12 JATENG POS, 13 Rabu, 11 April 2018 Halal Haram dalam Islam (44) Suamiku Pe-CINTA (2) P Main-main dalam thalaq ROFESI orang Islam satu dengan orang Islam yang lain itu boleh saja berbeda. Dengan adanya perbedaan itu akan ada kebutuhan saling melengkapi, saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa untuk menetapi kesabaran. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) thalaq, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengatahui. [QS. Al-Baqarah : 227] Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [QS. Al-Baqarah : 225] kecuali thalaqnya orang yang tidak normal akalnya”. [HR. Bukhari dalam kitab shahihnya] kan oleh ahli hadits] Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia sekali”. [HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276] Akan tetapi petunjuk untuk menjadi orang yang bertaqwa antara orang Islam satu dan orang Islam yang lain tidaklah berbeda. Petunjuk itu tidak lain hanyalah Al-Qur’an. Sebagaimana firman- Nya di dalam QS. Ali Imran: 138 yang artinya yaitu; (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Merujuk dari Al Qur’an Surat At Tahrim: 6 bahwa seorang suami memiliki tanggung jawab tidak hanya menjaga diri dari api neraka, akan tetapi ia juga harus mampu menjaga keluarganya dari api neraka. Berangkat dari hal ini menunjukkan bahwa hal ini merupakan tugasnya seorang satpam di dalam rumah tangga. Satpam Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu segaja, [QS. Al-Maaidah : 89] Dan bagi Harits bin Abu Usamah dari hadits ‘Ubadah bin Shamit, ia merafa’kannya (hadits itu dari Rasulullah SAW), “Tidak boleh untuk mainmain dalam tiga perkara, yaitu thalaq, nikah dan memerdekakan budak. Dan barangsiapa yang mengucapkannya, maka jadilah”. [Sanadnya dla’if, dalam Bulughul Maram hadits no. 1111] ‘Umar bin Khaththab berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amalamal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya tiap-tiap sesuatu tergantung apa yang diniatkan”. [HR. Jama’ah] Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada thalaq dan tidak ada memerdekakan budak dalam keadaan tidak normal akal”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 264] Dari Qudamah bin Ibrahim, bahwasanya ada seorang laki-laki di jaman ‘Umar bin Khaththab menggantung pada tali untuk mengambil madu lebah, lalu istrinya menghadap kepadanya sambil duduk diatas tali tersebut seraya meminta supaya suaminya menthalaqnya tiga kali (sekaligus) dan jika tidak maka tali itu akan ia potong. Kemudian suaminya mengingatkannya supaya ia ingat kepada Allah dan Islam, tetapi perempuan itu tetap menolak, lalu laki-laki itu menthalaqnya tiga kali (sekaligus). Kemudian orang laki-laki itu pergi menemui ‘Umar menyampaikan hal itu kepadanya. Maka ‘Umar berkata, “Kembalilah kepada istrimu, karena yang begini ini bukan thalaq”. [HR. Sa’d bin Manshur dan Abu ‘Ubaid Al-Qashim bin Salam, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 265] Dan ‘Utsman berkata, “Tidak ada thalaq bagi orang yang majnun (gila) dan orang yang sedang mabuk”. [HR. Bukhari] Dari Abu Dzarr, ia merafa’kannya, “Barangsiapa menthalaq dengan main-main, maka thalaqnya itu jadi, dan barangsiapa memerdekakan budak dengan main-main, maka kemerdekaan itu jadi, dan barangsiapa menikah dengan main-main, maka nikahnya itu jadi”. [HR. Abdur Razzaq, munqathi’ (terputus), dalam Nailul Authar juz 6, hal. 264] Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak mencela kepada Tsabit tentang agama dan akhlaqnya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam, aku tidak kuat menahan rasa benci kepadanya”. Lalu Nabi SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya ?” Ia menjawab, “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh Tsabit agar mengambil kembali kebunnya dari Jamilah, dan tidak minta tambahan”. HR. Ibnu Majah] Keterangan : 1. Dari dalil-dalil diatas menunjukkan bahwa thalaq yang sah adalah thalaq yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dan thalaq yang dilakukan dengan main-main atau diwaktu tidak sadar atau tidak normal akalnya atau dipaksa, adalah tidak sah. 2. Adapun maksud hadits yang menyatakan “Ada tiga perkara, sungguh-sungguh jadi sungguhan, dan main-main jadi sungguhan ...” maksudnya adalah, “Thalaq, nikah, dan memerdekakan budak maupun ruju’ adalah merupakan urusan yang besar, maka tidak boleh orang main-main dengan ketiga hal tersebut. Maka apabila akan melakukan ketiga perkara tersebut hendaklah melakukannya dengan serius (sungguh-sungguh). di dalam rumah tangga tidak lain adalah seorang suami di dalam rumah tangga tersebut. Sudah barang tentu bahwa masing-masing Satpam yang baik menurut kacamata Allah, pastilah ia juga mendambakan kehidupan yang baik di mata Allah, baik di dalam lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Siapapun orangnya jika ia hendak bepergian menuju suatu tempat pastilah ia membutuhkan sebuah petunjuk untuk bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat, begitu juga seorang satpam (suami) membutuhkan petunjuk (Al Qur’an) untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah. Untuk mencapainya itu, seorang satpam (suami) yang CERDAS harus memahami dan mengamalkan beberapa point untuk menjadi seorang satpam (suami) yang CERDAS, baik di dunia dan di akhirat, diantaranya yaitu; Menjaga dan menegakkan akidah Menjaga dan menegakkan akidah di dalam diri, keluarga hingga merambah kepada masyarakat itu merupakan salah satu tanggung jawab seorang suami (satpam). Dikarenakan akidah di dalam Islam itu merupakan suatu hal yang sangat urgent. Bagi seorang muslim akidah adalah harta yang tak ternilai harganya, ia adalah pangkal dari seluruh keluhuran dan kebajikan. Tanpa akidah Islam (iman), seorang manusia laksana bangkai hidup yang tak memiliki nilai dan harga sedikitpun dimata Allah. Atas dasar itulah, Allah dan Rasul-Nya mewajibkan seorang muslim untuk menjaga akidahnya dengan sungguh-sungguh. Disamping itu akidah adalah sebuah benteng diri supaya tidak melenceng dari aturan dienullah. Untuk itu sebagai seorang suami harus mampu menjadi seorang Satpam, yakni ia harus mampu memberikan teladan bagi putra- putrinya, istri, keluarga dan masyarakat supaya tetap kokoh akidahnya, sebagaimana yang telah dikerjakan oleh nabi Ya’qub kepada anak- anaknya. Allah mengabadikan kisahnya di dalam QS. Al Baqarah/ 2: 133 yaitu; Adakah kamu hadir ketika Ya´qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. Al Baqarah/ 2: 133). SAMBUNGAN DARI HAL 12 Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya istri Tsabit bin Qais menebus dirinya dari suaminya, kemudian Nabi SAW menyuruhnya supaya ber’iddah sekali haidl. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits hasan gharib, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277] Tentang Khulu’ Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga perkara, sungguh-sungguh jadi sungguhan dan main-main jadi sungguhan. Yaitu nikah, thalaq dan ruju’ ”. [HR. Khamsah kecuali Nasai, dan Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan gharib] Ibnu ‘Abbas berkata, “Thalaqnya orang yang mabuk dan orang yang dipaksa itu tidak sah”. Dan Ibnu ‘Abbas berkata tentang orang yang dipaksa oleh orang-orang jahat (untuk menthalaq istrinya) lalu ia pun menthalaqnya, maka hal itu tidak apa-apa (tidak jatuh thalaqnya). [HR. Bukhari, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 265] Ali RA berkata : Setiap thalaq dipandang jatuh Khulu’ menurut bahasa ialah melepas. Adapun khulu’ menurut istilah syara’ ialah seorang istri meminta kepada suami supaya dirinya diceraikan dengan memberikan suatu tebusan (‘iwadl), misalnya mengembalikan mahar yang dulu diberikan y oleh suaminya. .... jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. [QS. Al-Baqarah : 229] Dari Fudlalah bin ‘Ubaid, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga perkara yang tidak boleh dibuat permainan, yaitu thalaq, nikah dan memerdekakan budak”. [HR. Thabrani, dla’if karena di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah yang dilemah- Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas memukul tangan istrinya yang bernama Jamilah binti ‘Abdullah bin Ubaiy sehingga patah, kemudian saudaranya datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukannya, lalu Rasulullah SAW mengutus (seseorang) kepada Tsabit, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ambillah kembali apa yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”. Tsabit menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar menunggu satu kali haidl dan pulang kepada keluarganya”. [HR. Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277] BERSAMBUNG KE HAL 13 Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwasanya ia pernah menebus dirinya (khulu’) di masa Rasulullah SAW, kemudian Nabi SAW menyuruhnya atau dia disuruh agar ber’iddah sekali haidl. [HR. Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits Rubayyi’ ini sah, bahwa ia disuruh oleh Nabi SAW agar ber’iddah dengan sekali haidl, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277] Dari Abu Zubair bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri anak perempuan dari ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan mahar kepada istrinya berupa sebuah kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya (kepada si istri), “Maukah kamu mengembalikan kebun pemberian suamimu itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya tambah”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Adapun tambahan itu tidak usah, cukup kebunnya saja”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi SAW mengambil kebun itu untuk diberikan kepada Tsabit dan beliau menceraikannya. Kemudian setelah hal itu sampai kepada Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima putusan Rasulullah SAW”. [HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]. Bersambung......... Keluarga adalah benteng pertahanan yang bisa dihandalkan untuk melindungi akidah generasi muslim. Pasalnya, keluarga adalah tempat pertama kalinya bagi seorang anak bersinggungan dengan knowledge (pengetahuan), habitual (kebiasaan) dan attitude (sikap perilaku) tertentu yang kelak sangat menentukan cara pandang, kebiasaan dan sikap perilakunya di tengah-tengah masyarakat. Peran seorang suami yang bertugas sebagai Satpam bagi diri dan keluarganya dalam menjaga akidah generasi, diantaranya yaitu: 1). Menjadikan rumah sebagai surganya keluarga yaitu tempat dan sarana untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian Islami pada diri anak beserta dengan seisi rumah, 2). Menyelenggarakan kelompok keluarga, kelompok tersebut bisa berisi simakan ketika membaca AlQuran, memberikan bimbingan belajar kepada anak-anak, baik ilmu agama Allah dan juga ilmu-ilmu pengetahuan di bangku sekolah atau dunia kerja. Dengan menyelenggarakan kelompok keluarga maka akan terjalin ASI: Aktif Komunikasi dan Aktif Interaksi. Apalah artinya sebuah keluarga jika di dalamnya tidak ada keaktifan dalam komunikasi dan interaksi. Dengan demikian anak akan mampu membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh buruk yang ada di sekitarnya, 3). Melakukan edukasi dini yang ditujukan untuk menanamkan dan memahamkan pokokpokok akidah dan hukum-hukum syariah Islam pada diri seorang anak agar ia memahami pentingnya terikat dengan akidah dan hukum-hukum syariah Islam dalam seluruh amal perbuatannya untuk membangun militansi anak sehingga anak berani mengerjakan amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakatnya serta mengubah semua hal yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam, 4). Membangun relasi Islami di antara anggota keluarga dan lingkungan sekitar dengan cara menerapkan syariah Islam. Sholih Seorang suami yang shalih berarti ia mampu menjadi teladan di dalam menjalankan perintah2 Allah dan menjauhi larangan2 Allah (taqwa). Seorang yang bertaqwa ialah seorang yang paling mulia disisi Allah, sebagaimana di dalam QS. Al Hujurat/ 49: 13 Allah menegaskan; Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al Hujurat/ 49: 13). Taqwa merupakan satu2nya bekal menuju akhirat, bukan yang lain. Allah SWT berfirman melalui Q. S Al Baqarah/ 2: 197 yang artinya: .... Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada- Ku hai orang-orang yang berakal. Ketaqwaan merupakan satu- satunya jalan menuju keselamatan serta kebersamaan dengan bimbingan Dien, dikarenakan orang bertaqwa dengan bimbingan dien adalah orang- orang yang selalu mendahulukan kepentingan akhirat daripada dunia sehingga ia akan mendapatkan dunia juga mendapatkan akhirat (QS. Asy Syura/ 42: 20). Dari firman Allah SWT tersebut, seorang suami harus mampu memperbaiki dan merubah kebiasaan- kebiasaan di dalam keluarganya yaitu yang mengutamakan kepentingan2 dunia dirubah menjadi mengutamakan kepentingan2 akhirat. Dikarenakan kesenangan di dunia ini hanya sebentar, dan akhirat lebih baik bagi orang- orang yang bertaqwa dan kita tidak dianiaya sedikitpun (Q. S An Nisaa/ 4: 77). Alangkah beruntungnya seorang suami bersama2 dengan keluarganya jika bisa mengutamakan kepentingan akhirat sehingga mereka akan menuai kebaikan tersebut walau kebaikan tersebut hanya sebesar biji zarah/ sawi. FirmanNya di dalam Q. S Al Zalzalah/ 99: 7 “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya”. Firman Allah yang lain, diantaranya di dalam Q. S Al Anbiyaa/ 21: 47 yang artinya: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. Dengan ketaqwaan pula Allah akan selalu memberikan jalan keluar, rejeki dan kemudahan2. Yang mana Allah memberikan ketegasan reward bagi orang2 yang bertaqwa di dalam QS. At Thalaq/ 65: 2 – 4 yang artinya; …. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (2). Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (3). …. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (4). Bersambung ....