INTERAKSI ENERGETIK GURU DAN SISWA PADA PEMBELAJARAN ABAD 21 Ady Ferdian Noor Mahasiswa Program Studi Doktor Pendidikan Dasar [email protected] Muhammad Nur Wangid Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] Abstrak Pembelajaran memerlukan interaksi, Interaksi adalah suatu jenis tindakan yang terjadi ketika dua atau lebih objek mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. Pembelajaran melalui interaksi yang kurang energetik dapat menyebabkan ketidakseimbangan transfer pembelajaran. Zubaedi (2009: 2-3) mengemukakan tendensi yang muncul adalah siswa akan banyak mengetahui banyak tentang sesuatu, namun menjadi kurang memiliki sistem nilai, sikap, minat maupun apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahui. Siswa akan melakukan praktik pelanggaran misalnya senang berkelahi sesama teman, kurang menghargai orang lain, dan kurang mempunyai sopan santun. Atmosfer akademik di sekolah dasar untuk siswa dapat belajar efektif adalah kondisi dimana siswa dapat berkolaborasi, bekerjasama, berkomunikasi dengan menggunakan interaksi segala arah tidak ada rasa takut dan merasa malah dilindungi serta mereka merasa diperlakukan secara adil tidak pandang suku, agama, ras, antar golongan, dan gender sehingga mencapai tujuan yang diinginkan baik tujuan pendidikan nasional maupun tujuan sekolah dasar. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan interaksi energetik guru dan siswa di sekolah pada pembelajaran abad 21. Untuk mencapai tujuan penelitian, Penelitian ini menggunakan metode penelitian perpustakaan dan dokumenter. Interaksi energetik guru dan siswa harus dilandasi hubungan yang baik terlebih dahulu antara guru dan siswa artinya siswa merasa guru adalah orangtua dan temannya yang dapat diajak berinteraksi tanpa rasa takut tetapi tetap menghormati. Interaksi tanpa rasa takut tetapi tetap menghormati diperlukan karena sesuai dengan salah satu keterampilan pembelajaran abad 21 yaitu kolaborasi. Kolaborasi yang baik menyebabkan pembelajaran menjadi menyenangkan sehingga pembelajaran menjadi efektif. Kata Kunci: Interaksi, Energetik, Pembelajaran abad 21 ENERGETIC INTERACTIONS BETWEEN TEACHERS AND STUDENTS IN LEARNING IN THE 21ST CENTURY Ady Ferdian Noor Student of the Doctoral Program of Basic Education Postgraduate Program in Yogyakarta State University [email protected] Muhammad Nur Wangid Postgraduate Program in Yogyakarta State University [email protected] Abstract Learning requires interaction, Interaction is a type of action that occurs when two or more objects influence or have an effect on each other. Learning through less energetic interactions can cause an imbalance in transfer of learning. Zubaedi (2009: 2-3) suggests that the tendency that arises is that students will know a lot about something, but become less have a system of values, attitudes, interests and positive appreciation of what is known. Students will practice violations such as happy fighting with friends, lack of respect for others, and lack of courtesy. The academic atmosphere in elementary schools for students to be able to learn effectively is a condition where students can collaborate, cooperate, communicate using any direction there is no fear and feel even protected and they feel treated fairly regardless of ethnicity, religion, race, class, and gender so as to achieve desired goals both national education goals and primary school goals. The purpose of this study is to describe the energetic interactions of teachers and students in schools in 21st century learning. To achieve the research objectives, this study uses library and documentary research methods. Energetic interactions between teachers and students in schools must be based on good relationships first between the teacher and students, meaning students feel the teacher is a parent and a friend who can be invited to interact without fear but still respect. Fearless but respectful interaction is needed because it fits with one of the 21st century learning skills, collaboration. Good collaboration causes learning to be fun so learning becomes effective. Keywords: Interaction, Energetic, 21st Century Learning A. Pendahuluan Pembelajaran memerlukan interaksi yang baik antara guru dan siswa. Tedjoworo (2018) mengemukakan Pembelajaran sebenarnya ialah proses pengenalan dan penerimaan kontekstualitas kita, dimanapun kita berada. Masruhani (2016) mengemukakan interaksi merupakan proses pengiriman dan penerimaan informasi antara individu dengan kelompok, individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok yang didasarkan pada adanya pesan yang akan disampaikan. Atmosfer akademik yang memungkinkan siswa sekolah dasar untuk belajar efektif dimulai dari landasan dasar pemikiran berdasarkan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa diimplementasikan pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3 yaitu tujuan pendidikan nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan potensi siswa di sekolah dasar. Sekolah merupakan tempat untuk belajar bagi siswa baik memperoleh teori maupun pengalaman belajar. Sekolah dikelola oleh pelaku-pelaku mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, dan komite. Atmosfer akademik di sekolah dasar untuk siswa dapat belajar efektif adalah kondisi dimana siswa dapat berkolaborasi, bekerjasama, berkomunikasi dengan menggunakan segala arah tidak ada rasa takut dan merasa malah dilindungi serta mereka merasa diperlakukan secara adil tidak pandang suku, agama, ras, antar golongan, dan gender sehingga mencapai tujuan yang diinginkan baik tujuan pendidikan nasional maupun tujuan sekolah dasar. Pihak sekolah jangan melupakan ekologi sekolah dasar itu sendiri baik dari sisi toilet, tempat pembuangan sampah, penghijauan, dan selokan sekolah harus ditata rapi, teratur, bersih, indah, dan tertib sehingga selain ruang sekolah yang nyaman dan sesuai dengan jumlah siswa juga sarana pembelajaran seperti meja dan kursi dapat bergerak artinya ruang sesuai perbandingan dengan peraturan terkait. Siswa dapat belajar efektif sehingga mampu menampilkan potensi dirinya yang terpendam sesuai bakat dan minat dalam dirinya bukan berasal dari kemauan guru dan orang lain dan itu yang memastikan adalah komite sekolah. Salah satu ciri abad ke-21 adalah meningkatnya interaksi warga dunia secara langsung maupun tidak langsung yang ditopang oleh kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Sukmana, 2018). Zaman selalu terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi, yang pada saat ini sudah memasuki era industri 4.0. Pemanfaatan berbagai aktifitas pembelajaran yang mendukung industri 4.0 merupakan keharusan dengan model resource sharing dengan siapapun dan dimanapun, pembelajaran kelas dan laboratorium dengan augmented (pengalaman interaktif dari lingkungan dunia nyata di mana benda-benda yang berada di dunia nyata "ditambah" oleh informasi persepsi yang dihasilkan komputer) dengan bahan virtual, bersifat interaktif, menantang, serta pembelajaran yang kaya isi bukan sekedar lengkap (Triyono, 2017). Artinya siswa dapat mengembangkan kemampuan menguasai pengetahuan dan teknologi (Ibrahim, 2012). Contoh pembelajaran abad 21, Chaeruman (2018) mengemukakan fenomena pembelajaran abad 21 bahwa agar siswa mampu menulis monolog “aspect of love” dalam bentuk puisi, guru meminta siswanya secara individu membuka http://iearn.org Siswa kemudian diminta untuk memilih salah satu proyek membuat puisi terkait dengan “aspek kasih sayang” tersebut dan mengikuti prosedur yang disarankan. Siswa menulis puisi secara kreatif dalam bentuk MS Word atau MS Powerpoint. Siswa merekam pembacaan puisi masing-masing menggunakan handphone. Kemudian mengirimkan puisinya dan video ke http://iearn.org dan kanal youtube untuk mendapatkan umpan balik dari siswa lain di seluruh dunia. Hasil kerja, plus umpan balik dari siswa lain di seluruh dunia dijadikan sebagai portfolio siswa tersebut sebagai salah satu bahan penilaian oleh guru tersebut. Pembelajaran memerlukan kolaborasi yang didukung dengan teknologi. Dalam teori Sosiologi istilah interaksi terkait dengan tingkatan individu. Damsar (2015: 143) mengemukakan analisis tingkatan individu memiliki keragaman tantang fokus perhatian, konsep masyarakat, individu, dan akar pemikiran. Tingkatan individu terdiri dari paling tidak tiga bentuk analisis, yaitu analisis pemaknaan sosial, analisis pengetahuan, dan analisis pertukaran sosial. Analisis pemaknaan sosial memosisikan manusia sebagai makhluk yang aktif kreatif dalam penciptaan dunia mereka. Manusia menciptakan simbol, yang dengannya manusia berinteraksi, misalnya guru menggunakan simbol untuk membelajarkan siswa tentang pengetahuan. Analisis pengetahuan menitikberatkan penjelasannya pada kenyataan kehidupan sehari-hari, dimana kesadaran, proses kognitif dan praktik sehari-hari yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam menjalani pembelajaran di sekolah diawasi oleh kepala sekolah. Manusia merupakan insan kreatif sejauh dalam menggunakan stock of knowledge-nya. Analisis pertukaran menempatkan manusia sebagai makhluk yang rasional, selalu mempertimbangkan untung rugi. Oleh karena itu, manusia dipandang tergantung pada persoalan untung rugi dalam hubungan sosialnya. Guru dan siswa saling memperlakukan diri mereka dalam hubungan untung rugi artinya guru memberikan pembelajaran kepada siswa agar mampu mengembangkan potensi dirinya, siswa belajar dengan efektif maka guru menjadi guru yang berhasil mengajar dan mendidik. Pembelajaran melalui interaksi yang kurang energetik dapat menyebabkan ketidakseimbangan transfer pembelajaran. Zubaedi (2009: 2-3) mengemukakan tendensi yang muncul adalah peserta didik akan banyak mengetahui banyak tentang sesuatu, namun menjadi kurang memiliki sistem nilai, sikap, minat maupun apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahui. Anak akan mengalami perkembangan intelektual tidak seimbang dengan kematangan kepribadian sehingga melahirkan sosok spesialis yang kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya dan rentan mengalami distorsi nilai. Siswa akan melakukan praktik pelanggaran misalnya senang berkelahi sesama teman, kurang menghargai orang lain, dan kurang mempunyai sopan santun. Suyanto dan Jihad (2013: 98) mengemukakan untuk memotivasi belajar siswa, guru harus selalu inovatif dalam mengadopsi metode-metode terbaru dalam pembelajaran dan menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran. Sejauh mana materi disampaikan bukan tergantung pada guru dan kurikulumnya, tetapi bergantung pada kesiapan belajar siswa. Kreativitas siswa dibangun melalui berbagai aktivitas diskusi kelompok, diskusi panel, kunjungan lapangan, permainan peran, dan permainan tradisional. Albert Einstein, “It is the supreme art of the teacher to awaken joy in creative expression and knowledge” (Seni tertinggi pada seseorang guru adalah kemampuan membangkitkan kegembiraan dengan pengetahuan dan ekspresi yang kreatif). Kemampuan membangkitkan kegembiraan dengan pengetahuan dan ekspresi yang kreatif harus dilandasi dengan sistem-sistem formal sehingga guru mampu menghasil metode dan model pembelajaran yang inovatif. Pendekatan sistem-sistem formal dapat menghasilkan situasi dan kondisi yang akrab sehingga tranfers konten dapat sesuai dengan tujuan pembelajaran. J. Donald Butler mengemukakan pendekatan sistem-sistem formal dikaitkan dengan filosofi pendidikan yaitu: 1. Guru adalah pencipta lingkungan pendidikan siswa dan merupakan sumber ilham baginya; 2. Sebuah cara yang penting dan berharga di mana tanggapan siswa dilahirkan adalah melalui kegiatan yang bersifat meniru (imitatif), khususnya jika diarahkan oleh para panutan dalam hal karya kreatif serta kepribadian guru yang budiman; 3. Batu pijakan lain ke arah tanggapan siswa adalah ketertarikan. Lebih baik jika ketertarikan menjadi dasar sebagaian besar kegiatan siswa. Ketertarikan harus diimbangi dengan kerja keras yang didukung penekanan disiplin dari luar diri siswa; 4. Tindakan guru yang efektif yaitu menghasilkan tanggapan aktif dari siswa; 5. Buku-buku ajar dan mata pelajaran pun harus mencakup kaitan pengalaman langsung dengan aktualisasi. Guru harus menerapkan model pembelajaran “Problem-based-Learning”. Problem based Learning is a student-centered approach that organizes curriculum and instruction around carefully crafted “ill-structured” and real-world problem situations. (Arends and Kilcher, 2010: 326) “; Metoda-metoda pembelajaran harus inovatif sehingga menciptakan perasaan tegang (suspense) dalam diri siswa, perasaan tegang itu dapat dipecahkan melalui usaha aktif siswa itu sendiri (O’neil, 1981: 14-15). Usaha aktif siswa diupayakan semaksimal mungkin mampu menjalin interaksi yang baik. Interaksi menghasilkan kolaborasi dan kerjasama yang sempurna karena mereka dapat berdiskusi memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi baik permasalahan kelompok maupun permasalahan pelajaran. Sahlberg (2011: 292) mengemukakan hal di masa depan dibutuhkan orang, tetapi kecil kemungkinannya dipelajari di mana pun juga, adalah pemecahan masalah nyata dengan bekerjasama dengan orang lain. Ini akan menjadi satu dari fungsi-fungsi dasar sekolah masa depan; mengajarkan kerjasama dan pemecahan masalah dalam kelompok kecil dengan orang-orang yang heterogen. Tedjoworo (2018) mengemukakan pembelajaran di abad ini tidak bisa dibiarkan terlalu teknis dan teknologis. Kita perlu menahan diri dalam hal teknologi dan inovasi. Kembali pada yang humanum. Pembelajaran mesti dilakukan dengan bercakapcakap secara langsung (interaksi), di dalam kebersamaan yang relasional dan inderawi, serta melibatkan semakin banyak orang maupun sudut pandang. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan interaksi energetik guru dan siswa di sekolah pada pembelajaran abad 21. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian perpustakaan dan dokumenter. Darmadi (2014: 190) mengemukakan bahwa penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian yang menggunakan berbagai literatur sebagai salah satu dokumen. Kepustakaan mempunyai peran sangat penting dalam suatu penelitian. Kajian pustaka merupakan bagian penting dalam sebuah penelitian yang kita lakukan. Kajian pustaka disebut juga kajian literatur, atau literature review (Setyosari, 2015: 117). Penelitian ini mencoba mengkaji dari jurnal-jurnal ilmiah dan buku teks baik secara fisik maupun e-journal maupun e-books terkait tentang interaksi energetik pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa pada pembelajaran abad 21. C. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Sekolah adalah tempat belajar dan pembelajaran. Siswa belajar melalui teori dan pengalaman yang ditanamkan oleh guru. Siswa belajar tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara keseluruhan dan seimbang. Guru menciptakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif berdasarkan pada metode dan model pembelajaran abad 21. Sekolah adalah tempat bergaul antar sesama siswa, dengan guru, dengan kepala sekolah secara harmonis dan dinamis tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya. Dwiningrum (2016: 35) menyatakan Sekolah dibangun dalam landasan pendidikan humanis sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan yang humanis. Pemikiran yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa mendidik adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi). Suyanto dan Jihad (2013: 98-99) mengemukakan Sekolah akan menjadi platform yang tepat untuk memenuhi tujuan pendidikan jika hubungan antara siswa dan guru dipelihara dengan baik. Guru adalah teman, filsuf, dan sosok panduan bagi siswa. Seorang guru adalah motivator terbaik, seorang pecinta dan pengisi kekuatan. Siswa terinspirasi oleh guru sebagai pemimpin. Sahlberg (2011: 198) mengemukakan Otoritas dan kebanyakan orangtua mengerti bahwa mengajar, mengasuh, dan mendidik anak-anak adalah proses yang terlalu kompleks untuk diukur secara kuantitatif. Di sekolahsekolah Finlandia, prinsip operasinya adalah kualitas guru dan sekolah ditentukan melalui interaksi timbal balik antara sekolah dan siswa-siswa, bersama orangtua mereka. Interaksi timbal balik menghasilkan perubahan pada perkembangan fisik dan psikologis anak. Sahlberg (2011: 292) mengemukakan komponen perubahan pendidikan yang menciptakan gagasan dan inovasi baru mestilah memberikan cukup dorongan dan dukungan untuk pengambilan resiko yang akan memungkinkan kreativitas tumbuh subur di ruang-ruang kelas dan sekolah. Hurlock (1981: 3) menyatakan manusia tidak pernah statis. Semenjak pembuahan hingga ajal selalu terjadi perubahan, baik dalam kemampuan fisik maupun kemampuan psikologis. Interaksi dalam pembelajaran dapat terjadi kurang energetik atau energetik tergantung komunikasi timbal balik guru dan siswa. 2. Pembahasan a) Perkembangan Siswa pada Pembelajaran abad 21 Perkembangan siswa pada pembelajaran abad 21 memerlukan keterampilan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, dan kreatif untuk mengembangkan dirinya memiliki potensi sesuai dengan ciri khas. Ahonen and Kinnonen (2015), dalam penelitian bertujuan untuk memperhitungkan pendapat siswa itu sendiri tentang pentingnya keterampilan yang mereka butuhkan untuk masa depan, bagaimana mereka menghargai dan menghargai keterampilan abad dua puluh satu, dan apa yang mereka gambarkan sebagai yang paling penting keterampilan dan kompetensi yang telah mereka pelajari sejauh ini. Hasil penelitiannya ini menemukan bahwa ada pemahaman umum tentang perlunya meta-keterampilan seperti pemecahan masalah, penalaran, kolaborasi, dan pengaturan diri. Keterampilan dan kolaborasi sosial menduduki peringkat tertinggi, baik dalam kerangka kerja yang terdaftar dan respons bebas siswa. Seperti yang diharapkan, anak laki-laki lebih menghargai keterampilan teknis, sementara anak perempuan menempatkan keterampilan sosial lebih tinggi. O’neil (1981: 93-94) mengemukakan Individu tentu dipandang sebagai sebuah bagian dari fungsi kelompok. ‘Diri yang Sejati’ adalah konektivitas organik, yang dipandang sebagai keseluruhan yang lebih besar dibandingkan dengan penjumlahan atas bagian-bagiannya (diri individu-individu). Individualisme umumnya dianggap sebagai hal yang berada di bawah (sub-ordinat) perombakanperombakan sosialitas yang utama, yang bersifat logis dan radikal. ‘Diri’ personal terpisah dari, namun secara radikal sejalan dengan, budaya yang lebih besar yang merumuskan dan menentukan hakikat serta kegiatan-kegiatan tertinggi ‘diri’ tersebut. US-based Partnership for 21st Century Skills (P21, Organisasi P21 (www.p21.org) di Amerika Serikat adalah salah satu pengembang framework pendidikan abad ke-21), mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan di abad ke-21 yaitu “The 4Cs”communication, collaboration, critical thinking, dan creativity. Kompetensi-kompetensi tersebut penting diajarkan pada siswa dalam konteks bidang studi inti dan tema abad ke-21. Assessment and Teaching of 21st Century Skills (ATC21S) mengkategorikan keterampilan abad ke-21 menjadi 4 kategori, yaitu way of thinking, way of working, tools for working dan skills for living in the world (Griffin, McGaw & Care, 2012). Way of thinking mencakup kreativitas, inovasi, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan. Way of working mencakup keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi dan bekerjasama dalam tim. Tools for working mencakup adanya kesadaran sebagai warga negara global maupun lokal, pengembangan hidup dan karir, serta adanya rasa tanggung jawab sebagai pribadi maupun sosial. Sedangkan skills for living in the world merupakan keterampilan yang didasarkan pada literasi informasi, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi baru, serta kemampuan untuk belajar dan bekerja melalui jaringan sosial digital (Zubaidah, 2016). Diane and Clark mengemukakan bahwa peserta didik akan diminta untuk secara aktif terlibat dalam belajar menggunakan berbagai sumber daya, tidak terbatas pada teknologi tetapi menerapkan teknologi untuk terlibat dengan anggota tim yang mengejar inovasi dan kerja produktif dalam kemitraan dan tim. Siswa aktif terlibat dalam menggunakan teknologi memerlukan kreativitas yang tinggi. Kreativitas yang tinggi mampu menghasilkan berpikir kritis sehingga siswa mampu mengembangkan keterampilan pada dirinya sebagai satu kompetensi. Einstein dan Virginia Woolf menyatakan orang yang berpikir kreatif adalah mereka yang menemukan hal-hal baru yang pada akhirnya diterima. Jika suatu ide atau produk terlalu mudah diterima, itu tidak kreatif; jika tidak pernah diterima, itu hanya contoh palsu. Penerimaan dapat terjadi dengan cepat atau butuh waktu lama. Saya percaya bahwa Anda tidak dapat menjadi kreatif kecuali Anda telah menguasai setidaknya satu bidang, seni atau kerajinan. Ilmu kognitif mengajarkan kepada kita bahwa rata-rata dibutuhkan sekitar sepuluh tahun kuasai kerajinan. Jadi, Mozart bukan menulis musik yang bagus ketika dia berusia lima belas dan enam belas tahun, tetapi itu karena dia mulai ketika dia berusia empat atau lima tahun (Gardner, 2008: 29). Suyanto dan Jihad (2013: 67-68) mengemukakan kreativitas adalah kemampuan berpikir mengenai sesuatu dengan cara yang baru dan langka, serta menghasilkan penyelesaian yang unik. Kreativitas dalam pribadi mencerminkan keunikan individu dalam berpikir dan mengungkapkan sesuatu. Sutuasi sosial, budaya, bahkan lingkungan sekolah turut memberikan kemudahan dan mendorong individu untuk menampilkan pikiran dan bertindak secara kreatif. b) Interaksi Energetik Pembelajaran abad 21 Interaksi energetik pembelajaran abad 21 memerlukan kolaborasi yang dinamis antara siswa yang heterogen. Siswa heterogen yaitu beragaman suku, agama, ras, dan gender. Keragaman manusia memicu interaksi yang saling bergantung satu dengan lainnya. Chalkiadaki (2018) menyatakan Keterampilan abad 21 seyogyanya adalah keterampilan yang holistik, tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya. Seseorang yang hidup di abad 21 harus memiliki keterampilan diri yang unggul, namun juga harus dapat berkolaborasi dengan orang lain. Hal ini pada dasarnya berlandaskan pada sifat dasar manusia yang tidak dapat hidup sendiri, dan memiliki sifat ketergantungan pada orang lain. Selain itu spesialiasi ataupun keahlian yang berbeda-beda dapat dimanfaatkan untuk saling melengkapi, berkolaborasi untuk menciptakan hubungan yang bersfat ‘mutualisme’. Implementasi pada pembelajaran di SD, seorang siswa harus memiliki kemampuan pribadi yang unggul, namun juga dapat bekerja dalam tim, bekerjasama dengan orang lain. hal ini dapat menjadi sebuah landasan pengembangan pembelajaran di SD. Sahlberg (2011: 198) mengemukakan kebijakan pendidikan Finlandia memberikan prioritas tinggi kepada pembelajaran personal dan pembelajaran kreatif sebagai komponen penting persekolahan dan menentukan kemajuan pribadi dan kognitif siswa dipandang sebagai tanggung jawab sekolah. O’neil (1981: 48-49) mengemukakan seluruh praktik pendidikan dapat menjadi subyek bagi analisis intelektual dan bisa ditafsirkan dalam peristilahan aturan teoritis. Di sisi lain, tidak semua praktik pendidikan bersifat teoritis dalam arti bahwa mereka didasari oleh pranggapan (presuposisi) ideologis yang jelas, ataupun dimotivasi oleh niat ideologis secara sadar. Karena itu, ada perbedaan yang cukup jauh antara seorang pendidik yang secara sadar dan diniati mengikatkan diri dengan filosofi pendidikan tertentu: dengan pendidik yang praktik-praktik yang mencerminkan komitmen atau ikatan semacam itu. Penafsiran berdasar perilaku yang bisa diamati nisa sangat menyesatkan. Suyanto dan Jihad (2013: 66) menyatakan Guru dan siswa merupakan bagian dari sistem pendidikan yang membutuhkan tingkat interaksi yang tinggi. Oleh karena itu, kedua subyek pendidikan ini perlu menjalin komunikasi positif. Dalam menjalin komunikasi tersebut guru perlu memiliki soft skill yang dapat menghindarkannya dari kemungkinan terjadinya miscommunication sebagai titik pangkal persoalan pembelajaran. Dalam halnya, proses pembelajaran yang berlangsung harus mengondisikan hubungan yang setara antara kedua belah pihak. Harapannya, siswa tidak lagi merasa enggan terhadap gurunya karena guru sudah berbaur dengan siswa dalam kondisi apapun. Pembauran dilakukan dalam kondisi apapun tanpa diwarnai insiden pembelajaran negatif yang merugikan kedua belah pihak dapat mencapai pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran serta sekolah. Rotherham & Willingham (2009); Silva (2009) menyatakan soft Skils dan Hard Skills adalah dua keterampilan yang harus dipadukan, di Finlandia hal tersebut. Konsensus di antara para peneliti dalam ilmu pembelajaran adalah bahwa keduanya tidak bertentangan. “Keterampilan berpikir dan keterampilan bekerja sebenarnya paling baik dipelajari bersama dalam konteks alaminya (Ahonen and Kinnonen, 2015).” Pertama, kepribadian dan temperamen setidaknya sama pentingnya dengan kekuatan kognitif. Orang yang dinilai kreatif mengambil setiap kesempatan, mengambil risiko, tidak takut gagal, dan bangkit dengan cepat kembali. Kedua, jangan pernah memvonis seseorang dengan cara menjatuhkan dan menghukumnya (Gardner, 2008: 30). Interaksi dapat dilakukan dengan tatap muka atau menggunakan teknologi informasi komunikasi. Interaksi energetik dapat tercipta apabila model pembelajaran dapat mengadopsi kedua jenis interaksi tersebut. Sari (2014) mengemukakan Model Blended Learning (MBL) merupakan salah satu isu pendidikan terbaru dalam perkembangan globalisasi dan teknologi, yang menggabungkan pembelajaran tradisional tatap muka dan pembelajaran online (elearning). MBL merupakan salah satu cara baru untuk meningkatkan proses belajar dan pembelajaran. Menghadirkan pembelajaran sepanjang waktu adalah sebuah potensi, peluang dan tantangan dalam pembelajaran. Penerapan MBL sangat sesuai untuk menghadapi tantangan Indonesia dalam Abad ke 21 dan menyiapkan lingkungan belajar untuk tercapainya kompetensi abad 21 karena tantangan pengembangan kompetensi guru abad 21 terkait dengan teknologi, pedagogi, dan isi pembelajaran yang dibelajarkan atau Technological, Pedagogical, and Content Knowledge (TPACK). D. Kesimpulan Interaksi energetik guru dan siswa di sekolah harus dilandasi hubungan yang baik terlebih dahulu antara guru dan siswa artinya siswa merasa guru adalah orangtua dan temannya yang dapat diajak berinteraksi tanpa rasa takut tetapi tetap menghormati. Interaksi tanpa rasa takut tetapi tetap menghormati diperlukan karena sesuai dengan salah satu keterampilan pembelajaran abad 21 yaitu kolaborasi. Kolaborasi yang baik menyebabkan pembelajaran menjadi menyenangkan sehingga pembelajaran menjadi efektif. Pembelajaran yang efektif akan mencapai tujuan pembelajaran dari guru dan sekolah. Keterbatasan penelitian ini yaitu hanya meneliti interaksi energetik guru dan siswa belum menyentuh interaksi menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi guru dan siswa. Pembahasan berikutnya dapat dilakukan dengan melibatkan media pembelajaran berbasis teknologi informasi komunikasi. E. Referensi Ahonen, A. K., & Kinnunen, P. (2015). How Do Students Value the Importance of Twenty-first Century Skills? Scandinavian Journal of Educational Research, 59(4), 395–412. https://doi.org/10.1 Arends, R. I. And Kilcher, A. (2010). Teaching for Student Learning: Becoming an Accomplished Teacher. Newyork: Routledge Chalkiadaki, A. (2018). A Systematic Literature Review of 21st Century Skills and Competencies in Primary Education. International Journal of Instruction, 11(3), 1-16. https://doi.org/10.12973/iji.2018.1131a Chaeruman. (2018). Pembelajaran Abad 21. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pembelajaran Abad 21, tanggal 27 April 2018. Sawangan: Pusdiklat Kemdikbud Damsar. (2015). Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana Darmadi, H. (2014). Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial: Teori Konsep Dasar dan Implementasi. Bandung: Alfabeta Diane, B., Clark, L. (_____).The 21st Century Classroom: Creating a Culture of Innovation in ICT. International Conference ICT Language Learning 7th Edition Gardner, H. (2008). Five minds for the future [Oral presentation]. International School of Geneva, The Ecolint Meeting in Geneva: Schools Facing the Challenges of the Contemporary World [Conference] . Published in The international school of Geneva conference report (pp. 20–40). Genéve: International Labour Office. https://howardgardner.com/papers/ Ibrahim, Muslimin. (2012). Modul Hakikat Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: UT O’neil, W. F. (1981). Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies. California: Goodyear Publishing Company. Alih bahasa: Omi Intan Naomi. (2008). IdeologiIdeologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Masruhani, S. N. (2016). Pola Interaksi Guru Dan Siswa Pada Pendidikan Islam Klasik. QATHRUNÂ, 3(02), 143-160. http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/qathruna/article/download/24/25 Sari, M. (2016). Blended learning, model pembelajaran abad ke-21 di perguruan tinggi. Ta'dib, 17(2), 126136. http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/takdib/article/view/267 Sukmana, A. (2018). Mengembangkan Pembelajaran Abad ke-21 di Unpar. Majalah Parahyangan 5(1). 1415. http://unpar.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/MP-Edisi-2018-Kuartal-I-Bagian-1.pdf Suyanto dan Jihad, A. (2013). Menjadi Guru Profesional: Strategi meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global Setyosari, P. (2015). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Prenadamedia Group Shalberg, P. (2011). Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?. Newyork: Teachers College Press. Alih bahasa: Ahmad Muchlis. Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia. (2014). Bandung: Penerbit Kaifa Triyono, M. Bruri. 2017. Tantangan Revolusi Industri 4.0 (i4.0) bagi Pendidikan Vokasi. Makalah Seminar Nasional Vokasi dan Teknologi (SEMNASVOKTEK), Denpasar Bali, 28 Oktober 2017 Tedjoworo, H. (2018). Pembelajaran Kultural: Berfilsafat dan Berteologi “Dari Bawah.” Majalah Parahyangan 5(1). 8-11. http://unpar.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/MP-Edisi-2018-Kuartal-IBagian-1.pdf Zubaedi. (2009). Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarata: Pustaka Pelajar Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan Yang Diajarkan Melalui Pembelajaran. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan dengan tema “Isu-isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21, tanggal 10 Desember 2016 di Program Studi Pendidikan Biologi STKIP Persada Khatulistiwa Sintang – Kalimantan Barat