Kepada Minister, seluruh Dewan Definitores, Team Artistik, para Pelaksana Karya Pelayanan dan keluarga Ancilla Domini, pax eT bonum. Surrexit Dominus vere, alleluia! Et apparuit Simoni, alleluia! Pada hari Senin pagi dalam Oktaf Paskah, walaupun tidak pagi-pagi benar, malahan dapat dikatakan kesiangan, saya terbangun dengan badan masih pegal-pegal dan mata berat. Melihat seri indah cahaya matahari dan kehangatannya, mengingatkan saya akan terang Sang Kristus yang Bangkit. Lalu saya melihat di atas meja yang ada di samping ranjang saya, berdiri Salib Kristus, kenangan akan Sengsara-Nya dan terlihat di sana daun palma kering yang tersemat pada salib itu. “Padahal kan baru 1 minggu yang lalu tuh palma diberkati,” begitu pikir saya. Tak terasa, 8 hari sudah berlalu sejak Minggu Palma, ketika daun palma itu saya potong pagi-pagi benar bersama istri saya sebelum pergi menghadiri Misa Minggu Palma. Begitu cepatnya palma itu layu. Begitu cepatnya kemuliaan duniawi ini kering dan berlalu. Sic transit gloria mundum, demikianlah berlalu segala kemuliaan duniawi. Dengan daun-daun palma itu, putra-putri Yerusalem memaklumkan bahwa Yesus dari Nazareth itu sebagai raja atas mereka dan bangsa mereka. Raja yang akan membawa mereka bebas dari penjajahan bangsa Romawi. Raja yang berderap masuk ke Yerusalem untuk memulai sebuah perjuangan melawan bangsa penjajah, Raja yang diurapi dan direstui Allah semacam Musa yang di waktu lampau membebaskan mereka dari perbudakan. Itulah yang dikatakan oleh palma itu di Yerusalem 2000 tahun yang lalu. Demikianlah palma itu menembus sejarah sebagai kenangan akan harapan bangsa Israel saat itu. Demikianlah palma itu digunakan Gereja untuk menghadirkan kembali peristiwa itu. Demikianlah palma itu mengingatkan bahwa kita acap kali menganggap Yesus Tuhan tetapi Tuhan menurut versi kita, Tuhan menurut keinginan kita, Tuhan sesusai kebutuhan kita; bukan Tuhan yang sejati, Tuhan yang jalan dan rancangan-Nya mengatasi jalan dan rancangan kita seperti tingginya langit dari bumi. (Bacaan V, Misa Malam Paskah). Lalu apakah jalan dan rencana Tuhan? Yesus berderap ke Yerusalem untuk Salib, untuk berjalan di Jalan Salib. Demikianlah Kisah Sengsara Tuhan memahkotai Liturgi Hari Minggu Palma. Demikianlah Jumat Agung menjadi pusat dari Tri Hari Suci Paskah. Yesus tahu bahwa SAAT-NYA sudah tiba, Ia berderap masuk ke Yerusalem, Ia mengasihi para murid-Nya sampai sehabisnya, Ia mewariskan Ekaristi dan 6 Sakramen lainnya pada Gereja melalui para Rasul dan Ia merangkul Salib-Nya dan memikul dosa kita. Mungkin, oleh karena itulah, kita menyelipkan daun palma itu pada salib, kita menyerahkan kemuliaan dunia yang kita inginkan ke atas Salib Yesus, kita mempersatukan keberhasilan dan cita-cita yang kita harapkan pada Salib Yesus, kita meletakkan segala harapan yang ada dalam hati di belakang Salib Yesus. Mengapa demikian? Karena dengan iman, kita ketahui bahwa ketika dibaptis, kita dipisahkan dari dunia ini oleh Salib, sama seperti bangsa Israel (bangsa terpilih, Gereja Allah) terpisah dari bangsa Mesir (tiran penjajah, si Iblis yang jahat) oleh tiang awan dan tiang api (Salib Yesus). Laut Merah (pembaptisan dan Darah Kristus) menjadi sarana keselamatan bagi kita, tetapi celaka bagi mereka yang menolak Kristus. Kita bukanlah lagi milik dunia. Kita bukanlah hidup bagi kita atau bagi sanak saudara kita. Tetapi kita telah mati dan mendapatkan hidup dalam Kristus maka kita hidup hanya untuk Dia dan dalam Dia yang telah mengalahkan maut dan dunia, Dia yang telah memikul dosa kita dan mati demi kita, Dia yang telah rela menderita dan mencintai kita sehabisnya. Maka pagi hari ini, sekali lagi, saya teringat pembaptisan saya. Saya teringat siapakah diri saya dan untuk siapa saya hidup. Saya bangun dengan sebuah harapan baru bahwa pada hari ini Tuhan bertindak. Sebuah perayaan iman yang perlu dinyatakan dalam tindakan nyata. Bagi Tuhan, tidak ada kemarin, tidak ada esok, setiap hari adalah “hari ini”, setiap hari adalah suatu “hari ini” yang senantiasa baru. Pada hari ini, Tuhan mendahului saya ke Galilea, ke awal panggilan hidup saya, saat saya mati bagi dunia dan mau hidup bagi Kristus. Suatu tantangan besar untuk melawan dunia dan mengikuti Kristus. Tetapi saya tidak ingin takut, saya tidak ingin gentar, saya tidak ingin mundur. Karena saya tahu, setiap hal baik yang saya lakukan adalah karya-Nya dalam dan melalui diri saya. Karena saya tahu, Ia tidak meninggalkan saya dan segala hal yang saya lakukan adalah kehendak-Nya dan segala yang Ia lakukan tidaklah ada yang sia-sia. Karena saya tahu, meskipun saya jatuh dan gagal, setiap kejatuhan dan kegagalan itu berharga, karena Ia sudah jatuh dan gagal bagi saya. Maka saya bangun hari ini, dengan sebuah iman yang diteguhkan dan harapan yang pasti untuk terus mencinta, untuk berani mencinta, untuk merengkuh salib dan berani gagal. Karena hidup saya di dunia ini adalah sebuah Jalan Salib, Via Dolorosa, Jalan Dukacita untuk dapat sampai pada Paskah di Surga, tempat tinggal saya yang sejati, kampung halaman saya. Ya, saya berani menjalani Via Dolorosa ini, berderap memasuki Yerusalem ini, karena saya sudah menggantungkan palma saya pada Salib-Nya dan karena saya tahu bahwa Ia mencintai saya dan Cinta-Nya lebih kuat dari maut dan segala yang ada di dunia ini. Memegang tangan lembut Bunda Maria dan Salib Kristus, saya berani berjalan di kegelapan dunia yang penuh ketidak-pastian, liku, hambatan dan tantangan ini karena yakin, pada saatnya nanti, ketika saya sudah disalibkan bagi dunia ini dan dunia ini bagi saya, saya akan melesat bersama Kristus yang Bangkit ke tanah air surgawi. Setelah perjuangan dan pergulatan ini, di akhir hidup saya, Malaikat Pelindung saya akan menggenggam tangan saya dan membumbung tinggi bersama, ia akan membawa saya ke tempat yang telah Tuhan tunjukkan itu dan ia akan berkata: “Haec sunt enim festa Paschalia, inilah Pesta Paskah!” Terima kasih telah bersama melalui Pekan Suci, dengan latihan-latihan yang intens dan persiapanpersiapan yang rumit. Terima kasih atas jerih payah, usaha, pengorbanan, suara dan upaya yang sudah diberikan. Terima kasih atas kesempatan boleh melayani bersama sebagai paduan suara. Terima kasih atas segala kisah, senyum, tawa canda, keringat, kekecewaan, amarah, lelah, kehilangan, kebersamaan dan cinta yang telah dibagikan. Terima kasih atas Kamis Putih yang khusyuk dan penuh cinta, pantas untuk mengiringi cinta Tuhan yang Ia curahkan sehabisnya. Terima kasih atas Jumat Agung yang khidmat dan menyentuh, tepat untuk mengiringi pengorbanan Tuhan yang paripurna. Terima kasih atas Vigili Paskah yang meriah dan luar biasa, pas sekali untuk memahkotai Triduum Paskah dan mengiringi kebangkitan Tuhan. Tepuk tangan di akhir Triduum Paskah itu adalah tanda bahwa panggung untuk saya sudah berakhir dan selesai. Terima kasih atas suatu akhir yang indah dan awal untuk sesuatu yang baru. Tidak akan ada lagi tugas pelayanan bersama kalian di bawah aba-aba saya. Selamat berjalan dalam lorong gelap yang penuh tantangan, prahara dan hambatan. Janganlah takut dan gelisah. Tuhan beristirahat, tetapi Ia tidak berhenti mencipta dan mencinta. Ia tinggal di makam kosong, tetapi Ia tetap berkarya dan menyelamatkan. Kristus sudah menang dan kita akan mengalahkan dunia berkat jasa-jasa-Nya! Semoga Tuhan berkenan membalas segala kebaikan saudara semua dan memaafkan segala kekurangan dan kesalahan yang terlanjur dilakukan. Selamat Paskah. Bandung, 6 April 2015 Hari Senin dalam Oktaf Paskah L. Benedictus Giuseppe-Maria Heryawan Cahyana