Uploaded by Himura Noenz Abrizan

bab 4 neurologi klinik

advertisement
Bab IV. RANGSANG SELAPUT OTAK (IRITASI MENINGEAL)
Bila selaput otak meradang (misalnya pada meningitis) atau di rongga
Subarakhnoid terdapat benda asing (misainya darah, seperi pada perdarahan
subarakhnoid), maka hal ini dapat merangsang selaput otak dan terjadilah iritasi
meningeal atau rangsang selaput otak. Manifestas subjektif dari keadaan ini ialah
keluhan yang dapat berupa sakit kepala. kuduk terasa kaku, fotofobia (takut cahaya,
peka terhadap cahaya) dan hiperakusis (peka terhadap suara). Gejala lain yang
dapat dijumpai ialah sikap tungkai yang cenderung mengambil posisi leksi, dan
opistotonus yaitu kepala dikedikkan ke belakang dan punggung melengkung ke
belakang, sehingga pasicn berada dalam keadaan ekstensi, (opisto = belakang, tonos
= tagangan) karena terangsangnya otot-otot ekstensor kuduk dan punggung.
Opistotonus ini lebih sering kita jumpai pada bayi dan anak yang menderita
meningitis, misalnya meningitis tuberkulosa.
Selain itu, rangsang selaput otak dapat memberikan beberapa gejala, diantaranya
kaku kuduk, tanda Lasegue, Kernig, Brudzinski1 (Brudzinski's neck sign), dan
Brudzinski II (Brudzinski's contratateral leg sign)
Kaku Kuduk (nuchal (neck) rigidity)
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsang selaput
otak. Kita jarang mendiagnosis meningitis tanpa adanya gejala ini.
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan hal berikut : Tangan pemeriksa
ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudian kepala
ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapa dada. Selama penekukan ini
diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan
dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada
kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke
belakang. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami
waktu menekukkan kepala.
Pada pasien yang pingsan (koma) kadang-kcdang kaku kuduk menghilang atau
berkurang.Untuk mengetahui adanya kaku kuduk pada penderita dengan kesadaran
yang merurun, sebaiknya penakukan kepala dilakukan sewaktu pernafasan pasien
dalam keadaan ekspirasi, sebab bila ditakukan dalam keadaan inspirasi, biasanya
(pada keadaan normal) kita juga mendapetkan sedikit tahanan, dan hal ini dapat
mengakibatkan salah tafsir.
Selain dari rangsang selaput otak, kaku kuduk dapat disebabkan oleh miositis otot
kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal.
Pada kaku kuduk oleh rangsang selaput otak, tahanan didapatkan bila kita
menekukkan kepala, sedangkan bila kepala di rotasi, biasanya dapat dilakukan
dengan mudah, dan umumnya tahanan tidak bertambah. Demikian juga gerak
hiperekstensi dapat dilakukan.
Hal ini mungkin tidak demikian pada kelainan lain tersebut di atas Untuk menilai
adanya tahanan saat rotasi kepala, letakkan tangan anda pada dahi pasien kemudian
secara lembut dan perlahan-lahan anda putar kepalanya dari satu sisi ke sisi lainnya,
dan nilai tahanannya. Pada iritasi meningeal pemutaran kepala dapat dilakukan
dengan mudah dan lahanan tidak bertambah. Untuk menilai keadaan ekstensi
kepala, angkat bahu pasien dan lihat apakah kepala dapat dengan mudah jatuh
kebelakang. Pada keadaan iritasi selaput otak, tes rotasi kepala dan hiperekstensi
kepala biasanya tidak terganggu, sedangkan pada kelainan lain (misalnya miositis
otot kuduk, artritis servikalis, tetanus, penyakit Parkinson) biasanya terganggu.
Selain itu, Tanda Kernig positif pada rangsang selaput otak namun tidak demikian
pada kelainan lain tersebut di atas
Tanda Lasegue
Untuk pemeriksaan ini dilakukan hal berikut: Pasien yang sedang berbaring
diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungka diangkat lurus,
dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus
selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal, kita dapat
mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul
rasa sakit dan tahanan sebelum kita mencapai 70 derajat, maka disebut tanda
Lasegue positip. Namun demikian pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil
patokan 60 derajat. Tanda Lasegue positip dijumpai pada kelainan berikut:
rangsang selaput otak, isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral (misalnya hernia
nukleus pulposus lumbalis) (gambar 4.1).
Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, penderita yang sedang berbaring difeksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini
sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda
Kernig positip. Sebagaimana hainya dengan tanda Lasegue, maka tanda Kernig
positif terjadi pada kelainan rangsang selaput otak, dan iritasi akar lumbosakral atau
pleksusnya (misalnya pada HNP-lumbal). Pada meningitis tandanya biasanya
positif bilateral, sedangkan pada HNP-lumbal dapat unilateral (gambar 4.2).
Tanda Brudzinski I (Brudzinski s neck sign)
Untuk memeriksa tanda ini dilakukan hal berikut:Dengan tangan yang
ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala
sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya
ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda
Brudzinski positip, maka tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai.
Sebelumnya perlu diperhatikan apakah tungkainya tidak lumpuh. Sebab jika
lumpun, tentilah tungkai tidak akan difleksikan (gambar 4.3).
Tanda Brudzinski I (Brudzinski's contralatoral leg sign)
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persendian
panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila
tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi, maka disebut tanda Brudzinski II positip.
Sebagaimana halnya dalam memeriksa adanya tanda Brudzinski I, perlu
diperhatikan terlebih dahulu apakah terdapat kelumpuhan pada tungkai (gambar
4.4).
Bab V. SARAF OTAK
Saraf otak ada 12 pasang dan biasanya dinyatakan dengan angly Romawi, I-XII.
Memeriksa saraf otak (I-XI) dapat membantu kita menentukan lokasi dan jenis
penyakit. Tiap saraf otak harus diperiksa dengan teliti. Karena itu perlu dipahami
anatomi dan fungsinya, serta hubungannya dengan struktur lainnya. Lesi dapat
terjadi pada serabut atau bagian perifer (infranudin pada inti (nuklir) atau
hubungannya kesentral (supranuklir). Bila inti rusak hal ini diikuti oleh degenerasi
saraf perifernya. Saraf perifer dapat pula terganggu tersendiri. Inti saraf otak yang
terletak di batang otak letaknya saling berdekatan dengan struktur lain, sehingga
jarang kita jumpai lesi pada satu inti saja tanpa melibatkan bangunan lainnya.
Saraf I dan II berperangai mirip dengan jaringan otak, sedangkan saraf otak lainnya
(III s/d XII) mempunyai bangunan dan fungsi yang mirip dengan saraf spinal, dan
bereaksi mirip dengan saraf spinal terhadap proses penyakit. Saraf otak ada 12
pasang dan biasanya dinyatakan dengan angka Romawi,I-XII.
Nama-nama Saraf Otak
Saraf otak I
Nervus olfaktorius
Saraf otak II
Nervus optikus
Saraf otak III
Nervus okulomotorius
Saraf otak IV
Nervus trokhlearis
Saraf otak V
Nervus trigeminus
Saraf otak VI
Nervus abdusen
Saraf otak VII
Nervus fasialis
Saraf otak VIII
Nervus stato-akustikus atau vestibulo-kokhlearis
Saraf otak IX
Nervus glosoiaringeus
Saraf otak X
Nervus vagus
Saraf otak XI
Nervus aksesorius
Saraf otak XI
Nervus hipoglosus
Fungsi Saraf Otak
Saraf otak
Fungsi
I
Sensorik Khusus (menghidu, membau)
II
Sensorik Khusus (melihat)
III
Somatomotorik, viseromotorik
IV
Somatomotorik
V
Somatomotorik, somatosensorik
VI
Somatomotorik
VII
Somatomorik,
viseromotorik,
viserosensorik,
somatosensorik.
VIII
Sensorik khusus (pendengaran,keseimbangan).
pengecapan
IX
Somatomotorik,
viseromotorik,
viserosensorik,
pengecapan
somatosensorik
X
Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik
XI
Somatomotorik
XII
Somatomotorik
Saraf Otak I (nervus olfaktorius, N.I)
Anatomi dan Faal
Serabut saraf olfaktorius berasal dari neuron bipolar yang terdapat dalam mukosa
hidung. Serabut aferen neuron ini bersinaps di bulbus olfaktorius dan dari sini
keluar serabut yang menghubungkan bulbus olfaktorius dengan korteks. Alat
penangkap rangsang (reseptor) ialah serabut saraf yang terdapat di mukosa hidung.
Nervus olfaktorius merupakan saraf sensorik yang fungsinya hanya satu, yaitu
mencium bau, menghidu (penciuman, pembauan). Kerusakan saraf ini
menyebabkan hilangnya penciuman (anosmia), atau berkurangnya penciuman
(hiposmia).
Penderita
anosmia
kadang-kadang
tidak
menyadari
bahwa
penciumannya terganggu, mereka mengeluh bahwa mereka tidak dapat lagi
menikmati lezatnya (enaknya) makanan. Rasa “Lezat" merupakan kombinasi dari
penciuman dan pengecapan. Pada hewan tingkat rendah yang sistem sensoriknya
kurang sempurna, fungsi penciuman mempunyai nilai yang penting. Pada hewan
ini, bagian korteks yang mengurus soal penciuman merupakan bagian yang besar
pada serebrumnya.
Pada manusia, bagian ini kecil, karena nilai penciuman agak terdorong.
Pengetahuan kita mengenai anatomi dan faal penciuman banyak dibantu oleh
anatomi-perbandingan (comparative anatomy) dan perkembangan filogenese dari
hewan-hewan ini.
Terminologi
Normosmia : kemampuan menghidu normal, tidak terganggu. Hiposmia :
kemampuan
menghidu
menurun,
berkurang.
Hiperosmia:meningkatnya
kemampuan menghidu, dapat dijumpai pada penderita hiperemesis gravidarum atau
pada migren.
Parosmia:tidak dapat mengenali bau-bauan, salah-hidu.
Kakosmia (Kakos (Yunani) = buruk, osmia= baui):mempersepsi adanya bau
busuk, pada hal tidak ada.
Halusinasi penciuman:biasanya berbentuk bau yang tidak sedap, dapat dijumpai
pada serangan epilepsi yang berasal dari girus unsinat pada lobus temporal, dan
sering disertai gerak mengecap-ngecap (epilepsi jenis parsial kompleks).
Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan:Uniuk mendeteksi adanya gangguan menghidu. Selain itu,
untuk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan saraf atau
penyakit hidung lokal.
Kesulitan pemeriksaan: Tes menghidu merupakan tes yang subyektif. Kita
bergantung kepada laporan yang dialami pasien
Cara pemeriksaan:
Periksa lubang hidunya. apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya
ingus, atau polip. Hal ini dapat mengurangi ketajaman penciuman. Zat pengetes
yang digunakan sebaiknya zat yang dikenal sehari-hari, misainya kopi, teh,
tembakau, jeruk.
Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (nervus V) seperti
mentol, amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan
disuruh ia menciumnya. Tiap lubang hidung diperiksa satu per satu dengan jalan
menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan (gambar 5.2).
Gangguan yang melibatkan saraf I Penyakit yang hanya melibatkan nervus I jarang
dijumpai. Biasanya kerusakan saraf ini disebabkan oleh kelainan di sekitarnya.
Bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius dapat terganggu oleh tumor di sekitar,
misalnya meningioma. Tumor di dasar lobus frontal dapat menekan traktus
olfaktorius Tumor di alur olfaktorius atau di pinggir tulang sfenoid, terutama
menigioma, dapat menyebabkan Sindrom Foster Kennedy. Sindrom Foster
Kennedy ditandai oleh:
1. Anosmia ipsilateral, karena tekanan langsung pada bulbus atau traktus
olfaktorius
2. Atrofi optik ipsilateral; disebabkan oleh jejas pada saraf optik ipsilateral.
3. Sembab papil (papiledema) kontralateral, karena peningkatan tekanan
intrakranial akibat tumor (lesi membutuhkan ruang).
Trauma kapitis (kepala) dapat menyebabkan terputusnya serabut olfaktorius dan
menyebabkan anosmia. Di klinik penulis, penyebab anosmia oleh gangguan saraf
olfaktorius yang paling sering dijumpai ialah oleh trauma kapitis, dan kebanyakan
dijumpai pada kecelakaan sepeda motor Saraf ini dapat juga dirusak oleh infeksi,
misalnya meningitis basal. Selain itu disfungsi olfaktoar didapatkan juga pada
sindrom Parkinson, penyakit Alzheimer dan khorea Huntington.
Penyebab gangguan menghidu
Penyebab gangguan menghidu yang sering dijumpai ialah:
1. Penyakit inflamasi akut atau khronis di hidung perokok berat.
2. Trauma kepala. Hal ini mungkin disebabkan oleh robeknya filamen
olfaktorius. Kadang-kadang traumanya enteng saja dan tidak jarang pula
tempat yang terpukul di oksipital.
Penyebab gangguan menghidu yang jarang dijumpai ialah:
1. Tumor intrakranial yang menekan bulbus atau traktus olfaktorius. Lesi
massa pada lobus frontal, misalnya glioma atau abses, dapat memberi
tekanan pada sistem olfaktoar dan mengakibatkan anosmia. Gangguan
menghidu ini dapat sudah dijumpai sebelum gejala gangguan lobus frontal
dijumpai. Karenanya, pada tiap pasien dengan gangguan perubahan
kepribadian atau gejala ringan gangguan lobus frontal, perlu diperiksa
fungsi penciumannya.
2. Inflamasi selaput otak yang kronik (misalnya oleh sifilis).
Saraf Otak II (nervus optikus, N.II)
Ada pujangga yang mangatakan: Matamu ialah jendela hatimu. Menurut pujangga
ini pandangan mata dapat menggambarkan isi hati, apakah sedang marah, murung,
sedih, atau girang; malahan kadang dapa diduga apakah ia dapat dipercaya atau
tidak. Bagi seorang dokter saraf mungkin berlaku ungkapan: Nervus optikus ialah
jendela otak. Dari hasil pemeriksaan sistem visual ini kita dapat menduga letak
penyakit di otak dan kadang-kadeng juga jenis penyakitnya.
Anatomi dan faal
Alat penangkap rangsang cahaya ialah sel batang dan kerucut yang terletak di
retina. Impuls kemudian dihantarkan melalui serabut saraf yang membentuk nervus
optikus. Sebagian dari serabut ini, yaitu serabut yang menghantarkan rangsang yang
datang dari bagian medial retina, menyimpang ke sisi lainnya di khiasma optik. Dari
khiasma, serabut malanjutkan diri dengan membentuk traktus optik ke korpus
genikulatun lateral, dan setelah bersinaps di sini rengsang diteruskan melalui traktus
genikulokalkarina ke korteks optic. Daerah berakhirnya serabut ini dikorteks
disebut korteks striatum (area 17). Inilah pusat persepsi cahaya (gambar 5.3). Di
sekitar daerah ini terdapat daerah yang berfungsi untuk asosiasi rangsang visual,
yaitu area 18 dan 19. Area 18, yang disebut juga parastriatum atau parareseptif,
menerima menginterpretasi Impuls dari area 17. Area 19, yaitu korteks peristriatum
atau perireseptif, mempunyai hubungan dengan area 17 dan 18 dan dengan bagianbagian lain dari korteks. la berfungsi untuk pengenalan dan persepsi visual yang
kompleks, asosiasi visual, revisualisasi, diskriminasi ukuran serta bentuk, orientasi
ruangan serta pengahatan warna.
Serabut yang mengurus refleks-optik pupil setelah melalui khiasma optik dan
traktus optik menyimpang di anterior korpus genikulatum lateral, dan menuju serta
bersinaps di nukleus pretektalis di batang otak (setinggi kolikuli superior). Di sini
ia bersinaps dengan neuron berikutnya yang mengirimkan serabut ke nukleus
Edinger Westphal sisi yang sama dan sisi kontralateral. Dari sini rangsang
kemudian diteruskan melalui nervus okulomotorius (nervus III) ke sfingter pupil.
Serabut yang mengurus refleks somato-visual, yaitu refleks pergerakan bola mata
dan kepala sebagai "jawaban" terhadap rangsang visual, pergi menuju kolikulus
superior dan kemudian meialui fasikul medial longitudinal la pergi ke nukleus
nervus okulomotorlus (yang mengurus inervasi mata) dan melalui traktus
tektospinalis untuk kemudan menginervasi otot-otot skelat. Selain itu kita juga
mengenal traktus kortikotektal internus yang datang dari area 18 dan 19 di korteks
oksipital melalui radiasi optik dan menuju ke kolikulus superior. Traktus ini juga
ikut mengatur refleks dengan jalan berhubungan dengan otot-otot gerak bola mata
dan struktur lainnya.
Keluhan yang berhubungan dengan gangguan nervus optikus
Keluhan yang ada hubungannya dengan gangguan nervus II ialah: ketajaman
penglihatan berkurang, lapangan pandang (kampus penglihatan) berkurang, ada
bercak di dalam lapangan pandang yang tidak dapat dilihat (skotoma). Selain itu,
fotofobi, yaitu mata mudah menjadi silau, takut akan cahaya, dapat dijumpai pada
penderita meningitis.
Pemeriksaan Tujuan pemeriksaan:
a. Mengukur ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah kelainan
pada visus disebabkan oleh kelainan okuler lokał atau oleh kelainan saraf
b. Mempelajari lapangan pandang
c. Memeriksa keadaan papil optik
Cara Pemeriksaan: Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan
nervus II dan pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya
dilakukan pemeriksaan nervus II (ketajaman penglihatan dan lapangan pandang)
secara kasar. Akan tetapi, bila ditemukan kelainan, harus dilakukan pemeriksaan
yang lebih teliti. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik sebagai
pemeriksaan rutin dalam neurologi.
Pemeriksaan Kasar
Ketajaman penglihatan. Secara kasar ketajaman penglihatan (acuity of vision)
diperiksa dengan jalan membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan
pemeriksa. (Dalam hal ini, ketajaman penglihatan pemeriksa tentulah harus
"normal" dan biasanya memang demikian. Kalau tidak, pemeriksa telah
mengoreksinya,
misalnya
dengan
kaca
mata,
atau
telah
mengetahui
kekurangannya). Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam
di dinding, dan diminta menyatakan pukul berapa) dan membaca huruf-huruf yang
ada di buku atau koran. Bila ketajaman mata pasien sama dengan.pemeriksa, maka
hal ini dianggap normal.
Lapangan pandang. Secara kasar pemeriksaan lapangan pandang (“visual field"
kampus penglihatan) dilakukan dengan jalan membandingkan dengan kampus
penglihatan pemeriksa (yang dianggap normal), yaitu dengan metode konfrontasi
dari Donder. Dalam hal ini, penderita disuruh duduk atau berdiri berhadapan
dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 meter lihat gambar 5-5). Jika kita hendak
memeriksa mata kanan, maka mata kiri penderita harus ditutup, misalnya dengan
tangannya atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
Kemudian penderita disuruh melihat terus (memfiksasi matanya) pada mata kiri
pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan penderita. Setelah itu
pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa
dengan penderita. Gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam.
Jika penderita mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu,
dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila
sekiranya ada gangguan kampus pengihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu
melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan
masing-masing mata harus diperiksa.
Pemeriksaan yang teliti
Ketajaman penglihatan. Pemeriksaan ketajaman penglihatan visus (acies visus)
yang diteliti dapat dilakukan dengan menggunakan gambar Snellen.
Gambar snellen ialah huruf-huruf atau gambar-gambar yang disusun makin ke
bawah makin kecil; barisan paling bawah mempunyai huruf-huruf yang paiing kecit
yarg oleh mata normal dapat dibaca dar jarak 6 meter. Penderita disuruh mermbaca
gambar Snellen ini dari jarak 6 meter. kemudian ditentukan sampai barisan mana
dapat dibacanya. Bila la dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka
ketajaman penglihatannya ialah normal (6/6). Jika tidak, maka visusnya tidak
normal, dan hal ini dinyatakan dengan menggunakan pecahan, misalnya 6/20. Ini
berarti bahwa huruf yang seharusnya dapat dibaca dari jarak 20 meter ia hanya
dapat membacanya dari jarak 6 meter.
Bila terdapat gangguan ketajaman penglihatan (penurunan visus) perlu diselidiki
apakah gangguan ketajaman penglihatan ini disebabkan oleh kelainan oftalmologik
(bukan saran). misalnya kelainan kornea, uveitis, katarak dan kelainan refraksi.
Pemenksaan kasar dengan menggunakan kertas yang berlubang kecil (pinhole,
lubang penit) dapat memberi kesan adanya faktor refraksi (oftalmologik) dalam
penurunan visus, (lihat gambar).
Bila dengan melihat melalui lubang kecil, huruf bertambah jelas, maka aktor yang
berperan mungkin gangguan refraksi (gambar 5.4)
Pasien yang sangat buruk visusnya diperiksa dengan jalan menggerakkan tangan
kita di depan matanya. Jika kemampuannya hanya sampai pada membedakan
adanya gerakan, maka visusnya ialah 1/300 Namun demikian, jika ia hanya dapat
membedakan antara gelap dan terang (cahaya), maka visusnya ialah 1/∞.
Lapangan pandang. Bila kita memfiksasi pandangan kita ke satu benda benda ini
terlihat nyata, sedangkan benda-benda di sekitarnya tampak kurang tajam. Seluruh
lapangan yang terlihat, bila kita memfiksasi mata ke satu benda, disebut lapangan
pandang.
Pada pemeriksaan lapangan pandang (kampus penglihatan, "visual field"), kita
menentukan batas perifer dari penglihatan, yaitu balas sampai mana benda dapat
dilihat, jika mata difiksasi pada satu titik. Sinar yang datang dari tempat fiksasi jatuh
di makula, yaitu pusat melihat jelas (tajam), sedangkan yang datang dari sekitarnya
jatuh di bagian perifer retina. Lapangan pandang yang normal mempunyai bentuk
tertentu, dan tidak sama ke semua jurusan; misalnya ke lateral kita dapat melihat
sampai sudut 90-100 derajat dari titik fiksasi, ke medial 60 derajat, ke atas 50-60
derajat dan ke bawah 60-75 derajat. Pemeriksaan lapang pandang dapat dilakukan
dengan menggunakan kampimeter atau perimeter.
Kampimeter adalah papan hitam yang diletakkan di depan penderita pada jarak 1
atau 2 meter, dan sebagai benda penguji (test object) digunakan bundaran kecil
berdiameter 1 sampai 3 mm. Mata pasien difiksasi di tengah dan benda penguji
digerakkan dari perifer ke tengah dari segala jurusan. Kita catat tempat pasien mulai
melihat benda penguji. Dengan demikian diperoleh gambaran kampus penglihatan.
Untuk melaporkan keadaan sewaktu pemeriksaan, digunakan pecahan, misalnya
1/2000, ini berarti bahvwa sebagai benda pengui digunakan bundaran yang
berdiameter 1 mm dan jarak pasien dari papan 2000 mm (2 m). Bila dipakai
bundaran berdiameter 3 mm dan jarak pasien dari kampimeter 1 meter, hal ini
dinyatakan dengan pecahan 3/1000. Bila visus kurang baik digunakan benda
penguji yang lebih besar, dan jarak pasien dengan kampimeter diperkecil. Perlu
pula dinyatakan warna dari benda penguji, misalnya putih, biru, hijau atau merah;
hal ini disebabkan karena masing-masing warna mempunyai kampus yang berbeda.
Kampus bagi warna putih, misalnya, lebih besar dari warna biru, dan kampus warna
biru lebih besar dari warna merah.
Perimeter adalah setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya pada bidang
meridiannya. Cara pemakaiannya serta cara melaporkan keadaan sewaktu
pemeriksaan serupa dangan kampimeter.
Kita mengenal bermacam-macam kelainan bentuk lapangan pandang misalnya
hemianopsia (heteronim) bitemporal atau binasal yang disebabkan oleh lesi di
khiasma optik; hemianopsia homonim (kanan atau kir) yang disebabkan oleh lesi
di traktus optik dan anopsia kuadran yang disebabkan oleh lesi di radiasi optik atau
korteks optik. Gangguan kampus pada lesi di radiasi optik atau di korteks optik
biasanya tidak seluas pada gangguan di traktus optik. Di radiasi optik dan di korteks
optik serabut-serabut telah berdivergensi (berpencar) dan jarang teribat semuanya
dalam proses penyakit.
Seiain itu, perlu diperiksa apakah di dalam bidang kampus terdapat bagian-bagian
atau bercak-bercak yang tidak dapat dilihat, yang disebut skotoma. Skotoma ialah
bercak atau bidang di dalam kampus yang tidak dapat dilihat. Pada keadaan normal
kita mempunyai bercak buta (blind spot) yang dapat disebut sebagai skotoma
fisiologis. Untuk memeriksa adanya skotoma dapat digunakan kampimeter. Dalam
hal ini benda pengui digerakkan sampai ke tengah kampimeter dari segala jurusan.
Diperiksa apakah penderita dapat terus melihat benda penguji ini (dalam hal ini
mata harus selalu terfiksasil). Tempat serta ukuran skotoma dapat bermacammacam. Skotoma yang terdapat di pusat penglihatan (disebut juga skotoma sentral)
disebabkan oleh gangguan di makula. Skotoma demikian dapat dijumpai pada
ambliopi toksik, dan neuritis retrobulbaris. Skotoma dapat pula disebabkan oleh
kelainan optik, bukan oleh kelainan saraf, misalnya kelainan di media dan retina
mata. Biasanya pada kelainan ini skotoma terlihat sebagai bercak hitam dan disebut
skotoma positif. Sebaliknya. skotoma karena kelainan saraf, bila terietak di luar titik
fiksasi, sering tidak terlihat atau tidak disadari oleh pasien, kecuali waktu
pemeriksaan. Skotoma ini disebut juga sebagai skotoma negatif. Di atas telah
dikemukakan bahwa untuk pemeriksaan skotoma dapat digunakan kampimeter,
tetap lebih baik lagi bila digunakan layar Byerrum.
Layar Byerrum lebih luas dari kampimeter, sehingga jaraknya dari penderita dapat
dibuat lebih jauh, dengan demikian gambaran skotoma dapat diperjelas. Layar
Byerrum ialah kain hitam yang luasnya kira-kira 3 meter persegi, Waktu
merneriksa, jarak layar dengan penderita ialah 2 sampai 6 meter, dan sebagai benda
penguji dapat digunakan bundaran yang lebih besar, misalnya 30-40 mm. Seperti
halnya dengan kampirmeter penderita disuruh memfiksasi pandangannya ke tengah
layar dengan satu mata, sedang mata yang lainnya ditutup Kemudian benda penguji
digerakkan di dalam lapangan pandang dan ditentukan pada daerah mana benda
penguji tidak terlihat.
Pemeriksaan Oftalmoskopik
Pemeriksaan oftalmoskopik merupakan pemeriksaan rutin dalam Neurologi
Banyak kelainan atau penyakit yang menunjukkan kelainan pada pemeriksaan
oftalmoskopik. Biasanya perhatian dokter saraf tertuju pada perubahan papil. Papil
adalah tempat serabut nervus II memasuki mata Yang perlu diketahui ialah apakah
papil normal, mengalami atrofi (primer atau sekunder), atau sembab papil. Di
samping itu, perlu pula diperhatikan bangunan lainnya, yaitu makula dan retina.
Papil yang normal tampak sebagai herikut: bentuknya lonjong, wama jingga muda,
di bagian temporal sedikit pucat, batas dengan sekitanya (retina) tegas, hanya di
bagian nasal agak kabur, selain itu, didapatkan lekukan fisiologis (physiologic cup).
Pembuluh darah muncul ditengah, bercabang ke atas dan ke bawah; jalannya arteri
agak lurus, sedangkan vena berkelok-kelok; perbandingan besar vena: arteri ialah
3:2 sampai 5:4. Pada pemeriksaan papil perlu diperhatikan hal di atas apakah
terdapat kelainan.
Pada atrofi primer warna papil menjadi pucat, batasnya tegas dan pembuluh darah
berkurang. Pada atrofi sekunder warna papil juga pucat, tetapi batasnya tidak tegas.
Lamina kribrosa terlihat pada atrofi primer, sedang pada atrofi sekunder tidak.
Atrofi sekunder merupakan akibat lanjut dari sembab papil, misalnya pada tekanan
intrakranial yang meninggi yang berlangsung lama.
Atrofi primer dapat dijumpai pada penyakit sifilis, intoksikasi (misalnya oleh kina
atau timbal), lesi pada saraf Il atau khiasma optik (misalnya pada tumor hipofise
atau arakhnoiditis opto-khiasmatis).
Sembab papil dapat disebabkan oleh radang aktif atau oleh bendungan. Bila oleh
radang hal ini disebut papilitis atau neuritis optik, dan hal ini disertai oleh
perburukan visus yang hebat. Bila bagian belakang nervus optik yang terlibat
inflamasi, sedang papilnya baik, hal ini disebut neuritis retrobulber. Sembab papil
oleh bendungan atau tekanan intrakranial yang meninggi disebut papil terbendung
(choked disc). Pada keadaan ini ketajaman visus tidak cepat memburuk, kecuali bila
terjadi atrofi sekunder.
Pada sembab papil perlu ditentukan besarnya penonjolan. Hal ini dinyatakan dalam
dioptri. Caranya ialah: lensa oftalmoskop kita setel sampai puncak papil terlihat
jelas, setelah itu disetel lagi sampai retina terlihat jelas. Bedanya ini
menggambarkan besarnya penonjolan.
Kadang-kadang sulit membedakan apakah sembab papil disebabkan oleh neuritis
optik atau oleh bendungan. Dalam hal demikian dapat digunakan patokan berikut:
Jika hilangnya visus lebih hebat daripada besarnya penonjolan, hal ini sangat
mungkin disebabkan oleh neuritis optik. Akan tetapi, bila visus masih lumayan,
sedangkan penonjolan papil hebat maka kemungkinan bendungan (”choked disc")
lebih besar. Contoh: visus 1/300, penonjolan 1 dioptri: neuritis optik; visus 6/15,
penonjolan 4 dioptri: choked disc.
Pemeriksaan oftalmoskopik sebaiknya dilakukan di kamar yang gelap Untuk
memeriksa mata kanan pasien sebaiknya anda gunakan mata kanan anda dan
oftalmoskop dipegang dengan tangan kanan, demikian juga halnya bila memeriksa
mata kiri, gunakan mata kiri anda, dan oftaimoskop dipegang dengan tangan kiri.
Bila melihat melaiui oftalmoskop biasakan kedua mata anda terbuka dan
konsentrasikan perhatian anda pada mata yang sedang diperiksa. Semakin dekat
mata anda pada oftalmoskop dan semakin dekat oftalmoskop pada mata pasien
semakin luas daerah fundus yang terlihat.
Pasien disuruh melihat jauh ke depan atau memfiksasi matanya pada benda yang
terletak jauh di depan. Pasien jangan menggerakkan bola matanya, namun ia boleh
mengedip. Kemudian fokuskan mata anda pada retina dengan menggunakan lensa
oftalmoskop yang sesuai bila pasien menderita kelainan refraksi. Bila menemukan
pembuluh darah ikuti ini sampai ketemu papil.
Perhatikan warna papil dan adanya lekuk fisiologis (mangkok fisiologis). Lekuk
atau mangkok fisiologis ini sedikit lebih putih ketimbang bagian läin dari papil.
Identifikasi pembuluh arteri yang tampaknya lebih tipis dan lebih terang ketimbang
pembuluh darah vena yang lebih tebal dan gelap. Perhatikan adanya pulsasi vena di
tempat vena melekuk pada pinggiran mangkok fisiologis. Ikuti arteri sejauh
mungkin. Cari makula, yaitu daerah yang lebih gelap dan avaskuler, terletak sekitar
dua diameter papil ke arah lateral. Pelajari gambaran retina.
Pada sembab papil, pembengkakan kepala nervus optikus dapat disertai hiperemia
pada diskus, mangkok fisiologis menghilang, dan kongesti vena. Selain itu, jika
perubahan masih baru dan akut, mungkin dijumpai perdarahan dari papil ke luar.
Mangkok fisiologis dapat dengan mudah dikenal karena lebih pucat. diameter serta
dalamnya bervariasi pada berbagai individu. Mangkok fisiologis biasanya
menempati sekitar seperempat ukuran diskus optik. Pelebaran dan perdalaman
mangkok fisiologis dapat dijumpai pada glaukoma yang khronis.
Pada atrofi optik papil tampak pucat. Pucat ini disebabkan oleh gliosis pada kepala
saraf optik bersamaan dengan hilangnya beberapa pembuluh darah kecil. Pada
atrofi primer pinggir papil berbatas tegas, sedangkan pada atrofi sekunder batasnya
kabur.
Penyebab gangguan nervus optikus yang perlu diketahui
-
Neuritis optika
-
Neuritis retrobulbaris
-
Papilitis
-
Neuropati optik iskemik, misalnya pada
-
hipertensi
-
arteritis
-
Neuropati karena tekanan, misalnya oleh
-
tumor
-
anerisma
-
gangguan hormon tiroid
-
Neuropati optik oleh infiltrasi
-
karsinoma
-
limfoma
-
Defisiensi/intoksikasi, misalnya
-
defisiensi vitamin B1, B12
-
intoksikasi etambutol, khloramfenikol
(Saraf otak III, nervus occulomotorius), Nervus okulomotorius
(Saraf otak IV, nervus trochlearis), Nervus trokhlearis
(Saraf otak VI, nervus abducens), Nervus abdusen
Ketiga saraf otak ini diperiksa bersama-sama, karena kesatuan fungsinya yaitu
mengurus otot-otot ekstrinsik dan intrinsik bola mata
Otot bola mata yang disarafi oleh NIII, NIV, dan NVI
Saraf otak III : Menginervasi superior, m. rektus inferior, m. levator palpebre;
serabut visero-motoriknya mengurus sfingter pupile (yaitu mengurus kotraksi
pupil) dan m. siliare (mengatur lensa mata).
Saraf otak IV : Menginervasi m. oblikus superior. Kerja otot ini menye- babkan
mata dapat dilirikkan ke arah bawah dan nasal.
Saraf otak VI :menginervasi m. rektus eksternus (lateralis). Kerja otot ini
menyebabkan lirik mata ke arah temporal (gambar 5.6).
Anatomi dan fisiologi
Gerak bola mata yang normal ialah gerak terkonjugasi, yaitu gerak bola mata kiri
dan kanan selalu bersama-sama, dengan sumbu mata kira-kira sejajar. Dikatakan
kira-kira sejajar, karena mata juga melakukan konvergensi, yaitu sumbu mata saling
berdekatan dan menyilang di objek fiksasi.
Lirikan yang terkonjugasi dapat berlangsung cepat. misalnya bila mata secara
refleks ditujukan ke suatu obyek, misalnya suatu stimulus visual di perifer, seperti
lampu yang mendadak menyala. Gerak lirik yang cepat ini disebut sakade
(saccade). Gerak terkonjugasi juga terjadi bila kita mengikuti obyek yang bergerak
dengan mata kita, maka gerak lirikan ini berlangsung mulus, dan disebut lirikmengikuti (pursuit).
Apakah beda antara gerak sakade dan lirik mengikuti yang mulus?
Gerak sakade merupakan gerakan bola mata terkonjugasi yang berlangsung cepat
dan volunter. Gerak sakade bersumber di lobus frontal kontralateral (area
Brodmann 8). Serabut dari daerah mata difrontal (area Brodmann 8) berjalan
melalui genu kapsula interna, berdekusasi pada tingkat pons bagian atas dan
bersinaps di FRPP.
Sebaliknya gerak lirik mengikuti yang mulus merupakan gerakan lamban
involunter dari mata yang terfiksasi pada target yang bergerak. Lirik mengikuti ke
satu sisi dimotori oleh lobus oksipital ipsilateral. Namun demikian, jalur gerak lirikmengikuti yang mulus belum dapat ditentukan, mungkin berasal dari lobus oksipital
anterior (area Brodmann 18 dan 19) dan berjalan ke FRPP ipsilateral.
Di bagian kaudal girus frontalis medius terletak pusat lirik supranuklir untuk gerak
sakade daerah ini disebut juga (pusat lirik frontal). Bila pusat lirik ini mendapat
rangsangan, misalnya pada epilepsi fokal, hal ini akan mengakibatkan gerak bola
mata terkonjugasi ke arah kontralateral. Di korteks parieto-oksipital diduga terletak
pusat lirik supranuklir untuk Lirik-mengikuti. Bila bagiar otak ini terangsang,
terjadi lirikan terkonjugasi yang lamban ke arah ipsilateral.
Gerak horizontal bola mata. Di pons, di dekat inti N VI, terdapat formasio retikuler
pons paramedian (FRPP). Ini merupakan pusat lirik mata horisontal. Serabut eferen
dari FRPP berproyeksi ke inti N VI ipsilateral dan ke inti N Ill kontralateral melalui
fasikulus longitudinalis medialis untuk menstimulasi kedua bola mata agar bergerak
horisontal. Formasio retikuler pontin paramedian ini dapat dianggap sebagai jalurumum-akhir (“final common pathway") untuk semua lirik mata horisontal, dimana
terproyeksi bangunan supranuklir yaitu : pusat lirik lobus frontal melalui jalur
menyilang, korteks parieto oksipital melalui jalur yang tidak menyilang, dan inti
vestibuler. Pada gerak lirikan mata yang horisontal terkonjugasi, otot rektus
medialis di satu sisi dan otot rektus lateralis di sisi lain sama-sama berkontraksi.
Pusat lirik di pons memberi impuls pada inti N VI yang berdekatan, dan melalui
fasikulus longitudinalis medialis (FLM), kepada inti okulomotor kontralateral.
Gerak vertikal bola mata. Gerak vertikal yang volunter dimotori secara simetris dari
kedua lobus frontal. Bila di aktivasi secara bilateral, rangsang akan berjalan melalui
serabut dari area Brodmann 8 berproyeksi melalui traktus frontopontin beraksi pada
inti kranial N III, IV,dan VI bilateral, yang kemudian menginervasi otot bola mata.
Gangguan otot penggerak bola mata
Gangguan motorik bola mata dapat berbentuk gangguan supranuklir (sentral),
nuklir, internuklir atau infranuklir (perifer). Contoh gangguan supranuklir ialah
lumpuh lirik terkonjugasi dan nistagmus. Contoh gangguan infranuklir ialah
strabismus oleh gangguan pada saraf kranial II, IV atau VI atau oleh gangguan di
otot atau motor end-plate.
Gangguan motorik bola mata yang bersifat sentral
Ketidakmampuan menggerakkan bola mata secara terkonjugasi ke satu arah disebut
lumpuh-lirik. Pada lesi akut satu hemisfer (sering disebabkan oleh stroke iskemik
atau stroke hemoragik), pada fase akutnya sering aitemukan kelumpuhan melirik
yang terkonjugasi ke arah kontralateral. Misalnya: pada lesi di hemisfer kiri pasien
tidak mampu melirik ke kanan dan demikian sebaliknya. Hal ini terutama mengenai
gerak sakadek, namun lirik- mengikuti (pursuit) ke arah kontralateral pada
permulaannya juga terganggu. Dalam hal ini, terdapat "sikap-paksa" dari kepala
dan mata (deviation conjugee). Deviation conjugee berarti mata selalu dilirikkan ke
satu arah; tidak dapat dilirikkan ke arah lain. Kadang kepala ikut berdeviasi ke arah
itu.
Lesi kcrtikal yang mengakibatkan deviation conjugee dapat bersifat iritatif atau
paralitik. Pada lesi yang iritatif mata dilirikkan ke arah kontralateral, sedangkan
pada lesi kortikai yang paralitik mata dilirikkan ke arah lesi. Pada lesi di tingkat
pons didapatkan arah yang sebaliknya, yaitu pada lesi iritatif mata dilirikkan ke arah
lesi. sedangkan pada lesi paralitik ke arah kontralateral.
Parese lirik yang terkonjugasi dan "deviation conjugee" yang disebabkan oleh lesi
akut sedemikian berlangsung tidak lama pada gangguan kortikal, biasanya sekitar
1 -2 minggu. Kemudian fungsi gerak sakadek diambil alih oleh hemisfer sisi lainnya
yang tidak ikut terganggu.
Pada lesi di pons, bila lesinya menetap, paresepun menetap. Pada lesi di pusat lirik
di pons terjadi parese lirik ke arah ipsilateral, misalnya pada lesi paralitik di pons
sebelah kiri pasien tidak mampu melirik ke kiri. Parese lirik secara terkonjugsi ke
arah atas dapat dijumpai pada lesi di mesensefalon bagian dorsal. Hal ini dapat
terjadi sebagai akibat dari pinealoma atau hidrosefalus. Selain itu, sering reaksi
pupil dan akomodasi ikut terganggu (kombinasi ini disebut sebagai sindrom
Parinaud). Pada sindrom Parinaud kedua bola mata tidak dapat dilirikkan ke atas
secara volunter. Hal ini dijumpai pada lesi di kolikulus superior. Namun demikian,
secara refleks, lirikan ke atas dapat ditimbulkan, misalnya dengan menyuruh pasien
memfiksasi pandangannya ke suatu benda, kemudian kita tekukkan (fleksi)
kepalanya sambil pasien tetap memfiksasi pandangannya.
Gangguan motorik bola mata jenis perifer
Gangguan motorik bola mata jenis diplopia (melihat kembar atau melinat ganda)
dan bagi pemeriksa tampak adanya strabismus (jereng, juling). Stiabismus ini
disebut juga sebagai strabismus paralitik, dengan tingkat kejerengan tidak konstan.
Pada strabismus paralitik dapat dijumpai gejala berikut:
1. Posisi yang abnormal (dari) bola mata yang lumpuh.
2. Gerak bola mata yang lumpuh terbatas 3
3. Kadang terlihat "sikap kompensasi" pada kepala
Gangguan gerak otot yang lumpuh dapat diperiksa dan lebih jelas terlihat bila
pasien melirik ke arah kerja otot yang lumpuh. Bila lumpuhnya ringan, pasien
berusaha mengurangi tingkat diplopia dengan mengambil sikap kompensasi pada
kepala. Diplopia menjadi lebih nyata bila pasien melihat ke arah kerja otot yang
lumpuh. misalnya: bila jarak diplopia paling besar bila melirik ke kiri, maka
paralisis mungkin terdapat pada otot rektus eksternus kiri, atau otot rektus internus
kanan.
Berlainan halnya dengan jereng-kongenital (strabismus kongenial konkomitans),
lesi pada strabismus paralitik ini dapat berada pada saraf kranial III, IV, VI, pada
hubungan saraf-otot (myoneural junction, motor endplate) atau pada ototnya.
Saraf Otak III (nervus okulomotorius, N.III)
Gangguan total pada N III. Gangguan total N IIl ditandai oieh :
1. m. levator palpebrae lumpuh,mengakibatkan ptosis.
2. Paralisis otot m. rektus superior, m. rektus internus, m. rektus inferior
3. Kelumpuhan saraf parasimpatis, yang mengakibatkan pupil yang lebar
(midriasis) yang tidak bereaksi terhadap cahaya dan konvergensi.
Dua otot mata lainnya tidak ikut lumpuh, yaitu m. rektus lateralis ada (diinervasi
oleh NVI) dan oblikus superior (NIV). Hal ini mengakibatkan sikap ara bola mata
ialah terlirik ke luar dan bawah.
Gangguan sebagian N IlI. Pada parase N III yang disebabkan oleh tekanan,
misalnya oleh anerisma a. komunikans posterior atau oleh herniasi, maka yang
terutama terkena ialah bagian pinggir dari N III yang mengandung serabut
parasimpatis; maka terjadi gangguan pada reaksi pupil.
Pada parese N III yang disebabkan oleh gangguan aliran darah, misalnya pada
neuropati diabetik, bagian serabut N III yang terutama terkena ialah yang letaknya
di tengah sehingga reaksi pupil tidak terganggu.
Penyebab gangguan N III. Beberapa penyebab gangguan N III:
-
-
Vaskuler (pupil tidak terlibat):

diabetes melitus

infark

arteritis
Tekanan (kompresi), misalnya pada:

herniasi

anerisma

tumor
-
Trauma
-
Defisiensi vit B1
Saraf Otak IV (trokhlearis N IV)
Kelumpuhan N IV tersendiri jarang dijumpai. Penyebab kelumpuhan NIV yang
paling sering ialah trauma; dan dapat juga dijumpai pada diabetes melitus, namun
tidak sesering parese N III. N IV dapat mengalami lesi di dalam orbita, dipuncak
orbita atau di sinus kavernosus. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya
diplopia (melihat ganda, melihat kembar) bila mata dilirikkan ke arah ini.
Penderitanya juga mengalami kesukaran bila naik atau turun tangga dan membaca
buku karena harus melirik ke arah bawah.
Saraf Otak VI (nervus abdusen N.VI)
Kelumpuhan Lesi N VI. Lesi N VI melumpuhkan otot rektus lateralis, jadi melirik
ke arah luar (lateral, temporal) terganggu pada mata yang terlibat, yang
mengakibatkan diplopia horisontal. Bila pasien melihat lurus ke depan, posisi mata
yang terlibat sedikit mengalami aduksi, disebabkan oleh aksi yang berlebihan dari
otot rektus medialis yang tidak terganggu.
Penyebab gangguan N VI. Beberapa penyebab gangguan N VI adalah:
-
-
Vaskuler, misalnya pada :

infark

arteritis

anerisma (a.basilaris)
Trauma, misalnya pada:

fraktur os petrosum
-
Tekanan intrakranial tinggi
-
Mastoiditis
-
Meningitis
-
Sarkoidosis
-
Glioma di pons
Saraf ini panjang jalannya intrakranial, yang membuatnya rawan terhadap
gangguan, misainya oleh fraktur dasar tulang tengkorak, tumor otak, meningitis
basalis, lesi di sinus kavernosus, atau fisura orbitalis superior. Kelumpuhan abdusen
dapat terjadi pada tekanan intrakranial yang tinggi, dan dengan demikian tidak
mempunyai nilai lokalisasi.
Kelumpuhan otot mata multipel
Pada parese otot mata yang multipel, perlu dipikirkan kelumpuhan lebih dari satu
saraf, misalnya oleh proses di sinus kavernosus atau fisura orbitalis superior.
Kelumpuhan ini dapat juga disebabkan oleh miastenia gravis. Pada miastenia
gravis, di samping parese otot penggerak bola mata dapat pula dijumpai ptosis.
Melihat ganda dapat pula terjadi oleh miopati karena penyakit Graves
Pemeriksaan N III, N IV, dan VI
Fungsi N III, IV dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-sama. Fungsinya
ialah menggerakkan otot mata ekstraokular dan mengangkat kelopak mata. Serabut
otonom N III mengatur otot pupil.
Cara pemeriksaan:
Selagi berwawancara derigan pasien perhatikan celah matanya, apakah ada ptosis,
eksoftalmus, enoftalmus dan apakah ada strabismus (jereng). Selain itu, apakah ia
cenderung memejamkan matanya yang kemungkinan disebabkan oleh diplopia.
Setelah itu laku kan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil,
reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata
dan nistagmus.
Ptosis. Kelumpuhan nervus III dapat menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu kelopak
mata terjatuh, mata tertutup, dan tidak dapat dibuka. Hal ini disebahkan oleh
kelumpuhan m. levator palpebrae. Kelumpuhan m. levator pelpebrae yang total
mudah diketahui, karena kelopak mata sama sekali tidak dapat diangkat, mata
tertutup. Pada kelumpuhan ringan kita bandingkan celah mata; pada sisi yang
lumpuh celah mata lebih kecil dan kadang-kadang kita lihat dahi dikerutkan
(m.frontalis) untuk mengkompensasi menurunnya kelopak mata.
Untuk menilai tenaga m. levator palpebrae pasien disuruh memejamkan matanya,
kemudian ia disuruh membukanya. Waktu ia membuka mata, kita tahan gerakan ini
dengan jalan memegang (menekan enteng) pada kelopak mata. Dengan demikian
dapat dinilai kekuatan mengangkat kelopak mata (m. levator palpebrae). Pada
pemeriksaan ini, untuk meniadakan tenaga kompensasi dari m. frontalis perlu diberi
tekanan pada alis mata dengan tangan satu lagi.
Ptosis dapat pula dijumpai pada miastenia gravis. Dalam hal ini, gangguan tidak
terietak pada serabut saraf, melainkan pada huburgan saraf-otot (myoneural
junction). Ptosis pada miastenia bertambah hebat jika penderitanya letih, lelah, dan
berkurang atau menghilang setelah beristirahat atau bangun pagi. Salah satu ciri
dari miastenia gravis ialah mudahnya otot menjadi lelah yang bermanifestasi
sebagai (lumpuh) dan dapat pulih kembali setelah istirahat yang lama Dengan
suntikan obat prostigmin, ptosis pada miastenia gravis dapat dihilangkan atau
berkurang. Untuk memperjelas ptosis pada miastenia gravis, pasien disuruh melirik
ke atas (misalnya dengan menyuruhnya melihat tangan pemeriksa yang
ditempatkan di depan atas). Setelah beberapa menit akan terlihat ptosisriya
bertambah nyata.
Ptosis ringan dapat dijumpai pada sindrom Horner. Sindrom Horner dapat dijumpai
pada lesi serabut simpatis pada leher. Sindrom ini terdiri es gravis akan dihilar
meliha bebera atas:
1. Ptosis enteng, karena lumpuhnya m. tarsalis pada kelopak mata atas.
2. Miosis (pupil menjadi kecil), karena lumpuhnya otot dilator pupil.
3. Enoftalmus (bola mata agak masuk ke dalam), karena lumpuhnya otot dari
Muller.
4. Vasodilatasi pembuluh darah kepala, kuduk dan konjungtiva sisi ipsilateral.
5. Anhidrosis pada kepala dan muka sisi ipsilateral.
Pupil. Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan, apakah sama (isokor),
atau tidak sama (anisokor). Juga perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata
tepinya (normal) atau tidak. Bila pupil mengecil hal ini disebut miosis, dan bila
membesar (melebar) disebut midriasis. Otot polos yang mengecilkan pupil
(pupilokonstriktor) disarafi oleh serabut parasimpatis dari nervus III, sedangkan
otot yang melebarkan pupil (pupilodilator) disarafi oleh serabut simpatis
(torakolumbal).
Miosis dapat dijumpai pada waktu tidur; pada tingkat tertentu dari koma, pada
iritasi nervus III dan pada kelumpuhan saraf simpatis (sindrom Horner).
Midriasis dapat dijumpai pada kelumpuhan nervus II, misalnya oleh desakan tumor
atau hematom, dan pada fraktur dasar tulang tengkorak. Obat-obatan seperti
homatropin (yang diteteskan ke mata) dan ekstrak beladona dapat menyebabkan
midriasis. Besarnya pupil dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama intensitas
cahaya. Di dalam gelap pupil lebih lebar dibanding dalam keadaan terangbenderang. Bila pada trauma kapitis didapatkan midriasis pada satu mata (jadi ada
anisokori) dan hemiparese
Ptosis dapat pula dijumpai pada miastenia gravis. Dalam hal ini, gangguan tidak
terletak pada serabut saraf, melainkan pada hubungan saraf-otot (myoneural
junction). Ptosis pada miastenia gravis akan bertambah hebat jika penderitanya
letih, lelah, dan berkurang atau menghilang setelah beristirahat atau bangun pagi.
Salah satu ciri dari miastenia gravis ialah mudahnya otot menjadi lelah yang
bermanifestasi sebagai (lumpuh) dan dapat pulih kembali setelah istirahat yang
lama. Dengan suntikan obat prostigmin, ptosis pada miastenia gravis dapat
dihilar.gkan atau berkurang. Untuk memperjelas ptosis pada miastenia gravis,
pasien disuruh melirik ke atas (misalnya dengan menyuruhnya melihat tangan
pemeriksa yang ditempatkan di depan atas). Setelah beberapa menit akan terlihat
ptosisnya bertambah nyata.
Ptosis ringan dapat dijumpai pada sindrom Horner. Sindrom Horner dapat dijumpai
pada lesi serabut simpatis pada leher. Sindrom ini terdiri atas :
1. Ptosis enteng, karena lumpuhnya m. tarsalis pada kelopak mata atas.
2. Miosis (pupil menjadi kecil), karena lumpuhnya otot dilator pupil.
3. Enoftalmus (bola mata agak masuk ke dalam), karena lumpuhnya otot dari
Muller.
4. Vasodilatasi pembuluh darah kepala, kuduk dan konjungtiva sisi ipsilateral.
5. Anhidros is pada kepala dan muka sisi ipsiiateral.
Pupil. Perhatikan besarnya pupii pada mata kiri dan kanan, apakah sama isckor),
atau tidak sama (anisckor). Juga perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata
tepinya (normal) atau tidak. Bila pupil mengecil hal ini disebut miosis, dan bila
membesar (melebar) disebut midriasis. Otot polos yang mengecilkan pupil
(pupilokonstriktor) disarafi oleh serabut parasimpatis dari nervus III, sedangkan
otot yang melebarkan pupil (pupilodilator) disarafi oleh serabut simpatis
(torakolumbal).
Miosis dapat dijumpai pada waktu tidur; pada tingkat tertentu dari koma, pada
iritasi nervus IIl dan pada kelumpuhan saraf simpatis (sindrom Horner).
Midriasis dapat dijumpai pada kelumpuhan nervus Il, misalnya oleh desakan tumor
atau hematom, dan pada fraktur dasar tulang tengkorak. Obat-obatan seperti
homatropin (yang diteteskan ke mata) dan ekstrak beladona dapat menyebabkan
midriasis. Besarnya pupil dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama intensitas
cahaya. Di dalam geiap pupil lebih lebar dibanding dalam keadaan terangbenderang. Bila pada trauma kapitis didapatkan midriasis pada satu mata (jadi ada
anisokori) dan hemiparese pada sisi kontralateral, maka kemungkinan perdarahan
epidural harus ditelusuri.
Refleks pupil (reaksi cahaya pupil). Reaksi cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya
langsung dan tidak langsung (konsensual). Pada pemeriksaan ini pasien disuruh
melihat jauh (memfiksasi pada benda yang jauh letaknya), setelah itu mata kita
senter (beri cahaya) dan dilihat apakah ada reaksi pada pupil. Pada keadaan normal
pupil mengecil. Bila demikian halnya, disebut reaksi cahaya langsung positif.
Kemudian perhatikan pula pupil mata yang satu lagi, apakah pupilnya ikut mengecil
oleh penyinaran mata yang lainnya itu. Bila demikian, disebut reaksi cahaya-tidaklangsung (konsensual) positif (gambar 5.7). Selama pemeriksaan ini harus dicegah
agar pasien tidak memfiksasi matanya pada lampu senter, sebab dengan demikian
akan ada pula refleks akomodasi yang juga menyebabkan mengecilnya pupil. Oleh
karenanya pasien harus selalu melihat jauh selama pemeriksaan ini.
Ada suatu kelainan, dimana refleks pupil negatif, namun refieks akomodasi positif;
hal ini disebut sebagai gejala Argyll Robertson atau pupil Argyll Robertson. Pupil
Argyll Robertson dapat dijumpai pada penyakit sifilis, arteriosklerosis, tumor otak,
meningitis, alkoholisme kronis, dan diabetes mellitus.
Bila visus mata 0 (buta), maka refleks cahaya pada mata akan tersebut negative.
Bila mata yang lainnya baik, maka penyinaran mata yang baik ini akan
menyebabkan mengecilnya pupil pada mata yang buta tersevut (reaksi cahaya taklangsung positif). Jadi: bila reaksi langsung negative, sedangkan reaksi cahaya tak
langsung positif, maka kerusakannya pada nevus II. Sebaliknya, pada kelumpuhan
nervus III, reaksi cahaya langsung dan tidak langsung ialah negative (gambar 5.8;
5.9; 5.10)
Keadaan refleks pupil dinyatakan dengan :
-
: tidak ada reaksi
±
: reaksi lambat
+
: reaksi normal (ada).
Visus pada bayi tak dapat diperiksa dengan cara biasa, namun dapat diperiksa
dengan jalan berikut:
1. Refleks cahaya pupil. Bila buta, refleks pupil negatif.
2. Refleks ancam: secara tiha-tiba kita dekatkan jari-jari kita ke matanya,
seolah-olah hendak menusuknya. Bila ada visus, maka matanya
dipejamkan. Dalam hal ini, perlu dijaga agar gerakan mendekatnya jari tidak
menimbulkan adanya angin; sebab bila ada angin, serabut sensibilitas mata
(nervus V) akan terangsang dan hal ini juga akan menyebabkan mata
dipejamkan.
3. Menggunakan cahaya. Senter yang dinyalakan digerak-gerakkan di depan
matanya, dan dilihat apa kah matanya mengikuti.
Bila ada visus, maka matanya Refleks akomodasi. Penderita disuruh melihat jauh,
kemudian ia disuruh melihat dekat, misalnya jari kita (benda) yang ditempatkan
dekat matanya. Refleks akomodasi dianggap positif bila terlihat pupil mengecil.
Pada kelumpuhan nervus Ii refleks ini negatif.
Kedudukan (posisi) bola mata. Perhatikan kedudukan bola mata, apakah mata
menonjol (eksoftalmus) atau seolah-olah masuk ke (enoftalmus). Pada eksoftalmus
celah mata tampak lebih besar, sedangkan pada enoftalmus lebih kecil.
Pada sindrom Horner (yang disebabkan oleh kerusakan serabut simpatis leher)
didapatkan enoftalmus. Eksoftalmus bilateral dapat dijumpai pada tirotoksikosis.
Eksoftalmus yang unilateral (satu mata saja) biasanya disebabkan oleh proses
setempat, misalnya karena desakan tumor di daerah orbita, retrobulber dan
intrakranial (misalnya meningioma di sphenoidal ridge, di sulkus olfaktorius).
Pada anerisma intrakranial, fistula arteriovena dan angioma kadang- dalam kadang
didapatkan eksoftalmus yang berdenyut. Hal ini dapat diketahui dengan jalan
meraba (palpasi) mata atau mengauskultasinya (pada eksoftalmus yang berdenyut
akan terdengar bunyi bising). Pada trombosis sinus kavernosus didapatkan
eksoftalmus, disertai edema di mata serta sekitarnya dan kelumpuhan otot mata.
Selain itu perhatikan bagaimana posisi bola mata dalam keadaan istirahat. Bila satu
otot mata lumpuh, hal ini tnengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan
dari otot antagonisnya, dan strabismus (juling, jereng). Pada kelumpuhan m.
menyebabkan rektus eksternus didapatkan strabismus konvergen (mata yang
lumpuh melirik lebih ke medial). Pada kelumpuhan m. rektus internus didapatkan
strabismus divergen (mata yang lumpuh melirik lebilh ke laterai). Strabismus
divergen dijumpai juga pada penderita koma. Strabismus dapat juga disebabkan
oleh kelainan otot, misalnya otot rektus eksternus lebih panjang, dalam hal ini
didapatkan strabismus konvergen, dan tidak didapatkan kelumpuhan gerakan bola
mata. Miastenia gravis dapat mengakibatkan kelumpuhan gerakan bola mata dan
strabismus.
Dalam hal ini, lesi berada di hubungan saraf-otot (myoneural junction). Pada
kelainan serebelum kadang-kadang dijumpai "skew deviation", yaitu mata di sisi
lesi melihat ke bawah dan ke dalam, sedangkan mata yang satu lagi melihat ke atas
dan ke luar.
Gerakan bola mata. Untuk memeriksa gerakan bola mata, penderita disuruh
mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas, bawah
dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, atas-medial dan bawahlateral. Perhatikan apakah mata pasien dapat mengikutinya, dan perhatikan
bagaimana gerakan bola mata, apakah lancar dan mulus atau kaku ("jerky",
misalnya pada kelainan serebelum). Perhatikan juga apakah ada diplopia (melihat
kembar) (gambar 5.11).
Gambar 5.11.
Cara Pemeriksaan Gerak Bola Mata.
Suruh pasien mengikuti jari pemeriksa, yang digerakkan ke berbagai arah.
Kemudian tanyakan apakah terdapat diplopia, perhatikan adanya gerakan terbatas,
dan perhatikan pula apakah ada nistagmus).
Diplopia (melihat kembar) dijumpai pada kelumpuhan otot penggerak bola mata.
Tentukan pada posisi mana (dari mata) timbul diplopia. Bila satu mata ditutup,
bayangan mana yang hilang. Suruh pasien menunjukkan posisi dari bayangan. Arah
posisi bayangan yang salah menunjukkan arah gerakan otot yang lumpuh; jarak
bayangan menjadi bertambah besar (gambar 5.12).
Garnbar 5.12.
Pada Oftalmoplegia Internuklir Usaha melirik ke kanan, karena lesi di fasikulus
longitudinalis medialis kiri (A), rangsang dari pusat-lirik di pons sebelah kanan
tidak dapat mencapai inti nerus okulomotorius kiri (Hydra dkk, 1994).
Kerusakan nervus VI saja biasanya tidak mempunyai nilai lokalisasi; ia mudah
terganggu karena jalan sarafnya yang panjang. la dapat lumpuh pada tekanan
intrakranial yang tinggi. Di batang otak, letak inti-inti serta serabut-serabut sangat
berdekatan, karenanya jarang dijumpai lesi yang tersendiri. Bila terdapat lesi
unilateral di daerah nukleus ruber tempat nervus III juga melintas, didapatkan
kelumpuhan nervus II yang homolateral dan alaksia, disertai tremor dan hipokinesia
pada ekstremitas sisi kontralateral (sindrome Claude) lernniskus medialis dan
pedunkulus serebri akan terkena dan gejala-gejala Bila lesi ini meluas ke daerah
sekitarnya, maka lemnikus medialis dan pedunkulus serebri akan terkena dan
gejala-gejala yang menjelma ialah keiumpuhan homolateral nervus III yang disertai
cleh hemiparese kontralateral, hemihipestesi kontralateral, ataksia, tremor dan
hyipokinesia kontralateral (sindrom Benedikt). Bila pedunkulus serebri setinggi
mesensefa!on menjadi lunak atau rusak oleh tumor atau gangguar. peredaran darah,
maka gejala lesi tersebut dinamai sindrom Weber. Sindrom ini terdiri atas gejala
hemiplegi alternans nervus okulomotorius, yaitu kelumpuhan nervus III
homolateral jenis lower motor neuron dan kelumpuhan nervus VII dan XII serta
ekstremitas sisi kontralateral jenis upper motor neuron.
Kita mengenal beberapa macam sindrom, yaitu: Sindrom Weber (hemiplegi
alternans nervi okulomotorii), ditandai oleh kelumpuhan nervus III homolateral dan
kelumpuhan nervus VII, XII dan ekstremitas sisi kontralateral jenis upper motor
neuron. Lesi berada di pedunkulus serebri.
Sindrom Claude. Lesi berada di daerah nukleus ruber tempat nervus III juga
melintas. Gejalanya ialah kelunipuhan nervus III ipsilateral dan ataksia serta tremor
kontralateral. Bila lesi ini meluas ke daerah sekitarnya, maka lemniskus medialis
dan pedunkulus serebri akan terkena dan gejala yang menjelma ialah kelumpuhan
ipsilateral nervus III yang disertai oleh hemiparesis kontralateral, hemihipestesi
kontralateral dan ataksia serta tremor kontralateral (sindrom Benedikt).
Sindrom Millard Gubler ditandai oleh kelumpuhan nervus VI dan VII ipsilateral
jenis lower motor neuron dan hemiplegi kontralateral jenis upper motor neuron,
yang disebabkan oleh lesi di daerah pons.
Sindrom Foville ditandai oleh kelumpuhan nervus VII ipsilateral jenis lower motor
neuron, kelumpuhan melirik ke lateral ipsilateral dan hemiplegia kontralateral jenis
upper motor neuron.
Sindrom Parinaud ditandai oleh kelumpuhan gerakan kedua bola mata ke atas,
sebagai akibat lesi di kolikulus superior, yang dapat disebabkan oleh tumor pineal
body, ensefalitis dan sklerosis multipleks.
Pada pemeriksaan, perlu diperhatikan apakah gerakan bola mata normal atau tidak.
Pada keadaan normal terdapat koordinasi, sinkronisasi serta asosiasi yang baik
antara otot-otot penggerak bola mata yang kiri dan yang kanan. Pusat supranuklir
yang mengurus gerak berpasangan ini terdapat di lobus frontal dan lobus oksipital.
Lesi di daerah ini atau di serabut yang menghubungkannya dengan batang otak
dapat menyebabkan mata tidak dapat dilirikkan ke suatu arah.
Pada pemeriksaan juga perlu diperhatikan apakah ada "deviation conjugee".
Deviation conjugee berarti mata selalu dilirikkan ke satu arah, tidak dapat dilirikkan
ke arah lain. Kadang-kadang kepala ikut berdeviasi ke arah itu. Lesi kortikal yang
mengakibatkan deviation conjugee ini dapat bersifat iritatif atau paraitik.
Pada lesi iritatif kortikal mata cilirikkan ke arah kontralateral sedangkan pada lesi
paralitik ke arah lesi. Pada lesi di tingkat pons aidapatkan arah yang sebaliknya,
yaitu pada lesi iritatif mata dilirikkan ke arah lesi, sedangkan pada lesi paralitik ke
arah kontralateral.
Nistagmus. Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa gerakan bola mata.
Waktu memeriksa gerak bola mata, harus diperhatikan apakah ada nistagmus.
Nistagmus ialah gerak bolak-balik bola-mata yang involunter dan ritmik. Untuk
maksud ini penderita disuruh melirik terus ke satu arah (misalnya ke kanan, ke kiri,
ke atas, bawah) selama jangka waktu 5 atau 6 detik. Jika ada nistagmus hal ini akan
terlihat dalam jangka waktu tersebut. Akan tetapi, mata jangan terlalu jauh
dilirikkan, sebab hal demikian dapat menimbulkan nistagmus pada orang yang
normal (end position nystagmus, nistagmus posisi ujung).
Bila kita menjumpai ristagmus harus diperiksa:
1. Jenis gerakannya: penduler (gerak bolak balik yang sama cepatnya), ada
komponen cepat dan lambat, "jerk nystagmus". "Jerk nystagmus" ini putar
bolak balik). dapat horisontal atau vertikal atau rotatoar (gerak putar bolak
balik)
Nistagmus penduler (komponen gerak sama cepatnya) dapat dijumpai pada
penderita dengan visus yang buruk sejak dari bayi, kelainan di makula,
korioretinitis, merupakan kelainan herediter (dengan visus yang baik).
kekeruhan media mata, albinisme, atau merupakan kelainan herediter
(dengan visus yang baik).
2. Bidang gerakannya: horizontal, vertikal, rotatoar atau campuran.
3. Frekuensinya (cepat atau lambat).
4. Amplitudonya (besar aiau kecil, kasar atau halus).
5. Arah gerakannya yaitu arah dari komponen cepatnya. Bila dikatakan
nistagmus horisontal kanan, ini berarti komponen cepatnya ialah ke
horisontal kanan. Sebetulnya lesi berada di arah komponen lambainya,
karena komponen lambat inilah yang esensial pada timbulnya nistagmus
ialah karena lemahnya mata untuk mengadakan deviation conjugee yang
volunter.
6. Derajatnya: derajat I : nistagmus timbul bila melirik ke arah komponen
cepat; derajat II: juga ada bila melihat ke depan; derajat III: juga ada bila
melirik ke arah komponen lambat.
7. Lamanya: apakah menetap (permanen), atau berlalu (menghilang setelah
beberapa waktu, hari atau, minggu).
Di samping itu perlu pula diselidiki hal berikut:
1. Apakah nistagmusnya fisiologis atau patologis. End position nystagmus
dapat fisiologis
2. Apakah kongenital atau didapat (acquired).
3. Apakah vestibuler (perifer, yaitu kelainannya pada labirin, nervus VIII) atau sentral.
4. Apakah ada nistagmus sikap. Nistagmus sikap (nistagmus posisional,
"positional nystagmus") ialah nistagmus yang terjadi atau bertambah hebat
pada posisi tertentu dari kepala.
Nistagmus vestibular adalah nistagmus yang disertai rasa puyeng (vertigo). Pada
kerusakan di labirin terjadi nistagmus dengan komponen cepat ke arah kontralateral
dari lesi, sedang arah salah-tunjuk (past pointing) dan jatuh ke sisi lesi. Nistagmus
vestibuler biasanya tidak menetap, menghilang setelah beberapa waktu. Nistagmus
sentral dapat menetap atau berlalu, (menghilang setelah beberapa waktu).
Nistagmus vestibular dapat bersifat horisontal dan horisontal rotatoar Nistagmus
sentral dapat bersifat horisontal, vertikal atau rotatoar. Nistagmus vertikal
menunjukkan adanya lesi di batang otak, yaitu di daerah mesensefalon atau medula
oblongata.Nistagmus horisontal dapat terlihat pada lesi di tegmentum pons dan
mesensefalon. Nistagmus horisontal- rotatoar atau rotatoar dapat dijumpai pada lesi
di medula oblongata (siringobulbi, sindrom Wallenberg).
Nistagmus sikap (positional nystagmus) ialah nistagmus yang terjadi atau
bertambah hebat pada posisi tertentu dari kepala.
Saraf Otak V (nervus trigeminus, N.V)
Anatomi dan fisiologi
N. trigeminus terdiri dari 2 bagian yaitu: bagian sensorik (yang besar, porsio mayor)
dan bagian motorik (yang kecil, porsio minor).
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, yaitu: m. masseter, m.
temporalis, m. pterigoid medialis yang berfungsi menutup mulut, dan m.
pterigoideus lateralis yang berfungsi menggerakkan rahang bawah ke samping
(lateral) dan membuka mulut. Rahang dapat ditarik ke belakang oleh m. temporalis.
Menggerakkan rahang bawah ke depan terjadi oleh kontraksi. pierigoideus lateralis
dan m. pterigoideus medialis.
Inti motorik saraf V mendapat persarafan dari kedua hemisfer; lesi pada satu
hemisfer tidak akan melumpuhkan otot-otot mengunyah karena persarafan dapat
dilakukan oleh hemisfer lainnya.
Bila pasien disuruh menggigit kuat-kuat, kita dapat meraba serta menilai trofik m.
maseter. Bila m. pterigoideus lateralis kanan lumpuh, penderitanya tidak dapat
menggerakkan rahang bawahnya ke lateral kiri. Bila rahang-bawah berdeviasi ke
kaian ketika membuka mulut, hal ini disebabkan karena kelemahan m. pterigoideus
lateralis kanan.
Refleks maseter merupakan refleks-regang-otot melalui porsio minor dan refleks
kornea ialah refleks eksteroseptif yang jaras aferennya melalui cabang I saraf
trigeminus dan jaras eferennya melalui n. fasialis.
Bagian sensorik nervus V mengurus sensibilitas dari muka melalui ketiga
cabangnya, yaitu:
1. Cabang (ramus) oftalmik, yang mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung,
kening, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung.
2. Cabang (ramus) maksilaris, yang mengurus sensibilitas rahang atas, gigi
atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung.
3. Cabang (ramus) mandibularis, yang mengurus sensibilitas rahang bawah,
gigi bawah, bibir bawah, mukosa pipi, dua-pertiga bagian depan lidah dan
sebagian dari telinga (eksternal), meatus dan selaput otak (gambar 5.13).
Cabang mandibularis, yang bergabung dengan serabut motorik meninggalkan
kranium meninggalkan kranium melalui foramen rotundum dan cabang oftalmikus
melalui fisura orbitalis superior bersama-sama nervus III, IV dan VI. Cabang
oftalmik dan maksilaris memasuki sinus kavernosus pada sisi lateralnya, dan berada
di bawah nervus II dan IV. Kedua cabang nervus V ini dapat terlibat bila terjadi
kelainan di sinus kaverriosus.
Bila terdapat gangguan sensibilitas yang menyeluruh pada setengah wajah, maka
hal ini menunjukkan adanya lesi di ganglion Gasseri atau di akar serabut sensorik
sebelum memasuki pons. Lesi sedemikian dapat disebabkan oleh meningitis
basalis, trauma, neuroma di sudut sere-belopontin (cerebellopontine angle). Bila
gangguan sensibilitas di wajah merupakan bagian dari hemihipestesia (hipestesia
setengah badan), maka lesi berada pada hubungan supranuklir, dari talamus ke
korteks sensorik post sentralis. Bila lesi berada distal dari gangiien Gasseri,
biasanya tidak didapatkan gangguan sensibilitas yang total pada setengah muka,
sebab untuk hal demikian dibutuhkan lesi yang luas. Herpes Zoster menyebabkan
lesi parsial dari ganglion Gasseri, dan neuroma akustik dapat menyebabkan lesi
parsial dari akar nervus V.
Bila rasa raba saja yang terganggu, maka hal ini menggambarkan adanya lesi di
nukleus-induk somatosensorik di pons. Bila rasa nyeri dan rasa suhu terganggu.
sedangkan rasa raba tidak terganggu, maka hal ini menunjukkan adanya lesi di
traktus desendens (serabut yang menuju nukleus spinal) nervus V. Hal ini dapat
terjadi pada strok vertebrobasiler, siringobulbi dan siringomieli.
Keluhan yang dapat terjadi sebagai akibat gangguan nervus V ialah: hipestesi atau
anestesi di muka, parestesi, rasa nyeri yang kadang-kadang dapat hebat sekali dan
datang dalam bentuk serangan (tic douloureux), gangguan mengunyah, dan mulut
tidak dapat dibuka lebar (trismus). Trismus disebabkan oleh spasme tonik otot-otot
mengunyah, misalnya pada tetanus.
Pemeriksaan
Untuk memeriksa fungsi motorik nervus V dilakukan hal berikut:
Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian kita raba m.
masseter dan m. temporalis. Perhatikan besarnya, tonus serta kontur (bentuk) nya.
Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikanlah apakah ada deviasi
rahang bawah. Bila ada parese, maka raharig bawah akan berdeviasi ke arah yang
lumpuh. Kadang-kadang sulit menentukan adanya deviasi. Dalam hal demikian
dapat digunakan garis antara kedua gigi insisivus (gigi seri) sebagai patokan.
Perlhatikan kedudukan gigi insisivus atas dan bawah waktu mulut tertutup, dan
perhatikan kedudukannya waktu mulut dibuka, apakah ada deviasi. Hal ini perlu
dilakukan bila terdapat pula parese nervus VII.
Kekuatan otot saat menutup mulut dapat dinilai dengan jalan menyuruh pasien
menggigit suatu benda, misainya tong spatel dan dinilai tenaga gigitannya,
misalnya dengan jalan menarik tong spatel tersebut. Kemudian pasien disuruh
menggerakkan rahang bawahnya ke samping ( untuk menilai m.pterigoideus
lateralis) kiri dan kanan. Bila terdapat parese (untuk menilai di sebelah kanan,
rahang bawah tidak dapat digerakkan ke samping kiri. Cara lain, pasien disuruh
mermpertahankan rahang bawahnya ke samping dan kita beri tekanan untuk
mengembalikan rahang-bawah ke posisi tengah.
Untuk menentukan adanya lesi supranuklir diperiksa refleks rahang (jaw reflex).
Hal ini dilakukan dengan jalan menempatkan satu jari pemeriksa melintang dagu
pasien; pasien disuruh membukakan mulutnya sedikit. Setelah itu jari pemeriksa
diketok dengan palu refleks. Pada orang yang normal didapatkan sedikit saja
gerakan, malah kadang-kadang tidak ada. Bila gerakannya hebat (yaitu kontraksi
m. maseter, m. temporalis, m. pterigoideus medialis yang menyebabkan mulut
menutup) dikatakan refleks meninggi (lihat bab refleks). Pada lesi supranuklir
refleks ini meninggi.
Bagian sensorik dari nervus V diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri
dan suhu daerah-daerah yang disarafinya (wajah). Cara melakukannya lihat bab
mengenai sistem sensorik. Waktu memeriksa sensibilitas nervus V periksa juga
refleks kornea (lihat bab refleks). Gangguan refleks kornea kadang-kadang
merupakan gejala dini dari gangguan nervus V, misalnya pada tumor di sudut
serebelo-pontin.
Beberapa penyebab gangguan nervus V
-
Neralgia trigeminus idiopatis
-
Trauma kapitis
-
Infeksi oleh Herpes Zoster
-
Penyakit Sjogren
-
Sistemik lupus eritematosus
-
Nerinoma akustikus
-
Kholesteatom
-
Meningitis karsinomatosa.
Saraf Otak VII (nervus fasialis, N.VII)
Anatomi dan fisiologi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu:
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (N III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini-mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan submaksilar serta sublingual dan
lakrimalis. glandula
3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di
duapertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus
trigeminus. Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang
tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian
luar gendang telinga.
Nervus fasialis, atau saraf ke VII, terutama merupakan saraf motorik, yang
menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Di samping itu, saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut
dan hidung, dan ia juga menghantar berbagai jenis sensasi, termasuk sensasi
eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah, dan sensasi viseral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan
sensasi proprioseptif dari otot-otot yang disarafinya.
Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis; yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius,
atau pars intermedius Wisberg. Ada pakar yang menganggapnya sebagai saraf yang
terpisah, namun umumnya saraf intermedius ini dianggap sebagai bagian dari saraf
fasialis. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf
fasilalis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar
melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum.
Serabut yang menghantar sensasi ganglion genikulatum dan berakhir pada akar
desendens dan inti akar desendens dari saraf trigeminus (rV). Hubungan sentralnya
identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari inti neivus VI, dan
keluar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons,
di antara nervus VII dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan
nervus VIII kemudian memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. la keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mensarafi
otot-otot wajah (gambar 5.1 4)
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu, terdapat
perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada
gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak
lumpuh; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis
perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah
lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan
sekresi ludah yang berialan bersama saraf fasialis.
Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari
korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas
menaapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral) (gambar 5.15).
Karenanya kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus VII (lesi pada
traktus piramidalis atau korteks motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan pada
otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih
dapat mengangkat alis, mengerutkan dani dan menutup mata (persarafan bilateral);
tetapi ia kurang dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai, memperlihatkan gigi
geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi involunter masih dapat terjadi,
bila penderita tertawa secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.
Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter,
maupun yang involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus
VII sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok
dan lesi-butuh-ruang (space occupying lesion) yang mengenai korteks motorik,
kapsula interna. talamus, mesensefalon dan pons di atas inti nervus VII. Dalam hal
demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII
supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.
Pemeriksaan
Fungsi motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris atau
tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut
mulut. Bila asimetri (dari) muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan
jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan,
plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada
kelumpuhan jenis sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat,
kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya
menyeringai.
Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi. Perhatikan apakah hal ini
dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada kelumpuhan jenis supranuklir
sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahinya. sebab otot-otot
ini mendapat persarafan kelumpuhan jenis perifer terlihat adanya asimetri.
Suruh penderita memejamkan mata. Bila lumpuhnya berat, maka penderita tidak
dapat memejamkan mata: bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman kurang
kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan
pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien
memejamkan matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi
parese ringan. Bila terdapat parese, penderita tidak dapat memejamkan matanya
pada sisi yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang normal yang tidak dapat
memejamkan matanya satu persatu.
Suruh penderita menyeringai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan bibir,
menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan, dan apakah ada
asimetri. Perhatikan sudut mulutnya. Suruh penderita bersiul. Penderita yang
tadinya dapat bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. Pada
penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat
disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanya diberi rangsang
'nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (m. masseter).
Gejala Chvostek. Gejala Chvostek dibangkitkan dengan jalan mengetok nervus VII.
Ketokan dilakukan di bagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini menyebabkan
kontraksi otot yang disarafinya. Pada tetani didapatkan gejala Chvostek positip,
tetapi ia dapat juga positip pada orang normal. Dasar gejala Chvostek ialah
bertambah pekanya nervus fasialis terhadap rangsang mekanik.
Fungsi pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebe!um percabangan khorda timpani, dapat menyebabkan
ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya
penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya bubuk
gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi
istirahat). Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya kedalam
mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut, bubuk akan tersebar melalui ludah
ke bagian lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan pengecapan
yang dirasakannya dengan isarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit,
3 untuk rasa asin dan 4 untuk rasa asam.
Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus major dapat menyebabkan kurangnya
produksi air mata, dan lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi
ludah.
Gangguan nervus VII
Kelumpuhan jenis lower motor neuron terjadi bila nukleus atau serabut distalnya
terganggu. Lesi pada nukleus nervus VII biasanya disebabkan oleh gangguan
peredaran darah atau tumor. Serabut di sudut serebelopontin (cerebellopontin
angle) dapat rusak karena meningitis basal, neuroma akustik, meningioma, atau
kelainan arteria basilaris. Ganglion genikulatum dapat terganggu oleh virus herpes
zoster dan mengakibatkan rasa nyeri di muka dan telinga serta paresis fasialis
(sindrom Ramsay Hunt). Dalam hal ini Vesikel herpetik dapat terlihat pada
membrana timpani dan meatus akustikus eksterna. Kelainan ini harus selalu dicari
pada kelumpuhan fasialis jenis perifer. Lesi nervus VII dapat pula terjadi di kanalis
fasialis, misalnya oleh otitis media, matoiditis, kholesteatoma dan fraktur tulang
temporal.
Istilah Bell's palsy (kelumpuhan Bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan
nervus VII jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum
diketahui, tanpa adanya keiainan neurologik lain. Pada sebagian besar penderita
Bell's palsy kelumpuhannya akan menyembuh, namun pada beberapa di antara
mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini
dapat berupa: kontraktur sinkinesia atau spasme spontan.
Kontraktur. Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis
lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bag pemeriksa yang belum
berpengalaman mungkin bagian yang sehat inl yas disangkanya lumpuh, sedangkan
bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
Sinkinesia (associated movement). Dalam hal ini otot otot tidak dapat digerakkan
satu per satu atau tersendiri; selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun ikut berkontraksi dan sudut mulut
terangkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.
Spasmes spontan. Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak
terkendali. Hal ini disebut juga tic facialis. Akan tetapi, tidak semua tic facialis
merupakan gejala sisa dari Bell's palsy.
Kelumpuhan nervus VII jenis perifer pada kedua sisi kadang-kadang sukar
dideteksi, karena muka tampaknya simetris. Hal ini perlu dicurigai bila pasien tidak
dapat memejamkan kedua matanya. Di klinik kami, penyebab yang paling sering
dari kelumpuhan nervus VII perifer yang bilateral ialah sindrom Guillain Barre.
Beberapa penyebab gangguan saraf VII
-
Strok (kebanyakan menyebabkan gangguan jenis sentral)
-
Gangguan jenis perifer

paralise idiopatis (Bell's palsy)

tumor di sudut serebelopontin

otitis media

meningitis karsinomatosa

tumor parotis

fraktur dasar tulang tengkorak
Beberapa penyebab gangguan pengecapan (N VII, N IX)
-
Meningitis viral
-
Pasca influensa
-
Merokok Mulut kering, dapat disebabkan oleh:
-
Obat-obatan: antikholinergika
-
Penyakit sistemik (penyakit Sjogren)
-
Defisiensi vitamin B12 dan A
-
Miksedema
-
Obat-obatan (amitriptilin, vinkristin, ace-inhibitors)
Saraf Otak VII (nervus stato-akustikus, oktavus, nervus vestibulo-kokhlearis
N.VIII)
Saraf ini terdiri atas dua bagian, yaitu saraf kokhlearis dan saraf vestibularis. Saraf
kokhlearis mengurus pendengaran dan saraf vestibularis mengurus keseimbangan.
Saraf Kokhlearis
Anatomi dan fisiologi
Reseptor pendengaran ialah sel-sel rambut di organ Corti. Dari sini impuls dihantar
melalui serabut-serabut sel bipolar ganglion spiral (kokhlear), yang membentuk
saraf kokhlearis. Saraf kokhlearis ini berjalan di lantai meatus akustikus internus,
bersama-sama nervus vestibularis dan nervus fasialis, dan keluar melalui porus
akustikus internus, kemudian memasuki batang otak di bagian atas dari medula
oblongata pada perbatasannya dengan pons.
Serabut nervus kokhlearis berakhir (bersinaps) di inti kokhlearis bagian dorsal dan
ventral. Dari sini keluar serabut, yang sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak
menyilang. dan meneruskan diri melalui lemniskus lateralis menuju korpus
genikulatum medial. Dalam perjalanannya menuju korpus genikulatum medial,
serabut ini melalui inti lemniskus lateralis dan olivarius superior. Pada inti ini ada
serabut yang bersinaps. genikulatum medial, setelah bersinaps, serabut melanjutkan
diri ke korteks auditif (area 41) (gambar 5.16).
Inti-inti yang terdapat sepanjang perjalanan serabut pendengaran di batang otak
(inti korpus trapezoid, inti olivarius superior, inti olivarius superior aksesorius, inti
lemniskus lateralis, dan inti kolikulus inferior), disamping menjadi inti perantara,
juga merupakan pusat refleks. Dari inti-inti ini didapatkan hubungan dengan inti
retikular, inti-inti motorik berbagai saraf kranial dan sel moto neuron medula
spinalis. Hubungan refleks ini mengatur gerakan mata, kepala, leher dan badan
terhadap rangsang suara (bunyi) Inti lemniskus lateralis dan olivarius superior kiri
dan kanan juga saling berhubungan, melalui komisura Probst dan komisura
kolikulus inferior.
Garigguan saraf kokhlearis
Gangguan pada saraf kokhlearis dapat menyebabkan tuli, tinitus atau hiperakusis.
Tuli. Kita mengenal 2 macam ketulian, yaitu:
1. Tuli perseptif atau tuli saraf.
2. Tuli konduktif, disebut juga sebagai tuli obstruktif atau tuli transmisi.
Tuli saraf dapat disebabkan oleh lesi di:
a. reseptor di telinga dalam
b. nervus kokhlearis
c. inti-inti serta serabut pendengaran di batang otak
d. korteks auditif.
Reseptor dapat rusak karena senilitas, obat-obatan (misalnva streptomisin, aspirin,
kina), oleh suara yang keras yang berlangsung lama, sinarom Meniere, otoskierosis
dan trombosis arteri auditer interna. Serabut kokhlearis dapat rusak karena trauma,
tumor (misalnya neuroma, tumor di sudut serebelopontin), meningitis, dan
intoksikasi. Lesi di batang otak misalnya oleh gangguan peredaran darah, lesi desak
ruang (space occupying lesion) dapat disertai oleh ketulian. Persarafan pendengaran
ialah bilateral, karenanya kerusakan di lobus temporalis satu sisi tidak akan
menyebabkan ketulian
Tuli konduktif disebabkan oleh gangguan telinga luar dan telinga tengah. Tuli
konduktif dapat disebabkan oleh sumbatan liang telinga luar misalnya oleh
serumen, air, darah, eksudat dekat membrana timpani, perforasi membrana timpani,
dan otitis media: Gangguan di nasofaring yang mengakibatkan obstruksi pada tuba
Eustachii dapat menyebabkan tuli konduktif.
Pada tuli saraf, konduksi udara dan konduksi tulang sama-sama berkurang,
sehingga perbandingan hantarannya biasanya tidak berubah (tes Rinne positif).
Akan tetapi, tes Schwabach memendek dan pada tes Weber didapatkan lateralisasi
ke arah yang sehat. Selain itu terdapat, kehilangan pendengaran terutama untuk
nada yang tinggi dan huruf mati yang tajam, seperti s dan t. Pada tuli konduktif
gangguan terutama pada konduksi udara, sedang konduksi tulang tidak berubah,
malah dapat bertambah; karenanya tes Rinne negatif. Disamping itu tes Schwabach
memendek dan pada tes Weber didapatkan lateralisasi ke sisi yang tuli. Selain itu,
terdapat gangguan pendengaran, terutama pada nada yang rendah. Seorang
penderita dapat menderita tuli konduktif dan tuli perseptif pada waktu yang
bersamaan dan hal ini disebut tuli campuran (mixed deafness).
Tinitus. Tinitus ialah persepsi bunyi berdenging di telinga, yang disebabkan oleh
eksitasi atau iritasi pada alat pendengaran, sarafnya, inti serta pusat yang lebih
tinggi. Tinitus dapat juga terjadi pada tuli konduktif. Bunyi yang terdengar dapat
berfrekuensi tinggi atau rendah, dan penderita sering mengemukakan terdengarnya
bunyi berdenging atau berdesis. Tinitus dapat disertai oleh berkurangnya
pendengaran, dan tinitus menghilang jika tulinya total. Sering juga tinitus
mendahului berkurangnya pendengaran. Tinitus lebih jelas terdengar waktu malam,
waktu mau tidur, pada saat keributan berkurang. Sering penderitanya lebih
terganggu oleh tinitus daripada oleh mundurnya pendengaran.
Tinitus sering disebabkan oleh gangguan di telinga dalam, dengan demikian ia
sering disertai oleh penurunan pendengaran (tuli) dan kadang- kadang juga disertai
oleh vertigo. Obat-obatan seperti kina, salisilat dan streptomisin dapat
menyebabkan tinitus. Kadang-kadang penyebabnya ialah gangguan sirkulasi darah.
Iritasi saraf kokhlear dapat juga menyebabkan tinitus. Kadang-kadang lesi pada inti
kokhlear dan serabut asendensnya dapat pula menyebabkan tinitus. Tinitus da pat
juga terjadi sebagai akibat lesi di sekitar korteks auditif di lobus temporalis.
Hiperakusis. Hiperakusis atau meningginya ketajaman pendengaran yang bersifat
patologis didapatkan pada paralisis muskulus stapedius, pada migren, psikoneurosis
dan dapat juga merupakan aura dari epilepsi lobus temporalis.
Pemeriksaan Saraf Kokhlearis
Ketajaman pendengaran. pendengaran ditentukan dengan jalan menyuruh penderita
mendengarkan auara bisikan pada jarak tertentu dan membandingkannya dengan
orang yang normal. Perhatikan pula apa ada perbedaan antara ketajaman
pendengaran telinga kanan dan kiri. Beda ini penting artinya ditinjau dari sudut
patologis. Bila ketajaman pendengaran berkurang, atau terdapat perbedaan antara
kedua telinga, kita lakukan pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne, Weber
dan audiogram.
Secara Tes Schwabach. Pada tes ini pendengaran penderita dibandingkan dengan
pendengaran pemeriksa (yang dianggap normal). Garpu tala dibunyikan dan
kemudian ditempatkan di dekat telinga penderita. Setelah penderita tidak
mendengarkan bunyi lagi, garpu tala tersebut ditempatkan di dekat telinga
pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa
Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan
lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid penderita. Disuruh ia
mendengarkan bunyinya.
Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan pada tulang mastoid
pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya, maka dikatakan bahwa
Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek.
Tes Rinne. Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi
udara. Pada telinga yang normal, konduksi udara lebih baik daripada konduksi
tulang. Hal ini didapatkan juga pada tuli perseptif (tuli saraf). Akan tetapi, pada tuli
konduktif, konduksi tulang lebih baik daripada konduksi udara.
Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang berfrekuensi 128,
256, atau 512 Hz. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada tulang
mastoid penderita. la disuruh mendengarkan bunyinya. Bila tidak terdengar lagi,
garpu tala segera didekatkan pada telinga.
Jika masih terderigar bunyi, maka konduksi udara lebih baik dari pada konduksi
tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne positif.
Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera seteiah garpu tala dipindahkan dari tulang
mastoid ke dekat telinga, kita katakan Rinne negatif (gambar 5.17).
Garpu tala dibunyikan, ditekankan ke pangkal telinga (A) Setelah bunyi tidak
terdengar, garpu tala diangkat dan didekatkan ke telinga (B)
A: Konduksi tulang
B. Konduksi udara
Pada orang normal konduksi udara lebih baik dari konduksi tulang, demikian juga
Pada tuli saraf. Pada tuii konduktif konduksi tulang lebih baik dari konduksi udara
Tes Weber. Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
penderita, tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya, dan
menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Pada orang yang
normal, kerasnya bunyi sama pada telinga kiri dan kanan. Pada tuli saraf, bunyi
lebih keras terdengar pada te!inga yang sehat, sedang pada tuli konduktif bunyi
lebih keras terdengar pada telinga yang tuli. Kita katakan: tes Weber berlateralisasi
ke kiri (atau ke kanan), bila bunyi lebih keras terdengar di telinga kiri (atau kanan).
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif pendengaran berkurang, Rinne
positif dan Weber berlateralisasi ke telinga yang sehat. Pada tuli konduktif
pendengaran berkurang, Rinne negatif dan Weber berlateralisasi ke telinga yang
tuli (gambar 5.18).
Bunyi atau suara yang dapat didengar oleh telinga normal berfrekuensi antara 8-6
sampai kira-kira 32.000 Hz
Saraf Vestibularis
Anatomi dan fisiologi
Reseptor saraf vestibularis ialah sel-sel rambut (sel neuroepitelial) yang terdapat di
krista ampularis pada kanal semisirkularis, di makula pada utrikulus dan makula di
telinga dalam. Impuls dari sel-sel rambut ini dihantar melalui serabut sel bipolar
dari ganglion vestibular yang terletak di lantai bipolar inilah yang meatus akustikus
internus. Serabut-serabut sel membentuk saraf vestibularis. Serabut ini berjalan di
meatus akustikus internus bersama nervus kokhlearis dan memasuki batang otak di
perbatasan pons dengan medula oblongata. Serabut saraf vestibularis ini bersinaps
di inti-inti vestibularis, yang terdiri atas inti vestibularis medialis (Schwalbe), inti
vestibularis superior (Bechterew), inti vestibularis lateralis (Deiter) dan inti
vestibularis inferior (spinal). Sebagian kecil dari serabut saraf vestibularis berjalan
langsung ke serebelum dan berakhir di korteks lobus nodulo-flokularis. Dari
kelompok inti-inti vestibularis ini keluar serabut- serabut yang mengadakan
hubungan dengan inti-inti atau daerah lainnya, di antaranya adalah dengan batang
otak, medula spinalis, sere belum dan mungkin juga serebrum (gambar 5.19).
Hubungan batang otak. Serabut dari inti vestibularis mengadakan hubungan
derngan inti saraf otak III, IV, dan VI (yang mengurus otot ekstraokular). Sistem
vestibuler memainkan peranan dalam mengurus gerak terkonjugasi bola mata yang
reilektoris terhadap gerakan serta posisi kepala. Sistem vestibular juga ikut berperan
dalam membuat mata dapat memfiksasi pada benda yang diam pada saat kepala dan
badan berada dalam keadaan bergerak.
Hubungan dengan medula spinalis. Hubungan dengan medula spinalis terjadi
melalui traktus vestibulo-spinalis lateralis dan medialis. Impuls yang melalui
serabut pada traktus ini ikut membantu refleks miotatik lokal, ikut mengatur tonus
otot ekstensor badan dan anggota gerak terhadap gravitasi, dan mempertahankan
sikap tegak.
Hubungan dengan serebelum. Bagian vestibuler dari serebelum (archicerebellum)
berperan dalam mempertahankan keseimbangan. Hal ini dilakukan melalu! serabut
dari inti vestibularis ke motor neuron medula spinalis, dan melalui hubungan
serebelo-retikuler dan retikulospinal. Paleocerebellum mempengaruhi tonus otot,
dalam hubungannya dengan sikap dan gerakan, melalui inti-inti vestibuler dan
nukleus ruber.
Hubungan dengan serebrum. Sistem vestibuler terutama berfungsi di tingkat batang
otak, serebelum dan spinal. Hubungannya dengan korteks serebri belum berhasil
dibuktikan dengan baik. Sering dikemukakan bahwa daerah vestibular di korteks
serebri berlokasi di girus temporalis superior, di depan daerah akustik. Pendapat ini,
antara lain, didasarkan atas terdapatnya kadang-kadang perasaan vertigo atau
perasaan puyeng yang kadang-kadang timbul bila daerah girus temporalis superior
diberi rangsang listrik. Hubungan anatomis yang erat antara sistem vestibular dan
akustik dapat pula menyokong konsep bahwa di kortekspun presentasinya akan
berdekatan. Namun demikian, sistem vestibular ialah mempunyai fungsi
proprioseptif dan atas dasar fisiologis presentasi di daerah parietal lebih dapat
diterima. Ada pendapat yang mengemukakan bahwa daerah vestibular berada di
bagian bawah dari girus post-sentralis, di belakang area somatosensorik kepala.
Ada laporan yang mengemukakan bahwa bila lobus parietalis di stimulasi, maka
terdapat sensasi rotasi dan sensasi badan beranjak.
Sistem vestibular mempunyai fungsi majemuk dan kompleks. Impuls kinetik yang
berasal dari kanalis semisirkularis menstimulasi gerak kompensasi guna
keseimbangan. Impuls yang berasal dari otolit memberi informasi mengenai letak
di ruangan dan mencetuskan refleks yang diperlukan dalam mempertahankan
keseimbangan pada tiap macam sikap.
Dengan demikian sistem vestibular erat hubungannya dengan serebelum. Sisiem
vestibular ikut berperan dalam koordinasi, terutama koordinasi gerakan badar dan
anggota gerak, sebagai jawaban terhadap rangsangan dari kanalis semisirkularis.
Mekanisme otolit, melalui serabut vestibulo- spinalis, penting dalam mengatur
tonus otot, dan penting bagi refleks sikap dan refleks tegak. Sistem vestibular juga
penting dalam refleks okuler, fiksasi dan gerak terkonjugasi dari kepala dan mata,
yang memungkinkan seseorang memfiksasi pandangannya pada benda yang diam
bila kepala dan badannya bergerak.
Gangguan Saraf Vestibularis
Gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral dapat menyebabkan
terjadinya vertigo, rasa tidak stabil, kehilangan keseim- bangan, nistagmus dan
salah tunjuk ("past pointing").
Vertigo. Vertigo merupakan keluhan yang sering dikemukakan oleh penderita
dengan gangguan sistem vestibular. Ini merupakan rasa bergerak (penderita merasa
bahwa sekitarnya bergerak, atau dirinya yang bergerak), dan biasanya disertai oleh
rasa tidak stabil dan kehilangan keseimbangan.
Pemeriksaan saraf vestibularis
Telah dikemukakan di atas bahwa gangguan vestikular dapat menyebabkan antara
lain: vertigo, nistagmus, kehilangan keseimbangan dan salah tunjuk (pastpointing).
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada reseptor vestibuler, saraf
vestibularis atau hubungan sentralnya.
Nistagmus telah kita perbincangkan waktu mempelajari nervus III, IV, dan VI (lihat
halaman). Biasanya nistagmus sudah dapat dideteksi waktu memeriksa gerak bola
mata, namun kadang-kadang dibutuhkan tes lain untuk menimbulkannya atau untuk
memperjelasnya.
Cara khusus untuk menimbulkan nistagmus
Untuk menimbulkan atau memperjelas nistagmus dapat dilakukan manuver NylenBarany/manuver Hallpike, atau tes kalori.
Manuver Nylen-Barany atau manuver Hallpike. Untuk membangkitkan vertigo dan
nistagmus posisional pada penderita dengan gangguan sistem vestibular dapat
diiakukan manuver Nylen-Barany atau dinamai juga sebagai manuver Hallpike.
Pada tes ini pasien disuruh duduk di tempat-tidur-periksa. Kemudian ia direbahkan
sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30 derajat di bawah
horison. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi dengan
kepala melihat lurus dari diulangi lagi dengan kepala menoleh ke kanan. Penderita
disuruh tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat sekiranya muncul
nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus mulai muncul, berapa lama berlangsung
serta jenis nistagmus. Kemudian kepada penderita ditanyakan apa yang
dirasakannya. Apakah ada vertigo dan apakah vertigo yang dialaminya pada tes ini
serupa dengan vertigo yang pernah dialaminya (gambar 5.20).
Pada lesi perifer, vertigo lebih berat dan didapatkan masa laten selama sekitar 2-30
detik. Yang dimaksud dengan masa laten di sini ialah nistagmus tidak segera timbul
begitu kepala mengambil posisi yang kita berikan; nistagmus baru muncul setelah
beberapa detik berlalu, yaitu sekitar 2-30 detik. Daiam hal ini, kita katakan masa
laten untuk terjadinya nistagmus ialah 2-30 detik.
Pada lesi perifer vertigo biasanya berat, lebih berat daripada lesi sentral. Pada lesi
perifer nistagmus akan capai; maksudnya ialah setelah beberapa saat nistagmus
akan berkurang dan kemudian berhenti, walaupun kepala masih tetap dalam
posisinya. Selain itu, pada lesi perifer, bila manuver ini diulang-ulang, jawaban
nistagmus akan berkurang dan kemudian tidak muncul lagi. Hal ini disebut
habituasi. Pada lesi vestibular sentral tidak didapatkan masa laten. Nistagmus
segera muncul. Selain itu, pada lesi sentral nistagmus tidak berkurang atau mereda,
tidak menjadi capai dan nistagmus akan tetap timbul bila manuver ini diulangulang. Jadi, tidak didapatkan habituasi.
Ciri Nitangmus Posisional
Lesi Perifer
Lesi Sentral
Vertigo
Berat
Ringan
Masa leten
Ya
Tidak
Jadi capai/Lelah
Ya
Tidak
Habituasi
Ya
Tidak
Tes kalori. Tes kalori mudah dilakukan dar mudah diduplikasi. Tes ini
membutuhkan peralatan yang sederhana, dar. dapat diperiksa pada kedua telinga.
Kepekaan penderita terhadap rangsang kalori bervariasi, karenanya ebih baik
dimulai dengan stimulasi yang ringan; dengan harapan bahwa stimulasi ringantelah
menginduksi nistagmus dengan rasa vertigo yang ringan dan tidak disertai nausea
atau muntah. Stimulasi yang lebih kuat selalu dapat diberikan bila penderita
ternyata kurang sensitif.
Cara melakukan tes kalori: Kepala penderita diangkat ke belakang (menengadah)
sebanyak 60 derajat (tujuannya ialah agar bejana lateral di abirin berada dalam
posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal oleh aliran
konveksi yang diakibatkan oleh aliran endolimf).
Tabung suntik berukuran 20 cc dengan jarum ukuran nomor 15 yang ujungnya
dilindungi karet diisi dengan air bersuhu 300C (kira-kira 7 derajat di bawah suhu
badan). Air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Dengan
demikian gendangan telinga tersiram air selama kira- kira 20 detik. Kemudian, bola
mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus
ialah ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang diairi (karena air yang
disuntikkan lebih dingin dar suhu badan). Arah gerak nistagmus dicatat, demikian
juga trekuensinya (biasanya 3 5 kali per detik) dan lamanya nistagmus berlangsung
dicatat. Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita, namun
biasanya berlangsung antara ½-2 menit.
Setelah beristirahat selama 5 menit, telinga ke dua dites. Hal yang penting
diperhatikan ialah membandingkan lamanya nistagmus pada kedua sisi, yang pada
keadaan normal hampir serupa. Pada sekitar 5% orang stimulasi minimal tidak akan
mencetuskan nistagmus. Pada normal, penderita demikian, 5 ml air es diinjeksikan
ke telinga, secara lambat, sehingga lamanya injeksi berlangsung ialah 20 detik.
Pada keadaan normal hal ini akan mencetuskan nistagmus yang berlangsung 2-21/2
menit. Bila masih tidak timbul nistagmus, kemudian dapat disuntikkan 20 ml air es
selama 30 detik. Bila stimulasi ini juga tidak menimbulkan nistagmus, maka dapat
dianggap bahwa labirin tidak berfungsi.
Tes kalori mengevaluasi fungsi vestibular ini mudah dilaksanakan dan mudah
diinterpretasi. Tes ini memungkinkan kita menentukan apakah keadaan labirin
normal, hipoaktif atau tidak berfungsi. Dalam hal ini kita bandingkan sensitivitas
labirin pada kedua sisi. Namun demikian, pada tes kalori, pemeriksa harus
mengobservasi gerak bola maia untuk selain itu, gerakan dan arah nistagmus serta
lamanya nistagmus berlangsung harus diamati. Karena pengamatan dilakukan
langsung oleh pemeriksa, kesalahan yang manusiawi dapat terjadi. Untuk
mengurangi kemungkinan kesalahan ini dikembangkan pemeriksaan elektronistagmografi.
Elektronistagmografi. Pada pemeriksaan dengan alat ini diberikan stimulus kalori
ke liang telinga dan lamanya serta cepatnya nistagmus timbui dapat dicatat pada
kertas, menggunakan teknik yang mirip dengan elektrokardiografi.
Hubungan saraf antara inti vestibuler di batang otak dengan inti saraf penggerak
bola mata, yaitu saraf III, IV dan VI, bertanggung jawab terhadap terjadinya
nistagmus bila sistem vestibular dirangsang. Jenis nistagmus yang terjadi dapat
memberi petunjuk mengenai letak lesi yang menyebabkan vertigo.
Nistagmus ialah gerak involunter yang bersifat ritmik dari bola mata. Gejala
objektif dari vertigo ialah adanya nistagmus. Jadi. bila didapatkan keluhan vertigo
kita harus mencari adanya nistagmus dangan memeriksa gerakan bola mata, atau
bila perlu, dilakukan tes khusus uniuk menimbulkan nistagmus.
Nistagmus mempunyai ciri sesuai gerakannya, misalnya "jerk" dan penduler;
menurut; menurut bidang gerakannya (horisontal, rotatoar, vertikal, lamanya
nistagmus campuran), arah gerakan, amplitudo dan berlangsung. Selain itu
pengaruh dari sikap kepala juga perlu diperhatikan. Sebagai pegangan sederhana
gejala berikut dapat dianggap sebagai berasal dari susunan saraf pusat (sentral)
yaitu: nistagmus yang vertikal murni; nistagmus yang berubah arah; nistagmus
yang sangat aktif namun tanpa vertigo. Sebaliknya, nistagmus yang rotatoar umum
didapatkan pada gangguan vestibuler perifer.
Nistagmus dapat lebih mudah dievaluasi dengan menggunakan lensa Frenzel.
Lensa ini ialah suatu kaca mata dengan lensa positif 20 dioptri. Lensa ini membuat
penderita tidak dapat memfiksasi pandangannya dan pemeriksa dapat menilai
gerakan mata penderita dengan lebih mudah (karena lensa ini berfungsi sebagai
kaca pembesar).
Tes untuk menilai keseimbangan
Untuk menilai keseimbangan penderita, dapat dilakukan tes Romberg yang
dipertajam dan tes melangkah di tempat (stepping test).
Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki yang satu
di depan kaki yang lainnya; tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari kaki yang
lainnya (tandem). Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Tes ini
berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang yang normal mampu
berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
Tes melangkah di tempat (stepping test). Penderita disuruh berjalan di tempat,
dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa.
Sebelumnya dikatakan kepadanya bahwa ia harus berusaha agar tetap di tempat,
dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini. Tes ini dapat mendeteksi
gangguan sistem vestibular.
Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari
1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.
Salah tunjuk (past pointing)
Penderita disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk
pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggitinggi (sampai vertikal) dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada gangguan
vestibular didapatkan salah tunjuk (deviasi), demikian juga dengan gangguan
serebelar. Tes ini dilakukan aengan lengan kanan dan lengan kiri, selain penderita
disuruh mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dapat pula dilakukan dengan
menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan kemudian kembali ke posisi
semula.
Penyebab gangguan sistem vestibular
Berbagai penyakit atau kelainan dapat mengganggu sistem vestibular. Gangguan di
labirin dapat disebabkan oleh mabuk perjalanan (motion sickness), intoksikasi obat
misalnya streptomisin, labirintitis dan penyakit Meniere. Di tingkat pusat, iskemia
vertebro-basiler merupakan penyebab yang sering dari vertigo. Vertigo dapat juga
disebabkan oleh lesi di serebelum dan lobus temporalis. Keadaan patologis yang
merusak nervus akustikus dapat pula menyebabkan lesi di nervus vertibularis.
Berikut ini dikemukakan penyebab yang sering dijumpai
-
Gangguan jenis perifer

Neuronitis vestibular

Vertigo posisional benigna

Mabuk kendaraan (motior sickness)

Trauma

Obat-obatan, misalnya streptomisin

Labirintitis

Penyakit Meniere

Tumor di fossa posterior, misalnya neuroma akustik

Keadaan patologis yang merusak nervus akustikus, dapat pula
menyebabkan lasi di nervus vestibularis.
-
-
Gangguan jenis sentral

Strok atau iskemia batang otak (vertebro-basilar)

Migren basilar

Trauma

Perdarahan atau lesi di serebelum

Lesi lobus temporalis

Neoplasma
Lain-lain

Toksık (misalnya antikonvulsan fenitoin, sedatif)

Infeksi

Hipotiroidi
Saraf Otak IX (nervus glosofaringeus N.IX)
Saraf Otak X (nervus vagus N.X)
Anatomi dan fisiologi
Nervus IX dan X diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan erat satu
sama lain, sehingga gangguan fungsinya jarang tersendiri, kecuali pada bagian yang
perifer sekali.
Di bagian lateral formasio retikularis medulla obiongata terdapat nukleus ambigus.
Bagian atas nukleus ini memberikan serabut pada glosofaringeus, dan bagian
tengahnya pada n. vagus. Serabut motorik ini menginervasi faring, laring dan
bagian atas esofagus.
N. vagus mengandung lebih banyak unsur motorik. Sebagian terbesar otot faring
disarafi dari nukleus ambigus melalui n. vagus. Palatum molle (yang diurus oleh N
X) dapat bergerak ke atas dan belakang, dengan demikian memisahkan rongga
orofaring dari nasofaring.
N. laringeus rekurens mensarafi otot laring, kecuali m. krikotiroideus. Pembentukan
suara (fonasi) dilakukan oieh pita suara, yang disarafi oleh nervus laringeus
rekurens (cabang dari nervus X). Bagian motorik lain yang penting ialah sistem
parasimpatis eferen viseral yang dari nukleus motorik dorsal menginervasi otot
polos traktus sirkulatorius, traktus respiratorius dan traktus digestivus.
Nukleus salivatorius inferior melalui n. glosofaringeus memberi serabut pada
glandula parotis. Perasaan dari sepertiga bagian belakang lidah, palatum molle,
uvula dan dinding rongga nesofaring dihantar melalui n. glosofaringeus ke nukleus
traktus solitarius.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lebih banyak serabut aferen melaluin.
glosofaringeus dan lebih banyak serabut eferan melalui n. vagus.
Pengucapan (artikulasi) kata-kata diurus oleh otot-otot mulut (maseter, pterigoideus
lateralis, orbikularis oris), otot lidah, otot laring dan faring. Jadi, artikulasi
merupakan kerjasama antara saraf otak V, VII, IX, X dan XII. Kelumpuhan sarafsaraf ini dapat mengakibatkan ketidak mampuan untuk mengucapkan kata-kata
dengan baik. Hal ini disebut disartria.
N IX meninggalkan tengkorak bersama N X dan N XI melalui foramen jugulare.
Gangguan nervus IX dan X
Gejala gangguan yang penting ialah disartria (cadel, pelo, gargguan pengucapan
kata-kata) dan salah telan (keselak, disfagia).
Saraf IX jarang terlibat serdiri dalam proses penyekit, umumnya ia terlibat bersamasama dengan n.vagus dan n.aksesorius, misalnya oleh kompreso, inflamasi atau
trauma.
Pada neuralgia glosofaringeus penderitanya mengalami serangan rasa nyeri yang
dapat hebat di daerah yang disarafi oleh saraf ini, yaitu di kerongkongan, tonsil dan
telinga. Sebagaimana halnya dengan neuralgia trigeminus (tic douloureux), pada
neuralgia glosofaringeus dapat dijumpai daerah pencetus (trigger zone); dalam hal
ini biasanya di dinding faring, daerah tonsil atau di dasar lidah. Serangan nyeri
dapat dicetuskan tila penderita berbicara, makan, menelan, atau batuk.
Pembentukan suara (fonasi) dilakukan oleh pita suara, yang disarai oleh nervus
laring rekurens (cabang dari nervus X). Kerusakan nervus X dapat mengakibatkan
lumpuhnya pita berkurangnya suara, serak (disfonia) atau suara tidak ada sama
sekali (afonia).
Pengucapan (artikulasi) kata-kata diurus oleh otot-otot mulut (maseter, pterigoideus
lateralis, orbikularis oris), otot lidah, otot laring dan faring. Jadi merupakan
kerjasama antara saraf otak V, VII, IX, X dan XII. Kelumpuhan saraf-saraf ini dapat
mengakibatkan ketidak mampuan untuk mengucapkan kata-kata dengan baik. Hal
ini disebut disartria
Palatun molle (yang diurus oleh N.X) dapat bergerak ke atas dan belakang, dengan
demikian memisahkan rongga orofaring darí nasofaring. Pada kelumpuhan palatum
molle, jalannya udara melalui hidung tidak ditutup dengan baik waktu berbicara
sehingga terjadi suara bindeng atau suara sengau (suara hidung). Bila penderitanya
disuruh mengejan atau menggembungkan pipi, hal ini tidak dapat dilakukannya
dengan baik, karena udara terlepas melalui hidung. Hal ini dapat dicegah bila
lubang hidung ditutup. Bila penderitanya minum, cairan dapat keluar melalui
hidung.
Salah telan atau gangguan menelan (disfagia, keselek) dapat terjadi pada
kelumpuhan n.IX dan X. Medula oblongata disebut juga dengan nama bulbus. Lesi
di medula oblongata dapat mengakibatkan lumpuhnya saraf IX, X, XI dan XII, dan
disebut juga dengan nama kelumpuhan saraf bulber. Kelumpuhan saraf bulber dapat
bersifat lower-motor-neuron atau bersifat upper-motor-neuron. Pada kelumpuhan
upper-motor-neuron lesinya terletak ebih atas dan bilateral. Hal ini dapat terjadi
pada infark serebrí bilateral (herniparese dupleks), dan lesi di serabut kortiko-bulber
yang bilateral. Kelumpuhan demikian disebut juga sebagai kelumpuhan pseudebulber.
Pada penderita hemiparese dupleks, dengan kelumpuhan pseudo- bulber, dapat
dijumpai gambaran berikut penderita mengalami kesukaran dalam menelan
(disfagia), bicaranya pelo (disartria). Padanya dijumpai tangis-paksa atau tertawapaksa (tanpa sebab atau oleh rang- sang ringan ia tertawa atau menangis). Wajahnya
kurang ekspresi, dan gerak volunter wajah berkurang.
Namun demikian, bila ia tertawa atau menangis, terdapat gerak yang berlebihan
pada otot wajah.
Pemeriksaan
Nervus IX dan X diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan erat satu
sama lain, sehingga gangguan fungsinya jarang tersendiri, kecuali pada bagian yang
perifer sekali.
Banyak fungsi saraf ini yang tidak diperiksa secara rutin karena sukar
melakukannya dan juga tidak penting dalam menegakkan diagnosis, namun
demikian, ada hal yang perlu diperiksa secara rutin.
Fungsi motorik. Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan kualitas suara pasien.
Apakah suaranya normal ? Apakah suaranya berkurang, serak (disfonia), atau tidak
ada sama sekali (afonia)? Untuk ini pasien disuruh menyebutkan: aaaaaaaaa.
Pembentukan suara ini dilakukan oleh pita suara (disarafi oleh cabang nervus X).
Pada kelumpuhan cabang nervus X, yaitu nervus laringeus rekurens, didapatkan
disfonia. Kelumpuhan nervus laringeus rekurens dapat disebabkan oleh tekanan
pada saraf tersebut. misalnya oleh tumor, kelenjar yang membengkak atau
anerisma. Kemudian penderita disuruh mengucapkan kata-kata, misalnya: "Ari lari
di lorong- lorong lurus". Perhatikan apakah ia dapat mengucapkan kata-kata
tersebut dengan baik.
Untuk mengucapkan kata-kata dibutuhkan otot-otot artikulasi, yaitu mulut
(maseter, orbikularis oris), otot lidah, otot laring dan faring. Jadi, artikulasi
merupakan kerjasama antara N V, VII, IX, X, dan XII. Kelumpuhan saraf-saraf
(otot-otot) ini dapat mengakibatkan penderita tidak mampu mengucapkan kata
dengan baik. Hal ini disebut disartria. Perhatikan pula kualitas kata-kata yang
diucapkan, apakah bindeng (sengau). Pada kelumpuhan N IX dan X, palatum molle
tidak sanggup menutup jalan kehidung waktu berbicara, dan didapatkan suara
hidung
(bindeng).
Selain
itu,
bila
penderita
disuruh
mengejan
atau
menggembungkan pipi, ia tidak sanggup melakukannya dengan baik karena udara
terlepas melalui hidung. Hal ini dapat dicegah bila lubang hidung ditutup.
Penderita dissuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air. Perhatikan
apakah ada salah telan (keselak, disfagia). Kelumpuhan N IX dan X dapat
menyebabkan disfagia. Hal ini sering dijumpai pada hemiparese dupleks, yang
disebut juga sebagai kelumpuhan pseudo-bulber. Persarafan N IX dan X adalah
bilateral, karenanya kelumpuhan supranukler baru terjadi bila ada lesi bilateral.
Penderita disuruh membuka mulut. Perhatikan palatum molle dan faring.
Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring dan. uvula dalam keadaan istirahat,
dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu bernafas atau bersuara (suruh
penderita nienyebut : aaaaa). Bila terdapat parese otot-otot faring dan palatum
riolle, maka palatum molle, uvula dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya lebih
rendah dari pada yang sehat (gambar 5.21). Dan bila bergerak, uvula dai arkus
seolah-olah tertarik ke bagian yang sehat. Bila terdapat parese di kedua belah pihak,
maka tidak didapatkan gerakan dan posisi uvula dan arkus faring lebih rendah.
Refleks faring. Waktu pasien membuka mulut, kita rangsang (tekan-enteng)
dinding faring atau pangkal lidah dengan tong-spatel. Dalam hal ini, terlihat faring
terangkat dan lidah ditarik (refleks positif). Bila ada gangguan nervus IX dan X,
refleks dapat riegatif. Bila rangsang tersebut diatas dilakukan dengan cukup keras,
kita membangkitkan refleks muntah, yang juga dapat hilang pada kerusakan nervus
IX dan X.
Refleks wahing. Mukosa hidung dirangsang dengan sentuhan kapas (nervus V), hal
ini mengakibatkan timbulnya wahing (N X dibantu oleh N V, VII dan IX).
Cekukan ("Hiccup", "singultus") Cekukan merupakan kontraksi diafragma yang
menyebabkan udara diinspirasi dengan kuat dan bersamaan dengan itu terdapat pula
spasmes faring dan berhentinya inspirasi karena menutupnya glottis. Hal ini
memberikan suara cekukan. Singultus dapat timbul pada iritasi lambung, diafragma
dan juga laring. Nervus frenikus memainkan peranan penting dalam singultus.
Pengecapan. Nervus IX mengandung juga serabut aferen khusus untuk pengecapan,
yaitu pengecapan dari 1/3 bagian posterior lidah. Pengecapan ini tidak diperiksa
secara rutin, karena sukar. Tempat permeriksaan di bagian belakang lidah. Bila
perlu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan arus galvanis lemah (0,2 0,4
milliamper). Kita gunakan elektroda dari kawat tembaga yang ditempatkan sebagai
anoda pada lidah posterior. Pada orang normal akan terasa rasa asam.
Fungsi autonom. Nervus vagus merupakan inhibitor dari jantung; paralisis
menyebabkan takikardia, sedang iritasi menyebabkan bradikardia. Oleh karenanya,
pada pemeriksaan N X perlu pula diperiksa frekuensi nadi. Kita mengetahui bahwa
takikardia dapat disebabkan oleh beragam penyebab, misalnya suhu yang tinggi,
anemia, dlsbnya. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menyebabkan bradikardia.
Bagaimana mekanisme timbulnya bradikardia dalam hal ini belum jelas diketahui.
Refleks sinus karotikus. Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada pemeriksaan rutin.
Caranya: Kita tekan sinus karotikus dengan tangan pada percabangan arteri karotis
komunis. Hal ini memberi rangsang reflek pada nervus vagus dan pusat-pusat di
otak yang mengurus fungsi vegetatif. Rangsang dihantar oleh serabut aferen nervus
IX ke medula, dan impuls eferen dihantar oleh nervus X dan serabut simpatis. Pada
orang yang peka, dan ini biasanya didapatkan pada penderita arteriosklerosis,
rangsang dari sinus karotikus ini mengakibatkan bradikardia, menurunnya curah
jantung, menurunnya tekanan darah dan timbulnya vasodilatasi. Dalam keadaan
patologis tekanan pada bifurkasi arteri karotis komunis dapat menyebabkan vertigo,
pucat, hilang kesadaran dan kadang kejang-kejang. Bila kita duga ada kepekaan
terhadap refleks ini kita harus hati-hati melakukannya.
Refleks okulokardiak. Bila kita tekan enteng biji mata, hal ini mengakibatkan
berkurangnya detak jantung. Serabut aferen refleks ini melalui nervus trigeminus,
sedang impuls eferen melalui nervus vagus. Refleks okulokardiak ini dapat
digunakan sebagai petunjuk adanya kepekaan vagus. Refleks ini tidak terdapat pada
paralisis nervus vagus, sedangkan pada orang yang vagotonik refleks ini meningkat.
Perlu diingat bahwa refleks ini tidak konstan, dan tidak ada patokannya; selain itu
ia juga dipengaruhi oleh emosi. Biasanya bertambah lambatnya detak jantung tidak
lebih dari 8 per menit.
Beberapa penyebab gangguan N IX dan N X
-
Keadaan patologis di sekitar foramen jugulare
-
Anerisma a. vertebralis
-
"Idiopatis"
-
Strok bilateral (hemiparese dupleks)
-
Sklerosis lateral amiotrofik (ALS)
-
Hal yang menyebabkan gangguan pada n. laringeus rekurens:

anerisma aorta

tumor di mediastinum

tumor di bronkhus
Saraf Otak XI (nervus aksesorius, N.X)
Anatomi dan fisiologi
Saraf otak ini terdiri hanya dari serabut motorik (somatomotorik). intinya hanya
mempunyai hubungan dengan satu sisi korteks, yaitu sisi kontralateral. Saraf ini
sering terlibat pada strok, karena persarafannya yang unilateral ini.
Dalam foramen jugulare, serabut yang berasal dari inti medula oblongata dan inti
spinal servikal bergabung menjadi satu, dan keluar dari foramen jugulare sebagai
satu berkas saraf.
Saraf XI menginervasi otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius. Otot
sternokleidomastoideus menyebabkan gerakan menoleh (rotasi) pada kepala. Jika
m. sternokleidomastoideus satu sisi berkontraksi, ia akan menarik oksiput ke arah
otot tersebut, sedangkan muka menoleh (berdeviasi) ke sisi yang berlawanan. Bila
kedua otot sternoklei- domastoideus sama-sama berkontraksi, maka akan terjadi
fleksi kolumna vertebralis servikal dan fleksi dari kepala ke depan. Jika kepala
difiksasi gerakan kedua otot ini membantu mengangkat toraks; hal ini didapatkan
pada inspirasi kuat, misainya pada dispnoe.
Otot trapezius menarik kepala ke sisi yang sama. Ia juga rmengangkat, menarik dan
memutar skapula, serta membantu mengangkat lengan dari posisi horisontal ke atas.
Bila satu otot trapezius berkontraksi, sedangkan bahu difiksasi, maka kepala akan
tertarik ke arahnya. Bila kedua otot sama- sama berkontraksi, maka kepala akan
tertarik ke belakang dan muka terangkat ke atas. Bila kepala difiksasi, maka
kontraksi otot trapezius akan mengangkat, memutar dan menarik skapula. Pada
kelumpuhan total nervus XI kita tidak akan menemukan paralise total dari
pergerakan kepala, karena otot-otot leher yang lain, seperti skalenus, splenius, oblik
kapitis, rektus kapitis, long kapitis dan kolli ikut juga memainkan peranan pada
gerakan kepala dan leher.
Pemeriksaan
Pemeriksaan otot sterno kleidomastoideus. Perhatikan keadaan otot Dalam
sternokleidomastoideus dalam keadaan istirahat dan bergerak. keadaan istirahat,
kita dapat melihat kontur otot ini. Bila terdapat pareses perifer kita akan melihat
adanya atrofi. Pada lesi nuklir (misalnya pada ALS) kita dapatkan juga fasikulasi
(kedutan). Adanya nyeri-tekan (misalnya pada miositis) dan adanya atoni dapat
ditentukan dengan mempalpasi otot tersebut. Untuk menentukan atau mengukur
kekuatan otot dapat dilakukan 2 cara, yaitu:
1. Pasien disuruh menggerakkan bagian badan (persendian) yang digerakkan oleh
otot yany ingin kita periksa, dan kita tahan gerakan ini.
2. Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya. Dengan
demikian kita peroleh kesan mengenai kekuatan otot.
Di dalam klinik biasanya cara (1) yang sering dilakukan. Untuk mengukur tenaga
otot sternokleidomastoideus dapat dilakukan hal berikut: Kita suruh pasien menoleh
misalnya ke kanan. Gerakan ini kita tahan dengan tangan kita yang ditempatkan di
dagu. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot sternokleidomastoideus kiri.
Bandingkan kekuatan otot kiri dengan kanan (gambar 5.22).
Pemeriksaan otot trapezius. Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Apakah ada atrofi atau fasikulasi? Bagaimana kontur otot ?
Bagaimana posisi bahu, apakah lebih rendah ? Pada kelumpuhan otot trapezius
bahu sisi yang sakit lebih rendah daripada sisi yang sehat). Skapula juga beranjak
ke lateral dan tampak agak menonjol. Selain itu, otot trapezius ini perlu dipalpasi
untuk mengetahui konsistensinya, adanya nyeri tekan (miositis) serta adanya
hipotoni.
Tenaga otot ini diperiksa sebagai berikut: Tempatkan tangan kita di atas bahu
penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya, dan kita tahan.
Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot (gambar 5.23). Tenaga otot yang kiri
dan kanan dibandingkan. Pada saat ini juga dapat dilihat kontur serta perkembangan
otot. Untuk memeriksa .kedua otot trapezius, pasien disuruh mengekstensikan
kepalanya, dan gerakan ini kita tahan. Jika terdapat kelumpuhan otot trapezius satu
sisi, kepala tidak dapat ditarik ke sisi tersebut, bahu tidak dapat diangkat dan lengan
tidak dapat dielevasi ke atas dari posisi horisontal. Pada kelumpuhan kedua otot ini
kepala cenderung jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat dagunya.
Gangguan pada N XI dan penyebabnya
Gangguan pada N XI dapat terjadi karena lesi supranuklir, nuklir atau infranuklir.
Lesi supranuklir (=sentral , upper motor neuron) dapat terjadi karena kerusakan di
korteks, atau traktus piramidalis (di kapsula interna dan batang otak), misalnya oleh
gangguan peredaran darah (strok). Lesi nuklir (perifer) didapatkan pada
siringobulbi, dan ALS (sklerosis lateral amiotrofik). Pada lesi nuklir ini, selain
parese, juga didapatkan atrofi dan fasikulasi pada otot. Lesi infranuklir (lower
motor neuron, perifer) dapat terjadi karena kerusakan di ekstrameduler (di dalam
tengkorak, di foramen jugulare dar di leher). Hal ini menyebabkan paralisis dengan
atrofi. Fraktur dasar tulang tengkorak, meningitis dan neoplasma ekstramedular
dapat menyebabkan lesi perifer pada saraf XI di dalam tengkorak. Di leher saraf ini
dapat pula dirusakkan oleh adenitis servikalis, neoplasma, trauma dan abses.
Sindroma Vernett, yaitu parese nervus IX, X dan XI dapat dijumpai pada gangguen
di foramen jugulare.
Disamping paralisis, mungkin juga didapatkan manifestasi hiperkinetik dengan
spasme tonik dan klonik pada otot-otot yang disarafi nervus XI. Manifestasi
hiperkinetik ini sering dijumpai. Kontraksi otot mengakibatkan kepala dan leher
berdeviasi dan terputar, dan ini disebut tortikolis. Pada tortikolis, kepala dan oksiput
tertarik ke satu sisi sedang muka terputar ke sisi yang berlawanan. Selain itu, dapat
terjadi gerakan yang klonik atau spasmodik yang datang dalam bentuk serangan
atau berupa tik. Kemudian gerakan klonik dapat juga menjadi tonik, spastik dan
menetap. Otot yang terlibat menjadi tegang dan keras dan lama-lama menjadi
hipertrofik. Pada tortikolis yang jelas, kita dapatkan deviasi kepala yang stereotipik.
Banyak penyakit yang dapat miogen, fusi vertebra servikalis yang kongenital, spina
bifida, dan spondilitis servikalis. menyebabkan sindrom tortikolis, misalnya faktor
Tortikolis dapat juga disehabkan oleh gangguan sistem ekstrapiramidal.
Selain itu, gerakan abnormal kepala dan leher dapat dijumpai pada khorea, atetose
dan distonia muskulorum deformans.
Saraf Otak XII (nervus hipoglosus, N.XII)
Anatomi dan fisiologi Saraf XII mengandung serabut somato-motorik yang
menginervasi otot ekstrinsik dan otot intrinsik lidah. Fungsi otot ekstrinsik lidah
ialah menggerakkan lidah, dan otot intrinsik mengubah-ubah bentuk lidah. Inti saraf
ini menerima serabut dari korteks traktus piramidalis dari satu sisi, yaitu sisi
kontralateral. Dengan demikian ia sering terkena pada gangguan peredaran darah
di otak (strok), misalnya di korteks dan kapsula interna.
Pemeriksaan
Inspeksi: Suruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan
istirahat dan bergerak. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan besarnya lidah,
kesamaan bagian kiri dan kanan, dan adanya atrofi. Apakah lidah berkerut? Pada
lesi perifer didapatkan atrofi dan lidah berkerut. Selain itu apakah sikap lidah
mencong? Bila lidah digerakkan atau dijulurkan, perhatikan apakah julurannya
mencong. Pada parese satu sisi, lidah dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh.
Pada lesi nervus VII kita mendapatkan kesukaran dalam menentukan apakah lidah
dijulurkan secara mencong. Hal ini disebabkan karena posisi mulut yang mencong
pada kelumpuhan nervus VII. Untuk mempermudah, sudut mulut perlu diangkat
dan setelah itu baru lidah disuruh dijulurkan. Cara lain: kita dapat memakai garis di
antara kedua gigi seri (insisivus) atas sebagai patokan, sebab garis ini biasanya
terletak di tengah. Selain itu, adakah tremor, fasikulasi dan gerakan yang tidak
terkendali pada lidah (gambar 5.24).
Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat (lemah), demensia
paralitika, dan intoksikasi. Fasikulasi dijumpai pada lesi nuklir, misalnya pada
siringobulbi. Kadang-kadang kita sulit membedakan antara tremor dan fasikulasi,
terlebih lagi pada lidah yang terjulur. Untuk memudahkan pembedaannya, lidah
diistirahatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini, tremor biasanya berkurang atau
menghilang. Pada atetose didapatkan gerakan yang tidak terkendali. Lidah sulit
dijulurkan atau hal ini dilakukan dengan sekonyong-konyong dan kemudian tanpa
kendali ditarik secara mendadak.
Jika terdapat kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakkan atau
dijulurkan. Terdapat disartria (cadel, pelo) dan kesukaran menelan. Selain itu, juga
didapatkan kesukarani bernafas, karena lidah dapat terjatuh kebelakang, sehingga
menghalangi jalan nafas.
Untuk menilai tenaga lidah kita suruh penderita menggerakan lidahnya ke segala
jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya. Kemudian penderita disuruh
menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya tekannya ini dengan jalan
menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Jika terdapat parese lidah bagian kiri,
lidah tidak dapat ditekankan kepipi sebelah kanan, tetapi ke sebelah kiri dapat.
Gangguan pada N XII dan penyebabnya
Lesi nervus XII dapat bersifat supranuklir, misalnya pada lesi di korteks atau
kapsula interna, yang dapat disebabkan oleh misalnya pada strok. Dalam hal ini
didapatkan kelumpuhan otot lidah tanpa adanya atrofi dan fasikulasi. Pada lesi
nuklir didapatkan atrofi dan fasikulasi. hal ini dapat disebabkan oleh siringobulbi,
ALS, radang, gangguan peredaran darah, dan neoplasma. Pada lesi infranuklir
didapatkan atrofi. Hal ini dapat disebabkan oleh proses di luar medula oblongata,
tetapi masih di dalam tengkorak, misalnya trauma, fraktur dasar tulang tengkorak,
meningitis atau dapat juga oleh kelainan yang berada di luar tulang tengkorak,
misalnya abses, atau dislokasi vertebra servikalis.
Bab VI. SISTEM MOTORIK
Memeriksa sistem motorik harus dimahiri. Sebagian besar manifestasi objektif
kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerak otot (gambar 6.1). Justru
manifestasi objektif inilah yang merupakan bukti riil adanya suatu kelainan atau
penyakit.
Telah dikemukakan bahwa: sindrom lower motor mempunyai gejala: lumpuh,
atoni, atrofi dan arefleksi. Sindrom lower motor neuron didapatkan pada kerusakan
di neuron moto rik, neuraksis neuron motorik (misalnya saraf spinal, pleksus, saraf
perifer), alat penghubung neuraksis dan otot (myoneural junction) dan otot.
(gambar 6-2) Sindrom upper motor neuron, yang dijumpai pada kerusakan sistem
piramidai, mempunyai gejala : lumpuh, hipertoni,hiper refleksi dan klonus, serta
refleks patologis. Kita ketahui pula bahwa kelumpuhan bukanlah merupakan
kelainan yang harus ada pada tiap gangguan gerak. Pada gangguan gerak olen
ekstrapiramidal dan serebelar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan.
Pada gangguan sistem ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus otot,
gerakan otot abnormal yang tidak dapat dikendalikan, gangguan pada kelancaran
gerakan otot volunter dan gangguan gerak-otot asosiatif.
Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak berupa gangguan sikap
dan tonus. Seiain itu, juga terjadi ataksia, dismetria, dan tremor intensi. (Tiga fungsi
penting dari serebelum ialah keseimbangan, pengatur tonus otot, dan pengelcla
serta pengkoordinasi gerakan volunter).
Pemeriksaan
Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan:
1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Pemeriksaan gerakan pasif
4. Pemeriksaan gerakan aktif
5. Koordinasi gerak
1. Inspeksi pada
Pada inspeksi diperhatikan sikap, bentuk, ukuran dan adanya gerak abnormal yang
tidak dapat dikendalikan.
Sikap
Perhatikan sikap secara keseluruhan dan sikap tiap bagian tubuh. Bagaimana sikap
pasien waktu berdiri, duduk, berbaring, bergerak dan berjalan.
Jika pasien berdiri, perhatikan sikap dan posisi badannya, baik secara keseluruhan
maupun sebagian. Pasien dengan gangguan serebelum berdiri dengan muka
membelok ke arah kontralateral terhadap lesi, bahunya pada sisi lesi agak lebih
rendah, dan badannya miring ke sisi lesi. Penderita penyakit Parkinson berdiri
dengan kepala dan leher dibungkukkan ke depan, lengan dan tungkai berada dalam
fleksi (gambar 6-3).
Bila ia jalan, tampaknya seolah-olah hendak jatuh ke depan; gerakan asosiatifnya
terganggu, lengan kurang dilenggangkan, dan terlihat tremor kasar, terutama di
tangan. Pada anak dengan distrofia muskulorum progresiva terlihat lordosis yang
jelas; bila ia berjalan, panggul seolah-olah berputar dengan maksud agar berat
hadan berpindah ke tungkai yang sedang bertumpu. Pada penderita hemiparese oleh
gangguan sistem piramidal, lengan berada dalam sikap fleksi, sedangkan tungkai
dalam ekstensi (gambar 6-4).
Bila ia berjalan, tungkai membuat gerak sirkumdiksi. Pada Pasien dengan
paraparese jenis sentral, cara berjalannya seperti gunting. yaitu tungkai seolah-clah
menyilang. Penderita dengan gangguar di serebelum berjalan dengan kaki
mengangkang, demikian juga penderita tabes dorsalis. Selain itu, penderita tabes
dorsalis selalu melihat ke bawah memperhatikan kaki dan jalannya, sebab kalau
tidak, ia akan jatuh. Pasien polineuritis berjalan seperti ayam, yaitu tungkai
difleksikan tinggi-tinggi pada persendian lutut, supaya dapat mengangkat kakinya
yang kurang mampu melakukan dorsofleksi.
Gerakan bagian tubuh perlu diperhatikan dan dibandingkan. Pada anak yang sedang
meronta atau orang dewasa yang gelisah, bagian yang paretis terlihat kurang
digerakkan.
Bentuk
Perhatikan adanya deformitas.
Ukuran
Perhatikan apakah panjang bagian tubuh sebelah kiri sama dengan yang kanan.
Orang dewasa yang mengalami lumpuh sejak masa kanak- kanak, ukuran
ekstremitas yang lumpuh lebih pendek daripada yang sehat. Kemudian perhatikan
besar (isi) kontur (bentuk) otot. Adakah atrofi atau hipertrofi. Perhatikan kontur
(bentuk) otot. Pada atrofi besar otot berkurang dan bentuknya berubah.
Kelumpuhan jenis perifer disertai oleh hipotrofi atau atrofi.
Perhatikan besarnya otot, bandingkan dengan otot sisi lainnya. Bila dicurigai
adanya atrofi, ukurlah kelilingnya. Pengukuran dilakukan dengan menyebutkan
tempat di mana dilakukan pengukuran. Biasanya digunakan tonjolan tulang sebagai
patokan. iviisalnya 3 cm di atas olekranon, atau patela atau tonjolan lainnya. Setelah
itu perhatikan pula bentuk otot. Hal ini dilakukan dalam keadaan otot beristirahat
dan sewaktu berkontraksi. Bila didapatkan atrofi, kontur biasanya berubah atau
berkurang.
Pada keadaan pseudo-hipertrofi, ukuran otot tampak lebih besar, namun tenaganya
berkurang. Hal ini disebabkan karena jaringan otot diganti oleh jaringan lemak atau
jaringan ikat. Hal ini didapatkan pada distrofia muskulorum progresiva, dan terjadi
di otot betis dan gluteus.
Gerakan abnormai yang tidak terkendali
Di antara gerakan abnormal yang tidak terkendali yang kita kenal alah: tremor,
khorea, atetose, distonia, balismus, spasme, tik, fasikulasi, dan miokloni.
Gerakan abnormal dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan keadean Gerakan
abnormal merupakan kontraksi otot-otot voiunter yang tidak terkendali. Nilainya
secara klinis dalam menentukan diagnosis dan lokaisasi penyakit saraf dapat sangat
besar, oleh karenanya harus diamati dengan baik. Gerakan abnormal ini dapat
mengenai tiap bagian tubuh. la timbul karena terlibatnya berbagai bagian sistem
motorik, misalnya: korteks, serabut yang turun dari korteks, ganglia basal, batang
otak dan pusat- pusatnya, serebelum dan hubungan-hubungannya, medula spinalis,
serabut saraf perifer atau ototnya sendiri. Sifat gerakan dipengaruhi oleh letak lesi
dan kelainan patologiknya. Lesi pada tempat yang berlainan kadang dapat
menyebabkan gerakan yang identik, dan proses patologis yang berlainan pada
tempat yang sama kadang tapat mengakibatkan bermacam bentuk gerakan
abnormal. Pada pemeriksaan gerakan abnormal kita harus mengobservasi
penampilan klinisnya dan manifestasi visualnya, menganalisis pola gerakan dan
melukiskan komponen-komponennya. gambaran klinik tertentu yang telah
mempunyai nama, nama ini digunakan untuk gerakan tersebut, tetapi sebaiknya
ditambah dengan melukiskan gerakan tersebut, daripada hanya memberi suatu
nama saja. Kadang- kadang untuk mengetahui gerakan abnormal ini dibutuhkan
palpasi, terlebih bila gerakannya sangat lemah dan terbatas pada sebagian dari
kelompok Bila gerakan sesuai dengan otot.
Tremor. Tremor ialah serentetan gerakan involunter, agak ritmis, merupakan
getaran, yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang berlawanan secara
bergantian. la dapat melibatkan satu atau lebih bagian tubuh. Jenis tremor yang
perlu kita kenal ialah: tremor normal atau fisiologis; tremor halus (disebut juga
tremor toksik) dan tremor kasar.
Tremor fisiologis didapatkan bila anggota gerak ditempatkan pada posisi yang sulit,
atau bila kita melakukan gerakan volunter dengan sangat lambat. Tremor yang
terlihat pada orang normal yang sedang marah atau ketakutan merupakan
aksentuasi dari tremor fisiologis ini.
Tremor halus dianggap juga sebagai tremor toksik. Contoh yang khas ialah tremor
yang dijumpai pada hipertiroidi. Tremor ini terutama terjadi pada jari dan tangan.
Kadang-kadang tremor ini sangat halus dan sukar dilihat. Untuk memperjelasnya,
kita tempatkan kertas di atas jari-jari dan tampaklah kertas tersebut bergetar
walaupun tremor belum jelas terlihat. Tremor toksik ini didapatkan pula pada
keracunan nikotin, kafein, obat- obatan seperti adrenalin, efedrin, atau barbiturat
Tremor kasar, salah satu contohnya ialah tremor yang didapatkan pada penyakit
Parkinson. Ini merupakan tremor yang lambat, kasar dan majemuk. Pada penyakit
Parkinson, gerakan jari-jari mirip gerakan menghitung duit atau membuat pil (pill
rolling tremor). Contoh lainnya adalah tremor intersi. Tremor intensi merupakan
tremor yang timbul waktu melakukan gerakan volunter dan menjadi lebih nyata
ketika gerakan hampir mencapai tujuannya. Tremor ini merupakan tremor kasar,
dan dapat dijumpai pada gangguan serebelum. Pada tes tunjuk-hidung pada pasien
dengan gangguan di serebelum, tremor menjadi lebih nyata pada saat telunjuk
hampir mencapai hidung.
Khorea. Kata khorea berasal dari kata Junani yang berarti menari. Pada khorea
gerak otot berlangsung cepat, sekonyong-konyong, aritmik dan kasar yang dapat
melibatkan satu ekstremitas, separuh badan atau seluruh badan. Hal ini dengan khas
terlihat pada anggota gerak atas (lengan dan tangan), terutama bagian distal. Pada
gerakan ini tidak didapatkan gerakan yang harmonis antara otot-otot penggerak,
baik antar otot yang sinergis maupun antagonis. Bila pasien disuruh meluruskan
lengan dan tanganrya, kita dapatkan hiperekstensi pada falang proksimal dan
terminal, dan pergelangan tangan berada dalam fleksi dengan sedikit dipronasikan.
Hal ini menjadi lebih jelas bila pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas. Jarijari tangan biasanya akan direnggangkan, dan ibu jari diabduksi dan terarah ke
bawah.
Bila pasien disuruh menggenggam tangan pemeriksa, terasa bahwa tenaga
genggaman tidak konstan (tidak tetap) melainkan berfluktuai, terasa melemah
kemudian menguat lagi dan seterusnya. Bila khorea melibatkan lidah, didapatkan
kesukaran berbicara atau mengunyah. Jika penderitanya disuruh mengeluarkan
lidah, hal ini dilakukannya secara mendadak dan kemudian ditariknya kembali.
Gerak khorea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan dua macam gerakan
sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya ke atas sambil menjulurkan
lidah. Gerakan khorea didapatkan dalam keadaan istirahat dan menjadi lebih hebat
bila ada aktivitas dan ketegangan. Khorea menghilang bila penderitanya tidur.
Gerakan khorea antara lain dijumpai pada penyakit khorea Sydenham, khorea
Huntington, dan khorea gravidarum.
Atetose. Kata atetose berasal dari kata Yunani yang berarti berubah. Berlainan dari
khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan terutama melibatkan
bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan yang lebih lamban, seperti gerak
ular, dan melibatkan otot bagian distal. Namun demikian hal ini cenderung
menyebar juga ke proksimal. Atetosis dapat dijumpai pada banyak penyakit yang
melibatkan ganglia basal.
Distonia. Bila terjadi kerusakan besar pada susunan ekstrapiramidal yang
melibatkan beberapa komponen ganglia tasal, didapatkan gejala yang kompleks Hal
ini dijumpai pada distonia muskulorum deformans, di mana. didapatkan garakan
distonia. Biasanya distonia ini dimulai dengan gerak otot berbentuk atetose pada
lengan atau anggota gerak lain, kemudian gerakan otot beniuk atetose ini menjadi
kompleks, yaitu menunjukkan torsi yang keras dan berbelit. Gerakan torsi otot
(memutar berbelit) terjadi juga pada otot leher dan punggung, sehingga didapatkan
tortikolis dan tortipelvis. Gerak otot abnormal ini dapat mengakibatkan terjadinya
skoliosis, pes ekuinovarus, pes valgus dan kontraktur.
Balismus. Balismus (hemibalismus) ialah gerak otot yang datang sekonyongkonyong, kasar dan cepat, dan terutama mengenai otot-otot skelet yang letaknya
proksimai; sedangkan pada khorea, gerak otot kasar, cepat, dan terutama
melibatkan otot-otot yang agak distal.
Spasme. Spasmus merupakan gerakan abnormal yang terjadi karena kontraksi otototot yang biasanya disarafi oleh satu saraf. Spasme klonik mulai sekonyongkonyong, berlangsung sebentar dan dapat berulang-ulang. Spasme tonik dapat
berlangsung lama dan terus menerus. Spasme klonik menyerupai kontraksi otot
yang terjadi pada waktu faradisasi. Spasme dapat timbul karena iritasi saraf perifer
atau otot, tetapi dapat juga timbul karena iritasi di suatu tempat, mulai dari korteks
sampai ke serabut otot. Contoh dari spasme ialah trismus, rhisus sardonikus dan
hiccup. Trismus merupakan spasme tonik otot pengunyah, dan rhisus sardonikus
adalah spasme tonik pada otot fasial
Tik (tic). Penyebab tik belum diketahui. Ada pakar yang menganggapnya sebagai
suatu conditioned reflex, ada pula yang mengatakan bahwa faktor psikogen
mempunyai peranan, dan pakar lainnya mengemukakan bahwa sistem
ekstrapiramidal memainkan peranan pula. Tik merupakan suatu gerakan yang
terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam hubungan yang
sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan disebutkan sebagai
spasme-kebiasaan (habit spasm).
Fasikulasi. Fasikulasi merupakan gerakan halus, cepat dan berkedut dari satu berkas
(fasikulus) serabut otot atau satu unit motorik. Satu unit motorik ialah satu sel
neuron motorik, aksonnya serta semua serabut otot yang disarafinya. Gerak
fasikulasi biasanya tidak menyebabkan gerakan pada persendian, kecuali bila
fasikulasi terdapat di jari-jari. Dalam hal sedemikian kadang terjadi gerakan pada
persendian.
Penyebab fasikulasi belum jelas benar motorik dapat menimbulkan fasikulasi.
Adanya fasikulasi dapat dibuat lebih nyata dengan jalan memberikar rangsang
mekanis pada otot tersebut misalnya dengan pukulan.
Fasikulasi mempunyai nilai prognostik pada penyakit degeneratif yang melibatkan
sel neuron motorik, rmisalnya ALS (sklerosis amictrofik lateral). Makin banyak
fasikulasi, makin cepat progresivitas penyakit. Kadang kadang fasikulasi dijumpai
pada orang yang normal. Dalam hal demikian, fasikulasi tidak disertai oleh atrofi.
Fenomena yang serupa (yang disebut miokimia) dapat menyebabkan kontraksi
spasmodik m. orbikularis okuli, m. levator palpebra superior atau otot wajah
lainnya. Hal ini merupakan keadaan yang benigna dan dapat dicetuskan oleh
kelelahan atau kecemasan. Fasikulasi benigna dan miokimia sering menimbulkan
rasa takut pada penderitanya, yang mengasosiasikannya dengan penyakit yang
berat.
Miokloni. Miokloni ialah gerakan yang timbul karena kontraksi otot secara cepat,
sekonyong-konyong, sebentar, aritmik, asinergik dan tidak terkendali. Otot yang
berkontraksi dapat meliputi sebagian dari satu otot, seluruh otot atau sekelompok
otot-otot tanpa memandang asosiasi fungsional otot tersebut. Gerak mioklonia ini
terutama didapatkan pada otot-otot ekstremitas dan badan, tetapi ia sering juga difus
dan meluas, dan melibatkan otot muka, rahang, lidah, faring dan laring. la timbul
secara paroksismal, pada waktu yang tidak tertentu, baik pada saat istirahat maupun
pada waktu sedang aktif. Namun demikian, ia dapat menjadi lebih hebat bila ada
rangsang emosional, mental, taktil, visual atau rangsang auditoar. la dapat
berkurang bila ada gerakan volunter. la dapat timbul pada saat pasien hendak
tertidur, dan biasanya menghilang bila sudah tertidur.
Gerakan miokloni dapat kecil sehingga tidak menyebabkan gerakan pada
persendian, tetapi bila ia mengenai seluruh otot atau sekelompok otot, gerakannya
dapat kuat sehingga mengakibatkan gerakan klonik pada ekstremitas. Gerakan
dapat sedemikian hebat, sehingga satu anggota gerak seolah-olah terlempar dengan
tiba-tiba atau dapat menyebabkan penderita tercampak jatuh. pada
2. Palpasi
Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya. Kemudian otot ini dipalpasi untuk
menentukan konsistensi serta adanya nyeri-tekan. Dengan palpasi kita dapat
menilai tonus otot, terutama bila ada hipotoni. Penentuan tonus dilakukan pada
berbagai posisi anggota gerak dan badan.
3. Pemeriksaan gerakan pasif
Penderita disuruh mengistirahatkan ekstremitasnya. Bagian dari ekstremitas ini kita
gerakkan pada persendiannya. Gerakan dibuat bervariasi, mula-mula cepat
kemudian lambat, cepat, lebih lambat, dan seterusnya. Sambil menggerakkan kita
nilai tahanannya. Dalam keadaan normal kita tidak menemukan tahanan yang
berari, jika penderita dapat mengistirahatkan ekstremitasnya dengan baik. Perlu
diketahui bahwa ads orang yang normal tidak mampu mengistirahatkan
ekstremitasnya dengan baik, terutama anak-anak, sehingga kita mengalami
kesulitan menilai tahanan.
Kadang-kadang tahanan didapatkan pada satu jurusan saja, misalnya tungkai sukar
difleksikan tetapi mudah diekstensikan. Keadaan ini misalnya didapatkan pada lesi
di traktus piramidal. Jangan lupa membandingkan bagian-bagian yang simetris.
Pada gangguan sistem ekstrapiramidal, dapat dijumpai tahanan yang sama kuatnya
(rigiditas). Kadang-kadang dijumpai keadaan dengan tahanan hilang-timbul
(fenomen cogwheel).
4. Pemeriksaan gerakan aktif
Pada pemeriksaan ini kita nilai kekuatan (kontraksi) otot. Untuk memeriksa adanya
kelumpuhan, kita dapat menggunakan 2 cara berikut:
1. Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan kita
menahan gerakan ini.
2. Kita (pemeriksa) menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan
ia disuruh menahan.
Contoh cara 1: Pasien disuruh memfleksikan lengan bawahnya dan kita
menghalangi usahanya ini. Dengan demikian, dapat dinilai kekuatan otot biseps.
Contoh cara 2: Kita (pemeriksa) ekstensikan lengan bawah pasien dan ia disuruh
menghalangi (menahan) usaha ini. Dengan demikian, dapat dinilai kekuatan otot
biseps.
Jadi dengan kedua cara tersebut di atas dapat dinilai tenaga otot Dokter umumnya
menggunakan cara 1, yaitu pemeriksa yang menahan. Bila pasien yang disuruh
menahan, ditakutkan kekuatan yang dilakukan oleh dokter terlalu besar. Bila pasien
sdasiq lumpuh total, tidak sulit untuk memastikannya, namun bila ia lumpuh
sebagian atau parsial, tidak mudah memástikan atau menilainya. Tenaga orang yang
normal berbeda-beda Misalnya, tenaga seorang atit angkat besi jauh lebih kuat
daripada tenaga seorang juru tulis. Tidak selalu mudah membedakan parese
(lumpuh) ringan dari tidak ada parese. Kita mungkin mendapat pertolongan dari
beberapa hal berikut yaitu :
1. Keluhan pasien (mungkin ia mengemukakan tenaganya berkurang).
2. Otot di bagian yang simetris tidak sama tenaganya.
3. Berkurangnya Kelancaran gerakan. Parese ringan kadang-kadang ditandai
oleh menurunnya kelancaran gerakan.
4. Didapatkan gejala lain, misalnya arefleksi, atrofi, hiperrefleksi, dan refleks
patologis.
Dalam praktek sehari-hari, tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka dari
0-5. (0 berarti lumpuh samasekali, dan 5 = normal).
0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot; lumpuh total.
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada
persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut
2 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat
(gravitas).
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Di samping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan
yang diberikan.
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal).
Contoh tenaga 2: Pasien mampu menggeser tungkainya di tempat tidur namun tidak
mampu mengangkatnya (melawan gaya berat). Berdasarkan pengetahuan di atas
dan dibantu oleh pengetahuan anatomi otot serta gerakan yang dilakukan otot
tersebut, kita dapat menilai tenaga dari bermacam otot. Pada buku ini tidak mungkin
diperbincangkan gerakan semua otot di badan. Pembaca dapat menggunakan buku
anatomi mengenai otot. Di sini akan dikemukakan beberapa hal saja yang
bermanfaat dalam praktek sehari-hari, yaitu pemeriksaan gerakan kepala, anggota
gerak atas, badan, dan anggota gerak bawah.
Kepala
Perhatikan sikap kepala. Pada paralisis agitans (sindrom Parkinson), Repala
ditekukkan ke depan; pada meningitis, penderita berbaring dengan Repala
dikedikkan ke belakang; pada gangguan di serebelum, kepala terrotasi sedikit ke
arah kontralateral dari lesi.
Periksa apakah ada tahanan jika kepala digerakkan secara pasif Pada radang selaput
otak didapatkan kaku kuduk. Pada tortikolis juga didapatkan tahanan, demikian
juga pada spondilitis servikal. Gerakan aktif diperiksa dengan menyuruh pasien
menekukkan kepala ke depan, ke belakang, ke samping kiri, dan kanan serta
melakukan gerakan rotasi. Pemeriksa menilai tenaganya, dan membandingkan
tenaga gerakan ke kiri dan ke kanan.
Anggota gerak atas
Perhatikan apakah ada atrofi otot tenar, hipotenar dan otot intrinsik tangan. Periksa
gerakan jari-jari; bagaimana tenaga fleksi, ekstensi, abduksi dan aduksi (gambar 65 sampai 6-10). Periksa tenaga menggenggam. Hal ini dilakukan dengan menyuruh
pasien menggenggam jari pemeriksa dan kemudian pemeriksa menarik lepas jari
tersebut. Gerakan di pergelangan juga diperiksa, dan ditentukan tenaganya pada
gerakan pronasi dan supinasi. Fleksi dan ekstensi pada persendian siku, juga
diperiksa. Gerakan pada persendian bahu diperiksa dengan menyuruh pasien
menggerakkan lengan yang diekstensi, pada bidang frontal dan sagital, dan juga
melakukan rotasi pada persendian bahu. Selain itu, juga gerakan bahu ke atas,
bawah, depan, dan ke belakang diperiksa. Setelah itu, periksalah otot pektoralis
mayor, latisimus dorsi, seratus magnus, deltoid, biseps dan triseps.
Gambar 6-5. Pemeriksaan otot oponens digiti kuinti (C7, C8, T1 saraf ulnaris). Jarijari diekstensikan. kemudian kelingking digerakkan menuju dasar ibu jari.
Gambar 6-6. Pemeriksaan otot aduktor policis (C3, T1 saraf ulnaris). Sepotong
kertas dijepit antara ibu jari dan telapak tangan.
Gambar 6-8 Pemeriksaan otot interosei palmaris (C8, T1, saraf ulnaris). Telapak
tangan ditaruh di atas meja. Telunjuk, jari manis dan kelingking yang berada dalam
posisi abduksi diaduksikan ke garis tengah (sambil diberi tahanan).
Gambar 6-7. Pemeriksaan otot interosei dorsalis (C8, T1. saraf ulnaris). Telapak
tangan ditaruh di meja, telunjuk dan jari manis diabduksikan (sambil diberi
tahanan).
Gambar 6-9. Pemeriksaan abduksi ibu jari. (1) arah palmar, (2) arah radial (n.
radialis).
Gambar 6-10. Pemeriksaan otot ekstensor digitorum (C7, 8, saraf radialis). Jari
diekstensikan pada persendian metakarpo-falang (sambi diberi tahanan).
Pektoralis mayor. Cara pemeriksaan otot pektoralis mayor dapat dilihat pada
(gambar 6-11 dan 6-12). Inspeksi dada bagian atas dan lipatan aksilaris anterior.
Kemudian pasien disuruh meluruskan lengannya ke depan, sambil menempatkan
kedua telapak tangan dan kemudian menekannya; sewaktu pasien menekankan
kedua telapak tangannya, kita palpasi ctot pektoralis mayor. Untuk menentukan
tenaganya, daya tekannya dinilai.
Gambar 6-11. Pemeriksaan otot pektoralis mayor bagian atas (C5- C8. saraf
pektoralis lateralis dan medialis). Lengan atas yang berada pada posisi horisontal
dan depan diaduksi.
Gambar 6-12. Pemeriksaan otot pektoralis mayor bagian bawah (C5- C8, T1, saraf
pektoralis lateralis dan medialis). Lengan yang berada pada pesisi depan dan di
bawah horison diaduksi (sambil pemeriksa memberi tahanan).
Latisimus dorsi. Pasien disuruh merentangkan lengan ke samping Kemudian lengan
ini disuruh gerakkan ke bawah sambil kita tahan (gambar 6-13).
Seratus magnus. Perhatikan posisi skapula. Bila terdapat paralisis m. seratus
magnus, sudut inferior skapula mendekati vertebra. Untuk memperjelasnya, pasien
disuruh meluruskan lengannya ke depan dan menekan telapak tangannya ke
dinding. Skapula akan tampak menonjol (skapula alata) (gambar 6-14).
Gambar 6-13. Pemeriksaan otot latisimus dorsi (C5 - C8, saraf subskapu- laris).
Lengan diaduksikan dari posisi horisontal dan lateral (sambil ditahan oleh
pemeriksa).
Gambar 6-14. Pemeriksaan otot seratus anterior (C5 - C7, saraf torakalis panjang).
Pasien disuruh mendorong dengan lengan yang direntangkan.
Deltoid. Pasien disu uh mengangkat lengannya yang diluruskan ke samping sampai
di bidang horisontal. Nilailah tenaganya waktu melakukan gerakan ini (gambar 615).
Gambar 6-15. Pemeriksaan otot deltoid (C5, C6, saraf aksilaris). Mengabduksi
lengan yang berada pada posisi diangkat ke arah lateral.
Biseps. Lengan yang sudah disupinasi disuruh fleksi pada persendian siku. Nilailah
tenaga fleksi lengan bawah ini (gambar 6-16).
Gambar 6-16. Pemeriksaan otot biseps (C5, C6, saraf muskulokutaneus). Lengan
bawah yang berada dalam posisi supinasi, disuruh fleksikan (sambil pemeriksa
memberi tahanan).
Triseps. Lengan bawah yang sudah difieksi disuruh ekstensikan. Nilalah tenaga
ekstensi ini (gambar 6-17)
Gambar 6-17. Pemeriksaan otot triseps (C6- C8, saraf radialis). Lengan bawah,
yang berada dalam posisi fleksi pada siku, disuruh ekstensikan (sambil pemeriksa
tahanan).
Badan
Erektor spina. Bila pasien sedang berdiri, suruh ia mengambil suatu barang dari
lantai. Jika pasien menderita kelemahan m. erektor spina ia sukar berdiri kembali;
dan ini dilakukannya dengan bantuan tangannya. yaitu dengan menempatkan
tangannya pada lutut paha dan kemudian mendorongnya sampai ia dapat berdiri
lagi. Kadang terlihat juga adanya lordosis.
Otot dinding perut. Pasien yang sedang berbaring disuruh mengangkat kepalanya
dan perhatikan peranjakan dari pusar. Biasanya pusar beranjak ke arah otot yang
sehat. Suruh pasien batuk, otot yang lemah akan memboniol. Perhatikan apakah
pasien dapat duduk dari sikap berbaning tanpa mendapat bantuan dari tangannya.
Otot yang ikut bekerja dalam hal ini ialah otot dinding perut dan otot iliopsoas.
Anggota gerak bawah
Untuk ini diperiksa gerakan pada: persendian jan-jan, pergelangan kaki, lutut, paha.
Selain tiu juga diperiksa otot kuadriseps femoris, iliopsoas aduktor, abduktor dan
fleksor tungkai bavah.
Kuadriseps femoris. Lutut (tungkai bawah) diekstensikan sambil kite tahan (nambar
6-18).
Gambar 6-18. Pemeriksaan otot kuadriseps femoris (L2 - L4, saraf femoralis). Lutut
di ekstensikan (sambil ditahan oleh pemeriksa).
Iliopsoas. Pasien berbaring dan lutut difleksikan. Kemudian paha difleksikan lebih
lanjut sambil ditahan (gambar 6-19).
Gambar 6-19. Pemriksaan otot iliopoas (L1 -L3, saraf femoralis). Pasien berbaring
terlentang sambil iutut difleksikan. Paha yang terfleksi ini difleksikan lagi lebih
jauh (sambil ditahan oleh pemeriksa).
Otot aduktor. Pasien berbaring pada sisinya dan tungkai berada dalam ekstensi.
Kemudian tungkai ini diaduksikan sambil ditahan (gambar 6-20).
Gambar 6-20. Pemeriksaan otot aduktor (L2 - L4, saraf obturatorius). Pasien
berbaring pada sisinya dan lutut diekstensikan, kemudian ekstremitas bawah di
aduksi. Tungkai yang di atas disokong oleh pemeriksa.
Otot abduktor. Tungkai diabduksikan melawan tahanan.
Fleksor tungkai bawah. Tungkai bawah difleksikan sambil ditahan (gambar 6-21).
Gambar 6-21. Pemeriksaan otot kelompok "Hamstring" (L4, L5, S1, S2, saraf
siatika). Pasien tengkurap, kemudian lutut disuruh fleksikan (sambil ditahan oleh
pemeriksa).
Dengan demikian dapat pula dinilai otot-otot yang memplantar- fleksikan dan
mendorsofleksikan kakı dan jari-jari (gambar 6-22 dan 6-23). Bila ditemukan
kelumpuhan, perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan untuk maksud ini
perlu dirujuk buku anatomi mengenai otot.
Gambar 6-22. Pemeriksaan otot gastroknemius (L5, S1, S2, saraf tibialis). Pasien
tengkurap, kemudian disuruh memfleksi plantar kakinya.
Gambar 6-23. Pemeriksaan otot fleksor digitorum longus (S1, S2, saraf tibialis).
Jari-jari kaki diplantar fleksikan (sambil diberi tahanan oleh pemeriksa).
5. Pemeriksaar koordinasi gerak
Koordinasi gerak terutama diatur oleh serebelum. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa gangguan utama dari lesi di serebelum ialah adanya dissinergia, yaitu
kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan gerakan yang membutuh kan
kerjasama antar otot, maka otot-otot ini tidak bekerja sama secara baik, walaupun
tidak didapatkan kelumpuhan. Hal ini terlihat jika pasien berdiri, jalan,
membungkuk atau menggerakkan anggota badan. Ada 2 hal yang perlu
diperhatikan pada dissinergia ini, yaitu: gangguan gerakan dan dismetria.
Selain itu, serebelum ikut berpartisipasi dalam mengatur sikap, tonus,
mengintegrasi dan mengkoordinasi gerakan somatik. Lesi pada serebelum dapat
menyebabkan gangguan sikap dan tonus, dissinergia atau gangguan koordinasi
gerakan (ataksia). Gerakan menjadi terpecah-pecah, dengan lain perkataan:
kombinasi gerakan yang seharusnya dilakukan secara simultan (sinkron) dan
harmonis, menjadi terpecah-pecah dan dilakukan satu per satu serta kadang
simpang siur. Dissinergia ialalh kehilangan kemampuan untuk melakukan gerakan
majemuk dengan tangkas, harmonis dan lancar.
Gejala klinis yang kita dapatkan pada gangguan serebelar ialah adanya: gangguan
koordinasi gerakan (ataksia), disdiadokhokinesia, dismetria, tremor intensi,
disgrafia (makrografia), gangguan sikap, nistagmus, fenomena rebound, astenia,
atonia, dan disartria.
Dismetria
Dismetria pada gerakan, yaitu gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada
waktunya atau tepat pada tempat yang dituju. Sering kita jumpai adanya
hipermetria, yaitu melampaui tujuan; tetapi sesekali didapatkan juga adanya
hipometria, yaitu gerakan berhenti sebelum sampai pada tujuan, yang disebabkan
karena pasien takut melampaui tujuannya.
Gangguan Gerakan
Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerja sama antar otot. Pada orang normal,
bila ia mengedik ke belakang. pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan
lutut (tungkai) nya untuk menjaga keseimbangan. Akan tetapi, pada penderita
gangguan serebelar, saat mengedikkan badannya ke belakang, ia selalu
menegangkan tungkainya, sehingga ia berada dalam bahaya akan jatuli. Selain itu,
gangguan
koordinasi
disdiadokokinesia.
gerakar
dapat
diketahui
dengan
melihat
adanya
Disdiadokokinesia gerakan yang berlawanan berturut-turut. Suruh pasien
merentangkan kedua lengannya ke depan, kemudian suruh ia mensupinasi dan
pronasi lengan bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat (gambar 6-24).
Pada sisi lesi, gerakan ini dilakukan lamban dan tidak tangkas. Hal ini merupakan
ketidakmampuan melakukan.
Pada dismetria, luas, jalan serta cepatnya gerakan tidak adekuat.
Penderita seolah-olah mengingkari dalil yang mengatakan bahwa jarak yang
terpendek antara dua titik ialah satu garis lurus. Hipermetria terlihat bila ia berjalan,
dalam hal ini gerakan kaki ke atas dan ke bawah berlebihan. Selain itu, bila ia
disuruh melakukan suatu gerakan, maka gerakan ini melampaui tujuannya.
Hipermetria ini terutama menyatakan die dalam adanya kecenderungan untuk
hiperfleksi. Anggota gerak bawah lebih banyak terkena daripada anggota gerak
atas. Gangguan serebelum dapat diperiksa dengan berbagai cara yaitu : percobaan
tunjuk hidung, percobaan jari-jari, percobaan tumit lutut dan pemeriksaan tentang
adanya disgrafia.
Percobaan tunjuk-hidung. Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya
ke samping, kemudian ia disuruh menyentuh hidungnya dengan telunjuk. Pada lesi
serebelar telunjuk tidak sampai di hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi.
Bila jari mendekati hidung terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh
menunjuk telunjuk pemeriksa, kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang
(gambar 6.24a).
Gambar 6-24. Pemeriksaan gangguan serebelum. Suruh pasien melakukan gerakan
yang berlawanan secara berturut-turut. (A) lengan tangan disupinasi- pronasi, (B)
tangan pada paha disuruh supinasi pronasi(telapak tangan, punggung. tangan)
berturut-turut. Perhatikan apakah dilakukan dengan mulus. Pada gangguan
serebelar gerakan mungkin tidak mulus (ada gangguan koordinasi yang disebut
disdiado-kokinesia).
Gambar 6-24. a. Tes telunjuk-hidung. Suruh pasien menunjuk telunjuk pemeriksa,
kemudian menunjuk hidung.nya berulang-ulang. Perhatikan apakah gerakannya
mulus atau tidak.
Tes gangguan fungsi serebelar terutama didasarkan atas adanva dissinergia, yang
berupa gangguan gerakan dan hipermetria. Perlu rasanya diketahui hahwa gejala
gangguan serebelar sering makin lama makin berkurang atau menghilang. Hal ini
disebabkan karena ada kompensasi atau karena pusat-pusat lain di otak mengambil
alih tugas serebelum ini. Hal demikian jarang dijumpai pada kerusakan sistem
lainnya. Jadi, walaupun kita menjumpai gejala gangguan serebelar pada masa akut,
hal ini mungkin berkurang atau tidak ada lagi pada lesi yang sudah lama.
Sikap
Pada lesi serebeler yang unilateral, didapatkan deviasi kepala dan badan ke sisi lesi
dan terdapat pula salah-tunjuk (past pointing) ke arah lesi Bila pasien berdiri, badan
cenderung jatuh ke arah lesi. Bila ia berjalan, tungkai diangkat secara berlebihan,
lengan kurang dilenggangkan, dan jalannya berdeviasi ke sisi lesi. Pada lesi
serebelum bagian tengah (vermis), pasien tidak dapat berdiri tegak (lurus), ia akan
jatuh ke depan atau belakang.
Nistagmus
Nistagmus dapat disebabkan oleh lesi di traktus vestibuloserebelar, vermis atau
pedunkulus serebeli inferior. la dapat juga disebabkan oleh rusaknya hubungan
antara serebelum dengan pusat-pusat lain atau lesi serebelum sendiri. Nistagmus
dapat pula disebabkan oleh terganggunya koordinasi otot-otot mata, jadi merupakan
asinergia serebeli. Sikap bola mata yang seharusnya tetap bila ia ditiksasi pada satu
jurusan menjadi berubah-ubah, yaitu bola mata bergerak secara spontan cepat ke
arah fiksasi, lalu kembali secara spontan lambat ke posisi semula, kemudian
bergerak lagi ke tempat fiksasi, kembali lagi ke posisi semula dan seterusnya bolakbalik. Hal ini disebut nistagmus (gerak ritmik bola mata). Untuk memeriksanya,
mata pasien disuruh mengikuti jari pemeriksa yang digerakkan ke samping kiri,
kanan, atas, dan bawah. Perhatikan adanya nistagmus dan tentukan apakah ada
komponen lambat dan cepat.
Fenomena rebound
Pada gangguan serebelar, fenomena rebound berarti tidak mampu menghentikan
gerakan tepat pada waktunya. Dalam hal ini, penderita
Tremor intensi ialah tremor yang timbul bila mwlakukan geiak volunter (dengan
kemauan), dan menjadi lebih nyata bila menghampiri tujuannya. Tremor intensi
dapat pula diperiksa dengan jalan menyuruh pasien mengambil benda yang kecil,
makin dekat ia pada benda tersebut, makin jelas tremor pada tangannya.
Percobaan jari-jari. Penderita disuruh merentangkan kedua lengannya ke samping
sambil menutup mata. la kemudian disuruh mempertemukan jari- jarinya di tengah
depan. Lengan di sisi lesi akan ketinggalan dalam gerakan ini, dan mengakibatkan
jari sisi yang sehat melampaui garis tengah.
Percobaan tumit-lutut. Penderita berbaring diluruskan, kemudian ia disuruh
menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut.
Terlihat pasien mengadakan fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui
lutut dan sampai di paha dengan kedua tungkai (gambar 6-25)
Gambar 6-25. Permeriksaan gangguan serebelum (Percobaan tumit-lutut). Suruh
pasien mengangkat satu tungkai kemudian menempatkan tumitnya pada lutut yang
satu lagi, kemudian meluncurkan kakinya ke bawah sampai ke ibu jari tinggi-tinggi,
kaki yang lainnya. Perhatikan apakah ada (gangguan koordinasi).
Disgrafia. Hal ini biasanya dalam bentuk makrografia. Karena ada dismetria dalain
bentuk hipermetria, terlihat huruf dituliskan besar-besar dan kadang makin lama
makin besar. Selain itu, bentuk hurufnyapun tidak bagus dan kaku.
disuruh meluruskan lengannya. Kemudian ia disuruh mernarik tangannya ke arah
bahunya atau hidung sambil kita halangi (berikan tahanan). Bila tahanan kita lepas
secara mendadak. gerakan fleksi ini tidak segera berhenti dan tangan akan memukui
bahu atau mukanya dengan keras. Jadi, terlihat mampuan menghentikan gerakan
dengan segera ketidak atau menggantikannya dengan antagonisnya (gambar 6-26).
Astenia. Astensia adalah lekas lelah dan bergerak lamban. Hal ini juga merupakan
gejala dari gangguan serebelar. Otot lekas lelah dan lemah (walaupun tidak ada
parese). Gerakan dimulai dengan lamban, demikian juga dengan kontraksi dan
relaksasi.
Hipotonia
Adanya hipotonia dapat diketahui dengan jalan palpasi dan pemeriksaan gerak
pasif. Pada hipotonia, ekstensi dapat dilakukan lebih jauh, misalnya pada
persendian paha, siku, lutut dsbnya. Hipotonia dapat pula terlihat, pada persendian,
yaitu bertambah lamanya bagian anggota gerak bergoyang, jika kita goyangkan
bagian proksimal dari persendian tersebut. Misalnya pasien disuruh melemaskan
tangannya dan kita pegang lengan bawah dan goyang-goyangkan, terlihat goyangan
tangan yang lebin lama (pendulousness), atau bahu dipegang dan digoyangkan,
sedang lengan disuruh lemaskan goyangan lengan akan lebih lama.
Tes mengenai gangguan serebelar masih banyak lagi, namun bila pemeriksaan
tersebut di atas dilakukan dengan baik, maka hal ini sudah memadai.
Gambar 6.26
Suruh pasien menarik lengannya. Pemeriksa menahannya. Tiba-tiba kita lepaskan
tahapan. Perhatikan apakah lengan pasien segera berhenti. Pada gangguan serebeler
dapat terjadi gerakan lewat, (rebound) sampai memukul sendiri.
Pemeriksaan otot supraspinatus (C4-C6, saraf supraskapularis). Lengan
diabduksikan dari badan samping (sambil ditahan oleh pemeriksa).
Pemeriksaan otot romboid (C4, C5, saraf pasien skapularis dorsalis). Suruh
mengedikkan bahunya ke belakang (sambil ditahan oleh pemeriksa).
Pemeriksaan otot ekstensor karpi ulnaris (C6-C8, saraf radialis). Persendian
pergelangan diekstensikan ke arah ulnaris (sambil ditahan pemeriksa).
Pemeriksaan otot supinator (C5 C7, saraf radialis). Tangan disupinasikan sambil
diberi tahanan (lengan berada dalam posisi ekstensi di samping). Tahanan diberikan
dengan memegang lengan bawah pasien dekat pergelangan.
Pemeriksaan otot ekstensor karpi radialis (C6-C8, saraf radialis). Pergelangan
tangan diekstensikan ke arah radialis sambil jari tetap dalam keadaan ekstensi.
saraf gluteus superior). Pasien tengkurap dan lutut difleksikan, kaki kemudian
digerakkan ke arah lateral (sambil ditahan oleh pemeriksa).
Pemeriksaan otot gluteus maksimus (L4 L5, S1, S2, saraf gluteus inferior). Pasien
tengkurap, tungkai bawah berada dalam fleksi keadaan lutut, kemudian ia disuruh
mengangkat lututnya (sambil ditahan oleh pemeriksa).
Pemeriksaan otot gluteus medius dan minimus, tensor fasia lata (L4, L5, S1 saraf
gluteus superior). Mengukur tenaga abduksi. Pasien berbaring pada sisinya, tungkai
diekstensikan. Kemudian ekstremitas bawah diabduksi (sambil. ditahan oleh
pemeriksa).
Bab VII. SISTEM SENSORIK
(sensibilitas, perasaan)
Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika ia tidak tahu adanya bahaya
yang mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan
jalan melihat, mendengar, mencium, dan merasakan rasa-nyeri, rasa-raba, rasa
panas, rasa-dingin dan sebagainya. Inilah yang disebut sistem sensorik. Sistem
sensorik menempatkan manusia berhubungan dengan sekitarnya. Sensasi
(sensibilitas) dapat dibagi 4 jenis, yaitu: superfisial, dalam, viseral (interoseptif) dan
khusus.
Sensasi superfisial, disebut juga sebagai perasaan eksteroseptif atau protektif,
mengurus rasa-raba. rasa-nyeri, rasa-suhu. Sensasi dalam yang disebut juga sebagai
sensasi proprioseptif mencakup rasa gerak (kinetik), rasa sikap (statognesia) dari
otot dan persendian, rasa getar (pallesthesia), rasa tekan-dalam, rasa nyeri-dalam
otot. Sensasi viseral (interoseptif) dihantar melalui serabut otonom aferen dan
mencakup rasa lapar, enek dan rasa-nyeri pada visera. Sensasi khusus,, yaitu
menghidu, melihat, mendengar, mengecap dan keseimbangan diatur oleh saraf-otak
tertentu (telah dibicarakan pada bab 6).
Anatomi dan Fisiologi
Dari reseptor di perifer sampai ke korteks sensorik di otak jalur sensorik sekurangkurangnya terdiri dari 3 tingkatan neuron. Impuls (rangsang) berjalan secara
sentripetal dari reseptor di perifer ke badan sel neuron tingkat pertama (primer) di
ganglion akar dorsal dari saraf spinal. Aksonnya menuju ke sentral, bersinaps
dengan neuron tingkat dua (sekunder) di kornu posterior medula spinalis atau inti
homolog di batang otak. Akson neuron sekunder melintasi garis tengah dan menuju
pada sisi sebelahnya (kontralateral), kemudian naik sebagai jaras spinotalamik atau
lemniskus medialis menuju ke sinaps berikutnya di talamus (gambar 7-1). Neuron
di talamus, biasanya berupa neuron tingkat tiga (tersier) terletak di kompleks
ventrobasal talamus dan berproyeksi melalui kaki posterior kapsula interna ke
korteks sensorik di girus postsentral (area Brodmann 3 - 1-2). Pola dasar ini
mengemukakan beberapa hal:
1. Sistem sensorik menyilang. Informasi sensorik dari separuh badan
berproyeksi ke talamus dan korteks kontralateral.
2. Neuron tingkat peitama berada di ganglion akar dorsal.
3. Badan sei neuron tingkat dua berada di kornu posterior medula spinalis atau
di inti homolog di medula oblongata seperti nukleus grasilis (yang
menerima impuls dari tungkai) dan kuneatus (yang menerima impuls dari
lengan).
4. Neuron tingkat tiga di talamus me-relay impuls ke korteks.
Gambar 7.1. Bagan jalur sistem somato-sensorik Jalur I, Spino-talamik, bagi rasa
nyeri dan suhu, dan jalur Il bagi sensasi proprioseptif. Rasa raba berjalan melalui
kedua jalur.
Reseptor
Reseptor merupakan sel-sel khusus untuk mendeteksi perubahan khusus pada
lingkungannya. Eksteroseptor mencakup reseptor yang terlibat terutama pada
lingkungan eksternal yaitu: korpuskel (badan) Meissner, korpuskel Merkel, sel
rambut untuk rasa raba; bulbus Krauss untuk rasa dingin; korpuskel Ruffini untuk
rasa panas; dan ujung-saraf bebas untuk rasa nyeri. Banyak hasil penelitian yang
mengimplikasikan bahwa sensasi tertentu dihantar oleh ujung tertentu, namun
dengan banyak perkecualian. Misalnya, kornea mata di mana hanya ditemukan
ujung-saraf bebas, namun rasa raba, nyeri, panas dan dingin dapat diapresiasi.
Reseptor tidak khusus (spesifik) terhadap sensasi tertentu; misalnya rangsang yang
kuat dapat mengakibatkan berbagai sensasi, juga nyeri, walaupun rangsang
pencetusnya tidak harus nyeri. Stimulasi yang berlebihan pada tiap ujung sensorik,
terlebih bila bersifat melukai (noxious) akan menginduksi rasa nyeri.
Hubungan manusia dengan dunia luar terjadi melalui reseptor sensorik yang dapat
berupa:
1. Reseptor eksteroseptif, yang ber-respons terhadap stimulus dari lingkungan
eksternal, termasuk visual, auditoar dan taktil.
2. Reseptor propioseptif, misalnya yang menerima informasi mengenai posisi
bagian tubuh atau tubuh di ruangan.
3. Reseptor interoseptif, mendeteksi kejadian internal seperti perubahan
tekanan darah.
Sistem sensorik somatik menerima informasi primer dari reseptor eksteroseptif dan
proprioseptif.
Didapatkan 4 subkelas mayor dari sensasi somatik, yaitu:
1. Sensasi nyeri yang dicetuskan oleh rangsang yang dapat mencederai
(noxious).
2. Sensasi suhu (termal), terdiri dari rasa panas dan rasa dingin.
3. Rasa (sensasi) sikap, dicetuskan oleh perubahan mekanis di otot dan
persendian, dan mencakup rasa sikap anggota gerak serta gerakan anggota
gerak (kinestesia).
4. Sensasi (rasa) tekan, dicetuskan oleh stimulasi mekanis yang diberikan pada
permukaan tubuh.
Gangguan perasaan reseptor, disebabkan oleh gangguan pada konduksi saraf,
serabut saraf, traktus atau daya persepsi. dapat 117
Pemeriksaan
Pemeriksaan sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudan. Kita
bergantung kepada perasaan penderita, jadi bersifat subjektif. Selain itu, reaksi
seseorang terhadap rangsangan dapat berbeda-beda, malah pada satu orangpun
reaksi tersebut dapat berbeda, tergantung pada keadaannya, apakah ia sedang lelah,
atau pikirannya terpusat pada hal yang lain. Faktor sugesti juga dapat berpengaruh.
Tidak jarang pasien meng-ia-kan saja apa yang disugestikan oleh dokter. (mungkin
agar bersikap sopan). Misalnya, bila seorang dokter mengajukan pertanyaan yang
bernada sugesti seperti: "Kan disini terasa sakit bila saya tusuk dan ditempat ini
agak kurang sakitnya, bukan !?" Pertanyaan demikian mungkin di "ya" kan saja
oleh pasien. Jadi, sugesti harus dihindarkan pada pemeriksaan sensibilitas.
Agar didapat hasil pemeriksaan yang baik perlu diperhatikan hal berikut : Selama
pemeriksaan diupayaka agar pasien berada dalam keadaan tenang dan perhatiannya
dapat dipusatkan pada pemeriksaan. Untuk maksud ini sebaiknya penderita
memejamkan mata. Bila pasien merasa lelah sebaiknya pemeriksaan ditangguhkan.
Namun demikian, kadang-kadang kita terpaksa melakukan pemeriksaan dalam
keadaan pasien yang tidak tenang: pemeriksaan yang dilakukan secara kasar ini
nilainya kurang teliti.
Pemeriksaan Sensibilitas
Sebelum kita melakukan pemeriksaan kita tanyakan dulu apakah ada keluhan
mengenai sensibilitas. Bila ada suruh ia menunjukkan tempatnya (lokalisasinya).
Dari bentuk daerah yang terganggu dapat diduga apakah gargguan bersifat sentral,
perifer atau berbentuk dermatom. Daerah kulit yang disarafi oleh akar posterior dan
ganglionnya disebut dermatom (gambar 7.2; 7.3; 7.4; 7.5; 7.6; 7.7). Pada pasien
histeri daerah yang terganggu tidak sesuai dengan pola anatomik, umumnya batas
gangguan amat tegas, sering berbentuk kaus dan melibatkan seluruh jenis
sensibilitas.
Perlu ditanyakan jenis gangguan, intensitasnya, apakah hanya timbul pada waktuwaktu tertentu, misalnya nyeri kalau dingin; dan juga faktor- faktor yang dapat
mencetuskan kelainan ini. Waktu melakukan pemeriksaan perhatikan daerahdaerah kulit yang kurang merasa, sama sekali tidak atau daerah yang bertambah
perasaannya. Bertambahnya perasaan dapat disebabkan oleh iritasi pada reseptor
atau serabut saraf atau karena fenomena pelepasan (release). Kata disestesia
digunakan untuk monyatakan adanya perasaan yang berlainan dari rangsang yang
diberikan, misalnya bila pasien diraba ia merasa seolah-olah dibakar atau semutan.
Kata parestesia merupakan perasaan abnormal yang timbul spontan, biasanye ini
berbentuk rasa-dingin, panas, semutan, ditusuk-tusuk, rasa-berat, rasa ditekan ateu
rasa gatal.
Gambar 7-2. Lokasi gangguan sensibilitas pada lesi di berbagai tempat di susunan
saraf pusat dan perifer. Alpers, Mancall, 1981).
Gambar 7.3. Distribusi Saraf Perifer
Gambar 7.4. Gangguan sensibilitas berbentuk sarung tangan dan kaos kaki pada
polineuropati.
Gambar 7.5. Distribusi Dermatom (Haymaker, Woodhall)
Gambar 7.6.
Pola dermatom pada sistem somato-sensorik
Mulut merupakan paling rostral dan daerah pelana paling kaudal. Sensibilitas wajah
diatur saraf trigeminus. Hal yang perlu diingat : bahu C5, tangan : C6-8; puting susu
T4, pusar T10, daerah pelana S3-5 (Hydra, 1994).
Gambar 7.7. Distribusi Dermatom (Hydra, 1994)
Pada pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif, perlu diperiks a rasa raba, rasa nyeri,
dan rasa suhu.
Pemeriksaan rasa raba. Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas
atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan
atau pembang kitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian
yang simetris. Thigmestesia berarti rasa raba halus. Bila rasa raba ini hilang disebut
thigmanesthes.
Pemeriksaan rasa nyeri. Rasa nyeri dapat dibagi atas rasa-nyeri-tusuk dan rasanyeri-tumpul; atau rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lamban. Bila kulit ditusuk dengan
jarum kita rasakan nyeri yang mempunyai sifat tajam, cepat timbulnya dan cepat
hilangnya. Nyeri serupa ini disebut nyeri-tusuk. Rasa nyeri yang timbul bila testis
dipijit, timbulnya tidak segera dan lenyapnya lama sesudah dipijit. Ini disebut nyerilamban.
Reseptor rasa-nyeri tidak mempunyai bentuk tertentu dan terdiri dari serabut
serabut saraf yang tidak berselubung. ia terdapat pada epidermis kulit dan pada
selaput lendir. Pada beberapa tempat jumlah serabut-serabut ini lebih berdekatan
daripada di tempat lain. Di lidah, bibir, kemaluan dan ujung jari serabut-serabut ini
lebih berdekatan daripada di lengan atas, pantat dari badan. Hal ini mengakibatkan
daerah lidah, bibir dan ujung jari menjadi lebih perasa.
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk
dengan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa
yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia.
Dalam praktek sehari-hari pemeriksaan dilakukan dengan meng- gunakan jarum
atau peniti. Tusukan hendaknya cukup keras sehingga betul- betul dirasakan rasanyeri dan bukan rasa-disentuh atau rasa-raba. Sebeumnya perlu diberitahukan
kepada pasien bahwa yang diperiksa ialah rasa-nyeri dan bukan rasa-raba. Kita
periksa seluruh tubuh, dan bagian- bagian yang simetris dibandingkan. Bila bagian
yang simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat.
Bila kita memeriksa sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak menurun
kesadarannya, maka pemeriksaan rasa-tusuk masih dapat dilakukan, sedang yang
lainnya (rasa raba, rasa suhu) perlu ditangguhkan. Pada anak, pemeriksaan ini yang
biasanya dilakukan dan kita nilai dari reaksi atau tangisan si anak (bayi).
Pemeriksaan rasa suhu. Ada dua macam rasa-suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin.
Rangsangan rasa-suhu yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri. Rasa suhu
diperiksa dengan rienggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa
dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan
"dingin" atau "panas" bila dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin
atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang tersuhu
sekitar 10-20 derajat celsius, dan untuk panas yang bersuhu 40-50 C. Suhu yang
kurang dari 5oC dan yang lebih tinggi dari 50oC dapal menimbulkan rasa-nyeri.
Kepekaan bagian-bagian tubuh terhadap rangsang suhu tidak sama Bagian dari
badan dan bagian proksimal ekstremitas biasanya kurang peka terhadap rasadingin, bila dibandingkan dengan bagian distal ekstremitas.
Pada pemeriksaan rasa-suhu diperiksa seluruh tubuh dan dibandingkan bagianbagian yang simetris. Bagian yang simetris ini harus diusahakan agar berada dalam
kondisi yang sama, misalnya bagian tersebut harus sama-sama baru dibuka dari
penutupnya (pakaian). Jangan yang satu sudah lama terbuka sedang vang satu lagi
baru saja dibuka penutupnya
Perubahan rasa-suhu dinyatakan dengan kata anestesia-suhu (therm- anesthesia
tidak merasa). hipestesia-suhu (therm-hypesthesia, kurarg merasa), atau
hiperestesia-suhu (therm-hyperesthesia, lebih merasa); dan ditambahkan kata
dingin atau panas. Kadang-kadang selain memeriksa Kemampuan penderita untuk
membedakan rasa dingin dan panas, perlu juga ditentukan sampai berapa derajat
yang masih dapat dibedakannya Biasanya orang normal dapat membedakan suhu
yang berbeda 2 sampai 5 derajat Celsius, tetapi makin tinggi atau makin rendah
suhu yang digunakan, dibutuhkan perbedaan yang lebih besar supaya dapat
dibedakan. Dalam praktek sehari-hari sudah cukup bila pasien dapat membedakan
rangsang dingin dan panas.
Hipestesia-suhu terhadap rasa-dingin sering dijumpai pada lesi talamik. Rasa-gerak
dan rasa-sikap.
Rasa-gerak juga disebut sebagai rasa-kinetik. Rasa-gerak dirasakan saat tubuh atau
bagian tubuh digerakkan secara aktif atau pasif; Jadi, rasa gerak merupakan rasa
bahwa seseorang tahu bagian dari tubuhnya digerakkan. Pada rasa-sikap atau rasaposisi, seseorang tahu bagaimana sikap tubuh atau bagian dari tubuh.
Pada hakekatnya rasa-gerak dan rasa-sikap adalah majemuk Pengetahuan tentang
sikap bagian tubuh kita pada suatu waktu merupakan hasil integratif dari impuls
yang datang dari berbagai reseptor. Impuls ini disalurkan ke sentral melalui susunan
funikulus dorsalis dan selanjutnya ke talamus oleh susunan lemniskus medialis.
Rasa getar. Ada pakar yang berpendapat bahwa rasa-getar terjadi karena suatu
rangsang (impuls) tekan pada reseptor-mekanis yang terletak agak dalam dan
dangkal, yang terjadi secara bergantian. Anggapan ini dilandasi atas pengalaman
klinik bahwa pada lesi saraf perifer, rasa-getar dan rasa- raba kasar dan halus selalu
bersama-sama terganggu.
Rasa-raba-kasar, rasa-tekan. Rasa-raba-kasar di dalam praktek disamakan dengan
rasa-tekan. Perighantaran stimulusnya diurus oleh dalam prakiek di serabut susunan
funikuli dorsales.
Rasa-nyeri-dalam. Tekanan yang keras menimbulkan rasa-nyeri-dalam yang sulit
di lokalisasi dengan tepat, rinci dan tidak mempunyai batas yang tegas. Reseptornya
tidak mempunyai bentuk yang khas. Ujung-ujung saraf yang tidak berselubung
yang berada di jaringan ikat, otot dan tulang, di anggap merupakan reseptor impuls
rasa-nyeri-dalam. Berbeda dari modalita sensibilitas lain daripada rasa
proprioseptif, penghantaran impuls rasa-nyeri- dalam ke sentral tidak melalui
funikulus dorsalis, tetapi melalui susunan spinotalamik tak langsung yang terletak
di funikulus anterolateralis.
Pemeriksaan rasa-gerak dan rasa-sikap.
Biasanya rasa-gerak dan rasa-posisi diperiksa bersamaan. Ini dilakukan dengan
menggerakkan jari-jari secara pasif dan menyelidiki apakah pasien dapat merasakan
gerakan tersebut serta mengetahui arahnya (gambar 7-8). Juga diselidiki derajat
gerakan terkecil yang masih dapat dirasakannya. Pada orang normal ia sudah
merasakan arah gerakan bila sendi-interfalang digerakkan sekitar dua derajat atau
1 mm. Selain itu, juga diselidiki apakah ia tahu posisi dari jari-jarinya.
Pada gangguan yang ringan yang pertama terganggu ialah rasa posisi jari, keraudian
rasa-gerak.
Selanjutaya, pada pemeriksaan rasa-gerak dan rasa-sikap ini kita gerakkan bagian
dari ekstremitas penderita. la disuruh mengatakan pada posisi apa ekstremitasnya
kita tempatkan. Selama pemeriksaan, mata pasien dipejamkan atau ditutup. Badan
dan ekstremitas diistirahatkan dan dilemaskan. Semua gerakan volunter
dihindarkan. Waktu kita meng- gerakkan bagian ekstremitas pasien, misalnya jari
kaki, kita harus memegang jari-jarinya pada bagian lateral. Tujuannya ialah agar
pasien tidak dapat menggunakan rasa eksteroseptifnya (rasa raba halus) untuk
mengetahui arah gerakan tersebut. Jari yang diperiksa diupayakan agar tidak
bersentuhan dengan jari lainnya, karena hal ini dapat dimanfaatkan pasien untuk
mengetahui arah gerakan dari sentuhan, apabila rasa- geraknya terganggu. Pasien
juga dilarang menggerakkan jarinya secara aktif, sebab hal ini dapat pula
menolongnya untuk mengetahui posisi jarinya. Sambil memperhatikan hal yang
tersebut di atas, kemudian pasien disuruh mengatakan “ya" bila ia merasakan suatu
gerakan, kemudian ia disuruh pula mengatakan ke arah mana gerakan tersebut.
"atas" atau "bawah". Rasa- gerak dan rasa posisi ini dapat pula diperiksa dengan
jalan monempatkan jari penderita pada suatu posisi, kemudian ia disuruh
mengatakan posisi dari jari tersebut atau ia disuruh menempatkan jari sisi lainnya
seperti posisi jari yang kita periksa. Gerakan yang terkecil yang masih dapat
dirasakan ialah sekitar dua derajat.
Dalam praktek sehari-hari biasanya kita hanya memeriksa rasa gerak dan rasa-sikap
pada jari-jari. Namun demikian, bila dijumpai gangguan, maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan pada bagian badan lainnya yang lebih besar, misalnya tangan dan kaki.
Kaki kita gerakkan secara pasif dan dengan mata tertutup pasien disuruh
menunjukkan di mana letak ibu jari atau tumitnya; atau satu lengan kita tempatkan
secara pasif pada satu posisi tertentu, kemudian dengan mata tertutup pasien
disuruh menempatkan lengan yang lainnya pada sikap yang sama; atau satu tangan
kita gerakkan secara pasif, kemudian dengan mata tertutup ia disuruh memegang
ibu-jari tangan tersebut dengan tangan lainnya.
Beberapa tes untuk memeriksa ataksia, misalnya tes tunjuk-hidung (tangan
menunjuk hidung) dan tes tumit-lutut (tumit ditempatkan pada lutut yang satu iagi),
bila tes tersebut dilakukan dengan mata tertutup merupakan tes rasa gerak dan
sikap. Rasa-gerak dan rasa-sikap dapat pula diperiksa dengan memperhatikan
bagaimana pasien bergerak dan berjalan. Seseorang yang menderita gangguan rasagerak dan rasa-sikap pada ekstremitas bawah tidak mengetahui bagaimana sikap
kaki atau badannya. Misalnya, pasien tabes dorsalis mampu berdiri dengan sikap
tegak yang baik bila matanya terbuka (ia melihat), namun jika matanya ditutup ia
akan ter huyung dan kemudian jatuh; hal ini disebabkan oleh gangguan pada rasasikap. Pada pemeriksaan Romberg, kita katakan bahwa tanda. Romberg positif bila
seseorang mampu berdiri dengan kedua kaki rapat dan mata terbuka, namun bila
matanya ditutup ia akan terhuyung dan jatuh. Tanda Romberg positif merupakan
salah satu gejala dini dari tabes dorsalis.
Pemeriksaan rasa getar. Pemeriksaan rasa-getar biasanya dilakukan dengan jalan
menempatkan garputala yang sedang bergetar pada ibu jari kaki, maleolus lateral
dan medial kaki, tibia, spina iliaka anterior superior, sakrum, prosesus spinosus
vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius dan ulna dan jari-jari.
Sebelumnya perlu dijelaskan kepada pasien bahwa kita akan memeriksa rasa-getar,
dan bukan rasa-raba yang ditimbulkan oleh ditempatkannya garputala atau bunyi
garpu tala tersebut.
Biasanya garpu tala yang digunakan berfrekuensi 128 Hz. Garpu tala kita ketok dan
ditempatkan pada ibu jari kaki atau tulang maleolus. Pasien ditanya apakah ia
merasa getarannya; dan ia disuruh memberitahukan bila ia mulai tidak merasakan
getaran lagi. Bila getaran mulai tidak dirasakan, garpu tala kita pindahkan ke
pergelangan atau sternum atau klavikula atau kita bandingkan dengan jari kaki kita
sendiri. Dengan demikian, kita dapat memeriksa adanya rasa-getar, dan sampai
berapa lemah masih dapat dirasakan, dengan jalan membandingkan dengan bagian
lain dari tubuh atau dengan rasa-getar pemeriksa.
Pada penyakit yang melibatkan kolumna posterior, rasa-getar lebih dulu terganggu
atau menghilang pada ekstremitas bawah daripada ekstremitas atas. Berkurangnya
rasa getar kadang merupakan gejala dini dari tabes dorsalis. Untuk menyatakan
hilangnya rasa-getar dapat digunakan kata : pallanesthesia.
Pemeriksaan rasa-raba-kasar (rasa tekan). Rasa-raba-kasar atau rasa- tekan
diperiksa dengan jalan menekan dengan jari atau benda tumpul pada kulit, atau
dengan jalan memencet otot tendon dan serabut saraf (jangan terlalu kuat, karena
akan terasa rasa-nyeri). Kemudian, pasien disuruh memberitahu apakah ia
merasakan tekanan tersebut, dan diminta menentukan tempat (lokasinya).
Kata piesthesia digunakan untuk menyatakan adanya rasa-tekan. Kata baresthesia
kadang digunakan untuk rasa-tekan atau rasa-berat. Kata ini perlu dibedakan dari
kata barognosia yang berarti mengenal serta mampu membedakan berat.
Pemeriksaan rasa-nyeri-dalam. Rasa-nyeri-dalam diperiksa dengan jalan memencet
otot atau tendon, menekan serabut saraf yang terletak dekat permukaan dan juga
derigan memencet testes atau biji-mata.
Dalam praktek sehari-hari hal ini dilakukan sebagai berikut.
Kita pencet otot lengan atas, lengan bawah, paha, betis dan tendon Achilles.
Perhatikan apakah pasien peka terhadap rangsang nyeri-dalam ini. Juga ditekan biji
mata, laring, epigastrium dan testes.
Rasa-nyeri-dalam menghilang pada stadium dini tabes dorsalis. Menghilangnya
rasa-nyeri-dalam dalam hal ini bukanlah karena rusaknya funikulus dorsalis,
melainkan karena perubahan patologik pada ganglion (dorsal root ganglia).
Sebelum rasa-nyeri-dalam menghilang, spinalis biasanya teriebih dahulu
didapatkan reaksi-nyeri yang terlambat (delayed pain reaction), baik bagi rasanyeri-superfisial maupun bagi rasa-nyeri- dalam. Dalam hai demikian, timbulnya
reaksi terhadap rangsang nyeri tidak segera terjadi setelah diberikan rangsang,
tetapi beberapa saat kemudian.
Saraf yang terletak di permukaan diperiksa juga rasa-nyeri tekannya. Pada neuritis,
ini dapat menjadi lebih peka terhadap nyeri-tekan. Pada penyakit kusta, selain
meningkatnya rasa-nyeri-tekan, saraf bertambah besar. Dalam hal demikian, perlu
di raba sarafnya, untuk mengetahui besarnya serta kemungkinan adanya benjolan-
benjolan. Biasanya kita periksa nervus ulnaris, nervus peroneus, nervus aurikularis
magnus dan nervus supraorbitalis. Pemeriksaan rasa-nyeri-tekan ini dapat pula
dilakukan dengan jalan mengetok enteng saraf tersebut.
Rasa Interoseptif
Rasa-interoseptif ialah perasaan dari visera (organ dalam tubuh), yaitu rasa yang
timbul dari organ-organ internal. Seorang pasien mungkin mengemukakan
gangguan perasaan berupa rasa nyeri, mules atau kembung. Misalnya usus mules,
perut kembung, kandung kencing serasa penuh. Nyeri viseral ini biasanya difus.
tidak tegas lokalisasinya. Pada pemeriksaan neorologi rasa interoseptif ini sukar
dievaluasi dan sukar diperiksa. Selain lokalisasinya yang difus, kita tidak dapat
melakukan tes pada organ yang letaknya di dalam tubuh.
Nyeri Rujukan
Nyeri rujukan (referred pain) perlu diketahui. Bersamaan dengan nyeri interoseptif
yang diderita seorang pasien, ia mungkin pula mengalami nyeri somatik, yang
mempunyai asal yang reflektoris. Nyeri somatik iní disebut referred pain (nyeri
rujukan) dan biasanya berbentuk hiperalgesia.
Nyeri rujukan ini biasanya didapatkan pada dermatom yang sama atau yang
berdekatan dengan organ internal, sebagai akibat persarafan segmental yang sama,
namun mungkin juga pada tempat yang lebih jauh. Sebagai contoh kami
kemukakan hal berikut: Nervus frenikus mensarafi diafragma dan jaringan di
sekitarnya, yaitu jaringan pleura dan jaringan ekstraperitoneal yang berada di dekat
kandung empedu dan hepar. Serabut saraf frenikus ini berasal dari saraf spinal
servikal 3,4 dan 5. Iritasi kandung empedu, hepar atau bagian tengah diafragma
dapat mengakibatkan rasa- nyeri dan hiperestesia di daerah organ tersebut, tetapi di
samping itu kita dapatkan pula rasa-nyeri di kuduk dan bahu, yaitu daerah kutan
(kulit) dari nervus spinal servikal 3,4 dan 5 tersebut. disebabkan oleh refleks viserokutan.
Nyeri rujukan ini mungkin Daerah rujukan yang perlu kita ketahui, antara lain ialah:
nyeri angina pektoris dapat dirujuk sampai lengan kiri, nyeri di ginjal dapat dirujuk
ke daerah inguinal.
Rasa Somestesia Luhur
Perasaan somestesia luhur ialah perasaan yang mempunyai sifat diskriminatif dan
sifat tiga-dimensi. Kadang digunakan juga kata rasa- gabungan (combined
sensation). Rasa Somestesia luhur bukanlah hanya gabungan dari rasa yang telah
kita perbincangkan terdahulu. Pada rasa somestesia-luhur dibutuhkan komponen
kortikal untuk persepsi akhir. Dalam hal ini komponen kortikal merupakan fungsi
dari lobus parietal yang bertindak untuk menganalisis serta mensintesa tiap macam
perasaan, mengkcrelasi serta mengintegrasi impuls, menginterpretasi rangsang dan
juga meryaring serta mengambil cngram-engram untuk membantu mengenal
impuls tersebut. Jadi yang diutamakan di sini diskriminatif serta fungsi persepsi.
Rasa somestesia luhur meliputi rasa diskriminasi, barognosia, stereognosia,
topostesia (topognosia), grafestesia. ialah fungsi
Diskriminasi. Dua ütik, atau spasial ini merupakan kemampuan untuk mengetahui,
bahwa kita ditusuk dengan dua jarum atau dengan satu jarum pada saat yang sama.
Pemeriksaan rasa diskriminasi. Pada pemeriksaan rasa-diskri-minasi ini di tes
kemampuan untuk mengetahui apakah kita ditusuk dengan dua jarum atau satu
jarum pada waktu yang bersamaan. Untuk maksud ini dapat digunakan jangka
Weber atau dua buah jarum, atau peniti. Bagian-bagian dari badan kita tusuk pada
waktu yang bersamaan dengan dua jarum.
Pasien harus mampu mengetahui apakah ia ditusuk dengan satu atau dua jarum.
Periu diketahui jarak yang terkecil yang masih dapat dirasakan cebagai dua tusukan.
Jarak ini berbeda-beda pada bagian tubuh, misalnya pada lidan, bila kedua tusukan
berjarak 1 mm sudah dapat dirasakan sebagai dua tusukan; pada ujung jari
dibutuhkan jarak 2 - 4 mm; pada telapak tangan 8 12 mm; pada punggung tangan
20 30 mm, pada punggung 40 70 mm; dan pada lengan atas dan paha jarak
terkecilnya ialah 75 mm. Pada pemeriksaan ini perlu pula dibandingkan bagian
badan yang simetris sedangkan rasa rabanya baik, hal ini menunjukkan adanya lesi
di lobus. Bila seorang pasien terganggu rasa diskriminasinya, parietalis.
Barognosia. Barognosia ialah kemampuan untuk mengenal berat benda yang
dipegarig, Kemampuan ini akan terganggu bila rasa proprioseptif, terutama rasasikap dan rasa-gerak tidak sempurna lagi. Untuk memeriksa ini kita gunakan bendabenda yang bentuk dan ukurannya sama serta terbuat dari zat yang atau kemampuan
membeda-bedakan berat benda. sama, namun beratnya dibuat berbeda, misalnya
dengan menambahkan pemberat (misalnya timbal) di dalamnya. Hilangnya
kemampuan untuk membedakan berat disebut baragnosia.
Stereognosia. Stereognosia merupakan kemampuan untuk mengenal bentuk benda
dengan jalan meraba, tanpa melihat. Dalam kehidupan sehari- hari kita dapat
mengenal gelas, botol, atau kunci dengan jalan meraba tanpa melihat. Bila
kemampuan ini terganggu atau hilang, penderita disebut menderita astereognosia,
atau agnosia-taktil.
Astereognosia hanya dapat ditentukan bila rasa eksteroseptif dan proprioseptif baik,
jika hal ini terganggu, rangsang atau impuls tidak sampai ke korteks untuk disadari
dan diinterpretasi.
Beberapa tahap dapat kita rinci dalam mengenal suatu benda. Mula- mula ukuran
benda tersebut dikenal, kemudian bentuknya dalam dua dimensi, diperhatikan dan
setelah itu bentuk dalam tiga dimensi dan akhirnya timbullah pengenalan benda
tersebut. Pemeriksaan ukuran dapat dilakukan dengan jalan menggunakan benda
yang bentuknya sama, tapi ukurannya berbeda. Bentuk diperiksa dengan
menggunakan benda yang berbentuk sederhana, misalnya bundar, segi empat,
segitiga; bentuk tiga dimensi dengan menggunakan benda-benda stereometris,
misalnya kubus. piramid atau bola. Kemudian daya mengenal diperiksa dengan
jalan merabakan benda sederhana seperti kunci, kancing, pisau, pinsil, dan
penderita disuruh mengenalinya.
Cara memeriksa rasa-stereognosia ialah: Pemeriksaan stereognosia. penderita
disuruh menutup mata, kemudian ditempatkan bermacam benda ke dalam
tangannya. Benda yang ditempatkan ini hendaklah benda yang sederhana dan telah
dikenal pada kehidupan sehari-hari, misalnya kunci, gelas, uang logam, atau arloji.
la disuruh menyebutkan benda apa yang sedang dipegangnya. Jika ia tidak mampu
menyebutkan nama benda sebut, ia disuruh melukiskan ukuran, bentuk dan materi
benda tersebut Rasa stereognosia diperiksa pada tangan; jika tangan pasien lumpuh
kita tolong ia memegang atau menggenggam benda tersebut
Topestesia (topognosia). Topestesia atau topognosia ialah kemampuan untuk
melokalisasi tempat dari rasa-raba. Bila orang tidak mampu melokalisasi rasa-raba
ini, sedang rasa eksteroseptifnya baik, hal ini biasanya disebabkan oleh lesi yang
melibatkan lobus parietal, dan disebut topagnosia atau topoanestesia.
Grafestesia. Grafestesia merupakan kemampuan untuk mengenali huruf- huruf atau
angka yang ditulis pada kulit, sedangkan mata tertutup.
Cara pemoriksaan grafestesia. Untuk memeriksa grafestesia dapat digunakan pinsil
atau benda halus yang tumpul lainnya, dan kita tuliskan angka pada kulit pasien.
Penderita harus menutup matanya. Kemudian ia disuruh menyebut angka apa yang
dituliskan. Hilangnya kemampuan ini disebut: grafanestesia. Jika perasaan
eksteroseptif dan proprioseptif baik sedangkan penderita tidak mengenali angka
yang ditulis, hal ini biasanya menunjukkan adanya lesi di korteks.
Bab VIII. REFLEKS
Pakar yang pertama kali diketahui menggunakan kata refleks ialah Rene Descartes,
pada tahun 1662. la melukiskan refleks memejam (refleks ancam); pada refleks ini,
suatu pukulan yang diancamkan ke mata menyebabkan mata dipejamkan. Kata
refleks dibentuk dari: melihat objek yang mendekat memberikan refleksi di otak.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa refleks ialah jawaban atas rangsang.
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang
terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang
mengaktivasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Misalnya:
refleks tendon lutut timtul karena adanya rangsang (ketokan), reseptor, serabut
aferen, ganglio spinal, neuron perantara, se! neuron motorik, serabut eferen dans
efektor (otot). Hal ini dinamakan lengkung refleks (reflex arc) (lihat gambar 8-1
dan 8-2). Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang.
Selain lengkungan tadi didapatkan pula hubungan dengan pusat- pusat yang lebih
tinggi di otak yang iugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan
pusat yang lebih tinggi ini terputus, misainya karena kerusakan pada sistem
piramidal. hal ini akan mengakibatkan refleks meninggi.
Gambar 8.1. Lengkung Refrek Sederhana
1. Kulit (reseptor)
2. Saraf aferen
3. Neuron perantara
4. Saraf eferen
5. Otot
6. Ganglion spinal
Gambar 8.2. Bagan refleks regang-otot yang sangat disederhanakan
1. Kumparan neuromuskuler ("neuromuscular spindle")
2. Ganglion spinal
3. Motoneuron alfa
4. "Motor endplate" dan otot ekstensor
Jenis Refleks
Bila
dibandingkan
dengan
pemeriksaan-pemeriksaan
lainnya,
misalnya
pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung kepada
kooperasi pasien. la dapat dilakukan pada orang yang menurun kesadarannya, bayi,
anak, orang yang rendah inteiigerisinya dan orang yang gelisah. Itulah sebaonya
pemeriksaan refleks penting nilainya, karena lebih objektif dari pemeriksaan
lainnya.
Dalam praktek sehari-hari kita biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu refleks
dalam dan refleks superfisial.
Refleks Dalam (refleks regang otot)
Refleks dalam timbul olen regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan, dan
sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks- dalam juga dinamai refleks
regang otot (muscle stretch reflex). Nama lain bagi refleks dalam ini iaiah refleks
tendon, refleks periostal, refieks miotatik dan refleks fisiologis.
Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menuiut tempat
merangsang, yaitu tempat insersio otot. Misalnya refle ks kuadriseps femoris
disebut juga refleks tendon lutut atau refleks patela Telah dikemukakan di atas
bahwa timbulnya refleks ini ialah karena teregangnya otot oleh rangsang yang
diberikan dan sebagai jawaban otot berkontraksi. Rasa-regang (ketok) ini ditangkap
oleh alat penangkap (reseptor) rasa-proprioseptif, karena itu refleks ini juga dinamai
refleks proprioseptif. Contoh dari refleks dalam ialah refleks kuadriseps femoris
glabella.
Refleks Superfisialis
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang mengakipatkan
berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di sekitarnya. Jadi bukan karena
teregangnya otot seperti pada refleks-dalam.
Tingkat Jawaban Refleks
Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat, yaitu:
-(negatif)
: tidak ada refleks sama sekali
±
: kurang jawaban, jawaban lemah
+
: jawaban normal
++
: jawaban berlebih, refleks meningkat
Tidak ada batas yang tegas antara tingkat refleks yang dikemukakan di atas, yaitu:
tidak ada batas yang tegas antara refleks lemah, refleks normal dan refleks
meningkat. Bila refleksnya negatif, hal ini mudah dipastikan. Pada refleks yang
meninggi, daerah tempat memberikan rangsang biasanya bertambah luas. Misalnya
refleks kuadriseps femoris, bila ia meninggi, maka tempat merangsang tidak saja di
tendon di patella, tetapi dapat meluas sampai tulang tibia. Kontraksi ototpun
bertambah hebat, sehingga mengakibatkan gerakan yang kuat pada persendiannya.
Jika meningginya refleks hebat, kadang-kadang didapatkan klonus, yaitu otot
berkontraksi secara klonik. Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi otot
untuk mengetahui apakah ada kontraksi. Kadang-kadang kita perlu pula melakukan
sedikit upaya untuk memperjelas refleks yang lemah. Hal ini misalnya dilakukan
dengan membuat otot yang diperiksa berada dalam kontraksi enteng sebelum
dirangsang. Misalnya bila kita hendak memeriksa refleks kuadriseps femoris, kita
suruh pasien mendorongkan tungkai bawahnya sedikit kedepan sambil kita
menahannya, baru kemudian kita beri rangsang (ketok) pada tendon di patella (lihat
gambar 8-3). Selain itu, Juga perhatian penderita perlu dialihkan, misalnya dengan
menyuruhnya menarik pada kedua tangannya yang saling bertautan (gambar 8-4).
Refleks yang meninggi tidak selalu berarti adanya gangguan patologis, tetapi bila
refleks pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar sekali kemungkinan bahwa hal
ini disebabkan oleh keadaan patologis. Simetri memang penting dalam penyakit
saraf. Kita mengetahui bahwa simetri sempurna tidak ada pada tubuh manusia.
Walaupun demikian banyak pemeriksaan neurologis didasarkan atas anggapan
bahwa bagian tubuh adalah sama atau simetris (secara kasar). Tiap refleks-dalam
dapat meninggi secara bilateral, namun hal ini tidak selalu berarti adanya lesi
piramidal. Lain halnya kalau peninggian refleks bersifat asimetris. Karenanya harus
diingat bahwa: Pada pemeriksaan refleks jangan lupa membandingkan bagianbagian yang simetris (kiri dan kanan). Asimetri dapat menunjukkan adanya proses
patologis.
Gambar 8.3. Membangkitkan refleks lulut.
Dapat diperjelas dengan menyuruh pasien mendorongkan sedikit. sambil kita tahan
tungkai bawahnya. Baru kemudian kita "rangsang"
Gambar 8.4. Waktu mengetok refleks, perhatian pasien dapat dialihkan dengan
Menyuruhnya menarik pada kedua tangannya yang tercekam.
Pemeriksaan refleks Sebotulnya banyak reflelks yang dapat dibangkitkan; tiap otot
bila diketok pada insersinya akan berkontraksi dan merupakan suatu refleks. Pada
buku ini kami hanya mengemukakan refleks yang lazim diperiksa pada
pemeriksaan rutin.
Refleks glabela. Pukulan singkat pada glabela atau sekitar daerah supraorbiialis
mengakibatkan kontraksi singkat kedua otot orbikuiaris okuli. Pada lesi perifer
nervus fasialis, refleks ini berkurang atau negatif, sedangkan pada sindrom
Parkinson refleks ini sering meninggi). Pusat refleks ini terletak di pons (gambar 85).
Refleks rahang bawah (jaw refleks). Penderita disuruh membuka mulutnya sedikit
dan telunjuk pemeriksa ditempatkan melintang di dagu. Setelah itu, telunjuk
diketok
dengan
ketok-refleks
(refleks
hammer)
yang
mengakibatkan
berkontraksinya otot maseter sehingga mulut merapat. Pusat refleks ini terletak di
pons. (gambar 8-6).
Refleks biseps. Kita pegang lengan pasien yang di semifleksikan sambil
menempatkan ibu jari di atas tendon otot biseps. Ibu jari kemudian diketok hal ini
mengakibatkan gerakan fleksi lengan bawah (gambar 8-7). Pusat refleks : ini
terletak di C5 - C6.
Refleks triseps. Kita pegang lengan bawah pasien yang difleksikan setengah
(semifleksi). Setelah itu, diketok pada tendon insersi m. triseps yang berada sedikit
di atas olekranon. Sebagai jawaban, ini lengan bawah mengadakan gerakan ekstensi
(gambar 8-8). Lengkung refleks melalui nervus radialis yang pusatnya terletak di
C6 - C8.
Pukulan singkat pada glabela mengakibatkan kontraksi otot okularis okuli
Gambar 8.5.
Refleks
glabela
Refleks
Mandibula
(rahang
-
bawah)
Suruh
pasien
mengistirahatkan rahangnya. Pemeriksa menempatkan satu jari pada dagu dan
kemudian mengetoknya. Tak ada reaksi atau reaksi lemah: normal Bila meningkat
lesi "UMN"
Gambar 8.6 Refleks rahang bawah
Gambar 8.7 refleks biseps
Gambar 8.8 refleks triseps
Refleks brakhioradialis (refleks radius). Lengan bawah difleksikan serta
dipronasikar: sedikit. Kemudian dikeiok pada prosesus stiloideus radius. Sebagai
jawaban lengan bawah akan berfleksi & bersupinasi (gambar 8-9). Lengkung
refleks melalui nervus radialis, yang pusatnya terletak di C5-C6.
Refleks ulna. Lengan bawah di semifleksi dan semipronasi. Kemudian diketok pada
prosesus stiloideus dari ulna. Hal ini mengakibatkan gerakan pronasi pada lengan
bawah dan kadang-kadang juga gerakan aduksi pada pergelangan tangan.
Lengkung refleks, melalui nervus medianus yang pusatnya terletak di C5-Th1.
Refleks fleksor jari-jari. Tangan pasien yang ditumpukan pada dasar yang agak
keras disupinasikan dan jari-jari difleksikan sedikit. Telunjuk pemeriksa
ditempatkan menyilang pada permukaan volar falang jari-jari. Kemudian telunjuk
pemeriksa diketok. Pada keadaan normal, jari-jari pasien akan berfleksi enteng
demikian juga falang akhir ibu jari. Pada lesi piramidal; fleksi jari-jari lebih kuat.
Nilai patologiknya lebih penting jika terdapat asimetri antara jari kanan dan kiri.
Lengkung refleks ini melalui nervus medianus dan nervus ulnaris, yang pusatnya
terletak di C6-Th1.
Refleks-dalam dinding perut. Dinding perut pasien, yang disuruh berbaring, ditekan
sedikit dengan jari telunjuk atau dengan penggaris, kemudian diketok. Otot dinding
perut akan berkontraksi. Terlihat pusar akan bergerak ke arah otot yang
berkontraksi. Lengkung refleks ini melalui Th6 - Th12. Pada orang normal,
kontraksi dinding perut sedang saja; pada orang yang penggeli reaksi ini dapat kuat.
Reaksi dinding perut ini mempunyai nilai yang penting bila ditinjau bersama-sama
dengan refleks superfisialis dinding perut. Bila refleks-dalam dinding perut
meninggi, sedang refleks superfisialisnya negatif, maka hal ini dapat menandakan
adanya lesi piramidal pada tempat yang lebih atas dari Tn6.
Refleks kuadriseps femoris (refleks tendon lutut, refleks patella). Kata KPR masih
sering digunakan untuk refleks ini, yaitu singkatan dari bahasa Belanda,
Kniepeesreflex, yang berarti refleks tendon lutut. Pada pemeriksaan refieksi ini,
tungkai difleksikan dan digantungkan, misalnya pada tepi tempat tidur. Kemudian,
diketok pada tendon muskulus kuadriseps femoris, di bawah atau di atas patella,
(biasanya di bawah patella). Kuadriseps femoris akan berkontraksi dan
mengakibatkan gerakan ekstensi tungkai bawah (gambar 8-10). Lengkung refleks
ini melalui L2, L3, L4.
Refleks triseps sure (refleks tendon Achilles). Dalam bahasa Belanda refleks ini
disebut Achililespeesreflex, disingkat APR. Singkatan APR ini masih sering
digunakan di Indonesia. Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang
kaki pada ujungnya untuk member:kan sikap dorsofleksi ringan pada kaki. Setelah
itu, tendon Achilles diketok. Hal ini mengakibatkan berkontraksinya m. triseps sure
dan memberikan gerak plantar fleksi pada kaki (gambar 8-11). Lengkung refleks
ini melalui S1, S2
Gambar 8.9. Refleks brakhioradialis (refleks radius)
Gambar 8.10 Refleks patella (kuadriseps femoris)
Gambar 8.11 Refleks Tendon Achilles (APR)
Refleks Superfisial
Refleks kornea. Kernea mata disentuh dergaii sepotong kapas yang ujungnya dibuat
runcing. Hal ini mengakibatkan dipejanikannya mata (m. orbikularis okuli). Pada
pemeriksaar ini harus dijaga agar datangnya kapas ke mata tidak dilihat oleh pasien,
misalnya dengan menyuruhnya melirik ke arah yang berlawanan dengan arah
datangnya kapas (gambar 8-12). Pada gangguan nervus V sensorik, refleks ini
negatif atau berkurang. Sensibilitas kornea diurus oleh nervus V sensorik cabang
oftalmik. Refleks kornea juga akan menghilang atau berkurang bila terdapat
kelumpuhan m. orbikularis okuli, yang disarafi oleh nervus VII (fasialis).
Refleks dinding perut superfisialis. Pada lengkung refleks ini, rangkaian neuron
stiprasegmental juga dilibatkan, sehingga bila terdapat kerusakan suprasegmental,
refleks dinding perut ini menjadi negatif (gambar 8-13).
Refleks ini dibangkitkan dengan jalan menggores dinding perut dengan benda yang
agak runcing, misalnya kayu geretan atau kunci. Bila positif, maka otot (m.rektus
abdominis) akan berkontraksi. Refleks ini dilakukan pada berbagai lapangan
dinding perut, yaitu di epigastrium (otot yang berkontraksi diinervasi oleh Th 6, Th
7), perut bagian atas (Th 7, Th 9). perut bagian tengah (Th 9, Th 11). perut bagian
bawah (Th 11, Th 12 dan lumbal atas). Pada kontraksi otot, terlihat pusar bergerak
ke arah otot yang berkontraksi.
Refleks superfisialis dinding perut sering negatif pada wanita normal yang banyak
anak (sering hamil), yang dinding perutnya lembek, demikian juga pada orang
gemuk dan orang lanjut usia; juga pada bayi baru iahir sampai usia 1 tahun. Pada
orang muda yang otot-otot dinding perutnya berkembang baik, bila refleks ini
regatif, hal ini mempunyai nilai patologis. Bila refleks dinding perut superfisialis
negatif disertai refleks-dalam dinding perut yang meninggi hal ini menunjukkan
adanya lesi traktus piramidalis di tempat yang lebih atas dari Th 6.
Refleks dinding perut superfisialis biasanya lekas lelah. la akan menghilang setelah
beberapa kali dilakukan.
Refleks kremaster. Refleks ini dibangkitkan dengan jalan menggores atau
menyentuh bagian medial pangkal paha. Terlihat skrotum berkontraksi (gambar 814). Pada lesi traktus piramidalis, refleks ini negatif. Refleks ini dapat negatif pada
orang lanjut usia, penderita hidrokel, varikokel, orkhitis atau epididimitis.
Lengkung refleks melalui L1, L2.
Refleks anus superfisialis. Bila kulit di sekitar anus dirangsang, misalnya dengan
tusukan ringan atau goresan, hal ini mengakibatkan otot sfingter eksternus
berkontraksi. Lengkung refleks ini melalui S2 -S4, S5.
Refleks telapak kaki, refleks plantar (plantar reflex). Kaki dilemaskan, kemudian
telapak kaki digores dengan benda yang agak runcing. Pada orang normai terlihat
jawaban berupa kaki melakukan gerakan plantar fleksi Pada orang yang penggeli
gerakan ini disertai gerakan menarik kaki, Pada orang dengan lesi di traktus
piramidalis, didapatkan gerakan atau jawaban yang lain, yaitu dorsofleksi ibu jari
kaki serta gerakan mekar (fanning) jari-jari lainnya. Hal ini disebut refleks
patologis.
Karena pentingnya refleks patologis ini dalam ilmu neurologi, akan kita perluas
pembicaraan mengenai hal ini.
Gambar 8.12 Melakukan refleks kornea
Gambar 8.13 Refleks dinding perut superfisialis
Gambar 8.14 Refleks kremaster
Refleks Patologis
Pada tahun 1306, Babinski mengemukakan refleks ini di depan Societe de Bioiogie
di Paris. la menyatakan bahwa refleks superfisia!lis telapak kaki menjadi berubah
gerakannya (jawabannya) pada lesi traktus piramidalis; yaitu tidak lagi mengadakan
plantar fleksi seperti pada orang normal, tetapi dorso fleksi ibu jari kaki disertai
gerakan mekar jari-jari lainnya. Kemudian diketahui pula bahwa gerakan refleks ini
dapat meluas dengan gerakan dorso fleksi pada pergelangan kaki, fleksi tungkai
bawah dan fleksi tungkai atas. Jadi, merupakan fleksi massa dari tungkai. Cara
membangkitkan refleks inipun dapat bermacam-macam.
Banyak membangkitkannya, misalnya menggores teiapak kaki bagian lateral,
menusuk atau menggores dorsum kaki atau sisi lateralnya, memberi rangsang panas
atau rangsang listrik pada kaki, menekan pada daerah interossei kaki, mencubit
tendon Achilles, menekan tibia, fibula, otot betis, macam rangsang yang dapat
digunakan untuk menggerakkan patela ke arah distal, malah pada keadaan yang
hebat,
dibangkitkan
dengan
jalan
menggoyangkan
kaki,
refleks
dapat
menggerakkan kepala dan juga bila menguap.
Refleks Babinski. Untuk membangkitkan refleks Babinski, penderita disuruh
berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan. Kita pegang pergelangan kaki
supaya kaki tetap pada tempatnya. Untuk merangsang dapat digunakan kayu
geretan atau benda yang agak runcing. Goresan harus dilakukan perlahan, jangan
sampai mengakibatkan rasa nyeri, sebab hal ini akan menimbulkan refleks menarik
kaki (flight reflex). Goresan dilakukan pada telapak kaki bagian lateral, mulai dari
tumit menuju pangkal jari. Jika reaksi positif, kita dapatkan gerakan dorso fleksi
ibu jari, yang dapat disertai gerak mekarnya jari-jari lainnya (Gambar 8-15).
Tadi telah dikemukakan bahwa cara membangkitkan refleks patologis ini
bermacam-macam (gambar 8-15), di antaranya dapat disebut :
Cara Chaddock : rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral
maleolus
Cara Gordon : memencet (mencubit) otot betis
Cara Oppenheim : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior Arah
mengurut ke bawah (distal).
Cara Gonda : memencet (menekan) satu jari kaki dan kemudian melepaskannya
sekonyong-konyong.
Cara Schaefer : memencet (mencubit) tendon Achilles
Gambar 8.15. Refleks Patologis. 1. Babinski 2. Oppenheim 3. Gordon 4.Schaefer
5. Gonda 6. Chaddock
Klonus
Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan piramidal iaiah adanya
hiper-refleksi. Bila hiperrefleksi ini hebat dapat terjadi klonus. Klonus ialah
kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bila otot diregangkan secara pasif. Klonus
merupakan refleks-regang-otot (muscle stretch reflex) yang meninggi dan dapat
dijumpai pada lesi supranuklir (upper motor neuron, piramidal). fisiologis; pada
mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya berlangsung singkat dan disebut
klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama (yang terus berlangsung selama
rangsang diberikan), hal ini dianggap patologis. Klonus dapat dianggap sebagai
rentetan refleks regang otot, yang meninggi. Hal ini menunjukkan adanya
hiperrefleksi yang patologis, yang dapat disebabkan oleh lesi piramidal.
Pada lesi piramidal (UMN (uppermotorneuron) supranuklir) kita se:ing
mendapatkan klonus di pergelangan kaki. lutut dan pergelangan tangan. Ada orang
normal yang mempunyai hiper-refleksi Klonus ini dibangkitkan dengan jalan
meregangkan otot triseps sure betis. Pemeriksa menempatkan tangannya di telapak
kaki penderita, kemudian telapak kaki ini didorong dengan cepat (dikejutkan)
Klonus kaki. sehingga terjadi dorso fleksi sambil seterusnya diberikan tahanan
enteng. Hal ini mengakibatkan teregangnya otot betis. Bila ada klonus, maka
terlihat gerakan ritmik (bolak-balik) dari kaki, yaitu berupa plantar fleksi dan dorso
fleksi secara bergantian.
Klonus patela. Klonus ini dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot kuadriseps
femoris. Kita pegang patela penderita, kemudian didorong dengan kejutan (dengan
cepat) ke arah distal sambil diberikan tahanan enteng. Bila terdapat klonus, akan
terlihat kontraksi ritmik otot kuadriseps yang mengakibatkan gerakan bolak-balik
dari patela. Pada pemeriksaan ini tungkai harus diekstensikan serta dilemaskan.
Refleks dan gejala patologis lain yang perlu diketahui.
Refieks Hoffman Trommer. Kita telah mendiskusikan refleks fleksor jari- jari. Pada
orang normal, refleks ini biasanya tidak ada atau enteng saja, karena ambang refleks
tinggi. Akan tetapi, pada keadaan patologik, ambang refleks menjadi rendah dan
kita dapatkan refleks yang kuat. Refleks inilah yang merupakan dasar dari refleks
Hoffman-Trommer, dan refleks lainnya, misalnya refleks Bechterew.
Dalam beberapa buku, refleks Hoffman-Trommer ini masih dianggap sebagai
refleks patologis dan disenafaskan dengan refleks Babinski, padahal mekanisme
refleks fleksor jari-jari sama sekali lain dari refleks Babinski. la rnerupakan refleks
regang otot, jadi sama seperti refleks kuadriseps dan refleks regang-otot lainnya.
Refleks Hoffman-Trommer positif dapat disebabkan oleh lesi piramidal, tetapi
dapat pula disebabkar oleh peningkatan refleks yang melulu fungsional. Akan
tetapi, bila refleks pada sisi kanan berbeda dari yang kiri, maka hal ini dapat
dianggap sebagai keadaan patologis.
Simetri penting dalam penyakit saraf. Kita mengetahui bahwa simetri yang
sempurna memang tidak ada pada tubuh manusia. Akan tetapi, banyak pemeriksaan
neurologi didasarkan atas anggapan, bahwa secara kasar kedua bagian tubuh adalah
sama atau simetris. Tiap refleks tendon dapat meninggi secara bilateral, namun hal
ini belum tentu berarti adanya lesi piramidal. Lain halnya kalau peninggian refleks
bersifat asimetris !!! Cara membangkitkan refleks Hoffman-trommer: Tangan
penderita kita pegang pada pergelangan dan jari-jarinya disuruh fleksi-entengkan.
Kemudian jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk dan jari-tengah kita.
Dengan ibu-jari kita "gores-kuat" (snap) ujung jari tengah penderita. Hal ini
mengakibatkan fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari, bila refleks
positif. Kadang juga disertai fleks: jari lainnya (Gambar 8-16).
Gambar 8.16 Reflek Hoffman Trommer
Refleks massa, refleks automatisme spinal. Kiia telah mengetahui bahwa bila
refleks Babinski cukup hebat, kita dapatkan dorso fleksi jari-jari, fleksi pada
pergelangan kaki, fleksi tungkai bawah dan atas, dan kadang-kadang ierdapat juga
kontraksi tungkai yang satu lagi. Daerah pemberian rangsangpun bertambah luas.
Hal demikian dapat kita jumpai pada lesi transversal medula spinalis, dan disebut
refleks automatisme spinal. Hal ini dapat ditimbulkan oleh berbagai macam
rangsang, misalnya goresan, rangsang nyeri dan lain sebagainya.
Bila refleks lebih hebat lagi, didapatkan juga kontraksi otot dinding perut, adanya
miksi dan defekasi, keluarnya keringat, refleks eritema dar refleks pilomotor.
Keadaarn demikian disebut juga sebagai refleks massa dari Riddoch. Hal demikian
didapatkan pada lesi transversal yang komplit dari medula spinalis, setelah fase
syoknya lampau.
Refleks genggam (grasp reflex). Refleks genggam merupakan hal normal pada bayi
sampai usia kira-kira 4 bulan. Pada orang normal, bila telapak tangan digores kita
tidak mendapatkan gerakan fleksi jari-jari, tetapi kadang- kadang terjadi fleksi
enteng (ambang refleks ini tinggi).
Dalam keadaan patologis, misalnya pada lesi di lobus frontalis didapatkan reaksi
(fleksi jari) yang nyata. Penggoresan telapak tangan mengakibatkan tangan
digenggamkan, dan menggenggam alat vang digunakan sebagai penggores. Hal ini
dinamai refleks genggam. Refleks genggam terdiri dari fleksi ibu jari dan jari
lainnya, sebagai jawaban terhadan rangsang taktil, misalnya bila pemeriksa meraba
telapak tangan pasien, atau menyentuh atau menggores tangan pasien di antara ibu
jari dan telunjuknya.
Kadang-kadang refleks ini demikian hebatnya, sehingga bila kita menjauhkan
tangan kita yang tadinya didekatkan, tangan pasien mengikutinya, "seolah-olah
kena tenaga maknit". Ha! ini dinamakan refleks menjangkau (groping reflex).
Untuk membangkitkan refleks genggam dapat dilakukan hal berikut: Penderita
disuruh mem-fleksi-entengkan jari-jari tangannya. Kemudian kita sentuh kulit yang
berada di antara telunjuk dan ibu jari dengan ujung ketok- refleks. Bila refleks
menggenggam positif ujung ketok-refleks ini akan digenggamnya.
Gejala Leri. Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut: Kita pegang lengan- bawah
pasien yang disupinasi serta difleksi sedikit. Kemudian kita tekukkan dengan kuat
(fleksi) jari-jari serta pergelangannya. Pada orang normal, gerakan ini akan diikuti
oleh fleksi lengan bawah dan lengan atas, dan kadang-kadang juga disertai aduksi
lengan atas. Refleks ini akan negatif bila terdapat lesi piramidal. Tidak adanya
refieks ini dinyatakan sebagai gejala Leri positif.
Gejala Mayer. Pasien disuruh men-supinasikan tangannya, telapak tangan ke atas,
dan jari-jari di-fleksi-enteng-kan serta ibu jari difleksi-enteng dan diabduksikan.
Tangannya kita pegang. Kemudian dengan tangan yang satu lagi kita tekukkan jari
3 dan 4 pada falang proksimal dan menekannya pada telapak tangan (fleksi). Pada
orang normal, hal ini mengakibatkan aduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi pada
persendian metakarpofalangeal, dan ekstensi di persendian interfalang ibu jari.
Jawaban demikian tidak didapatkan pada lesi piramidal, dan tidak adanya jawaban
ini disebut sebagai gejala Mayer positif.
Tangis dan ketawa patologis (pathological laughing and crying). Fenomena ini,
yang merupakan fenomena release, menampakkan dirinya sebagai berikut: ekspresi
mimik menangis dan ketawa mulai lebih cepat, lebih banyak, lebih ekstensif, lebih
intensif dan berlangsung lebih lama daripada orang normal. Muka dengan lambat
beristirahat kembali. Ambang untuk aksi menangis dan ketawa sangat rendah, dan
aksi ini dikontrol secara buruk. Pasien dapat lama ketawa bila diberi rangsang yang
tidak berarti dan ketawanya ini tanpa emosi. Sebenarnya rangsang yang
menimbulkan serangan tidak adekuat dan tidak cukup. Serangan menangis dan
ketawa "patologis" dapat terjadi tanpa provokasi, atau provokasi yang sangat
ringan. Menangis dan ketawa "patologis" terdapat pada penderita dengan lesi
pseudobulber, lesi difus di otak dan ALS yang lanjut.
Bab IX. STATUS MENTAL 4,8,14,15,24
Evaluasi status mental merupakan penilaian fungsi kognitf dan emosi yang
sistematis. Fungsi kognitif dan emosi sering tergangegu pada pasien dengan
penyakit otak organik. Pemeriksaan status mental harus dilakukan secara sisternatis
dan berurutan. Hal ini lebih dibutuhkan bila dibandingkan dengan pemeriksaan
fisik. Pada pemeriksaan fisik, urutan pemeriksaan tidak perlu ketat, dan tergantung
pada selera pemeriksa. la, micainya, dapat mulai dengan memeriksa refleks
patologis, kemudian pemeriksaan sistem motorik dar. sensorik; atau ia dapat mulai
dengan memeriksa saraf otak. Pada pemerksaan status mental, dibutuhkan
pemeriksaan yang berurutan, karena untuk memeriksa suatu keadaan (misalnya
memori), terlebih dahulu perlu diperiksa keadaan lainnya (misalnya atensi). Sulit
kita melakukan pemeriksaan memori, sebelum menilai keadaan atensi.
Cukup benyak pasien yang menderita penurunan kemampuan berkonsentrasi
setelah mengalami cedera otak, atau pasien yang menjadi mudah marah dan
tersinggung
setelah
mengalami
radang
otak,
yang
dipulangkan
tanpa
mengidentifikasi kelainan ini. Hal ini tidak jarang menimbulkan frustasi dan
ketegangan pada pasien, dan juga pada anggota keluarga atau orang di tingkungan
dekatnya. Bila hal ini diketahui, dan diberikan penjelasan kepada pasien dan
keluarga, serta informasi mengenai kemungkinan perbaikannya, mungkin frustasi
dapat dihindari atau dikurangi.
Infark kecil diotak, hematoma subdural yang kronis, atau tumor di otak, mungkin
pada pemeriksaan fisik neurologis tidak menunjukkan kelainan, sedangkan pada
pemeriksaan mental terlihat adanya status defisit. Kadang pemeriksaan status
mental dapat mempertaja pende-teksian kelainan di otak.
Keluhan seperti gangguan memori, kesulitan berkonsentrasi, menurunnya
kegairahan bekerja atau menurunnya perhatian terhadap kehidupan berkeluarga,
atau adanya keluhan fisik tanpa ditemukan etiologi organik, perlu membuat dokter
siaga terhadap kemungkinan penyakit otak organik dan melakukan pemeriksaan
status mental. Disadari bahwa hal ini tidak mudah, namun pembedaan antara
kelainan fungsional, neurologis dan medis lainnya perlu diupayakan. Dalam hal ini
pemeriksaan status mental kadang-kadang dapat membantu. Pemeriksaan status
mental perlu dilakukan dengan urutan yang baik, mulai dengan fungsi dasar tingkat-
kesadaran, kemudian dilanjutkan dengan fungsi kognitif-dasar seperti berbahasa,
dan meningkat kepada pemeriksaan yang lebih kompieks seperti berhitung,
pertimbangan dsb.
Pada pemeriksaan mental diperiksa hal berikut, yaitu:

Tingkat kesadaran

Atensi (pomusatan perhatian)

Orientasi (orang, tempat, waktu)

Berbahasa


bicara spontan

komprehensi (pemahaman bahasa)

menamai

repetisi (mengulang)

membaca

menulis
Memori

segera

jangka pendek (verbal, visual)

jangka panjang

Pengetahuan umum

Berhitung

Abstraksi

Gnosis (pengenalan objek)

Praksis

Respons emosional
TINGKAT KESADARAN
Tingkatan kesadaran telah diuraikan pada bab 2.
ATENSI (PEMUSATAN PERHATIAN) DAN KONSENTRASI
Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan (memusatkan) perhatian pada
masalah
yang
dihadapi.
Konsentrasi
merupakan
kemampuan
untuk
mempertahankan fokus tersebut. Atensi memungkinkan stimulus eksogen dan
endogen yang seseorang untuk menyeleksi aliran memborbardir otak, yang
dianggap perlu, dan membutuhkan pemrosesan lebih lanjut, dari hal-hal yang perlu
diabaikan.
Atensi yang terpusat merupakan hal esensial dalam belajar. Hal ini memberikan
kemampuan untuk memproses item penting yang dipilih, dan mengabaikan yang
lainnya.
Pemeriksaan
Keadaan atensi pasien dapat dinilai melalui beberapa tes, antara lain:

Tes mengulangi angka

Tes mengetukkan jari (untuk angka atau huruf tertentu).
Tes mengulangi angka
Mengulangi angka dapat mengukur atensi terhadap stimulus verbal, selain itu, juga
mengukur kemampuan mempertahankan atensi selama mengulangi urutan angka.
Pada tes ini pasien disuruh mengulangi sebarisan angka yang dipilih secara acak;
dimulai dengan tiga angka, kemudian ditingkatkan sampai terdapat kesalahan, atau
sampai dapat mengulangi 7 angka. Tentulah kita tidak memilih angka yang
berurutan, seperti 123, 135, 321 dan lain sebagainya.
Pemeriksa menyebutkan angka dengan lambat dan jelas, satu angka dalam satu
detik. Pasien disuruh mengulanginya. Pasien tidak perlu mengulanginya dengan
lambat. satu angka satu detik! Contoh angka yang dapat dipakai: 2 -5-9; 1-4-6-7; 1
-4-5-7-8; 1-3- 4-7-8- 9; 1-3-5-4-7-8-9.
Penilaian Skor
Orang dewasa normal dapat mengulangi sampai 6 atau 7 angka. Bila orang yang
normal tidak mampu mengulangi lebih dari 5 angka, perhatiannya mungkin kurang.
Tes mengetukkan untuk angka (atau huruf tertentu)
Tes ini juga dapat menilai atensi dan kesiagaan pasien. Suruh pasien mengetukkan
jarinya ke meja bila ia mendengar angka, tertentu, misalnya angka 4. Kita sebutkan
serangkaian angka misalnya: 1-12 - 4-7-9-10 – 6-2-0-4 dstnya. Angka-angka kita
sebutkan dengan jelas, dengan kecepatan satu angka dalam satu detik.
Pada tes mengetuk kita dapat pula menggunakan huruf. Suruh pasien mengetukkan
jarinya bila mendengar huruf tertentu, misalnya i. Kemudian kita sebutkan urutan
huruf, misalnya: b - p-i-l-t-d- u-s-i-m-n -t-i.
Orang normal dapat melakukan hal in tanpa membuat kesalahan. Kesalahan
mengetuk yang konstan dapat dijumpai pada lesi di frontal. Komprehensi yang
terganggu bagi bahasa mengakibatkan tes mengulang angka dan tes mengetuk tidak
dapat digunakan sebagai tes untuk atens dan kesiagaan.
Bab X. ORIENTASI
Orientasi terhadap orang (individu), waktu dan tempat perlu dinilai. Orientasi
merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar dengan pengalaman
lampau. Orientasi terhadap waktu dan tempat dapat dianggap sebagai ukuran
memori jangka pendek, yaitu kemampuan pasien memantau perubahan sekitar yang
kontinu. Bila orientasi pasien terganggu, hal ini dapat merupakan petunjuk bahwa
memori jangka pendeknya mungkin terganggu.
Pemeriksaan orientasi
Kepada pasien ditanyakan pertanyaan berikut ini.
Orientasi terhadap orang
Siapa nama anda ?, Berapa usia anda ?. Apa tugas anda ?. Kapan anda dilahirkan ?.
Apakah ia mengenal orang lain disekitarnya, serta pemeriksa sebagai dokter.
Orientasi tempat
Di mana kita sekarang berada ?. Apa nama tempat ini ?. Di kota mana kita sekarang
berada ?.
Orientasi waktu
Hari apa sekarang ?, Hari ini tanggal berapa ?, bulan apa ?, tahun berapa ?. Kirakira jam berapa sekarang ?.
Orang normal biasanya dapat melakukan tes tersebut di atas.
Namun demikian kadang-kadang ada yang membuat kesalahan mengenai tanggal
dan hari.
Bab XI. BERBAHASA
Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu: bicara spontan,
komprehensi, menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.
Bahasa merupakan instrumen dasar bagi komunikasi pada manusia, dan merupakan
dasar dan tulang-punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada
sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal, interpretasi
pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit da mungkin tidak dapat dilakukan.
Kemampuan berkomunikasi dengar: menggunakan bahasa sangat penting. Bila
terdapat gangguan, hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien.
Gangguan berbahasa telah banyak dipelajari, dan telah banyak dikemukakan
sindrom klinik-anatomiknya. Dokter harus menguasai berbagai sindrom gangguan
berbahasa, dan harus mampu mengembangkan pendekatan yang sistematis dalam
mengevaluasi berbahasa. Strok, tumor di otak, cedera otak, demensi dan penyakit
lainnya dapat mengakibatkan gangguan berbahasa.
Gangguan berbahasa tidak mudah dideteksi dengan pemeriksaan yang tergesa-gesa.
Pemeriksa perlu meningkatkan pengetahuan mengenai pola gangguan berbahasa.
Terminologi
Disartria (pelo, cadel) merupakan gangguan pada artikulasi, seperti gramatika (tata
bahasa), komprehensi dan pemilihan kata tidak terganggu. Disartria disebabkan
oleh gangguan pada kontrol neuromuskular pada pengucapan kata. Pada keadaan
ini, kemampuan berbahasa proses artikulasi. Dalam praktek, hal ini biasanya berarti
kesulitan dalam menggerakkan palatum, lidah dan bibir sewaktu artikulasi
(berbicara).
Disfonia (serak, bindeng) ialah kesulitan dalam fonasi (mengeluarkan bunyi atau
suara). Disfonia terjadi pada gangguan fungsi neuromuskuiar yang melibatkan pita
suara atau palatum.
Disprosodi ialah gangguan pada irama bicara. Dalam hal ini, melodi, ritme dan
intonasi suara terganggu. Sebagai akibatnya pasien berbicara secara monoton
(irama datar).
Apraksia oral atau apraksia bukofasial (bucco facial) ialah ketidak mampuan
melakukan gerakan terampil dari otot wajah dan otot berbicara sedangkan
kormprehensi, fenaga otot, dan koordinasi otot normal. Bila pasien disuruh
memperagakan bagaimana cara menghembus geretan yang sedang menyala, pasien
yarg apraksia mungkin akan kesulitan mengatur bibirnya. la mungkin akan
menghirup udara pada saat harus menghembus udara; atau ia mungkin
menghembus kuat namun tanpa mengerutkan bibirnya.
Afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal ini pasien menunjukkan
gangguan dalam memproduksi dan/atau memahami bahasa Defek dasar pada afasia
ialah pada pemrosesan bahasa ditingkat integratif yang lebih tinggi. Gangguan
artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang menyertai. Afasia biasanya
berarti hilangnya kemampuar berbahasa setelah kerusakan otak. Kata afasia
perkembangan (sering, disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai
keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini
perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding perkembangan
kognitif umumnya.
Aleksia ialah kata yang digunakan untuk menyatakan kehilangan kemampuan
membaca yang sebelumnya ia mampu. Aleksia perlu dibedakan dari disleksia.
Disleksia merupakan gangguan perkembangan dengan domina membaca pada anak
dengan inteligensi yang normal.
Agrafia ialah gangguan pada bahasa yang dinyatakan dalam penulisan. Jadi bukan
pada bentuk huruf dan tulisan yang buruk.
Klasifikasi gangguan berbahasa
Berbagai klasifikasi gangguan berbahasa telah dikemukakan oleh berbagai pakar,
namun semua bentuk klasifikasi mempunyai kekurangan, dan sampai saat ini belum
didapat suatu bentuk kiasifikasi, yang dapat mencakup seluruh gangguan berbahasa
kekurangan pada klasifikasi yang ada sebelumnya, yang dapat disetujui oleh semua
pakar. Selain itu, klasifikasi cenderung menyebabkan pengkotakkan yang artifisial
dengan batas yang tegas, yang dalam praktek sulit diterapkan. Sebelum kita
menelaah beberapa bentuk klasifikasi yang dikenal, perlu atau mengatasi seluruh
diketahui bahwa jarang sekali dijumpai jenis gangguan berbahasa yang murni.
Pasien dengan afasia jenis ekspresif (motorik) ditandai oleh gangguan ekspresif;
selain itu, defek dalam komprehensi hampir selalu ada, namun tidak menonjol. Jadi,
bila seseorang diklasifikasi sebagai menderita afasia motorik, seharusnya ini berarti
afasianya bersifat motorik, gambaran yang dominan ialah afasia oturik; sedang
bentuk lainnya seperti afasia reseptif sedikit banyak dijumpai pula.
Anatomi dan fisiologi berbahasa
Mengenali dan mengklasifikasi afasia membutuhkan pemahaman fungsi berbahasa.
di sini dikemukakan konsep berbahasa yang sangat disederhanakan.
Semua stimulus auditif (pendengaran) dihantar dari perifer melalui sistem auditif
ke area auditif primer di girus Hischl, pada kedua lobus temporalis. Di hemisfer
dominan, informasi diteruskan dari area auditif primer, langsung ke area asosiasi
auditif di bagian posterior lobus temporalis superior. Informasi dari hemisfer yang
non-dominan dihantar melalui korpus kalosum ke area asosiasi auditif di hemisfer
yang dominan.
Area ini asosiasi auditif dapat dianggap sebagai pusat identifikasi kata, dan dikenal
sebagai area Wernicke. Setelah suara diidentifikasi sebagai simbol bahasa,
informasi ini diteruiskan ke area pengenalan kata yang mungkin terletak di bagian
inferior lobus parietal di hemisfer yang dominan. Pengenalan simbol bahasa
didasarkan atas pengalaman masa silam. Fungsi area pengenalan bahasa bukan saja
mengenali simbol bahasa, namun mengenai hubungan satu simbol dengan yang
lainnya. Bila fungsi ini telah dilaksanakan, informasi disampaikan kembali ke atau
Wernicke ke area-area di otak, yang berkaitan dengan melalui area enkoding
(encoding) atau berrespons pada bahasa. Memproduksi bahasa mungkin dimediasi
melalui area pengenalan bahasa, diikuti penyampaian informasi ke area identifikasi
kata. Komunikasi ditegakkan antara area identifikasi kata dengan area enkoding
motor melalui serabut asosiasi yang menghubungkan bagian posterior girus
temporal superior dengan area operkuler pada lobus frontal
Area enkoding motorik (area Broca) bertanggung jawab untuk konversi preliminer
simbol bahasa ke aktivitas motor. Informasi dari area enkoding motor disampaikan
ke area motor primer pada hemisfer untuk dikonversi menjadi gerakan motorik
yang dibutuhkan, yang memproduksi bicara (speech). Pada waktu yang bersamaan,
terdapat komunikasi antara area Broca dengan area motorik suplementer yang
terletak di bagian medial girus frontal superior. Selanjutnya terjadi komunikasi dari
area motorik suplementer ke area motorik primer.
Lengkung refleks dari area Broca melalui area motorik suplementer ke area motorik
primer tampaknya bertanggung jawab terhadap kemulusan konversi informasi di
area motorik primer menjadi impuls yang memproduksi bicara (speech).
Simbol bahasa visual diterima sebagai impuls visual di pusat visual primer di lobus
oksipital kedua hemisfer. Informasi kemudian diteruskan ke area asosiasi visual.
tempat terjadinya pengenalan dan identifikasi simbol bahasa. Dari area asosiasi
visual yang menangani bahasa, terdapat dua jalur. Pada jalur pertama informasi dari
area asosiasi visual yang dominan berjalan langsung ke area identifikasi kata. Pada
jalur kedua, informasi dari area asosiasi visual yang non-dominan menyilang ke
hemisfer yang dominan melalui korpus kalosum.
Informasi yang berhubungan dengan penamaan-objek datang dari kedua area
asosiasi visual ke area pengenalan kata hemisfer yang dominan. Pada waktu ini area
pengenalan impuls yang berhubungan dengan penamaan-objek memasuki sistem
bahasa Wernicke.
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara lancar bila bicara
spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari kata yang diinginkan.
Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata.
Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa
yang ringan pada lesi otak yang ringan atau pada demensia dini. Defek yang ringan
dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu
yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan
sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu satu menit, atau
menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S atau
huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama
hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada,
misalnya parafasia. Skor : Orang normal mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan
selama 60 detik, dengan variasi umumnya ± 5-7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang
normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan
dengan simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (± 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5
(±4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia
70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor
yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masaiah penemuan
kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga
diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal
umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia,
inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau
kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran
berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati menginterpretasi tes ini pada pasien
dengan tingkat pendidikan yang tidak meiebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dinilai Pemeriksaan
klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat
memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah berikut dapat digunakan untuk
mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara
konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya
memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah) sampai pada
yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien
memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan. kemudian tingkatkan
kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas
kursi (suruhan ini dapat gagal dan gangguan motorik, walaupun pada pasien dengan
apraksia pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit, arloji,
vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah satu benda tersebut, misalnya
arloji. Kemudian suruhan dapat dipersulit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu
arloji, kemudian vulpen. Pasien tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-
rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien
dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi,
pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang harus
ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang
dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah ialah 50%, jumlah
pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya:
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian
meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian
"tunjukkan gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu
menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekaili, namun dapat memberikan
gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan
komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-mula
kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu
kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh
mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula
sederhana kemudian lebih sulit. Contoh:

Map

Bola

Kereta

Rumah Sakit

Sungai Barito

Lapangan Latihan

Kereta api malam

Besok aku pergi dinas

Rumah ini selalu rapi

Sukur anak itu naik kelas

Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia,
salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan. Orang normal umumnya mampu
mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata. Banyak pasien afasia yang
mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun ada juga yang
menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik
daripada berbicara spontan. Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan
gangguan kemampuan mengulang mempunyai kelainan patologis yang melibatkan
daerah peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara. maka daerah perisylvian bebas dari kelainan patelogis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia iapna defek
repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area wateshed).
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini
sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua
tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan
ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama
(menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian
dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila periu gambar geometrik, simbol
matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang
sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan
(misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek
yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia
pada objek yang jarang dijumpainva.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan
suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya: pisau.
Kita dapat membantu dengan suku kata pi…. Atau dengan kalimat: "kita memotong
daging dengan….” Yang penting kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang
dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama objek). Ada pula pasien yang
mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak
dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia mengatakan "Anu….
itu...untuk masuk rumah...kita putar"
Cara pemeriksaan.
Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama beberapa
objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan
memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji
(jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat
digunakan: Objek yang ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian
dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut.
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang,
bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan atau lamban
atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, cepat parafasia, neologisme dan
apakah ada perseverasi. Disamping meng- gunakan objek, dapat pula digunakan
gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama
objek tersebut dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan
gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami
bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada
kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area
Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta- bolisme
glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun
demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya,
didapat pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini
memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan
bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas terbatas
atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.
Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi
(mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu,
periu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan
tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat
dapat didentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia
dan sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat
dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan
membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau
keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan meinpunyai kaitan vang erat.
Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak inana yang dominan, dengan
melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepada pasien apakah ia kandal
(right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah diajarkan sejak kecil untuk
menulis dengar tangan kanan. Dengan demikian, mengobservasi cara menulis saja
tidak cukup untuk menentukan apakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien
memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau, melempar
bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungarnnya menggunakan tangan yang
lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan
sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat.
Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambidextrous)
Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien
berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengarkan pasien berbicara spontan
atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai
kemampuan pasien berbahasa. Cara ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa
yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan
berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba
ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan irama
(disprosodi).
2. Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata (parafasia,
neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenal 2 jenis parafasia, yaitu
parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonemik (literal). Parafasia semantik ialah
mensubstitusi satu kata dengan kata yang ain misalnya: "kucing" dengan "anjing"
Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain,
misalnya bir dengan kir, balon dengan gallon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat
terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai,
ii".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya,
namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara
mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang
disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas
yang dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa
tes sederhana.
Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan menulis
(aleksia dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara
spontan, mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan
menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami
kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya
miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah,
serta terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan atau kelemahannya.
Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu dibandingkan
dengan kemampuan mengemuka-kan isi pikiran. Mienulis sering tidak mungkin
atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak cara mengucapkan
baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, memformulasi dan menamai sehingga kaimat yang diucapkan tidak mempunyai arti.
Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik
terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan
kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau
afasia ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau
reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas
bahasa. Pasien sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata atau frasa
yang selalu diulang-ulang. dengan artikulasi (pengucapan) dan irama vang buruk
dan tidak bermakna.
Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di
sekitar fisura sylvi.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas
lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada
pasien demikian kita dengar ungkapan seperti: "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu
itu". Afasia amnestik ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada
afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan
otak yang difus. mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat,
karena di klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya Afasia amnestik bidang
tertentu lebih menonjol atau lebih berat.
Klasifikasi afasia
Dasar untuk mengklasifikasi afasia berragam, di antaranya ada yang mendasarkan
kepada:

Manifestasi klinik

Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek

Gabungan pendekatan 1 dan 2
Pada klasifikasi yang berdasarkan manifestasi klinik ada yang membagi atas dasar
lancarnya berbicara. Pada klasifikasi ini didapatkan afasia yang berbentuk:

Lancar

Tidak lancar
Afasia yang lancar baik, irama dan prosodi baik, namun sering isi bicara tidak
bermakna dan tanpa isi (kalimat yang diucapkan tidak tahu kita maksud dan
maknanya). Rata-kata yang digunakan sering salah dan sering didapatkan parafasia.
Pada afasia yang lancar didapatkan bicara yang lancar, artikulasi.
Afasia yang lancar (fluent) mencakup:

Afasia reseptif (Wernicke)

Afasia konduks

Afasia amnesik (anomik)

Afasia transkortikal
Afasia yang tidak lancar. Pada afasia yang tidak lancar (non-fluent) output
(keluaran) bicara terbatas, sering disertai artikulasi yang buruk, bicara dalam bentuk
yang sederhana, bicara singkat berbentuk gaya telegram. Afasia yang tidak lancar
mencakup:

Afasia ekspresif

Afasia global
Pada klasifikasi afasia yang berpedoman pada lesi anatomik, afasia dibedakan atas:





Sindrom afasia peri-silvian:

afasia Broca (ekspresif)

afasia Wernicke (reseptif)

afasia konduksi
Sindrom afasia daerah perbatasan (border zone)

afasia transkortikal motorik

afasia transkortikal sensorik

afasia transkortikal campuran
Sindrom afasia subkortikal

afasia talamik

afasia striatal
Sindrom afasia non-lokalisasi

afasia anomik

afasia global
Selain itu, ada klasifikasi yang merujuk pada linguistik. dalam hal ini afasia
dapat dibedakan atas:

afasia sintaktik

afasia semantic

afasia pragmatik

afasia jargon

afasia global
Pada tabel 11.1 dikemukakan bentuk afasia mayor dengan beberapa perbandingan
cirinya.
Afasia tidak lancar (non fluent)
Dari berbicara spontan tidak begitu sulit bagi pemeriksa untuk menentukan apakah
afasianya jenis lancar (fluent) atau tidak lancar (non fluent). Penyandang afasia
yang menggunakan kalimat pendek (kurang dari 5 kata) dan kurang baik
gramatikanya dianggap non-fluen. Kebanyakan penyandang afasia yang non-fluen
mempunyai defisit dalam artikulasi dan juga dalam prosodi (irama bicara).
Gambaran klinik afasia non-fluen ialah:

Pasien tampak sulit memulai bicara.

Panjang kalimat berkurang (5 kata atau kurang per kalimat).

Gramatika bahasa berkurang, kurang kompleks.

Artikulasi umumnya terganggu.

Irama kalimat dan irama bicara terganggu.

Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat
yang sintaksisnya kompleks).

Pengulangan (repetisi) buruk.

Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk.

Terdapat kesalahan parafasia.
Afasia lancar (fluent)
Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan (dengan tidak lancar, dan
tertegun-tegun): "mana...rokok..beli”.
Dan seorang afasia yang fluen mungkin mengatakan (dengan lancar): "rokok
tembakau beli kemana situ tadi gimana dia".
Gambaran klinik afasia yang fluen (jenis Wernicke) ialah:

Keluaran bicara yang lancar.

Panjang kalimat normal.

Artikulasi baik.

Prosodi baik.

Anomi.

Terdapat parafasia fonemik dan semantik.

Komprehensi auditif dan membaca buruk.

Repetisi terganggu.

Menulis lancar tetapi isinya kosong.
Seperti yang lelah dikemukakarı bahwa keiuaran bicara pada afasia tidak lancar
ialah sedikit, dikeluarkan dengan susah payah, kata yang digunakan banyak kata
benda, tidak pakai gramatika (tata bahase) dan sering teitegun untuk menemukan
atau mencari kata yang ingin diucapkan. Misalnya: Saya…. roti… lapar... makan.
Diujung lain dari spektrum afasia didapatkan afasia jenis lancer.
Pada keadaan ini, aliran bicaranya lancar, irama berbicara terpeihara, namun isi
bicara atau kalimat-kalimatnya kosong (tidak mempunyai arti) Banyak
menggunakan kata-kata yang "abnormal" (parafasia, neologisme). Misalnya, untuk
mengatakan kalimat: "saya datang pakai mobil" mungkin penderita afasia lancar
mengatakan:
"Saya dabang pkaian gobil", atau
"Daya tabang pagai tobilan", atau
"Paya tandi pakai miban", atau
“Saya dabang pakai kuda".
Menggantikan kata mobil dengan kuda disebut parafasia semantik atau parafasia
verbal. Menggunakan kata gobil sebagai pengganti kata mobil disebut parafasia
fonemik atau parafasia ucapan. Bentuk parafasia yang menggunakan kata yang
sama sekali asing, misalnya tandi, miban, disebut neologisme. Kadang-kadang
bahasa pasien afasia mengandung demikian banyak kesalahan parafasia sehingga
maksud serta isi pembicaraan tidak dapat difahami atau diikuti. Kata afasia jargon
digunakan juga bagi afasia dengan banyak parafasia, yang diucapkan dengan
lancar.
Tabel 11.1. Beberapa bentuk afasia mayor
Bentuk
Ekspres
Komprehen
Repetisi
Menamai
Afasia
i
si Verbal
Ekspresif
Tak
Relative
Tergangg
Tergangg
(Broca)
Lancar
Terpelihara
u
u
Komprehen
Menulis
Lesi
Tergangg
Frontal
u
Inferior-
si Membaca
Bervariasi
Posterior
Reseptif
Lancer
Terganggu
(Wenicke)
Tergangg
Tergangg
u
u
Terganggu
Tergangg
Temporal
u
SuperiorPosterior
(Area
Wemickl
e)
Global
Tak
Terganggu
Tergangg
Tergangg
u
u
Relative
Tergangg
Tergangg
Terpelihara
u
u
Lancer
Konduksi
Lancer
Terganggu
Bervariasi
Tergangg
Fronto-
u
Temporal
Tergangg
Fasikulus
u
Arkuatrus
,
Girus
SupraMarginal
Nominal
Lancer
Relative
Terpelihar
Tergangg
Terpelihara
a
u
Bervariasi
Bervarias
Girus
i
Anglular,
Temporal
Superior
Postelor
Transkortik
Tak
Relative
Terpelihar
Tergangg
al Motor
Lancer
Terpelihara
a
u
Bervariasi
Tergangg
Peri-
u
Sylvian
Anterior
Transkortik
al Sensorik
Lancar
Terganggu
Terpelihar
Tergangg
a
u
Terganggu
Tergangg
Peri-
u
Sylvian
Posterior
Gejala dan Gambaran Klinik Afasia
Afasia global. Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Keadaan ini
ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi
beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang),
misalnya "iya, iiya, iya", atau: "baaah, baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang,
amaaang". Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya
mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi (mengulangi) juga
sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga
terganggu berat.
Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau semua
daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi serebri media pada
pangkalnya. arteri karotis interna atau arteri Kemungkinan pulih alah buruk. Afasia
global hampir selalu disertai hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan
irvaliditas khronis yang parah.
Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara
yang tidak lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara.
Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja.
Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata-bahasa (tanpa grammar). Contoh:
"Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."
"Periksa...lagi...makan...banyak.."
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti berbicara
spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering
terganggu (misalnya memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak
gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini").
Ciri klinik afasia Broca:

bicara tidak lancar

tampak sulit memulai bicara

kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)

pengulangan (repetisi) buruk

kemampuan menamai buruk

Kesalahan parafasia

Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat
yang sintaktis kompleks)

Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks

Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang
menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi
yang mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area
Brodmann 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks
motorik bawah dan massa alba paraventrikular tengah). Selain itu, ada pasien
dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama daerah Brodmann 4; ada pula yang
terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang ekstensif.
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area Broca di
korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi afasia.
Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional, seperti frustasi dan
depresi. Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya atau merupakan
gejaia yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat dipastikan.
Pemulihan terhadap berbahasa (prognesis) urnumnya lebih baik daripada afasia
global Karena pemahaman reiatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi dengan
keadaannya.
Afasia Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien
afasia Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila
ia menjawab iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak
mampu memahami kata yang diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata
yang diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya
kosong, berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan:
Bagaimana keadaan ibu sekarang? Pasien mungkin menjawab: "Anal saya lalu sana
sakit tanding tak berabir".
Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai (naming) umumnya parafasik.
Membaca dan menulis juga terganggu berat.
Gambaran klinik afasia Wernicke:

Keluaran afasik yang lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi baik

Prosodi baik

Anomia (tidak dapat menamai)

Parafasia fonemik dan semantik

Komprehensi auditif dan membaca buruk

Repetisi terganggu

Menulis lancar tapi isinya "kosong"
Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula yang
tidak. Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama
pada berbahasa, yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme,
bisa-bisa disangka menderita psikosis.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian
posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar
kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila
pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata Kompleks terganggu, lesi
cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior.
Afasia jenis Wernicke dapat juga aljumpai pada lesi subkortikal yang merusak
isthmus temporal memblokir Signal aferen inferior ke korteks temporal.
Penderita dengan defisit komprehensi yang berat, pronosis penyembuhannya buruk,
walaupun diberikan terapi bicara yang intensif.
Afasia konduksi. Ini merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang
ditandai oleh gangguan yang berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuatkuat (namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis,
parafasia yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara.
Anomianya berat.
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga menyebabkan
manifestasi klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal diimplikasikan
pada beberapa pasien. Sering lesi ada di massa alba subkortikal dalam di korteks
parietal inferior, dan mengenai fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks
temporal dan frontal.
Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang
baik (terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang
mengalami kesulitan dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya
lumayan.
Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya buruk.
Pasien dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi),
memahami dan membaca, namun dalam bicara spontan terbatas, seperti pasien
dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien dengan afasia sensorik transkortikal dapat
mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya
atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai lancar, tetapi parafasik
seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang' menderita kombinasi dari
afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu mengulangi kalimat
yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan mpetisi
pada pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang
didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:

Keluaran (output) lancar (fluent)

Pemahaman buruk

Repetisi baik

Ekholalia

Komprehensi auditif dan membaca terganggu

Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai

Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
Gambaran klnik afasia motorik transkortikal:

Keluaran tidak lancar (nonfluent)

Pemahaman (komprehensi) baik

Repetisi baik

Inisiasi output terlambat

Ungkapan-ungkapan singkat

Parafasia semantik

Ekholalia
Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:

Tidak lancar (nonfluent)

Komprehensi buruk

Repetisi baik

Ekholalia mencolok
Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan
sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah salnya di lobus frontal antara
daerah arteri serebri serebral mayor anterior dan media). Afasia transkortikal
motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik
(gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal
superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan korteks
peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk
kemampuan menguiang yang baik.
Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:

Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang
dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).

Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.

Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.

Demensia.
Afasia anomik. Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam
menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya.
Keadaan ini disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara
spontan biasanya lancar dan kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari
kata dan terdapat parafasia mengenai nama objek.
Gambaran klinik afasia anomik:

Keluaran lancar

Komprehensi baik

Repetisi baik

Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik,
dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat demikian
ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat pula
demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong.
Prognosis untuk penyernbuhan bergantung kepada beratnya defek inisial. Karena
output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien demikian
dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain yang lebih
berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja. Lesi di
talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh perdarahan atau
infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya afasia dalam hal
ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta fungsi korteks
di sekitarnya.
Bab XII. MEMORI
Memori menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Memori membuat kita
mampu menginterpretasi dan bereaksi terlhadap persepsi yang baru dengan
mengacu kepada pengalaman lampau. Evaluasi yang akurat dan tepat dari fungsi
memori merupakan salah satu bidang yang paling penting dalam evaluasi
neuropsikologi pada manula (manusia usia lanjut). Pada usia lanjut perubahan
fungsi memori darat disebabkan oleh faktor neurologik, psikiatrik atau prosesmenua (usia). Demensia ditandai oleh gangguan memori dan fungsi intelektual.
Pada amnesi fungsi memori terganggu dengan latar belakang fungsi intelektuai
terpelihara.
Gangguan rnemori merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada pasien
dengan sindrom mental organik. Hampir semua penderita demensia menunjukkan
masalah memori aini pada perjalanan penyakitnya. Mereka mungkin lupa tanggal,
bulan, lupa rincian pekerjaannya atau gagal mengingat janji yang di luar kegiatan
rutin sehari-hari. Dapat terjadi efek yang buruk pada penyesuaian sosial dan
vokasional sebelum sifat organik dari masalahnya dapat difahami. Mengetahui
adanya gangguan memori dapat menolong pasien menghindari kerugian yang besar
pada pribadinya.
Memperhatikan secara saksama hasil tes memori sering dapat mengungkapkan
adanya gangguan organik sebelum terlihat kelainan pada pemeriksaan neurologi
rutin baku. Hal ini disebabkan karena berbagai penyakit organik mengakibatkan
berbagai jenis gangguan memori, misalnya: defisii memori yang terisolasi pada
sindrom Korsakoff, gangguan memori disertai in-atensi dan agitasi pada keadaan
konfusi kacau, atau gangguan memori baru disertai disfungsi kognitif umum pada
demensia. Pada tiap kelainan ini mekanisme patofisiologi gangguan memori
berbeda. Memori verbal dapat terganggu pada lesi unilateral hemisfer kiri, dan
memori visual- nonverbal dapat terganggu pada lesi hemisfer kanan yang unilateral.
Tidak semua gangguan memori disebabkan oleh kelainan organik. Faktor
psikiatrik, terutama depresi dan ansietas dapat juga mempengaruhi fungsi memori
dan kognitif. Sering keluhan disfungsi memori pada usia lanjut lebih berkaitan
dengan keadaan afektif daripada faktor neurologik. Penderita yang depresif dan
cemas, dan juga pasien dengan gangguan psikiatrik yang berarti, sering mengalami
gangguan memori.
Pada tes memori dibutuhkan kooperasi dan upaya kinerja maksimal, sedangkan
pasien dengan gangguan emosional sering kinerjanya buruk. Karena itu, dapat
ieijadi kesalahan dalam mendiagnosis; yang seharusnya dpresi dianggap sebagai
demensia atau sebaliknya. Hal ini merupakan kesalahan diagnosis yang serius, yang
dapat menjurus ke terapi yang saiah selama berbulan atau bertahun.
Mendeteksi atau mengungkapkan masalah memori pada pasien dengan gangguan
psikiatrik adalah sulit, namun evaluasi neurologis psikiatris dan psikologis hampir
selalu dapat membimbing ke diagnosis yang tepat Tantangan dalam menegakkan
diagnosis akan lebih besar bila problem organik, seperti penyakit Alzheimer,
dibarengi oleh depresi atau ansietas.
Terminologi
Memori merupakan terminologi umum untuk status mental yang memungkinkan
seseorarg menyimpan informasi untuk dipanggil kembali di kemudian hari.
Rentang waktu untuk memanggil kembali dapat singkat, beberapa detik (seperti
pada tes mengulang angka), atau setelah bertahun- tahur (seperti mengingat kembali
pengalaman semasa anak-anak).
Proses memori terdiri dari beberapa tahapan. Pertama-tama informasi diterima oleh
modalitas sensorik khusus (misalnya raba, auditif (dengar) atau visual dan
kemudian diregistrasi. Sekali input memori telah diterima dan diregistrasi,
informasi ini disimpan sebentar di memori-jangka-pendek (memori kerja). Langkah
ke mempertahankan informasi dalam bentuk yang lebih permanen (memori jangka
panjang). Proses penyimpanan ini dapat ditingkatkan oleh pengulangan (repetisi)
atau oleh penggabungan dengan informasi lain yang sudah berada di dalam
simpanan. Penyimpanan merupakan proses aktif yang membutuhkan upaya melalui
praktek dan latihan (rehearsal). Langkah akhir pada proses memori ialah
memanggil kembali (recall) atau menjumput (retrieval) informasi yang disimpan.
Langkah menjumput merupakan proses aktif, memobilisasi informasi yang telah
disimpan. Tiap tahapan pada seluruh proses memori bertumpu pada integritas
langkah-langkah sebelumnya. Bila ada interupsi dalam urutannya, hal ini dapat
menghalangi penyimpanan atau penjumputan suatu memori. Penelitian mengenai
memori memberikan kesan bahwa tiap aspek memori melibatkan substrat atau
sistem neurobiologik yang terpisah, namun saling berkaitan. dan dengan demikian
memproduksi gambaran klinik yang beragam.
Di klinik, memori dibagi atas tiga jenis berdasarkan kurun waktu antara presentasi
stimulus dan penjumputan (retrieval) memori. Kata segera, baru dan lama biasanya
digunakan untuk menyatakan jenis memori. Kelemahan pembagian ini ialah:
terminologi ini bersifat deskriptif, dan lamanya kurun waktu tidak berbatas tegas.
Memori Segera. Memori segera atau pernanggilan segera merupakan pemanggilan
setelah rentang-waktu beberapa detik, seperti pada pengulangan deretan angka.
Momori baru (recent) jangka pendek Memori baru mengacu pada kemampuan
pasien untuk mengingat kejadian yang baru terjadi, kejadian sehari-hari (misalnya
tanggal, hari, nama dokter, apa yang dimakan waktu sarapan tadi pagi atau kabar
yang baru). Lebih tegas lagi, memori baru ialah kemampuan untuk mengingat
materi yang baru dan menjumput materi tersebut setelah interval beberapa menit,
jam atau hari.
Memori rimot (jangka paniang). Memori rimot digunakan bagi kemampuan
mengumpulkan fakta atau kejadian yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya, seperti
nama guru atau nama teman satu sekolah dulu.
Amnesia. Amnesia umumnya melukiskan defek pada fungsi memori. Rentang
waktu amnesia dapat sesingkat beberapa detik sampai selama beberapa tahun.
Kejadian ini paling sering dijumpai pasca trauma kepala, tapi dapat juga terjadi
setelah jejas otak mayor (misalnya strok). Walaupun istilah amnesia digunakan
untuk defek memori dengan spektrum yang luas, paling sering kata amnesia
digunakan untuk me-label pasien dengan defisit memori yang relatif terbatas
(terisolasi), (misainya amnesia pasca trauma, amnesia retrograd).
Amnesia anterograd dan retrograd. Ketidak mampuan mempelajari materi baru
setelah jejas otak disebut amnesia anterograd. Amnesia retrograd berarti amnesia
terhadap kejadian sebelum terjadinya jejas atau insult otak.
Amnesia psikogenik. Arnnesia dapat juga berbentuk amnesia psikogenik. Dalam
hal ini pasien mem-blok suatu kurun waktu. Pasien ini tidak menunjukkan defisit
memori-baru; ia dapat mempelajari aitem baru. Sewaktu periode amnesia dan
setelah periode amnesia berlalu, dan tidak menderita defek pada meniIori-jangka
panjang dan pendek (recent) bila di tes. psikologis keadaan berdasarkan memori
yang. Hilangnya mengakibatkan lubang-lubang pada memori terhadap kejadian
sewaktu adanya amnesia. Kadang pasien dapat mengingat sebagian dari periode
amnesia yang tidak bermuatan trauma emosional, namun akan memblok kejadian
yang secara emosional traumatic.
Pemeriksaan
Pada pemeriksaan status mental, tiap aspek memori perlu dinilai secara agak rinci.
Dalam hal ini perlu dinilai memori segera, memori baru dan memori rimot. Dengan
demikian, dapat diketahui jenis defisit memori, derajat berkurargnya memori dan
akibat defisit memori pada kemampuan pasien untuk berfungsi di pekerjaarı dan di
masyarakat. Umumnya pasien menunjukkan tingkat kiierja yang berbeda pada
berbagai jenis tes memori bergantung kepada jenis kelainan yang diderita.
Penggunaan beberapa tes yang berbeda dibutuhkan di klinik. Pasien-pasien yang
mengalami cedera otak menunjukkan perbedaan dalam sifat dan derajat defisit
memori, bergantung kepada jenis tes yang digunakan dan sifat serta lokasi dari
lesinya.
Pemeriksaan dan penilaian memori membutuhkan jaminan bahwa jawaban yang
diberi oleh pasien dapat di cek kebenarannya melalui sumber yang mengetahui;
misalnya, bila ditanya kepada pasien tentang: apa yang dimakannya waktu sarapan
tadi pagi atau kapan ia tamat sekolah dasar. Dalam hal ini dibutuhkan sumber
pengecekan yang mengetahui keadaan pasien, misalnya anggota keluarga atau
teman dekatnya. Tidak jarang pasien dengan defisit memori memberikan jawaban
yang salah atau ia berkonfabulasi untuk menutupi kekurangannya. Karena itu,
informasi mengenai data pribadi, cara hidup, pekerjaan dan lain sebagainya perlu
diverifikasi oleh keluarga atau temannya.
Pengetahuan umum (misalnya kapan diproklamasikan kemerdekaan RI, siapa nama
wakil presiden saat ini, dan siapa nama Presiden RI yang pertama) biasanya dapat
digunakan untuk menapis memori jangka panjang dan pendek. Pengetahuan umum
dan informasi demikian bergantung juga kepada tingkat intelektual premorbid
(sebelum sakit), tingkat pendidikan dan pemaparan sosial-umum. bila kita menilai
pengetahuan umum, kita harus mempertimbangkan latar belakang pendidikan,
pekerjaan serta keadaan sosial pasien.
Tes memori yang cukup sensitif dan valid untuk memori baru ialah tes yang
menugaskan pasien mempelajari bahan yang baru dan mengingatnya kembali
setelah beberapa waktu. Tes demikian dapat diverifikasi kebenarannya. Belajar
yang baru merupakan proses memori yang aktif dan membutuhkan upaya dari
pasien.
Dalam menilai memori perlu disadari bahwa membutuhkan pemusatan perhatian.
Dengan demikian, pemeriksaan pada pasien yang in-atensi (tidak menyimak), dan
pasien yang mudah teralihkan rhatiannya, akan tidak mampu memberi hasil yang
optimal, apapun penyebab gangguannya. Penderita dalam keadaan kacau, atau
dengan gangguan psikis yang berat, biasanya terganggu perhatiannya, sehingga
menghalangi kinerja memori. Gangguan pada fungsi sensorik, motorik atau fungsi
berbahasa yang mengganggu komprehensi dan kemampuan ekspresi, juga akan
mengganggu kinerja serta hasil tes memori.
Momori segera (immediate recall). biasanya dites dengan tes mengulang angka.
Caranya: Beritahu pasien: "Saya akan menyebutkan angka-angka. Dengarkan baikbaik. Bila saya seiesai, anda harus mengułangi apa yang saya sebut. Muia- mula
saya menyebutkan 2 angka, kemudian 3 dan seterusnya". Pemeriksa harus
menyebutkan angkanya dengan jelas, dengan kecepatan satu angka per detik
(jawaban pasien tidak perlu satu angka per detik). Selain memeriksa segera tes ini
dapat juga digunakan untuk menilai perhatian pasien. Contoh aitem tes: 4-9; 2-5-3;
4-7-2-8; 6-2-7-5-3; 4-9 -1-8-5-2: 5-3-9-4-1 8-6; 1-9-2-8-4-7-2-5; 8-2-7-4 9-3-1-6-5
.
Skor: Orang dengan inteligensi rata-rata dapat dengan akurat mengulangi 5 sampai
7 angka tanpa kesulitan. Pasien yang tidak retardasi mental dan tanpa afasia yang
nyata bila tidak mampu mengulangi lebih dari 5 angka, menunjukkan atensi atau
memori - segera yang terganggu.
Memori baru (recent), jangka pendek. Pemeriksaan memori baru mencakup memori
verbal dan memori visual. Pemeriksaan memori verbal dengan menilai memori baru
tentang orientasi, menilai kemampuan mempelajari hal baru dan tes memori 4 kata
yang tidak berhubungan. Orientasi pasien terhadap individu (orang; siapa dia),
waktu (tanggal, hari) dan tempat (di mana ia berada saat ini) merupakan informasi
pendahulu yang penting dan harus dievaluasi dini pada pemeriksaan fungsi memori.
Orientasi terhadap tempat dan waktu merupakan ukuran memori (baru), hal ini
menilai kemampuan pasien mempelajari perubahan yang terjadi secara kontinu.
Bila pasien terganggu orientasinya, hal ini mencurigakan adanya gangguan memori.
Petunjuk melakukan tes. Pertanyaan berikut dapat diajukan, satu per satu:


Individu (pribadi)

Nama: Siapa nama anda

Usia: Berapa umur anda

Tanggal lahir: Kapan anda dilahirkan (tanggal, bulan, tahun).
Tempat

Lokasi: Dimana anda saat ini berada ? Apa nama tempat ini. Tempat
apa ini ? Di kamar berapa anda berada ?

Kota: Di kota mana anda sekarang ? Propinsi / kabupaten apa ?

Alamat: Di mana alamat anda?

Waktu

Tanggal: Tanggal berapa sekarang (tahun, bulan, hari) ? Hari: Hari apa
sekarang?

Jam. Kira-kira jam berapa sekarang?
Orang yang normal biasanya dapat melakukan tes ini, namun ada juga yang kurang
baik dalam hal orientasi waktu, yaitu hari dan tanggal. Kinerja berkaitan juga
dengan tingkat edukasi.
Orang tamatan universitas bila tidak tahu tanggal yang tepat biasanya melesetnya
hanya satu hari. Orang yang buta huruf dapat meleset dalam menerka bulan dan
tahun.
Tes memori yang valid (dapat diterima kebenarannya) membutuh kan bahwa pasien
cukup menyimak, mampu bekerjasama dengan pemeriksa, dan tidak terganggu
kemampuan memahami dan mengekspresikan Bahasa.
Kemampuan mempelajari hal yang baru. Kemampuan pasien mempelajari bahan
yang baru (memperoleh memori baru) perlu dinilai. Untuk kinerja yang baik
dibutuhkan integritas seluruh sistem memori. pengenalan dan regristrasi input
sensorik inisial, retensi dan penyimpanan informasi dan pemanggilan kembali
(recall) atau penjumputan (retrieval) informasi yang disimpan. Interupsi pada
tahapan ini akan mengganggu kemampuan mempelajari hal baru. Pemeriksaan
yang teliti tentang bagaimana pasien gagal melakukan tugas tertentu sering dapat
memberikan informasi mengenai sifat dari proses yang terganggu.
Tes dengan 4 kata yang tidak berhubungan. Petunjuk: Katakan kepada pasien:
"Saya akan menyebutkan 4 patah kata yang anda harus ingat baik- baik". Beberapa
menit lagi saya akan suruh anda menyebutkan kata. Untuk meyakinkan bahwa
pasien mendengarkan, memahami dan mempertahankan keempat kata tersebut,
suruh ia mengulangi kata tersebut setelah kita sebutkan. Perbaiki bila ada kesalaharı
pada pengulangan-segera. Penderita manula (usia lebih dari 75 tahun) mungkin
membutuhkan beberapa kali pengulangan untuk dapat mempelajari kata tersebut,
namun bila dibutuhkan pengulangan sampai 4-5 kali, dicurigai ada gangguan
memori. Kemudian kepada pasien diberikan tugas lain, agar ia tidak mengulangulang kata tersebut di dalam hatinya. Setelah 5 menit berlalu, suruh pasien
menyebutkan keempat kata tadi. Kemudian setelah 20 tersebut kembali. menit dan
30 menit.
Aitem tes yang dapat diberikan:

Cokelat, jujur, mawar, lengan

Lucu, wortel, tumit, setia
Bila pasien tidak dapat menyebutkan kembali suatu kata, kita bantu dengan
beberapa cara, yaitu:

Bantuan semantik, sehubungan dengan jenis objek, misalnya: "Salah satu
katanya ialah mengenai warna".

Bantuan fonem. Misainya: "Kata yang belum anda sebut inengandung suku
kata ju", (jujur).
Bila pasien masih tidak mampu menyebutkan kata tadi dengan bantuan tersebut di
atas, maka pemeriksa dapat memberikan pasien sederetan kata-kata yang memuat
kata yang harus disebutkannya kembali, misalnya: merah, hijau, cokelat, kuning,
biru.
Bila
kemampuan
pasien
lebih
baik
dengan
cara
mengenal
daripada
menyebutkannya secara spontan, hal ini menunjukkan bahwa problim memori
mungkin pada masalah penjumputan (retrieval), ketimbang akuisisi atau defisit
penyimpanan.
Skor tes memori 4 kata yang tidak berhubungan. Orang normal di bawah usia 60
tahun diharap dapat mengemukakan kembali 3 atau 4 kata setelah 10 menit berlalu.
Terdapat variasi yang besar pada populasi normal pada hasil tes ini (SD: 0,8 kata),
jadi implikasi klinik pada skor yang rendah (misalnya 2 dari 4 kata) harus dilihat
dan diinterpretasikan dengan memperhatikan seluruh pemeriksaan lainnya.
Memori visual. Menilai memori visual harus dilakukan pada semua pasien, dan hal
ini lebih berguna dalam mengevaluasi memori pasien dengan afasia. Tes ini juga
berguna bagi pasien dengan kemampuan verbal yang kurang atau dengan
pendidikan yang kurang.
Cara melakukan tes memori visual Pemeriksaan menggunakan 5 objek kecil, yang
dengan mudah dapat disembunyikan di sekitar pasien, misalnya: pinsil, sisir, kunci,
mata-uang, pisau. Objek ini disimpan di sekitar pasien, misalnya: di bawah kursi,
di bawah bantal, di laci meja, di kantung pemeriksa. Sewaktu objek disembunyikan,
pasien harus melihatnya. Sambil menyembunyikan objek, nemeriksa menyebutkan
nama objek, sehingga pasien mengetahui apa yang disembunyikan, dan di mana.
Setelah objek disembunyikan pasien diberi tugas lain untuk mengalihkan
perhatiannya, misalnya dengan mengajukan pertanyaan atau berkonversasi. Setelah
5 menit berlalu, pasien ditanya objek apa yang disembunyikan dan di mana
lokasinya. Skor memori visual.
normal berusia di bawah 60 tahun dapat menyebutkan 4 atau 5 (4,6 ± 0,6) objek
yang disembunyikan setelah 5 menit berlalu tanpa kesulitan. Pasien yang lebih tua
(usia 70-90 tahun) kurang mampu melakukannya (3,8 ± 1,3). Kinerja yang lebih
rendah (kurang dari 3 objek) menandakan gangguan memori. Pasien disfasia dapat
menemukan jeknya walaupun tidak mampu menyebut namanya.
Memori rimot (jangka panjang). Tes memori rimot iri dapat mengenai pengetahuan
umum, dan sejarah. Data pribadi informasi pribadi, membutuhkan verifikasi dari
orang lain yang mengetahui. Pengetahuan umum dan sejarah dipengaruhi oieh
tingkat edukasi, pengalaman sosial dan. inteligensi premorbid (pre = sebelum,
morbid = sakit). Pertanyaan yang dapat diajukan: Informasi pribadi.

Di mana anda dilahirkan ?

Sekolah: Di mana anda dulu bersekolah? Kapan anda bersekolah di SD,
SMP, SMU ?

Pekerjaan: Apa saja pekerjaan anda ? Kapan ? Di mana?

Keluarga: Siapa nama isteri? Ariak? Berapa usia isteri ? Anak? Siapa nama
ibu anda ?
Informasi pribadi umumnya dapat diselesaikan dengan baik oleh orang normal atau
pasien dengan gangguan yang ringan atau jejas otak yang ringan. Kinerja yang
buruk mungkin menunjukkan keadaan patologik namun kita tidak dapat memilah
jenisnya.
Pengetahuan umum, fakta sejarah. Untuk memeriksa pengetahuan umum dan fakta
sejarah, dapat dilakukan hal berikut:

Suruh pasien menyebutkan nama empat wakil presiden Indonesia, mulai
dari yang saat ini dengan urutan ke belakang. Tes ini cukup sering gagal
dilakukan oleh pasien Alzheimer dini.

Suruh pasien menyebutkan kerusuhan terakhir yang beritanya cukup
tersebar luas secara nasional; atau tanyakan: kapan perayaan kemerdekaan
Indonesia.
Implikasi Klinik
Beberapa aspek proses memori terjadi pada bangunan neuroanatomi tertentu atau
sistem neuronal. Penelitian patologik anatomik telah banyak mendokumentasikan
bahwa bangunan limbik terlibat dalam penyimpanan jangka panjang dan
penjumputan informasi baru (recent). Namun demikian, bangunan yang berperan
untuk pemanggilan-kembali segera dan memori- rimot belum dapat ditentukan.
Walaupun jejak memori visual, verbal dan taktil mungkin sekali disimpan di neokorteks, banyak bangunan subkortikal dibutuhkan untuk proses total dari memori
(registrasi, penyimpanan dan penjumputan). Kerusakan pada berbagai sistem
kortikal atau subkortikal akan mengakibatkan herbagai pola gangguan fungsi.
Perhatian, berbahasa dan memori merupakan dasar dari proses yang menjadi
pondasi dari perkembangan fungsi intelektual yang lebih tinggl. Fungsi kognitif
yang lebih tinggi mencakup manipulasi bahan yang telah dipelajari, pemikiran
abstrak, menyelesaikan masalah (problem solving), menghitung dlsbnya. Fungsi
neuropsikologi yang konipleks in: beriumpu pada integritas serta interaksi dari
proses yang lebih dasar. Fungsi kognitif yang lebih tinggi ini sering sangat rawan
terhadap akibat penyakit saraf. Evaluasi fungsi, kognitif yang lebih tinggi pada
pemeriksaan status mental, dapat menunjukkan akibat dini dari kerusakan kortikal,
sebelum proses yang lebih dasar, yaitu atensi, berbahasa dan memori terganggu
Bab XIII. PENGETAHUAN UMUM
Besarnya atau luasnya gudang atau simpanan ilmu pengetahuan atau informasi pada
seseorang dapat dinilai melalui tes kosa kata (vocabulary), informasi umum dan
komprehensi.
Pemeriksaan
Pertanyaan berikut dapat digunakan untuk menilai pengetahuan umum.

Berapa minggu ada dalam satu tahun?

Apa manfaat jantung bagi manusia?

Sebutkan nama 4 Wakil Presiden RI sejak tahun 1945!

Di mana letak negara Filipina?

Berapa kilometer kira-kira jarak darat antara Jakarta dan surabaya?

Bila kita berada di sinar matahari kenapa kemeja putih lebih adem daripada
yang hitam?

Apa ibu kota Kanada?

Apa yang menyebabkan karat?

Siapa pengarang cerita Layar Terkembang?

Apa Borobudur itu?
Skor Penderita dengan latar belakang tamat SMU (SMA) umumnya dapat
menjawab enam atau lebih pertanyaan di atas. Gudang ilmu pengetahuan yang
tersimpan pada seorang individu umumnya cukup stabil sampai usia lanjut. Baru
setelah usia 80 tahun didapatkan penurunan ringan, namun bermakna secara
statistik.
Bila jawaban kurang, misalnya kurang dari 4, perlu dicurigai adanya pendidikan
yang kurang, perolehan informasi yang kurang, pemaparan terhadap lingkungan
yang kurang, retardasi mental, demensia
Bab XIV. BERHITUNG
Pengenalan dan "manipulasi intelektual" simbol metematik dipengaruhi oleh
integritas girus angularis di hemisfer yang dominan. Kemampuan ini dapat dinilai
dengan menyuruh pasien berhitu seperti mengurangi 100 dengan 7 dan
pendapatannya kemudian dikurangi lagi dengan 7 demikian seterusnya. (100-7 = ...
- 7 = ... - 7 = ... - 7 = ... dstnya).
Sebagian besar orang "normal" dengan pendidikan tamat SD dapat melakukannya
dalam waktu 40 detik atau kurang, dan diperbolehkan membuat satu salah.
Kemudian pasien disuruh melakukan hitungan tambah yang sederhana misalnya 8+
13 ... yang harus dapat diselesaikan dalam waktu 20 detik atau kurang.
Kemampuan berhitung umumnya tidak "dimakan usia", orang manula (usia lanjut)
"normal" masih mampu melakukan berhitung. Kemampuan berhitung dipengaru hi
juga oleh pendidikan dan pekerjaan. Kesulitan dalam berhitung, mengurangi dan
menambah sederhana, disebut diskalkulia, sedangkan gagal memanfaatkan simbol
matematik disebut akalkulia
Bab XV. ABSTRAKSI (BERFIKIR ABSTRAK)
Abstraksi (berfikir abstrak) merupakan fungsi intelektual tingkat tinggi, yang
membutuhkan pemahaman (komprehensi) dan pertimbangan. Menginterpretasi
makna suatu pepatah atau kiasan membutuhkan pengetahuan umum, kemampuan
menggunakan pengetahuan ini pada situasi tertentu dan kemampuan berfikir
abstrak.
Hal ini dapat dinilai dengan menyuruh pasien menginterpretasi arti suatu pepatah,
misalnya:

Nasi sudah menjadi bubur.

Tak ada gading yang tak retak

Sepandai-pandai tupai melompat sekali jatuh juga.

Sudah jatuh, dihimpit tangga pula.

Sambil menyelam minum air.
Dalam menilai kemampuan pasien, diperhatikan kemampuannya berfikir abstrak,
kemampuannya menerangkan kemungkinan makna dari pepatah atau kiasan.
Pasien yang tidak mampu mengemukakan kemungkinan abstrak dari pepatah atau
kiasan, malah menjawab dengan kongkrit saja, misalnya: "Yah, nasi menjadi bubur
kan bisa!". "Tupai kalau melompat kan mungkin saja jatuh". Dalam hal demikian
perlu dipikirkan atau dicurigai adanya gangguan pada daya berfikir abstrak.
Keadaan ini dapat dijumpai pada gangguan organik, demensia. C
ara lain menilai berfikir abstrak ialah menanyakan persamaan dan perbedaan,
misalnya: "Apakah persamaan antara kapal terbang dan sepeda?" Contoh jawaban:
sama-sama alat transportasi. Selain itu, cara berfikir abstrak dapat dinilai lewat
penilaian pertimbangan (judgment).
Persamaan
Pada tes persamaan (similarities) ini pasien disuruh mengemukakan persamaan
antara dua objek atau situasi yang jelas berbeda. Tes abstraksi ini membutuhkan
kemampuan menganalisis hubungan, memformulasikan konsep dan berfikir logis.
Kemukakan kepada pasien: "Saya akan mengemukakan beberapa pasang objek".
Tiap pasang objek, dari beberapa segi, ada persamaannya. Ceritakan apa persamaan
tersebut. Contoh pasangan objek:

Bayam - kangkung Jawaban misalnya: keduanya jenis sayur daunnya hijau.

Mobil - pesawat terbang

Meja - lemari buku.

Puisi - prosa.

Kuda - mangga.
Pertimbangan (judgment)
Penilaian pertimbangan dapat dilakukan dengan menyuruh pasien menginterpretasi
cerita singkat yang membutuhkan pertimbangan. Contoh: Apa yang anda akan
lakukan bila anda melihat surat tercecer di jalan dekat kotak pos. Pada surat, yang
telah
berperangko,
tertera
dengan
jelas
alamatnya.
Mungkin
jawaban
(pertimbangan yang benar ialah: Saya ambil surat itu dan memasukkannya ke kotak
pos. Mungkin pertimbangan yang kurang tepat ialah: Saya ambil surat itu, buka,
baca dan biarkan saja di situ. Dalam menilai pertimbangan seseorang dibutuhkan
konsiderasi dari berbagai segi.
Bab XVI. GNOSIS (MENGENAL OBJEK)
Seorang dapat mengenal suatu objek melalui salah satu inderanya. Agnosia dapat
didefinisikan sebagai gagal mengenal suatu objek kendati sensasi primernya
(inderanya) berfungsi baik. Beberapa jenis agnosia yang dikenal di klinik
mencakup: agnosia visual, agnosia jari, agnosia taktil (astereognosia). Dengan kata
lain gangguan persepsi sensasi, walaupun sensibilitas primernya normal, disebut
agnosia. Agnosia dapat melibatkan semua jenis sensasi, misalnya visual, rasa raba
dan persepsi tubuh Sebelum memeriksa adanya agnosia, harus dipastikan bahwa
sensibilitas baik.
Agnosia Visual
Agnosia visual ialah tidak mampu mengenal objek secara visual, pada hal
penglihatannya adekuat. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh kelainan yang
melibatkan area asosiasi visual otak. Dalam hal ini pasien dapat melihat objeknya,
namun tidak dapat mengenalinya atau menyebutkan namanya. Kita dapat dan perlu
menyingkirkan kemungkinan adanya afasia nominal bila pasien dapat menamai
objek tersebut melalui perabaan (taktil).
Ada berbagai sub-jenis agnosia visual, termasuk gagal mengenali ongkungan yang
sudah biasa diketahui, dan gagal berorientasi pada lingkungan yang sebelumnya
diketahui (agnosia spatial visual).
Agnosia Jari
Agnosia jari ialah keadaan pasien yang tidak mampu mengidentifikasi jarinya atau
jari orang lain, misalnya ia tidak mampu melakukan suruhan: Tunjukkan
telunjukmu, telunjuk kanan atau ibu jari kirimu !"
Cara pemeriksaan. Pasien disuruh menutup mata, pemeriksa meraba salah satu
jarinya. Kemudian pasien disuruh membuka matanya dan menunjukkan jari yang
tadi diraba pada pemeriksa. Cara lain: pemeriksa menyebutkan nama jari dan suruh
pasien menunjukkannya pada jari pemeriksa: "Tunjuklah jari manis saya".
Pasien dengan agnosia jari biasanya mempunyai lesi di hemisfer yang dominan.
Lesi di parietal-oksipital mungkin dapat menyebabkan agnosia jari. Bila didapatkan
pula kelainan disfasia, tes ini suiit dilakukan atau sulit dinilai.
Agnosia Taktil (astereognosia)
Agnosia taktil ialah keadaan di mana terdapat kegagalan mengenal suatu objek
melalui perabaan, sedang sensorik primernya baik. Keadaan ini kadang disebut juga
sebagai astereognosia. Agnosia taktil dapat dijumpai pada lesi yang melibatkan
lobus parietal yang non-dominan. Cara memeriksa: Suruh pasien menutup mata.
Tempatkan pada tangan atau genggamannya suatu benda, misalnya kunci atau
peniti. Dengan jalan meraba-raba suruh ia mengenainya.
Anosognosia
Anosognosia ialah tidak mengakui adanya penyakit atau kelainan, dan merupakan
keadaan tidak mengakui atau tidak menyadari adanya gangguan fungsi pada
sebagian tubuh. Pasien misalnya tidak mengakui atau merasakan adanya
kelumpuhan, padahal jelas terlihat adanya hemiplegi. Anosognosia merupakan
gambaran kelainan di frontal posterior dan lobus parietal dari otak dan lebih sering
terlihat bila lesi melibatkan hemisfer yang non-dominan.
Bab XVII. PRAKSIS
Praksis Konstruksional
Praksis dalam arti sempit berarti integrasi motorik yang digunakan untuk
melakukan gerakan kompleks yang bertujuan. Kemampuan konstruksional (praksis
konstru ksional). Tugas konstruksional seperti menggambar garis dan bangunan
balok (blok) sangat berguna dalam mendeteksi penya kit otak organik dan harus
dimasukkan pada tiap pemeriksaan status mental. Ketidak mampuan melaksanakan
tugas
disebut
ketidakmampuan
konstruksional
(apraksia
konstruksional
konstruksional)..
Kemampuan konstruksi (atau praksis konstruksional) dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk menggambar atau membangun gambaran atau bentuk 2 atau 3
dimensi. Mencontoh atau menyalin gambar garis menggunakan pinsil dan kertas,
mereproduksi menggunakan kayu geretan dan merekonstruksi bangunan balok
merupakan contoh dari tes yang digunakan secara rutin dalam mengetes
kemampuan konstruksional. Fungsi kognitif non-verbal, tingkat tinggi ini
merupakan tugas motorik perseptual yang kompleks yang melibatkan integrasi
fungsi lobus oksipital parietal dan frontal. Karena luasnya daerah kortikal yang
dibutuhkan dalam melaksanakan tugas konstruksional, jejas otak yang dini atau
ringan sering telah mengganggu kinerjanya. Pada beberapa pasien kegagalan
mengkopi gambar garis yang sederhana dapat merupakan satu-satunya bukti
objektif yang mensugestikan adanya penyakit otak organik. Tes konstruksional
dapat dilakukan dalam beberapa menit dan dapat memberikan data yang berharga,
karenanya kepada tiap dokter dianjurkan untuk melakukannya. Kata kemampuan
konstruksional lebih baik dipakai daripada kata praksis konstruksional. Praksis,
dalam arti sempit berarti integrasi motorik yang digunakan untuk melakukan gera
kan kompleks yang bertujuan. Reproduksi gambar garis atau bangunan balok
mencakup lebih dari hanya mengorganisasi gerak tangan yang trampil. Reproduksi
demikian membutuhkan persepsi visual yang akurat, integrasi persepsi kedalam
citra kinestetik dan penerjemahan citra kinestetik ke pola gerak motorik akhir yang
dibutuhkan untuk membangun konstruksi. Tahap akhir tentunya membutuhkan
tenaga ekstremitas serta koordinasi.
Pemeriksaan
Kemampuan konstruksional dapat dinilai dengan berbagai cara, dan berbagai
tirigkat kinerja dapat dijumpai pada pasien yang sama bila diberikan tes yang
berbeda. Dapat digunakan 6 tes dasar untuk menunjukkan bukti adanya gangguan
konstruksional, yaitu:

Menggambar segi empat.

Mereproduksi bangunan geometri dengan pinsil dan kertas.

Menggambar secara spontan.

Reproduksi pola dengan menggunakan batang korek api.

Membuat konstruksi dari balok 3 demensi.

Tugas analisa spasial, yaitu pasien diminta menandai bagian yang
bertindihan.
Pasien dengan lesi di otak menunjukkan perbedaan dalam kejadian, tingkat (berat)
dan kualitas gangguan kemampuan konstruksional, bergantung pada jenis tes yang
digunakan dan sifat serta lokasi lesinya. Pemeriksaan klinik gangguan kemampuan
konstruksional pada pasien seyogyanya mencakup beberapa tes untuk menilai
berbagai aspek dari kemampuan konstruksional, namun menggambar atas suruhan
dan mencontoh gambar merupakan tes yang paling mudah dilakukan dan
diinterpretasi. Berikut ini disajikan tes untuk kemampuan konstruksional.
Meniru gambar: Suruh pasien meniru gambar di bawah ini.
Membuat gambar atas suruhan: Suruh pasien menggambar 3 buah gambar sesuai
perintah. Katakan kepadarya: Saya ingin anda membua gambar yang sederhana
pada sehelai kertas, yaitu:

Gambarlah sebuah jam, dengan angka jam dan jarumnya!

Gambarlah bunga di pot

Gambar sebuah rumah dengan perspektif sehingga dapat dilihat dua sisi dari
rumah beserta atapnya !
Implikasi klinik
Kemampuan konstruksional merupakan fungsi kortikal yang terintegrasi tinggi
yang primer dilaksanakan oleh Menggambar dan membangun bangunan dari balok
merupakan tes yang mudah diberikan untuk mengevaluasinya. Gangguan kinerja
konstruksional biasanya mensugestikan penyakit pada bagian posterior dari
hemisfer serebral, walaupun daerah lain dari korteks mungkin ikut terlibat. Karena
kemampuan konstruksional sering terganggu pada pasien dengan penyakit otak,
menilai fungsi ini sangat penting dan sangat berguna dalam pemeriksaan status
mental.
Apraksia
Apraksia merupakan gangguan didapat pada gerakan motorik yang dipelajari dan
berurutan (sequential), yang bukan disebabkan oleh gangguan elementer pada
tenaga, koordinasi, sensorik atau kurangnya pemahaman (komprehensi) atau atensi.
Hal ini merupakan hendaya (impairment) dalam menyeleksi dan mengorganisasi
inervasi motorik yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu aksi.
Apraksia bukanlah gangguan motorik tingkat rendah, namun merupakan defek
dalam perencanaan motorik, yang mencakup langkah- langkah integratif yang
dibutuh kan pada gerakan terampil atau yang dipelajari. Berbagai jenis apraksia
telah dikemukakan oleh para pakar bergantung kepada kerumitan (kompleksitas)
dan sifat dari tugas yang dilaksanakan. Berikut ini dikemukakan beberapa di
antaranya. Apraksia Ideometor Apraksia ideomotor merupakan jenis apraksia yang
paling sering dijumpai. Penderita dengan jenis apraksia ini tidak mampu melakukan
gerak motorik yang sebelumnya pernah dipelajarinya, secara akurat. Pada keadaan
ini terdapat ketidak-mampuan lobus frontal untuk menerjemahkan aksi menjadi
gerakan motorik.
Gangguan dapat dilihat pada ołot buko-fasial, ekstremitas atas atau bawah, atau otot
badan Pasien misalnya tidak mampu melakukan suruhan herikut: Peragakan
bagaimana menghembus api pada geretan yang sedang menyala! Peragakan
bagaimana minum dengan menggunakan sedotan! Kegagalan melakukan kedua hal
tersebut di atas disebut: apraksia bukofasial. Kesulitan dalam gerakan lengan atau
tungkai dapat dideteksi melalui suruhan: Bari hormat (salut)! Peragakan begaimana
meneidang bola !. Kegagalan dalam hal ini disebut apraksia anggota gerak.
Kesulitan dalam gerakan tubuh dapat dideteksi melalui suruhan berikut: Peragakan
bagaimana melakukan gerakan smash pada permainan bulu tangkis ! Peragakan
bagaimana sikap seorang petinju menangkis serangan lawan! Kegagalan dalam hal
ini disebut: apraksia gerak tubuh seluruhnya.
Pasien dengan apraksia ideomotor mungkin tidak mampu menutup (meinejamkan)
mata atas suruhan, namun ia dapat mengedipka secara spontan. la mungkin tidak
mampu menjulurkan lidahnya atas perintah, namun gerakan lidahnya adekuat bila
ia berbicara. Pasien dengan apraksia ideomotor mungkin mengalami kesulitan
melaksanakan tugas yang sederhana seperti berpakaian, menyisir rambut dan
menggunakan alat makan (sendok garpu).
Pemeriksaan
Di bawah ini terdapat daftar suruhan untuk memeriksa adanya apraksia ideomotor
(apraksia bukofasial, anggota gerak dan seluruh tubuh).
Bukofasial (bucco facial):

bagaimana meniup lilin yang sedang menyala

menjulurkan lidah

minum melalui semprit
Anggota gerak:

memberi hormat (salut)

mengetok paku dengan martil

menyisir rambut

menendang bola
Seluruh tubuh:

meakukan "smash" pada bulu tangkis

sikap seorang petinju

sikap melakukan sungkem
Implikasi klinik
Kemampuan melaksanakan gerakan trampil atas suruhan verbal berasosiasi erat
dengan fungsi bahasa pada hemisfer yang dominan.
Pemahaman verbal merupakan prasarat dari penilaian praksis, maka daerah otak A
(lihat gambar 10 -) harus utuh. Bila suruhan telah difahami, informasi meluas ke
girus supramarginal yang letaknya berbatasan, tempat kata (misalnya: hembus lilin
yang menyala) di asosiasikan dengan memori kinetik (gerakan) yang berada di
korteks parietal post-rolandik. Memori dari gerakan ini di transfer melalui jaras C
ke daerah pre-motor tempat memori bagi pola motorik dicetuskan. Daerah pre-
motor kemudian membimbing (mengarahkan) neuron piramid di daerah motor E
untuk melaksanakan gerakan (aksi). Lesi di salah satu titik sepanjang jalur ini dapat
mengakibatkan apraksia ideomotor.
Banyak pasien yang mempunyai lesi di daerah ini, pada hemisfer yang dominan,
juga menderita afasia. Oleh karenanya dalam menilai apraksia kita harus teliti,
untuk memastikan bahwa pemahaman tidak terganggu dan gangguan kinerja
motorik bukan disebabkan oleh gangguan komprehensi.
Apraksia Ideasional
Apraksia ideasionai merupakan gangguan pereicanaan motorik yang kompleks,
yang lebih tinggi dari ideomotor. Hal ini merupakan kegagalan dalam
melaksanakan tugas yang mempunyai berbagai komponen yang berurutan.
Pada keadaan ini pasien tidak mampu memformulasikan rancangan aksi (plan of
action). Suruhan melakukan aksi jelas difahami, namun pasien tidak mampu
merencanakan rentetan aktivitas yang dibutuhkan untuk melakukan aksi yang
diminta.
Contoh: Pasien disuruh menuangkan air dari teko ke dalam gelas, kemudian
meminum air dari gelas. Pasien mungkin gagal menuangkan alir ke dalam gelas,
dan mungkin mengangkat gelas ke bibirnya atau mengangkat teko dan minum
iangsung dari teko.
Contoh lain: Menyalakan lilin dengan korek api. Suruh pasien menyalakan lilin
dengan korek api yang tersedia. Tahap kegiatan dapat berupa: Menaruh lilin pada
tempatnya.
Mengambil geretan, mengeluarkan kayu korek api, menggosokkannya untuk
menyalakan. Dengan batang korek api yang menyala, lilin dinyalakan. Batang
korek api kemudian dihembus untuk memadamkan api. Dalam hal ini pasien
dengan apraksia ideasional dapat mengalami kesulitan. Mungkin ia dapat
melakukan gerakan satu per satu, namun ia kacau dalam mengurut kegiatannya. la
seolah kehilangan konsep bagaimana menyelesaikan seluruh tugas tersebut. la tidak
mampu mengkombinasikan urutan kegiatan gerak individual yang dibutuhkan
melaksanakan seluruh urutan tugas.
Penderita demikian mungkin tidak mampu memasak, membereskan tempat tidur,
menyalakan rokok, memainkan tape recorder dan berbagai kegiatan sehari-hari.
Implikasi klinik
Apraksia ideasienal merupakan disabilitas yang kompleks yang biasa dijumpai pada
pasien dengan penyakit otak bilateral. Penyakit kortikal yang difus, terutama yang
mengenai lobus parietal, dapat mengakibatkan apraksia ideasional. merupakan hasil
dari beberapa defisit kognitif. Satu unsur menarik pada kinerja pasien dengan
apraksia ideasional ialah adanya kesan ketidakmampuan mengetahui kegunaan
suatu objek. Kegagalan mengenal objek dan kegunaannya disebut agnosia objek.
Hal ini dapat diilustrasikan oleh pasien yang berusaha menyalakan lilin dengan
menggesek tilin pada kotak korek api. Kemampuan untuk meiaksanakan suruhan
yang terdiri dari beberapa tahapan terganggu, dan tugas kompleks yang banyak
tahapannya menjadi membingungkan, sehingga pasien tidak mengetahui lagi
urutan- urutannya. Secara neuropsikologis, apraksia ideasional merupakan kelainan
dari banyak defisit kognitif. Secara klinis hal ini mengakibatkan pasien tidak
mampu memanipulasi lingkungannya secara efektif.
Pasien tidak bisa memasak, menyalakan rokok, memasang rekaman tape,
membereskan tempat tidur, dan berbagai kegiatan sehari-hari. Apraksia idesional
umumnya tidak tersendiri, namun dijumpai berada bersama deteriorasi intektual
yang luas. Bila kita perhatikan pasiennya, kegagalannya
Bab XVIII. RESPONS EMOSIONAL
Pada penderita kelainan neurologik tidak jarang dijumpai perubahan suasana-hati
(mood). Penyakit yang khronik sering mengakibatkan keadaan depresi yang
mungkin tidak dikemukakan pasien, namun jelas terdeteksi oleh pemeriksa. Oleh
karenanya perlu diperiksa adanya perubahan suasana-hati misalnya adanya depresi,
elasi, iritabilitas, rasa marah atau ansietas.
Perlu pula dinilai afek penderita. Afek dapat didefinisikan sebagai respons
emosional terhadap suatu kejadian (situasi). Respon dapat wajar atau mendatar atau
berlebihan. Penderita dengan respons emosional tidak wajar disebut penderita
dengan afek tidak wajar. Pasien dengan afek yang datar mempunyai sedikit atau
tidak ada respons emosional.
Contoh dari respons yang tidak wajar ialah pasien tertawa sewaktu dibincangkan
masalah yang sedih; atau tertawa spontan sewaktu wawancara. Hal ini yang
menggambarkan kemungkinan hipomania atau euphoria.
Penderita dengan lesi hemisfer yang bilateral (misalnya oleh strok) dapat
kehilangan kontrol terhadap respons emosional. Dapat terjadi "menangis atau
tertawa oleh rangsang yang ringan".
Misalnya pada seorang dengan hemiparese dupleks (oleh strok yang berulang)
ditanyakan: "Apa kabar pak" ia berespons dengan menangis atau kita katakan
"Selamat sore pak". la berespons dengan menangis.
Gangguan mental dapat menvertai lesi di otak (Devinsky. 1992).
Otak ikut berpartisipasi dalam tiap kegiatan yang kita lakukan misalnya membaca,
menulis, berhitung, menyanyi, mengeja, berlari, dan berjalan. Tugas yang beragam
ini dilakukan oleh berbagai kelompok sel neuron yang berhubungan satu sama lain.
Di otak terdapat berjuta-juta sel neuron. Selain itu terdapat pula berjuta jaras
asosiasi yang menghubungkan sel-sel neuron. Ada kelompok sel neuron yang lebih
banyak tugasnya dalam bidang tertentu, misalnya untuk berbahasa, berhitung,
membaca dan lain sebagainya. Bila kelompok sel neuron ini terganggu, misalnya
mengalami trauma; atau jaras asosiasi terganggu, maka tugas dari kelompok neuron
ini akan terganggu pula, misalnya penderitanya menjadi tidak dapat berbahasa,
berhitung atau membaca.
Gangguan mental yang dapat menyertai lesi di lobus frontal
Dacrah Broca (hemisfer kiri)

afasia Broca

disprosodi (juga terdapat pada lesi sebelah kanan)
Daerah prefrontal
kiri:

tidak mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang terdiri dari
banyak langkah.

afasia motorik transkortikal

depresi
kanan

alpa dan neglect keadaan sebclah kiri

afek yang tumpul atau labil

tidak gigih (impersistence) d

isinhibisi

konfabulasi

depresi
bilateral

abulia

tidak mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang banyak
langkah.

disprosodi afek yang tumpul dan labil

depresi

disinhibisi, dan kehilangan kemampuan bergaul sosial

inkontinensia

katatonia

perseverasi

Konfabulasi
Gangguan mental yang dapat menyertai lesi di lobus parietal
Korteksi asosiasi parietal

agrafia

akalkulia

agnosia jari

disorientasi kiri/kanan

aleksia

afasia konduksi

afasia anomik

apraksia
konstruksional
gangguan
menginterpretasi
persamaan-perbedaan.

apraksia (ideomotor)

alpa dan lalai terhadap stimulus sebelah kanan (jarang).
pepatah
dan
Kanan

alpa dan neglect terhadap stimulus dari sisi kiri

gangguan visuo-spasial

disorientasi geografik

apraksia konstruksional

apraksia berpakaian

tidak gigih
Gangguan mental yang dapat menyertai lesi di lobus temporal
Korteks asosiasi auditif/daerah Wernicke
kiri

afasia wernicke

afasia konduksi
kanan

persepsi musik terganggu

disprosodi sensorik
Korteks temporal lateral non-auditif

agitasi delirium (kanan)

sinestesia

gangguan mengasosiasi stimulus auditif dan visual dengan bobot emosional
Korteks medial (limbik)

memori jangka pendek terganggu (lebih banyak yang verbal pada lesi kiri
dan visuospasial pada yang kanan).

agresi berkurang atau meningkat

gangguan emosional

depresi

mania (biasanya pada lesi kanan)

halusinasi/ilusi
Gangguan mental yang dapat menyertai lesi di lobus oksipital
Korteks asosiasi visual
kiri

aleksia

anomia Warna

hemiakromatopsia kanan
kanan

palinopsia h

emiakromatopsia kiri
bilateral

agnosia visual

prosopagnosia (inferomesial)
Download