(ENSO-El Niño Southern Oscillation).

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).
Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan
anomali kondisi iklim yang berkepanjangan. Fenomena ENSO ini melibatkan
interaksi dua fenomena yang saling berlawanan fasa. Dimana fasa panas disebut
sebagai kondisi El Niño dan fasa dingin disebut sebagai kondisi La Niña di daerah
Niño 3.4 (Gambar 2.1). Kejadiannya bersifat periodik dan umumnya terjadi dalam
kurun waktu 2-10 tahunan.
Gambar 2.1
Daerah Indikator Anomali Sea Surface Temperature (SST) di Niño
3.4 (Sumber: www.Jamstec.go.jp)
Gambar 2.2a dan 2.2b menggambarkan Anomali SST di daerah Niño 3.4 yang
menunjukkan kejadian EL Niño (anomali SST positif) dan kejadian La Niña (anomali
SST negatif).
Gambar 2.2. Grafik enam kejadian terbesar (a) El Niño dan (b) La Niña ditunjukkan dengan
nilai Anomali SST di Niño 3.4 (sumber: http://iri.columbia.edu/climate/)
Tabel berikut ini menunjukkan catatan kejadian El Niño dan La Niña yang diperoleh
dari situs http://www.cdc.noaa.gov/ENSO.
Tabel 2.1 Tabel Kejadian El Niño- La Niña
El Niño
La Niña
1951-1952
1953-1954
1957-1958
1965-1966
1950-1951
1955-1956
1969-1970
1972-1973
1976-1977
1977-1978
1982-1983
1970-1971
1973-1974
1975-1976
1986-1987
1991-1992
1994-1995
1997-1998
2002-2003
2004-2005
1988-1989
1995-1996
1998-1999
1999-2000
2005-2006
2.1.1
El Niño dan La Niña
El Niño dan La Niña adalah fenomena variabilitas iklim yang pengaruhnya melanda
kawasan Indonesia, Pasifik khatulistiwa, dan di belahan dunia lainnya. Salah satu
dampak
negatif
yang
dirasakan
secara
langsung
berupa
kemarau
yang
berkepanjangan dan kebakaran hutan di suatu tempat dan di tempat lainnya terjadi
hujan yang berkepanjangan dan banjir.
El Niño berarti anak kristus dalam bahasa Spanyol. Fenomena El Niño terkait dengan
terjadinya anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, yaitu meningkatnya
suhu permukaan laut di daerah tengah dan pantai timur Pasifik akibat bergeraknya
kolam air hangat ke arah timur menjauhi perairan Indonesia (Gambar 2.2). Pada saat
terjadi La Niña terjadi kondisi yang berlawanan, yaitu terjadi penurunan suhu
permukaan laut di Samudera Pasifik bagian timur akibat pergerakan kolam air hangat
ke arah barat memasuki Perairan Indonesia (Gambar 2.2).
Mekanisme El Niño :
Pada kondisi El Niño, angin pasat melemah dan yang asalnya bergerak dari daerah
Tahiti ke Darwin (dari tekanan tinggi ke tekanan rendah) akan berubah menjadi dari
Darwin ke Tahiti dan kolom air panasnya bergerak menjauhi perairan Indonesia,
selanjutnya akan merubah termoklin menjadi lebih dalam di daerah Peru dan lebih
dangkal di Indonesia dari keadaan normalnya.
Gambar 2.3 Perbandingan
keadaan
normal
dan
kondisi
ketika
El
Niño
(sumber:http://www.msc-smc.ec.gc.ca)
Mekanisme La Niña:
Pada kondisi La Niña, angin pasat menguat dan tekanan udaranya bertambah besar
dan bergerak dari Tahiti ke daerah Darwin. Dengan adanya sirkulasi Walker kolom
air dingin mulai bergerak ke arah timur sehingga garis termoklinnya menjadi lebih
dangkal (upwelling lebih kuat) di daerah Peru dan lebih dalam di daerah Indonesia
dibandingkan dengan pada saat keadaan normalnya.
Gambar 2.4
Perbandingan keadaan pada saat normal dan La Niña
(Sumber: http://www.msc-smc.ec.gc.ca)
Fenomena El Niño dan La Niña dapat diketahui berdasarkan indikator berikut ini :
1. Anomali temperatur permukaan laut (SST Anomali). El Niño terjadi jika ada
kenaikan temperatur permukaan laut di daerah tropik timur Lautan Pasifik
sekitar 0.5˚ C.
2.
Indeks Osilasi Selatan (IOS) yaitu perbedaan tekanan udara di Lautan Pasifik
(dipantau di Tahiti) dan di Lautan India (dipantau di Darwin). IOS ekstrim
negatif berhubungan erat dengan kejadian El Niño.
3. Level atau elevasi permukaan laut (Sea Surface Topograhy). Hasil penelitian
sebelumnya menyimpulkan bahwa elevasi muka laut rerata pada tahun El
Niño di perairan barat Pasifik, khususnya di Pantai Mindanao dan Halmahera
lebih rendah dari nilai normalnya, sedangkan rerata muka laut di Pantai
Amerika tengah lebih tinggi dari nilai normalnya.
2.1.2
Osilasi Selatan
Schove dan Berlage (1965) dalam Magetsari (2005) meneliti tentang fenomena
Osilasi Selatan, khususnya di daerah Indo-Australian sebagai pusat dari Osilasi
Selatan. Fluktuasi tekanan yang diteliti oleh Schove dan Berlage (1965) dinamakan
sebagai indeks osilasi selatan, yaitu merupakan perubahan fasa tekanan atmosfer
dengan pola jungkat-jangkit antara Greenland dan daerah Samudera Hindia
(Magetsari, 2005). Troup (1965) dalam Magetsari (2005) menganalisis kembali
mengenai Osilasi Selatan dengan meneliti struktur global tekanan muka air laut ratarata yang dikorelasikan dengan Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation
Index/SOI) dan menemukan pola lag (keterlambatan) dari hasil korelasi tersebut
dengan menggunakan perbedaan tekanan muka laut rata-rata yang dinormalisasikan
antara Tahiti dan Darwin. Indeks ini telah menjadi standar pengukuran fenomena
Osilasi Selatan hingga saat ini.
Anomali Temperatur Permukaan Laut di NINO 3.4
4
3
SST NINO 3.4
Data (°C)
2
1
0
1994
-1
1995
1997
1998
1999
2001
2002
2004
2005
2006
2008
2005
2006
2008
-2
-3
Waktu (Tahun)
Anomali Tekanan di Daerah Tahiti dan Darwin
40
SOI
Nilai IOS
20
0
1994
1995
1997
1998
1999
2001
2002
2004
-20
-40
Waktu (T ahun)
Gambar 2.5
Indeks yang menjadi standar pengukuran fenomena ENSO
(Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov/, http://www.longpaddock.gov)
Dengan kata lain, Osilasi Selatan merupakan pola jungkat-jungkit tekanan udara yang
terjadi antara tekanan udara di Samudera Pasifik dan di Samudera Hindia, (Yayu,
2002). Pada saat terjadinya El Niño, nilai Indeks Osilasi Selatan negatif dalam jangka
waktu yang lama, terjadi penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di
Tahiti dan terjadi peningkatan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Darwin.
Sebaliknya pada saat nilai Indeks Osilasi Selatan positif dalam jangka waktu yang
lama (fasa La Niña), terjadi kenaikan tekanan udara di atas kondisi normalnya di
Tahiti dan terjadinya penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di
Darwin, (Gambar 2.5). Pola inilah yang dinamakan pola jungkat-jangkit, dimana
posisi kedua ujungnya akan selalu berlawanan. Fenomena Osilasi Selatan ini
berkaitan dengan kejadian El Niño, maka disebut sebagai ENSO. Pada gambar 2.5
menunjukkan diantara tahun 2004-2005 terjadi El Niño lemah dan diantara tahun
2005-2006 terjadi La Niña lemah yang telah yang merupakan perioda penelitian
INSTANT.
Gambar 2.6
Southern Oscillation Index dan tahun-tahun El Niño dan La Niña
(Sumber : Gordon, 2007)
2.2 Kaitan antara ENSO dan Arlindo
Skema sirkulasi arus telah dibuat oleh Godfreys pada tahun 1996 dengan
menggunakan model numerik yang menjelaskan bahwa aliran massa air utama dari
Samudera Pasifik menuju Samudera India merupakan arus Mindanao (Mindanao
current) melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, dan menuju
Laut Timor (Sudjono, 2004).
Selain berdasarkan indikator-indikator yang sudah disebutkan di atas, terdapat
indikator lainnya untuk mempelajari fenomena El Niño dan La Niña, nilai transpor
Arlindo. Secara umum memang terjadi perbedaan elevasi muka air laut rerata antara
Lautan Pasifik sebelah barat dengan Lautan Hindia. Perbedaan elevasi ini
membangkitkan arus yang melewati perairan Indonesia, dikenal sebagai Arlindo.
Jalur utama Arlindo adalah Selat Makassar. Perairan Indonesia yang dilalui Arlindo
memiliki struktur geografi yang khas, dimana terdapat banyak pulau besar dan kecil
membagi wilayah perairan menjadi laut-laut yang berbeda satu dengan yang lainnya,
dihubungkan dengan banyak lintasan ditambah dengan struktur batimetri yang
dikarakteristikan dengan palung yang dalam, basin laut dan tak terhitung kepulauan
karang yang membentuk dinamika massa air yang kompleks di kawasan tersebut.
Arlindo mempengaruhi perubahan iklim global, memicu kehadiran variabilitas iklim
ekstrem, seperti El Niño dan La Niña, serta berdampak pada kondisi pertanian,
perikanan, dan kebakaran hutan. Variabilitas Arlindo diperkirakan akan diikuti
dengan perubahan suhu permukaan laut di bagian barat khatulistiwa Pasifik. Kejadian
El Niño diduga berkaitan erat dengan kekuatan Arlindo.
Pada kondisi normal elevasi muka air rerata di Lautan Pasifik, khususnya di pantai
Papua Utara dan Halmahera lebih tinggi dibandingkan dengan elevasi muka air di
Lautan Hindia, khususnya pantai barat Sumatera dan Selatan Jawa, maka perbedaan
elevasi ini akan menimbulkan Arlindo. Pada saat terjadi El Niño, dimana elevasi
muka air rerata di bagian barat Lautan Pasifik Turun, maka Arlindo akan cederung
melemah. Dengan demikian dapat diduga apabila Arlindo melemah terjadilah El
Niño. Variabilitas suhu permukaan laut di perairan Indonesia terutama di bagian
timur diperkirakan akan mengikuti fluktuasi Arlindo, pada saat El Niño suhunya akan
turun dan saat La Niña suhunya akan lebih tinggi daripada periode El Niño.
Pada Gambar 2.7 menunjukkan jalur massa air Arlindo.
Gambar 2.7
Jalur Arlindo. Keterangan: panah yang berwarna merah merupakan jalur
utama Arlindo, panah yang berwarna merah garis putus-putus adalah jalur
kedua Arlindo. (sumber: Gordon, 2005)
Massa air Pasifik masuk Kepulauan Indonesia melalui dua jalur utama, yaitu :
1. Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makassar.
Sebagian massa air tersebut akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di
Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokkan ke arah timur terus ke Laut
Flores hingga Laut Banda dan keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor.
2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku
terus ke Laut Banda. Dari Laut Banda, menurut Gordon dkk (2005) massa air
akan mengalir mengikuti dua rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai,
antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote,
sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timur dan Selat Timor, antara
Pulau Rote dan paparan benua Australia.
Arlindo yang melewati hamparan pulau besar dan kecil di wilayah perairan Indonesia
Timur yang memiliki struktur batimetri yang menunjukkan adanya palung, basin laut,
dan banyaknya karang-karangan sehingga Arlindo memiliki dinamika dan pergerakan
massa air yang komplek di kawasan tersebut (Pranowo, dkk., 2006).
Variabilitas transpor Arlindo pada kedalaman tertentu akan berkaitan dengan
fenomena ENSO dimana net transpor pada saat La Niña pada periode 1988-1989
akan membesar menuju Samudera Hindia sedangkan pada fasa El Niño periode 19861987 dan 1991-1994 net transpor akan mengecil menuju Samudera Hindia (Meyers
dalam Maharani, 2006). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai nilai transpor
rata-rata sebesar 11,6 Sv terjadi pada bulan Agustus dan nilai minimum sebesar 6 Sv
yang terjadi pada bulan Januari.
Berdasarkan hasil penelitan Fleux dkk., 1994 dalam Susanto (1999) diperoleh nilai
transpor Arlindo terbesar adalah 18,6 ± 7 Sv pada bulan Agustus 1989 (tahun La
Niña kuat) dan nilai terendah sebesar 2,6 ± 7 Sv pada bulan Februari-Maret 1992
(tahun El Niño kuat). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat korelasi antara nilai
transpor Arlindo dengan fenomena ENSO.
2.3
Kondisi Oseanografi di Selat Lifamatola
Lifamatola adalah selat yang terletak antara Pulau Lifamatola (bagian dari Kepuluan
Sula) dengan Pulau Obi yang merupakan bagian dari gugusan pulau-pulau di barat
Maluku Utara. Lokasi penelitian dilakukan di daerah Selat Lifamatola pada koordinat
1° 49’ 05,88’’ LS dan 126° 57’50,80’’ BT.. Perairan yang merupakan bagian dari
Basin Maluku ini ditutupi dengan di bagian selatan oleh sebuah gili (ridge) yang
melintas dari Sulawesi hingga New Guinea dimana pulau-pulau seperti Taliabu,
Sanana, Mangole, dan Obi berada (Umasangaji, 2005).
Gambar 2.8. Gambar penampang 3 dimensi Sill Selat Lifamatola
Selat Lifamatola merupakan salah satu jalur Arlindo bagian timur yang berasal dari
aliran dalam Laut Banda. Perairan Pasifik memasuki perairan Indonesia sepanjang sill
dengan kedalaman sekitar 2000 m di daerah Selat Lifamatola ini dan keluar melewati
selat antara Kepulauan Sunda dan Laut Banda. Talley (2005) menyatakan di daerah
perairan Indonesia memiliki aliran rata-rata transpor Arlindonya yang melewati Selat
Lifamatola berkisar 3 Sv dan melewati lautan yang cukup dalam, sedangkan di bawah
Basin Makassar dengan sill kurang lebih pada kedalaman 0-680 m, Arus Arlindo
akan mengalir 1.8-2.3 Sv ke daerah Samudera Hindia dengan rata-ratanya 2.1 Sv.
(Aken, 2007), tetapi tidak semua transpor Arlindo menuju Samudera Hindia hanya
sebesar 1.5 Sv saja.
Selat Lifamatola mempunyai kedalaman sill 1940 m. Massa air yang keluar dari Sill
lifamatola ini menunjukkan adanya pencampuran massa air pada kedalaman 500 m
yang menuju ke Laut Banda dan Laut Seram. Karena bentuk geometri dari Selat
Lifamatola, terjadi fluktuasi temperatur antara Selat Lifamatola dan Selat Banda.
Fluktuasi ini diduga karena penyebab dari adanya gelombang internal dan pasut yang
dapat mendorong isopiknal di daerah sill. Massa air akan mengalami overflow
menyusuri sill Lifamatola dan naik dengan lambat ke Laut Banda untuk
menyeimbangkan antara difusi eddy dan overflow dari massa air di Selat Lifamatola.
2.3.1. Kecepatan Arus Selat Lifamatola
Arus permukaan dekat Lifamatola memiliki modulasi musiman dikarenakan adanya
efek dari monsoon (Wyrtki dalam Van Aken, 1988). Pada bulan Agustus arus
permukaan rata-rata memiliki komponen utara bernilai maksimum, arus barotropik
musiman disuperposisi oleh aliran baroklinik. Rata-rata kecepatan arus di dasar juga
menunjukkan modulasi monsoon dengan aliran daerah selatan pada bulan Agustus
bernilai minimum ke arah utara dan maksimum dengan aliran ke arah selatan pada
bulan Februari.
Variasi kecepatan arus vertikal dan temporal
Pada kedalaman di bawah 1250 m terjadi overflow dengan kecepatan rata-rata
maksimumnya mencapai 70 cm/s. Ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini terlihat
kenaikan kecepatam rata-rata pada pertambahan kedalaman.
1000
Mean velocity
profile 129 deg.
Depth (m)
1200
1400
1600
1800
Overflow !
2000
-20
0
20
40
60
80
Velocity (cm/s)
Gambar 2.9.
Profil arus vertikal pada komponen kecepatan rata-rata arus utara-selatan
(Aken, 2007)
Arah arus di Selat Lifamatola berubah dengan pola waktu tertentu. Pada musim
peralihan I tahun 2004 arus akan bergerak dengan kecepatan berkisar 0,5 m/det dan
arah arusnya didominasi oleh arus menuju barat daya. Pada musim timur 2004
didominasi oleh arus yang cukup kuat berkisar lebih dari 0,5 m/det menuju tenggara.
Musim peralihan II pada 2004 arah arus tidak terlihat jelas pola arahnya. Musim
baratnya hampir serupa kondisinya dengan pola arus musim timur. Kecepatan arus
terlihat cukup kuat signifikan pada musim timur dan musim barat (Krisnoto, 2007).
Gambar 2.10. Gambar fluktuasi kecepatan komponen arus musiman di Selat
Lifamatola (A) musim peralihan I 2004, (B) musim timur 2004, (C)
musim peralihan II 2004 (D) musim barat 2004/2005, (E) musim
peralihan I 2005 (Krisnoto, 2007)
Pasang Surut
Arus pasutnya bertipe diurnal merupakan interaksi komponen O1 dan K1 diurnal
dengan kecepatan pasutnya sebesar 0,5 m/s dan keterlambatan fasanya sekitar 60°90°.
100000
O1 K1
Power Spectrum (cm/s)2/cpd
10000
f Mf
M2
S2
1000
100
(a)
10
1000 m
1500 m
1950 m
1
0.1
0.01
0.1
1
10
40
40
30
30
30
20
20
20
10
10
0
-10
(b)
0
-10
-20
-20
-30
K1
-40
-40
-40 -30 -20 -10 0
-40
10 20 30 40
129o (cm/s)
40
309 o cm/s)
1000m
1100m
1200m
1300m
1400m
1500m
1600m
1700m
1800 m
1900m
2000m
0
-10
-30
-40 -30 -20 -10 0
10 20 30 40
129o (cm/s)
10
-20
O1
-40 -30 -20 -10 0
30
30
20
20
10
10
0
-10
-20
-30
Mf
10 20 30 40
129o (cm/s)
40
309 o cm/s)
-30
309 o cm/s)
40
309 o cm/s)
309 o cm/s)
Frequency (cpd)
0
-10
-20
M2
-30
-40
-40
-40 -30 -20 -10 0
10 20 30 40
129o (cm/s)
S2
-40 -30 -20 -10 0
10 20 30 40
129o (cm/s)
Gambar 2.11. (a) Grafik energi spektrum pada komponen arah utara-selatan pada beberapa
kedalaman (b) Gambar ellips komponen-komponen pasut pada komponen
arus arah timur-barat di semua kedalaman (Aken, 2007).
2.3.2. Variabilitas Temperatur dan Salinitas
Kedalaman dari Selat Lifamatola mencapai 1940 m dengan temperatur rata-rata
dibawah 2,8°C. Semakin dalam di perairan Selat Lifamatola maka fluktuasi suhu air
laut semakin rendah hingga pada kedalaman tertentu umumnya suhu konstan sampai
dasar perairan. Fluktuasi suhu air laut pada musim timur lebih kuat dibandingkan
dengan musim-musim lainnya. Pada musim timur suhu air laut relatif berfluktuasi
dengan periode perulangan dominan dalam waktu dua mingguan. Kondisi ini juga
diperkuat oleh dorongan sirkulasi air laut yang lebih besar terjadi pada musim timur
dan kemungkinan besar karena menguatnya transport Arlindo pada musim timur
(Wyrtki, 1961).
400
600
Temperature
(deg. C)
8.5
800
800
8.0
7.5
7.0
6.5
1200
Mean Temperature
profile.
Depth (m)
Depth (m)
1000
6.0
1200
5.5
5.0
1400
4.5
4.0
1600
3.5
1600
3.0
2.5
Overflow?
1800
2000
2
4
6
Temp (oC)
Gambar 2.12.
8
10
2000
200
400
600
800
1000
Day number (1 Jan. 2004 = 1)
Gambar profil vertikal dan temporal temperatur rata-rata (Aken, 2007)
Salinitasnya pada setiap musim berkisar pada 34,6 psu. Salinitas pada masing-masing
kedalaman tidak jauh berbeda dikarenakan sirkulasi air laut berlangsung lambat yang
mengakibatkan kondisi salinitas yang seragam. Salinitas di Selat Lifamatola ini
diperkirakan berasal dari massa air Pasifik Selatan yang masuk ke perairan dalam
Indonesia Timur melalui lapisan di bawah termoklin (Gordon dan Fine dalam
Krisnoto, 2007).
2.3.3. Karakteristik Massa Air Arlindo
Gambar 2.13 Jalur-jalur Arlindo dan Selat Lifamatola. Keterangan: panah hitam adalah
massa air dari North Pacific Termocline, panah hitam garis putus-putus
adalah massa air dari South Pacific Termocline. (sumber: Sprintal, 2004)
Gambar 2.13 memperlihatkan massa air yang masuk ke perairan Indonesia dari
Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia pada lapisan permukaan yang
dipengaruhi oleh angin monsun (Armondo) sehingga akan terjadi pembalikan arah
arus permukaan pada saat periode monsun yang berbeda, Arlindo banyak dipengaruhi
oleh massa air dari Pasifik bagian utara (North Pacific Thermocline) yang mengalir
melalui Selat Makassar, kontribusi tambahan Arlindo dari Lower Thermocline water
dan deep water masses yang berasal dari Samudera Pasifik bagian selatan (South
Pacific Lower Thermocline) melalui rute bagian timur Laut Maluku dan Halmahera,
dengan air yang lebih berat mengalir melalui Terusan Lifamatola. Panah putih
merepresentasikan kelimpahan air yang lebih berat dari Pasifik melintasi terusan
Lifamatola menuju Laut Banda dengan transport berkisar 1 Sv.
(a) Tahun Normal
(b) Tahun El Niño
(c) Tahun La Niña
Gambar 2.14. Diagram θ − S dan S-O2 di Laut Maluku (1˚N -2˚S; 123˚E-128˚E)
(sumber: Mardiansyah, 2003).
Karakteristik massa air Arlindo di perairan ini dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik
Selatan massa air yang hampir mirip dengan Laut Banda dan Laut Maluku. Seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.14 terlihat pada tahun normal bahwa adanya
kesamaan kontribusi dari massa air NPSW dan SPSW, masih teridentifikasi AAIW
dengan jelas. Untuk laut Maluku pada saat terjadinya La Niña karakteristik AAIW
(Antartic Intermediate Water) sudah tidak teridentifikasi lagi yang pada umumnya
dicirikan oleh Salinitas minimum (Smin, sekitar 34.55 psu), kemudian muncul juga
massa air dari Laut Banda di lower Thermocline. Sedangkan pada tahun El Niño,
kontribusi dari massa air SPSW lebih besar daripada NPSW membuat massa air
AAIW dan massa air Laut Banda masih teridentifikasi dengan jelas (Mardiansyah,
2003).
2.4
Review Penelitian Terdahulu
Daerah Selat Lifamatola merupakan daerah yang masih jarang dikaji. Selat lifamatola
ini merupakan bagian dari perairan timur Indonesia. Selat Lifamatola di Sulawesi
Timur ini memiliki rute perairan dalam.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di daerah ini antara lain :
Van Aken, et.al., (1988), melakukan penelitian di daerah basin di daerah timur
kepulauan Indonesia dengan mempelajari massa airnya, arus, dan model teoritisnya.
Struktur vertikal dari basin Aru dan Palung Timor lebih kompleks karena adanya
kehadiran massa air dari Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan Laut Banda.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari adanya proses flushing laut dalam dan
mengamati distribusi dari jejak yang dapat disimulasikan secara kualitatif dan
kuantitatif, untuk mendapatkan perkiraan kuantitatif waktu paruh dan estimasi
parameter lainnya.
Observasinya dilakukan pada bulan Januari dan minggu pertama Februari 1985,
diletakkan CTD di 47 posisi yang berbeda.
Gambar 2.15. Stasiun CTD ketika survei TYRO pada bulan Januari dan Februari tahun
1985 (sumber : Aken, et.al., 1988)
Pada Gambar 2.15 ditemukan adanya massa air South Pacific Intermediate Water di
stasiun 33, di daerah atas Laut Seram (stasiun 35) terlihat adanya hubungan dengan
air bersalinitas tinggi yang ditemukan di Laut Halmahera. Pemasukan massa air ke
Laut Halmahera memiliki ciri massa air Pasifik dengan salinitas tinggi di atas 700 m.
Sedangkan, sistem inflow ke Laut Banda sangatlah rumit dikarenakan berasal dari
basin-basin utama seperti Laut Seram dengan Basin Burunya dan Basin Seram, Laut
Banda dengan Basin Banda Selatan, Basin Weber dengan Basin Flores dan ditambah
dengan sejumlah basin kecil lainnya. Sistem perairan Banda laut dalam berasal dari
aliran Samudera Pasifik yang melalui sill Selat Lifamatola yang kedalamannya
mencapai 1950 sampai 2000 m yang merupakan kombinasi antara percampuran
vertikal. Sedangkan, Selat Lifamatola mendapatkan salinitas yang berasal dari Laut
Buru dan Laut Bacan.
Mooring yang dipasang dekat dengan sill Selat Lifamatola (1°48.8’S, 126°56.7’E)
pada kedalaman 1940 m didesain dengan kecepatan maksimum 0,5 m/s yang telah
diobservasi oleh Broecker dalam Aken, et.al., (1988) dan menemukan kecepatan
dalam sill tidak boleh melebihi kecepatan sebesar 0,3 m/s. Arus permukaan yang
digambarkan oleh Wyrtki dalam Aken, et.al., (1988) menunjukkan bahwa arus
permukaan dekat Lifamatola memiliki modulasi musiman dikarenakan adanya efek
dari monsun.
Temperatur potensial isotermal Laut Banda di bawah kedalaman 2500 m berasal dari
sill dekat Lifamatola yang menuju Basin Buru ke Laut Banda, dikarenakan adanya
aliran ke arah selatan dan percampuran vertikal. Salinitas di laut dalam diabaikan
mulai dibawah kedalaman 1500 m.
Pada kedalaman 2000 m di Laut Banda
salinitasnya antara 34,615‰ dan 34,620‰. Oksigen juga menunjukkan bahwa sill di
daerah Selat Lifamatola secara efektif menghalangi massa air laut dalam dari
Samudera Pasifik dengan kandungan oksigen sebanyak 120 μmol.dm-3. Di dekat sill
yang dipisahkan oleh Laut Banda, isolines antara temperatur, salinitas, dan
konsentrasi oksigen berbentuk horizontal. Hal ini mengindikasikan bahwa Laut
Banda yang dalam memungkinkan terjadinya upwelling dan percampuran dan
berhubungan dengan adanya lower termocline water.
Disimpulkan bahwa distribusi oksigen, temperatur dan salinitas dari sistem Laut
Banda berasal dari aliran sill di Selat Lifamatola (Postma dalam Aken, et.al., 1988).
Massa air Pasifik yang dalam yang memasuki bagian bawah dari Laut Banda
memiliki temperatur potensial sebesar 3,5° C ditemukan di bawah kedalaman 1500
m. Kemudian ada juga yang masuk berasal dari massa air North Pacific Intermediate
Water. Observasi arus di sekitar Lifamatola disebabkan adanya kehadiran dari pasut
internal di sekitar Laut Webber dan Basin Banda bagian selatan dengan kecepatan
lebih dari 0,1 m/s pada kedalaman sampai 1000 m.
Van Aken, et.al., (1991),
menjelaskan penyebaran konsentrasi silika, oksigen
terlarut, dan temperatur potensial di daerah Selat Lifamatola. Temperatur potensial
antara kedalaman 1500-2000 sepanjang Selat Lifamatola dari Selat Buru menuju
Selat Bacan adalah θ≈2,3°C dan S≈34,62‰.
Pada penelitian ini Aken, et.al., (1991) memperkirakan waktu tinggal, kecepatan
vertikal di Laut Banda dan membandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Dari pengukuran arus di Selat Lifamatola didapatkan inflow yang berasal dari
kedalaman lebih dari 1500 m sebesar 1,5 x 106 m3/s.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model adveksi-difusi satu dimensi
untuk mengamati distribusi vertikal antara kedalaman 1000 m sampai 3500 m di
Basin Banda.
Umasangaji (2005) melakukan penelitian pada musim barat di perairan Selat
Lifamatola dan membuktikan adanya massa air yang memiliki suhu permukaan relatif
hangat dengan salinitas air tawar. Lebih lanjut dilaporkan pada kedalaman sebesar
1940 m dapat memberikan inflow Arlindo sebanyak 1,5 Sv ke daerah bagian laut
dalamnya.
Ffield, et.al., (2005), melakukan penelitian yang menunjukkan adanya hubungan
antara temperature finestructure variability dengan variabilitas suhu di daerah Selat
Lifamatola dan Laut Timur. Finestructure variability ini dapat mempengaruhi pula
pencampuran vertikal yang ada di suatu perairan atau laut. Penelitian ini
menggunakan data temperatur selama 18 tahun yaitu pada tahun 1985-2003 yang
diambil dari dataset expendable bathythermographic (XBT) pada daerah 114°E135°E dan 12°S ke 2°N.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa di Selat Lifamatola terdapat banyak struktur
temperatur terhadap kedalaman dalam interval skala vertikalnya dari 2-100 m,
sedangkan Laut Timor mempunyai profil temperatur yang lebih halus terhadap
kedalaman. Finestructure lebih rendah 33% daripada normalnya di kedalaman 30 m
dan 29% lebih besar di kedalaman 550 m. Hal ini juga menjelaskan alasan terjadinya
peningkatan (penurunan) stratifikasi temperatur secara vertikal di atas 100 m (di
bawah 100 m) selama El Niño. Dengan adanya finestructure yang semakin besar di
Selat Lifamatola membuat pencampuran vertikalnya pun menjadi lebih besar
dibandingkan dengan Laut Timor yang finestructure-nya lebih rendah.
Van Aken, et.al., (2007), melakukan penelitian di daerah Selat Lifamatola yang
merupakan penghubung terdalam dengan Samudera Pasifik dengan menggunakan
data INSTANT pada tahun 2004-2006 dan menunjukkan adanya komponen pasang
surut jenis diurnal di aerah Selat Lifamatola, kecepatan rata-rata yang tinggi (>50
cm/s) ditemukan di bawah kedalaman 1800 m. Transport rata-rata yang melalui Selat
Lifamatola sebesar 2.9 ± 1.2 Sv dengan temperatur rata-rata 3.1°C.
Krisnoto (2007) melakukan penelitian sebagai tugas akhirnya dengan menggunakan
data kecepatan arus, temperatur dan salinitas di Selat Lifamatola dan mengamati
keragaman suhu, salinitas, dan kecepatan arus pada Maret 2004 sampai Mei 2005
berdasarkan INSTANT leg 4 yang berlangsung pada tanggal 15-24 Juli 2005.
Krisnoto (2007) melaporkan bahwa fluktuasi suhu air laut periode dua mingguan
hingga delapan bulanan terdapat pada kedalaman 496 m, 799 m, 1100 m, dan 1417 m
di Selat Lifamatola dengan energi tertinggi pada kedalaman 496 m, sedangkan untuk
periode 8 bulanan terlihat pada kedalaman 1100 dan 1417 m. Data variasi temporal
menunjukkan pula suhu akan mengalami penurunan pada saat musim timur dan
musim barat. Arah arus menunjukkan pada kedalaman 798 m di Selat Lifamatola
tidak tetap sepanjang tahun tetapi berubah dengan arah arus dominan menuju
tenggara.
2.4.
Perbedaan Antara Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Akan
Dilakukan
Untuk meneliti sinyal ENSO maka diperlukan data kecepatan arus. Data yang
digunakan pada penelitian terdahulu adalah hampir sama dengan data yang dipakai
pada penelitian ini hanya studi difokuskan pada kedalaman yang cukup dalam di
kedalaman 1000 sampai 2000 m. Pada penelitian ini dikaji variasi Arlindo yang
dikaitkan dengan sinyal ENSO yang terdapat di Selat Lifamatola dengan
menggunakan metode Low Pass Filter, analisa spektrum, nilai korelasi silang
terhadap SOI.
Download