Uploaded by fauzia_la

Ikan Patin

advertisement
Fauzia Luthfi Aliefa
XI IPS 2
Ikan Patin, Sapu, dan Kamar Mandi
Tugas Bahasa Indonesia
Tahun Ajaran 2018 – 2019
Ikan Patin, Sapu, dan Kamar Mandi
Masih terngiang dengan jelas semua peristiwa itu, mulai dari kata – kata, perilaku, tatapan.
Semuanya masih ku ingat sangat jelas, terekam semua kejadian – kejadian itu, yang membentuk
seorang Fauzia menjadi Fauzia yang sekarang semua orang kenal. Mari kita mulai.
Aku adalah anak yang selalu periang kata orang, cerewet, gak bisa diem katanya. Jarang
atau bahkan tidak pernah menunjukan amarahnya, tapi sebenarnya aku mempunyai alasan
tersendiri. Ketika umurku 2 tahun, aku diurus oleh pembantu rumah yang bernama Isah, keluarga
kami mempunyai aturan untuk memanggil siapapun yang bekerja dirumah dengan sebutan yang
lebih enak dipanggil seperti, bibi. Ya, maka kita memanggil pembantu baru itu, Bi isah.
Senang rasanya saat diriku tahu akan ada sosok yang lebih tua menaungi diriku sepulang
sekolah, karena Bunda dan Ayah pergi bekerja dan selalu pulang malam, untuk memenuhi semua
kebutuhan ku dan adikku. Semua berjalan begitu sempurna, tidak ada kejadian aneh yang terjadi.
Hingga suatu hari aku merasakan perubahann drastis dari Bi Isah. Tatapan tak enak itu, tatapan
galak nan seram yang ia berikan ketika aku pulang dari sekolah ku. Dengan tegas ia menyuruhku
untuk duduk di ujung ruang tengah untuk makan siang.
Disodorkannya ikan patin bumbu kecap yang hampir setiap hari aku makan selama
bertahun – tahun, yang membuatku trauma dengan ikan patin. Sudah 10 tahun aku tidak pernah
merasakan lagi rasanya memakan ikan itu, ikan yang memberikan diriku rasa takut. Dulu aku
hanya mengikuti perintahnya, takut dianggap tidak sopan. Tapi mungkin aku mengunyah ikan
amis itu terlalu lama, Bi isah berteriak keras dan memerintahkan aku untuk mempercepat
makanku, aku melihat adikku di pangkuannya tersenyum. Umur 4 tahun apa yang bisa dilakukan
oleh seorang anak yang sedang memakan ikan patin bumbu kecap amis? Makan komando?
Sehingga kesabaran Bi Isah tiada lagi, lalu ia menyuapiku dengan kasarnya. Satu sendok
dengan tumpukan nasi segunung, aku masukan ke dalam mulut tapi karena mulutku ini terlalu
kecil dulu aku mengemutnya. Tidak peduli, Bi Isah menyuapiku lagi, jeda nya tidak masuk akal.
Bisa 30 sampi 40 detik, padahal aku belum selesai mengunyah dan menelan semua makanan itu.
aku pun memuntahkan semuanya, butiran nasi yang tadinya sedang ku kunyah sekarang ada di
bajuku.
Aku merasakan ketakutan yang sangat besar, mau diapain aku? Di pukul diriku oleh Bi
Isah, dimarahi, “tidak berguna kamu jadi anak” aku didorong dan disuruh mengelap muntahku
sendiri. Aku menangis, tetapi aku baru mengerti sekarang apa gunanya dulu aku menangis? Karena
tangisan itu tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, Bunda atau Ayah tidak akan datang,
mereka sibuk, bekerja, untukku. Ku usap semua muntahan itu dengan bajuku sendiri, ku buka
bajuku dan kuusap lantai itu. Badannku ditodong oleh sapu, Bi Isah memerintahkan diriku untuk
pergi ke kamar mandi, katanya untuk membersihkan semua muntahan itu. Sesampainya di kamar
mandi aku disuruh berdiri di tengah, ia menuangkan satu ember penuh berisi air dari bak mandi.
Disiram lah diriku oleh nya, terkaget, terengah, susah bernafas, ku kira satu ember itu sudah cukup,
ternyata ia mengguyurku berkali – kali.
Dadaku sakit, susah bernafas, badan serasa lengket, menjijikan, masih ingat ketika diriku
mendengar diriku menangis tersedu – sedu, meminta maaf tidak akan mengulangi “kesalahan” itu.
Tapi mungkin Bi Isah ingin memberiku pelajaran, aku di kunci di kamar mandi, sendiri, menangis,
sisa – sisa muntahan itu masih menempel di baju. Sebersalahkah diriku sampai – sampai ia
mengurung diriku di kamar mandi sendiri? Salah satu ketakutanku yang terbawa hingga sekarang
umurku yang ke 16 tahun, takut sendirian. Aku tidak pernah suka sendirian, sepi, hening,
menyeramkan. Yang mungkin semenit terasa seperti berjam – jam, jari jariku sudah mengeriput.
Aku duduk termenung dilantai kamar mandi, menangis, tidak pernah berhenti bernangis,
hingga pintu terbuka sedikit, adikku yang masih berumur 2 tahun mengintip. Dia terlihat sedih,
memanggil diriku dengan sebutanku di rumah “teteh..” lirih suaranya, aku berhenti nangis dan
tersenyum melihat adikku, agar ia tidak sedih. Tapi tiba – tiba Bi Isah menggendong adikku pergi,
membawanya ke kamar, ia pun berteriak, dan akupun melanjutkan kembali tangisanku. Setelah
rasanya aku dikurung seharian aku dibukakan pintu, dilempar baju rumahku dan Bi Isah
memerintahkan diriku untuk mengganti baju, sebentar lagi Bundamu pulang. Aku pun tersenyum
lega, Bunda akan pulang.
Aku menunggu dengan semangat, berdiri di depan pintu rumah ketika melihat lampu motor
milik Bunda dating dan parkir persis di depan pintu rumahku. Aku memeluknya begitu erat, dan
aku mulai menangis lagi. Penderitaan ku untuk hari itu telah berakhir, aku telah bebas, untuk
sementara. Dari bayang – bayang menyeramkan itu, aku sementara bebas dari cacian dan kata –
kata menyakitkan pembantuku itu. Fauzia kecil selalu merasa lega, ketika maghrib tiba.
Semua kejadian itu tidak terjadi satu, dua kali. Selama lebih dari 4 tahun aku merasa
terperangkap dalam satu sosok bayangan besar yang selalu membuat diriku kecil. Dari cara dia
berbicara denganku, merendahkan ku, membandingkan diriku dengan adikku atau bahkan dengan
anakknya sendiri. Bi Isah selalu ada di situ, beliau tidak pernah pergi dari aspek hidupku. Itu
kenapa terkadang diriku suka berpikiran negatif, tidak pernah merasa bahwa diriku sendiri cukup,
kurangnya percaya diri, dan banyak hal lain yang tidak pernah kusebutkan atau kutunjukkan ke
banyak orang.
Semua orang pasti bertanya, ga ngasih tau Ayah atau Bunda. Sudah, sudah ku kasih tau,
dan mereka tidak percaya awalnya. Jikapun esoknya aku memberi tahu, siangnya Bi Isah akan
melakukan hal yang sama, ikan patin, sapu, dan kamar mandi. Ayah dan Bunda dulu tidak pernah
percaya dengan apa yang telah wanita itu lakukan kepadaku. Ia sangat baik kepada adikku, lalu
kenapa aku tidak? Sampai saat ini aku tidak pernah tau alasan dia selalu menyudutkanku,
membuatku merasa seperti orang yang tidak pernah berguna, membuat diri ini sanagat sensitif
terhadap perkataan – perkataan orang, aku tidak pernah terbiasa.
Ditinggal sendirian di rumah ketika umurku 5 tahun, iya. Dulu aku sering ditnggal
sendirian, karena adikku sedang terapi, tidak tau untuk berapa lama, tapi rasanya seperti bertahun
tahun, dirumah tidak ada makanan, aku kelaparan. Ingat sekali panasnya air yang telah ku rebus,
aku membuat telur rebus di mangkuk dengan air panas yang airnya ku ambil dari bak mandi. Aku
kelaparan, hanya ada telur waktu itu, tidak tau cara memecahkannya aku asal saja. Aku makanlah
telur ‘rebus’ itu, masih ingat sekali rasanya aneh. Sepulangnya ade dan Bi Isah dia memarahi ku,
Lalu kejadian itu terulang lagi, tapi kali itu tidak ada ikan patin, hanya sapu dan kamar mandi.
Dulu aku sering berpikir apakah aku akan bebas dari semua ini, waktu kelas 1 SD aku
pernah berpikir, haruskah aku meninggalkan rumah? Atau bahkan menghilang dari dunia ini?
Apakah bisa Ayah, Bunda, Ade hidup tanpaku? Ini rahasia terbesarku, keinginan seorang anak
berumur 5 tahun pada waktu itu yang ingin mengakhiri hidupnya, mungkin dulu aku tidak tau
bagaimana caranya, atau mungkin aku tidak pernah mengerti apa efek yang ditimbulkan ketika
aku melakukan hal seperti itu.
Tapi sekarang aku sangat mengerti semua kejadian itu, Bi Isah telah membuatku menjadi
orang yang seperti sekarang, mungkin aku tidak akan pernah disukai oleh semua orang. Tapi aku
sedang menjalani hidup ini sebaik – baiknya.
Aku sangat berterimakasih banyak untuk Bi Isah, yang telah mengajarkanku bagaimana
rasanya dikucilkan, dicaci maki, di rendahkan, di anggap tidak ada gunanya. Karena semua itu
berguna di hidupku sekarang, walau terkadang aku masih suka jatuh ke jurang yang dalam, tapi
perlahan aku bisa mendaki lagi melewati tangga yang mungkin jauh, lama, tapi aku yakin aku bisa
menghadapinya.
Terimakasih Bi Isah, karena semua kejadian itu. Aku bisa menjadi orang yang lebih
bersyukur, menghargai orang, berempati, tidak ingin merepotkan orang lain, mungkin ini semua
adalah didikanmu yang keras itu. Semua pukulan, kata – kata, tetesan air yang mengenai tubuh
mungil itu, mungkin itu adalah caramu untuk mengajarkanku bahwa hidup itu keras. Anak kecil
yang dulu sering dipanggil Luthfi mungkin belum mengerti, membencimu, tapi Luthfi yang
sekarang ingin menyampaikan beribu – ribu terimakasih.
Aku masih belajar, masih mencoba untuk memperbaiki masalahku sendiri, masih bimbang,
atau mungkin aku masih tidak berguna seperti apa yang kau katakan setiap hari dulu. Tapi
terimakasih, mungkin Luthfi tidak akan seperti ini jika bukan karena Bi Isah. Salam untuk Bi Isah
yang sudah berbahagia dengan anak – anaknya di Banjarmasin sana. Aku doakan hidup Bibi
senang. Doakan hidupku senang juga ya, titip salam untuk anak Bibi yang Bibi sangat banggakan
itu. Dari Luthfi.
Download