Uploaded by User7559

Pisuhan dan Gender

advertisement
UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH STUDI GENDER
PEREMPUAN DAN UMPATAN: KONSTRUKSI MASKULINITAS TERHADAP
PEREMPUAN YANG MENGUMPAT
DISUSUN OLEH:
ALWAN BRILIAN DEWANTA
15/378450/SA/17729
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI BUDAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
PENDAHULUAN
“Asu!” “Bajingan!”
Apa yang kita bayangkan mengenai kedua umpatan tersebut? Apakah ada imajinasi lakilaki ketika kita membaca kedua kata umpatan tersebut? Sebagai umpatan yang sudah umum kita
dengar dalam realitas, apakah masyarakat dan tatanan sosial kita menerima dengan bijak ketika
seorang perempuan mengeluarkan umpatan yang sama dengan seorang laki-laki ucapkan?
Umpatan/kata kotor merupakan salah satu kekerasan verbal. Ia dikategorikan sebagai kata
yang tabu untuk diucapkan. Ia juga hadir sebagai sebuah respon terhadap realitas, dimana ia tidak
muncul begitu saja tanpa adanya latarbelakang dari apa yang sedang dialami oleh seorang.
Umpatan seringkali diartikan sebagai ekspresi kemarahan dan kebencian, serta dianggap sebagai
kata yang buruk untuk diucapkan secara umum (Ashton D. Trice and Frank C. Parker, 1983). Ia
juga menjadi salah satu kata yang dapat melukai seseorang, dengan atau tanpa adanya tendensi
tersebut (Gartrell, 2007). Dengan atau tanpa kesadaran, umpatan seringkali menimbulkan efek
psikologis baik untuk pengumpat atau yang dikenai umpatan. Umpatan mengandung semantik
yang eksploratif. Ia tidak hanya dapat dimaknai melalui satu kacamata saja, namun ia merupakan
kata yang mengandung lapisan-lapisan makna, sehingga kurang benar jika kita hanya memakai
satu prespektif untuk melihat fenomena tersebut dalam sebuah realitas (Jay, 2009).
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Mabry (1974), ia berusaha menjabarkan
bagaimana kata yang dikategorikan sebagai umpatan digunakan secara konvensional, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam media massa.
Mabry (1974) asked subjects to rate a list of sexual terms to determine how likely they would use
such words in a conversation. A factor analysis of the ratings produced five separate factors. Two
factors are clearly exemplified by taboo words; Mabry labelled them sexual obscenities (cock, cunt)
and personally defaming words (bastard, bitch). The other three factors can be used in polite
company or mass media; they are technical expressions (penis, vagina), latent sexual terms
(behind, goose), and euphemistic expressions (make love, go to bed). Mabry's study points to the
difficulty we have with sex talk: we use slang, which seems too offensive for polite conversation,
but, on the other hand, clinical terms seem odd and too formal. (Mabry; 1974 dalam Jay; 2009)
Setiap individu memiliki alasannya masing-masing untuk mengeluarkan umpatan. Ia hadir dengan
atau tanpa sadar, tergantung habitus setiap individu. Bagi Van Lancker (Jay, 2009) seseorang yang
mengumpat bagaikan seorang supir yang menekan tombol klakson (horn). Ia berada pada tatanan
kognitif yang muncul secara spontan, tidak diatur maupun direncanakan. Bahkan tidak jarang,
motivasi seseorang mengumpat adalah untuk bercanda semata: mendapatkan respon yang sama
ketika seseorang sedang mengatakan sebuah lelucon, yaitu tertawa. Akan tetapi, bagi Jay (2009),
umpatan seringkali diidentikan dengan praktik sexual harrasment, hujatan, diskriminasi, ujaran
kebencian, atau kekerasan verbal. Kedua premis ini memperlihatkan bahwa umpatan itu paradoks,
kadang ia menjadi sebuah lelucon (namun untuk siapa?), tetapi juga tidak jarang ia dianggap
sebagai kekerasan verbal.
Dalam pengamatannya, penulis menemukan fenomena yang cukup menarik untuk dikaji
melalui kajian gender. Selama melakukan pengamatan penulis mendapati pandangan yang cukup
negatif terhadap perempuan yang mengumpat: terlebih dalam umpatan bahasa jawa seperti asu
maupun bajingan. Pada sebuah wawancara, Saras, mengatakan kepada saya,
Aku gatau ya…aku tu kalo mau misuh tu liat sikon (situasi kondisi). Kalo misal ketemu kamu gitu,
ya aku santai, soale dah deket gitu lho. Kalo sama orang lain, ya aku pikir-pikir. Kadang aku
keceplosan juga sih. Masalahnya aku cewek wan, kamu kan tau cewe harus ini-itu, gaboleh ini-itu.
Beda sama cowok, apalagi misuh, ya buruk banget lah kalo sampe orangtuaku tau. (Wawancara
dilakukan pada tanggal 16 Desember 2018)
Pernyataan yang dikatakan oleh Saras menunjukkan bahwa ada ketakutan seorang
perempuan untuk mengumpat, di samping kata ia memiliki tendensi untuk menghujat maupun
tidak. Ketakutan tersebut dirasakan oleh Saras dalam kerangka berfikir maskulinitas, dimana
perempuan disub-ordinatkan dalam tatanan sosialnya (Hillary, 2014; Amir Biglar Beigi Ghajarieh
dan Karen Kow Yip Cheng, 2011). Ini tentu tidak memberikan ruang kepada perempuan untuk
merasakan hal yang sama dirasakan oleh laki-laki, sehingga ia kehilangan kesempatan dan terjadi
gender inequality.
Melihat fenomena di atas, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengetahui lebih jauh
tentang bagaimana konstruksi masyarakat terhadap perempuan yang mengumpat? Tentu sebelum
jauh menjelaskan, dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk menempatkan status
perempuan maupun laki-laki pada level yang lebih rendah dari yang lainnya. Tulisan ini murni
bermaksud untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam masyarakat, dengan tanpa menjatuhkan
status gender satu sama lain.
PEMBAHASAN
Perempuan seringkali dilabeli dengan berbagai macam ekspektasi. Pembingkaian
(framing) terhadap perempuan menciptakan suasana sosio-kultural yang begitu timpang antara
laki-laki dan perempuan. Menurut Yasimen (2018), perempuan menempati ruang-ruang yang
kurang produktif menurut pandangan maskulinitas. Seperti mengurusi rumah tangga, mengurus
anak, dan secara tidak langsung dilarang bekerja karena akan mengganggu kegiatan domestik.
Ketika pun perempuan bekerja, ia mendapatkan diskriminasi ataupun perlakuan yang berbeda
dengan laki-laki1. Sementara laki-laki telah berhasil melebarkan batas maskulinitasnya dengan
leluasa. Tanpa ada batasan tertentu yang mengatur di belakangnya.
Tanpa atau dengan sadar, perempuan telah mendapatkan petunjuk dan larangan sosial di
dalam realitas2, sehingga ia telah berada dalam kerangka yang diatur oleh kekuatan (power) yang
memayungi seluruh tindak dan laku perempuan, kekuatan itu adalah hegemoni meskulinitas
(Budgeon, 2014). Hegemoni maskulinitas oleh Connel (dalam Budgeon, 2014) digambarkan
sebagai konfigurasi praktek gender yang melegitimasi segala bentuk tindakan di bawah konsep
patriarki, dimana posisi laki-laki lebih dominan dan perempuan berada pada sub-ordinat. Situasi
ini menyebabkan adanya perbedaan status gender, dan menimbulkan pengekangan terhadap
1
Besen-Cassino, Yasemin. 2018. The Cost of Being a Girl Working Teens and the Origins of the Gender Wage Gap.
London. Temple University Press
2
Hillary (2014) memberikan keterangan sebagai berikut : The prescriptive aspects of gender stereotypes can be
broken down into several categories (Prentice and Carranza 2002). First, there are intensified prescriptions:
positive qualities that are considered especially desirable for either women or men. For example, in North America
it is considered very important for women to be warm, kind, and interested in children. Men who have these
qualities are also viewed positively, but for women it is more important. Then there are relaxed prescriptions:
positive qualities that are viewed as desirable for anyone, but for which either women or men are more easily
forgiven if they fall short. For example, intelligence is valued in both men and women, but women are judged less
harshly than men if they are seen as lacking in this quality, Next, there are intensified proscriptions: qualities that
are undesirable in general, but viewed as especially undesirable in one gender or the other. For example,
promiscuity is viewed as a bad thing—but promiscuous women are the targets of more disapproval than
promiscuous men. Finally, there are relaxed proscriptions: socially undesirable traits that nonetheless receive more
approval when displayed by one gender than the other. For example, it would be hard to argue that it is a good
thing to be shy, but a shy woman is more likely than a shy man to be excused for this quality (Hillary: 26)
perempuan. Karena laki-laki mendapatkan posisinya yang lebih stabil dibandingkan perempuan
pada umumnya (Donladson, 1993).
Melihat fenomena umpatan yang dilontarkan oleh perempuan, kiranya kita dapat melihat
dengan begitu jelas bahwa apa yang dirasa “dominan” terhadap laki-laki, tidak dapat dilakukan
oleh perempuan. Mengumpat, menurut Jay (2009), mengumpat tidak sama sekali menggambarkan
relasi kuasa antara umpatan dengan gender. Namun pada kenyataanya, ia dihubungkan dengan
kuasa maskulinitas sehingga potret seorang perempuan mengumpat itu adalah negatif.
Saya bertanya kepada Ulfa, seorang mahasiswi, ia pun menyetujui pernyataan tersebut.
Saya lahir di keluarga islam. Dalam islam, perempuan digambarkan anggun, tidak banyak polah.
Dengan begitu, ketika saya misuh, saya jadi berfikir ulang. Dan kadang berhati-hati juga dalam
berbicara, tidak seperti laki-laki kan, dia bebas, tidak diatur ini itu, jadi misuh tu identik bgt sama
cowok. Entah kenapa (Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Desember 2018)
Pernyataan Ulfa menunjukkan bahwa umpatan menjadi common terhadap laki-laki. Ia
tidka digambarkan sama dengan perempuan, bahwa dalam sebuah kepercayaan tertentu, agama
misalnya, perempuan mendpatkan perhatian khusus dengan segala bentuk aturan, sehingga tidak
heran bahwa ketakutan terhadap dosa karena sistem kepercayaan tertentu memberikan sanksi
kepada individu untuk mengumpat atau pun tidak (Jay, 2009). Amir Biglar Beigi Ghajarieh and
Karen Kow Yip Cheng (2011) menjelaskan bahwa ketika laki-laki mendapatkan common sense
nya, ia tidak akan dianggap aneh ataupun menyimpang. Ini lah yang menyebabkan perempuan
dilabeli menyimpang ketika mereka mengumpat, karena pada dasarnya, masyarakat telah
mengkonstruksi perempuan dengan sedemikian rupa sehingga batasannya menjadi rigid, tidak cair
seperti apa yang terjadi pada laki-laki.
Adrian, seorang mahasiswa, mengatakan kepada saya:
Ya kalo aku emang biasa aja. Cewek misuh pun biasa. Tapi memang jarang gitu lho kalo cewek
misuh, mesti kalo cowok kebanyakan. Jadi mungkin ini yang membuat aneh, kalo misal cewek
emang biasanya misuh, sama kaya cowok, ya jadinya biasa aja, ga bakal keliatan aneh
(Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Desember 2018)
Laki-laki digambarkan sebagai individu yang merdeka, bebas, dan ekspresif. Sementara
perempuan berkebalikan dengan hal tersebut. Demikian pula umpatan, menurut Clark (dalam Jay,
2009) mengumpat bagi setiap individu adalah sebuah ekspresi yang datang dari respon psikologis:
amarah, kegembiraan, atau kebencian serta dendam. Sementara, dalam beberapa kajian gender3
menyebutkan, bahwa untuk mengekspresikan perasaannya, perempuan tidak dapat melakukannya
dengan bebes, ia dibatasi oleh aspek-aspek sosial-budaya yang mengaturnya. Dengan kata lain,
ketika seorang perempuan mengumpat, maka ia telah melakukan penyimpangan sosial
(transgression)
KESIMPULAN
Umpatan sebagai ekspresi yang spontan ternyata tidak dapat dianggap remeh dalam
kehidupan sosial masyarakat. Di dalamnya terdapat kompleksitas pada aspek sosial-budaya.
Perempuan, sebagaimana yang kita ketahui, tidak mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki
mengenai umpatan. Ia berada pada pusaran besar yang kita sebut sebagai hegemoni maskulinitas,
dimana legitimasi atas tindakan yang berbasis gender dinilai dan dipahami melalui cara pandang
laki-laki. Fenomena ini kemudian dikonstruksi oleh masyarakat luas, terutama melalui
pengetahun, sistem kepercayaan, dan relasi kuasa gender itu sendiri, sehingga perempuan tidak
memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki.
Di lain sisi, dari pemaparan ini, kita perlu memahami bahwasanya kerangka berfikir dan
logika yang dipakai oleh masyarakat secara umum masih bergantung pada konsep patriarki,
apalagi, kita yang hidup beriringan dengan budaya tersebut. Namun tentu, penelitian ini tidak dapat
dianggap selesai dengan kapasitasnya menjabarkan fenomena yang penulis maksud hanya dalam
beberapa paragraf. Perlu adanya diskusi dan narasi lanjut untuk mengeksplorasi lebih jauh
mengenai hal yang diangkat penulis.
3
Lihat M. Lips, Hilary. 2014. Gender: The Basics. London and New York. Routledge; Besen-Cassino, Yasemin. 2018.
The Cost of Being a Girl Working Teens and the Origins of the Gender Wage Gap. London. Temple University Press;
Mary R. Beard. 1947. Woman's Role in Society dalam The Annals of the American Academy of Political and Social
Science, Vol. 251,Women's Opportunities and Responsibilities (May, 1947), pp. 1-9. Sage Publications
DAFTAR PUSTAKA
Beard, Mary R.. 1947. Woman's Role in Society dalam The Annals of the American Academy of Political
and Social Science, Vol. 251,Women's Opportunities and Responsibilities (May, 1947), pp.
1-9. Sage Publications
Besen-Cassino, Yasemin. 2018. The Cost of Being a Girl Working Teens and the Origins of the Gender
Wage Gap. London. Temple University Press
Budgeon, Shelley. 2014. The Dynamics of Gender Hegemony: Femininities, Masculinities and Social
Change dalam Sociology, Vol. 48, No. 2 (APRIL 2014), pp. 317-334. Sage Publications
Chelli, Francesco dan Rosti, Luisa. 2005. Gender Discrimination, Entrepreneurial Talent and SelfEmployment dalam Small Business Economics, Vol. 24, No. 2 (Mar., 2005), pp. 131-142.
Springer
Cheng, Karen Kow Yip dan Ghajarieh, Amir Biglar Beigi. 2011. Rethinking the Concept of Masculinity
and Femininity: Focusing on Iran's Female Students dalam Asian Journal of Social
Science, Vol. 39, No. 3 (2011), pp. 365-371. Brill
Donaldson, Mike. 1993. What Is Hegemonic Masculinity? dalam Theory and Society, Vol. 22, No. 5,
Special Issue: Masculinities (Oct., 1993), pp. 643-657. Springer
M. Lips, Hilary. 2014. Gender: The Basics. London and New York. Routledge
Ridgeway, Cecilia L.. 2009. Framed Before We Know It: How Gender Shapes Social Relations dalam
Gender And Society, Vol. 23, No. 2 (April 2009), Pp. 145-160. Sage Publications
Webster, Faith. 2006. Gender Mainstreaming: Its Role In Addressing Gender Inequality In Jamaica dalam
Caribbean Quarterly, Vol. 52, No. 2/3, Unraveling Gender, Development And Civilsociety
In The Caribbean (June-Sept. 2006), Pp. 104-120. Taylor & Francis
INFORMAN
Adrian, mahasiswa, wawancara dilakukan pada tanggal 15 Desember 2018, pukul 18.00-20.00 WIB
Ulfa, mahasiswi, wawancara dilakukan pada tanggal 16 Desember 2018, pukul 13.00-15.00 WIB
Saras, mahasiswi, wawancara dilakukan pada tanggal 16 Desember 2018, pukul 16.00-17.30 WIB
Download