Uploaded by User13982

ISLAM DAN KEHIDUPAN UMMAT

advertisement
ISLAM DAN KEHIDUPAN UMMAT
Pendahuluan
Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Artinya manusia tidak dapat
hidup dan berkembang dengan baik tanpa bantuan orang lain. Hubungan manusia
dengan sesama manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup yang kompleks,
yaitu kebutuhan bersifat fisik dan psikis. Substansi hubungan manusia itu pada
pokoknya adalah saling memenuhi kebutuhan masing- masing. Ini pertanda bahwa
manusia diberikan batasan-batasan tentang perbuatan yang baik untuk keharmonisan
interaksi.
Agama merupakan risalah yang disampaikan Tuhan kepada para nabi-Nya
untuk memberi peringatan kepada manusia. Memberi petunjuk sebagai hukumhukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata hidup
yang nyata. Mengatur tanggung jawab kepada Allah, kepada masyarakat dan alam
sekitarnya. Oleh karena itu, kewajiban semua orang untuk menyadarkan bahwa
agama merupakan kebutuhan umat manusia. Untuk membahas hal tersebut yang
menjadi pokok masalah dalam tulisan ini adalah untuk menjawab “mengapa
manusia membutuhkan agama”, dengan sub pokok bahasan : Pengertian agama dan
agama Islam, Agama- agama Samawi dan Islam, Fungsi dan kedudukan agama
dalam kehidupan, dan Latar belakang perlunya manusia beragama.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan, maka rumusan masalah
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah pemikiran Islam Klasik dapat maju dan berkembang di dunia
Islam dan kemudian mengalami kemunduran dan stagnan, bahkan hingga kini
sangat sulit dibangkitkan?
2.
Bagaimanakah pemikiran Islam klasik dilihat dari sudut pandang teologis
normatif, historis, sosiologis, filosofis, dan nalar kritis?
3.
Apakah perlu adanya islamisasi ilmu, jika perlu bagaimana arah dan
metodologinya?
4.
Bagaimana perbandingkan konsep dekonstruksi radikal filosofis tradisi menurut
Muhammad Syahrur dan dekonstruksi radikal filosofis sains modern menurut
S.H. Nasr. Mengapa kedua hal ini penting dilakukan?
5.
Bagaimana tawaran Filsafat Scholastik Islam terhadap pengembangan model
epistemologi Islam di UIN Ar-Raniry, dan adakah alternatif gagasan yang
berbeda ?
1.3. Tujuan
Penilitian ini bertujuan untuk meneliti:
1. Mengetahui pemikiran Islam Klasik yang pernah maju dan berkembang di dunia
Islam mengalami kemunduran dan stagnan, bahkan hingga kini sangat sulit
dibangkitkan.
2. Mengetahui makna agama bagi tujuan hidup dan kemanusiaan jika dilihat dari
sudut pandang teologis normatif, historis, sosiologis, filosofis, dan nalar kritis.
3. Mengetahui keperluan islamisasi ilmu, jika perlu bagaimana arah dan
metodologinya.
4. Mengetahui perbandingkan konsep dekonstruksi radikal filosofis tradisi menurut
Muhammad Syahrur dan dekonstruksi radikal filosofis sains modern menurut
S.H. Nasr. Mengapa kedua hal ini penting dilakukan.
5. Mengetahui filsafat Scholastik Islam penting terhadap pengembangan model
epistemologi Islam UIN Ar-Raniry.
Beberapa alasan sulitnya mengartikan kata agama, sebagaimana yang ditulis oleh A.
Mukti Ali dalam buku Universalitas dan Pembangunan yang dikutip oleh Abuddin
Nata bahwa pertama, pengalaman agama adalah soal batini, subjektif dan sangat
individualis sifatnya. Kedua, orang begitu bersemangat dan emosional dalam
membicarakan agama, karena itu setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada
emosi yang melekat erat sehingga kata agama sulit untuk didefinisikan. Ketiga,
konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan
dari orang yang memberikan definisi tersebut. (Nata : 2011 : 8) Senada dengan itu
sukarnya mencari kata- kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama,
sebagaimana ditulis oleh Abuddin Nata yang mengutip tulisan Zakiah Daradjat
bahwa karena pengalaman agama yang subyektif, intern dan individual, dimana
setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Di
samping itu, tampak bahwa pada umumnya orang lebih condong kepada mengaku
beragama, kendatipun ia tidak menjalankannya. (Nata : 9) Beberapa pendapat di
atas perlu dikemukakan dengan tujuan
agar dipahami begitu beragamnya dan bahkan terdapat perbedaan antara seorang ahli
jika dibandingkan dengan pendapat ahli yang lainnya.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, agama berarti segenap kepercayaan (kepada
Tuhan, Dewa dsb) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban- kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan itu. (Poerwadarminta : 1982: 18) Agama dari sudut
bahasa (etimologi) berarti
peraturan- peraturan tradisional, ajaran- ajaran, kumpulan- kumpulan hukum yang
turun temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan. Agama asalnya terdiri dari dua
suku kata, yaitu a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama mempunyai arti
tidak kacau. Arti ini dapat dipahami dengan melihat hasil yang diberikan oleh
peraturan- peraturan agama kepada moral atau materiil pemeluknya, seperti yang
diakui oleh orang yang mempunyai pengetahuan, (Abdullah : 2004 : 2) Dalam
bahasa Arab, agama berasal dari kata ad-din, dalam bahasa Latin dari kata religi, dan
dalam bahasa Inggeris dari kata religion. Religion dalam bahasa inggeris (dinun)
dalam bahasa Arab memiliki arti sebagai berikut: a. Organisasi masyarakat yang
menyusun pelaksanaan segolongan manusia yang periodik, pelaksanaan ibadah,
memiliki kepercayaan, yaitu
kesempurnaan zat yang mutlak, mempercayai
hubungan manusia dengan kekuatan rohani yang leibih mulia dari pada ia sendiri.
Rohani itu terdapat pada seluruh alam ini, baik dipandang esa, yaitu Tuhan atau
dipandang berbilang- bilang. b. Keadaan tertentu pada seseorang, terdiri dari
perasaan halus dan kepercayaan, termasuk pekerjaan biasa yang digantungkan
dengan Allah SWT. c. Penghormatan dengan khusuk terhadap sesuatu perundangundangan atau adat istiadat dan perasaan. (Abdullah : 3) Agama semakna juga
dengan kata ad-din (bahasa Arab) yang berarti cara, adat kebiasaan, peraturan,
undang- undang, taat dan patuh, mengesakan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari
kiamat dan nasihat.( Ali : 2007 : 25).
Pengertian ini sejalan dengan kandungan agama yang di dalamnya terdapat
peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi panganut agama
yang bersangkutan. Selanjutnya agama juga menguasai diri seseorang dan membuat
dia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran- ajaran agama.
Agama lebih lanjut membawa utang yang harus dibayar oleh penganutnya. Paham
kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham
balasan. Orang yang menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan
mendapat balasan yang baik dari Tuhan, Sedangkan orang yang tidak
menjalankankewajiban dan ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat balasan
yang menyedihkan.
Adapun kata religi berasal dari bahasa Latin yaitu berasal dari kata relegere
yang mengandung arti yang mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu
juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara- cara mengabdi
kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Ada yang
berpendapat kata itu berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran- ajaran
agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya
terdapat pula ikatan antara roh manusia dengan Tuhan, dan agama lebih lanjut lagi
memang mengikat manusia dengan Tuhan (Nata : 10). Beberapa pendapat tentang
definisi agama yang durumuskan oleh para ahli dapat dikemukakan dalam buku
Islam suatu Kajian Komprehensif yang dikarang oleh Muhammad Yusuf Musa dan
dikutip oleh M. Yatimin Abdullah sebagai berikut. (Abdullah : 5)
Durkheim dalam bukunya Gambaran Pertama Bagi Penghidupan
Keagamaan menegaskan bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui
dan tidak dapat dipikirkan oleh akal dan pikiran manusia sendiri. Tegasnya agama
adalah suatu bagian dari pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh ilmu
pengetahuan biasa dan tidak dapat diperoleh dengan pikiran saja. Brunetiere
berpendapat bahwa agama sebagai sesuatu yang lain dari biasa. Sedangkan Asysyahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An- Nihal berpendapat bahwa agama adalah
ketaatan dan kepatuhan yang terkadang bisa diartikan sebagai pembalasan dan
perhitungan ( amal perbuatan di akhirat).
Menurut Ath- Thanwi dalam buku Kasyaf Isthilahat Al- Funun disebutkan
bahwa agama adalah intisari Tuhan yang mengarahkan orang-orang berakal dengan
kemauan mereka sendiri untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan di
akhirat. Agama bisa digunakan untuk menyebut agama semua nabi dan khusus untuk
Islam saja. Agama dihubungkan dengan Allah karena ia merupakan sumbernya,
dihubungkan kepada para nabi karena mereka sebagai perantara kemunculannya,
dihubungkan kepada umat karena mereka memeluk dan mematuhinya.
Harun Nasution dalam bukunya Islam ditinjau dari berbagai aspeknya
yang dikutip oleh Abuddin Nata memberikan definisi agama sebagai berikut 1).
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus di
dipatuhi; 2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia; 3).
Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mangandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia; 4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu; 5). Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan
gaib; 6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban- kewajiban yang diyakini bersumber
pada suatu kekuatan gaib; 7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari
perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius nyang terdapat
dalam alam sekitar manusia; 8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang rasul.(Nata : 14)
Dari beberapa definisi tersebut di atas, ada empat unsur yang menjadi
karakteristik agama sebagai beirkut (Nata : 15) : Pertama, unsur kepercayaan
terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk yang
bermacam- macam. Dalam agama primitif kekuatan gaib tersebut dapat mengambil
bentuk benda- benda yang memiliki kekuatan misterius ( sakti ), ruh atau jiwa yang
terdapat pada benda- benda yang memiliki kekuatan misterius; dewa-dewa dan
Tuhan atau allah dalam istilah yang lebih khusus dalam agama Islam. Kepercayaan
pada adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham keagamaan. Tiaptiap agama kecuali Budhisme yang asli dan beberapa agama lain berdasar atas
kepercayaan pada sesuatu kekuatan gaib dan cara hidup tiap- tiap manusia yang
percaya pada agama di dunia ini amat rapat hubungannya dengan kepercayaan
tersebut.
Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia ini dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik itu,
kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungan baik ini
selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingat-Nya,
melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya
Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia. respon tersebut dapat
mengambil bentuk rasa takut, seperti yang terdapat pada agama primitif, atau
perasaan cinta seperti yang terdapat pada agama- agama monoteisme. Selanjutnya
respon tersebut dapat pula mengambil bentuk penyembahan seperti yang terdapat
pada agama-agama monoteisme dan pada akhirnya respon tersebut mengambil
bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat ang bersangkutan.
Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk
kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran- ajaran agama yang
bersangkutan, tempat- tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara,
dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa agama adalah ajaran
yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab
suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan
untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan
kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan
keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan
yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa ada lima aspek yang terkandung
dalam agama. Pertama, aspek asal usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti
agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardhi
atau agama kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan
hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu
keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya
di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan
kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci.
Keempat, aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan
diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci.
Kata Islam berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti agama Allah yang
disyariatkan-Nya, sejak nabi Adam a.s hingga nabi Muhammad SAW, kepada umat
manusia. Dasar- dasar agama Islam pada setiap zaman dan bagi setiap umat, tidak
berubah, yaitu tetap mengajarkan agar umat manusia mengimani kepada Allah Yang
Esa, kepada para Rasul-Nya dan sebagainya. Yang berubah hanyalah hal- hal yang
berhubungan dengan syariatnya semata- mata. Syariat yang dibawa oleh Nabi
Muhammad akan kekal, sampai hari Kiamat, karena telah sesuai dengan
perkembangan waktu (li kulli zaman) dan perkembangan tempat ( li kulli makan).
(Shaodiq : 1988 : 142)
Kata Islam berasal dari kata “salam “ yang artinya selamat, aman sentosa,
sejahtera, yaitu aturan hidup yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan di
akhirat. kata salam terdapat dalam al-Qur’an surat al- An’am ayat 54; surat al- A’raf
ayat 46; dan surat an- Nahl ayat 32. Kata Islam juga berasal dari kata “ aslama’
yang artinya menyerah atau masuk Islam, yaitu agama yang mengajarkan
penyerahan diri kepada Allah, tunduk dan taat kepada hukum Allah tanpa tawar
menawar. Kata aslama terdapat dalam al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 112; surat
Ali Imran ayat 20 dan 83; surat an- Nisa’ ayat 125; dan surat al-An’am ayat 14.
Kata Islam juga berasal dari kata “silmun” yang artinya keselamatan atau
perdamaian, yakni agama yang mengajarkan hidup yang damai dan selamat. Kata
silmun terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 128; dan surat Muhammad ayat 35.
Kata islam berasal dari kata “sulamun’ yang artinya tangga, kesadaran, yaitu
peraturan yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan yang dapat mengantarkan
orang kepada kehidupan yang bahagia. (Abdullah : 6)
Maulana Muhammad Ali dalam mendefinisikan Islam mengambil firman
Allah surat al- Baqarah ayat 208 yang berarti: Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkahlangkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Dari pengertian ini, kata Islam dekat artinya dengan kata agama yang berarti
menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Senada dengan itu Nurcholis
Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat
dari pengertian Islam. Pendapat para ulama dan cendikiawan muslim antara lain
sebagai berikut (Abdullah : 7)
Menurut Syaikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa agama yang ajarannya
diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. dan menegaskan untuk menyampaikan
agama tersebut kepada seluruh umat manusia dan mengajak mereka untuk
memeluknya. Sedangkan menurut Sidang Muktamar Islam merumuskan bahwa
Islam adalah agama wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia. Majelis Tarjih Muhammadiyah
menyatakan bahwa agama Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammad
saw. Agama yang diturunkan tersebut dalam sunnah sahihah, berupa perintahperintah dan larangan- larangan serta petunjuk kebaikan manusia. M. Natsir
berpendapat bahwa agama Islam adalah agama kepercayaan dan cara hidup yang
mengandung faktor- faktor sebagai berikut: percaya adanya Tuhan, wahyu,
hubungan antara Allah dengan manusia, roh manusia tidak berakhir, dan percaya
bahwa keridhaan Allah adalah tujuan hidup.
Menurut A. Mukti Ali, mengatakan bahwa agama Islam adalah agama
kepercayaan adanya Allah dan hukum yang diwahyukan kepada utusan- utusan-Nya
untuk kebahagiaan hidup manusia. Sedangkan Endang Saefuddin Anshari,
berpendapat bahwa agama Islam adalah agama yang berupa wahyu yang diturunkan
oleh Allah kepada rasul-Nya untuk disampailkan kepada umat manusia sepanjang
masa.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian agama Islam adalah suatu sistem
keyakinan, penyembahan dan aturan- aturan Allah yang mengatur segala kehidupan
manusia dalam berbagai hubungan; baik hubungan manusia dengan Allah, dengan
sesama manusia dan dengan alam. Agama-agama Samawi dan Islam.
Islam adalah satu-satunya agama Samawi.(Anshari : 1986 : 67-69)
Sedangkan agama Nasrani dan agama Yahudi dalam bentuknya yang sekarang tidak
dapat lagi disebut sebagai agama murni Samawi; paling- paling dapat disebut
sebagai agama semi- Samawi atau agama semu- Samawi, karena kedua kitab suci
kedua agama tersebut dalam bentuknya yang sekarang ini sudah sangat banyak
diinterpolasi dengan pikiran- pikiran manusia. Bagaimana halnya dengan agama
Nasrani dan agama Yahudi dalam bentuknya yang asli tentu saja adalah agama
murni-Samawi. Dan oleh karena itu, kedua agama tersebut dalam bentuknya yang
murni menurut pandangan al-Qur’an adalah Islam. Bahkan menurut al- Qur’an,
agama yang dianut oleh semua nabi- nabi Allah SWT itu seluruhnya adalah agama
Islam.
Dalam al-Qur’an antara lain dijelaskan oleh Allah SWT yang tercantum dalam surat
al-Baqarah ayat 136: “ Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan
kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk
patuh kepada-Nya".
Terdapat juga dalam surat Yunus ayat 72: Nabi Nuh a,s, berkata”
Aku disuruh supaya Aku termasuk golongan Muslimin yaitu orang-orang yang
berserah diri (kepada-Nya)". Di dalam surat al-Baqarah ayat 130-131 tercatat
mengenai Nabi Ibrahim a.s. sebagai beirkut;“Dan tidak ada yang benci kepada
agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh
Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk
patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".
Dikisahkan juga dalam surat Yusuf ayat 101 bahwa: “ Nabi Yusuf berkata
kepada Rabb-nya (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di
dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku
dengan orang-orang yang saleh. Dalam surat Yunus ayat 84, Berkata Musa: "Hai
kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja,
jika kamu benar-benar orang yang berserah diri."
Al-Qur’an mencatat dalam surat Ali- Imran ayat 52, tentang nabi Isa a.s.
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia:
"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama)
Allah?" para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolongpenolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimun).”
Selanjutnya Allah SWT mengutus seorang rasul-Nya, penutup para rasul Allah yang
terdahulu itu. Firman Allah dalam surat an- Nisa’ ayat 163-165, bahwa: “
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah
memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah
memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya,
Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dari rangkaian ayat- ayat tersebut, maka jelaslah bahwa menurut al- Qur’an, Islam
adalah satu-satunya agama murni Samawi, sepanjang masa dan tempat.
2. Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan
Pada zaman yang semakin sekuler ini, agama memainkan peran penting
terhadap kehidupan berjuta- juta manusia. (Keene : 2006 : 6) Penyelidikanpenyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70 prosen penduduk dunia menunjukkan
bahwa mereka menganut salah satu agama. Diseluruh Eropa Timur, misalnya,
semakin banyak orang mengikuti ibadat di Sinagoga, Mesjid, Kuil, dan Gereja.
Dibanyak tempat di dunia, imam, rabi dan pendeta bekerja bersama- sama untuk
menciptakan dunia yang semakin baik dan damai. Sementara itu, perbedaanperbedaan agama juga sering menjadi pusat ketidaktenangan internasional dan
ketidak ketenteraman penduduk, seperti yang terjadi pada bekas negara Yugoslavia,
Timur tengah dan Irlandia Utara.
Agama mengambil bagian pada saat- saat yang paling penting dan pada
pengalaman- pengalaman hidup. Agama merayakan kelahiran, menandai pergantian
jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan serta kehidupan berkeluarga, dan
melapangkan jalan dari kehidupan kini menuju kehidupan yang akan datang. Agama
juga memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan- pertanyaan- pertanyaan
yang membingungkan, seperti bagaimana kehidupan dimulai, mengapa orang
menderita, apa yang terjadi terhadap manusia jika sudah mati. Mengingat semuanya
ini kiranya tidak mengherankan jika agama memberikan banyak inspirasi terhadap
karya- karya terbesar dunia ini seperti dalam seni, musik dan literatur. (Keene : 7)
Islam datang ketika latar sosial masyarakat Arab dipenuhi kegelapan. Budaya
mereka jahiliyah, adat kebiasaannya dipenuhi angkara murka. Mereka suka poligami
tanpa batas, mengubur hidup- hidup anak perempuan, melegalkan perbudakan,
melakukan ihdad berlebihan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, tidak memberi
harta warisan kepada kaum perempuan, dan masih banyak lagi yang lain. Inti agama
yang tertuang dalam lembaran teks wahyu tidak lain bertujuan membebaskan dari
keterjeratan budaya jahiliyah tersebut. Karenanya, ketentuan syari’at dalam Islam
sangat menjunjung moralitas dan nilai- nilai kemanusiaan. (Yasid : 2007 : 99)
Prinsip- prinsip dalam agama adalah penghilangan kesempitan dan menimalisasi
taklif yang menyiratkan adanya keterkaitan ajaran agama dengan kemaslahatan
hamba sepanjang sejarahnya. Tak hanya itu kenyataan seperti itu juga
mengindikasikan bahwa hukum Tuhan dalam pengertiannya yang substantif
bukanlah postulat- postulat teks yang sangat transenden. Sebaliknya, hukum Tuhan
merupakan rangkaian panjang proses pemaknaan teks itu sendiri melalui mekanisme
aktualisasinya sesuai konteks kemaslahatan umat.
Dengan kata lain, rumusan hukum Tuhan bukanlah bentuk jadi dari wahyu
verbal yang masih bersifat umum dan sangat transenden. Sebaliknya, hukum Tuhan
merupakan akumulasi dari rangkaian pemaknaan teks secara kreatif dan dinamis
untuk merespons aneka persoalan sesuai konteks masalah. Karena itu, dalam tataran
praksisnya hukum Tuhan mengalami proses evolusi dari yang transendental dan
global menjadi diktum- diktum hukum operasional yang amat teknis mengatur
beragam persoalan kemanusiaan sesuai konteks sosio- historis masing- masing
komunitas hukum. (Yasid : 174)
Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan manusia sebagai pedoman,
aturan dan undang- undang Tuhan yang harus di taati dan mesti dijalankan dalam
kehidupan. Agama sebagai way of life, sebagai pedoman hidup yang harus
diberlakukan dalam segala segi kehidupan. Orang yang beragama dapat
mendisiplinkan dirinya sendiri, menguasai nafsunya sesuai dengan ajaran agama.
Orang yang beragama cendrung berbuat baik sebanyak- banyaknya, dengan
hartanya, tenaganya dan pikirannya. Dan dia akan berusaha sehabis daya upayanya
untuk menghindarkan dirinya dari segala perbuatan yang keji dan munkar. Selain itu
agama merupakan unsur mutlak dalam pembinaan karakter pribadi dan membangun
kehidupan sosial yang rukun dan damai. (Rousydiy : 1986 90-92)
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa masayarakt adalah kumpulan dari
individu- individu. Masyarakat akan baik, manakala terdiri dari pribadi- pribadi yang
baik. Pribadi yang baik hanya dapat dibina melalui ajaran agama. Oleh sebab itu
orang yang beragama, walau tidak ada orang yang tahu, ia tetap berbuat baik dan
menjaga diri dari yang dilarang Tuhan, karena ia yakin bahwa ia tetap diawasi
Tuhan. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama sangat berfungsi dam
memiliki kedudukan yang strategis dalam menata kehidupan manusia untuk
mendapatkan kesemalatan dirinya dan kemaslahatan bagi orang lain.
3.
Latar belakang perlunya manusia beragama
Sekurang- kurangnya ada tiga alasan yang melatar belakangi perlunya manusia
terhadap agama. Ketiga alasan (Nata : 20) tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut yaitu:
Pertama, fitrah manusia. Dalam konteks hal ini di antara ayat al-Qur’an dalam
surat ar- Rum ayat 30 bahwa ada potensi fitrah beragama yang terdapat pada
manusia. Dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa insan adalah manusia yang
menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan
secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibanding dengan
makhluk lainnya sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami
kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Lebih jauh Musa Asy’ari
dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an yang dikutip oleh
Nata bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai
untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada
kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya
dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang
digunakan dalam al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya
yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup yang kemudian
mati.
Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki oleh manusia itu dapat dijumpai
dalam ayat 172 surat al- A’raf bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang
memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan hadits
Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki
fitrah (potensi beragama). Bukti historis dan atropologis bahwa pada manusia
primitif yang padanya tidak pernah datang in formasi mengenai Tuhan, ternyata
mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu
terbatas pada daya khayalnya. mereka misalnya, mempertuhankan pada bendabenda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan.kepercayaan
yang demikian selanjutnya disebut dengan dinamisme.
Beberapa hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama pada
manusia. Sebagian mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut dan sebagai
akibatnya terlintaslah agama dalam kehidupan manusia. Hipotesis lainnya
mengatakan bahwa agama adalah produk dari kebodohan. Hal ini sesuai dengan
wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sesuatu yang terjadi di alam ini.
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah pendambaannya kepada
keadilan dan keteraturan, ketika manusia menyaksikan banyaknya kezaliman dan
ketidak adilan dalam masyarakat dan alam. Agama mengambil bagian pada saatsaat yang paling penting dan pada pengalaman hidup. Agama mengesahkan
perkawinan, agama berada dalam kehidupan pada saat- saat yang khusus maupun
pada saat- saat yang paling mengerikan. (Keene : 6)
“Dengan demikian manusia sepanjang masa senantiasa beragama, karena
manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah beragama yang oleh C.G.Jung disebut
naturaliter religiosa (bakat beragama).”(Arifin : 1998 : 8) Dari uraian tersebut dapat
ditegaskan bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama karena dalam diri
manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini perlu
pembinaan, pengarahan, pengembangan dengan cara mengenalkan agama kepada
setiap manusia
Kedua, kelemahan dan kekurangan manusia. Menrut Quraish Shihab, bahwa
dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang
berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan,
dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi
perhatian lebih besar. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat
al-Syams ayat 7-8, bahwa “ Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah
mengilhamkan kepadanya kafasikan dan ketaqwaan”.
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia
melalui nafs menangkap makna baik dan buruk. Di sini berbeda dengan terminologi
kaum Sufi bahwa nafs adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan prilaku
buruk dan dalam hal ini sama dengan pengertian yang terdapat dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Lebih jauh Qurash Shihab berpendapat bahwa kendatipun nafs
berpotensi positif dan negatif, namun diproleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya
potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja dorongan dan
daya tarik keburukan lebih kuat dari pada daya tarik kebaikan.
Dalam literatur teologi Islam kita jumpai pandangan kaum Mu’tazilah yang
rasionalis, karena banyak mendahulukan akal dalam memperkuat argumentasinya
dari pada wahyu. Namun demikian, mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya
memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi
tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Dalam hubungan ini,
kaum Mu’tazilh mewajibkan kepada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan
agar kekurangan akal dapat dilengkapi oleh wahyu dalam ini agama. Dengan
demikian secara tidak langsung kaum Mu’tazilah memandang bahwa manusia
memerlukan wahyu (agama).
Ketiga, tantangan manusia. Faktor lain yang menyebabkan manusia
memerlukan agama karena manusia dalam kehidupannya menghadapi berbagai
tantangan baik yang datang dari dalam amupun dari luar. Tantangan dari dalam
dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (lihat QS 12:5; 17:53).
Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya- upaya yang
dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari
Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung
misi menjauhkan manusia dari tuhan. Kita misalkan membaca ayat yang berbunyi “
Sesungguhnya orang- orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi
orang dari jalan Allah (QS al-Anfal,36).
Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat- obat terlarang dan lain sebagainya
dibuat dengan sengaja.” Pada zaman semakin sekuler ini agama memainkan peranan
penting terhadap kehidupan berjuta- juta manusia”.( Keene : 6) Untuk itu upaya
mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajarkan mereka agar taat
menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, sangat meningkat,
sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting
Islam, sebagai suatu agama besar sudah memberikan kontribusinya dalam
membangun sebuah peradaban yang dicatat dan diakui oleh sejarah umat manusia
selama ini. Peradaban yang dibangun atas dasar keimanan, keilmuan dan moralitas.
Peradaban itu telah memberikan pengaruh luas dalam rentang waktu berabad-abad
dan pada kawasan yang sangat luas, menyentuh semua benua yang ada di dunia ini.
Sebagaimana diketahui bahwa mulai abad ke-11 sampai ke-13 (khususnya antara
tahun 1050-1300 M), umat Islam mencapai masa keemasan, dengan kebangkitan
dinamika intelektualitas dalam segala bidang ilmu pengetahuan secara integral dan
harmonis. Di sisi lain, pada waktu yang bersamaan dunia Eropa mengalami stagnasi
ilmu pengetahuan. Dogma gereja melarang mempelajari dan menganggap filsafat
Yunani berbahaya bagi agama Masehi (Kristen). Hal ini merupakan faktor utama
terjadinya masa kegelapan di dunia Eropa dan banyak lembaga pendidikan filsafat
yang ditutup. Kondisi ini meyebabkan banyak para ilmuawan Eropa yang haus akan
ilmu, keluar dari negaranya. Perkenalan mereka dengan dunia Islam, menyebabkan
mereka kagum dengan kebijakan pemerintah dan semangat umat dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Manuskrip Yunani yang telah ”diselamatkan”
dan ditambal oleh Islam, kemudian mereka pelajari. Stimuli inilah yang kemudian
memberikan inspirasi bagi pencerahan dan kebangkitan Eropa dari tidur panjangnya.
Mereka berupaya mengadopsi ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam,
hal ini dilakukan dengan cara mengirim mahasiswa mereka untuk belajar ke dunia
Islam, salah satunya adalah Spanyol Islam. Selanjutnya sistem dan ilmu pengetahuan
tersebut dikembangkan di sekolah-sekolah dan universitas Eropa seperti Universitas
Salermo (spesialisasi kedokteran), Bologna (spesialisasi hukum) di Italia dan
Unversitas Paris dan Montpelleir di Perancis dan juga Universitas Cambridge
(Samsul Nizar (ed), 2007: 90). Berangkat dari sini, kemudian melahirkan
pembaharuan yang mewarnai pemikiran para ilmuwan Eropa, dan konsekwensi ini
membuahkan renainssance.
Tingginya peradaban yang terbangun pada Muslim Spanyol, secara langsung
memberikan andil besar terhadap kemajuan Eropa. Hal ini dikarenakan Muslim
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap
peradaban Islam, baik dalam bidang politik, sosial maupun perekonomian, serta
peradaban antar negara. Transformasi peradaban Islam ke peradaban Barat
khususnya dalam ilmu pengetahuan setidaknya terbangun melalui dua saluran
utama. Pertama, melalui para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa Barat yang
belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas Spanyol. Kedua,melalui
terjemahan karya Muslim dari sumber-sumber berbahasa Arab (Samsul Nizar (ed),
2007: 139).
Fakta ril yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa tingginya peradaban intelektual
Muslim di Spanyol telah menginspirasi gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Salah
satu ilmuan penting tersebut adalah Ibn Rusdy. Melalui pemikirannya bangsa Eropa
mampu menemukan pemikiran Aristoteles yang menganjurkan kebebasan berfikir
dan melepaskan belenggu taklid dari golongan gerejawan. Sekitar akhir abad ke13M seluruh ilmu pengetahuan dari Islam bisa dikatakan telah selesai ditransmisikan
ke Barat. Berangkat dari sini pula gerakangerakan penting lahir di Eropa, seperti
Gerakan Renaisance sekitar abad ke-14 M yang diawali di Italia, gerakan reformasi
ada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M serta zaman pencerahan
(Aufklaerung) pada abad ke-18 M.
Periodisasi pemikiran islam klasik (650-1250)
Periodisasi pemikiran islam – Periode klasik dapat dibagi ke dalam dua fase, yaitu
fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000); dan fase disintegrasi
(1000-1250). Fase pertama (650-1000) yaitu zaman dimana wilayah Islam mulai
meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke
India di Timur. Wilayah itu berada dalam teritorial khalifah yang pada mulanya
berkedudukan di Madinah dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di
masa inilah berkembang dengan pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmuilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh,
filsafat, sufisme dan termasuk teologi.[3]
Dari periode ini ulama–ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir
adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, AlNizam dan Al-Jubai. Fase kedua (1000-1250) adalah persatuan dan kesatuan umat
Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik politik seringkali melanda sehingga
hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi oleh
Hulaghu Khan di tahun 1258.[4]
Terjadinya gelombang ekspansi pertama, semenanjung Arab, Palestina, Suria, Irak,
Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Pada 661 M,
Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi
yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan
kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal. Namun konflik
internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani
Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih 90 tahun (661 M – 750 M) dan
kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah. Bani Abbasiyah (750 M – 1258 M)
diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah,
Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan
sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat
kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa
khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan
pengetahuan.[5]
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa
kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa
sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab terjadi
secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah.
Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) di
Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.[6]
Buku-buku yang diterjemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa
Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber
pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam
selanjutnya, khususnya karya-karya klasik Yunani seperti Plato dan Aristoteles.[7]
Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan
filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat
Islam sebenarnya adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam
bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin
untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat
Yunani atau Helenisme. Elaborasi karya klasik dengan dialektika dogma dan stigma
masyarakat, melahirkan karya mutakhir pada zamannya yang bercorak Islam.[8]
Pada prinsipnya, motivasi pengembangan sains dan filsafat dalam pemikiran
keislaman, yaitu pertama motivasi kultural (ba’its tsaqafi) yakni adanya kebutuhan
untuk berdebat dengan orang-orang dari agama lain dan membujuk mereka untuk
memeluk Islam, dan kedua karena alasan praktis dalam memperbaiki pola
kehidupan. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang
meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan
‘Abbasiyah menganggap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu
logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang
dari luar itu.[9]
Gairah penggalian terhadap ilmu pengetahuan telah mendorong para ilmuan Islam
untuk dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru seperti; di bidang kedokteran
(Muhammad Ibn Zakariyyah Ar-Razi: Kitab Al-Judari wal Hashbah: buku tentang
cacar dan campak. Abu Ali Al-Husain Ubn Zina: Al-Qahun Fi-ith-Thiha : Pedoman
ilmu Kedokteran), Farmasi (Abdullah bin Ahmad Ibn Baytar: Jami’ Fi adwiyat alMufradah: Bahn lengkap tentang ramuan obat sederhana) Astronomi ( Abu Rasyihan
al-Biruni: Maqolid Ilm Al- Hay’ah : Kunci ilmu bintang-bintang) Pertanian (Abi
Zakariyya Ibn Awwam: Kitab Al Filahah : Biku Ilmu pertanian) Ilmu Hewan
(Syaraf Az-Zaman Al Mawazi: Thabay Al Hayawan : Ilmu tentang tabiat binatang.
Lahirnya cendekiawan dan ilmuan muslim mencitrakan Islam menjadi referensi
peradaban pada masanya.[10]
Periodisasi pemikiran islam Pertengahan (1250-1800)
Periodisasi pemikiran islam – Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode
pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini ‘benih’
perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara
Sunni dan Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geografis dunia Islam
mengalami perpecahan menjadi nation-state kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara
umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria,
Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua yaitu
bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah
dengan Iran sebagai pusat.[11]
Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman
kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu
adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan
Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masingmasing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khususnya di bidang
literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era
klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian
umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam atau masih sangat
rendah.[12]
Periode ini biasanya dikenal dengan zaman kebekuan atau kejumudan. Kata jumud
mengandung arti keadaan membeku, statis, tiada perubahan. Keadaan seperti ini
melanda umat Islam sejak akhir abad 13 hingga memasuki abad 18 M. Pemikiran
rasional yang dulu mendapat tempat yang proporsional digantikan dengan pemikiran
tradisional. Adanya pengingkaran terhadap potensi manusia.
Kemandekan dan kejumudan pemikiran keagamaan terjadi, banyak
mempersepsikan, sebagai akibat polemik akademik antara ulama rasionalis dan
ulama tradisionalis, yang tampaknya ‘dimenangkan’ oleh ulama tradisionalis.
Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (10581111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya Tahafut alFalasifa (Kerancuan atas Para Filosof).[13]
Ibnu Rusyd membidas balik kritik Al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat.
Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim.
Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya
tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai
sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning)
yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan
antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi , filosof pertama yang memadukan
keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah
agama yang filosofis karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof
muslim di atas berserta filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang
mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.[14]
Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang
pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci
oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran
filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan
fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan
dari Islam.[15]
Hasan Hanafi menyatakan, sebagaimana yang dikutip A. Khudori Soleh, bahwa
penyebab kejumudan dan kebekuan pemikiran keagamaan adalah (1) Eksklusifisme.
Karena adanya pentokohan, bahkan pensakralan individu, sikap tradisionalistik
menggiring terbentuknya sikap-sikap eksklusif yang hanya menghargai dan
mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak keberadaan fihak lain. (2)
Subjektifisme. Sebagai akibat lanjut dari eksklusifisme, orang-orang kelompok ini
menjadi kehilangan sikap objektifitas dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan
salah tidak lagi didasarkan atas persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari dan
oleh kelompok mana atau tokoh siapa. (3) Determinisme. Sebagai akibat lebih lanjut
dari dua konsekuensi diatas, dimana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung
dalam satu warna, mereka menjadi terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan
menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah
apalagi menolak.[16]
Periodisasi pemikiran islam modern (1800-sekarang)
Periodisasi pemikiran islam – Periode ini merupakan zaman kebangkitan kembali
(reformasi) akibat dari tenggelamnya tradisi intelektual dalam beberapa abad.
Kesadaran akan kemajuan di dunia Barat dan penderitaan akan kolonialismenya,
menuntut intelektual muslim mengambil dan mengembalikan peradaban Islam yang
gemilang di masa silam. Dapat dipastikan bahwa penetrasi dan perkembangan
modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi dengan Barat dalam
rentang waktu yang sangat panjang, setidaknya menurut Harun Nasution ada empat
tahapan, di antaranya adalah:[17]
1) Koneksasi Pertama, yaitu permulaan abad ke-VII meluasnya wilayah Islam
mencakup Yordania, Palestina, Suria, Irak dan Mesir yang ketika itu berada dibawah
kekuasaan Kerajaan Bizantium yang berpusat di Barat.
2) Koneksasi Kedua, yaitu saat berkembangnya pemikiran rasional-ilmiah di
kalangan sarjana Muslim yang menghasilkan filsafat dan sains Islam zaman klasik
(650-1250 M).
3) Koneksasi Ketiga, yaitu saat terjadi transformasi intelektual Islam dengan Barat
yang berakibat pemikiran rasional-ilmiah Islam dibawa ke Barat.
4) Koneksasi Keempat, yaitu saat terjadinya penetrasi dan penjajahan di dunia Islam
yang bukan hanya melibatkan kekuasaan politik-meliter, tetapi juga pemikiran baru
tentang sains dan teknologi modern.
Di kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith), menilai reaksi modernisasi yang
dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “apologetis” terhadap Islam dari
berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris Kristen dengan
menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi
dipandang sebagai “romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang
memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat
bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga
menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat
tersebut termasuk modernisasinya.[18]
Harun Nasution menyatakan secara implisit ide Pembaharuan yang menjadi titik
fokus Muhammad Abduh dalam beberapa hal. Pertama, Pembongkaran kejumudan
dalam tradisi pemikiran. Kedua, Menyerukan diadakannya ijtihad, tidak taqlid.
Ketiga, Penghargaan terhadap akal. Keempat, Kesesuaian antara ilmu pengetahuan
modern dengan agama. Kelima, Perbaikan sistem pendidikan. Keenam, Pemikiran
politik.[19]
Mulai dari abad ke-19 timbul di dunia Islam aspek pembaruan, dikenal dengan nama
perkembangan modern Islam, yang intinya adalah memperbarui pemikiran dalam
Islam agar sesuai dengan perubahan-perubahan yang dibawa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Di sini terdapat juga dua aliran, aliran rasional
yang terikat hanya kepada al-Qur’an dan hadis, dan aliran tradisional yang terikat
selain kepada kedua sumber itu, juga kepada ijtihad ulama masa silam.[20]
Menurut Ibnu Taimiyah, pembaruan dalam Islam timbul karena;[21]
1) Membudayanya khurafat di kalangan kaum muslimin
2) Kejumudan atau ditutupnya pintu ijtihad dianggap telah membodohkan umat
Islam
3) Terpecahnya umat Islam sehingga sulit maju dan membangun.
4) Kontak antara Barat dan Islam telah menyadarkan kaum muslimin akan
kemunduran.
Gelombang modernisasi semakin tak terelakkan, telah merambah dalam konstruksi
pemikiran dan corak pemahaman keagamaan Islam. Pada akhir abad 18, Islam
memberikan kesempatan modernisasi hingga sekarang ini. Para reformis seperti
Muhammad bin Abdul Wahab, Amir Abdul Qadir al-Jazairy, Afghany, Abduh, AsSanusy, al-Kawakiby, Muhammad Iqbal, Zia Tju Kalb, Khalid Muhammad Khalid,
Malik bin Nabi, dan lainnya, telah membuka penafsiran baru ijtihad secara
formulatif bagi kehidupan modern. Suatu rekayasa ijtihad yang member dukungan
solusi bagi tuntutan modernitas.[22]
seorang filosof Perancis abad XX Michel Foucault yang dikutip oleh Wahyudi
menyatakan “Manusia disetiap zaman memandang, memahami dan membicarakan
kenyataan dengan cara tertentu. Setiap abad atau zaman memiliki ciri atau corak
epistimologi sendiri-sendiri.” Sesuai dengan semangat Islam sebagai agama
rahmatan lil alamin, cendekiawan senantiasa membumikan al-Qur’an dan hadits
sesuai konteks sosiokultural dan dialektika intelektual.[23]
Periodisasi pemikiran islam – Mencermati perkembangan pemikiran Islam
kontemporer, menurut A. Khudori Soleh, setidaknya ada lima trend besar yang
dominan, yaitu: [24]
1. Fundamentalistik, yaitu kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya kepada
doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat dan manusia.
Islam sendiri telah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga
tidak butuh segala metode maupun teori-teori dari Barat. Tokoh yang cenderung
berpikiran fundamentalis adalah Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, al-Maududi,
Said Hawa, Anwar Jundi dan Ziauddin Sardar, dan di Indonesia ada Abu Bakar
Ba`asyir, Ja`far Umar Thalib, Habib Habsyi.
2. Tradisionalistik (salaf), yaitu kelompok pemikiran yang berusaha untuk
berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan, seluruh persoalan umat telah
dibicarakan secara tuntas oleh para ulama pendahulu. Kecenderungan tersebut dapat
dijumpai pada pemikiran Husein Nasr, Muthahhari, Naquib al-Attas dan Ismael
Faruqi.
3. Reformistik, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekontruk warisanwarisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Tradisi yang ada
harus dibangun kembali secara baru (i`âdah buniyat min al-jadid) dengan karangka
modern dan prasyarat rasional agar bisa tetap survive dan diterima dalam kehidupan
modern. Kecenderungan pemikiran ini, antara lain, dapat dijumpai pada pemikirpemikir reformis seperti Hasan Hanafi, Asghar Engineer, Bint al-Syathi, Amina
Wadud, M. Imarah, M. Khalafallah dan Hasan Nawab.
4. Post-tradisionalistik yaitu kelompok pemikiran yang berusaha mendekonstruksi
warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. seluruh
bangunan pemikiran Islam klasik (turâts) harus dirombak dan dibongkar, setelah
sebelumnya diadakan kajian dan analisa terhadapnya. Kecenderungan dekonstruktif
ini tampak jelas pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Arkoun, Jabiri, Syahrur, Abd
Allah A. Naim, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatima Menissi dan Najib Mahfuz. Di
Indonesia Ulil Abshar, Masdar F. Mas`udi.
5. Modernistik, yaitu kelompok pemikiran yang hanya mengakui sifat rasionalilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak
berdasarkan nalar praktis. Keharusan berpikir kritis dalam soal-soal kemasyarakatan
dan keagamaan, penolakan terhadap sikap jumûd (kebekuan berfikir) dan taqlîd.
Kassim Ahmad, Thayyib Tayzini, Abd Allah Arwi, Fuad Zakaria, Zaki Nadjib
Mahmud, dan Qunstantine Zurayq.
Demikian ulasan singkat seputar Periodisasi pemikiran islam, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi
Aksara, 1991)
Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995)
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan,
(Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996)
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual
Traditional, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985)
Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2003)
Wahyudi, Islamologi Terapan, (Cet.I; Surabaya: Gita Media Press, 1997)
[1] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan
Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 2
[2] Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta:
Bumi Aksara, 1991) hal. 35
[3] Ibid, 36
[4] Ibid, 37
[5] Ibid, 38
[6] Ibid, 38
[7] Ibid, 38
[8] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual
Traditional, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 76
[9] Ibid, 77
[10]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan
Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 93
[11] Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta:
Bumi Aksara, 1991) hal. 43
[12] Ibid, 44
[13] Ibid, 45
[14] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan
Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) hal.
17
[15] Ibid, 18
[16] Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2003) hal. 112
[17]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan
Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 52
[18] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan
Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) hal.
57
[19]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan
Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 68
[20] Ibid, 70
[21] Ibid, 72
[22] Ibid, 73
[23] Wahyudi, Islamologi Terapan, (Cet.I; Surabaya: Gita Media Press, 1997) hal.
98
[24] Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2003) hal. 120
Download