STRENNA 2007 BIARKANLAH DIRI KITA DIBIMBING OLEH CINTA KASIH ALLAH UNTUK KEHIDUPAN Dikomentari oleh Rektor Mayor Saudara dan saudariku terkasih, semua anggota Keluarga Salesian, Pada penghujung tahun 2006, yang sudah merupakan tahun rahmat bagi Keluarga Salesian, dengan karunia mengagumkan yaitu pengumuman atas penghayatan heroik kebajikan-kebajikan oleh Mama Margareta, yang dengannya dia telah dinyatakan Venerable, dan pada permulaan tahun 2007 yang membuka di hadapan kita kekayaan dalam pengharapan, saya berbicara dengan kalian seperti yang dilakukan Don Bosco, mengharapkan kalian kepenuhan hidup dalam Kristus, sambil memberikan kalian program spiritual dan pastoral untuk tahun ini yang memiliki tema tentang kehidupan. 1. Pendahuluan Strenna tahun lalu diterima dengan antusias yang besar dalam Keluarga Salesian dan menuntun untuk dilakukan banyak sekali inisiatif. Dengan strenna tahun ini saya ingin melihat inisiatif-inisiatif ini berlanjut dan pada saat yang sama terbuka untuk cakrawala-carkrawala yang baru. Selama tahun 2006, yang kita persembahkan untuk suatu komitmen terhadap keluarga, kita mengalami peristiwa besar dalam Gereja dengan diadakan Pertemuan Keluarga Internasional V, yang dengannya menegaskan kembali nilai cinta kasih dan hidup manusia, yang karenanya keluarga menjadi tempat yang istimewa. Kata-kata Paus yang dialamatkan kepada peserta yang berjumlah ratusan ribu orang, termasuk banyak anggota Keluarga Salesian, merupakan suatu sumber pengharapan dan menantang kita untuk meneruskan perjalanan kita dalam mempertahankan hidup dan untuk membaharui keluarga tempat hidup bagi kehidupan dan cinta kasih. Pada saat yang sama, bagaimanapun, telah terjadi juga peristiwa-peristiwa dramatis yang sekali lagi kita saksikan hidup manusia itu diperlakukan dengan keji: perangperang di Irak dan Timur Tengah, kekerasan teroris, pertambahan emigrasi yang begitu besar, penyalagunaan dan pengeksploitasian anak-anak dan perempuan, hukum yang mengizinkan eksperimen sel-sel embrio dan lain-lain. Semua hal ini membantu kita untuk melihat bahwa sekarang ini anugerah besar kehidupan itu berada dalam ancaman, seperti Yohanes Paulus II dalam kenangan terhormat ketika berkata kepada orang muda pada Hari Orang Muda VIII: “Sejalan dengan berlalunya waktu ancamanancaman terhadap kehidupan tidak berakhir. Sebaliknya ancaman-ancaman itu berwujud dalam dimensi-diemensi yang besar. Adalah bukan hanya pertanyaan atas ancaman-ancaman yang datang dari luar, dari kekuatan-kekuatan alam atau mereka yang berwujud “Kain” yang membunuh “Abel”; bukan, ini merupakan pertanyaan atas ancaman-ancaman yang direncanakan dalam cara yang ilmiah dan sistematis. Abad XX akan dikenang sebagai satu masa penyerangan besar-besaran terhadap kehidupan, tak hentinya serangkaian perang dan penghancuran dilakukan terhadap hidup manusia yang tidak bersalah. Nabi-nabi dan guru-guru palsu telah mencapai kemungkinan keberhasilan yang besar.”1 Berhadapan dengan situasi ini, kita tidak bisa tetap saja tidak peka, khususnya sebagai anggota-anggota Keluarga Salesian, yang dijiwai oleh semangat humanisme Santo Fransiskus dari Sales, yang dihidupi dan diwarisi oleh Don Bosco sebagai suatu peninggalan pendidikan yang istimewa. Ini merupakan suatu humanisme yang memimpin kita untuk menghargai semua yang positif dalam hidup setiap individu, benda-benda dan dalam sejarah, dan untuk mempertahankan dan memeliharanya; untuk percaya akan kekuatan kebaikan dan membaktikan diri kita untuk memajukannya daripada menangisi kejahatan, mencintai kehidupan dan semua nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya.2 Kita perlu merasa diri kita tertantang oleh Allah pencinta kehidupan. Jika hidup manusia itu berasal dari Roh Allah sendiri, jika itu merupakan roh ilahi, jika kita telah diciptakan dalam gambar dan rupaNya, maka sangatlah perlu cinta kasih Allah itu memelihara dengan penuh kasih hidup kita. Allah mencintai semua benda yang hidup. Dia tidak dapat membenci apa yang telah Dia ciptakan dengan cintaNya yang begitu besar. Bertentangan dengan mereka yang dapat berpikir bahwa mereka hidup dalam keyakinan yang samar-samar bahwa Allah menetapkan suatu ancaman bagi umat manusia dan merupakan suatu kehadiran yang mengancam yang harus dihilangkan supaya dapat hidup dan menikmatinya dengan lebih penuh, kita ingin menyatakan iman kita kepada Allah sebagai sahabat terbaik manusia dan pembela kehidupan yang paling dipercaya. Ini merupakan apa yang telah Dia tunjukkan tentang diriNya dalam seluruh sejarah Israel, dan penulis Kitab Kebijaksanaan mengungkapkannya demikian. “Ya, Engkau mengasihi segala sesuatu yang ada, dan Engkau tidak benci kepada barang apapun yang telah Kaubuat, karena jika Engkau membenci sesuatu Engkau tidak menciptakanya. Dan bagaimana sesuatu dapat bertahan, jika tidak Kaukehendaki?Atau bagaimana dapat tetap terpelihara, kalau tidak Kaupanggil? Tidak, Engkau mencintai semuanya, karena semua adalah milikMu. Tuhan, pencinta kehidupan! Karena rohMu yang tak pernah musnah ada di dalam segala sesuatu! Dan karena itu berdikit-dikit, Engkau menghukum mereka yang melawan; Engkau meenegur dan memperingatkan mereka bagaimana mereka telah berdosa, supaya mereka dapat menghindar dari kejahatan dan percaya kepadaMu, Tuhan” (Kebijaksanaan 11, 24 – 12, 2). Allah memberi hidup melalui cinta, memeliharanya dalam cinta dan membawanya kepada cinta. Ini merupakan cinta kasih Allah yang mengharuskan kita untuk 1 Yohanes Paualus II, Sambutan yang diberikan selama Doa Malam menjelang Pertemuan Orang Muda Sedunia VIII di Denver, tanggal 14 Agustus 1993, dalam L’Osservatore Romano, hl. 17/ 18 Agustus 1993. 2 Bdk. Mission Statement of the Salesian Family, no. 9, 10, 16. mencintai kehidupan, memeliharanya melalui pelayanan yang bertanggung jawab, mempertahankannya dengan pengharapan, mewartakan nilai dan maknanya, khususnya kepada orang muda yang paling lemah dan tak berdaya, mereka yang terhimpit antara kehampaan dan kekerasan. Untuk hal ini saya mengusulkan kepada seluruh Keluarga Salesian supaya mereka membiarkan diri mereka untuk dibimbing oleh Allah ini yang adalah pencinta kehidupan dan oleh cintaNya akan kehidupan, dan dengan kepastian membaktikan diri mereka bagi pembelaan dan pemajuan kehidupan itu. Pada saat tertentu ketika kehidupan itu ada dalam ancaman, sebagai Keluarga Salesian kita sepantansnya bersikap: - menerima kehidupan dengan syukur dan kegembiraan sebagai suatu anugerah yang tak dapat diganggu-gugat, - memelihara kehidupan dengan penuh semangat sebagai seorang pelayan yang bertanggung jawab, - membelanya dengan pengharapan akan martabat dan kualitas setiap kehidupan, terutama mereka yang paling lemah, miskin dan tak berdaya. Strenna ini dimaksudkan untuk menjadi “suatu penegasan kembali yang tepat dan meyakinkan atas hidup manusia dan martabatnya yang tak dapat diganggu-gugat, dan pada saat yang sama, dalam nama Allah, sebagai suatu himbauan yang tegas dialamatkan kepada setiap dan masing-masing orang: penghargaan, perlindungan, cinta dan pelayanan hidup, untuk setiap hidup manusia! Hanya dalam arah ini kalian akan menemukan keadilan, perkembangan, kebebasan yang benar, damai dan kebahagiaan !”3 2. Ambiguitas Budaya Kehidupan Sekarang Paus Benediktus XVI berkata kepada para imam di Dioses Roma: “Bagi saya ini juga sepertinya dalam arti tertentu merupakan inti pelayanan pastoral kita: membantu orang-orang untuk membuat pilihan yang benar terhadap hidupnya, untuk membaharui hubungan mereka dengan Allah, sebagai hubungan yang memberi kita kehidupan dan menunjukkan kita jalan kepada kehidupan.”4 Karena itu upaya-upaya kita yang pertama harus diarahkan untuk berusaha merenungkan beberapa pertentangan yang serius dalam budaya kita saat ini, untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan yang diangkat berdasarkan kehidupan manusia modern, untuk menghargai apa yang positif dalam kehidupan modern supaya memperkuatkannya dan mengutuk “budaya kematian” yang mengancam hidup umat manusia sendiri dan dunianya. 3 Nilai hidup manusia diwartakan dan dipertahankan tetapi juga diserang dan diancam. Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae (EV), 5 Kepada Klerus Dioses Roma. Prapaska 2006, dalam L’Osservatore Romano, (Edisi Inggris) 15 Maret 2006, hl. 5 4 Tak diragukan manusia modern telah mencapai suatu kesadaran yang lebih besar akan martabat setiap manusia dan hak-haknya untuk tidak diganggu-gugat. Saat ini ada suatu rekasi keras melawan hukuman mati, penyiksaan, perlakukan sewenang-wenang atau apa pun bentuk hukuman yang merendahkan individu-individu. Pemberlakuan hukum modern dan pengaturan sosial dalam banyak cara merefleksikan tuntutan bahwa setiap individu harus dihargai dan kehidupan manusia dipertahankan. Tetapi hal itu dapat menjadi kesalahan untuk menutup mata terhadap penyalagunaanpenyalagunaan kekuasaan yang terus saja dilakukan bertentangan dengan apa yang masyarakat kehendaki dan apa yang termaktub di dalam hukum. Hidup manusia dihancurkan sebelum kelahirannya dengan jalan aborsi; dan hal yang sama terjadi dalam situasi-situasi yang kurang lebih mematikan atas nama suatu “belas kasih” yang tidak dipahami terhadap orang sakit atau atas apa yang dinamakan “suatu kematian bermartabat” atau eutanasia. Pada kenyataannya banyak anak laki-laki dan perempuan diperlakukan sewenangwenang atau mengalami pelecehan seksual merupakan suatu skandal yang sangat mengerikan, seperti juga wanita-wanita yang terpaksa masuk prostitusi, dieksploitasi dan diperbudak oleh kelompok-kelompok terorganisir untuk melayani perdangangan seks.Yang sangat menyakitkan adalah gambaran akan begitu banyak orang, khususnya orang muda, yang terjerat dalam kekelaman penggunaan narkoba, pemakaian alkohol, atau yang mengorbankan diri mereka untuk suatu pola hidup yang semaunya saja, tidak teratur dan tidak bertanggung jawab Dalam suatu masyarakat dan dunia yang semakin berkembang dalam kemungkinankemungkinan untuk suatu kehidupan bermartabat yang menyebar luas, tentu saja selalu ada suatu penambahan jumlah mereka yang tersingkirkan, yang terpaksa hidup di pinggiran sekedar untuk bertahan hidup, dengan negara-negara dan segenap benua yang tereksploitasi dan terlupakan, seakan-akan hal itu merupakan masalah umat manusia kelas dua. Kualitas hidup: suatu tujuan yang ambigu. Sepanjang waktu yang lama keprihatinan-keprihatinan orang telah dipusatkan pada pemantapan kondisi-kondisi dasar dan tak terbantahkan yang diperlukan untuk bertahan hidup. Hal itu merupakan satu-satunya yang mereka dambakan ketika mereka tidak mempunyai lagi sumber-sumber yang diharapkan. Selama beberapa tahun sekarang kualitas hidup telah menjadi tujuan baru bagi masyarakat dan individu-individu. Keprihatinan tentang kualitas hidup ini dapat menuntun kepada bermacam-macam konsekwensi yang berbeda-beda berdasarkan maksud dibaliknya: jika hal itu diilhami oleh suatu kehendak kemanusiaan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang paling menguntungkan bagi perluasan dan pengembangan suatu kehidupan yang layak bagi segenap umat manusia, atau juga kalau hal itu menjadi suatu tujuan mutlak pada dirinya sendiri, didasarkan pada paham-paham utilitarian atau hedonistis atas dasar itu seseorang mengukur, menilai dan bahkan sampai pada menyingkirkan diri dari kehidupan mereka yang tidak mencapai tingkat sewajarnya. Dengan cara ini suatu pembedaan dibuat misalnya antara orang sakit yang pantas diperlakukan dengan segala sarana yang tersedia, dan orang sakit yang dengan suatu kualitas terbatas (dengan kecacatan tertentu, orang lanjut usia yang tidak punya sanak saudara, orang sakit kronis dll) yang dapat dilupakan, dan kepadanya, dalam analisa akhir, perlakukan yang paling efektif dapat ditiadakan. Ada kehidupan sementara orang yang dianggap kurang penting atau kurang berguna, kehidupan yang terlalu lama, dan yang sampai pada tingkat yang dinilai sebagai suatu ancaman bagi kesejahteraan orang lain dan karena itu dihentikan. Dengan demikian hanya sedikit orang dapat menikmati suatu mutu kehidupan yang tinggi dengan mentalitas hedonistis dan konsumeristis, ada semacam kesewenangan dan pengrusakan ekosistem bumi (polusi dalam berbagai bentuk, iklim berubah, krisis sumber-sumber air, pengurangan sumber daya alam dll), sambil mementingkan suatu model pembangunan yang tidak mandiri yang juga sesungguhnya mengaburkan masa depan segenap umat manusia. Bertambahnya kekerasan yang menghancurkan Bersamaan dengan banyaknya tanda pertumbuhan dalam penghargaan atas hidup manusia, keprihatinan bagi setiap makluk hidup dan penghormatan atas lingkungan hidup, ada juga ketidakwajaran dalam banyak contoh kekerasan yang senantiasa serius dan menghancurkan. Kita dapat berpikir tentang perang dan penjualan senjatasenjata yang mendukung perang yang membawa akibat pada ribuan korban tidak bersalah; juga pertikaian mengerikan antara bangsa dan ras yang memaksakan seluruh penduduk meninggalkan rumah mereka sendiri dan mencari pengungsian di luar negeri mereka; dan bertambahnya kekerasan yang membawa mimpi buruk bagi para imigran, yang dianggap berbahaya dan menjadi ancaman, dan dieksploitasi serta hakhak asasi mereka disangkal. Ada bentuk-bentuk kekerasan lain juga timbul dari sikap-sikap anti kehidupan, datang dari pengalaman penghapusan aspirasi-aspirasi terdalam seorang pribadi; kemudian tindak kekejaman, penolakan, benci akan kehidupan dan kekerasan lain bertumbuh; barang-barang dihancurkan, manusia diperlakukan sewenang-wenang, penghancuran menyeluruh terjadi … Jenis kekerasan ini sangatlah sering ditemukan dalam kelompok-kelompok pengacau orang muda atau dalam kelompok-kelompok yang melancarkan kekerasan di jalan-jalan, dll. Suatu budaya anti-kehidupan Hal yang menyebabkan keprhatinan yang paling serius ialah menyebarnya pola pikir tertentu, menilai dan bersikap yang tampaknya normal, dan kadang-kadang bahkan dihadirkan sebagai suatu jenis pembelaan atas kebebasan, yang daripada memepertahankan dan memelihara kehidupan, pola itu menuju ke arah yang bertentangan dengan hidup itu sendiri, menghapuskan maknanya dan akhirnya pemusnahannya. Ini yang oleh Yohanes Paulus II biasa disebut “budaya kematian”. “Kita dihadapkan”, beliau menulis, “dengan suatu kenyataan yang bahkan lebih besar, yang dapat dilukiskan sebagai suatu struktur dosa yang sesungguhnya. Kenyataan ini dicirikan dengan munculnya suatu budaya yang menolak solidaritas dan dalam banyak kasus mengambil bentuk suatu “budaya kematian” yang sesungguhnya” …Dalam cara ini satu jenis “konspirasi melawan kehidupan” memang tak terbendung. Konspirasi ini melibatkan tidak hanya individu-individu dalam kepribadian mereka, keluarga atau kelompok-kelompok pertalian, tetapi jauh melampauinya, pada tingkat menghancurkan dan mematikan, pada cakupan internasional, pertalian antara warga masyarakat dan negara-negara.”5 Di hadapan situasi ini kita sungguh-sungguh tertantang sebagai para pendidik yang ingin membantu orang muda untuk menemukan nilai mutlak dari setiap kehidupan, khususnya setiap kehidupan manusia. Di sini ada beberapa dari tantangan-tantangan ini: - Dasar utama nilai yang mutlak dari kehidupan setiap manusia. Mengapa hidup setiap manusia berhak untuk dipertahankan dan selalu dihargai dalam setiap situasi dan keadaan? Apakah hidup sebagian orang lebih berharga dibandingkan dengan yang lain? Dimanakah ditemukan kriteria bagi suatu kualitas hidup yang layak bagi kemanusiaan? - Tantangan untuk pemajuan setiap kehidupan khususnya mereka yang paling lemah dan tak berdaya. Apakah benar-benar menjadi manusia ketika kepekaan besar yang manusia kontemporer miliki bagi sebuah kehidupan yang lebih penuh dan baik sangat sering diubah menjadi suatu ancaman yang lebih besar terhadap mereka yang lemah dan tak berdaya? - Tantangan evangelisasi dalam konteks dan budaya ini. Bagaimana kita berhadapan dengan budaya ini yang melawan kehidupan dan mewartakan di dalamnya “Injil kehidupan” sebagai sesuatu yang menyembuhkan dan memberi hidup bagi semua? Bagaimana kita memelihara di dalam komunitas kita, di antara orang muda dan dalam Keluarga Salesian suatu gaya hidup yang mengikuti rencana Don Bosco, yang membawa setiap orang kepada cinta, penghargaan, perlindungan dan pemajuan kehidupan sebagai suatu anugerah dan pelayanan? 3. Keterlibatan Keluarga Salesian dalam Membela Kehidupan Gambaran akan situasi ini tidak akan merefleksikan kenyataan kalau dia tidak mencatat banyak upaya, komitmen dan prestasi oleh berbagai kelompok dari Keluarga Salesian di dalam seluruh belahan dunia. Sebagai satu contoh saya ingin menghadirkan kepada kalian beberapa inisiatif yang lebih umum dan penting dari Keluarga kita, sementara pada saat yang sama mengundang kalian untuk menyadari, menghargai dan mengembangkan sumber-sumber, inisiatif dan kesempatan yang sudah ada dalam setiap negara atau regio. Di sini adalah satu daftar, tentu saja tidak sempurna, inisiatif-inisiatif itu yang dapat menampakkan komitmen Keluarga Salesian terhadap kehidupan: - Ungkapan-ungkapan solidaritas digerakkan dalam menanggapi terjadinya bencana-bencana besar yang telah terjadi tahun-tahun belakangan (“tsunami”, gempa bumi, banjir, kebakaran, penyerangan, perang … ), yang menunjukkan kesiagaan dan belas kasih begitu banyak orang, khususnya orang-orang pada umumnya untuk menanggapi dengan kemurahan hati kebutuhan-kebutuhan orang lain dan dalam melindungi hidup mereka yang paling miskin, dalam memberi mereka pengharapan dan masa depan. - Penyambutan setiap hari diberikan kepada begitu banyak orang muda yang ada dalam bahaya, kepada anak-anak jalanan dan orang muda pengangguran 5 EV 12 dll oleh ribuan pendidik yang dengan belas kasih yang besar dan pendekatan Salesian yang membaktikan hidupnya untuk membantu mereka dalam mengatasi kesulitan-kesulitan mereka dalam bentuk marginalisasi dan bahaya, dan menjadi mampu menghadapi masa depannya sendiri dengan lebih siap. - Berbagai program bantuan bagi para pengungsi dan imigran yang ditangani Keluarga Salesian di berbagai negara, membaktikan dirinya sendiri untuk menyambut dan mendidik mereka dan membantu mereka untuk dapat menyesuaikan diri dalam budaya baru dengan cara yang positif. - Inisiatif-inisiatif yang berkembang maju di Afrika, seperti program-program ”Stop AIDS” dan “Love matters”, untuk menangani tragedi yang disebabkan oleh penyakit AIDS yang merenggut benua yang menderita ini, mematikan jutaan orang dan sekaligus meninggalkan jutaan orang yatim piatu. Keluarga Salesian melaksanakan strategi-strategi preventif yang dimaksudkan untuk memberi tahu orang muda dengan cara yang profesional tentang pokok persoalan dan membentuk nurani dan pengetahuan mereka bahwa penyakit yang mewabah ini tidak akan dimatikan dengan kondom tetapi dengan pendidikan yang efektif. - Ribuan pendidik yang dalam berbagai karya dan pusat Salesian dilibatkan di dalam pendidikan orang muda, menyiapkan mereka untuk nantinya dapat memasuki dunia kerja mereka. - Karya kemanusiaan, pendidikan dan evangelisasi yang besar yang dijalankan di daerah-daerah misi dan yang sangat sering menjadi satu dari sejumlah cara untuk membela kehidupan dan memajukan pembangunan manusia yang integral bagi ribuan orang dan segenap penduduk. - Komitmen yang sangat besar di daerah-daaerah misi atas upaya yang sangat menentukan dimaksudkan tidak hanya pada mempertahankan keberadaan orang-orang pribumi tetapi terutama perkembangan mereka, pengakuan secara umum dan sosial atas hak-hak mereka sendiri akan bahasa, budaya, pandangan hidup, organisasi sosial dan perwakilan politik mereka. - Karya dari begitu banyak keluarga yang dengan kesulitan tetapi berdedikasi dan dengan kemurahan hati terlibat dalam usaha setiap hari untuk pendidikan dan pembelaan kehidupan. - Pelayanan suka rela dalam berbagai bentuknya: sosial, misioner, ketrampilan. Dan banyak sekali inisiatif kegiatan lain yang, hari demi hari, tengah membangun jaringan kerja yang menyediakan bantuan bagi sejumlah besar orang yang ada dalam ancaman dan bahaya, dan dengan kepastian dan kebaikan hati memajukan komitmen untuk membentuk satu pola hidup yang lebih manusiawi, suportif dan injili dan dengan cara ini menciptakan “budaya kehidupan”. Saya percaya bahwa dengan jumlah besar kelompok orang yang sangat berkualitas ini, kita dapat dan kita harus menghadapi tantangan-tantangan besar yang dihadirkan oleh karya membela kehidupan. Strenna ini merupakan suatu dorongan untuk menguji panggilan hidup seseorang, suatu undangan untuk menyatukan tenaga dan meneruskan usaha-usaha kita agar kita dapat menanggapi dengan cara yang kreatif dan dinamis tantangan-tantangan yang maha besar itu. 4. Allah yang Mencintai Kehidupan Dari halaman-halaman pertama Kitab Kejadian sampai halaman terakhir Kitab Wahyu, Kitab Suci menunjukkan kepercayaan dan keyakinan terdalam Umat Allah bahwa hidup itu berasal dari Allah dan perlu untuk dihidupi di hadapan Dia yang menjaga dan melindunginya. Adalah suatu berkat dari Allah yang cinta dan kemurahan hatiNya bersinar dalam anugerah kehidupan ini. Ini merupakan anugerah terbesar yang dapat Allah berikan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan ialah menikmati hidup. Perintah pertama yang kita terima dari Allah ialah hidup; ini merupakan suatu perintah yang tidak tertulis di dalam loh-loh batu tetapi sebenarnya terukir dalam keberadaan kita yang terdalam. Tindakan ketaatan kita yang pertama kepada Allah ialah mencintai kehidupan, menerimanya dengan hati penuh syukur, memeliharanya dengan penuh semangat dalam mengembangkan semua kemungkinan yang dimilikinya. Kitab Suci senantiasa menekankan hubungan langsung antara kehidupan dan Allah. Hidup manusia berasal dari Allah; hidup itu, sebagaimana Yohanes Paulus II katakan, “merupakan suatu anugerah yang denganya Allah berbagi sesuatu dari diriNya dengan ciptaanNya.”6 Allah adalah satu-satunya Tuhan atas hidup; manusia tidak dapat menghilangkannya. Hidup dan mati ada di tangan Allah: “Di dalam tanganNya ada kehidupan setiap makluk dan nafas segenap umat manusia” (Ayub 12, 10). Setiap kehidupan berasal dari Allah dan Allah melindunginya. Dia tidak menciptakan manusia untuk membiarkannya mati tetapi menjadi abadi. (bdk. Kebijaksanaan 2, 23). Tepat sekali oleh karena itu Allah kehidupan adalah “Allah orang miskin,” mereka yang dengan susah payah berusaha untuk bertahan hidup; Dia adalah “Allah keadilan”, yang membela mereka yang diperlakukan dengan tidak adil dan ketidakwajaran oleh orang yang berpengaruh dan kuat (bdk. Hukum Perjanjian, dalam Keluaran 21, 1-23, 9). Hanya Tuhanlah yang setia kepada kehidupan yang dapat menampakkan diriNya sepanjang sejarah sebagai pembela hidup orang miskin, lemah, janda, terasing, terlupakan. Mengetahui Allah macam ini berarti berlatih diri dalam keadilan yang memberi hidup, dan berperang melawan ketidakadilan yang mematikan. Percaya kepadaNya berarti memajukan solidaritas dengan mereka yang menderita dan mati karena ditelantarkan. Mendengarkan suaraNya berarti membuka telinga dan hati seseorang kepada tuntutanNya yang tanpa henti: “Apa yang telah engkau perlakukan terhadap saudaramu?” (Kej 4, 9-10). Allah yang dalam Perjanjian Lama yang telah menampakkan diriNya sebagai “sahabat kehidupan” telah menjadi manusia dalam Yesus Kristus. Di dalam Yesus itu para murid telah dapat melihat dengan mata mereka sendiri dan menyentuh dengan tangan mereka Dia yang adalah “Sabda Kehidupan” (bdk. 1 Yoh 1, 1). Sabda dan tindakanNya diarahkan dari awal mula untuk membawa kehidupan dan penyembuhan kepada manusia. Sesungguhnya ini merupakan kenangan akan Yesus yang dipertahankan oleh jemaat perdana: “Allah mengurapi Yesus dari Nazaret dengan Roh Kudus dan dengan kekuasaan; Dia berkeliling melakukan kebaikan dan menyembuh semua yang terbelenggu oleh setan, karena Allah ada di dalam Dia.” (Kis 10, 38). Bagi Yesus hidup itu merupakan suatu anugerah istimewa, “lebih daripada makanan” (Mt 6, 25). Menyelamatkan satu kehidupan adalah lebih penting daripada hari Sabat (bdk. Mk 3, 4), karena “Karena Dia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Mk 12, 27). Pembelaan atas hidup manusia merupakan gagasan sentral di dalam rencana Kerajaan Allah. Dua aspek – pewartaan Kerajaan Allah dan pemeliharaan hidup manusia – membentuk isi dari karya mesianisNya, sebagaimana 6 EV 34 yang dapat selalu dilihat dari penuturan di dalam Injil: “Yesus mengelilingi seluruh wilayah Galilea … mewartakan Injil akan Kerajaan Allah, dan menyembuhkan setiap orang sakit dan setiap orang cacat di antara orang-orang di situ (Mt 4, 23; 9, 35; Lk 6, 18). Sesungguhnya, hal ini merupakan pelayanan penyembuhan yang benar-benar mencirikan Mesias. Karena di sinilah karya-karya dari Dia yang diutus Allah segera menjadi begitu nyata: “Orang buta melihat dan orang lumpuh berjalan; orang yang sakit kusta menjadi tahir dan yang tuli mendengar; dan orang mati dibangkitkan dan orang miskin memiliki kabar gembira yang diwartakan kepada mereka.” (Mt 11, 5). Di dalam Injil Yohanes juga kehidupan menjadi nilai sentral. Yesus adalah pembawa dan penjamin suatu kehidupan yang adalah “kekal”dan definitif, yang berarti, kehidupan yang Allah wartakan kepada anak-anakNya dan yang akan mencapai kepenuhannya melampaui dunia ini. Jadi penginjil menghadirkan Kristus kepada kita sebagai “roti kehidupan” (Yoh 6, 35. 48); “terang kehidupan” (Yoh 8, 12); “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh 14, 6); “kebangkitan dan kehidupan” (Yoh 11, 25), sampai sedemikian sehingga setiap orang “yang percaya kepadaNya meskipun dia mati, namun dia akan hidup” (Yoh 11, 25). Kehidupan kekal ini dapat dialami sekarang juga oleh orang beriman: “barang siapa yang percaya memiliki kehidupan kekal” (Yoh 6, 47); barang siapa yang mendengarkan sabdaNya “memiliki kehidupan kekal … dan telah beralih dari kematian kepada kehidupan” (Yoh 5, 24); “barang siapa yang makan tubuhKu dan minum darahKu mempunyai hidup kekal, dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir jaman” (Yoh 6, 54). Tetapi pengalaman mendasar yang menjamin terbukanya kehidupan kita sekarang ini dan tujuannya kepada keselamatan kekal ialah pengalaman akan cinta: “Kita tahu bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara seiman kita. Siapa yang tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut” (1 Yoh 3, 14) Yesus tidak hanya menghargai dan membela hidup tetapi juga memberikan hidupNya sendiri sebagai pelayanan cinta kasih yang tertinggi sehingga umat manusia tidak dapat berhenti pada kematian dan penghancuran akhirat. “Aku memberikan hidupKu … Tidak seorang pun mengambilnya dari padaKu. Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali” (Yoh 10, 17-18). Jikalau Yesus memberikan diriNya sendiri bahkan sampai mati, itu tentu saja bukan karena Dia membenci kehidupan, tetapi karena Dia amat mencintai kehidupan dan menghendaki semua orang memilikinya, bahkan mereka yang paling sedih dan menderita sekali pun, dan Dia menghendaki hidup itu menjadi final, penuh dan kekal. “Hidup tersalibkan” demi cinta kasih ini merupakan suatu “skandal dan kebodohan” menurut model-model kehidupan sekarang yang tidak asing lagi di masyarakat. Tetapi dari sudut pandang iman Kristiani, hidup tersalibkan itu membentuk syarat tertinggi bagi setiap kehidupan yang dimaksudkan menjadi penuh manusiawi dan tidak dirusak atau diubah oleh kepentingan diri, tiadanya solidaritas, ketidakadilan. Sesungguhnya, bagi orang beriman “hidup tersalibkan” ini merupakan perwujudan tertinggi cinta kasih Allah bagi manusia dan penghargaan serta pembelaanNya atas kehidupan manusia: ini adalah “Injil kehidupan.” Injil ini memuncak pada kebangkitan. Allah yang membangkitkan Yesus adalah Allah yang membuat hidup ketika manusia membuat mati. Inilah yang diwartakan oleh para rasul: “Kalian membunuh Dia … tetapi Allah telah membangkitkan Dia” (Kis 2, 2324). Barangsiapa yang percaya akan Allah ini yang membangkitkan, “Allah orang hidup,”mulai mencintai hidup dengan cara baru yang radikal dan dengan cinta yang total. Iman Paska menuntut orang beriman untuk memilih di pihak kehidupan manakala hidup itu terlihat dirusaki, disakiti atau dihancurkan. Perjuangannya melawan kematian tidak hanya sebagai hasil dari sejumlah tuntutan etis, tetapi dari iman kepada Allah ini yang membangkitkan, yang menghendaki manusia untuk ambil bagian senantiasa di dalam hidup ilahiNya sendiri. Kebenaran Kristiani tentang kehidupan di sini mencapai puncaknya: “Martabat kehidupan ini dikaitkan tidak hanya dengan permulaannya, kepada kenyataan bahwa hidup itu berasa dari Allah, tetapi juga tujuan akhirnya, kepada nasibnya dalam persekutuan dengan Allah dalam pengetahuan dan cinta kepadaNya. Dalam terang kebenaran ini Santo Ireneus membenarkan dan melengkapi pujiannya atas manusia: “Manusia, manusia yang hidup” sesungguhnya adalah “kemuliaan Allah,” tetapi “hidup manusia terwujud karena pengelihatan akan Allah.”7 5. Biarkanlah Diri Kita Dibimbing Oleh Cinta Kasih Allah Untuk Kehidupan Cinta Allah akan kehidupan mendorong kita dalam komitmen kita: untuk bersaksi, mewartakan dan mencintai nilai kehidupan manusia. Yohanes Paulus II telah menulis: “Kita harus membawa Injil kehidupan kepada hati setiap pria dan wanita dan memasuki setiap lapisan masyarakat.”8 Pewartaan seperti ini meliputi penawaran yang jelas dan pasti bahwa kodrat hidup itu tidak dapat diganggu-gugat. Hidup seorang manusia itu rapuh, rumit dan cepat berlalu, tetapi merupakan sesuatu yang suci dan tak dapat diganggu-gugat. Allah menghembuskan rohNya sendiri ke dalam manusia, Dia menciptakanNya “dalam gambar dan rupaNya” (Kej 1, 27). Tidak seorang pun dapat menghilangkan hidup dengan tindakannya sendiri, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap diri orang lain. Hidup yang diterima dari Allah merupakan unsur pokok dan martabat yang tak dapat dihancurkan atas setiap manusia, nilai pertama di mana semua nilai dan hak yang lain didasarkan dan dikembangkan. Hukum Allah jelas dan tak diragukan: “Jangan membunuh” (Kel 20, 13). Meskipun dirumuskan secara negatif, hukum itu mengungkapkan pemikiran fundamental atas nilai hidup dan terus-menerus menuntut kita menegaskannya kembali saat ini. Di hadapan berbagai serangan terhadap kehidupan, sekarang ini tugas pemajuan suatu pendidikan mesti lebih menekankan nilai kehidupan, untuk menghargainya, dan untuk pembelaannya merupakan hal yang sangat penting; suatu pendidikan yang dapat mengajarkan suatu pandangan menyeluruh atas kehidupan dan kesehatan serta memberikan manusia suatu pemahaman etis. Generasi-generasi baru membutuhkan orangtua-orangtua dan guru-guru yang benar-benar adalah “guru-guru kehidupan.” Mereka memerlukan seseorang untuk mengajarkan mereka menjadi begitu bersyukur karena hidup mereka, hidup dengan suatu pola hidup sehat dan seimbang dan menerima tanggung jawab demi kehidupan mereka sendiri, membangunnya dengan mengintegrasikannya dalam kegagalannya, pengorbanannya yang sulit, penderitaan, merayakan kehidupan dan Allah yang memberikannya kepada kita, dan menghidupinya dengan cinta dan bakti. Untuk menjalankan tugas ini perlulah untuk mengingat panggilan dan perutusan keluarga. Tanggung jawab pendidikannya 7 8 EV 38 EV 80 bertumbuh dari hakikatnya sendiri dan dari perutusannya yang khusus, pada kenyataannya, yaitu suatu kehidupan komunitas dan cinta dan ditetapkan untuk “menjaga, menampakkan dan menyampaikan cinta”.9 Keluarga mewartakan Injil kehidupan khususnya dengan mendidik anak-anak kepada penghargaan mendalam akan hidup dan menjadi orang yang bersyukur atas karunia Allah. Hal ini merupakan persoalan mengenai karya pembinaan yang sungguh-sungguh dalam suatu nurani moral. Di dalam ucapan dan kesaksiannya, di dalam relasi dan keputusannya setiap hari, keluarga dapat mengajarkan, mendidik dan membantu setiap anggotanya untuk dapat menghayati nilai-nilai luhur seperti kebebasan, penghargaan terhadap orang lain, penerimaan, dialog, rasa keadilan, rasa solider, pembaktian diri. Oleh karena itu, dengan percaya diri dan keberanian, para orang tua akan mendidik anak-anak kepada nilai-nilai esensial hidup manusia. 6. Don Bosco Mencintai dan Memajukan Kehidupan Bagi Orang Muda Teristimewa yang Paling Miskin Bagi kita anggota Keluarga Salesian, cinta akan dan komitmen kepada kehidupan menemukan di dalam Don Bosco satu model dan guru. Dari waktu sebagai seorang anak Don Bosco penuh dengan semangat hidup; dia belajar dari ibunya, Mamma Margareta, untuk menemukan keindahan alam dan kehidupan; dia tahu bagaimana menikmati pesona alam pedesaan, bukit-bukit dan bunga-bunga bermekar di sekeliling Bechi dan menatap bintang-bintang dengan kagum. Dia punya binatang kesayangan berupa seekor burung kecil dan memeliharanya dengan kasih sayang. Dalam semua hal ini ibunya mengajarkan dia untuk menemukan karya Allah pencipta yang memelihara anak-anakNya, kebijaksanaan dan kekuasaanNya yang tidak terbatas dan di atas semuanya adalah cinta kasihNya. Dengan demikian Yohanes terbuka kepada pandangan hidup yang positif dan penuh kemurahan, dia tahu bagaimana menikmati hal-hal sederhana dalam kehidupan desa dan tanpa putus asa berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang datang di dalam rumahnya sendiri. Dalam semangat ini dia berusaha untuk mengungapkan rasa gembira dengan temantemannya, menghibur mereka pada hari-hari pesta dengan berbagai permainan; tetapi semua itu selalu dengan suatu dorongan edukasi: untuk menjadikan mereka lebih baik dan membantu mereka melakukan tugas-tugas mereka sebagai orang Kristiani yang baik. Ketika masih sebagai seorang siswa di Chieri, bersama dengan teman-temannya dia membentuk “Serikat Suka Ria” dengan aturan pertamanya ialah selalu riang gembira dan berusaha untuk tidak melawan Allah. Sebagai seorang imam yang berkeliling di jalan-jalan Turin dan mengunjungi penjarapenjara, Don Bosco mengerti bahwa orang muda sedang mencari kebahagiaan, bahwa mereka ingin menikmati hidup, merasa diterima dan dihargai; dan jika kadang-kadang mereka meninggalkan kebiasaan baik mereka untuk memilih jalan yang salah yang akan mengantar mereka ke penjara, ini bukan karena mereka orang jelek tetapi karena mereka tidak menemukan orang yang percaya pada mereka dan membantu mereka mengembangkan energi dan bakat-bakatnya kepada jalan yang benar. Oleh karena itu Don Bosco membaktikan dirinya bagi mereka, dan bersama mereka dia menciptakan suatu lingkungan yang positif yang menguntungkan suatu kehidupan di mana mereka 9 Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Familiaris consortio, 17 dapat mengalami kegembiraan hidup, dengan cukup kesempatan untuk bermain dan menikmati kehadiran satu sama lain, melatih mereka untuk dapat memperoleh pekerjaan, untuk merasa dicintai, diterima dan dihargai di dalam sebuah suasana keluarga. Bagi Don Bosco, permainan, musik, drama, bepergian dan piknik merupakan sarana pendidikan yang penting dan cara untuk mengarahkan hati, dan dengan demikian membantu orang muda ini untuk mengembangkan kemampuan terbaik mereka sendiri, untuk merasa bahwa mereka mampu melakukan kebaikan dan membuat diri mereka sendiri berguna bagi orang lain dan masyarakat. Dengan demikian Don Bosco membimbing mereka untuk tahu dan hidup dalam persahabatan dengan Yesus Kristus. Dapat kita katakan bahwa dengan anak-anaknya di Valdocco Don Bosco menghidupi suatu pedagogi hidup yang nyata, di mana ada kegembiraan dan perayaan; tentu saja dia mengundang mereka untuk membaktikan dirinya dalam mengembangkan suasana ini di antara teman-temannya. Dia menulis dalam biografi Fransiskus Besucco: “Jika engkau ingin menjadi baik lakukanlah tiga hal saja, yaitu Bergembira, Belajar, Hidup Saleh. Ini merupakan program yang besar. Dengan melakukannya engkau akan dapat hidup dengan bahagia dan mendatangkan banyak sekali kebaikan untuk jiwamu.” Kegembiraan merupakan suatu ciri utama dari suasana keluarga dan tanda dari cintakebaikan, suatu akibat natural dari pendekatan yang didasarkan pada akal budi, dan pada agama yang bersifat interior dan spontan dan akhirnya bertumbuh dari damai dengan Allah, dari suatu hidup dalam rahmat.10 Oleh karena itu, dalam pikiran Don Bosco kegembiraan tidak hanya satu sarana untuk membuat persoalan serius di dalam pendidikan dapat diterima tetapi juga merupakan sebuah pola hidup yang memperhatikan keberadaan anak-anak dan harapan mereka akan hidup. Don Bosco memahami ini dan ingin membuat hal itu sepenuhnya menjadi kenyataan. Dia menghargai bahwa di dalam hatinya seorang muda perlu mengalami kegembiraan akan hidup, kebebasan, permainan dan persahabatan. Tetapi di atas semuanya, sebagai seorang imam, Don Bosco sungguh percaya bahwa Kristianitas bukanlah suatu agama yang penuh dengan larangan, tetapi sebaliknya, adalah suatu agama kehidupan, kebahagiaan, cinta kasih; sehingga melalui suatu sistem pendidikan dengan perayaan dan kegembiraan dia membantu orang muda untuk membuka diri mereka kepada Kristus, mengantar mereka pada hubungan pribadi yang bersahabat denganNya. Berhadapan dengan suatu kesan hidup Kristiani yang orang muda peroleh dari masyarakat pada waktu itu sebagai sesuatu yang menyedihkan, yang penuh dengan penolakan dan larangan, suatu kehidupan yang disempitkan bagi orang muda, Don Bosco menyediakan bagi mereka suatu bentuk hidup Kristiani yang bahagia dan penuh suka cita. Don Bosco menguduskan kerja dan kegembiraan. Dia adalah seorang kudus Kristiani dengan humor yang menyenangkan, dengan hidup Kristiani yang aktif dan gembira… Didalamnya terdapat pendekatannya yang sangat inovatif. “Dengan pandangan intuisi yang brilian akan kasih yang penuh dengan pemahaman manusiawi, dan didorong oleh kebutuhan orang muda dan kepenuhan hidup yang natural dan wajar, bersama dengan kerja, Don Bosco menguduskan kegembiraan, kegembiraan hidup, kerja dan doa.”11 Don Bosco sendiri hidup dan tahu bagaimana menyampaikan kepada semua 10 11 Bdk. P. Braido, Prevenire non reprimere. LAS, Rome 1999, hl. 324-325, RSS 3 (1984) 385. F. Orestano, dikutip oleh P. Braido. Op. cit. hl. 236 anak-anaknya, kolaborator dan sahabat-sahabatnya suatu pandangan hidup yang positif dan integral; dia percaya akan kebaikan dan martabat setiap manusia, khususnya setiap orang muda, dan teristimewa mereka yang miskin dan dalam bahaya; dia menulis: “Pendidik harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa hampir semua orang muda punya inteligensi natural untuk mengakui kebaikan yang sedang dilakukan bagi mereka, dan suatu hati yang peka dengan muda tergerak untuk bersyukur.”12 Karena itu dia percaya bahwa setiap orang muda dapat dilindungi; dia percaya akan efektifnya karya pendidikan kalau hal itu dijalankan dengan pembaktian diri yang murah hati dan mengikuti metode akal budi dan cinta kasih-kebaikan hati. Orang muda yang telantar dan menyimpang perlu dibantu untuk menemukan makna hidup yang paling mendasar; ini berarti membangkitkan dalam diri mereka hasrat untuk hidup, dan melalui kerja dan keringat mereka sendiri mereka dapat menciptakan kehidupan yang layak bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Bagi mereka yang tidak mendapatkan perhatian dan cinta Don Bosco membentuk suatu tempat dan jaringan kerja berwujud hubungan dan persahabtan model keluarga, yang dapat membangun hidup afektif di mana kebutuhan emosional dan ungkapannya dapat diwujudkan. Lagipula Don Bosco yakin bahwa iman Kristiani dan persahabatan dengan Yesus Kristus memberikan sumber energi yang terkuat dan paling efektif untuk menopang usaha-usaha dalam pendidikan dan mengarahkan suatu pola hidup yang gembira dan bahagia di dunia ini dan menjamin kebahagiaan abadi di dalam kehidupan kekal. Oleh karena itu dia menetapkan – dan dia menjelaskan masksudnya dengan sangat jelas – sebagai tujuan tertinggi pendidikan, yaitu kekudusan; bukan sebagai tujuan bagi sebagian orang yang istimewa, tetapi yang ideal untuk setiap orang, seperti yang dikatakannya di dalam “Selamat Malam” yang menggerakkan Dominikus Savio untuk mengambil jalan kekudusan: “Adalah kehendak Tuhan bahwa kita harus menjadi kudus; sangat mudah untuk menjadi seorang kudus dan pahala besar dijanjikan bagi para kudus di surga.”13 Sebagai seorang imam dan pendidik dia selalu ingin menghargai dan mendorong apa saja yang positif dalam hidup, dan dalam hati setiap individu, untuk mengembangkan hidup Kristiani yang dapat menikmati dan menghargai apa pun yang dapat ditemukan dalam hidup setiap hari dan dalam hati setiap manusia bahkan mereka yang paling susah hidupnya meskipun itu sangat manusiawi, positif dan mulia, sekaligus mengusahakan sedemikian untuk menyediakan pendidikan dan budaya kepada Yesus Kristus, dengan keyakinan bahwa hanya di dalam Dia keselamatan hidup itu sangatlah mungkin.14 Demikianlah dengan mengikuti Don Bosco, kita sebagai Keluarga Salesian terpanggil untuk bersaksi dan mewartakan bahwa hidup manusia adalah suci dan tak dapat diganggu-gugat, dan karena itu tidak hanya tidak boleh dihilangkan tetapi harus secara positif dilindungi dan dibela. Nilai hidup merupakan bagian esensial dari Injil Yesus. Dalam suatu budaya dan peradaban yang memperlakukan hidup sampai ke akar-akarnya, Keluarga Salesian Don Bosco harus secara istimewa peka dalam menyediakan suatu pelayanan pendidikan yang memelihara dan menyambut semua kehidupan dan kehidupan setiap orang;15 A. da Silva Ferreira, Il dialogo tra don Bosco e il maestro Francesco Bodrato – 1864. RSS 3 (1984) 385. 13 J. Bosco, The Life of Dominic Savio … hl. 50, OE XI hl. 200 14 Bdk. P. Braido, op. cit. hl. 233 15 Bdk. EV 87 12 khususnya disiapkan untuk mendampingi dan melindungi, ditambah dengan hidup dan kelahirannya, hidup begitu banyak orang muda yang ada dalam ancaman, sebagaimana mereka berjuang dalam kemiskinan, marginalisasi, penderitaan, tiadanya harapan dan makna hidupnya. Khususnya demi kehidupan orang-orang muda inilah kita terpanggil untuk menjadi “tanda dan pembawa kasih Allah.”16 7. Komitmen Keluarga Salesian Atas Nama Kehidupan Gereja telah menerima Injil Kehidupan dan ditugaskan untuk mewartakannya dan membuatnya menjadi kenyataan. Panggilan dan perutusan ini menuntut sumbangan yang murah hati dari semua anggotanya termasuk Keluarga Salesian. Bersama kita perlu mengakui “tugas kita untuk mewartakan Injil Kehidupan, merayakannya dalam Liturgi dan di dalam segenap keberadaan kita, dan melayaninya dengan berbagai program dan sturktur yang mendukung dan memajukan kehidupan.”17 Dihadapkan pada pernyataan suci demikian atas nama kehidupan yang ditemukan berdampingan dengan sikap-sikap anti kehidupan yang begitu mendalam, pelayanan pastoral edukasi kita perlu bersaksi dan mewartakan nilai-nilainya bersama dengan kemauan dan niat kita untuk membela dan memajukan suatu budaya kehidupan yang sejati. 7.1. Mempertahankan nilai setiap hidup manusia Hidup manusia senantiasa dikelilingi oleh bahaya, ancaman kekerasan dan kematian. Kini tidak hanya ancaman terhadap hidup itu tidak dikurangi, tingkat ancamannya tambah mengejutkan, bahkan direncanakan dalam cara yang sistematik dan ilmiah. Kadang-kadang bahaya itu mencapai targetnya ketika kematian yang mengerikan dianggap sebagai suatu tanda kemajuan dan peradaban. Ancaman-ancaman lama tetap ada, yang berasal dari kebencian, kekerasan yang berasal dari pertentangan kepentingan (pembunuhan, perang, penganiayaan), dibuat menjadi lebih buruk oleh sikap tidak acuh dan tiadanya rasa solidaritas. Berdampingan dengan ini ada kekerasan yang dilancarkan terhadap jutaan umat manusia yang berjuang mempertahankan diri dan yang mati kelaparan, perdagangan senjata api yang memalukan yang dilakukan terus-menerus meskipun sudah banyak pernyataan penghentian, pengrusakan keseimbangan lingkungan hidup, menyebarnya narkoba, kecelakaan lalulintas, penyerangan teroris yang semuanya menyebabkan pembunuhan sesungguhnya yang besar-besaran. Dari awal mula hingga saat-saat terakhirnya hidup manusia itu ada di dalam kepungan kekerasan yang tak terbayangkan dari sesama manusia sendiri. Di hadapan awan gelap yang menyelubunginya sekarang ini, sangatlah perlu dan mendesak untuk mempertahankan nilai hidup manusia yang suci dan tak dapat diganggu-gugat itu. Oleh karena itu kita harus memajukan di antara kita sendiri dan di antara orang muda suatu sikap positif akan kehidupan. Hal ini mengandaikan beberapa hal: Mengakui bahwa hidup itu sebagai satu anugerah Sering hidup itu dianggap sebagai suatu hasil dari kemampuan dan kekuasaan manusia sendiri daripada suatu anugerah Allah. Mentalitas ini terbatas pada menghasilkan sesuatu yang dengan muda mengarah pada suatu diskriminasi yang tampaknya wajar atas mereka yang hidupnya memang tidak direncanakan, tidak menyenangkan atau “tidak produktif”: bayi yang tidak dilahirkan, orang lanjut usia, 16 17 Konstitusi SDB, 2 EV 79 orang cacat fisik dan mental, orang yang fisiknya rusak. Namun menganggap bahwa hidup itu suatu anugerah justeru mengarah pada menghidupinya dengan sikap penuh syukur dan terima kasih, pujian dan kegembiraan mendalam, dan membaktikan diri sendiri untuk memelihara dan mencintainya, berusaha untuk membangun semua potensi positifnya. Memajukan suatu pandangan menyeluruh tentang hidup Bagi semua manusia hidup itu jauh melebihi dari sekedar kesejahteraan materi atau kemajuan ekonomi; hidup merupakan suatu jalan menuju kepenuhan pribadi, suatu kepenuhan yang meliputi tidak hanya materi, ekonomi atau kegiatan sosial, tetapi juga kemajuan dalam hidup spiritual. Pembelaan atas hidup berarti bahwa kita siap mengambil tanggung jawab untuk saling memelihara, mencintai dan mengembangkan semua potensi dalam hidup dan dalam alam supaya mengarahkan mereka kepada kepenuhannya dan memberikan mereka suatu kualitas manusiawi yang sejati. Hidup dengan pandangan yang integral akan kehidupan juga meminta bahwa kita perlu mengatasi kesibukan yang dilebih-lebihkan, yang mencegah kita dari memberikan perhatian yang semestinya kepada aspek-aspekl lain dari hidup yang juga penting seperti kontak pribadi dan persahabatan, ketenangan dan kontemplasi, kegembiraan dan keindahan, kemurahan hati dalam pelayanan tanpa mementingkan diri saja. 7.2. Melindungi hidup orang miskin Setiap hidup manusia adalah istimewa dan pantas untuk dihargai. Ini berarti bahwa tidak hanya orang sehat, bermanfaat, hidup bahagia menjadi sangat berguna, tetapi juga yang kurang diperhitungkan, seperti orang sakit dan menderita, anak yang belum lahir, dan orang lanjut usia. Adalah tidak hanya hidup orang hebat atau berkuasa yang bernilai; melainkan juga hidup orang miskin dan terlantar. Sebagai putera dan puteri Don Bosco kita secara istimewa terpanggil untuk melindungi dan memerlihara hidup banyak orang muda yang harus bertumbuh dalam kemiskinan, pinggiran masyarakat umumnya dan kekayaan. Kita harus dapat merintis dan menciptakan di dalam dunia marginalisasi dan keterasingan kehadiran-kehadiran misioner dalam bentuk-bentuk yang baru. Di sini ada beberapa usulan praktis: Perhatian bagi orang muda yang ada dalam bahaya. Setiap pusat Salesian harus membaktikan diri dalam menanggapi tumbuhnya tantangan-tantangan yang dihadirkan oleh orang muda yang hidup dalam situasisituasi peminggiran dan dalam bahaya: anak-anak jalanan yang tak punya keluarga atau yang jauh dari rumahnya, orang muda yang tidak terampil dan menganggur; imigran, khususnya orang muda yang datang sendiri tanpa dengan keluarganya; orang muda yang terbawa ke dalam kejahatan atau yang mengalami pelecehan seksual, dan banyak orang muda lain dalam situasi-situasi yang memprihatinkan, di mana hidup manusia dibawa ke ambang bahaya dan penghinaan. Ini menjadi tugas kita untuk menyambut orang-rang muda ini, untuk membantu mereka menemukan suatu cinta akan kehidupan dan nilai-nilai sejati, untuk mendidik dan melatih mereka sedemikian rupa supaya mereka dapat memperoleh tempat yang layak di dalam masyarakat, untuk menemami mereka dalam menemukan suatu tempat dalam dunia kerja, membangun keterbukaan mereka kepada Allah sebagai satu unsur utama dalam menjadi manusia sepenuhnya; mengenalkan mereka akan Yesus Kristus dan membimbing mereka menuju hubungan yang pribadi denganNya dalam gaya hidup Kristiani yang sederhana, suka cita, positif dan disesuaikan dengan keadaan mereka. Pendampingan dan pertolongan bagi keluarga yang mengalami kesulitan Perhatian khusus harus diberikan kepada keluarga-keluarga yang hidup di bawah tekanan mengerikan atau yang sudah berantakan dan tercerai-berai, keluarga yang mengalami kesulitan serius dalam mendidik anak-anak mereka, dan keluarga-keluarga lain yang ada dalam situasi memprihatinkan. Dalam menanggapi Strenna tahun lalu banyak inisiatif dijalankan untuk mendukung dan membantu orang tua dalam tugas pendidikan mereka, untuk mendukung dan membimbing pasangan-pasangan yang ada dalam kesulitan, dalam pembentukan kelompok-kelompok keluarga dan komunitas dll. Saya mengundang kalian untuk meneruskannya. Dalam penjelasan Strenna 2006 saya mengusulkan serangkaian sikap dan kegiatan, dan saya mengundang kalian untuk mengkonsolidasikannya. Keluarga adalah tempat pertama bagi pembelaan dan pemajuan kehidupan, dan dengan demikian harus terus menjadi sasaran terpenting dari pelayanan pastoral kita. 7.3.Mendidik kepada nilai kehidupan Supaya dapat mempertahankan dan memelihara hidup perlulah mendidik kepada nilai kehidupan: “Untuk menjadi suatu masyarakat yang sungguh-sungguh dalam pelayanan kehidupan kita harus menawarkan kebenaran-kebenaran ini secara terusmenerus dan berani dari pertama kali pewartaan Injil, kemudian menyusul dalam katekese, dalam berbagai bentuk pewartaan, dalam dialog personal dan dalam semua kegiatan pendidikan.”18 Inilah tugas yang melibatkan kita semua: orang tua, pendidik, guru, katekis, teolog. Seperti yang telah dikatakan, generasi-generasi baru perlu menemukan di dalam diri orang tua, pendidik dan katekis “guru-guru kehidupan” yang sesungguhnya. Mereka melihat kita tidak hanya untuk pengetahuan, informasi atau doktrin, tetapi sebagai orang-orang yang dapat menunjukkan mereka suatu pola hidup positif dan mendorong serta menemani mereka dalam pengembangan kemungkinan dan kualitas mereka yang terbaik. Dengan hidup dan kata-kata kita harus dapat menekankan nilai hidup yang absolut, sambil membuat diri kita mencapai kualitas yang tertinggi, dan selalu memajukan sikap penghargaan yang tanpa syarat atas pribadi-pribadi, memiliki suatu pandangan yang positif dan penuh harapan terhadap mereka dan masa depannya, berjuang melawan apa saja yang menghambat mereka untuk hidup dengan martabat dan solidaritas. Sikap dan tindakan kita dalam situasi setiap hari yang biasa harus menjadi bagi orang muda suatu sekolah kehidupan yang sesungguhnya. Sebagai pendidik kita juga perlu mengetahui bagaimana membangunkan kembali dalam orang muda kegembiraan akan hidup, suatu penghormatan atas semua nilai manusiawi yang terdalam, bernilainya pelayanan tanpa pamrih kepada orang lain dan atas nama alam yang mengelilingi kita; kita perlu menumbuhkan di dalam mereka rasa akan kehidupan sebagai panggilan dan pelayanan serta mendidik mereka untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan aktif dalam pembangunan suatu masyarakat yang lebih manusiawi, lebih bebas dan bersatu padu. Satu aspek lain dari komitmen untuk mendidik kepada nilai kehidupan adalah “membantu orang muda untuk menerima dan mengalami seksualitas dan cinta serta seluruh hidupnya menurut maknanya yang sebenarnya dan dalam hubungan dekat antar-pribadi …Hanya cinta 18 EV 82 yang benar yang dapat melindungi kehidupan.”19 Berdasarkan hal ini ada kepentingan untuk membangun suatu pendidikan yang sebenarnya untuk mencintai, sesuai dengan pengalaman khas Don Bosco dan ciri khas sistem pendidikannya. Dalam usulan rencana pastoral menyertai Strenna tahun lalu beberapa langkah yang diikuti dalam petunjuk ini juga ditampilkan; adalah penting untuk sungguh-sungguh memakai langkah-langkah tersebut dalam seluruh proses pendidikan. Hanya dengan kesulitan orang dapat sampai pada suatu penghargaan atas hidup manusia jika tidak dihargai dalam keluarga, kalau di sana ada suasana kekerasan, kalau penghentian suatu hidup yang tidak menyenangkan atau diinginkan dianggap sebagai suatu tanda kemajuan, kalau kompetisi, kesuksesan atau kekuasaan dilihat sebagai tujuan-tujuan dalam hidup. Cara berpikir dan bersikap yang positif atau negatif diteruskan dalam hidup setiap hari dalam hidup keluarga. Keluarga mendidik dengan baik atau buruk melalui kata-kata dan teladan, melalui pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan, melalui hubungan-hubungan, melalui apa dia lakukan dan tanda-tanda konkret dia berikan. Dalam hubungan dengan tugas ini untuk mendidik kepada nilai kehidupan saya sebutkan beberapa tempat dan kegiatan pendidikan yang bagi saya sepertinya menyediakan kemungkinan-kemungkinan khusus, dengan syarat bahwa mereka memiliki suasana keluarga yang sesungguhnya. Saya bermaksud menyebutkan secara khusus dua tempat ini. Oratorium-Pusat Orang Muda dan Pelayanan Sukarela. a. Oratorium-Pusat Orang Muda, sebagai suatu tempat khas Salesian dengan suasana yang hidup dan menyambut serta tersedia dengan bebas bagi semua orang muda, sebuah tempat di mana mereka dapat mengatur diri dan belajar untuk memperoleh semangat akan hidup dan menjadi terlibat secara penuh di dalamnya, di mana ada hubungan satu sama lain yang terbuka dan murah hati antara pendidik dan orang muda, dan di mana mereka semua terlibat serta menunjang satu sama lain dalam proses pendidikan dan dalam pertumbuhan serta perkembangan manusiawi dan Kristiani. Oratorium Salesian dan Pusat Orang Muda bagi orang muda harus menjadi suatu “latihan bagi kehidupan dan hidup Kristiani” yang sesungguhnya; tempat di mana mereka dapat menghidupi diri mereka sendiri, mengungkapkan dan membangun nilai mereka sendiri, kemampuan-kemampuan kepemimpinan mereka, hubungan mereka antar-pribadi; suatu tempat juga di mana mereka dapat menemukan programprogram pendidikan yang positif dan signifikan dan orang-orang yang akan menyambut dan menemani mereka. Agar Oratorium Salesian dapat secara efektif menjalankan peran ini bagi kehidupan diperlukan beberapa syarat penting yang dipenuhi: - Dia harus merupakan suatu tempat terbuka di mana perhatian diberikan pada relasi menusiawi, sehingga mereka gembira karena bersama-sama dan dapat berbicara serta mengungkapkan diri mereka secara bebas; - Dia harus mendorong berbagai kegiatan yang berguna bagi orang muda yang berkaitan dengan harapan-harapan dan kebutuhan-kebutuhan mereka; - Dia harus menyediakan kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk bertindak sebagai pemimpin; 19 EV 97 - Dia harus mengembangkan kehadiran aktif orang-orang dewasa, dewasa muda dan para pemimpin yang orang muda jadikan teladan dan yang menguatkan mereka; - Dia harus menyediakan pendidikan dan program budaya dengan kualitas tinggi; - Dia harus mempunyai suatu program penginjilan dan pendidikan iman yang berakar di dalam hidup orang muda. Dengan cara ini Oratorium akan menjadi tempat di mana orang muda dapat membawa bersama dan mengatur diri mereka sendiri akan apa yang mereka dengar dan alami, dan nilai-nilai yang mereka temukan di mana pun (dalam keluarga, sekolah, paroki, dalam pergaulan dengan teman-teman mereka, dll) dan membangun suatu pola hidup yang berarti bagi masa depan mereka. b. Pelayanan Sukarela merupakan suatu pengalaman penting bagi orang muda, khususnya ketika mereka sedang memikirkan masa depan mereka; dapat lebih daripada sekedar pergantian pengalaman hidup seseorang, dan menjadi suatu sekolah kehidupan sejati yang dimengerti sebagai pelayanan tanpa pamrih dan efektif dalam situasi-situasi persiapan yang membantu mencapai kedewasaan dan ketika hal itu melibatkan bimbingan pribadi dan kelompok, membantu untuk mengembangkan pilihan hidup pribadi dan membantu menumbuhkannya. Dalam menjalankan pelayanan sukarela orang muda dewasa belajar untuk menjadi warga negara yang bertanggung dan orang Kristiani yang baik. 7.4. Mewartakan Yesus Kristus sebagai makna dan sumber kehidupan Pewartaan Injil Kehidupan harus mengarahkan orang muda pada pertemuan dan hubungan pribadi dengan Yesus Kristus, yang di dalam Dia mereka dapat menemukan model, jalan dan kekuatan untuk hidup manusia yang utuh. Mungkin evangelisasi tak pernah menjadi begitu mendesak seperti sekarang ini; pewartaan akan Yesus, di hadapan sebuah dunia yang mengagungkan model-model yang memperdayakan dan menggairahkan, yang dapat memberi makna hidup yang sebenarnya. Sangat sering orang muda menderita karena kehampaan jiwa yang begitu besar yang mereka lampiaskan dengan kenikmatan, penghiburan, seks dan narkoba, atau bahkan masuk dalam cara-cara yang bobrok seperti kekerasan dan kriminal. Tetapi bukan kenikmatan, bukan juga pemanfaatan atau memasukkan diri ke dalam berbagai cara pada saat ini untuk pemuasan aspirasi dan kebutuhan mereka. Ada juga banyak orang muda yang hidup dalam situasi sosial dan ekonomi yang terasingkan atau kerapuhan pribadi yang serius di dalam dunia kehidupan yang begitu keras. Sangatlah tepat bahwa di dalam situasi-situasi inilah Injil Allah yang merupakan sahabat kehidupan perlu diwartakan sebagai “kabar gembira”, bahwa Yesus Kristus dan rencanaNya bagi kebahagiaan sangat perlu dihadirkan. Evangelisasi adalah perwujudan yang paling baik hidup manusia yang penuh dan bahagia. Oleh karena itu kita perlu bertindak untuk menjalankannya dalam cara yang benar dan dengan dedikasi di semua tempat di mana orang muda berada. Berdasarkan berbagai hal ini, evangelisasi membutuhkan pengungkapannya dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi orang muda yang dengannya kita bekerja. Saya akan menyebutkan tiga bentuk yang penting: - Di dalam situasi-situasi di mana orang muda hidup dalam pola hidup materialis atau kehampaan karena cara hidup yang tidak peduli dan dangkal, - - kita akan menyediakan bagi mereka suatu proses yang bertahap, yang membantu mereka untuk menemukan dan menghargai nilai-nilai yang lebih positif dan mendalam dan untuk mengalami kegembiraan rohani dan ketenangan, untuk membangun kembali di dalam mereka hasrat untuk menemukan makna, untuk membuka diri mereka kepada Allah, mengembangkan dimensi hidup rohani mereka. Berkenaan dengan orang muda yang penghayatan agamanya sekedar sebagai kebiasaan, dangkal atau hanya untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan sendiri, kita akan membantu mereka untuk menemukan pribadi Yesus, untuk menjadi antusias tentang Dia dan mengembangkan di dalam diri mereka sendiri pilihan pribadi yang pasti untuk mengikuti Dia, bertindak sungguhsungguh dalam proses pendidikan kepada iman. Sebaliknya, bagi mereka yang sudah ambil bagian dalam kelompok-kelompok atau gerakan pembinaan Kristiani kita menyediakan suatu program sistematis yang membantu mereka untuk membuat iman mereka sesuatu yang sungguhsungguh pribadi, untuk dapat merayakannya dan menghayatinya dalam hidup sampai menjadi suatu pilihan panggilan hidup Kristiani yang dewasa. Mengembangkan program-program pendidikan ini kepada iman merupakan sumbangan terpenting dan istimewa yang dapat kita buat dalam komitmen kita pada kehidupan. 7.5.Bersyukur atas hidup dan merayakannya Buah dari pewartaan injil kehidupan ialah kegembiraan, kekaguman, pujian dan syukur kepada Allah pencinta kehidupan karena anugerahNya. Pewartaan itu membangkitkan suatu sikap mendasar untuk merayakan injil kehidupan. Setiap kehidupan merupakan anugerah Allah tidak hanya dengan dimensi komitmen dan tugas untuk pemenuhannya, tetapi juga dimensi penyembahan. Sudah di dalam hidup itu sendiri ada suatu ungkapan pujian sebab setiap hidup manusia merupakan suatu keajaiban cinta. Menerima hidup itu sudah berarti pujian dan suykur. Merayakan kehidupan menuntun dan menuntut kita untuk menanamkan suatu cara kontemplatif dalam melihat benda-benda: alam, dunia, ciptaan, kehidupan, yang terhadapnya kita sering bersikap utilitarian atau memanfaatkan semata; terhadap pribadi-pribadi, yang dengannya kita sering bertahan dengan relasi yang superfisial atau fungsional belaka; terhadap masyarakat dan sejarah yang banyak kali kita hanya memandang dari sudut pandang kepentingan diri kita sendiri …Kita perlu mengatasi sikap mementingkan diri untuk sampai kepada sesuatu yang kontemplatif, yang berarti melihat secara mendalam agar dapat menemukan dan mengagumi keindahan dan kebesaran dunia pribadi-pribadi manusia dan sejarahnya. Kita perlu belajar untuk menyambut, menghargai dan mencintai benda-benda, orang, hidup dalam semua bentuknya. Sangatlah perlu untuk mengetahui bagaimana menghargai keheningan, belajar bagaimana mendengar dengan sabar, kagum dan heran terhadap yang tidak diharapkan dan tak terbayangkan. Sangatlah perlu untuk mengetahui bagaimana menyediakan ruang bagi orang lain, mampu membangun suatu hubungan baru yang dekat dan yang ada kepercayaan dengannya. Dari sikap konteplatif ini mengalir pujian dan doa. Merayakan kehidupan adalah memuji, mencintai dan berdoa kepada Allah kehidupan, yang menyatukan kembali kita bersama dalam rahim bunda kita. Ini berarti memuji dan berterima kasih kepadaNya: “Aku bersyukur kepadaMu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib semua yang Engkau buat” (Mz 139, 14). Hidup manusia adalah salah satu keajaiban terbesar dari ciptaan. 7.6.Pemeliharaan ciptaan dengan cinta Allah biòfilo (philopsychos merupakan istilah yang dipakai dalam Kitab Kebijaksanaan 11, 26) tidak hanya mencintai hidup manusia, Dia mencintai semua kehidupan, sebab semua ciptaan merupakan karya cintaNya. Sama seperti nilai dan martabat hidup manusia, Kitab Suci dari halaman-halaman permulaan juga mengungkapkan secara terang-terangan suatu pengakuan akan kebaikan alam: “Allah melihat segala sesuatu yang telah dibuatNya dan semua itu baik adanya” (Kej 1, 31). Binatang, tumbuhan, cakrawala, matahari, lautan …segala sesuatu baik, segala sesuatu memiliki nilai dalam dirinya. Tetapi pengakuan ini menjadi sesungguhnya hanya kalau manusia mengakui martabat bumi, menunjukkan penghargaan terhadap alam, menyambut dan menerima kekayaan yang menjadi bagian dari ciptaan. Dan hanya dengan pengakuan sejati ini kita dibawa kepada sikap untuk mengamini kelayakan dan hak-haknya, dan dengan demikian kita menolak pengrusakan dan penyalahgunaannya, dan pengembangan lingkungan dengan penuh hormat serta hidup harmonis dengan alam. Masyarakat industri telah mengembangkan produksi dan efisiensi, tetapi sudah sering merendahkan manusia, menggantikannya menjadi penghasil dan pemakai belaka. Budaya kehidupan menuntun kepada suatu sikap ekologis yang sesungguhnya: cinta akan manusia, binatang dan tetumbuhan, cinta terhadap segenap ciptaan, komitmen untuk membela dan mengembangkan semua tanda kehidupan yang melawan mekanisme pengrusakan dan kematian. Di hadapan ancaman pengeksploitasian yang tak terbendung, pengrusakan alam, pembangunan yang mandeg, baiklah kita mengingat kata-kata Pemimpin Besar Seattle: yang melukai Bumi, melukai putera dan puteri Bumi. Ekologi adalah ungkapan sejati solidaritas manusia yang tentu saya mencakup konservasi dan penggunaan sumber-sumber dari Bumi – sebagaimana Tahta Suci tegaskan dalam satu dokumen yang dihasilkan dalam persiapan untuk Pertemuan Pucak Dunia tentang Pembangunan Berkesinambungan pada 2002. Pembangunan dalam hal ini perlu didasarkan pada “nilai-nilai etis yang kuat, yang tanpa denganya kemajuan berkesinambungan tidak bertahan.” Oleh karena itu “hal mengenai pembangunan berkesinambungan hanya dapat dipahami dari perspektif manusia dan pembangunan yang utuh.” Dalam hal ini pembangunan itu menghendaki agar istilah “ekologi manusia” dipakai supaya “menjamin dan menjaga prasyarat-prasyarat moral penting dalam kegiatan-kegiatan manusia dengan lingkungan.” Pemeliharaan keluarga, pemajuan dan perlindungan kerja, perjuangan melawan kemiskinan, pengembangan pendidikan dan pelayanan kesehatan, solidaritas antar negara untuk pelayanan-pelayanan bagi pembangunan manusia yang utuh …merupakan beberapa elemen yang disampaikan oleh Tahta Suci demi suatu ekologi yang layak bagi manusia.20 20 Bdk. Dokumen Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian pada waktu Pertemuan Puncak Dunia tentang Pembangunan berkesinambingan di Johanesburg (26 Agustus – 4 September 2002). Pemeliharaan dan cinta terhadap ciptaan, suatu komitmen dan perhatian kepada ekologi, perlu dikembangkan dalam hidup setiap hari, mendidik diri kita sendiri dan orang muda untuk menghargai alam dan memeliharanya, dengan menggunakan benda-benda yang baik yang disediakan olehnya (air, tumbuhan, binatang, bendabenda lain …) dengan bijaksana dan selalu menyadari kebaikan setiap orang, dengan mendorong suatu komitmen positif akan perlindungan dan pembangunan bumi yang berkesinambungan dan sumber-sumber alam … Saat ini, membentuk dan membangun suatu mentalitas ekologi serta sikap merupakan suatu aspek penting dari pendidikan yang menyeluruh. Bagaimana kita bersikap acuh saja akan hal ini tanpa mengingat Santu Fransiskus dari Asisi dan Nyanyiannya tentang penciptaan? “Tuhan yang maha baik, maha tinggi, maha kuasa, milikmulah segala pujian, kemuliaan dan penghormatan dan segala berkat. Hanya kepadaMulah, yang maha tinggi, mereka milikMu, dan tak seorang pun pantas menyebut namaMu. Terpujilah, Tuhanku, dalam segala ciptaanMu, khususnya melalui tuanku Saudara Matahari, yang membawa siang; dan Engkau memberikan terang melalui dia. Dan dia tampak indah dan bercahaya dalam semua keperkasaannya! Dari padaMu, yang maha tinggi, dia membawa rupaMu. Terpujilah Engkau, Tuhanku, melalui Saudari Bulan dan bintang-bintang, di cakrawala Engkau mengatur mereka menjadi terang dan istimewa serta indah. Terpujilah Engaku, Tuhanku, melalui Saudara Angin, dan melalui udara, berawan dan cerah, dan setiap jenis cuaca yang melaluinya Engkau memberikan pemeliharaan bagi ciptaanMu. Terpujilah Engkau, Tuhanku, melalui Saudari Ibu Bumi, yang menopang kami dan memerintah kami serta menghasilkan berbagai buahan dengan bunga berwarna-warni serta tetanaman. Terpujilah Engkau, Tuhanku, melalui mereka yang memberi pengampunan demi kasihMu, dan menanggung kelemahan dan kesengsaraan. Berbahagialah mereka yang hidup dalam damai karena olehMu, yang maha tinggi, mereka akan dimahkotai. Terpujilah Engkau, Tuhanku, melalui Saudari kami Kematian Badan, bahwa tidak seorang manusia hidup pun bebas darinya. Terkutuklah mereka yang mati dalam dosa berat. Berbahagialah mereka yang kematiannya akan berjumpa dengan kehendakMu yang maha suci, karena kematian kedua tidak akan membahayakan mereka. Terpujilah dan terberkatilah Tuhanku, dan syukur kepadaNya dan melayaniNya dengan kerendahan hati yang besar.” 8. Kesimpulan: Dua Teks untuk Dibagikan Sebagai kesimpulan atas apa yang telah dikatakan, pertama-tama saya persembahkan kepada kalian sebuah teks yang ditulis oleh orang-orang dari tradisi agama yang berbeda-beda yang bertemu pada Pertemuan IV Perwakilan Agama-agama Dunia di Barcelona pada tahun 2004: PERSEMBAHAN KEPADA DUNIA Kita warga dunia, orang-orang yang sedang berlangkah, orang-orang yang sedang mencari, pewaris tradisi-tradisi purbakala yang diteruskan, ingin menyatakan: - bahwa hidup manusia pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang mengagumkan; bahwa alam adalah ibu dan hati kita, dan harus dicintai dan dilestarikan; - bahwa damai harus dibangun dengan kepastian, dengan keadilan, dengan pengampunan dan kemurahan hati; - bahwa perbedaan budaya merupakan suatu aset besar dan bukan suatu halangan; - bahwa dunia ini tampak sebagai suatu harta jika kita menghidupinya dalam kualitas yang sesungguhnya, dan bahwa agama-agama hendak menjadi jalan-jalan menuju kualitas itu; - bahwa dalam pencariannya, agama-agama menemukan kekuatan dan makna dengan terbuka kepada Misteri yang tak dapat dipahami; - bahwa membuat komunitas membantu kita dalam pengalaman ini; - bahwa agama-agama dapat menjadi titik awal bagi damai dalam hati, bagi harmoni dengan diri sendiri dan dengan dunia, yang dapat menjadi suatu ketakjuban, kegembiraan, pandangan penuh syukur; - bahwa kita yang berasal dari tradisi-tradisi agama yang berbeda ingin berbicara kepada satu sama lain; - bahwa kita ingin menunjukkan peran kita dengan setiap orang dalam perjuangan untuk membuat suatu dunia yang lebih baik, untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan yang serius: kelaparan dan kemiskinan, perang dan kekerasan, pengrusakan lingkungan alam, tiadanya keterbukaan untuk suatu pengalaman hidup yang mendalam, tiadanya penghargaan karena kebebasan dan perbedaan; - dan bahwa kita ingin berbagi dengan setiap orang buah pencarian kita demi aspirasi-aspirasi tertinggi umat manusia, dengan penghargaan yang paling radikal atas keberadaan setiap pribadi dan dengan tujuan supaya semuanya dapat menikmati suatu kehidupan bersama yang layak. Teks kedua yang saya persembahkan kepada kalian sebagai kesimpulan ialah, seperti dalam tahun-tahun lalu, satu dongeng yang menunjukkan pentingnya suatu sikap positif terhadap kehidupan. Teks ini menandakan perbedaan antara budaya kematian yang kita hidupi tanpa sungguh menyadarinya, dan budaya kehidupan yang mengisi hidup kita sendiri dan orang lain dengan kegembiraan, dengan warna dan dengan kemurahan hati. Ketika mengunjungi Belarusia, saya amat senang terkesan dengan sekelompok orang muda yang saya temui di Minsk dan dengan satu penampilan panggung mereka menyuguhkan suatu cerita. Saya sangat suka cerita itu dan sepertinya bagi saya sangat mencerahkan sehingga saya berkata pada diri saya: inilah yang ingin saya bagikan kepada seluruh Keluarga Salesian, inilah yang ingin saya lakukan dengan setiap orang anggota-anggotanya: memberikan mereka payung kuningku, payung yang saya juga terima dari Don Bosco. PAYUNG KUNING Pada suatu ketika ada sebuah negeri yang kelabu dan sedih, di mana ketika datang hujan semua orang pergi di sekitar jalan-jalan dengan memakai payung-payung berwarna hitam. Semuanya hitam. Setiap orang menampakkan wajah sedih yang tidak menyenangkan …Tetapi tidak mungkin berubah menjadi baik karena berada di bawah payung hitam! Suatu hari ketika hujan turun lebih lebat dari pada biasanya, tiba-tiba seorang laki-laki yang agak aneh muncul dengan berani berjalan dalam banjir …di bawah payung kuning. Dan sepertinya penampakan itu belum cukup, dia tersenyum. Sungguh, tersenyum! Beberapa orang yang lewat melihatnya dari bawah payung hitam yang mereka bawa, merasa bahwa tampak lelaki itu memalukan. Maka mereka berkomat-kamit mengeluh: “Lihat itu, sangat memalukan! Dia benar-benar menggelikan dengan payung kuning itu. Hujan merupakan satu urusan serius maka payung hanya bisa berwarna hitam!” Mereka yang lain justeru marah lalu berkata satu kepada yang lain dengan sangat marah: “Sudah gilakah dia, berjalan dalam hujan dengan memakai payung kuning?Dasar sombong!” Mereka yang lain lagi pergi melapor pihak penguasa: “Dia sebenarnya seseorang yang amat sombong yang ingin supaya semua orang memperhatikannya. Apakah dia mungkin berpikir hal itu lucu?” Yang jelas tidak ada sesuatu yang lucu dalam negeri itu, ketika setiap kali hujan semua payung berwarna hitam. Hanya Natasha yang sungguh tidak dapat mengerti tanggapan-tanggapan negatif tersebut. Dia terus saja berpikir mengenai satu hal: “Kalau datang hujan, sebuah payung adalah sebuah payung. Kuning atau hitam, persoalannya ialah bahwa dia menahan hujan, di atas dan keluar!” Terlebih lagi, dia melihat bahwa lelaki itu sepertinya begitu lega dan sungguh gembira di bawah payung kuning. Maka dia berkeinginan sekali untuk lebih mengetahhui tentang itu. Suatu hari waktu pulang sekolah, Natasha sadar bahwa dia telah meninggalkan payung hitamnya di rumah. Dia tidak menghiraukannya dan mulai berjalan tanpa penutup kepala sehingga rambutnya basah. Kebetulan sekali …Oh! Itu dia lelaki dengan payung kuning! … “Maukah engkau ikut berlindung?” Natasha merasa ragu. Kalau dia menerima orang-orang akan mempermainkan dia. Tetapi kemudian dia berpikiran lain: “Kalau hujan datang payung adalah payung. Apakah itu warnanya kuning atau hitam apa masalahnya? Lebih baik mempunyai sebuah payung dari pada menjadi basahkuyup dalam hujan!” Dia menerima dan berlindung di bawah payung kuning dan berjalan di samping lakilaki itu. Lalu dia mengerti mengapa lelaki itu merasa bahagia: di bawah payung kuning tidak ada lagi satu pun cuaca buruk! Ada kehangatan besar dari matahari dan langit biru dan burung-burung sedang beterbangan sambil berkicau. Natasha terheran, dan laki-laki itu meledak tertawa: “Saya mengerti! Engkau terheran! Dengar saja pada saya dan saya akan menjelaskan semuanya. Pada suatu ketika saya juga merasa sedih dalam negeri ini ketika selalu turun hujan. Saya juga punya sebuah payung hitam. Suatu hari ketika kembali dari kantor, saya lupa dan meninggalkannya di gantungan payung. Tetapi saya tidak pulang untuk mengambilnya, maka saya mulai berjalan pulang ke rumah tanpa sesuatu untuk berlindung. Di perjalanan saya bertemu seorang laki-laki yang menawarkan saya perlindungan di bawah payungnya berwarna kuning. Saya merasa ragu. Seperti engkau. Saya takut menjadi berbeda, membuat diri saya menggelikan. Tetapi saya lalu menerimanya sebab saya justeru lebih takut jatuh sakit pilek. Dan saya melihat, seperti engkau, bahwa di bawah payung kuning cuaca buruk lenyap. Orang itu mengajarkan saya bahwa orang yang ada di bawah payung hitam merasa sedih dan tidak ingin berbicara. Derai hujan dan hitamnya payung membuat mereka bersedih hati. Ketika tiba-tiba saya tidak melihatnya lagi, saya sadar bahwa saya sedang memegang payungnya yang berwarna kuning. Apakah dia lupa? Saya melihat sekekeliling tetapi tidak menemukannya. Maka saya menyimpannya dan cuaca yang baik tidak pernah meninggalkan saya.” Natasha berseru: “Alangkah menariknya cerita itu! Apakah anda tidak malu menyimpan payung milik orang lain?” “Tidak, sebab saya benar-benar tahu bahwa payung ini milik setiap orang. Tidak meragukan bahwa orang itu juga menerimanya dari seorang yang lain.” Pada saat mereka sampai ke luar rumah Natasha mereka berpamitan. Begitu laki-laki itu segera menghilang, gadis itu menyadari bahwa dia sedang memegang payung kuning itu. Tetapi siapa tahu ke mana laki-laki itu telah pergi! Maka Natasha menyimpan payung kuning itu tetapi dia tahu bahwa cepat atau lambat, payung itu punya pemilik lain, akan berpindah ke tangan yang lain untuk membawa kebahagiaan kepada orang lain. Saya hendak mengakhiri ini dengan menyampaikan Bahagia Tahun Baru 2007, dengan harapan untuk menjadi orang-orang beriman sesungguhnya yang mencintai kehidupan, sambil bersama Dia, sebagai Keluarga Salesian, kita membangun suatu budaya kehidupan. Pastor Pascual Chavez Villanueva Rektor Mayor.