MAKALAH TENTANG KEMAHASISWAAN DISUSUN O L E H SEPRIAN : 131100342 ABANG SELAMAT : 131100074 CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN MAHASISWA STMIK INDONESIA PADANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah salah satu elemen penting yang diharapakan dapat melakukan perubahan dan memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan negaranya. Menjadi mahasiswa seharusnya menjadi langkah awal yang nyata untuk melakukan perubahan. Rasa idealisme yang ada pada diri mahasiswa sudah seharusnya di dukung oleh seluruh masyarakat sebagai salah satu alat aspirasi masyarakat untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Namun melihat fenomena yang ada sekarang ini, pemerintah cenderung mematikan karakter para mahasiswa dengan menerapkan kurikulum-kurikulum yang sekuler yang menjadikan mahasiswa sibuk mementingkan kepentingan dirinya sendiri yakni bagaimana cara mendapat nilai yang baik, lulus tepat waktu, dan bekerja di perusahaan dengan mendapat gaji besar, bahkan saat ini mahasiswa lebih merasa bangga ketika mereka lulus dan bekerja di negara asing. Tidakkah mereka ingin memberikan kontribusinya kepada bangsa ini? Mereka dididik di tanah air hanya untuk melakukan perbaikan di negara lain. Sungguh itu merupakan realita yang menyedihkan. Pemerintah yang merasa kedaulatannya terancam oleh semangat dan rasa idealisme tinggi para mahasiswa kini menerapkan kurikulum-kurikulum sekuler menjadikan mahasiswa disibukkan dengan kepentingan materi kuliah sehingga mahasiswa tidak lagi peduli terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka. Hal ini yang menjadikan mahasiswa Indonesia seperti hidup dalam pemerintahan yang dikatator. 1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana peran mahasiswa dalam pelaksanaan perannya sebagai agen perubahan? b. Apa sajakah faktor penyebab mahasiswa menjadi peka terhadap berbagai permasalahan kemasyarakatan? c. Apakah problematika yang menghambat pelaksanaan peran mahasiswa sebagai agen perubahan? d. Bagaimana solusi atas problematika tersebut? 1.3 Tujuan Selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, makalah ini juga bertujuan untuk menyadarkan mahasiswa akan betapa pentingnya peran mereka bagi kelangusungan hidup bangsa ini, sehingga para mahasiswa tidak lagi mempunyai pola pikir yang lebih mementingkan dirinya sendiri dengan sibuk mendapatkan nilai yang baik dan lulus dengan baik, namun lebih daripada itu para mahasiswa haruslah lebih peka terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan mereka. Begitu juga para dosen yang sudah seharusnya lah memberikan keleluasaan mahasiswa untuk menyatakan pendapat mereka dan tidak menilai mahasiswa dari satu sisi saja, sehingga para dosen tidak hanya mencetak mahasiswa yang baik secara akademik, terlebih secara sosial dan emosional. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Mahasiswa Definisi mahasiswa menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Kamisa, 1997), bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Montogmery dalam Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perguruan tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berfikir kritis dan moral reasoning. Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa harus mampuu untuk berfikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (Djodjodibroto, 2004). Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papalia, dkk. (2007), usia ini berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini, perekembangan individu ditandai dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan atau karirnya. Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan kemahasiswaan. BAB III PEMBAHASAN 3.1 Peran Mahasiswa Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Kaum minoritas berintelekual ini sebenarnya merupakan tulang punggung pembangun bangsa dan negara menuju perubahan kearah yang lebih baik lagi. Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya ? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari koridor. Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap, gaya hidup, pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata dan integritas kehidupan mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak terarah terhadap perjuangan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka mengenyam pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah kehidupan selanjutnya. Kini kita bisa menyaksikan dengan mudah betapa banyaknya organisasi atau kelompok mahasiswa dibentuk, tetapi kegiatan tersebut sangat minim dengan keilmuan, perjuangan dan tanggung jawab sosial, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah keadaan atau setidaknya menyadarkan identitas sebagai mahasiswa. Sehingga yang terjadi justru mahasiswa yang diatur oleh keadaan dan mereka telah melupakan jati dirinya. Padahal masa depan negara ini menjadi pengaruhnya. 3.2 Mahasiswa sebagai Agen Perubahan Semua mahasiswa dari segala cabang keilmuan seharusnya sadar bahwa ia merupakan caloncalon pemimpin bangsa sebagai agent of change dimasyarakat dan dapat resisten terhadap berbagai macam godaan yang merubah polapikir mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang sadar pasti akan merasakan bahwa bangku kuliah yang dia enyam saat ini merupakan the real education pendidikan yang penuh warna dan pertarungan pembentukan jati diri dengan intelktualitas cara berpikir. Sistem yang telah berhasil menutup ruang gerak mahasiswa sekarang ini mampu menghipnotis pola pikir mahasiswa, kegiata-kegiatan ilmiah, tanggungjawab dan kepekaan terhadap kondisi sosial mahasiswa telah menjadi budaya mahasiswa seperti kegiatan diskusi, kajian, seminar, emgontrol pemerintah, kepekaan dan empati sosial hilang dalam kehidupan mahasiswa. Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier. Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi. Peran sejarah cukup besar dimainkan oleh kaum muda, sebagaimana secara tepat digambarkan Arbi Sanit. Menurut Arbi Sanit (1989), ada dua peranan pokok yang selalu tampil mewarnai sejarah aktifitas mahasiswa selama ini, yakni: Sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, Sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan. Dua peranan pokok inilah yang sesungguhnya dijalankan oleh para mahasiswa, atau pun kaum terpelajar umumnya, di zaman kolonial clan yang kemudian diperankan juga oleh generasi berikutnya sampai saat ini. Kendatipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa saat ini semakin dirasakan menurunnya daya pengaruh gerakan mahasiswa terhadap perubahan masyarakat umumnya, maupun terhadap proses pengambilan keputusan. Setelah berhasil menggulingkan lokomotif rezim otoriter Orde Baru, Suharto, perubahan substansial dari cara-cara Orde Baru tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan yang timbul adalah kecenderungan berbedanya arah gerakan sebagian mahasiswa dengan apa yang tengah diperjuangkan masyarakat lewat lembaga politik formalnya. Tentu saja realitas ini tidaklah dilihat dalam term “benar salah”, sebab hal tersebut lebih merupakan suatu konsekuensi logis dari proses perubahan masyarakat itu sendiri. Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas. Fenomena penting yang ada kaitannya dengan lembaga kemahasiswaan, yaitu gejala lebih berminatnya mahasiswa terhadap lembaga lembaga non-afiliatif . Bagian ini secara lebih khusus tetapi singkat menyoroti soal kelembagaan itu. Dalam konteks ini secara sederhana dikedepankan dua problematika yang saling mengait, yang berhubungan dengan kelembagaan mahasiswa. Problematika pertama menyangkut gejala ‘diskontinuitas’ sumber cumber rekruitment kader pimpinan dengan ladang ‘orbitasi’ kader. Selama ini, setuju atau tidak, sumber-sumber rekruitment kader pimpinan mahasiswa yang potensial adalah organisasi mahasiswa ekstra universiter/institutes, sernentara ladang orbitasi kader yang subur adalah lembaga kemahasiswaan intra universiter/institutes. Keadaan ini berjalan secara baik dan dinamis sampai sekitar awal 1978, ketika pemerintah memberlakukan kebijaksanaan NKK/BKK. Lepas dari maksud kependidikan yang menyertainya, tidak dapat diingkari bahwa pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, terutama proses restrukturisasi lembaga kemahasiswaan membawa dampak yang luas, yang langsung menyebabkan ladang orbitasi yang subur itu semakin kurus saja. ‘Zat zat hara’ yang selama ini menggemukkan dinamika mahasiswa, semakin dikuras. Pada saat berikutnya, sumber cumber rekruitment yang potensial ikut mengalami nasib yang serupa. Lembaga kemahasiswaan ekstra universiter semakin diciutkan peranannya. Problematika kedua, justru merupakan akibat langsung dari problematika pertama, yakni semakin terbukanya dunia kemahasiswaan terhadap ‘intervensi’ kepentingan kepentingan lain yang kadang kadang destruktif adanya. Bisa kita bayangkan runyamnya keadaan, jika di satu sisi para kader tidak lagi dipersiapkan di sumber-sumber rekruitment secara terkonsentrasi, sementara ladang orbitasi pun tidak lagi terlalu subur. Sulit untuk dibantah bahwa dasar bagi restrukturisasi lembaga kemahasiswaan yang dilakukan tahun 1978 adalah upaya untuk mencegah konsentrasi mahasiswa di tingkat universitas dan antaruniversitas sebagai suatu kekuatan pendobrak. Jadi sangat politis. Tetapi yang kurang diperhitungkan ialah, di samping tereliminasinya salah satu substansi pembangunan pendidikan yaitu pembentukan kepribadian, juga terpecahnya mahasiswa ke dalam puluhan atau bahkan ratusan lembaga non afiliatif yang justru membuat kerepotan baru bagi para penentu kebijaksanaan politik pendidikan Kondisi saat ini, GM mengambil posisi dan menciptakan isu yang berbeda-beda tanpa dikawal oleh semangat sebuah mainstream utama. Sehingga ketika akan melakukan reposisi, seharusnya mengagendakan main stream utama dari isu-isu yang akan digagas dan perjuangkan oleh masing- masing organ. Sampai saat ini menurut hemat saya, main stream yang memungkinkan melakukan konsolidasi sekaligus perjuangan demokrasi yakni bagaimana melakuklan proses pemberdayaan atau penguatan terhadap peran rakyat yang selama ini terpinggirkan oleh dua kekuatan besar, yakni Oligarki Negara dan Imperialisme Neo Liberal. Dengan kata lain agenda besarnya dalah radikalisasi peran rakyat agar lebih berdaulat. 3.3 Radikalisasi Peran Rakyat Salah satu yang menjadi problem besar dari demokratisasi di Indonesia adalah tidak ketidakmampuan rakyat bersikap secara mandiri, rasional dan kritis dalam melihat permasalahan bangsanya. Rakyat tidak memiliki kekuatan yang utuh dan hegemonik untuk melakukan perlawanan menuju kemandirian dan kebebasan bersikap. Sebagian masyarakat kita masih memiliki nalar pragmatisme yang cukup akut. Salah satu indikasinya adalah ketika menentukan hak-hak politiknya dan pilihan politiknya kepada partai politik, rakyat tidak berangkat dari sebuah pemahaman yang utuh tentang makna dan fungsi partai politik, visi partai politik beserta calegnya. Pilihan dan sikap politik tidak berangkat dari kesadaran kritis. Sehingga kita sulit menemukan masyarakat yang secara sukarela bergerak dalam aktivitas dukung mendukung kepentingan politik tertentu (Peserta Pemilu). Mereka akan bergerak kalau dibayar, diberikan dukungan materi yang membuat hidup mereka senang dan survive. Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh gerakan Pro Demokrasi termasuk dalam halnya GM akan tertolak oleh pragmatisme masyarakat, karena mereka tidak memerlukan gagasan-gagasan yang berat dan bagi mereka utopis. Mereka berprinsip bagaimana saya bisa makan dan kenyang hari ini. Sehingga tidak mengherankan, ketika kekuatan orde baru mencoba mengajak masyarakat mengingat kembali kemakmuran semu yang dibangun oleh Suharto, masyarakat langsung tersadarkan dan merasa rindu dengan kondisi ketika Suharto berkuasa. Di sinilah mainstream penguatan, penyadaran dan pendidikan politik rakyat sebagai bagian dari proses radikalisasi peran rakyat menjadi penting. Ada beberapa alasan mainstream ini menjadi fokus Pertama, Kran demokratisasi yang mulai terbuka lebar pasca lengsernya Suharto, yang diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa, tidak diiringi oleh mental dan sikap yang demokratis. Kebebasan berpolitik, tidak ditopang oleh rasionalitas, kekritisan dan kemandirian berpikir dan bersikap. Sehingga Demokratisasi yang muncul adalah anarkisme, kekerasan, perpecahan tapi bukan perubahan yang paradigmatik dan konstruktif. Kenyataan tersebut diperparah oleh faktor kedua yakni semakin menguatnya penjajahan yang dilakukan kapitalisme dengan Neo Liberal nya. Kapitaslime menawarkan dan meninabobokan masyarakat dengan cara menggembor-gemborkan sikap hidup yang hedonis, serba mewah dan menempatkan materi di atas segala-galanaya. Semua level masyarakat, berkompetisi untuk meraih materi sebanyak-banyaknya dan bersaing untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang layak. Kapitalisme menjadikan segala sesuatu harus dihargai dengan materi. Sehingga tidak mungkin mangajak apalagi menggerakkan masyarakat yang sedang kelaparan untuk memikirkan format serta bangunan demokratisasi di Indonesia. Masyarakat dengan kungkungan kapitalisme, tidak memiliki ruang-ruang berpikir rasional dan kritis. Faktor ketiga, Ketergantungan masyarakat kepada kaum kapital itu diperparah lagi oleh pragmatisme negara dalam memberikan ruang pastisipasi secara sehat kepada masyarakat. Negara gagal dalam menciptakan ruang-ruang berpikir rasional kepada masyarakat, akan tetapi justru sebaliknya negara mempertontonkan sikap dan budaya kapitalistik dan feodalistik dalam mengurus negara. Fenomena Korupsi dan Nepotisme menunjukkan betapa negara tidak pernah memiliki keberpihakan terhadap rakyat. Birokrasi yang kaku dan korup yang diperagakan negara tidak memberi ruang partisipasi yang sehat di tengah ruang demokrasi yang seharusnya mengalami keterbukaan. Negara lewat kebijakan-kebijakan dan Undang-undangnya kebih banyak memihak kepada kaum kapital daripada memberdayakan masyarakat. Sementara itu sistem politik saat ini sama sekali tidak memberikan jalan alternatif untuk keluar dari permasalahn-permasalahan di atas. Partai Politik sebagai salah satu instrumen dan infrastruktur demokrasi, gagal melakukan pendidikan dan komunikasi politik yang sehat kepada masyarakat. Bahkan ada beberapa partai politik yang sangat memamfaatkan, kebodohan, ketidakberdayaan serta irrasonalitas masyarakat pemilihnya. Karena dengan demikian mereka begitu mudah mendapat dukungan hanya dengan memberikan masyarakat kepuasan materi, tapi tidak menjalankan kewajibannya yakni melakukan pendidikan politik Dari ekplorasi di atas, maka Reposisi Gerakan Mahasiwa Pasca Pemilu 2004 adalah dengan mengagendakan penguatan basis dan radikalisasi peran rakyat dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia. 3.4 Faktor-faktor Penyebab Lunturnya Gerakan Mahasiswa Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab melemahnya gerakan mahasiswa. Pertama, lunturnya ideologi gerakan. Saat ini gerakan mahasiswa telah kehilangan ideologi sehingga stigma mahasiswa yang terjun di berbagai organisasi kampus baik intra maupun eksra sudah mengalami titik kejenuhan dan kebosanan. Hal itu mengakibatkan lunturnya rasa sensitivisme serta responsbility aktivis mahasiswa terhadap perubahan sosial, dampaknya adalah gerakan mahasiswa mengalami disorientasi . Kedua, gerakan mahasiswa sudah tidak dianggap sebagai kekuatan besar dalam mengawal perubahan. Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai gerakan mahasiswa lewat berbagai aksi demonstrasi yang jarang menghasilkan perubahan yang signifikan. Suara mahasiswa sebagai manifestasi suara rakyat sudah tidak mempan dalam melakukan kritik serta kontrol terhadap kinerja pemerintah. Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan gerakan mahasiswa menjadi semakin tumpul. Ketiga, sudah tidak ada lagi kebanggaan menjadi seorang aktivis. Gerakan mahasiswa selalu identik dengan para aktivis kampus, namun saat ini menjadi seorang aktivis kampus bukanlah menjadi pilihan utama mahasiswa karena dianggap sebagai batu sandungan dalam meraih prestasi akademik. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika saat ini jumlah aktivis kampus semakin sedikit. Keempat, adanya tindakan represif dari pemerintah. Sebagai langkah preventif untuk menangkal setiap gerakan mahasiswa, saat ini pemerintah lebih memilih tindakan yang represif. Tak jarang kekerasan fisik dilakukan aparat pemerintah untuk mencegah aksi dan gerakan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan jika gerakan mahasiswa menjadi melemah karena adanya rasa takut akan eksistensi dan keselamatan jiwa para aktivis. Kelima, minimnya dukungan dari masyarakat. Gerakan mahasiswa yang sering berakhir dengan kericuhan, serta seringnya mahasiswa melakukan pengrusakan terhadap berbagai fasilitas umum saat melakukan aksi-aksi demonstrasi menjadikan citra mahasiswa menjadi menurun di mata masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa semakin memudar. Keenam, adanya politik kepentingan mahasiswa. Saat ini orientasi mahasiswa dalam melakukan gerakan bukan lagi murni berjuang demi kepentingan rakyat melainkan lebih dikarenakan adanya politik kepentingan. Hal itulah yang menjadikan pola pikir mahasiswa menjadi pragmatis, dan hanya memikirkan soal untung-rugi. 3.5 Mambangkitkan Peran Pergerakan Mahasiswa A. Mengasah Kemampuan Reflektif Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu, faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh setiap anak bangsa, terutama anak-anak muda masa kini. B. Membangun Kebiasaan Bertindak Efektif Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana, ‘public discourse’, tetapi juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya bersikap “NATO”, “Never Action, Talking Only” seperti kebiasaan banyak kaum intelektual dan politikus amatir negara miskin. Kaum muda masa kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara efektif daripada hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata. C. Melatih Kemampuan Kerja Teknis Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum muda kita ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. “The devil is in the detail”, bukan semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan sangat abstrak. Dalam suasana sistim demokrasi yang membuka luas ruang kebebasan dewasa ini, gairah politik di kalangan kaum muda sangat bergejolak. Namun, dalam wacana perpolitikan, biasanya berkembang luas kebiasaan untuk berpikir dalam konsep-konsep yang sangat umum dan abstrak. Pidato-pidato, ceramah-ceramah, perdebatanperdebatan di ruang-ruang publik biasanya diisi oleh berbagai wacana yang sangat umum, abtrask dan serba enak didengar dan indah dipandang. Akan tetapi, semua konsep-konsep yang bersifat umum dan abstrak itu baru bermakna dalam arti yang sebenarnya, jika ia dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang rinci. Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan, hendaklah melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil agar dapat menjamin benarbenar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita ke depan. Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya pandai berwacana, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis, ketrampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan kebangsaan kita ke depan. BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Peran mahasiswa bagi bangsa dan negeri ini bukan hanya duduk di depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga mempunyai berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Indonesia, peran tersebut adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan pada suatu kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum yang sudah rusak moral dan perilakunya, dan juga sebagai generasi pembaharu yang memperbaiki dan memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada pada suatu kaum. Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri didalam dada mahasiswa Indonesia baik yang ada didalam negeri maupun mahasiswa yang sedang belajar diluar negeri. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa Indonesia, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa Indonesia. 4.2 Saran Pada bagian ini penyusun ingin mengajak yang dalam hal ini ditujukan kepada para generasi muda pelajar dan mahasiswa, para Dosen dan Guru, seluruh elemen pemerintah baik yang ada di daerah maupun yang ada di pusat serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia secara luas agar tetap bersatu demi mempertahankan keutuhan NKRI. Terkadang masalah sepele akan menjadi kompleks jika tidak ada solidaritas di antara sesama kita. Penyusun berharap tak akan ada lagi perselisihan di negeri kita tercinta sehingga cita-cita bangsa Indonesia akan tercapai. Pepatah dalam bahasa Inggris mengatakan Student Today, Leader Tomorrow. Penyusun meyakini bahwa kunci tercapainya cita-cita itu ada di tangan para generasi muda. Oleh karena itu, tetaplah semangat dalam meraih apa yang telah menjadi tujuan hidup kita. DAFTAR PUSTAKA Zubaidi Ahmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma. Diktat Kuliah. shttp://library.binus.ac.ids/eColls/eThesis/Bab2/2011-2-00013-PL%202.pdf http://fauzulandim.blogspot.com/2012/11/membangkitkan-spirit-gerakan-mahasiswa.html