ISLAM DAN KEHIDUPAN UMMAT Pendahuluan Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Artinya manusia tidak dapat hidup dan berkembang dengan baik tanpa bantuan orang lain. Hubungan manusia dengan sesama manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup yang kompleks, yaitu kebutuhan bersifat fisik dan psikis. Substansi hubungan manusia itu pada pokoknya adalah saling memenuhi kebutuhan masing- masing. Ini pertanda bahwa manusia diberikan batasan-batasan tentang perbuatan yang baik untuk keharmonisan interaksi. Agama merupakan risalah yang disampaikan Tuhan kepada para nabi-Nya untuk memberi peringatan kepada manusia. Memberi petunjuk sebagai hukumhukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata hidup yang nyata. Mengatur tanggung jawab kepada Allah, kepada masyarakat dan alam sekitarnya. Oleh karena itu, kewajiban semua orang untuk menyadarkan bahwa agama merupakan kebutuhan umat manusia. Untuk membahas hal tersebut yang menjadi pokok masalah dalam tulisan ini adalah untuk menjawab “mengapa manusia membutuhkan agama”, dengan sub pokok bahasan : Pengertian agama dan agama Islam, Agama- agama Samawi dan Islam, Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan, dan Latar belakang perlunya manusia beragama. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pemikiran Islam Klasik dapat maju dan berkembang di dunia Islam dan kemudian mengalami kemunduran dan stagnan, bahkan hingga kini sangat sulit dibangkitkan? 2. Bagaimanakah pemikiran Islam klasik dilihat dari sudut pandang teologis normatif, historis, sosiologis, filosofis, dan nalar kritis? 3. Apakah perlu adanya islamisasi ilmu, jika perlu bagaimana arah dan metodologinya? 4. Bagaimana perbandingkan konsep dekonstruksi radikal filosofis tradisi menurut Muhammad Syahrur dan dekonstruksi radikal filosofis sains modern menurut S.H. Nasr. Mengapa kedua hal ini penting dilakukan? 5. Bagaimana tawaran Filsafat Scholastik Islam terhadap pengembangan model epistemologi Islam di UIN Ar-Raniry, dan adakah alternatif gagasan yang berbeda ? 1.3. Tujuan Penilitian ini bertujuan untuk meneliti: 1. Mengetahui pemikiran Islam Klasik yang pernah maju dan berkembang di dunia Islam mengalami kemunduran dan stagnan, bahkan hingga kini sangat sulit dibangkitkan. 2. Mengetahui makna agama bagi tujuan hidup dan kemanusiaan jika dilihat dari sudut pandang teologis normatif, historis, sosiologis, filosofis, dan nalar kritis. 3. Mengetahui keperluan islamisasi ilmu, jika perlu bagaimana arah dan metodologinya. 4. Mengetahui perbandingkan konsep dekonstruksi radikal filosofis tradisi menurut Muhammad Syahrur dan dekonstruksi radikal filosofis sains modern menurut S.H. Nasr. Mengapa kedua hal ini penting dilakukan. 5. Mengetahui filsafat Scholastik Islam penting terhadap pengembangan model epistemologi Islam UIN Ar-Raniry. Beberapa alasan sulitnya mengartikan kata agama, sebagaimana yang ditulis oleh A. Mukti Ali dalam buku Universalitas dan Pembangunan yang dikutip oleh Abuddin Nata bahwa pertama, pengalaman agama adalah soal batini, subjektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, orang begitu bersemangat dan emosional dalam membicarakan agama, karena itu setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama sulit untuk didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut. (Nata : 2011 : 8) Senada dengan itu sukarnya mencari kata- kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama, sebagaimana ditulis oleh Abuddin Nata yang mengutip tulisan Zakiah Daradjat bahwa karena pengalaman agama yang subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Di samping itu, tampak bahwa pada umumnya orang lebih condong kepada mengaku beragama, kendatipun ia tidak menjalankannya. (Nata : 9) Beberapa pendapat di atas perlu dikemukakan dengan tujuan agar dipahami begitu beragamnya dan bahkan terdapat perbedaan antara seorang ahli jika dibandingkan dengan pendapat ahli yang lainnya. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, agama berarti segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dsb) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban- kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. (Poerwadarminta : 1982: 18) Agama dari sudut bahasa (etimologi) berarti peraturan- peraturan tradisional, ajaran- ajaran, kumpulan- kumpulan hukum yang turun temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan. Agama asalnya terdiri dari dua suku kata, yaitu a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama mempunyai arti tidak kacau. Arti ini dapat dipahami dengan melihat hasil yang diberikan oleh peraturan- peraturan agama kepada moral atau materiil pemeluknya, seperti yang diakui oleh orang yang mempunyai pengetahuan, (Abdullah : 2004 : 2) Dalam bahasa Arab, agama berasal dari kata ad-din, dalam bahasa Latin dari kata religi, dan dalam bahasa Inggeris dari kata religion. Religion dalam bahasa inggeris (dinun) dalam bahasa Arab memiliki arti sebagai berikut: a. Organisasi masyarakat yang menyusun pelaksanaan segolongan manusia yang periodik, pelaksanaan ibadah, memiliki kepercayaan, yaitu kesempurnaan zat yang mutlak, mempercayai hubungan manusia dengan kekuatan rohani yang leibih mulia dari pada ia sendiri. Rohani itu terdapat pada seluruh alam ini, baik dipandang esa, yaitu Tuhan atau dipandang berbilang- bilang. b. Keadaan tertentu pada seseorang, terdiri dari perasaan halus dan kepercayaan, termasuk pekerjaan biasa yang digantungkan dengan Allah SWT. c. Penghormatan dengan khusuk terhadap sesuatu perundangundangan atau adat istiadat dan perasaan. (Abdullah : 3) Agama semakna juga dengan kata ad-din (bahasa Arab) yang berarti cara, adat kebiasaan, peraturan, undang- undang, taat dan patuh, mengesakan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat dan nasihat.( Ali : 2007 : 25). Pengertian ini sejalan dengan kandungan agama yang di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi panganut agama yang bersangkutan. Selanjutnya agama juga menguasai diri seseorang dan membuat dia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran- ajaran agama. Agama lebih lanjut membawa utang yang harus dibayar oleh penganutnya. Paham kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan. Orang yang menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan mendapat balasan yang baik dari Tuhan, Sedangkan orang yang tidak menjalankankewajiban dan ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat balasan yang menyedihkan. Adapun kata religi berasal dari bahasa Latin yaitu berasal dari kata relegere yang mengandung arti yang mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara- cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Ada yang berpendapat kata itu berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran- ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan antara roh manusia dengan Tuhan, dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan (Nata : 10). Beberapa pendapat tentang definisi agama yang durumuskan oleh para ahli dapat dikemukakan dalam buku Islam suatu Kajian Komprehensif yang dikarang oleh Muhammad Yusuf Musa dan dikutip oleh M. Yatimin Abdullah sebagai berikut. (Abdullah : 5) Durkheim dalam bukunya Gambaran Pertama Bagi Penghidupan Keagamaan menegaskan bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal dan pikiran manusia sendiri. Tegasnya agama adalah suatu bagian dari pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan biasa dan tidak dapat diperoleh dengan pikiran saja. Brunetiere berpendapat bahwa agama sebagai sesuatu yang lain dari biasa. Sedangkan Asysyahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An- Nihal berpendapat bahwa agama adalah ketaatan dan kepatuhan yang terkadang bisa diartikan sebagai pembalasan dan perhitungan ( amal perbuatan di akhirat). Menurut Ath- Thanwi dalam buku Kasyaf Isthilahat Al- Funun disebutkan bahwa agama adalah intisari Tuhan yang mengarahkan orang-orang berakal dengan kemauan mereka sendiri untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Agama bisa digunakan untuk menyebut agama semua nabi dan khusus untuk Islam saja. Agama dihubungkan dengan Allah karena ia merupakan sumbernya, dihubungkan kepada para nabi karena mereka sebagai perantara kemunculannya, dihubungkan kepada umat karena mereka memeluk dan mematuhinya. Harun Nasution dalam bukunya Islam ditinjau dari berbagai aspeknya yang dikutip oleh Abuddin Nata memberikan definisi agama sebagai berikut 1). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus di dipatuhi; 2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia; 3). Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mangandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; 4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; 5). Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib; 6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban- kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib; 7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius nyang terdapat dalam alam sekitar manusia; 8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.(Nata : 14) Dari beberapa definisi tersebut di atas, ada empat unsur yang menjadi karakteristik agama sebagai beirkut (Nata : 15) : Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk yang bermacam- macam. Dalam agama primitif kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk benda- benda yang memiliki kekuatan misterius ( sakti ), ruh atau jiwa yang terdapat pada benda- benda yang memiliki kekuatan misterius; dewa-dewa dan Tuhan atau allah dalam istilah yang lebih khusus dalam agama Islam. Kepercayaan pada adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham keagamaan. Tiaptiap agama kecuali Budhisme yang asli dan beberapa agama lain berdasar atas kepercayaan pada sesuatu kekuatan gaib dan cara hidup tiap- tiap manusia yang percaya pada agama di dunia ini amat rapat hubungannya dengan kepercayaan tersebut. Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungan baik ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingat-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia. respon tersebut dapat mengambil bentuk rasa takut, seperti yang terdapat pada agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat pada agama- agama monoteisme. Selanjutnya respon tersebut dapat pula mengambil bentuk penyembahan seperti yang terdapat pada agama-agama monoteisme dan pada akhirnya respon tersebut mengambil bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat ang bersangkutan. Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran- ajaran agama yang bersangkutan, tempat- tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara, dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa ada lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama, aspek asal usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardhi atau agama kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci. Kata Islam berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti agama Allah yang disyariatkan-Nya, sejak nabi Adam a.s hingga nabi Muhammad SAW, kepada umat manusia. Dasar- dasar agama Islam pada setiap zaman dan bagi setiap umat, tidak berubah, yaitu tetap mengajarkan agar umat manusia mengimani kepada Allah Yang Esa, kepada para Rasul-Nya dan sebagainya. Yang berubah hanyalah hal- hal yang berhubungan dengan syariatnya semata- mata. Syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad akan kekal, sampai hari Kiamat, karena telah sesuai dengan perkembangan waktu (li kulli zaman) dan perkembangan tempat ( li kulli makan). (Shaodiq : 1988 : 142) Kata Islam berasal dari kata “salam “ yang artinya selamat, aman sentosa, sejahtera, yaitu aturan hidup yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat. kata salam terdapat dalam al-Qur’an surat al- An’am ayat 54; surat al- A’raf ayat 46; dan surat an- Nahl ayat 32. Kata Islam juga berasal dari kata “ aslama’ yang artinya menyerah atau masuk Islam, yaitu agama yang mengajarkan penyerahan diri kepada Allah, tunduk dan taat kepada hukum Allah tanpa tawar menawar. Kata aslama terdapat dalam al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 112; surat Ali Imran ayat 20 dan 83; surat an- Nisa’ ayat 125; dan surat al-An’am ayat 14. Kata Islam juga berasal dari kata “silmun” yang artinya keselamatan atau perdamaian, yakni agama yang mengajarkan hidup yang damai dan selamat. Kata silmun terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 128; dan surat Muhammad ayat 35. Kata islam berasal dari kata “sulamun’ yang artinya tangga, kesadaran, yaitu peraturan yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan yang dapat mengantarkan orang kepada kehidupan yang bahagia. (Abdullah : 6) Maulana Muhammad Ali dalam mendefinisikan Islam mengambil firman Allah surat al- Baqarah ayat 208 yang berarti: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkahlangkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dari pengertian ini, kata Islam dekat artinya dengan kata agama yang berarti menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Senada dengan itu Nurcholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam. Pendapat para ulama dan cendikiawan muslim antara lain sebagai berikut (Abdullah : 7) Menurut Syaikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa agama yang ajarannya diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. dan menegaskan untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh umat manusia dan mengajak mereka untuk memeluknya. Sedangkan menurut Sidang Muktamar Islam merumuskan bahwa Islam adalah agama wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa agama Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Agama yang diturunkan tersebut dalam sunnah sahihah, berupa perintahperintah dan larangan- larangan serta petunjuk kebaikan manusia. M. Natsir berpendapat bahwa agama Islam adalah agama kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor- faktor sebagai berikut: percaya adanya Tuhan, wahyu, hubungan antara Allah dengan manusia, roh manusia tidak berakhir, dan percaya bahwa keridhaan Allah adalah tujuan hidup. Menurut A. Mukti Ali, mengatakan bahwa agama Islam adalah agama kepercayaan adanya Allah dan hukum yang diwahyukan kepada utusan- utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia. Sedangkan Endang Saefuddin Anshari, berpendapat bahwa agama Islam adalah agama yang berupa wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya untuk disampailkan kepada umat manusia sepanjang masa. Dapat disimpulkan bahwa pengertian agama Islam adalah suatu sistem keyakinan, penyembahan dan aturan- aturan Allah yang mengatur segala kehidupan manusia dalam berbagai hubungan; baik hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam. Agama-agama Samawi dan Islam. Islam adalah satu-satunya agama Samawi.(Anshari : 1986 : 67-69) Sedangkan agama Nasrani dan agama Yahudi dalam bentuknya yang sekarang tidak dapat lagi disebut sebagai agama murni Samawi; paling- paling dapat disebut sebagai agama semi- Samawi atau agama semu- Samawi, karena kedua kitab suci kedua agama tersebut dalam bentuknya yang sekarang ini sudah sangat banyak diinterpolasi dengan pikiran- pikiran manusia. Bagaimana halnya dengan agama Nasrani dan agama Yahudi dalam bentuknya yang asli tentu saja adalah agama murni-Samawi. Dan oleh karena itu, kedua agama tersebut dalam bentuknya yang murni menurut pandangan al-Qur’an adalah Islam. Bahkan menurut al- Qur’an, agama yang dianut oleh semua nabi- nabi Allah SWT itu seluruhnya adalah agama Islam. Dalam al-Qur’an antara lain dijelaskan oleh Allah SWT yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 136: “ Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya". Terdapat juga dalam surat Yunus ayat 72: Nabi Nuh a,s, berkata” Aku disuruh supaya Aku termasuk golongan Muslimin yaitu orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)". Di dalam surat al-Baqarah ayat 130-131 tercatat mengenai Nabi Ibrahim a.s. sebagai beirkut;“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Dikisahkan juga dalam surat Yusuf ayat 101 bahwa: “ Nabi Yusuf berkata kepada Rabb-nya (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh. Dalam surat Yunus ayat 84, Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." Al-Qur’an mencatat dalam surat Ali- Imran ayat 52, tentang nabi Isa a.s. “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolongpenolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimun).” Selanjutnya Allah SWT mengutus seorang rasul-Nya, penutup para rasul Allah yang terdahulu itu. Firman Allah dalam surat an- Nisa’ ayat 163-165, bahwa: “ Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dari rangkaian ayat- ayat tersebut, maka jelaslah bahwa menurut al- Qur’an, Islam adalah satu-satunya agama murni Samawi, sepanjang masa dan tempat. 2. Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan Pada zaman yang semakin sekuler ini, agama memainkan peran penting terhadap kehidupan berjuta- juta manusia. (Keene : 2006 : 6) Penyelidikanpenyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70 prosen penduduk dunia menunjukkan bahwa mereka menganut salah satu agama. Diseluruh Eropa Timur, misalnya, semakin banyak orang mengikuti ibadat di Sinagoga, Mesjid, Kuil, dan Gereja. Dibanyak tempat di dunia, imam, rabi dan pendeta bekerja bersama- sama untuk menciptakan dunia yang semakin baik dan damai. Sementara itu, perbedaanperbedaan agama juga sering menjadi pusat ketidaktenangan internasional dan ketidak ketenteraman penduduk, seperti yang terjadi pada bekas negara Yugoslavia, Timur tengah dan Irlandia Utara. Agama mengambil bagian pada saat- saat yang paling penting dan pada pengalaman- pengalaman hidup. Agama merayakan kelahiran, menandai pergantian jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan serta kehidupan berkeluarga, dan melapangkan jalan dari kehidupan kini menuju kehidupan yang akan datang. Agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan- pertanyaan- pertanyaan yang membingungkan, seperti bagaimana kehidupan dimulai, mengapa orang menderita, apa yang terjadi terhadap manusia jika sudah mati. Mengingat semuanya ini kiranya tidak mengherankan jika agama memberikan banyak inspirasi terhadap karya- karya terbesar dunia ini seperti dalam seni, musik dan literatur. (Keene : 7) Islam datang ketika latar sosial masyarakat Arab dipenuhi kegelapan. Budaya mereka jahiliyah, adat kebiasaannya dipenuhi angkara murka. Mereka suka poligami tanpa batas, mengubur hidup- hidup anak perempuan, melegalkan perbudakan, melakukan ihdad berlebihan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, tidak memberi harta warisan kepada kaum perempuan, dan masih banyak lagi yang lain. Inti agama yang tertuang dalam lembaran teks wahyu tidak lain bertujuan membebaskan dari keterjeratan budaya jahiliyah tersebut. Karenanya, ketentuan syari’at dalam Islam sangat menjunjung moralitas dan nilai- nilai kemanusiaan. (Yasid : 2007 : 99) Prinsip- prinsip dalam agama adalah penghilangan kesempitan dan menimalisasi taklif yang menyiratkan adanya keterkaitan ajaran agama dengan kemaslahatan hamba sepanjang sejarahnya. Tak hanya itu kenyataan seperti itu juga mengindikasikan bahwa hukum Tuhan dalam pengertiannya yang substantif bukanlah postulat- postulat teks yang sangat transenden. Sebaliknya, hukum Tuhan merupakan rangkaian panjang proses pemaknaan teks itu sendiri melalui mekanisme aktualisasinya sesuai konteks kemaslahatan umat. Dengan kata lain, rumusan hukum Tuhan bukanlah bentuk jadi dari wahyu verbal yang masih bersifat umum dan sangat transenden. Sebaliknya, hukum Tuhan merupakan akumulasi dari rangkaian pemaknaan teks secara kreatif dan dinamis untuk merespons aneka persoalan sesuai konteks masalah. Karena itu, dalam tataran praksisnya hukum Tuhan mengalami proses evolusi dari yang transendental dan global menjadi diktum- diktum hukum operasional yang amat teknis mengatur beragam persoalan kemanusiaan sesuai konteks sosio- historis masing- masing komunitas hukum. (Yasid : 174) Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan manusia sebagai pedoman, aturan dan undang- undang Tuhan yang harus di taati dan mesti dijalankan dalam kehidupan. Agama sebagai way of life, sebagai pedoman hidup yang harus diberlakukan dalam segala segi kehidupan. Orang yang beragama dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, menguasai nafsunya sesuai dengan ajaran agama. Orang yang beragama cendrung berbuat baik sebanyak- banyaknya, dengan hartanya, tenaganya dan pikirannya. Dan dia akan berusaha sehabis daya upayanya untuk menghindarkan dirinya dari segala perbuatan yang keji dan munkar. Selain itu agama merupakan unsur mutlak dalam pembinaan karakter pribadi dan membangun kehidupan sosial yang rukun dan damai. (Rousydiy : 1986 90-92) Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa masayarakt adalah kumpulan dari individu- individu. Masyarakat akan baik, manakala terdiri dari pribadi- pribadi yang baik. Pribadi yang baik hanya dapat dibina melalui ajaran agama. Oleh sebab itu orang yang beragama, walau tidak ada orang yang tahu, ia tetap berbuat baik dan menjaga diri dari yang dilarang Tuhan, karena ia yakin bahwa ia tetap diawasi Tuhan. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama sangat berfungsi dam memiliki kedudukan yang strategis dalam menata kehidupan manusia untuk mendapatkan kesemalatan dirinya dan kemaslahatan bagi orang lain. 3. Latar belakang perlunya manusia beragama Sekurang- kurangnya ada tiga alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama. Ketiga alasan (Nata : 20) tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut yaitu: Pertama, fitrah manusia. Dalam konteks hal ini di antara ayat al-Qur’an dalam surat ar- Rum ayat 30 bahwa ada potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia. Dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibanding dengan makhluk lainnya sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Lebih jauh Musa Asy’ari dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an yang dikutip oleh Nata bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup yang kemudian mati. Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki oleh manusia itu dapat dijumpai dalam ayat 172 surat al- A’raf bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama). Bukti historis dan atropologis bahwa pada manusia primitif yang padanya tidak pernah datang in formasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. mereka misalnya, mempertuhankan pada bendabenda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan.kepercayaan yang demikian selanjutnya disebut dengan dinamisme. Beberapa hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama pada manusia. Sebagian mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut dan sebagai akibatnya terlintaslah agama dalam kehidupan manusia. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk dari kebodohan. Hal ini sesuai dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sesuatu yang terjadi di alam ini. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah pendambaannya kepada keadilan dan keteraturan, ketika manusia menyaksikan banyaknya kezaliman dan ketidak adilan dalam masyarakat dan alam. Agama mengambil bagian pada saatsaat yang paling penting dan pada pengalaman hidup. Agama mengesahkan perkawinan, agama berada dalam kehidupan pada saat- saat yang khusus maupun pada saat- saat yang paling mengerikan. (Keene : 6) “Dengan demikian manusia sepanjang masa senantiasa beragama, karena manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah beragama yang oleh C.G.Jung disebut naturaliter religiosa (bakat beragama).”(Arifin : 1998 : 8) Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini perlu pembinaan, pengarahan, pengembangan dengan cara mengenalkan agama kepada setiap manusia Kedua, kelemahan dan kekurangan manusia. Menrut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat al-Syams ayat 7-8, bahwa “ Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kafasikan dan ketaqwaan”. Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk. Di sini berbeda dengan terminologi kaum Sufi bahwa nafs adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan prilaku buruk dan dalam hal ini sama dengan pengertian yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. Lebih jauh Qurash Shihab berpendapat bahwa kendatipun nafs berpotensi positif dan negatif, namun diproleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja dorongan dan daya tarik keburukan lebih kuat dari pada daya tarik kebaikan. Dalam literatur teologi Islam kita jumpai pandangan kaum Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak mendahulukan akal dalam memperkuat argumentasinya dari pada wahyu. Namun demikian, mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Dalam hubungan ini, kaum Mu’tazilh mewajibkan kepada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan akal dapat dilengkapi oleh wahyu dalam ini agama. Dengan demikian secara tidak langsung kaum Mu’tazilah memandang bahwa manusia memerlukan wahyu (agama). Ketiga, tantangan manusia. Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama karena manusia dalam kehidupannya menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari dalam amupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (lihat QS 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya- upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari tuhan. Kita misalkan membaca ayat yang berbunyi “ Sesungguhnya orang- orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi orang dari jalan Allah (QS al-Anfal,36). Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat- obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja.” Pada zaman semakin sekuler ini agama memainkan peranan penting terhadap kehidupan berjuta- juta manusia”.( Keene : 6) Untuk itu upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajarkan mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, sangat meningkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting Islam, sebagai suatu agama besar sudah memberikan kontribusinya dalam membangun sebuah peradaban yang dicatat dan diakui oleh sejarah umat manusia selama ini. Peradaban yang dibangun atas dasar keimanan, keilmuan dan moralitas. Peradaban itu telah memberikan pengaruh luas dalam rentang waktu berabad-abad dan pada kawasan yang sangat luas, menyentuh semua benua yang ada di dunia ini. Sebagaimana diketahui bahwa mulai abad ke-11 sampai ke-13 (khususnya antara tahun 1050-1300 M), umat Islam mencapai masa keemasan, dengan kebangkitan dinamika intelektualitas dalam segala bidang ilmu pengetahuan secara integral dan harmonis. Di sisi lain, pada waktu yang bersamaan dunia Eropa mengalami stagnasi ilmu pengetahuan. Dogma gereja melarang mempelajari dan menganggap filsafat Yunani berbahaya bagi agama Masehi (Kristen). Hal ini merupakan faktor utama terjadinya masa kegelapan di dunia Eropa dan banyak lembaga pendidikan filsafat yang ditutup. Kondisi ini meyebabkan banyak para ilmuawan Eropa yang haus akan ilmu, keluar dari negaranya. Perkenalan mereka dengan dunia Islam, menyebabkan mereka kagum dengan kebijakan pemerintah dan semangat umat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Manuskrip Yunani yang telah ”diselamatkan” dan ditambal oleh Islam, kemudian mereka pelajari. Stimuli inilah yang kemudian memberikan inspirasi bagi pencerahan dan kebangkitan Eropa dari tidur panjangnya. Mereka berupaya mengadopsi ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam, hal ini dilakukan dengan cara mengirim mahasiswa mereka untuk belajar ke dunia Islam, salah satunya adalah Spanyol Islam. Selanjutnya sistem dan ilmu pengetahuan tersebut dikembangkan di sekolah-sekolah dan universitas Eropa seperti Universitas Salermo (spesialisasi kedokteran), Bologna (spesialisasi hukum) di Italia dan Unversitas Paris dan Montpelleir di Perancis dan juga Universitas Cambridge (Samsul Nizar (ed), 2007: 90). Berangkat dari sini, kemudian melahirkan pembaharuan yang mewarnai pemikiran para ilmuwan Eropa, dan konsekwensi ini membuahkan renainssance. Tingginya peradaban yang terbangun pada Muslim Spanyol, secara langsung memberikan andil besar terhadap kemajuan Eropa. Hal ini dikarenakan Muslim Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam bidang politik, sosial maupun perekonomian, serta peradaban antar negara. Transformasi peradaban Islam ke peradaban Barat khususnya dalam ilmu pengetahuan setidaknya terbangun melalui dua saluran utama. Pertama, melalui para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas Spanyol. Kedua,melalui terjemahan karya Muslim dari sumber-sumber berbahasa Arab (Samsul Nizar (ed), 2007: 139). Fakta ril yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa tingginya peradaban intelektual Muslim di Spanyol telah menginspirasi gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Salah satu ilmuan penting tersebut adalah Ibn Rusdy. Melalui pemikirannya bangsa Eropa mampu menemukan pemikiran Aristoteles yang menganjurkan kebebasan berfikir dan melepaskan belenggu taklid dari golongan gerejawan. Sekitar akhir abad ke13M seluruh ilmu pengetahuan dari Islam bisa dikatakan telah selesai ditransmisikan ke Barat. Berangkat dari sini pula gerakangerakan penting lahir di Eropa, seperti Gerakan Renaisance sekitar abad ke-14 M yang diawali di Italia, gerakan reformasi ada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M serta zaman pencerahan (Aufklaerung) pada abad ke-18 M. Periodisasi pemikiran islam klasik (650-1250) Periodisasi pemikiran islam – Periode klasik dapat dibagi ke dalam dua fase, yaitu fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000); dan fase disintegrasi (1000-1250). Fase pertama (650-1000) yaitu zaman dimana wilayah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke India di Timur. Wilayah itu berada dalam teritorial khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dengan pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmuilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh, filsafat, sufisme dan termasuk teologi.[3] Dari periode ini ulama–ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, AlNizam dan Al-Jubai. Fase kedua (1000-1250) adalah persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik politik seringkali melanda sehingga hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.[4] Terjadinya gelombang ekspansi pertama, semenanjung Arab, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal. Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih 90 tahun (661 M – 750 M) dan kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah. Bani Abbasiyah (750 M – 1258 M) diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan pengetahuan.[5] Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.[6] Buku-buku yang diterjemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya, khususnya karya-karya klasik Yunani seperti Plato dan Aristoteles.[7] Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau Helenisme. Elaborasi karya klasik dengan dialektika dogma dan stigma masyarakat, melahirkan karya mutakhir pada zamannya yang bercorak Islam.[8] Pada prinsipnya, motivasi pengembangan sains dan filsafat dalam pemikiran keislaman, yaitu pertama motivasi kultural (ba’its tsaqafi) yakni adanya kebutuhan untuk berdebat dengan orang-orang dari agama lain dan membujuk mereka untuk memeluk Islam, dan kedua karena alasan praktis dalam memperbaiki pola kehidupan. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah menganggap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu.[9] Gairah penggalian terhadap ilmu pengetahuan telah mendorong para ilmuan Islam untuk dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru seperti; di bidang kedokteran (Muhammad Ibn Zakariyyah Ar-Razi: Kitab Al-Judari wal Hashbah: buku tentang cacar dan campak. Abu Ali Al-Husain Ubn Zina: Al-Qahun Fi-ith-Thiha : Pedoman ilmu Kedokteran), Farmasi (Abdullah bin Ahmad Ibn Baytar: Jami’ Fi adwiyat alMufradah: Bahn lengkap tentang ramuan obat sederhana) Astronomi ( Abu Rasyihan al-Biruni: Maqolid Ilm Al- Hay’ah : Kunci ilmu bintang-bintang) Pertanian (Abi Zakariyya Ibn Awwam: Kitab Al Filahah : Biku Ilmu pertanian) Ilmu Hewan (Syaraf Az-Zaman Al Mawazi: Thabay Al Hayawan : Ilmu tentang tabiat binatang. Lahirnya cendekiawan dan ilmuan muslim mencitrakan Islam menjadi referensi peradaban pada masanya.[10] Periodisasi pemikiran islam Pertengahan (1250-1800) Periodisasi pemikiran islam – Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini ‘benih’ perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geografis dunia Islam mengalami perpecahan menjadi nation-state kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.[11] Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masingmasing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khususnya di bidang literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam atau masih sangat rendah.[12] Periode ini biasanya dikenal dengan zaman kebekuan atau kejumudan. Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, statis, tiada perubahan. Keadaan seperti ini melanda umat Islam sejak akhir abad 13 hingga memasuki abad 18 M. Pemikiran rasional yang dulu mendapat tempat yang proporsional digantikan dengan pemikiran tradisional. Adanya pengingkaran terhadap potensi manusia. Kemandekan dan kejumudan pemikiran keagamaan terjadi, banyak mempersepsikan, sebagai akibat polemik akademik antara ulama rasionalis dan ulama tradisionalis, yang tampaknya ‘dimenangkan’ oleh ulama tradisionalis. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (10581111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya Tahafut alFalasifa (Kerancuan atas Para Filosof).[13] Ibnu Rusyd membidas balik kritik Al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim. Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi , filosof pertama yang memadukan keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama yang filosofis karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas berserta filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.[14] Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam.[15] Hasan Hanafi menyatakan, sebagaimana yang dikutip A. Khudori Soleh, bahwa penyebab kejumudan dan kebekuan pemikiran keagamaan adalah (1) Eksklusifisme. Karena adanya pentokohan, bahkan pensakralan individu, sikap tradisionalistik menggiring terbentuknya sikap-sikap eksklusif yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak keberadaan fihak lain. (2) Subjektifisme. Sebagai akibat lanjut dari eksklusifisme, orang-orang kelompok ini menjadi kehilangan sikap objektifitas dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah tidak lagi didasarkan atas persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari dan oleh kelompok mana atau tokoh siapa. (3) Determinisme. Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi diatas, dimana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka menjadi terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah apalagi menolak.[16] Periodisasi pemikiran islam modern (1800-sekarang) Periodisasi pemikiran islam – Periode ini merupakan zaman kebangkitan kembali (reformasi) akibat dari tenggelamnya tradisi intelektual dalam beberapa abad. Kesadaran akan kemajuan di dunia Barat dan penderitaan akan kolonialismenya, menuntut intelektual muslim mengambil dan mengembalikan peradaban Islam yang gemilang di masa silam. Dapat dipastikan bahwa penetrasi dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi dengan Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang, setidaknya menurut Harun Nasution ada empat tahapan, di antaranya adalah:[17] 1) Koneksasi Pertama, yaitu permulaan abad ke-VII meluasnya wilayah Islam mencakup Yordania, Palestina, Suria, Irak dan Mesir yang ketika itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bizantium yang berpusat di Barat. 2) Koneksasi Kedua, yaitu saat berkembangnya pemikiran rasional-ilmiah di kalangan sarjana Muslim yang menghasilkan filsafat dan sains Islam zaman klasik (650-1250 M). 3) Koneksasi Ketiga, yaitu saat terjadi transformasi intelektual Islam dengan Barat yang berakibat pemikiran rasional-ilmiah Islam dibawa ke Barat. 4) Koneksasi Keempat, yaitu saat terjadinya penetrasi dan penjajahan di dunia Islam yang bukan hanya melibatkan kekuasaan politik-meliter, tetapi juga pemikiran baru tentang sains dan teknologi modern. Di kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith), menilai reaksi modernisasi yang dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “apologetis” terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris Kristen dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.[18] Harun Nasution menyatakan secara implisit ide Pembaharuan yang menjadi titik fokus Muhammad Abduh dalam beberapa hal. Pertama, Pembongkaran kejumudan dalam tradisi pemikiran. Kedua, Menyerukan diadakannya ijtihad, tidak taqlid. Ketiga, Penghargaan terhadap akal. Keempat, Kesesuaian antara ilmu pengetahuan modern dengan agama. Kelima, Perbaikan sistem pendidikan. Keenam, Pemikiran politik.[19] Mulai dari abad ke-19 timbul di dunia Islam aspek pembaruan, dikenal dengan nama perkembangan modern Islam, yang intinya adalah memperbarui pemikiran dalam Islam agar sesuai dengan perubahan-perubahan yang dibawa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di sini terdapat juga dua aliran, aliran rasional yang terikat hanya kepada al-Qur’an dan hadis, dan aliran tradisional yang terikat selain kepada kedua sumber itu, juga kepada ijtihad ulama masa silam.[20] Menurut Ibnu Taimiyah, pembaruan dalam Islam timbul karena;[21] 1) Membudayanya khurafat di kalangan kaum muslimin 2) Kejumudan atau ditutupnya pintu ijtihad dianggap telah membodohkan umat Islam 3) Terpecahnya umat Islam sehingga sulit maju dan membangun. 4) Kontak antara Barat dan Islam telah menyadarkan kaum muslimin akan kemunduran. Gelombang modernisasi semakin tak terelakkan, telah merambah dalam konstruksi pemikiran dan corak pemahaman keagamaan Islam. Pada akhir abad 18, Islam memberikan kesempatan modernisasi hingga sekarang ini. Para reformis seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Amir Abdul Qadir al-Jazairy, Afghany, Abduh, AsSanusy, al-Kawakiby, Muhammad Iqbal, Zia Tju Kalb, Khalid Muhammad Khalid, Malik bin Nabi, dan lainnya, telah membuka penafsiran baru ijtihad secara formulatif bagi kehidupan modern. Suatu rekayasa ijtihad yang member dukungan solusi bagi tuntutan modernitas.[22] seorang filosof Perancis abad XX Michel Foucault yang dikutip oleh Wahyudi menyatakan “Manusia disetiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara tertentu. Setiap abad atau zaman memiliki ciri atau corak epistimologi sendiri-sendiri.” Sesuai dengan semangat Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, cendekiawan senantiasa membumikan al-Qur’an dan hadits sesuai konteks sosiokultural dan dialektika intelektual.[23] Periodisasi pemikiran islam – Mencermati perkembangan pemikiran Islam kontemporer, menurut A. Khudori Soleh, setidaknya ada lima trend besar yang dominan, yaitu: [24] 1. Fundamentalistik, yaitu kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat dan manusia. Islam sendiri telah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga tidak butuh segala metode maupun teori-teori dari Barat. Tokoh yang cenderung berpikiran fundamentalis adalah Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, al-Maududi, Said Hawa, Anwar Jundi dan Ziauddin Sardar, dan di Indonesia ada Abu Bakar Ba`asyir, Ja`far Umar Thalib, Habib Habsyi. 2. Tradisionalistik (salaf), yaitu kelompok pemikiran yang berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan, seluruh persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama pendahulu. Kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikiran Husein Nasr, Muthahhari, Naquib al-Attas dan Ismael Faruqi. 3. Reformistik, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekontruk warisanwarisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Tradisi yang ada harus dibangun kembali secara baru (i`âdah buniyat min al-jadid) dengan karangka modern dan prasyarat rasional agar bisa tetap survive dan diterima dalam kehidupan modern. Kecenderungan pemikiran ini, antara lain, dapat dijumpai pada pemikirpemikir reformis seperti Hasan Hanafi, Asghar Engineer, Bint al-Syathi, Amina Wadud, M. Imarah, M. Khalafallah dan Hasan Nawab. 4. Post-tradisionalistik yaitu kelompok pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. seluruh bangunan pemikiran Islam klasik (turâts) harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisa terhadapnya. Kecenderungan dekonstruktif ini tampak jelas pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Arkoun, Jabiri, Syahrur, Abd Allah A. Naim, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatima Menissi dan Najib Mahfuz. Di Indonesia Ulil Abshar, Masdar F. Mas`udi. 5. Modernistik, yaitu kelompok pemikiran yang hanya mengakui sifat rasionalilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis. Keharusan berpikir kritis dalam soal-soal kemasyarakatan dan keagamaan, penolakan terhadap sikap jumûd (kebekuan berfikir) dan taqlîd. Kassim Ahmad, Thayyib Tayzini, Abd Allah Arwi, Fuad Zakaria, Zaki Nadjib Mahmud, dan Qunstantine Zurayq. Demikian ulasan singkat seputar Periodisasi pemikiran islam, semoga bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1991) Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Traditional, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985) Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) Wahyudi, Islamologi Terapan, (Cet.I; Surabaya: Gita Media Press, 1997) [1] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 2 [2] Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hal. 35 [3] Ibid, 36 [4] Ibid, 37 [5] Ibid, 38 [6] Ibid, 38 [7] Ibid, 38 [8] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Traditional, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 76 [9] Ibid, 77 [10]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 93 [11] Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hal. 43 [12] Ibid, 44 [13] Ibid, 45 [14] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) hal. 17 [15] Ibid, 18 [16] Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) hal. 112 [17]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 52 [18] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) hal. 57 [19]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 68 [20] Ibid, 70 [21] Ibid, 72 [22] Ibid, 73 [23] Wahyudi, Islamologi Terapan, (Cet.I; Surabaya: Gita Media Press, 1997) hal. 98 [24] Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) hal. 120