MAKALAH AIK IV AHLAK DALAM KELUARGA Disusun Oleh : Rohmatur Ridwani (201610170311091) Kelas Mubtadi’in B JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADYAH MALANG KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat dengan berbagai referensi, sumber dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Selain dari pada itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen dan kedua orang tua, serta teman-teman. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhirnya, kami berharap agar tulisan sederhana ini mendapat ridha dari Allah SWT. Dan bermanfaat bagi kita semua. Amin yaarabbal alamin. i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................... i DAFTAR ISI........................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 2 1.3 Tujan ................................................................................................................. 2 BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................... 3 2.1. Pengertian Leluarga .......................................................................................... 3 2.2 Pengertian Ahlak ............................................................................................... 4 2.3 Peernikahan ....................................................................................................... 6 2.4 Tunangan........................................................................................................... 7 BAB III ANALITIS ................................................................................................ 7 3.1 Keluarga Islami dalam membangun masyarakat ............................................ 7 3.2 persoalan seputaar pernikahan, pacaran, sikah siri, nikah lintas agama ........ 11 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 24 ii i BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak bisa dipungkiri keluarga adalah merupakan bagian terpenting penting dalam hidup setiap manusia, terciptanya keluarga ditandai dengan adanya pernikahan antara dua individu yang saling mencintai. Definisi keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terkumpul didalam satu tempat dan tinggal didalam satu atap dimana terdapat hubungan emosional yang erat antara satu sama lain dan adanya saling ketergantungan antara satu individu dan individu lain dalam satu keluarga dan dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarga tersebut. Sehingga keluarga dapat digambarkan sebagai bangunan rumah dimana dalam bangunan rumah tersebut terdapat batu yang membentuk dinding dan pondasi dimana dinding dan pondasi tersebut berfungsi agar rumah tersebut berdiri dengan kokoh. Dalam satu bangunan rumah juga terdapat atap yang berfungsi untuk melindungi dari panas teriknya matahari disiang hari dan hujan serta dinginnya angin dimalam hari. Apabila dinding atau pondasi dan juga atap dalam rumah tersebut retak maka dapat dipastikan rumah tersebut tidak akan bertahan lama dan pasti akan segera roboh jika tidak segera mungkin dilakukan perbaikan terghadapnya. Begitupun dengan keluarga jika terjadi permasalahan dalam sebuah keluarga sehingga terjadi kertakan didalam keluarga dan tidak segera diselesaikan permasalahan tersebut, maka dapat menyebabkan perceraian dalam sebuah keluarga, dimana perceraian merupakan sebuah perkara halal yang dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu usaha untuk menguatkan keluarga merupakan suatu hal penting yang wajib bagi pemimpin keluarga. Dalam rangka menguatkan keluarga perlu tercipta danya keharmonisan didalamnya, dimana salah satu 1 unsur dari keharmonisan dalam keluarga adalah moral atau etika dalam berumah tangga atau sering disebut ahlak dalam berumah tangga. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana urgensi keluarga dalam membangun masyarakat? 2. Mengapa pernikahan digunakan sebagai sarana untuk membangun masyarakat? 3. Apa saja persoalan seputar Pernikahan, Pacaran, Tunangan, Nikah Siri, Kawin Kontrak, Kawin Lintas Agama 1.3 Tujan 1. Mengetahui urgensi keluarga dalam membangun masyarakat. 2. Mengetahui pernikahan digunakan sebagai sarana untuk membangun masyarakat. 4. Mengetahui Apa saja persoalan seputar Pernikahan, Pacaran, Tunangan, Nikah Siri, Kawin Kontrak, Kawin Lintas Agama 2 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN KELUARGA Menurut KBBI keluarga /ke•lu•ar•ga/ n 1 ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah: seluruh -- nya pindah ke Bandung; 2 orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih: ia pindah ke Jakarta bersama -- nya; 3 (kaum -- ) sanak saudara; kaum kerabat: ia sering berkunjung ke Jakarta karena banyak -- nya tinggal di sana; 4 satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat;1 Keluarga itu adalah sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa yang terdiri dari sekumpulan keluarga besar, yang mana satu sama lain mempunyai hubungan yang erat sekali. Dan sudah tentulah bahwa sesuatu bangunan yang terdiri dari sekian banyak batu-batu, akan menjadi kuat atau lemah sesuai dengan kuat atau lemahnya batu-batu itu sendiri. Apabila batu-batu itu kuat dan saling kuat menguatkan serta memiliki pula daya tahan yang hebat, tentulah bangsa yang terbentuk dari keluarga-keluarga yang seperti batu-batu demikian itu akan kuat dan hebat pulalah keadaannya. Dan sebaliknya, seandainya batu-batu yang membentuk bangunan bangsa itu lemah dan bercerai-berai, pastilah bangsa itu akan menjadi lemah dan tiada berdaya.2 Oleh karena itu usaha-usaha untuk menguatkan keluarga itu adalah suatu hal terpenting yang wajib diperhatikan oleh pemimpin dan merupakan jalan yang wajib ditempuh dengan segala daya dan upaya. Hal yang demikian itu mungkin dapat dicapai melainkan dengan mengadakan prinsip-prinsip yang kuat di mana dibina diatasnya mengenai kekeluargaan itu, yang akan menjamin hidup serta pertumbuhannya, hingga menjadi suatu keluarga yang kuat dan jaya. Setelah itu harus pula diadakan pengawasan yang kuat atas prinsip-prinsip tersebut dan diawasi pula pelaksanaannya. 1 kbbi.web.id/keluarga Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah (2), (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 102 2 3 Apabila keluarga itu dipandang sebagai sebuah batu daripada batubatu bangunan sesuatu bangsa, maka perkawinan dapat dipandang sebagai asal usul dari suatu keluarga, karena dari perkawinan itulah kekeluargaan terbentuk dan selanjutnya bertumbuh dan berkembang. Keluarga adalah satu-satunya situasi yang pertama dikenal anak, baik prenatal maupun postnatal. Dan ibulah yang pertama kali dikenalnya. Kedekatan ibu dengan anaknya terutama pada masa-masa bayi adalah sesuatu yang alamiah, yang dimulai dari proses reproduksi sampai denganpenyusuan dan pemeliharaan bayi.(Fuaduddin TM, 1999: 22)3 Oleh sebab itu pula maka perkawinan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, yang sama dengan perhatian yang harus dicurahkan kepada kekeluargaan, kalau bukanlah harus melebihi perhatian terhadap kekeluargaan itu. 2.2 PENGERTIAN AHLAK Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (pencipta).4 Secara terminologis ada beberapa defenisi tentang akhlaq :5 3 Jurnal Al-Thariqah Vol. 1, No. 1, Juni 2016 ISSN 2527-9610, hlm 61, diakses tanggal 27 februari 2019 pukul 06.19 4 Al-Mun jid fi al-Lughah wa al-I’lam (Beirut: Dar al – Masyriq, 1989), cet. Ke 28, hlm. 164. 5 Yunahar, Op. Cit., hlm. 2 4 1) Imam al-Ghazali: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”6 2) Abdul Karim Zaidan: “Akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotsn dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatanya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.7 Disamping istilah akhlaq, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlaq standarnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum maupun berlaku dimasyarakat.8 Akhlak merupakan salah satu yang dapat menerima perubahan. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman : “Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah yang mengotorinya”.9 Sedangkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad s.a.w. beliau bersabda: “perbaikilah akhlakmu”.10 Ini menunjukan bahwa pada perinsipnya akhlak yang buruk dapat diubah dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III, hlm.58 7 Abdul Karim Zaidan, Ushul ad- Da’wah (Baghdad: Jam’iyyah al-Amani, 1976), hlm. 75. 8 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 9. 6 terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10 hadits ini dada disebutkan oleh al-Ghazali dalam kitabnya ihya ulumuddin. Menurut al Iraqi, pentakhrij hadis-hadis yang ada dalam kitab ihya ahsau akhalaqaqum diriwayatkan oleh Abu Bakr Bin Lal dalam kitab al Makarim al akhlak, dari hadist Mu’adz, yaitu hadist munqat i’dan rijalnya tsiqat. Baca AlGhazali, Ihya ulumuddin,hlm. 72 9 10 5 dididik sehingga menjadi akhlak yang baik. Karena seandainya akhlak seperti itu awal penciptaannya tanpa dapat mengalami perubahan apapun, maka tentu Nabi Muhammad s.a.w. tidak akan menyhuruh umat Islam untuk memperbaiki akhlak mereka. 2.3 PERNIKAHAN Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan dijelaskan secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al-quran dan (2) bagaimana kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga dan melanggengkan pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan mereka dewasa ini.11 Peristiwa pernikahan merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah SWT seperi yang dijelaskan dalam firman Nya : ْةمَ حرز دنكَّد ََز ميَن َكل ْْعج اِميَلأ ت َِ َكنَ َك َۦ ِمن ْ َ ِْ َ زْأ ْمَُ ِِ َك َل ِ نن َم م َكل َقل ْ َن ٓ ِۦِتِ ِ َا ْ ِن َم ٍۢٓ ِۦِ َ ء َ َ ِِ ِم ىِف اِ دن ِتُ دك ََْن ِمنم َك َءق “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. 11 terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10 6 Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar. Ruum (30):21]. BAB III: ANALISIS KOMPARATIF Perbandingan antara obyek dengan kajian pustaka 3.1 Keluarga Islami dalam membangun masyarakat. Keluarga merupakan satuan kekerabatan yanvg mendasar dalam masyarakat,12 atau dengan kata lain cikal bakal terbentuknya masyarakat dimana dari pengertian keluarga menurut KBBI maka masyarakat dalah himpunan atau perkumpulan dari sekelompok keluarga yang tinggal didalam suatu tempat. Ketika kita ingin membangun atau membuat sesuatu hal yang besar maka kita perlu memulai dari suatu hal yang kecil. Begitupun dengan membangun masyarakat yang harmonis perlu dimulai lingkup terkecil yaitu dari membangun keluarga yang harmonis. Untuk membangun keluarga yang harmoniss perlu adanya penerapan etika dan moral serta ahlak yang baik dalam sebuah keluarga dan membagian antara hak hingga kewajiban yang jelas didalam sebuah keluarga untuk menunjang keberlangsungan keluarga tersebut. Hal ini sesuai dengan firman ALLAH SWT : َّ احدَة َو َخلَقَ ِمن َها َزو َج َها َو َب ث ِ يَا أَي َها النَّاس اتَّقوا َربَّكم الَّذِي َخلَقَكم ِمن نَفس َو َ َللا ك َ سا َءل علَيكم َ َان َ َ َللاَ الَّذِي ت َ ِيرا َون َّ سا ًء َواتَّقوا ً ِِمنه َما ِر َج ًال َكث َ َّ ون بِ ِه َواْلَر َحا َم إِ َّن )1( َرقِيبًا Artinya: 12 kbbi.web.id/keluarga diakses 27 februari 2019 pukul 08.55 7 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa 4: 1) Islam sebagai agama yang tujuan utamanya adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik, sebaliknya pribadi yang rusak akan melahirkan keluarga yang rusak. Demikian juga seterusnya, apabila keluarga baik, maka akan melahirkan negara yang baik. Manusia diberi mandat atau amanah oleh Allah sebagai mandataris-Nya. Manusia ditantang untuk menemukan, memahami dan menguasai hukum alam yang sudah digariskan-Nya, sehingga dengan usahanya itu ia dapat mengeksploitasinya untuk tujuan-tujuan yang baik. Berikut kiat-kiat sesuai islam untuk membangun masyarakat yang baik :13 1. Adam as dan keturunannya diciptakan Allah berpotensi mendapatkan ilmu pengetahuan (al-Baqarah/2:31) kemudian Allah mengungkapkan sifat atau fenomena alam kepada manusia yang disebut dengan sunatullah. Ia berbeda dengan hukum alam Barat. Maksud sunatullah dalam Islam ialah Allah menciptakan segala sesuatu memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengan sifatnya itu ia bersifat otonom dan kosmopolitan di alam, tetapi bukan otokrasi. Allah menciptakan api panas, dan ia otonom panasnya serta selalu panas. Sunnatullah atau rancangan ciptaan Allah ini, tidak akan berubah dan ia akan membakar apapun yang mendekat padanya tanpa ia bedakan. Kalau api tidak panas harus diganti namanya. Sedangkan hukum alam barat, alam berfenomena menjadikan api panas, tetapi bukan diciptakan. Kata taskhîr dalam al-Qur’an (Lihat: al-Jatsiyah/45: 13) menunjukkan arti bahwa Allah sengaja mengungkapkan sifat-sifat atau fenomena alam kepada 13 Academica.edu/konsep_keluarga_dalam_islam, diakses tanggal 27 februari 2019 pukul 09.34 8 manusia. Dengan menyusun sifat-sifat benda di alam, manusia dapat menciptakan ilmu pengetahuan dan mengembangkannya. Selain itu, agar manusia tetap baik dan bersih, Allah menciptakan roh pada diri manusia (min rûhî; lihat:al-Hijr/15:29 dan Shâd/3872) yang bersifat suci bahkan sucinya, menurut Tafsir al-Mizan dihubungkan dengan kesucian Allah (alThaba Thaba’i, juz 12,h.155). Dengan demikian Allah menciptakan manusia sesuai dengan fitrahnya, potensi suci, beriman kepada Allah (al‘Araf/7: 172 dan al-Rûm/30: 30). 2. Allah mendorong manusia agar melaksanakan pernikahan (al-Rûm,/30: 21). Untuk itu Allah menciptakan potensi rasa cinta dalam diri manusia. Atas dasar inilah manusia saling ketertarikan terhadap lawan jenis. Islam juga menganjurkan untuk memilih jodoh yang terbaik adalah yang beragama. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda: (artinya) “Biasanya seorang wanita dikawini karena empat faktor; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka, raihlah yang memiliki agama, karena kalau tidak tanganmu akan berlumuran tanah, hidupmu miskin atau sengsara.” Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah.14 Ada seseorang yang datang kepada Hasan al-Bashri untuk meminta pandangannya tentang memilih lamaran dua orang pemuda terhadap putrinya. Nasihat Hasan al-Bashri terimalah yang paling baik agamanya, karena jika ia senang terhadap istrinya pasti ia menghormatinya; sedang bila ia membencinya maka ia tidak akan menganiayanya. Seseorang pernah pula mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada istrinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya. Umar menasehatinya: “Sungguh jelek niatmu, apakah semua rumah tangga terbina dengan cinta? Di mana takwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami istri, telah saling bergaul (menyampaikan rahasia) dan istrimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Quraish Shihab, ibid). Agama dalam 14 Quraish Shihab, hal. 254 9 pernikahan merupakan fondasi yang kokoh dalam membangun kehidupan berkeluarga. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an surat al-Nisâ’/4:19, yang artinya: .... Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak senang terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan dibalik itu kebaikan yang banyak. Tali pernikahan inilah yang diistilahkan dengan mitsâq qhâliz (tali yang kokoh). Suami istri sangat berpeluang untuk kecocokan karena masingmasing berasal dari jenis yang sama, min nafs wâhidah, yakni manusia (alNisâ’/4: 1) dan suami istri bagaikan pakaian masing-masing, hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna (al-Baqarah/2: 187). Atas dasar pernikahan ini akan melahirkan kemesraan, kasih sayang, saling hubungan antara jiwa dengan jiwa dan saling melindungi serta saling rela berkorban untuk kebahagiaan pasangannya, yang pada puncaknya mencapai taraf sakinah. 3. Seorang ibu apabila hamil sangat dianjurkan oleh agama untuk memperhatikan kesehatannya. Karena kesehatan erat kaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan janin. Bahkan ada kewajiban agama yang digugurkan atau ditangguhkan pelaksanaannya, seperti puasa (Quraish Shihab, ibid) kemudian apabila anak telah lahir maka disambut dengan rasa syukur dengan diazankan dan diiqamahkan. Hal ini dimaksudkan untuk pengisian sisi otak kanan dengan akidah, lâ ilaha illa Allah wa muhammad rasulullah sebagai pegangan hidup di dunia yang beraneka ragam dan sisi otak kiri sebagai realisainya dengan mempraktekkan syariah. Rasa syukur ini direalisasikan juga dalam bentuk pemberian nama yang baik dan upacara akikah. 4. Apabila anak sudah menginjak remaja, orang tua harus mendidiknya dengan sebaik-baik dan semaksimalnya. Keluarga merupakan pendidikan nonformal dan sangat menentukan baik-buruknya (akhlak) seorang anak. Bahkan dapat dikatakan keluarga adalah madrasah atau sekolah pertama dari seorang anak. 5. Perekat bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban. Ini disyariatkan Allah kepada ibu bapak dan anaknya. Hal ini dimaksudkan adalah untuk 10 menciptakan keharmonisan dalam hidup berumah tangga, yang pada akhirnya akan melahirkan rasa aman, bahagia dan sejahtera. Ibu, umpamanya, dalam bahasa Arab disebut dengan umi, yang seakar dengan kata ummah (umat) berarti ibu yang melahirkan yang terpikul di pundaknya pembinaan anaknya, karena kehidupan keluarga merupakan tiang umat, tiang negara dan bangsa. Memang pendidikan di keluarga tugas utama ibu dan bukan berarti bapak lepas tangan. Padahal Luqman dalam al-Qur’an sebuah isyarat bahwa bapak juga terlibat dalam pendidikan anak-anak, di samping kewajiban sandang pangan, keuangan dan lain-lain. 6. Kepemimpinan dalam keluarga termasuk isu pokok dalam Islam. Bagaimana pun kecilnya suatu kelompok, perlu perhitungan yang baik dan benar. Untuk itulah Allah dalam al-Qur’an mencontohkan bagaimana kecermatan-Nya mengatur alam semesta yang tidak akan pernah ditemukan cacat sedikit pun (al-Mulk/67: 1-4). 3.2 persoalan seputar Pernikahan, Pacaran, Tunangan, Nikah Siri, Kawin Kontrak, Kawin Lintas Agama A. persoalan seputar Pernikahan salah satu persoalalan yang yang kini sering terjadi berkaitan dengan pernikahan adalah mahalnya mahar pernikahan yang ditetapkan oleh pihak mempelai wanita. Mahar dalam Islam adalah tanda cinta. Ia juga merupakan simbol penghormatan dan pengagungan perempuan yang disyariatkan Allah sebagai hadiah laki-laki terhadap perempuan yang dilamar ketika menginginkannya menjadi pendamping hidup sekaligus sebagai pengakuannya terhadap kemanusiaan dan kehormatannya. “Berilah mereka mahar dengan penuh ketulusan. Tetapi jika mereka rela memberikan sebagian dari mahar, maka ambillah dengan cara yang halal dan baik.” (QS An Nisa’ ayat 4) 11 Dari Aisyah bahwa Rasulullah pernah bersabda “Sesungguhnya pernikahan yang paling berkah adalah pernikahan yang bermahar sediki. ” (mukhtashar sunan Abu Daud) Dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda berkah perempuan adalah mudah dilamar, murah maharnya, dan murah rahimnya.” (HR. Ahmad) Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah dengan mahar alat-alat rumah tangga yang bernilai lima puluh dirham (HR Ibnu Majah) Rasulullah SAW pernah menikahkan anak-anak perempuannya dengan mahar yang murah. Sebagian sahabat menikah dengan emas yang beratnya tidak seberapa dan sebagian lain menikah dengan mahar cincin dari besi. Rasulullah mengawinkan Fatimah dengan Ali dengan baju perang. Beliau juga pernah menikahkan seorang laki-laki dengan mahar mengajarkan 20 ayat Al Quran kepada calon istrinya. Allah mendorong manusia agar melaksanakan pernikahan (al-Rûm,/30: 21). Untuk itu Allah menciptakan potensi rasa cinta dalam diri manusia. Atas dasar inilah manusia saling ketertarikan terhadap lawan jenis. Islam juga menganjurkan untuk memilih jodoh yang terbaik adalah yang beragama. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda: (artinya) “Biasanya seorang wanita dikawini karena empat faktor; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka, raihlah yang memiliki agama, karena kalau tidak tanganmu akan berlumuran tanah, hidupmu miskin atau sengsara.” Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah.15 Ada seseorang yang datang kepada Hasan al-Bashri untuk meminta pandangannya tentang memilih lamaran dua orang pemuda terhadap putrinya. Nasihat Hasan al-Bashri terimalah yang paling baik agamanya, karena jika ia senang terhadap istrinya pasti ia menghormatinya; sedang bila ia membencinya maka ia tidak akan menganiayanya. Seseorang 15 Quraish Shihab, hal. 254 12 pernah pula mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada istrinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya. Umar menasehatinya: “Sungguh jelek niatmu, apakah semua rumah tangga terbina dengan cinta? Di mana takwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami istri, telah saling bergaul (menyampaikan rahasia) dan istrimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Quraish Shihab, ibid). Agama dalam pernikahan merupakan fondasi yang kokoh dalam membangun kehidupan berkeluarga. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an surat al-Nisâ’/4:19, yang artinya: .... Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak senang terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan dibalik itu kebaikan yang banyak. Tali pernikahan inilah yang diistilahkan dengan mitsâq qhâliz (tali yang kokoh). Suami istri sangat berpeluang untuk kecocokan karena masing-masing berasal dari jenis yang sama, min nafs wâhidah, yakni manusia (al-Nisâ’/4: 1) dan suami istri bagaikan pakaian masing-masing, hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna (al-Baqarah/2: 187). Atas dasar pernikahan ini akan melahirkan kemesraan, kasih sayang, saling hubungan antara jiwa dengan jiwa dan saling melindungi serta saling rela berkorban untuk kebahagiaan pasangannya, yang pada puncaknya mencapai taraf sakinah. B. Pacaran Hukum Pacaran dalam Islam Tidak pernah dibenarkan adanya hubungan pacaran di dalam Islam. Justru sebaliknya, Islam melarang adanya pacaran di antara mereka yang mukan muhrim karena dapat menimbulkan berbagai fitnah dan dosa. Dalam Islam, pacaran adalah haram. Oleh sebab itu, ntara lelaki dan perempuan dalam dua hal, yakni: 13 Hubungan Mahram Yang dimaksud dengan hubungan mahram, seperti antara ayah dan anak perempuannya, kakak laki-laki dengan adik perempuannya atau sebaliknya. Oleh karena yang mahram berarti sah-sah saja untuk berduaan (dalam artian baik) dengan lawan jenis. Sebab, dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 23 disebutkan bahwa mahram (yang tidak boleh dinikahi) daripada seorang laki-laki adalah ibu, nenek, saudara perempuan (kandung maupun se-ayah), bibi (dari ibu maupun ayah), keponakan (dari saudara kandung maupun sebapak), anak perempuan (anak kandung maupun tiri), ibu susu, saudara sepersusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Dalam hubungan yang mahram, wanita boleh tidak memakai jilbab tapi bukan mempertontonkan auratnya. Hubungan Non-mahram Selain daripada mahram, artinya laki-laki dibolehkan untuk menikahi perempuan tersebut. Namun, terdapat larangan baginya jika berdua-duaan, melihat langsung, atau bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Untuk perempuan, harus menggunakan jilbab dan menutup seluruh auratnya jika berada di sekitar laki-laki yang bukan mahramnya tersebut. Bahaya Pacaran dalam Agama Islam Islam melarang pacaran bukan tanpa sebab. Pacaran itu, selain daripada mendekati zina yang merupakan dosa besar, juga bisa menimbulkan berbagai macam bahaya yang kesemuanya tidak hanya akan merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain. 1. Mudah terjerumus ke perzinaan 2. Melemahkan iman 3. Mengajarkan kepada kemunafikkan 14 4. Mengurangi produktivitas dan minat belajar C. TUNANGAN Tunangan yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah yang disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Sedangkan dalam Islam, hal seperti itu tidak ada, yang ada hanyalah khitbah itu sendiri. Khitbah adalah permintaan resmi yang disampaikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan maksud yang jelas yaitu menikahinya. Hukumnya sunnah dan tidak ada persyaratan khusus didalamnya. Yang terpenting adalah maksud dari pihak laki-laki tersebut bisa tercapai. Khitbah juga merupakan sarana pihak laki-laki untuk mengenal pihak wanita lebih lanjut. Dalam khitbah dianjurkan bagi lelaki untuk melihat perempuan (dalam batas yang diperbolehkan agama), bahkan sebelum menyatakan khitbah secara resmi. Dalam riwayat Mughirah bin Syu’bah ketika hendak melakukan khitbah kepada seorang perempuan, Rasulullah menasehatinya “Lihatlah dulu, itu lebih baik dan akan bisa mendatangkan rasa cinta di antara kalian” (H.R. Ashabussunan). Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahrom, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat. ika yang dimaksudkan bertunangan adalah Khithbah atau melamar, maka hukumnya diperbolehkan, hal ini berdasarkan: 15 َ ف ْ َةَج « ْأم د-هللا ص قف َ ْمدلأ َقحر ْ َ ِ نق ْ َم َ ِِ ة َك ٍَۢ ِام د َ نِفِ َب ْ َ قل ْ ق ي- أِا ِ طخَ م َقتعر ْ ِمف مَم م ِ َََّْْْك ْ َنلأ َِ َه ِنيلأ ْ َن د » ِم َأمهيََ َِ ِبَها ْ َن د. َ َكة ْْمأ ِم َنتزأ ِمف ِا دن ىمَ َقََ م َ ٌي. ٍِۢ ىندََْك ۦمَنتَلأ ْ دنأ « ىمأ Artinya: “Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Hathib bin Abu Balta’ah untuk melamarku untuk beliau, lalu aku berkata: “Sesungguhnya Aku memiliki anak perempuan dan aku termasuk seorang pencemburu’, beliau menjawab: “Adapun anak perempuannya, maka kita berdoa kepada Allah agar Ia memberikan kekayaan kepadanya dan aku berdoa kepada Allah agar Allah menghilangkan rasa cemburu.” HR. Muslim. ف ْ دن ْ ََََْ ْ َم هللا ص قف – ۦمند ِخ د ْمأ ِامدحأ م َك ءَ ْمَك م َ ىمأٍۢ َك ءَم ْ ِمف ِامف ْأَِِر َطا – ْ َ قل ْ ق ي » مل ٍَۢ ِمف ْ َهف ْ ِهتأ ِم ِ د. ْ ََكخ، ٍِِۢم ِىف ْ َِف ْ َمَ « ىمأ ِ َّ ِِ Artinya: “’Urwah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melamar Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, lalu Abu Bakar berkata kepada beliau: “Sesungguhnya aku hanyalah saudaramu”, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu adalah saudaraku di dalam Agama Allah dan Kitab-Nya dan ia (anak perempuanmu) itu haal bagiku.” HR. Bukhari. D. Nikah Kontrak Nikah kontrak, dalam bahasa Arab dikenal dengan nikah mut’ah, nikah mut’ah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah dan mut’ah. 16 Nikah secara bahasa adalah akad dan w atha’. Dalam istilah ini nikah diartikan akad. Kata nikah ini kemudian disandingkan dengan kata mut’ah. Secara defenitif Nikah menurut M uhammad Abu Zahrah yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang w anita, saling tolong menolong antara keduanya serta menimbulkan hak dan kew ajiban antara keduanya. Dapat dipahami bahwa pernikahan merupakan sarana yang efektif untuk memelihara manusia dari perbuatan zina, karena secara sederhana pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta untuk mengembangkan keturunan. Selanjutnya dalam UU PerkawinandiIndonesia didefinisikan pernikahan adalah “ ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang w anita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 3 Definisi tersebut mengisyaratkan bahw asuatu pernikahan dilakukan untuk mempererat ikatan batin, di samping ikatan lahiriyah, antara seorang laki-laki dan perempuan. Tujuan ikatan itu adalah untuk kebahagiaan kedua belah pihak dan kebahagiaan anak-anak yang dilahirkannya. Kebahagiaan itu diupayakan untuk selama-lamanya, bukan untuk sementarawaktu. Selanjutnya M ut’ah berasal dari kata ﻣﺘﻊ ﯾﯾﻤﺘﻊ ﻣﺘﻌﺔ secara literal mempuyai ragam pengertian, antara lain manfaat, bersenangsenang, menikmati, bekal. Terdapat beberapa pengertian tentang mut’ah, yaitu: pertama, mut’ah adalah uang, barang, dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya. Kedua, kesenangan mutlak yang dijadikan dasar hidup bagi laki-laki untuk mencapai keinginannya, haw a nafsunya, dan birahinya dari w anita tanpa syarat. Ini dilakukan dengan perkaw inan 17 sementara atau yang diistilahkan dengan “ kaw in kontrak” dalam jangka w aktu yang dibatasi menurut perjanjian. Secara definitif, nikah mut’ah berarti : pernikahan dengan menetapkan batas w aktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan isteri.7 Bila habis masa (waktu) yang ditentukan, maka keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut sesuai kesepakatan semula. Penentuan jangka w aktu inilah yang menjadi ciri khas nikah mut’ah, sekaligus pembeda dari nikah biasa. Persyaratan untuk melangsungkan nikah kontrak tidak terikat pada persyaratan sebagaimana yang lazimnya dilakukan untuk syarat sahnya nikah permanen. Ia dapat dilaksanakan dengan menghadirkan saksi, atau tanpa saksi, di depan w ali atau sebaliknya,9 asalkan perempuan yang dinikahi setuju menerimanya. Menurut Ja’far Murthada A l-A mili,10 yang harus terpenuhi dalam nikah kontrak adalah: baligh, berakal, tidak ada suatu halangan syar’i untuk berlangsungnya perkaw inan tersebut, seperti adanya nasab, saudara sesusu, masih menjadi istri orang lain, atau menjadi saudara perempuan istrinya sebagaimana yang telah dinyatakan dalam al-Qur’an. Setelah habis waktu yang disepakati, wanita tersebut bila hendak kawin dengan laki-laki lain dia harus melakukan iddah selama dua bulan. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan satu bulan jika masa haidnya normal, dan empat puluh lima hari kalau dia sudah dew asa tetapi tidak pernah haid. Sedangkan iddah w anita hamil atau ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya seperti dalam iddah permanen. HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT’AH Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal. • Dari al Qur`an : 18 َ ِْْ ِل َل مأى ذكن ِ ََ َُْۦمدبِِم َه َل ِم َ ۦْ ِل َل ْ َْ نأ نقك كنيم ِ ََ َِْحأمَ َل َل ىأِمد َل َل ٌي َََ نق ِ ْ َ ْ اِ دن ْق ِف ِ َ َْةۦٓ ِِ ِمَ ى ْملَِ َه َل َۦمعأَّ َْن ىح ِم ۦمَته ِف Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 2931] Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24] َ ح ى ِحم دنأ نقك ح ْ د َ َِْحأمَ َكل ِننم ىتي ِ ح َۦم َحَُ ِننأ ِ َِ أنِ َك َل َۦم َحَُ ِننْنم مد َل َِِت ِط ََ ِنن َك َل ِ َك زن ْن ِن ِكت َۦم َحَُ ْنأ ِ أ ْر َنَُ ْنأ ء ف َكل ِننم م َع ء ىأم ِك َُكه دَم مِأَِِ ِن ْ َه ِق َ ح ٌيََ َْْق َل مِأِِحأمِ َكل م َع ِ ََ ِل دم ْ نَكه دَم ْ َ َْكةه دَم مِ َأمح َع ح ِنم ۦ َنِأىُِأ ء م نأ ْقف َۦم َح ِ ح ْن َنت د ِببۦ ِ ذ َُ ْنأ ِ ُْ دم ىأ ِ َن ْنيَم ِم َ ِأمِ ءر ىعق َي ِل دم م َ ْ ِ َمعبۦ ِ َۦن ىأِِۦ َْم ح ْ ََد ء ْ ِخ ََْۦ َي َََ دم َك َل َ ْ د كة دة ِمي َل ِِ ِمَ ِمح َم َِِِ َۦمعنَ ِنن َك َ َل ْْن ن َ ٌَُ َِ Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanitawanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari 19 perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25]. Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [26] • Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut’ah. • Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah. Di antara pernyataan tersebut ialah : 1. Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka. 2. Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[27] 3. Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”. [28 4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut’ah nyaris 20 menjadi sebuah Ijma’ (maksudnya Ijma’ kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi’ah”. [29] • Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30] 1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya. 1. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah. 3. Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya. b. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina. c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya 21 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1.1 KESIMPULAN Akhlak merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang dibangun baik sejak dini akan membangun kepribadian yang luhur sebagai seorang muslim sehingga mampu melaksanakan ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang telah tertulis dalam Al-Quran dan Hadits serta yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Pernikahan merupakan sarana untuk menegakkan rumah tangga yang Islami,mencari keturunan yang shalih serta untuk meningkatkan ibadah kepada Allah. Pernikahan sebagai sarana untuk membangun keluarga yang nantinya hidup dalam masyarakat juga dapat meningkatkan jalinan tali silaturahmi antar sesama muslim. Membangun keluarga yang damai dan sejahtera bukanlah hal mudah. Hubungan komunikasi yang baik antara suami dan istri danbersikap dewasa dapat membantu ketika terjadi masalah. Keluarga yang sakinah mawadan dan warohmah yang di ridhoi Allah SWT selalu berkaitan dengan akhlak dalam keluarga baik diantaranya adalah birrul walidain,hak kewajiban dan kasih sayang suami istri,kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak,serta silaturrahim dengan karib kerabat. Oleh karena itu dalam sebuah keluarga di butuhkan akhlak dalam keluarga. Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam. 22 1.2 SARAN 2. Seorang muslim yang telah mempunyai kemampuan secara lahir dan bathin hendaknya secepatnya untuk menikah. Karena pada dasarnya pernikahan merupakan salah satu cara seseorang untuk mengindari perbuatan zina dan melindungi sebuah keturunan dari ketidakpastian masa depannya. 3. Dalam membangun dan membina sebuah keluarga diharapkan memperhatikan dengan penuh kejelasan terhadap berbagai tugas terpenting dan tujuan berkeluarga menurut Islam. 4. untuk mewujudkan terbentuknya keluarga yang harmonis dengan prinsip-prinsip Islam adalah dengan melakukan pembinaan keluarga menurut aturan-aturan yang telah di gariskan didalam islam dengan sedini mungkin. Insyaallah akan di ridhai Allah swt 23 DAFTAR PUSTAKA kbbi.web.id/keluarga Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah (2), (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 102 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III, hlm.58 Abdul Karim Zaidan, Ushul ad- Da’wah (Baghdad: Jam’iyyah al-Amani, 1976), hlm. 75. Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 9. terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10 hadits ini dada disebutkan oleh al-Ghazali dalam kitabnya ihya ulumuddin. Menurut al Iraqi, pentakhrij hadis-hadis yang ada dalam kitab ihya ahsau akhalaqaqum diriwayatkan oleh Abu Bakr Bin Lal dalam kitab al Makarim al akhlak, dari hadist Mu’adz, yaitu hadist munqat i’dan rijalnya tsiqat. Baca Al-Ghazali, Ihya ulumuddin,hlm. 72 terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10 kbbi.web.id/keluarga diakses 27 februari 2019 pukul 08.55 Academica.edu/konsep_keluarga_dalam_islam, diakses tanggal 27 februari 2019 pukul 09.34 Quraish Shihab, hal. 254 24