Uploaded by User18691

Sos. Hukum Review

advertisement
Hukum dalam Masyarakat
Penulis: Soetandyo Wignjosoebroto
REVIEW
Oleh:
Lisa Meyliani
150910302033
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSTAS JEMBER
2018
Hukum merupakan salah satu istilah yang sangat sering didengar di kalangan
masyarakat Indonesia. Bagaimana Indonesia yang selalu dibilang sebagai negara hukum.
Sejak dimulainya peran besar media istilah hukum menjadi sering terdengar baik dalam
media cetak, media televisi, dan media online. Namun dalam hal ini kita tidak akan banyak
berbicara mengenai konteks hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Akan tetapi
berbicara hukum dalam pengertian para perintis sosiologi sosiologi huku. Yang mana dalam
tiap penjelasannya selalu berhubungan dengan Konteks dan setting sosial dari tokoh sosiolog
tersebut. Sebagaimana Karl Marx berbicara Hukum dalam balutan Politik Ekonominya, yang
biasa kita ketahui sebagai Kapitalis. Mungkin sedikit inilah pengantar singkat mengenai
review dari buku Hukum dalam Masyarakat. Untuk lebih jelas lagi akan di jelaskan pada
paragraph selanjutnya, meskipun masih berbicara Hukum dan Masyarakat terlebih dahulu
dan kemudian baru memasuki penjelasan mengenai perintis-perintis pakar-pakar perintis
sosiologi hukum.
Law is Society Ataukah Law Is Not (Always) Society beberapa kalimat yang mencuri
perhatian penulis tentang hukum dan masyarakat. Dalam Low is Society Penulis yang awal
mula membayangkan hukum merupaka representasi dari masyarakat dan masyarakat
merupakan hukum sendiri, sebagaimana penulis melihat bahwa hukum disesuaikan dengan
masyarakat tersebut selayaknya orang Jawa. Namun kemudian apakan sesimple itu hukum
direpresentasikan, tidak ada kah relasi-relasi dari manusia yang merepresentasikan hukum?
Kajian tentang sosiologi hukum memang baru bermula ketika para pemikir sosial
mulai memiliki dan menawarkan konsep konsep hasil perpaduan antara hukum dan ilmu
sosial kepada seluruh insan akademisi pada zamannya. Meskipun pengertian hukum telah
menjadi hukum positif, namun sebenarnya masyarakat tetap berada dan terikat dalam hukum
hukum normatif yang berlaku lebih dahulu daripada hukum positif. Jika secara sekilas kita
dapat menyatakan bahwa hukum positif tidak mempermasalahkan baik buruk atau bahkan
tentang adil dan lalim, Tetapi hanya mengatur tegaknya peraturan secara konsisten dan
mengikat dalam masyarakat. Hukum tidak akan pernah mempedulikan Siapa yang ia hadapi
karena memang hukum diciptakan secara kaku dan terikat.
Dalam masa peralihan dari yang awalnya hukum sebagai filosofis bergeser menjadi
hukum positif tidak terjadi secara cepat pada masa awal kemunculannya. Hukum positif
menjadi lebih mudah pembuktiannya bila dibandingkan dengan hukum yang masih dalam
kerangka filosofis. Auguste Comte dan Saint Simon adalah 2 tokoh besar yang membawa
gagasan objektif dan variabel ilmu sains ke dalam ilmu sosial. Mulai saat itu masyarakat
diposisikan sebagai objek penelitian dengan berbagai variabel yang diperlakukan. Hukum
yang pada awalnya hanya bersifat moral normatif berubah menjadi satu hal ilmu pengetahuan
yang bersifat relatif. Nah, pada relativitas hukum yang berlaku lah kajian-kajian sosiologi
hukum nyaring digaungkan.
Pemikiran-pemikiran teoritisi- mengenai hukum dalam masyarakat di tengah-tengah
pengalaman perubahan peradaban Eropa Barat pada abad 19 adalah pemikiran-pemikiran
yang sangat dipengaruhi oleh asumsi asumsi evolusionisme. Karl marx juga tergolong orang
yang terpengaruh oleh asumsi-asumsi evolusionis, gimana diasumsikan bahwa manusia dan
masyarakat mengalami evolusi secara perlahan-lahan. Dalam hal pemikiran, Karl Marx juga
terpengaruh oleh salah satu filsuf materialisme yaitu Hegel yang terkenal dengan karyanya
yaitu filsafat sejarah. Hukum pun dipandang oleh Karl Marx sebagai sesuatu yang mengalami
perubahan secara fungsionalis. Menurut Marx, hukum cenderung eksploitatif terhadap kaum
proletar. Hukum digunakan oleh kaum Borjuis untuk melanggengkan kekuasaan yang
eksploitatif terhadap proletar.
Kemudian perintis sosiologi hukum selanjutnya adalah Maine. Dari segi kelahiran
maine lebih muda empat tahun dari Karl Marx. Yang membedakan antara Karl Marx dan
Maina adalah, Karl Marx berusaha menjelaskan mengenai perkembangan yang dialami oleh
manusia secara transisional dan hal-hal yang diamatinya. Tetapi Maine hanya berusaha
menyusun dan menggolongkan setiap tahap perkembangan hukum yang terjadi. Sehingga ia
terkesan membenarkan kondisi yang terjadi. Sejalan dengan pemikiran Karl Marx, Maine
juga berpikir jika masyarakat bukanlah satu tatanan ideal. Akan tetapi masyarakat terus
mengalami perubahan perubahan. Dia juga berpendapat jika masyarakat tidak selalu berada
pada posisi laten tetapi berkembang menjadi Kontingen. Begitu pula dengan hukum yang
berlaku di masyarakat. Dalam penjelasan Maine bisa diartikan bahwa Hak dan kewajiban itu
dibentuk oleh status yang kita terima. Akan tetapi hak dan kewajiban lah yang akan
menentukan tingkat partisipatif kita dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Itu
artinya hukum yang kita terima pun juga ditentukan oleh luas dan cakupan area. Misalnya
pada lingkup sempit kita akan diikat oleh hukum keluarga kemudian hukum Rukun Tetangga
hingga hukum Kelurahan dan seterusnya hingga hukum yang berlaku secara universal di
kalangan masyarakat manusia.
Emile Durkhelm juga sangat terkenal dengan pendapatnya mengenai Solidaritas
masyarakat. Dia membagi masyarakat ke dalam dua bagian Solidaritas yaitu Solidaritas
mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik biasanya terdapat pada masyarakatmasyarakat daerah perkotaan. Ini dibuktikan dengan masyarakatnya yang mandiri dan
hubungannya bersifat transaksional. Sedangkan kaum solidaritas organik banyak ditemukan
di daerah-daerah pedesaan. Malika diidentikkan dengan organisme. Ciri khas dari masyarakat
pedesaan ya itu hubungannya yang bersifat kekeluargaan dan tidak transaksional. Durkhelm
kemudian dianggap sebagai tokoh pembuka kajian-kajian sosiologi hukum ke arah modern.
Weber juga memiliki sumbangsih cukup besar bagi ilmu hukum, ilmu birokrasi dan
ilmu ilmu yang lain. Karena pengaruh dari bapaknya, Max Weber masih tergolong ke dalam
teoritisi teoritisi sosiologi hukum periode klasik. Dalam pandangan Weber hukum adalah
salah satu tatanan yang bersifat memaksa karena tegaknya tatanan hukum itu (berbeda
dengan tatanan tatanan dan norma-norma social lain yang bukan hukum) ditopang
sepenuhnya oleh kekuatan pemaksa yang dimiliki oleh negara. Max Weber berusaha
menciptakan definisi-definisi mengenai hukum. Dia Berusaha menjelaskan perkembangan
hukum yang terjadi pada kalangan masyarakat. Menurut Weber hukum mengalami
perkembangan dari yang semula berbentuk fatwa-fatwa karismatik dari kyai kyai atau
pendeta menjadi berwujud satu hal yang tersusun secara sistematis dengan cara-cara yang
profesional. Weber mengatakan memiliki rasionalitas yang substantif tatkala substansi hukum
itu memang terdiri atas aturan-aturan umum yang siap didedikasikan guna menghukum
berbagai kasus kasus yang konkrit. Sebaliknya hukum dikatakan tidak memiliki rasionalitas
yang substantif jika Setiap perkara diselesaikan secara atas dasar kebijaksanaan
kebijaksanaan politik atau etika yang unik dalam tatanannya, bahkan mungkin diselesaikan
secara emosional yang sama sekali tidak bisa merujuk ke arah aturan aturan umum yang
secara objektif. Sementara itu hukum dikatakan memiliki rasionalitas formal apabila aturan
aturannya gi-system asikan secara prosedur pendayagunaan nya yang telah dipolakan untuk
menyelesaikan berbagai perkara sedemikian rupa demi terjaminnya kepastian dan
kesungguhan ketepatan. Namun sebaliknya hukum dapat dikatakan bersifat non formal jika
hukum tersebut diperoleh melalui Ilham atau bisikan bisikan gaib serta petunjuk-petunjuk
dari makhluk selain manusia. Hal yang demikian tidak dapat dinamakan sebagai hukum
formal, dikarenakan landasannya yang tidak dapat diterima oleh rasio akal manusia.
Download