Uploaded by Elsys Saragih

REVIEW MATERI NEUROSAINS KOGNITIF

advertisement
EL SYAFIRA SARAGIH
17410106
PSIKOLOGI KOGNITIF F
REVIEW MATERI NEUROSAINS KOGNITIF
“Beautiful is what we see, more beautiful is what we know,
most beautiful, by far, is what we don’t.”
Addison Anderson
Neurosanins, mendengar namanya saja membuat beberapa orang menjauhi bahasan
ini karena dinilai terlalu berat dan susah. Meski tidak sepenuhnya salah, mengenal lebih jauh
neurosains membuat kita mengenal lebih dekat tentang manusia, dengan kata lain, kita.
Meski masih terdengar jarang di Indonesia, neurosains sebagai sebuah ilmu yang
mempelajari tentang otak manusia sudah berlangsung sejak zaman Yunani dahulu. Akan tetapi
neurosains berdiri menjadi sebuah disiplin ilmu dapat kita jejaki sekitar tahun 70-an. Yakni
sejak berdirinya society for neuroscience di Amerika. Artinya, semanjak manusia menyembah
Zeus yang membuang Hercules, semenjak Narccicus mati karena bayangannya dan semenjak
Medusa dikutuk secara tidak adil dengan rambut ularnya, manusia sudah memikirkan apa yang
ada di tubuh mereka dan bagaiamana mereka bisa memilih antara dua hal yang berbeda.
Neurosains berasal dari kata neuro (sistem saraf) dan science (Ilmu). Jadi,
neurosains
adalah
ilmu
yang
mempelajari
tentang
perilaku
manusia
dengan
memberi perhatian pada sistem saraf, terutama otak. Nerousains merupakan disipin ilmu yang
mempelajari tentang saraf neuron yang ada pada otak.
Serangkaian mekanisme kerja otak tersebut merupakan kajian neurosains yang
menurut Harun (2003) mengkaji kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi,
ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran.Selain itu, neurosains mengandung kecerdasan
emosional untuk menggambarkan kemampuan memahami perasaan dan mengendalikan
perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Lewat beberapa definisi di atas dapat kita ambil point jika, neurasains bukan sematamata ilmu yang memelajari sistem saraf dan otak, tetapi juga bagaimana manusia mengambil
keputusan, mengingat, bertingkah laku, dan bagaiaman kecerdasan emosional manusia
berkerja. Namun, perkembangan neurosains tidak berhenti sampai kata neurosains saja. Ada
sebuah gebrakan baru dengan menggabungkan psikologi kognitif dengan neurosains hingga
menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang dinamakan neurosains kogitif.
Terdapat berbagai definisi tentang neurosains kognitif. Nerosains kognitif adalah studi
tentang hubungan antara proses kognitif dan aktivitas otak. Neurosains kognitif adalah
pendekatan dalam psikologi kognitif yang memusatkan kajiannya pada otak. Neurosains
kognitif adalah bidang studi yang menghubungkan otak dan aspek aspek lain sistem saraf,
khususnya otak, dengan perilaku. Neurosains kognitif adalah pendekatan dalam psikologi
kognitif yang memusatkan kajiannya pada otak.
Karena neurosains kognitif berfokus pada kognisi, sehingga kebanyakan penelitian
neurosains kognitif melibatkan objek manusia. Dan karena fokusnya pada objek manusia, maka
metode utama yang digunakan adalah penekanan non-invasif dan bukan manipulasi otak secara
langsung. Peneitian neurosains kognitif biasanya merupakan kolaborasi interdisipliner di
antara individu-individu dengan berbagai bekal pelatihan.
Disiplin ilmu ini mendapatkan namanya (neurosains kognitif) pada akhir tahun 1970an di kursi belakang sebuah taksi di New York. Michael Gazzaniga, seorang tokoh dalam
penelitian dua hemisfer otak, sedang berada di dalam taksi bersama George Miller, seorang
psikolog kognitif terkenal. Tetapi, ada pertanyaan yang layak untuk dipertimbangakan, yaitu
bagaimana neurosains kognitif dapat diterapkan pada dikotomi pikiran-tubuh (suatu dikotomi
yang diteliti oleh para ilmuwan dan filsuf selama berabad-abad) dan bagaimana disipin ilmu
baru ini diuji ulang oleh ilmuwan-ilmuwan modern menggunakan teknologi pencitraan.
Isu pikiran-tubuh, merupakan sebuah isu yang sampai sekarang tidak ada jawaban
yang benar-benar pasti. Beberapa filsuf menyatakan bahwa satu-satunya yang nyata adalah
dunia fisik, tetapi bukankah dunia pikiran terlalu nyata untuk dikesampingkan? Beberapa filsuf
berpendapat bahwa satu-satunya yang nyata adalah dunia pikiran, tapi bukankah kita semua
tahu kalau fakta seorang Muhammad Fattah yang terlalu halu untuk menjadi perempuan terlalu
nyata untuk tidak dihujat dikesampingkan? Semua pilihan tergantung pada pribadi masingmasing.
Sama seperti ilmu-ilmu lain, neurosains dan neurosains kognitif memilik ‘Ibu’. Tidak
lain dan tidak bukan adalah filsafat. Meski beberapa teori dan konsep mereka masih absurd,
tapi hal ini sangat berharga untuk perkembangan ilmu pengetahuan kedepannya. Sebut saja,
Descartes, filsuf asal Prancis abad 16 yang memiliki pertanyaan yang sama dengan filsuf masa
itu, apakah tubuh dan pikiran adalah dua zat yang berbeda?
Salah satu pertanyaan yang ingin Descartes jawab adalah cara tubuh bergerak.
Kemudian, Descartes mengambil contoh sebuah tangan yang berada di dekat api pasti akan
merasakan sengatan panas dan langsung menarik tangannya. Descartes meyakini adanya
semcam filamen yang menggabungkan dengan otak. Karena ada panas yang menggerakkan
filamen dan mengaktifan otak, makan otak melepasan cairan yang membuat tangan menarik
tangan dari api. Mekanisme ini beliau berikan nama lengkung refleks (reflex arc).
Namun, sekarang kita sudah tahu bahwa segala sesuatu yang bersifat psikologis
(pikiran) menimbulkan dampak pada sistem neurologis (tubuh). Hebatnya, manusia hidup di
dua kutub ini (tubuh-pikiran) secara bersamaan. Dunia kita terdiri dari wujud-wujud fisik yang
eksis dalam ruang dan waktu. Objek-objek tersebut tunduk pada hukum alam. Pada makhluk
hidup, hukum alam meliputi hukum neurologis, yang mengatur transmisi implus dari satu
neuron ke neruon lain. Kita tidak menyamakan tubuh manusia dengan makhluk tidak hidup,
namun kita menyatakan bahwa tubuh manusia berada dalam dimensi fisik dan bahwa tubuh
teprisah dari pikiran.
Selain isu-isu pikiran-tubuh, neuropsikoloi kognittif mempunyai prinsip-prinsip yang
mendasarinya, antara lain:
a.
Fokus pada simtom dan asumsi universalitas
Fakta yang terdapat dalam prinsip pertama ini adalah bahwa para pakar atau ahli
neurolog pada penelitian neuropsikologi kognitif mempelajari simtom dan bukan
sindrom. Simtom yaitu perubahan atau kondisi khusus kondisi tubuh yang
menunjukkan tanda adanya suatu penyakit atau gejala penyakit. Sedangkan
sindrom yaitu himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersamasama) dan menandai ketidaknormalan tertentu. Maka dari itu neuropsikolog
kognitif menggunakan pendekatan kasus tunggal dan bukan kasus kelompok,
karena jika fokus pada kasus kelompok memungkinkan adanya perbedaanperbedaan yang ada dalam setiap individu “dirata-ratakan” yang kemudian akan
terlewatkan oleh para peneliti.
b.
Asumsi universalitas
Jika dalam prinsip pertama peneliti meneliti pasien dengan simtom yang berbeda,
maka bagaimana dapat ditarik kesimpulan tentang pemrosesan kognitif? Asumsi
universalitas yaitu asumsi bahwa tidak terdapat perbedaan di antara para idividu
sebelum terjadi cedera otak, maka sebab itu setiap perbedaan di antara pasien
diperkirakan disebabkan oleh kerusakan otak mereka.
c.
Modularitas
Menurut Marr (1982) , modul bersifat:
 Berdiri sendiri atau bekerja sendiri, sehingga apabila jika terdapat kerusakan
pada satu modul tidak memengaruhi modul-modul yang lain secara langsung.
 Berbeda secara persyarafan.
 Spesifik pada satu wilayah, sehingga satu modul akan fokus bekerja
memproses satu jenis informasi.
 Setiap modul memiliki pelapis atau pembungkus, sehingga proses
memproses informasi terpisah dengan modul-modul lain.
 Bawaan
 Cepat
 Wajib, setelah modul-modul diaktivasi, proses-proses akan berjalan di luar
kendali kesadaran.
d.
Subtraktivitas
Subtraktivitas merupakan gagasan yang menyebutkan bahwa apabila terjadi
kerusakan otak maka akan menghapus modul-modul atau koneksi di antara modulmodul tersebut, namun tidak dapat menambah modul-modul atau koneksi baru.
Singkatnya kerusakan otak akan menghilangkan suatu modul atau koneksi dalam otak,
namun modul-modul yang tersisa tetap bekerja seperti biasa, karena kerusakan satu
modul tidak memengaruhi modul-modul yang lain. Namun, penelitian tentang
kekenyalan otak menunjukkan bahwa otak memang memiliki suatu kemampuan
untuk membangun kembali modul-modul atau membuat koneksi-koneksi baru atau
memperbaiki koneksi-koneksi lama (a.l Mercado, 2008).
e.
Isomorvisme
Isomorfisme menggagas bahwa struktur otak dan pikiran terdapat suatu hubungan.
Pandangan ini dianggap benar secara umum, meskipun fungsi-fungsi kognitif dapat
memiliki modularitas fungsional akan tetapi tidak harus memiliki modularitas
anatomis dalam arti fungsi-fungsi tersebut kemungkinan didistribusikan pada
beberapa daerah otak.
Namun, tak lengkap rasanya jika berbicara neurosains kognitif tapi tidak berbicara
tentang satu pasangan sehidup-semati, sistem saraf dan otak.
“Sistem saraf manusia dan mesin yang bersifat otomatis memiliki kesamaan yang
sangat mendasar, yakin keduanya adalah alat yang membuat keputusan.”
Nobert Weiner
Sistem saraf adalah dasar bagi kemampuan kita untuk memahami, beradaptasi dan
berinteraksi dengan dunia di sekitar kita (Gazzaniga, 1995, 2000;Gazzaniga, Ivry & Mangun,
1998). Melalui sistem ini, kita menerima, memproses dan merespon informasi dari lingkungan
(Pinker,1997; Rugg, 1997).
CNS (Central Nervous System) atau sistem saraf pusat terdiri dari saraf tulang
belakang dan otak. Unsur dasar pembentukan CNS adalah neuron, sebuah sel khusus yang
mengirimkan informasi sepanjang sistem saraf. Beberapa ahli memperkirakan jumlah neuron
dalam otak manusia melebihi 100 miliar. Otak manusia sedemikian rumitnya sehingga otak itu
sendiri tidak akan pernah mampu memahami dirinya sendiri sepenuhnya, seberapapun besar
upaya kita.
Ada empat bagian utama dari neuron:
1. Dendrit, menerima impls neural dari neuron lain. Denderit berbentuk seperti
pohon, lengkap dengan cabang dan dua ranting.
2. Tubuh sel, bertanggung jawab menjaga kondisi dasar neuron. Tubuh sel menerima
nutrisi dan melenyapkan limbah organik dengan menyaring limbah tersbeut
melalui dinding sel permeabel.
3. Akson, sebuah jalur panjang berbentuk tabung, yang menghubungkan tubuh sel
dengan sel-sel lain melalui semacam persimpangan yang disebut sinapsis.
4. Terminal prasinaptik, terletak di permukaan dendrit pada neuron lain. Bersamaan
dengan dendrit membuat sinapsis.
Pada saat kelahiran, konkesi-koneksi sinapsis belumlah lengkap, demikian juga
neuron-neuron belum dilindungi oleh selubung myelin. Meski demikian, jumlah neuron sudah
lengkap dan tidak ada neuron baru yang dibentuk sesudah kelahiran. Dengan kata lain, jumlah
neuron di otak akan sama sepanjang hidup (bisa kehilangan jumlah neuron seiring proses
penuaan dan apabila terjadi cedera).
Teori di atas bukan tanpa kontroversi. Penelitian dalam bidang neurogenesis selama
akhir periode 1990-an (menggunakan primata) mengindikasikan bahwa neuron-neuron baru
dapat terbentik dalam korteks primata. Meski demikian, penelitian yang lebih mutakhir
mengindikasikan bahwa pembentukan neuron baru jarang terjadi dan mungkin hanya
berlangsung di hipokampus.
“Otak manusia adalah daerah belum dipelajari yang terakhir dan terbesar… suatu
benda yang paling rumit di alam semsesta, yang belum sempat kita jelajahi.”
James Watson
Otak adalah organ dalam tubuh kita yang mengontrol langsung pikiran, emosi dan
motivasi kita (Gloor, 1997; Rockland, 2000; Shepherd, 1998). Otak itu seperti bos yang bisa
mengatur dan diatur, oleh karena itu otak bersifat direksi sekaligus reaktif.
Otak manusia terbagi menjadi dua struktur sejenis, yakini hemisfer serebral kiri dan
kanan. Korteks serebral adalah struktur otak yang diamsumsikan menjadi pusat proses berpikir
dan kognisi. Korteks serebral lapisan halus dan yang dipadati oleh kelompok-kelompok sel,
menjalankan fungsi-fungsi yang oleh orang awam dianggap sebagai “fungsi otak” (seperti
berpikir). Koreks serebral adalah struktur otak yang berevolusi paling akhir.
Lobus-lobus di kortes serebral:
1. Lobus frontal. Pengendalian implus, pertimbangan, pemecahan masalah,
pengendalian dan pelaksanaan perilaku, dan pengorganisasian yang kompleks.
2. Lobus temporal. Memproses sinyal-sinal auditori, pendengaran, pemrosesan
auditori tingkat inggi (bicara), pengenalan wajah.
3. Lobus pariental. Mengintegrasikan informasi sensoris dari pancaindra,
pemanipulasisan objek, pemrosesan visual-spasial.
4. Lobus oksipital. Pemrosesan visual, yakni menerima informasi visual dan retina,
memproses informasi tersebut dan mengirimkannya ke area-area yang relevan.
Disebut juga korteks, strirat.
Ada tiga tiga anatomi otak yang umum:
1. Otak depan adalah wilayah otak yang berada di bagian atas dan depan otak. Terdiri
dari kulit otak, ganglia basalis, sistem limbik, talamus, dan hipotalamus. Kulit otak
adalah lapisan terluar hemisfer otak yang memainkan peran vital di dalam prosesproses berfikir dan mental kita. Terlibat dalam pencerapan dan pemrosesan
informasi indrawi, berpikir, proses kognitif lainnya, dan perencanaan serta
pengiriman informasi motorik. Ganglia basalia adalah tempat berkumpulnya neuronneuron yang krusial bagi fungsi motorik. Sistem-sistem limbik (hipokampus,
amigdala dan septum). Terlibat di dalam pembelajaran, emosi dan motivasi
(detailnya hipokampus memengaruhi pembelajaran dan memori, amigdala
memengaruhi rasa marah dan agresi, dan septum memengaruhi rasa marah dan rasa
takut). Talamus adalah stasiun pemancar utama bagi informasi sensorik yang datang
menuju otsk, menyalurkan informasi ke wilayah kulit otak yang tepat melalui uraturat syaraf yang berangkat dari talamus ke wilayah-wilayah spesifik, memadukan
sejumlah nikleus yang menerima jnis-jenis spesifik informasi sensorik dan
menyalurkan informasi tersebut ke kulit otak yang spesifik. Hipotalamus fungsinya
mengontrol sistem endokrin. mengontrol proses metabolisme tertentu dan kegiatan
lain dari sistem saraf otonom. Hipotalamus mensintesis dan mengeluarkan hormon
saraf, sering disebut hormon hipotalamus. Hormon-hormon hipotalamus yang
disekresikan mengontrol dan mengatur sekresi hormon hipofisis.
2. Otak tengah. Kolikuli (atas) berfungsi terlibat di dalam penglihatan (khususnya
refleks-refleks visual). Kolikuli inferioris (bawah) berfungsi terlibat di dalam
pendengaran. Sistem pengaktif retikularis (RAS; juga meluas sampai otak
belakang) berfungsi penting untuk mengontrol kesadaran (terjaga dari tidur),
atensi, fungsi, fungsi kardiores-piratoris, dan gerakan tubuh materi abu-abu,
nukleus merah, nigras substantia, wilayah ventralis berfungsi untuk mengontrol
gerakan tubuh
3. Otak belakang. Serebelum berfungsi esensi bagi keseimbangan, koordinasi dan
keharmonisan gerak otot. Pons (sampai ke are yang mengandung RAS) , terlihat di
dalam kesadaran, menjembatanai transmisi neuron dari satu bagian otak ke bagian
lain; terlibat dengan urat-urat saraf di wajah. Medula oblongta berfungsi sebagai
titik persimpangan tempat saraf mengarah silang dari satu sisi otak sebaliknya
(kontralateralis); terlibat dalam fungsi-fungsi seperti kardiorespiratoris, pencernaan
dan menelan.
Dewasa ini, para ilmuwan rajin melakukan berbagai penelitian demi mengunggkap
tabir yang tersembunyi di balik ruwetnya jaringan otak. Di antaranya adalah studi-studi
postmortem dan studi-studi terhadap hewan.
Dalam studi-studi posmortem, para peneliti mempelajari dengan hati-hati perilaku
manusia yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan otak merek masih hidup (Wilso, 2003).
Pertama, mereka mendokumentasikan perilaku pasien sedetail mungkin di dalam studi-studi
sebelum pasien meninggal. Berikutnya setelah pasien meninggal, peneliti menguji otak pasien
untuk mencai bagian lesi, area area jaingan yang rusak seperti luka benturan atau penyakit.
Peneliti menyimpulkan bahwa bagian yang lesi memang mempengaruhi perilaku mereka.
Dengan cara inilah peneliti bisa melacak hubungan anatara tipe perilaku yang diamati dengan
anomali-anomali yang terdapat di lokasi tertentu pada otak. Meskipun teknik-teknik pelesian
menyediakan fondasi dasar untuk memahami hubungan otak dan perilaku, namun penelitian
ini tidak bisa dilakukan kepad pasien yang belum meninggal.
Sedangkan dalam studi-studi terhadap hewan, untuk mempelajari otak yang masih
hidup, para peneliti menggunakan teknik in vivo. Elektroda mikro dimasukkan ke dalam otak
hewan (biasanya kera atau kucing). Dari sisi ini mereka mendapat rekaman sel tunggal tentang
aktivitas sebuah neuron di otak. Dengan cara inilah para ilmuan bisa mengukur efek dari jenis
jenis stimulus tertentu seperti garis garis yang disajikan secara visual mengenai aktivitasaktivitas neuron-neuron. Teknik ini tidak bisa dilakukan terhadap mausia.
Kedua studi di atas sama-sama berperan penting dalam perkembangan ilmu
neurosains dan berjalan saling melengkapi satu sama lain. Berbicara tentang penemunpenemuan terdahulu tidak akan terpisahkan dengan topik “Menemukan Fungsi Kortikal”.
Fungsi kortikal luhur adalah sifat khas manusia yang meliputi kebudayaan, bahasa,
memori dan pengertian. Cedikiawan zaman kuno meyakini bahwa otak tidak berkaitan dengan
pikiran dan presepsi. Berabad-abad kemudian, praktik frenologi menyatakan bahwa karakter
manusia, kepribadian, persepsi, kecerdasan, dan sebagainya, terpusat pada tempat-tempat
spesifik di otak. Frenologi adalah ilmu semu yang berupaya mempelajari hubungan antara
karakter seseorang dengan tengkorak manusia.
Pada awalnya para frenolog mendapat dukungan ilmiah dari para neurolog. Para
frenolog yakin bahwa otak dapat dilatih layaknya otot. Mereka meyakini bahwa karakteristik
pribadi, bakat, dan emosi dapat diukur dengan memerikasa tonjolan-tonjolan dan lekukanlekukan pada permukaan di tempurung kepala. Meskipun begitu, pada akhirnya frenologi
disebut sebagi pseudosains karena pada kenyataan frenologi tidak menggunakan dan tidak
didukung oleh data-data ilmiah yang valid.
Setelah jatuhnya frenologi, muncullah lokalisasi fungsi-fungsi otak yang didapatkan
dari contoh kasus Phineas Gage yang memiliki sifat yang berbeda setelah kecelakaan di
perkerjaannya. Rumusan ini juga yang memunculkan praktik psychosurgery pada 1930-an
yang dipengaruhi oleh penelitian Antonio Moice. Watter Freeman mengembangkan suatu
teknik lobotomi lobus frontal yaitu, menggunakan alat pemecah es saat oprasi Meskipun begitu,
prosedurnya masih terasa sangat kasar dan melenceng.
Pierre Flourens membantah frenologi dan melakukan penilitian-penelitian untuk
menentang frenologi.Pierre Flourens mempelopori teori medan agregat (Aggregate Field
Theory), yang menentang lokalisasi dan mendukung pandnagan bhawa otak berkerja sebagi
sebuah organ yang holistik, yang memproses aktivitas-aktivitas kognitif secara merata di
bagian otak.
Selanjutnya ada teori ‘jalan tengah’ yang menjembatani teori lokalisasi dan teori
medan agregat. Pandangan ini menyatkan bahwa beberapa atribut mental terlokalisasi di region
yang spesifik (atau terletak di gabungan beberapa region), di dalam otak. Beberapa atribut yang
terlokalisasi ini meliputi pengendalian respons motorik, terminal sensorik, pengheliatan dan
beberapa pemrosesan bahasa. Meski demikian, sebagian besar fungsi terutama proses-proses
kognitif tingkat tinggi seperti memori, persepsi, berpikir, dan pemacahan masalah-terbagi
menjadi beberapa sub-fungsi, yang tersebar di seluruh bagian otak. Dukungan awal bagi teori
lokalisasi fungsi dapat dilacak sejak abad ke -19, salah satunya seorang neurolog, Pierre Paul
Broca dan Karl Wernicke.
Karl Lashley, seorang psikolog Amerika, mengembangkan teori yang dia berinama
teori aksi massa (Mass Action Theory), yang meminimalkan pentingnya neuron-neuron tunggal
dan sekaligus menyatakan bhawa memori tersebar di seluruh bagian otak. Otak berisi area-area
yang terasosiasi dengan fungsi-fungsi spesifik namun, pemrosesan lengkap terhadap jenis
informasi ini melibatkan bagian-bagian yang lain. Jelaslah bahwa otak berkerja menggunakan
prinsip lokalisasi dan prinsip aksi massa.
Metode utama neurosains adalah functional brain imaging (merekam gambar-gambar
aktifitas otak manusia hidup) selama subjeknya terlihat dalam aktivitas kognitif tertentu.
Teknik penggambaran misalnya functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan pisiteronemission tomography (PET), mengukur aliran darah pada otak dengan cara mendeteksi sinyal
magnetik (fMRI) atau radiasi tingkat rendah (PET) untuk menentukan tingkat aktivitas
berbagai bagian otak.
Keterbatasan teknik penggambaran spasial adalah bahwa teknik tersbeut tidak
menyediakan jenis informasi temporal yang tepat yang penting dalam menganalisis berbagai
tugas-tugas kgnitif dimana perbedaan waktu satu detik saja sangat berarti secara teoritis.
Penggunaan Event Related Potential (ERP) memungkinkan ilmuwan untuk menghubungkan
kerja mental yang direkam dalam tugas-tugas reaksi-waktu dengan aktifitas otak.
Menggabungkan PET dan ERP, muncul kemungkinan untuk mengambil manfaat dari
lokalisasi spesial teknik penggambaran yang lebih tepat dan resolusi temporal potensi elektrik
yang lebih tepat pula.
Neurosains, atau lebih tepatnya diri kita sendiri, masih menyimpan berbagai misteri
yang sulit di pecahkan karena komplekasinya yang tinggi. Namun, dengan seiring berjalannya
waktu, semakin besarnya rasa ingin tahu dan semakin pesatnya perkembangan teknologi, suatu
saat manusia mungkin akan bisa menjawab pertanyaan, Bagaimana kesadaran bisa terjadi?
Bisakah sebuah teknologi mempunyai kesadarannya sendiri seperti di anime Assassination
Classroom? Lalu, apa yang terjadi apapila kesadaran itu salah?
Seperti kata-kata di bawah judul, bahwa sesuatu yang paling indah adalah seseuatu
yang kita tidak tahu. So, stay curious!
(Solso, Maclin, & Maclin, 2007) (Reed, 2011) (Erniati, 2015) (Resti, 2015) (Hanafi, 2016)
(Sternberg, 2008) (Pinel, 2009) (Ling & Catling, 2012)
REFERENSI
Erniati. (2015). Pembelajaran Neurosains Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik Pada
Pondok Pesantren. Hunafa : Jurnal Studi Islamika, 49.
Hanafi, I. (2016). Neurosains-Spiritualitas dan Pengembangan Potensi Kreatif. An-Nuha, 25.
Ling, J., & Catling, J. (2012). Psikologi Kognitif. Jakarta: Penerbit Erlangga.
med.unhas.id
Pinel, J. P. (2009). Biopsikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Reed, S. K. (2011). Kognisi : Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Resti, V. D. (2015). Analisis Kreativitas Mahasiswa Dalam Penyusunan Peta Konsep
Berbentuk E-Mind Map Berdasarkan Kajian Neurosains. Jurnal Pendidikan Biologi,
129.
Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin, M. K. (2007). Psikologi Kognitif. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Sternberg, R. J. (2008). Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Wikipedia
YouTube : Ted Ed
Download