IMUNITAS PIMPINAN KPK Oleh: Patty Regina Rafli Fadilah Achmad Valeryan Natasha KOMPETISI DEBAT KONSTITUSI 2015 Universitas Indonesia Depok April 2015 1 LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah NPM : 1106056075 NPM : 1206246313 Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum Nama : Valeryan Natasha NPM : 1206251471 Program Studi: Ilmu Hukum Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul : IMUNITAS PIMPINAN KPK Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami. Depok, 12 Mei 2015 (Patty Regina) (Rafli Fadilah Achmad) (Valeryan Natasha) 2 DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 4 II.PEMBAHASAN ................................................................................................ 5 II.1. Argumen Pro Imunitas Pimpinan KPK ................................................. 5 II.1.1. Melindungi Pimpinan KPK dari Ancaman ‘Kriminalisasi’ ................. 5 II.1.2. Pimpinan KPK Pantas Mendapatkan Perlindungan Hak Imunitas....... 7 II.1.3. Perbandingan Ketatanegaraan .............................................................. 8 II.2. Argumentasi Kontra Imunitas Pimpinan KPK ................................... 10 II.2.1. Hak Imunitas Bertentangan Dengan Prinsip Persamaan di Muka Hukum ........................................................................................................... 10 II.2.2. Ketiadaan Urgensi Pemberian Imunitas Bagi Pimpinan KPK ........... 11 II.2.3. Hak Imunitas Rentan Untuk Disalahgunakan .................................... 12 III. PENUTUP ..................................................................................................... 14 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 17 3 I. PENDAHULUAN Korupsi masih marak dan menjadi masalah yang krusial di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index / CPI) tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Skor tersebut diperoleh dari hasil survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia. dalam Indeks Persepsi Korupsi tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-100.1 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk untuk meningkatkan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.2 Pembentukan ini didasari pada kekhawatiran bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi sebelum berdirinya KPK belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.3 Untuk menjalankan fungsi KPK sebagaimana yang diharapkan pada awal pembentukannya, tentunya para pimpinannya sebagai ujung tombak harus dipastikan berada pada keadaan yang kondusif untuk melaksanakan peranannya. Isu yang sedang menjadi bahan kontroversi belakangan ini adalah terkait pemberian imunitas bagi para pimpinan KPK. Ide ini awalnya dikemukakan oleh Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, yang menganjurkan Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Perundangundangan (Perppu) yang berisi pemberian imunitas bagi para pimpinan KPK. Latar belakang dari ide yang diwacanakan oleh Denny adalah adanya trend ‘kriminalisasi’ pimpinan KPK, yang bagi beberapa kalangan dilihat sebagai usaha untuk melumpuhkan kinerja KPK sebagai suatu institusi. Sebut saja dua dari pimpinan KPK yang dalam jangka waktu kurang dari setengah tahun ini terpaksa mundur sementara dari jabatannya akibat tersandung dugaan kasus: Bambang Widjojanto, 4 dan Abraham Samad. 5 Selain itu, Novel Baswedan yang juga merupakan penyidik utama KPK juga tertimpa situasi yang sama.6 Penahanan beberapa Pimpinan KPK dalam jangka waktu yang singkat dan berdekatan, serta momen yang tepat sejak diawalinya ketegangan hubungan antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) inilah yang memicu dugaan ‘kriminalisasi.’ Kejadian beruntun yang terjadi pada para pimpinan KPK ini diduga 4 sebagai bentuk balas dendam pihak Polri terhadap KPK atas penetapan tersangka yang sebelumnya dilakukan oleh KPK terhadap petinggi Polri.7 Oleh sebab itulah, tragedi ditahannya beberapa Pimpinan KPK ini dikhawatirkan akan membawakan dampak regresif pada kinerja KPK, dimana fokus KPK dalam memberantas korupsi tidak lagi maksimal akibat para pimpinannya terjerat permasalahan hukum. Namun betulkah hak imunitas bagi Pimpinan KPK merupakan jalan keluarnya? Artikel ini akan membahas legalitas dan dampak yang akan ditimbulkan dari pemberian hak imunitas bagi Pimpinan KPK, baik dari segi pro maupun kontra. II.PEMBAHASAN Hak imunitas sendiri bukanlah hal yang baru dikenal di Indonesia. Berbagai individu dalam kapasitas posisi tertentu telah dilindungi dengan hak imunitas dalam pekerjaannya, contohnya: Anggota Legislatif, Ombudsman, dan advokat. 8 Hak imunitas sendiri, berdasarkan definisi yang diangkat dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD 3), adalah hak kekebalan hukum untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam bertugas. Untuk hak imunitas pimpinan KPK itu sendiri, kekebalan hukum akan diperluas dalam bentuk tindakan yang dilakukan dalam bertugas pula, karena berbeda dengan legislator yang tugasnya adalah berpendapat, pimpinan KPK memiliki tugas yang berbentuk pengikutsertaan tindakan nyata. Tentunya hak kekebalan ini memiliki pengecualian, yaitu apabila ia tertangkap tangan melakukan suatu tindakan pidana, serta juga mengecualikan tindak pidana yang sifatnya personal di luar kepentingan tugas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis.9 II.1. Argumen Pro Imunitas Pimpinan KPK II.1.1. Melindungi Pimpinan KPK dari Ancaman ‘Kriminalisasi’ Berdasarkan Pasal 21 Ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) Anggota KPK. Ayat (6) dari pasal yang sama menjelaskan bahwa para Pimpinan KPK bekerja secara kolektif, yang diartikan sebagai “setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan 5 secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK.” 10 Metode kerja secara kolektif ini menekankan pentingnya peranan tiap-tiap Pimpinan KPK dalam menentukan ke arah mana haluan KPK sebagai institusi akan digerakkan.11 Sehingga, memastikan kondusifitas kondisi kerja tiap-tiap Pimpinan KPK dalam kapasitas kerjanya menjadi sangat penting. Hal ini dikarenakan, apabila ada kondisi yang merugikan salah satu Pimpinan KPK saja akan berdampak pada kelumpuhan KPK sebagai suatu institusi, karena kehilangan salah satu Pimpinan KPK sudah merupakan suatu hambatan kerja kolektif yang harus dilakukan KPK. Tidak dapat dipungkiri bahwa KPK sebagai lembaga yang bertugas untuk menuntaskan korupsi di Indonesia merupakan lembaga yang akan banyak memiliki ‘musuh.’ Musuh disini terutama berasal dari kalangan orang-orang yang memiliki kekuatan untuk melakukan tindak pidana korupsi tentunya, yang justru pada umumnya berasal dari kalangan penguasa. Keadaan ini menjadikan KPK sebagai sasaran empuk serangan balas dendam jika ada individu dari lembaga tertentu yang merasa kedudukannya terancam oleh kewenangan KPK untuk mengusut kasus korupsi yang mungkin melibatkan dirinya. Kemungkinan inilah yang meningkatkan resiko kriminalisasi bagi KPK, khususnya para Pimpinan KPK sebagai ujung tombak institusi ini. Oleh sebab itu, sistem kerja kolektif yang ditujukan untuk menjaga keseimbangan dalam kerja KPK itu sendiri justru dapat menjadi titik lemah KPK sebagai suatu institusi, karena seberapa rentannya individu Pimpinan KPK untuk diserang dengan tuduhan-tuduhan kriminalisasi, sehingga kemudian terpaksa mengundurkan diri secara sementara sebagaimana yang diatur dalam UU KPK.12 Meskipun untuk kepentingan kelangsungan kerja KPK nantinya akan dipilih Pelaksana Tugas (Plt) atau calon pengganti untuk mengisi kekosongan jabatan sementara tersebut,13 namun tetap tidak dapat dipungkiri hal ini akan menghambat kinerja KPK. Sebabnya adalah KPK yang telah bekerja secara sistematis dan kolektif telah memiliki pola kerja dan pengetahuan kerja yang sangat spesifik, terlebih lagi dalam lingkaran 5 (lima) orang pemimpinnya. Sehingga, penggantian posisi oleh seorang Plt tidak dapat secara langsung mengembalikan performa KPK seperti sebelum pimpinannya diharuskan mengundurkan diri, karena fungsi tiap 6 individu pimpinan KPK tidak semudah itu dipindahtangankan / diambil alih fungsinya. Situasi yang rentan dan penuh resiko ini pada akhirnya memenuhi ketentuan dasar hukum pembuatan Perppu, sebagaimana yang dituliskan dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD NRI 1945), yaitu: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Menurut Prof. Jimly Asshidiqie, ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu.14 Kondisi yang dianggap sebagai ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ ini dapat diartikan sebagai kegentingan yang benar terjadi atau akan terjadi. Pada situasi ancaman kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK yang dapat melumpuhkan KPK sebagai suatu institusi, dapat dilihat sebagai kegentingan yang memaksa yang akan terjadi. Oleh sebab itu, dapat memenuhi kondisi yang mendasari pembentukan Perppu imunitas ini oleh Presiden, agar pelumpuhan KPK sebagai institusi (yang merupakan suatu kegentingan) dapat dicegah. II.1.2. Pimpinan KPK Pantas Mendapatkan Perlindungan Hak Imunitas Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, beberapa individu dalam kapasitas pekerjaannya telah diberikan hak imunitas oleh Negara berdasarkan kedudukan atau jabatannya (ratione personae). 15 Di antaranya adalah: Anggota Legislatif, Ombudsman dan advokat. Selain itu, perwakilan diplomatik dan Kepala Negara juga diberikan hak imunitas, namun hal ini berbeda secara prinsip dibandingkan imunitas ratione personae dalam topik ini. Dasar dari pemberian imunitas bagi tiap-tiap individu tersebut dalam kapasitas pekerjaannya adalah untuk memudahkannya di dalam melaksanakan tugas pekerjaannya tanpa hambatan yang dapat mengancam keberlangsungan kerja mereka. Sebagai contoh, hak imunitas yang dimiliki oleh Anggota Legislatif adalah imunitas atas pernyataan dan pendapat yang disampaikannya di dalam gedung parlemen, hal ini ditujukan agar Anggota 7 Legislatif dapat menyampaikan pendapatnya dengan sebebas-bebasnya untuk guna legislative drafting atau penyampaian aspirasi masyarakat tanpa adanya ancaman pemanfaatan pernyataan tersebut untuk menginkriminasinya.16 Jika ada ancaman inkriminasi Anggota Legislatif berdasarkan pada pernyataannya selama bertugas di parlemen, maka dikhawatirkan Anggota Legislatif tidak dapat secara bebas mengemukakan pendapatnya dan tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya sebagai representasi rakyat. Hal serupa jugalah yang mendasari imunitas Ombudsman, advokat, dan perwakilan konsuler untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya dengan semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, Pimpinan KPK sudah harusnya diberikan akses terhadap hak imunitas yang serupa dalam menjalankan tugasnya. Sebab jika Anggota Legislatif dan Ombudsman yang ancaman pekerjaannya tidak seberapa besarnya saja diberikan hak ini, mengapa Pimpinan KPK tidak? Padahal pekerjaan yang diemban Pimpinan KPK jauh lebih rumit dan beresiko dibandingkan Anggota Legislatif dan Ombudsman. Terutama, dikarenakan karakteristik tugas KPK yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, yaitu terkait mengungkapkan kebobrokan orang-orang yang memegang kekuasaan di Negara ini. Sehingga, bahaya kriminalisasi bahkan jauh lebih nyata dalam konteks kerentanan Pimpinan KPK. Hal ini juga diamini oleh Budi Santoso, anggota Ombudsman Republik Indonesia, dalam pernyataannya kepada Media Republika tanggal 25 Januari 2015, yaitu terkait ketiadaan pasal imunitas dalam UU KPK yang menyebabkan KPK rawan dikriminalisasi. 17 Budi juga mencontohkan kejadian kriminalisasi yang sebelumnya telah terjadi pada Komisioner KPK, Bibit Slamet Riyanto dan Chandra Hamzah. Hal ini mempertegas bahwa resiko kriminalisasi telah terjadi bahkan dari bertahun-tahun yang lalu, dan ancaman ini selalu ada dari tahun ke tahun sampai sekarang tanpa adanya penyelesaian. Jika hal ini terus berlanjut, tentunya akan memundurkan kinerja KPK yang semakin lama bisa semakin lemah akibat adanya resiko kriminalisasi. II.1.3. Perbandingan Ketatanegaraan Pada November 2012, di Jakarta telah berkumpul lembaga-lembaga antikorupsi sedunia, yang kemudian menghasilkan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies (Jakarta Principles). Salah satu isinya mengatur tentang 8 pentingnya hak imunitas bagi pemimpin lembaga independen anti-korupsi di setiap negara yang sedang memerangi korupsi. Pemberian hak imunitas ini ditujukan untuk melanjutkan dan meningkatkan semua upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat dan memastikan diterapkannya independensi dan perlindungan pada KPK. Denny Indrayana dalam pernyataan yang mengacu pada partisipasi Indonesia dalam Jakarta Principles, memberikan contoh-contoh perbandingan ketatanegaraan dengan negara lain yang telah dengan suksesnya memerangi korupsi, salah satunya dengan cara memberikan imunitas bagi pimpinan lembaga independen anti-korupsi di masing-masing negara tersebut. Beberapa negara di antaranya adalah Malaysia, Nigeria, Zambia, Swiss, dan Australia. Malaysia dengan tegas mengatur imunitas ini dalam Pasal 72 Malaysia Anti-Corruption Commission Act pada tahun 2009. Imunitas yang diberikan merupakan perlindungan dari segala gugatan dan tuntutan terhadap perbuatan atau pernyataan yang dilakukan dengan itikad baik terkait pelaksanaan undang-undang ini.18 Selain itu, negara-negara lain di Afrika rata-rata menerapkan hak imunitas ini, bagi Pimpinan lembaga anti-korupsi mereka. Sebutlah Nigeria dan Zambia. Tujuan utamanya adalah karena sebagai negara yang sedang berkembang, masih banyak penegak hukum yang korup dan jamak dalam melakukan serangan balik melalui kriminalisasi, jika kebobrokan mereka sedang terancam untuk diungkapkan oleh lembaga anti-korupsi. Di Zambia, hal ini diatur dalam Anti-Corruption Commission Act pada Pasal 91. Perlindungan kepada komisioner dari permintaan / perintah memberikan informasi atau bukti-bukti terkait pengetahuannya sebagai orang yang menjalankan fungsi seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut.19 Swiss memunyai The Prevention of Corruption Act No. 3 Tahun 2006, dimana imunitas yang diberikan perlindungan dari gugatan atau tuntutan pidana atau perdata terhadap perbuatan yang dilakukan dengan itikad baik dalam rangka melaksanakan fungsi yang tercantum dalam undang-undang tersebut.20 Sama halnya dengan di Australia. Dimana lembaga anti-korupsinya bernama Independent Broad-based Anti-corruption Commission Victoria, misalnya 9 yang berkedudukan di tingkat Negara Bagian Victoria (IBAC Victoria). Hal terkait imunitas diatur di dalam Pasal 193 Independent Broad-based Anti-corruption Commission Act No. 66 Tahun 2011. Imunitas yang diberikan adalah bahwa pegawai IBAC tidak bertanggung jawab secara individu terhadap tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan IBAC sesuai dengan undang-undang tersebut.21 II.2. Argumentasi Kontra Imunitas Pimpinan KPK II.2.1. Hak Imunitas Bertentangan Dengan Prinsip Persamaan di Muka Hukum Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945. Konsekuensi sebagai Negara Hukum adalah diterapkannya asas equality before the law, atau persamaan di hadapan hukum bagi seluruh warga negaranya. Asas inilah yang menyetarakan seluruh warga negara Indonesia, baik penguasa maupun rakyat biasa. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Prinsip ini kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Serta, Pasal 28D UUD NRI 1945, yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, asas persamaan di hadapan hukum mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini. Menurut Beliau pula, asas ini bertitiktumpu pada kata kunci ‘perlindungan’ dan ‘perlakuan’ dalam hukum. Persamaan ‘perlindungan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah kepada Negara / Pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dalam sebuah Negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan 10 ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Sedangkan, persamaan ‘perlakuan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah kepada Negara / Pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara warganya. Dalam masyarakat yang terstruktur ke dalam ‘kelas-kelas,’ maka ini mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas tertentu. Khususnya dalam artian ‘kelas pejabat Negara’ dan / atau ‘kelas orang kaya’ yang meminta perlakuan khusus dan istimewa dalam proses peradilan. Maka, dalam asas ini, diskriminasi perlakuan dalam bentuk tersebut dilarang.22 Hak imunitas yang akan diberikan pada Pimpinan KPK jelas-jelas akan melanggar asas persamaan di hadapan hukum, karena memberikan kekebalan terhadap hukum bagi kelas tertentu. Meskipun hal ini dikondisikan hanya dalam saat bertugas saja, tetap saja sifatnya membedakan perlakuan dalam kompetensi seseorang berdasarkan jabatan yang dipegangnya. II.2.2. Ketiadaan Urgensi Pemberian Imunitas Bagi Pimpinan KPK Selain bertentangan dengan konstitusi, permohonan hak imunitas bagi Pimpinan KPK ini tidak didasari oleh urgensi yang jelas. Kekhawatiran kriminalisasi Pimpinan KPK merupakan tuduhan kosong yang belum dapat dibuktikan secara jelas kebenarannya. Sejauh ini, pemberitaan terkait kriminalisasi hanya bertitikberat pada sentimen belaka dan tidak didukung bukti yang jelas. Di sisi lain, pemberian hak imunitas bagi Pimpinan KPK akan menggeser orientasi tuntutan perilaku seorang pejabat publik. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, pejabat publik seharusnya merupakan seseorang yang menjaga perilakunya dan tidak melakukan kesalahan ‘must do no wrong.’ Hak kekebalan dari hukum bagi pejabat publik justru akan menimbulkan kesan ‘can do no wrong.’ Sehingga, ini akan mengaburkan tuntutan atas perilaku seorang pejabat publik yang seharusnya tidak boleh berbuat salah ‘must do no wrong,’ menjadi tidak dapat berbuat salah ‘can do no wrong.’23 Pergeseran pandangan ini tentunya justru akan berdampak buruk bagi kinerja pejabat publik, yang dalam konteks ini adalah para Pimpinan KPK. Terlebih lagi, Pimpinan KPK merupakan orang-orang yang telah terpilih melalui serangkaian seleksi yang ketat untuk memastikan orang-orang yang akan menjabat adalah betul-betul bersih dan sangat kecil kemungkinan melakukan tindak 11 pidana. 24 Ini semakin memperkuat tuntutan ‘must do no wrong’ yang telah dijabarkan dalam paragraf sebelumnya. Sehingga, seharusnya tidak dibutuhkan hak imunitas bagi orang-orang yang berkedudukan sebagai Pimpinan KPK. Apabila kemudian orang yang menjabat Pimpinan KPK melakukan tindak pidana, maka seharusnya bukan dikebalkan melalui hak imunitas, tetapi diusut hingga tuntas, serta jadi refleksi ke depannya dalam proses fit and proper test Pimpinan KPK di masa depan. Selain tidak ada urgensinya, pemberian hak imunitas bagi Pimpinan KPK ini gagal menjawab kekhawatiran atas tuduhan ‘kriminalisasi’ terhadap Pimpinan KPK. Karena, pada akhirnya imunitas yang diberikan hanya dalam cakupan kapasitas orang terkait dalam jabatannya, serta pekerjaannya terkait penyidikan KPK. Sedangkan, jika ditelaah dari kasus-kasus yang menimpa Bambang Widjojanto, Abraham Samad dan Novel Baswedan, justru hal-hal yang menjadi dasar pemidanaan adalah hal-hal yang mereka lakukan di luar jabatannya. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bagi Para Pimpinan KPK untuk terjerat permasalahan hukum ke depannya di luar kapasitas jabatannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa selain tidak ada urgensinya, pemberian imunitas bagi Pimpinan KPK ini bukan merupakan jawaban yang tepat atas permasalahan yang ada. II.2.3. Hak Imunitas Rentan Untuk Disalahgunakan Dalam penjabaran sebelumnya telah dijelaskan bahwa hak imunitas akan diberlakukan secara limitatif dalam kapasitas seseorang ketika menjabat. Pun dibuat imunitas dalam cakupan yg lebih luas, hal ini justru menyebabkan hak imunitas tersebut rentan disalahgunakan. Kekhawatiran ini juga dikemukakan oleh pakar hukum tata negara, Margarito Kamis yang menyatakan bahwa baginya pemberian hak imunitas ini justru membahayakan, karena pemberian hak imunitas sama saja membuka celah bagi seseorang untuk bertindak semena-mena.25 Kesemena-menaan yang dapat dilakukan oleh Pimpinan KPK sebagaimana yang dimaksud di atas misalnya ketika KPK berkali-kali mangkir dalam panggilan rapat oleh Komisi III DPR dan Tim Pengawas Bank Century. 26 Selain itu, terkait permasalahan hukum yang menimpanya, Abraham Samad juga beberapa kali mangkir atas panggilan Komisi III DPR atas kasus pemalsuan dokumen dan kepolisian.27 Mangkir atas panggilan pemeriksaan merupakan salah satu tindakan 12 semena-mena yang dilakukan oleh Pimpinan KPK yang dapat memperlambat proses hukum. Di luar daripada kasus di atas, Abraham Samad juga tersandung kasus penyalahgunaan wewenang selama masa Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 lalu, saat dirinya terbukti melakukan hubungan langsung dengan petinggi partai tim sukses dari (sebelumnya calon) Presiden Joko Widodo. 28 Hal ini dituduhkan sebagai pemenuhan unsur dalam Pasal 36 UU KPK, yang dapat dipidanakan berdasarkan Pasal 65 KPK. Jika sebelum mendapatkan imunitas saja hal-hal semacam itu sudah dapat dilakukan oleh Pimpinan KPK, maka dikhawatirkan setelah mendapatkan hak imunitas, maka Pimpinan KPK akan semakin tidak bekerjasama dengan penegak hukum lainnya terkait permasalahan hukum yang ke depannya harus diusut. Sebabnya adalah jika telah diberikan hak imunitas, maka hak panggil paksa akan otomatis hilang. Jika dibandingkan dengan penegak hukum lainnya, misalnya Jaksa dan Hakim. Bahkan, jika Jaksa atau Hakim melakukan pelanggaran hukum selama mereka bertugas, tetap saja Jaksa atau Hakim tersebut dapat diproses secara hukum dan tidak mendapatkan kekebalan. 29 Presiden saja tidak memiliki imunitas atas hukum, dan jika melanggar hukum dapat diberikan sanksi hukum. 30 Hal ini membuktikan bahwa seluruh warga negara memang harus berkedudukan sama di hadapan hukum, dan kekebalan terhadap hukum tidak ada hubungannya dengan efisiensi kerja selama menjabat dalam pekerjaan tertentu. MEKANISME SOLUSI 1. Pemberian hak imunitas bagi Pimpinan KPK akan dituangkan dalam bentuk Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden. 2. Imunitas yang akan diberikan bagi Pimpinan KPK hanya terkait tindakan dan pernyataan yang dilakukan dan dikemukakannya dalam kapasitas jabatannya sebagai Pimpinan KPK. Dengan pengecualian tindak pidana yang bersifat personal / pribadi, serta apabila tertangkap tangan. 3. Revisi terhadap Pasal 65 UU KPK terkait ketentuan pidana bagi Anggota KPK. 13 III. PENUTUP Dapat disimpulkan bahwa isu mengenai pemberian imunitas bagi Pimpinan KPK muncul akibat kekhawatiran tindakan ‘kriminalisasi’ yang mengancam Pimpinan KPK. Kekhawatiran ini terjadi akibat kejadian belakangan ini dimana beberapa pimpinan dan penyidik utama KPK ditahan akibat tersandung permasalahan hukum. Pandangan pro terhadap isu ini didasari oleh keyakinan bahwa sangat penting melindungi Pimpinan KPK dari ancaman ‘kriminalisasi’ sebab KPK bekerja secara kolektif kolegial, sehingga penahanan terhadap satu atau lebih pimpinannya akan berakibat buruk pada kinerja KPK sebagai institusi. Selain itu, jika dibandingkan dengan individu lain yang mendapatkan imunitas secara ratione personae (anggota DPR dan Ombudsman), kinerja KPK tidak kalah vitalnya bagi Negara dan bahkan lebih beresiko. Jika dibandingkan dengan kondisi tata negara di luar Indonesia, juga sudah banyak yang memberikan hak imunitas bagi anggota komisi anti-korupsinya, seperti Australia, Malaysia, Zambia, Swiss, dan lain-lain. Pandangan kontra terhadap isu ini melihat bahwa pemberian hak imunitas bagi Pimpinan KPK justru melanggar konstitusi Negara, khususnya pada asas persamaan di hadapan hukum. Di sisi lain, urgensi pemberian imunitas ini juga tidak jelas dan hanya didasari sentimen belaka, bahkan dapat mengaburkan pandangan bahwa pejabat publik seharusnya tidak boleh berbuat salah (‘must do no wrong’) dan bukan tidak dapat berbuat salah (‘can do no wrong’). Terlebih lagi, pemberian hak imunitas ini bahkan dapat disalahgunakan oleh individu terkait untuk mangkir dari pengusutan permasalahan hukum. 1 Dian Cahyaningrum, Kewenangan KPK versus Polri dalam Penyidikan Dugaan Korupsi Pengadaan Simulator Pembuatan Surat Izin Mengemudi di Korlantas Polri, Info Singkat Hukum DPR RI Vol. IV, No. 15/I/P3DI/Agustus/2012, h. 1 2 Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250, Konsiderans Poin (a) 3 Ibid, Konsiderans Poin (b) 4 Bilal Ramadhan, Bambang Widjojanto Ditangkap Sebagai Tersangka Kasus Kesaksian Palsu, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/01/23/nim3bs-bambang-widjojantoditangkap-sebagai-tersangka-kasus-kesaksian-palsu, diakses pada 28 Mei 2015 5 Muhammad Nur Abdurrahman, Abraham Samad Ditahan Polda Sulselbar, http://news.detik.com/read/2015/04/28/202254/2900794/10/abraham-samad-ditahan-poldasulselbar, diakses pada 28 Mei 2015 14 6 Anton Setri, Novel Baswedan Ditangkap Bareskrim, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/01/063662486/Novel-Baswedan-DitangkapBareskrim, diakses pada 28 Mei 2015 7 Tika Primandari, Polisi Serang Balik KPK Picu Cicak Vs Buaya Bab 2, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/21/063636459/polisi-serang-balik-kpk-picu-cicak-vsbuaya-bab-2, diakses pada 28 Mei 2015 8 Akhmad Aulawi, Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan Pelaksanaanya di Beberapa Negara, Rechtsvinding Online, http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PERSPEKTIF%20PELAKSANAAN%20HAK%20I MUNITAS%20ANGGOTA%20PARLEMEN%20DAN%20PELAKSANAANNYA%20DI%20B EBERAPA%20NEGARA.pdf, diakses pada 29 Mei 2015 9 Rini Friastuti, Pimpinan KPK Perlu Diberikan Hak Imunitas, http://news.detik.com/read/2015/01/27/050014/2814702/10/pimpinan-kpk-perlu-diberikan-hakimunitas, diakses pada 29 Mei 2015 10 Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250, Penjelasan Pasal 21 Ayat (6) 11 Tb. A. Adhi R. Faiz, Kolektif Kolegial Pimpinan KPK Dalam Pelaksanaan Kewenangan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54e2a68c08e64/kolektif-kolegial-pimpinan-kpkdalam-pelaksanaan-kewenangan-broleh--tb-a-adhi-r-faiz--sh--mh, diakses pada 30 Mei 2015 12 Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250, Pasal 32 Ayat (2) 13 Ibid, Pasal 33 14 Ibnu Sina Chandranegara, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012. 15 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum Pengadilan Asing, Alumni, Jakarta, 1999, h. 185 16 Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, h. 41 17 Indah Wulandari, Ombusdman RI: tak Ada Hak Imunitas, Komisioner KPK Rawan Dikriminalisasi, http://ombudsman.go.id/index.php/beritaartikel/berita/1563-ombusdman-ri-takada-hak-impunitas-komisioner-kpk-rawan-dikriminalisasi-.html, diakses pada 30 Mei 2015 18 Anis Yusal Yusoff, et al. Combating Corruption: Understanding Anti- Corruption Initiatives in Malaysia. Institute for Democracy and Economic Affairs (IDEAS), Kuala Lumpur, 2012, h. 33 19 Marie Chêne, Zambia: Overview of Corruption and Anti-Corruption, CMI, Bergen, 2014, h. 7 20 International Council on Human Rights Policy. Integrating Human Rights in the AntiCorruption Agenda: Challenges, Possibilities and Opportunities, Transparency International, Jenewa, 2010, h. 53 21 Carly Sheen. Anti-Corruption Agencies: Impact on The Privileges and Immunities of Parliament, Australasian Parliamentary Review Autumn Vol. 27, Victoria, 2012, h. 19 22 Prof. Mardjono Reksodiputro, sebagaimana disampaikan dalam Dialog Hukum Komisi Hukum Nasional RI Bekerjasama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, dan Kantor Berita Radio (KBR) pada 3 September 2014 23 Ibid. 24 Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250, Pasal 30-31 25 Gunawan Wibisono, Hak Imunitas Buka Celah Bagi KPK Berbuat Semena-Mena, http://news.okezone.com/read/2015/01/26/337/1097030/hak-imunitas-buka-celah-bagi-kpkberbuat-semena-mena, diakses pada 2 Juni 2015 26 Bagus Santosa, 3 Kali Mangkir Bahas Century, KPK Pilih Pembekalan Caleg, http://news.okezone.com/read/2013/07/03/339/831253/3-kali-mangkir-bahas-century-kpk-pilihpembekalan-caleg, diakses pada 2 Juni 2015 27 Budi Sam Law Malau, Berkali-kali Abraham Samad Mangkir Panggilan DPR, http://wartakota.tribunnews.com/2015/02/18/berkali-kali-abraham-samad-mangkir-panggilan-dpr, diakses pada 3 Juni 2015 15 28 Fabian Januarius Kuwado, Polri Kembali Tetapkan Abraham Samad sebagai Tersangka dalam Kasus Baru, http://nasional.kompas.com/read/2015/02/27/15555051/Polri.Kembali.Tetapkan.Abraham.Samad. sebagai.Tersangka.dalam.Kasus.Baru, diakses pada 3 Juni 2015 29 Anang Priyanto, Citra Hakim dan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Civics, Yogyakarta, 2015, h. 6 30 Eko Noer Kristiyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen Uud 1945, Jurnal Rechtsvinding Volume 2 No. 3, Jakarta, 2013, h. 331 Daftar Pustaka Abdurrahman, Muhammad Nur. Abraham Samad Ditahan Polda Sulselbar. http://news.detik.com/read/2015/04/28/202254/2900794/10/abrahamsamad-ditahan-polda-sulselbar diakses pada 28 Mei 2015. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 1999. Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum Pengadilan Asing. Jakarta: Alumni. Aulawi, Akhmad. Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan Pelaksanaanya di Beberapa Negara, Rechtsvinding Online. http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PERSPEKTIF%20PELAKS ANAAN%20HAK%20IMUNITAS%20ANGGOTA%20PARLEMEN%2 16 0DAN%20PELAKSANAANNYA%20DI%20BEBERAPA%20NEGARA .pdf diakses pada 29 Mei 2015. Cahyaningrum, Dian. 2012. Kewenangan KPK versus Polri dalam Penyidikan Dugaan Korupsi Pengadaan Simulator Pembuatan Surat Izin Mengemudi di Korlantas Polri. Info Singkat Hukum DPR RI Vol. IV. No. 15/I/P3DI/Agustus/2012. Chandranegara, Ibnu Sina. 2012. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Jakarta: Jurnal Yudisial. Chêne, Marie. 2014. Zambia: Overview of Corruption and Anti-Corruption. Bergen: CMI. Faiz, Tb. A. Adhi R. Kolektif Kolegial Pimpinan KPK Dalam Pelaksanaan Kewenangan. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54e2a68c08e64/kolektifkolegial-pimpinan-kpk-dalam-pelaksanaan-kewenangan-broleh--tb-a-adhir-faiz--sh--mh diakses pada 30 Mei 2015. Friastuti, Rini. Pimpinan KPK Perlu Diberikan Hak Imunitas. http://news.detik.com/read/2015/01/27/050014/2814702/10/pimpinan-kpkperlu-diberikan-hak-imunitas diakses pada 29 Mei 2015. International Council on Human Rights Policy. 2010. Integrating Human Rights in the Anti-Corruption Agenda: Challenges, Possibilities and Opportunities. Geneva: Transparency International. Indonesia. Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002. LN No. 137 Tahun 2002. TLN No. 4250 Kristiyanto, Eko Noer. 2013. Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen Uud 1945. Jakarta: Jurnal Rechtsvinding. Malau, Budi Sam Law. Berkali-kali Abraham Samad Mangkir Panggilan DPR. http://wartakota.tribunnews.com/2015/02/18/berkali-kali-abraham-samadmangkir-panggilan-dpr diakses pada 3 Juni 2015. Manan, Bagir. 2003. DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press. Primandari, Tika. Polisi Serang Balik KPK Picu Cicak Vs Buaya Bab 2. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/21/063636459/polisi-serangbalik-kpk-picu-cicak-vs-buaya-bab-2 diakses pada 28 Mei 2015. Priyanto, Anang. 2015. Citra Hakim dan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Jurnal Civics. Yogyakarta. 17 Ramadhan, Bilal. Bambang Widjojanto Ditangkap Sebagai Tersangka Kasus Kesaksian Palsu. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/01/23/nim3bsbambang-widjojanto-ditangkap-sebagai-tersangka-kasus-kesaksian-palsu diakses pada 28 Mei 2015. Santosa, Bagus. 3 Kali Mangkir Bahas Century, KPK Pilih Pembekalan Caleg, http://news.okezone.com/read/2013/07/03/339/831253/3-kali-mangkirbahas-century-kpk-pilih-pembekalan-caleg diakses pada 2 Juni 2015. Setri, Anton. Novel Baswedan Ditangkap Bareskrim. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/01/063662486/NovelBaswedan-Ditangkap-Bareskrim diakses pada 28 Mei 2015. Sheen, Carly. 2012. Anti-Corruption Agencies: Impact on The Privileges and Immunities of Parliament. Victoria: Australasian Parliamentary Review Autumn (Vol 27). Wibisono, Gunawan. Hak Imunitas Buka Celah Bagi KPK Berbuat Semena-Mena. http://news.okezone.com/read/2015/01/26/337/1097030/hak-imunitasbuka-celah-bagi-kpk-berbuat-semena-mena diakses pada 2 Juni 2015. Wulandari, Indah. Ombusdman RI: tak Ada Hak Imunitas, Komisioner KPK Rawan Dikriminalisasi http://ombudsman.go.id/index.php/beritaartikel/berita/1563-ombusdmanri-tak-ada-hak-impunitas-komisioner-kpk-rawan-dikriminalisasi-.html diakses pada 30 Mei 2015. Yusoff, Anis Yusal, et al. 2012. Combating Corruption: Understanding AntiCorruption Initiatives in Malaysia. Kuala Lumpur: Institute for Democracy and Economic Affairs (IDEAS). 18