Kasus Akad Mudharabah Muqayyadah Untuk pertama kalinya Pengadilan Agama Jakarta Pusat kelimpahan perkara ekonomi syariah. Perkara itu adalah sengketa antara Dana Pensiunan Angkasa Pura II (Dapenda) dan PT Bank Syariah Mandiri. Perseteruan kedua pihak bermula dari putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) pada Agustus 2008 lalu. Namun hingga kini putusan majelis arbiter yang diketuai Fatimah A serta beranggotakan Bismar Siregar dan Hidayat Achyar, masih mandul. Pengadilan yang berlokasi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu akhirnya kebagian untuk mengeksekusi putusan tersebut. Dalam putusan majelis arbiter, Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima dihukum untuk membayar jumlah pokok pembiayaan sebesar Rp 10 miliar kepada Dapenda secara tenggung renteng, paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan. Keduanya terbukti wanprestasi terhadap Dapenda dalam menunaikan Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah No. 108 tanggal 28 Januari 2004. Karena itu, akad tersebut juga dibatalkan. Meski dalam amar putusan dinyatakan bahwa putusan bersifat final dan mengikat, Bank Syariah Mandiri dan Sari Indo Prima tetap membandel. Sekedar pengetahuan, pembiayaan mudharabah muqayyadah (bagi hasil) adalah akad kerja sama usaha antara nasabah pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah pengelola dana (mudharib), dimana pihak bank bertindak sebagai perantara pembiayaan. Pemilik dana menetapkan pelaksanaan kegiatan dengan syarat-sayarat tertentu berupa jenis usaha, tempat, waktu maupun tatacara pelaksanaannya. Dapenda tak tinggal diam. Kuasa hukum Dapenda, Aad Rusyad, mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi atas putusan Basyarnas tersebut ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Masrum, masih memberi kesempatan kepada para pihak untuk berunding dan mengeksekusi putusan secara sukarela hingga Selasa (05/5) pekan depan. Ini adalah kesempatan kedua buat Bank Syariah Mandiri. Sebelumnya, pada 22 April 2009 lalu, Masrum juga memberi waktu hingga 30 April 2008 buat Bank Syariah Mandiri agar mematuhi putusan. Penundaan eksekusi hingga dua kali dilakukan dengan pertimbangan pengembangan perbankan syariah. Jika dilakukan sita eksekusi terhadap Bank Syariah Mandiri, hampi dipastikan berdampak pada perbankan syariah. Saya harapkan kesadaran dari mereka (Bank Syariah Mandiri). Masa perbankan syariah juga membandel, ujar Masrum saat ditemui di kantornya, Kamis (30/4). Menanggapi penundaan itu, Aad menyatakan menerima keputusan Masrum. Perbankan syariah harus dibantu, ujarnya. Aad mengatakan akan mengambil langkah hukum sita eksekusi jika pekan depan Bank Syariah Mandiri masih tetap membandel. Jangan salahkan kami, katanya. Senada, kuasa hukum Bank Syariah Mandiri, Gading Sanjaya berterima kasih atas kelonggaran waktu tersebut. Kami akan sampaikan ke manajemen bank untuk menentukan tindakan bank selanjutnya, katanya. Ia mengaku tidak tahu mengapa Bank Syariah Mandiri membandel selama ini, sebab kantor hukumnya baru ditunjuk sebagai kuasa hukum pascaputusan arbitrase. Perkara ini bermula ketika Bank Syariah Mandiri mengajukan proposal penawaran kerja sama pembiayaan Mudharabah Muqayyadah kepada Dapenda, Desember 2003. Dalam proposal penawaran disebutkan, pembiayaan akan digelontorkan untuk PT Sari Indo Prima sebagai biaya pengembangan usaha pembuatan karung. Ketika itu, Dapenda berasumsi skema pembiayaan itu sama dengan penempatan deposito pada bank syariah. Karena itu Dapenda setuju untuk menempatkan dananya pada Bank Syariah Mandiri. Pada 23 Januari 2004, Bank Syariah Mandiri, Sari Indo Prima dan Dapenda membuat kesepakatan bersama Mudharabah Muqayyadah No. 006/MoU/DPAPII/I/2004, No.103/0110/MoU-SIP/I/2004, dan No. 05/1393/017. Saat yang sama, Dapenda mentransfer dana ke BSM dengan surat No. 045/DPAP II/KI/I/2004 tentang penerbitan deposito sebesar Rp 5 miliar. Tak Membayar Angsuran Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam akta pembiayaan Mudharabah Muqayyadah sebesar Rp 10 miliar pada 28 Januari 2004 antara Dapenda, Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri. Perjanjian itu berlaku selama tiga tahun hingga 23 Januari 2008, dengan ketentuan bagi hasil Dapenda sebesar 13,5 persen per annum (tiap tahun). Sementara Bank Syariah Mandiri mendapat fee sebesar satu persen per tahun terhitung sejak pembiayaan Mudharabah Muqayyadah masih berjalan (outstanding). Sebulan kemudian, Dapenda kembali mentransfer dana ke Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 5 miliar melalui surat No.115/DPAP II/KI/II/2004 tanggal 27 Februari 2004. Enam bulan berselang, Dapenda tidak mendapatkan nisbah bagi hasil karena Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri tidak membayarkan angsuran, baik kewajiban pokok maupun margin (selisih) bagi hasil. Sejak awal proses pembiayaan, Dapenda menilai Bank Syariah Mandiri tidak transparan. Hal itu antara lain tercermin dari pembiayaan yang dilakukan lebih dulu pada Sari Indo Prima sebesar Rp 6,5 miliar pada Oktober 2003, sebelum akad dibuat. Sementara, dalam akad pembiayaan No. 108 disebutkan bahwa Sari Indo Prima tidak dalam keadaan berutang pada pihak lain. Dapenda menilai, Bank Syariah Mandiri tidak melaksanakan prudential banking principles (prinsip kehati-hatian perbankan) dalam proses pengajuan dan pelaksanaan Mudharabah Muqayyadah. Selain itu, Bank Syariah Mandiri juga dinilai tidak melaksanakan kewajibannya terhadap pengikatan barang jaminan dan monitoring penggunaan dana untuk kepentingan Dapenda. Hal itu menimbulkan side streaming yang dilakukan Sari Indo Prima. Yakni dengan menggunakan dana Dapenda untuk membayar cicilan uutang pada Bank Syariah Mandiri. Untuk menuntaskan sengketa itu, Dapenda telah berusaha untuk musyawarah hingga mengajukan somasi ke Bank Syariah Mandiri, namun hasilnya nihil. Padahal dana yang ditempatkan Dapenda berasal dari iuran peserta dana pensiun karyawan Angkasa Pura II. Karena itu, Daspenda menuntut Bank Syariah Mandiri memenuhi kewajibannya. Dapenda kemudian membawa perkara itu ke Basyarnas. Hal itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang mengatur apabila terjadi perselisihan maka para pihak akan menunjuk Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa. Setelah enam bulan bersidang di Basyarnas, para pihak tetap tidak menemukan titik temu. Karena itu, pada 21 Agustus 2008 majelis arbiter menjatuhkan putusan. (Hukumonline .com 1 mei 2009) Kasus Akad Murabahah Kasus yang berkenaan dengan ekonomi syariah misalnya kasus Putusan Pengadilan Agama Bukittinggi Nomor: 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt. Perkara sengketa ekonomi syari’ah yang terjadi di wilayah yurisdiksi Peradilan Agama Bukittinggi ini adalah merupakan kasus sengketa dalam perkara ekonomi syari’ah yang pertama di Indonesia setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 20 Maret 2006. Daya magnet dari kasus ini sehingga menjadi sangat menarik adalah, di samping sebagai kasus perkara ekonomi syari’ah pertama juga dalam proses peradilannya sudah melibatkan persengketaan yurisdiksi antara Peradilan Agama dan Peradilan Negeri. Terjadinya sengketa dalam perkara ekonomi syariah ini, bermula dari hubungan perjanjian/ Akad antara H. Effendi bin Rajab dan Dra. Fitri Effendi, Psi. binti Munir (Penggugat I dan II) dengan PT. Bank BUKOPIN Pusat-yang pelaksanaannya dilakukan melalui Bank BUKOPIN Cabang Syariah Bukittinggi (Tergugat I) dalam akad al-Murabahah. Permasalahan muncul tatkala penggugat I sebagai nasabah tidak melaksanakan atau terlambat atau terkendala untuk melakukan pembayaran atas akad murabahah tersebut kepada Tergugat I Bank BUKOPIN. Berdasarkan keterlambatan Penggugat I, kemudian Tergugat I atas dasar putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi dalam perkara Nomor: 08/PDT.BTH/2004/PN-BT, dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi nomor: 03/PDT.EKS/2006/PN-BT tanggal 4 Juli 2006 untuk melaksanakan eksekusi lelang atas objek lelang dari harta jaminan Penggugat I yang telah diperjanjikan untuk melunasi pembiayaan yang bermasalah/ terkendala akibat keterlambatan Penggugat I. dalam hal pelaksanaan lelang dan pelaksanaan penetapan putusan dari PN, Tergugat I telah melakukan publikasi agar terpenuhinya asas publisistas pelaksanaan lelang dan Pengadilan Negeri Bukittinggi tersebut juga telah mengumumkannya melalui iklan di surat Kabar Harian Umum Singgalang tanggal 18 Juli 2006 sebagai Pengumuman lelang pertama, dan pada tanggal 02 Agustus 2006 sebagai pengumuman lelang kedua. Penggugat I dalam perjalanan waktu dan perkembangan hukum yang cukup dinamis terutama dalam perkara ekonomi syari’ah ini, kemudian menyadari bahwa keputusan Pengadilan Negeri Bukittinggi tersebut adalah cacat hukum, dengan asumsi bahwa disamping putusan PN tidak berdasarkan hukum, PN juga tidak kompeten mengeksekusi putusan pasca diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Kasus yang akan dibahas ini, adalah seperti dapat dibaca dalam putusan Pengadilan Agama Bukittinggi yang mengadili perkara perdata agama tentang “akad al-murabahah” pada persidangan tingkat pertama. Sengketa ekonomi syariah ini terjadi dalam bidang perbankan, yakni antara: H. Effendi bin Rajab dan Dra. Fitri Effendi, Psi binti Munir (Penggugat I dan II) melawan PT. Bank BUKOPIN Pusat-yang pelaksanaannya dilakukan melalui Bank BUKOPIN Cabang Syariah Bukittinggi, Pemerintah RI Cq. Departemen Keuangan RI. Cq. Dir. Jend Piutang dan Lelang Kantor Wilayah I Medan Cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Bukittinggi dan Defrianta Sukirman (Tergugat I, II dan III) serta turut tergugat I, Yulfaizal . SH. (Notaris di Bukittinggi dan Turut tergugat II, Badan Pertananahan Nasional Cq. Kepala Kantor Pertanahan Kota Bukittinggi. Perkara sengketa ekonomi syariah ini, sebelumnya telah diajukan ke PN Bukittinggi dalam perkara Nomor 08/PDT.BTH/2004/PN.BT dan telah diputus, namun seiring dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menambah kewenangan peradilan agama dalam memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah, termasuk di dalamnya perkara (sengketa) perbankan syariah, para penggugat mengajukan kembali perkaranya di Pengadilan Agama Bukittinggi dengan Nomor perkara 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt. Adapun pokok masalah yang menjadi sengketa ekonomi syariah ini adalah Tentang hubungan hutang-piutang antara nasabah dan Bank, yang pada mulanya menggunakan akad al-murabahah yakni akad jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang telah ditentukan dan disepakati untuk pihak Bank sebagai penjual barang, sementara nasabah sebagai pembeli barang juga dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati. Selanjutnya, antara nasabah dan bank juga sudah bersepakat dalam hal lamanya pembiayaan, besarnya keuntungan dan besarnya angsuran dalam pembayaran pembiayaan. Transaksi seperti ini dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i dinamakan dengan al-amir bisy syira. Namun dalam kasus ini, yang terjadi adalah bahwa dalam perjanjian akad al-murabahah Akte No. 2 bukti P-1/1 tersebut dinyatakan bahwa seolah-olah Tergugat I menyediakan barang-barang pesanan Penggugat I seharga Rp. 500.000.000,- dan selanjutnya seolah-olah Tergugat I menjual barang tersebut kepada Penggugat I dengan harga Rp. 794.816.460,- dengan mengambil keuntungan dari harga pokok sekitar Rp. 294.816.460,- padahal sebenarnya barang yang dibelikan Tergugat I tersebut tidak ada dan begitu juga Penggugat I tidak ada membeli barang kepada Tergugat I. Dalam hal telah terjadinya pelelangan yang berlangsung dalam proses lelang yang diajukan oleh Tergugat II, kemudian dianggap cacat hukum oleh Penggugat I, untuk itu, kemudian Penggugat I mengajukan surat kepada tergugat I untuk tidak melanjutkan proses pelaksanaan lelang atas dasar Pelaksanaan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi, yang juga dianggap cacat hukum oleh Penggugat I berdasarkan pada ketentuan pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, yang berlaku sejak tanggal 20 Maret 2006. Atas dasar perkara yang diajukan oleh Penggugat I, Tergugat mengajukan eksepsi dalam persidangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pengadilan Agama Bukittinggi tidak berwenang menangani perkara tersebut karena sebelumnya sudah diputus oleh Pengadilan Negeri, dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian Para Tergugat memohon kepada Hakim agar menolak gugatan Penggugat seluruhnya atau menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Atas eksepsi para Tergugat tersebut Hakim Pengadilan Agama Bukittinggi memberikan pertimbangan, bahwa eksepsi para Tergugat dan Turut Tergugat tidak beralasan hukum, dan harus dinyatakan ditolak. Dengan pertimbangan bahwa setelah Majelis Hakim meneliti secara cermat, telah ditemukan beberapa fakta dalam persidangan yang kemudian dijadikan landasan untuk memberi pertimbangan hukum yang pada pokoknya akad murabahah yang dilakukan oleh debitur dan kreditur telah menyimpang dari prinsip-prinsip akad syariah, karena selain barang yang diperjualbelikan tidak ada, pengalihan hutang (take over) yang dilakukan oleh Bank BRI Cabang Bukittinggi dengan Bukopin Syariah Cabang Bukittinggi bertentangan dengan fatwa DSN-MUI. Atas dasar itu, majelis hakim memutuskan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan para penggugat sebagian; 2. Menyatakan Akad Jual Beli al Murabahah yang dilaksanakan oleh Penggugat I dan Tergugat I sebagaimana tersebut dalam akte No. 2 Tanggal 2 Juli 2003 dan No. 43 Tanggal 27 Agustus 2003 adalah batal menurut hukum; 3. Menyatakan bahwa hubungan Penggugat I dan Tergugat I adalah hubungan pinjammeminjam uang menurut syariah (dengan akad al-Qardh); 4. Menyatakan bahwa hutang Penggugat I kepada Tergugat I sebesar Rp. 850.000.000,(Delapan ratus limapuluh Juta Rupiah) dikurangi dengan Rp. 363.611.240,- = Rp. 486.388.760,- (Empat ratus delapan puluh enam juta Tiga ratus delapan puluh delapan ribu Tujuh ratus enam puluh rupiah); 5. Menghukum tergugat I untuk mengembalikan kelebihan hasil penjualan lelang jaminan hutang kepada para penggugat sebesar: Rp. 933.984.000,- dikurangi dengan Rp. 486.388.760,- = Rp. 447.595.240,- (Empat ratus empat puluh tujuh juta Lima ratus Sembilan puluh lima ribu Dua ratus empat puluh rupiah); 6. Menolak gugatan para penggugat untuk selebihnya; 7. Menghukum para penggugat dan tergugat I secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 1.136.000,- (Satu juta seratus tiga puluh enam ribu rupiah) dengan perincian masing-masing: a. Para Penggugat sebesar Rp. 568.000,- (Lima ratus enam puluh delapan ribu rupiah). b. Tergugat I sebesar Rp. 568.000,- (Lima ratus enam puluh delapan ribu rupiah). Atas putusan perkara Peradilan Agama Bukittinggi baik Penggugat maupun Tergugat merasa tidak puas, oleh karenanya, kemudian baik Penggugat maupun Tergugat mengajukan proses hukum di Peradilan Agama Tingkat Banding, yakni di Pengadilan Tinggi Agama Padang dengan Nomor Register: 32 dan 33/Pdt.G/ 2007/ PTA.Pdg. karena masing-masing pihak Penggugat dan Tergugat sama-sama merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Agama Bukittinggi, kemudian juga sama-sama mengajukan banding melalui Panitera Pengadilan Agama Bukittinggi, bahwa para Pembanding, masing-masing H. Effendi bin Rajab dan Dra. Psi. Fitri Effendi bin Munir pada hari selasa tanggal 18 September 2007 dan Ir. Eriandi (Pimpinan Bank BUKOPIN Cabang Syariah Bukittinggi) pada hari senin tanggal 17 September 2007 telah mengajukan permohonan banding atas putusan Pengadilan Agama Bukittinggi nomor: 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt tanggal 5 September 2007. Permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada para Terbanding dan Turut Terbanding pada tanggal 21 September 2007 dan tanggal 2 Oktober 2007; Dalam salinan Putusan Pengadilan Tinggi Padang perkara nomor: 32 dan 33/Pdt.G/2007/PTA.Pdg, menyatakan bahwa kedua permohonan banding yang diajukan mempunyai objek yang sama, maka Pengadilan Tinggi Agama Padang akan mempertimbangkan kedua perkara ini dalam satu putusan agar tidak terjadi disparitas dalam perkara yang sama. Bahwa para tergugat merasa tidak puas atas putusan Peradilan Agama Bukittinggi, kemudian para tergugat mencantumkan ketidak puasannya berdasarkan hukum dalam eksepsi yang diajukan oleh kuasa hukum tergugat kepada Pengadilan Agama Bukittinggi tanggal 13 Desember 2006 yang pada intinya mengemukakan alasan sebagai berikut: 1. Bahwa pokok perkara yang diajukan para penggugat telah diputus oleh Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan perkara nomor: 08/Pdt.BTH/2004/PN.BT tanggal 24 Desember 2004. 2. Bahwa objek perkara sebidang tanah dan bangunan di atasnya dengan sertifikat hak milik no. 311/Kelurahan Belakang Balok telah dilelang berdasarkan Risalah Lelang nomor: 161/2006 tanggal 16 Agustus 2006. Terhadap eksepsi tersebut, Hakim Banding berpendapat bahwa eksepsi yang diajukan oleh para tergugat itu dapat diterima karena didasarkan pada perjanjian antara nasabah (debitur) dengan pihak Bank (kreditur) terjadi berdasarkan akad jual beli al-murabahah. Hakim Banding juga berpendapat dalam penyelesaian perkara perbankan, khususnya termasuk dalam ekonomi syariah tetap berpegang kepada akad/ perjanjian standar yang dibuat antara nasabah (debitur) yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Ternyata persetujuan/ perjanjian yang telah dibuat oleh Penggugat dengan Tergugat dalam perkara ini terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006, seharusnya, atas dasar itu, Pengadilan Agama Bukittinggi menyatakan dirinya tidak berwenang. Hakim Banding tidak sependapat dengan Hakim Tingkat Pertama dalam penyelesaian pokok perkara ini dengan mengemukakan alasan-alasan bahwa: 1. Untuk mendapat fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu, pihak nasabah (debitur) telah membuat persetujuan/ perjanjian (akad) dengan PT. Bank BUKOPIN cabang syariah Bukittinggi (kreditur), sesuai akad yang dibuat kedua belah pihak ternyata telah memenuhi syarat (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal). 2. Bahwa pada pasal 17 dari kedua akad jual beli al-murabahah tersebut berbunyi mengenai akad ini dan segala akibat hukumnya kedua belah pihak merujuk kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dan memilih domisili hukum yang umum dan tetap di kantor Panitera Pengadilan Negeri Bukittinggi serta perkara yang diajukan oleh para Penggugat adalah merupakan akibat hukum dari akad jual beli al-murabahah tersebut, maka sesuai dengan bunyi akad tersebut yang berhak menyelesaikan kasus atau sengketa itu adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) bukan Pengadilan Agama. 3. Absolut Competitie badan peradilan agama dalam penyelesaian perkara yang termasuk dalam bidang ekonomi syariah sejak disahkan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 pada tanggal 20 Maret 2006 dan dengan memperhatikan perjanjian standar yang dilakukan nasabah (debitur) dengan pihak perbankan (kreditur) sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 18 UndangUndang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Hakim Tingkat Banding menyatakan bahwa putusan Hakim Tingkat Pertama tidak lagi bisa dipertahankan dan karena itu harus dibatalkan dan Pengadilan Tinggi Agama akan mengadili sendiri dengan menyatakan permohonan banding para Pembanding dapat diterima dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Bukittinggi N0. 284/Pdt.G/2006/ PA.Bkt tanggal 5 September 2007 M bertepatan dengan tanggal 23 Sya’ban 1428. Dengan itu Pengadilan Tinggi Agama memutuskan untuk mengadili sendiri dengan menerima eksepsi para tergugat dan menolak gugatan provisi para penggugat. Sementara dalam Pokok Perkara, hakim berkeputusan: 1. Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini. 2. Membebankan biaya perkara pada tingkat pertama kepada para Penggugat sebesar Rp. 1.172.000,- (Satu Juta seratus Tujuh puluh Dua Ribu Rupiah). 3. Membebankan biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 6.000,- (Enam Ribu Rupiah) kepada Pembanding I (H. EFFENDI Bin RAJAB dan Dra. Psi. FITRI EFFENDI binti MUNIR). Masih dalam perkara sengketa ekonomi syari’ah ini, para pihak masih belum merasa puas dan melakukan upaya hukum demi tercapainya keadilan hukum dengan upaya hukum di tingkat akhir, yakni upaya kasasi dengan register perkara kasasi pada Mahkamah Agung RI yakni Nomor: 292 K/AG/2008. Dalam memori kasasinya, para Pemohon Kasasi mengajukan beberapa pertimbangan hukum atas putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang Nomor: 32 dan 33/Pdt.G/2007/PTS.Pdg tanggal 09 Januari 2008, hal mana tersebut pada pokoknya ialah: 1. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Padang telah salah menerapkan hukum, karena selain menerima eksepsi dari para tergugat, juga memeriksa/ memberikan pertimbangan tentang pokok perkara sehingga terkesan tidak konsekuen. 2. Bahwa apabila ditinjau dari pasal 1320 dan 1335 KUH Perdata maka akad al-murabahah No. 2 Tanggal 2 Juli 2003 dan akad al-murabahah No. 43 tanggal 27 Agustus 2003 adalah perjanjian/ akad yang batal demi hukum, karena: Akad al-murabahah tersebut jelasjelas melanggar syarat sah perjanjian yaitu dibuat dengan causa yang palsu atau causa yang tidak sebenarnya. 3. Akad al-murabahah tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan al-murabahah menurut ketentuan syar’i. Menurut ketentuan syar’i dalam jual beli al-murabahah keberadaan benda/ barang (‘ain) yang diperjualbelikan mutlak harus ada dan barang itu asalnya adalah milik kreditur atau Bank. 4. Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama Padang yang menyatakan: karena persetujuan/ perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat dalam perkara ini terjadi sebelum berlakunya UU No. 3 tahun 2006 seharusnya Pengadilan Agama Bukittinggi harus menyatakan dirinya tidak berwenang. 5. Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama Padang yang menyatakan: untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu pihak nasabah (debitur) telah membuat persetujuan/ perjanjian (akad) dengan pihak PT Bank Bukopin Cabang Syariah Bukittinggi (Kreditur), sesuai akad yang dibuat oleh kedua belah pihak ternyata telah memenuhi syarat (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal). 6. Pengadilan Tinggi Agama Padang tersebut adalah salah menerapkan hukum, karena: a. Memang benar kompetensi absolute Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa yang termasuk dalam bidang ekonomi syariah dimulai sejak diundangkannya UndangUndang No. 3 tahun 2006; b. Benar akad al-murabahah antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi (Bank Bukopin Cabang Syariah) terjadi sebelum Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 berlaku, tetapi sengketa antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi (Bank Bukopin Syariah) terjadi pada saat Undang-Undang No. 3 tahun 2006 telah efektif berlaku, dengan demikian Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara ini; 7. Bahwa pertimbangan serta amar putusan judex facti saling bertentangan antara satu dengan yang lain sehingga telah salah dalam menerapkan hukum. Mahkamah Agung berpendapat berdasarkan pertimbangan terhadap alasan-alasan tersebut, adalah bahwa mengenai alasan 1 sampai dengan 7 itu adalah merupakan alasan-alasan yang tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi Agama Padang tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan-alasan ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Bahwa namun demikian menurut pendapat Mahkamah Agung, amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang harus diperbaiki karena belum tepat, dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa karena objek sengketa dalam perkara a quo telah dilelang oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Bukittinggi sesuai Risalah Lelang No. 161/2006 tanggal 16 Agustus 2006 berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Penetapan No. 03/PDT.EKS/2006/PN.BT tanggal 4 Juli 2006, maka gugatan para Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima; 2. Bahwa gugatan para Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, karena perkaranya telah diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Bukittinggi, bukan karena asas Retroaktif; Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: H. Effendi bin Rajab, dan kawan tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang, sehingga amar selengkapnya sebagaimana akan disebut di bawah ini: Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004, Undang-Undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan; Mahkamah Agung mengadili dengan menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, yakni: H. EFFENDI bin RAJAB dan Dra. Psi. FITRI EFFENDI binti MUNIR tersebut; dengan Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang No. 32 dan 33/Pdt.G/PTA.Pdg tanggal 30 Januari 2008 M. bertepatan dengan tanggal 21 Muharram 1429 H., sehingga amar selengkapnya sebagai berikut: 1. Menerima permohonan banding dari para Pembanding; 2. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Bukittinggi No. 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt tanggal 5 September 2007 M. bertepatan dengan tanggal 23 Sya’ban 1428 H; Dengan mengadili sendiri, bahwa dalam eksepsi; Menolak eksepsi para tergugat seluruhnya dan dalam provisi; Menolak gugatan provisi para Penggugat; sementara dalam pokok perkara, hakim memutuskan: 1. Menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard): 2. Menghukum para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama sebesar Rp. 1.172.000,- (Satu Juta Seratus Tujuh Puluh Dua Ribu Rupiah); a. Menghukum para Pembanding I untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 6.000,- (Enam Ribu Rupiah); b. Menghukum para Pemohon Kasasi/ para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah); Perkara ekonomi syariah dalam wilayah hukum pengadilan Tinggi Agama Padang, mengalami proses yang cukup panjang dan menarik perhatian publik. Pengadilan Agama Bukittinggi tampaknya lebih fokus untuk menegakkan hukum materil, karena transaski akad jual beli almuarabahah yang dilakukan oleh para pihak dianggap bertentangan dengan prinsip hukum syariah. Fakta persidangan membuktikan bahwa pengalihan hutang (take over) yang dilakukan oleh pihak dalam hal ini dari Bank BRI Cabang Bukittinggi ke Bank Bukopin Syariah Cabang Bukittinggi menyimpang dari ketentuan Fatwa DSN-MUI karena tidak adanya barang yang diperjual belikan. Dalam perspektif hukum Islam transaksi tersebut mengandung cacat (gharar) di samping juga mengandung unsur riba. Lebih lanjut PA Bukittinggi berpendapat bahwa sungguhpun menggunakan hukum perdata sebagaimana dimuat dalam Pasal 1320 dan 1335 KUH Perdata. Namun demikian PA Bukttinggi mengabaikan ketentuan hukum acara yang berlaku, semestinya perkara tersebut ditolak karena melanggar prinsip nebis in idem dan asas retroaktif (tidak berlaku surut). Atas dasar itulah PTA Padang membatalkan putusan peradilan tingkat pertama, bahkan hakim tingkat banding memberikan pertimbangan hukum, bahwa perjanjian akad nasabah (debitur) dengan PT Bank Bukopin Cabang Syariah Bukitingi (kreditur) telah sesuai akad sebagaimana ketentuan Pasal 1382 KUH Perdata. Semua akad yang dibentuk secara sah berlaku sebagai nash syariah. Berdasarkan isi akad seharusnya kompetensi penyelesaian perkara diajukan ke Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), karena klausul penyelesaian perkara memilih forum arbitrase yang berkedudukan dalam wilayah Pengadilan Negeri Bukittinggi, PA dalam hal ini tidak mempunyai kompetensi, karena UUPA baru diundangkan pada tahun 2006. Terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Banding, Mahkamah Agung berpendapat bahwa PTA Padang tidak salah dalam menerapkan hukum, namun pertimbanagan putusan tersebut harus diperbaiki karena belum tepat, menurut majelis hakim tingkat kasasi seharusnya perkara yang diajukan dinyatakan tidak dapat diterima (nebis in idem), karena telah diselesaikan oleh PN. Dengan demikian tidak tepat jika alasan dalam pertimbangan hukum PTA Padang menggunakan dasar retroaktif. Dari ilustrasi di atas, menitikberatkan penyelesaian perkara pada pokok materi gugatan. Jika dilihat secara subtantif pertimbangan hukum PA Bukittinggi tersebut dapat dibenarkan karena berdasarkan fakta perjanjian akad murabahah yang dilakukan oleh pihak debitur dan kreditur telah melanggar akad jual beli dalam perspektif hukum Islam, secara khusus telah melanggar ketentuan hukum materil yang berlaku. Perjanjian akad murabahah tersebut dapat dikategorikan sebagai mengandung cacat hukum (gharar) karena pengalihan utang dengan akad al-murabahah tetapi faktanya barang yang diperjualbelikannya tidak ada, dengan tidak adanya barang akad semacam itu dapat juga dianggap mengandung unsur tadlis (tipu daya). Namun demikian, bila dilihat dari sisi proses penyelesaian perkara tersebut telah mengabaikan asas hukum acara (hukum formal). Sesuai dengan tujuannya eksistensi hukum acara adalah dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), sehingga hukum acara oleh para hukum dikategorikan sebagai hukum milik publik, oleh karena itu penerapannya bersifat imperatif (mengikat) dan memaksa seluruh pihak dan hakim yang memutus perkara tersebut. Pengabaian terhadap ketentuan hukum acara dapat dianggap sebagai telah melanggar fair trial. Sebab tolak ukur penegakan hukum sangat tergantung dengan bagaimana hukum itu dilaksanakan secara jujur, transparan dan tidak memihak. Pengakan hukum acara juga dalam rangka memberikan hak kepada setiap orang diperlakukan secara adil dalam proses peradilan (due process rights). Suatu peradilan sudah dapat dikatakan menegakkan dan melaksanakan hukum secara fair trial dan due process rights jika dalam pemeriksaan perkara sejak awal sampai akhir putusan dijatuhkan sudah benar-benar berjalan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Dari peristiwa hukum sebagaimana dideskripsikan di atas, tampaknya perbankan yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah, secara umum ternyata belum sepenuhnya melaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana konsepsi hukum Islam, dan secara khusus melanggar prinsip-prinsip syariah sebagaimana dijadikan prinsip dasar perbankan syariah. Sungguhpun PA Bukitinggi dianggap telah mengabaikan ketentuan hukum acara yang berlaku, namun dilihat dari sisi maslahah, PA Bukittinggi paling tidak telah dapat mengungkap tabir dan membuka mata para pihak yang konsen terhadap eksistensi perbankan syariah, ternyata bankbank yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah faktanya dalam praktik masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh bank konvensional. (Blog Heri Junaidi Sabtu, 05 Februari 2011) Akad Murabahah Kasus BUMN (X) mengajukan pembiayaan dalam skema murabahah (jual beli) kepada kedua bank syariah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Masing-masing bank syariah sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Satu kali, BUMN (X) terlambat membayar, namun, secara sepihak, salah satu bank tiba-tiba menaikkan harga jual akad murabahah. Padahal, sesuai akad perjanjian transaksi murabahah, pihak bank syariah tidak boleh menaikkan harga selama masa pembiayaan. Sejak itu sengketa merebak. Kemudian Kasus Kedua. sebuah bank syariah (B). secara sepihak mengubah harga jual beli murabahah dengan perubahan angka yang signifikan (ratusan juta rupiah) yang jelas merugikan nasabah. Padahal, dalam syari’ah, perubahan harga ini tidak boleh dilakukan. Perubahan se pihak ini dilakukannya karena nasabah menunda pembayaran. Padahal di bank Islam yang lain yang murni syariah, tidak terjadi perubahan harga, walau ada penundaan pembayaran. Karena perubahan harga bai’ murabahah itu, nasabah merasa keberatan dan mengajukan gugatan . Di Indonesia terdapat dua lembaga penyelesaian sengketa bisnis syariah yaitu (1) Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas); (2) Peradilan Agama. Setelah menilai berbagai kajian yang berkenaan dengan kompetensi pengadilan agama dan peran Basyarnas maka kedua kasus yang dikemukakan sebelumnya pada fokus dasar harus menyelesaikannya di lembaga Peradilan Agama, bukan di Pengadilan Umum, agar pengamalan syariah benar-benar komprehensif. Upaya melakukan gugatan kasus lewat Badan Arbitrase Syariah akan diabaikan bank syari’ah sebab jika mau menyeselesaikan masalah ini di Badan Arbitrase Syariah, maka ia harus mengubah kembali harga jual beli kepada harga semula. Karena bank syariah tidak mau, maka Badan Arbitrase Syariah tidak bisa menyelesaikan kasus sengketa tersebut. Hal ini berbeda jika nasabah tersebut mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan. Bank syariah bisa dipanggil oleh Pengadilan untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui persidangan. Bank Syari’ah tidak bisa menolak dan menyatakan tidak mau membawa perkara itu ke Pengadilan. Dengan demikian Peradilan memiliki daya paksa. Berdasarkan kenyataan ini, maka amandemen ini sangat strategis dan sangat penting bagi kepastian hukum di bidang ekonomi syariah di Indonesia. (Blog Heri Junaidi Sabtu, 05 Februari 2011) Akad Musyarakah Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg. Kasus yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dalam perkara ekonomi syariah yang akan diangkat kali ini adalah dalam hal terjadinya wanprestasi atas akad al-Musyarakah. Dalam BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 poin 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pembiayaan dengan akad al-Musyarakah adalah Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Dalam definisi lain, musyarakah diartikan sebagai akad antara dua orang atau lebih dengan menyetorkan modal dan dengan keuntungan dibagi sesama mereka menurut porsi yang disepakati musyarakah ini lebih dikenal dengan sebutan syarikat atau gabungan pemegang saham untuk membiayai suatu proyek, keuntungan dan proyek tersebut dibagi menurut presentase yang disetujui, dan seandainya proyek tersebut mengalami kerugian, maka beban kerugian tersebut ditanggung bersama oleh pemegang saham secara proporsional. Bank syariah dalam aplikasinya hanya menggunakan instrumen syarikat al-inan, karena jenis syarikat inilah yang lebih sesuai dengan keadaan perdagangan saat ini. Produk-produk yang dikeluarkan melalui syarikat biasanya beraneka ragam, di antaranya modal ventura, di mana bank ikut memberi modal terhadap suatu perusahaan dan dalam jangka waktu tertentu akan melepas kembali saham perusahaan tersebut kepada rekan kongsi dan kemungkinan juga tetap bermitra untuk jangka panjang. Di Indonesia, sudah ada banyak bank syariah yang melakukan produk seperti ini, dan jenis usaha yang dibiayai antara lain perdagangan, industri (manufacturing), usaha atas dasar kontrak dan lain sebagainya. Awal terjadinya sengketa perkara ekonomi syariah ini adalah, pada tanggal 20 Juli 2005 Herman Rasno Wibowo bin Sodirin dan Harni Binti H. Ahmad Sudarmo selaku pedagang di wilayah hukum Pengadilan Agama Purbalingga melakukan perjanjian atau mengikatkan diri dengan akad al-Musyarakah (akte akad Nomor: 123/MSA/VII/05) untuk mendapatkan pembiayaan sebagai tambahan modal usaha dagang gula merah yang selama ini mereka tekuni sebesar Rp. 30.000.000,-. Namun, dalam prakteknya, para tergugat tidak menggunakan modal pembiayaan musyarakah tersebut sesuai perjanjian yang kemudian merugikan penggugat. Sebab itulah, kemudian penggugat menggunakan haknya untuk menarik kembali modal/ pembiayaan musyarakah tersebut. Permasalahan muncul tatkala Tergugat sebagai nasabah tidak melaksanakan atau terlambat atau terkendala untuk melakukan pembayaran atas akad musyarakah tersebut kepada Penggugat yakni para pihak yang dalam hal ini mewakili PT. BPR Syariah Buana Mitra Perwira. Para penggugat mengajukan gugatannya berdasarkan duduk perkara: 1. Tergugat yang telah diberikan modal untuk usaha dagang gula merah dan kelontongan dengan perjanjian pembiayaan musyarakah Nomor: 123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005 sebesar Rp. 30.000.000,-. Namun, dalam prakteknya, para tergugat tidak menggunakan modal pembiayaan musyarakah tersebut sesuai perjanjian yang kemudian merugikan penggugat. 2. Bahwa setiap upaya penagihan yang dilakukan penggugat kepada tergugat tidak pernah ditepati (ingkar janji) dan tidak terlihat adanya itikad baik untuk menyelesaikan kewajibankewajiban penyelesaian pembiayaan. 3. Berdasarkan hal di atas, maka penggugat menuntut agar tergugat dapat memenuhi kewajibannya terhadap penggugat dengan konsekuensi bila tidak juga dapat memenuhi kewajibannya sejumlah tuntutan penggugat, maka jumlah tersebut akan terus bertambah karena bagi hasil dan/ atau denda ta’widh, serta biaya-biaya yang timbul karenanya, sampai seluruh kewajibannya dibayar lunas. Untuk melakukan upaya penyelesaian perkara tersebut, Pengadilan Agama Purbalingga telah dengan sah dan patut memanggil para pihak, namun para tergugat ternyata tidak datang menghadap persidangan dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai kuasanya atau wakilnya yang sah juga tidak ada alasan yang jelas atas ketidakhadirannya dalam persidangan, maka hakim Pengadilan Agama memutuskan untuk menyatakan bahwa tergugat tidak hadir dan putusan atas perkara ini dapat dijatuhkan dengan verstek sesuai dengan pasal 125 HIR dan ketentuan syar’i yang terdapat dalam kitab I’ânah al-Thâlibîn Juz IV hal 238: س ﺑﺘــﻮار او ﺗﻌــﺰز ان ﻛــﺎن ﻟﻤــﺪع ﺣﺠـــﺔواﻟﻘﻀـــﺎء ﻋﻠـــﻰ اﻟﻐﺎﺋـــﺐ ﻋـــﻦ اﻟﺒﻠـــﺪ او ﻋـــﻦ اﻟﻤﺠـــﻞ Artinya: “Memutus atas Tergugat yang gaib dari wilayah Yuridiksi atau tergugat tidak hadir dalam persidangan sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila penggugat mempunyai hujjah”. Dalam persidangan, majlis hakim melakukan beberapa pertimbangan atas gugatan para penggugat, antara lain: 1. Bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi dengan sengaja telah mengalihkan modal/ pembiayaan untuk hal lain yang tidak sesuai dengan akad pembiayaan dan tergugat telah ingkar janji untuk memenuhi segala kewajibannya untuk melakukan penyelesaian pembiayaan musyarakah tersebut, bahkan terindikasi tidak memiliki itikad baik untuk melakukan upaya penyelesaian. Menurut Subekti bahwa debitur dapat dikatakan wanprestasi/ lalai apabila tidak memenuhi kewajiban atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Berdasarkan itu, majelis hakim berpendapat bahwa tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi. 2. Dalam hal ketidaktegasan penggugat untuk memohon pembatalan akad perjanjian musyarakah Nomor: 123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005, tetapi memohon agar pokok pembiayaan dikembalikan. Hal ini, pada hakikatnya agar akad perjanjian tersebut dibatalkan dan tergugat segera mengembalikan permodal yang telah diberikan dengan segala kewajibannya. Untuk hal ini, majelis hakim merujuk pada pendapat DR. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiy wa adilatuhu Juz IV hal. 277 yang menjelaskan bahwa: akad perjanjian yang tidak dilaksanakan ( )ﻟﻌـــــــﺪم اﻟﺘﻨﻔﯿـــــــﺪatau dialihkan pelaksanaannya dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain ()اواﻧﺘﻘﺎﻟـــﮫ ﻣـــﻦ ﺣﺮﻓـــﺔ اﻟـــﻰ ﺣﺮﻓـــﺔ, seperti yang terjadi dalam kasus ini, bahwa tergugat telah menggunakan modal/ pembiayaan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad, maka perjanjian itu dapat dibatalkan (fasakh) dan dengan dibatalkannya perjanjian itu, maka akad itu telah berakhir. Pertimbangan majelis hakim juga mendasarkan pada ayat al-Qur’an Surat al-Mâ’idah ayat 1: ﯾﺎاﯾﮭﺎاﻟـــــﺬﯾﻦ اﻣﻨـــــﻮا أوﻓـــــﻮا ﺑـــــﺎﻟﻌﻘﻮد Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. Juga hadits Riwayat Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi dan Daruquthni اﻟﻤﺴـــﻠﻤﻮن ﻋﻠـــﻰ ﺷـــﺮوطﮭﻢ Artinya: “orang-orang Islam terikat pada akad perjanjian yang mereka buat”. Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, maka diputuskan bahwa akad tersebut batal. 3. Bahwa penggugat telah dirugikan oleh terjadinya wanprestasi dan tidak dipenuhinya kewajiban oleh para tergugat, maka tuntutan agar tergugat membayar kewajibannya kepada penggugat yang terdiri dari: - Pokok Pembiayaan - Denda Ta’widh - Biaya APHT : Rp. 29.080.000,: Rp. 7.729.569,: Rp. 262.000,: Rp. 37.071.569,- Yang oleh majelis hakim dianggap telah sesuai dengan pasal 8 dan pasal 19 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 7/46/PBI/ 2005. Karena itu, tuntutan dapat dikabulkan. 4. Permohonan peletakan sita eksekusi dan menetapkan secara hukum Kantor Lelang dan/ atau KP2LN Purwokerto untuk melaksanakan lelang jaminan, dalam pertimbangan majelis hakim, masih terlalu prematur, karena sita eksekusi dan lelang adalah proses eksekusi yang baru dapat dilaksanakan/ dimohonkan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap dan bila tergugat tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela. Dan atas dasar itu, permohonan sita eksekusi penggugat tidak dapat diterima. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka majelis hakim Pengadilan Agama Purbalingga memutuskan perkara ini dengan putusan: 1. Menyatakan para Tergugat yang telah dipanggil dengan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir. 2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek untuk sebagian. 3. Menyatakan para Tergugat telah melakukan wanprestasi. 4. Membatalkan akad perjanjian pembiayaan al-musyarakah Nomor: 123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005. 5. Menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang sebesar Rp. 37.071.569,- (tiga puluh tujuh juta tujuh puluh satu ribu lima ratus enam puluh sembilan rupiah) 6. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 261.000,- (dua ratus enam puluh satu ribu rupiah). (Blog Heri Junaidi Sabtu, 05 Februari 2011)