Uploaded by RAHMAT RIDWAN

URGENSI PERNIKAHAN DALAM ISLAM

advertisement
MAKALAH AIK IV
AHLAK DALAM KELUARGA
Disusun Oleh :
Rohmatur Ridwani
(201610170311091)
Kelas Mubtadi’in B
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH MALANG
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat dengan berbagai referensi, sumber dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Selain dari pada itu, kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen dan kedua orang tua, serta teman-teman.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Akhirnya, kami berharap agar tulisan sederhana ini mendapat ridha dari
Allah SWT. Dan bermanfaat bagi kita semua. Amin yaarabbal alamin.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 2
1.3 Tujan ................................................................................................................. 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................... 3
2.1. Pengertian Leluarga .......................................................................................... 3
2.2 Pengertian Ahlak ............................................................................................... 4
2.3 Peernikahan ....................................................................................................... 6
2.4 Tunangan........................................................................................................... 7
BAB III ANALITIS ................................................................................................ 7
3.1 Keluarga Islami dalam membangun masyarakat ............................................ 7
3.2 persoalan seputaar pernikahan, pacaran, sikah siri, nikah lintas agama ........ 11
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 24
ii
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri keluarga adalah merupakan bagian terpenting
penting dalam hidup setiap manusia, terciptanya keluarga ditandai dengan
adanya pernikahan antara dua individu yang saling mencintai. Definisi
keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terkumpul didalam satu
tempat dan tinggal didalam satu atap dimana terdapat hubungan emosional
yang erat antara satu sama lain dan adanya saling ketergantungan antara satu
individu dan individu lain dalam satu keluarga dan dipimpin oleh seorang
kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarga tersebut. Sehingga
keluarga dapat digambarkan sebagai bangunan rumah dimana dalam
bangunan rumah tersebut terdapat batu yang membentuk dinding dan pondasi
dimana dinding dan pondasi tersebut berfungsi agar rumah tersebut berdiri
dengan kokoh. Dalam satu bangunan rumah juga terdapat atap yang berfungsi
untuk melindungi dari panas teriknya matahari disiang hari dan hujan serta
dinginnya angin dimalam hari. Apabila dinding atau pondasi dan juga atap
dalam rumah tersebut retak maka dapat dipastikan rumah tersebut tidak akan
bertahan lama dan pasti akan segera roboh jika tidak segera mungkin
dilakukan perbaikan terghadapnya. Begitupun dengan keluarga jika terjadi
permasalahan dalam sebuah keluarga sehingga terjadi kertakan didalam
keluarga dan tidak segera diselesaikan permasalahan tersebut, maka dapat
menyebabkan perceraian dalam sebuah keluarga, dimana perceraian
merupakan sebuah perkara halal yang dibenci oleh Allah SWT.
Oleh karena itu usaha untuk menguatkan keluarga merupakan suatu
hal penting yang wajib bagi pemimpin keluarga. Dalam rangka menguatkan
keluarga perlu tercipta danya keharmonisan didalamnya, dimana salah satu
1
unsur dari keharmonisan dalam keluarga adalah moral atau etika dalam
berumah tangga atau sering disebut ahlak dalam berumah tangga.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana urgensi keluarga dalam membangun masyarakat?
2. Mengapa pernikahan digunakan sebagai sarana untuk membangun
masyarakat?
3. Apa saja persoalan seputar Pernikahan, Pacaran, Tunangan, Nikah Siri,
Kawin Kontrak, Kawin Lintas Agama
1.3 Tujan
1. Mengetahui urgensi keluarga dalam membangun masyarakat.
2. Mengetahui pernikahan digunakan sebagai sarana untuk membangun
masyarakat.
4. Mengetahui Apa saja persoalan seputar Pernikahan, Pacaran, Tunangan,
Nikah Siri, Kawin Kontrak, Kawin Lintas Agama
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN KELUARGA
Menurut KBBI keluarga /ke•lu•ar•ga/ n 1 ibu dan bapak beserta
anak-anaknya; seisi rumah: seluruh -- nya pindah ke Bandung; 2 orang seisi
rumah yang menjadi tanggungan; batih: ia pindah ke Jakarta bersama -- nya;
3 (kaum -- ) sanak saudara; kaum kerabat: ia sering berkunjung ke Jakarta
karena banyak -- nya tinggal di sana; 4 satuan kekerabatan yang sangat
mendasar dalam masyarakat;1 Keluarga itu adalah sebagai sebuah batu
daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa yang terdiri dari sekumpulan
keluarga besar, yang mana satu sama lain mempunyai hubungan yang erat
sekali. Dan sudah tentulah bahwa sesuatu bangunan yang terdiri dari sekian
banyak batu-batu, akan menjadi kuat atau lemah sesuai dengan kuat atau
lemahnya batu-batu itu sendiri. Apabila batu-batu itu kuat dan saling kuat
menguatkan serta memiliki pula daya tahan yang hebat, tentulah bangsa yang
terbentuk dari keluarga-keluarga yang seperti batu-batu demikian itu akan
kuat dan hebat pulalah keadaannya. Dan sebaliknya, seandainya batu-batu
yang membentuk bangunan bangsa itu lemah dan bercerai-berai, pastilah
bangsa itu akan menjadi lemah dan tiada berdaya.2
Oleh karena itu usaha-usaha untuk menguatkan keluarga itu adalah
suatu hal terpenting yang wajib diperhatikan oleh pemimpin dan merupakan
jalan yang wajib ditempuh dengan segala daya dan upaya. Hal yang demikian
itu mungkin dapat dicapai melainkan dengan mengadakan prinsip-prinsip
yang kuat di mana dibina diatasnya mengenai kekeluargaan itu, yang akan
menjamin hidup serta pertumbuhannya, hingga menjadi suatu keluarga yang
kuat dan jaya. Setelah itu harus pula diadakan pengawasan yang kuat atas
prinsip-prinsip tersebut dan diawasi pula pelaksanaannya.
1
kbbi.web.id/keluarga
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah (2), (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), hlm. 102
2
3
Apabila keluarga itu dipandang sebagai sebuah batu daripada batubatu bangunan sesuatu bangsa, maka perkawinan dapat dipandang sebagai
asal usul dari suatu keluarga, karena dari perkawinan itulah kekeluargaan
terbentuk dan selanjutnya bertumbuh dan berkembang.
Keluarga adalah satu-satunya situasi yang pertama dikenal anak, baik
prenatal maupun postnatal. Dan ibulah yang pertama kali dikenalnya.
Kedekatan ibu dengan anaknya terutama pada masa-masa bayi adalah sesuatu
yang alamiah, yang dimulai dari proses reproduksi sampai denganpenyusuan
dan pemeliharaan bayi.(Fuaduddin TM, 1999: 22)3
Oleh sebab itu pula maka perkawinan harus mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh, yang sama dengan perhatian yang harus dicurahkan
kepada kekeluargaan, kalau bukanlah harus melebihi perhatian terhadap
kekeluargaan itu.
2.2 PENGERTIAN AHLAK
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata
khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khalq (pencipta).4
Secara terminologis ada beberapa defenisi tentang akhlaq :5
3
Jurnal Al-Thariqah Vol. 1, No. 1, Juni 2016 ISSN 2527-9610, hlm 61, diakses tanggal 27 februari
2019 pukul 06.19
4
Al-Mun jid fi al-Lughah wa al-I’lam (Beirut: Dar al – Masyriq, 1989), cet. Ke 28, hlm. 164.
5
Yunahar, Op. Cit., hlm. 2
4
1) Imam al-Ghazali:
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.”6
2) Abdul Karim Zaidan:
“Akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa,
yang dengan sorotsn dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatanya
baik
atau
buruk,
untuk
kemudian
memilih
melakukan
atau
meninggalkannya.7
Disamping istilah akhlaq, juga dikenal istilah etika dan moral.
Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan
manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlaq
standarnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah; bagi etika standarnya
pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang
umum maupun berlaku dimasyarakat.8
Akhlak merupakan salah satu yang dapat menerima perubahan. Hal
ini sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman : “Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah yang mengotorinya”.9 Sedangkan dalam salah satu
hadits Nabi Muhammad s.a.w. beliau bersabda: “perbaikilah akhlakmu”.10 Ini
menunjukan bahwa pada perinsipnya akhlak yang buruk dapat diubah dan
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III,
hlm.58
7
Abdul Karim Zaidan, Ushul ad- Da’wah (Baghdad: Jam’iyyah al-Amani, 1976), hlm. 75.
8
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 9.
6
terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10
hadits ini dada disebutkan oleh al-Ghazali dalam kitabnya ihya ulumuddin.
Menurut al Iraqi, pentakhrij hadis-hadis yang ada dalam kitab ihya ahsau
akhalaqaqum diriwayatkan oleh Abu Bakr Bin Lal dalam kitab al Makarim al
akhlak, dari hadist Mu’adz, yaitu hadist munqat i’dan rijalnya tsiqat. Baca AlGhazali, Ihya ulumuddin,hlm. 72
9
10
5
dididik sehingga menjadi akhlak yang baik. Karena seandainya akhlak seperti
itu awal penciptaannya tanpa dapat mengalami perubahan apapun, maka tentu
Nabi Muhammad s.a.w. tidak akan menyhuruh umat Islam untuk
memperbaiki akhlak mereka.
2.3 PERNIKAHAN
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya
untuk
menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana
untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi
manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia
di
atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap
hamba-Nya. Oleh karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan
dijelaskan
secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al-quran dan (2)
bagaimana
kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga dan melanggengkan
pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan mereka
dewasa ini.11
Peristiwa pernikahan merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan
Allah SWT seperi yang dijelaskan dalam firman Nya :
‫ْةمَ حرز دنكَّد ََز ميَن َكل ْْعج اِميَلأ ت َِ َكنَ َك َۦ ِمن ْ َ ِْ َ زْأ ْمَُ ِِ َك َل ِ نن َم م َكل َقل ْ َن ٓ ِۦِتِ ِ َا ْ ِن َم‬
‫ٍۢٓ ِۦِ َ ء‬
‫َ َ ِِ ِم ىِف اِ دن‬
‫ِتُ دك ََْن ِمنم َك َءق‬
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.
11
terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10
6
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.” [QS. Ar. Ruum (30):21].
BAB III: ANALISIS KOMPARATIF
Perbandingan antara obyek dengan kajian pustaka
3.1
Keluarga Islami dalam membangun masyarakat.
Keluarga merupakan satuan kekerabatan yanvg mendasar dalam
masyarakat,12 atau dengan kata lain cikal bakal terbentuknya masyarakat
dimana dari pengertian keluarga menurut KBBI maka masyarakat dalah
himpunan atau perkumpulan dari sekelompok keluarga yang tinggal
didalam suatu tempat. Ketika kita ingin membangun atau membuat sesuatu
hal yang besar maka kita perlu memulai dari suatu hal yang kecil. Begitupun
dengan membangun masyarakat yang harmonis perlu dimulai lingkup
terkecil yaitu dari membangun keluarga yang harmonis.
Untuk membangun keluarga yang harmoniss perlu adanya
penerapan etika dan moral serta ahlak yang baik dalam sebuah keluarga dan
membagian antara hak hingga kewajiban yang jelas didalam sebuah
keluarga untuk menunjang keberlangsungan keluarga tersebut. Hal ini
sesuai dengan firman ALLAH SWT :
َّ ‫احدَة َو َخلَقَ ِمن َها َزو َج َها َو َب‬
‫ث‬
ِ ‫يَا أَي َها النَّاس اتَّقوا َربَّكم الَّذِي َخلَقَكم ِمن نَفس َو‬
َ ‫َللا ك‬
َ ‫سا َءل‬
‫علَيكم‬
َ ‫َان‬
َ َ ‫َللاَ الَّذِي ت‬
َ ِ‫يرا َون‬
َّ ‫سا ًء َواتَّقوا‬
ً ِ‫ِمنه َما ِر َج ًال َكث‬
َ َّ ‫ون بِ ِه َواْلَر َحا َم إِ َّن‬
)1( ‫َرقِيبًا‬
Artinya:
12
kbbi.web.id/keluarga diakses 27 februari 2019 pukul 08.55
7
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan Mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa 4: 1)
Islam sebagai agama yang tujuan utamanya adalah kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Pribadi yang
baik akan melahirkan keluarga yang baik, sebaliknya pribadi yang rusak akan
melahirkan keluarga yang rusak. Demikian juga seterusnya, apabila keluarga baik,
maka akan melahirkan negara yang baik. Manusia diberi mandat atau amanah oleh
Allah sebagai mandataris-Nya. Manusia ditantang untuk menemukan, memahami
dan menguasai hukum alam yang sudah digariskan-Nya, sehingga dengan usahanya
itu ia dapat mengeksploitasinya untuk tujuan-tujuan yang baik.
Berikut kiat-kiat sesuai islam untuk membangun masyarakat yang baik :13
1. Adam as dan keturunannya diciptakan Allah berpotensi mendapatkan ilmu
pengetahuan (al-Baqarah/2:31) kemudian Allah mengungkapkan sifat atau
fenomena alam kepada manusia yang disebut dengan sunatullah. Ia berbeda
dengan hukum alam Barat. Maksud sunatullah dalam Islam ialah Allah
menciptakan segala sesuatu memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengan
sifatnya itu ia bersifat otonom dan kosmopolitan di alam, tetapi bukan
otokrasi. Allah menciptakan api panas, dan ia otonom panasnya serta selalu
panas. Sunnatullah atau rancangan ciptaan Allah ini, tidak akan berubah
dan ia akan membakar apapun yang mendekat padanya tanpa ia bedakan.
Kalau api tidak panas harus diganti namanya. Sedangkan hukum alam barat,
alam berfenomena menjadikan api panas, tetapi bukan diciptakan. Kata
taskhîr dalam al-Qur’an (Lihat: al-Jatsiyah/45: 13) menunjukkan arti bahwa
Allah sengaja mengungkapkan sifat-sifat atau fenomena alam kepada
13
Academica.edu/konsep_keluarga_dalam_islam, diakses tanggal 27 februari 2019 pukul 09.34
8
manusia. Dengan menyusun sifat-sifat benda di alam, manusia dapat
menciptakan ilmu pengetahuan dan mengembangkannya. Selain itu, agar
manusia tetap baik dan bersih, Allah menciptakan roh pada diri manusia
(min rûhî; lihat:al-Hijr/15:29 dan Shâd/3872) yang bersifat suci bahkan
sucinya, menurut Tafsir al-Mizan dihubungkan dengan kesucian Allah (alThaba Thaba’i, juz 12,h.155). Dengan demikian Allah menciptakan
manusia sesuai dengan fitrahnya, potensi suci, beriman kepada Allah (al‘Araf/7: 172 dan al-Rûm/30: 30).
2. Allah mendorong manusia agar melaksanakan pernikahan (al-Rûm,/30: 21).
Untuk itu Allah menciptakan potensi rasa cinta dalam diri manusia. Atas
dasar inilah manusia saling ketertarikan terhadap lawan jenis. Islam juga
menganjurkan untuk memilih jodoh yang terbaik adalah yang beragama.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda: (artinya) “Biasanya
seorang wanita dikawini karena empat faktor; karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka, raihlah yang memiliki
agama, karena kalau tidak tanganmu akan berlumuran tanah, hidupmu
miskin atau sengsara.” Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain dari
Abu Hurairah.14 Ada seseorang yang datang kepada Hasan al-Bashri untuk
meminta pandangannya tentang memilih lamaran dua orang pemuda
terhadap putrinya. Nasihat Hasan al-Bashri terimalah yang paling baik
agamanya, karena jika ia senang terhadap istrinya pasti ia menghormatinya;
sedang bila ia membencinya maka ia tidak akan menganiayanya. Seseorang
pernah pula mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada
istrinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya. Umar
menasehatinya: “Sungguh jelek niatmu, apakah semua rumah tangga terbina
dengan cinta? Di mana takwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula
rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami istri,
telah saling bergaul (menyampaikan rahasia) dan istrimu telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat. (Quraish Shihab, ibid). Agama dalam
14
Quraish Shihab, hal. 254
9
pernikahan merupakan fondasi yang kokoh dalam membangun kehidupan
berkeluarga. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an surat al-Nisâ’/4:19, yang
artinya: .... Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
boleh jadi kamu tidak senang terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan
dibalik itu kebaikan yang banyak.
Tali pernikahan inilah yang diistilahkan dengan mitsâq qhâliz (tali yang
kokoh). Suami istri sangat berpeluang untuk kecocokan karena masingmasing berasal dari jenis yang sama, min nafs wâhidah, yakni manusia (alNisâ’/4: 1) dan suami istri bagaikan pakaian masing-masing, hunna libâs
lakum wa antum libâs lahunna (al-Baqarah/2: 187). Atas dasar pernikahan
ini akan melahirkan kemesraan, kasih sayang, saling hubungan antara jiwa
dengan jiwa dan saling melindungi serta saling rela berkorban untuk
kebahagiaan pasangannya, yang pada puncaknya mencapai taraf sakinah.
3. Seorang ibu apabila hamil sangat dianjurkan oleh agama untuk
memperhatikan kesehatannya. Karena kesehatan erat kaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan janin. Bahkan ada kewajiban agama yang
digugurkan atau ditangguhkan pelaksanaannya, seperti puasa (Quraish
Shihab, ibid) kemudian apabila anak telah lahir maka disambut dengan rasa
syukur dengan diazankan dan diiqamahkan. Hal ini dimaksudkan untuk
pengisian sisi otak kanan dengan akidah, lâ ilaha illa Allah wa muhammad
rasulullah sebagai pegangan hidup di dunia yang beraneka ragam dan sisi
otak kiri sebagai realisainya dengan mempraktekkan syariah. Rasa syukur
ini direalisasikan juga dalam bentuk pemberian nama yang baik dan upacara
akikah.
4. Apabila anak sudah menginjak remaja, orang tua harus mendidiknya dengan
sebaik-baik dan semaksimalnya. Keluarga merupakan pendidikan nonformal dan sangat menentukan baik-buruknya (akhlak) seorang anak.
Bahkan dapat dikatakan keluarga adalah madrasah atau sekolah pertama
dari seorang anak.
5. Perekat bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban. Ini disyariatkan
Allah kepada ibu bapak dan anaknya. Hal ini dimaksudkan adalah untuk
10
menciptakan keharmonisan dalam hidup berumah tangga, yang pada
akhirnya akan melahirkan rasa aman, bahagia dan sejahtera. Ibu,
umpamanya, dalam bahasa Arab disebut dengan umi, yang seakar dengan
kata ummah (umat) berarti ibu yang melahirkan yang terpikul di pundaknya
pembinaan anaknya, karena kehidupan keluarga merupakan tiang umat,
tiang negara dan bangsa. Memang pendidikan di keluarga tugas utama ibu
dan bukan berarti bapak lepas tangan. Padahal Luqman dalam al-Qur’an
sebuah isyarat bahwa bapak juga terlibat dalam pendidikan anak-anak, di
samping kewajiban sandang pangan, keuangan dan lain-lain.
6. Kepemimpinan dalam keluarga termasuk isu pokok dalam Islam.
Bagaimana pun kecilnya suatu kelompok, perlu perhitungan yang baik dan
benar. Untuk itulah Allah dalam al-Qur’an mencontohkan bagaimana
kecermatan-Nya mengatur alam semesta yang tidak akan pernah ditemukan
cacat sedikit pun (al-Mulk/67: 1-4).
3.2
persoalan seputar Pernikahan, Pacaran, Tunangan, Nikah
Siri, Kawin Kontrak, Kawin Lintas Agama
A.
persoalan seputar Pernikahan
salah satu persoalalan yang yang kini sering terjadi berkaitan dengan
pernikahan adalah mahalnya mahar pernikahan yang ditetapkan oleh pihak
mempelai wanita. Mahar dalam Islam adalah tanda cinta. Ia juga merupakan
simbol penghormatan dan pengagungan perempuan yang disyariatkan Allah
sebagai hadiah laki-laki terhadap perempuan yang dilamar ketika
menginginkannya
menjadi
pendamping
hidup
sekaligus
sebagai
pengakuannya terhadap kemanusiaan dan kehormatannya.
“Berilah mereka mahar dengan penuh ketulusan. Tetapi jika mereka
rela memberikan sebagian dari mahar, maka ambillah dengan cara yang
halal dan baik.” (QS An Nisa’ ayat 4)
11
Dari Aisyah bahwa Rasulullah pernah bersabda “Sesungguhnya
pernikahan yang paling berkah adalah pernikahan yang bermahar sediki. ”
(mukhtashar sunan Abu Daud)
Dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di
antara tanda-tanda berkah perempuan adalah mudah dilamar, murah
maharnya, dan murah rahimnya.” (HR. Ahmad)
Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah
dengan mahar alat-alat rumah tangga yang bernilai lima puluh dirham (HR
Ibnu Majah)
Rasulullah SAW pernah menikahkan anak-anak perempuannya
dengan mahar yang murah. Sebagian sahabat menikah dengan emas yang
beratnya tidak seberapa dan sebagian lain menikah dengan mahar cincin dari
besi. Rasulullah mengawinkan Fatimah dengan Ali dengan baju perang.
Beliau juga pernah menikahkan seorang laki-laki dengan mahar
mengajarkan 20 ayat Al Quran kepada calon istrinya. Allah mendorong
manusia agar melaksanakan pernikahan (al-Rûm,/30: 21). Untuk itu Allah
menciptakan potensi rasa cinta dalam diri manusia. Atas dasar inilah
manusia saling ketertarikan terhadap lawan jenis. Islam juga menganjurkan
untuk memilih jodoh yang terbaik adalah yang beragama. Dalam hal ini
Nabi Muhammad SAW bersabda: (artinya) “Biasanya seorang wanita
dikawini
karena
empat
faktor;
karena
hartanya,
keturunannya,
kecantikannya dan agamanya. Maka, raihlah yang memiliki agama, karena
kalau tidak tanganmu akan berlumuran tanah, hidupmu miskin atau
sengsara.” Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu
Hurairah.15 Ada seseorang yang datang kepada Hasan al-Bashri untuk
meminta pandangannya tentang memilih lamaran dua orang pemuda
terhadap putrinya. Nasihat Hasan al-Bashri terimalah yang paling baik
agamanya, karena jika ia senang terhadap istrinya pasti ia menghormatinya;
sedang bila ia membencinya maka ia tidak akan menganiayanya. Seseorang
15
Quraish Shihab, hal. 254
12
pernah pula mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada
istrinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya. Umar
menasehatinya: “Sungguh jelek niatmu, apakah semua rumah tangga terbina
dengan cinta? Di mana takwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula
rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami istri,
telah saling bergaul (menyampaikan rahasia) dan istrimu telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat. (Quraish Shihab, ibid). Agama dalam
pernikahan merupakan fondasi yang kokoh dalam membangun kehidupan
berkeluarga. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an surat al-Nisâ’/4:19, yang
artinya: .... Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
boleh jadi kamu tidak senang terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan
dibalik itu kebaikan yang banyak.
Tali pernikahan inilah yang diistilahkan dengan mitsâq qhâliz (tali
yang kokoh). Suami istri sangat berpeluang untuk kecocokan karena
masing-masing berasal dari jenis yang sama, min nafs wâhidah, yakni
manusia (al-Nisâ’/4: 1) dan suami istri bagaikan pakaian masing-masing,
hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna (al-Baqarah/2: 187). Atas dasar
pernikahan ini akan melahirkan kemesraan, kasih sayang, saling hubungan
antara jiwa dengan jiwa dan saling melindungi serta saling rela berkorban
untuk kebahagiaan pasangannya, yang pada puncaknya mencapai taraf
sakinah.
B.
Pacaran
Hukum Pacaran dalam Islam
Tidak pernah dibenarkan adanya hubungan pacaran di dalam Islam. Justru
sebaliknya, Islam melarang adanya pacaran di antara mereka yang mukan
muhrim karena dapat menimbulkan berbagai fitnah dan dosa. Dalam Islam,
pacaran adalah haram. Oleh sebab itu, ntara lelaki dan perempuan dalam dua hal,
yakni:
13
Hubungan Mahram
Yang dimaksud dengan hubungan mahram, seperti antara ayah dan anak
perempuannya, kakak laki-laki dengan adik perempuannya atau sebaliknya. Oleh
karena yang mahram berarti sah-sah saja untuk berduaan (dalam artian baik)
dengan lawan jenis.
Sebab, dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 23 disebutkan bahwa mahram (yang
tidak boleh dinikahi) daripada seorang laki-laki adalah ibu, nenek, saudara
perempuan (kandung maupun se-ayah), bibi (dari ibu maupun ayah), keponakan
(dari saudara kandung maupun sebapak), anak perempuan (anak kandung maupun
tiri), ibu susu, saudara sepersusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Dalam
hubungan yang mahram, wanita boleh tidak memakai jilbab tapi bukan
mempertontonkan auratnya.
Hubungan Non-mahram
Selain daripada mahram, artinya laki-laki dibolehkan untuk menikahi perempuan
tersebut. Namun, terdapat larangan baginya jika berdua-duaan, melihat langsung,
atau bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Untuk perempuan,
harus menggunakan jilbab dan menutup seluruh auratnya jika berada di sekitar
laki-laki yang bukan mahramnya tersebut.
Bahaya Pacaran dalam Agama Islam
Islam melarang pacaran bukan tanpa sebab. Pacaran itu, selain daripada
mendekati zina yang merupakan dosa besar, juga bisa menimbulkan berbagai
macam bahaya yang kesemuanya tidak hanya akan merugikan diri sendiri tetapi
juga orang lain.
1. Mudah terjerumus ke perzinaan
2.
Melemahkan iman
3. Mengajarkan kepada kemunafikkan
14
4.
Mengurangi produktivitas dan minat belajar
C. TUNANGAN
Tunangan yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah
merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah yang
disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Sedangkan
dalam Islam, hal seperti itu tidak ada, yang ada hanyalah khitbah itu
sendiri.
Khitbah adalah permintaan resmi yang disampaikan pihak laki-laki
kepada pihak perempuan dengan maksud yang jelas yaitu menikahinya.
Hukumnya sunnah dan tidak ada persyaratan khusus didalamnya. Yang
terpenting adalah maksud dari pihak laki-laki tersebut bisa tercapai.
Khitbah juga merupakan sarana pihak laki-laki untuk mengenal pihak
wanita lebih lanjut.
Dalam khitbah dianjurkan bagi lelaki untuk melihat perempuan
(dalam batas yang diperbolehkan agama), bahkan sebelum menyatakan
khitbah secara resmi. Dalam riwayat Mughirah bin Syu’bah ketika hendak
melakukan khitbah kepada seorang perempuan, Rasulullah menasehatinya
“Lihatlah dulu, itu lebih baik dan akan bisa mendatangkan rasa cinta di
antara kalian” (H.R. Ashabussunan).
Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat
bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga
mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi
mahrom, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir
dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita
harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
ika yang dimaksudkan bertunangan adalah Khithbah atau melamar, maka
hukumnya diperbolehkan, hal ini berdasarkan:
15
َ ‫ف ْ َةَج « ْأم‬
‫ د‬-‫هللا ص قف‬
‫َ ْمدلأ َقحر ْ َ ِ نق ْ َم‬
َ ‫ِِ ة‬
‫َك ٍَۢ ِام د‬
َ ‫نِفِ َب‬
‫ْ َ قل ْ ق ي‬- ‫أِا‬
ِ ‫طخَ م َقتعر ْ ِمف مَم م‬
‫ِ َََّْْْك ْ َنلأ َِ َه ِنيلأ ْ َن د‬
‫» ِم َأمهيََ َِ ِبَها ْ َن د‬.
َ ‫َكة ْْمأ ِم َنتزأ ِمف ِا دن ىمَ َقََ م‬
َ ‫ٌي‬. ٍۢ‫ِ ىندََْك ۦمَنتَلأ ْ دنأ « ىمأ‬
Artinya: “Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Hathib bin Abu Balta’ah untuk
melamarku untuk beliau, lalu aku berkata: “Sesungguhnya Aku memiliki
anak perempuan dan aku termasuk seorang pencemburu’, beliau
menjawab: “Adapun anak perempuannya, maka kita berdoa kepada Allah
agar Ia memberikan kekayaan kepadanya dan aku berdoa kepada Allah
agar Allah menghilangkan rasa cemburu.” HR. Muslim.
‫ف ْ دن ْ ََََْ ْ َم‬
‫هللا ص قف – ۦمند ِخ د‬
‫ْمأ ِامدحأ م َك ءَ ْمَك م َ ىمأٍۢ َك ءَم ْ ِمف ِامف ْأَِِر َطا – ْ َ قل ْ ق ي‬
‫ » مل ٍَۢ ِمف ْ َهف ْ ِهتأ ِم ِ د‬.
‫ ْ ََكخ‬، ٍۢ‫ِِم ِىف ْ َِف ْ َمَ « ىمأ‬
ِ َّ ِِ
Artinya: “’Urwah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melamar Aisyah radhiyallahu
‘anha kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, lalu Abu Bakar berkata
kepada beliau: “Sesungguhnya aku hanyalah saudaramu”, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu adalah
saudaraku di dalam Agama Allah dan Kitab-Nya dan ia (anak
perempuanmu) itu haal bagiku.” HR. Bukhari.
D. Nikah Kontrak
Nikah kontrak, dalam bahasa Arab dikenal dengan nikah mut’ah,
nikah mut’ah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah
dan mut’ah.
16
Nikah secara bahasa adalah akad dan w atha’. Dalam istilah ini
nikah diartikan akad. Kata nikah ini kemudian disandingkan dengan kata
mut’ah. Secara defenitif Nikah menurut M uhammad Abu Zahrah yaitu
akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki
dan seorang w anita, saling tolong menolong antara keduanya serta
menimbulkan hak dan kew ajiban antara keduanya.
Dapat dipahami bahwa pernikahan merupakan sarana yang efektif
untuk memelihara manusia dari perbuatan zina, karena secara sederhana
pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera
serta untuk mengembangkan keturunan.
Selanjutnya dalam UU PerkawinandiIndonesia didefinisikan
pernikahan adalah “ ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang w anita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” 3
Definisi tersebut mengisyaratkan bahw asuatu pernikahan
dilakukan untuk mempererat ikatan batin, di samping ikatan lahiriyah,
antara seorang laki-laki dan perempuan. Tujuan ikatan itu adalah untuk
kebahagiaan kedua belah pihak dan kebahagiaan anak-anak yang
dilahirkannya. Kebahagiaan itu diupayakan untuk selama-lamanya, bukan
untuk sementarawaktu. Selanjutnya M ut’ah berasal dari kata ‫ﻣﺘﻊ ﯾﯾﻤﺘﻊ ﻣﺘﻌﺔ‬
secara literal mempuyai ragam pengertian, antara lain manfaat, bersenangsenang, menikmati, bekal. Terdapat beberapa pengertian tentang mut’ah,
yaitu: pertama, mut’ah adalah uang, barang, dan sebagainya yang
diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup
(penghibur hati) bekas istrinya. Kedua, kesenangan mutlak yang dijadikan
dasar hidup bagi laki-laki untuk mencapai keinginannya, haw a nafsunya,
dan birahinya dari w anita tanpa syarat. Ini dilakukan dengan perkaw inan
17
sementara atau yang diistilahkan dengan “ kaw in kontrak” dalam jangka
w aktu yang dibatasi menurut perjanjian.
Secara definitif, nikah mut’ah berarti : pernikahan dengan
menetapkan batas w aktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon
suami dan isteri.7 Bila habis masa (waktu) yang ditentukan, maka
keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan
tersebut sesuai kesepakatan semula. Penentuan jangka w aktu inilah yang
menjadi ciri khas nikah mut’ah, sekaligus pembeda dari nikah biasa.
Persyaratan untuk melangsungkan nikah kontrak tidak terikat pada
persyaratan sebagaimana yang lazimnya dilakukan untuk syarat sahnya
nikah permanen. Ia dapat dilaksanakan dengan menghadirkan saksi, atau
tanpa saksi, di depan w ali atau sebaliknya,9 asalkan perempuan yang
dinikahi setuju menerimanya. Menurut Ja’far Murthada A l-A mili,10
yang harus terpenuhi dalam nikah kontrak adalah: baligh, berakal, tidak
ada suatu halangan syar’i untuk berlangsungnya perkaw inan tersebut,
seperti adanya nasab, saudara sesusu, masih menjadi istri orang lain, atau
menjadi saudara perempuan istrinya sebagaimana yang telah dinyatakan
dalam al-Qur’an.
Setelah habis waktu yang disepakati, wanita tersebut bila hendak
kawin dengan laki-laki lain dia harus melakukan iddah selama dua bulan.
Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan satu bulan jika masa haidnya
normal, dan empat puluh lima hari kalau dia sudah dew asa tetapi tidak
pernah haid. Sedangkan iddah w anita hamil atau ditinggal mati oleh
suaminya, maka iddahnya seperti dalam iddah permanen.
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT’AH
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan
Ijma’, dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
18
َ ِ‫ْْ ِل َل مأى‬
‫ذكن‬
ِ ََ َُ‫ْۦمدبِِم َه َل ِم‬
َ ‫ۦْ ِل َل ْ َْ نأ نقك‬
‫كنيم‬
ِ َ‫َ َِْحأمَ َل َل ىأِمد َل َل ٌي َََ نق‬
ِ ْ َ ْ ‫اِ دن ْق ِف‬
ِ َ َ‫ْةۦٓ ِِ ِمَ ى‬
‫ْملَِ َه َل َۦمعأَّ َْن ىح ِم ۦمَته ِف‬
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu,
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 2931]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan
badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan.
Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]
َ ‫ح ى ِحم دنأ نقك‬
‫ح ْ د‬
‫َ َِْحأمَ َكل ِننم ىتي‬
ِ ‫ح َۦم َحَُ ِننأ‬
ِ ‫َِ أنِ َك َل َۦم َحَُ ِننْنم مد َل َِِت ِط ََ ِنن َك َل ِ َك زن ْن ِن ِكت َۦم َحَُ ْنأ‬
ِ ‫أ‬
‫ْر َنَُ ْنأ ء‬
‫ف َكل ِننم م َع ء ىأم ِك َُكه دَم مِأَِِ ِن ْ َه ِق‬
َ ‫ح ٌيََ َْْق َل مِأِِحأمِ َكل م َع‬
ِ ََ ‫ِل دم ْ نَكه دَم ْ َ َْكةه دَم مِ َأمح َع‬
‫ح ِنم ۦ َنِأىُِأ ء‬
‫م نأ ْقف َۦم َح‬
ِ ‫ح ْن َنت د ِببۦ‬
ِ ‫ذ َُ ْنأ‬
ِ ُ‫ْ دم ىأ ِ َن ْنيَم ِم‬
َ ِ‫أمِ ءر ىعق َي ِل دم م‬
َ ْ
ِ ‫َمعبۦ‬
ِ َ‫ۦن ىأِِۦ َْم‬
‫ح ْ ََد ء‬
‫ْ ِخ ََْۦ َي َََ دم َك َل َ ْ د‬
‫كة دة ِمي َل ِِ ِمَ ِمح َم َِِِ َۦمعنَ ِنن َك‬
َ ‫َل ْْن ن‬
َ ٌَُ َِ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.
Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan
berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanitawanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan
yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi
wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari
19
perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan,
maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang
kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar
untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap
nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui,
bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang
disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah
mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas
merupakan dalil haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para
ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah. Di antara pernyataan
tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di
muka.
2. Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para
sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini
menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang.
Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum
tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas
pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah,
Pen)”. [28
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut’ah nyaris
20
menjadi sebuah Ijma’ (maksudnya Ijma’ kaum Muslmin, Pen.), kecuali
dari sebagian Syi’ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang
telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan,
maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
1. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat
pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka
tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut
salah.
3. Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang
ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang
dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau
pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan
yang lain, dan sebagainya
21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 KESIMPULAN
Akhlak merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.
Akhlak yang dibangun baik sejak dini akan membangun kepribadian yang luhur
sebagai seorang muslim sehingga mampu melaksanakan ajaran-ajaran Islam
sebagaimana yang telah tertulis dalam Al-Quran dan Hadits serta yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pernikahan merupakan sarana untuk menegakkan rumah tangga yang
Islami,mencari keturunan yang shalih serta untuk meningkatkan ibadah kepada
Allah. Pernikahan sebagai sarana untuk membangun keluarga yang nantinya
hidup dalam masyarakat juga dapat meningkatkan jalinan tali silaturahmi antar
sesama muslim. Membangun keluarga yang damai dan sejahtera bukanlah hal
mudah. Hubungan komunikasi yang baik antara suami dan istri danbersikap
dewasa dapat membantu ketika terjadi masalah.
Keluarga yang sakinah mawadan dan warohmah yang di ridhoi Allah
SWT selalu berkaitan dengan akhlak dalam keluarga baik diantaranya adalah
birrul walidain,hak kewajiban dan kasih sayang suami istri,kasih sayang dan
tanggung jawab orang tua terhadap anak,serta silaturrahim dengan karib kerabat.
Oleh karena itu dalam sebuah keluarga di butuhkan akhlak dalam keluarga.
Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk
merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek
kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh mendasar
terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam.
22
1.2
SARAN
2. Seorang muslim yang telah mempunyai kemampuan secara lahir dan
bathin hendaknya secepatnya untuk menikah. Karena pada dasarnya
pernikahan merupakan salah satu cara seseorang untuk mengindari
perbuatan zina dan melindungi sebuah keturunan dari ketidakpastian
masa depannya.
3. Dalam membangun dan membina sebuah keluarga diharapkan
memperhatikan dengan penuh kejelasan terhadap berbagai tugas
terpenting dan tujuan berkeluarga menurut Islam.
4. untuk mewujudkan terbentuknya keluarga yang harmonis dengan
prinsip-prinsip Islam adalah dengan melakukan pembinaan keluarga
menurut aturan-aturan yang telah di gariskan didalam islam dengan
sedini mungkin. Insyaallah akan di ridhai Allah swt
23
DAFTAR PUSTAKA
kbbi.web.id/keluarga
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah (2), (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), hlm. 102
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III,
hlm.58
Abdul Karim Zaidan, Ushul ad- Da’wah (Baghdad: Jam’iyyah al-Amani, 1976), hlm. 75.
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 9.
terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10
hadits ini dada disebutkan oleh al-Ghazali dalam kitabnya ihya ulumuddin. Menurut al Iraqi,
pentakhrij hadis-hadis yang ada dalam kitab ihya ahsau akhalaqaqum diriwayatkan oleh Abu
Bakr Bin Lal dalam kitab al Makarim al akhlak, dari hadist Mu’adz, yaitu hadist munqat
i’dan rijalnya tsiqat. Baca Al-Ghazali, Ihya ulumuddin,hlm. 72
terjemahan al-Qur’an surat al-Syams 91 : 7-10
kbbi.web.id/keluarga diakses 27 februari 2019 pukul 08.55
Academica.edu/konsep_keluarga_dalam_islam, diakses tanggal 27 februari 2019 pukul 09.34
Quraish Shihab, hal. 254
24
Download