Amankah Beras yang Kita Makan?

advertisement
Amankah Beras yang Kita Makan?
Terlalu bombastiskah pertanyaan
ini? Mungkin ya, mungkin juga
tidak. Sebab kita selalu menginginkan apa yang kita makan bukan menjadi racun bagi tubuh kita.
P
ertanyaan di atas mungkin tidak
akan timbul dari benak kita pada tahun enam puluhan, sebab saat
itu usaha tani yang menghasilkan
beras masih dilakukan secara organik dengan sangat sedikit menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Sekarang pertanyaan tersebut perlu dimunculkan, sebab
bahan kimia berbahaya semakin akrab
dalam kehidupan kita. Bahan-bahan
kimia yang sangat berbahaya, kadangkadang tidak dianggap berbahaya
karena ketidaktahuan akan bahayanya.
Sebagai contoh adalah merkuri
yang disebut juga hidrargirum (Hg).
Di negara maju, bahan ini sangat
ditakuti; apabila tumpah ke karpet
maka petugas kebersihan segera
membersihkannya dengan peralatan
yang canggih. Mereka takut menghirup uap merkuri karena sangat
beracun. Kejadian sebaliknya terjadi
di negara kita. Para penambang
emas tradisional menggunakan
merkuri untuk menangkap dan memisahkan butir-butir emas dari
butir-butir batuan yang dihancurkan
menggunakan mesin. Merkuri dibiarkan mengendap di bagian bawah
mesin penggiling batu. Ketika penghancuran batu dianggap selesai, air
dan lumpur yang masih terdapat
sisa endapan merkuri yang mungkin
mengandung emas dibuang ke
selokan. Endapan merkuri ini
disaring menggunakan kain dan
untuk menentukan apakah endapan
masih mengandung emas atau tidak
cukup diremas-remas dengan
tangan penambang tanpa perasaan
takut.
Karena ketidaktahuan lah penambang tersebut berbuat demikian. Karena ketidaktahuan penam-
bang pula, air sisa-sisa penambangan yang mengandung merkuri
dibiarkan mengalir ke dalam selokan yang dijadikan irigasi. Ironisnya, petani tidak memprotes penambang yang telah mencemari air
irigasinya dengan merkuri. Ini terjadi juga karena ketidaktahuan petani. Seandainya petani sudah tahu,
tentu petani lah yang pertamatama protes terhadap perbuatan
penambang emas tradisional tersebut.
Petani tidak merasa dirugikan
dengan adanya penambangan emas
tradisional, sebab padi yang mereka
tanam di sawah tidak menunjukkan
adanya gangguan pencemaran.
Pertumbuhan padi tetap baik,
hasilnya pun tidak merosot, tetapi
bagaimana kualitas hasilnya?
Pastilah mengandung merkuri yang
menurut kesehatan telah melampaui ambang batas yang dibolehkan. Mungkin beras itu telah kita
makan, dan apabila makanan kita
terus-menerus mengandung merkuri, maka pada suatu saat kita
akan merasakan banyak keluhan
tentang kesehatan tubuh kita. Namun bukan itu yang ingin dibicarakan di sini, tetapi sebuah pertanyaan amankah beras yang kita
makan dari bahan-bahan beracun
berbahaya. Untuk memperoleh beras
yang aman dikonsumsi, padi harus
ditanam pada tanah sawah yang
bagaimana, apakah diperlukan
kriteria tentang baku mutu tanah dari
sebidang lahan pertanian?
Jawabannya tentu sudah jelas,
untuk memperoleh beras yang
aman diperlukan sawah yang tidak
tercemar. Agar sawah tidak tercemar kita membutuhkan kriteria
baku mutu tanah bagi bahan beracun berbahaya.
Indikator Baku Mutu Tanah
Indikator baku mutu tanah
yang menjadi perhatian kita adalah
menentukan ambang batas kandungan logam berat beracun berbahaya di dalam tanah sawah.
Bahan beracun berbahaya dalam
bentuk logam berat dapat berupa
merkuri (Hg), timbal (Pb), timah
(Sn), tembaga (Cu), arsenikum (As),
seng (Zn) dan sebagainya. Keenam
unsur tersebut telah ditetapkan ambang batasnya bagi tepung oleh
Ditjen POM Depkes pada tahun
1989 dengan surat keputusan No.
03725/B/SK/VII/89. Masih banyak
logam berat beracun yang belum
masuk ke dalam daftar tersebut,
seperti kadmium, boron, dan
chromium.
Logam berat beracun berbahaya (LB3) dapat berasal dari bahan
induk tanah yang secara alami
Sudah yakinkah anda dengan keamanan beras yang anda konsumsi setiap hari?
1
mengandung bahan-bahan ter-sebut,
tetapi dapat juga berasal dari luar lahan.
Indikasi bahwa LB3 ber-asal dari
bahan induk tanah adalah penumpukan
bahan-bahan tersebut yang berada di
lapisan bawah dengan kedalaman
biasanya lebih dari 1,5 m. Jika bahan
tersebut merupakan masukan dari luar
lahan pertanian, maka penumpukan
LB3 terjadi pada lapisan tanah
bagian atas atau berada di
permukaan tanah.
Cara mudah untuk menetapkan
indikator baku mutu tanah bagi LB3
adalah dengan cara menganalisis
jumlah LB3 di dalam tanah dan jaringan
tanaman yang dikonsumsi oleh
manusia dan hewan. Jika hasil analisis
jaringan tanaman menunjukkan hasil
yang lebih tinggi dari indikator yang
ditetapkan Ditjen POM, maka
lahan telah tercemar. Ditjen POM
selain telah menetapkan ambang
batas untuk tepung, juga telah
menetapkan ambang batas keenam zat kimia tersebut untuk
sayuran, buah olahan, dan bahanbahan lainnya. Namun yang perlu
diingat bahwa setiap tanaman
mempunyai toleransi yang berbeda
untuk setiap unsur LB3. Tanaman
tertentu rentan dan jenis tanaman
lainnya resisten terhadap jumlah
LB3 di dalam tanah, karena tanaman mempunyai mekanisme
tertentu dalam menjerap LB3 dan
mentranslokasikannya ke jaringan
tanaman.
Penetapan indikator baku mutu
yang berdasarkan pada baku mutu
bahan makanan cocok untuk
dikembangkan, sebab berapa pun
hasil panen yang akan diperoleh petani
pada akhirnya akan menjadi bahan
pangan bagi manusia atau hewan.
Tabel 1 menyajikan ambang batas
LB3 pada beberapa komoditas pertanian yang dijadikan bahan pangan. Ambang batas kadmium
yang belum tercantum dalam SK
Ditjen POM, di negara lain seperti
Belanda dan Jerman sebesar 0,1 0,15 mg/kg untuk biji-bijian,
sedangkan untuk umbi-umbian 0,1
mg/kg dan untuk padi di Jepang
ditetapkan 1,0 mg/kg.
Beberapa Kasus Pencemaran
Kandungan merkuri dalam beras dari sawah yang memanfaatkan
irigasi dari air yang mengandung
limbah penambangan emas tradisional di Nunggul dan Kalongliud
sekitar Pongkor, Bogor, Jawa Barat
masing-masing mencapai 0,45 dan
0,25 mg/kg beras. Di Nunggul beras
berasal dari sawah yang jaraknya
sekitar 1 km dari tempat pengolahan biji emas, sedangkan di
Kalongliud jaraknya mencapai 7
km. Memperhatikan kondisi ini,
maka diperlukan pembinaan yang
terus menerus kepada pengusaha
pengolahan biji emas agar tidak
menggunakan merkuri, atau harus
mengolah limbahnya agar merkuri
tidak hanyut dan masuk ke aliran
sungai atau irigasi.
Kasus lain terjadi di Rancaekek,
Kabupaten Bandung. Dalam kasus
yang cukup terkenal itu, petani dan
masyarakat pemilik sawah telah
mengajukan keberatan kepada
pemilik pabrik sejak tahun 1991,
dan sampai tahun 2000 yang lalu
kasusnya masih belum tuntas.
Menurut Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Kabupaten Bandung, lahan
sawah yang tercemar limbah pabrik
mencapai 395 ha. Hasil analisis
menunjukkan bahwa beras dari
lahan yang tercemar mengandung
kadmium 1,53 mg/kg dan timbal
0,66 mg/kg. Unsur kadmium telah
melampaui ambang batas (0,05
mg/kg) dan timbal hampir melampauinya. Pada tanaman petsai,
kandungan unsur kadmium, timbal,
dan seng telah melampaui ambang
batas.
Monitoring Sangat Diperlukan
Kasus pencemaran di atas
merupakan peringatan bagi kita,
bahwa lahan sawah yang lain pun
mungkin akan mengalami peningkatan LB3. Jika hal ini terjadi maka
peluang peningkatan LB3 dalam
bahan pangan akan meningkat
pula. Agar hal ini tidak terjadi maka
berbagai pihak yang terkait perlu
mencari upaya mencegah terjadinya pemanfaatan LB3 yang berlebihan agar tidak mencemari lahan
sawah.
Monitoring terhadap kualitas
air irigasi menjadi sangat penting
untuk mencari bukti asal limbah
yang masuk ke lokasi tersebut.
Hasil monitoring ini dapat digunakan untuk memberikan teguran
kepada siapa pun yang membuang
limbah LB3 ke dalam aliran sungai
dan irigasi. Sebetulnya sawah dapat
terlindung dari LB3 apabila industri
membuang limbah yang telah diolah, sehingga limbah yang ke luar
dari pabrik atau pengolahan hasil
tambang tidak mengandung LB3
yang terlampau tinggi (S. Sutono).
Untuk informasi lebih lanjut
hubungi:
Tabel 1. Ambang batas logam berat beracun berbahaya (LB3) pada beberapa
komoditas pertanian yang dijadikan bahan makanan1)
Jenis komoditas
Tepung dan hasil olahannya
Buah dan hasil olahannya
Sayur dan hasil olahannya
1)
2
Ambang batas LB3 (mg/kg)
As
Cu
Hg
Pb
Sn
Zn
0,05
1,00
1,00
10,00
5,00
5,00
0,05
0,03
0,03
1,00
2,00
2,00
40,00
40,00
40,00
40,00
40,00
Dihitung terhadap makanan yang siap dikonsumsi.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan
Agroklimat
Jln. Ir. Juanda 98
Bogor 16123
Telepon : (0251) 323012
Faksimile : (0251) 311256
E-mail
: [email protected].
net.id
Download