itu saja. Secara logika saja tidak dapat
diterima; masa sistem pengolah air lima puluh tahun
lalu ketika nyaris tak ada pencemaran disamakan
dengan air baku sekarang yang kaya pencemar? Pun
begitu dengan pipa distribusi. Selain bahannya bebas
zat racun, pemasangannya harus kedap air atau tidak
bocor. Dan ada cara untuk menahan air kotor agar
tidak masuk ke pipa, terutama ketika ada perbaikan.
Bagaimanapun dan apapun alasan PDAM, hal
ini mendesak. Hendaklah segera diantisipasi, jangan
sampai terlambat. Bisa dirintis mulai sekarang. Dan
pasti bisa. Inovasi desain habis-habisan ini selekaslekasnya dikibarkan menyusul maraknya kasus poludi mana-mana, dari kota sampai desa, dari darat
hingga laut. Terlebih lagi banyak ada data dan bukti
105
soal keluhan pelanggan PDAM yang dirilis di media
massa setiap hari. Di bawah ini saya kutipkan satudua kasusnya, sebagai contoh.
“Air PAM (masih) kotor dan berbau!” Inilah
judul berita yang disajikan Republika, 26/2/00 untuk
menanggapi hasil jajak pendapat (polling) tentang
kualitas air dan keluhan pelanggan PAM Jaya di
lima wilayah DKI Jakarta, menyusul kegiatan serupa
tahun 1997. Dari 474 responden, tulis koran itu,
keluhan terbanyak (62,4%) adalah air ledeng sangat
kotor dan keruh. Angka ini naik 12,4% dari tingkat
keluhan tahun 1997 sebesar 50% (228 responden).
Disusul keluhan bau kaporit (41,1%), debitnya kecil
(34,2%), tidak mengalir (30,4%) dan rasanya asin
(3,4%). Selain itu, ada 0,2% responden yang bilang
airnya beracun dan 14,8% yang tidak punya keluhan
berarti. Maka disimpulkan, kualitas air PAM Jaya
yang sampai ke pelanggannya makin buruk. Lebih
buruk daripada tahun sebelumnya.
Kecuali jajak pendapat di atas, saya kutipkan juga
beberapa kualitas air PDAM yang sempat dimuat di
media massa. “40% Air PDAM Indonesia Tercemar
Bakteri E. coli,“ tandas Pikiran Rakyat, 21/3/01.
Bahkan ada yang marah-marah lantaran air ledengnya bercacing-cacing kecil. Yang lain berkata bahwa
airnya cepat berubah dari bening menjadi kuning.
Saat yang lain airnya terlalu keruh sehingga gentong
air mesti sering dibilas-kuras. Republika, 14/8/01,
pernah menjuduli beritanya, “Air PDAM Surabaya
Masih Mengandung Racun”. Jika ini kenyataannya
lalu apa komentar PDAM?
106
Klaim-klaim itu tidak diperpanjang lagi di sini.
Terlalu banyak. Yang ingin saya katakanterlepas
dari komentar dan pembelaan PDAMadalah bahwa
pelanggan PDAM banyak yang hanya tahu air yang
mereka terima buruk kualitasnya. Mereka tidak tahu
dan mungkin saja tak peduli apa biang keladinya.
Apakah lantaran sistem pengolahnya yang buruk
ataukah sistem distribusinya yang kacau-balau? Kata
anak baru gede, EGP (emang gue pikirin). Ini yang
menggayut di benak mayoritas pelanggan. Tapi tidak
bisa begitu saja mereka disalahkan; apalagi banyak
yang sudah melunasi rekeningnya setiap bulan.
Sebaliknya saya yakin 100%, PDAM pun akan
membela diri dan mengklaim bahwa air olahannya
sudah bagus (jernih) sembari jari telunjuk kanannya
mengarah ke tangki atau reservoir airnya. “Saudarasaudara bisa lihat. Itu airnya. Jernih, kan?” mungkin
itu kata pejabatnya. Pada saat yang sama pelanggan
ikut-ikutan menunjuk ke air tampungannya di dalam
gentong yang tak sesuai dengan harapannya.
Inti masalahnya tak lain dari beda mutu antara
air olahan di reservoir PDAM dan air yang sampai di
rumah pelanggannya. Di PDAM sangat jernih tetapi
di bak dan gentong pelanggannya malah keruh dan
bau. Sampai-sampai ada yang protes lantaran airnya
bercacing! Ini bukan soal sepele. Beda mutu ini tak
bisa dipandang enteng. Dan PDAM, ini logikanya,
wajib bertanggung jawab atas bahaya yang mungkin
timbul dari air pasokannya itu. Lebih-lebih lagi tarif
airnya terus naik dan terasa mahal di kantong rakyat.
107
Pelanggan yang saya hormati, di atas tadi sudah
disitir bahwa sumber air baku PDAM kita khususnya
sungai telah banyak yang tercemar akibat tingkah
polah manusia, baik dari limbah domestik maupun
industri, baik padat maupun cair. Tercemar berat.
Sungai Cikapundung di Bandung contohnya. Sungai
berhulu di daerah wisata Maribaya ini sudah kotor.
Padahal 800 l/d (600 l/d diolah di IPAM Dago dan
200 l/d di IPAM Badaksinga, dalam areal kantor
pusat PDAM Kota Bandung) airnya disadap untuk
air PDAM Kota Bandung. Dan kini sungai
sepanjang 28 km itu debitnya sudah jauh berkurang.
Kasus serupa terjadi di Citarum, sebuah sungai
yang merupakan “muara” dari Sungai Cikapundung.
Parahnya, tak hanya limbah domestik, industri, dan
pertanian yang mencemari Citarum tapi juga dari
vulkanik seperti Gunung Tangkubanparahu di utara
dan Kawah Putih di selatan Bandung. Lengkaplah
sudah sumber-sumber pencemarnya. Pantas pulalah
warganya yang mengaku Masyarakat Cinta Citarum
(MCC) begitu gusar kemudian berupaya mencarikan
solusinya. Wujud forum semacam ini, kendati telat,
tentu lebih baik daripada tidak sama sekali. Seingat
saya, dulu pernah digelar diskusi dalam rangka Hari
Air Sedunia ke-10 pada 22 Maret 2002. Hasilnya
apa? Yang pasti, polusi di Citarum itu tak jua mau
peduli. Makin berat dan pekat saja. Kental.
Itulah faktanya. Pencemaran seolah-olah tradisi
yang menyita perhatian kita dari dulu sampai kini.
Padahal ada Program Kali Bersih. Dan banyak lagi
program lainnya. Tapi kenapa pencemaran terus saja
108
terjadi, tak kunjung usai? Jangan-jangan tidak akan
pernah selesai. Ini bahaya. Dari tilikan ekologis, ia
tak hanya merusak citra estetika perairan tapi juga
membasmi biotanya dan mengancam kesehatan kita
baik langsung maupun tak langsung, bersifat kronis
maupun akut.
Makanya, tak sedikit kalangan yang meragukan
kinerja Gerakan Cikapundung Bersih (GCB) lantas
menganggapnya sebatas slogan. Gerakan yang dicanangkan pada 7 Februari 2004 itu diduga akan idem
ditto, sama saja hasilnya dengan MCC. Nasibnya
ditengarai setali tiga uang dengan Gerakan Citarum
Bergeutar [bersih, geulis (Sunda: cantik), lestari]
yang muncul tanggal 14 Agustus 2001, yaitu tanpa
hasil optimal sementara projek miliaran rupiah telah
digulirkan. Banyaklah yang menyambutnya dengan
dingin-dingin saja. Malah ada yang “gatal” seraya
menantang. Ayo “bertaruh”, katanya, akankah tahun
2010 nanti sungai pembelah kota Bandung itu jadi
berhiber (bersih, hijau, berbunga)? Ataukah makin
berhiber (bersampah, hitam, berbau)?
(NB. Limbah padat, yaitu sampah di Sungai
Cikapundung, bukanlah hal tersulit yang harus
ditangani. Justru limbah cairlah, yaitu air limbah
yang paling sulit dipantau. Sebab, sepanjang sungai
tersebut banyak sekali sumber air limbah domestik
dan industri. Makanya, tidak cukup hanya dengan
pembersihan sampah setiap bulan berdana jutaan
rupiah. Tapi harus “menyusup” juga ke pemukiman
dan industri yang memang terpotensial meracuni
Cikapundung. Ada ungkapan bijak: kalau ingin
109
“membersihkan” bagian bawah, harus “dibersihkan” dulu bagian atasnya. Dalam hal ini, Cikapundung adalah bawah dan pemukiman-industri adalah
atas. Mulailah dari atas lantas turun ke kali).
Pembaca, sebentar lagi di bawah alinea ini saya
beberkan lagi secara ringkas tentang sungai Citarum
tersebut plus tiga waduknya, yaitu Saguling, Cirata,
dan Jatiluhur yang tercemar berat. Kronis dan krodit,
keluh warga di sekitarnya. Yang kerap kita dengar
ialah bencana Saguling atau gegar Saguling. Ribuan
ton ikan di waduk teratas dari tritunggal dam mega
di Citarum itu dijemput kematian. Karena terjadi
berulang-ulang maka disebut siklus Saguling: daur
kematian ikan Saguling. Dan itu telah menuai kritik
tajam dari pakar dan mukimin di sepanjang Citarum
dan ketiga waduknya itu.
Namun, sebelum ke Citarum, kita bertandang
dulu ke daerah yang kena kasus serupa dengan gegar
Saguling, yaitu Danau Toba di Sumatera Utara. Di
danau berpulau Samosir ini pernah ada demo besarbesaran dan menasional, melibatkan pabrik pulp dan
kertas PT. Inti Indorayon Utama di Sosor Ladang,
Porsea, Sumatera Utara. Waktu itu pemicunya,
selain politis-ekonomis, adalah mutu efluen IPALnya yang mencemari Danau Toba selama 11 tahun
operasinya. Populasi ikan di danau berkurang dan
daur air terganggu lantaran pepohonannya ditebang
untuk bahan kertas. Kasus itu masih menyisakan
bara dalam sekam. Banyak ketakpuasan menggayut
di hati warganya, baik yang pro maupun kontra.
110
Kasus senada terjadi pula di Irian Jaya. Malah
lebih parah! Berat benar derita suku Amungme dan
Komoro akibat limbah cair (tailing) dan batuan sisa
(overburden) dari PT Freeport Indonesia yang sudah
berlangsung sejak 1972, tapi baru terungkap setelah
seperempat abad firma asing itu malang-melintang
di tanah Cendrawasih. Telah berkali-kali longsor di
sana. Yang sempat dirilis di koran adalah kasus ke
Danau Wanaghon, 4 Mei 2000 (Kompas, 29/8/01).
Namun jauh hari sebelumnya, Sungai Agawaghon,
Otomona, dan Ajkwa pun telah disesaki pasir-batuan
serupa yang membuatnya dangkal, di samping meracuni airnya (Forum Keadilan, No.5, 22/6/95).
Dan..., banyak lagi hal sedemikian itu di tanah
air kita. Tetapi saya tak hendak memperpanjangnya.
Kita jeda dulu di sini dan sekarang kembali ke soal
protes yang terkait dengan air PDAM.
Ternyata tak cuma PAM Jaya yang didera protes
berkaitan dengan mutu air olahannya. PDAM Kota
Bandung pun kena. Apa solusinya? Ya, perbaruilah
desainnya agar mampu menanggulangi pencemar
yang jahat pada kesehatan kita. Kecuali soal polusi
tersebut, debit air bakunya pun kian tipis. Mengawali dasawarsa pertama abad ke-21 ini krisis air di
kota pegunungan ini sudah di gerbang stadium tiga.
Larut senja. Betapa tidak, dari 20 sumur artesis (bor)
milik PDAM tahun 1980-an tinggal delapan unit saja
yang berair tahun 2003. Ini kata PDAM. Lain lagi
temuan Wahana Lingkungan Hidup, Walhi. Katanya,
cuma empat yang layak secara ekonomis. LSM lain
pun datanya berbeda. Tapi yang pasti, airnya susut.
111
Celakanya lagi, 39 utas sungainya tanpa kecuali
tercemari air limbah domestik berupa urin dan tinja.
Gara-garanya, masih banyak rumah yang tak punya
tangki septik; limbahnya langsung dibuang ke sungai
atau parit terdekat. Tengok saja rumah-rumah di tepi
sungai atau selokan, yang mewah maupun kumuh,
tak sedikit air limbahnya dilepas begitu saja ke kali.
Hebatnya lagi, masih banyak tua-muda, besar-kecil
yang buang hajat tanpa malu-malu di sungai atau
selokan, di WC umum maupun di ruang terbuka di
tepinya. Malah kotoran kambing, domba, sapi, dan
unggas ikut diglontor ke sungai. Dan yang terakhir,
buruknya kinerja unit pengolah di instalasi pengolah
air limbah (IPAL) Bojongsoang kian membludakkan
jumlah bakteri coli tinja di Citarum.
Citarum, dulu dan kini, sungguh jauh berbeda.
Sebagai kolektor semua air sungai, parit, kali, dan
selokan se-Bandung Raya dan wadah semua limbah
domestik dan industri di tatar Parahyangan, pantaslah mutu airnya buruk. Polusi seolah-olah pantang
mundur; malah jalan terus tak terputus. Entah sudah
berapa ribu ton polutan organik dan anorganik lewat
di sungai itu. Entah sudah berapa ton ikan peternak
di sana mati mengenaskan. Ratusan juta rupiah pun
lenyap dalam sekejap dari saku peternak. Padahal
mereka tidak bersalah. Yang salah adalah pembuang
limbah dan pemerintah yang tak jua tegas menindak
pengusaha (atau lantaran limbah pakan ikannya?).
Takut investornya hengkang?
Pilih mana, investor tak jujur itu kabur lantas
diganti oleh investor yang peduli lingkungan ataukah
112
nyawa rakyatnya yang “kabur” dari badannya akibat
pencemaran? Sebab, andai Citarum terus dicemari,
sejatinya sudah tak layak lagi airnya diperuntukkan
sebagai air baku PDAM kecuali ada terobosan unit
pengolah agar tidak konvensional seperti yang lazim
dan jamak diterapkan sekarang ini. Pengolah kuno
seperti itu hanya mampu menjernihkan air keruh dan
mengurangi jumlah bakteri patogennya saja. Tidak
lebih dari itu, titik! Malah ada kemungkinan bakteri
tertentu tidak bisa dibasmi dengan cara itu. Juga tak
kuasa mengurangi apalagi menghilangkan zat racun
seperti merkuri, pestisida, dan zat toksik lainnya
yang berlipat-lipat jumlahnya. Lantas yang sakit dan
rugi jelas-jelas dan lagi-lagi pelanggan PDAM. Ya
kita-kita ini.
Selain itu ada titik lemah yang mengakibatkan
interpretasi kerapkali keliru pada monitoring sumber
air baku. Ini bisa terjadi di mana pun dan kapan saja.
Biasanya, analisis itu cuma mengacu pada parameter
konvensional tanpa mempertimbangkan parameter
lain seperti logam berat, pestisida, dan deterjen.
Inilah yang berbahaya andaikata PDAM tak mau dan
tak jua mampu mengolahnya. Termasuk sering diperoleh angka atau nilai lump parameter seperti BOD
(Biochemical Oxygen Demand=Kebutuhan Oksigen
Biokimia) dan COD (Chemical Oxygen Demand=
Kebutuhan Oksigen Kimia) yang kecil, tapi karena
ada zat yang tak terdeteksi dengan parameter COD
ituapalagi BODnamun amat berbahaya. Inilah zat
xenobiotik, “musuh” organ tubuh kita.
113
Kelemahan kedua, jarang atau mungkin tidak
pernah di-sampling sedimen atau endapan sungainya
yang boleh jadi konsentrasi polutannya ratusan kali
lebih besar daripada di air sungai. Polutan yang
terlekat atau teradsorpsi pada pasir dan lempung di
sedimen itu pada saat hujan dan banjir akan lepas
lagi (flushing) sehingga konsentrasinya tambah besar
di air sungai. Air itu lalu masuk ke instalasi PDAM
lantas menjelma menjadi “monster” pembunuh yang
kalem (the silent killer) bagi pelanggannya karena
mengandung zat berbahaya-beracun berkadar tinggi.
Sekali lagi, alat-alat dan unit pengolah airnya yang
biasanya “sakti mandraguna” kini menjadi lemas tak
berdaya. Adem ayem saja.
Akan tetapi, andai Anda belum yakin juga pada
paparan tadi cobalah jalan-jalan di bantaran sungai
atau lintasilah jembatan yang melintang di atasnya.
Luangkan secuil waktu buat pergi ke sana. Saksikan
dan tataplah! Akan tampak airnya coklat kalau tidak
hitam pekat khususnya saat kemarau. Cobalah amati
juga bengkel mobil dan motor yang gemuk, bensin,
oli, solar, dan minyak bekasnya dibuang ke parit dan
akhirnya melimpas ke sungai juga.
Begitu pun restoran, rumah makan dan warung.
Sama saja: daun, kertas, plastik, sisa nasi, sayur, dan
tulang-belulang hewan ikut luber di sungai. Dengan
tambahan air cucian kaya minyak, deterjen, sabun,
dan karbol dari berbagai merek lengkaplah sudah
polutan di sungai itu sepanjang masa. Akhirnya tiaptiap polutan itu masuk ke perut lalu ke ginjal, hati,
114
dan beredar ke seluruh tubuh. Bertumpuk-tumpuk
atau terakumulasi di sana selama bertahun-tahun.
Lantas, kalau sempat atau disempat-sempatkan
saja, cobalah kunjungi instalasi pengolah air minum
(IPAM) milik PDAM untuk melihat-lihat bagaimana
rentetan pengolahannya. Iseng-iseng tapi serius atau
serius tapi santai, tanyakanlah jenis-jenis pencemar
yang mampu disisihkan di IPAM itu. Kalau bisa,
jangan cuma datang ke satu PDAM tetapi cobalah ke
beberapa PDAM lalu bandingkan unit pengolahnya,
samakah atau beda. Semoga survai itu memperkaya
wawasan Anda tentang per-PDAM-an dan akhirnya
ada saran buat PDAM.
Tapi sayang, seperti tercermin pada hasil jajak
pendapat Republika di atas, kebanyakan pelanggan
masih awam akan kualitas air dan ogah datang ke
PDAM. Jangankan untuk menambah ilmu, untuk
menyelesaikan urusannya pun banyak yang enggan.
Seabrek sebab-sebabnya. Selain, katanya, tak ada
waktu senggang juga karena pengetahuan tentang
kesehatan masih kurang; begitu pun soal publikasi
bahaya pencemaran. Makanya konsumen banyak
yang acuh tak acuh saja.
Bisa juga karena tiada sumber air alternatif yang
terjangkau secara ekonomi. Fenomena ini tak hanya
menggejala di masyarakat menengah bawah tetapi
juga melanda kalangan atas, yakni para elite sosial,
ekonomi, politik, dan akademisi. Tentu ini berkaitan
dengan latar belakang pendidikannya sehingga pola
pikirnya satu tipe. Yaitu, air yang baik ialah air yang
115
jernih. Tidak lebih dan tak kurang. Hal ini tentu bisa
kita maklumi; itulah tampak visualnya.
Di lain pihak, konsultan pun selalu berupaya
mendapatkan air tanah atau mata air walaupun jauh
jaraknya dari calon daerah layanan asalkan airnya
memenuhi syarat sehingga sesedikit mungkin perlu
pengolahan. Tapi bagaimana dengan air sungai yang
kotor dan tak ada lagi sumber air yang lain? Mau tak
mau sistem itu harus dilengkapi lagi dengan unit
pengolah tahap lanjut. Misalnya, memakai pelbagai
jenis teknologi membran. Mahal? Sudah pasti. Tapi
yang penting, air yang masuk ke perut pelanggan
sudah baik kualitasnya. Terjamin keamanannya.
Yang juga penting, hal tersebut harus didukung
oleh sistem distribusi yang benar-benar baik. Hal ini
berkaitan dengan kualitas pipa dan perlengkapannya,
dan bergantung pada sistem pengalirannya, seperti
kesetimbangan atau perataan tekanan di semua alur
pipa. Kalau tidak demikian, air olahan yang sudah
bagus akhirnya tercemar lagi. Ini mubazir. Buangbuang uang saja. Apalagi kalau ada pelanggan (atau
semua pelanggannya) yang membabi buta menyedot
habis-habisan air PDAM memakai pompa berdaya
tinggi. Rekontaminasi bisa makin parah. Oleh sebab
itu, coba terapkan sistem zoning yang khusus melayani pelanggan dalam lingkup kecil agar gampang
dipantau dan relatif tak bermasalah ketika reparasi.
Pembaca, saya hinggakan di sini saja bahasan
mengenai pilar desain ini. Adapun detail desainnya
saya yakin seyakin-yakinnya banyak sarjana TL yang
memiliki bekal ilmu dan teknologi dalam bidang ini.
116
Apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa bekerja di
konsultan yang “baik dan benar” sembari ajek giat
mendalami dunia teoretis. Atau, mereka yang tak
kenal lelah dan terus-menerus belajar lewat kursus,
sekolah, dan secara otodidak. Pengalaman demikian
itu, teoretis maupun praktis, akan bermanfaat pada
saatnya nanti ketika menginovasi desain pengolah.
Akhirnya, mari kita contoh negara-negara Arab
yang mampu mengolah air laut menjadi air layak
minum. Kapasitasnya pun sangat besar. Jangan lagi
ada alasan bahwa itu terjadi lantaran mereka negara
petrodollar. Apa nusantara ini bukan negara petrodollar? Ke mana saja devisa minyak dari perut bumi
pertiwi ini? Yang bisa menjawab ini bukanlah wong
cilik tapi wong gedhe, para pejabat di pemerintahan
khususnya mereka yang membawahkan sumber daya
alam tersebut.
Atau, kalau negara-negara Arab itu terlampau
jauh dari sini, kita lihat saja Singapura. Negara mini
seluas kuku di peta Asia Tenggara itu sudah mampu
mengolah air limbah domestik dan industri menjadi
air minum. Instalasinya dinamai Newater. Apabila
diterjemahkan, artinya air anyar. Maksudnya kirakira begini: air limbah dari sumbernya dianggap “air
lama” yang kaya pencemar lalu diubah menjadi “air
anyar” atau “baru” berupa air bersih. “Baru” di sini
tentu saja mengacu pada mutunya yang jauh berbeda
dari mutu awalnya.
Hal itu ditempuh, kata pemerintahnya, sebagai
upaya waspada kalau-kalau suatu saat kelak, akibat
diimbas oleh sikon ekonomi, politik, dan keamanan
117
bilateral ataupun regional, air dari Pulau Batam dan
Johor, Malaysia di-stop. Kalau tidak disiapkan dari
sekarang bisa-bisa nanti mati kehausan jauh sebelum
perang yang sebenarnya berkobar. Artinya, mereka
telah siap mengantisipasi “perang” air dan boleh jadi
perang militer.
Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak? *
Instalasi pengolah air
dan perpipaan PDAM mirip
dengan jantung, aorta, dan arteri
(urat nadi) tubuh kita. Dari
“jantung” inilah air dialirkan ke
setiap pelanggan. Kalau
“jantung”-nya sehat tentu sehat
pula pelanggannya.
Begitu sebaliknya.
118
Tak mungkin hidup tanpa air.
AIRKU
Air baku
ada di sungai
di danau-waduk
di tanah
di laut
dan air hujan
Biasanya
air bersih itu jernih
tiada senoktah racun
tiada sezarah kuman
Air limbah
datang dari rumah
dari rumah sakit
dari pabrik
dari yang lain lagi
kaya polutan
kaya racun!
119
8
AREA SERVIS PERLUAS TERUS
*
Sedih.
Sekarat di lumbung padi. Pilu.
Bayangkan, 80% rakyat Indonesia pada awal
abad ke-21 ini belum diakses air bersih. Angka ini
saya kutip dari Badan (dahulu, Biro) Pusat Statistik.
Pernyataan ini tentu bisa kita terjemahkan menjadi,
“kondisi sanitasi kita sama-sebangun dengan negaranegara di Afrika yang ganas alamnya, dan miskin
ekonominya, dan senantiasa didera krisis air bersih
sepanjang masa”.
Ini aneh. Tak masuk akal. Padahal negara kita,
secara garis besar, tidaklah semiskin negara-negara
di Afrika dalam hal sumber air asalkan kita mampu
mengelolanya ketika musim hujan dan kemarau. Itu
teorinya. Tapi karena luasan hutan kita susut terus
maka yang terjadi justru kelebihan air (banjir dan
longsor) waktu hujan dan kurang air waktu kemarau.
Pada detik ini saja hektaran hutan dibabat. Makanya
Daerah Aliran Sungai makin kritis sehingga sawah
mengering, pasokan listrik menurun, dan air baku
PDAM menyusut. Pantas saja krisis air.
120
Kita dilanda badai. Badai multikrisis. Dan dari
sekian banyak krisis itu, krisis air bersih adalah satu
di antaranya. Air bersih semakin langka dan mahal.
Tak semua orang bisa mudah mendapatkannya. Di
Kota Bandung saja area servis (layanan) PDAM-nya
baru 53%. Setengah lebih sedikit. Ini angka resminya. Namun, angka resmi yang dipublikasikan di
media massa ini sering dipertanyakan. Benarkah itu
angka yang sesungguhnya? Angka eksaknya?
Kalau kita mengacu pada angka tersebut berarti
nyaris separo dari warga Bandung belum disuplai air
PDAM. Area servisnya masih sempit sehingga perlu
diperluas. Padahal Bandung adalah kota besar atau
kota jasa berpenduduk 2,5 juta orang (tahun 2003)
dan di seputarnya ada sumber air baku berupa sungai
yang debitnya layak dieksploitasi, secara gravitasi
lagi. Dan teoretisnya, relatif tidak semahal sistem
pemompaan. Tinggal pasang pipa dan perlengkapannya, mengalirlah air baku itu ke unit pengolahnya di
wilayah Bandung. Lalu menyebar ke pelanggan.
Sambil santai selonjor kaki bersandar punggung
mari kita hitung berapa kebutuhan air PDAM Kota
Bandung. Saya pilih kota ini hanya untuk contoh
tanpa maksud apa-apa selain sekadar contoh. Juga
bukan lantaran saya berdomisili di Bandung ketika
buku ini saya susun. Semata-mata karena ingin saja.
Begini maksud saya. Kalau mau, kita pun bisa saja
melakukan hal yang sama atas PDAM di kota lain.
Sederhana caranya. Tak perlu pakai kalkulator rumit
apalagi program komputer. Simpel.
121
Taruhlah kebutuhan air bersih per orang per hari
sekitar 100 liter (dalam sehari rata-rata kita minum
2-3 liter; sedikit sekali; yang terbanyak justru buat
MCK). Kita pun dapat menghitung bahwa satu liter
per detik (1 l/d) setara dengan 86.400 liter per hari.
Artinya, debit air 1 l/d itu bisa menyuplai 864 orang.
Apabila mukimin di Bandung 2,5 juta orang berarti
kebutuhannya 2.894 l/d. Kita pun bisa menghitung,
jika benar debit olahan PDAM Kota Bandung 2.500
l/d berarti 86,4% sudah terpenuhi. Namun faktanya,
baru 53% yang disuplai; kemana air sisanya? (Saya
tidak membahas kehilangan air di instalasi, baik di
filter maupun di unit lainnya, dan kehilangan air di
sistem distribusi).
Begitu pun PAM Jaya, Jakarta. Data yang saya
dapatkan waktu bab ini disusun, baru 49% dari 8,5
juta penduduknya yang terlayani air bersih. Jadi,
lebih dari setengahnya warga di sana mendapatkan
air dari sumur gali (air tanah dangkal), sumur bor,
atau dari sumber-sumber lain. Termasuk warga yang
terpaksa memanfaatkan air payau buat kebutuhan
sehari-hari. Bahkan air tanah yang payau ini, akibat
intrusi air laut dari Utara Jakarta, sudah sampai di
Monas dan terus merambat ke Selatan.
Dan katanya, ini yang saya dengar, agar mampu
meladeni 100% warganya, PAM Jaya perlu waktu 20
tahun lagi; baru tercapai tahun 2023/2024. Tentu
dengan syarat, sumber air bakunya yang berasal dari
waduk Jatiluhur tidak susut pada masa itu dan
sumber-sumber air dari sungai lainnya masih bisa
diandalkan. Tapi masalah lain menghadang. Pada
122
masa itu pasti polusi sungai sudah parah dibandingkan dengan masa sekarang.
Artinya, PAM Jaya harus mereformasi IPAMnya dan tidak mengandalkan pengolah konvensional
lagi. Atau, kalau air baku dari Citarum susut terus
dan kian parah polusinya, olah saja air laut di Utara
Jakarta. Rumit? Mahal? Ini sudah pasti. Akan tetapi,
semua orang mesti minum dan harus air yang layak
diminum. PAM Jaya pun tak ingin bangkrut. Maka,
mau tak mau harus punya air yang layak dijual agar
mau dibeli oleh pelanggannya dan bebas dari protes.
Apalagi nanti masyarakat dan LSM kian pintar
dalam soal kualitas air. Laboratorium pun bertambah
banyak sehingga gampang mengetahui mutu airnya.
Dua data di atas hanyalah sampel bahwa area
servis PDAM harus terus ditingkatkan. Secepatnya
mencapai angka yang setinggi-tingginya dan seluasluasnya. Angka-angka tadi masih jauh dari syarat
hidup sehat, higienis, dan saniter bagi suatu kota. Di
sinilah peran pemerintah atau penguasa untuk terus
berusaha agar masyarakat mudah memperoleh air
bersih. Gunakanlah pajak dari rakyat itu untuk terus
memperluas layanan air bersih dan tak lagi rakus
membungkus dana itu ke kantong masing-masing.
Lalu bagaimana di luar Bandung dan Jakarta
atau di kota-kota di luar Jawa? Kemungkinan besar
lebih parah lagi. Perkecualian tentu saja ada, yaitu
yang daerahnya kaya air tanah sehingga warganya
bisa membuat sumur gali atau sumur bor sendiri. Di
sini, barangkali, PDAM tidak laku-laku juga kecuali
mampu memberikan nilai tambah. Misalnya, airnya
123
siap diminum tanpa perlu dididihkan lagi plus bebas
zat berbahaya dan beracun. Kalau ini tercapai pasti
membludak pelanggannya, laris manis airnya.
Di atas telah saya sebutkan bahwa salah satu
barometer dalam servis air minum kota ialah jumlah
penduduk yang terlayani. Makin besar jumlahnya
tentu makin bagus. Tapi yang terjadi, merujuk ke
dua PDAM tadi kita justru krisis air. Ketika area
servisnya belum luas malah debit airnya susut secara
signifikan. Inilah krisis servis. Contohnya sbb. Debit
pemompaan air tanah dalam di Bandung, merujuk
hasil riset Ditjen. Geologi-Tata Lingkungan, sudah
kritis, antara 620-1.700 l/d. Akibatnya, muka atau
paras air tanahnya turun antara 0,5-12 m per tahun.
Drastis! Dampak terburuknya, menurut riset itu, bisa
dideteksi di Soreang, Batujajar, Buahbatu, Cimindi,
Majalaya, dan Pameungpeuk.
Namun krisis itu tidak hanya di Bandung. Krisis
air bersih terus meluas di banyak kota di Indonesia
terutama di Jawa, dari kota besar hingga kota kecil.
Di luar Jawa juga idem ditto: Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Irian, Bali, dan Nusa Tenggara nyaris tak
pernah sepi dari krisis air bersih. Justru makin parah
saja. Berjenis-jenis media massa yakni koran, radio,
televisi, dan internet disarati berita kekeringan dan
krisis air bersih yang biasa terjadi dari Juli hingga
Oktober, setiap tahun. Seperti sudah tradisi, sudah
klasik. Tapi kenapa kita tak berdaya, tak jua mampu
“melawan” kondisi alam ini? Kenapa kita “kalah”
dan terus “kalah”? Haruskah rumput bergoyang yang
menjawabnya?
124
Ada lagi cerita pilu dari Cilacap, Jawa Tengah.
Area servis PDAM belum sampai di daerah krisis air
ini. Ada sekitar 20.000-an KK kesulitan air bersih,
tinggal di 28 desa, di 6 kecamatan. Di situ tak satu
pun air sumurnya tawar; semuanya payau akibat
intrusi air laut. Upaya dicoba untuk menawarkannya,
tulis Pikiran Rakyat, 23/9/95, seperti dengan filter
pasir, kerikil, dan daun kelapa tetapi tidak berubah.
Rasa asinnya masih terasa. Untuk mendapatkan tigaempat jeriken air tawar, terpaksalah mereka pergi ke
Nusakambangan. Kejadian ini berulang tahun setiap
tahun. Ulang tahun ratapan.
Berikutnya masih hal serupa itu yang terjadi di
daerah pegunungan di Brebes, Jawa Tengah. Di sini
saya sempat antri air untuk sekadar membasahi atau
lebih tepat mengelapi tubuh. Waktu itu saya survai
sumber air, tugas dari Proyek Peningkatan Sarana
Air Bersih (PPSAB) untuk desa-desa di Kab. Brebes.
Adalah Cipetung, salah satu dari sekian banyak desa
itu, letaknya di lereng bukit yang tandus berpinus,
jalannya sempit berliku dan cuma diperkeras batu
pecah. Tak satu sumur gali pun saya jumpai di desa
berwarga 1.500 orang itu; tidak juga sawah; ladang
jagung-singkong saja sejauh mata memandang di
ketinggian 1.100 m dari muka laut.
Padahal di atas desa itu, sekitar 12 km jaraknya,
ada Telaga Ranjeng. Tetapi sayang, tidak ada airnya
yang menjadi mata air di desa itu. Satu-satunya
sumber air berupa rembesan yang kecil debitnya, di
bawah kebutuhan standar pedesaan, 2,5-5 l/d. Untuk
mandi dan cuci, warga mesti ke sungai di kaki bukit
125
dengan naik motor atau sepeda. Rata-rata cuma dua
kali mereka mandi per minggu. Mungkinkah mereka
bisa hidup higienis-saniter? Niscaya tak mungkin.
Kemudian, selama musim kemarau 2002-2003,
pantai utara (pantura) Brebes pun kena krisis air plus
paceklik lantaran sawahnya sulit air. Di Pemalang,
Pekalongan, dan Batang (ketiganya di Jawa Tengah),
juga sama. Senada dengan itu, mewabah di pantura
Jawa Barat, dari Cirebon, Indramayu, Majalengka,
sampai Kuningan.
Malah di Cirebon air lautnya sudah masuk ke
sungai sejauh 2-3 km kemudian menggarami sawahsawahnya hingga memutih. Begitu pun intrusi di
pantura, tulis Republika, 28/2/03, jauhnya sudah 15
km. Tak cuma itu, lahannya tercemari oli dan solar
dari pelabuhan Cirebon, papar Media Indonesia,
4/7/02. Kedua hal itu, paceklik dan krisis air, bisa
diduga tambah menjadi-jadi pada tahun-tahun berikutnya kalau manajemen DAS belum membaik.
Kisah ini terus berlanjut. Masih di Jawa Tengah,
tepatnya di Wonogiri dan Jimbaran (Gunung Kidul).
Sungguh merisaukan hati lantaran bukan cuma air
sumur yang susut melainkan juga air waduk Gajah
Mungkur, dam-dam kecil, dan kali. Gajah Mungkur,
dam yang diresmikan Presiden Soeharto tanggal 16
November 1981, di usianya yang ke-21 ternyata
sudah lumpuh. Tebal nian lumpurnya, ulas Pikiran
Rakyat, 18/11/02. Tepinya dilebati rerumputan yang
tumbuh subur di lumpur, yang karena susut airnya,
tampak jelas akar-akarnya.
126
Di area sungainya seraya itu muncullah petakpetak sawah dan kolam-kolam wadah air. Dengan
jeriken, air tampungan di kolam itu dipikul warga ke
rumahnya masing-masing di lereng bebukitan yang
pepohonannya meranggas. Bisa setahun penuh siklus
pikul air itu berlangsung di selatan Jawa TengahYogyakarta. Sekarang pun begitu, tak berubah sama
sekali. Adakah solusinya? Bagaimana caranya?
Kini kita ke seberang timur.
Ke Bali. Ke Pulau Dewata. Pulau Kahyangan.
Secara garis besar pulau seluas 5.600-an km2 ini
bisa dibelah dua: belahan barat bercurah hujan tinggi
dan bagian timur yang rendah curah hujannya. Selain
Nusa Penida, Ceningan, dan Lembongan, krisis air
kerap melanda sisi timur Pulau Dewata ini, terutama
Kab. Klungkung, Karangasem, dan bagian timur
Buleleng. Daerah wisata pura Besakih di kaki
Gunung Agung (tertinggi di Bali) dan sekitarnya: ke
utara, ke timur, ke selatan adalah zone rawan air.
Sungai-sungainya kering; bongkahan batu letusan
Gunung Agung terserak-serak di sela ilalang. Sawah
pun jarang, cuma ladang yang berkembang.
Di Bali tengah (contoh: Tabanan), walau tinggi
curah hujannya tetap saja tak luput dari krisis air.
Ada daerahnya yang sulit meraih air bersih baik dari
mata air maupun sumur dangkal. Pada dekade 1980an, ada saja antrian warga penampung air ledeng di
tepi Jl. Sindumerta (kini, Diponegoro), Desa Dajan
Peken. Bukan hidran umum yang mereka kerumuni
melainkan kran yang dipasang di pipa distribusi lalu
diberi selang. Lantaran rendah tekanan sisanya, tak
127
lebih dari semeter, airnya benar-benar tak bisa naik
ke bahu jalan sehingga mesti turun dulu ke selokan
untuk mewadahinya. Waktu itu, yang saya alami,
betul-betul sulit air bersih.
Yang juga rawan air bersih adalah tanah tinggi
tengah-barat, yakni sepanjang jalan Pupuan di Kab.
Tabanan dan Negara di Kab. Jembrana. Di sana
tanah-tanahnya merekah dan dalam sumur-sumurnya
sehingga banyak terlihat pipa dan selang yang saling
silang menyusup di sisi jalan, mengalirkan air dari
mata air nun jauh di sana ke hidran-hidran umum di
pemukiman.
Yang juga susah air adalah Bali barat termasuk
Taman Nasional Bali Barat yang terkenal dengan
burung endemiknya: si putih Jalak Bali. Inginkah
Anda bersaksi? Bisa! Cobalah susuri ruas-ruas jalan
Gilimanuk-Singaraja dengan sepeda motor. Pakai
mobil juga boleh tapi jangan ber-AC. Rugi kalau
ber-AC. Di sana, biarkan mentari meruapkan tubuh
Anda dan nikmatilah nuansa kental kegersangannya.
Datanglah ke sana pada bulan Juli hingga Oktober.
Selamat datang di Bali, para wisatawan domestik.
Maaf. Saya ngelantur ke soal wisata. Tapi saya
ingin melanjutkan wisata krisis air ini yang relevan
dengan area servis PDAM. Sekarang lebih ke timur
lagi. Saksikanlah, betapa krisis air tengah mendera
kota-kota di Prov. Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur yang bertanah tandus, berpadang
rumput (sabana). Bentangan krisis air itu mulai dari
Pulau Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Solor,
Alor, Rote, Sawu hingga Timor bagian barat. Rasa128
rasanya sulit mencari solusi air bersih di kawasan
ini. Entahlah nanti ketika ada dana untuk menawarkan air laut menjadi air layak minum.
Di Sumatera dan Kalimantan juga senada. Di
dua pulau ini masalah utamanya justru warna air
gambut yang sulit dihilangkan. Membandel. Gambut
ialah air yang banyak mengandung senyawa organik
aromatik (aroma: bau) atau asam humus; warna
coklatnya disebabkan ion besi sehingga intensitas
atau taraf warnanya bergantung pada konsentrasi ion
besi ini. Warna bandel ini baru bisa hilang kalau
diolah dengan proses adsorpsi (penyerapan) dengan
karbon aktif. Tapi proses ini mahal. Oleh karena itu,
umumnya digunakan proses koagulasi dan flokulasi
dengan pembubuhan tawas, kapur, polimer, dan
sedikit tanah gambut. Lalu sedimentasi dan filtrasi.
Namun ini tetap menguras tenaga, waktu, dan uang
PDAM dalam hal biaya operasi-rawat instalasinya.
Demikianlah. Hingga di sini sudah banyak kita
simak kisah krisis air di negara kaya air ini. Yang
pasti, pasokan air bersih cuma jalan di tempat atau
malah berkurang sementara kebutuhan air bersih bak
pelari cepat (sprinter) yang melesat laksana kilat dan
tumbuh eksponensial. Inilah yang membuat krisis air
kian parah dari tahun ke tahun. Semoga bangsa kita
terhindar dari petaka: ayam mati di lumbung padi.
Alangkah, maaf..., tololnya kita kalau hal itu sampai
terjadi. Jika kita disebut tolol bin bodoh nan pandir
maka presiden dari kepandiran itu tak lain dan tak
bukan adalah pejabat yang tak jua becus mengurus
negeri ini. Benar demikian, bukan?
129
Itu sebabnya, segala daya upaya harus dilakukan
untuk melawan krisis itu. Caranya, tak lain daripada
memperluas area layanan PDAM. Apapun caranya,
berapapun biayanya harus ada eksplorasi sumber air
baru. Pemerintah daerah harus berupaya agar suatu
saat kelak krisis air yang sudah mentradisi itu bisa
tercerabut sampai ke akar-akarnya. Mungkinkah?
Andaikata kendalanya dana maka melibatkan
swasta bukanlah hal tabu. Yang penting, sekali lagi,
tidak berdampak buruk atas tarifnya, yaitu jangan
terlampau tinggi bagi kebanyakan pelanggan. Maka
dari itu, program-program semacam subsidi energi
untuk air bersih sebaiknya tidak berjangka pendek
saja melainkan juga merintis solusi jangka panjang.
Apalagi kalau itu cuma program akal-akalan dan
sekadar bagi-bagi duit antarkawan, antarpejabat agar
semuanya diam seribu basa.
Sungguh tak sederhana persoalan air bersih ini.
Banyak daerah yang betul-betul tak punya air baku.
Kalaupun ada, debitnya kecil sehingga tidak layak
dieksploitasi. Di lain pihak, ada yang besar debitnya
tapi polusinya pun tak kalah besar. Namun, karena
ada acuan hirarki bahwa air adalah kebutuhan dasar
maka apapun caranya rakyat harus bisa mendapatkan air bersih dengan mudah-murah. Inilah tugas
besar PDAM untuk terus meluaskan area servisnya.
Harus menjadi basis spiritnya.
Kini kita beralih ke masalah lain di area servis,
yaitu distribusi air. Boleh jadi ada suatu daerah yang
kaya air tapi ada pelanggannya yang tak dapat suplai
air dengan lancar. Ini bisa terjadi jika area servisnya
130
amat luas atau berbukit-bukit. Karena keterbatasan
dana, PDAM biasanya cuma membuat satu reservoir
distribusi, tidak beberapa reservoir, sehingga ada
daerahnya yang tak teratur disuplai.
Masalah di atas relatif lebih mudah dipecahkan
dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki air
baku sama sekali. PDAM bisa menerapkan zona
servis (zoning) di sini. Oleh sebab itu, sebaran dan
jumlah reservoir distribusi (tandon air) itu menjadi
penting. Tapi nyatanya, selain jumlah dan sebaran
reservoirnya yang kurang, lokasinya pun sering tidak
tepat sehingga air tidak merata ke setiap pelanggan.
Reservoir distribusi, menurut fungsinya, selain
sebagai distributor air ke pelanggan juga penampung
kelebihan air saat pemakaiannya rendah (biasanya
malam hari) dan pengatur tekanan di daerah distribusi. Bagaimanapun pola suplainya, gravitasi atau
pemompaan, reservoir tetap dibutuhkan buat merawat sistem distribusi dan menjaga keajekan pasokan
air sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari area
servis. Area servis ini bisa meliputi 70% dari sistem
keseluruhan dalam hal luasan, kerumitan, dan biaya
konstruksinya. Apalagi kalau menyangkut perizinan
dan pembebasan tanah, luar biasa berbelit-belit,
makan waktu, tenaga, uang, dan harga diri.
Secara teoretis, dalam perluasan area servis ini,
PDAM hendaknya setia mengacu pada kepentingan
pelanggan. Semua pelanggan tanpa kecuali, di mana
pun ia tinggal, harus disuplai secara kontinu dengan
tekanan mencukupi. Itu sebabnya, desain area servis
131
harus tepat dengan pertimbangan matang atas topografi dan luas daerah servis.
Umumnya, dalam rekayasa air minum, water
supply engineering, ada dua pola sistem distribusi.
Pertama, sistem cabang; dan kedua, sistem cincin.
Pun bisa ditambahkan sistem ketiga, yaitu gabungan
antara dua sistem itu. Analoginya, sistem cabang ini
mirip pohon dengan cabang-cabangnya. Dan sistem
cincin mirip cincin atau jala yang saling berkaitan
sehingga tiada ujungnya. Adapun sistem campuran
adalah sistem yang pipa induknya ada yang berujung
(dead end) dan ada pula yang berhubungan. Setiap
pola sistem ada keuntungan dan kerugiannya. Dan
senantiasa dipengaruhi oleh topografi daerah suplai.
Kemudian, yang tidak kalah penting dalam area
servis ini adalah meter air. Letaknya harus di tempat
terang agar mudah dibaca, mudah didatangi petugas,
dan aman. Pada kenyataannya, banyak rumah yang
sulit didatangi petugas PDAM karena selalu terkunci
dan pagarnya tinggi kokoh. Sudah itu ada gambar
anjing galak. Ada herdernya. Ini yang bikin keder
petugas dan urung bertugas. Maka yang terjadi justru
pemilik rumahlah yang menuliskan angka meteran
itu lalu dipajang di tembok rumahnya. Sang petugas
lantas menyalinnya lalu balik kanan, grak.
Ini catatan buat pelanggan. Seharusnya petugas
meteran diberi izin dan bebas masuk serta melihat
langsung meterannya agar dia tahu kondisi terkini
meteran itu. Agar tidak kecele dan saling tunggu
sebaiknya disepakati hari apa dan tanggal berapa
petugas pencatat itu datang sehingga pelanggan bisa
132
siap-siap menerimanya. Suguhan ala kadarnya, kalau
mau, bisa saja disiapkan. Ini pun dapat mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian atau
tuduhan macam-macam lainnya.
Di pihak lain, para pencatat meteran harus rutin
datang pada waktu yang telah disepakati. Minimal
ada pemberitahuan lewat telefon kalau berhalangan.
Memang ada satu-dua kasus, petugas enggan datang
ke rumah pelanggan karena bosan ditanyai terus atau
digugat soal airnya yang keruh, kecil, ataupun tidak
mengalir. Mereka malas meladeni omelan. Jadilah
main tebak-tebakan. Petugas menebak angka meter
air itu. Jika jumlah anggota keluarganya diketahui
mudahlah memperkirakan kebutuhan airnya dalam
sebulan. Apalagi kalau sudah ada angka pemakaian
airnya pada bulan-bulan sebelumnya. Cara ini akan
makin gampang. Sambil ongkang-ongkang kaki di
kursi goyang, angka taksirannya bisa ia peroleh.
Itu tadi soal pencatat meter air. Yang juga perlu
diperhatikan adalah faktor keamanan. Sebab, banyak
meter air yang raib. Di PDAM Cianjur, ini dilansir
Metro, 21/4/03, pada kwartal pertama 2003 sudah 65
unit meteran airnya hilang. Selain PDAM, yang rugi
pasti pelanggan. Malah pelanggan yang lebih banyak
menanggung kerugian. Jangan-jangan PDAM tidak
rugi sepeser pun karena meter air itu tidak cumacuma. Tidak gratis alias harus dibayar.
Adapun para pelanggan, selain keluar uang buat
membeli meteran baru, juga mesti membayar biaya
pasang ulang, upah pekerja, dan sewa meteran per
bulan. Belum lagi bea administrasi di PDAM, biaya
133
transportasi, waktu, tenaga, dan banyak lagi yang
lain, yang bisa “diuangkan”. Itulah tetek-bengeknya
jika meteran air sampai hilang. Belum lagi sanksinya
kalau tidak cepat-cepat dilaporkan ke PDAM.
Berikutnya adalah masalah kalibrasi atau tera.
Secara rutin meteran air harus ditera ulang. Apabila
rusak, segeralah diganti. Kabarnya ini gratis. Sebab,
apabila tidak akurat, yang rugi bisa PDAM, bisa juga
pelanggan. Andaikan pelanggan yang rugi, misalnya
dalam sehari menggunakan satu meter kubik air tapi
tercatat 1,5 meter kubik maka jelaslah pelanggan
rugi 0,5 meter kubik per hari. Dalam sebulan 15
meter kubik. Setahun? Besar sekali. Kalau ini terjadi
berarti PDAM menzalimi pelanggannya dan bisa
dituntut secara hukum!
Jika sebaliknya yang terjadi, berarti PDAM-lah
yang salah karena tidak bekerja optimal. Pelanggan
sama sekali tidak salah. PDAM menzalimi PDAM.
Sebab, PDAM-lah yang membeli, lalu mengalibrasi,
memasang, dan memantau meteran air itu di rumah
pelanggannya. Namun, apabila pelanggan mengutakatik meter airnya maka PDAM bisa bertindak tegas.
Tuntut dan ganjar saja sesuai dengan aturan PDAM
dan hukum yang berlaku. Tapi awas, oknum jangan
“bermain” di sini. Kalau tetap nekat “bermain”, juga
ganjar saja dengan hukuman setimpal.
Yang terakhir, tetapi penting, adalah sisa klor di
area servis. Selama ini, klor (bisa kaporit, bisa juga
gas klor) digunakan untuk membasmi kuman atau
bakteri dalam air minum. Senyawa itu umumnya
dibubuhkan atau diinjeksikan di reservoir. Namun
134
masalahnya, sisa klor yang sampai ke pelanggan ada
yang rendah atau bahkan nol. Di lain tempat sisa
klornya justru tinggi sekali sehingga pelanggan waswas memakai airnya. Sisa klor yang disyaratkan di
daerah distribusi adalah 0,2 mg/l. Ini untuk berjagajaga apabila terjadi rekontaminasi di pipa distribusi
akibat perbaikan atau karena kebocoran. Juga akibat
penggiliran air. Karena itu, bisa saja ada titik-titik
injeksi di pipa distribusi kalau dipandang perlu.
PDAM, di mana pun berada dan apapun caranya
(tolong dipikirkan oleh insan PDAM) harus terus
berupaya meluaskan area servisnya agar 80% rakyat
Indonesia bisa menikmati air bersih dan bisa hidup
saniter. Bebas dari penyakit menular lewat air. Jika
berhasil maka Indonesia sehat bukanlah utopia. Tak
cuma mimpi; bukan sekadar khayalan.
Semoga.
Dan ini tidak mengada-ada.
Pada saatnya kelak BPS mencatat bahwa sudah
80% penduduk negara ini terlayani air bersih. Air
yang tak sekadar jernih.
Mudah-mudahan.*
Air, the elixir of life.
135
Layanan PDAM
Kota Bandung baru 53%
dari 2,5 juta penduduknya.
Dan PAM Jaya, Jakarta,
baru 49% dari 8,5 juta penduduknya.
Untuk meladeni 100% warganya,
PAM Jaya perlu waktu
20 tahun lagi;
tercapai tahun 2023/2024.
136
9
MANAJEMEN BERMORAL

Sekarang tibalah kita pada pilar terakhir PDAM,
yaitu M: manajemen. Kata yang sudah tak asing di
kuping ini merupakan pengindonesiaan kata bahasa
Inggris, management. Salah satu artinya menurut
kamus, selain direksi, pemimpin, ialah pengelolaan.
Dari sini kita dapatkan akar katanya: kelola.
Jadi, pilar keempat ini bisa kita katakan sebagai
pilar pengelolaan, pengaturan atau penatalaksanaan
yang bertujuan mengatur sesuatu agar teratur dengan
terus mengacu pada aturan yang sudah dibakukan.
Aturan itulah rambu-rambunya agar semua strata
pemimpin (manajemen, direksi) tidak tersesat dalam
mengelola perusahaan dan sumber daya insaninya.
Erat kaitannya dengan itu kita bisa belajar dari
semesta alam yang kekal hingga kini karena teratur
sistemnya. Dengan keteraturan pulalah manajemen
PDAM tidak hanya akan bertahan lama atau “kekal”
tapi juga maju, profesional dan yang terpenting ialah
terhormat di mata pelanggannya. Dipercaya sebagai
satu-satunya sumber air bersih dan keberadaannya
dibela oleh setiap keluarga.
137
Bisa kita lihat, pilar M ini hakikatnya berkaitan
dengan pilar pertama tadi, yaitu pegawai. Pegawai
dan manajemen tak bisa dipisahkan, seperti dua sisi
mata uang. Manajemen adalah kata benda mati yang
hanya dapat “dihidupkan” oleh makhluk bernama
manusia. Peran manusia (pegawai), khususnya yang
memegang kendali, adalah bagian terkuat dalam
mereparasi tata-kerja manajemen. Manajemen perlu
didukung oleh stafnya. Hanya dengan cara itulah,
disertai kemauan teguh dan kegigihan pemimpin dan
stafnya, PDAM akan menjelma menjadi perusahaan
mapan.
Tapi apa daya, fakta bicara lain. Sampai sejauh
ini mayoritas PDAM yang terpuruk justru disebabkan oleh SDI-nya yang tidak bagus; sekadar menjadi
tukang tanpa kemauan menimba ilmu lebih jauh lagi,
juga tidak kreatif, tidak inovatif. Terspesialisasi
secara sempit. Spesialis, tentu bagus-bagus saja, dan
malah perlu. Asal jangan terkungkung.
Namun yang lebih bagus ialah kemauan untuk
menambah ilmu supaya mampu berkiprah di bidang
lain, syahdan di PDAM. Sifat mau-belajar ini mutlak
wajib dimiliki oleh orang yang duduk di kursi manajemen. Selain berdaya membina stafnya menjadi
profesional juga mampu mengelola pikirannya demi
pengembangan perusahaan. Senantiasa melaksanakan pengayaan dan perluasan kerja bagi pegawainya
dengan aturan yang jelas dan adil sehingga tidak ada
kecemburuan dan grup-grupan. Apabila tidak jelas,
apalagi berbau MKKN, hasilnya pasti akan kontraproduktif. Alih-alih maju malah mundur.
138
Kecuali dapat memola pikirannya, manajemen
pun hendaknya mampu memotivasi pegawainya agar
bekerja keras lagi cerdas. Mampu memberikan suri
teladan bagaimana unjuk kerja yang bermutu itu dan
secara jantan bertanggung jawab atas hasil kerjanya
sambil toleran pada sejawatnya. Mau terus-menerus
meluaskan kawasan & wawasan ilmunya, siap-sedia
bekerja di semua seksi karena punya stok ilmu yang
memadai. Beremosi relatif stabil agar tidak gampang
diombang-ambingkan oleh masalah yang mencuat di
perusahaan. Terlebih lagi ketika merilis keputusan
penting sepatutnya pintar-pintar mengatur emosinya.
Maka, cerdas-emosi, kendali-diri, pimpin-diri adalah
syarat mutlak yang patut melekat di sanubari direksi.
Dengan ungkapan lain, insan manajemen tidak
hanya harus cerdas intelektualcuma otaknya yang
cerdastapi juga cerdas emosi, mampu mengelola
emosinya dan emosi orang lain. Faktanya, banyak
pejabat yang terlampau dikuasai emosinya, merajakan, memperturutkan dan diperbudak kehendak
emosinya. Jangankan memimpin orang lain, memimpin dirinya saja tidak sanggup. Orang seperti ini
tahu dirilah; jangan memaksakan diri jadi pemimpin. Pimpin saja diri sendiri dulu.
Berbekal dua jenis kecerdasan di atas, tentu saja
kalau dikelola dengan benar, PDAM akan berhasil
menata manajemennya menjadi lebih baik. Tambah
bernas lagi apabila dibarengi kecerdasan yang satu
lagi, yaitu spiritual. Inilah kecerdasan yang terwujud
dalam kemampuan mengamalkan makna iman dan
menerapkan ilmu yang dimilikinya. Jika ini berhasil
139
maka setiap unit kerja di PDAM, dari unit teratas
sampai terbawah, akan merasa saling memerlukan
sehingga standar perilakunya sama, visi-misinya pun
sama dan menjurus ke satu arah yang benar sesuai
dengan kesepakatan.
Apabila rasa itu sudah terbentuk, kegagalan di
satu bagian akan terasa juga di bagian lain. Malah
mengganggu kinerja bagian lain. Ini mirip dengan
tubuh kita. Kalau kaki yang sakit maka nyut-nyutnya
terasa hingga kepala. Contoh, bila bagian pencatat
meteran pelanggan bekerja serampangan dan tidak
becus, maka bagian keuangan ikut kacau-balau. Bisa
PDAM yang rugi, bisa juga pelanggannya. Andaikata PDAM yang rugi otomatis labanya berkurang
sehingga mengganggu biaya operasi-rawat instalasinya. Kenaikan gaji pegawai pun bisa saja tertunda.
Namun biasanya, pelangganlah yang rugi. Saya
pernah membaca surat pelanggan PDAM di satu
koran. Dalam sebulan, katanya, tagihannya tak lebih
dari Rp 50.000. Tiba-tiba saja dia harus membayar
ratusan ribu. Ini pasti kesalahan petugas PDAM
dalam memasukkan angka meter airnya. Seandainya
kejadian tersebut berulang-ulang maka pada saatnya
kelak PDAM menuai protes. Yang teledor satu-dua
pegawai tapi yang kena getahnya PDAM.
Namun, kalau kesalahan tulis itu tidak ketahuan
atau nilainya kecil sehingga pelanggan tidak merasa
ada kejanggalan pada rekeningnya, berarti PDAM
telah menzalimi pelanggannya. Padahal syarat jualbeli adalah tidak menzalimi. Maka, sudah waktunya
PDAM berupaya keras untuk menerapkan spiritual
140
bisnis: bisnis yang orientasinya tidak semata-mata
pada laba tapi juga pada kemaslahatan pelanggan.
Tanpa pelanggan, PDAM bukan apa-apa; PDAM
tidak akan pernah ada.
Manajemen pun selayaknya terus mengobarkan
semangat pegawainya lewat contoh yang diberikan,
yaitu dengan cara lebih dulu bekerja keras. Mampu
memanfaatkan potensi daya atau kekuatannya dalam
mengerahkan daya stafnya untuk menaikkan mutu
PDAM. Mampu menggalang kekuatan dana (modal)
investor dan pemda, bahkan daya dana pelanggan.
Termasuk daya eksplorasi dan eksploitasi sumber air
bagi kepentingan rakyat dalam kaitannya dengan
lembaga legislatif (khususnya undang-undang soal
air yang tidak membelit mayoritas rakyat) agar air
tidak mutlak dikuasai oleh korporasi asing atau lokal
yang disetir asing. Ini jangan sampai terjadi. Jangan
pernah terjadi! Curiga atau waspada kepada orang,
lembaga, atau negara yang sudah sering berbohong
dan berkhianat tentu sah-sah saja dan tidak salah.
Ingat, jangan keliru menerapkan prasangka baik.
Namun hal itu hanya bisa dilakukan bila direksi
punya kekuatan politis, punya posisi tawar, dan juga
kekuatan melobi anggota DPRD. Artinya, selayaknyalah dewan direksi memiliki kecerdasan daya atau
pengaruh, baik di kalangan dewan maupun pemda.
Dia atau mereka mungkin saja figur publik yang
jujur, adil, pakar, dan kaya harta. Cerdas-daya ini
akan membantu menaikkan posisi politisnya di mata
pelanggan. Bagaimana tidak, dia atau mereka adalah
orang-orang mapan secara lahir dan batin.
141
Kecuali itu, direksi jangan condong dan terlalu
berpatokan pada daftar hadir, absensi atau presensi.
Boleh jadi pada jenis pekerjaan tertentu kehadiran di
kantor bukanlah yang utama melainkan kinerjanya.
Ada kasus, pejabat ngantor dari pagi sampai sore
bahkan malam hari tapi kinerjanya nol besar. Hadir
tanpa mutu dan menghambur-hamburkan barang dan
uang perusahaan berupa air, telefon, listrik, dan alatalat tulis kantor. Tunjangan jabatannya pun mubazir.
Malah ada gejala pejabat yang begitu itu lagi bermasalah: entah di rumahnya, entah di tempat tinggalnya
(lingkungan). Mustahil bagi akal orang seperti itu
dapat memajukan perusahaan.
Itu sebabnya saya yakin bahwa kehadiran pada
job tertentu tidak bisa langsung dijadikan tolokukur
untuk menguji mutu pegawai. Yang patut dan layak
diuji ialah unjuk kerjanya atau prestasinya apakah
sedikit ataukah banyak manfaatnya bagi perusahaan.
Tidak hadir karena alasan tertentu yang justru dapat
memajukan perusahaan, tentu tidak apa-apa. Ini
lebih baik daripada pegawai yang hadir setiap hari di
kantor tapi tidak bisa unjuk prestasi. Cuma mengisi
absensi lalu luntang-lantung tak tentu arah dan pergi
setelah teng jam pulang.
Tidak berhenti sampai di situ. Manajemen pun
dituntut untuk mampu menghargai kinerja prestatif
stafnya. Responnya harus selalu positif atas aktivitas
pegawainya yang bermutu tinggi. Misalnya, dengan
menghadiahkan uang atau barang, kenaikan pangkat
atau jabatan kepada yang berprestasi; pada saat yang
sama senantiasa bertindak tegas dengan memberikan
142
hukuman setimpal kepada yang salah. Siapa pun dia!
Setimpal artinya tidak lebih dan tidak kurang.
Hal itu, kendati berat, seharusnya dibiasakan.
Minimal dirintis dari sekarang. Sebab, kemauan dan
kemampuan untuk menghukum bawahan belum
mentradisi di PDAM seperti halnya di instansi dan
lembaga pemerintah lainnya. Apalagi kalau sampai
muncul klik dan intrik, suasana kerja bisa luluhlantak berantakan. Tiada sisi kondusif yang memacu
pegawai untuk maju dan menjadi bernas. Malah bisa
meruntuhkan reputasi perusahaan.
Maka, manajemen laksana pisau cukur. Hatihati menggunakannya; jangan salah guna. Misalnya,
ini hanya contoh, Direktur Teknik PDAM wajib
orang yang paham soal teknik air bersih. Jabatan ini
sebaiknya (tidak harus) diemban oleh orang yang
berlatar Teknik Lingkungan. Di situ “kesaktiannya”.
Tapi saya pun setuju pada prinsip “serahkan pekerjaan kepada ahlinya, bukan jurusannya”. Sejujurnya,
jika dibandingkan dengan jurusan lain, alumni TL
tentu lebih banyak mencicipi asam-garam ke-TL-an
daripada orang dari jurusan lain. Ini logis. Kompetensi legal formalnya di situ. Ia mahir di situ.
Jika sisi pandangnya nonformal tentulah semua
orang bisa menjadi pejabat tidak peduli pada latar
belakangnya. Asal mampu, boleh-boleh saja duduk
di jabatan itu. Berpatokan pada pola pikir ini maka
job Direktur Keuangan pun hendaklah diamanahkan
kepada orang yang berlatar studi ekonomi, akuntansi
ataupun yang dekat dengan itu. Begitu pun job yang
lainnya, setali tiga uang. Pokoknya di segmen ilmu
143
masing-masing yang jelas juntrungannya. Selain itu
tentu saja harus berinsting kepemimpinan, berkemampuan manajerial, dan berjejak-moral (track
record) yang bersih.
Selanjutnya, manajemen diamanahi kewajiban
agar mampu meninggikan posisi tawar PDAM atas
pemerintah dan jangan mau disetir alias menjadi
boneka binaan pejabat daerah meskipun hirarkinya
berada di bawah pemda. Tapi jangan diterjemahkan
bahwa manajemen harus menyempal dari pemda.
Tidak demikian. Bagaimanapun, PDAM itu milik
pemda. Dan “rajanya” adalah bupati atau walikota.
Maksud saya begini, manajemen hendaklah mampu
mandiri dalam berpendapat dan bertindak dan juga
profesional berasaskan sainstek yang ada.
Andaikata iklim ini sudah terbentuk maka kasus
MKKN atau upaya eksploitasi PDAM oleh “tikustikus kantor dan gudang” dapat direduksi sehingga
kinerjanya meningkat ke titik optimum. Terlebih lagi
ada UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang
ikut memacu pemda untuk giat meningkatkan PADnya lewat instrumen pajak dan retribusi. Maka,
jangan sampai PDAM diperah habis-habisan agar
misi pasal 33 UUD 1945 tidak tersendat-sendat atau
bahkan kandas atas nama PAD.
Itulah sebabnya, mulai saat ini dan seterusnya,
reparasi manajemen dan pegawai mutlak mendesak
dilakukan karena menyangkut sumber daya insani
berkualitas tinggi. Kita tahu, sosok pemimpin yang
mengedepankan profesionalisme, bukan nepotisme
apalagi sekadar senioritas pasti menjadi dambaan
144
pegawai. Bahkan kalau bermutu tinggi, pegawai tak
lagi peduli dari mana asal “induknya”, apakah sosok
pemda karir, sosok perusahaan ataukah “orang luar”
sekalipun. “Orang luar” ini boleh jadi eksekutif yang
berpengalaman dan sukses memimpin perusahaan.
Lebih disukai adalah orang yang sukses memimpin
perusahaan sejenis atau pernah berkecimpung dalam
perusahaan air minum.
Bisa kita rasakan betapa hal utama bagi pegawai
adalah bahwa tataran manajemen diisi oleh insaninsan berkompeten, bermoral mulia, dan motivator
ulung. Oleh karena itulah, hendaknya elite di pemda
(bupati-walikota) maupun di perusahaan bisa lapang
dada dan egaliter dalam penetapan direksi PDAM
yang dilandaskan pada tingkat pemahaman terhadap
perairbersihan. Jangan asal tunjuk apalagi bernuansa
otoriter egosentris. Sebab, dan ini patut dimaklumi,
PDAM itu perusahaan air minum, bukan perusahaan
listrik, telefon, ataupun kereta api.
Pun sudah disebut bahwa PDAM merupakan
perusahaan daerah yang dikelola pemda. Jadi, semua
bupati-walikota memiliki hak “prerogatif” dalam
menyusun direksi dan jajarannya. Pun sudah rahasia
umum bahwa dewan direksinya sekian lama ini
adalah sosok pemda karir yang dekat dengan Sang
Boss sehingga ada tirani keangkuhan di sini. Ini yang
transparan. Apabila tidak semuanya, sebagian besar
direksinya berasal dari pemda atau teman dekat
bupati-walikota atau yang satu aliran dengan bupatiwalikota, ataupun orang yang dekat dengan partai
politik tertentu. Bagi saya, ini tak lain daripada
145
nepotisme birokratis yang mengikis habis semangat
bersaing secara sehat dan prestatif.
Makanya saya salut dan hormat kepada PDAM
Kota Surabaya. Pemkotnya saya acungi dua jempol
karena berupaya merekrut direksi PDAM itu lewat
iklan di media massa, seperti di Kompas, 6/10/03.
Semoga terobosan yang anggun ini dibarengi oleh
prosesnya yang jujur dan adil lewat uji patut-layak,
fit and proper test. Mudah-mudahan saja fenomena
penjaringan dan penyaringan model ini bergetuktular, menular ke semua daerah agar semua nakoda
PDAM betul-betul insan profesional terbaik yang
bermoral mulia, best of the best, sehingga mampu
menyulap PDAM menjadi perusahaan yang segar
bugar bergairah.
Namun saya pernah prihatin. Justru di kota
tempat kelahiran pionir pakar Teknik Lingkungan di
Indonesia, yaitu Bandung, ada kasus mengenaskan.
Pada April 2004 terjadi ketegangan antara Walikota
Bandung dengan Direktur Utama (Dirut) PDAM
Kota Bandung. Pasalnya, Walikota mengganti Dirut
PDAM setahun sebelum masa jabatannya usai. Dan
ini dianggap cacat hukum oleh Dirut lama. Adapun
Dirut baru sudah langsung bertugas dan bersikukuh
bahwa dirinyalah Dirut yang sah. Masing-masing
menganggap dirinya sebagai Dirut. Jadilah dualisme:
satu tubuh dengan dua kepala. Krisis pun terjadilah.
Pegawai khawatir gajinya tak lancar dan pelanggan
waswas servisnya tersendat-sendat.
Apa sebenarnya yang salah? Bagi saya, ini cuma
soal komunikasi. Soal silaturahmi. Saya menduga ini
146
terjadi karena tak ada komunikasi antarpihak terkait.
Terlampau condong pada hak dan juga kewenangan
masing-masing. Padahal institusi ini adalah bagian
dari sistem pemerintahan baik daerah maupun pusat.
Jadi harus terkoordinasi. Sistem saraf dan otot tubuh
saja terkoordinasi dengan baik. Kalau tidak, tubuh
ini bisa kacau. Bisa pincang, cacat, tremor, atau gila.
Begitu juga di sistem pemerintahan atau ketatanegaraan. Simpel saja masalahnya. Walikota harus
mengevaluasi kinerja bawahannya secara transparan.
Meskipun punya hak untuk mengganti bawahannya,
hendaklah dilakukan dengan bijak terbuka. Ada
parameter ujinya. Parameter uji inilah komunikasi.
Ada hak tanya dan hak jawab. Misalnya, nilailah
kinerjanya seperti berapa labanya, kondisi servisnya
apakah meluas dan pelanggannya puas, serta bebas
MKKN. Objektif, jujur dan adil. Jadi, jangan alasan
politis yang dikedepankan. Bisa terjadi like-dislike
dan sektarian atau grup-grupan. Ini yang saya sebut
dengan egosentris di atas.
Lantaran itulah perlu ada terobosan baru. Perlu
ada reformasi formula dewan direksi di pelbagai
PDAM. Salah satunya adalah dengan cara rekrutmen
terbuka dan transparan. Saya optimis ini dapat kita
laksakan di masa datang. Tentu harus didukung oleh
DPRD. Bagaimanapun, DPRD ikut mewarnai dan
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan yang akur, aman, dan efektif. Seandainya ini
terlaksana maka masyarakat khususnya pelanggan
akan semakin yakin bahwa PDAM adalah institusi
profesional berorientasi kerakyatan yang dikendali147
kan oleh figur-figur yang familiar dan mengakrabi
teknologi air, selalu mengedepankan etika bersaing
profesional tanpa main uang (money politics).
Dengan kata lain, selain tahu soal pemasaran
atau marketing juga memahami rekayasa di bidang
pengolahan air, integritasnya teruji, bebas MKKN,
dan bebas busuk moral, moral hazard. Andaikata
tidak demikian maka potensi friksi atau gesekannya
akan membesar. Terutama antara pegawai perusahaan dan pegawai yang dikaryakan dari pemda atau
bahkan dari pihak luar. Ketegangan ini lantas terus
memperburuk kinerja perusahaan.
Kemudian, dalam pandangan kasat mata saya,
dan maaf kalau keliru, pada saat ini kendati jumlah
karyawan perusahaan lebih besar daripada limpahan
pegawai pemda tetapi banyak yang hanya berada di
manajemen menengah-bawah. Tidak di tataran top
management. Fakta bicara bahwa yang “di atas” itu
mayoritas kalangan PNS dari pemkot atau pemkab
yang sangat boleh jadi “asam-garam” yang mereka
makan sejauh ini bukanlah “asam-garam” perihal
perairminuman melainkan dari dinas, biro ataupun
badan lain yang tak ada sangkut-pautnya dengan air.
Padahal pegawai perusahaan itu, ini cuma opini
saya tanpa titipan dari siapapun dan sedikit pun tiada
maksud negatif, banyak yang profesional dan layak
menjadi pembuat keputusan utama karena, minimal,
didukung oleh ilmu, wawasan, dan pengalamannya
yang tidak hanya berkutat jadi birokrat administratif
di instansi pemda selama belasan tahun tetapi juga
menyelami seluk-beluk “sumsum tulang” PDAM.
148
Dengan demikian, coba dipertegas lagi syaratsyarat dan aturan promosi pegawai agar mereka tahu
akan ke mana langkah-langkah masa depannya di
PDAM. Akan ke mana tapak jejak hidupnya nanti di
PDAM. Karirnya harus jelas dan terang-benderang
seterang mentari siang. Ada sistem promosi yang
mapan-objektif agar budaya perusahaan yang baik
dan benar bisa terwujud.
Selain profesionalisme, kepemimpinan, manajemen, dan transparansi jenjang karir, yang juga kerap
jadi masalah ialah perihal gaji dan honor. Sebagai
masalah sensitif, gaji dan honor memang seharusnya
ditangani dengan hati-hati. Pada galibnya bisa kita
katakan bahwa kebanyakan pegawai yang bekerja di
mana saja selalu dilatarbelakangi oleh pendapatan,
gaji atau honor. Berkaitan dengan ini perlu benar
ditransparankan apakah sumber gaji antara pekerja
perusahaan dan pegawai pemkot/pemkab itu sama
ataukah beda. Adakah yang dapat dobel? Benarkah
orang berpangkat atau berjabatan sama bisa berbeda
penghasilannya walau gajinya sama?
Yang juga mendesak adalah kerja sama dengan
instansi atau PDAM lain terutama soal pengelolaan
air baku yang makin runyam saja saat ini lantaran
terjadi klaim-mengklaim antar-PDAM, antarpemda,
atau antarwarga. Vital sekali pengelolaan sumber
daya air ini bagi PDAM. Tanpa air baku, PDAM
mau menjual apa? Tanpa air berarti tanpa PDAM.
Lebih-lebih lagi pada masa otonomi daerah sekarang
ini, kebutuhan saling tolong jelas-jelas makin besar.
149
Yang penting, hal ini hendaklah dikembangkan
dalam tatanan bisnis yang tetap setia mengacu ke
pasal sosioekologi, pasal 33 UUD 1945: bahwa air
adalah 100% milik rakyat dan digunakan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat. Ada dimensi
spiritualnya: air adalah titipan Yang Mahaesa untuk
manusia lalu dikelola oleh negara buat rakyatnya.
Makanya tak menutup kemungkinan air di satu
daerah bisa dimanfaatkan oleh warga Indonesia di
lain daerah dengan syarat-syarat dan kalkulasi bisnis
yang tidak memberatkan. Ini erat kaitannya dengan
pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang turut
memengaruhi kualitas dan kuantitas sumber air baku
PDAM. Kerja sama ini begitu mendesak di daerah
yang sumber airnya di luar daerah kabupaten atau
kota yang bersangkutan. Aturan mainnya pun mesti
disepakati dulu, yakni berorientasi pada kepemilikan
bersama. Kalaupun perlu ditarif maka tetap harus
semurah-murahnya lantaran air mewakili eksistensi
bangsa; tanpa air lenyaplah bangsa. Maka, buatlah
aturan main yang sama-sama untung tanpa ada satu
orang atau lembaga atau perusahaan yang buntung!
Akhirnya, manajemen yang akur bermoral dapat
terwujud apabila antarpegawai saling berempati, dan
antarpegawai dan pejabat tidak saling menyalahkan.
Yang salah apalagi tahu bahwa itu adalah benarbenar kesalahannya hendaklah jantan pula mengakui
kesalahannya itu dan siap sedia menerima risikonya.
Mau bertanggung jawab. Tentu saja tanggung jawab
pejabat lebih besar daripada stafnya. Apalagi kalau
kesalahan stafnya itu cuma lantaran melaksanakan
150
tugas atas perintah atasannya. Jenderallah yang salah
dan bukan prajurit, begitu tutur ahli hikmah.
Dengan demikian janganlah pegawai cuma cuek
bebek, menjadi yesman, si pemanut-turut. Pegawai
harus punya kreativitas yang inovatif agar produktif
sehingga mandiri. Kalau ada pegawai yang begini
maka manajemen harus mendukungnya bukannya
malah mengebirinya. Apalagi cuma dijadikan flora
bonsai, dipelihara, dirawat dengan baik tetapi tak
diizinkan menjadi besar dan tangguh. Seharusnya
sebaliknya, manajemen menugasi pegawai untuk
menimba ilmu agar keterkaitan antara dunia teori
dan praktik semakin kuat. Ada keterkaitan dan
kesepadanan, ada Link & Match. Pegawai senantiasa
disuguhi sainstek baru di bidang masing-masing.
Kemudian, dalam tempo-tempo tertentu manajemen bisa mengadakan kegiatan adu-ide, curah-ide,
buka gagasan, brainstorming, baik di kantor maupun
di luar (outbound, outbond). Segala ide di benak
pegawai dikeluarkan demi kemajuan perusahaan dan
kepuasan pelanggan. Dalam diskusi itu akan terjadi
debat untuk mencari yang benar dan bukan yang
terbanyak suaranya. Suara terbanyak belum tentu
benar. Bisa-bisa malah terjadi salah massal. Salah
kaprah. Makanya cobalah diupayakan agar jangan
terjadi pemungutan suara. Dan setiap pegawai wajib
mengusung semangat demi kemajuan PDAM, demi
peningkatan kualitas layanannya.
Jadi, manajemen akur bermoral ini harus dianut
oleh insan PDAM, tidak hanya manajemennya tapi
juga stafnya. Idealnya, ketika ada pemilihan direksi
151
dan jajarannya maka sebaiknya bupati atau walikota
sudah bertanya secara diam-diam dulu atau dengan
mekanisme lainnya seperti memasang iklan di media
massa untuk memilah dan memilih insan yang pas
mengisi jabatan itu. Dan yang jauh lebih penting lagi
ialah bupati dan walikota haruslah orang yang jujur,
adil, dan berilmu. Bukan orang berbusuk moral.
Di sinilah arti penting dari seorang bupati atau
walikota yang tinggi taraf kecerdasan otaknya, stabil
emosinya, dan mantap kecerdasan daya-spiritualnya.
Hal ini akan mampu meniadakan kepentingan politis
sesaatnya seperti demi jabatan dan partainya semata.
Sebab, kalau ini benar terjadi maka PDAM cuma
akan dijadikan ladang uang oleh pejabatnya, kepala
daerah dan jajarannya serta oleh anggota DPRD.
Relakah kita, pelanggan PDAM dan rakyat Indonesia pada umumnya, menyaksikan orang-orang tadi
mengamburadulkan PDAM dan memikulkan beban
itu kepada kita?

152
Manajemen 5S
Sebagai penuntas bab ini, berikut saya tuliskan
hal yang berkaitan dengan pegawai atau staf dan
manajemen dalam mengelola perusahaan agar bisa
berkembang dan sukses. Mudah-mudahan prinsip ini
dapat membangun manajemen yang akur bermoral
seperti yang saya paparkan di atas. Semoga prinsip
ini dapat berlaku umum, tidak hanya buat PDAM
tetapi juga untuk perusahaan yang lain. Saya yakin
prinsip dasarnya sama. Bisa berlaku universal.
Prinsip tersebut saya sebut manajemen 5S dan
disingkat M5S. Lima prinsip ini pun bisa divisualkan
dengan piramid. Empat S pertama tak lain daripada
pilar-pilar piramid dan S terakhir mengisi puncak
piramid. Di bawah ini adalah uraiannya.
Pertama, suka. Siapapun, baik itu staf maupun
pejabat atau manajemen dan direksi hendaklah suka
pada tempat kerjanya. Kalau sudah suka maka akan
tumbuh rasa cinta dan sayang sehingga senantiasa
ingin merawatnya supaya sehat dan tumbuh optimal.
Rasa suka ini tentu terpulang lagi kepada motivasi
orang per orang dalam bekerja atau niat awalnya.
Bisa dibayangkan orang yang tidak suka bekerja
di suatu perusahaan tentu tak punya motivasi untuk
memajukan perusahaan. Tiada terbersit di hatinya
rasa memiliki. Alih-alih memajukan perusahaan tapi
merusaklah yang dilakukannya. Setidak-tidaknya dia
menjadi pengacau, trouble maker. Pegawai jenis ini,
kalau tidak bisa dinasihati dalam kurun tertentu,
sebaiknya dilepas saja. Dipecat! Ini demi kebaikan
153
yang bersangkutan agar bisa menemukan tempat
kerjanya yang cocok. Juga demi sterilisasi perusahaan dari orang yang tak laik kerja. Ibaratnya, jangan
karena nila setitik rusak susu sebelanga.
Kedua, sikap. Pilar kedua ini terbentuk setelah
rasa suka dan cinta merasuk ke kalbu para pegawai.
Sikap mulia ini membentuk karakternya dan dapat
memunculkan etos kerja brilian. Sikap ialah wujud
kecerdasan emosi yang dikelola dengan baik. Dalam
pada itu, sikap pun ikut mengimbas ke orang lain
sehingga pada akhirnya menghasilkan sinergi yang
menguntungkan perusahaan.
Sikap yang berani karena benar, takut karena
salah harus dijadikan pedoman, baik oleh pegawai
maupun tataran manajemen. Tidak ada yang arogan,
sombong bak kokok ayam jago usai bertarung. Sikap
mau bekerja keras dan ikhlas melaksanakan tugas
sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dapat
memupuk kekompakan dalam bekerja dan meraih
hasil optimal.
Dengan sikapnya itu orang lain bisa menilai dan
meniru agar memiliki spirit memajukan perusahaan.
Akhirnya, insan ini makin yakin akan pilihannya
untuk bekerja di suatu perusahaan, misalnya PDAM.
Sikap tersebut turut membentuk komitmen jiwanya
dalam membangun moral mulia staf dan manajemen
perusahaan. Pilar sikap ini laksana radiasi cahaya
yang menerangi malam temaram dan menuntun kita
menuju tujuan.
Ketiga, sambung. Pilar ketiga piramid M5S ini
mengajak setiap insan perusahaan untuk senantiasa
154
meluaskan jejaring (networking) lewat silaturahmi,
komunikasi intensif antarpegawai-pejabat dan antarkorporasi. Memperbanyak kerja sama dan saling
bantu, baik di unitnya, antarbagian maupun antarunit
pelaksana terkecil. Membangun kebersamaan sambil
bersama-sama mengelola perusahaan lewat kompetensi masing-masing.
Juga rela menularkan ilmunya demi kemajuan
bersama lewat serikat pekerja-pejabat. Dan idealnya,
kedua kubu ini bisa akur dan saling dukung. Ada
sambung rasa, teposeliro, dan toleransi. Artinya, staf
menghormati pejabat dengan menunaikan setiap
tugasnya dengan sebaik-baiknya dan pejabat sayang
pada stafnya dengan selalu berupaya agar gaji dan
jumlah honorariumnya layak, dibayar tepat waktu
atau sebelum keringatnya kering.
Dengan prinsip sambung ini insan perusahaan
diharapkan mampu memintal jejaring koneksitas
dengan perusahaan lain yang sejenis atau kompetitor
dan juga perusahaan lain yang tak sejenis. Dan untuk
memaksimalkan prinsip ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kekuatan ilmu dan teknologi canggih
sehingga hubungan menjadi luas dan perusahaan
kian dikenal. Artinya, sikap mau belajar dan mengajarkan sainstek menjadi misi penting pada prinsip ini
sehingga setiap hal dapat mudah dikomunikasikan.
Orang bilang, tidak telmi, tidak telat mikir.
Keempat, sumbang. Pengorbanan para staf dan
manajemen tidak hanya dituntut secara fisik belaka
tetapi juga secara psikis. Mereka harus mau dan
mampu menyumbangkan daya dan karya terbaiknya
155
buat perusahaan. Menjadi motor motivator bagi para
pegawai dan pejabat lainnya. Tentu masing-masing
menyumbang sesuai dengan kemampuannya dalam
hal ilmu, uang, kecakapan atau profesionalismenya.
Di pihak lain, pilar sumbang ini pun menjaga
harga diri setiap pegawai agar jangan menjadi orang
yang meminta terus. Minta ini minta itu sembari
tugas atau kewajibannya belum dituntaskan secara
baik dan benar. Dalam prinsip tersebut, lebih dulu
menyumbangkan atau memberikan suatu kebaikan
adalah lebih mulia daripada minta disumbangi terus.
Tangan di atas lebih mulia ketimbang di bawah.
Ada ungkapan, jangan kautanya apa yang dapat
diberikan perusahaan untukmu tapi tanyailah dirimu
apa yang kauberikan buat perusahaan. Maka, kalau
pegawai sudah ikhlas menyumbangkan ilmu, tenaga,
waktu, pikiran, dan potensi lainnya, perusahaan pun
wajib menyumbangkan sesuatu yang kaya manfaat
bagi pegawainya, apapun ujudnya. Setimbang. Tidak
boleh berat sebelah. Ada take and give yang adil.
Jangan sampai pegawai dan pejabatnya menzalimi perusahaan dan perusahaan jangan memperdayai pegawai. Pegawai wajib bekerja yang prestatif
sebaliknya perusahaan wajib memberikan gaji dan
honor yang setimpal. Jangan ditunda-tunda apalagi
dikurangi/disunat. Saat terjadi pemutusan hubungan
kerja pun pesangonnya wajib sesuai dengan aturan
Depnaker. Kalau tidak, itu artinya perusahaan telah
“merampok” pegawainya. Jadi, harus seia sekata.
Singkron. Inilah spiritual bisnis.
156
Akhirnya, setelah keempat pilar tersebut tertata
dengan baik dan mencetak budaya perusahaan maka
saya yakin titik puncak piramid itu, yaitu S yang
kelima: sukses segera tercapai. Tidak seorang pun
memungkiri bahwa sukseslah cita-cita pamungkas
setiap orang, setiap perusahaan. Tentu saja sukses
yang berkaitan dengan kontribusi pegawai dan perusahaan ini berdimensi jasad dan jiwa. Lahir dan
batin, sebuah sampel sukses yang paripurna.
Bagi perusahaan, sukses ialah kemampuannya
untuk senantiasa eksis, tumbuh, dan memuaskan
pegawainya dalam kadar yang layak. Sukses ialah
kemampuan manajemen untuk memompa semangat
pegawainya agar terus berprestasi. Begitu pun sukses
ialah daya, kekuatan atau kemampuan pegawai
untuk berkinerja tertinggi yang mungkin dicapainya.
Maka, sukses adalah wujud optimalisasi kecerdasan
otak, emosi, spiritual, dan kekuatan (daya). Interaksi
positif atau sinergis inilah yang membawa seseorang
menuju jenjang kesuksesan hakiki.
Pembaca, mudah-mudahan prinsip M5S di atas
bisa memotivasi pegawai, manajemen, dan pemilik
perusahaan/pemerintah agar rajin memperbarui niat,
memperbaiki sikap, meningkatkan kerja sama dan
mutu kerjanya, dan memperbesar kekuatannya.
Terakhir, saya kutipkan mutiara hikmah ini.
Bekerjalah, jangan kaupikirkan berapa uang
yang kaudapat. Bayarlah upahnya, sebelum kering
keringat pegawaimu dan jangan bertindak zalim!! *
157
Air dan Manusia
Kendati asalnya dari air
Manusia diatur air?
Jangan pernah terjadi.
Tapi nyatanya?
Air mubazir saat banjir
dan pontang-panting saat kering
Air, hendaklah ditata
Manajemen sumber daya air
Dan paling penting
hendaklah ditata
nafsu serakah kita
akan air.
Air milik siapa?
Air milik si papa
Air milik si kaya
Ditata oleh negara
buat kita
semua
158
12
AMIK Versus AMIKU

“Perang” karena air...
“Tirthayudha”...
Water wars...
(Entahlah, apakah fenomena Kevin Kostner dan
teman-temannya yang hidup terapung-apung di laut,
bisa benar-benar terjadi nanti. Saya tak tahu. Yang
saya tahu, ketika kehilangan rumah, tanah, dan air,
mereka hidup di kapal. Mirip kisah Nabi Nuh.
Waktu itu, Bumi telah tenggelam lantaran es di
kutub mencair akibat pemanasan global. Cuma air
laut yang ada sehingga si “Dances With Wolves” ini
sampai-sampai mendaur ulang air kencingnya untuk
diminum. Jijik? Tak ada itu. Kan sudah diproses.
Bersama rekan-rekannya, aktor Hollywood ini
kerap bertarung dengan kelompok lain untuk mendapatkan sejengkal tanah dan air tawar. Sebagai
sebuah skenario, film produksi 1995 dan sempat
mencatat box office ini, tentu sah-sah saja.
Terjadi atau tidak, itu bukanlah soal.
Yang penting kreatif. Fiktif yang saintifik!)
209
Di Indonesia, sekarang ini, bagaimana?
Serupa tapi tak sama.
Kita benar-benar telah mengalaminya. Meletus
sudah perang itu. Tak hanya antara masyarakat dan
PDAM dalam memperebutkan sumber-sumber air,
atau antara satu daerah dan daerah lainnya akibat
otonomi daerah (otda), atau antarpetani, tapi juga
antara produsen air siap-minum. Ini mirip dengan
perang global yang tak hanya melibatkan negara tapi
juga lembaga setingkat kabupaten.
Luas benar “perang” itu. Sekalipun demikian,
yudha lainnya tak dibahas di sini. Yang saya kupas
ialah yudha air siap-minum. Air siap-minum ini saya
pilah menjadi dua kelompok. Yang pertama, air
minum kemasan (diakronimkan menjadi amik; dulu
orang menyebutnya air mineral, lalu berubah jadi air
minum dalam kemasan) yang sudah lama hadir.
Kedua, sang pemain baru yang vini, vidi, vici dan
dinamai air minum kemasan ulang (amiku; lebih
populer disebut air minum isi ulang )
Khusus air siap-minum, tetabuhan genderang
perangnya kuat sekali tahun 2003. Pasalnya, pada
tahun itulah pemain anyar ini begitu ekspansif di
mana-mana. Dalam hitungan setahun saja jumlahnya
mencapai ribuan depot. Ada yang bilang delapan
ribuan dalam skala nasional. Dalam skala regional,
terbanyak beroperasi di Jadebotabek, yaitu Jakarta,
Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi. Berapa angka
pastinya, sampai sekarang sulit didata sebab banyak
yang tak terdaftar. Yang saya lihat, baik depot yang
terdaftar maupun yang tidak (belum) terdaftar biasa210
nya ada namanya walaupun produknya sendiri tak
bermerek. Nirmerek.
Sedangkan amik mulai pesat berkembang kirakira pada dekade 1980-an. Waktu itu nilai gengsinya
tinggi. Saya duga tidak ada yang membeli amik saat
itu kecuali terbersit di benaknya jaga gengsi. Coba
lihat minumanku; air mahal dan aku orang modern.
Inilah bersitan hati penikmat amik pada masa itu. Itu
dulu. Sekarang bagaimana?
Setahu saya, sekarang pun masih banyak yang
tak habis pikir kenapa air “putih” saja dijual mahal.
Padahal air di rumahnya, katanya, berlimpah-ruah
dan terbuang percuma. Apalagi yang dari mata air,
selama 24 jam terus-menerus deras mengalir ke
sungai di dekat rumah, ujarnya lagi. Pendapat seperti
ini mungkin saja masih membekas di hati masyarakat sampai kini.
Tetapi, ya begitulah. Pendapat tinggal pendapat
sementara bisnis terus bergulir. Sekarang saja, pada
dasawarsa pertama abad ke-21 ini, peredaran amik
semakin luas karena pabriknya kian banyak. Malah
disinyalir sudah mencapai ratusan merek di tanah air
ini. Satu perusahaan amik bahkan ada yang memiliki
instalasi pembotolan di mana-mana. Umumnya di
daerah yang kaya mata air dan dekat pegunungan.
Gunung. Satu kata inilah kekhasannya. Amik-amik
itu senantiasa mengklaim sumber airnya dari mata
air pegunungan kemudian diolah dengan teknologi
canggih dan higienis. Semuanya unjuk produk. Jadi,
sesama amik pun ketat bersaing merebut konsumen.
Minimal merebut citra atau imejnya (image).
211
Untuk sekadar tahu perseteruannya itu kita bisa
saksikan di media massa seperti televisi dan koran.
Kita dapat meniliknya dari pelbagai berita dan dari
iklannya. Misalnya, iklan yang ditayangkan di TV.
Dalam iklan dimaksud terlihat Aspadin (Asosiasi
Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia)
begitu gencar mematri imej pemirsa lewat iklannya.
Iklan yang berkisah tentang anak yang sakit perut itu
memunculkan kalimat yang secara tegas mengajak
konsumen untuk minum amik dan bukan sembarang
diisi ulang agar tidak sakit perut. Lantas, di bagian
akhir tayangannya dan dilengkapi dengan narasi atau
cerita muncullah label Aspadin. Bisa kita simpulkan
bahwa iklan itu dibuat dan ditayangkan atas biaya
perusahaan amik yang tergabung dalam Aspadin.
Selain itu juga ada perusahaan amik yang rutin
menayangkan produknya dengan visualisasi kesegaran air pegunungan, multitahap prosesnya atau caracara lain yang mengusung kelebihan produknya.
Ujud iklannya bermacam-macam dan kreatif. Secara
tersirat kerapkali menyentil kompetitornya, amiku.
Tentu anggarannya tak sedikit. Dari simakan saya,
belanja iklannya mencapai milyaran rupiah setahun.
Bukan main. Pasti mereka sudah mereka-reka, kirakira berapa rupiah keuntungannya. Sebab, potensi
pasarnya sungguh tak tanggung-tanggung. Triliunan
rupiah. Peluang pun terbuka lebar. Ada yang mau
bisnis di sektor amik ini?
Namun, sebelum Anda terjun di kancah itu ada
yang ingin saya sampaikan. Apa yang saya tulis tadi
memang fakta. Tak hanya iklannya yang jor-joran
212
menyedot uang, tapi investasinya pun, seperti pembangunan instalasinya, betul-betul tak kepalang
tanggung. Milyaran rupiah: meliputi biaya pekerjaan
sipil, mekanikal-elektrikal, instrumentasi, alat dan
glassware laboratorium plus zat kimianya termasuk
izinnya yang berbelit bak kucing mengejar ekornya.
Anda pasti akan kucing-kucingan mengurusinya.
Tetapi jangan kecil hati dulu. Kalau Anda dan
rekan-rekan benar-benar ingin tarung (fight) dalam
sektor ini, ya coba saja. Hanya harus diingat bahwa
sekarang ini semua perusahaan amik yang bermodal
raksasa itu, mau tak mau, harus siap-tarung dengan
depot amiku yang hadir di setiap pemukiman dan
dekat perkantoran. Dari data yang saya peroleh dan
analisis sepak terjang pebisnis dan manajemennya,
tampak pabrik amik agak “gerah”, seperti kebakaran
jenggot. Diakui atau tidak, amiku adalah pesaing
barunya yang gigih menyusup di sela-sela konsumen
setianya. Dan jumlah pelanggannya yang beralih ke
amiku bisa dikatakan cukup signifikan.
Nah, dalam pada itu, Asosiasi Pengusaha Depot
Air (Aspada), tentu tak tinggal diam menyaksikan
tingkah polah pelaku bisnis amik. Kendati labelnya
adalah usaha berskala kecil dan cuma ratusan liter
air yang terjual per hari per depotnya, tapi karena
jumlah depotnya jauh melebihi jumlah pabrik amik
maka tirthayudha antara dua jawara air siap minum
ini berlangsung seru. Malah asosiasinya, Aspada,
gencar menjawab tuduhan, klaim, dan tulisan di
koran dan majalah dari orang-orang yang dianggap
menyerang eksistensinya. Departemen Perindustrian
213
dan Perdagangan pun dituding menghambat lantaran
menunda-nunda penerbitan regulasi bisnis amiku.
Termasuk adanya tuduhan bahwa riset para periset
adalah pesanan Aspadin. Bisa diduga, Aspadin tentu
membantahnya. Maka, gugat-menggugat dan ancammengancam pun kerap kita baca dan dengar.
Kira-kira, adakah jalan keluarnya agar kedua
produsen air siap-minum ini bisa saling melengkapi
dan bersama-sama melayani konsumen tanpa harus
merugikan secara ekonomi dan kesehatan? Bisakah
mereka harmonis berbisnis di sektor ini? Yang pasti,
dalam pandangan saya, keduanya adalah “dewa”
penolong masyarakat yang tidak mendapatkan suplai
air PDAM dan air sumurnya tak layak diminum.
Paling tidak, untuk kebutuhan minum bisa diatasi,
tinggal memikirkan air buat yang lain, seperti MCK.
Amik-amiku, keduanya saya sebut sebagai dewa
penolong. Di pihak lain, konsumen pun adalah dewi
penyelamat pabrik dan depot itu. Tanpa konsumen
mana mungkin keduanya mampu hidup-berkembang
seperti sekarang. Realitasnya, dua “makhluk” tadi,
yaitu “dewa”-“dewi” itu semestinyalah berpasangan.
Tetapi, seperti pertanyaan di atas, ada saja timbul
tanda tanya mengapa bisnis amik-amiku bisa laris.
Dua kubu ini memang bersaing tapi tetap saja ada
konsumennya. Lalu, siapa penggagas orisinalnya?
Adakah mantra ajaibnya?
Baiklah.
Kita analisis dulu pionirnya, yaitu perusahaan
amik. Tapi tidak saya katakan apa mereknya. Nanti
jadi iklan dan ada yang protes.
214
Menurut sahibul hikayat, bisnis ini bermula dari
fenomena “air plastik” yang akrab pada anak-anak
SD ketika kehausan dan berebut membeli air minum
dalam plastik yang diikat karet. Air ini tentu bukan
air olahan dari teknologi canggih seperti sekarang. Ia
hanyalah air sumur yang dididihkan agar kumannya
mati, didinginkan dan dibungkus plastik. Sekali lagi,
cuma air sumur yang direbus sampai mendidih lalu
didinginkan, dikemas dalam plastik dan diikat karet.
Hanya itu. Sampai sekarang pun penjual air ini bisa
kita saksikan di kota-kota kecil terutama di sekitar
lapangan bola dan halaman SD.
Tentu ada kisah lain. Kata yang empunya cerita,
bisnis ini berawal dari musafir, yaitu pelancong dan
petualang yang kehabisan air atau tidak membawa
minuman karena malas, berat, tidak praktis ataupun
karena gengsi. Ini terjadi di stasiun, terminal, dan
pusat-pusat keramaian. Mereka sulit mendapatkan
minuman yang tak bersoda, tak beralkohol, dan tak
berasa. Pokoknya, mereka ingin minum air “putih”
yang tak berasa, tak berbau, dan tak berwarna alias
air jernih atau bening yang matang dan segar.
Maka, dibidiklah musafir ini dengan air minum
kemasan plastik, seperti di atas. Ada yang dilengkapi
dengan pipet penyedot agar praktis ketika diminum.
Tak hanya anak-anak pembelinya tapi sopir angkot,
pegawai, buruh, pengamen, penganggur, dan banyak
lagi yang lainnya adalah pelanggan setianya. Untuk
ukuran kantong rakyat kecil, uang berdagang air ini
cukup besar. Laris tiap hari. Kemudian, orang-orang
berinsting tajam mengendus uang di sana. Mulailah
215
mereka memproduksi air minum dalam skala besar
dengan kemasan yang bagus dan bergengsi. Jadilah
mereka menangguk untung sampai sekarang. Dan
sampai hari-hari mendatang!
Sudah barang tentu apa yang saya tulis di atas,
namanya juga kisah, adalah ilustrasi belaka. Anggap
saja cerita logis yang realistis. Dan masih ada 1001
macam cerita serupa itu. Tentang fakta yang benarbenar melatarinya haruslah ditanyakan kepada orang
yang mendirikan pabrik itu. Yaitu, pemiliknya.
Yang pasti, amik praktis bagi konsumen karena
siap-saji, ringan, bergengsi sehingga memudahkan
seseorang yang bepergian antarkota. Mudah dibeli di
terminal, stasiun atau warung pinggir jalan. Habis
diminum, wadahnya langsung dibuang tanpa perlu
membebani tas. Tapi, ada masalahnya. Kemasannya
yang dibuat dari PET (Polyethylene Terephthalate),
zat turunan petroleum yang tak kuasa diurai oleh
bakteri, berserakan di mana-mana, mengambang dan
menyumbat parit, selokan, gorong-gorong, dan anak
sungai. Mampet.
Apalagi sekarang, bidikan pebisnis tidak hanya
musafir tapi juga orang-orang di rumah, kantor, para
undangan upacara atau resepsi pernikahan, khitanan,
ulang tahun, rapat, rumah sakit dan bahkan aktivitas
demontrasi massa. Dalam acara tersebut berdus-dus
amik diminum setiap hari. Kemasannya pun macammacam. Ada yang ukuran 220 ml, 300 ml, 375 ml,
500 ml, 600 ml, 620 ml, dan ada pula 1.500 ml. Juga
ada yang ukuran besar (family size), yaitu 5 gallon (1
gallon = 3,785 l; jadi 5 gallon sekitar 19 l). Setiap
216
kemasan, dan ini uniknya, memiliki segmen pasar
fanatik. Ada yang memilih berdasarkan kenyamanan
dan ada pula karena hitung-hitungan hemat-boros.
Selain bervariasi volumenya, mereknya juga
begitu. Ada satu merek malah diproduksi oleh lebih
dari satu perusahaan. Satu perusahaan ini memiliki
anak-anak perusahaan. Apalagi namanya, macammacam. Ada yang “aneh” dan “lucu-lucu”. Ada yang
mirip-mirip atau meniru merek terdahulu yang sudah
dikenal dengan sedikit modifikasi. Ada juga yang
rada-rada sains. Terlepas dari semua itu, yang pasti
setiap merek dan produsen ingin produknya mudah
dikenal, diingat, dan tentu saja dibeli.
Tujuannya adalah laku. Laris. Dan ini terbukti.
Di Indonesia, menurut Indonesian Bottled Drinking
Water Association, IBDWA produksi amik mencapai
8,4 miliar liter tahun 2002. Taruhlah harganya seribu
rupiah seliter maka total harganya adalah 8,4 triliun
per tahun. Dan angka ini diprediksi terus meningkat
meskipun amiku bertubi-tubi menyerbunya di setiap
kota khususnya di segmen rumah tangga dan kantor.
Saat ini amiku memang hanya mampu bertarung
di segmen rumah tangga dan kantor. Keunggulan
amik yang tidak (belum) bisa dilawan amiku ialah
kemasan produk dalam volume kecil. Sampai saat
ini amiku belum diizinkan terjun di segmen kemasan kecil. Padahal, ceruk inilah yang besar pasarnya.
Ditambah lagi ada pernyataan seorang Kepala Dinas
Kesehatan yang menyatakan bahwa amiku hanya
tahan 24 jam (Metro, 20/8/03). Jadi, harus habis
dalam satu hari satu malam, begitu katanya. Tentu
217
saja parameter yang dimaksud adalah bakteriologi,
bukan kimiawi. Zat kimia, terutama mineralnya, tak
akan berubah walaupun dibiarkan lama.
Pembaca dan penikmat air di mana saja berada.
Ada yang perlu diwaspadai. Demi melihat kelarisannya, tak ayal lagi amik ramai dipalsukan. Penjahat
memproduksi amik aspal, asli tapi palsu. Caranya,
botol bekasnya diisi ulang dengan air yang diolah
secara sederhana dan tampak jernih lalu diberi label
dan segel palsu. Pembotolan ulang seperti itu dengan
tetap mencantumkan merek aslinya ini (logo palsu)
jelas-jelas, menurut undang-undang HaKI (Hak atas
Kekayaan Intelektual) adalah pemalsuan. Ini tindak
pidana berat. Amat berat.
Kecuali produsen, yang sangat dirugikan adalah
konsumen. Malah nyawa konsumen atau minimal
kesehatannya menjadi taruhan. Ini tak sekadar kasus
kriminal murni tapi tergolong kejahatan kemanusiaan. Bayangkan apa yang akan terjadi jika semua
orang meminum amik palsu. Semuanya lalu sakit!
Kantor, pasar, dan jalan menjadi sepi. Rumah sakit,
poliklinik, puskesmas lantas ramai. Dokter panen?
Belum tentu. Bisa jadi dokter pun ikut-ikutan sakit.
Bencana nasional, bukan?
Contoh kasus pemalsuan amik berskala besar
dari berbagai merek pernah terjadi di Bekasi pada
akhir Oktober 2000. Atas kasus ini kita terhenyak
lagi karena merupakan pengulangan kasus serupa.
Itu pun cuma puncak gunung es. Yang tak terungkap
masih banyak lagi. Dan tidak menutup kemungkinan
sekarang pun beredar amik “aspal” ini dari berbagai
218
merek. Tapi sayang seribu sayang, dari dulu hingga
kini konsumen tetap bergeming. Diam saja. Tak mau
menggugat produsen dan juga pemalsunya padahal
undang-undang nomor 8/1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) sudah berlaku efektif sejak 20
April 2000. Inikah bukti kegagalan sosialisasi UUPK
sampai sekarang? Hingar bingar gebyarnya nyaris
tak terdengar. Pesss.....sepi.
Menurut hemat saya, dalam kasus pemalsuan itu
produsen seharusnya bertanggung jawab. Kita tahu,
produsen pasti rugi finansial dan sial secara imej.
Tapi, ini pertanyaan kita, kenapa produknya mudah
dipalsukan? Mengapa tidak menerakan label atau
informasi yang sulit ditiru pada kemasannya? Labellogo ini pun hendaklah dipublikasikan secara terusmenerus agar konsumen tahu mana yang palsu dan
mana yang asli. Upayakanlah label dan angkanya
komunikatif agar tak usah berpikir panjang untuk
memahaminya. Apalagi kalau cetakannya tidak jelas
dan samar-samar, bisa pusing kita dibuatnya.
Lalu di pihak konsumen, bagaimana caranya
agar terhindar dari amik palsu itu? Apalagi untuk air
siap-minum ini kita hanya mampu mengidentifikasi
kualitas fisikanya saja. Itu pun cuma secara visual.
Dan paling-paling hanya warna dan kekeruhan. Lain
dari itu, tidak bisa. Kalau air PDAM yang keruh atau
berwarna, itu lumrah. Ini sering terjadi dan agak bisa
“dimaafkan”. Tidak demikian dengan amik. Ia harus
bening. Kemasannya tak boleh berwarna agar jelas
terlihat kekeruhannya akibat padatan tersuspensi,
219
koloid atau ada penguraian zat organik oleh bakteri.
Urungkanlah membelinya jika berwarna atau keruh.
Berikut ini ada tips sederhana dalam memilih
amik. Ini mudah dilakukan oleh siapa saja. Cobalah
perhatikan kondisinya apakah dingin yang berembun
atau tidak. Penjual sering mendinginkan amik dalam
benaman es bersama minuman “soft drink. Pilihlah
amik yang tidak dibenamkan dalam es alias tidak
didinginkan. Sebab, botol dingin berembun menyulitkan kita untuk melihat langsung airnya, apakah
keruh atau jenih. Apalagi kita sudah tahu bahwa air
jernih belum tentu bersih. Jernih bukanlah jaminan
mutu air minum. Ia cuma salah satu parameternya.
Begitu juga warna botolnya. Sudah disebut tadi,
jangan yang warna-warni. Yang bagus adalah bening
atau tak berwarna agar tidak menipu mata. Air yang
keruh, berlendir, atau kehijauan bisa tampak jernih
apabila botolnya berwarna. Jadi, pilihlah yang tidak
berwarna. Ini lebih aman. Mudah-mudahan.
Sudah itu, bagaimana mencek kualitas kimianya? Yang satu ini memang sulit. Juga mahal kalau
dilakukan secara pribadi atau perseorangan. Apalagi
yang kemasannya kecil dan tidak rutin membelinya
(bukan hotel, kantor atau restoran). Namun, LSM
atau sekelompok konsumen dapat mengujinya ke
sejumlah laboratorium air terakreditasi. Minimal ke
tiga laboratorium berbeda untuk perbandingan dan
dilaksanakan reguler untuk tiap merek dan kemasan.
Perlu biaya, tentu saja. Namun, dengan tindakan ini
diharapkan kualitas amik makin terkendali dan yang
lebih penting lagi, menciutkan nyali pemalsunya.
220
Selain itu, lokasi dan jenis sumber airnya pun
bisa kita lihat. Mesti dicantumkan apakah air permukaan, air tanah dalam atau mata air. Demikian halnya dengan jenis dan konsentrasi mineralnya. Harus
jelas dan benar satuannya. Jangan samar-samar sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ini penting karena mineral berpengaruh pada kondisi
pembuluh darah, ginjal, hati, dan tulang. Data tadi
pun bermanfaat jika ada gugatan karena dapat dicek
dari formasi geologi sumber airnya dan kemungkinan adanya zat berbahaya dan beracun.
Yang tak kalah penting ialah tanggal kadaluwarsanya. Pencantumannya sebaiknya dicetak agar
tak mudah luntur bila digosok. Permanen, agar tak
gampang diutak-atik. Jangan sampai terjadi produk
kadaluwarsa yang kebetulan masih bagus diundur
lagi tanggalnya. Hati-hati. Di sinilah peran penting
Ditjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan) agar
tegas, anti-MKKN dengan produsen. Usahakanlah
hasil evaluasi produk yang diawasinya itu dipublikasikan di media massa agar konsumen terbantu dan
minimal membelajarkannya. Mendidiknya menjadi
orang yang peduli pada kesehatan dirinya.
Terakhir adalah kualitas biologi atau lebih tepat
bakteriologi. Setiap produsen amik dituntut menerakan metode disinfeksinya apakah ozonasi, ultraviolet, klorinasi atau yang lainnya. Amik harus suci
hama, bebas bakteri (steril) sebab langsung diminum
tanpa direbus dulu sehingga syarat kualitas bakteriologinya di atas air olahan PDAM.
221
Namun tentu saja perlu pengawasan ketat. Ini
penting dalam kegiatan ekonomi agar kita nyaman
dan tenang saat beraktivitas. Tidak ada gejolak yang
membuat masyarakat resah gelisah apalagi marah.
Pengawasan harus dilaksanakan di setiap lini proses
produksi, terlebih di instalasi pengolahnya. Malah
wajib disertifikasi. Berikutnya adalah pengawasan di
segmen transportasi, pergudangan, dan penjualan.
Dalam hal sertifikasi, di sejumlah kemasan amik
bisa kita lihat pencantuman frasa certified bottler.
Hak-cantum ini diperoleh setelah diaudit oleh badan
internasional. Begitu katanya. Tentu saja badan ini,
agar adil (fair), wajib diuji juga kompetensinya.
Kini kita sampai pada produsen air siap-minum
yang lain, yakni amiku. Air siap-minum jenis ini
mulai berkembang tahun 2000. Nyaris di setiap jalan
di kota-kota sedang dan besar ada saja depot air ini.
Makanya disebut bak jamur di musim hujan; tibatiba muncul serentak di sisi dan sudut pemukiman.
Banyak sekali. Silakan, iseng-iseng, dicek sendiri di
sekitar tempat tinggal.
Seperti biasanya, kehadiran amiku ini otomatis
mereduksi volume amik yang lebih dulu bermain di
pasar. Ceruk pasarnya mulai terkoreksi sedikit demi
sedikit, khususnya yang kemasan besar atau gallon.
Amiku hingga kini hanya melayani kemasan besar.
Setahu saya belum ada yang menjualnya secara legal
dan terbuka dalam wadah kecil, kecuali amik aspal
yang dibahas tadi. Entahlah pada masa mendatang
apakah amiku juga siap menjual produknya dalam
kemasan kecil. Jika ini terlaksana berarti kualitasnya
222
harus tahan dalam jangka panjang, dalam hitungan
bulan. Kalau bisa malah dalam hitungan tahun.
Dulu, saya tulis lagi, pernah ada polemik ketika
seorang pejabat di Dinas Kesehatan berkata bahwa
air amiku cuma tahan selama 24 jam. Sudut pandang
secara bakteriologi ini merupakan hantaman telak
bagi depot amiku waktu itu. Parameter ini mensyaratkan air siap-minum harus nihil dari bakteri. Dan
ada riset di sepuluh kota bahwa 16% depot amiku
tercemar bakteri E. coli (Swa, Mei 03). Ini dikuatkan
lagi oleh temuan BPPOM yang mengatakan bahwa
ada amiku yang tercemari E. coli dan logam berat
(Metro, 28/5/03).
Itu baru dari sudut pandang bakteriologi. Belum
lagi kualitas kimianya. Seperti halnya amik, kualitas
kimianya pun boleh jadi tak sesuai dengan baku
mutu seperti yang dilaporkan BPPOM di atas, yaitu
ada yang mengandung logam berat. Hulu kasus ini
tak lain daripada unit operasi dan prosesnya. Pada
instalasi pengolahnya.
Sudah diungkap, mutu amik-amiku bergantung
pada unit operasi-prosesnya. Bergantung juga pada
aspek sanitasinya ketika dibotolkan dan pencucian
wadahnya. Pembotolannya harus higienis. Botolnya
harus benar-benar dicuci bersih, tak sekadar diucekucek lalu dibilas. Kalau cuma demikian, ada bahaya
mengintai karena mikrobanya berkembang biak.
Apalagi kalau ada zat organik dalam air. Ini alamat
petaka. Kuman kemudian berbiak dari satu bakteri
menjadi ribuan bakteri dalam tempo singkat.
223
Dengan demikian, depot amiku mau tak mau
harus bersih. Mesti diakui bahwa ada depot amiku
yang tidak bersih lingkungannya dan kurang saniter
dalam pembotolan. Ini kait-mengait dengan pegawai
dan ilmunya. Pegawai selayaknya disiplin, bersih,
tahu cara mengolah air, tahu operasi-rawat instalasi,
tahu fungsi setiap unit instalasi, tahu umur unitnya
dan kapan harus dibersihkan atau diganti. Tentu saja
harus jujur, apalagi dalam melayani konsumen. Jujur
akan menguntungkan pemilik depot.
Terkait dengan pembotolan tersebut ada yang
perlu diketengahkan. Begini. Botol kemasan gallon
pabrik amik, tandas pejabatnya, adalah aset usaha
sehingga tidak boleh diisi ulang oleh depot amiku
kecuali ditukar lagi dengan merek yang sama alias
konsumen membeli amik lagi. Kasus ini membuat
megap-megap pabrik amik lantaran botol-botolnya
berkurang. Karena botolnya tidak boleh digunakan
untuk amiku, maka muncullah botol serupa yang
berwarna-warni dan dijual bebas di pasaran.
Sekarang kita beralih ke sumber air. Pendapat
saya, sumber air yang dapat digunakan untuk amikamiku tidak harus air tanah atau mata air. Tapi hal
ini terpatri kuat di benak kita selama ini. Air sungai,
danau, waduk, estuasi, laut pun bisa dijadikan air
baku. Kasarnya, air limbah pun, seperti saya ungkap
di bab terdahulu, bisa untuk air baku asalkan unit
operasi-prosesnya mampu mengolah pencemar yang
terkandung di dalamnya. Pembedanya tentu saja
biaya investasi dan operasi-rawatnya. Makin buruk
mutu air bakunya, makin mahallah investasinya dan
224
besar pula ongkos operasi-rawatnya. Harganya pun
jadi ikut-ikutan mahal.
Dengan demikian, air PDAM pun bisa dijadikan
air baku buat amik-amiku walaupun sekitar 65% air
PDAM tidak memenuhi syarat kesehatan (Metro,
20/8/03). Dalam hal ini instalasi PDAM dianggap
sebagai pengolahan awal (pretreatment) yang dapat
menyisihkan partikel kasar, zat tersuspensi, koloid,
oksida logam, kimflok (chemiflocc), bioflok, algae,
bakteri, jamur, dll. Setelah itu barulah zat terlarutnya
ditangani oleh instalasi di pabrik/depot amik-amiku.
Unit pengolahnya bisa berupa penukar ion (kation
dan anion), sistem membran, adsorbsi (misal, karbon
aktif), aerasi ataupun presipitasi kimia. Perlu dicatat,
tahap pengolahan awalnya harus berfungsi optimal
agar umur unit di amik-amiku menjadi panjang.
Lantas mengapa selama ini dipilih mata air atau
menurut klaim perusahaan amik-amiku, mata air
pegunungan sebagai sumber airnya? Ongkos adalah
jawabannya. Relatif murah! Air dari mata air tidak
membutuhkan pompa; airnya keluar secara alami.
Hemat bahan bakar dan listrik. Sangat jernih karena
difilter oleh butiran tanah. Juga relatif bebas bakteri.
Jadi, tinggal memperbaiki kualitas kimianya berupa
zat padat terlarut (mineral). Inilah yang menjadikan
biaya produksinya murah sehingga harga jualnya pun
murah tapi tetap dapat laba yang signifikan.
Juga lantaran ada imej bahwa air pegunungan
selalu segar tanpa pencemar. Frasa tanpa pencemar
ini perlu digarisbawahi. Sebab, belum tentu tanpa
pencemar. Mungkin saja air pegunungan itu kaya
225
akan mineral yang justru tidak boleh berlebih dalam
air minum. Ini bergantung pada bebatuan yang
dilewati air tanah. Apalagi kalau unit pengolahnya
tidak lengkap atau tidak mampu mengolahnya. Oleh
sebab itu, kualitas amik-amiku harus dicek secara
reguler oleh badan bersertifikat yang orang-orangnya
kompeten di bidang ini.
Sertifikasi. Inilah kata kuncinya. Terkait dengan
kualitas airnya yang kerap disorot, Aspada pun ingin
produknya memperoleh sertifikat kelayakan sebagai
air siap-minum. Niatnya ini ditanggapi positif oleh
Dinas Kesehatan dan BPPOM. Sebagai konsumen,
kita pun ikut senang. Maka, sampai Desember 2003
sudah 45 depot yang bersertifikat dari 62 depot yang
terdaftar di Aspada. Namun Dinas Kesehatan Kota
Bandung punya catatan lain. Ada 180 depot yang
terdaftar di dinas itu tapi baru 45 yang bersertifikat.
Jumlah sesungguhnya diduga antara 250-300 depot
(Metro, 13/12/03). Dalam keterbatasan kita, mudahmudahan jumlah tersertifikasi itu bertambah terus.
Persoalannya, sertifikasi itu harus benar-benar
valid dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai baku
mutu yang berlaku. Masalah lainnya, lembaga mana
yang layak dan berkompeten merilis sertifikat itu?
Ini harus dibahas secara transparan agar nihil dari
nuansa MKKN. Apalagi kita paham betul akan
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang begitu
mudah terlibat tindak MKKN. (Semua bisa diatur
asalkan tahu sama tahu; ini yang kita dengar).
Inilah fakta tak terbantahkan pada masa reformasi
kebablasan ini.
226
Yang terakhir tapi sangat penting adalah semua
orang yang terlibat dalam bisnis air siap-minum ini
hendaklah tidak demi kepentingan pribadi semata.
Boleh saja ada muatan pribadi tetapi tidak sematamata. Sebab, sejauh yang namanya manusia maka
tidak mungkin kita menihilkan muatan pribadi itu.
Di sela-sela muatan tersebut hendaklah hadir muatan
sosial. Membantu yang tak mampu mengakses air
bersih lantaran kendala ekonomi, alam, dan politik.
Siapa saja yang terlibat dalam bisnis ini? Benar,
mereka adalah pengusaha, penguasa (misal, Dinas
Kesehatan, Ditjen/BPPOM, Dept. Perindustrian dan
Perdagangan, pemkab/pemkot, PDAM), DPR(D),
peneliti, akademisi, supplier, pekerja pabrik/depot,
LSM, dan konsumen. Adakah yang kurang, belum
saya sebut? Silakan ditambah lagi.
Semua lembaga dan orang tersebut di atas wajib
berpijak pada kebenaran. Yang benar katakan benar,
yang salah katakan salah. Jangan melacurkan ilmu
dan teknologi untuk sekadar dapat uang, puluhan
juta maupun milyaran rupiah. Sebab, setiap pelacur
ilmu dan teknologi (iltek) sangat mungkin mengadu
domba masyarakat dari anasir dan grup yang berseberangan dan beda kepentingan.
Apalagi menjual harta kekayaan bangsa/negara
milik bersama itu (milik si fulan yang gelandangan,
juga menjadi milik si fulanah yang istri ponggawa
negara), hanya untuk menggembungkan pundi-pundi
pribadinya. Benar-benar bejat nian moral pelakunya
bila demikian, bukan?! *
227
Siklus air
Air baku
bergolak di PDAM
mengetuk pintu
rumah pelanggan
Desiran, tetesan, limpasan,
bilasan, dan ricikan air limbah
mendobrak selokan, saluran,
dan sungai
menjadi air baku lagi
tapi sayang,
ia ditemani oleh
berbagai-bagai pencemar
Sang Pembunuh-sunyi
228
13
BASMI WABAH PEMULA

Air, kita butuh.
Ada air, pasti sehat!?
Belum tentu...!
Tifus, disentri, muntaber terus mengintai.
Anak-anak kena, orang dewasa pun kena.
Namun...,
tak ada air pasti sekarat.
Kita mafhum akan hal ini. Tak semua air aman
bagi tubuh kita. Ada yang jernih tetapi kaya bakteri
dan tercemar. Yang kita butuhkan adalah air bersih.
Jernih belum tentu bersih! Bersih artinya bebas dari
mikroba patogen, tanpa zat berbahaya-beracun serta
berisi mineral. Tubuh ini butuh mineral dalam kadar
tertentu. Sebaliknya, air kotor adalah air yang tak
layak diminum, mengandung mikroba patogen.
Mikroba patogen itulah yang bisa menimbulkan
wabah. Tak cuma anak-anak yang kena tetapi orang
dewasa pun dalam ancamannya. Mereka menyerang
kita, selain lewat makanan juga lewat minuman atau
air yang tidak higienis. Kalangan petugas kesehatan
229
dan sanitasi biasa menyebutnya penyakit menular
lewat air (disingkat: pemula). Dalam buku-buku teks
berbahasa Inggris disebut waterborne diseases.
Nah, ini dia. Pemula inilah salah satu indikator
kualitas sanitasi. Ia bisa menyebar melalui feses atau
tinja. Artinya, wabah klasik ini terjadi bila sanitasi
masih buruk. Misalnya, krisis air bersih dan krisis
hidup sehat akibat membuang hajat (tinja) ke sungai,
selokan, kolam. Apalagi kalau di kebun, tegal, atau
halaman belakang rumah. Di desa-desa kita, saya tak
ingin menyebutkan namanya, sudah biasa dilakukan.
Selain itu, juga lantaran buruknya sanitasi makananminuman kita, di desa maupun kota, tanpa kecuali!
Berhubungan dengan wabah tersebut, ada kisah
begini. Penduduk kota San Paulo (300.000 orang,
bukan Sao Paulo) heboh. Air ledeng yang sumber air
bakunya dari Danau Chavez telah tercemar. Ribuan
orang jatuh sakit dan ratusan meninggal. Gejalanya,
setiap penderita merasa haus yang teramat sangat
setelah minum air olahan “PDAM” tersebut. Besarkecil, tua-muda, laki-perempuan semuanya kena dan
sama gejalanya. Mereka akhirnya tidak berani lagi
minum air itu. Jangankan diminum, untuk kumurkumur dan menyikat gigi saja tidak berani.
Kebetulan tak ada lagi “PDAM” lain di kota itu.
Instalasinya pun cuma satu. Dan sumber airnya dari
danau itu saja. Maka bisa diduga, krisis air minum
meledaklah di kota kabupaten itu. Bala bantuan pun
dikerahkan dari berbagai daerah. Ribuan liter air
bersih per hari dikirim dari kota-kota terdekat. Tapi,
seperti biasa kita lihat dalam antrian sembako di
230
negara kita, orang-orang lantas berebut. Buas. Tak
mau berbagi lagi. Terlalu mementingkan diri sendiri
dan keluarganya. Tentara dan polisi terpaksa turun
tangan untuk mengamankan penjatahan air itu. Pilu
hati menyaksikannya. Betul-betul ngeri, menyayat
hati. Adapun amik yang relatif aman, melambung
setinggi langit harganya. Ada yang 100 dollar per 12
ons (mahal sekali saat itu). Cuma kalangan kaya dan
pejabat yang mampu membelinya. Dan ini segelintir
saja jumlahnya.
Tak hanya dokter dan aparat keamanan yang
sibuk. Praktisi dan pakar sanitasi pun bekerja keras.
Berbagai upaya dicoba. Mereka mereka-reka dan
menduga zat kimia adalah penyebabnya. Awalnya
yang dicurigai ialah PAC (polyaluminum chloride).
PAC ini digunakan untuk mencegah karat, sebagai
pengganti alum sulfat (tawas) yang telah digunakan
selama 50 tahun di sana. Lalu diganti lagi dengan
tawas tapi hasilnya sama. Maka disimpulkan bahwa
wabah itu bukan karena PAC tapi sesuatu yang lain.
Apa sesuatu itu? Setelah banyak jatuh korban,
akhirnya diketahui juga biang keroknya. Bukan zat
kimia, dan bukan pula akibat sabotase. Dia adalah
Cryptosporidium-C. Mikroba dari grup protozoa ini
mampu membentuk spora di usus halus manusia lalu
menghalangi penyerapan air oleh usus. Makanya si
penderita haus terus. Dan hebatnya, mikroba ini tak
mempan diklorinasi (dibasmi dengan senyawa kimia
berupa gas klor atau klorin); malah tahan dalam air
mendidih lebih dari sepuluh menit. Kuat sekali.
231
Singkat cerita, setelah berkali-kali dicoba dan
dianalisis di laboratorium barulah diketahui bahwa
ozon mampu membasmi parasit itu. Sang pahlawan,
yakni seorang sarjana Teknik Lingkungan yang juga
operator di instalasi tersebut, lantas menggunakan
ozon untuk membasminya. Tapi proses pemakaian
ozon ini ternyata tidak mudah. Menegangkan. Salahsalah tangkinya bisa meledak. Tegangannya tinggi.
Namun akhirnya, mereka berhasil melakukan
proses ozonasi pada air baku. Si mikroba terbasmi.
Aman lagilah air danau itu dan siap dimanfaatkan.
Penduduk pun lega. Hidup seperti sedia kala.
Dan..., demikianlah sepenggal kisah dalam film
“THIRST” (haus, dahaga) produksi tahun 1998. Film
ini pernah ditayangkan pada 24 Maret 2002 di Trans
TV untuk menyambut Hari Air Sedunia (22 Maret).
Film ini memberi kita gambaran betapa luas dampak
wabah pemula dan riskan bagi eksistensi penduduk
kota. Memang di film tersebut-namanya juga filmsetting-nya bahagia, happy ending. Tapi bukan tidak
mungkin hal serupa itu bisa terjadi dalam kehidupan
kita sehari-hari suatu saat kelak.
Yang saya tulis di atas adalah penggalan kisah
Cryptosporidium dalam film. Tapi berikut ini saya
bercerita tentang kisah nyata. Begini. Diare rupanya
menjadi momok bagi pemerintah Amerika Serikat
(AS). Makanya, Badan Pangan dan Obat (FDA) AS
berupaya keras mendapatkan obat untuk melawan
Cryptosporidium parvum dan Giardia lamblia, dua
protozoa yang membuat pusing pemerintah Paman
Sam. Keduanya sering terdapat dalam air minum dan
232
menyebabkan diare berkepanjangan pada anak-anak
dan orang dewasa selama berminggu-minggu. Dalam
setahun di negara itu terjadi 375 juta kasus diare; 73
juta di antaranya pergi ke dokter dan 1,8 juta dirawat
inap; yang meninggal 3.100 orang. Dan biaya
totalnya tak kurang dari 20 milyar dollar AS (Media
Indonesia, 5/12/02).
Wabah seperti itu, meskipun tidak seseram film
tadi, pernah terjadi di mana-mana. Lebih-lebih lagi
di negara berkembang seperti negara-negara di Asia
Tenggara (termasuk Indonesia), di Amerika Latin,
Afrika, Asia Selatan (Sri Langka, Bangladesh, dan
India). Di negara maju pun saat ini terjadi kasus
serupa walau persentasenya lebih kecil ketimbang di
negara berkembang. Tetapi dulu, pada waktu negara
itu masih berkembang, mereka juga direpotkan oleh
wabah pemula. Ini saya tulis pada paragraf berikut.
Riwayat wabah
Kalau dirunut jauh ke belakang, sudah ribuan
tahun umur konsep sanitasi yang kini kita kenal. Ia
bukanlah barang baru. Malah dalam arti yang paling
sederhana bisa kita katakan bahwa konsep ini setua
kehadiran manusia di Bumi. Sebab, manusia yang
selalu makan dan minum pastilah perlu buang hajat
(besar dan kecil) setiap hari. Maka, ia perlu fasilitas
dalam bentuk yang paling simpel sekalipun. Kecuali
tempat, ia tentu butuh air, kayu, daun, dan lain-lain
dalam peturasannya itu.
233
Hal tadi diperkuat oleh fakta di situs arkeologi.
Banyak temuan di sejumlah situs di Asia, Mesir, dan
Timur Tengah yang menjadi saksi bisu tingkat ilmu
penyehatan (sanitary) manusia kala itu. Perpipaan
air bersih, riul, sewerage atau koleksi air limbah dan
cubluk dalam ujud awalnya (prototipe) sudah ada.
Tinggalan dan bekas-bekas sejarahnya membentang
dari Sungai Nil di Mesir, Tigris dan Eufrat di Irak
hingga Sungai Kuning di Cina. Luas nian sebaran
budaya saniter itu.
Contohnya adalah kebudayaan Minoan di Kreta,
4.000 tahun lalu. Masyarakatnya telah menggunakan
pipa lempung (tanah liat) untuk air bersih dan air
limbah. Toilet sederhana milik pribadi pun ada. Di
Roma juga sama. Kekaisaran ini punya sistem suplai
air bersih dan drainase di pusat kotanya. Saluran air
(aquiduct) sepanjang 50 km, Nimes Aquiduct namanya, dibangun untuk fasilitas kota. Ada pula saluran
untuk campuran air hujan dan air cubluk (latrines)
mirip saluran air limbah tercampur zaman sekarang
yang mengalir ke luar kota. Yang mengagumkan,
mereka sudah punya IPAL domestik. Mereka telah
menerapkan prinsip konservasi lingkungan.
Tapi sayang, biarpun seabrek tinggalan sejarahnya ternyata sulit kita temukan literatur ataupun
manuskrip yang mencantumkan wabah apa saja yang
terjadi pada masa itu dan berapa jumlah korbannya.
Nyaris tiada datanya. Yang bisa kita lakukan cuma
menafsirkannya bahwa saat itu kerap terjadi wabah
pemula sehingga dibuatlah sarana sanitasi tersebut.
234
Kini, mari kita lompati waktu menuju abad ke19, ke suatu tempat, tepatnya di sebuah sumur tua di
bilangan Broad Street, Gold Square, London, Inggris
atau United Kingdom. Kita perlu menengok sumur
ini karena dialah “penebar” wabah pemula di sana
pada waktu itu. Korbannya tak kurang dari 10.000
orang atau menjadi sekitar 20.000 orang bila wabah
akibat polusi di Thames, sungai sepanjang 338 km
dari Costwolds sampai North Sea, turut disertakan.
Sebuah angka fantastis dari 1,25 juta orang warga
London pada masa itu.
Mason menulis, polusi di sungai itu telah terjadi
sejak abad ke-13 dan makin parah pada abad ke-18
setelah dipasangi riul tahun 1843. Riul inilah yang
melikuidasi 200 ribuan jamban warganya. Hanya
sayangnya, kata Mason, air limbah riul itu langsung
dialirkan ke Thames tanpa pengolahan terlebih dulu.
Padahal sebelumnya isi jamban-jamban itu dikuras
secara periodik lalu dibuang ke ladang untuk pupuk.
Maka, meledaklah wabah “hitam” pada 1849-1854
dan, untuk mengenangnya, dijadikan pilar klasik
sejarah wabah pemula.
Adalah John Snow, dokter kerajaan Inggris saat
itu, yang membuktikan bahwa ada korelasi positif
antara wabah dengan air sumur yang tercemari rembesan air limbah domestik (sewage). Pasalnya, yang
sakit bukan cuma warga di dekat sumur melainkan
juga yang tinggal di luar kota dan pernah minum air
sumur itu ketika lewat di sana. Dengan hipotesisnya
itu Snow lalu mencabut tangkai pompa sumur agar
airnya tak bisa diminum lagi. Dan terbukti. Sejarah
235
kemudian mencatat, wabah itu reda. Perlu dicatat,
fakta itu terjadi sebelum konsep penyakit menular
lewat air berbasis mikrobiologi dari Louis Pasteur,
seorang ilmuwan Prancis, ditemukan pada akhir
abad ke-19.
Dalam putaran waktu terbukti bahwa wabah itu
tidak hanya terjadi di Inggris tapi juga di negaranegara lain, bahkan di benua lain selama kurun satu
abad berselang. Sekitar tiga puluh tahun pascawabah
di London itu, di Tokyo Jepang juga terjadi kolera.
Penderitanya 162.637 orang (105.786 orang tewas).
Ini terjadi tahun 1879. Kemudian, tahun 1886 wabah
ini menyerang 155.923 orang (108.405 orang tewas).
Padahal pada era Meiji itu, kota Tokyo (Edo) mulai
peduli pada sanitasi.
Malah di Amerika Latin pada tahun 1991 wabah
kolera kembali beraksi. Awalnya adalah penemuan
Vibrio cholerae, bakteri kolera di pantai Peru pada
Januari 1991 yang akhirnya meluas ke segala arah di
Amerika Latin. Korbannya dari 1991 sampai 1995
mencapai 1,34 juta orang; 11.300 orang di antaranya
meninggal (sekitar 1% dari kasusnya). Di Afrika dan
negara miskin lainnya seperti Bangladesh dan India
sama saja. Untunglah wabah di atas sudah tidak ada
lagi (mudah-mudahan demikian) di Indonesia, meski
wabah lainnya, secara sporadis kerap juga muncul.
Contohnya, muntaber yang menyerbu pemulung
di kawasan kumuh di Pulo Gadung, Jakarta Timur
(Kompas, 1/8/01). Muntaber ini termasuk salah satu
penyakit perut, intestinal, atau gastroenteritis yang
ditransmisikan lewat feses. Mikroba patogen dalam
236
feses antara lain virus, bakteri, protozoa, dan cacing.
Rute penularannya disebut rute amul (anus-mulut),
yakni dari feses penderita kemudian masuk ke mulut
lalu ke perut orang lain yang sehat. Rute ini bisa
langsung dari orang sakit ke orang sehat melalui jari
tangan atau tak langsung lewat makanan atau air.
Adapun kolera dan tifus punya siklus panjang,
long cycle. Seorang penderita dapat menyebarkan
kuman patogen melalui tinja atau muntahannya yang
dibuang ke sungai, selokan, kolam, riul, atau muka
tanah. Air hujanlah yang menyebarkan kuman itu ke
segala penjuru. Semakin banyak penderitanya kian
banyaklah sumber siklusnya sehingga penderitanya
cepat bertambah. Eksplosif! Feses penderitanya pun
bahkan masih mengandung kuman kolera sekitar 1-2
minggu pascasembuh. Maka, dia pun kini menjadi
pembawa (carrier) penyakit.
Sebenarnya kasus pemula tak mengenal musim
kemarau dan musim hujan. Walau demikian, kasus
muntaber sering terjadi pada musim kemarau karena
sumber-sumber airnya mengalami reduksi debit dan
buruk kualitasnya. Termasuk di sini adalah air tanah
dangkal seperti sumur gali. Bahkan di Jakarta nyaris
90% air tanahnya sudah tercemari bakteri dan zat
kimia di samping masalah intrusi air laut yang telah
menyusup ke Monas. Di kota lain tak jauh berbeda.
Maka..., riwayat wabah tersebut akan ajek ada;
tak terduga-duga. Ia bertandang ke rumah ketika kita
tak peduli pada sanitasi. Dengan tiba-tiba saja dia
“merobek-robek” perut kita, perut anak-anak kita,
perut saudara kita, kemudian mengisap cairan tubuh
237
kita, lalu lunglailah kita, dan... sekarat dalam tempo
singkat. Sakaratul maut menjemput.
Tapi saya yakin, kita tak mau mati konyol hanya
lantaran si jasad renik yang bercokol di perut ini.
Masa sih, kita mau kalah terus dari serbuan si
superkecil ini. Menyerah? Jangan sekali-kali!
Oleh sebab itu, upayakan pembasmiannya.
Salah satu caranya.....
Disinfeksi.
238
Cara disinfeksi
Inilah tahap akhir...
ujung dari pengolahan air.
Terjadi di reservoir...
Disinfeksi, ini nama prosesnya, ditujukan untuk
membasmi (destruksi) mikroba patogen yang ada di
dalam air. Caranya ada empat: (1) fisika, dengan
mendidihkan air 100oC selama 10-15 menit (nyatanya, air tidak selalu mendidih pada 100oC. Apabila
tekanan udaranya tidak satu atmosfer, maka titik
didihnya di bawah 100oC), pembekuan (freezing),
dan ultrasound; (2) mekanis, terjadi di unit pengolah
air minum, misalnya di filter pasir lambat dan cepat
(slow & rapid sand filter), ultrafiltrasi, dan osmosis
balik; (3) radiasi, menggunakan sinar UV, X, dan
gamma (); (4) kimia, memakai fenol, ozon, klor
(gas atau padat, misal kaporit: kalsium hipoklorit),
klor dioksida (ClO2), kalium permanganat, atau
hidrogen peroksida.
Lalu, ada persyaratan zat untuk disinfeksi atau
disinfektan atau biosida. Persyaratannya: (1) toksik
bagi mikroba pada konsentrasi yang tidak berbahaya
bagi manusia-hewan; (2) cepat bereaksi membunuh
bakteri dengan waktu kontak yang singkat; (3) tahan
lama agar mampu menanggulangi rekontaminasi di
zone distribusi; (4) ekonomis (murah) dan mudah
diperoleh; (5) mudah dianalisis di laboratorium; dan
(6) mudah menentukan dosisnya.
Selain syarat tersebut juga ada sejumlah faktor
yang memengaruhi efektivitas disinfeksi: (1) waktu
239
kontak; makin lama waktu kontaknya makin banyak
bakteri yang terbunuh; (2) temperatur air; makin
tinggi temperaturnya makin cepat reaksi disinfektan
dengan enzim dalam bakteri sehingga mempercepat
kematiannya; (3) jenis dan konsentrasi atau dosis
disinfektan; kemampuan setiap disinfektan berbedabeda dalam membunuh bakteri dan keefektivannya
meningkat pada dosis tinggi; (4) jumlah mikroba;
makin banyak jumlah mikrobanya makin lama pula
waktu yang dibutuhkan untuk membasminya; (5)
jenis organisme; ada yang mudah dibasmi, ada yang
sulit karena berspora; (6) keadaan air; pembasmian
di air jernih lebih mudah daripada di air keruh.
Secara garis besar beberapa cara itu saya kupas
berikut ini. Adapun cara pemanasan yang biasa kita
lakukan di rumah, tidak saya bahas di sini. Ini sudah
lumrah kita laksanakan setiap hari. Sedangkan cara
pendinginan, misalnya dimasukkan ke kulkas atau
ditimbuni es, pun biasa kita lakukan pada makanan
untuk mencegah perkembangbiakan bakteri.
Disinfeksi: klor
Sejarahnya, paling tidak menurut catatan yang
saya peroleh, senyawa klor pertama kali digunakan
sebagai disinfektan, biasa disebut proses klorinasi,
dalam penyediaan air minum di Jersey City, New
Jersey, Amerika Serikat tahun 1908 oleh George
Johnson dan John Leal. Makanya sejarah disinfeksi
identik dengan sejarah klorinasi. Di Indonesia, kalau
orang menyebut disinfeksi air PDAM berarti 99,9%
240
adalah klorinasi, baik ujudnya gas klor maupun yang
padat, kaporit. Senyawa ini, menurut sebuah bukuajar, ditemukan oleh ahli kimia yang juga apoteker
asal Swedia bernama Scheele (1742-1786).
Dalam sistem periodik (tabel semua unsur atau
zat kimia berikut sifat-sifatnya), unsur klor termasuk
golongan halogen (VIIA) yang memiliki 7 elektron
di kulit terluarnya. Tujuh elektron ini sangat stabil
sehingga cenderung mengoksidasi pada setiap reaksi
kimia (sebagai oksidator kuat) untuk melengkapi
jumlah elektronnya menjadi delapan di kulit terluar
(outer shell). Pada suhu kamar klor berujud gas; klor
yang larut cenderung menguap atau tervolatilisasi ke
udara. Dibandingkan dengan yang terhidrolisa maka
jumlah yang menguap sangat kecil karena prosesnya
begitu cepat, sedetik pada temperatur 20oC dan lebih
lambat lagi (beberapa detik) pada 0oC.
Disinfeksi kimiawi dengan klor dan/atau kaporit
banyak digunakan PDAM untuk membasmi bakteri,
algae dan bau. Setelah diinjeksikan atau dibubuhkan
dalam reservoir, kisaran waktu kontaknya antara 1530 menit. Upayakan tak ada aliran singkat (shortcircuiting) agar disinfeksinya efektif. Misal, dengan
memasang sekat-sekat (baffle) baik secara vertikal
maupun horisontal di sepanjang reservoir. Hendaklah ada sensor untuk mengetahui konsentrasi klor
dalam air. Pada umumnya dosis total klor bervariasi
antara 0,2-40 mg/l (White, dari Droste, 1997).
Keuntungan menggunakan zat ini ialah ada sisa
klor. Sisa yang diharapkan 0,2–0,5 mg/l. Sisa klor
ini dibutuhkan apabila di ruas pipa distribusi terjadi
241
rekontaminasi (air kotor berbakteri masuk ke pipa)
akibat kebocoran. Sisa klor inilah yang diharapkan
membasmi bakteri di air kotor itu. Hanya saja pada
saat yang sama klor pun bereaksi dengan zat organik
dalam air lalu membentuk THM (trihalomethanes)
yang karsinogenik, pencetus kanker. Serentetan data
awal dari percobaan pada binatang menyatakan
bahwa ada korelasi antara klorinasi dan penyakit
jantung (kardiovaskuler). Tentu perlu dievaluasi lagi
apakah benar atau tidak.
Kira-kira apa solusinya? Yang pasti, senyawa
THM tersebut takkan terjadi jika digunakan ozon.
Disinfeksi: ozon.
Ozon (O3) adalah disinfektan yang kuat. Lebih
kuat dibandingkan dengan yang lain. Efektif. Sudah
digunakan di IPAM kota Nice, Prancis tahun 1906
(Droste, 1997). Selain sebagai disinfektan, ozon juga
sebagai pengendali rasa (taste) dan bau. Dan dapat
menghancurkan prekursor limbah halogenasi seperti
THM, haloasetat, dan haloasetonitril yang terbentuk
pada proses klorinasi. Juga lebih destruktif, papar
Manahan, terhadap virus ketimbang klor. Serta kuat
mengoksidasi zat anorganik.
Pendeknya, ozon jauh lebih efektif mengoksidasi ketimbang klor dan permanganat. Terkait dengan
ini, menurut Tate, sudah ada 2.000-an unit IPAM di
Prancis, 50-an di Kanada, 40-an di Amerika Serikat
yang menggunakan ozon (Droste, 1997). Adapun di
242
Indonesia, ozon kebanyakan diterapkan di instalasi
amik. Biasanya digabung dengan sinar UV.
Dalam mengoperasikan IPAM dengan ozon ini
memang diperlukan operator yang skilnya tinggi. Zat
yang dihasilkan pada tegangan 20.000 volt (ozone
generator) tersebut mahal investasinya. Mahal juga
operasi-rawatnya. Sudah itu sistem distribusinya tak
boleh bocor karena ozon tak punya sisa ozon seperti
halnya klor yang memiliki sisa klor. Ini lantaran
dekomposisi ozon menjadi oksigen dalam air begitu
cepat. Kelarutannya di air relatif rendah sehingga
membatasi daya disinfektifnya.
Waktu kontaknya di dalam reservoir biasanya
10-15 menit (Manahan, 1994). Dan waktu paruh
tipikalnya (half-life), menurut Droste, sekitar 20
menit. Seandainya disatukan dengan radiasi UV,
baik dari matahari (surya) maupun lampu, maka
kemampuan ozon dalam menguraikan asam humat
dan zat organik lainnya semakin kuat.
Disinfeksi: surya
Kemampuan sinar surya (matahari) membunuh
bakteri (germicidal) telah dikenal luas. Radiasi surya
adalah semua jenis radiasi matahari yang mencapai
bumi setelah melewati atmosfer. Ini dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu radiasi ion seperti sinar X
dan gamma dan radiasi nonion yang terdiri atas sinar
tak tampak (ultraviolet dan infrared) dan rentang
sinar tampak (warna pelangi, mejikuhibiniu).
243
Radiasi surya dapat digunakan untuk membasmi
mikroba (bakteri) berbahaya yang ada di dalam air.
Proses fotokimia ini memanfaatkan energi foton
yang diabsorbsi bakteri. Rentang panjang gelombang
maksimum yang diabsorb bakteri adalah 260-265
nm (nanometer. 1m = 109 nm). Semua energi foton
yang diabsorbsi (emisi langsung, pantulan ataupun
hamburan) sangat potensial sebagai disinfektan.
Radiasi surya khususnya ultraviolet (UV) dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok dengan rentang
400-100 nm. Ada juga yang mengatakan antara 4004 nm. Rinciannya: UV-A: panjang gelombangnya
320-400 nm; UV-B: 280-320 nm; UV-C: 200-280
nm; dan UV ekstrim atau UV vakum: 100-200 nm
(Acra, 1990). Namun ingin saya sampaikan bahwa
ada sejumlah angka berbeda menyangkut rentang
panjang gelombang itu. Dari beberapa buku dan
makalah yang saya baca, demikianlah adanya.
Sedangkan rentang panjang gelombang yang
punya kemampuan untuk membasmi bakteri ialah
280-200 nm (di atas disebut 260-265 nm). Menurut
Sterrit, radiasi dengan panjang gelombang 250-300
nm-lah yang potensial/mampu membasmi bakteri.
Germisida atau biosidanya tinggi. Walau demikian,
tentu ada kendalanya. Efisiensinya akan turun kalau
airnya keruh atau ada zat yang mengabsorbsinya.
Tetapi sayang, serupa dengan ozon, kita tidak bisa
mendapatkan sisa UV. Konsekuensinya, apabila ada
rekontaminasi di sistem distribusi PDAM berarti air
tersebut mesti didisinfeksi lagi agar tidak berbahaya.
Minimal dididihkan (100oC) selama 10 menit.
244
Lalu bagaimana mekanisme “pembantaian” itu?
Seperti halnya gelombang yang lain, radiasi surya
yang mencapai unit disinfeksi ini pun mengalami
absorbsi, refleksi dan transmisi; ini bergantung pada
panjang gelombang radiasi yang datang, sudut jatuh
radiasinya, indeks biasnya, koefisien absorbsi dan
ketebalan bahan alat/reaktornya. Itulah yang besar
pengaruhnya pada derajat-bantai atas bakteri, selain
variabel lainnya.
Beberapa variabel yang mempengaruhi proses
disinfeksi dengan UV adalah intensitas radiasi surya.
Dan hal ini dipengaruhi oleh letak geografis daerah,
meteorologi, musim dan posisi matahari. Adapun
media transmisi radiasi dipengaruhi oleh bahan dan
dimensinya serta mutu airnya seperti kekeruhan,
temperatur, kadar garam serta jenis dan konsentrasi
mikroba yang akan dibasmi.
Di antara parameter tersebut yang paling tinggi
pengaruhnya adalah intensitas radiasi. Radiasi ini
mampu merusak membran sel bakteri, asam nukleat
(DNA) dari sistem enzimnya dengan panjang gelombang 254 atau 253,7 nm. Hanya saja, masih mungkin
terjadi mekanisme pulih kembali atau fotoreaktivitas
oleh radiasi berpanjang gelombang lebih besar dari
300 nm. Fenomena basmi-pulih ini ternyata begitu
kompleks reaksinya sehingga perlu perhatian serius
pada disinfeksi surya karena dapat menimbulkan
bahaya jika proses pengolahannya tidak sempurna.
Adapun keunggulan primanya adalah dari sisi
kemudahannya dalam memperoleh pancaran energi
surya yang gratis sepanjang tahun khususnya daerah
245
atau negara-negara tropis. Hanya saja, seperti di
negara kita ini, langit sering ditutupi awan terutama
pada musim hujan. Keuntungan lainnya, tidak ada
konsumsi zat kimia sehingga tak perlu bak tampung,
tidak ada transportasi, dan aman; waktu kontaknya
singkat; tiada limbah (by-product) berbahaya, dan
persyaratan energinya rendah.
Pengembangannya yang masih diperlukan ialah
cara menampung radiasinya itu agar dapat berfungsi
pada malam hari atau ketika tidak ada radiasi surya
saat mendung atau hujan. Untuk tindakan preventif
pada saat tidak ada sinar surya maka dapat disiapkan
radiasi UV artifisial dari lampu neon/merkuri. Inilah
yang diterapkan di pabrik amik dan amiku.
Variabel yang memengaruhi disinfeksi dengan
sinar surya ialah (1) intensitas, yaitu: lokasi geografi,
musim, kondisi meteorologi (kelembaban, curah
hujan, kondisi awan), sudut jatuh sinar; (2) lama
pemaparan; (3) media transmisi, terdiri atas: unit
reaktor (bahan dan ketebalan), dimensi saluran dan
air: kekeruhan, temperatur, salinitas, oksigen terlarut
dan nutrien, predator dan disinfektan; (4) jenis atau
macam mikroba: tipe dan strains, konsentrasinya.
Disinfeksi: klor dioksida, ClO2
Biosida yang saya bahas sekarang ini masih ada
sangkut-pautnya dengan rumpun senyawa klor. Tapi
ada bedanya. Di dalam bukunya, Droste menulis
bahwa daya oksidasi senyawa ini 2,5 kali klor. Ini
berarti, lebih efektif dibandingkan dengan gas klor
246
(Cl2) apalagi kaporit [Ca(OCl)2]. Sejarahnya, biasa
digunakan untuk menghilangkan rasa dan bau akibat
fenol. Dan salah satu keunggulannya dibandingkan
dengan klor ialah tidak memproduksi THM yang
mutagenik dan karsinogenik itu; malah mengurangi
timbulan (produksi) zat yang memicu pembentukan
atau prekursor THM.
Efisiensinya pun tidak bervariasi terhadap pH
air sebagaimana gas klor dan kaporit yang jelas-jelas
dipengaruhi oleh pH. Pun mampu mengoksidasi besi
dan mangan dengan baik daripada klor. Juga tidak
bereaksi dengan amoniak/amonium sehingga tidak
ada kebutuhannya berkaitan dengan zat tersebut.
Hanya saja perlu hati-hati karena gas klor dioksida
sangat reaktif-eksplosif jika kena cahaya. Makanya,
gas ini dibuat di tempat injeksinya (di instalasinya
atau onsite) dengan proses reaksi antara gas klor dan
natrium hipoklorit (NaOCl).
Demikianlah...
Kupasan ringkas disinfeksi usai di sini.
Proses yang menjadi bagian penting di dalam
pengolahan air minum ini ternyata banyak opsinya.
Dari alternatif yang beragam itu bisa dipilih satu
yang paling sesuai dengan kondisi air, tujuan serta
biayanya.
Tetapi ingat, apapun cara yang kita pilih selalu
saja ada si kembar, yaitu kelebihan dan kekurangannya. Namun kita bisa memilih yang paling aman
dan relatif murah dibandingkan dengan yang lain.
Oleh karena itu, gabungan beberapa cara kerap
ditempuh. Tapi tidak berarti bisa mereduksi keku247
rangannya secara maksimal. Belum lagi kompleksitas masalahnya yang muncul akibat gabungan itu.
Termasuk dari sisi finansial, pasti mahal biayanya.
Ini otomatis. *
Ternyata, jasad renik mampu meng-KO manusia.
Membungkam keangkuhannya.
248
Air itu:
tirtha nirmala,
tirtha kamandalu,
amrta njiwani (Sansekerta),
maaul hayat (Arab),
nectar-ambrosia (Yunani),
the elixir of life,
the liquid of life (Inggris).
249
14
“WABAH” PETAMULA

Awas!
Racun dalam air.
Tak terlihat, tapi membuat kita sekarat.
Entah sudah berapa kali disinggung di buku ini
bahwa banyak zat kimia yang dapat larut dalam air
termasuk zat berbahaya dan beracun. Tapi untunglah
konsentrasi zat berbahaya itu secara umum dan ratarata tak begitu besar. Namun masalahnya, pada saat
ini ada ribuan atau malah ratusan ribu pencemar
berdatangan dari pertanian, perkebunan, domestik,
komersial, dan industri lalu masuk ke air tanah dan
air permukaan seperti sungai, danau, dan laut.
Jadi, air tidak hanya menyebarkan wabah diare
dan disentri tetapi juga menimbulkan penyakit yang
tak menular namun berbahaya. Penyakit tak menular
lewat air yang disingkat petamula ini asalnya dari zat
kimia yang larut dalam air minum akibat polusi tadi.
Atau, justru berasal dari zat kimia dalam proses
pengolahan air dan dari peralatan instalasi seperti
jenis pipa dan bahan tangki yang digunakan.
250
Di negara yang sanitasinya sudah baik sehingga
wabah pemula nyaris tidak ada lagi, justru penyakit
inilah (petamula) yang potensial; adapun di negara
berkembang termasuk Indonesia, insidensi keduanya
relatif besar sekalipun pemula lebih sering diberitakan secara nasional dan internasional. Barangkali
penyakit akibat minum air yang tak higienis ini tertutupi penyakit lain yang disebabkan oleh mikroba
dalam makanan dan minuman kemasan (kalengan).
Terkait dengan efek kesehatan zat kimia dalam
air, sifatnya bisa dibagi jadi dua kelompok. Yang
pertama, efek akut: segera terlihat dampaknya akibat
minum air yang tercemari zat berbahaya-beracun.
Yang kedua, efek kronis: dampaknya tampak atau
terasa pascakontaminasi jangka panjang. Biasanya
sudah terlambat sehingga sulit dipulihkan.
Dikaitkan dengan PDAM, pelanggan bisa kena
dampaknya kalau terjadi kecelakaan yang disengaja
seperti sabotase atau murni lantaran teledor (human
error). Kasus ini bisa terjadi mulai dari sumber air,
pipa transmisi air baku hingga di instalasi dan sistem
distribusinya. Bayangkan jika ada orang “gila” yang
frustrasi akan hidupnya dan siap menjadi maniak
pembunuh jutaan orang dan siap menghuni neraka
jahanam dengan cara meracuni sumber air PDAM.
Ini betul-betul petaka buruk. Buruk bagi eksistensi
manusia sebab mampu melenyapkan orang sekota.
Tapi mudah-mudahan saja orang begini ini, sebelum
sempat niatnya terlaksana, sudah sekarat duluan.
Sudah kualat dan tamat riwayatnya.
251
Jadi, semua segmen di PDAM riskan dan rentan
dari “serangan” para penjahat, bandit, dan manusia
durjana bermental inferior. Penjahat kemanusiaan.
Besar potensinya menjadi sumber petaka. Makanya
perlu pengamanan khusus (dan ini belum dilakukan)
tidak saja oleh PDAM, pemerintah daerah-pusat, dan
aparat penegak hukum tapi juga oleh masyarakat.
Ayolah bahu-membahu mengamankan sumbersumber air kita, baik dari tindak kriminal maupun
dari penjarah bersafari, berjas, berdasi yang bangga
menamai dirinya investor. Investor serigala berbulu
domba. Kalau tidak demikian, yang rugi tentu rakyat
Indonesia, si empunya tanah air ini.
Selain pelanggan PDAM, perlu juga diwaspadai
oleh warga yang bukan pelanggan. Mereka pun bisa
kena dampaknya terutama yang memakai air sumur.
Kasus peracunan sumur yang pernah merebak pada
akhir dekade 1980-an dan akhirnya diketahui cuma
terjadi satu-dua kasus adalah contohnya. Pengguna
air sungai pun, dan ini masih banyak di pedesaan,
mesti hati-hati. Misalnya, menggunakan batu padas
seperti jembeng di Bali, juga potensial keracunan
terutama dari limbah pertanian (pestisida). Belum
lagi dari peracunan yang disengaja.
Namun biasanya, pada kasus pencemaran dan
aksidensi atau kecelakaan yang serius, air tidak akan
enak rasanya atau baunya tidak sedap sehingga tidak
lantas diminum. Kalau telanjur masuk ke mulut dan
rasanya pahit atau “aneh”, biasanya secara refleks
kita pun menyepahnya. Inilah salah satu mekanisme
pencegahan secara alami.
252
Atau, kalau tertelan juga segeralah telan karbon
aktif, misalnya tablet norit, agar racunnya diserap
(diadsorbsi). Namun masalahnya adalah kalau zat itu
tidak menimbulkan bau dan warna yang mengubah
warna air; atau bisa juga karena konsentrasinya amat
rendah sehingga tanpa curiga kita langsung meminumnya. Timbullah petaka itu. Keracunan!
Oleh karena itu, yang menjadi perhatian utama
dalam air minum adalah zat berbahaya dan beracun
dalam konsentrasi rendah namun menerus. Sedikitdemi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Sebab, kita
baru merasakan dampaknya setelah terpapar lama.
Sesudah teracuni selama bertahun-tahun. Contohnya
ialah zat karsinogenik pencetus kanker dari grup
PAH (polyaromatic hydrocarbon), dari grup THM
(trihalomethanes), dan organochlorine plus organophosphorous. Semuanya harus serendah-rendahnya
dalam air minum. Kalau bisa, hingga nol koma nol
mikrogram per liter.
Kendati demikian, masih ada batas konsentrasi
yang diizinkan, yaitu konsentrasi yang masih mampu
dideteksi oleh detektor yang paling sensitif. Namun
masalahnya, adakah detektor supersensitif itu? Jika
ada, punyakah PDAM alat itu? Kalau punya, sudah
rutinkah dicek? Berapa kali? Berapa dan dari mana
biayanya? Andai sudah dilaksanakan secara berkala,
apakah PDAM mengumumkan hasil ujinya itu ke
pelanggannya? Dan seterusnya dan selanjutnya. Ini
penting. Apalagi masyarakat cuma terpaku pada soal
kejernihan atau kebeningan dan tak peduli atau tak
tahu soal mutu kimianya yang justru lebih bahaya.
253
Pascabahasan tentang potensi pencemaran zatzat kimia, baik yang disengaja maupun tidak sengaja
akibat kegiatan ekonomi masyarakat seperti industri,
pertanian, dan domestik, sekarang ini kita memasuki
bahasan tentang potensi pencemar dalam air minum
yang berasal dari zat kimia dan lumrah digunakan
dalam pengolahan air.
Kita tahu, semua pun tahu.
Air sungai begitu keruh.
Kaya bakteri.
Juga sampah.
Dan limbah lainnya.
Begitu air keruh itu keluar dari instalasi PDAM
menuju tangki atau reservoir airnya, air sungai itu
sudah jernih, bebas bakteri atau jumlahnya masih
dalam batas toleransi. Kondisi demikian terwujud
karena ada zat kimia yang dibubuhkan dalam proses
pengolahannya. Zat yang ditambahkan ke dalam satu
atau lebih unit pengolah, baik untuk penjernihan,
disinfeksi maupun untuk stabilisasi atau pengatur pH
(tingkat keasaman) air ini biasa disebut reagen. Dan
faktanya, setiap reagen selalu mengandung kotoran
(pengotor). Yang terbaik tentu saja yang bebas pengotor. Semurni mungkin dan tidak berbahaya-tidak
pula beracun.
Beberapa zat yang terlibat dalam pengolahan air
dibahas ringkas di bawah ini. Masih banyak lagi zat
kimia lain yang bisa dan biasa digunakan. Apalagi
mereknya, pasti bermacam-macam. Lain pabrik, lain
namanya; tapi kandungan zatnya, bisa saja sama.
254
a. Tawas atau alum sulfat
Aluminum sesungguhnya terkandung dalam air
tanah dan air sungai secara alamiah. Dalam proses
pengolahan air atau lebih tepat adalah penjernihan
air diperlukan koagulan untuk memisahkan zat padat
penyebab kekeruhan seperti koloid dan padatan tersuspensi (suspended solid). Yang biasa digunakan
adalah tawas karena harganya murah dan mudah
diperoleh. Selain itu juga bisa digunakan ferisulfat.
Fungsi senyawa tersebut ialah untuk menghilangkan
kestabilan koloid atau destabilisasi agar koloid bisa
bergabung menjadi besar dan berat, membentuk flok
sehingga mudah mengendap.
Pada proses ini biasanya dilarutkan juga polimer
untuk membantu penggumpalan. Polimer ini mirip
tangan-tangan yang menjalar-jalar kian kemari lalu
merengkuh banyak koloid dan menggabungkannya
dengan yang lain. Dengan proses kimia ini, setelah
melewati unit pengendap atau sedimentasi, air baku
yang keruh sudah lumayan jernih. Tinggal disaring
lagi di filter. Namun demikian, dan ini persoalannya,
air yang dihasilkannya kaya akan aluminum. Apalagi
tawas bisa mengandung krom dan merkuri yang
berasal dari bahan bakunya, bauksit. Keduanya
termasuk zat berbahaya-beracun.
Sumber lainnya adalah alat pemanas air seperti
panci dan teko. Nyaris setiap keluarga memiliki alat
ini. Aluminum dalam air minum bisa tinggi konsentrasinya karena kita menggunakan panci aluminum.
Apalagi kalau airnya asam atau merebus masakan
berasam (pH-nya rendah). Aluminum yang tinggi
255
konsentrasinya dalam air minum dapat menimbulkan problem kesehatan. Telah diketahui ada indikasi
meningkatkan penyakit alzhemir, alzheimer (pikun,
ketuaan).
Karena itulah banyak yang lantas menggantinya
dengan besi sulfat atau garam besi sebagai koagulan.
Secara ekonomis, senyawa ini lebih mahal daripada
tawas. Namun bukan berarti masalahnya kemudian
lenyap seketika. Sebab, besi pun berefek samping.
Walaupun kita perlu zat besi tetapi kalau kelebihan
tentu tidak baik bagi kesehatan. Begini salah, begitu
salah? Terus, bagaimana jalan keluarnya?
Nah, yang perlu dicari adalah cara agar dosisnya
tepat dan airnya jernih agar tidak berbahaya bagi
manusia dan hewan ternak. Inilah kewajiban PDAM
untuk mencarikan dosis optimumnya agar pelanggan
setianya tidak sampai sakit ginjal akibat aluminum
dan harus rutin cuci darah (hemodialisis). Dalam
jangka panjang dapat meningkatkan efisiensi dana
dan tenaga kerja. Produktivitas lantas meningkat.
Minimal membantu pencapaian cita-cita Indonesia
Sehat 2010.
b. Kalsium (dan magnesium)
Air tanah umumnya kaya kalsium dan magnesium. Apalagi yang ada di formasi batu kapur atau
gamping. Keduanya dapat menyebabkan kesadahan
(hardness), yang didefinisikan sebagai keberadaan
kation-kation logam multivalen (valensi 2 atau 3) di
dalam air yang konsentrasinya cukup tinggi.
256
Kesadahan air ada dua macam, yaitu kesadahan
temporer dan kesadahan tetap. Air sadah tidak baik
bagi kesehatan. Apabila konsentrasinya terlalu tinggi
bisa membahayakan ginjal dan hati. Air sadah juga
memboroskan sabun (sodium soap) sebab sabun itu
bereaksi dengan kation multivalen lalu membentuk
endapan (presipitat) sehingga surfaktannya hilang.
Sabun takkan berbusa sampai semua ion penyadahnya habis diendapkan.
Kerugian lainnya, endapan kesadahan ini dapat
melekat di alat-alat plambing seperti wastafel, bidet,
kloset, bathtub, urinal dll sehingga menjadi kusam,
tak sedap dilihat. Warna kain dan porselen pun bisa
memudar. Ini memboroskan uang. Malah pori-pori
kulit kita pun bisa tersumbat sehingga kasar dan tak
nyaman rasanya.
Makanya kesadahan air perlu dikurangi. Yang
biasa dilakukan adalah dengan cara pelunakan atau
softening, selain dengan cara pemanasan untuk jenis
kesadahan temporer. Salah satu prosesnya dikenal
dengan nama kapur-soda, menggunakan kapur dan
soda abu. Bisa juga dengan soda api. Ini tentu saja
untuk mengolah debit yang besar seperti di PDAM
dan tidak ekonomis untuk perorangan.
Pelunakan ini otomatis akan meningkatkan ion
natrium dalam air minum yang juga riskan bagi hati,
ginjal, jantung. Natrium berasal dari material tanah
yang hancur, bersifat reaktif sehingga banyak kita
jumpai dalam air. Garam natrium mudah larut dalam
air. Apabila kadarnya sangat tinggi dapat menyebabkan rasa asin–pahit. Natrium pun bersifat korosif
257
pada permukaan logam dan toksik pada tanaman bila
kadarnya tinggi.
Belum lagi zat pengotor yang ada dalam kapur
seperti stronsium dan barium atau organoklorin yang
berasal dari proses pembuatannya. Bahkan kapur ini
boleh jadi terkontaminasi krom dan seng. Bertambah
lagilah potensi bahayanya.
c. Timbal (timah hitam, plumbum)
Logam berat ini bisa berasal dari pipa, bisa juga
dari tangki air. Pipa-pipa lama PDAM banyak yang
berbahan atau berlapis timbal. Juga bisa berasal dari
PVC, alat makan keramik berglasur, bensin, cat, aki,
baterei, dan kabel. Tentu saja sumber asupan utamanya ialah makanan, antara 100-300 g/liter. Adapun
kadarnya di tanah 5-25 mg/kg tanah; di udara kurang
dari 1 g/m3; di air 1-60 g/liter (Lu, F. C, 1995).
Historisnya, penggunaan pipa berlapis timbal ini
kemudian memunculkan kata atau istilah plumbing
dan plumber. Plumbing (plambing) ialah instalasi
pipa dalam bangunan/gedung. Tapi sekarang maknanya meluas ke setiap instalasi pipa di suatu tempat,
apakah itu di kapal, di pabrik, dll. Yang dialirkannya
pun tidak hanya air tetapi juga minyak, oli, lumpur
(sludge), dan bisa juga gas.
Adapun plumber dalam arti leksikal atau kamus
ialah orang yang profesinya sebagai tukang ledeng.
Namun di Jurusan Teknik Lingkungan istilah itu dikhususkan buat mata kuliah instalasi pipa di dalam
gedung, baik untuk air bersih, air limbah dan pipa
ventilasinya, pemadam kebakaran (sprinkler), dan
258
air hujan (talang dan atapnya). Termasuk alat-alat
semacam pompa, katup, reservoir, alat ukur, lubang
pembersih/clean out, dll.
Kalau air yang dialirkannya lunak, maka timbal
dapat larut sehingga konsentrasinya menjadi tinggi
di pelanggan PDAM. Kita bisa keracunan setelah
terpapar kontinu selama bertahun-tahun atau jangka
waktu lama. Apalagi kalau ada asupan dari sumber
lain tentu makin parah akibatnya. Bisa menginhibisi
atau menahan pembentukan sel darah merah, terjadi
kerusakan ginjal dan sistem saraf.
Terkait dengan itu, Masyarakat Eropa mematok
kadar timbal 50 g/liter. Tapi taraf ini sulit dicapai
karena kebanyakan airnya bersifat pelarut timbal
(plumbosolvent) atau justru pipa-pipanya berbahan
timbal. Cara menghindarinya tak lain dari mengganti
pipanya dengan pipa nontimbal. Atau, pH-nya diatur
agar airnya tidak asam dengan penambahan kapur
dan/atau soda kaustik. Tentu ini menambah ongkos
produksi air olahan PDAM. Namun, kalau demi
kesehatan kenapa harus irit? Sebab, kalau nanti sakit
pasti akan keluar duit juga, kan?
Selain timbal masih ada logam toksik lainnya
yang larut dalam air. Dalam kadar rendah logam ini
berbahaya bagi manusia dan organisme lain. Logam
toksik yang larut dalam air itu ialah arsen, barium,
kadmium, krom, merkuri, dan perak. Logam ini bisa
terkumpul di tubuh organisme yang tertinggi dalam
suatu rantai makanan. Dan, tentu saja, yang menjadi
sumbernya tidak hanya air tapi juga beras, jagung,
gandum, dan sayur-sayuran. Apalagi kalau tanaman
259
tersebut dibudidayakan di tanah yang baru saja kena
letusan gunung api.
d. Nitrat dan nitrit.
Senyawa nitrogen ini muncul alamiah di tanah
sehingga air tanah dan air permukaan menjadi kaya
akan kandungannya. Pertanian yang intensif seperti
pemakaian pupuk nitrogen dapat pula meningkatkan
nitrat dalam air baku PDAM. Begitu juga air limbah
domestik, pasti kaya nitrat.
Senyawa nitrat agak tidak berbahaya bagi orang
dewasa namun sangat berbahaya bagi bayi di bawah
usia 6 bulan. Di bawah usia itu bayi belum punya
flora (bakteri) normal dalam ususnya sehingga tidak
mampu menangani produk nitrit akibat reduksi nitrat
di dalam perutnya. Jika bayi mengonsumsi banyak
nitrat ada kemungkinan darahnya menyerap nitrit
sehingga transportasi oksigennya terganggu. Lantas
muncullah sakit methemoglobinemia atau blue-baby
diseases: tubuh bayi membiru. Methemoglobin atau
MetHb ialah salah satu bentuk hemoglobin yang
besinya dioksidasi menjadi bentuk trivalen dan tidak
bisa mengangkut oksigen. Efeknya fatal!
Kemudian, kalau ada pestisida dalam air maka
nitrit dapat bereaksi membentuk nitrosamines, zat
yang diketahui bersifat karsinogenik dan mutagenik
(menyebabkan mutasi pada makhluk) (Zakrzewski,
1991). Selain itu dampak lainnya adalah hipertensi.
Dalam kasus keracunan kronis bisa mengakibatkan
depresi umum, sakit kepala, dan gangguan mental.
260
e. Fluorida
Zat yang satu ini hadir secara alami di air baku.
Dalam banyak literatur dan iklan pasta gigi, fluorida
diklaim dapat mencegah kerusakan gigi karena ada
efek inhibitornya, khususnya pada anak-anak. Oleh
karena itu, fluorida direkomendasikan hingga 1 mg/l
dalam air minum. Kalau kurang dari 1 mg/l bisa
terjadi karies gigi (dental caries); tapi kalau lebih
dari 1,5 mg/l gigi dan tulang bisa rusak; ini disebut
dental fluorosis. Jadi, zat ini berguna jika kadarnya
pas dan berbahaya kalau kurang atau lebih. Dengan
kata lain, penanganannya harus hati-hati.
Kendati begitu, berikut saya tuliskan hasil riset
yang berhubungan erat dengan fluor. Dalam buku
Kesehatan Lingkungan (Soemirat, 1996) disebutkan
bahwa terjadi kasus penyakit Mongoloid pada bayi
yang ibunya minum air berkadar fluor tinggi. Terjadi
23,6 kasus per 100.000 orang pada ibu-ibu yang
minum air berkadar fluor antara 0,0-0,1 ppm; 71,6
kasus per 100.000 orang pada ibu yang air minumnya mengandung 1,0-2,6 ppm. (Catatan: ppm=part
per million= bagian per sejuta=mg/l).
Kemudian, pada kasus keracunan yang berat
bisa terjadi cacat tulang, lumpuh atau kematian. Ada
juga hasil riset yang mengejutkan, bahwa ada kaitan
antara fluorida dengan kanker tulang (diriset pada
tikus). Lantaran itulah perlu ada tinjauan ulang atas
baku mutu air untuk keperluan minum, khususnya
fluoridasi. Air yang defisiensi (kekurangan) fluorida
biasanya difluoridasi setelah unit filter atau karbon
aktif. Yang umum digunakan ialah natrium fluorida
261
(NaF), natrium silikofluorida (Na2SiF6), dan asam
fluorosilikat (H2SiF6).
Namun pada umumnya konsentrasi fluorida di
air tanah dan air permukaan melebihi syarat di atas.
Konsentrasinya dalam air tanah biasanya lebih tinggi
daripada air permukaan. Di beberapa tempat bahkan
sangat tinggi. Karena saya belum memperoleh data
di negara kita, maka saya hanya menyantumkan data
di mancanegara. Ada data menyebutkan bahwa di
India sampai 19 mg/l. Di Afrika lebih dari 50 mg/l;
dan di Kanada 4,5 mg/l (Droste, 1997). Kadar ini
membahayakan kesehatan manusia jika tidak ada
pengolahan. Makanya harus ada unit defluoridasi.
Misalnya ion exchanger, presipitasi kimia, alumina
aktif (butir zeolit alami), adsorpsi/absorpsi, dll.
Sebenarnya masih banyak zat berbahaya yang
potensial ada dalam air baku dan air olahan PDAM.
Yang dibahas di sini ialah yang langsung berkaitan
dengan pengolahannya, yaitu yang dibubuhkan atau
dilarutkan.
Itu pun sekelumit.
Masih panjang tabelnya. *
262
Air tak hanya
menyebarkan diare dan disentri
tapi juga menimbulkan
penyakit tak menular
namun berbahaya.
Asalnya dari
zat kimia yang larut
dalam air minum akibat polusi.
Atau, justru berasal dari zat kimia
dalam pengolahan air dan dari
peralatan instalasinya.
Penyakit itu dari makanan dan minuman. Makan
dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Makan dan
minumlah yang halal dan toyib (thayyib: bersih, yakni
tidak berbahaya-beracun, higienis, bergizi)
263
Download