teori keagenan dan implementasi corporate

advertisement
TEORI KEAGENAN DAN IMPLEMENTASI CORPORATE
GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA
NUR ALIMIN AZIS
STIE-YPUP Makassar
ABSTRAK
Makalah ini akan memberikan paparan deskriptif tentang teori keagenan dan
bagaimana implemantasi corporate governance terhadap manajemen laba. Dalam
teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau
lebih (prinsipal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa
dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent
tersebut. Hubungan antara prinsipal dan agen dapat mengarah pada kondisi
ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agen berada
pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan
dibandingkan dengan prinsipal, sehingga mendorong agen berperilaku
opportunistik untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui
oleh prinsipal, yang menyebabkan agen dapat merubah angka-angka akuntansi
yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan
membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance.
Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk
terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi,
akuntabilitas, keadilan dan responsibilitas. Corporate governance diarahkan untuk
mengurangi asimetri informasi antara principal dan agen yang pada akhirnya
diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.
Kata-Kata kunci: Agen dan prinsipal, corporate governance, Manajemen laba.
PENDAHULUAN
Dalam sebuah entitas ekonomi (bahkan institusi publik sekalipun),
manajemen (atau pemerintah) merupakan agen dari pemilik modal (rakyatnya)
yang memiliki tugas utama untuk meningkatkan nilai mereka (maximizing
shareholders value). Segala tindakan dari sebuah manajemen adalah dalam rangka
meningkatkan nilai pemegang sahamnya. Dalam konteks sebuah perusahaan,
manajer sebagai pengelola perusahaan bertanggung jawab untuk mengoptimalkan
keuntungan para pemilik (principal), namun disisi yang lain manajer juga
mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka. Sehingga ada
kemungkinan besar, agent tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik
principal (Jensen dan Meckling, 1976). Sebagai pengelola perusahaan, manajer
lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang
akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai
pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui
pengungkapan informasi akuntansi sepserti laporan keuangan. Akan tetapi
informasi yang disampaikan terkadang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan
sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau
asimetri informasi (information asymetric). Asimetri informasi terjadi karena
manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik
atau pemegang saham).
Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) berpotensi
adanya perilaku oportunis yang dilakukan oleh manajer, yaitu memperoleh
keuntungan pribadi sehingga dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat
melakukan manajemen laba (yang bersifat negatif) untuk menyesatkan pemilik
(pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
TEORI KEAGENAN
Hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal)
mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian
mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.
Hubungan keagenan in merupakan hubungan antara dua pihak dimana salah satu
pihak menjadi agent dan pihak yang lain bertindak sebagai principal (Hendriksen
dan Van Breda, 2000). Lebih lanjut dikatakan oleh Ross, 1973, agen bertugas
mengambil keputusan dan mewakili kepentingan pihak yang menunjuk yang
disebut para prinsipal (principals) dengan pihak lain yang secara umum
berhubungan dengan pemecahan suatu masalah. Agar agen dapat mengerjakan
tugas-tugasnya, prinsipal mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan
sampai batas tertentu kepada agen.
Demikian pula yang disampaikan oleh Brigham dan Houston (2001:22)
yaitu; hubungan keagenan muncul ketika satu orang individu atau lebih yang
disebut pemilik mempekerjakan individu lain atau organisasi yang disebut agen
untuk melaksanakan pekerjaaan dan kemudian mendelegasikan otorisasi
pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Manajer sebagai agent dan
pemegang saham sebagai principal.
Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna
menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut,
manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat
opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya konflik kepentingan
dalam hubungan keagenan. Terjadinya konflik kepentingan antara pemilik dan
agen karena kemungkinan agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan
prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Teori Agensi mampu
menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara berbagai pihak yang
berkepentingan dalam perusahaan tersebut.
Sebagai agen, manajer bertanggung jawab secara moral untuk
mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun demikian manajer
juga menginginkan untuk selalu memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak.
Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan
dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan
tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002)
Asimetri Informasi
Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal)
memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu
memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat
melakukan manajemen laba (earnings management) untuk menyesatkan pemilik
(pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Tindakan earnings
management telah memunculkan dalam beberapa kasus skandal pelaporan
akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck, WorldCom dan
mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett et al, 2006). Dalam kasus
Enron misalnya, satu dampak yang sangat jelas yaitu kerugian yang ditanggung
para investor dari ambruknya nilai saham yang sangat dramatis dari harga per
saham US$30 menjadi hanya US$10 dalam waktu dua minggu. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah mengapa suatu perusahaan kelas dunia dapat mengalami
hal yang sangat tragis dengan mendeklarasikan bangkrut justru setelah hasil audit
keuangan perusahaannya dinyatakan “wajar tanpa syarat” (Alijoyo, 2003).
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia
Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang
berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon, 2005).
Dari kasus tersebut di atas menunjukkna bahwa asimetri informasi dimana
manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal
dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik
(pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban
memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Akan tetapi
informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi
perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris
atau asimetri informasi (Hendriksen dan Van Breda, 2000). Asimetri informasi
antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan tindakan oportunis seperti
manajemen laba (earnings management) mengenai kinerja ekonomi perusahaan
sehingga dapat merugikan pemilik (pemegang saham). Manajer akan berusaha
melakukan hal tersebut untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya tanpa
persetujuan pemilik atau pemegang saham. Penelitian Richardson (1998),
menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan
manajemen laba. Dalam hal ini berarti apabila manajer memiliki informasi yang
lebih banyak dibandingkan dengan pemegang saham maka kecenderungan
manajer untuk berbuat curang dengan praktik manjemen laba demi kepentingan
pribadi akan semakin tinggi. Dengan adanya masalah agensi yang disebabkan
karena konflik kepentingan dan asimetri informasi ini, maka perusahaan harus
menanggung biaya keagenan (agency cost).
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan biaya keagenan dalam tiga jenis
yaitu:
1. Biaya Monitoring (monitoring cost), merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan
oleh agen.
2. Biaya Bonding (bonding cost), merupakan biaya untuk menjamin bahwa agen
tidak akan bertindak merugikan prinsipal, atau dengan kata lain untuk
meyakinkan agen, bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika agen
benar-benar melakukan tindakan tersebut.
3.
Biaya kerugian residual (residual loss), merupakan nilai uang yang ekuivalen
dengan pengurangan kemakmuran yang dialami oleh principal akibat dari
perbedaan kepentingan.
Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi
antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk
kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar
manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self
interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk
adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa
informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan
reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.
MANAJEMEN LABA
Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi
dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan
sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig
(1995) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan
menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit
usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan
(penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang.
Sedangkan menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika
manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk
memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang
kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak)
yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba
mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap
pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya
judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di
masa depan untuk ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur
ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang
ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer
memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode
biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai
kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses
terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar.
Pola Manajemen Laba
Scott 2012, mengemukalan pola manajemen laba dapat diuraikan sebagai
berikut yaitu:
1. Taking a bath (pencucian). Hal ini dapat terjadi selama periode tekanan
organisasi berkaitan dengan pengorganisasian kembali/reorganisasi, termasuk
mempekerjakan CEO baru.s jika perusahaan harus melaporkan kerugian,
maka manajemen merasa terpaksa untuk melaporkan kerugian dalam jumlah
besar – sehingga mereka melaporkan sedikit kerugian pada poin ini.
Konsekuensinya mereka akan menangguhkan aset, menyediakan biaya yang
2.
3.
4.
dapat diperkirakan di masa depan, dan secara umum “pembersihan meja”.
Hal ini akan memperkuat kemungkinan profit dimasa mendatang. Healy juga
menyebutkan bahwa manajer yang income bersihnya dibawah bogey dari
rencana bonus, maka mereka akan melakukan take a bath atau pencucian,
untuk alasan yang serupa - hal ini akan memperkuat probabilitas bonus di
masa mendatang. Sebagai akibatnya, pencatatan penangguhan yang besar
akan menempatkan earning mendatang “dalam bank”.
Minimalisasi Income. Hal ini serupa dengan taking a bath/pencucian, tetapi
kurang ekstrim. Pola ini mungkin dipilih oleh perusahaan yang secara politis
terlihat selama periode profitabilitas yang tinggi. Kebijakan yang menyatakan
minimalisasi income mencakup penangguhan aset modal dan aset tidak
berwujud secara cepat, membebankan pengeluaran periklanan dan
pengeluaran R&D, akuntansi usaha yang sukses untuk biaya eksplorasi
minyak dan gas, dan seterusnya.
Maksimisasi income. Seperti yang kita lihat dalam studi Healy, manajer
mungkin terlibat dalam pola maksimisasi income bersih yang dilaporkan
untuk tujuan bonus, menyediakan hal ini tidak berarti menempatkan mereka
diatas cap. Perusahaan yang mendekati pelanggaran perjanjian hutang juga
dapat memaksimalkan income.
Smoothing/Pemulusan Income. Hal ini mungkin merupakan pola manajemen
earning yang paling menarik. Kami melihat dari Healy bahwa manajer
mempunyai insentif untuk memuluskan income sehingga mereka paling tidak
tetap berada diantara bogey dan cap. Sebaliknya, earning mungkin dapat
hilang secara temporer atau permanen dari tujuan bonus. Lebih lanjut, jika
manajer adalah penentang resiko, maka mereka lebih menyukai aliran bonus
yang kurang variabel sehingga perlu mempermulus income bersih.
Motivasi Manajemen Laba
Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba.
Teori akuntansi positif (positif accounting theory) oleh Watts dan Zimmerman,
1986, mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis
program bonus (the bonus plan hypotesis), (2) hipotesis perjanjian hutang (the
debt covenant hypotesis), dan (3) hipotesis biaya politik (the political cost
hypotesis)
Motivasi kontrak muncul karena perjanjian antara manajer dan pemilik
perusahaan berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (debt
covenant). Semakin tinggi rasio hutang/ekuitas suatu perusahaan, yang ekuivalen
dengan semakin dekatnya (yaitu semakin ketat) perusahaan terhadap kendalakendala dalam perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran
perjanjian, semakin mungkin manajer untuk menggunakan metode-metode
akuntansi yang meningkatkan income (Belkaoui, 2000).
Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam
melaporkan laba yang diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas
dasar laba tersebut. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin
menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income yang
dilaporkan pada periode berjalan. Alasanya adalah tindakan seperti itu mungkin
akan meningkatkan persentase nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk
metode yang dipilih (Belkaoui, 2000). Penelitian Healy (1985) menggunakan
pendekatan program bonus manajemen, yaitu bahwa manajer akan memperoleh
bonus secara positif ketika laba berada di antara batas bawah (bogey) dan batas
atas (cap). Ketika laba berada di bawah bogey manajer tidak mendapatkan bonus,
dan ketika laba berada diatas cap manajer hanya mendapatkan bonus tetap.
Motivasi regulasi politik merupakan motivasi manajemen dalam
mensiasati berbagai regulasi pemerintah. Perusahaan yang terbukti menjalankan
praktik pelanggaran terhadap regulasi anti trust dan anti monopoli, manajernya
melakukan manipulasi laba dengan menurunkan laba yang dilaporkan (Cahan,
1992; Jogiyanto dan Ainun, 1998). Perusahaan juga melakukan manajemen laba
untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan
terhadap perusahaan yang mengalami damage award (Hall dan Stammerjohan,
1997). Selain itu Income taxation juga merupakan motivasi dalam manajemen
laba (Lilis, 2001). Pemilihan metode akuntansi dalam pelaporan laba akan
memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang dipakai sebagai dasar
perhitungan pajak.
Sedangkan motivasi manajemen laba menurut Scott (2009) disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu:
1. Bonus Purposes; Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih
perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen
laba dengan memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985 dalam Rahmawati
dkk, (2006).
2. Motivasi Kontrak Pinjaman; kontrak peminjaman jangka panjang, yang pada
dasarnya mengandung perjanjian utang untuk melindungi pemberi pinjaman
terhadap tindakan manajer untuk kepentingan terbaik dari pemberi pinjaman,
seperti kelebihan dividen, peminjaman tambahan, atau membiarkan modal
kerja atau ekuitas pemegang saham jatuh dibawah level yang ditentukan,
semuanya memperkecil sekuritas pemberi pinjaman yang telah ada.
3. Political Motivation; Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba
yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi
laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan
pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
4. Taxation Motivation; Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi
manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan
dengan tujuan untuk penghematan pajak pendapatan.
5. Pergantian CEO; CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung
menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja
perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak
diberhentikan.
6. Initial Public Offering (IPO); Perusahaan yang akan go public belum
memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go
public melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga
saham perusahaan.
7. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor; Informasi mengenai kinerja
perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu
disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja
yang baik.
Good Corporate Governance
Good Corporate Governance (GCG) adalah seperangkat sistem yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah bagi
stakeholder. GCG memacu terbentuknya pola manajemen yang profesional,
transparan, bersih dan berkelanjutan. Ada dua prinsip utama dalam GCG.
Pertama, kejelasan hak pemegang saham untuk memperoleh informasi yang benar
(akurat) dan tepat waktu. Kedua, itikad perusahaan untuk melakukan
pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap
semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
Aspek-aspek penting dari GCG yang perlu dipahami oleh kalangan dunia
bisnis, antara lain (Priambodo dan Supriyatno, 2007):
1. Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan diantaranya
Dewan Komisaris, Direksi, RUPS. Keseimbangan yang dimaksud adalah
dalam hal aktivitas yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan
mekanisme operasional masing-masing organ tersebut (keseimbangan
internal)
2. Adanya tanggung jawab perusahaan kepada stakeholders, yang meliputi halhal yang terkait dengan pengaturan hubungan antara perusahaan dengan
stakeholders, meliputi tanggung jawab pengelola perusahaan, manajemen,
pengawasan kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.
3. Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapatkan: (a) informasi yang
tepat dan benar mengenai perusahaan, (b) peranserta dalam pengambilan
keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar di
perusahaan, (c) keuntungan yang diperoleh perusahaan.
4. Adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham (tidak
terkecuali pemegang saham minoritas), berupa: (a) keterbukaan informasi
yang material dan relevan, (b) penyampaian informasi untuk semua pihak,
tidak hanya untuk pihak tertentu saja yang dapat menguntungkan orang dalam
(insider information for insider trading).
Penerapan GCG mempunyai lima macam tujuan utama yang dapat
memberikan benefit bagi perusahaan (Priambodo dan Supriyatno, 2007) yaitu:
1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota the stakeholders non
pemegang saham.
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham
4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus atau manajemen
puncak dan manajemen perusahaan
5. Meningkatkan mutu hubungan manajemen puncak dengan manajemen senior
perusahaan.
Selain itu, terdapat manfaat yang dapat dipetik dari penerapan GCG secara
teknis aktivitas keseharian perusahaan, antara lain:
1. Mengurangi agency cost, biaya yang timbul karena penyalahgunaan
wewenang (wrong doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul
untuk mencegah terjadinya masalah.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital) yang timbul dari manajemen yang
baik, yang mampu meminimalkan / mencegah risiko.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat meningkatkan citra
perusahaan di mata publik dalam jangka waktu yang lama.
4. Meningkatkan dukungan dari stakeholders dalam lingkungan perusahaan.
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia tahun 2006 yang
disusun oleh KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) menyebut lima
asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta
kewajaran dan kesetaraan. Ulasan kelima asas tersebut sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparancy)
Artinya sebuah perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan
relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholders.
Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya
masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan melainkan
juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham,
kreditor dan stakeholder lainnya.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Artinya sebuah perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya
secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara
benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan stakeholder lain.
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja
perusahaan yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Artinya sebuah perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan
serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (Independency)
Artinya sebuah perusahaan dikelola secara independen sehingga masingmasing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat
diintervensi oleh pihak lain sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan
secara obyektif.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Artinya sebuah perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya harus
senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan stakeholder
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Teori Agensi dan Corporate Governance
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk
memahami corporate governance. Konsep corporate governance timbul sebagai
upaya untuk mengendalikan atau mengatasi perilaku manajemen yang
mementingkan diri sendiri terutama yang terkait dengan hak pengendali residual
(residual control right). Corporate Governance sebagai mekanisme pengendali
yang lebih efektif untuk menyelaraskan kepentingan pemegang saham dengan
kepentingan manajemen.
Corporate governance merupakan serangkaian mekanisme yang dapat
melindungi pihak-pihak minoritas (outsider investor atau minority shareholders)
dari ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham
pengendali dengan penekanan pada mekanisme legal (Shleifer dan Vishny, 1997
dalam Darmawati, dkk., 2005).
Filosofi dasar yang dipegang oleh para pemegang saham adalah
mendapatkan keuntungan yang maksimal atas investasi yang ditanamkan dalam
sebuah perusahaan. Hal tersebut dapat diperoleh melalui manajemen perusahaan
yang efektif dan efisien. Para pemegang saham juga mengharapkan keberlanjutan
usaha perusahaan atau corporate sustainability, terutama investor jangka panjang.
Bagi para pemegang saham, kepentingan mendasar selain mendapat
keuntungan adalah mendapat perlakuan dan perlindungan yang seimbang dari
perusahaan baik pemegang saham mayoritas maupun pemegang saham minoritas,
domestik maupun asing. Perlindungan dan persamaan ini terutama diperlukan
oleh pemegang saham minoritas. Kedudukan pemegang saham minoritas
seringkali berada dalam posisi lemah dan oleh karenanya perlu dilindungi.
Permasalahan yang cukup krusial dalam memenuhi kepentingan akan
perlakuan yang adil adalah masalah kontrol perusahaan dari para pemegang
saham mayoritas.
Pemenuhan prinsip transparansi bagi pemegang saham adalah
mendapatkan keterbukaan informasi material perusahaan. Perusahaan harus
menerapkan prinsip transparansi untuk memudahkan dan memberikan bahan
pertimbangan yang cukup lengkap bagi para pemegang saham atau calon investor
dalam menentukan apakah perusahaan tersebut layak utnuk menerima modalnya.
Penerapan prinsip transparansi akan memudahkan pengawasan bagi tindakantindakan yang diambil oleh para anggota direksi dan komisaris sehingga
mereduksi penyalahgunaan wewenang direksi dan komisaris. Perusahaan terikat
kewajiban untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan
kinerjanya selama ini.
Efektivitas implementasi prinsip transparansi harus didukung oleh
keaktifan para pemegang saham dalam menjalankan haknya. Selain itu,
perusahaan harus memiliki kemauan untuk memberikan informasi material yang
penting sebagai sarana bagi para pemegang saham dalam mengambil keputusan
berinvestasi. Para pemegang saham juga diharapkan benar-benar mempelajari
informasi tersebut agar tidak sia-sia.
Implementasi Corporate Governance terhadap Manajemen Laba
Corporate governanace merupakan salah satu elemen kunci dalam
meningkatkan efesiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara
manajemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang saham dan stakeholders
lainnya (OECD, 1999). Corporate governance juga memberikan suatu struktur
yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran dari suatu perusahaan, dan sebagai
sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja. Watts (2003), menyatakan
bahwa salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan
membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance.
Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan
untuk terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi
(transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan
responsibilitas (responsibility). Transparency, dengan meningkatkan kualitas
keterbukaan informasi tentang “performance” perusahaan secara akurat dan tepat
waktu. Accountability, dengan mendorong optimalisasi peran dewan direksi dan
dewan komisaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional.
Praktik audit yang sehat dan independen mutlak diperlukan untuk menunjang
akuntabilitas perusahaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan
mengefektikan komite audit. Fairness, dengan memaksimalkan upaya
perlindungan hak dan perlakuan adil kepada seluruh shareholders tanpa kecuali.
Dan responsibility, dengan mendorong optimalisasi peran stakeholders dalam
mendukung program-program perusahaan (Baridwan, 2003)
Hal tersebut menunjukkan bahwa corporate governance mengatur pola
hubungan antara komisaris, direksi dan manajemen agar terjadi chek and balances
dalam pengelolaan organisasi dan dengan adanya corporate governance yang baik
maka keputusan-keputusan penting perusahaan tidak lagi hanya ditetapkan oleh
satu pihak yang dominan misalnya direksi, tetapi ditetapkan setelah mendapat
masukan dari dan dengan mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholder).
KESIMPULAN
Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai
informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi
bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri
sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent
untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal.
Sehingga dengan adanya asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik
(principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management) dalam rangka memaksimumkan
utilitynya.
Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan
membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance
(Watts, 2003). Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu
diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance adalah;
transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness),
dan responsibilitas (responsibility).
Berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance yang
merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa
berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa
mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Dengan
kata lain corporate governance diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi
antara principal dan agent yang pada akhirnya dapat menurunkan tindakan
manajemen laba.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Irfan (2002). Pelaporan Keuangan dan Asimetri Informasi dalam Hubungan
Agensi. Lintasan Ekonomi Vol. XIX. No.2. Juli 2002
Alijoyo, F.A. 2003. Trilogy of Governance, (online), http://www.fcgi.or.id
Baridwan, Anis (2003). “Good Corporate Governance: Aturan-aturan dalam
Governing Mechanism”. Seminar Sehari: Issues Application & Research
In Corporate Governance Dalam Rangka Launching Pusat Studi Corporate
Governance FE UTY.
Belkoui dan Ahmed Riahi. (2000). Accounting theory, 4th Edition, Thomson
Learning.
Brigham, Eugene F. and Joel F. Houston, 2001. Fundamentals of Financial
Management, Ninth Edition, Horcourt College, United States of America
Cahan, S.F. (1992). The Effect A Antitrust Investigations on Discretionary
Accruals A Refined Test of the Political Cost Hipotesis. The Accounting
Review. Vol. 67 No. 1. January, hal. 77-95.
Cornett M. M, J. Marcuss, Saunders dan Tehranian H. (2006). Earnings
Management, Corporate Governance, and True Financial Performance.
Darmawati, Deni.; Khomsiyah dan Rika Gelar Rahayu, 2005, “Hubungan
Corporate governance dan Kinerja Perusahaan”, Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia, Vol. 8, No. 1, Januari.
Eisenhardt, Kathleen M. 1989. Theory Agency: An Assessment and Review. The
Academy of Management Review, Vol. 14, No. 1. Pp 57-74.
Fisher, Marilyn, dan Kenneth Rosenzweigh. (1995). Attitudes of Students and
accounting Practitioners Concerning the Ethical Acceptability of Earnings
Management. Journal of Business Ethics, Volume 14, hal. 443-444
Gideon SB Boediono. (2005). Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme
Corporate Governace dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan
Analisis Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005.
Hall, Steven C. dan Wiliam W. Stammerjohan, (1997). Damage awards and
Earnings Management in The Oil Industry. The Accounting Review. 72 (1),
Januari.
Healy, Paul M. and J.M. Wahlen. (1999). A Review Of The Earnings
Management Literature And Its Implications For Standard Setting.
Accounting Horizons 13, 365-383.
Hendriksen, E. and M.Van Breda, 1992. Accounting Theory, 5 th edition. Irwin
Homewood IL.Jogiyanto Hartono dan Ainun Na’im. (1998). The Effect of
A legal Process on Management of Accruals: Further Evidences on
Management of Earnings. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 13 (2)
Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics 3. hal. 305-360.
OECD. 1999. OECD Principles of Corporate Governance.
Priambodo, R. Ervin A; Eko Supriyatno, 2007, Penerapan Good Corporate
Governance Sebagai Landasan Kinerja Perbankan Nasional, Usahawan,
No.05. Tahun XXXVI. Mei.
Richardson, Vernon J. (1998). Information Asymmetry an Earnings Management:
SomeEvidence. Working Paper, 30 Maret.
Ross, A. S. 1973. “The Economic Theory of Agency: The Principal’s Problem”.
American Economic Association. Volume. 63. No.2.
Schipper, Katherine. (1989). Comentary Katherine on Earnings Management.
Accounting Horizon.
th
Scott, W. R. 2009. Financial Accounting Theory. 5 Edition. Prentice-Hall,
Toronto, Canada.
Scott, W.R. 2012. Financial Accounting Theory. Six Edition. Prentice-Hall,
Toronto, Canada.
Watts, Ross L. dan Jerold L. Zimmerman. (1986). Positive Accounting Theory.
New Jersey: Prentice Hall International Inc.
Watts, Ross L. (2003). Conservatism in Accounting Part I: Explanations and
Implications. Accounting Horizon, Vol. 17: 207-221.
Download