Bidang Unggulan : Manajemen Lahan Basah Kode/Nama Rumpun Ilmu : 195/Bidang Kehutanan Lain Yang Belum Tercantum LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI Development and Upgrading of Seven Universities in Improving the Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia Model Kolaboratif Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Studi pada Lahan Hutan Rawa di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Kuala Lupak) Oleh Dr. HAMDANI FAUZI,S.Hut,M.P. (NIP/NIDN:197503062000031001/0006037506) Dr. Ir.H. MAHRUS ARYADI,M.Sc (NIP/NIDN: 196601291992031003/ 0029016605) Dra. TITIEN MARYATI,M.M (NIP/NIDN: 195308161983122001/ 0016085302) KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN NOVEMBER 2015 i ii DAFTAR ISI BAB 1 BAB II. BAB III. BAB IV. BAB V. LEMBAR PENGESAHAN …………………………………... DAFTAR ISI …………………………………………………. DAFTAR TABEL ……………………………………………. DAFTAR GAMBAR ………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………. RINGKASAN ……………………………………………….. PENDAHULUAN ii iii iv v vi vii A. Latar Belakang …………………………………………... 1 B. Perumusan Masalah Penelitian ………………………….. 4 C. Tujuan dan Kegunaan Penellitian ……………………….. 4 D. Keutamaan Penelitian …………………………………… 5 E. Kebaruan (Novelty) ……………………………………... 5 F. Kerangka Pikir Penelitian ………………………………. 6 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….. 8 A. Gambaran Umum tentang Hutan Rawa Gambut ……….. 8 B. Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat …………………… 8 C. Landasan Teori ………………………………………….. 9 D. Penelitian Terdahulu …………………………………….. 12 METODE PENELITIAN …………………………………... 13 A. Metode Pendekatan Penelitian ………………………….. 13 B. Penentuan Lokasi ……………………………………….. 13 C. Sumber Data …………………………………………….. 14 D. Variabel Penelitian ……………………………………… 15 E. Instrumen ………………………………………………... 20 F. Teknik Pengumpulan Data ……………………………… 21 G. Analisis Data …………………………………………….. 21 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………. 26 A. Modal Sumberdaya Masyarakat ………………………… 26 B. Perilaku Masyarakat ……………………………………. 45 KESIMPULAN DAN SARAN ………………. ……………. 126 A. Kesimpulan …………………... ………………………… 126 B. Saran ……………….……………………………………. 127 DAFTAR PUSTAKA 130 LAMPIRAN iii DAFTAR TABEL Nomor Judul ii Halaman 1. Program Perhutanan Sosial di lokasi penelitian……… ……… 14 2. Sebaran populasi dan responden setiap desa di lokasi penelitian 14 3. Indikator dan Variabel Modal Fisik…..……………………….. 15 4. Indikator dan parameter modal manusia (human capital)…… 16 5. Indikator dan parameter modal sosial ..………………………. 16 6. Parameter Kemampuan Penyuluh Kehutanan sebagai Pelaku Pemberdayaan ………………….……………………………. 18 7. Indikator dan Parameter Tingkat Keberdayaan Masyarakat ….. 19 8. Indikator dan parameter proses pemberdayaan………………… 19 9. Katagore Tingkatan Modal Sumberdaya berdasarkan persentase pencapaian Skor Maksimum……………………….. 22 10. Katagore Tingkatan Perilaku dan Proses Pemberdayaan Masyarakat berdasarkan persentase pencapaian Skor Maksimum…………………………………………………… 24 11. Persepsi responden terhadap ketersediaan modal fisik ……… 26 12. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya Manusia ………………………………………………………... 29 13. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sosial ..…………. 33 14. Persepsi responden terhadap modal sumberdaya Finansial …… 39 15. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya Alam ………………………………………….……………… 41 16. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan …………………... 50 17. Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan ……………………. 56 18. Kemampuan Psikomotorik Penyuluh Kehutanan ……………... 61 19. Hasil Penilaian terhadap Kemampuan Penyuluh Kehutanan … 71 iv DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Halaman 1. Kerangka pikir Penelitian Pemberdayaan Masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan di KPHK Kuala Lupak …. 7 2. Taksonomi Perilaku Bloom (1956)………………………….. 11 3. Alur Penggunaan Sumberdaya Finansial ………………… 40 4. Persepsi Responden tentang Pemanfaatan Lahan Hutan (%) 42 5. Grafik Pentagon Aset untuk menggambarkan kondisi sumberdaya di lokasi penelitian …………………………… 43 6. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan (diadaptasi dari model Taksonomi Bloom (1956) versi (Krathwohl, 2002) ……………………………………………………… 54 7. Sikap menghayati peran sebagai penyuluh kehutanan ……. 59 8. Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan ……………… 59 9. Keterampilan Penyuluh Kehutanan berdasarkan arahan …. 64 10. Persentase Keterampilan Penyuluh Kehutanan pada tingkatan Complex Overt Response …………………………. 66 iii iii v DAFTAR LAMPIRAN Nomor Judul Halaman 1. Susunan Organisasi Peneliti dan Pembagian Tugas ........... 51 2. Surat Ijin Penelitian ……………………………………… 131 3. Peta Lokasi Penelitian …………………………………… 132 4. Dokumentasi Penelitian ………………………………….. 133 vi RINGKASAN v Kawasan hutan yang berada dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Kuala Lupak merupakan tipe hutan rawa. Hutan rawa sebagai salah satu tipe hutan yang ada di Indonesia mempunyai peranan yang penting dan strategis karena keunikan lokasinya, karakteristik hutan dan gambutnya, kekayaan dan keanekaragaman flora dan faunanya serta fungsinya dalam ekosistem global. Walaupun demikian, kondisi kehidupan ekonomi masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah hutan rawa pada umumnya tergolong miskin dan bergantung hidupnya dengan hutan. Konsekuensi dari rendahnya pendapatan adalah masyarakat semakin tergantung pada sumber daya lahan, semakin sulit mengembangkan potensi diri, standar minimal kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya masyarakat kurang dapat berpartisipasi dalam program pembangunan. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan cara untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu model pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan rawa bergambut. Penelitian ini bertujuan untuk (a) mengidentifikasi kondisi modal sumberdaya di wilayah KPHK Kuala Lupak, (b) mengkaji interaksi masyarakat di dalam dan sekitar hutan di wilayah KPHK Kuala Lupak dengan sumberdaya hutan, (c) mendeskripsikan implementasi program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di wilayah KPHK Kuala Lupak, (d) mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di wilayah KPHK Kuala Lupak, dan merumuskan model pemberdayaan masyarakat di di wilayah KPHK Kuala Lupak Kuala Lupak dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pembahasan hasil analisis penelitian kuantitatif akan dapat lebih mendalam dan tidak kering jika dikombinasikan dengan hasil analisis penelitian kualitatif. Dengan kombinasi ini, akan memberikan pemahaman yang lebih luas terhadap masalah-masalah penelitian. Penelitian akan dilaksanakan di desa-desa di wilayah KPHK Kuala Lupak yang mempunyai karakteristik lahan hutan rawa. Luaran penelitian terdiri atas luaran wajib dan luaran tambahan. Luaran wajib pada tahun pertama berupa publikasi ilmiah dalam jurnal International Journal of Science and Research (IJSR) dengan Impact Factor (IF) 3.358, menjadi penyaji dalam seminar nasional, dan draft Buku Ajar. Kata Kunci:Pemberdayaan, Pengelolaan, Sumberdaya Hutan, Hutan Rawa vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu faktor penyebab degradasi hutan adalah permasalahan dalam manajemen pengelolaan dan ketidakjelasan institusi yang mengelola seluruh wilayah hutan yang ada, sehingga diperlukan institusi yang dapat mengelola kawasan hutan dengan lebih baik. Institusi pengelola yang dimaksud adalah dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Elvida, 2009:55). KPH dianggap sebagai solusi atas semakin meluasnya hutan negara yang secara de facto menjadi open access. Ini berarti KPH dapat menjadi wujud kelembagaan yang menjadi ajang mobilisasi sumberdaya kehutanan ke lapangan sehingga dapat menahan dinamika perubahan tata ruang di daerah. Diharapkan dengan keberadaan KPH, kawasan hutan dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, sehingga tujuan pengelolaan hutan lestari dapat tercapai. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) bertujuan untuk menata kembali seluruh kawasan hutan produksi, lindung dan kawasan konservasi menjadi unit pengelolaan sesuai dengan tipe tapak untuk menjamin kelestarian usaha yang rasional dan menguntungkan yang dapat menyediakan hasil hutan dan manfaat lainnya bagi pembangunan nasional, pembangunan daerah dan masyarakat sekitar hutan secara berkelanjutan. Lahan rawa di Indonesia diperkirakan seluas 25.6 juta ha, tersebar di Pulau Sumatera 8.9 juta ha (34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta ha (22.7%) dan Pulau Irian 10.9 juta ha (42.6%). Luas lahan rawa di Kalimantan Selatan mencapai 235.677 hektare. Dari luasan itu, lahan rawa yang sudah ditanami tanaman pangan mencapai 78.544 hektare dan lahan potensial lain yang dapat dikelola untuk pangan di rawa lebak mencapai 90.000 hektare. Lahan rawa gambut di Kalimantan Selatan banyak dijumpai di Kabupaten Barito Kuala yang merupakan lahan terluas (63,87%) yang saat ini sebagian berada dalam wilayah KPH Konservasi Kuala Lupak. Berdasarkan penelitian Fauzi (2009), secara ekonomis kondisi kehidupan masyarakat di desa-desa di sekitar wilayah KPH Konservasi Kuala Lupak tergolong miskin 56,15% dan hampir miskin 25,08%. Konsekuensi dari rendahnya pendapatan 1 masyarakat adalah sumber daya hutan cenderung semakin rusak karena eksploitasi kayu galam oleh para peramu, masyarakat semakin sulit mengembangkan potensi diri, standar minimal kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya masyarakat kurang dapat berpartisipasi dalam program pembangunan. Kurangnya lapangan kerja yang tersedia menyebabkan masyarakat semakin tergantung pada sumber daya hutan dan masyarakat cenderung melegalkan segala cara dalam mengeksploitasi sumber daya hutan. Kurangnya lapangan kerja mengakibatkan banyak pengangguran maupun setengah penganggur, sehingga produktivitas masyarakat rendah dan mudah dihasut untuk melakukan kegiatan yang cenderung merusak lingkungan. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan semakin terancam. Himpitan kemiskinan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan berpotensi mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan semakin besar dan hutan menjadi semakin rusak. Di sisi lain, dengan interaksi masyarakat dengan sumberdaya maka kesadaran masyarakat menjaga dan memelihara kelestarian sumber daya hutan juga semakin besar. Dalam pengelolaan hutan, sejak dulu masyarakat telah menunjukkan kearifan lokal (indigenous knowledge) yang menjadi bagian terpenting dalam melanjutkan upaya melestarikan alam, lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya mereka. Mereka memperlakukan hutan sebagai aset jangka panjang, seperti rekening bank yang bisa diuangkan sewaktu-waktu. Pendorong utama untuk melanjutkan penanaman hutan adalah kepentingan komersial, meski tidak bisa dipungkiri nilai-nilai ekologis juga dipertimbangkan. Petani sangat memahami nilai sebenarnya hutan mereka, sehingga mereka terus menjaganya (Hinrichs et.al., 2008). Upaya pemberdayaan masyarakat perdesaan hutan merupakan alternatif untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat berperan serta dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan dan lahan hutan. Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelibatan masyarakat lokal (partisipasi) dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan positif, di mana kesadaran kritis masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan (Suprayitno & Lokal, 2008:137). Hal ini sejalan dengan pendapat Cary (1970) bahwa untuk menjamin 2 kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan dan harus tetap diperhatikan dan dikembangkan. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan merupakan hal yang baru. Kementerian Kehutanan dan berbagai lembaga serta elemen masyarakat lainnya telah banyak mengeluarkan kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di seperti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Gerakan Rehailitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Hutan kemasyarakatan (HKm), pengembangan perlebahan, Perhutanan Sosial, Kebun Bibit Rakyat, dan Hutan tanaman Rakyat (HTR). Walapun sudah banyak program pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan dilaksanakan, namun masih jauh dari apa yang diharapkan visi kehutanan mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Sehingga perlu ada evaluasi terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan selama ini. Dengan adanya evaluasi tersebut, akan dapat diketahui sampai sejauh mana kegiatan tersebut mampu membangun perilaku masyarakat yang peduli terhadap kelestarian hutan. Pada saat KPHK Kuala Lupak ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, UPTD KPHK Kuala Lupak belum mempunyai perencananaan pemberdayaan masyarakat di dalam wilayah KPHK Kuala Lupak, yang ada hanya berupa rencana kegiatan fisik atau teknis saja. Padahal menurut Menurut Marfai (2005:122), keberhasilan maupun kegagalan pembangunan hutan tidak lepas dari peran serta masyarakat lokal. Oleh karena itu, agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pengaturan yang baik atas alokasi, akses dan pengawasan dapat menjadi faktor pendorong (incentive) yang cukup efektif untuk pengelolaan hutan yang lestari, namun sebaliknya kesalahan dalam mengelola ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan hancurnya sistem hutan (Barber et al., 1994). Oleh karena itu agar program pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dapat berjalan dengan baik, maka pola alokasi, akses, dan pengawasan harus mendapatkan perhatian yang seimbang dan menyeluruh yang diatur di dalam suatu konstruksi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. 3 B. Perumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Bagaimana kondisi modal sumberdaya (modal sosial, modal manusia, modal finansial, modal sumberdaya alam dan modal fisik) di KPHK Kuala Lupak? b) Sejauh mana program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di KPHK Kuala Lupak mampu merubah perilaku pelaku pemberdayaan masyarakat dan masyarakat yang diberdayakan? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah menggambarkan pemberdayaan masyarakat di KPHK Kuala Lupak. Sedangkan tujuan khusus penelitian di tahun pertama (2015) adalah: a) Mengidentifikasi kondisi modal sumberdaya masyarakat di wilayah KPHK Kuala Lupak, b) Mengkaji perilaku masyarakat di wilayah KPHK Kuala Lupak terkait program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua parapihak baik dalam tataran akademis (keilmuan) maupun praktis. Kegunaan penelitian yang dimaksud adalah: 1. Kegunaan dalam tataran akademis/keilmuan a) Memperkaya khasanah keilmuan tentang aspek-aspek perilaku sebagai hasil proses pembelajaran dalam pemberdayaan dan pemahaman proses pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang dapat meningkatkan keberdayaan masyarakat secara berkelanjutan b) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman modal sumberdaya yang penting bagi pemberdayaan. c) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemberdayaan sebagai bagian pembangunan yang berpusat pada manusia 2. Kegunaan dalam tataran praktis a) Sebagai referensi bagi semua stakeholders dalam merancang dan melakukan evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. 4 b) Sebagai referensi para pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan desain model pemberdayaan masyarakat di wilayah KPHK Kuala Lupak. D. Keutamaan Penelitian Penelitian ini sangat penting dilaksanakan mengingat keberadaan masyarakat sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan hutan, termasuk hutan rawa. Banyak pihak menyadari bahwa dalam pembangunan sektor kehutanan, secara teknik kehutanan (budidaya dan penanaman) sudah sangat maju, namun dalam hal keterlibatan dan partisipasi masyarakat sangatlah terabaikan. Awang (2004:142) mengatakan bahwa rimbawan pada umumnya tidak serius memahami sumberdaya alam dari perspektif non-teknis. Dari sisi kebijakan, penelitian ini juga penting dilakukan karena dalam rencana strategis Kementerian Kehutanan telah ditetapkan 8 prioritas pembangunan kehutanan yaitu Pemantapan kawasan hutan, Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS), Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan, Konservasi keanekaragaman hayati, Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan, Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan dan Penguatan kelembagaan kehutanan (Kementerian Kehutanan, 2010). Sementara itu dalam Rencana Induk Penelitian (RIP) Unlam tahun 2015-2016, aspek pemberdayaan masyarakat menjadi isu strategis dalam rangka menemukenali solusi terbaik upaya-upaya penyejahteraan masyarakat. E. Kebaruan (Novelty) Nilai kebaruan (Novelty) dari penelitian ini terletak pada penyusunan model pemberdayaan dengan menggunakan hasil pengkajian terhadap perilaku masyarakat yang diberdayakan dan penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan dengan pendekatan dasar teori pembelajaran perilaku (behavioristik) dan teori pembelajaran humanistik sesuai Taksonomi Bloom. Model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis pemberdayaan masyarakat dalam kawasan hutan KPHK Kuala Lupak juga sesuatu yang baru karena dalam pendekatan penyusunan model mempertimbangkan secara komprehensif faktor interaksi masyarakat dengan hutan, kondisi modal 5 sumberdaya, evaluasi hasil pemberdayaan sebelumnya, dan kriteria sosial ekonomi ekologi. F. Kerangka Pikir Penelitian Keberadaan penduduk yang mendiami wilayah yang sekarang dalam KPHK Kuala Lupak telah ada sejak tahun 1950-an dengan suku asli Kuala Lupak. Dalam pemikiran ekosistem, sangat jelas bahwa hutan dan fungsi hutan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan teori ekologi Urie Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya. Pemberdayaan dalam penelitian ini merupakan proses pembelajaran yang diberikan kepada individu terutama orang dewasa agar terjadi perubahan perilaku. Pemberdayaan dalam bentuk pembelajaran dilakukan melalui proses pendidikan, pelatihan, kursus, sosialisasi, pertemuan kelompok, kunjungan lapang, dan pendampingan dalam kegiatan pembangunan hutan. Paradigma tersebut mengacu pada teori belajar sosial merupakan salah satu aliran teori dalam psikologi yang saat ini diterima cukup luas. Bila diteliti secara lebih dalam lagi, teori kognitif sosial adalah perspektif psikolog yang menekankan perilaku, lingkungan, dan berpikir sebagai faktor kunci perkembangan seorang manusia (Bandura, 2001). Program-program pemberdayaan masyarakat perdesaan hutan yang telah dilaksanakan tentunya perlu dievaluasi, karena fakta di lapangan menunjukkan angka kemiskinan masih cukup tinggi sekitar 66,15% (Fauzi,2010), dan keberhasilan tumbuh tanaman reboisasi masih rendah. Evaluasi dalam penelitian ini akan difokuskan pencapaian pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan dan masyarakat yang diberdayakan), dimana menurut Teori Taksonomi Bloom (Kibler, Robert et.al, 1979) aspek kualitatif SDM mencakup tiga kawasan perilaku yaitu kawasan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Proses tercapainya perilaku tersebut dikaji dengan pendekatan Thorndike (1928) yang terkenal dengan teori belajar Trial and Error, B.F. Skinner (1965) dengan teori operant conditioning, dan Bandura (2001) dengan teori social learning (belajar sosial). 6 Proses pemberdayaan masyarakat dievaluasi dari keterlibatan masyarakat dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol. Dalam menyusun model pemberdayaan masyarakat selain dikaitkan dengan hasil evaluasi pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah dilaksanakan, juga harus dikaitkan dengan potensi atau asset komunitas masyarakat sebagai modal dasar dalam melakukan pemberdayaan. Secara singkat kerangka pikir penelitian pemberdayaan masyarakat hutan divisualisasikan pada Gambar 1. Kawasan KPHK Kuala Lupak Teori Ekologi Perilaku (Bronfenbrenner) Masyarakat Desa Hutan Modal Komunitas Program Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan (Proses Pembelajaran) Teori Behavioristik Belajar Trial and Error (Thorndike) Pengkondisian Operan (Skinner) Teori Belajar Sosial (Bandura) Teori Humanistik Teori Bloom (Taksonomi Bloom) Interaksi Perhutanan Sosial Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Perilaku Proses Pemberdayaan Pembangunan Hutan Teori FRM (Simon) Teori Perilaku Sosial Pertukaran Sosial (Homans) Model Pemberdayaan Model Pengelolaan SDH Model Pengelolaan SDH Model Pemberdayaan Berbasis Pembelajaran Gambar 1. Kerangka pikir Penelitian Pemberdayaan Masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan di KPHK Kuala Lupak 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Tentang Hutan Rawa Gambut Jumlah areal rawa di dunia diperkirakan 420 juta hektar. Di Indonesia penyebarannya cukup luas diperkirakan mempunyai cadangan gambut seluas 17 juta hektar dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan cadangan gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada (170 juta hektar), Rusia (150 juta hektar), dan Amerika Serikat (40 juta hektar). Soepraptohardjo & Drieesen (1976) dalam Endang Suarra (1988) menyebutkan areal gambut di Indonesia tersebar di pantai timur sumatera (9,7 juta ha), Kalimantan (6,3 juta hektar) dan lain-lain (1,3 juta hektar). Menurut Andriesse (1988), fungsi lahan gambut selain digunakan sebagai kawasan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, atau sebagai bahan tambang yang dapat dimanfaatkan untuk sumber energi atau industri, lahan gambut juga memiliki fungsi lingkungan antara lain berkaitan dengan masalah iklim global, hidrologi, perlindungan lingkungan dan penyangga lingkungan. B. Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat 1. Pengertian Menurut definisinya, pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat (Mas’oed, 1990). Keberdayaan masyarakat oleh Sumodiningrat (2007) diartikan sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Paul (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. 2. Modal Sumberdaya terkait Pemberdayaan Masyarakat Carney et.al, 1999) mengidentifikasi ada 5 (lima) modal yang berkaitan dengan sumber penghidupan (livelihoods), yaitu modal manusia, modal sumberdaya alam, modal finansial, modal sosial dan modal fisik. Dalam kenyataan yang ada di masyarakat tidak hanya satu atau dua aspek atau modal saja yang harus diperhatikan 8 tetapi juga aset atau modal yang lain. Aset-aset yang ada di masyarakat perlu untuk dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat. 3. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Proses Pembelajaran Orang Dewasa Pemberdayaan sebagai proses merupakan proses belajar mengajar. Dari proses belajar tersebut akan diperoleh suatu hasil belajar, dalam hal ini proses belajar akan efektif apabila dilakukan secara sadar dan terorganisir dengan baik serta didasarkan pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Secara garis besar, tujuan pendidikan yaitu perubahan perilaku seseorang yang meliputi aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). 4. Interaksi Masyarakat dengan Hutan Dalam pemikiran ekosistem, sangat jelas bahwa hutan dan fungsi hutan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Jutaan masyarakat, kehidupannya tergantung kepada produksi dan jasa hasil hutan rekreasi, penelitian, sumber ekonomi, penjaga lingkungan dan penjaga kelestarian plasma nuftah untuk kebutuhan manusia, tumbuhan dan hewan, dan lainnya (Awang, 2003:83). C. Landasan Teori 1. Teori Belajar a) Teori Behavioristik (Perilaku) Menurut teori belajar behavioristik, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara strimulus dan respon. Atau lebih tepat perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon (Irawan, et.al., 1997:2). Belajar dalam pandangan behavioristik merupakan sebuah bentuk perubahan yang dialami dalam bentuk kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons (Budiningsih, 2005:20). Thorndike (1928) yang menyelidiki respon tertentu berkaitan dengan stimulus tertentu. Menurutnya bahwa perkembangan “bond” atau hubungan antara 9 stimulus dan respons terjadi sebagai akibat dari proses trial and error. Teori pengkondisian operan yang dikemukakan B.F Skinner (1965) menyebutkan perilaku operan dapat meningkatkan sebuah perilaku dan mengulanginya kembali atau bahkan menghilangkan perilaku sesuai dengan yang diinginkan. Teori belajar Sosial yang dikemukakan Bandura (2001:11) menyatakan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku dalam proses belajar, membentuk sikap, serta memengaruhi reaksi orang lain dalam proses belajar. b) Teori Belajar Humanistik Menurut teori Humanistik, tujuan belajar adalah untuk “memanusiakan manusia” (Budiningsih, 2005:68). Proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Penganut aliran humanistik ini meyakini adanya perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud-maksud tertentu sebagai perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain (Irham dan Wiyani, 2013:190). Taksonomi Bloom digunakan dalam penelitian ini. Hal ini didasarkan pada makna pemberdayaan masyarakat sebagai proses pembelajaran yang dapat merubah perilaku tidak hanya menyangkut aspek kognitif saja tapi juga pada peningkatan kemampuan afektif dan psikomotorik. Taksonomi Bloom yang dikenal dengan segitiga taksonomi terdiri atas pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik). Interaksi pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang merupakan refleksi dari perilaku yang baik. Segitiga taksonomi Bloom seperti pada Gambar 2. 10 Gambar 2. Taksonomi Perilaku Bloom (1956) 2. Paradigma Perilaku Sosial Teori perilaku sosial yang dikemukaan George C.Homans (1974) dikenal sebagai teori pertukaran sosial (Exchange theory). Manusia digambarkan sebagai individu yang bertindak selalu atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, dan oleh karenanya masalah utama (menurut paradigma ini) adalah mencari dan menelaah kepentingan itu. Terdapat suatu hubungan langsung antara frekuensi tingkah laku ber-reward dengan frekuensi respons terhadap reward. 3. Teori Ekologi Manusia Teori yang berorientasi lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji oleh behavioristik. Perilaku terbentuk karena pengaruh umpan balik dan pengaruh modelling. Digambarkan bahwa manusia sebagai black-box yaitu kotak hitam yang siap dibentuk menjadi apa saja. Dalam psikologi teori ekologi dengan tokohnya Urie Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan. 4. Teori Pembangunan Hutan Berbasis Masyarakat Menurut Simon (2001:76), pengelolaan sumberdaya hutan bertujuan tidak 11 hanya untuk untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi. Orientasi pengelolaan hutan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan sekitar hutan sehingga diupayakan memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource Management). D. Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya lebih banyak mengkaji dari aspek teknis dan biofisik pada hutan rawa gambut seperti yang dilakukan Wahyuni (2011) yang berjudul “Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPH) Kuala Lupak Kabupaten Barito Kuala” yang merekomendasikan arah pembangunan hutan untuk konservasi perlindungan cagar alam. Penelitian Suyanto (2009) menitikberatkan aspek potensi keanekaragaman tumbuhan obat yang berada pada hutan rawa di Kalimantan Selatan. Penelitian Fauzi (2011) yang meneliti Pola Agroforestry pada Hutan Rakyat di Lahan Rawa Bergambut menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman Jelutung yang ditanam dengan pola agrorestry mengalami peningkatan karena adanya input hara tidak langsung pada saat pemupukan tanaman pertanian. Fauzi (2009) meneliti keadaan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan di Kabupaten Barito Kuala dimana diketahui pada umumnya pendapatan masyarakat tergolong miskin 46,15% dan hampir miskin 23,08%. Ketergantungan masyarakat terhadap lahan hutan tergolong tinggi dengan skor 15,87. Masyarakat menggunakan lahan hutan rawa untuk kepentingan budidaya tanaman pertanian berupa sawah dan perkebunan. Akhdiyat (2009) meneliti partisipasi masyarakat yang ada di dalam program hutan rakyat tergolong rendah. 12 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara paradigma post-positivistik (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap kondisi modal sumberdaya yang ada di lokasi penelitian, mengevaluasi program pemberdayaan yang telah dilaksanakan di KPHK Kuala Lupak, khususnya yang berkaitan dengan pencapaian kemampuan masyarakat yang diberdayakan dan penyuluh kehutanan ditinjau dari komponen aspek perilaku (ranah kognitif,afektif dan psikomotorik) serta partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan. Pendekatan kuantitatif juga digunakan untuk mengukur keberhasilan fisik perhutanan sosial dan menyusun model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi mengenai interaksi masyarakat desa dengan hutan, kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan, dan perilaku penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan, dan masyarakat yang diberdayakan. B. Penentuan Lokasi Berdasarkan data awal yang telah dikumpulkan dan hasil diskusi dengan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan diperoleh informasi bahwa wilayah kawasan hutan konservasi di Kalimantan Selatan merupakan lahan rawa bergambut yang sebagian besar telah dikuasai oleh masyarakat. Kawasan Konservasi dalam penelitian ini adalah SM Kuala Lupak dan SM Pulau Kaget. Lokasi penelitian ini di Desa Kuala Lupak (kawasan Suaka Margasatwa Kuala Lupak), dan Desa Tabunganen Muara, Desa Tabunganen Kecil, dan Desa Sungai Telan Kecil (kawasan Cagar Alam Pulau Kaget). 13 C. Sumber Data Sumber data yang diperlukan untuk penelitian ini diperoleh langsung dari responden, informan dan hasil pengukuran tanaman pada lahan perhutanan sosial pada plot terpilih, serta dari literatur pustaka. 1. Populasi dan Responden Populasi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai keseluruhan (universum) dari obyek penelitian yang berupa individu anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) di desa terpilih yang pernah terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat di bidang perhutanan sosial. Sejak tahun 2003 telah dilaksanakan 7 paket program perhutanan sosial dalam bentuk pembangunan hutan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Program Perhutanan Sosial di lokasi penelitian No 1 Kegiatan Gerhan 2003 Jumlah Peserta (KK) 50 2 Gerhan 2004 113 3 Gerhan 2004 39 4 HKm 2005 50 5 HKm 2008 89 6 7 Agroforestri 2007 Agroforestri 2009 Jumlah 124 75 540 Cara pengambilan sampel dengan teknik purposive random sampling dengan pertimbangan sebagaimana penentuan populasi. Penetapan jumlah sampel didasarkan pada banyaknya jumlah individu sesuai yang dirumuskan oleh Slovin pada taraf kepercayaan 95% atau tingkat toleransi terjadinya galat 5% (Steph Ellen, 2005). Berdasarkan kriteria pengambilan populasi dan sampel di atas, maka jumlah responden disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sebaran populasi dan responden setiap desa di lokasi penelitian Jumlah (jiwa) No. Nama Desa Unit Populasi Unit Sampel 113 1. Kuala Lupak 48 174 2. Telan Kecil 74 139 3 Tabunganen Muara 59 114 4. Tabunganen Kecil 49 Jumlah 540 230 14 2. Informan Penelitian Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Pada awalnya informan dipilih berdasarkan tujuan tertentu (purposive) didasarkan kepada pengetahuan, pengalaman, dan jabatannya berkaitan dengan kebijakan kehutanan di KPHK Kuala Lupak, dan perhutanan sosial. Selanjutnya berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan sebelumnya itu, peneliti dapat menetapkan informan lainnya yang diharapkan dapat memberikan data lebih lengkap. D. Variabel Penelitian 1. Kondisi Modal Sumberdaya a) Modal fisik (physical capital) Variabel modal fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi responden terhadap sarana produksi, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan transportasi dengan sejumlah parameter (Tabel 3). Tabel 3. Indikator dan Variabel Modal Fisik No. Indikator Parameter (patokan) 1. Sarana Produksi - Ketersediaan lahan untuk perhutanan sosial - Ketersediaan bibit unggul - Keterjangkauan harga bibit - Ketersediaan Pupuk - Ketersediaan alat-alat pertanian 2. Sarana Prasarana - Keberadaan tempat untuk diklat kehutanan Pendidikan bagi masyarakat - Kelayakan tempat Gedung untuk diklat kehutanan bagi masyarakat - Ketersediaan alat belajar mengajar - Ketersediaan tenaga fasilitator 3. Sarana Prasarana - Keberadaan Gedung Puskesmas, Klinik, dll Kesehatan - Kelayakan Gedung Puskesmas, Klinik, dll - Ketersediaan alat-alat medis - Ketersediaan obat-obatan - Ketersediaan tenaga paramedis 4. Sarana Prasarana - Tingkat ketersediaan lembaga penyedia modal Ekonomi seperti perbankan, KUD dan sejenisnya - Tingkat Kelayakan Lembaga Penyedia modal seperti perbankan, KUD dan sejenisnya - Tingkat ketersediaan fasilitas pasar - Tingkat kelayakan fasilitas pasar 5. Sarana Prasarana - Ketersedian Peralatan Jaringan Komunikasi Komunikasi - Kelayakan Jaringan Komunikasi 15 6. Sarana transportasi - Prasarana Ketersediaan Kantor Pos Kelayakan kantor Pos Ketersediaan prasarana transportasi (darat/air) Kelayakan sarana transportasi (sepeda motor, mobil, perahu) b) Modal Manusia (human capital) Variabel modal manusia berupa persepsi responden terhadap tingkat pendidikan, kesehatan dan pengalaman perhutanan sosial (Tabel 4). Tabel 4. Indikator dan parameter modal manusia No. Indikator Parameter (Ukuran) 1. Tingkat Pendidikan - Tingkat Pendidikan formal 2. Tingkat Kesehatan 3. Tingkat Pengalaman Perhutanan Sosial - Frekuensi terjangkit penyakit Frekuensi mengunjungi tempat berobat Kesempurnaan fisik/cacat fisik permanen Diklat Perhutanan Sosial Pengalaman Perhutanan Sosial c) Modal Sosial (social capital) Variabel modal sosial adalah persepsi responden terhadap berupa jaringan kerja, kepercayaan antar sesama, ketaatan terhadap norma, kepedulian dan keaktifan dalam organisasi sosial (Tabel 5). Tabel 5. Indikator dan parameter modal sosial No. Indikator Parameter (Ukuran) 1. Jaringan Sosial/kerja - Kerelaan dalam membangun jaringan kerjasama antar sesama - Keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja - Tingkat motivasi untuk melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja - Keaktifan dalam penyelesaian konflik - Keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/kerja yang lebih baik 2. Kepercayaan antar - Tingkat kepercayaan pada sesama sesama - Tingkat kepercayaan pada norma yang berlaku - Tingkat kepercayaan pada tokoh masyarakat - Tingkat kepercayaan pada orang luar - Tingkat kepercayaan pada Pemerintah 16 3. 4. 5. 2. Ketaatan terhadap norma - Kepedulian terhadap sesama Keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial - Tingkat ketaatan terhadap norma agama yang dianut Tingkat ketaatan terhadap norma adat yang berlaku Tingkat ketaatan terhadap aturan hukum formal Kepedulian terhadap sesama Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian Tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial Jumlah organisasi sosial yang diikuti Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial Perilaku Masyarakat Sebagaimana disampaikan dalam Bab 2 bahwa pemberdayaan merupakan proses pembelajaran, maka ruang lingkup evaluasi pemberdayaan dilakukan dalam perspektif penilaian proses dan hasil belajar. Proses pemberdayaan menyangkut keterlibatan masyarakat dalam proses identifikasi masalah, organisasi, pelaksanaan dan evaluasi. Ruang lingkup evaluasi pembelajaran dalam perspektif domain hasil belajar dapat mengikuti pengelompokkan dari Benyamin S.Bloom, dkk (1956) yang membagi hasil belajar menjadi tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik terhadap penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan dan masyarakat yang diberdayakan. Model evaluasi yang digunakan berupa model pengukuran (measurement model) dalam bentuk tes tertulis berupa quesioner. Mengingat responden masyarakat belum tentu terbiasa dengan menulis langsung maka peneliti melakukan wawancara langsung dengan responden dengan berpedoman pada quesioner evaluasi. a) Aspek Perilaku Indikator dan parameter penyuluh kehutanan dan keberdayaan masyarakat disajikan dalam Tabel 6 dan Tabel 7. 17 Tabel 6. Parameter Kemampuan Penyuluh Kehutanan sebagai Pelaku Pemberdayaan No Ranah/Jenjang Parameter A. Ranah Kognitif Memahami pengetahuan pemberdayaan, penyuluhan, 1 Memahami teknis kehutanan,pemasaran hasil hutan Mengaplikasikan hasil pelatihan seperti pengendalian 2 Menerapkan kebakaran, pengaturan jarak tanam, pemilihan jenis tanaman Menganalisis program pemberdayaan yang telah 3 Menganalisis dilaksanakan dan konflik lahan 4 Mengevaluasi Mereview kegiatan yang telah dilaksanakan 5 Menciptakan Membangun demplot percontohan, hasil hutan unggulan B Ranah Afektif Menerima pengetahuan tentang pemberdayaan, perhutanan 1 Menerima sosial, teknis kehutanan Menanggapi pengetahuan yang diterima dan curahan 2 Menanggapi pendapat masyarakat 3 Menilai Menilai pengetahuan dan curahan pendapat masyarakat 4 Mengelola Mengorganisasi nilai-nilai kegiatan pemberdayaan 5 Menghayati Menghayati peran sebagai tenaga penyuluh kehutanan C Ranah Psikomotorik Mempunyai persiapan yang tergambar dalam Rencana 1 Kesiapan Penyuluhan Kehutanan Reaksi yang 2 Menerapkan penyuluhan kehutanan sesuai pedoman diarahkan Menerapkan keterampilan kehutanan secara alami untuk 3 Reaksi natural mengatasi berbagai hal Reaksi yang Mengembangkan berbagai keterampilan seperti inventore 4 kompleks hutan, silvikultur, pemanenan dan jaringan kerja pemasaran Penyuluh mampu beradaptasi dengan situasi kondisi lokal 5 Adaptasi di masyarakat Penyuluh mempunyai kreativitas materi maupun metode 6. Kreativitas penyuluhan 18 Tabel 7. Indikator dan Parameter Tingkat Keberdayaan Masyarakat No Indikator Parameter A. Ranah Kognitif Memahami pengetahuan dalam pengelolaan hutan, teknis 1 Memahami pembangunan hutan, dan pemasaran 2 Menerapkan Mengaplikasikan hasil pelatihan yang diperoleh Membuat kesimpulan, mencari sumber pengetahuan lain, 3 Menganalisis membedakan jenis tanaman, pupuk, kualitas bibit, & solusi masalah Menilai hasil, membandingkan pengetahuan, dan menetapkan 4 Mengevaluasi ketepatan rekomendasi penyuluh 5 Menciptakan Merencanakan membangun demplot, rencana pemberdayaan B Ranah Afektif Menghadiri dan mendengarkan penyuluhan dan diklat, 1 Menerima meminati program penyuluhan kehutanan dalam rangka pemberdayaan masyarakat Menyampaikan pendapat/opini dan dukungan terhadap 2 Menanggapi program kehutanan 3 Menilai Kepuasan terhadap program kehutanan berbasis masyarakat Keberanian mengkombinasikan berbagai pengetahuan 4 Mengelola kehutanan hutan berbasis masyarakat Memilki kepedulian, dan menghayati peran sebagai pelaku 5 Menghayati pembangunan hutan C Ranah Psikomotorik Petani trampil meniru aktivitas pembangunan hutan yang 1 Peniruan dilakukan orang lain Petani trampil mereproduksi aktivitas pembangunan hutan 2 Manipulasi berdasarkan instruksi tertulis atau verbal Petani trampil melakukan aktivitas pembangunan hutan tanpa 3 Presesi fasilitasi, arahan, pendampingan Petani trampil mengintegrasikan keahlian dalam aktivitas 4 Artikulasi pembangunan hutan 5 Naturalisasi Petani trampil mengembangkan kreativitas b) Proses Pemberdayaan Proses pemberdayaan diukur dari persepsi responden terhadap keterlibatan masyarakat mulai dari kegiatan kajian atau analisis masalah, merencanakan dan melaksanakan program serta terlibat dalam evaluasi. Indikator dan paramater proses pemberdayaan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 8. 19 Tabel 8. Indikator dan parameter proses pemberdayaan No. Indikator Parameter (Ukuran) 1. Analisis - Keterlibatan dalam melakukan kajian terhadap kondisi Masalah situasi yang dihadapai masyarkat. - Keterlibatan dalam identifikasi potensi yang dimiliki - Keterlibatan dalam melakukan identifikasi masalah yang dihadapi - Keterlibatan dalam penentuan prioritas masalah yang harus dipecahkan - Keterlibatan dalam pembuatan laporan analisis masalah No. Indikator Parameter (Ukuran) 2. Perencanaan - Keterlibatan dalam menentukan jenis program apa yang dilakukan - Keterlibatan dalam menentukan siapa yang melakukan program - Keterlibatan dalam menentukan input yang digunakan - Keterlibatan dalam menentukan sumber dan besarnya biaya yang digunakan - Keterlibatan dalam menentukan waktu dan lokasi pelaksanaan program 3. Kelembagaan - Keterlibatan dalam organisasi kelompok tani hutan - Keterlibatan secara aktif dalam KTH - Keterlibatan dalam pembuatan laporan akhir 4. Pelaksanaan - Keterlibatan dalam pelaksanaan sosialisasi program - Keterliabatan dalam rekrutmen sasaran program - Keterlibatan dalam pencairan dana - Keterlibatan dalam pelaksanaan program - Keterlibatan dalam pembuatan laporan akhir 5. Evaluasi - Keterlibatan dalam perencanaan evaluasi - Keterlibatan dalam pelaksanaan evaluasi - Keterlibatan dalam pembuatan laporan evaluasi E. Instrumen Instrumen yang digunakan berupa kuesioner, pedoman wawancara dan tally sheet. Bentuk pertanyaan dalam kuesioner adalah pertanyaan terstruktur (tertutup) dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang alternatif jawabannya sudah ada dalam kuesioner yang disediakan jawaban alternatif, sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memungkinkan responden untuk menguraikan secara bebas dalam menjawab pertanyaan. Pertanyaan terbuka sangat bermanfaat dalam memperjelas dan memperdalam jawaban yang ada di pertanyaan tertutup. Data tanaman dimasukkan dalam buku ekpedisi dan direkapitulasi menggunakan tally sheet. 20 1. Validitas Uji validitas dilakukan untuk mengukur ketepatan dan kecermatan quesioner yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan fungsinya untuk mencapai tujuan penelitian ini. Teknik yang digunakan untuk mengukur validitas item kuesioner domain kognitif (pengetahuan) menggunakan uji koefisien korelasi biserial, karena data berupa data diskret atau dikotomik (kontinum). Sedangkan, uji validitas item kuesioner domain afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) menggunakan validitas konstruk dengan uji korelasi Product Moment. 2. Reliabilitas Pertanyaan yang sudah valid selanjutnya dilakukan uji reliabilitas. Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk mengetahui reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai Cronbach’s Alpha dengan nilai konstanta (0,6). Dalam uji reliabilitas ini, bila Cronbach’s Alpha > konstanta (0,6), maka pertanyaan tersebut reliabel. F. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Sosial Teknik pengisian kuesioner digunakan dalam rangka pengumpulan data yang bersifat kuantitatif yang dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur terhadap responden. Untuk perekaman data dilakukan secara tertulis dan dilengkapi dengan tape recorder. Dalam penelitian ini kuesioner digunakan untuk mendapatkan datadata mengenai sikap dan cara pandang masyarakat mengenai modal sumberdaya yang dimiliki masyarakat, dan evaluasi terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan (perilaku dan proses pemberdayaan). Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan cara trianggulasi yaitu pengumpulan data dari yang sumber yang sama dengan berbagai cara meliputi penggabungan wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi. G. Analisis Data a. Analisis data untuk mencapai tujuan: mengkaji kondisi modal sumberdaya Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif. Dalam analisis deskriptif kuantitatif ini, langkah awal setelah didapatkan data adalah pengolahan komponen 21 data yang terdiri dari pengkategorian data awal, dan pengolahan data menggunakan teknik distribusi frekuensi melalui perhitungan statistika sederhana. Tingkatan penilaian kondisi modal sumberdaya dihitung berdasarkan jawaban responden menggunakan skala ordinal yang diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 9. Katagore Tingkatan Modal Sumberdaya berdasarkan persentase pencapaian Skor Maksimum No. Pencapaian Skor Maksimum Katagore Penilaian 1. ≥ 33,33-55,55 Rendah/tidak tersedia 2. > 55,55-77,77 Sedang/cukup tersedia 3. > 77,77-100 Tinggi/tersedia Hasil perhitungan kuantitatif dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif yang selanjutnya menjadi bahan masukan bagi analisis secara kualitatif berdasarkan model interaktif Miles dan Huberman. b. Analisis untuk mencapai tujuan : mengevaluasi perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan di KPHK Kuala Lupak Evaluasi terhadap program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan dilakukan terhadap perilaku (penyuluh kehutanan dan masyarakat sasaran), proses pemberdayaan, dan kinerja atau output fisik dari program pemberdayaan. Aspek perilaku dianalisis dengan pendekatan Taksonomi Bloom. Berdasarkan pendekatan Taksonomi Bloom perilaku penyuluh kehutanan dan masyarakat yang diberdayakan dianalisis berdasarkan 3 ranah yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotorik (keterampilan) terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Ranah kognitif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Ranah afektif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Ranah psikomotor berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik untuk berbuat dan bertindak. Pengukuran perilaku ranah pengetahuan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan berupa objective test berbentuk pilihan ganda dengan menggunakan rumus: 22 Dimana: Sk B S N Bb = Skor = Jumlah Jawaban Betul = Jumlah Jawaban Salah = Alternatif Pilihan = Bobot Jawaban Betul Pengukuran perilaku ranah sikap, keterampilan, dan proses pemberdayaan dilakukan dalam bentuk non-test dengan menggunakan skala likert yang merupakan skala ordinal. Untuk setiap indikator diajukan sejumlah pertanyaan tertutup kepada responden. Skala Likert yang digunakan terdiri dari lima katagore jawaban yang tersebar dari sangat tidak setuju (skor 1), tidak setuju (skor 2), ragu-ragu/netral (skor 3), setuju (skor 4), dan sangat setuju (skor 5). Setiap skor jawaban dari semua variabel yang diukur dijumlahkan untuk memperoleh skor kumulatif. Skor kumulatif dari responden kemudian dikelompokkan ke dalam 3 tingkatan jenjang dengan rentang interval terbesar menggunakan rumus berikut: i = (R – r)/k Dimana: i = nilai interval R = skor kumulatif tertinggi r = skor kumulatif terendah k = jumlah kelas Untuk mencari skor rata-rata masing-masing responden dengan rumus sebagai berikut (Levis, 2010): Dimana: = skor rata-rata untuk responden ke-1 L = nilai skala likert yang diperoleh (1,2,3,4,5) n = Jumlah pertanyaan 23 Untuk mengetahui pada tingkatan manakah domain dan katagore masingmasing sikap, pengetahuan, keterampilan seorang responden berada maka dapat dihitung dengan rumus: x 100% x 100% x 100% Dimana = skor rata-rata untuk responden ke-1 = skor rata-rata pengetahuan responden ke-i = skor rata-rata sikap responden ke-i = skor rata-rata keterampilan responden ke-i Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diperoleh skor rata-rata perilaku responden dengan menggunakan rumus (Levis, 2010): skor rata-rata perilaku responden ke-i Klasifikasi katagore berdasarkan prosentase pencapaian skor maksimum sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Katagore Tingkatan Perilaku dan Proses Pemberdayaan Masyarakat berdasarkan persentase pencapaian Skor Maksimum No. Pencapaian Skor Maksimum Katagore Penilaian 1. ≥ 33,33-55,55 Rendah 2. > 55,55-77,77 Sedang 3. > 77,77-100 Tinggi Proses pemberdayaan dianalisis secara kuantitatif dengan mengkalkulasi tingkatan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat selama ini. Rumus yang digunakan dan katagore yang dijadikan indikator sama dengan analisis perilaku ranah sikap. 24 Hasil perhitungan kuantitatif dianalisis dengan menggunakan pendekatan statistik deskriptif yang selanjutnya dipertegas dan digali informasi lebih mendalam menggunakan pendekatan wawancara terhadap dengan informan yang selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif berdasarkan model interaktif Miles dan Huberman. 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Modal Sumber Daya Masyarakat 1. Modal Sumberdaya Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan suatu hal yang penting dalam melakukan proses pemberdayaan. Modal fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sarana produksi, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan transportasi. Data empiris menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di sekitar KPHK Kuala Lupak terhadap modal fisik sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Persepsi responden terhadap ketersediaan modal fisik No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Variabel Ketersediaan sarana produksi pertanian Ketersediaan sarana pendidikan Ketersediaan sarana kesehatan Ketersediaan sarana ekonomi Ketersediaan sarana komunikasi Ketersediaan sarana transportasi Rata-rata Skor 66.35 52.35 55.45 54.26 57.83 55.52 56.96 Tingkat Penilaian cukup tersedia kurang tersedia kurang tersedia cukup tersedia cukup tersedia Kurang tersedia cukup tersedia Tabel 11 menunjukkan bahwa secara umum sarana fisik di sekitar kawasan hutan masih cukup tersedia (skor 56,96). Sarana produksi pertanian termasuk budidaya hutan yang terdiri atas alat-alat produksi pertanian, bibit, pupuk dan bahan untuk pengendalian hama. Sarana produksi tersebut hanya tersedia di ibukota kabupaten, sehingga jika masyarakat ingin memperoleh sarana produksi seperti pupuk, dan pestisida harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Khusus untuk bibit tanaman kehutanan dapat diperoleh melalui skema pendanaan kebun bibit rakyat (KBR). Skema ini memungkinkan petani memproduksi bibit dengan bantuan Kementerian Kehutanan dengan alokasi anggaran Rp 50.000.000 untuk 25.000 batang per KTH. Ketersediaan pupuk menjadi persoalan karena sangat sulit untuk memperoleh, khususnya untuk pupuk bersubsidi. Pengadaan pupuk bersubsidi hanya bisa dialokasikan untuk mereka yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dimana kelompok tani tersebut memang benar-benar melaksanakan 26 aktivitas di bidang pertanian tanaman pangan dan/atau hortikultura. Sedangkan bagi Kelompok Tani Hutan (KTH) yang notabene memelihara tanaman hutan tidak mempunyai akses untuk memperoleh pupuk tersebut. Selama ini KTH hanya bisa memperoleh pupuk bantuan kehutanan atau membeli pupuk non subsidi yang harganya lebih mahal dengan jumlah terbatas. Padahal menurut (Suratiyah K, 2008), pupuk sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman karena akan membantu proses metabolisme tanaman, dengan pemberian pupuk sesuai dengan dosis yang di berikan akan membuat tanaman lebih subur lagi. Ketersediaan sarana produksi seperti lahan, alat-alat pertanian, pupuk, obatobatan dan sarana pengairan yang memadai akan mendorong masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani untuk melakukan kegiatan usahataninya secara optimal (Sidu, 2006). Usaha untuk menyediakan sarana fisik di bidang pertanian, merupakan suatu upaya untuk memberdayakan masyarakat perdesaan hutan agar mereka dapat memperoleh penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga melalui kegiatan usaha pertanian. Usaha pertanian yang dilakukan secara serius dan didukung oleh sarana yang memadai diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarganya dan mengurangi tekanan terhadap hutan. Dengan penghasilan yang diperoleh dari hasil pertanian akan dapat menutupi kebutuhan selagi menunggu pemanenan hasil hutan (kayu) yang baru bisa dipanen minimal umur 7 tahun. Sarana pertanian yang memadai akan lebih optimal pemanfaatannya jika didukung oleh sumberdaya manusia (petani) yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan terhadap bidang usaha yang ditekuninya. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat sekitar kawasan hutan dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan non formal. Untuk mendukung terselenggaranya pendidikan, maka pemerintah perlu menyediakan sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, komunikasi dan transportasi yang memadai. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan hal yang utama dalam usaha menuju terciptanya masyarakat yang berdaya dan mandiri. Oleh karena itu, agar masyarakat dapat meningkatkan sumberdayanya maka perlu didukung dengan kondisi kesehatan yang prima. Masyarakat yang memiliki kesehatan yang prima akan sangat mendukung dalam melakukan aktivitas pendidikan dengan baik. Oleh karena 27 itu, jaminan kesehatan melalui pelayanan yang prima, kematangan ekonomi, interaksi dan mobilitas masyarakat yang terbangun dengan dasar saling menguntungkan merupakan pendukung untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang prima hanya dapat dilakukan jika sarana kesehatan yang ada di desa-desa sekitar kawasan hutan tersedia. Masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi dan komunikasi yang tinggi untuk mencari tempat berobat yang memiliki fasilitas yang baik, obat-obatan dan tenaga medis yang memadai. Kematangan ekonomi masyarakat merupakan hal penting dalam meningkatkan tingkat pendidikan. Kematangan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan akan tercapai, jika sarana ekonomi yang dibutuhkan dalam menciptakan dan memperkuat usaha-usaha produktif sudah memadai, misalnya adanya lembaga penyedia modal dengan prosedur administrasi yang mudah dan suku bunga yang terjangkau. Selain itu, sarana pasar juga sangat penting sebagai tempat terjadi proses jual beli hasil-hasil usaha yang dilakukan masyarakat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan pasar merupakan salah satu kendala bagi masyarakat yang memiliki hasil usaha, terutama hasil pertanian untuk diperjual belikan. Kondisi ini salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk tetap melakukan kegiatan usaha pertanian yang konsumtif bukan untuk di perdagangkan. Proses interaksi masyarakat melalui bentuk-bentuk komunikasi tertentu sangat berperan dalam menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan masyarakat. Jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, sarana komunikasi sangat membantu masyarakat untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilannya secara cepat melalui informasi, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Tidak kecuali masyarakat desa yang ada di sekitar kawasan hutan, sarana komunikasi perlu menjadi perhatian yang serius bagi semua pihak yang memiliki kepentingan dengan kelestarian kawasan hutan. Demikian juga ketersediaan sarana transportasi merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan sarana-sarana yang lain yang mendukung kegiatan keseharian masyarakat. Transportasi yang memadai akan mendukung mobilitas masyarakat dalam beraktivitas dalam rangka pemenuhan 28 kebutuhannya. Sarana komunikasi melalui jaringan telpon seluler (telkomsel, indosat, XL) telah bisa diakses dengan baik. Begitu juga dengan akses kantor pos dan media cetak, masyarakat bisa memperolehnya walaupun harus ke ibukota kecamatan. Kelembagaan ekonomi setiap desa seperti koperasi dan lembaga ekonomi desa lainnya belum ada, sehingga kalau ada anggota masyarakat yang ingin memperoleh tambahan modal terpaksa harus meminjam rentenir atau bank di ibukota Kecamatan/Kabupaten. 2. Kondisi Modal Sumberdaya Manusia (Human Capital) Di era globalisasi seperti sekarang ini, keberhasilan seseorang atau kelompok tidak hanya ditentukan oleh modal dalam bentuk fisik seperti bangunan, tanah, kendaraan dan modal fisik lainnya, tetapi modal manusia seperti pendidikan dan kesehatan yang memadai serta kemampuan membangun jaringan untuk memperkuat hubungan interaksi antar sesama akan memegang peranan penting dalam keberhasilan suatu usaha. Hasil analisis tentang modal manusia disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya Manusia No. 1. 2. 3. Variabel Tingkat Pendidikan Tingkat Kesehatan Pengalaman Perhutanan Sosial Rata-rata Skor 49.83 63.74 77.82 63.80 Tingkat Penilaian rendah sedang Tinggi sedang Tabel 12 menunjukan bahwa secara umum modal manusia yang dimiliki responden adalah kategori sedang (skor 63,80). Menurut Alhumami (2005), aspek SDM bernilai sangat strategis dalam pembangunan. Nasseri (2002) berpendapat bahwa modal manusia adalah akumulasi dari bakat dan pengetahuan individu yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, pengalaman dan kognisi. Untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, justru faktor modal manusia (human capital) bertumpu pada pendidikan yang sangat diperlukan. 29 Kualitas modal manusia yang berada pada kategori sedang disumbangkan oleh pengalaman masyarakat dalam perhutanan sosial. Hal ini lebih jelas ditegaskan oleh informan Bapak Basrani: Kalau dalam urusan pengalaman angggota kelompok tani di sini rata-rata sudah berpengalaman dalam menanam tanaman hutan. Untuk meningkatkan pengetahuan, hampir tiap tahun sebelum pelaksanakan fisik, kami sering mengikuti diklat yang dilaksanakan pihak kehutanan seperti Pengelolaan Hutan Mangrove, Gerhan, Hutan Kemasyarakatan, Agroforestri, perlebahan dll. Kami pun pernah studi banding ke Jawa (Program PHBM Perhutani) (Wawancara tanggal 27 Mei 2015) Menurut Kolb (1984) proses belajar yang terjadi pada orang dewasa merupakan “proses pengalaman”. Proses pengalaman tersebut terjadi melalui empat tahap, yaitu : dari pengalaman nyata, pengamatan dan refleksi, pembentukan konsep (pembuatan kesimpulan), dan penerapan atau praktek. Agar orang dewasa dapat belajar dengan efektif ia membutuhkan kemampuan-kemampuan yang berbeda. Ia harus mampu melibatkan dirinya sendiri secara penuh, terbuka dan tidak ada bias dari pengalamannya yang baru; ia harus mampu merefleksikan dan mengamati pengalaman tersebut dari berbagai sudut pandang; ia harus mampu merumuskan konsep dari hasil pengalamannya menandai teori yang logis; dan ia harus mampu mempergunakan konsep tersebut sebagai panduan dalam melakukan kegiatan. Setelah keempat langkah tersebut dilalui, seseorang akan memperoleh pengalaman baru, dimana pengalaman baru tersebut akan direfleksikan kembali, lalu dibuat kesimpulan baru, dan diterapkan demikian seterusnya hingga daur belajar akan terulang kembali. Pengalaman perhutanan sosial diperoleh melalui pelatihan yang sering diadakan sebelum proyek fisik kehutanan yang bertujuan untuk mempersiapkan anggota kelompok tani melaksanakan kegiatan fisik agar tercapai tujuan pembangunan hutan yang diharapkan. Melalui pelatihan, seseorang atau komunitas akan mampu mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, sikap, keterampilan) agar mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson, 1981;12). Menurut Brundage (1981:73), pelatihan pada umumnya ditujukan kepada orang dewasa. Pelatihan yang diikuti anggota KTH sebagai upaya meningkatkan kualitas keahliannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Sayuti (1995:131), ada tiga 30 aktivitas yang dapat dilakukan individu-individu yang mungkin meningkatkan kualitas keahliannya, yaitu: (1) pengetahuan dari pendidikan formal; (2) memperbaiki keahlian atau ketrampilan melalui pengalaman kerja, dan (3) melalui pelatihan khusus yang direncanakan untuk meningkatkan produktivitas pekerja, khususnya dalam industri dan jasa. Lebih jauh Marzuki (2015), menyatakan bahwa dengan pelatihan diharapkan terjadi perbaikan tingkah laku pada partisipan pelatihan yang sebenarnya merupakan anggota suatu organisasi, dan bagi organisasi akan menjadi lebih efektif. Kondisi ini diakui informan Bapak Junaedi : Pelatihan kehutanan membuat pengetahuan kami menjadi bertambah dan meningkatkan motivasi kami untuk melaksanakan kegiatan perhutanan sosial (wawancara tanggal 28 Mei 2015) Pernyataan yang terakhir ini tentunya sesuai dengan Theodore Schultz, peletak dasar teori human capital modern (1960), bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi. Tingkat pendidikan-dalam hal ini pendidikan formal-masyarakat tergolong rendah (skor 49,83). Menurut responden dan informan ada berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di lokasi penelitian. Masyarakat belum sepenuhnya memahami bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan. Di benak sebagian masyarakat di pedesaan memahami bahwa pendidikan yang tinggi identik dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar dan jika selesai belum tentu menjamin hidup yang lebih baik. Bagi mereka tidak perlu sekolah yang tinggi,asal ada ijazah sekolah sudah bisa bekerja di perusahaan HTI, perkebunan ataupun pertambangan. Biaya pendidikan yang semakin mahal dan kemampuan ekonomi yang rendah juga merupakan penyebab menurunnya keinginan masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan formal. Pada intinya masyarakat memandang bahwa pendidikan adalah unit cost yang harus dibayar, tanpa pendidikan tinggi mereka sudah bisa bekerja dan memperoleh pendapatan sendiri. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sangat terkait dengan tingkat kesehatan masyarakat. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai akan lebih memahami pentingnya menjaga kesehatan dan demikian sebaliknya masyarakat yang memiliki kesehatan yang baik akan lebih besar peluangnya untuk 31 mengikuti pendidikan dengan baik dibanding yang kurang sehat. Penerimaan terhadap pelajaran di sekolah juga akan berbeda antar yang memiliki tingkat kesehatan yang baik dengan yang kurang sehat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Todaro (2005) yang menyatakan bahwa modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi kesehatan karena banyak program kesehatan bergantung pada keterampilan dasar yang dipelajari di sekolah, termasuk kesehatan pribadi dan sanitasi. Di sisi lain, kesehatan yang baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan karena kesehatan merupakan faktor utama agar dapat mengikuti proses pembelajaran formal. Pendidikan dan kesehatan yang memadai akan sangat membantu masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Pengetahuan dan ketrampilan yang memadai terhadap usaha atau kegiatan yang akan dilakukan akan menentukan berhasil tidaknya usaha dan kegiatan tersebut. Misalnya seorang petani yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan bertani yang memadai cenderung bertani lebih baik dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan dibanding petani yang tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan sama sekali. Mereka akan lebih hati-hati dalam melakukan aktivitas pertanian yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, karena mereka paham akibat yang ditimbulkan jika lingkungan (hutan) itu rusak. Kaitannya dengan proses pemberdayaan, masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik cenderung memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta kemampuan membangun jaringan/hubungan antar sesama yang memadai, sehingga mereka akan lebih berpartisipasi dalam kegiatan yang memiliki nilai positif terhadap kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membentuk masyarakat berdaya dan mandiri, baik berdaya secara sosial, ekonomi maupun politik. Berdaya secara sosial artinya, masyarakat memiliki kemampuan mengakses sumber-sumber produktif, terbuka dengan dunia luar sehingga dapat bersaing secara rasional dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha. Berdaya secara ekonomis artinya, masyarakat dengan usaha yang dilakukannya dapat memperoleh keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan dapat merencanakan 32 kebutuhan masa depannya yang lebih baik. Berdaya secara politik artinya, masyarakat memiliki kebebasan dalam proses pengambilan keputusan terhadap sikap yang diambil dalam proses politik, tidak dalam keadaan tertekan, dipaksa atau diintimidasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan dirinya. Peningkatan kualitas modal manusia masyarakat merupakan hal penting dalam menghadapi perkembangan teknologi dan informasi saat ini. Semua pihak harus memahami bahwa modal manusia memiliki pengaruh terhadap keberhasilan dalam berusaha. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Coleman (1998), Fukuyama (2002), Todaro (2005) bahwa modal untuk usaha tidak lagi melulu berwujud tanah, pabrik, alat-alat dan mesin melainkan akan segera didominasi oleh modal manusia seperti; pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan serta keeratan hubungan antara sesama. 3. Kondisi Modal Sumberdaya Sosial (Social Capital) Modal sosial dapat dipahami sebagai suatu norma atau nilai yang telah disepakati bersama oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan kerjasama yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antara sesama/kelompok/institusi dalam rangka tercapainya tujuan bersama. Dalam penelitian ini, aspek modal sosial yang dikaji adalah terjalinnya kerjasama yang baik, tumbuhnya kepercayaan dan kepedulian antar sesama, kepatuhan terhadap norma yang ada dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial masyarakat. Aspek-aspek modal sosial tersebut diharapkan akan selalu tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih positif di kalangan masyarakat. Secara rinci hasil penilaian terhadap kualitas modal sosial yang dimiliki responden disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sosial No. 1. 2. 3. 4. 5. Variabel Jaringan Kerja Kepercayaan antar sesama Kepatuhan terhadap norma Kepedulian terhadap sesama Keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial Rata-rata Skor 72.78 68.61 59.65 61.57 69.83 66.49 Tingkat Penilaian Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang 33 Tabel 13 menunjukkan bahwa aspek-aspek modal sosial yang dikaji termasuk dalam kategori sedang (skor 66.49). Tjondronegoro (2005) menjelaskan bahwa modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Hasil analisis data empiris menunjukkan bahwa secara umum masyarakat dalam melakukan kerjasama masih mengedepankan kepentingan bersama, berprasangka baik (percaya) terhadap sesama, patuh terhadap norma bersama, peduli atas kondisi orang lain dan selalu terlibat dalam organisasi sosial masyarakat. Aspek kerjasama antar sesama menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi penelitian memiliki jiwa kerjasama yang baik yang diwujudkan melalui kerjasama dalam bidang pendidikan, pertanian dan kepentingan bersama dalam masyarakat. Dengan kerjasama yang baik antara warga masyarakat tentunya akan mampu mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang dikemukan Brehm dan Rahn (1990) dalam Bahtiar (1997). Dalam implementasinya ketika dimulai pembukaan lahan perladangan, anggota masyarakat secara bersama-sama melakukan gotong royong dengan sistem “arian”. Lahan anggota masyarakat yang akan digarap, secara bersama-sama dibersihkan dulu pada hari tertentu, kemudian pada hari lainnya membersihkan lahan lainnya. Kerjasama inilah yang menurut Grootaert dan Basteler (2007) sebagai salah satu dari tiga manfaat modal sosial (social capital), yaitu partisipasi individu dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan ketersediaan dengan biaya rendah. Keterlibatan anggota kelompok dalam membuka lahan menunjukkan bahwa jaringan antar individu dalam membuka lahan secara bersama menjadi lebih efisien dalam penguasaan lahan oleh masyarakat. Hubungan individu dalam kelompok keluarga yang harmonis menjadi cerminan jaringan yang dibangun oleh masyarakat untuk mewujudkan penguasaan lahan yang dibuka secara bersama menujukkan bahwa penguasaan lahan oleh masyarakat didominasi oleh modal sosial. Dalam konteks modal sosial, keterkaitan jaringan antara petani dengan petani dalam hal pembukaan lahan merupakan bentuk modal sosial yang masih sangat kuat karena adanya kerjasama dan pengakuan batas-batas kepemilikan lahan oleh sesama petani, bahkan dalam perjalanannya hingga sekarang jarang ditemukan konflik antara petani dengan petani dalam hal tata batas wilayah kepemilikan. Hal ini sejalan 34 dengan pemikiran Bourdieu (1986) bahwa modal sosial menunjuk pada kewajibankewajiban sosial (koneksi) yang dalam kondisi tertentu dapat ditukar dengan modal ekonomi. Aspek tingkat kepercayaan terhadap sesama masyarakat di lokasi penelitian tergolong tinggi. Salah satu pilar utama modal sosial menurut Paldam (2000), adalah kepercayaan (trust). Dalam lingkup keluarga dan anggota masyarakat masih terjalin rasa saling percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling percaya (trust) dalam hal status penguasaan lahan hutan antara petani dengan petani dijumpai dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan, Pengakuan hak penguasaan lahan antara sesama petani merupakan wujud kerjasama yang terkoordinasi sehingga rasa saling percaya antara petani dengan petani merupakan modal sosial yang terbangun melalui proses pemilikan lahan. Sedangkan dalam hal peralihan hak pengelolaan lahan dijumpai dalam bentuk bentuk warisan, mangaruni (bagi hasil), sanda (gadai), dan jual beli lahan. Proses peralihan hak kelola tidak dilakukan secara administrasi tertulis, kecuali jual beli akan tetapi berdasarkan rasa saling percaya dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang merupakan wujud modal sosial yang kuat diantara petani. Hal ini sejalan dengan pendapat Putnam (1993) bahwa Modal sosial merupakan pondasi dasar komunitas yang terdiri dari persediaan kepercayaan sosial, norma dan jaringan kerja dimana masyarakat dapat menggambarkan penyelesaian problem umum, sehingga semakin kuat modal sosial, semakin kecil kemungkinan terjadinya konflik. Dalam penelitian ini, kepercayaan anggota masyarakat berkaitan dengan orang luar, dalam hal ini dengan pihak kehutanan masyarakat lebih berhati-hati dalam melakukan interaksi. Masyarakat di lokasi penelitian lebih percaya tokoh masyarakat atau tokoh agama dari pada pemerintah atau pihak luar yang sering mengobral janji yang jarang diwujudkan sesuai aspirasi. Masyarakat menganggap pemerintah atau pihak luar hanya menjadikan masyarakat sebagai alat untuk memperoleh paket bantuan atau program. Setelah bantuan atau program tersebut didapatkan, masyarakat tidak memperoleh sesuai rencana. Tidak jarang bantuan atau program itu hanya dinikmati oleh orang-orang pemerintah atau pihak ketiga, sementara implementasi di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diprogramkan. Hal ini ditegaskan informan Bapak Basrani: 35 Tahun 2011, kami disuruh membuat proposal bantuan sosial (bansos) berupa reboisasi berbasis karet senilai Rp 50.000.000. Namun begitu realisasi, dana yang kami terima hanya sekitar Rp 35.000.000. Kami waktu itu tetap harus menandatangani senilai Rp 50.000.000. Katanya untuk biaya administrasi dan lobby supaya gol, karena banyak anggota kelompok tani lain yang mengusul. Sebelumnya kami juga pernah di “provokasi” untuk menanam sengon, kakao dan nilam, karena nilai jualnya tinggi. Dalam perjalanannya juga tidak berhasil karena sedikitnya pembinaan, dana pemeliharaan dan ketidakjelasan pasar. Sekarang ini, kami kurang begitu percaya lagi dengan kehutanan (Wawancara tanggal 21 Mei 2015) Padahal menurut (Coleman,1998:102) agar orang-orang dengan kepentingan berbeda dapat bekerjasama untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah mereka tetapkan, mereka tidak hanya perlu mengetahui satu sama lain tetapi juga mempercayai satu sama lain untuk mencegah adanya eksploitasi maupun kecurangan dalam hubungan mereka. Aspek kepatuhan terhadap norma, kaidah atau aturan yang menjadi kesepakatan bersama tergolong kategori sedang (skor 59,65). Hal ini disebabkan karena responden atau masyarakat umumnya masih memiliki norma, kaidah atau aturan tertentu yang mengatur perilaku bermasyarakat. Masyarakat mengenal norma, kaidah dan tata cara bertani yang harus ditaati oleh masyarakat, terutama yang bermata pencaharian sebagai petani. Bagi masyarakat, norma atau kaidah/aturan hidup bermasyarakat didasarkan pada hubungan kekerabatan seperti: pergaulan antara anggota keluarga inti, di lingkungan keluarga luas, dan di luar keluarga inti. Norma, kaidah atau aturan pergaulan masyarakat yang didasarkan pada kekerabatan yang terbangun melalui hubungan perkawinan. Tata cara perkawinan masyarakat sepenuhnya diatur dengan norma-norma adat. Misalnya, jika seorang pemuda meminang seorang gadis, syarat utama yang harus dipenuhi adalah adanya kemampuan untuk memadukan kematangan intelektual dan emosi dalam perilakunya. Jika syarat itu sudah dipenuhi, maka sang pemuda menyampaikan keinginannya kepada orangtua sambil menyebutkan nama gadis pilihannya untuk dipertimbangkan oleh orangtua dan keluarga siapa yang dianggap cocok dan layak menjadi istri sang pemuda, baru orang tua memulai tahapan proses perkawinan menurut adat setempat. Setelah menjadi 36 keluarga baru, maka masyarakat harus mentaati norma, kaidah atau aturan pergaulan dalam bermasyarakat akibat ikatan perkawinan. Pertama, norma, kaidah atau aturan pergaulan terhadap keluarga inti. Keluarga inti terdiri dari suami, istri dan anak. Pergaulan dalam keluarga inti ditandai dengan adanya kerjasama, kesetiaan, solidaritas dan kasih sayang. Dalam pola pergaulan keluarga inti menggariskan suatu keharusan-keharusan, larangan-larangan dan pantangan, tanggungjawab, kewajiban dan hak serta peranan dan fungsi baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Pada masyarakat, pergaulan antar anggota keluarga inti, misalnya antar suami dan istri secara tradisional mempunyai norma, kaidah atau aturan bahwa suami/istri harus saling mengayomi, menghargai, menjaga, memelihara, dan mencintai. Jika hal-hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, misalnya terjadi pelanggaran, maka akan menimbulkan disharmonisasi dalam keluarga yang dapat berakhir pada perceraian. Pergaulan antar orangtua dan anak masyarakat didasarkan pada nilai yang diungkapkan secara tradisional dengan norma, kaidah atau aturan yang ditanamkan kepada anak misalnya: anak mencintai orangtua, orangtua mencintai anak dan anak memuliakan orangtua dan orangtua menghargai anak. Kedua ungkapan tersebut merupakan landasan orang tua dan anak dalam melakukan interaksi atau aturan dasar dari interaksi antara orangtua dan anak. Di lokasi penelitian norma atau aturan yang mendasari interaksi antara anak dan orangtua sebagai besar masih terjaga. Norma, kaidah atau aturan pergaulan dengan lingkungan di luar keluarga adalah pergaulan suami istri dengan teman dan kerabat mereka pada tingkat dan derajat pertama, misalnya mertua, paman/bibi, ipar dan sepupuh kedua belah pihak. Bagi masyarakat, perkawinan tidak hanya mengikat suami istri tetapi meleburkan dua keluarga ke dalam satu kesatuan. Hal ini dibuktikan dari kerjasama yang kuat dalam mempersiapkan perkawinan. Mas kawin bukan hanya tanggung jawab dari orangtua laki-laki, tetapi merupakan hasil patungan atau sumbangan dari famili dan kerabat dekat. Bagi suami, orangtua istri adalah orangtuanya dan disapa seperti menyapa orangtuanya sendiri. Secara umum keluarga istri adalah keluarga suami dan sebaliknya. Pola hubungan ini sudah mulai pudar seiring perkembangan zaman. Anak-anak sudah mulai membantah orang tuanya, dan orangtua juga kadang 37 menelantar anaknya dalam arti tidak diberi kesempatan untuk menikmati masa kanak-kanaknya, tetapi anak-anak sejak kecil (umur sekolah) sudah diberi beban untuk membantu orangtua mencari nafkah. Hal seperti ini sudah terjadi di semua lokasi penelitian. Oleh karena itu, kedepan pola hubungan tradisional masyarakat perlu dimasyarakatkan kembali melalui muatan lokal pendidikan. Berdasarkan pengamatan dilapangan pudarnya norma, kaidah atau aturan pergaulan antara anak dan orangtua sebagian besar didasari oleh ketidaktahuan dan pengaruh media yang berkembang sangat pesat. Peningkatan modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan baik secara formal maupun non formal. Melalui pendidikan, masyarakat akan beinteraksi dan berasosiasi antar sesama, sehingga memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Namun perlu diingat, bahwa masyarakat akan dapat mengikuti pendidikan dengan baik, jika memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang baik pula. Dengan demikian masyarakat dapat dikatakan memiliki modal manusia yang berkualitas jika memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang memadai serta berinteraksi/berasosiasi dengan sesamanya sesuai dengan norma, kaidah atau aturan yang berlaku. Faktor lain yang berperan dalam pembentukan dan penguatan modal sosial masyarakat adalah faktor kemampuan para stakeholders dalam penelitian ini disebut pelaku pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan komitmen yang tinggi untuk menolong dan memberdayakan masyarakat yang tidak memiliki daya dan kesempatan untuk mengoptimalkan potensi dirinya dan mengakses sumberdaya secara optimal. Pelaku pemberdayaan dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan pengeloan hutan lebih dikenal dengan penyuluh kehutanan atau fasilitator. Pelaku pemberdayaan yang memiliki kemampuan yang memadai akan dapat membantu masyarakat untuk mengenal kondisi sosial budaya, jenis kebutuhan dan potensi sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian, pelaku pemberdayaan akan membantu menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa untuk memenuhui kebutuhan dan mengembangkan pontesi memerlukan keterlibatan orang lain. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan dan dikembangkan semangat bekerjasama, saling mempercayai, taat terhadap norma yang berlaku, peduli terhadap sesama, dan aktif dalam kegiatan organisasi dalam masyarakat. 38 Keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial masyarakat tergolong sedang (skor 69,83). Masyarakat di sela-sela kesibukannya masih selalu meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan organisasi sosial masyarakat. Masyarakat masih meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan pengajian, Maulid Habsy, pertemuan di tingkat lingkungan paling tidak sekali sebulan. Selain itu, masyarakat juga tetap memenuhi kewajibannya membayar iuran pokok perkumpulan tertentu, seperti perkumpulan yasinan dan rukun kematian. Perkumpulan rukun kematian secara ekonomi manfaatnya tidak signifikan, tetapi secara sosial budaya memiliki makna yang sangat dalam. Antara lain, dengan menjadi anggota perkumpulan rukun kematian diharapkan selalu mengingat mati, sehingga dengan demikian maka untuk menghadapi mati harus dipersiapkan sejak dini, misalnya harus selalu berbuat baik, taat terhadap agama dan lain sebagainya. 4. Modal Sumberdaya Finansial (Financial Capital) Sumberdaya finansial merupakan sumber-sumber pembiayaan finansial, baik yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan pertanian, pembukaan usaha baru, ataupun pemenuhan kebutuhan mendesak dan sehari-hari. Masyarakat petani memiliki keterbatasan informasi dan keberanian untuk mengakses sumberdaya finansial yang tersedia, sehingga petani tidak bisa mengembangkan usaha pertaniannya lebih baik lagi. Modal keuangan yang tersedia bagi rumah tangga pedesaan berasal dari hasil produksi pertanian, hasil hutan. Mereka juga dapat menggunakan kredit formal dan informal untuk melengkapi sumber keuangan mereka. Secara rinci hasil penilaian terhadap kualitas modal sumberdaya finansial yang dimiliki responden disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Persepsi responden terhadap modal sumberdaya Finansial No. 1. 2. 3. Variabel dan Indikatornya Skor Tingkat Penilaian Pendapatan Tabungan Akses mendapatkan modal Rata-rata 62.35 48.96 51.65 54.32 Sedang rendah rendah Sedang 39 Analisis kekuatan aspek keuangan, secara umum dapat dijelaskan bahwa untuk modal kerja produksi tidak mengalami banyak kendala, karena pendanaan untuk pembangunan hutan pada tahun pertama dan kedua mendapat bantuan dari UPT BPDAS Barito dan BP2HP Kementerian Kehutanan serta Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi. Hanya saja yang menjadi persoalan ketika memasuki tahun ketiga (pemeliharaan tahun kedua), masyarakat seringkali mengalami kesulitan pendanaan karena sebagian besar peserta program tidak memiliki dukungan finansial yang lebih, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan standar minimal dan melakukan aktivitas usaha pertanian tanaman pangan. Pada umumnya masyarakat tidak memiliki tabungan dalam bentuk uang. Bagi masyarakat tabungan diinvestasikan dalam bentuk kepemilikan sapi, tanah, kebun buah, kebun karet dan perhiasan. Gambar 3 merupakan alur penggunaan sumberdaya finansial untuk kegiatan pertanian. Biaya Sehari-hari Tabungan Hutang - Penyedia Pupuk, Pestisida - Koperasi - Bank - Tetangga Modal Proyek Kehutanan - KBR - Gerhan - dll Penanaman Pemeliharaan Pemeliharaan Pendapatan Pemeliharaan Pemeliharaan Hasil Hutan Gambar 3. Alur Penggunaan Sumberdaya Finansial 40 5. Modal Sumberdaya Alam Bagi masyarakat perdesaan di lokasi penelitian yang termasuk dalam sumberdaya alam antara lain tanah (lahan), sumberdaya hutan (hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan), air, dan bahan mineral. Berdasarkan penilaian responden maka kondisi sumberdaya alam di KPHK Kuala Lupak termasuk dalam katagore tinggi. Secara rinci hasil penilaian terhadap modal sumberdaya alam di kawasan KPHK Kuala Lupak disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya Alam No. 1. 2. 3. Variabel Lahan Hutan Air Rata-rata Skor 72.78 75.74 66.43 71.65 Tingkat Penilaian sedang tinggi Sedang sedang Lahan di sekitar pemukiman masyarakat merupakan kawasan hutan yang sebagian besar telah di kapling status “kepemilikannya”. Kawasan KPHK Kuala Lupak dimana di dalamnya terdapat potensi sumber daya masyarakat yang cukup baik di bidang budidaya tanaman, dimana pada kawasan ini merupakan penghasil buah-buahan seperti Durian, Cempedak, Langsat, Rambutan dan lain-lain selain untuk dijual langsung juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata agro yang dapat menarik wisatawan. Lahan-lahan hutan yang ada sebagian masih merupakan lahan tidur yang tidak produktif yang tidak termanfaatkan. Tanah merupakan salah satu sumberdaya utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Ketersediaan lahan tergantung pada banyaknya rumah tangga dan sistem kepemilikan lahan. Biasanya petani memiliki akses tanah melalui warisan, sewa (gadai) dan beli tanah. Namun belakangan dalam kehidupan perdesaan masyarakat, distribusi tanah tersebut mulai ditinggalkan. Oleh karenanya, mulai terdapat ekspansi lahan pertanian pada lahanlahan lindung. Akibatnya jumlah pemilik lahan menurun dan rumah tangga yang tidak memiliki lahan meningkat. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan keinginan dan aspirasi yang kuat untuk memanfaatkan lahan tidak produktif dengan melakukan pembudidayaan jenis tanaman, dimana responden di Desa Kuala Lupak, setuju dengan prosentase 73,33%. Responden yang memberikan tanggapan “tidak 41 tahu” karena memang selama ini kurang mengetahui teknologi pemanfaatan lahan, sedangkan responden yang setuju relatif memahami karena pernah terlibat dalam program GN-RHL/Gerhan sejak tahun 2003, dimana saat ini sudah ada sebagian lahan yang telah ditanam. Secara rinci dapat dilihat aspirasi responden terkait dengan pemanfaatan lahan yang ada sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. .Gambar 4. Persepsi Responden tentang Pemanfaatan Lahan Hutan (%) 6. Pentagon Modal Sumberdaya Antonio Syafe'i (2003) menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi yang menciptakan trickle down effect adalah pembangunan yang melibatkan rakyat secara langsung. Namun dalam konsep pembangunan, pembangunan baru bisa dikatakan berhasil bila mampu mewujudkan penghidupan yang berkelanjutan, sekarang dan untuk generasi mendatang. Tidak sepotong atau satu aspek saja, namun meliputi segenap sumberdaya yang menopang penghidupan manusia (holistic) dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainability). Penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) ditopang oleh lima unsur yaitu; Sumberdaya Manusia, Sumberdaya Sosial, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Fisik dan Sumberdaya Finansial. Kelima sumberdaya penghidupan (Livelihoods Resources) inilah yang melingkupi kehidupan setiap individu, keluarga dan masyarakat. Karenanya pembangunan perlu menempatkan manusia sebagai 42 fokus utama (people centered), pembangunan tidak bernilai apa-apa bila tidak meningkatkan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan hasil pendeskripsian kondisi modal sumberdaya di lokasi penelitian, maka apabila dibuat pentagon asset dapat digambarkan sebagai berikut: Kerjasama (tinggi) Kepercayaan (tinggi) Kepatuhan terhadap norma (sedang) Kepedulian (sedang) Aktivitas Organisasi (sedang) Pendidikan Masyarakat (rendah) Kondisi Kesehatan (sedang) Pengalaman di bidang kehutanan (tinggi) Potensi Lahan (sedang) Potensi hutan (tinggi) Potensi SD air (tinggi) Pendapatan (rendah) Tabungan (rendah) Akses Modal (sedang) Sarana Produksi cukup Tersedia Sarana Pendidikan kurang Tersedia Sarana Kesehatan kurang Tersedia Sarana Ekonomi cukup tersedia Sarana Komunikasi cukup tersedia Sarana Transportasi kurang tersedia Gambar 5. Grafik Pentagon Aset untuk menggambarkan kondisi sumberdaya di lokasi penelitian Berdasarkan Gambar 5, maka urutan skoring yang tertinggi hingga terendah adalah sumberdaya alam tinggi (71,65), sumberdaya sosial sedang (66,49), sumberdaya fisik sedang (59,72), sumberdaya manusia sedang (63,80), dan sumberdaya finansial sedang (54,32). Secara keseluruhan, aset penghidupan masyarakat tergolong sedang. Ini mengindikasikan bahwa pembangunan desa, termasuk pembangunan hutan yang melibatkan masyarakat selama ini belum mampu mengangkat kehidupan masyarakat perdesaan hutan, sehingga ke depan perlu akses yang lebih baik dan kondusif guna meningkatkan aset penghidupan masyarakat secara berkelanjutan. 43 Sumberdaya sosial juga merupakan hal yang sangat penting untuk diperhitungkan, karena bila suatu instrument tidak memiliki nilai sosial maka sesuatu kegitan tersebut tidak akan bermanfaat bagi manusia yang lain dan tidak layak untuk dikatakan sebagai sebuah kegiatan yang produktif. Pada hakikatnya kegiatan yang produktif adalah kegitan yang mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia, sumberdaya seperti itu pulalah yang terdapat dalam pemberdayaan. Potensi sumberdaya manusia yang ada di KPHK Kuala Lupak sangat mendukung pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan, karena mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan telah mempunyai pengalaman dalam perhutanan sosial. Penduduk sendiri sebenarnya memiliki etos kerja yang tinggi baik dilihat dari hari kerjanya maupun dari jam kerjanya per hari. Dengan bermata pencarian sebagai petani, pengalaman perhutanan sosial dan memiliki etos kerja yang tinggi, pemberdayaan akan dapat berjalan dan mampu menopang serta memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kondisi sosial yang ada di lokasi penelitian juga sangat mendukung pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang tak mungkin karena dukungan modal kerjasama dan kepercayaan masyarakat antar sesama relatif tinggi. Sudut pandang budaya dan psikologi masyarakat tidak akan mendapatkan hambatan yang berarti. Kohesi sosial antar masyarakat juga sangat kuat, dikarenakan memiliki satu keyakinan yang sama sekaligus juga dikarenakan adanya aktivitas kelompok masyarakat yang masih hidup dan rutin diadakan oleh masyarakat. Dari segi finansial di lokasi penelitian walaupun pendapatan masyarakat masih rendah, namun cukup banyak alternatif permodalan khususnya berasal dari program Kementerian Kehutanan melalui bantuan modal kerja melalui mekanisme Kebun Bibit Rakyat (KBR), Kelompok Usaha Produktif (KUP), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Sehingga dengan adanya alokasi dana yang bersifat produktif dengan diperkuat oleh lembaga keuangan akan mampu mengangkat derajat masyarakat miskin dari kubangan kemiskinan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa juga terdapat banyak hambatan, pemberdayaan masyarakat antara lain adanya anggapan masyarakat beranggapan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan hanya sekedar keproyekan, 44 takut lahan yang sudah dikuasai akan diambil pemerintah, dan masalah pendidikan/sekolah bukan soal penting bagi mereka dan tidak menjanjikan pekerjaan yang layak bagi mereka lebih tertarik mencari uang daripada sekolah. Masih banyak masyarakat yang terjerat para tengkulak yang menawarkan modal dengan tingkat bunga yang tinggi, dan rata-rata pendapatan masyakat miskin khususnya sebagai buruh tani tidak cukup memadai untuk mencicil hutang. Gambar 5 tampak bahwa walaupun kondisi modal sumberdaya alam tergolong tinggi, namun tidak mempunyai korelasi yang kuat dalam peningkatan aspek finansial, sumberdaya manusia, sosial, dan fisik. Kondisi ini sesuai dengan tesis yang disampaikan oleh Richard Auty (1993) yang menggambarkannya sebagai kutukan sumber daya ketika dia menjelaskan bagaimana negara-negara yang SDA-nya berlimpah tidak mampu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi mereka dan bagaimana mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat daripada negara-negara yang SDA-nya sedikit. B. Perilaku Masyarakat 1. Kemampuan Penyuluh Kehutanan Sebagai Pelaku Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat menjadi paradigma baru penyuluhan kehutanan, sehingga penyuluhan kehutanan didefinisikan sebagai proses pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan pengetahuan dan sikap perilaku masyarakat sehingga menjadi tahu, mau, dan mampu melakukan kegiatan pembangunan hutan dan kehutanan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya serta mempunyai kepedulian dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian hutan dan lingkungan. Dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat perdesaan hutan yang berkaitan dengan pembangunan hutan, pemerintah menetapkan penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan. Lippit (1958) dan Rogers (1983) menyebutnya sebagai “agen perubahan (agent of change), yaitu seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga pemberdayaan masyarakat berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (calon) penerima manfaat dalam mengadopsi inovasi. Dalam bidang kehutanan, tenaga pemberdayaan masyarakat sering diistilahkan dengan penyuluh kehutanan bagi yang berstatus PNS, penyuluh 45 kehutanan swadaya masyarakat (PKSM) bagi yang berasal dari masyarakat setempat dan fasilitator bagi yang tenaga non PNS yang direkrut oleh pihak kehutanan (Pusluhhut, 2002:4 dan Fauzi,2011:5). Penyuluh kehutanan dibedakan atas penyuluh trampil dan penyuluh ahli. Tenaga penyuluh sangat diperlukan dalam dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk menjadi pelaku pembangunan hutan dan kehutanan terutama dalam mendukung berbagai kebijakan yang selalu dinamis untuk tujuan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat (Pusluhhut, 2007:3). Menurut Mardikanto (2015:139), pelaku pemberdayaan berdasarkan atas status dan tempatnya bekerja dibedakan atas 3 (tiga) kategore yaitu: (1) Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan status jabatan fungsional sebagai Penyuluh/Fasilitator. Penyuluh/Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat PNS mulai dikenal sejak awal 1970 seiring dengan dikembangkannya konsep “catur sarana unit desa” dalam program BIMAS. Sedang jabatan fungsional penyuluh, mulai dibicarakan sejak pelaksanaan proyek penyuluhan tanaman pangan (National Food Crops Extension Project/NFCEP) sejak tahun 1976. (2) Penyuluh/Fasilitator Swasta, yaitu fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang berstatus sebagai karyawan perusahaan swasta (produsen pupuk, pestisida, perusahaan benih/benih/ alat/mesin pertanian, dll). Termasuk kategori penyuluh swasta adalah, penyuluh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) (3) Penyuluh/Fasilitator, yaitu fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang berasal dari masyarakat yang secara sukarela (tanpa imbalan) melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat di lingkungannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah, penyuluh/fasilitator yang diangkat dan atau memperoleh imbalan dari masyarakat di lingkungannya. Dalam menjalankan program yang berkaitan dengan pembangunan hutan, penyuluh kehutanan mempunyai peran yang sangat strategis, baik dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat, maupun dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan. Hal ini sejalan dengan pergeseran pembangunan kehutanan dan pelaksanaan otonomi daerah, maka telah dilakukan reorientasi paradigma penyuluhan kehutanan, yang semula merupakan proses alih teknologi dan 46 informasi menjadi penyuluhan kehutanan yang merupakan proses pemberdayaan masyarakat (Pusluhhut, 1997:3). Menurut (Susetyo, 2006:1), penyuluhan kehutanan pada intinya adalah pemberdayaan masyarakat. Mengacu pada pengertian penyuluhan kehutanan itu sendiri yang merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap (Dephutbun, 2000). Maka jelaslah bahwa dalam penyuluhan, tujuan pendidikan tidak hanya pada kognitif saja tapi juga pada peningkatan kemampuan afektif dan psikomotorik. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah atau suatu lembaga pemberdayaan masyarakat agar masyarakat selalu tahu, mau, dan mampu mengadopsi inovasi demi tercapainya peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani guna memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Mardikanto, 2015:139). Karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat membutuhkan tenaga-tenaga fasilitator yang handal agar dapat melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang direncanakan. Istilah fasilitator di sini menurut Mardikanto (2015:139) diidentikkan sebagai pekerja atau pelaksana pemberdayaan masyarakat yang seringkali disebut sebagai penyuluh. Menurut (Utama, 2013:1), penyuluh kehutanan sebagai ujung tombak dalam pembangunan kehutanan di lapangan. Sebagai tenaga ujung tombak, maka penyuluh kehutanan harus kompeten dan profesional. Untuk mewujudkan peran yang diembannya, penyuluh kehutanan harus memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat. Pelaku pemberdayaan diharapkan memiliki kemampuan, sikap dan ketrampilan yang memadai dalam mendampingi, membina dan mengarahkan masyarakat dalam menjalankan program-program yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan pembebasan masyarakat dari belenggu ketidakberdayaan dan kemiskinan. Hal ini sejalan dengan pendapat Chamala dan Shingi (1997) bahwa penyuluh harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting yaitu 47 pemberdayaan, pengelolaan kelompok dan penguatan kelembagaan masyarakat, pengembangan sumberdaya petani, serta pemecahan masalah dan pendidikan. Keberadaan pelaku pemberdayaan di lapangan tidak hanya berfungsi sebagai pendamping/pembina kelompok tani saja (sebagaimana tersebut di atas tadi) tetapi secara praktis di lapangan memiliki multi fungsi, baik sebagai motivator, inovator sekaligus sebagai mediator dalam pemberdayaan masyarakat/kelompok tani setempat. Sebagai motivator seorang pelaku pemberdayaan akan berperan sebagai pembangkit gairah dan semangat kerja bagi masyarakat dengan memberikan penjelasan, pemahaman dan dorongan untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan. Pendamping harus selalu berada dekat dan sering melakukan komunikasi serta pendekatan baik secara individu (contact person) maupun secara kelompok (pertemuan formal dan non formal) kepada masyarakat agar segala pekerjaan fisik di lapangan yang menjadi tanggung jawab mereka dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, untuk itu sangat diperlukan kepribadian dan budi pekerti yang baik, sopan, rendah hati serta penuh adab dan tata krama yang tinggi pada diri seorang pelaku pemberdayaan, yang mana dari semua itu akan memberikan kesan menarik bahkan menimbulkan rasa sayang dan simpatik dari masyarakat sehingga segala apa yang disampaikan akan lebih mudah mereka terima dan laksanakan, yang pada akhirnya partisipasi dan peran aktif masyarakat akan meningkat signifikan. Sebagai inovator, seorang tenaga pelaku pemberdayaan berperan membawa kelompok tani kepada perubahan dan pengembangan teknologi baru, terutama yang mudah dimengerti serta sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang ada (teknologi bidang pertanian, kehutanan, dll). Untuk itu diperlukan kemampuan pelaku pemberdayaan dalam menggunakan cara penyampaian yang baik, pemilihan sasaran dan situasi kondisi yang tepat, penggunaan bahasa yang halus, sederhana dan mudah dimengerti, serta menghindari timbulnya kesan seolah-olah menggurui agar tidak menyinggung perasaan mereka sehingga siap menerimanya dengan lapang dada. Sebagai mediator, seorang pelaku pemberdayaan berperan untuk mempertemukan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat 48 sehingga tercipta suatu kondisi dimana hak-hak dan kewajiban masyarakat dan pemerintah dalam setiap kegiatan (yang berhubungan dengan keproyekan) dapat terjamin. Selain itu selalu berusaha mencari solusi untuk membantu memecahkan berbagai permasalahan baik yang timbul di dalam masyarakat/kelompok tani itu sendiri (intern) maupun permasalahan dengan pihak luar (ekstern). Oleh sebab itu seorang pelaku pemberdayaan dituntut memiliki kemampuan yang “lebih” untuk mampu bersikap dan bertindak secara arif dan bijaksana dalam membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada demi terpenuhinya kepentingan bagi semua pihak tanpa ada yang merasa dirugikan (win-win solution). Selain berbagai peran tersebut di atas, seorang pelaku pemberdayaan merupakan ujung tombak bagi perlindungan, pembelaan dan penyelamatan hak-hak dan kepentingan masyarakat/kelompok tani. Dalam hal munculnya gejala dan indikasi ke arah terjadinya penyelewengan atau penyimpangan dari aturan sebenarnya yang akan merugikan masyarakat/kelompok tani maka penyuluh kehutanan lah yang akan bertindak secara pro aktif melakukan pencegahan, pembelaan dan penyelamatan hak-hak masyarakat tersebut. Seorang pelaku pemberdayaan tidak akan langsung bertindak secara frontal dan membabi buta (kontradiktif) dengan mengangkat isu tersebut ke permukaan atau mempublikasikannya ke berbagai media massa untuk mempermalukan pihak-pihak tertentu dan diketahui khalayak ramai, karena cara-cara tersebut masih kurang efektif dan kurang berhasil guna, tetapi secara pro aktif seorang penyuluh kehutanan akan lebih mengutamakan tindakan langsung sebagai langkah nyata dengan melakukan pencegahan persuasif, pendekatan secara manusiawi, arif dan bijaksana namun tetap menunjukkan sikap yang tegas dan berwibawa. Ternyata cara ini memang sangat ampuh dan memberikan hasil nyata bagi penyelamatan hak-hak masyarakat yang terindikasi akan dikebiri. a. Kemampuan Kognitif (Pengetahuan) Penyuluh Kehutanan Berdasarkan Tabel 16 dari aspek kognitif, penyuluh kehutanan memiliki kemampuan kognitif yang sedang (skor 71,55). 49 Tabel 16. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan No Katagore * Skor Kriteria Penilaian 1 Kemampuan Memahami 77.57 tinggi 2 Kemampuan Menerapkan 78.96 tinggi 3 Kemampuan Menganalisis 74.09 sedang 4 Kemampuan Mengevaluasi 62.96 sedang 5 Kemampuan Menciptakan 64.17 sedang Rata-rata 71.55 sedang Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom versi Revisi (Krathwohl, 2002:215) Kemampuan pemahaman penyuluh relatif baik dengan katagore tinggi (77,57). Menurut (Krathwohl, 2002:215), memahami/mengerti berkaitan dengan membangun sebuah pengertian dari berbagai sumber seperti pesan, bacaan dan komunikasi yang bersumber dari pengetahuan dari memori atau ingatan yang telah lampau, baik yang baru saja didapatkan maupun yang sudah lama didapatkan. Pada tahap ini, penyuluh dapat memahami hal-hal penting berkaitan dengan visi misi penyuluhan kehutanan, materi dan metode penyuluh kehutanan dan pemberdayaan masyarakat, teknis kehutanan seperti agroforestri, silvikultur, pemanfaatan dan pemahaman hasil hutan. Kemampuan ini dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks (Gunawan & Palupi, 2013:26). Dari aspek pengetahuan kehutanan, para penyuluh sudah memadai, namun berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat menyebutkan bahwa pelaku pemberdayaan yang memfasilitasi program-program pemberdayaan selama ini kurang memiliki pengetahuan tentang mekanisme pemasaran yang menguntungkan bagi petani, jaringan pemasaran dan tata usaha peredaran hasil hutan. Dari sisi kemampuan menerapkan (applying), penyuluh kehutanan di Kabupaten Barito Kuala pada umumnya telah mampu mengaplikasikan teknikteknik yang berkaitan dengan kehutanan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dipelajari pada saat kuliah atau pelatihan sesuai dengan kondisi di lapangan. Misalnya setelah mengikuti pelatihan Silvikultur Intensif (SILIN), mereka sudah bisa menerapkan pengaturan jarak tanam. Pada saat membuat arah larikan tanaman dengan jarak tanam yang sudah ditentukan, kalau luasannya kecil maka pengerjaannya relatif mudah, tapi kalau sudah mencapai puluhan hektar maka praktiknya di lapangan akan susah. Ketika penyuluh yang mempunyai pengetahuan 50 mengenai hal tersebut tentunya hal ini dengan mudah bisa diterapkan pada lahan yang akan ditanami. Begitu pula dalam hal pengendalian kebakaran lahan hutan, penyuluh telah bisa ikut membantu pemadaman kebakaran berdasarkan ilmu yang dipelajari pada saat pelatihan. Hal ini ditegaskan informan Bapak Riza Ali: Di daerah binaan saya, setiap musim kemarau panjang pasti terjadi kebakaran lahan dengan areal yang sangat luas sehingga menyebabkan kematian tegakan pohon yang telah ditanam sejak tahun 2003. Pada tahun 2011, saya ikut pelatihan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dilaksanakan oleh BKSDA Kalsel, dan hasilnya saya terapkan di lahan masyarakat. Salah satunya dengan membuat sekat bakar, sehingga lahan tanaman masyarakat sampai sekarang tidak pernah lagi terbakar (Wawancara tanggal 23 Mei 2015) Berkaitan dengan hal tersebut, penyuluh kehutanan pada umumnya telah mampu memiliki kemampuan menerapkan sebagaimana yang disampaikan (Krathwohl, 2002:216), menerapkan menunjuk pada proses kognitif memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau menyelesaikan permasalahan. Penerapan tersebut didasarkan pada pengetahuan yang diperolehnya. Menurut (Gunawan & Palupi, 2013:27), menerapkan berkaitan dengan dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Menerapkan meliputi kegiatan menjalankan prosedur (executing) dan mengimplementasikan (implementing). Menjalankan prosedur merupakan proses kognitif dalam menyelesaikan masalah dan melaksanakan, di mana penyuluh sudah mengetahui informasi tersebut dan mampu menetapkan dengan pasti prosedur apa saja yang harus dilakukan. Dari aspek analisis, penyuluh kehutanan memiliki skor tinggi (74,09). Menurut (Krathwohl, 2002:216), menganalisis merupakan kemampuan memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap- tiap bagian tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan sehingga dapat dicarikan solusinya. Pada tahap ini, penyuluh kehutanan sudah memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap berbagai persoalan. Misalnya pada tahun 2015 saat terjadi konflik lahan dimana pada sebagian lahan konsesi yang IUPHHK PT. Prima Multi Banua telah diklaim masyarakat sebagai lahan miliknya dan menguasai lahan tersebut. Pada saat itu, tim konsultan melibatkan para penyuluh kehutanan untuk menemukan resolusi konflik lahan sehingga akhirnya 51 dicapai kesepakatan bahwa lahan hutan yang dikuasai masyarakat dilakukan pengelolaan hutan dengan sistem bagi hasil (sharing profit). Aspek kemampuan analisis memiliki posisi yang sangat penting sehingga wajar Gunawan & Palupi, (2013) menyatakan kemampuan menganalisis sering kali cenderung lebih penting daripada dimensi proses kognitif yang lain. Aspek mengevaluasi yang dimiliki penyuluh kehutanan masih tergolong sedang (62,96). Para penyuluh belum terbiasa melakukan evaluasi yang menurut Kuswana (2015:65) berkaitan dengan kemampuan memberikan penilaian berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Bagi para penyuluh urusan evaluasi bukanlah wewenangnya melainkan tugas atasan langsung. Hanya 28,57% penyuluh yang memilki kemampuan evaluasi, padahal menurut Kuswana (2015:66), posisi evaluasi dalam taksnomi sangat dihormati sebagai langkah tertinggi, karena merupakan proses dan hasil berpikir yang komplek yang menyangkut kombinasi tingkah laku mulai dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis dan sintesis. Informan Bapak Riza Ali sebagai Penyuluh kehutanan yang telah memiliki kemampuan mengevaluasi menyatakan bahwa: Setiap berakhir kegiatan programa penyuluhan, saya selalu mereview sudah sampai sejauh mana realisasi kegiatan, dan temuan permasalahan di lapangan. Hal ini menjadi catatan khusus bagi saya untuk dijadikan penyempurnaan pada kegiatan selanjutnya. Saya pun bisa menginformasikan hal ini kepada penyuluh lainnya (wawancara tanggal 23 Mei 2015) Kemampuan penyuluh kehutanan tersebut menurut Bloom (1956:171) merupakan bagian dari kemampuan melakukan evaluasi. Kemampuan evaluasi berkaitan dengan kemampuan menemukenali dan menimbang nilai-nilai yang dilibatkan dalam tindakan alternatif, kemampuan mengidentifikasi dan menilai pertimbangan nilai-nilai yang dilibatkan dalam pilihan dari suatu tindakan. Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang penting, namun sering dikesampingkan dan konotasinya negatif, karena dianggap mencari kesalahan, kegagalan dan kelemahan dari suatu kegiatan penyuluhan kehutanan. Sebenarnya evaluasi harus dilihat dari segi manfaatnya sebagai upaya memperbaiki dan penyempurnaan program/kegiatan penyuluhan kehutanan sehingga lebih efektif, efisien dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi penyuluhan kehutanan dapat digunakan untuk memperbaiki perencanaan kegiatan/program 52 penyuluhan, dan kinerja penyuluhan, mempertanggungjawabkan kegiatan yang dilaksanakan, membandingkan antara kegiatan yang dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dari aspek menciptakan, penyuluh kehutanan memiliki kemampuan yang sedang (64,17). Menciptakan sangat berkaitan erat dengan pengalaman belajar para penyuluh tidak saja dari belajar formal di kelas namun juga praktik di lapangan. Menciptakan di sini mengarahkan pada kemampuan menempatkan bagian-bagian secara bersama-sama ke dalam suatu ide, semuanya saling berhubungan untuk membuat hasil yang baik (Krathwohl, 2002). Menciptakan di sini menurut Kuswana (2015:118), dalam katagore proses kognitif mencakup kemampuan menghasilkan, merencakan, dan membangun. Hasil konkret dari kemampuan penyuluh dalam menciptakan adalah keberhasilan bersama masyarakat membangun unit pengolahan minyak atsiri di Desa Sungai Telan, demplot agroforestri di Desa Sungai Telan dan Tabunganen Muara, dan membuat perencanaan penyuluhan kehutanan. Ini menandakan sebagian penyuluh kehutanan telah mampu menciptakan (create) berbasis pengetahuan yang telah diperoleh. Berdasarkan kondisi di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek kognitif penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 6. 53 Gambar 6. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan (diadaptasi dari model Taksonomi Bloom (1956) versi (Krathwohl, 2002) Berdasarkan kondisi tersebut secara umum dari sisi pengetahuan, para penyuluh kehutanan di Kabupaten Barito Kuala sudah mempunyai dasar-dasar pengetahuan praktis pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan hutan, namun masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Berlo (1960) bahwa seorang penyuluh harus memiliki 3 (tiga) kemampuan pengetahuan. Pertama, mengenai isi, fungsi, manfaat, dan nilai-nilai yang terkandung dalam inovasi yang disampaikan, baik secara konseptual (keilmiahan) maupun secara praktis. Seorang penyuluh kehutanan harus memilki pengetahuan praktis seperti teknologi penyuluhan dan komunikasi, teknik fasilitasi dan teknik pendampingan, menguasai pengetahuan dan teknik pemberdayaan masyarakat, memiliki pengetahuan teknis kehutanan dan memahami pengetahuan sosial ekonomi di bidang agrisylvobisnis (Anonim, 2010:2). Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayat (2003:3), penyuluh kehutanan harus memiliki kemampuan minimal yaitu menguasai dan memahami teknologi penyuluhan, kelembagaan masyarakat, substansi kehutanan 54 dan sistem agrosilvobisnis. Yang dimaksud dengan teknologi penyuluhan adalah berbagai aspek teknis yang sangat erat hubungannya dengan pengelolaan penyampaian pesan dan mengolah respon dari sasaran penyuluhan. Hal ini sangat terkait dengan metode dan materi serta sistemnya. Penyuluh kehutanan bukan hanya harus menguasai teknik kehutanan tetapi juga memiliki wawasan dan penguasaan yang lebih luas termasuk kebijakan, jaringan kerja kehutanan, isu internasional tentang kehutanan dan sebagainya. Kedua, penyuluh harus memiliki pengetahuan mengenai latar belakang dan keadaan masyarakat penerima manfaatnya, baik yang menyangkut perilaku, nilainilai sosial budaya, keadaan alam, maupun kebutuhan-kebutuhan nyata yang diperlukan masyarakat penerima manfaatnya. Dalam usaha mengembangkan swadaya dan kemandirian masyarakat, seorang penyuluh harus memahami kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki masyarakat. Untuk memahami hal tersebut, seorang penyuluh harus memiliki kemampuan untuk menganalisa dan mengkaji secara mendalam apa yang menjadi minat dan kebutuhan masyarakat, kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi oleh ketersediaan sumberdaya alam serta prioritas dari minat dan kebutuhan tersebut. Hal ini penting agar penyuluh mampu mengenali potensi lokal sebagaimana yang dikemukakan Jamasy (2004), seorang penyuluh harus mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal. Pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih realistis untuk tujuan rasa memiliki. Berkaitan dengan hal tersebut, informan Bapak Riza Ali (penyuluh): Kami telah memiliki pengetahuan memetakan potensi lokal yang ada di setiap desa, dan merekomendasikan hasil hutan unggulan. Misalnya, di Desa Kuala Lupak banyak terdapat kebun buah Durian dengan kualitas yang bagus maka bisa dilakukan pengembangan budidaya durian dan peningkatan nilai tambah misalnya dibuat lempok. Sedangkan daerah Telan, karena banyak terdapat pohon Rambai yang tumbuh alami Masyarakatnya pun banyak yang menjadi peramu Akar rambai. (Wawancara tanggal 21 April 2015) Kemampuan kognitif ketiga yang menjadi persyaratan pelaku pemberdayaan menurut Berlo (1960) adalah mengetahui segala sesuatu yang yang seringkali menyebabkan warga masyarakat suka atau tidak menghendaki 55 terjadinya perubahan maupun segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat seringkali cepat atau lamban mengadopsi inovasi. Sementara itu, Hawkins, et al (1982) menekankan agar setiap penyuluh/fasilitator harus kompeten, artinya memahami dan menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang disampaikannya (baik yang bersifat teknis, ekonomi, maupun kaitannya dengan nilainilai sosial budaya. b. Kemampuan Afektif (Sikap) Penyuluh Kehutanan Penilaian responden terhadap ranah afektif penyuluh kehutanan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan No Indikator * Skor Kriteria Penilaian 1 Menerima (receiving/attending) 73.04 tinggi 2 Kemampuan Menanggapi 71.04 tinggi 3 Kemampuan Menilai 71,83 tinggi 4 Kemampuan Mengelola 67,74 sedang 5 Kemampuan Menghayati 56.61 sedang Rata-rata 68,05 sedang Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom (1956: 77). Pada tingkatan receiving (attending), penyuluh kehutanan merasa bahwa pada saat mengikuti pelatihan, masukan dari atasan ataupun masyarakat petani, mereka mau menerima keberadaan fenomena atau stimulus tersebut. Hal ini menurut penyuluh kehutanan didasarkan pada kesadaran bahwa secara teoritis mungkin mereka tahu namun pengalaman di lapangan petani tentu lebih banyak mempraktekkannya. Menurut Krathwohl (1964: 180), kondisi dimana terdapat kesadaran (awareness) merupakan salah satu dari sikap menerima pada ranah afektif. Kesadaran agak berbeda dengan perilaku kognitif, terutama pada saat merespon sebuah stimulus. Di dalam perilaku kognitif, pembelajar dapat mengungkapkan respon atas sebuah stimulus, sedangkan di sub level ini pembelajar hanya menerima stimulus tersebut tanpa ada kewajiban untuk menyatakan sebuah respon. Sebagai contoh diungkapkan saat mengikuti pelatihan, mereka menerima begitu banyak materi tentang pemberdayaan ataupun teknis kehutanan. Mereka sadar bahwa pengetahuan yang didapat akan berguna pada saat berada di tempat tugas. Pada tahap 56 selanjutnya, penyuluh kehutanan telah dapat telah mampu memilah antara satu pendekatan dengan lainnya saat memberikan penyuluhan. Misalnya, ketika memberikan penyuluhan yang dihadiri oleh mayoritas Suku Barito Kuala akan berbeda pendekatannya dengan Suku Jawa. Menurut penyuluh, pada umumnya warga suku Banjar saat dilakukan penyuluhan jarang ada yang mengemukakan pendapat atau pertanyaan, walaupun mereka tidak mengerti atau tidak setuju dengan apa yang disampaikan. Bagi penyuluh yang tidak memahami karakter orang Banjar mungkin akan menganggap “diam itu berarti setuju”. Pendekatan yang sebaiknya dilakukan justru akan lebih efektif dalam diskusi-diskusi informal seperti di warung. Kebiasaan “urang Banjar” terkenal dengan “budaya mewarung” bisa dimanfaatkan penyuluh untuk mentransformasikan materi penyuluhan. Pada tingkatan menanggapi (responding), penyuluh kehutanan menyatakan bahwa dalam setiap pelatihan mereka sering memberikan tanggapan terhadap suatu fenomena yang disampaikan fasilitator, jadi lebih dari hanya sekadar memperhatikan. Sebagai penyuluh kehutanan, mereka juga merasa cukup mempunyai kemampuan berempati, kemampuan merespons kondisi yang ada di lingkungannya, fleksibelitas dalam bertindak, luwes dalam berkomunikasi, dan terbuka untuk mendengarkan, menerima saran, pendapat dan kritikan dari luar serta memiliki tanggungjawab. Menurut Krathwohl (1964:180), tingkatan selanjutnya adalah valuing, dimana pembelajar akan menunjukkan komitmennya berdasarkan nilai yang dianutnya yang selanjutnya akan menuntun perilaku pembelajar. Kondisi ini sangat berbeda dengan konsep motivasi eksternal yang hanya mengarah kepada kepatuhan. Terdapat 3 (tiga) sub tingkatan valueing, yaitu penerimaan terhadap nilai-nilai yang dianut (acceptance of value), preferensi nilai, dan komitmen. Pada sub-tingkatan acceptance of value, pembelajar telah memiliki keyakinan bahwa dirinya telah memiliki nilai-nilai tertentu dalam dirinya dan memiliki kemauan untuk dapat diidentifikasi oleh orang lain berdasarkan keyakinan tersebut. Misalnya, seorang seorang penyuluh memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat bertoleransi dengan teman sejawat dan kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai daerah asal. Pada sub-tingkatan preference of value, penyuluh tidak hanya yakin pada nilai yang telah dia miliki, namun juga berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut. Sedangkan pada sub-tingkatan commitment, seseorang tidak hanya percaya terhadap suatu nilai tetapi juga berusaha 57 berkomitmen kepada nilai tersebut sehingga pada akhirnya akan menjadi sebuah motivasi dalam melakukan suatu tindakan. Pada tingkatan organisasi (organization), penyuluh sudah sampai pada tahapan mempercayai nilai-nilai tertentu, selanjutnya ia akan dihadapkan pada lebih dari satu nilai atau beberapa nilai yang harus dipercayainya. Pada tingkatan ini, penyuluh mulai mengorganisasi nilai-nilai tersebut dan mencari hubungan antara satu nilai dengan nilai yang lain, dan selanjutnya berusaha menemukan nilai yang menurutnya paling dominan. Salah satu indikator yang dicapai yaitu kemampuan memilih materi yang akan disampaikan dan metode yang digunakan. Di wilayah binaan masing-masing sudah terdapat hasil hutan unggulan, maka materi penyuluhan akan disesuaikan dengan hal tersebut. Pada tingkatan yang terakhir yaitu characterization by value set atau value complex, menurut Krathwohl (1964: 180), seseorang dianggap telah memiliki nilai yang kuat di dalam dirinya, maka ia akan berusaha melakukan generalisasi terhadap perilakunya dan mengintegrasikan keyakinan, ide dan tingkah laku menjadi sebuah filosofi hidup. Berdasarkan Gambar 7, hanya 21,43% penyuluh yang menghayati peran sebagai penyuluh kehutanan sedangkan sisanya merasa tidak menghayati perannya. Dalam kondisi ini lebih dari 50% yang tidak memiliki sikap menghayati, sehingga memang sulit melakukan generalisasi terhadap perilakunya dan mengintegrasikan keyakinan, ide dan tingkah laku menjadi sebuah filosofi hidup sebagaimana yang dikemukakan Krathwohl (1964). Berkaitan dengan hal ini Anonim (2000:23) dan Mardikanto (2015,144) menyatakan penyuluh kehutanan harus memiliki sikap menghayati dan bangga terhadap profesinya. Kebanggaan terhadap profesi akan melahirkan sikap menyukai dan mencintai masyarakat sasaran penyuluhan, dan merasakan bahwa kehadirannya sebagai penyuluh diperlukan masyarakat serta memberikan motivasi kepada masyarakat. Dalam melakukan pekerjaannya pun dilakukan secara profesional, tidak sekedar melaksanakan tugas ataupun mencari kredit point untuk mengejar sertifikasi penyuluh misalnya. 58 Gambar 7. Sikap menghayati peran sebagai penyuluh kehutanan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek kognitif penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 8. Gambar 8. Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan 59 Berkaitan dengan kemampuan afektif, Tjokrowinoto (2001) mengemukakan bahwa seorang pelaku pemberdayaan setidaknya harus memiliki minimal lima bentuk kemampuan, yakni: kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada, kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang perlu dengan mengacu pada misi yang ingin dicapai, kemampuan mengidentifikasikan subjeksubjek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses pembangunan, kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan kemampuan memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri. Keterpaduan dari kelima kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut dijadikan rujukan oleh seluruh unsur stakeholders, terutama yang mempunyai tanggungjawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen yang kuat. Lebih rinci Jamasy (2004) menguraikan tujuh syarat kemampuan umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan dan kesemuanya harus terefleksi dalam kegiatan aksi program, yakni: kemampuan mempertahankan keadilan, kemampuan mempertahankan kejujuran (pada diri sendiri dan orang lain), kemampuan melakukan problem solving, kemampuan mempertahankan misi (sense of mission atau mission driven profesionalism), kemampuan memfasilitasi dan kemampuan menjual inovasi, social marketing (termasuk kemampuan melakukan asistensi dan promosi). Menurut Tilden (2007:54), sekurang-kurangnya ada 4 (empat) komponen sikap yangg penting yang harus dimiliki penyuluh yaitu: Problem solving (pemecahan masalah); Sense of Community (perduli terhadapa masyarakat); Sense of mission (komitmen terhadap misi proyek); dan Honesty with self and with others (jujur kepada diri sendiri dan orang lain). Sejalan dengan hal tersebut, Jamasy (2004) menyatakan prinsip-prinsip yang harus dijadikan kekuatan internal pelaku pemberdaya. Para pelaku utama pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil (melaksanakan prinsip kerja berdasarkan keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil). Seluruh unsur stakeholders harus jujur (jujur kepada diri sendiri dan jujur 60 kepada orang lain). Kejujuran adalah sifat dasar manusia, namun seringkali berubah (menjadi tidak jujur) karena terkalahkan oleh kepentingan emosi pribadinya. Kemampuan melakukan problem solving, menumbuhkan dan memasarkan inovasi, asistensi, fasilitasi, promosi, dan social marketing. Memecahkan masalah (problem solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima jalan keluar yang ditawarkan. Pemecahan masalah, bisa jadi dari sipemilik masalah itu sendiri. Dalam hal ini terdapat seni bagaimana proses dialog yang baik berlangsung ketika proses mencarai jawaban dari sebuah masalah. Tenaga pemberdaya harus trampil dan kreatif mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau terobosan baru); juga trampil melakukan asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan dampingan); demikian juga dalam hal promosi dan sosial marketing. Kerjasama dan koordinasi seluruh unsur stakeholders berdasarkan kemitraan. Kendatipun ada struktur pengelolaan program dengan berbagai atribut jabatannya, namun dalam proses perjalanannya harus berlangsung secara kemitraan. Mengejar misi dan mencapai tujuan program adalah tugas bersama. Apabila ada persoalan, semestinya menjadi tanggungjawab bersama untuk mengatasinya, dan tidak dibenarkan apabila pihak pimpinan atau pihak tertentu mengatakan “itu adalah tugasmu dan kamulah yang harus bertanggungjawab”. c. Kemampuan Psikomotorik (Keterampilan) Penyuluh Kehutanan Hasil penilaian terhadap kemampuan psikomotorik penyuluh kehutanan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Kemampuan Psikomotorik Penyuluh Kehutanan No 1 2 3 4 5 6. Indikator Kesiapan Reaksi yang diarahkan Reaksi natural Reaksi yang kompleks Adaptasi Kreativitas Rata-rata Skor 79.30 78.78 76.52 68.17 75.48 64.26 73.75 Kriteria Penilaian tinggi tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang sedang Menurut Bloom (1956), aspek kesiapan menyangkut kemampuan untuk mempersiapkan diri, baik fisik, mental, dan emosi dalam diri menghadapi sesuatu. Hal ini diimplementasikan dalam bentuk keterampilan setiap penyuluh 61 mempersiapkan rencana kerja penyuluhan sebagai penjabaran programa penyuluhan. Rencana kegiatan penyuluhan tidak lagi ditetapkan oleh penyuluh, tetapi merupakan kesepakatan antara masyarakat yang didampingi dengan penyuluh sebagai pendamping. Rencana kegiatan penyuluhan ini sebagai acuan bersama dan kendali bagi pencapaian keinginan bersama antara penyuluh dan masyarakat. Menurut Sofia (2010:3), programa penyuluhan kehutanan adalah rencana kerja kelompok jabatan fungsional penyuluh kehutanan, memuat keadaan karakteristik wilayah kerja, permasalahan, metode dan teknik penyuluhan, rencana detail kegiatan dan lokasi sasaran, rencana anggaran serta sarana/alat bantu penyuluhan kehutanan. Persiapan lainnya dilakukan dalam bentuk persiapan media, alat bantu, dan penguasaan materi. Hal ini ditegaskan informan Bapak Riza Ali berikut: Setiap tahun kami wajib membuat rencana kerja penyuluhan kehutanan untuk dilaksanakan pada tahun berjalan. Sebelum melakukan penyuluhan, biasanya saya mempersiapkan dulu materi yang akan disampaikan, metode, dan mempelajari siapa saja kelompok sasaran suluh. Dengan biaya sendiri, saya membuat leaflet sederhana yang ada gambarnya supaya mudah dipahami masyarakat. Bagi sebagian besar masyarakat, penyuluh dianggap orang yang serba tahu, sehingga kita memang harus membekali diri dengan pengetahuan apapun bahkan di luar ilmu kehutanan. Seringkali penyuluhan harus dilakukan secara mendadak, misalnya ketika saat berada di desa, ada masyarakat yang memanggil saya untuk mencarikan jalan keluar terkait dengan serangan hama penyakit tanaman Gaharu. Untungnya saya pernah belajar banyak tentang Gaharu, sehingga saya bisa mencarikan solusinya. Di lain waktu, ada juga yang menanyakan tentang penanggulangan hama pisang, hama padi bahkan sampai persoalan rumah tangga (wawancara tanggal 28 Mei 2015) Persiapan yang dilakukan penyuluh di atas senada dengan yang dinyatakan Mardikanto (2015:146-148), bahwa penyuluh harus mempersiapkan 4 hal yaitu persiapan kepribadian, persiapan kajian lapang, persiapan untuk belajar, dan persiapan perlengkapan. Lippit (1958) secara tegas menyatakan bahwa, keberhasilan seorang penyuluh/fasilitator sangat ditentukan oleh kepribadian yang tercermin pada penampilannya pada saat pertama kali ia berhadapan dengan masyarakat sasarannya atau yang disebutnya sebagai "the first impression" yang harus dapat diperagakannya sebelum ia berbuat sesuatu bagi masyarakatnya. Sebelum melaksanakan tugasnya, setiap penyuluh harus terlebih dahulu melakukan kajian lapang. Kajian lapang yang dimaksud di sini adalah, upaya pengenalan karakteristik wilayah kerja (baik yang berkaitan dengan masalah-masalah teknis maupun sosial ekonomi), dan 62 inventarisasi hasil-hasil penelitian atau kajian-kajian yang telah pernah dilakukan di wilayah tersebut atau diwilayah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan wilayah kerja selaras dengan perkembangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan inovasi-inovasi yang akan disebarluaskan kepada masyarakat sasarannya, maka setiap penyuluh harus mempersiapkan diri untuk selalu mau belajar secara terus menerus dan berkelanjutan. Persiapan seperti ini, harus dimiliki dan dihayati oleh setiap penyuluh. Tanpa kesediaan untuk belajar secara berkelanjutan, mustahil dia dapat mengajarkan, menganalisis, dan sekaligus memberikan nasehat tentang penerapan inovasi yang disampaikannya. Untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pemberdayaan masyarakat, seringkali seorang penyuluh harus mampu menyediakan dan menggunakan beragam perlengkapan yang diperlukan, baik berupa alat bantu maupun peraga. Aspek psikomotorik lainnya berkaitan dengan reaksi yang diarahkan (Guided Response). Dalam hubungannya dengan kegiatan penyuluhan kehutanan, hal ini berkaitan dengan keterampilan melakukan penyuluhan sesuai arahan, petunjuk, atau manual. Pada tahap ini biasanya penyuluh menyampaikan informasi tentang program kehutanan yang sedang diluncurkan, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Kebun Bibit Rakyat, atau Hutan Tanaman Rakyat. Penyuluh tinggal mempelajari kebijakan, dan panduan yang telah dibuat oleh Kementerian Kehutanan. Biasanya sebelum itu, Kementerian Kehutanan melalui UPT yang ada di daerah melakukan sosialisasi atau pelatihan terlebih dahulu. Berbekal panduan yang diterima, penyuluh melakukan sosialisasi, fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok yang akan mengajukan proposal kegiatan. Prosentase penyuluh dalam melakukan penyuluhan berdasarkan arahan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. 63 Gambar 9. Keterampilan Penyuluh Kehutanan berdasarkan arahan Berdasarkan Gambar 9, sebagian besar penyuluh telah melakukan penyuluhan berdasarkan arahan yang diberikan. Menurut Bloom (1956:29), kemampuan ini merupakan dasar untuk melakukan keterampilan yang lebih kompleks berdasarkan arahan atau instruksi. Dalam bidang kehutanan, sudah banyak sekali panduan teknis pembangunan hutan, seperti perencanaan hutan, silvikultur, manajemen hutan, perlindungan hutan dan pelestarian alam, reboisasi dan rehabilitasi hutan, pemanenan hasil hutan, dan pengusahaan hutan. Dalam Program hutan kemasyarakatan misalnya telah diatur mulai dari SK Menhut sampai petunjuk operasionalnya termasuk prosedur perijinannya, sehingga penyuluh tinggal menyampaikannya dengan masyarakat sasaran. Reaksi natural (mechanism) dalam penelitian ini diindikasikan dengan keterampilan penyuluh mengolah pengetahuan yang diperoleh melalui berbagai sumber menjadi materi, metode, pendekatan, dan strategi penyuluhan kehutanan. Bahan-bahan tersebut menjadi rujukan yang sangat penting bagi penyuluh, apalagi dengan perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat menuntut penyuluh tidak gagap teknologi. Referensi tersebut kemudian bisa dibuat dalam bentuk leaflet, poster, brosur, siaran pedesaan melalui radio/televisi dan demplot. 64 Penyuluh kehutanan mendapatkan pengetahuan tersebut kemudian ditransformasikan kepada masyarakat menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Dalam ilmu kehutanan banyak sekali istilah-istilah yang tidak familiar dengan masyarakat, misalnya yang paling sederhana yaitu istilah “kawasan hutan”. Bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang kehutanan sudah tahu betul bahwa “kawasan hutan” adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, sedangkan bagi masyarakat “kawasan hutan” dimaknai secara sederhana sebagai wilayah yang sebagian besar disusun oleh tanaman berkayu (pohon). Menurut penyuluh, memberikan pemahaman seperti ini saja membutuhkan keterampilan tersendiri agar bisa diterima masyarakat. Hal lainnya ditegaskan Bapak Riza Ali berikut: Sebagai penyuluh kehutanan, kami dibekali dengan berbagai ilmu kehutanan. Namun hal tersebut tidak bisa langsung disampaikan dengan masyarakat karena bisa terjadi perbedaan persepsi yang berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya ketika ada kebijakan hutan kemasyarakatan (HKm) yang memberikan ijin bagi masyarakat menggarap lahan hutan. Tidak sedikit masyarakat menganggap bahwa lahan tersebut bisa menjadi lahan hak miliknya, sedangkan kalau mengacu aturan yang berlaku lahan hutan tersebut hanya dibebani hak kelola yang berlaku selama 35 tahun dan bisa diperpanjang. Secara bertahap kami memberikan pemahaman mengenai hal tersebut agar bisa diterima masyarakat. Kami ilustrasikan kalau Bapak/Ibu mendapat ijin HKm selama 35 tahun dan diperpanjang sebetulnya secara tidak langsung lahan tersebut telah menjadi milik mereka, asalkan tetap dipelihara. Dengan pemahaman tersebut, masyarakat memiliki persepsi yang sama tentang “Hak Kelola” dalam HKm (wawancara tanggal 13 Mei 2015). Keterampilan penyuluh yang demikian tersebut menurut Bloom (1956) dapat dikatagorekan sebagai keterampilan reaksi yang kompleks. Dalam kondisi tersebut penyuluh bisa disebutkan telah mampu melakukan sesuatu dimana hal ini terlihat dari kecepatan, ketepatan, efsien dan efektif. Tindakan dilakukan secara spontan, lancar, cepat, tanpa ragu (Utari, 2003:6). Gambaran Keterampilan penyuluh dapat dilihat pada Gambar 10. 65 Gambar 10. Persentase Keterampilan Penyuluh Kehutanan pada tingkatan Complex Overt Response Tahap berikutnya dalam ranah psikomotorik adalah adaptasi sebagai kemampuan mengembangkan keahlian, dan memodifikasi pola sesuai dengan yang dibutuhkan (Utari, 2003:6). Pada tahap ini keterampilan penyuluh dapat dilihat dari kemampuannya memberikan penyuluhan menyesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat dan tidak bisa mutlak sesuai dengan aturan Kementerian Kehutanan. Misalnya, dalam aturan reboisasi komposisi jenis tanaman adalah 70% tanaman hutan:30% tanaman MPTS. Kalau kebijakan ini diterapkan, masyarakat tidak akan ada mau menanam. Untuk itu penyuluh bisa memberikan rekomendasi komposisi tersebut diturunkan menjadi 60:40, atau 50:50 setelah konsultasi dengan pihak kehutanan. Kemudian adaptasi dari sisi pendekatan, dilihat dari karakteristik sosial masyarakat desa lokasi penelitian yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, peladang dan berburu binatang di hutan dimana waktu kerjanya adalah dari pagi sampai sore hari, maka bisa dikatakan bahwa masyarakat memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk aktivitas sosial kemasyarakatan adalah pada malam hari, sehingga pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan juga rata-rata diselenggarakan pada malam hari. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan pada malam hari 66 biasanya malam Jum’at dan dilaksanakan sehabis Isya (penyebutan istilah waktu yang lebih sering dipakai dari pada penyebutan waktu dalam format jam) atau kirakira pukul 19.30 WIB, meskipun dalam pelaksanaannya baru dimulai acara sekitar pukul 20.00 WIB atau 20.30 WIB. Pelaksanaan pertemuan pada malam hari memang membawa kondisi pertemuan masyarakat lebih santai dan akrab, namun dilihat dari durasi waktu, maka waktu yang tersedia pada pertemuan di malam hari cukup terbatas, apalagi dilaksanakan berbarengan dengan kegiatan keagamaan dan kegiatan lain, padahal materi-materi yang harus disampaikan kepada masyarakat cukup banyak sehingga banyak agenda-agenda yang terlewatkan. Keterampilan adaptasi penyuluh ini memang masih sedang (74,82), dimana 35,71% kadang menerapkan, 28,57% jarang menerapkan, 21,43% sering menerapkan, dan pasti menerapkan 7,14%. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Prosentase Keterampilan Penyuluh Kehutanan pada Tingkat Adaptasi Berdasarkan Gambar 11, keterampilan penyuluh yang terbesar pada tingkat kadang-kadang memodifikasi pengetahuan (adaptasi) sesuai dengan keadaan spesifik lokal sebanyak 35,71%. Penyuluh lebih banyak melakukan penyuluhan dalam pengelolaan hutan berdasarkan panduan atau arahan. Penyuluh juga cenderung menggunakan bahan atau materi penyuluhan yang "siap pakai" yang berasal dari rekan sejawat, hasil demonstrasi atau pengujian yang telah dilaksanakan di wilayah lain. 67 Bagi penyuluh kehutanan yang memiliki keterampilan memodifikasi keahlian yang sesuai dengan kondisi lokal mendasarkan pemikiran bahwa panduan yang “siap pakai” yang berasal dari pusat atau daerah lain belum tentu bisa diterapkan di daerah binaannya, bahkan bisa ditolak oleh masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Syamsu Rizal: Kalau mau masyarakat mengadopsi pengetahuan yang kita suluh, maka jangan terlalu menggunakan materi yang tersedia, karena belum tentu sesuai dengan kondisi lokal, bahkan kita harus bisa menyesuaikan dengan pengetahuan lokal. Kalau tidak, ada kemungkinan materi tersebut akan ditolak oleh petani, walaupun materi tersebut dianggap baik dan ilmiah (wawancara tanggal 20 April 2015). Keterampilan psikomotorik yang paling tinggi adalah kreativitas yaitu kemampuan untuk menciptakan pola baru yang sesuai dengan kondisi/situasi tertentu dan juga kemampuan mengatasi masalah dengan mengeksplorasi kreativitas diri (Utari, 2003:7). Para penyuluh harus dibebaskan dalam bekerja sehingga bisa kreatif. Kondisi lapangan yang dinamis harus mendapatkan sentuhan kreativitas agar bisa meningkatkan produktivitasnya (Bahri,2014). Keterampilan penyuluh kehutanan pada tingkat ini dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Keterampilan Penyuluh Kehutanan Pada Tingkat Kreativitas 68 Berdasarkan Gambar 12, sebagian besar penyuluh kehutanan memiliki keterampilan yang rendah dalam kreativitas, baik materi maupun metode penyuluhan. Ini semakin menegaskan bahwa mereka lebih banyak mendasarkan kepada panduan atau arahan yang sudah ada. Padahal menurut Heriwan (2013), para penyuluh harus memiliki pikiran yang faktual, kreatif, cerdas, mau bekerja keras dan tuntas dalam menghadapi beragam masalah penyuluhan selama ini. Sementara itu, penyuluh kehutanan yang memiliki kreativitas akan selalu mencari, menggali dan menciptakan sebuah karya yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain (Hidayat, 2007:81). Hal ini ditegaskan Bapak Bambang Haryanto, ketika terjadi kelangkaan serta tingginya harga pupuk dengan mengatakan: Kelangkaan serta tingginya harga pupuk telah menyebabkan rendahnya aplikasi pemupukan. Pada satu sisi pendapatan usaha berkurang karena menurunnya produksi, sedangkan di sisi lain biaya produksi dan biaya operasi mengalami peningkatan. Upaya-upaya teknis mensiasati kelangkaan pupuk tersebut kami (penyuluh) dengan menganjurkan kepada petani melakukan efisiensi pemupukan melalui pemanfaatan pupuk majemuk, pemanfaatan pupuk organik, pupuk hayati dan organo-hayati serta rasionalisasi pemupukan. Kami menganjurkan petani memanfaatkan biomasa dan membatasi keluarnya unsur hara semaksimal mungkin (limbah kulit buah, penaung, penutup tanah, integrasi ternak-tanaman). Kami juga merancang pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi pupuk kandang dengan menggunakan teknologi EM-4. Saat ini pupuk tersebut selain dimanfaatkan sendiri, juga telah dijual kepada petani lain dan pengusaha tambang (wawancara tanggal 14 Mei 2015). Menurut (Hawadi, dkk, 2001:13), nilai penting kreativitas dalam kehidupan secara nyata adalah adanya kemampuan untuk melahirkan sesuatu yang baru yang berupa pikiran maupun karya nyata dalam mengerjakan persoalan hidup bagi orang kreatif. Dengan kreatifnya seseorang dapat melakukan pendekatan secara bervariasi dan memiliki bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu persoalan. Dari potensi kreatifnya, seseorang dapat menunjukkan hasil perbuatan, kinerja/karya, baik dalam bentuk barang maupun gagasan secara bermakna dan berkualitas. Hal ini ditambahkan Karyono (2008:9), bahwa dengan adanya kreativitas penting untuk mengembangkan semua bakat dan kemampuan individu dalam pengembangan prestasi hidupnya. Peningkatan sumberdaya manusia dalam era globalisasi dan era reformasi menunjukkan betapa pentingnya segi kreativitas diprioritaskan untuk dikelola dan dikembangkan secara optimal (Ikbal,2011:93). 69 Dengan demikian kreativitas tinggi dalam proses pemberdayaan, terutama bagi penyuluh. Penyuluh diperlukan kemampuan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dan kondusif agar masyarakat termotivitasi untuk lebih ingin mengetahui materi, senang menanyakan, dan berani mengajukan pendapat, serta melakukan percobaan yang menuntut pengalaman baru. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek psikomotorik penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 13. Gambar 13. Kemampuan Psikomotorik Penyuluh Kehutanan (diadaptasi dari model Taksonomi Bloom (1956) d. Perilaku Penyuluh Kehutanan dan Faktor yang Mempengaruhinya Hasil analisis terhadap kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan berdasarkan penilaian komponen yang telah diuraikan sebelumnya sebagaimana disajikan pada Tabel 19. 70 Tabel 19. Hasil Penilaian terhadap Kemampuan Penyuluh Kehutanan No Indikator Skor Kriteria Penilaian 1 Tingkat kemampuan kognitif 71.55 tinggi 2 Tingkat kemampuan afektif 68,05 sedang 3 Tingkat kemampuan psikomotorik 73,75 tinggi Rata-rata 71.21 tinggi Selang skor 20-100. Kategori penilaian: 20-36 = sangat rendah,>36-52 = rendah; >52-68= sedang, >68-84 = tinggi; >84-100=Sangat Tinggi Tabel 19 menunjukkan bahwa perilaku penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan tergolong tinggi (skor 71,21). Menurut Lewin (dalam Andersen, 1980), perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak (kognitif, afektif, dan psikomotor) dan karakteristik lingkungan saat perilaku atau perbuatan ditampilkan. Jadi tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi lingkungan. Di lihat dari aspek kognitif, penyuluh kehutanan yang berperilaku mampu memberdayakan masyarakat mestinya memiliki pengetahuan kehutanan yang luas seperti silvikultur, manajemen hutan, perhutanan sosial dan teknologi hasil hutan. Mereka juga harus mampu memperbaharui pengetahuan kehutanan yang semakin berkembang dan mudah untuk diakses baik melalui buku, koran, buletin, jurnal maupun secara daring. Penyuluh kehutanan juga harus mempunyai wawasan jauh ke depan apalagi masalah pembangunan kehutanan tidak cukup satu atau dua tiga tahun namun minimal tujuh tahun baru memasuki 1 daur, sehingga ketika ada kesalahan memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk membudidayakan tanaman tertentu maka itu akan berdampak secara luas pada masyarakat. Penyuluh yang memberdayakan masyarakat juga mampu mengenal kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat, serta memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang perencanaan partisipatif dan ilmu komunikasi. Kemampuan ilmu komunikasi penting dimiliki seorang penyuluh agar pesan-pesan pembangunan kehutanan dapat diterima oleh masyarakat sasaran secara baik dan benar. Kemampuan cepat tanggap, fleksibel, komunikatif, komitmen yang tinggi terhadap kepentingan masyarakat dan bertanggung jawab merupakan perilaku afektif yang merupakan ciri penyuluh kehutanan yang diharapkan bisa memberdayakan masyarakat perdesaan hutan. Sementara itu bermodalkan kemampuan pengetahuan 71 dan sikap yang telah dimiliki maka seorang penyuluh kehutanan dapat mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat secara baik dan tepat, trampil memotivasi dan memfasilitasi masyarakat, trampil memanfaatkan teknologi modern dalam mencari informasi peluang baru secara baik dan membantu memfasilitasi masyarakat dalam pemasaran. Menurut Mardikanto (2000:3), penyuluhan kehutanan adalah proses pengembangan pengetahuan, sikap dan perilaku kelompok masyarakat sasaran agar mereka tahu, mau dan mampu memahami, melaksanakan dan mengelola usaha-usaha kehutanan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sekaligus mempunyai kepedulian dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian hutan dan lingkungan. Untuk melaksanakan hal tersebut, kemampuan yang dituntut bagi penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat harus terlebih dahulu memiliki kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang memadai (Sidu, 2006:37). Menurut Yumi, et al.(2011:202), aspek kompetensi penyuluh dan pendamping yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani adalah kemampuan penyuluh dalam menganalisa permasalahan, meningkatkan kapasitas petani dan mengembangkan wawasan teknis petani. Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat disarikan kemampuan perilaku penyuluh kehutanan sebagaimana Gambar 14. Gambar 14. Kemampuan Penyuluh Kehutanan ditinjau dari Aspek Perilaku 72 Keterangan: 1 = 2 = 3 4 5 = = = 6 7 = = 8 9 10 11 = = = = 12 = 13 = 14 = 15 = Memahami pengetahuan pemberdayaan, penyuluhan, teknis kehutanan,agrosilvobisnis (Skor 77,57) Mengaplikasikan hasil pelatihan seperti pengendalian kebakaran, pengaturan jarak tanam, pemilihan jenis tanaman (skor 78,96) Menganalisis program pemberdayaan yang telah dilaksanakan (74,09) Mereview kegiatan yang telah dilaksanakan (skor 62,96) Pengetahuan membangun demplot percontohan, hasil hutan unggulan (skor 64,17) Menerima pengetahuan pemberdayaan, PS, teknis kehutanan (skor 75,82) Menanggapi pengetahuan yang diterima dan pendapat masyarakat (skor 74,63) Menilai pengetahuan dan curahan pendapat masyarakat (skor 75,82) Mengorganisasi nilai-nilai kegiatan pemberdayaan (skor 76,21) Menghayati tugas sebagai tenaga penyuluh kehutanan (skor 49,82) Mempunyai persiapan materi, metode, dan sasaran yang tergambar dalam Rencana Penyuluhan Kehutanan (skor 80,24) Menerapkan penyuluhan sesuai pedoman; reaksi yang diarahkan (skor 79,42) Menerapkan reaksi natural, tanggap secara alami (skor 77,83) Introduksi keterampilan sesuai lokasi (skor 74,82) Penyuluh mempunyai kreattivitas (64,39) Merujuk uraian yang dikemukakan dapat disimpulkan para pelaku pemberdayaan (penyuluh kehutanan) yang dapat memberdayakan masyarakat sebaiknya memiliki kemampuan yang memadai yang tercermin pada tiga aspek perilaku yaitu: aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penyuluh kehutanan, bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja (perilaku) mereka sebagai penyuluh kehutanan adalah jumlah PK dan pengembangan karier. Jumlah tenaga penyuluh kehutanan pada saat berada di bawah Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Kuala sebanyak 8 orang (2003), 11 orang (2005), 10 orang (2006), dan 14 orang (2008), Pada tahun 2009, tenaga fungsional penyuluh kehutanan di Kabupaten Barito Kuala berjumlah 17 orang dan berada di bawah Badan Pelaksana Penyuluhan (Bappeluh) Kabupaten Barito Kuala bergabung dengan para penyuluh pertanian dan perikanan. Hal ini sebagai implikasi dari keluarnya Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, nomor 16 tahun 2006. 73 Kalau dari sisi jumlah sebenarnya penyuluh kehutanan Kabupaten Barito Kuala masih di bawah rasio yang seharusnya. Idealnya dalam 1 kecamatan yang berada dan berbatasan dengan kawasan hutan harusnya terdiri dari 1 penyuluh kehutanan ahli dan 3 penyuluh kehutanan trampil. Adapun sebaran penyuluh kehutanan Kabupaten Barito Kuala dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Sebaran Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Barito Kuala No. Wilayah A B. Kabupaten Kecamatan Telaga Bauntung Sei Pinang Pengaron Aranio Simpang Empat Karang Intan Jumlah 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tenaga Penyuluh Kehutanan (orang) Ahli Trampil 2 1 1 1 5 2 2 2 2 1 9 Jumlah (orang) 2 1 3 3 2 2 1 14 Saat ini jumlah penyuluh kehutanan tinggal 14 orang, karena 3 orang penyuluh kehutanan pindah atas kemauan sendiri ke instansi teknis (struktural), dan yang sedang mengajukan pindah sebanyak 5 orang. Menurut Subyek Bapak Misran yang pernah bekerja di Bapeluh Barito Kuala dan sekarang mutasi ke Bakorluh Kalsel menyatakan bahwa: Kepindahan penyuluh kehutanan yang notabene merupakan tenaga fungsional ke tenaga struktural di instansi teknis SKPD Barito Kuala disebabkan oleh karena persoalan penjenjangan karier sebagai penyuluh tidak ada peningkatan. Begitu menetapkan diri sebagai penyuluh maka selamanya akan tetap jadi penyuluh. Beda kalau yang bersangkutan berada di struktural, maka karier akan cenderung menanjak selama tidak ada masalah kepegawaian. Di pemda bahkan pernah ada masa dimana banyak orang menganggap penyuluh kehutanan adalah “orang buangan”. Ketika seseorang masuk menjadi penyuluh di Bakorluh, orang bertanya-tanya salah apa dia kok jadi penyuluh. (Wawancara tanggal 19 April 2015) Kondisi ini diperparah dengan terbitnya PP Nomor 62/1998 dan PP Nomor 25/2000 yang menyatakan antara lain bahwa penyuluhan kehutanan merupakan salah satu urusan bidang kehutanan yang kewenangannya diserahkan kepada kabupaten/kota. Setelah berlakunya otonomi daerah maka kelembagaan formal yang 74 bertugas menangani penyuluhan kehutanan baik di Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas yang menangani kehutanan di kabupaten/kota menjadi sangat bervariasi. Beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota ada yang memberikan perhatian cukup terhadap penyuluh dan kegiatan penyuluhan kehutanan, sebaliknya beberapa daerah lain perhatian dan dukungannya sangat kurang. Selain itu, penyuluh kehutanan banyak yang dialihtugaskan ke jabatan struktural atau dialihfungsikan pada tugastugas lain di luar tupoksinya sebagai tenaga fungsional penyuluh kehutanan. Situasi dan kondisi ini menyebabkan Penyuluh Kehutanan seperti “anak ayam yang kehilangan induk”, yang berdampak pada kesejahteraan dan perkembangan kariernya yang kurang lancar. Penyuluhan kehutanan akan berjalan lebih baik apabila terdapat kepastian karier bagi penyuluhnya, adanya penghargaan profesinya dan jaminan kesejahteraan bagi penyuluhnya serta aturan operasional penyuluhan kehutanan yang jelas. Sebetulnya sudah ada kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka mendukung pelaksanaan penyuluhan kehutanan tersebut. Paling terdapat 6 (enam) kebijakan yang terbagi dalam 2 bagian yaitu kebijakan terkait dengan pengembangan karier dan penghargaan profesi penyuluh kehutanan. Kebijakan yang terkait dengan pengembangan karier berupa SK MENPAN No. 130/KEP/M.PAN/12/2002 tanggal 3 Desember 2002, yang mengatur tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya, SK Ka BKN No 35 Tahun 2003 tentang Juklak Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan SK Menhut No 272/Kep-II/2003 tentang Juknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan. Selanjutnya satu pondasi untuk mendukung kesejahteraan dan penghargaan profesi adalah Perpres No. 33/2007 yang mengatur tentang Tunjangan Fungsional Penyuluh Kehutanan. Sebelumnya tunjangan fungsional penyuluh kehutanan diatur dengan Perpres No. 27/2006 menetapkan, bahwa penerimaan tunjangan fungsional penyuluh kehutanan berkisar antara Rp. 197.000,- s/d Rp. 440.000,- per bulannya dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi. Dengan ketentuan yang baru tersebut, tunjangan fungsional penyuluh kehutanan berkisar antara Rp. 240.000,- s/d Rp. 550.000,- per bulan yang nilainya sama dengan penyuluh pertanian yang tunjangannya diatur Perpres No. 32/2007,hal tersebut karena Penyuluhan kehutanan juga termasuk dalam tenaga fungsional rumpun ilmu hayati. 75 2. Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pemberdayaan Proses pemberdayaan adalah suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang dapat memberi dan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar mereka memiliki daya, kekuatan atau kemampuan dalam mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kondisi dan potensi serta masalahmasalah yang perlu diatasi dan sekaligus memilih dan melaksanakan alternative pemecahan masalah secara mandiri. Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kelestarian lingkungan tidak terlepas dari peran masyarakat, terutama masyarakat yang memiliki akses dan peluang yang tinggi untuk mengganggu atau merusak lingkungan. Misalnya masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan, baik itu hutan produksi, hutan konversi, hutan biasa dan apalagi hutan lindung. Kelestarian lingkungan/hutan memang penting, tetapi keberlanjutan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya juga tidak kalah pentingnya. Kedua hal tersebut harus dipikirkan secara bersamaan agar keduanya tetap berkelanjutan. Kaitannya dengan pelestarian hutan, pemerintah telah banyak menggulirkan dana melalui program-program yang berkaitan dengan perbaikan fisik lingkungan seperti penghijauan, reboisasi, hutan kemasyarakatan dengan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Secara rinci penilaian responden terhadap proses pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil Penilaian terhadap Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Pemberdayaan No. 1. 2. 3. 4. 5. Variabel Identifikasi Masalah Keterlibatan Perencanaan Keterlibatan pengorganisasian Keterlibatan pelaksanaan Keterlibatan monitoring dan evaluasi Rata-rata Skor 51,32 64,56 66,83 76,10 51,97 35.75 Tingkat Penilaian Rendah sedang sedang sedang rendah rendah Tabel 21 menunjukkan bahwa Hasil analisis data empiris menunjukkan bahwa secara umum partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan di lokasi 76 penelitian tergolong rendah. Dari 4 aspek penilaian, hanya aspek pelaksanaan yang tergolong kategori sedang (skor 55) dan aspek lainnya rendah (skor 23-36). Padahal menurut Ruhimat (2013:256), salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan publik meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap adalah dengan tahapan implementasi kebijakan publik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan penilaian. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses pemberdayaan, masyarakat hanya dilibatkan sebagai pelaksanaan program saja. Masyarakat belum terlibat secara optimal dalam proses perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Keterlibatan masyarakat pada seluruh proses pemberdayaan harus mendapat perhatian yang serius yaitu; mulai dari indentifikasi masalah, potensi dan kelompok-kelompok strategis, perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi kegiatan. Pemerintah dan swasta atau lembaga lain harus sadar bahwa yang paling mengenal dan paham terhadap kondisi masyarakat sasaran adalah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu dalam menjamin keberlanjutan program pemberdayaan sekitar kawasan hutan maka pelibatan masyarakat sekitar kawasan hutan adalah suatu keharusan. Namun juga perlu disadari oleh semua pihak bahwa keterlibatan dalam suatu proses pemberdayaan memiliki aturan main yang harus dipahami dan diamalkan secara bersama. Artinya bahwa setiap pihak terlibat berdasarkan batasbatas kewenangan dan peran masing-masing. Data Tabel 21 menunjukkan kurangnya pelibatan masyarakat terutama pada saat perencanaan, dan evaluasi. Masyarakat hanya dilibatkan pada saat pelaksanaan sehingga terkesan adanya pemaksaan. Artinya masyarakat yang merupakan sasaran program dalam hal ini masyarakat di sekitar kawasan hutan harus melaksanakan program tersebut pada hal program tersebut belum tentu sama dengan kebutuhan prioritas. Paradigma perencanaan program pemberdayaan sudah saatnya diubah dari perencanaan yang bersifat top down dan sentralistik berubah menjadi perencanaan yang bersifat botom up yang mengutamakan partisipasi masyarakat. Berdasarkan pengakuan dari sebagian besar responden bahwa mereka hanya dilibatkan pada awal pelaksanaan dan rekrutmen peserta program, karena ada kaitannya dengan persyaratan pencairan dana. Pada saat perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Jadi tidak 77 heran kalau sebagian besar program pemberdayaan kurang berhasil, apalagi berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semua program tersebut tidak membuat masyarakat berdaya/mandiri atau jumlah masyarakat miskin berkurang, tetapi justru sebaliknya hanya membuat masyarakat semakin tergantung bantuan dari pihak luar. Sesungguhnya proses pemberdayan masyarakat di sekitar hutan dalam rangka pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama yang implementasinya dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis diberbagai DAS sejak tahun PELITA I (1970-an). Semua program tersebut dimaksudkan supaya nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan dapat melembaga di masyarakat. Dari segi keproyekan sudah ribuan ha lahan yang sudah direboisasi, dihijaukan dan direhabilitasi. Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan orang dilatih dan disuluhkan nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan. Namun demikian isu dan permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan masih saja menjadi isu atau problematik yang menarik untuk dibicarakan dan memerlukan penanganan tersendiri. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dalam satuan DAS seperti kekeringan, banjir, erosi dan sedimentasi masih saja terjadi bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh melebihi kemampuan untuk merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000 s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari beberapa laporan menunjukkan bahwa: 1. tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan DAS masih rendah 2. banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan 3. kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of interest) 4. intervensi masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah mamasuki zona lindung. Padahal undang-undang telah menegaskan bahwa setiap masyarakat atau lembaga yang mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan konservasi tanah dan air. Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dan lahan Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak pemanfatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep pengelolaan hutan lestari. Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai pengelolan hutan 78 lestari masih rendah, belum diikuti oleh partisipasi masyarakat. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah strategi yang dilaksanakan selama ini kurang melibatkan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan menjadi terbatas bahkan di berbagai lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat merasa asing terhadap lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di beberapa tempat kegiatan mereka di hutan dianggap illegal. Lebih jauh lagi, rasa memiliki mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang. Di berbagai daerah di Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak swasta (HPH) dan BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat dengan pemerintah berkaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan. Dampak dari keadaan ini adalah kerusakan hutan yang tak terkendali disamping itu kesejahteraan masyarakat juga tidak kunjung membaik. Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah bahwa problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan tetapi merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan bersifat top down dan instruksional serta kurang memperhatikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses pelembagaan baik dari aspek teknologi maupun dari aspek organisasi dan nilai yang menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya merupakan paket yang ditentukan dari pusat, demikian juga dalam penentuan organisasi kelompok tani peserta kegiatan proyek tertentu. Terkait dengan proses pemberdayaan dalam beberapa kasus, masyarakat hanya dilibatkan sebagai pelaksana program saja. Masyarakat belum dilibatkan secara optimal dalam proses perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Menurut Fauzi (2009), adakalanya masyarakat hanya dilibatkan pada awal pelaksanaan dan rekrutmen peserta program, karena ada kaitannya dengan persyaratan pencairan dana. Pada saat perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Jadi tidak heran kalau sebagian program pemberdayaan jarang berhasil, apalagi berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak program tersebut tidak membuat masyarakat berdaya/mandiri atau jumlah masyarakat miskin berkurang, tetapi justru sebaliknya hanya membuat masyarakat semakin tergantung bantuan dari pihak luar. 79 Kegagalan program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini, selain disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat, terutama pada waktu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi juga disebabkan oleh para pelaku yang tidak memiliki komitmen dan keberpihakan pada masyarakat (Sidu,2006:213). Pelaku pemberdayaan lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada memikirkan bagaimana program tersebut berhasil dan berkelanjutan atau dengan kata lain hanya menyelamatkan diri sendiri. Idealnya seorang pelaku pemberdayaan harus menjadi fasilitator motivator, mediator dan advokasi terhadap seluruh kepentingan masyarakat yang diberdayakan, bukan sebaliknya mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan masyarakat untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Terciptanya masyarakat yang berdaya tidak terlepas dari keterlibatan ketiga pilar utama pembangunan yaitu: pemerintah, masyarakat dan swasta. Ketiga pilar pembangunan ini harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, artinya ketiganya saling terkait dan melengkapi tanpa ada yang merasa bahwa yang satu lebih penting dari yang lainnya. Keberhasilan program pemberdayaan sangat ditentukan oleh kepedulian, keberpihakan dan komitmen pemerintah dan swasta dalam menyusun program-program pemberdayaan. Selain itu keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan merupakan kata kunci dan jaminan keberlanjutan program-program pemberdayaan tersebut. Salah satu fungsi pemerintah dalam proses pemberdayaan adalah menyediakan sarana dan prasarana penunjang dan menyediakan prangkat prangkat hukum pelaksanaan kegiatan, seperti, peraturan daerah (Perda), peraturan bupati (perbup) dan lain sebagainya. Pihak swasta dan lembaga-lembaga donor lainnya berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator terhadap pihak-pihak yang memiliki kepedulian dan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai pelaku utama dan penentu keberhasilan suatu program pemberdayaan, sehingga masyarakat diyakinkan bahwa program tersebut dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Artinya program pemberdayaan itu berdasarkan pada kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi, sehingga masyarakatlah yang menentukan dan melaksanakan alternatif pemecahannya dan hasil dari upaya itu akan masyarakat rasakan sendiri. 80 Menurut informan keterlibatan warga masyarakat dalam proses pemberdayaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor ketersediaan sarana dan prasarana fisik, modal manusia yang berkualitas, modal sosial yang kuat dan kemampuan pelaku pemberdayaan yang memadai. Proses pemberdayaan memiliki hubungan yang cukup kuat dengan faktor kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial, dan modal fisik. Hal ini mengandung makna bahwa, dalam memperbaiki proses pemberdayaan warga masyarakat dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan pelaku pemberdayaan yang didukung oleh modal sosial yang kuat dan ketersediaan modal fisik yang memadai. Pelaku pemberdayaan memiliki peran yang penting dalam proses pengalihan daya, kekuatan atau kemampuan kepada warga masyarakat yang lemah atau yang diberdayakan sehingga mereka menjadi berdaya, berkekuatan atau berkemampuan dalam menolong dirinya sendiri. Modal manusia menunjukkan nilai korelasi yang lemah dan signifikan dengan proses pemberdayaan warga masyarakat. Tingkat pendidikan warga masyarakat sebagian besar (59%) tamat SMP. Pengembangan dan pelaksanaan program pemberdayaan warga masyarakat oleh para pengambil kebijakan (pemerintah) belum memperhatikan kualitas sumberdaya manusia secara sungguh-sungguh, tetapi masih berorientasi pada pencapaian target proyek semata. Misalnya dalam menyalurkan dana bergulir dengan jumlah tertentu pada program penguatan ekonomi rakyat belum memperhatikan kemampuan masyarakat dalam mengelola dana tersebut. Akibatnya, banyak dana tidak kembali dan akhirnya gagal. Jarang program pemberdayaan yang mengutamakan bagaimana proses berjalan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat sasaran serta bagaimana keberlanjutannya setelah jangka waktu proyek itu berakhir. Semua tahapan kegiatan program pemberdayaan mulai dari perencanaan sampai evaluasi dilakukan oleh pihak luar, warga masyarakat hanya menunggu dan menerima intruksi dari para pelaku pemberdayaan tentang apa yang harus dikerjakan. Kondisi inilah yang terjadi di lokasi penelitian sehingga hasil yang diperoleh bukan keberdayaan warga masyarakat tetapi mendorong terbentuknya masyarakat yang memiliki mental menunggu uluran tangan dari pihak luar dan akhirnya ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar akan semakin tinggi. 81 Faktor modal sosial berpengaruh nyata dengan perbaikan proses pemberdayaan terutama berkaitan dengan faktor tingkat kerjasama, kepercayaan antar sesama warga masyarakat dan kepatuhan terhadap norma atau aturan yang berlaku. Ketidakberhasilan proses pemberdayaan warga masyarakat di lokasi penelitian saat ini sangat terkait dengan kesadaran warga masyarakat untuk secara bersama-sama dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Faktor kemampuan pelaku pemberdayaan berpengaruh nyata terhadap perbaikan proses pemberdayaan terutama berkaitan dengan tingkat ketrampilan dan sikap keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Mayarakat sekitar kawasan hutan lebih senang jika seseorang atau pelaku pemberdayaan langsung memberikan contoh bagaimana melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan hasil dibanding dikumpul dan diberi ceramah. Pelaku pemberdayaan yang hanya pandai berteori dan menunjukkan sikap serba tahu cenderung dijauhi oleh masyarakat dan sebaliknya pelaku pemberdayaan yang tidak banyak berteori tetapi suka bekerja, memiliki ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan rendah hati serta membaur dengan masyarakat akan lebih disukai. Pelaku pemberdayaan yang memiliki ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan rendah hati serta membaur dengan masyarakat akan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kerjasama, saling mempercayai, patuh terhadap orma/aturan, peduli terhadap sesama dan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. 2. Perilaku Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi Tujuan pembangunan adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang dilakukan melalui proyek-proyek/program-program pembangunan yang berpihak pada masyarakat. Proyek atau program pembangunan, terutama yang berkaitan dengan pembebasan masyarakat dari ketidakberdayaan. Salah satu permasalahan yang sedang dan yang akan dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi, kurangnya lapangan kerja dan kerusakan lingkungan. Lingkungan merupakan hal yang sangat vital bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Lingkungan yang sehat akan menciptakan suasana kehidupan manusia yang harmonis, sehat dan berkelanjutan. Demikian juga sebaliknya lingkungan yang tidak sehat/rusak akan menimbulkan permasalahan yang serius dan bahkan jadi malapetaka serta ancaman 82 bagi kehidupan mahluk secara keseluruhan. Oleh karena itu, kelestarian lingkungan merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dipikirkan upaya-upaya yang signifikan agar lingkungan tersebut dapat tetap lestari. Kelestarian lingkungan tidak terlepas dari peran masyarakat, terutama masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan yang memiliki akses dan peluang yang tinggi untuk mengganggu atau merusak lingkungan. Kelestarian hutan memang penting, tetapi keberlanjutan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya juga tidak kalah pentingnya. Kedua hal tersebut harus dipikirkan secara bersamaan agar keduanya tetap berkelanjutan. Kaitannya dengan pelestarian hutan pemerintah telah banyak menggulirkan dana melalui program-program yang berkaitan dengan perbaikan fisik lingkungan seperti penghijauan, reboisasi dengan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Masyarakat berdaya harus memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berinovasi dalam dimensi politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Keempat dimensi tersebut harus terintegrasi dalam kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini sejalan dengan pendapat Mardikanto (2015:19), pemberdayaan diharapkan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui kegiatan proses belajar mengajar. Perilaku digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu: 1) pengetahuan dan informasi atau kognitif, 2) sikap dan apresiasi atau afektif, dan 3) ketrampilan dan performansi atau psikomotorik. 83 a. Kemampuan Kognitif Masyarakat yang diberdayakan Hasil penilaian responden terhadap tingkat keberdayaan masyarakat di lokasi penelitian dalam ranah kognitif disajikan pada Tabel 22 yang tergolong sedang (skor 71,22). Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan daya nalar atau berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Tabel 22. Hasil Penilaian terhadap ranah kognitif Masyarakat No Indikator * Skor Kriteria Penilaian 1 Kemampuan Memahami 77.83 Tinggi 2 Kemampuan Menerapkan 74.61 Sedang 3 Kemampuan Menganalisis 73.30 Sedang 4 Kemampuan Mengevaluasi 67.39 Sedang 5 Kemampuan Menciptakan 62.96 Sedang Rata-rata 71.22 Sedang Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom versi Revisi (Krathwohl, 2002:215) Kemampuan pemahaman masyarakat dalam pengelolaan hutan memiliki katagore sedang (71,22). Kemampuan pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks (Gunawan & Palupi, 2013:26). Pada tahap ini, masyarakat telah memahami mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat, budidaya lahan pertanian seperti ladang, sawah, kebun dan hutan. Masyarakat mempunyai dasar pengetahuan lokal dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun (Awang, 2004:8). Hal ini lebih jelas ditegaskan oleh informan Bapak H. Makmur: Kalau dalam urusan pengalaman masyarakat di sini rata-rata sudah berpengalaman dalam menanam tanaman hutan. Bagi kami hutan adalah sumber kehidupan. Sejak dulu nenek moyang kami mengajarkan pengetahuan mengelola alam dengan bijaksana. (Wawancara tanggal 21 Mei 2015) Masyarakat lokal khususnya yang berada di Desa Tabunganen Kecil dan Tabunganen Muara merupakan suku Dayak Bakumpai mengenal perbedaan bentuk permukaan bumi, terutama berkaitan dengan pembagian peruntukan pengelolaan lahan. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dalam suatu balai, wilayah adat dalam 84 satu balai dibagi menjadi beberapa kelompok penggunaan lahan. Sebagian besar dari kawasan adat merupakan katuan (hutan) larangan. Hutan ini tidak boleh digunakan untuk bahuma (bertanam) karena dipercayai sebagai kediaman leluhur masyarakat balai. Kedudukan hutan sebagai nafas kehidupan masyarakat adat Dayak Bakumpai bertimbal balik dengan kesadaran mereka menjaga dan memelihara hutan dengan baik. Hutan menjadi landasan ideologi, sosial, dan sekaligus sumber penunjang perekonomian mereka. Mereka percaya bahwa Jubata Duwata kepercayaan masyarakat dayak Meratus akan mengutuk dalam sistem mereka yang menghancurkan hutan. Terdapat lima prinsip dasar yang bisa dicermati dalam budaya yang terpatri dalam pengetahuan dan kearifan lokal yaitu keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, subsisten, dan kepatuhan kepada hukum adat. Bila kelima prinsip ini dilaksanakan secara konsisten maka akan menghasilkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup secara ekonomis bermanfaat, secara ekologis tidak merusak, dan secara budaya menghormati nilainilai kemanusiaan. Pengetahuan lokal tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan dalam metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan asli yang dimiliki suatu komunitas, kata Chambers & Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang sebagai takhayul (superstition), tetapi telah mengajarkan kita pada kerendahan hati dan kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka. Kadang-kadang pengetahuan lokal yang sudah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mengamankan kehidupan mereka dalam lingkungan tertentu menjadi tidak sesuai lagi di bawah kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi (Thrupp, 1989). Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Hal ini bisa didapat melalui pelatihan dan/atau interaksi dengan pihak lain. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi 85 lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumber daya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun ketrampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam. Pelatihan yang sering diadakan sebelum proyek fisik kehutanan bertujuan mempersiapkan anggota kelompok tani melaksanakan kegiatan fisik agar tercapai tujuan pembangunan hutan yang diharapkan. Melalui pelatihan, seseorang atau komunitas akan mampu mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, sikap, keterampilan) agar mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson, 1981;12). Menurut Brundage (1981:73), pelatihan pada umumnya ditujukan kepada orang dewasa. Hal ini ditegaskan informan Bapak Junaedi berikut: Pengetahuan tentang teknis kehutanan juga didapat melalui pelatihan. Hampir tiap tahun sebelum pelaksanakan fisik, kami sering mengikuti pelatihan yang dilaksanakan pihak kehutanan seperti Gerhan, Hutan Kemasyarakatan, Agroforestri, perlebahan dll. Kami pun pernah studi banding ke Jawa (Program PHBM Perhutani) (Wawancara tanggal 7 Mei 2015) Pelatihan yang diikuti anggota KTH sebagai upaya meningkatkan kualitas keahliannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Sayuti (1995:131), ada tiga aktivitas yang dapat dilakukan individu-individu yang mungkin meningkatkan kualitas keahliannya, yaitu: (1) pengetahuan dari pendidikan formal; (2) memperbaiki keahlian atau ketrampilan melalui pengalaman kerja, dan (3) melalui pelatihan khusus yang direncanakan untuk meningkatkan produktivitas pekerja, khususnya dalam industri dan jasa. Hal ini senada dengan Sunaryo (2003:3), pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman. Menurut Kolb,D (1984) proses belajar yang terjadi pada orang dewasa merupakan “proses pengalaman”. Proses pengalaman tersebut terjadi melalui empat tahap, yaitu: dari pengalaman nyata, pengamatan dan refleksi, pembentukan konsep (pembuatan kesimpulan), dan penerapan atau praktek. Agar orang dewasa dapat belajar dengan efektif ia membutuhkan kemampuan-kemampuan yang berbeda. Ia harus mampu melibatkan dirinya sendiri secara penuh, terbuka dan tidak ada bias dari pengalamannya yang baru; ia harus mampu merefleksikan dan mengamati pengalaman tersebut dari berbagai sudut pandang; ia harus mampu merumuskan 86 konsep dari hasil pengalamannya menandai teori yang logis; dan ia harus mampu mempergunakan konsep tersebut sebagai panduan dalam melakukan kegiatan. Setelah keempat langkah tersebut dilalui, seseorang akan memperoleh pengalaman baru, dimana pengalaman baru tersebut akan direfleksikan kembali, lalu dibuat kesimpulan baru, dan diterapkan demikian seterusnya hingga daur belajar akan terulang kembali. Lebih jauh Marzuki (2015), menyatakan bahwa dengan pelatihan diharapkan terjadi perbaikan tingkah laku pada partisipan pelatihan. Kondisi ini diakui informan Bapak Basrani berikut: Setelah mengikuti pelatihan, wawasan pengetahuan kami menjadi bertambah dan motivasi kami menjadi tinggi untuk melaksanakan proyek kehutanan. Ketika kami ikut pelatihan Kebun Bibit Rakyat (KBR), kami jadi tahu cara memproduksi bibit berkualitas. Kami juga bisa membuat daftar pengelolaan keuangan KT, surat menyurat dan membuat proposal. Tidak percuma kami ikut pelatihan, sudah gratis, diberi uang saku bahkan berguna untuk meningkatkan taraf hidup kami nantinya (wawancara tanggal 7 Mei 2015) Pernyataan tersebut tentunya sesuai dengan pendapat Theodore Schultz (1960), bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi. Dengan demikian dari sisi kemampuan menerapkan (applying), masyarakat pada umumnya telah mampu mengaplikasikan teknik-teknik yang berkaitan dengan kehutanan berdasarkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari ilmu warisan (pengetahuan lokal) dan pelatihan. Namun dari sisi analisis, masyarakat memiliki skor rendah. Bagi mereka pemahaman yang diperoleh melalui pengetahuan lokal, dan pelatihan sudah baik sehingga tinggal diterapkan saja di lapangan, jadi tidak perlu dianalisis. Padahal menurut Sunaryo & Joshi, (2003:7), perlu disadari bahwa seperti halnya pengetahuan ilmiah, pengetahuan lokal pun mempunyai beberapa keterbatasan. Ada cukup bukti historis maupun baru yang menunjukkan bahwa penduduk indigenous kadang-kadang juga melakukan ‘dosa’ lingkungan seperti halnya penggembalaan yang berlebihan, perladangan berpindah, perburuan yang kebablasan atau pengurasan tanah melebihi daya dukungnya. Sehingga, perlu ada kemampuan menganalisis yang dimiliki masyarakat agar bisa berdampak positif 87 terhadap mereka. Meskipun demikian ada juga masyarakat yang telah memiliki kemampuan analisis tinggi sebagaimana dapat dilihat dari kemampuan (a) membuat kesimpulan dari hasil pemahaman yang diperoleh, (b) mencari sumber-sumber pengetahuan lainnya, (c) membedakan misalnya jenis-jenis tanaman hutan yang toleran dan intoleran, pupuk organik dan anorganik, bibit berkualitas baik dan tidak (d) cara mengukur jarak tanam, cara menghitung potensi hutan. Sebagai ilustrasi ditegaskan oleh informan Bapak Basrani: Semenjak mendapat bimbingan dari penyuluh kehutanan, kami dapat mengetahui tentang pupuk organik. Dulunya kami biasa menggunakan pupuk buatan pabrik seperti urea, TSP, atau KCl, kami menganggap yang terbaik adalah pupuk tersebut. Dulu kami menanam pohon Ulin di padang terbuka dan tidak pernah berhasil. Setelah diberi pemahaman oleh penyuluh bahwa setiap jenis tanaman dapat dibedakan dari jenis tahan tidaknya terhadap naungan, kami pun jadi tahu hal tersebut. (wawancara tanggal 8 Mei 2015). Kemampuan kognitif tingkat selanjutnya yaitu aspek kemampuan evaluasi yang dimiliki masyarakat masih tinggi (69,19). Pada tahap ini kemampuan masyarakat dapat dilihat dari kemampuan menilai hasil kegiatan (sedang), membandingkan pengetahuan lokal yang ada selama ini dengan pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan dan media lainnya (rendah), dan menetapkan apakah rekomendasi para penyuluh sesuai dengan kondisi di lapangan (rendah). Dari aspek menciptakan, masyarakat memiliki kemampuan yang sedang (61,94). Pada tingkat ini diukur dari kemampuan menginisiasi perencanaan unit pengolahan minyak atsiri di Desa Sungai Telan, demplot agroforestri, dan membuat perencanaan pemberdayaan masyarakat bersama penyuluh kehutanan. Berdasarkan kondisi di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek kognitif masyarakat sebagaimana dapat diihat pada Gambar 15. Berdasarkan kondisi tersebut secara umum dari sisi pengetahuan, masyarakat telah mempunyai dasar-dasar pengetahuan pengelolaan hutan, namun masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan. Dengan dasar tersebut pemberdayaan ke depan dapat dilakukan dengan memperkuat pada tingkat menganalisis, menilai, dan menciptakan. 88 Gambar 15. Kemampuan Kognitif Masyarakat (diadaptasi dari model Taksonomi Bloom (1956) b. Kemampuan Afektif Masyarakat Penilaian kemampuan afektif masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Hasil Penilaian terhadap Ranah Afektif Masyarakat No 1 2 3 4 5 Indikator * Skor Kriteria Penilaian Menerima (receiving/attending) 60.35 sedang Kemampuan Menanggapi 48.61 rendah Kemampuan Menilai 53.91 rendah Kemampuan Mengelola 54.35 rendah Kemampuan Menghayati 44.87 rendah Rata-rata 52.42 rendah Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom (1956: 77). Berdasarkan Tabel 23, kemampuan masyarakat dalam aspek afektif termasuk katagore rendah (52,42). Pada tingkatan receiving (attending), direflesikan dalam bentuk kemauan menghadiri, mendengarkan dan meminati program pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan. 89 Tingkat kemauan masyarakat untuk hadir dalam kegiatan pertemuanpertemuan dan pelatihan dalam rangka pengelolaan hutan tergolong sedang dengan skor 55,48 (Lampiran 10). Sebanyak 27.42% responden menyatakan kadang-kadang datang menghadiri setiap undangan pertemuan yang dilaksanakan dalam kegiatan program pemberdayaan masyarakat, 29,84% responden jarang datang, 14.52% responden tidak pernah datang, 20,16% responden sering datang dan 8,06% responden pasti datang (Gambar 16). Gambar 16. Diagram Kemauan Masyarakat Untuk Menghadiri Pertemuan dan Pelatihan dalam rangka pengelolaan hutan Meskipun dalam setiap pertemuan atau pelatihan, semua anggota kelompok atau warga yang diundang dapat berhadir, namun Bapak Saleh menyatakan: Dalam setiap pertemuan jarang sekali lengkap dihadiri seluruh anggota kelompok tani, walaupun kami sudah berupaya mengundang lewat surat atau SMS. Alasan ketidakhadiran biasanya masih bekerja di ladang, mau istirahat setelah seharian bekerja, sakit, ada keperluan keluarga, atau malas hadir. Walaupun demikian, saya bisa pastikan setiap kali pertemuan selalu dihadiri unsur pengurus kelompok tani, aparat desa, dan anggota kelompok. Anggota kelompok juga terdiri dari berbagai etnis yang ada di desa, dan kelompok produktif (tua muda) (wawancara tanggal 18 Mei 2015). 90 Menurut Jamasy (2004), partisipasi tidak hanya diukur oleh jumlah melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang terlibat, misalnya dari latar belakang jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), latar belakang usia (tua dan muda), latar belakang sosial-ekonomi (kaya – menengah dan miskin) dan lain sebagainya. Bias partisipasi seringkali dijumpai, misalnya pertemuan yang dihadiri oleh 40 orang dan yang dihadiri oleh 20 orang. Dari aspek jumlah, 40 orang lebih baik dari yang 20 orang, tetapi dari aspek kualitas mungkin saja yang 20 orang akan menjadi lebih baik dan partisipatif karena mereka adalah wakil dari seluruh elemen masyarakat, sementara yang 40 orang hanyalah dari tertenu saja. Minat masyarakat untuk terlibat dalam rangka pengelolaan hutan di KPHK Barito Kuala tergolong sedang dengan nilai 56,61 (Lampiran 10). Sebanyak 13,71% responden menyatakan berminat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan, 7,26% responden menyatakan sangat berminat, 45,16% responden menyatakan tidak berminat dan 13,71% menyatakan sangat tidak berminat (Gambar 17). Gambar 17. Minat Masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan Menurut J. Holland (1990), minat yang sesuai merupakan faktor penting yang menentukan individu dapat berprestasi. Minat adalah kesadaran individu terhadap sesuatu hal yang bersangkut paut dengan dorongan sehingga individu memusatkan 91 seluruh perhatiannya terhadap objek tertentu dengan senang hati melakukan aktivitas yang berhubungan dengan objek (Fisher, 1930:34). Menurut Asher (dalam Hanani, 1995) minat merupakan aktivitas psikis manusia yang menyebabkan individu memberikan perhatiannya kepada suatu objek yang kemudian diikuti, kecenderungan untuk mendekati objek tersebut dengan perasaan senang, karena individu mengetahui bahwa apa yang dikerjakannya itu akan mendatangkan hasil yang sesuai dengan harapannya. Berdasarkan uraian di atas minat adalah kondisi di mana individu memusatkan seluruh perhatiannya pada suatu objek tertentu dengan perasaan senang. Menurut Crow & Crow (1973) faktor-faktor yang mempengaruhi minat adalah faktor dorongan dari dalam individu, motif sosial, dan faktor emosional. Faktor dorongan dari dalam individu muncul dari adanya kebutuhan-kebutuhan dasar individu, misalnya dorongan untuk mencari makan karena lapar. Faktor motif sosial, individu didorong untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat diterima dan diakui oleh lingkungan tersebut misalnya minat untuk mengenakan pakaian mahal dan bermerk, dan faktor emosional berkaitan erat dengan perasaan atau emosi keberhasilan dalam suatu aktivitas memunculkan perasaan senang dan mendorong timbulnya minat untuk melakukan hal yang sama dikemudian hari. Dan kegagalan sering menyebabkan hilangnya minat. Istilah minat digunakan dalam dua cara pada psikologi, yang pertama minat diartikan sebagai suatu rasa senang yang dihasilkan dari adanya perhatian khusus terhadap sesuatu atau aktivitas tertentu dan yang kedua diartikan sebagai sikap atau kondisi psikologis yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk memahami suatu pengalaman yang akan selalu diulangi (Ahser dalam Hanani,1995). Berdasarkan uraian di atas minat dipengaruhi oleh faktor dorongan dari dalam individu, faktor motif sosial, dan faktor emosional. Pada tingkatan menanggapi (responding) direflesikan dalam bentuk penyampaian pendapat/opini atas materi yang disampaikan penyuluh, dan dukungan terhadap program kehutanan yang melibatkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat (Rahman, 2010:3), responding merupakan partisipasi aktif sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini masyarakat tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pemberdayaan pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. 92 Tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan atau usulan dalam kegiatan pertemuan-pertemuan yang dilakukan tergolong rendah dengan nilai 47,42, dimana pada umumnya warga yang aktif dalam berpendapat hanya orangorang tertentu saja, dan kebanyakan warga selalu mengikut pendapat-pendapat yang disampaikan tokoh-tokoh masyarakat atau pengurus KTH. Sebagian besar responden atau sebanyak 38,71% responden menyatakan jarang menyampaikan usul dalam setiap pertemuan yang dilaksanakan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, 7,26% responden selalu menyampaikan usul, 20,16% responden menyatakan kadang-kadang menyampaikan usulan, 7,26% responden menyatakan jarang menyampaikan usulan dan 24,19% responden menyatakan tidak pernah menyampaikan usulan (Gambar 18). Gambar 18. Diagram Partisipasi Masyarakat Menyampaikan Respon Dalam Pertemuan dan Pelatihan Tingkat keterbukaan masyarakat dalam bentuk perbincangan atau pembahasan kegiatan pemberdayaan masyarakat di luar forum pertemuan formal di desa lokasi penelitian tergolong rendah dengan nilai 50,32, dimana beberapa warga suka memperbincangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di luar forum 93 pertemuan. Sebanyak 12,10% responden menyatakan sering memperbincangkan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan pemberdayaan masyarakat di luar forum pertemuan pemberdayaan masyarakat, 5,65% responden menyatakan sangat sering, 31,45% responden menyatakan kadang-kadang memperbincangkan, 29,84% responden menyatakan jarang memperbincangkan dan 20,97% responden menyatakan tidak pernah memperbincangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di luar forum pertemuan pemberdayaan masyarakat (Gambar 19). Gambar 19. Diagram Penyampaian Aspirasi Masyarakat di Luar Forum Pertemuan atau Pelatihan Bagi masyarakat di desa, keberadaan program perhutanan sosial bisa dianggap sebagai peluang untuk menyampaikan aspirasinya dalam bentuk usulanusulan proyek kehutanan yang melibatkan masyarakat. Berkaitan dengan dukungan masyarakat terhadap program pemberdayaan masyarakat dapat diihat pada Gambar 20. 94 Gambar 20. Sikap Dukungan Masyarakat terhadap Kegiatan Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Berdasarkan Gambar 20, dapat diketahui bahwa 30,65% respoden mendukung dan sangat mendukung terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk perasaan senang terhadap program yang dilaksanakan. Sebagai contoh diungkapkan saat mengikuti pendidikan dan pelatihan, mereka menerima begitu banyak materi tentang programprogram kehutanan yang melibatkan masyarakat, prosedur pelaksanaan, kebijakan, teknis kegiatan, dan manfaat yang akan diperoleh. Mereka juga merasa senang dengan adanya program kehutanan karena dapat menciptakan tambahan kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan, dan membuat lingkungan jadi lebih baik. Berikut beberapa kutipan wawancara dengan responden yang menerima dengan baik: Beberapa waktu lalu, penyuluh telah memberikan materi penyuluhan tentang pupuk bokashi, cara pembuatan, dan penggunaanya. Kami menganggap apa yang disampaikan tersebut sangat bermanfaat. Kami juga menerima dengan senang hati program pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan hutan seperti Gerhan, HKm, KBR, reboisasi agroforestri (wawancara dengan Bapak Junaedi tanggal 8 Mei 2015) Kami senang ada program kehutanan di daerah kami, karena lahan di sini sudah banyak yang gundul akibat perusahaan kayu dan tambang batubara. Kalau tidak dihijaukan, air sungai/sumur akan cepat kering, cuacanya panas, dan rawan longsor. Kami juga senang karena bisa meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja lebih baik daripada harus mengambil kayu di hutan jauh-jauh (wawancara dengan Bapak Basrani tanggal 7 Mei 2015 ) 95 Dulu warga Tabunganen Kecil dan Tabunganen Muara meramu Gaharu dari hutan namun hasilnya terus berkurang dan sulit didapat, padahal itu mata pencaharian utama kami selain berladang. Sejak pihak kehutanan memberikan penyuluhan tentang budidaya dan Inokulasi Gubal Gaharu, saya mengikuti dan mematuhi apa yang diarahkan penyuluh dengan menanam di lahan pekarangan sebanyak 300 batang. Saat ini pohon Gaharu sebagian sudah disuntik dengan bantuan penyuluh dan siap panen (wawancara dengan Bapak Rahmat tanggal 18 Mei 2015 ) Temuan penelitian menunjukkan bahwa pilihan masyarakat untuk ikut dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh manakala mereka terlibat dalam program pemberdayaan. Pada saat mereka ikut program gerhan, mereka diberi kesempatan untuk mengelola lahan mereka dengan mendapat bantuan fisik (bibit, pupuk, dll) dan pendanaan dari pemerintah, bahkan mendapat pelatihan dan pendampingan. Apabila lahan yang ditanami memasuki masa panen, maka hasilnya 100% menjadi hak mereka, dan untuk hasil hutan kayu diatur dalam tata usaha kayu rakyat sesuai dengan Permenhut No.33/2007. Berkenaan dengan pilihan, Friedman dan Hechter (1988), menghimpun apa yang mereka sebut sebagai model “kerangka” teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan (atau nilai, keperluan). Teori pilihan rasional tak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor (Ritzer,2015:357). Aktor menurut konsep ini adalah pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakan. Walaupun aktor tidak mempunyai kebebasan total namun ia mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Berkaitan dengan manfaat dari keterlibatan masyarakat dalam kehutanan (perhutanan sosial), Mardikanto (2009:23) menyatakan sebagai berikut: 1. Perbaikan dan perluasan tanaman, yang diikuti pula dengan tingkat keberhasilan tinggi, karena masyarakat berpartisipasi dalam pemeliharaan dan pengamanannya. 96 Pengalaman di Sanggau, Kalimantan Barat, kegiatan rehabilitasi partisipatip yang dilakukan proyek perhutanan-sosial, terbukti memiliki tingkat keberhasilan lebih dari 80% dibanding proyek-proyek rehabilitasi pada umumnya yang hanya sekitar 30%. 2. Perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat desa hutan, baik yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perhutanan sosial, maupun yang melakukan kegiatan-kegiatan pendukungnya, seperti: pengadaan dan perdagangan bibit, pengadaan dan perdagangan pupuk 3. Perbaikan mutu sumberdaya manusia, yang dapat diharapkan dari beragam kegiatan pelatihan yang dilaksanakan terkait dengan pengembangan perhutanan sosial, seperti: pelatihan teknis agroforestri, pelatihan keorganisasian, pelatihan usaha produktif. Sementara itu berdasarkan Gambar 20, sebanyak 63,71% tidak mendukung program kehutanan di daerahnya. Ada berbagai alasan yang menyebabkan penolakan tersebut sebagaimana ditegaskan oleh informan berdasarkan pengalaman historis mereka: Banyak proyek kehutanan yang pernah dikembangkan di sini gagal, misalnya dulu pernah proyek reboisasi dengan tanaman Akasia. Akibat banyaknya tanaman Akasia, tanaman lain tidak bisa berkembang dengan baik, malah sering terjadi kebakaran. Pernah juga tanam Sengon tahun 2000, ternyata ketika di panen harganya murah sekali. Belum lagi harus mengeluarkan biaya ekstra karena terkena kebijakan peredaran kayu hutan. Kadangkala teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan bahkan belum tentu lebih baik dari yang sudah ada (wawancara dengan Bapak Saladeri tanggal 8 Mei 2015) Pihak kehutanan terlalu menekankan komposisi jenis yang harus 70% tanaman hutan : 30% tanaman MPTS. Bagi kami tidak menarik karena tidak menguntungkan secara ekonomis. Misalnya yang 30% tersebut tanaman Karet, maka dalam 1 hektarnya hanya bisa menanam 150 batang. Kalaupun semuanya bisa menghasilkan tetap akan rugi karena tidak bisa menutup ongkos pemeliharaan)-(wawancara dengan Bapak Matleh tanggal 7 Mei 2015) Mengapa para petani menolak teknologi inovasi yang telah direkomendasikan pihak kehutanan melalui penyuluh? Ada beberapa alasan yang menurut Fujisaka (1993) dan Pretty (1995), yakni teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak 97 menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran, teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada, inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat, penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai, sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat, adanya ketidakpedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu, dan adanya ketidakpastian dalam penguasaan sumber daya lahan. Pengalaman empiris pembangunan hutan selama ini menurut informan Bapak Junaedi: Tanaman Sengon yang kami tanam sebagian besar banyak yang gagal, akibat pertumbuhan tanaman yang tidak sesuai harapan. Pada saat disampaikan pihak kehutanan bahwa Sengon mempunyai prospek yang bagus, dalam umur 7 tahun diameternya bisa mencapai 40 cm, namun kenyataannya maksimal 27 cm. Disamping itu juga ketidakjelasan status pemasaran hasil hutan kayu apabila sudah menghasilkan, padahal lahan sudah terlanjur ditanami dengan tanaman hutan. Katanya kalau menjual kayu Sengon harus ada ijin lagi dari kehutanan termasuk biaya resmi dan tidak resmi yang harus dikeluarkan. Padahal kayunya hasil tanaman kami sendiri. Beda apabila lahan tersebut dikembangkan tanaman Sawit, pendapatan yang akan diterima lebih menjanjikan dan bisa didapat setiap hari sehingga kebutuhan anggota keluarga lebih terjamin (wawancara tanggal 8 Mei 2015). Selama ini memang ada kecenderungan pemilihan jenis tanaman tidak dilakukan analisis kesesuaian lahan secara mendalam, hanya didasarkan pada “promosi” dari kehutanan pusat atau keberhasilan di daerah lain. Maka daerah lain mengambil kebijakan serupa, padahal belum tentu cocok dan sesuai. Pengalaman serupa juga pernah terjadi ketika digalakkan program “sengonisasi” di Kalimantan Selatan yang mengadopsi keberhasilan petani hutan di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Dari aspek tata niaga kayu, sebenarnya telah diatur dalam Permenhut 98 No..P.63/Menhut-II/2006 untuk hutan negara, dan Permenhut No. P.62/MenhutII/2006 untuk Hutan Hak (Syahadat & Dwiprabowo, 2008:201). Hanya saja sebagian besar masyarakat tidak mengetahui hal tersebut atau malas mengurus, akibatnya dengan berbekal surat jalan dari Kepala Desa, masyarakat menjual kayu ke luar daerah dan ketika ada razia kayu terpaksa harus berurusan dengan pihak berwajib karena dianggap membawa kayu illegal tanpa dokumen yang sah. Dengan kondisi tersebut, masyarakat lebih memilih cara yang aman dan lebih menjanjikan yaitu dengan membudidayakan tanaman Karet yang sudah terbukti meningkatkan pendapatan masyarakat. Sampai saat ini di tingkat masyarakat, belum ada satu pun komoditi kehutanan (kayu) yang nilai ekonomi dan pasarnya menandingi karet. Pilihan anggota masyarakat untuk tidak ikut atau tidak berpartisipasi aktif dalam program mempunyai alasan beragam seperti kualitas jenis tanaman yang diberikan pada program terdahulu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, jenisnya tidak “marketable”, dan tidak ekonomis. Pada beberapa kasus program serupa, masyarakat tidak mengetahui secara pasti kemana mereka harus menjual kayu nantinya, sehingga kayu-kayu yang telah hampir mendekati periode pemanenan terpaksa ditebang dan diganti dengan tanaman yang lebih komersial seperti Karet Pilihan untuk tidak ikut program pemberdayaan masyarakat juga sering disebabkan oleh hal yang lebih ekstrim lagi, kalau dana yang seharusnya mereka terima sering tidak sesuai di bawah nilai yang tertulis pada bukti pembayaran. Setiap dana yang akan dicairkan maka terlebih dahulu harus ada bukti-bukti pengeluaran uang dan penandatangan sejumlah berita penerimaan barang yang sebenarnya belum diberikan. Jadi terkesan bahwa sebenarnya uang telah dicairkan, padahal sebenarnya 99 tidak. Persyaratan “tandatangan terlebih dahulu” inilah yang sering dikeluhkan petani dan pelaksana proyek, namun kebijakan pusat memang harus seperti itu. Ada juga yang memilih untuk tidak ikut karena alasan bahwa program pemberdayaan masyarakat tersebut tidak bisa menghasilkan “uang” dalam waktu yang cepat, karena menunggu waktu panen, padahal mereka butuh uang untuk keperluan hidup sehari-hari. Sementara itu alasan lainnya berkaitan dengan persoalan konflik lahan sebagaimana disampaikan informan berikut: Kami takajut pas di kabun gatah wan dukuh ampun kami sakalinya ada patuk habang. Waktu ditakunakan wan pambakal, sakalinya nangitu patuk batas kawasan hutan. Artinya kabun kami barada dalam kawasan hutan pamarintah (Kami terkejut ketika di kebun karet dan kebun buah punya kami ternyata telah dipasang patok merah. Saat ditanyakan dengan kepala desa, ternyata patok tersebut adalah patok batas kawasan hutan. Artinya kebun kami berada dalam kawasan hutan pemerintah). Penggunaan kawasan hutan bagi masyarakat di Desa Sungai Telan, Kuala Lupak, Tabunganen Kecil dan Tabunganen Muara telah dimulai bersamaan dengan awal terbentuknya desa induk yang dulu bernama Kampung Sungai Pinang sendiri tahun 1948. Masyarakat asli yang mendiami wilayah ini pada mulanya adalah masyarakat Dayak Bakumpai Barito Kuala. Mereka mengelola hutan sebagai lahan pertanian lahan kering yang ditanami bermacam-macam buah, umbi-umbian, tanaman obat, ada juga masyarakat yang menggunakan lahan kosong sebagai areal sawah. Jadi sejak dahulu, kawasan hutan sudah digarap oleh masyarakat sekitar kawasan tersebut yang berada di belakang kampung. Kegiatan pemanfaatan hutan berlangsung terus sampai diwariskan kepada anaknya. Sistem kepemilikan tanah bagi masyarakat penduduk asli didasarkan pada kesepakatan dan kepercayaan dalam aturan adat tanpa menggunakan bukti tertulis. 100 Jadi meskipun tanah tersebut secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat, tidak satu pun dari mereka memiliki surat kepemilikan tanah. Batas-batas tambit (kepemilikan tanah) yang digunakan adalah penanaman tanaman perdu tinggi Hanjuang (Cordyline sp) dan sungai. Penentuan batas ini merupakan kesepakatan antar pemilik-pemilik lahan yang berbatasan langsung sehingga tidak timbul masalah di kemudian hari. Menurut informan dari Desa Kuala Lupak dan Sungai Telan, keberadaan mereka dengan segala aktivitas sosial ekonominya mendahului penunjukan atau penetapan kawasan hutan. Saat ini sebagian lahan kampung sedang diusulkan untuk mendapatkan status Enclave, namun tidak sedikit lahan “milik” lainnya yang tidak diusulkan dalam status enclave tetapi berada di dalam kawasan hutan Di sisi lain, pihak pemerintah (instansi kehutanan pusat dan daerah) bersikeras bahwa lahan-lahan yang dikuasai masyarakat berada dalam kawasan hutan. Dokumen legal yang dimiliki KPHK Barito Kuala atas nama negara adalah menurut Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (SK Menhut No. 247/Kpts-II/1984), Peta Penunjukan Kawasan Hutan sesuai Permenhut No.453/1999 yang kemudian direvisi dengan Permenhut No.435/2009. Inilah yang menjadi pemicu konflik lahan hutan antara masyarakat dengan pihak kehutanan. Jadi, akar dari persoalan konflik di kawasan hutan dapat dipadatkan dalam kalimat “tidak adanya kepastian penguasaan tanah-tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat”. Penunjukan status hutan setelah kehadiran masyarakat yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah tersebut menjadikan konflik penggunaan lahan semakin komplek. Terkait dengan hal ini masyarakat sepenuhnya tidak bisa disalahkan karena secara de facto masyarakat telah dahulu menguasai wilayah tersebut meskipun secara 101 de jure statusnya adalah kawasan hutan. Keberadaan dusun/kampung/desa definitif di dalam kawasan hutan adalah realita di banyak daerah di Indonesia akibat dari berbagai alasan atau latar belakang (kasus per kasus) yang perlu dipahami benar guna penanganannya yang tepat dan adil. Keberadaan kampung di dalam kawasan hutan bisa karena memang sudah ada sebelum ditetapkan sebagai kawasan, bisa karena program pemerintah di masa lalu dan juga bisa karena pendudukan kawasan hutan terutama pada masa reformasi. Disamping mempertimbangkan aspek kesejarahan tersebut, adalah penting untuk pengkajian ulang mengenai penetapan fungsi kawasan itu sendiri, serta manfaat kawasan bagi kehidupan masyarakat (interaksi masyarakat dan lingkungannya). Bilamana muncul permasalahan, dituntut perumusan solusi secara dialogis dan partisipatif khususnya pelibatan aktif masyarakat/warga setempat. Pemerintah sendiri harus memberikan contoh kepada masyarakat tentang komitmen, konsekuensi dan konsistensi terhadap setiap keputusan yang diambil menyangkut penetapan fungsi kawasan hutan. Hal lain yang mendorong terjadinya penguasaan tanah di dalam kawasan hutan adalah adanya penetapan desa definitif sebanyak 34 buah dan 7 pemukiman transmigrasi yang belum dienclave dikeluarkan dari kawasan hutan, akibatnya dalam satu tapak yang sama terdapat dua kewenangan yaitu BKSDA Kalsel, dan pemerintahan daerah (desa). Akibatnya dengan dalih untuk menyejahterakan warganya, ada oknum membagi lahan hutan bagi warga, termasuk warga pendatang dengan dalih yang disampaikan Bapak Junaedi berikut: Selama ini kami melihat bahwa hutan yang katanya dikuasai pemerintah tidak pernah dikelola pihak kehutanan, sehingga menjadi lahan tidur dan tidak produktif. Disisi lain, masyarakat perlu lahan untuk dibudidayakan demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, diantaranya untuk Tambak Ikan Bandeng. Itulah alasannya kenapa lahan hutan tersebut dibagikan 102 kepada masyarakat. Namun pembagiannya berdasarkan kemampuan dan keperluan masing-masing (wawancara tanggal 7 Mei 2015). Dengan demikian, penolakan warga yang berhubungan dengan konflik lahan menurut informan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sebagai buntut belum dipenuhinya tuntutan warga kepada pihak pemerintah (Kehutanan) untuk mengeluarkan lahan yang mereka kuasai dari status sebagai kawasan hutan (enclave), sedangkan dari sisi pemerintah hanya akan melakukan enclave untuk lahan pemukiman. Artinya lahan-lahan hutan yang telah digarap dan atau dikuasai tidak akan berubah statusnya menjadi lahan milik, kecuali lahan seluas rumah yang dimilikinya. Permasalahan tersebut sampai penelitian ini dilaksanakan belum selesai, sehingga warga berkomitmen menolak apapun program kehutanan sebelum masalah ini dituntaskan. Kedua, Adanya kekhawatiran warga kalau program kehutanan yang akan masuk ke desanya sebagai upaya membujuk warga agar tidak melakukan tuntutan atas lahan yang dikuasainya atau paling tidak menyetujui tawaran enclave menurut versi pemerintah. Jadi, daripada termakan bujuk rayu pemerintah, lebih baik tidak menerima sama sekali program kehutanan, dan yang ketiga, keterbukaan arus informasi melalui media cetak dan media elektronik termasuk internet di zaman reformasi menyebabkan masyarakat banyak mengetahui tentang persoalan klaim lahan oleh masyarakat di daerah lain terhadap lahan hutan yang dikuasai negara atau korporasi, sehingga menginspirasi mereka untuk melakukan tuntutan serupa. Kalau dulu karena berada di bawah tekanan penguasa, masyarakat cenderung tidak berani melakukan tuntutan apapun. Akibat dari komitmen warga untuk menolak kegiatan kehutanan di daerahnya, tentu akan berimbas kepada tidak terlaksananya program kehutanan yang 103 telah dan akan disusun, termasuk kegiatan KPHK Barito Kuala yang akan mulai betul-betul beroperasi di tahun 2016. Kondisi tersebut tentu saja sejalan dengan pendapat Freunden-berger (1994) mengajukan tiga alasan status penguasaan tanah (lahan) sedemikian penting dalam pogram manajemen sumber daya alam: pertama, penguasaan tanah itu berdampak pada orang-orang yang memiliki akses terhadap sumber daya; kedua, penguasaan tanah itu menentukan apakah orang mau ikut serta dalam aktivitas proyek itu atau tidak; dan ketiga, penguasaan tanah itu berdampak pada distribusi manfaat program itu. Penyelesaian konflik memungkinkan adanya pengakuan berbagai pihak terhadap kawasan hutan. Kalau sudah terjadi pengakuan tersebut, maka upaya pembangunan hutan lestari akan lebih mudah tercapai. Hal ini sesuai dengan pendapat Simon (2006:145), kunci tercapainya pengelolaan hutan yang lestari salah satunya adalah kepastian batas kawasan hutan yang diakui oleh semua fihak. Oleh karena itu adanya batas kawasan hutan yang tetap sangat penting, sebab kalau tidak demikian kegiatan membangun hutan akan sangat terganggu karena masa berproduksi hutan bersifat jangka panjang dan pengelolaannya tidak dapat diatur untuk cepat mengalami perubahan dalam waktu singkat atau mendadak. Misalnya, kalau tidak ada batas kawasan hutan yang tetap, pekerjaan membangun hutan dapat sia-sia kalau sebelum waktu masak tebang batas kawasannya dilanggar untuk kepentingan lain oleh masyarakat. Kemampuan selanjutnya dalam ranah afektif menurut Krathwohl (1964: 180), adalah valuing atau menilai. Sikap yang ditunjukkan pada tahap ini adalah kepuasan hasil pemberdayaan, meyakini teknologi pengelolaan hutan yang tepat, memilih 104 teknologi dan mengusulkan perencanaan program perhutanan sosial. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil kegiatan yang dilaksanakan dalam pemberdayaan masyarakat tergolong rendah, dengan nilai rata-rata 49,84. Berdasarkan Gambar 21, sebagian besar responden atau sebanyak 59,68% responden menyatakan tidak puas, dan sebanyak 4,84% responden menyatakan sangat puas, 8,06% responden menyatakan cukup puas, 8.1% responden menyatakan kurang puas dan 15,32% menyatakan sangat tidak puas terhadap program pembangunan hutan yang melibatkan masyarakat selama ini. Ketidakpuasan sebagian besar masyarakat merupakan bentuk lain dari penolakan warga terhadap pembangunan hutan sebelum adanya kepastian kawasan. Gambar 21. Diagram Kepuasan Masyarakat Terhadap Kegiatan Pemberdayaan Pada tahap selanjutnya diketahui tingkat keyakinan setelah mengikuti agenda-agenda pengembangan kapasitas pemberdayaan masyarakat pengelolaan hutan dalam tergolong sedang dengan nilai rata-rata 52,74, misalnya masyarakat 105 menjadi lebih yakin mengembangkan tanaman hutan, melakukan pemberantasan hama dan penyakit dengan teknologi yang ramah lingkungan, mengajukan pendapat dalam forum-forum pertemuan dan lebih berani memimpin forum karena telah memiliki bekal-bekal kepemimpinan selama pelaksanaan siklus. Sebagian besar responden atau sebanyak 39,52% responden menyatakan masih tidak yakin masyarakat bisa berdaya dalam pembangunan hutan berbasis masyarakat, sebanyak 8,06% responden menyatakan sangat yakin, 27,42% responden menyatakan biasabiasa saja, 18,55% responden menyatakan sudah yakin dan sebanyak 6,45% responden menyatakan sangat tidak yakin mampu melaksanakan pembangunan hutan (Gambar 22). Gambar 22. Diagram Tingkat Keyakinan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Ketidakyakinan masyarakat disebabkan masih adanya ketergantungan terhadap perusahaan dan pemerintah, khususnya dalam pendanaan dan sarana parasarana. Kalau dihubungkan dengan hasil penelitian, ketika program PMDH dan comdev dilaksanakan, nampak masyarakat yang diberdayakan cenderung menjadi tergantung dengan perusahaan ataupun pemerintah pelaksana program. Di kalangan 106 peserta muncul ketergantungan terhadap petugas penyuluh yang merepresentasikan pemerintah atau fasillitator perusahaan yang melaksanakan program comdev. Ini tercemin dari penuturan beberapa peserta yang selalu mengharapkan bantuan pupuk, obat-obatan, bibit dan beberapa peralatan lainnya. Persepsi sebagian besar masyarakat terhadap istilah Proyek yang dikaitkan dengan bantuan cuma-cuma mengakibatkan adanya kesan keberhasilan bukanlah prioritas utama. Ketergantungan kepada ketua kelompok juga masih kuat, sehingga menyebabkan kurangnya kreatifitas petani karena hanya mengandalkan seseorang yang dianggap lebih pintar dan lebih bisa menguasai keadaan dari yang lain. Hal ini dapat mengakibatkan sikap malas pada anggota kelompok dan kurang memotivasi mereka untuk mengembangkan lahannya Ini berarti bahwa pembinaan dan bantuan selama ini yang sebenarnya dimaksudkan untuk merangsang dan menumbuhkan kemandirian peserta, tetapi yang sebaliknya terjadi adalah muncul ketergantungan warga masyarakat. Dengan kondisi ini, pembinaan dan bantuan terhadap masyarakat desa masih memerlukan waktu yang relatif lama, memerlukan kesabaran dan berusaha untuk mengusahakan mereka sampai dapat memetik hasilnya. Pada masyarakat pedesaan kebanyakan, mereka masih memerlukan bukti bahwa program yang ditawarkan memang memberikan hasil yang positif terlebih dahulu. Penegasan ini penting mengigat selama ini mereka dalam melaksanakan kegiatan perladangan berpindah tidak pernah berkenalan dengan berbagai produk teknologi pertanian, keculai pupuk kandang yang berasal dari kotoran ternak. Di samping itu perlu perubahan paradigma istilah keproyekan sebagai kegiatan bantuan cuma-cuma menuju kepada kesadaran bahwa proyek sifatnya hanya sementara dan pancingan yang nantinya kegiatan selanjutnya tumbuh dari kesadaran masyarakat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan sampai pembiayaan. Keyakinan terhadap kemampuan dalam mengelola hutan dilanjutkan dengan 107 kemampuan memilih teknologi, model dan pola apa saja yang tepat untuk dilaksanakan. Pada tahap ini tingkat kemampuan memilih dengan pertimbangan yang tepat tergolong sedang dengan nilai rata-rata 55,81. Sebagian besar responden atau sebanyak 64.5% responden menyatakan cukup mampu, dan sebanyak 21% responden menyatakan kurang mampu, 6.5% responden menyatakan biasa-biasa saja, 8.1% responden menyatakan kurang mampu dan tidak ada responden yang menyatakan tidak mampu mengelola hutan berbasis masyarakat. Pada tahap ini masyarakat sudah mampu memilih berbagai teknologi dalam pengelolaan hutan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan petani bisa memilih menggunakan pestisida alami dari daun mimba dalam membasmi hama ulat daun pada tanaman gaharu, memilih tanaman yang cocok untuk dikembangkan dalam pola tumpang sari, memilih teknik silvikultur yang digunakan dalam budidaya tanaman. Tingkatan Valuing masyarakat terhadap pelaksanaan program pemberdayaan juga terlihat dari tingkat kekritisan warga dalam menyampaikan usulan atau kritik terhadap program-program yang dijalankan. Meskipun apabila dilihat secara lebih dekat dapat diketahui bahwa warga yang kritis hanya personil itu-itu saja yang notabene merupakan kelompok elite warga yang antara lain terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, perangkat desa, dan pegawai, namun adanya kelompok warga yang kritis bisa dijadikan sebagai pendorong dan pemacu serta sumber pembelajaran bagi anggota masyarakat yang lain untuk lebih peduli terhadap permasalahan dalam komunitasnya. Pada tingkatan organisasi (organization), direflesikan dalam bentuk keberanian petani mengambil keputusan dalam mengkombinasikan berbagai bentuk perlakuan pembuatan tanaman hutan (bibit), mengkombinasikan pola agroforestri 108 yang tepat, menata pola tanam berdasarkan keruangan (spasial) dan waktu, membandingkan keuntungan dan kekurangan pupuk organik dan anorganik, dan mengelola hutan berbasis masyarakat. Tingkat keberanian masyarakat untuk bertanggungjawab dalam setiap pengambilan keputusan tergolong sedang dengan skor 60,32, misalnya keputusan untuk menentukan pemanfaatan dana dan keputusan untuk menentukan prioritas kegiatan. Sebagian besar responden atau sebanyak 38,71% responden menyatakan cukup berani dalam memutuskan sesuatu keputusan untuk kepentingan masyarakat sekitarnya, dan sebanyak 20,97% responden menyatakan berani, 11.29% responden menyatakan biasa-biasa saja, 20,97% responden menyatakan kurang berani dan sebanyak 18.55% responden menyatakan tidak berani memutuskan sesuatu untuk kepentingan masyarakat sekitarnya (Gambar 23). Gambar 23. Diagram Keberanian Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan 109 Pada tingkatan yang terakhir yaitu characterization by value set atau value complex berkaitan dengan pengamalan yang didasarkan kepada nilai moral. Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi (Suciati,2005:45). Pada tingkat ini, masyarakat bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat yang lebih rendah, tetapi telah mengintegrasikan nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap, meyakinkan, dan perilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat hidup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter. Tingkatan ini direflesikan dalam bentuk perubahan perilaku yang meyakini bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi umat manusia dan lingkungannya, maka dia berusaha mempertahankan kelestarian hutan, menanam hutan, dan mencegah hal-hal destruktif terhadap hutan. Sayangnya anggota masyarakat yang memiliki tingkatan ini hanya dikatagorekan rendah (skor 44,87). Keyakinan ini hanya diperlihatkan oleh kelompok tani dan masyarakat di Desa Sungai Telan yang dimotori Bapak Basrani. Dalam penelitian ini, karena figur Kepala Desa Sungai Telan bekerja keras sangat mendukung dan mempertahankan kawasan hutan agar tidak dialih fungsi. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan berbagai penghargaan (sebagai bentuk reinforcement) terhadap mereka yang berprestasi. Sebagai reward terhadap mereka yang berprestasi tersebut, Bapak Baserani Kepala Desa Sungai Telan mendapat penghargaan dari pemerintah seperti Kepala Desa Peduli Hutan Wana Lestari dari Kementerian Kehutanan, KT Karya Muda Mandiri sebagai Juara II Hutan Rakyat Tingkat Provinsi, dan KT Sejahtera Lestari sebagai Juara III Kanitap terbaik Tingkat Provinsi. Hal ini sesuai dengan teori dorongan berprestasi (need for 110 achievement/n-Ach) dari David McClelland yang menyampaikan konsep kebutuhan untuk berprestasi. Bagi personal anggota kelompok tani, pengurus dan aparat desa yang berprestasi harus mendapat perhatian dan penghargaan atas prestasinya baik secara formal maupun non formal, semakin sering tindakan khusus seseorang diberi hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu. Di lokasi penelitian, kita dapat melihat figur Kepala Desa Sungai Telan misalnya merupakan pribadi-pribadi yang yang memiliki dorongan berprestasi tinggi, dan mampu memotivasi warganya untuk berpartisipasi aktif dalam mempertahankan kawasan hutan di wilayahnya, bahkan melakukan rehabilitasi hutan. Begitu juga dengan para pelaku pemberdayaan (penyuluh, fasilitator) mestinya memang memiliki hal tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek afektif masyarakat sebagaimana dapat diihat pada Gambar 24. 111 Gambar 24. Kemampuan Afektif Masyarakat (diadaptasi dari model Taksonomi Bloom (1956) c. Keberdayaan Masyarakat berdasarkan Kemampuan Psikomotorik Hasil penilaian terhadap kemampuan psikomotorik masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Kemampuan Psikomotorik Masyarakat No 1 2 3 4 5 Indikator Peniruan (imitation) Manipulasi (manipulation) Presesi (Precesion) Artikulasi (Articulation) Naturalisasi (Naturalization) Rata-rata Skor 74.78 75.04 72.26 66.87 64.78 70.75 Kriteria Penilaian sedang sedang sedang sedang sedang sedang 112 Untuk katagore peniruan, petani termasuk mempunyai keterampilan yang sedang dengan skor 74,78. Pada tahun 2003, berdasarkan sosialisasi, promosi dan penyuluhan yang dilakukan, masyarakat banyak yang tertarik untuk menanam Jati. Kala itu berbagai jenis Jati di tawarkan seperti Jati super, Jati Plus, Jati Supra, dan Jati Emas. Berhubung keterbatasan anggaran pemerintah, maka hanya bisa dibangun 2 unit seluas 50 ha di Desa Sungai Telan dan Desa Kuala Lupak. Menurut data hasil penilaian tanaman, pertumbuhan pada tahun pertama (t+1), persentase hidupnya berkisar antara 95,83%-98,50% dengan kondisi tanaman sehat rata-rata 97,50%. Ini berarti pada umur 1 tahun tanam dikatagorekan berhasil mengacu Pedoman Direktorat Bina Program Ditjen RRL Departemen Kehutanan. Pada tahun 2004, masyarakat beramai-ramai meniru menanam Jati, baik melalui dana swadaya maupun kerjasama dengan pemodal dengan sistem bagi hasil. Hal yang sama juga terjadi pada saat gencar-gencarnya disosialisasikan penanaman Gaharu dengan kemungkinan keuntungan yang sangat fantastis di tahun 2005, masyarakat pun ikut meniru menanam Gaharu di lahan garapannya. Menurut informan Bapak Baserani menyampaikan proses peniruan masyarakat dalam menanam Gaharu sebagai berikut: Saya mengikuti pelatihan budidaya Gaharu tahun 2004 di Martapura yang diadakan oleh BPDAS Barito yang ditindaklanjuti dengan pengajuan proposal. Pada tahun 2005, proposal kami diterima dan disetujui mendapat pendanaan sebanyak 3 unit seluas 75 ha. Namun hanya 1 unit yang bisa kami laksanakan, karena 2 kelompok tani lainnya mengurungkan niatnya melaksanakan karena khawatir gagal dan menjadi pekerjaan sia-sia seperti proyek sebelumnya. Saya bersama anggota kelompok tani yang saya pimpin tetap berkomitmen menanam Gaharu, dan Alhamdulillah pada saat dilakukan evaluasi oleh penilai independen, tanaman Gaharu kami dinyatakan berhasil dengan persentase hidup 100%. Pada tahun berikutnya kami mendapat kembali kesempatan untuk mengerjakan 2 paket Agroforestri berbasis Gaharu seluas 50 ha. Melihat keberhasilan yang kami lakukan, banyak warga masyarakat Desa Sungai Telan dan desa tetangga lainnya yang tertarik dan meniru menanam Gaharu bahkan dengan dana sendiri 113 hingga saat ini di Desa Sungai Telan, Kuala Lupak, Tabunganen Kecil, dan Tabunganen Muara mencapai luas tanam sekitar 500 ha dengan jumlah tanaman tidak kurang dari 100.000 pohon (wawancara tanggal 27 Mei 2015). Sebenarnya kategori peniruan yang paling nyata adalah pembangunan Sawit Rakyat, karena dilakukan tanpa melalui proses penyuluhan dan dengan biaya sendiri. Masyarakat meniru dengan melihat keberhasilan petani lainnya dalam menanam karet. Fakta di lapangan, semakin luas kebun Sawit maka semakin tinggi kesejahteraan hidupnya. Sehingga menimbulkan keinginan warga lainnya untuk ikutikutan menanam Sawit. Berdasarkan paparan informan tersebut, dapat diyakini bahwa proses peniruan ini termasuk kemampuan psikomotorik kategori imitasi atau peniruan yang menurut (Dave,1975:82) menunjukkan perilaku yang meniru tindakan dari yang ditunjukkan orang lain, mengamati kemudian mereplikasi. Hal ini sejalan dengan teori difusi inovasi penyuluhan sebagai suatu perembesan atau penyebaran adopsi inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu lain dalam system sosial masyarakat sasaran penyuluhan yang sama (Anonim, 2000:8). Sebagian besar masyarakat yang meniru atau mengadopsi merupakan golongan yang melihat dulu keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan yang dilakukan oleh golongan yang disebut Rogers (1971) sebagai perintis atau innovator yang dalam hal ini adalah Bapak Suroso dan anggota kelompok taninya sebagai golongan penerap dini atau pelopor (early adopter). Golongan yang ikut mengadopsi ini oleh Rogers (1971) dianggap sebagai penganut dini atau early majority dan golongan penganut lambat (late majority). Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan Bandura (2001:17) tentang teori belajar social yang mengatakan bahwa proses peniruan tersebut sebagai 114 proses modelling, dimana kebanyakan perilaku manusia dipelajari sebagai hasil pengamatan. Dari berbagai proses pengamatan membentuk sebuah perilaku yang akan digunakan sebagai patokan dalam bertindak. Lebih lanjut Sugiyono dan Hariyanto (2011:66-67) menyebutkan proses modelling ditentukan oleh beberapa komponen tahapan-tahapan berupa adanya attensi (perhatian) artinya apabila ingin mempelajari sesuatu harus memerhatikannya dengan seksama, penuh konsentrasi dan kesungguhan. Selanjutnya retensi (ingatan) artinya agar modelling berhasil maka harus ada usaha dan kemampuan mengingat dan mempertahankan kegiatan atas apa yang telah diamati. Adanya motivasi berupa dorongan dan alasan-alasan tertentu yang mendorong seseorang melakukan peniruan. Aspek psikomotorik berikutnya berkaitan dengan manipulation (Dave, 1975) atau diistilahkan oleh Simpson (1972) sebagai reaksi yang diarahkan (Guided Response). Dalam hubungannya dengan kemampuan masyarakat, hal ini berkaitan dengan keterampilan mereka dalam membangun demplot Agroforestri berbasis Jati, demplot Agroforestri berbasis Gaharu, atau demplot Agroforestri berbasis Karet berdasarkan arahan, petunjuk, atau manual. Pada tahap ini biasanya pada awalnya penyuluh menyampaikan informasi tentang program kehutanan yang sedang diluncurkan, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Kebun Bibit Rakyat, atau Hutan Tanaman Rakyat. Dengan arahan penyuluh atau fasilitator, masyarakat mulai menyusun proposal sesuai skema pendanaan masing-masing. Biasanya penyuluh membuat “master file” yang berisi contoh dokumen surat permohonan, daftar nama kelompok, deskripsi wilayah yang diambil dari data profile desa, dan proposal. Kelompok tani tinggal menyesuaikan dengan kondisi masing-masing dengan bimbingan penyuluh. Menurut informan Bapak Riza Ali (penyuluh): 115 Kelompok Tani mempunyai keterbatasan dalam hal administrasi dan menyusun proposal, walaupun disetiap desa sudah memiliki perangkat komputer bantuan Pemda. Agar program bisa jalan, maka kami yang jemput bola ke desa binaan yang berminat mengajukan proposal kegiatan kehutanan. Di samping kami serahkan CD file, kami tetap melakukan pendampingan mengarahkan mereka hingga proposal diantar ke BPDAS Barito atau Dishut Barito Kuala. Kalau tidak seperti itu, sedikit sekali kemungkinan proposal bisa selesai (wawancara tanggal 5 Juni 2015). Pada tahapan kegiatan fisik, masyarakat sudah trampil melakukan pekerjaan sesuai instruksi tertulis atau verbal. Sebagai contoh, masyarakat bisa membuat bibit tanaman proyek KBR sesuai standar perbenihan tanaman hutan. Misalnya untuk jenis Jelutung dipersyaratkan bibit Jelutung Satu - Dua Payung berbatang tunggal siap tanam, batang atas (entrys) berasal dari kebun entres yang sudah dimurnikan oleh instansi berwenang dengan klon anjuran, bibit Jelutung batang bawah (rootstock) yang diokulasi sudah berumur minimal 9 bulan, umur bibit minimal 2,5 bulan (dalam polybag) berwarna hitam, ukuran minimal 25 x 13 cm, tebal minimal 0,06 mm diberi lubang, tinggi bibit minimal 50 cm, keadaan bibit bebas dari hama dan penyakit. Begitu pula bibit Gaharu harus bibit generatif berasal dari sumber benih, tinggi bibit minimal 50 cm, diameter pangkal batang bibit minimal 5 mm, media tumbuh kompak, dan kondisi bibit normal, yaitu bibit yang sehat, berbatang tunggal dan leher akar berkayu. Untuk mencapai persyaratan tersebut, petani mendapat arahan dari penyuluh langsung baik secara teori maupun praktek di persemaian. Hal lainnya berupa keterampilan menggunakan alat ukur GPS untuk membuat peta, melakukan pemberantasan gulma menggunakan herbisida (pembakaran minimal), menanam bibit pohon yang baik dan benar, menggunakan phi band untuk mengukur diameter pohon, menghitung potensi kayu, membuat pupuk kompos bokashi, memelihara tanaman hutan, mencegah dan memadamkan kebakaran hutan, membuat terasering, dan membuat biogas. Pada awalnya mendapat 116 arahan dan pendampingan dari penyuluh atau membaca manual aturan penggunaan, yang kemudian meningkat pada keterampilan tahap precision, dimana kelompok tani sudah trampil melakukan tanpa arahan atau instruksi langsung. Untuk keterampilan menggunakan GPS sudah 35% anggota kelompok yang mahir mengoperasikannya, trampil melakukan penyemprotan gulma tanpa membakar 87%, trampil menanam bibit 93,5%, trampil menggunakan phiband 86,5%, menghitung potensi kayu 18,5%, membuat pupuk organik 22,3%, memelihara tanaman hutan 32,5%, mencegah dan memadamkan kebakaran hutan 28,7%, membuat biogas 18,2%, membuat terasering 21,5%, dan trampil membuat dokumen tata usaha kayu 1 orang. Kemampuan psikomotorik berikutnya adalah artikulasi, dimana dideskripsikan sebagai kemampuan mengintegrasikan keahlian, mengkoordinasikan serangkaian tindakan, mencapai harmonisasi, dan konsistensi internal. Pada tahap ini salah satu contohnya direflesikan dalam bentuk kemampuan kelompok tani di Desa Sungai Telan membangun sistem pertanian terpadu biocyclofarming (BCF) pola agrosilvopasture secara sederhana. Bio Cyclo Farming (BCF) adalah suatu proses keterpaduan antar sektoral pada bidang pertanian yang saling memanfaatkan sisa dari proses pengelolaan dari suatu sektor, yang kemudian dimanfaatkan kembali pada sektor lainnya untuk menghasilkan suatu manfaat lain yang berguna. BCF akan dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan, yakni dengan mereduksi keberadaan limbah pada lingkungan. Sehingga dengan demikian dapat mengurangi pencemaran lingkungan, dan dapat menjaga kelestarian lingkungan disekitarnya (Utomo, 1989). Dalam hal ini petani mengintegrasikan keterampilan pengelolaan lahan dengan mengkombinasikan budidaya tanaman pangan, tanaman hutan, beternak, dan membuat pupuk dalam satu siklus yang saling berkaitan. Menurut 117 Aryadi & Fauzi (2015:553), limbah dari kegiatan pertanian, kehutanan dan peternakan kemudian dibuat kompos dan biogas untuk meningkatkan hasil pertanian dan pemenuhan kebutuhan energi. Teknologi pertanian terpadu ini dirancang sebagai suatu proses multiple cropping yang dapat menghasilkan produksi sepanjang tahun yang terdiri dari: Panen harian yang diperoleh dari telur unggas dan karet; Panen bulanan berupa hasil tanaman sayuran; Panen musiman yang diperoleh dari budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai; Panen tahunan dari budidaya sapi; Panen winduan dari hasil budidaya jati dan sengon. Keterampilan artikulasi lainnya yaitu dalam hal pembukaan lahan. Kalau dulunya dengan sistem pembakaran tidak terkontrol, maka sekarang petani sudah menggunakan prinsip-prinsip pembakaran terkontrol, dimana semak belukar yang sudah ditebas dikumpulkan dalam satu tempat kemudian dibakar dan dijaga agar jangan sampai membakar lahan lain. Mereka juga menerapkan system pembakaran “bakar balas” yaitu membakar areal terluar sedemikian rupa sehingga api menuju bagian dalam areal. Keterampilan ini terintegrasi dengan keterampilan penyemprotan lahan menggunakan herbisida, sehingga pembakaran lahan bisa diminimalkan. Kalau pun harus membakar biasanya batang, cabang dan ranting pohon yang tidak bisa disemprot. Sayangnya, pada katagore artikulasi ini hanya dilakukan oleh 34,7% responden, sedangkan selebihnya belum memiliki keterampilan tersebut. Pada umumnya keterampilan artikulasi dilakukan oleh mereka yang memang sudah dari awal termasuk katagore innovator dan penerap dini sebagaimana dijelaskan pada bagian keterampilan imitation (peniruan). 118 Katagore paling tinggi dari keterampilan psikomotorik adalah naturalization, dimana menurut Dave (1975), dideskripsikan sebagai performa tingkat tinggi, menjadi natural tanpa memerlukan banyak berpikir tentang hal tersebut. Ketika menghadapi suatu persoalan atau pekerjaan maka secara alamiah sudah mahir untuk mengatasinya, mampu merancang, menspesifikasi dan mengelola dengan baik. Kelompok masyarakat pada katagore ini memiliki kreativitas yang tinggi, tanpa tergantung dengan penyuluh atau fasilitator. Golongan masyarakat pada tingkat ini termasuk katagore sedang (skor 64,52) Tingkat kreativitas masyarakat dalam bentuk pemunculan ide-ide baru tergolong sedang, dengan nilai rata-rata 64,52, dimana sebagian masyarakat suka menyampaikan ide-idenya untuk pembangunan desanya misalnya penataan sistem irigasi yang lebih baik, namun banyak juga warga yang masih tidak bisa secara langsung merumuskan ide-idenya untuk kemajuan komunitasnya. Sebagian besar responden atau sebanyak 33.06% responden menyatakan sering menyampaikan ideide baru untuk pembangunan lingkungannya, dan sebanyak 20,97 % responden menyatakan selalu mendapatkan ide-ide baru, 8,87% responden menyatakan kadangkadang menyampaikan ide-ide baru, 15,32% responden menyatakan jarang dan sebanyak 21,77% responden menyatakan tidak pernah mendapatkan ide-ide baru (Gambar 25). 119 Gambar 25. Diagram Kreativitas Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kreativitas juga dilihat dari kemampuannya menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh. Misalnya dalam pemberantasan gulma menggunakan herbisida, kalau 100% memakai herbisida biayanya tentu akan sangat mahal. Kemudian, ada anggota masyarakat yang menambahkan pupuk urea dalam campuran herbisida, hasilnya disamping lebih murah juga waktu tumbuhnya gulma kembali setelah mati gulma akan lebih lambat. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek psikomotorik masyarakat sebagaimana dapat diihat pada Gambar 26. 120 Gambar 26. Kemampuan Psikomotorik Masyarakat (diadaptasi dari model Taksonomi Bloom versi Dave (1975) d. Keberdayaan Masyarakat berdasarkan Perilaku Sebagaimana dijelaskan pada uraian terdahulu bahwa pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan perubahan perilaku masyarakat yang diberdayakan. Berdasarkan hasil penilaian setiap komponen perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan), maka dapat diketahui rekapitulasi hasil penilaian sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Rekapitulasi Hasil Penilaian Perilaku Masyarakat No. 1. 2. 3. Variabel Tingkat kemampuan kognitif Tingkat kemampuan psikomotorik Tingkat kemampuan afektif Rata-rata Skor 71,22 70,75 52,42 64,79 Tingkat Penilaian Sedang Sedang rendah sedang 121 Berdasarkan Tabel 25, aspek pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan hutan tergolong sedang, namun tidak didukung oleh perilaku sikap yang termasuk katagore rendah. Sikap yang rendah ini disebabkan oleh beberapa faktor, namun yang paling mengemuka di tingkat masyarakat adalah masalah land tenurial yang sampai penelitian ini belum terselesaikan dengan baik. Penguasaan ketrampilan dapat menimbulkan perubahan sikap. Demikian juga dengan bertambahnya pengetahuan dapat menumbuhkan sikap yang baik terhadap materi belajar dan proses belajar. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang meliputi aspek minat, respon, semangat, jiwa kejuangan yang berkaitan dengan tata nilai/norma dan diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam bentuk sikap. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan. Dari ranah psikomotorik, masyarakat di lokasi penelitian sudah memiliki keterampilan yang tinggi dalam pembangunan hutan. Terjadinya keberdayaan pada ketiga aspek tersebut (kognitif, afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya. Masyarakat berdaya harus mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok atau organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan 122 kepentingannya. Di dalam kelompok atau organisasi, masyarakat secara bebas dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan pemenuhan kebutuhannya baik dalam penentuan sikap politiknya, pengembangan dan peningkatan skala usahanya (ekonomi), menentukan pola interaksi dan jaringan sosial maupun menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Agar mampu mengintegrasikan keempat dimensi (politik, sosial, ekonomi dan lingkungan), maka masyarakat harus memiliki sifat-sifat seperti, bebas merdeka sebagai pribadi yang luhur, memahami diri dan lingkungannya, proaktif untuk mau bersama, menganggap pihak lain sebagai mitra, jujur, adil dan bertanggung jawab serta memposisikan dirinya sebagai subjek. Keberdayaan masyarakat dari aspek perilaku di kawasan hutan KPHK Barito Kuala merupakan indikator bahwa program-program pemberdayaan selama ini masih perlu ditingkatkan. Pada hal jika dirunut sejak tahun 1988-sekarang program pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan pelesetarian hutan sudah cukup banyak, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten. Program yang sering dilakukan dan menelan biaya miliyaran rupiah itu seperti program reboisasi, pengahijauan, HTI dan sekarang berjalan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Semua program tersebut selalu mensyaratkan pelibatan masyarakat melalui kelompok-kelompok. Masyarakat di lokasi penelitian pada dasarnya memiliki kemampuan yang memadai dalam melakukan kegiatan yang sudah menjadi rutinitas dalam kesehariannya. Mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam bertani, beternak dan memahami secara baik manfaat dan status keberadaan kawasan hutan. Berdasarkan analisis data menunjukkan 94 % responden menyadari dan memahami status dan fungsi hutan serta akibat yang ditimbulkan jika hutan rusak dan 123 memahami bahwa sistem bertani yang dilakukan saat ini tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan keluarganya jika sarana dan prasarana pendukung tidak tersedia. Secara umum pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya masyarakat untuk mengenal, menggali dan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan berbuat sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia di dalam melaksanakan tanggungjawab dan menerima serta memanfaatkan hak-haknya sebagai komunitas manusia dan warga negara. Pemberdayaan dalam penelitian ini merupakan proses pembelajaran yang diberikan kepada individu terutama orang dewasa agar terjadi perubahan perilaku. Dalam pendidikan orang dewasa, pandangan tentang orang dewasa itu bukanlah seperti cangkir kosong yang tidak mengetahui apa-apa melainkan “secangkir air “ yang memiliki pengetahuan dalam bentuk pengalaman. Mengacu pada pengertian penyuluhan kehutanan itu sendiri yang merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Maka jelaslah bahwa dalam penyuluhan tujuan pendidikan tidak hanya pada kognitif saja tapi juga pada peningkatan kemampuan afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, taksonomi yang lebih tepat adalah taksonomi Bloom. Sebagaimana disebutkan oleh Wilson (dalam Sumaryadi, 2005) tentang empat tahapan dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu tahap awal berupa penyadaran (awakening), tahap kedua sudah mengarah kepada pemahaman (understanding), tahap ketiga sudah menuju pada ranah pemanfaatan (harnessing) dan tahap yang terakhir yaitu menjadikan proses-proses dalam pemberdayaan 124 masyarakat sebagai suatu kebiasaan (using), maka perkembangan proses pemberdayaan masyarakat di desa lokasi penelitian baru pada tahap penyadaran, kecuali di Desa Sungai Telan yang sudah mengarah kepada pemahaman. Setelah masyarakat menyadari dan mengerti tentang pemberdayaan maka mereka memutuskan untuk menggunakannya bagi kepentingan komunitasnya. Untuk dapat dikatakan mencapai tahapan pembiasaan, masyarakat masih membutuhkan lebih banyak pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas mereka sehingga dapat dinyatakan siap untuk secara penuh bertangggungjawab dalam pengelolaan pembangunan di tingkat komunitas atau dalam lingkup desa. Selama ini tingkat ketergantungan masyarakat desa di lokasi penelitian untuk minta diarahkan oleh fasilitator pendamping masih tinggi, dimana ketika peran fasilitator berkurang maka aktivitas dalam masyarakat pun belum benar-benar dapat berjalan secara mandiri. Ditinjau dari sisi individu masyarakatnya, maka sebuah komunitas dapat dikatakan berdaya apabila masing-masing individu masyarakat telah memahami konsep pemberdayaan yang ada sehingga dapat tergerak untuk berperan aktif di dalamnya dan lama kelamaan hal tersebut menjadi sebuah budaya dan mendarah daging dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Individu-individu masyarakat Desa lokasi penelitian yang selama ini aktif terlibat atau peduli terhadap program pemberdayaan masyarakat masih didominasi oleh tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, aktifis pemuda, perangkat desa dan tokoh perempuan, sedangkan keterlibatan individu lain seperti warga miskin dan kelompok rentan lainnya masih kurang, bahkan bisa dikatakan sedikit sekali terlibat. 125 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sesuai dengan tujuan dari penelitian yang ini maka berdasarkan hasil dan pembahasan yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut 1) Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau meningkatkan kualitas masyarakat harus memperhatikan atau memahami kondisi masyarakat termasuk aset-aset yang ada di dalamnya. Kondisi modal sumber daya ditandai dengan sarana fisik di sekitar kawasan hutan masih cukup tersedia (skor 57,05), modal sumberdaya manusia tergolong sedang (skor 54,62), modal sosial termasuk kategori sedang (skor 65.95), modal finansial tergolong sedang (56,89), dan modal sumberdaya hutan termasuk tinggi (78,73). 2) Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya melihat hutan sebagai sumber daya potensial saja, melainkan memang merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal meraka. Bahkan ada sebagian masyarakat tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai spiritual, yakni percaya bahwa hutan atau komponen biotik dan abiotik yang ada di dalamnya sebagai obyek yang memiliki kekuatan dan/atau pesan supranatural yang mereka patuhi. Bentuk interaksi masyarakat yang berdomisili di dalam wilayah KPHK Kuala Lupak adalah memungut (mengekstraksi) hasil hutan (kayu dan bukan kayu), 126 memanfaatkan lahan (kebun buah, perladangan, sawah, wanatani pekarangan, dan tambak ikan). 3) Hasil evaluasi kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap kemampuan penyuluh kehutanan, masyarakat yang diberdayakan, dan proses pemberdayaan. a) Kemampuan penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan menunjukkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik tergolong sedang. b) Perilaku masyarakat yang diberdayakan dilihat dari aspek kognitif dan psikomotorik tergolong sedang, sedangkan kemampuan afektif rendah. c) Keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan masih rendah yang ditunjukkan dari katagore identifikasi masalah, perencanaan, organisasi dan evaluasi. B. Saran 1. Saran Teoritik Saran teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pembelajaran perlu menggunakan teori-teori pembelajaran yang menghasilkan perubahan perilaku positif. Dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi yang dikemukakan Edward Lee Thordike (1928) dalam (Tomlinson, 1997:368)maka respon masyarakat untuk bersikap menerima atau tidak terhadap program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan harus distimulus dengan pemberian peran dalam proses pemberdayaan, pengakuan atas lahan kelola masyarakat, penghargaan atas 127 prestasi, dan peran aktif pelaku pemberdayaan sebagai ujung tombak pembangunan kehutanan. Dengan menggunakan teori pengkondisian operan (operant conditioning) yang dikemukakan B.F Skinner (1904-1990) dapat meningkatkan sebuah perilaku dan mengulanginya kembali melalui adanya penguatan (reinforcement), seperti penghargaan,hadiah, dan pujian. Dengan teori belajar Sosial (social learning) yang dikemukakan Albert Bandura (Bandura, 2001:11), pembelajaran dalam pemberdayaan dapat dilakukan melalui aktivitas peniruan (imitation) dan penyajian-penyajian contoh perilaku (modelling). b) Perlunya menambahkan ranah relasisebagai bagian dalam proses pembelajaran dalam taksonomi Bloom (1956) dan (Krathwohl, 2002)yang sebelumnya meliputi ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).Karena kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik seseorang terbatas pada faktor internal yang berkaitan dengan perasaan dan proses merasakan dalam diri seseorang (personal), padahal dalam pembelajaran juga perlu menghasilkan kemampuan sosial (komunitas/masyarakat) berkaitan erat dengan kepedulian antar sesama, kerjama, membangun hubungan yang harmonis, dan proses interaksi seseorang dengan orang lain di sekitar atau lingkungan sekitar. Kemampuan seseorang untuk merasakan hal-hal positif dan negatif dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap sikap seseorang. c) Dalam pemberdayaan harus dimulai dengan mengedepankan hati, emosi, perasaan (sikap), karena walaupun sudah memiliki pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik) yang tinggi maka pengelolaan hutan tidak akan berjalan dengan baik bahkan mengalami penolakan sebagaimana ditemukan 128 dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, point utama yang dapat mendorong sikap (hati) masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan adalah penyelesaian konflik lahan hutan, disamping tentu saja faktor penyebab lainnya. Apabila hati telah menerima dengan baik, maka pengetahuan dan keterampilan akan dapat dengan mudah diterima. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat yang sikap (hati)-nya mau menerima program kehutanan memiliki pengetahuan dan keterampilan kehutanan yang lebih dibandingkan dengan mereka yang hati-nya menolak. Hasil penelitian ini memperkuat proposisi yang dikemukakan Aryadi (2012:202), bahwa keberadaan Q (kalbu) perlu ditambahkan dalam pokok pikiran Mead dalam tahapan tindakan yaitu Mind, Self and Society. 2. Saran Praktis Beberapa saran praktis dari hasil penelitian ini yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan oleh pihak-pihak terkait antara lain: 1) Diperlukan penguatan (reinforcement) terhadap penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan dan masyarakat yang diberdayakan melalui penyuluhan dan pelatihan berkaitan dengan teknis dan non teknis kehutanan, penghargaan atas prestasi, dan peningkatan peran dalam setiap proses pemberdayaan 2) Dalam setiap desa perlu dibangun areal demplot pembangunan hutan yang terjamin keberhasilannya dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya hutan (forest resource management) karena menurut teori belajar sosial Bandura dan teori pengkondisian operan, masyarakat akan lebih tertarik meniru praktik-praktik pengelolaan SDH manakala demplot (modelling) yang dibangun dipandang masyarakat sukses dan menguntungkan 129 3) Perlu ada penelitian mendalam mengenai kesesuaian jenis tanaman dan daya dukung lahan pada areal yang direkomendasikan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan pada masing-masing desa. 130 DAFTAR PUSTAKA Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Itervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta. Akhdiyat, M. 2009. Aktvitas Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di dalam dan sekitar hutan. Jurnal Hutan Tropis Borneo 10 (25): 132-139 Anonim. 2004. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan. Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta Aryadi, Mahrus. 2015. Hutan Rakyat:Fenomenologi Adaptasi Budaya Masyarakat. UMM Press. Malang Asley C dan D. Carney, Sustainable Livelihood: Lessons from Early Experience, London DFID, 1999.,hlm.25-60. Awang, S. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta. Bandura, A., 2001. Social cognitive theory: An agentic perspective. Annual review of psychology, 52(1), pp.1–26. Available at: http://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.psych.52.1.1. Baslemah,A. dan Syamsu.M. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa (cetakan I). PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. Bloom,B.S. (ed.). 1956. Taxonomy of Educational Objectives:The Classification of Educational Goals dalam Handbook 1: Cognitive Domains. McKay. New York Budiningsih, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Airlangga University Press. Surabaya Bruenig, E.F., 1996, Conservation and Management of Tropical Rainforests, Cambridge University Press, Wallingford, xxii-339 Brundage,D.H. 1980. Adult Learning Principles and their Application to Program Planning. Ministry of Education. Ontario Byrne, B.M. 2009. Structural Equation Modeling With AMOS: Basic Concepts, Applications, and Programming (2nd ed., p. 418). New York: Routledge Taylor & Francis Group. doi:10.4324/9781410600219 Conway, G.R, 1983, Agroecosystem Analysis, ICCET Series E No ! 1983, Centre for Environmental Technology and Department of Pure and Applied Biology, The Imperial College of Science and Technoogy, London SW7 ILU, United Kingdom Elvida YS & Iis Alviya. 2009. Implementasi Dan Strategi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Kuala Lupak. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 6 No. 1, April 2009 : 57 - 70 131 Fauzi, H. 2009. Profil Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat Di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Hutan Tropis Borneo 7.(28): 63 – 82 Gunawan, I., & Palupi, A. R. (2013). Taksonomi Bloom-Revisi Ranah Kognitif:Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Penilaian. Program Studi PGSD FIP IKIP PGRI Madiun. Retrieved from http://www.ikippgrimadiun.ac.id/ejourna Ilham, Wahyuni,. 2011 Rancang Bangun KPHK Kuala Lupak. Balai Konservasi Sumberdaya Alam. Kuala Lupakbaru Irham,M. dan Novan,A.W. 2013. Psikologi Pendidikan:Teori dan Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.p.328 Krathwohl, D.R., 2002. A Revision of Bloom’s Taxonomy: An Overview. Theory Into Practice, 41(4), pp.212–218. Available at: http://www.tandfonline.com /abs/. doi 10.1207/s15430421tip4104_2. Levis, R.L. 2013. Metode Penelitian Perilaku Petani. Penerbit Ledalero. Maumere.p.230 Mardikanto, T. 2015. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael, 1992, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Rahman, A. (2010). Pengembangan Perangkat Penilaian Hasil Belajar (3rd ed.,). Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. p. 432 Sardjono, Mustofa Agung. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jogjakarta. pp. 300. Simon, H. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan Sosial, Yayasan Pusat Studi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Penerbit Bigraf Publishing. Yogyakarta Siyamta. 2013. Ranah Kognitif Dalam Pembelajaran. Program Studi S3 Teknologi Pembelajaran Program Pasca Sarjana Universitas Negeri. Malang (tidak dipublikasikan). Skinner,B.F. 1965. Science and Human Behavior. A Division of Simon & Schuster Inc. New York. Maufur (Penterjemah). 2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press Suciati. 2005. Taksonomi Tujuan Instruksional (edisi kelima). PAU-PPAI Universitas Terbuka. Jakarta 132 Tomlinson, S., 1997. Edward Lee Thorndike and John Dewey on the science of education. Oxford Review of Education, 23(3), pp.365–383. Available at: http://links.jstor.org/sici?sici=03054985%28199709%2923%3A3%3C365%3AELTAJD%3E2.0.CO%3B2-8. 133 Lampiran 1. Susunan organisasi tim peneliti dan pembagian tugas Nama dan akademik Hamdani Fauzi,S.Hut,M.P Gelar Bidang Keahlian Kehutanan Sosial Budidaya Hutan (Agroforestri) Curahan Waktu (jam/mingg u) 10 Uraian tugas Tugas peneliti terkait dengan manajemen penelitian adalah: • Menjamin setiap peneliti yang terlibat melakukan tanggungjawab penelitiannya dengan baik seperti yang disepakati. • Menjamin bahwa semua aktivitas seperti tertulis pada research plan dilaksanakan dengan memuaskan dan tercapai tujuannya. • Merintis dan menjaga kolaborasi dengan semua pihak yang terlibat secara tidak langsung dalam penelitian ini. • Menjamin bahwa laporan penelitian dan keuangan dilakukan dengan tepat waktu dan akuntabel seperti yang disyaratkan. • Menjaga kerjasama antara semua pihak yang terlibat dalam penelitian pada saat penelitian dilaksanakan hingga selesai. Tugas Ketua Peneliti yang terkait dengan Teknis Penelitian: • Penelusuran informasi dari narasumber terutama 134 penyusuna model pemberdayaan Dr.Ir.H.Mahrus Aryadi,M.Sc Dra. Titien Maryati,M.M Sosiologi Pedesaan Agroforestri 8 • Mengkoordinasi proses pengumpulan data • Bertanggung jawab pada survey primer Sosiologi Pedesaan 8 • Bertanggung jawab pada data sekunder • Mengkoordinasi proses entry data 135 Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian 136 Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian 137 Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian Gambar 1. Koordinasi dan Konsultasi dengan Kepala BKSDA Kalimantan Selatan Gambar 2. Pertemuan dengan warga dan tokoh masyarakat Desa Sungai telan 138 Gambar 4. Wawancara dengan responden penelitian di Desa Sungai Telan 139