Uploaded by malikuzzahir89

Legalitas Dalam Kemelut Pansus Hak Angket KPK.

advertisement
Legalitas dalam Kemelut Pansus Hak Angket KPK1
PENDAHULUAN
Sederet Pansus (panitia khusus) telah terbentuk di republik ini, namun mungkin baru
Pansus yang terbentuk tertanggal 07 Juni 2017 bernama Pansus Angket KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) yang mendapat sorotan begitu besar oleh publik. Dibentuknya
Pansus dengan timing persidangan KTP-el yang sedang berlangsung membuat masyarakat
menjadi skeptis terhadap tujuan dibentuknya pansus ini, dan menilai bahwa ini adalah modus
baru berupa upaya corruptors fight back. Hal tersebut ditengarahi dengan melihat fakta
bahwa empat dari panitia angket KPK ini disebutkan namanya dalam persidangan kasus
korupsi KTP-el ini. Nama-nama itu adalah Masinton Pasaribu (PDIP), Bambang Soesatyo
(Partai Golkar), Desmond J Mahesa (Partai Gerindra) yang disebut meminta mantan anggota
Komisi II DPR RI Miryam S Haryani (Partai Hanura) untuk tidak mengakui fakta
penerimaan uang dari proyek KTP-el2. Bahkan, nama ketua Pansus Angket KPK yang berasal
dari fraksi Golkar yaitu Agun Gunandjar Sudarsa juga disebutkan namanya dalam
persidangan. Dijelaskan dalam persidangan tersebut bahwa ia menerima uang dari proyek
KTP-el sejumlah 1,047 juta dollar AS3.
Kuatnya dugaan keterkaitan pencatutan nama-nama anggota DPR dan terbentuknya
Pansus Hak Angket membuat masyarakat menilai bahwa, terbentuknya Pansus hak angket itu
dijadikan media untuk menghambat kerja lembaga anti korupsi itu. Wajar kemudian,
Pengamat Hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra berpendapat bahwa DPR ini
seperti orang mabuk yang mengeluarkan jurus tanpa arah4. Di sisi lain, salah satu anggota
Tulisan ini merupakan hasil Kajian Dirjen Kastrat Kementerian Sosial Politik BEM UNAIR, yang ditulis oleh
Xavier Nugraha, staf Dirjen Kastrat Sospol BEM UNAIR.
1
2
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170330103210-12-203676/novel-baswedan-enam-anggota-dpr-a
ncam-miryam/ (diakses Jumat, 14 Juli 2017, pukul 21.40 WIB).
3
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/16182831/ini.daftar.mereka.yang.disebut.terima.uang.proyek.
e-ktp (Diakses Jumat 14 Juli 2017, pukul 21.50 WIB ).
4
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/06/12/078883581/dpr-gulirkan-hak-angket-kpk-pengamat-akal-ak
Pansus yaitu Masinton Pasaribu dalam salah satu stasiun televisi swasta mengatakan,
penyebutan nama anggota DPR dalam dakwaan KTP-el ini merupakan puncak gunung es dari
berbagai persoalan di tubuh KPK, jadi bukan kebetulan.
Terlepas dari apakah hak angket ini hanyalah kedok dari DPR yang bertujuan
melemahkan KPK atau memang merupakan suatu upaya untuk menguatkan KPK, tidak akan
dibahas lebih lanjut. Tulisan ini lebih mengarah pada kajian dalam segi legalitas Pansus
Angket KPK. Tujuannya untuk mengetahui sah atau tidaknya pembentukan pansus ini, yang
mana bila memang tidak sah, bisa memiliki konsekuensi dapat dibatalkan atau batal demi
hukum.
PEMBAHASAN
Mengacu pada teori Philipus M. Hadjon mengenai keabsahan tindak pemerintahan
(bestuur handelingen), keabsahan tindakan pemerintah bisa dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek
kewenangan, substansi, dan prosedur. Walaupun ada yang berpandangan bahwa teori ini
adalah hanya untuk keabsahan “pemerintah” secara sempit yang berarti eksekutif, namun kita
harus melihat perkembangan zaman yang melihat tidak demikian. Adagium het recht hinkt
achter de faiten aan menjadi salah satu pernyataan hukum yang tepat bahwa pada hakikatnya
hukum yang mengikuti perkembangan masyarakat.
Perkembangan ini tercermin pada pasal 87 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Aministrasi Pemerintahan, di mana KTUN adalah Keputusan Badan dan/atau
Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara
negara lainnya. Hal ini menunjukan teori tentang keabsahan pemerintah ini tidak bisa hanya
ditafsirkan secara sempit untuk eksekutif, tapi juga harus secara luas.
Keabsahan
wewenang berkaitan dengan setiap tindak pemerintahan yang disyaratkan
harus bertumpu atas kewenangan yang sah yang diperoleh secara atribusi, delegasi dan
mandat, serta dibatasi oleh isi (materiae), wilayah (locus) dan waktu (temporis), yang jika
tidak terpenuhi konsekuensinya adalah batal demi hukum.
alan-orang-mabuk?BeritaUtama&campaign=BeritaUtama_Click_3 (diakses Sabtu, 15 Juli 2017, pukul 01.40
WIB).
Aspek substansi bersifat mengatur dan mengendalikan apa (sewenangwenang/legalitas
ekstern) dan untuk apa (penyalahgunaan wewenang, melanggar undang-undang/legalitas
intern), yang bila tidak terpenuhi juga bersifat batal demi hukum.
Aspek terakhir adalah berkaitan dengan prosedur yaitu berdasarkan asas negara hukum,
yang berupa perlindungan hukum bagi masyarakat; asas demokrasi yaitu pemerintah harus
terbuka, sehingga ada peran serta masyarakat (inspraak); asas instrumental yaitu efisiensi dan
efektivitas artinya tidak berbelit-belit 5.
Mari kita bedah satu per satu ketiga aspek keabsahan tersebut jika dihubungkan dengan kasus
hak angket. Dari aspek kewenangan, mengacu pada pasal 20A ayat (2) UUD 1945 hak
angket ini memang merupakan hak konstitusional dari DPR, namun sesuai dengan
Pasal
20A Ayat (4) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut akan diatur oleh undang undang, dalam hal
ini adalah
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD( MD3) yang
selanjutnya akan disebut sebagai UU MD3, dimana diatur dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b
dan ayat (3). Mengacu pasal 79 ayat (3) UU MD3 Hak angket adalah “hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan”. Pada pasal pasal 79 ayat (3) ini terdapat 4 unsur yaitu
1)
hak DPR untuk melakukan penyelidikan. Pada unsur ini penyelidikan yang lihat
yang sifatnya politis, bukan bersifat pro justitia atau pidana, misalnya
penyelidikan kebijakan harga sembako yang melampaui daya beli.
2) terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah. Bentuk
kata “dan/atau” dalam pasal tersebut merupakan. Inilah yang menjadi masalah.Kata
“dan/atau” itu menjelaskan konsep alternatif-kumulatif terhadap dua norma atau lebih.
Maksudnya norma-norma tersebut dapat dilaksanakan tunggal atau bersamaan sekaligus.
Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih,
Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober
1994, hlm. 7.
5
Dalam konteks pasal tersebut di atas bentuk kata “dan/atau” mengarah kepada tindakan
subjek yang sama, yaitu pemerintah. Sederhananya, DPR dapat melakukan penyelidikan
terhadap:
A. pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah;
B. pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah;
C. pelaksanaan undang-undang dan sekaligus pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah.
Jelas dalam pasal tersebut bahwa yang dimaksudkan diselidiki oleh DPR atau segala
sesuatu yang berkaitan dengan tindakan pemerintah. Mengacu pada penjelasan pasal 79 ayat
(3) UUD 1945 yang dimaksud pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden,
menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah
non kementerian. Dari penjelasan ini, bisa kita lihat contoh-contoh lembaga yang diberikan
adalah lembaga eksekutif, jelas secara eksplisit, karena itu tidak bisa ditafsirkan selain yang
tertuang. Yaitu sesuai dengan asas lex stricta.
Namun terdapat sudut pandang lain, kaitannya dengan aspek kewenangan ini. Sudut pandang
yang berbeda tersebut yaitu dengan menggunakan asas lex certa. Jika mengacu pada asas ini,
maka, makna kata “pemerintah” dapat diperluas sebagaimana yang telah disampaikan di awal.
Bahwa untuk mengikuti perkembangan zaman, penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis,
dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 79 (3) UU MD3) tidak hanya
dapat diajukan kepada Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri,
Jaksa Agung, tetrapi dapat pula diajukan kepada lembaga pemerintah non kementerian seperti
Bank Indonesia, BUMN, dan begitu pula KPK. Hal ini karena status KPK dalam sistem
ketatanegraan Indonesia adalah sebagai state auxiliary institution (lembaga negara
penunjang). Mengapa KPK disebut sebagai lembaga negara penunjang adalah berdasarkan
ketentuan 1945 pasal 24 ayat (3) UUD NRI 19453 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK. KPK dalam hal ini merupakan badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman.
Oleh karena pembentukan KPK didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK, dan tugasnya adalah melaksanakan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka, hak angket yang diajukan kepada KPK telah
sesuai dengan wewenang DPR dalam pasal 79 ayat (3) UU MD3.
3) berkaitan dengan hal-hal yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tiga hal ini bersifat kumulatif bukan alternatif
yang berarti ketiga unsur ini harus terpenuhi tanpa terkecuali satu pun. Berkaitan dengan hal
ini akan dibahas lebih lanjut saat membahas keabsahan pemerintah dari segi substansi.
4) bertentatangan dengan peraturan perundang undangan.
Menurut salah satu narasumber pada saat diskusi pada salah satu TV swasta yang berasal
dari ICW (Indonesian Corruption Watch ), Donald Fariz menyampaikan, bahwa wakil ketua
Pansus Taufiqul Hadi yang juga merupakan politisi Nasdem menyebut bahwa, beberapa poin
dari hak angket seperti ketidakharmonisan di internal KPK, tidak ada SOP, bukanlah hal-hal
yang bertentangan perundang-undangan. Kalaupun bertentangan, hingga sekarang belum
disampaikan
secara
rinci,
misal
ketidakharmonisan
di
internal
KPK
melanggar
undang-undang apa dan pasal berapa. Jadi bisa kita lihat unsur pasal 79 ayat (3) ini tidak
terpenuhi sehingga bisa dikatakan bahwa hak angket ini tidak bisa diberikan kepada KPK
karena bukanlah objek dan subjek hak angket tersebut. Indikator keabsahan yang berikutnya
adalah berkaitan dengan substansi.
Seperti telah disinggung sebelumnya berkaitan dengan substansi hak angket itu apa
memang benar-benar berkaitan dengan hal-hal yang penting, strategis, dan berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketiga hal ini bersifat kumulatif,
artinya harus terpenuhi ketiganya. Hal-hal ini harus spesifik jelas, dan terarah, tidak bisa
secara meluas tanpa kejelasan akan hal tertentu, dan harus benar-benar berdampak luas pada
masyarakat bukan kelompok tertentu. Dalam alasan pengajuan usul hak angket, hingga
sekarang tidak tergambar terang dan jelas mengenai hal penting, strategis, dan berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal inilah yang menimbulkan
keskeptisan masyarakat bahwa hak angket itu lebih terlihat memperjuangkan kepentingan
politik untuk intervensi proses peradilan kasus korupsi KTP-el yang sedang berlangsung di
pengadilan tindak pidana korupsi. Dengan demikian objek yang diusung DPR Untuk
menyelidiki proses berperkara di KPK jauh dari yang ditentukan undang-undang.
Kepentingan penyelidikan melalui hak angket adalah kepentingan partai politik dan anggota
DPR yang terlibat perkara KTP-el .
Indikator keabsahan ketiga adalah prosedur. Mengacu pada Pasal 199 ayat (1) UU MD3
Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling
sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. Mengenai hal
ini telah terpenuhi karena sudah diusulkan oleh 26 anggota dan lebih dari 1 fraksi.6 Mengacu
pada Pasal 199 ayat (3) UU MD3, pengesahan hak angket harus memenuhi dua kuorum, yaitu
kuorum kehadiran dan kuorum pengambilan keputusan. Untuk dapat disahkannya hak angket,
kuorum kehadiran adalah 1/2 (satu per dua) dari jumlah keseluruhan anggota dewan, yaitu
minimal 280 orang (dari 560 orang) anggota. Jikapun jumlah kuorum itu telah dipenuhi DPR,
maka untuk pengasahannya wajib secara voting dengan hasil lebih dari 1/2 dari minimal 280
anggota DPR yang hadir tersebut. Jadi setidaknya harus terdapat 140 orang anggota DPR
yang menyetujui hak angket untuk dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya , kuorum kehadiran
ini dipenuhi oleh anggota DPR, di mana terdapat 283 dari 560 anggota DPR yang hadir.7
Masalahnya adalah berkaitan dengan proses kedua yaitu pelaksanaan pengambilan suara
secara voting dengan hasil lebih dari 1/2 dari minimal 283 anggota DPR yang hadir tersebut.
Jadi setidaknya harus terdapat 142 orang anggota DPR yang menyetujui hak angket untuk
dilaksanakan. Proses ini seolah terlompati dan digantikan dengan musyawarah mufakat yang
terjadi sekejap mata, di mana tanpa adanya pihak yang setuju atau tidak setuju, langsung
dianggap setuju yang diwujudkan dalam pengetukkan palu yang dilaksanakan oleh Farih
Hamzah, selaku ketua sidang paripurna saat itu.
6
http://nasional.kompas.com/read/2017/04/29/07121971/ini.daftar.26.anggota.dpr.pengusul.hak.angket.kpk
(diakses hari Sabtu , 15 Juli 2017, pukul 12.00 WIB).
https://kumparan.com/muhamad-iqbal/kronologi-ricuh-paripurna-hak-angket-kpk (diakses Sabtu,
2017, pukul 12.10 WIB).
7
15 Juli
Mengacu pada pasal 279
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib yang selanjutnya akan disebut Tatib DPR memang
Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah
untuk mufakat, dan Dalam hal cara pengambilan keputusan secara musyawarah untuk
mufakat ini
tidak terpenuhi, barulah keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Namun itu hanya prinsip secara umum, dalam beberapa hal khusus seperti hak angket ini
wajib diadakan votting, tidak bisa melalui musyawarah untuk mufakat, hal ini tercermin
selain dalam UU MD3 terdapat pula dalam pasal 169 ayat (3) Tatib DPR tersebut.
Sehingga tidak adanya votting yang digantikan dengan sikap musyawarah yang
berlangsung bak petir di siang bolong ini tidak memenuhi unsur
pasal 199 ayat (3) UU
MD3 jo. 169 ayat (3) Tatib DPR. Bukti gamblang yang terlihat adalah tidak adanya data
secara tertulis pihak mana saja yang setuju dan tidak setuju dari sidang saat itu.
Selain itu, munculnya proses musyawarah mufakat yang pengetukan palunya terjadi bak petir
di siang bolong, yang begitu cepat dan menggagetkan. Karena itu bisa kita katakan bahwa
secara prosedur, pembentukan hak angket ini tidak sah, yang berarti panitia hak angket itu
juga tidak sah. Belum lagi fakta bahwa tidak semua fraksi parta politik mengirimkan
wakilnya ke Pansus, seperti Partai Demokrat, Partai
Keadilan Sejahtera ( PKS ), dan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB ) 8, padahal mengacu pada Pasal 201 ayat (2) UU MD3 maka
setidaknya seluruh fraksi mengirimkan perwakilan fraksinya sebagai anggota panitia angket.
Apabila tidak terpenuhi maka tentu saja panitia angket tidak memenuhi syarat sebagaimana
ditentukan undang-undang sehingga harus dianggap bahwa proses pembentukan hak angket
dan panitia ini tidak sah.
Berdasarkan pada keabsahan wewenang, substansi, dan prosedur yang tidak terpenuhi
secara legal, maka dapat dinyatakan bahwa hak angket dan panitia angket yang dibentuk
untuk menyelidiki KPK telah cacat hukum. Namun di dalam hidup ini seperti sekeping mata
koin yang memiliki dua sisi, ada hitam ada putih, ada gelap ada terang, begitu pula dengan
pansus hak angket ini, tetap ada juga yang mengatakan legal.
8
https://news.detik.com/berita/d-3523851/ditambah-pan-gerindra-ini-anggota-pansus-angket-kpk-dari-7-fraksi
( diakses Sabtu, 15 Juli 2017, pukul 14.10 WIB)
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan uraian yang telah dijabarakn di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang
dapat dirumuskan:
A. Jika meninjau dari “keabsahan” tindakan pemerintah dari aspek wewenang, substansi
dan prosedur secara kumulatif, maka pengajuan Hak Angket DPR terhadap KPK
dapat dinyatakan batal demi hukum.
B. Jika meninjau “wewenang” DPR dalam UUD dan UU MD3, terdapat dua sudut
pandang, yakni yang menggunakan asas lex scripta, sesuai dengan penjelasan pasal
79 Ayat 3 UU MD, hak angket tidak bisa dikenakan terhadap KPK. Namun, jika
mengacu pada asas lex certa, terdapat perluasan makna pemerintah, maka KPK dapat
dikenakan Hak angket.
C. Meninjau dari segi “substansi” diajukan hak angket DPR terhadap KPK, maka
seharusnya tidak diperkenankan bagi DPR untuk menjangkau wilayah penyidikan,
dalam hal ini adalah membuka bahan rekaman yang sedang dalam proses di
pengadilan.
D. Secara prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 199 ayat (3) UU MD3 jo. 169 ayat (3)
Tatib DPR, bahwa pengambilan keputusan dalam sidang DPR harus berdasarkan
musyawarah mufakat, bukan penentuan sepihak, dalam hal ini pengetukkan palu oleh
Fachri Hamzah yang menjadi pimpinan sidang tanpa menghiraukan kondisi forum.
Merujuk dari kesimpulan tersebut, Kementerian Sosial Politik BEM UNAIR menyatakan:
1. Hak angket DPR yang diajukan kepada KPK tidak sah secara hukum.
2. Atas dasar poin 1, Kami memberi dukungan KPK untuk menggunakan lembaga
negara yang telah disediakan oleh Negara Indonesia, yaitu dengan membawanya ke
depan pengadilan. Penyelesaian melalui jalur hukum lebih elegan daripada saling
bertarung opini merebutkan legitimasi publik, yang pada akhirnya malah membuat
kegaduhan di masyarakat.
3. Dengan mendukung KPK menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan polemiknya
dengan DPR, kami berharap akan muncul putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap (in kracht) sehingga penguatan lembaga KPK dapat terwujud. Alasan
lain yang mendasari
saran kami dalam penempuhan jalur hukum, karena kami yakin
KPK akan menang sekaligus untuk meredam gejolak publik.
Daftar Rujukan
A. Buku
1. Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994,
B. Internet
1. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170330103210-12-203676/novel-basweda
n-enam-anggota-dpr-ancam-miryam/ (diakses Jumat, 14 Juli 2017, pukul 21.40 WIB )
2. http://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/16182831/ini.daftar.mereka.yang.disebut.
terima.uang.proyek.e-ktp (diakses Jumat, 14 Juli 2017,
pukul 21.50 WIB)
3. https://nasional.tempo.co/read/news/2017/06/12/078883581/dpr-gulirkan-hak-angketkpk-pengamat-akal-akalan-orang-mabuk?BeritaUtama&campaign=BeritaUtama_Clic
k_3 (diakses Sabtu, 15 Juli 2017, pukul 01.40 WIB )
4. https://kumparan.com/muhamad-iqbal/kronologi-ricuh-paripurna-hak-angket-kpk
(diakses Sabtu,
15 Juli
2017, pukul 12.10 WIB )
5. https://news.detik.com/berita/d-3523851/ditambah-pan-gerindra-ini-anggota-pansus-a
ngket-kpk-dari-7-fraksi (diakses Sabtu, 15 Juli 2017, pukul 14.10 WIB)
C. Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia
2. UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD( MD3)
3. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Aministrasi Pemerintahan
Download