PTK RME

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada pada
setiap jenjang pendidikan dan tidak sedikit yang merasa kesulitan dalam mempelajari
matematika. Hal ini ditunjukkan dengan hasil studi PISA (Program for International
Student Assessment) tahun 2015 yang menunjukkan Indonesia baru bisa menduduki
peringkat 69 dari 76 negara. Sedangkan dari hasil studi TIMSS (Trends in International
Mathematics and Science Study), menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking
36 dari 49 negara dalam hal melakukan prosedur ilmiah. Dalam 10 tahun terakhir ini
hasil PISA dan TIMSS selalu beriringan dan berjalan di tempat. Mata pelajaran
matematika sering dianggap sebagai ‘momok’ oleh kebanyakan siswa. Sejalan dengan
pendapat para siswa SMP Taruna Surabaya yang mengatakan hal serupa dari hasil
belajar siswa pada mata pelajaran matematika rendah yaitu sebesar 23,80% dari 21
orang siswa diatas KKM 70, karena mereka menganggap matematika adalah mata
pelajaran sulit dibanding mata pelajaran lainnya, sehingga hasil belajar matematika
siswa cenderung lebih rendah dibanding dengan mata pelajaran lain.
Pemahaman tentang konsep matematika harus didukung dengan aktifitas belajar
dan penalaran siswa jika siswa cenderung pasif dalam proses belajar mengajar maka
siswa akan merasa bosan dan tidak tertarik untuk belajar lebih mendalam tentang
matematika. Dari hasil pengamatan dikelas IX SMP Taruna Surabaya. Hampir 70%
siswa di kelas tersebut pasif. Hanya menerima materi dari guru dan cenderung bosan
saat proses belajar mengajar, Selain itu, kebanyakan siswa hanya menghafal rumus
untuk menyelesaikan soal. Dalam menganalisis dan menyelesaikan soal-soal yang
menggunakan banyak rumus pun sebagian besar siswa belum bisa menyelesaikan
dengan baik. Siswa juga cenderung tidak menyukai pelajaran matematika. Hal ini terjadi
karena siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit. Siswa juga
menganggap bahwa matematika hanya pelajaran yang menghafal rumus. Dari hal itu,
mengindikasikan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa masih rendah.
Peneliti melakukan pengamatan dan pendekatan secara khusus didapatkan faktor
yang menjadi salah satu penyebab kurangnya kemampuan penalaran siswa dalam
1
menangkap materi yang disampaikan. Matematika itu sendiri memiliki objek yang
bersifat abstrak sehingga pemahamannya membutuhkan daya berpikir yang tinggi,
motivasi dalam diri siswa, lingkungan belajar yang kurang kondusif, Media
pembelajaran yang kurang dan model pembelajaran yang digunakan guru kurang efektif
dalam menyampaikan pelajaran. Model pembelajaran yang cenderung menjadikan siswa
pasif,hanya melihat dan mendengarkan guru menyampaikan pelajaran dapat membuat
siswa menjadi bosan dan tidak bias memahami materi yang disampaikan. Sehingga
peniliti ingin menggunakan model pembelajaran yang mampu membuat siswa menjadi
aktif dan penalaran siswa menjadi lebih baik.
Pembelajaran matematika di sekolah memiliki tujuan mengajarkan kepada siswa
tentang berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta mempunyai
kemampuan kerjasama. Dari hal tersebut pembelajaran matematika harus bisa
meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Dari hal tersebut dibutuhkan
suatu model pembelajaran yang dapat mempermudah dalam penguasaan konsep
matematika sekaligus mampu meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa.
Model pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan penalaran
matematis siswa adalah Model pembelajaran realistic mathematic education.
Salah satu upaya dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa
SMP Taruna Surabaya melalui penelitian tindakan kelas dengan menerapkan model
pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME) .
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas, rumusan masalah dalam penelitian tindakan
kelas ini adalah :
1. Bagaimanakah pelaksanaaan pembelajaran melalui penerapan model pembelajaran
Realistic Mathematic Education (RME) di kelas IX SMP Taruna Surabaya ?
2. Bagaimana peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa kelas IX SMP
Taruna Surabaya dalam pembelajaran matematika melalui model Realistic
Mathematic Education (RME) ?
3. Bagaimana respon siswa kelas IX SMP Taruna Surabaya terhadap pembelajaran
matematika dengan model pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)
kaitannya dengan kemampuan penalaran matematis ?
1.3 Tujuan Penelitian
2
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis
siswa di kelas IX SMP Taruna Surabaya
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaaat penelitian ini antara lain :
1. Bagi siswa
a. Memberikan suasana baru dalam pembelajaran yang dapat mendorong
peningkatan aktifitas belajar siswa yang berdampak juga pada hasil belajar
siswa.
b. Mendapat pengalaman belajar yang lebih memudahkan siswa dalam penalaran
materi.
2. Bagi guru
Mendapatkan pengalaman mengajar yang lebih memudahkan siswa dalam
memahami materi yaitu dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengeluarkan penalaran siswa dalam pembahasan materi yang disampaikan dan
aktifitas belajar lebih menarik.
3. Bagi sekolah
a. Dengan meningkatkan kemampuan penalaran dan aktifitas belajar siswa maka
akan berdampak pula pada hasil belajar yang lebih baik, pencapaian prestasi
belajar meningkat.
b. Dapat meningkatkan mutu pendidikan sekolah.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengertian Belajar
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman
(learning is defined as the modification or strengthening of behavior through
experiencing). Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan
dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas
dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan
pengubahan kelakuan (Hamalik, 2008:27).
Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Dua konsep ini menjadi terpadu dalam satu kegiaatan dimana terjadi interaksi
antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
(Ahmad susanto 2013:1).
Pengertian belajar menurut W.S. Winkel (2002) adalah: suatu aktivitas mental
yang berlansung dalam interaksi aktif
antara seseorang dengan lingkungan , dan
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan
nilai sikap yang bersifat relatif konstan. (Ahmad susanto 2013:1).
Hal senada dikemukakan oleh Sugihartono (2007: 81), pembelajaran merupakan
suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh guru untuk menyampaikan ilmu
pengetahuan, mengorganisir, dan menciptakan system lingkungan dengan berbagai
metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta
dengan hasil optimal.
Dari beberapa pengertian belajar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar
adalah suatu aktifitas yang dilakukan seseorang degnan sengja dalam keadaan sadar
untuk memperoleh suatu konsep, pemahan, atau pengetahuan baru sehingga
memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam
berpikir, merasa, maupun dalam bertindak.
2.2. Pembelajaran Matematika
Schoenfeld berpendapat bahwa pengertian istilah mateamtika sebagai ilmu tentang
pola perlu dikembangkan lebih lanjut (Hendriana, 2014:3). Matematika memuat
pengamatan dan pengkodean melalui representasi yang abstrak, dan peraturan dalam
4
dunia simbol dan objek. Matematika dalam pengertian sebagai ilmu memuat arti
membuat sesuatu yang masuk akal, memuat serangkaian simbol dan jenis penalaran yang
sesuai antara satu dengan yang lainnya. Uraian diatas melukiskan bahwa pegertian
matematika sebagai ilmu tentang pola memuat kegiatan membuat sesuatu menjadi masuk
akal dan memerlukan kemampuan mengkomunikasikan idenya kepada orang lain.
Matematika
sebagai
ilmu
memiliki
karakteristik-karakteristik
tertentu.
Karakteristik umum matematika :
a.
Memiliki objek kajian yang abstrak, berupa fakta, operasi (atau relasi), konsep
dan prinsip
b.
Bertumpu pada kesepakatan atau konvensi, baik berupa simbol-simbol dan istilah
maupun aturan-aturan dasar (aksioma)
c.
Berpola pikir deduktif
d.
Konsisten dalam sistemnya
e.
Memiliki simbol yang kosong dari arti
f.
Memperhatikan semesta pembicaraan, Smith,
Sanderson, 2003 (dalam
Hendriana, 2014:12)
Beberapa hal yang dapat dialkukan untuk pembelajaran matematika saat ini, agar
proses pembelajaran matematika dapat bermakna dan dapat berdampak pada peserta
didik adalah :
a. Kreativitas guru untuk menyiasati kurikulum yang sedang berlaku Guru tidak
hanya
mengajar
sesuai
petunjuk
teknis
kurikulum,
tetapi
dapat
menyiasatikurikulum dengan memilih dan memilah materi yang penting bagi
siswa dan memberikan materi secara berkelanjutan, bahkan bila perlu membuang
materi yang tidak penting
b. Inovasi guru dalam pembelajaran Variasi metode pembelajaran merupakan peran
penting untuk menarik minat siswa dalam pembelajaran matematika.
Pembelajaran dengan berbagai variasi sesuai materi ajar akan membuat siswa
tidak jenuh untuk mengikuti pembelajaran
c. Mengaitkan materi ajar dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan nyata
Dengan menunujukkan keterkaitan matematika dengan realitas kehidupan, akan
menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa. Siswa dapat
menerapkan konsep dan teori yang dipelajarinya untuk memecahkan persoalan riil yang
dihadapi dalam keseharian.
5
2.3. Kemampuan Penalaran Matematika
Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical
reasoning. Brodie (2010:7) menyatakan bahwa, “Mathematical reasoning is reasoning
about and with the object of mathematics.” Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa
penalaran matematis adalah penalaran mengenai dan dengan objek matematika. Selain
itu, Shadiq (2004:2) menjelaskan penalaran (jalan pikiran atau reasoning) sebagai:
“Proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensievidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan”.
Penalaran sering pula diartikan cara berfikir yang merupakan penjelasan dalam
upaya memperlihatkan hubungan antara dua hal atau lebih yang diakui kebenarannya
dengan langkah-langkah tertentu yang berakhir dengan suatu kesimpulan hasil
(Kurniawati,2006).
Penalaran merupakan tahapan berpikir matematik tingkat tinggi, mencakup
kapasitas
untuk
memungkinkan
berpikir
peserta
secara
didik
logis
untuk
dan
dapat
sistematis.“Kemampuan
memecahkan
permasalahan
bernalar
dalam
kehidupannya, di dalam dan di luar sekolah” (Yaniawati, 2010).
Selain itu, Menurut Sukirwan (2008) istilah penalaran merupakan proses berfikir
yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui
menuju suatu kesimpulan.
Penalaran matematika adalah salah satu proses berpikir yang dilakukan dengan
cara menarik suatu kesimpulan (Nurahman, 2011). Penalaran matematika merupakan hal
yang sangat penting untuk mengetahui dan mengerjakan permasalahan matematika.
Secara umum, terdapat dua model penalaran matematika, yakni penalaran induktif dan
penalaran deduktif.
Menurut Suherman (2001), matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti
proses pengerjaan matematik harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima
generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian
deduktif.Menurut Matlin (2009), penalaran deduktif berarti membuat beberapa
kesimpulan logis berdasarkan informasi yang diberikan.
Penalaran matematika yang mencakup kemampuan untuk berpikir secara logis dan
sistematis merupakan ranah kognitif matematik yang paling tinggi. Wardani (Nailil,
6
2011:12) menyatakan bahwa indikator-indikator kemampuan penalaran matematika siswa
adalah:
1)
Mengajukan dugaan
2)
Melakukan manipulasi matematika
3)
Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan terhadap kebenaran
solusi
4)
Menarik kesimpulan dari suatu pernyataan
5)
Memeriksa kesahihan suatu argumen
6)
Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Sedangkan menurut Romadhina (2007:29), indikator penalaran matematis adalah:
1. Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan diagram.
2. Mengajukan dugaan
3. Melakukan manipulasi matematika
4. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau buktiterhadap
beberapa solusi
5. Menarik kesimpulan dari pernyataan
6. Memeriksa kesahihan suatu argumen
7. Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Jadi, kemampuan penalaran matematis adalah kemampuan untuk berpikir atau
pemahaman mengenai permasalahan-permasalahan matematis secara logis untuk
memperoleh penyelesaian, memilah apa yang penting dan tidak penting dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan tersebut, dan menjelaskan atau memberikan alasan
atas penyelesaian dari suatu permasalahan. Berdasarkan uraian di atas indikator (aspek)
kemampuan penalaran matematis yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kemampuan menyajikan pernyataan matematika melalui lisan, tulisan,
gambar, sketsa atau diagram
2. Kemampuan mengajukan dugaan
3. Kemampuan melakukan manipulasi matematika
4. Kemampuan memberikan alasan terhadap beberapa solusi
5. Kemampuan memeriksa kesahihan suatu argumen
6. Kemampuan menarik kesimpulan atau melakukan generalisasi
7
2.4. Model Pembelajaran
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang di sajikan secara khas oleh guru. Dengan kata
lain, model pembelajran merupakan buku atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan,
metode, dan teknik pembelajaran.(Ahmadi 2011). Mills, berpedapat bahwa “ model
adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang
atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu,”. Model merupakan
interprestasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa
sistem. Model pembelajaran dapat diartikan pola yang digunakan untuk menyusun
kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru dikelas.
(Kokom
2010:57).
Menurut Sokamato, dkk (Nurulwati,2000:10) mengemukakan maksud dari model
pembelajaran adalah “ kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistemtis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar
dalam merencanakan aktifitas belajar mengajar”. Degan demikian, aktivitas pembelajaran
benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran
memberikan kerangka dn arah bagi guru untuk mengajar.
2.5. Model Pembelajaran Realistic Mathematic Education
2.5.1 Pengertian Realistic Mathematics Education (RME)
Secara harfiah Realistic Mathematics Education diterjemahkan sebagai
pendidikan
matematika
realistik
yaitu
pendekatan
belajar
matematika
yang
dikembangkan atas dasar gagasan Frudenthal. Menurut Frudenthal (Wijaya, 2012: 20)
matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia. Gagasan ini menunjukkan
bahwa RME tidak menempatkan matematika sebagai produk jadi, melainkan suatu
proses yang sering disebut dengan guided reinvention. Oleh sebab itu, RME menjadi
suatu alternatif dalam pembelajaran matematika dalam penelitian ini.
Selain itu, alasan pemilihan tersebut didasarkan pada fakta dan konsep ontologi
bidang kajian dalam penelitian ini. Salah satunya adalah substansi materi pelajaran
matematika bersifat abstrak, sehingga pembelajaran matematika hendaknya dimulai dari
8
konkret menuju abstrak. Penjelasan tersebut mendukung RME sebagai pendekatan
pembelajaran khusus untuk matematika yang mendasarkan pembelajaran berawal dari
hal yang konkret.
Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Van den Heuvel (Wijaya, 2012: 20)
bahwa penggunaan kata ”realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda ”zich
realiseren” yang berarti untuk dibayangkan. Jadi, RME tidak hanya menunjukkan
adanya keterkaitan dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus pendidikan
matematika realistik yaitu penekanan pada penggunaan situasi yang dapat dibayangkan
oleh siswa.
Hadi (2005: 19) menjelaskan bahwa dalam matematika realistik dunia nyata
digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika.
Penjelasan lebih lanjut bahwa pembelajaran matematika realistik ini berangkat dari
kehidupan anak, yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak, nyata, dan terjangkau
oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah baginya untuk mencari
kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan kemampuan matematis yang telah
dimiliki. Tarigan (2006: 3) menambahkan bahwa pembelajaran matematika realistik
menekankan akan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi
pengetahuan matematika oleh siswa sendiri.
Rahayu (2010) mengemukakan bahwa pendidikan matematika realistik
merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan realitas
dan lingkungan sebagai titik awal dari pembelajaran. Selain itu, RME menekankan pada
keterampilan proses matematika, berdiskusi dan berkolaborasi, beragumentasi dengan
teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan akhirnya menggunakan
matematika untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok.
Namun, perlu diketahui bahwa dalam RME tidak hanya berhenti pada penggunaan
masalah realistik. Masalah realistik hanyalah pengantar siswa untuk menuju proses
matematisasi.
Matematisasi adalah suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena.
Dalam penerapan RME terdapat dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horizontal
dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal berkaitan dengan proses generalisasi
(generalizing) yang diawali dengan pengidentifikasian konsep matematika berdasarkan
keteraturan (regularities) dan hubungan (relation) yang ditemukan melalui visualisasi
9
dan skematisasi masalah. Jadi, pada matematisasi horizontal ini siswa mencoba
menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata, dengan menggunakan bahasa dan simbol
mereka sendiri, dan masih bergantung pada model. Berbeda dengan matematisasi
vertikal yang merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing) dimana model
matematika yang diperoleh pada matematisasi horizontal menjadi landasan dalam
pengembangan konsep matematika yang lebih formal melalui proses matematisasi
vertikal. Dengan kata lain, kedua jenis matematisasi ini tidak dapat dipisahkan secara
berurutan, tetapi keduanya terjadi secara bergantian dan bertahap (Wijaya, 2012:
41 – 43).
Jadi, dalam RME masalah realistik digunakan sebagai stimulator utama dalam
upaya rekonstruksi pengetahuan peserta didik. Selain itu, penerapan RME diiringi oleh
penggunaan model agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar dapat dibayangkan
oleh siswa (imaginable), sehingga mengacu pada penyelesaian masalah dengan berbagai
alternatif melalui proses matematisasi yang dilakukan oleh siswa sendiri.
2.5.2 Karakteristik Realistic Mathematics Education
Salah satu karakteristik mendasar dalam RME yang diperkenalkan oleh
Frudenthal adalah guided reinvention sebagai suatu proses yang dilakukan siswa secara
aktif untuk menemukan kembali suatu konsep matematika dengan bimbingan guru
(Wijaya, 2012: 20). Sejalan dengan pendapat Frudenthal, Gravemeijer (Tarigan, 2006:
4) mengemukakan empat tahap dalam proses guided reinvention, yaitu; (a) tahap
situasional, (b) tahap referensial, (c) tahap umum, (d) tahap formal. Namun, konsep
guided reinvention dianggap masih terlalu global untuk menjadi karakteristik dari RME.
Oleh sebab itu, perlu adanya karakteristik yang lebih khusus untuk membedakan antara
RME dengan pendekatan lain. Dengan dasar itulah dirumuskan lima karakteristik RME
sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika, yaitu:
a) Pembelajaran harus dimulai dari masalah yang diambil dari dunia nyata.
Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa
agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan
pengalaman mereka. Sebab pembelajaran yang langsung diawali dengan
matematika
formal
cenderung
menimbulkan
kecemasan
matematika
(mathematics anxiety).
10
b) Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai
dengan abstraksi yang harus dipelajari siswa. Model dapat berupa keadaan atau
situasi nyata dalam kehidupan siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang
dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.
c) Siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam
menyelesaikan masalah nyata yang diberikan guru. Siswa memiliki kebebasan
untuk mengembangkan strategi penyelesaian masalah sehingga diharapkan akan
diperoleh berbagai varian dari pemecahan masalah tersebut.
d) Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antar guru dan siswa
maupun siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam
pembelajaran matematika. Siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan
siswa lain, bertanya, dan menanggapi pertanyaan serta mengevaluasi pekerjaan
mereka.
e) Hubungan diantara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain,
dan dengan masalah lain dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang
saling terkait dalam menyelesaiakan masalah (Aisyah, 2007: 7.18 – 7.19).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa RME memiliki
karakteristik khusus yang membedakan RME dengan pendekatan lain. Ciri khusus ini
yaitu adanya konteks permasalahan realistik yang menjadi titik awal pembelajaran
matematika, serta penggunaan model untuk menjembatani dunia matematika yang
abstrak menuju dunia nyata.
2.5.3 Langkah-langkah Penerapan Realistic Mathematics Education
Setiap model, pendekatan, atau teknik pembelajaran memiliki prosedur
pelaksanaan yang terstruktur sesuai dengan karakteristiknya. Begitupun dengan RME,
berikut ini langkah-langkah penerapan RME dalam pembelajaran yang dikemukakan
oleh Zulkardi (Aisyah, 2007: 7.20), yaitu:
a. Hal yang dilakukan diawal adalah menyiapkan masalah realistik. Guru harus
benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang
mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.
b. Siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan
diperkenalkan kepada masalah realistik.
c. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara
11
mereka sendiri.
d. Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah tersebut sesuai
dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara individu maupun kelompok.
e. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan
kelas, siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hal kerja penyaji.
f. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi taggapan sambil
mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan
atau prinsip yang bersifat lebih umum.
g. Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas,
siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran
siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.
Lain halnya dengan Wijaya (2012: 45) memaparkan proses matematisasi untuk
menyelesaikan masalah realistik dalam penerapan RME sebagai berikut.
a) Diawali dengan masalah dunia nyata (Real World Problem).
b) Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan masalah, lalu
mengorganisir masalah sesuai dengan konsep matematika.
c) Secara bertahap meninggalkan situasi dunia nyata melalui proses perumusan
asumsi, generalisasi, dan formalisasi. Proses ini bertujuan untuk menerjemahkan
masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika yang representatif.
d) Menyelesaikan masalah matematika (terjadi dalam dunia matematika).
e) Menerjemahkan kembali solusi matematis ke dalam solusi nyata, termasuk
mengidentifikasi keterbatasan dari solusi.
Berdasarkan uraian pendapat di atas, diketahui bahwa penerapan RME diawali
dengan pemunculan masalah realistik. Dilanjutkan dengan proses penyelesaian masalah
yang terjadi dalam dunia matematika dan diterjemahkan kembali ke dalam solusi nyata.
Hasil dari proses ini, kemudian dipublikasikan melalui diskusi kelas dan diakhiri dengan
penyimpulan atas penyelesaian masalah tersebut.
2.6. Penelitian Tindakan Kelas
Basrowi dan Suwandi.2008:26, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah
satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk berbagai kegaiatan yang dilakukan untuk
memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas. Penelitian tindakan kelas
merupakan kegiatan yang langsung berhubungan dengan tugas guru di lapangan.
12
Dapat disimpulkan bahwa pengertian penelitian tindakan kelas adalah penelitian
tindakan dalam bidang pendidikan yang dilaksanakan dalam kelas dengan tujuan untuk
memperbaiki atau meningkatakan kualitas pembelajaran.
Gambar 1.1 Siklus Penelitian Tindakan (Arikunto:2015:42)
Dari gambar 1.1 terlihat bahwa PTK dimulai dari refleksi awal permasalahan ini
ditemukan guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Selanjutnya direncanakan
tindakan apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam memilih
tindakan perlu memperhatikan kemampuan guru itu sendiri, apakah mampu
menggunakan tindakan tersebut atau belum, selain kemampuan guru juga diperhatikan
kemampuan siswa sarana prasarana dan lain sebagainya.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (classroom action research) adalah penelitian yang
dilakukan oleh guru di kelasnya dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjamya
sehingga hasil belajar peserta didik meningkat. Bagi peserta didik, PTK bermanfaat
untuk meningkatkan proses/ hasil belajar dan bersifat kritis terhadap hasil belajarnya.
Bagi sekolah, PTK membantu sekolah untuk berkembang karena adanya
peningkatan/kemajuan pada diri guru dan pendidikan di sekolah tersebut.
Suharsimi, Suhardjono dan Supardi (2006) menjelaskan PTK dengan
memisahkan kata-kata yang tergabung di dalamnya, yaitu Penelitian + Tindakan +
Kelas, dengan paparan sebagai berikut.
1. Penelitian, menunjuk pada kegiatan mencermati suatu objek, dengan
menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau
informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang menarik
minat dan penting bagi peneliti
2. Tindakan, menunjuk pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan
tujuan tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan.
3. Kelas dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam
pengertian yang lebih spesifik. Seperti yang sudah lama dikenal dalam bidang
pendidikan dan pengajaran. Yang dimaksud dengan istilah kelas adalah
sekelompok peserta didik dalam waktu sama, menerima pelajaran yang sama
dari guru yang sama pula.
Dengan menggabungkan batasan pengertian tiga kata tersebut segera dapat
disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap
kegiatan yang disengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas. 3 PTK juga
diartikan
penelitian
tindakan
yang
dilakukan
di
kelas
dengan
tujuan
memperbaiki/meningkatkan mutu praktik pendidikan. Jadi penelitian tindakan kelas
adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencermati kegiatan belajar sekelompok
14
tertentu dengan memberikan suatu tindakan untuk meningkatkan kualitas dan hasil
belajar peserta didik.
Penulis menggunakan penelitian tindakan kelas (classroom action research)
merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas dan hasil belajar matematika pada
sekelompok peserta didik (kelas IX SMP Taruna Surabaya) dengan memberikan
tindakan yaitu menerapkan model pembelajaran Realistic Mathematic Education
(RME).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kelas IX SMP Taruna Surabaya yang beralamat di
Jalan Mejoyo 1/ 2 Surabaya
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2018/2019.
C. Subjek Penelitian
Subyek penelitian yang akan diteliti adalah peserta didik kelas IX SMP Taruna
Surabaya, yang berjumlah 21 peserta didik, yang terdiri dari 12 peserta didik
perempuan dan 9 peserta didik laki- laki.
D. Prosedur Penelitian
Kegiatan dirancang dengan penelitian tindakan kelas, penelitian tindakan kelas
(PTK) merupakan penelitian tindakan (action research) yang dilakukan dengan tujuan
memperbaiki mutu praktek pembelajaran di kelasnya. Kegiatan ini diterapkan dalam
upaya menumbuhkan jiwa peserta didik yang mempunyai semangat kepemimpinan
yang mampu memecahkan masalah yang dihadapi maupun yang dibebankan
padanya. Tahapan langkah penelitian ini disusun dalam siklus. Penelitian ini
dirancang dalam dua siklus. Sebagaimana langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pra Siklus
Dalam pelaksanaan pembelajaran pada pra siklus ini diukur dengan indikator
penelitian yaitu dilihat dari hasil belajar para peserta didik pada tahun sebelumnya
yang diperoleh dengan cara dokumentasi dan wawancara guru pengampu kelas IX
SMP Taruna Surabaya. Hal ini dilakukan sebagai dasar untuk membandingkan
15
keberhasilan pembelajaran menggunakan model pembelajaran RME (Realistic
Mathematic Education) pada siklus1 dan siklus2.
2. Siklus 1
a. Perencanaan
Hal-hal yang akan dilakukan antara lain:
1). Pada tahap perencanaan, dilakukan penentuan materi pelajaran yang akan
disajikan kepada peserta didik yaitu materi pokok perbandingan, dengan
mengambil kompetensi dasar (KD) menggunakan perbandingan untuk
pemecahan masalah. Selanjutnya permasalahan diidentifikasi dan masalah
dirumuskan.
2). Menyusun RPP dengan materi ajar skala sebagai suatu perbandingan dan
faktor perbesaran serta faktor pengecilan.
3). Membuat lembar kerja kelompok dengan materi skala sebagai suatu
perbandingan dan faktor perbesaran serta pengecilan beserta kunci
jawabannya.
4). Membuat PR beserta kunci jawabannya.
5). Membuat soal tes evaluasi siklus 1 beserta kunci jawabannya.
6). Menyiapkan
prasarana yang diperlukan dalam penyampaian materi
pelajaran. Prasarana tersebut antara lain meteran, penggaris, kertas gambar
dan sebagainya.
7). Membuat lembar pengamatan aktivitas peserta didik siklus I.
8). Membuat lembar pengamatan untuk guru siklus I
9). Membuat daftar pembagian kelompok untuk melakukan praktek dan diskusi.
b. Pelaksanaan Tindakan(Action)
1) Guru mengkondisikan kelas agar peserta didik siap menerima pelajaran
2) Guru memberikan motivasi kepada peserta didik tentang pembelajaran
materi perbandingan.
3) Guru menginformasikan model pembelajaran dan tujuan dari pembelajaran
serta menyiapkan sarana pembelajaran.
4) Guru membagi peserta didik menjadi beberapa keompok dengan masingmasing kelompok 6-7 peserta didik.
5) Guru menghimbau tiap kelompok untuk melakukan praktek langsung di
16
kelas dan di luar kelas dengan bantuan lembar kerja kelompok.
6) Guru memberitahukan agar peserta didik saling bekerja sama dan saling
membantu sesuai kelompoknya masing-masing serta membuat kesimpulan
dari kegiatan yang telah dilakukan.
7) Guru mengamati dan menilai hasil pekerjaan peserta didik dalam
kelompok. Guru perlu menghargai keberagaman jawaban peserta didik.
8) Guru meminta 1 dan 2 peserta didik untuk mempersentasikan hasil diskusi
kelompok dari kegiatan yang telah selesai dilakukan di depan kelas.
9) Dengan tanya jawab, Guru dapat mengulangi jawaban peserta didik agar
peserta didik yang lainnya memiliki gambaran yang jelas tentang
penyelesaian yang benar dari masalah yang muncul pada kegiatan praktek
tadi. Guru bertindak sebagai narasumber atau fasilitator.
10) Guru membubarkan kelompok yang di bentuk dan peserta didik kembali ke
tempat duduknya masing-masing.
11) Peserta didik bersama-sama guru membuat kesimpulan dari kegiatan praktek
yang telah dilakukan.
12) Guru membantu peserta didik dalam mengkaji ulang proses atau hasil
pemecahan masalah dan memberi penguatan terhadap hasil pemecahan
masalah peserta didik.
13) Guru memberikan tugas secukupnya kepada peserta didik sebagai tugas
rumah.
14) Guru menutup pelajaran dengan salam.
c. Pengamatan
Selama kegiatan pembelajaran observer mengamati dan mencatat hasil
pembelajaran yang akan digunakan sebagai dasar refleksi siklus I dipadukan dengan
hasil evaluasi
d. Refleksi
Refleksi dilakukan dengan menganalisis hasil kerja peserta didik. Analisis
dilakukan untuk mengukur kekurangan dan kelebihan yang terdapat pada siklus I.
Hasil analisis siklus I merupakan acuan penyusunan perencanaan siklus 2. Kelebihan
yang ada dipertahankan dan kekurangan yang terjadi diperbaiki.
17
3. Siklus 2
Siklus 2 merupakan tahapan perbaikan dari siklus 1. Kekurangan- kekurangan
yang terdapat dalam siklus 1, diperbaiki dan ditutup pada siklus 2. Tahap-tahap yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Perencanaan
Peneliti meninjau kembali rancangan pembelajaran yang disiapkan untuk
siklus II dengan melakukan revisi sesuai hasil refleksi pada siklus I.
a) Menyiapkan RPP dengan materi perbandingan senilai dan perbandingan
berbalik nilai.
b) Membuat lembar kerja kelompok.
c) Membuat soal tugas rumah beserta kunci jawabannya.
d) Membuat soal tes evaluasi akhir siklus 2 beserta kunci jawabannya.
e) Menyiapkan absensi sebagai acuan dalam pembentukan kelompok.
f) Menyiapkan sarana-sarana yang diperlukan selama proses pembelajaran
berlangsung diantaranya kertas Koran, gunting, penggaris dan sebagainya.
2) Pelaksanaan
a) Guru melakukan presensi dan menyampaikan tujuan pembelajaran.
b) Guru memberikan apersepsi dengan tanya jawab untuk mengingatkan
kembali pelajaran yang lalu tentang skala sebagai suatu perbandingan.
c) Guru meminta peserta didik untuk berkumpul dengan kelompoknya masing-
masing (kelompok telah dibagi sesuai dengan nomor undian yang didapat
pada akhir pertemuan sebelumnya).
d) Guru menghimbau tiap kelompok untuk menyiapkan alat-alat yang akan
dipakai dalam praktek (kertas Koran, gunting, penggaris).
e) Guru membagikan lembar kerja kelompok.
f) Peserta didik diminta untuk melakukan serangkaian kegiatan yang ada dalam
lembar kerja kelompok dalam waktu yang ditentukan.
g) Guru mengamati dan menilai kinerja masing-masing kelompok.
h) Guru menghimbau peserta didik untuk mengumpulkan hail diskusinya
karena waktunya telah habis.
i)
Guru meminta 1-3 kelompok untuk mempresentasikan hail diskusinya di
18
depan kelas. Dan kelompok yang lain diminta untuk memberikan masukan
atau sanggahan dari hail diskusi kelompok yang ada di depan.
j)
Guru bertindak sebagai narasumber mengoreksi pekerjaan peserta didik serta
memberikan penjelasan tentang penyelesaian yang benar dari kartu masalah
yang telah diberikan, sehingga peserta didik memiliki kesamaan dalam pola
pikirnya.
k) Peserta didik bersama-sama guru membuat kesimpulan dari kegiatan praktek
yang telah dilakukan.
l)
Guru memberikan tugas rumah.
3) Pengamatan
Selama kegiatan pembelajaran observer mengamati dan mencatat hasil
pembelajaran yang akan digunakan sebagai dasar refleksi siklus 2 dipadukan dengan
hasil evaluasi.
4) Refleksi
Refleksi pada siklus II ini dilakukan untuk membuat simpulan akhir dan
melakukan penyempurnaan prototype/modul pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran RME yang diharapkan mampu meningkatkan pemahaman peserta
didik.
E. Sumber Data dan Jenis Data
1. Sumber Data
Sumber data adalah dari subjek penelitian itu sendiri, yakni peserta didik Kelas
IX SMP Taruna Surabaya, melalui hasil pengamatan, hasil refleksi dari peneliti dan
dari hasil tes.
2. Jenis Data
a. Kuantitatif: berupa hasil tes untuk melihat kemampuan kognitif peserta didik
dalam memecahkan masalah.
b. Kualitatif: berupa hasil observasi terhadap proses berlangsungnya
pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran RME.
19
F. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data
a. Metode Pengumpulan Data
1) Observasi Terbuka
Observasi terbuka ialah apabila sang pengamat atau observer melakukan
pengamatannya dengan mengambil kertas pensil, kemudian mencatat segala sesuatu
yang terjadi di kelas.6 Tujuan pencatatan ini adalah untuk menggambarkan situasi
kelas selengkapnya sehingga urutan kejadian tercatat semuanya.
Pada penelitian ini observasi terbuka digunakan untuk pengamati proses
berlangsungnya pembelajaran matematika dengan model pembelajaran RME
(Realistic Mathematic Education) dalam materi pokok perbandingan yang terjadi
pada siklus 1 dan siklus2.
2) Metode Tes (test)
Tes adalah seperangkat rangsangan (stimulus) yang diberikan pada seseorang
dengan maksud untuk mendapat jawaban yang dapat dijadikan dasar bagi penetapan
skor angka. Tes ini digunakan untuk mendapatkan hasil belajar peserta didik setelah
melakukan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran RME (Realistic
Mathematic Education) dalam materi pokok perbandingan baik pada siklus 1 dan
siklus 2. Tes yang dilakukan berupa tes essay dalam bentuk uraian.
3) Metode Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang artinya barang yang tertulis.
Metode dokumentasi berarti cara pengumpulan data-data yang sudah ada. Metode
dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan daftar nama peserta didik dari kelas
IX SMP Taruna Surabaya, nilai formatif peserta didik pada tahun sebelumnya. Selain
itu juga digunakan untuk pengambilan gambar peserta didik dalam melaksanakan
model pembelajaran RME (Realistic Mathematic Education).
4) Metode wawancara
Metode wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu. Metode ini dilakukan untuk memperoleh data-data tentang
permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran sebelum pemberian tindakan,
20
diantaranya strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran
matematika, aktivitas dan hasil belajar peserta didik sebelum pemberian tindakan.
b. Metode Analisis Data
Metode analisis data merupakan upaya mencari dan menata sistematis catatan
hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, untuk meningkatkan pemahaman
penelitian tentang peneliti menggunakan metode deskriptif analitik yaitu memberikan
predikat kepada variabel diteliti sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Predikat
yang sebanding dengan atau atas dasar kondisi yang diinginkan.
Data hasil pengamatan penelitian ini diolah dengan analisis deskriptif untuk
menggambarkan keadaan peningkatan indikator keberhasilan tiap siklus dan untuk
menggambarkan keberhasilan pembelajaran melalui model pembelajaran matematika
cooperative learning tipe RME (Realistic Mathematic Education) dalam materi
pokok Perbandingan.
Analisis deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk mendiskripsikan atau
memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sample atau populasi
sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang
berlaku umum. Jadi dalam statistik diskriptif ini, peneliti menyajikan data-data hasil
observasi melalui tabel-tabel.
Untuk mengetahui kemampuan kognitif peserta didik dalam menyelesaikan
soal tes evaluasi, analisisnya dengan cara menghitung rata- rata nilai dan ketuntasan
belajar. Rumus yang digunakan adalah:
1. Menghitung rata-rata.
Untuk menghitung nilai rata-rata digunakan rumus:
Keterangan:
X = rata-rata nilai.
x = jumlah seluruh nilai.
n = jumlah peserta didik.
21
2. Menghitung ketuntasan belajar klasikal.
Data yang diperoleh dari hasil belajar dapat ditentukan ketuntasan
belajar klasikal menggunakan analisis deskriptif persentase dengan
perhitungan:
 peserta didik yang tuntas belajar x100%
 seluruh peserta didik
Ketuntasan belajar klasikal:
Keberhasilan kelas dilihat dari jumlah peserta didik yang mampu menyelesaikan atau
mencapai minimum 60 sekurang-kurangnya 75% dari jumlah peserta didik yang ada
di kelas tersebut.
G. Indikator Keberhasilan.
1. Tercapainya peningkatan hasil belajar peserta didik dengan rata-rata nilai
yang dicapai diatas hasil ketuntasan belajar yang telah ditentukan yaitu 60.
2. Tercapainya ketuntasan klasikal hasil belajar yang telah dicapai oleh peserta
didik dengan ketuntasan klasikal ≥ 75%.
22
Download