Chapter II - USU Repository

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ranti Hitam (Solanum blumei Nees ex Blume)
Genus Solanum (famili Solanaceae) adalah suatu kelompok tanaman yang sangat
besar terdiri dari sekitar 1400 spesies, yang tersebar di seluruh daerah beriklim tropis
dan dunia. Mereka kaya glikosida steroid dalam bentuk glycoalkaloids (Shabana et
al., 2013). Salah satu tanaman yang satu genus dan satu famili dengan Solanum
nigrum L adalah ranti hitam (Solanum blumei Nees ex Blume). Tanaman ini banyak
ditemukan di daerah Dairi dan Karo, khususnya desa Kuta Nangka, Kecamatan tanah
Pinem, Kabupaten Dairi, berada 800 m di atas permukaan laut dan disebut dengan
tanaman ranti hitam. Ranti hitam tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan banyak
dijumpai di daerah pegunungan, hutan- hutan, dan bekas-bekas pembakaran. Selain
telah sering digunakan oleh masyarakat sebagai sayur (daunnya), buah tanaman ini
juga digunakan sebagai obat tradisional (etnomedikal), antara lain sebagai obat sakit
pinggang, telinga berair, demam, sakit perut, anti peradangan dan lain-lain.
Tanaman ranti hitam ini termasuk ke dalam golongan semak, tumbuh
menjalar dan memiliki akar tunggang dengan warna putih kecoklatan. Batang kecil,
berbentuk bulat, lunak, dan berwarna kehitaman. Berdaun tunggal, bulat melebar, dan
tersebar dengan panjang 7-9 cm ; lebar 4-6 cm. Pangkal dan ujung daun meruncing
dengan tepi rata dan tidak bergelombang. Pertulangan daun menyirip. Daun
mempunyai tangkai dengan panjang ± 3,5 cm dan berwarna hijau. Bunga berupa
bunga majemuk dengan mahkota kecil, bangun bintang, berwarna ungu, benang sari
berwarna kuning dengan jumlah 5 buah. Tangkai bunga berwarna hitam. Buah
berbentuk bulat, berwarna hitam mengkilat sejak masih muda dan jika sudah tua
diameter buahnya kira-kira 0,7 cm. Biji berbentuk bulat pipih, kecil-kecil, dan
berwarna kuning (Gambar 2.1). Tanaman yang memiliki nama daerah Leuh mbiring
atau ranti hitam ini telah dideterminasi oleh “Herbarium Bogoriense” Pusat Penelitian
Biologi-LIPI pada bulan Maret 2013. Gambar tanaman ranti hitam dan bagian-bagian
tanaman yang diperoleh dari daerah Kuta Nangka, Kecamatan Tanah Pinem,
Kabupaten Dairi, disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Tanaman Ranti Hitam (Solanum blumei Nees ex Blume) dan Bagiannya
2.1.1. Nama Umum
Nama umum dari tanaman yang diteliti adalah :
Karo
: Leweh mbiring
Dairi
: Leuh mbiring
Indonesia : Ranti hitam
Sunda
: Leunca
Inggris
: Black nightshade
Melayu
: Ranti
Filipina
: Kama-kamatisan
Cina
: Long Kui (Anonim, 2013).
2.1.2. Sistematikan Tumbuhan
Sistematika tumbuhan ranti hitam adalah :
Super Divisi
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub kelas : Asteridae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae (suku terung-terungan)
Genus
Spesies
: Solanum
: Solanum blumei Nees ex Blume
(Hasil determinasi “Herbarium Bogoriense” bidang Botani Pusat Penelitian BiologiLIPI Bogor, ranti hitam tersebut adalah Solanum blumei Nees.ex Blume, termasuk
famili Solanaceae (Maret, 2013).
2.1.3. Kandungan Kimia Ranti dan Aktivitas Biologisnya
Publikasi atau penelitian terhadap tanaman ranti hitam, baik uji fitokimia
metabolit sekundernya maupun uji bioaktivitasnya belum ada ditemukan. Hasil uji
fitokimia metabolit sekunder pada tanaman ranti hitam yang dilakukan oleh penulis
(Simorangkir dkk, 2013), ekstrak n-heksana dan etilasetat dari daun dan buah ranti
hitam banyak mengandung senyawa kimia steroid dan sedikit alkaloid yang terdapat
pada ekstrak n-heksana. Senyawa flavonoid hanya terdapat pada ekstrak etilasetat dan
ekstrak etanol dari bagian daun dan buahnya, sedangkan senyawa fenol dan saponin
hanya terdapat pada ekstrak etanol dari bagian daun, buah dan alkaloid terdapat pada
ekstrak etanol buah dan daun. Senyawa kuinon sama sekali tidak terdapat dalam
semua ekstrak, sedangkan senyawa tanin lebih banyak diperoleh di dalam ekstrak
etanol bagian daun dan buahnya. Tanaman ranti hitam yang telah sering digunakan
oleh masyarakat sebagai obat tradisional mempunyai potensi untuk dikembangkan
sebagai obat atau bahan baku obat. Tanaman obat umumnya mengandung senyawa
bioaktif dalam bentuk metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid,
triterpenoid, tannin dan lain-lain (Cordell, 2000)
yang dapat diekstraksi dengan
berbagai pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya.
Salah satu spesies tanaman Solanum yang telah banyak diteliti sebagai
tanaman obat adalah Solanum nigrum L, berkhasiat sebagai antiseptik, anti inflamasi,
dan antidisentri. Bijinya digunakan untuk pengobatan gonorrhea. Buah dan jusnya
digunakan untuk menyembuhkan penyakit perut, demam dan penyakit kulit,
sedangkan daunnya sebagai obat cacing, nyeri sendi dan sakit telinga. Ekstrak etanol
buah S. nigrum L yang telah matang dapat menghambat proliferasi sel kanker
payudara (Prima dan Raditya, 2012). Tanaman Solanum nigrum complex juga telah
banyak digunakan secara tradisional sebagai analgetik, antispasmodic, antiseptic,
antidysentri, emollient, diuretic, tonic, soporific, laxative, anticancer,antiulcer dan
gangguan neuro-vegetatif sistem (Akhtar & Muhammad, 1989).
Khasiat obat
tanaman Solanum nigrum complex ini disebabkan oleh kandungan alkaloidnya.
Glikoalkaloid dan Aglikon Glikoalkaloid pada kelima taxa tanaman Solanum nigrum
Complex adalah α-Solamargin, solanin, α-solasodnin) dan aglyconnya (Solasodina
dan Solanidine) (Mohy-Ud-Din et al.,2010). Gambar Struktur alkaloid disajikan pada
Gambar2.2.
α-Solanin
α-Chaconin
Solasonin
Aglikon Solasodin
Solamargin
Aglikon Diosgenin
Aglikon Solanidin
Tigogenin
Gambar 2.2. Struktur Kimia Glikoalkaloid α-Solanin, Solasonin, α-Solamargin, αChaconin dan Aglikon (Solasodin, Diosgenin, Solanidin dan Tigogenin)
(Prima dan Raditya, 2012).
Komponen alkaloid total Solanum nigrum L mempunyai efek antikanker, tumor dan
ekstrak daunnya menghambat Ascitic sarcoma 180 pada tikus. Solanine mempunyai
efek antimitosis (menghambat pembelahan sel) sehingga perkembangan sel kanker
dapat dihambat. Kandungan metabolit sekunder seperti solasodine pada Solanum
nigrum L mempunyai efek menghilangkan sakit (analgetik), menurunkan panas,
antiradang dan antishok. Solamargine dan solasonine mempunyai efek antibakteri,
sedangkan solanine sebagai antimitosis. Senyawa-senyawa ini bisa mengatasi
gangguan kenker, yakni kanker payudara, leher rahim, lambung dan saluran
pernafasan (Kabayan, 2009).
Hasil penelitian pendahuluan penulis (Simorangkir dkk, 2013), pada ekstrak
etanol buah Solanum blumei Nees.ex Blume terdapat alkaloid, flavonoid, fenol,
sedikit saponin dan tanin, dan rendemen tertinggi terdapat pada ekstrak etanol bagian
daun dan buah dibandingkan dengan ekstrak n-heksana dan etilasetat.
2.2 Uji Bioaktivitas Bahan Alam
Pengujian bioaktivitas dari bahan alam dapat dilakukan dengan beberapa metode
antara lain uji antioksidan, uji toksisitas, uji antibakteri, uji antikanker dan lain-lain.
2.2.1 Metode Uji Antioksidan DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl)
Pada tahun 1922, ditemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil
DPPH, yang sekarang digunakan sebagai reagen kolorimetri. Metode peredaman
radikal bebas adalah sebuah metode yang sederhana yang dapat digunakan untuk
menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode
peredaman radikal bebas dapat digunakan untuk sampel yang padat dan juga dalam
bentuk larutan (Molyneux, 2004). Uji antioksidan dapat dilakukan dengan metode
peredaman DPPH. Prinsip metode Peredaman Radikal Bebas (DPPH) adalah
kemampuan sampel uji dalam meredam proses oksidasi DPPH sebagai radikal bebas
dalam larutan metanol (sehingga terjadi perubahan warna DPPH dari ungu menjadi
kuning) dengan nilai IC50 (konsentrasi sampel uji yang mampu meredam radikal
bebas 50%) digunakan sebagai parameter untuk menentukan aktivitas antioksidan
sampel uji (Molyneux, 2004).
Radikal bebas DPPH
Antioksidan
DPPH (tereduksi) Radikal bebas terbentuk.
Gambar 2.3 .Reaksi Antara DPPH dengan Atom H yang Berasal dari Antioksidan
(Molyneux, 2004).
Senyawa yang berperan sebagai antioksidan dengan cara memberikan atom
hidrogennya akan mereduksi DPPH sehingga terjadi perubahan warna DPPH dari
ungu menjadi kuning (Molyneux, 2004).
Penapisan (screening) obat antikanker
biasanya didahului dengan penapisan akvitas antioksidan dari suatu senyawa. Hirota,
et al.,(2000) telah menggunakan DPPH radical-scavenging untuk uji pendahuluan
senyawa yang berasal dari miso sebelum diuji aktivitas antiproliferatifnya.
Atas dasar fungsinya, antioksidan dapat dibedakan menjadi lima bagian yaitu :
1.
Antioksidan Primer
: Antioksidan yang berfungsi mencegah terbentuknya
radikal bebas baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi
molekul yang berkurang dampak negatifnya, yaitu sebelum sempat bereaksi.
Antioksidan primer yang ada dalam tubuh yang sangat terkenal adalah enzim
superoksida dismutase.
2.
Antioksidan Sekunder : Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang
berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai
sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contoh antioksidan sekunder
adalah vitamin E, vitamin C dan beta karoten yang dapat diperoleh dari buahbuahan.
3.
Antioksidan Tersier : merupakan senyawa yang dapat memperbaiki sel-sel
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk
kelompok ini adalah enzim misalnya metionin sulfoksida reduktase yang dapat
memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan
DNA pada penderita Kanker.
4.
Chelator atau Sequestrants : Senyawa
Chelator atau Sequestrants dapat
mengikat logam sehingga logam tersebut tidak dapat mengkatalisis reaksi
oksidasi dan kerusakan dapat dicegah. Misalnya asam sitrat dan asam amino.
5.
Oxygen Scavanger : antioksidan yang mampu mengikat oksigen sehingga tidak
mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C (Kumalaningsih, 2006).
2.2.2. Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Metode BSLT adalah metode yang sederhana dan mudah dilakukan untuk
menguji senyawa bioaktif dari bahan alam dengan menggunakan larva udang Artemia
salina Leach, baik untuk uji toksisitas, insektisida dan uji awal untuk senyawa
sitotoksik atau anti tumor (Meyer, et al., 1982). Penggunaan larva udang Artemia
salina Leach untuk uji aktivitas biologis sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak
saat itu metode ini banyak digunakan untuk studi lingkungan, toksisitas dan
penapisan senyawa bioaktif di dalam ekstrak tanaman.
Uji aktivitas dengan
menggunakan larva udang Artemia salina Leach memiliki spektrum aktivitas
farmakologi, mudah dilakukan, sederhana, cepat dan tidak memerlukan biaya besar
dengan tingkat kepercayaan 95%. Cara yang dilakukan menggunakan sejumlah larva
udang yang ditetaskan, kemudian ke dalam wadah yang berisi larva udang
dimasukkan ekstrak tanaman yang diuji, kemudian dihitung mortalistasnya. Dalam
metode BSLT, toksisitas senyawa antitumor dinyatakan dengan nilai Lethal
concentration 50 (LC50), yaitu konsentrasi
mortalitas sebanyak 50%.
senyawa yang memberikan tingkat
Senyawa aktif akan memberikan mortalitas tinggi.
Semakin kecil nilai LC50 maka semakin besar toksisitasnya. Suatu sampel dikatakan
sangat toksik terhadap larva udang Artemia salina Leach apabila mempunyai LC50 <
30 µg/mL, toksik apabila LC50 30 – 1000 µg/mL dan tidak toksik apabila mempunyai
LC50 > 1000 µg/mL (Steven dan Molyneux, 1993). Uji BSLT dapat digunakan untuk
uji bahan sebagai penenang, toksisitas, insektisida dan uji awal untuk senyawa
sitotoksik atau antikanker (Meyer, et al., 1982).
2.2.3. Uji Anti Kanker
Untuk menentukan suatu bahan alami atau sintetis yang dapat digunakan sebagai anti
kanker, terdapat beberapa istilah yang harus diperhatikan, berdasarkan efek biologi
dari suatu senyawa terhadap sel yang dicobakan yaitu sitotoksik, anti tumor, dan anti
kanker (Suffness dan Pezzuto, 1991; Bulan, 2002).
Sitotoksik adalah toksik terhadap sel dalam jaringan. Sifat ini dapat dibedakan
menjadi sitostatik dan sitosidal. Sitotoksik yaitu menghentikan pertumbuhan sel yang
sering sekali reversible dan sitosidal yaitu pembunuhan terhadap sel. Antitumor
yaitu efektif terhadap suatu model sistem tumor secara in vivo. Antikanker yaitu
efektif dalam suatu percobaan terhadap suatu penyakit pada manusia. Sedangkan
untuk menetapkan suatu senyawa bersifat antikanker dilakukan beberapa tahap
penelitian yaitu uji sifat farmakologi dan aktivitas terhadap berbagai sel (penapisan
awal) adalah untuk menentukan toksisitas suatu senyawa. Uji toksikologi pra klinis
dan farmakologi pada hewan percobaan untuk menentukan sifat antitumor suatu
senyawa, dan uji coba klinik pada manusia untuk menetapkan suatu senyawa sebagai
obat antikanker. Penentuan sifat toksisitas suatu senyawa dilakukan melalui uji sifat
farmakologi dan aktivitasnya terhadap berbagai sel secara in vitro atau in vivo. Sel
yang digunakan antara lain sel P388 (sel limfositis yang berasal dari kanker pada
tikus), lini sel L1210 (sel yang diisolasi dari limfa tikus), sel hela (sel yang berasal dari
kanker leher rahim manusia), sel KB (nasopharynx carsinoma), sel sarcoma 180 A,
sel walker 256 (Itokawa dan Takeya, 1993 ; Bulan, 2002). Berbagai macam lini sel
leukimia lebih sering digunakan untuk mengelusi mekanisme apoptosis. Hal ini
terjadi karena obat-obatan antikanker maupun reagen sitotoksik lebih efektif terhadap
kanker leukimia daripada penyakit kanker lainnya. Contoh lini sel leukimia lainnya
yang sering digunakan adalah lini sel promyelocytic HL-60 serta lini sel Jurkat T
(Zhang et al., 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eagle dan Foley (1958),
sel kanker yang dibiakkan dalam kultur jaringan secara in vitro dapat digunakan
sebagai alat penapisan awal untuk mendeteksi sifat antitumor suatu zat. Toplin pada
tahun 1959 menyusun prosedur kultur jaringan untuk program penapisan zat
antikanker secara besar–besaran dan dengan prosedur tersebut telah berhasil menguji
aktivitas senyawa antitumor sebanyak 17.000 jenis senyawa hasil fermentasi. Sel
yang digunakan dalam kultur jaringan tersebut adalah sel hela. Hasil pengujian yang
diperoleh dibandingkan dengan pengujian secara in vivo pada tikus yang telah
diinokulasi dengan tumor. Ada korelasi sebesar 70% antara aktivitas antitumor pada
kultur jaringan dengan aktivitas pada tikus yang diinokulasi dengan tumor. Namun
ada beberapa kekecualian yaitu ada zat yang sangat aktif pada kultur jaringan tetapi
tidak aktif pada tikus percobaan dan sebaliknya ada zat yang aktif pada tikus
percobaan tetapi tidak aktif pada kultur jaringan dengan tingkat konsentrasi yang
sama. Maka dari kedua sistem tersebut dapat disimpulkan bahwa in vitro dan in vivo
bersifat saling melengkapi.
Sejak tahun 1955–1975 lembaga kanker nasional Amerika (NCI, National Cancer
Institute) menggunakan lini sel L1210 untuk penapisan awal zat anti kanker, zat – zat
yang aktif terhadap lini sel L1210, kemudian di uji secara in vivo pada tikus yang
diinokulasi dengan tumor. Program penapisan yang dilakukan NCI berhasil menguji
aktivitas 40.000 senyawa. Senyawa yang menunjukkan aktivitas terhadap lini sel
L1210 diuji lebih lanjut terhadap suatu panel uji sel tumor tikus sebelum dilakukan uji
klinik. Selanjutnya NCI menggunakan suatu desain dalam penapisan awal untuk
mendeteksi aktivitas suatu zat antitumor berdasarkan model seleksi dari beberapa
tumor padat pada tikus. Hasil seleksi yang dilakukan menghasilkan sel P388
digunakan sebagai uji penapisan awal, karena sel ini sangat sensitif terhadap
bermacam
golongan
senyawa
dan
banyak
sekali
senyawa–senyawa
yang
menunjukkan aktivitas terhadap sel P388. Setelah diketahui bahwa suatu zat aktif
pada penapisan awal maka diuji lebih lanjut terhadap sel kanker yang lebih spesifik
yaitu suatu panel uji sel tumor tikus baik secara in vitro maupun secara in vivo dan
selanjutnya di uji lagi dengan sel xenograft tumor manusia. Sel tumor tikus yang
biasa digunakan untuk panel uji tersebut adala lini sel L1210, sel Melanoma B16, sel
tumor payudara CDFI, sel kanker paru–paru, dan sel tumor usus. Sedangkan sel
xenograft tumor manusia digunakan sel tumor usus besar CX-1, sel tumor paru–paru
LX-1, sel tumor payudara MX-1 (Suffnes dan Pezzuto, 1991).
Penentuan dapat atau tidaknya suatu zat dikembangkan sebagai obat anti kanker
didasarkan pada sifat toksisitasnya. NCI telah menetapkan kriteria aktivitas
berdasarkan nilai inhibisy Concentration 50 (IC50) yaitu konsentrasi yang dibutuhkan
untuk menghambat pertumbuhan sel sebesar 50%. Suatu zat disebut bersifat
sitotoksik bila aktivitas terhadap sel uji mempunyai nilai IC50 < 20 µg/ml untuk suatu
ekstrak, dan nilai IC50 < 4 µg/mL untuk senyawa murni (Suffnes dan Pezzuto, 1991).
Selain IC50 untuk menentukan sifat sitotoksik suatu zat digunakan juga ukuran lain
yaitu Lethal Dosis 50 (LD50) yaitu dosis yang efektif untuk menghambat
pertumbuhan sel sebesar 50%. Setelah lolos dari uji penapisan awal selanjutnya
dilakukan uji toksikologi pra klinis dan farmakologis melalui pengujian secara in vivo
dengan beberapa sistem tumor hewan yang dapat ditransplantasikan dan telah
ditentukan sifat – sifatnya pada hewan percobaan. Kriteria yang ditetapkan pada
hewan percobaan adalah berdasarkan nilai LD50 (mg/Kg) yaitu dosis yang dapat
menyebabkan kematian hewan percobaan sebesar 50%. Senyawa yang memberikan
harapan yaitu senyawa yang tidak mempunyai toksisitas berlebihan dilanjutkan ke uji
coba klinik fase I yaitu penelitian jaringan tempat efek toksik dan farmakologinya
pada pasien kanker stadium lanjut. Konsentrasi awal yang dianggap aman untuk
digunakan pada manusia adalah konsentrasi dengan nilai LD10 pada hewan
percobaan. Seterusnya dilakukan uji coba klinik fase II untuk menentukan jenis tumor
tempat zat ini bermanfaat dan selanjutnya dilakukan uji coba klinik fase III untuk
membandingkan zat tersebut dengan terapi standar terbaik. Untuk zat yang telah
dinyatakan memenuhi standar tersebut diberi izin oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk digunakan sebagai obat. Obat anti kanker yg ideal akan membasmi sel
kanker tanpa merugikan jaringan normal (Salmon dan Sartorelli, 1998).
2.3. Kanker
Kanker adalah suatu pertumbuhan sel atau tumor, hasil dari pembelahan sel yang
tidak normal dan tidak terkendali. Pada setiap pembelahan sel selalu diawali oleh
pembelahan inti sel. Menurut teori dogma sentral, pada proses pembelahan inti sel
terjadi proses replikasi (biosintesis molekul DNA) dan proses transkripsi (Watson,
et. al, 1988).
2.3.1. Replikasi DNA
Tubuh mahkluk hidup tingkat tinggi terdiri dari lebih dari 5x1012 sel. Total sel
sebanyak itu berasal dari satu sel, dimana sel tersebut mengalami proses pembelahan
dari satu sel menjadi dua sel, dua sel membelah menjadi empat sel, empat sel menjadi
delapan sel dan begitu seterusnya. Pada setiap pembelahan sel selalu diawali oleh
pembelahan inti sel. Komposisi kimia inti sel yaitu molekul DNA yang mempunyai
struktur utas rangkap berpilin (DNA double helix) (Watson and Crick, 1953).
Pembelahan inti sel diawali oleh biosintesis molekul DNA dengan metode replikasi
DNA (replication double helix concpt). Menurut teori dogma sentral (central dogma)
setiap molekul DNA sel normal akan mengalami dua proses yaitu 1) proses replikasi
(DNA → DNA (a) , 2) proses transkripsi (DNA → RNA) (b)
Replikasi
DNA
Transkripsi
RNA (b)
DNA(a)
Gambar 2.4. Teori Dogma Sentral (Watson, et.al., 1988)
Replikasi molekul DNA (duplikasi DNA) adalah pembuatan copi DNA baru dimana
DNA awal akan berfungsi sebagai patron atau cetakan (template) dalam mensintesis
rantaiDNAbaru.
Proses replikasi membutuhkan unsur-unsur berikut :
a. dNTP–dNTP yang meliputi: dATP; dGTP; dCTP dan dTTP.
b. Enzim unwindase yaitu enzim yang berfungsi untuk membuka rantai DNA utas
rangkap berbentuk heliks (double strands) menjadi utas tunggal (single strand).
c. DNA polimerase yaitu enzim yang berperan untuk membawa dNTP yang sesuai
(complementary partner strand) kepada rantai DNA awal yang telah membuka
sebagai cetakan (template) sehingga terbentuk rantai DNA baru.
Tahap Replikasi (biosintesis) DNA terdiri dari :
a. Tahap inisiasi adalah tahap terbukanya rantai DNA utas rangkap bentuk heliks
oleh enzim unwindase, sehingga memungkinkan enzim DNA polimerase
mengawali sintesis DNA baru.
b. Tahap pemanjangan (phase elonggation) yaitu proses pemanjangan rantai DNA
baru dengan dibawanya dNTP yang sesuai merupakan basa-basa komplementer
pada DNA cetakan oleh enzim DNA polimerase.
c. Tahap pengakhiran (phase termination) yaitu fase berakhirnya aktivitas enzim
DNA polimerase untuk membawa dNTP-dNTP yang sesuai, karena DNA baru
telah terbentuk dengan sempurna mengikuti pola basa yang terdapat pada DNA
template.
Setelah selesai tahap terminasi, ada empat rantai molekul DNA utas tunggal yang
ditemukan yaitu dua rantai DNA lama yang kita beri simbol dengan Old dan dua
molekul DNA baru hasil sintesis yang diberi simbol New.
Proses penggabungan
DNA untuk membentuk DNA utas rangkap berbentuk heliks oleh enzim ligase dan
enzim helikase melalui dua metode yang mungkin terjadi yaitu :
1) Metode
konservatif yaitu bila yang bergabung membentuk DNA utas rangkap adalah molekul
DNA lama (Old) dengan molekul DNA lama (Old) dan gabungan antara DNA baru
(New) dengan DNAbaru (New);
2) Metode semikonservatif yaitu bila yang
bergabung membentuk DNA utas rangkap adalah kombinasi antara molekul DNA
lama (Old) dengan molekul DNA baru (New) dan 3) Okazaki fragmentasi (Watson et
al.,1988).
Gambar 2.5. Replikasi DNA Metode Semikonservatif (Watson et al., 1988).
2.3.2. Replikasi DNA dengan Metode Okazaki Fragmentasi (Teori
Terbentuknya Kanker)
DNA polimerase
A
1
2
Unwindase
B
DNA polimerase
3
Loncat ke posisi garpu
4
Koso
n
Lewat
kompo
Zaspa sisi
Posis
i
g
Frag
DNA polim
erase
koso
ng
RNA pemula (RNA primer)
m en
I
Koso
n
g F
r agm
en II
Koso
n
+
g F
r ag
men
III K
oson
g
F r ag
men
IV
Gambar 2.6. Replikasi DNA Dengan Metode Okazaki Fragmentasi (Teori
.
Terbentuknya Kanker)
Pada saat utas rangkap DNA terbuka dari pilinannya dengan adanya enzim
unwindase, satu utas DNA direplikasi dalam bentuk segmen panjang yang utuh untuk
setiap garpu. Utas DNA template yang baru terbentuk ini bertambah panjang kearah
garpu bersamaan dengan bertambah panjangnya pilinan yang terbuka pada DNA
induk. Utas lain direplikasi dalam bentuk potongan-potongan pendek yang dikenal
dengan nama fragmen okazaki (okazaki pieces) sesuai dengan nama orang yang
menemukannya. Bila fragmen okazaki ini mengalami replikasi akan terbentuk
beberapa pasangan DNA yang pendek, lalu disertai dengan pembelahan sel sehingga
terbentuk beberapa jumlah sel. Kejadian seperti ini mengakibatkan terganggunya
program genetik sel yang mengakibatkan pembelahan sel yang tidak terkendali
sehingga terjadi keganasan. Faktor-faktor penyebab terjadinya proses seperti ini
dinamakan faktor karsinogenik atau onkogenik(oncos = tumor) (Okazaki dan Ogawa,
1980). Panjang fragmen ini biasanya 40 s/d 290 nukleotida, rata-rata 135 nukleotida.
Panjang RNA pemula pada posisi kosong 8 sampai dengan 20 nukleotida, umumnya
9 nukleotida (Gambar 2.6). Untuk melepaskan RNA pemula dari segmen DNA
dihidrolisis oleh enzim hidrolase yang spesifik hibrida RNA-DNA. Hasil akhir dari
proses replikasi DNA dengan metode okazaki fragmentasi yaitu 1) untuk rantai A
sebagai template akan terbentuk DNA yang utuh dan 2) rantai B sebagi tamplate
akan diperoleh segmen-segmen DNA yang didalam pembelahan sel akan terbentuk
sel-sel baru dalam jumlah tidak menentu (Okazaki dan Ogawa, 1980; Soultanas dan
Wigley, 2001).
Tumor adalah pembengkakan di dalam tubuh disebabkan oleh berkembang
biak nya sel-sel secara abnormal. Tumor dapat bersifat jinak (benigna) ataupun
bersifat ganas (maligna). Tumor yang bersifat jinak tumbuh membesar, tetapi tidak
menyebar atau menggerogoti jaringan sekitarnya. Tumor yang bersifat ganas disebut
kanker yang menyerang seluruh tubuh dengan tidak terkecuali. Sel-sel kanker
berkembang dengan sangat cepat. Sel-sel tersebut merusak dan menyerang jaringan
tubuh lainnya (metastasi) melalui aliran darah dan pembuluh getah bening sehingga
dapat tumbuh dan berkembang pada jaringan lain (tempat baru). Kanker merupakan
suatu penyakit dimana individu dari sel yang telah mengalami mutasi secara
irreversibel pada DNA-nya mulai menyebar dan menyerang jaringan di sekitarnya
sehingga pertumbuhannya tidak terkendali (Alberts, et al., 1994 ; Bulan, 2002).
Umumnya sel kanker mempunyai sifat pertumbuhan yang berlebihan, gangguan
diferensiasi dari sel dan jaringan, bersifat invasif terhadap jaringan di sekitarnya
(metastatis) yaitu menyebar ke jaringan lain dan menyebabkan pertumbuhan baru,
dan perubahan metabolisme kearah pembentukan makromolekul dari nukleosida dan
asam amino serta peningkatan katabolisme karbohidrat untuk energi sel (Watson et
al., 1988).
Organ tubuh yang berpotensi terkena kanker antara lain, paru-paru, payudara,
sistem reproduksi seperti uterus, serviks, ovarium pada wanita dan prostat pada lakilaki, usus besar (kolon dan rektum), lambung, kulit, vasofaring, kelenjar getah
bening, hati, otak, darah dam rongga mulut (Bishop and Harold, 1991). Kanker
diklasifikasikan sesuai dengan jaringan atau tipe sel darimana ia timbul. Kanker yang
timbul pada sel–sel epitelial (sel–sel permukaan) dinamakan karsinoma (carcinoma),
misalnya kanker payudara, kanker kulit, dan kanker lambung. Kanker yang timbul
pada jaringan konektif (penyambung) atau sel–sel otot disebut sarkoma, misalnya
fibrosarkoma (kanker jaringan ikat) dan kanker yang tidak memenuhi salah satu dari
dua kategori di atas adalah termasuk dalam berbagai jenis leukimia yaitu kanker yang
berasal dari sel–sel hemopoietic (sel darah) dan kanker yang berasal dari sistem
syaraf (Alberts et al., 1994 ; Bulan, 2002)
Tanda-tanda atau gejala utama kanker tidak spesifik, ada yang bersifat umum dan ada
yang bersifat lokal. Seringkali pada fase awal atau stadium dini tidak menunjukkan
gejala klinis apapun. Fase ini disebut dengan fase hening (Bishop and Harold, 1991).
Sampai saat ini penyebab kanker belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa
faktor resiko pemicu pada beberapa jenis kanker seperti faktor genetis (turunan) dan
faktor lingkungan. Sebagian besar pemicu kanker pada manusia merupakan hasil
interaksi antara faktor lingkungan dan lingkungan kerja (Occupational) yang disebut
dengan zat karsinogenik yang dapat dibagi sebagai berikut :
1. Karsinogenik kimia seperti nikotin, tar dari rokok, zat radioaktif, zat pengawet,
penyedap, pewarna makanan, nitrosamine, asbes, arsen, batubara, merkuri,
alkohol, dan lain-lain.
2. Karsinogenik fisika seperti sinar-x, ultraviolet, laser, radiasi atom dan lain-lain.
3. Karsinogenik biologi seperti infeksi virus (papiloma, herves) yang merupakan
salah satu faktor resiko kanker serviks, jamur misalnya jamur Aspergillus flavus
penyebab kanker hati (Ames, 1979)..
2.3.3. Hubungan Telomerase dengan Tumor
Kromosom eukariot berbentuk rantai lurus. Ujung kromosom mempunyai struktur
yang spesifik yang dikenal dengan nama telomer. Bentuk telomer semua kromosom
eukariot umumnya tersusun dari nukleotida-nukleotida pendek dan letaknya pada
ujung 3’ kromosom DNA. Sebagai contoh telomer sel sperma manusia dan sel telur
terdiri dari 1000 s/d 1700 copi dari TTAGGG. Telomer kromosom ini berfungsi
untuk mencegah degradasi DNA atau penggabungan antar DNA. Pengikatan telomer
ini pada ujung DNA dilakukan oleh RNA primase yang dikenal dengan telomerase.
Telomerase tidak sama dengan DNA polimerase yang pertama sekali ditemukan oleh
Elizabeth Blackburn dan Carol Greider dari university California (1985)
menunjukkan bahwa telomerase bertanggung jawab dalam pembelahan sel somatik.
Telah ditemukan bahwa untuk setiap siklus pembelahan sel, DNA akan mengalami
pemendekan sebesar 50 nukleotida pada posisi ujung telomer. Oleh karena itu setiap
siklus pembelahan sel, telomer-telomer ini makin lama makin pendek sehingga sel
menjadi tidak stabil dan lama kelamaan akan mati. Penomena seperti ini telah
ditemukan para ilmuan yang dikenal dengan “Telomere Theory of Aging Interstingly
Cancer Cells of Pear Immortal because They Continue to Reproduce Indetimitely”.
Hasil survei yang dilakukan terhadap 20 jenis tumor yang berbeda oleh Geron
Corporation of Neulo Park California bahwa semua tumor terjadi diakibatkan oleh
aktivitas telomerase.
T T A G G G T T A G G G
← Gugus telomer pada DNA polimerase
5’----------------------------------------------3’ ----------------------------------------------A A U C C C A A U C C C
→ Gugus telomer pada RNA
Gambar 2.7. Gugus Telomer pada DNA Polimerase dan RNA
Sama halnya dengan telomer lain, telomer manusia merupakan ribonukleotida
protein. Jumlah nukleotida telomer RNA manusia 962 nukleotida. RNA ini
merupakan cetakan untuk sintesis DNA telomerase yang aktif untuk mensintesis
telomer-telomer. Urutan nukleotida telomerase RNA berkisar 46 s/d 56 nukleotida
yang urutannya AAUCCC dimana basa T pada telomerase DNA digantikan oleh basa
U pada telomerase RNA. Telomer-telomer merupakan kelipatan nukleotida heksamer
TTAGGG yang jumlahnya antara 1000-1700 nukleotida dan terletak pada ujung 3’
kromosom DNA yang terbanyak basanya adalah basa G. RNA primase adalah suatu
enzim yang lebih dikenal dengan enzim telomerase yang membentuk segmen-segmen
okazaki ( Feng et al., 1995).
Enzim Telomerase
Telomerase adalah suatu ribonuklease. Telomerase pada manusia merupakan enzim
yang sangat komplek baik struktur maupun aktivitas kerjanya. Esensial struktural
komponennya adalah :
1. Gugus katalitik protein ini disebut TERT, yang berfungsi sebagai transkriptase
balik (reverse transkriptase) yaitu suatu enzim yang mengkatalis transkripsi RNA
menjadi DNA.
2. Satu unit RNA yang disebut TR yang mempunyai fungsi sebagai template untuk
transkripsi balik (reverce transcription) dan sebagai pembawa pesan pada ujung 3’
DNA. Panjang TR manusia sebanyak 450 nukleotida.
3.
Additional interacting protein meliputi : TRF, TRT, dan lain sebagainya.
Telomerase mempunyai berbagai tingkat aktivitas yang mampu mengendalikan
pembelahan sel sehingga telomerase disebut agent pembelahan sel. Telomerase
biasanya memperpendek siklus sel secara normal. Apabila telomerase menjadi lebih
pendek (telomerase menjadi tidak aktif) mengakibatkan kromosom tidak stabil,
pembelahan sel akan berhenti lalu sel akan mati (apoptosis). Secara alami proses
pemendekan telomerase merupakan kunci biologis didalam pengaturan pembelahan
sel. Hasil riset akhir-akhir ini menunjukkan bahwa telomerase merupakan pemicu
terbentuknya sel kanker. Telah diketahui bahwa aktivitas telomerase dijumpai pada
sel kanker ovarium wanita, tetapi tidak ditemukan pada sel non malignat pasien
kanker yang sama. Ini menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara aktivitas
telomerase dalam pembentukan kanker payudara (breast cancer). Sebanyak 85-90%
pembentukan kanker sangat dipengaruhi oleh aktivitas telomerase (Greider and
Blackburn, 1996; Perkel, 2002).
2.3.4. Mekanisme Pembentukan Kanker
Kanker adalah suatu pertumbuhan sel atau tumor hasil dari pembelahan sel yang tidak
normal dan tidak terkendali. Pada dasarnya pembelahan sel dibedakan menjadi 2
macam yaitu pembelahan sel secara langsung dan secara tidak langsung. Pembelahan
sel secara langsung jika proses pembelahan tidak didahului dengan pembentukan
gelondong pembelahan dan penampakan kromosom yang disebut dengan amitosis.
Pembelahan secara tidak langsung jika proses pembelahan didahului dengan
pembentukan gelondong pembelahan dan penampakan kromosom. Pembelahan
secara tidak langsung ini meliputi pembelahan mitosis dan pembelahan meiosis.
Mekanisme terbentuknya sel kanker (Gambar 2.8)
terbentuknya kompleks
pembelahan sel diawali dari
antara IGF1 dengan reseptornya (IGF1 reseptor), lalu
mengaktifkan Tyrosin Kinase dengan bantuan ATP, lalu PI3
akan aktif dengan
bantuan ATP untuk membentuk kompleks dengan RAS, kemudian kompleks PI3
Kinase-RAS akan mengaktifkan Kinase dengan bantuan ATP selanjutnya akan
memberi sinyal kepada Nukleus untuk memulai melakukan pembelahan sel sesuai
kebutuhannya.
Gambar 2.8. Mekanisme Terbentuknya Sel Kanker
Setelah keperluan sel yang dibutuhkan tercukupi maka PTEN akan merebut ATP
yang akan digunakan PI3 Kinase sehingga kompleksnya dengan RAS tidak
berlangsung dan sinyal selanjutnya akan terhenti maka pembelahan sel berikutnya
akan terhenti juga.
Proses terbentuknya sel kanker diawali terganggunya PTEN oleh faktor inflamasi
maupun paparan benda asing mengakibatkan PI3 Kinase akan mengikat ATP secara
tidak terkendali sehingga respon untuk pembelahan sel juga tidak terkendali yang
menghasilkan sel yang tidak dewasa dan tidak memiliki hubungan antar sel sehingga
sel tidak memiliki fungsi bologis sebagaimana mestinya yang disebut sel kanker.
Setiap makhluk hidup dibentuk oleh berjuta-juta sel dan setiap sel dibentuk oleh
organ-organ sel atau organel sub seluler. Salah satu organel sel yang penting yang
terlibat di dalam pembelahan sel (perkembangbiakan sel) adalah inti sel. Inti sel
terdiri dari 3 komponen yaitu : a. Deoxyribonucleic Acid (DNA), b. Ribonucleic Acid
(RNA) dan c. Nukleoprotein (Protein Inti).
Yang berperan penting dalam pembelahan sel adalah DNA yang mampu menurunkan
sifat baka (kekal) setiap makhluk hidup, sehingga DNA dikenal dengan unsur
genetika. Komposisi DNA secara umum dibagi 2 bagian yaitu intron dan exon.
Intron atau faktor pengendali pada pembelahan sel dan terdiri dari nukleotida dalam
jumlah tertentu dan berbeda untuk setiap spesies, sedangkan exon adalah urutan
nukleotida dalam jumlah tertentu yang berfungsi untuk mensintesis komponen sel di
dalam perkembangannya.
Penggambaran struktur DNA berdasarkan pernyataan di atas sebagai berikut :
Intron
--- --- -- --Ekson
R
P
O
X
Y
Z
DNA
R (Rpressor), P (Promotor) dan O (Operator), ketiga unsur ini komponen intron. X,
Y dan Z disebut gen struktural yaitu gen yang mensintesis komponen yang
dibutuhkan oleh sel di dalam perkembangannya misalnya gen pembentuk/mensintesis
enzim atau komponen lain yang dibutuhkan sel. Pada proses pembelahan sel baik
intron maupun exon semuanya mengalami pembelahan/denaturasi sehingga DNA
yang merupakan utas rangkap terdenaturasi menjadi DNA utas tunggal. DNA utas
tunggal ini menjadi cetakan pada sintesis DNA baru dimana DNA baru dengan
adanya dNTP-dNTP serta enzim DNA polimerase.
Baik intron maupun exon
mempunyai ciri dan jumlah nukleotida spesifik untuk setiap gen. Jumlah nukleotida
pada intron jauh lebih besar (banyak) dari jumlah nukleotida pada exon.
Pembelahan mitosis berfungsi menggandakan pertumbuhan (termasuk mengganti selsel rusak atau mati), sedangkan pembelahan meiosis bertujuan untuk membentuk selsel perkembangbiakan (gamet). Secara normal, pembelahan mitosis menghasilkan
dua bahan nukleus anak (sel anak) dengan perangkat kromosom yang identik. Sel
yang normal dalam tubuh akan tumbuh dan mati secara terkendali. Di samping itu,
dapat juga terjadi penyimpangan yaitu sekelompok sel yang tumbuh dan membelah
secara abnormal membentuk tumor (benjolan). Beberapa tumor bersifat jinak, artinya
sampai tahap tertentu pertumbuhannnya berhenti. Sebaliknya ada tumor ganas atau
kanker, yang sel-selnya terus menerus tumbuh dan membelah sehingga mendesak dan
merusak jaringan yang ada di sekitarnya dan menyebar ke jaringan lain (metastatis)
yang menyebabkan pertumbuhan baru dan terjadi perubahan metabolisme ke arah
pembentukan makromolekul dari nukleosida serta asam amino juga peningkatan
katabolisme karbohidrat untuk energi sel (Watson et al., 1988).
Sel kanker mempunyai sistem enzim yang berbeda yaitu jumlah macam enzim sel
kanker lebih sedikit dibanding sel normal, misalnya sel kanker tidak mempunyai
enzim asparagin sintetase. Enzim-enzim untuk pertumbuhan pada sel kanker lebih
besar dibandingkan sel normal. Sel normal tumbuh hanya satu lapis setelah sampai
dinding tempat media (dinding petri jika di dalam cawan petri), akan terhenti
pertumbuhannya, sedangkan sel kanker akan tumbuh terus dan terbentuk lapisanlapisan yang tidak teratur (Mulyadi, 1997). Faktor-faktor penyebab kanker
(karsinogen) dapat berupa senyawa kimia, faktor fisika seperti radiasi sinar X atau
UV, virus atau disebut virus onkogenik serta ketidakseimbangan hormonal (Bulan,
2002). .
2.3.5. Leukimia (Kanker Darah)
Leukimia merupakan neoplasma ganas sel darah putih (leukosit) yang ditandai
dengan bertambahnya sel darah putih yang abnormal di dalam aliran darah akibat
terjadinya produksi sel darah putih yang masih muda dengan cepat, berlebihan dan
tidak berfungsi. Sel-sel tersebut berinfiltrasi secara progresif ke dalam jaringan tubuh
terutama ke dalam sumsum tulang belakang. Hal ini akan mengakibatkan fungsi
sumsum tulang belakang untuk membentuk sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
normal dan keping darah (platelets) menjadi terganggu. Sel darah merah berfungsi
membawa oksigen dan karbon dioksida, keping darah (trombosit) berfungsi
membantu penggumpalan darah ketika terluka dan sel darah putih (leukosit)
membantu tubuh melawan infeksi dari penyakit.
Ada 4 macam leukimia yaitu 1) Leukimia limfositik akut (LLA), 2) Leukimia
mielositik akut (LMA), 3) Leukimia limfositik kronis (LLK) dan 4) Leukimia
mielositik kronis (LMK). Leukemia mielositik melibatkan granulosit, sedangkan
leukemia limfositik melibatkan limfosit yaitu sel T dan sel B.
Leukimia Akut
Leukimia akut, penyakit leukimia yang kondisinya akan semakin memburuk secara
cepat. Leukimia akut menunjukkan gejala klinik suhu badan naik, ada tanda– tanda
infeksi, pendarahan karena trombositopenia, pucat, lesu, karena anemia dan nyeri
pada tulang. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kesamaan, kecuali jenis sel
leukemianya, yaitu kadar haemoglobin turun, jumlah leukosit naik, jumlah eritrosit
turun, ditemukan banyak sel muda (immature), jumlah trombosit turun dan waktu
pendarahan lama. Ada dua jenis leukimia akut yaitu leukimia mielositik akut (LMA)
dan leukimia limfositik akut (LLA).
LMA adalah penyakit yang bisa berakibat fatal, dimana mielosit (yang dalam keadaan
normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera
akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang. Sel-sel leukemik
tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan menggantikan sel-sel yang
menghasilkan sel darah normal. Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran
darah dan berpindah ke organ lainnya, selanjutnya tumbuh dan membelah diri.
Mereka bisa membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat di bawah kulit dan
bisa menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ
lainnya (Medi, 2010)..
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah
yang normal dalam jumlah yang memadai, ditandai dengan lemah, sesak nafas,
infeksi, pendarahan dan demam. Gejala lainnya adalah sakit kepala, muntah, gelisah
dan nyeri tulang dan sendi.
Penyakit LMA terutama menyerang orang dewasa.
Tanpa pengobatan, jangka waktu bertahan hidup penderita dalam batas tiga bulan.
Tujuan pengobatan adalah menghancurkan semua sel leukemik sehingga penyakit
bisa dikendalikan. LMA hanya memberikan respon terhadap obat tertentu dan
pengobatan sering kali membuat penderita lebih sakit sebelum mereka membaik.
Penderita menjadi lebih sakit karena pengobatan menekan aktivitas sumsum tulang,
sehingga jumlah sel darah putih semakin sedikit (terutama granulosit) dan hal ini
menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi (Medi, 2010). Pada kemoterapi
awal biasanya diberikan sitarabin (selama7 hari) dan daunorubisin (selama 3 hari).
Kadang diberikan obat tambahan (misalnya tioguanin atau vinkristin) dan prednison.
Dengan kemoterapi yang intensif harapan hidup pasien LMA lebih dari satu tahun
dan beberapa pasien ada yang bertahan sampai tiga tahun dan sekitar 20%
kemungkinan dapat sembuh. Obat tunggal yang paling aktif bagi pasien LMA adalah
sitarabin, tetapi lebih baik bila digunakan kombinasi dengan obat lain. Kombinasi
yang baik yaitu sitarabin dengan tioguanin atau sitarabin dengan daunorubisin.
LLA adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, dimana sel-sel yang dalam keadaan
normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan
menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang. Leukimia jenis ini merupakan
25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di bawah umur 15 tahun.
LLA ini paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun, tetapi kadang dapat
juga terjadi pada usia remaja dan usia dewasa. Sel-sel yang belum matang, yang
dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit, berubah menjadi ganas. Sel
leukemik ini tertimbun di sumsum tulang, lalu menghancurkan dan menggantikan
sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel kanker ini kemudian dilepaskan
ke dalam aliran darah dan berpindah ke hati, limpa, kelenjar getah bening, otak, ginjal
dan organ reproduksi, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah
diri. Sel kanker bisa mengiritasi selaput otak, menyebabkan meningitis dan bisa
menyebabkan anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya. Penderita
LLA mengalami anemia, pendarahan dan mudah terkena infeksi. Dengan proses
kemoterapi yang intensif harapan hidup pasien LLA antara tiga sampai lima tahun
dan lebih dari 50% peluang untuk dapat sembuh.
Beberapa pusat medis
menggunakan proses kemoterapi dengan kombinasi obat yaitu vinkristin dan
prednison (Medi, 2010). Penderita LLA mengalami anemia, perdarahan dan mudah
terkena infeksi. Dengan kemoterapi yang intensif harapan hidup pasien LLA antara
tiga sampai lima tahun dan lebih dari 50% dapat sembuh. Beberapa pusat medis
menggunakan kemoterapi kombinasi obat yaitu vinkristin dan prednison (Medi,
2010).
Leukimia Kronis
Leukimia kronis, penyakit leukimia yang kondisinya akan semakin memburuk secara
cepat. Leukimia kronis mempunyai ciri–ciri utama seperti timbulnya pada usia yang
agak lanjut, jumlah leukosit tinggi, penurunan kadar haemoglobin ringan atau sedang
dan sering berubah menjadi leukimia akut. Ada dua jenis leukimia kronis yaitu
leukimia limfositik kronis (LLK) dan leukimia mielositik kronis (LMK). Pada
penyakit LMK perbandingan sel yang belum matang (immature) dengan sel yang
sudah matang (mature) berbeda pada satu penderita dengan penderita yang lain. Pada
tahap awal jumlah sel yang belum matang relatif sedikit, jumlah trombosit meningkat
dan penurunan kadar haemoglobin ringan. Perubahan penyakit LMK menjadi stadium
akut (stadium akhir) yang disebut blastic transformation atau blast crisis, terjadi
perubahan sebagai berikut : jumlah mieloblas dan sel yang belum matang lain
meningkat, jumlah basofil meningkat, trombosit menurun, leukosit meningkat dan
kadar haemoglobin menurun drastis. Transformasi blastik ini umumnya timbul
setelah tiga sampai empat tahun setelah diagnosis dan penyakit ini berubah menjadi
leukimia akut. Proses penghambatan dapat dilakukan menggunakan proses
kemoterapi menggunakan busulfan.
LLK merupakan penyakit yang timbul akibat akumulasi sel limfosit dalam sumsum
tulang, darah, kelenjar getah bening, limfa dan hati sehingga sel pembentuk darah
lainnya di dalam sumsum tulang berkurang. Penyakit LLK ini sering timbul pada
pasien yang berusia lanjut (usia 45 tahun ke atas) dan sangat jarang terjadi pada
pasien sebelum umur 45 tahun. Tetapi LLK meliputi kortikosteroid atau kemoterapi
obat alkilasi. Obat alkilasi akan menurunkan jumlah limfosit pada kebanyakan pasien
penderita penyakit ini dan yang biasa digunakan adalah klorambusil dan mempunyai
efek samping yang sangat kecil (Medi, 2010).
2.3.6. Lini Sel L1210
Salah satu yang digunakan untuk menguji sifat anti kanker suatu zat adalah sel L1210,
di samping sel yang lainnya seperti sel hela (sel kanker yang berasal dari kanker leher
rahim manusia), sel P388, sel KB (nasopharynx carcinoma), sel sarkoma 180 A, sel
V 79, sel walker 256 dan lain – lain (Bulan, 2002).
Lini sel L1210 atau limfoid leukimia L1210 adalah sel tumor yang diisolasi dari limfa
tikus. Proses induksi tumor ini dilakukan dengan pengolesan 3-metilkolantren pada
kulit tikus jenis tertentu. Sifat – sifat yang karakteristik dari lini sel L1210 adalah
terjadinya perkembangbiakan yang tersebar luas ke organ lainnya, dapat
menyebabkan kematian dalam kurun 8 11 hari, merupakan sel tumor yang tumbuh
cepat dengan persentase sel cukup tinggi dan memiliki tingkat pertumbuhan 100%
(Bauguess et al., 1981). Berbagai macam lini sel leukimia lebih sering digunakan
untuk mengelusi mekanisme apoptosis. Hal ini terjadi karena obat-obatan antikanker
maupun reagen sitotoksik lebih efektif terhadap kanker leukimia daripada penyakit
kanker lainnya. Contoh lini sel leukimia lainnya yang sering digunakan adalah lini sel
promyelocytic HL-60 serta lini sel Jurkat T (Zhang et al., 2008). Sejak tahun 1955–
1975 lembaga kanker nasional Amerika ( NCI, National Cancer Institute)
menggunakan lini sel L1210 untuk penapisan awal zat anti kanker, zat – zat yang aktif
terhadap lini sel L1210, kemudian di uji secara in vivo pada tikus yang diinokulasi
dengan tumor. Program penapisan yang dilakukan NCI berhasil menguji aktivitas
40.000 senyawa. Senyawa yang menunjukkan aktivitas terhadap lini sel L1210 diuji
lebih lanjut terhadap suatu panel uji sel tumor tikus sebelum dilakukan uji klinik.
2.3.7. Aktivitas Biologis Penghambatan Sel Kanker
Kanker adalah suatu pertumbuhan sel atau tumor, hasil dari pembelahan sel yang
tidak normal dan tidak terkendali. Setiap pembelahan sel selalu diawali oleh
pembelahan inti sel. Menurut teori dogma sentral, pada proses pembelahan inti sel
terjadi proses replikasi (biosintesis molekul DNA) dan proses transkripsi (Watson,
et.al,1988). Aktivitas biologis penghambatan sel kanker dapat dilakukan dengan
mekanisme penghambatan sintesa DNA (Replikasi DNA ). Replikasi DNA dapat
terjadi dengan adanya sintesis rantai nukleotida baru dimana rantai nukleotida lama
berfungsi sebagai cetakan DNA baru. Proses replikasi meliputi yaitu : 1) Denaturasi
molekul DNA utas rangkap → utas tunggal (enzim unwindase), 2) Sintesis DNA baru
dgn DNA template (dNTP, enzim DNA polimeras), 3) Pembentukan DNA rangkap
(enzim ligase) secara konservatif, semi konservatif dan 4) Untuk sel kanker
diperlukan enzim telomerase yg memotong rantai DNA awal menjadi fragmen
dimana urutan nukleotidanya sudah memenuhi unsur gen.
Salah satu penghambatan sel kanker melalui mekanisme penghambatan sintesis DNA
adalah melalui metilasi DNA dan penekanan produksi Histon Deacetylase (HDAC)
akibat rangsangan sulforaphane yang bekerja sama untuk mempertahankan fungsi sel
normal. Makin tinggi kadar solforaphane semakin efektif untuk melawan kanker. Hal
ini telah dibuktikan melalui penelitian terhadap kanker payudara tikus percobaan
serta mencegah perkembangan sel-sel yang baru tumbuh (Munchberg et al., 2007).
Apabila gugus metil dari senyawa organo sulfida mensubstitusi gugus –OH posisi C
no 3 dari DNA, maka sintesa DNA pada sel kanker akan terhambat karena tidak
terjadi perpanjangan rantai DNA (Gambar 2.9).
Akibat masuknya metil pada
deoksiribosa, maka perpanjangan DNA berikutnya akan terhambat karena posfat
tidak dapat berikatan lagi pada atom C nomor 3 sehingga sintesa DNA akan terhenti
(Munchberg et al., 2007).
-CH3
Gambar 2.9. Reaksi Penghambatan Rantai DNA Yang Mengandung Adenin,
Guanin dan Sitosin (Munchberg et al., 2007).
2.3.7. 1. Menginhibisi Telomerase
Dua hal yang penting dari sel kanker ialah pertumbuhannya yang tidak
terkendali dan terkontrol serta immortaliti. Hal ini disebabkan oleh kerja dari
telomerase. Tolemerase hanya aktif di dalam sel-sel kanker tetapi tidak di dalam selsel normal. Kehadiran tolemerase menyebabkan atau memperpendek proses replikasi
sel. Aktivitas tolemerase menyebabkan sel kanker tidak mati (immortal). Banyak
peneliti mengemukakan hipotesis bahwa senyawa-senyawa kimia yang menghambat
aktivitas kerja tolemerase adalah obat yang ampuh sebagi anti kanker. Untuk
menghambat kerja tolomerase dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain : 1)
Membuang (memotong=silencing) gene yang mengkode pembentukan enzim
tolomerase, 2) Menginhibisi sub unit katalitik protein TERT, 3) Interferensi dengan
faktor protein esensial TRF and TRF2 dan 4) Interferensi dengan aksi RNA tamplate
T.R.
Oleh karena itu banyak laboratorium diseluruh dunia berusaha untuk mendapatkan
inhibitor enzim tolomerase untuk tujuan ilmu lebih-lebih untuk mendapatkan hadiah
nobel, popularitas didalam blokingnya kromosomal DNA (telomerase Strands).
Komplek enzim telomerase hanya mempunyai aktivitas untuk mensintesis telomertelomer dalam bentuk rantai tunggal (single Strands). Analisis kristalografi sinar X
maupun NMR menunjukkan bahwa bagian yang kaya G dari utas tunggal telomerase
secara alami cendrung terikat pada utas tunggal sendiri. Struktur sperti ini dapat
mengakibatkan satu atau dua rantai telomer yang kemudian akan berkembang
menjadi 4 (empat) telomer yang terpisah satu dengan yang lain. Biokimiawan
sekarang berusaha untuk mendapatkan agent kimia yang mampu menginhibisi
aktivitas enzim telomerase pada posisi yang kaya dengan G dengan cara berikatan
dengan ujung yang kaya G tersebut, membentuk suatu struktur komplek yang kuat
(Pindur et al., 1993).
2. 3.7.2. Beberapa Senyawa Anti Kanker
Beberapa senyawa kimia yang efektif menghambat aktivitas telomerase antara lain
senyawa
golongan antrakuinon,
akridin, dan forforin
terutama
tetra (N-
metylpiramidyl porfirin (TMPyP4). Obat-obatan yang mampu menginhibisi aktivitas
enzim telomerase akan menghambat pertumbuhan kanker.
O
O
CH2 CH2
NH
HN
O
CH2
R2 N
R1
CH2
R2
N
R1
1-4, 5-1,8,2,6 dan 2,7
Antraquinon
Gambar 2.10. Struktur Antraquinon (Pindur et al., 1993).
O
CH2
NH
N
H
HN
R1
CH2
+
N
H
R2
CH2
CH2
R2
+
N
3,6 Akrimides
R1
H
Gambar 2.11. Struktur Akrimida (Pindur et al., 1993).
Me +
+ Me
N
N
N
H
N
N
H
N
+N
Me
N+
Me
Gambar 2.12. Struktur Tetra (N-Metilpiridil) Porphirin (Pindur et al., 1993).
O
O
HO
OH
OH
H3CO
O
OH H
O
O
CH3
OH
NH2
Gambar 2.13. Struktur Doxorubicin (Pindur et al., 1993)
2.3.7.3. Obat Anti Kanker
Pencarian obat antikanker baru memainkan peranan penting, tidak hanya oleh
perusahaan obat tetapi juga oleh banyak organisasi pemerintah. Tingkat kematian
akibat kanker cendrung meningkat diperkirakan dari 9 juta kematian pada tahun 2015
meningkat menjadi 11,4 juta pada tahun 2030. Oleh karena itu obat-obat kanker baru
yang lebih efektif sangat diperlukan (Saiz-Urra et al., 2009). Jenis pengobatan kanker
salah satunya dengan memberikan obat-obat pembunuh sel kanker/sitostatika
(kemoterapi). Tujuan utama kemoterapi kanker adalah merusak secara selektif sel
tumor yang berbahaya tanpa mengganggu sel normal.
Untuk menentukan suatu bahan alami atau sintetis yang dapat digunakan
sebagai anti kanker, terdapat beberapa istilah yang harus diperhatikan, berdasarkan
efek biologi dari suatu senyawa terhadap sel yang dicobakan yaitu sitotoksik, anti
tumor, dan anti kanker (Suffness dan Pezzuto, 1991; Bulan, 2002). Sitotoksik adalah
toksik terhadap sel dalam jaringan. Sifat ini dapat dibedakan menjadi sitostatik dan
sitosidal. Sitotoksik yaitu menghentikan pertumbuhan sel yang sering sekali
reversible dan sitosidal yaitu pembunuhan terhadap sel.
Antitumor yaitu efektif terhadap suatu model sistem tumor secara in vivo. Antikanker
yaitu efektif dalam suatu percobaan terhadap suatu penyakit pada manusia.
Sedangkan untuk menetapkan suatu senyawa bersifat antikanker dilakukan beberapa
tahap penelitian yaitu uji sifat farmakologi dan aktivitas terhadap berbagai sel
(penapisan awal) adalah untuk menentukan toksisitas suatu senyawa. Uji toksikologi
pra klinis dan farmakologi pada hewan percobaan untuk menentukan sifat antitumor
suatu senyawa, dan uji coba klinik pada manusia untuk menetapkan suatu senyawa
sebagai obat antikanker.
Penentuan sifat toksisitas suatu senyawa dilakukan uji sifat farmakologi dan
aktivitasnya terhadap berbagai sel secara in vitro atau in vivo. Sel–sel yang digunakan
antara lain sel P388 (sel limfositis yang berasal dari kanker pada tikus), lini sel L1210
(sel yang diisolasi dari limfa tikus), sel hela (sel yang berasal dari kanker leher rahim
manusia), sel KB (nasopharynx carsinoma), sel sarcoma 180 A, sel walker 256
(Itokawa dan Takeya, 1993 ; Bulan, 2002). Bagaimanapun juga, berbagai macam lini
sel leukimia lebih sering digunakan untuk mengelusi mekanisme apoptosis. Hal ini
terjadi karena obat-obatan antikanker maupun reagen sitotoksik lebih efektif terhadap
kanker leukimia daripada penyakit kanker lainnya. Contoh lini sel leukimia lainnya
yang sering digunakan adalah lini sel promyelocytic HL-60 serta lini sel Jurkat T
(Zhang et al., 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eagle dan Foley (1958), sel kanker
yang dibiakkan dalam kultur jaringan secara in vitro dapat digunakan sebagai alat
penapisan awal untuk mendeteksi sifat antitumor suatu zat. Toplin pada tahun 1959
menyusun prosedur kultur jaringan untuk program penapisan zat antikanker secara
besar–besaran dan dengan prosedur tersebut telah berhasil menguji aktivitas senyawa
antitumor sebanyak 17.000 jenis senyawa hasil fermentasi. Sel yang digunakan dalam
kultur jaringan tersebut adalah sel hela.
Hasil pengujian yang diperoleh dibandingkan dengan pengujian secara in vivo
pada tikus yang telah diinokulasi dengan tumor. Ada korelasi sebesar 70% antara
aktivitas antitumor pada kultur jaringan dengan aktivitas pada tikus yang diinokulasi
dengan tumor. Namun ada beberapa kekecualian yaitu ada zat yang sangat aktif pada
kultur jaringan tetapi tidak aktif pada tikus percobaan dan sebaliknya ada zat yang
aktif pada tikus percobaan tetapi tidak aktif pada kultur jaringan dengan tingkat
konsentrasi yang sama. Maka dari kedua sistem tersebut dapat disimpulkan bahwa in
vitro dan in vivo bersifat saling melengkapi.
Sejak tahun 1955–1975 lembaga kanker nasional Amerika ( NCI, National
Cancer Institute) menggunakan lini sel L1210 untuk penapisan awal zat anti kanker,
zat – zat yang aktif terhadap lini sel L1210, kemudian di uji secara in vivo pada tikus
yang diinokulasi dengan tumor. Program penapisan yang dilakukan NCI berhasil
menguji aktivitas 40.000 senyawa. Senyawa yang menunjukkan aktivitas terhadap
lini sel L1210 diuji lebih lanjut terhadap suatu panel uji sel tumor tikus sebelum
dilakukan uji klinik. Selanjutnya NCI menggunakan suatu desain dalam penapisan
awal untuk mendeteksi aktivitas suatu zat antitumor berdasarkan model seleksi dari
beberapa tumor padat pada tikus.
Hasil seleksi yang dilakukan menghasilkan sel P388 digunakan sebagai uji
penapisan awal, karena sel ini sangat sensitif terhadap bermacam golongan senyawa
dan banyak sekali senyawa–senyawa yang menunjukkan aktivitas terhadap sel P388.
Setelah diketahui bahwa suatu zat aktif pada penapisan awal maka diuji lebih lanjut
terhadap sel kanker yang lebih spesifik yaitu suatu panel uji sel tumor tikus baik
secara in vitro maupun secara in vivo dan selanjutnya di uji lagi dengan sel xenograft
tumor manusia. Sel tumor tikus yang biasa digunakan untuk panel uji tersebut adala
lini sel L1210, sel Melanoma B16, sel tumor payudara CDFI, sel kanker paru–paru,
dan sel tumor usus. Sedangkan sel xenograft tumor manusia digunakan sel tumor
usus besar CX-1, sel tumor paru–paru LX-1, sel tumor payudara MX-1 (Suffnes dan
Pezzuto, 1991).
Penentuan dapat atau tidaknya suatu zat dikembangkan sebagai obat anti
kanker didasarkan pada sifat toksisitasnya. NCI telah menetapkan kriteria aktivitas
berdasarkan nilai inhibisy Concentration 50 (IC50) yaitu konsentrasi yang dibutuhkan
untuk menghambat pertumbuhan sel sebesar 50%. Suatu zat disebut bersifat
sitotoksik bila aktivitas terhadap sel uji mempunyai nilai IC50 < 20 µg/ml untuk suatu
ekstrak, dan nilai IC50 < 4 µg/mL untuk senyawa murni (Suffnes dan Pezzuto, 1991).
Selain IC50 untuk menentukan sifat sitotoksik suatu zat digunakan juga ukuran
lain yaitu Lethal Dosis 50 (LD50) yaitu dosis yang efektif untuk menghambat
pertumbuhan sel sebesar 50%. Setelah lolos dari uji penapisan awal selanjutnya
dilakukan uji toksikologi pra klinis dan farmakologis melalui pengujian secara in vivo
dengan beberapa sistem tumor hewan yang dapat ditransplantasikan dan telah
ditentukan sifatnya pada hewan percobaan. Kriteria yang ditetapkan pada hewan
percobaan adalah berdasarkan nilai LD50 (mg/Kg)
yaitu dosis yang dapat
menyebabkan kematian hewan percobaan sebesar 50%. Senyawa yang memberikan
harapan yaitu senyawa yang tidak mempunyai toksisitas berlebihan dilanjutkan ke uji
coba klinik fase I yaitu penelitian jaringan tempat efek toksik dan farmakologinya
pada pasien kanker stadium lanjut. Konsentrasi awal yang dianggap aman untuk
digunakan pada manusia adalah konsentrasi dengan nilai LD10 pada hewan
percobaan. Seterusnya dilakukan uji coba klinik fase II untuk menentukan jenis tumor
tempat zat ini bermanfaat dan selanjutnya dilakukan uji coba klinik fase III untuk
membandingkan zat tersebut dengan terapi standar terbaik. Untuk zat yang telah
dinyatakan memenuhi standar tersebut diberi izin oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk digunakan sebagai obat. Obat anti kanker yang ideal akan membasmi
sel kanker tanpa merugikan jaringan normal (Salmon dan Sartorelli, 1998).
Ditinjau dari siklus sel, obat antikanker dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
yaitu kelompok obat cell cycle-spesific (CCS) dan kelompok obat cell cyclenonspecific (CCNS). Kelompok obat cell cycle-spesific (CCS) adalah obat yang
kerjanya memperlihatkan toksisitas selektif terhadap sel yang sedang berproliferasi.
Kelompok obat CCS ini adalah vinkristin, vinblastin, sitarabin, fluorourasil,
azositidin, bleomisin, merkaptopurin, tioguanin, hidroksiurea dan metotreksat.
Kelompok obat CCNS adalah mekloroetamin, siklofosfamid, melfalan, busulfan,
tiotepa, karmustin, lomustin, semustin, mitomisin, daktomisin, deoksorubisin dan
daunorobisin. Obat antikanker dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, seperti
yang disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Obat Antikanker dan Penggolongannya
Golongan
1. Senyawa pengalkil
2. Anti metabolit
Sub Golongan
Mustarnitrogen
. .
Etilenimin
Trietilentiofosforamid
Esterasamsulfonat
Epoksid
Mekloroetamin,Siklofostamid,Melfalan
Klorambusil Mustarurasil
Trietilenmelamin(TEM)
Sejenis purin
Sejenis pirimidin
6-Merkaptopurin,6-Tioguanin
Sitaribin, 5-Fluorourasil,6-Azauridin
Sejenis folat
Antagonis
asam amino
Metotraksat
Alanin,Selenilalanin,Fenilselenilalanin
Antagonis Vitamin
Isobroflavin, Deoksipiridoksin
3. Antibiotik
4. Hormon
Obat
Busulfan,Mileran,Dimetilmileran
Diepoksibutan,Epodil,Eponate
Daktinomisin,Mitomisin,Daunorubisin,
Daksorubisin, Mitramisin, Bleomisin
Estrogen
Dietilstilbestrol, Etinilsetradiol,
Antiestrogen
Tamoksifen
Progestin
Hidroksi progesteron kaproat
Adrenokortikosteroid
Prednison
5. Macam-macam
Hidroksiurea, Prokarbazin,
L-Asparaginase,Vinkristin, Vinblastin.
Sumber (Mulyadi, 1997)
Beberapa merk obat antikanker yang sudah dijual di pasaran secara komersil beserta
fungsinya disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Beberapa Obat Antikanker yang Dijual Secara Komersil
No.
Obat
Merk Obat
Fungsi
Erwinaze
LMA
2. Chlorambucil
Ambochlorin, Leukeran, Linfolizin
LLK
3. Clofarabine
Clofarex dan Clolar
LLA
4. Cytarabine
Cytosar-U dan Tarabine PFS
LLA,LMA,LMK
5.Cyclophosphamide
Clafen, Cytoxan, Neosar dan
LLA, LMK
Chlorambucil Clafen
LLA, LMK
Cerubidine dan Rubidomycin
LLA dan LMA
7. Doxorubicin
Adriamycin PFS dan
LLA dan LMA
. Hydrochloride
Adriamycin RDF
8. Methotrexate
Abitrexate, Folex, Folex PFS
1. Asparaginase Erwinia
Chrysanthemi
6. Daunorubicin
Hydrochloride
LLA
Mexate PFS dan Mexate-AQ
9. Vincristine Sulfate
VincasarPFS
10.Ponatinib Hydrochloride Lelusing
LLA dan LMA
LMK
Sumber (NCI, 2008)
2.3.7. 3. Mekanisme Reaksi Beberapa Senyawa Anti Kanker
Menurut teori Dogma sentral bahwa DNA akan mengalami transkripsi dan translasi
untuk mensintesis protein. Keadaan ini dapat terhenti apabila atom C nomor 3 dari
deoksiribosa dimetilasi sehingga sintesis protein secara otomatis juga terhenti.
Kemudian secara alami sel dapat mereperasi diri sehingga proses sintesa protein
dapat berlangsung kembali. Hal inilah yang menyebabkan pemakaian obat kanker
harus dikombinasikan agar kinerjanya dapat maksimal. Sebagai contoh obat untuk
leukimia akut yang digunakan selama ini adalah kombinasi dari 6-Merkaptopurin,
Metotraksat, Prednison dan L-Asparaginase. Fungsi masing-masing obat adalah
sebagai berikut :
a. 6-Merkaptopurin
6-Merkaptopurin merupakan analog basah adenin dan hiposantin. Bila difosporilasi
dengan 5-fosfo-α-D-ribosilposfat menghasilkan 6-Merkaptopurin ribosit yang
merupakan
inhibitor
perubahan
IMP
(Inosinmonoposfat)
menjadi
AMP
(Adenosinmonoposfat).
O
O
HO
P
CH2 CH
C
H
N
HN
O
O
O
-
O
HN
-
H
N
Asp
N
N
N
O CH2
C
CH2
O
Mg2+
O
GTP
GDP
OH
+ P1
HO
P
N
N
O CH2
O
OH
OH
OH
OH
IMP
OH
Adenosilsuksinat
NH2
N
O
HO
P
O
H
N
C
HC
N
N
O CH2
O
-
CH
O
O
C
OH
O
OH
-
OH
AMP
Gambar 2.14 Mekanisme Reaksi 6-Merkaptopurin Menjadi 6-Merkaptopurin-ribosit
b. Metotraksat
Metotraksat analog asam folat merupakan inhibitor (penghambat) enzim dihidrofolat
reduktase sehingga reaksi pembentukan koenzim aktif asam tetrahidrofolat (THF)
dari asam folat tidak dapat berlangsung (Gambar 2.14). Koenzim tetrahidrofolat
(THF) berfungsi sebagai pembawa sementara gugus 1-karbon (metilen CH2) (Gambar
2.15) dalam reaksi enzimatik biosintesis asam deoksitimidilat dari asam
deoksiuridilat. Asam deoksitimidilat merupakan suatu nukleotida unit pembangun
DNA. Penghambatan enzim dihidrofolat reduktase ini oleh obat-obatan tertentu akan
menghambat replikasi DNA pada sel kanker sehingga dapat digunakan dalam
penyembuhan beberapa kanker.
O
OH
N
CH2 NH
O
C
C
NH HC
N
-
CH2
N
H2N
O
N
Folat
H
CH2
CH2
O
C
NADPH, H+
-
O
Dihidrofolat
reduktase
NADP
Dihambat
CH3
C
HN
OH
N
CH2
CH2
CH3
C
Dihidrofolat
reduktase
NADPH, H+
OH
NAD
N
N
H2
H2N
N
N
H
Dihidrofolat (DHF)
HN
H
N
H2N
CH2
CH2
H
N
N
H
H2
Tetrahidrofolat (THF)
Gambar 2.15 Mekanisme Reaksi Folat Menjadi THF (Lehninger, 1988).
H3C
CH3
O
CH2
N
5
N
H2N
N
N
H
CH2
H
C
O
OH
NH
N
C
10
NH
O
-
HC
CH CH3
CH2
CH2
CH2
C
NADPH, H+
Dihidrofolat
reduktase
O
-
O
NADP
Gambar 2.16.
N5,N10Metilentetrahidro
folat
Gambar 2.17. Peranan N5,N10-metilentetrehidrofolat Sebagai Pemberi Gugus Metil di
dalam Pembentukan Asam Timidilat Secara Enzimatik. Deoksitimilat
merupakan Unit Pembangun DNA. (Lehninger, 1988).
Enzim dihidrofolat reduktase ini sangat peka terhadap senyawa-senyawa analog asam
folat (antimetabolit) sehingga digunakan pada kemoterapi untuk sel kanker. Fungsi
folat terutama di dalam sintesis prekursor asam nukleat dimana analog-analog
senyawa tersebut akan menghambat sintesis DNA sel-sel kanker.
c. L-Asparaginase
Aspargin merupakan asam amino esensial bagi sel kanker, dengan adanya enzim Lasparaginase maka aspargin akan diubah menjadi asam aspartat. Adanya ion
amonium , matrik essensialnya tidak terpenuhi sehingga sel kanker akan mati.
H
+
H3N
H
O
C
CH2
C
H2N
C
OH
OH
NH2
O
CH2
H+, OH-
- NH3
C
L-Asparginase
O
OH
O
Aspargin
Aspartat
Gambar 2.18. Reaksi Dalam Bentuk Asam Amino
d. Prednison
Prednison merupakan senyawa anti inflamasi (peradangan) menghambat sintesis
DNA/RNA limfosit.
H2 C
O
OH
C
OH
O
O
Gambar 2.19. Struktur Kimia Prednison
Mekanisme kerja prednison belum begitu jelas tetapi aktivitas penyembuhan leukimia
dihubungkan dengan penghambatan sintesis DNA dan RNA limfosit. Prednison
adalah suatu ortikosteroid golongan glukokortikoid
yang berfungsi
untuk
menghambat pengambilan glukosa oleh sel-sel kanker sehingga membatasi energi
yang sangat dibutuhkan untuk biosintesis asam nukleat dan beberapa kasus sintesis
DNA dan RNA mungkin langsung dipengaruhi (Montgomery et al., 1993). Prednison
suatu senyawa hasil sintesis yang mempunyai aktivitas antikanker yang lebih tinggi
dari efek antikanker metotraksat yaitu dengan cara menghambat sintesis DNA
maupun RNA limfosit (Montgomery et al., 1993).
e. Mustard Nitrogrn
Penggunaan obat antikanker dimulai tahun 1946 dengan ditemukannya mustar
nitrogen untuk mengobati leukimia. Mustard nitrogen merupakan senyawa pengalkil
(alkilating agent) yang menghubungkan dua gugus guanosil dalam rantai DNA duble
helix sehingga menghalangi terjadinya pembukaan pilinan rantai yang diperlukan
dalam proses replikasi atau transkripsi.
R
H
N
CH2
CH2
CH2
Cl
Cl
CH2
-2Cl
R
N
CH2
H2N
N
HN
O
HO
P
N
N
H
O
O
CH2
CH2
CH2
CH2
NH2
N
N
N
N
H
O
O
O
CH2 O P
OH
HO
O
O
O
P
OH
O
CH3
O P
OH
HO
Gambar 2.20. Mekanisme Reaksi Zat Anti Kanker Mustard Nitrogen
OH
Tabel 2.3. Gangguan Fungsi DNA dan Senyawa/Obat Terapi Kanker (Pindur et al., 1993)
No
Gangguan Fungsi DNA
Memutus rantai DNA
2
Mengikat silang DNA
3
Menghilangkan pilinan berganda DNA
4
Menghambat DNA polimerase
5
Menghambat sintesis DNA pada
sembarang tempat
Menghentikan sintesis 45 S RNA
6
Senyawa/Obat Terapi Kanker
Bleomisin, Prokarbasin, Radiasi sinar gamma,
neokarsinostatin, mitomisin
Senyawa-senyawa pengalkil, mitomisin, cisplatinum (II) diaminklorida.
m-AMSA (4-(9-akridilamino)-meta sulfonom-amisidin)
(tahap uji coba klinis), Bahan penginterkolasi,
cis-platinum (II) diaminklorida, Elliptisin (uji
coba klinis).
Aphidikholin (uji coba klinis), Arabinosil
sitosin.
Arabinosil sitosin, 5-azasitidin (uji coba
klinis), Daunorubisin, Vinblastin, Vinkristin.
Aktinomisin D, Daunorubisin, Adriamisin,
Mithramisin, Mustard nitrogen, Kloroetil
sikloheksil (nitroso urea) (CCNU), Elliptisin
(ujicoba klinis).
Adriamisin
7
Membentuk ikatan silang antara DNA
dan Protein
8
Menghambat pemprosesan 45 S RNA
CCNU, Biskloromitrosourea (BCNU),
Dihidro 5- azasitidin (ujicoba),
5- floxourasil, 5- florourasil deoksiribosida (5
FUdR).
9
Menghambat sintesis hn RNA
Aktinomisin D, Mustard nitrogen
10
Menghambat poliadenilisasi m RNA
3- deoksiadenosin
11
Pemutusan rantai m RNA
BCNU
12
Menghambat sintesis t RNA
Formisin (tidak digunakan untuk manusia),
5- azisitidin (uji coba klinis).
13 Menghambat sintesis t RNA mitokondria
Etidium bromida (bukan untuk manusia).
14 Degradasi Poliribosom
BCNU, D-galaktosamin
15 Menghambat pembentukan ribosom
Aktinomisin D
16 Menghambat sintesis rantai peptida
Sikloheksamida (bukan untuk manusia),
Auquidin (ujicobaklinis),
Emitin (tidak dipakai untuk kanker)
17 Mengganggu gelondong mitosis
Maitansin (uji coba klinis), Vinkristin,
Vinblastin.
Beberapa Ekstrak Bahan Alam Yang Memiliki Aktivitas Antikanker
1. Bruceosida merupakan senyawa alkaloid yang telah diesktraksi dari buah makasar
(Bruea javnica L. Merr.) aktif menghambat leukimia 388 dengan cara
menghambat sintesis DNA pada sel kanker (Yu, 1995).
2. Vinblastin (VLB) merupakan senyawa alkaloid yang diisolasi dari daun tapak dara
(Catharantus roseus L. ) efektif menghambat berbagai jenis kanker seperti pada
sel kanker L1210; P1534; AKR; EAC; S180 dan tumor payudara, sedangkan
alkaloid Vincristin mempunyai efek antikanker lebih tinggi dari Vinblastin. Selain
efektif terhadap kanker di atas, Vincristin telah diuji sangat efektif menghambat
sel kanker ridgeway oesteosarcoma; lymfosarcoma dan X5563 meyloma (Ziyin
and Zelin., 1994 dan Yuan et al.,1999). Ekstrak alkohol dari tumbuhan tapak dara
ini dapat menghambat perkembangan sarkoma 180 (S180), daya tingkat
keberhasilan 97,5% (Ziyin and Zelin, 1994; Siaw, 1998).
3. Ekstrak etanol dari tumbuhan bawang hutan (Scorodocarpus borneensis Becc)
merupakan senyawa bioaktif yang secara signifikan dapat menghambat
pertumbuhan sel kanker leukimia L1210 (Kartika dkk, 2014).
4. Senyawa indol dan sulforafan hasil ekstraksi tanaman Brokoli (Brassica oleraceae
var italica juga sangat berpotensi untuk mencegah pertumbuhan kanker (Yuan
et.al., 1999).
2..3.7.4. Uji Antikanker (Sitotoksik) Terhadap Sel Leukimia L1210
Salah satu cara uji pendahuluan dalam penentuan senyawa yang berkhasiat sebagai
antikanker adalah uji daya hambat terhadap pertumbuhan sel leukimia L1210. Sel
leukimia L1210 yang menjadi target percobaan aktivitas antikanker ini adalah satu
galur (strain) sel leukimia tikus yang secara rutin telah digunakan untuk uji senyawa
antikanker, baik in vitro maupun in vivo menggunakan tikus percobaan. Lini sel
1210
atau limfoid leukimia L1210 adalah sel tumor yang disolasi dari limfa tikus. Sifat-sifat
spesifik dari lini sel
1210
adalah terjadinya perkembangbiakan yang tersebar luas ke
organ lainnya dan dapat menyebabkan kematian dalam kurun waktu 8-11 hari,
merupakan sel tumor yang tumbuh cepat dengan persentase sel cukup tinggi dan
memiliki tingkat pertumbuhan 100% (Bauguess, et.al., 1981). Sel leukimia L1210
diperoleh dari The Institute of Physical and Chemical Research Japan (RIKEN). Sel
leukimia L1210 tersebut kemudian disuspensikan ke dalam formula media RPMI-1640
dan mengandung larutan calf bovine serum. Ekstrak
kasar dari suatu bahan alam
yang dapat diuji secara langsung dalam biakan sel leukimia L1210. Jika hasilnya
positif menghambat pertumbuhan sel leukimia L1210, maka dapat dikatakan ekstrak
tersebut aktif sebagai inhibitor. Sebagai ukuran aktivitas sitotoksik, ditentukan IC 50
dari ekstrak kasar tersebut. Aktivitas kristal (isolat murni) dikatakan aktif sebagai
antikanker bila nilai IC50 < 4 µg/mL dan IC50<20 µg/mL untuk suatu ekstrak
(Suffines dan Pezzuto, 1991).
Metode Uji Aktivitas Sitotoksik Terhadap Sel Leukimia L1210
Pembuatan media RPMI-1640 seberat 10,4 g yang mengandung L-glutamin
dilarutkan dalam 1 L air steril (A). Kemudian 1,3 g NaHCO3 dilarutkan dalam 50 ml
air steril (larutan B). Sebanyak 25 ml larutan B ditambahkan ke dalam 475 ml larutan
A, maka diperoleh 500 ml media (C). Untuk keperluan uji, 15 ml calf bovine serum
ditambahkan ke dalam 85 ml larutan C. Semua pekerjaan dilakukan di ruang steril.
Sel leukimia L1210 disuspensikan ke dalam media yang telah mengandung calf bovine
serum sehingga jumlah sel sekitar 2 x 105 sel/mL. Sel leukimia L1210 yang digunakan
dalam penelitian ini diperoleh dari The Isntitute of Physical and Chemical Research
Jepang.
Pengujian aktivitas sitotoksik ekstrak dilakukan dengan variasi dosis µg/mL DMSO
atau metanol (pelarut DMSO atau metanol sesuai yang digunakan). Media yang telah
mengandung suspensi sel leukimia L1210 (2 x 105 sel/ml) dan zat uji dimasukkan ke
dalam multi well plate tissue’s culture sehingga volume total 1 ml dalam setiap
sumuran. Sebagai kontrol digunakan 10µL DMSO (metanol bila pelarut zat uji
metanol) yang telah ditambahkan 990 µL suspensi sel. Percobaan dilakukan duplo,
selanjutnya suspensi sel yang telah diisi zat uji diinkubasi selama 48 jam pada suhu
37°C dalam inkubator 5% CO2. Perhitungan sel dilakukan menggunakan
haemocytometer Neubauer improved. Untuk membedakan antara sel hidup dengan
sel mati maka sebelum dilakukan penghitungan, 90 µL suspensi dimasukkan ke
dalam sero cluster plate (96 sumuran) dan ditambah 10µL larutan 1% tryphan blue
dan dihomogenkan. Sebanyak 10µL larutan dialirkan ke dalam haemocytometer
Neubauer improved. Setelah itu jumlah sel yang masih hidup dihitung di bawah
mikroskop. Sel hidup terlihat sebagai bulatan bening dengan bintik biru inti sel di
tengah bulatan, sedangkan sel mati terlihat sebagai bercak biru pekat yang bentuknya
tidak teratur. Persentase penghambatan zat uji terhadap pertumbuhan sel leukimia
L1210 dihitung sebagai berikut:
%inhibisi=(1–A/B)x100%
A:
jumlahsel
hidup
dalam
media
yang
mengandung
zat
uji.
B:
jumlahsel hidup dalam media yang tidak mengandung zat uji (kontrol).
Selanjutnya data persentase inhibisi diplotkan ke tabel probit untuk memperoleh nilai
probit. Kemudian dibuat grafik antara log konsentrasi (x) dan probit (y) sehingga
diperoleh persamaan regresi linier y = a + bx. Dengan memasukkan nilai y = 5
(probit dari 50%), maka diperoleh nilai x (log konsentrasi), nilai IC50 dengan
mengkonversikan nilai log konsentrasi ke bentuk anti log. IC50 yaitu konsentrasi zat
uji yang dapat menghambat perkembanganbiakan sel sebanyak 50% setelah masa
inkubasi 48 jam.
Tabel 2.4. Tabel Probit
Probit
%
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2,67
2,95
3,12
3,25
3,36
3,45
3,52
3,59
3,66
10
3,72
3,77
3,82
3,87
3,92
3,96
4,01
4,05
4,08
4,12
20
4,16
4,19
4,23
4,26
4,29
4,33
4,36
4,39
4,42
4,45
30
4,48
4,50
4,53
4,56
4,59
4,61
4,64
4,67
4,69
4,72
40
4,75
4,77
4,80
4,82
4,85
4,87
4,90
4,92
4,95
4,97
50
5,00
5,03
5,05
5,08
5,10
5,13
5,15
5,18
5,20
5,23
60
5,25
5,28
5,31
5,33
5,36
5,39
5,41
5,44
5,47
5,50
70
5,52
5,55
5,58
5,61
5,64
5,67
5,71
5,74
5,77
5,81
80
5,84
5,88
5,92
5,95
5,99
6,04
6,06
6,13
6,18
6,23
90
6,28
6,34
6,41
6,48
6,55
6,64
6,75
6,88
7,05
7,33
99
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
7,33
7,37
7,41
7,46
7,51
7,58
7,65
7,76
7,88
8,09
2.4 Metode Pemisahan dan Pemurnian
Prinsip dari metode pemisahan adalah perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawasenyawa dalam campuran yaitu kecendrungan dari molekul untuk melarut dalam
cairan
(kelarutan),
kecenderungan
molekul
untuk
menguap
(keatsirian),
kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorpsi,
penyerapan) .
2.4.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu teknik pemisahan berdasarkan selektivitas antara pelarut
di dalam pelarut lainnya yang berbeda kepolarannya dalam melarutkan senyawa
organik dan membentuk dua lapisan yang saling memisah (Khopkar, 1990). Ekstrak
total dari sampel tumbuhan yang telah diekstraksi dapat diperoleh dengan cara
pemekatan dengan menggunakan alat rotary evaporator (Harborne, 1996). Fraksinasi
bertingkat umunya diawali dengan pelarut yang kurang polar, dilanjutkan dengan
pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut ditentukan dari nilai konstanta
dielektrik pelarut.
2.4.2 Kromatografi
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih.
Salah satu diantara fase tersebut bergerak secara berkesinambungan dalam arah
tertentu dan di dalamnya zat-zat menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan oleh
adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion.
Secara umum teknik kromatografi didasarkan pada distribusi zat terlarut diantara dua
fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melaui media,
hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir.
Umumnya zat terlarut dibawa melalui media pemisah oleh aliran suatu pelarut
berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai
penyerap, atau dapat bertindak melarutkan zat sehingga terjadi partisi antara fase
diam dan fase gerak. (Gritter et al.,1991)
Berbagai jenis kromatografi yang umum digunakan antara lain Kromatografi Lapis
Tipis (KLT), Kromatografi Kolom, Kromatografi Cair Kenerja Tinggi dan
Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (KG-SM).
KLT merupakan salah satu metode pemisahan secara fisikokimia yang digunakan
secara
luas
untuk
pemisahan
dan
identifikasi
senyawa
obat.
Proses pemisahan terjadi akibat perbedaan distribusi komponen campuran di dalam
fase gerak dan fase diam atau berdasarkan perbedaan afinitas dan absorbsi senyawa
pada fase diam dan fase gerak. Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir
(fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang
cocok. Syarat fase diam yang baik adalah seragam, tidak larut dalm fase gerak dan
zat terlarut. Fase diam yang sering digunakan adalah silika gel, alumina dan selulosa.
Silika gel umumnya mengandung zat tambahan kalsium sulfat untuk mempertinggi
daya lekatnya, dimana zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk
kromatografi senyawa netral, asam dan basa. Campuran yang akan dipisah, berupa
larutan ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah itu pelat atau lapisan ditaruh di
dalam bejana tertutup yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak).
Pemisahan terjadi selama perambatan fase gerak, selanjutnya senyawa yang tidak
berwarna harus dideteksi. Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu
atau beberapa pelarut dan bergerak di dalam fase diam karena adanya daya kapiler.
Pemakian campuran pelarut dengan tingkat polaritas berbeda dapat memberikan daya
pemisahan yang baik karena daya kembangnya dapat disesuaikan dengan semua jenis
senyawa. Pada KLT, pemilihan fase gerak berdasarkan deret eluotropik, yaitu deret
yang disusun menurut kemampuan elusi naik sebanding dengan kenaikan polaritas.
KLT dapat digunakan pertama untuk mengetahui secara kualitatif, kuantitatif, atau
perparatif dan kedua untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan
digunakan pada kromatografi kolom (Gritter, et al., 1991)
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang zat penyerap (sorpsi) dimampatkan
secara merata ke dalam kolom berupa tabung yang dapat terbuat dari kaca, logam
atau pelastik, dimana bagian bawahnya dilengkapi satu kran untuk mengendalikan
laju aliran zat cair. Sebagai bahan sorpsi digunakan bahan yang sama dengan KLT
yaitu silika gel, aluminium oksida, poliamida, selulosa, arang aktif dan gula tepung.
Sejumlah sediaan yang akan diperiksa, dilarutkan dengan sedikit pelarut,
ditambahkan ke dalam puncak kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam penyerap. Zat
berkhasiat diserap dari larutan oleh bahan penyerap secara sempurna berupa pita
sempit pada puncak kolom. Dengan mengalirkan pelarut lebih lanjut, dengan atau
tanpa tekanan udara, masing-masing zat bergerak turun dengan difraksinasi dan fraksi
yang mengandung zat yang sama disatukan. Laju gerakan zat dipengaruhi oleh daya
adsorbsi zat penjerap, ukuran partikel dan luas permukaan, sifat dan polaritas pelarut,
tekanan yang digunakan serta suhu sistem kromatografi (Gritter, et. al. , 1991).
2.5. Metode Penentuan Struktur Kimia
Untuk menentukan struktur kimia suatu senyawa dapat digunakan metode
Spektrometri. Spektrometri adalah pengukuran serapan atau emisi radiasi
elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu yang monokromatis dari suatu zat,
baik dalam bentuk molekul atau atom. Spektrum biasanya diperoleh dengan
melewatkan cahaya yang panjang gelombang tertentu melalui larutan encer suatu
senyawa dalam pelarut yang sesuai dan tidak mengganggu penyerapan, misalnya air
dan etanol (Silverstein et al.,2005). Untuk menentukan struktur kimia suatu senyawa
dapat digunakan metode Spektroskopi UV-Vis, Spektrofotometri Fourier TransformInfrared (FT-IR), Nuclear Magnetic Resonance (NMR) atau Spektrometri Resonansi
Magnetik Inti (RMI) dan Mass Spectra atau Spektrometri Massa.
2.5.1 Spektrofotometri UV-Vis
Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang
gelombang 190-380 nm) atau daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380-780
nm). Semua molekul dapat mengabsorbsi radiasi dalam daerah UV-Vis karena
mengandung elektron yang dapat diekstasi ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Senyawa yang mengandung ikatan sigma (seperti pada ikatan tunggal C-C) akan
tereksitasi pada panjang gelombang sangat pendek di bawah 150 nm berada di luar
daerah ukur spektrofotometer, sehingga tidak akan menimbulkan serapan. Senyawa
yang memiliki elektron phi (π) (mempunyai ikatan rangkap), dan mempunyai
pasangan elektron bebas, lebih mudah tereksitasi dan menyerap pada penjang
gelombang yang lebih tinggi sehingga menimbulkan serapan pada spektrofotometer.
Spektrofotometri digunakan untuk menganalisis struktur dan memberikan petunjuk
adanya gugus kromofer, menetapkan kadar, menggunakan serapan maksimum dari
kurva absorbsi, memeriksa kemurnian, memeriksa langsung konsentrasi analit (Pare
dan Belanger, 1997).
2.5.2 Spektrofotometri Infra Red (IR)
Daerah radiasi spektrofotometri IR berada pada bilangan gelombang 12800 – 10
cm-1 (Khopkar, 1990). Spektrofotometer Fourier-transform,adalah spektrofotometri
yang dalam instrumennya tidak dipisahkan radiasinya, tetapi hampir semua panjang
gelombang mencapai detektor secara bersamaan yang disebut Fourier-transform,
yang digunakan untuk mengubah hasil spektrum IR menjadi khas. Pengganti
monokromator adalah interferometer yang dapat memisahkan radiasi menjadi dua
bagian dan menghubungkannya kembali sehingga variasi intensitas yang keluar dapat
diukur
sekali.
Beberapa
keuntungan
spektrofotometer
Fourier-transform
dibandingkan dengan spektrofotometer dispersive adalah menghasilkan spektrum
yang lebih cepat, resolusi yang lebih baik, dapat mengukur sampel dalam jumlah
yang sangat sedikit (Silverstein, et. al., 2005).
2.5.3. Spektrometri Massa
Spektrometri massa adalah spektrometri yang menggunakan penguraian senyawa
organik dan perekaman pola fragmentasi menurut massanya. Uap cuplikan berdifusi
ke dalam sistem spektrometer massa yang bertekanan rendah, kemudian diionkan
dengan energi yang cukup untuk memutuskan ikatan kimia. Dalam spektrometri
massa reaksi pertama suatu molekul adalah ionisasi awal sebuah elektron. Hilangnya
sebuah elektron menghasilkan ion molekul. Tabrakan antara sebuah molekul organik
dan salah satu elekron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari
molekul dan menyebabkan terbentuknya ion organik. Ion organik yang dihasilkan
oleh penembakan elektron berenergi tingggi ini tidak stabil dan pecah menjadi
fragmen kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain.
Umumnya
spektrum massa diperoleh dengan mengubah senyawa suatu sampel menjadi ion-ion
yang bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan massa terhadap
muatan (m/e).
Proses inonisasi menghasilkan partikel-partikel bermuatan positif
dimana massa yang terdistribusi spesifik terhadap senyawa induk. Spektrum massa
diukur secara otomatis pada selang waktu tertentu. Kromatogram selanjutnya
dihasilkan disertai integrasi semua puncak dan spektrum masing-masing komponen.
Spektrum ini dapat memberikan informasi mengenai berat molekul, fragmentasi
molekul, rumus molekul dan kemungkinan struktur molekulnya.
2.5. 4 Spektrometri Nuclear Magnetic Resonance (NMR)
Spektrometri Nuclear Magnetic Resonance (NMR) atau resonansi magnetik
inti (RMI) merupakan metode yang dapat digunakan dalam mempelajari struktur
molekul. Prinsip dari spektrometri RMI adalah adsorpsi radiasi elektromagnetik
dengan frekuensi radio oleh inti atom. Pada kekuatan magnet konstan, untuk berbagai
inti atom dan berbagai isotop dapat diamati adanya frekuensi resonansi yang berbeda.
Spektrum dapat diperoleh dari senyawa yang intinya mempunyai momen magnet
tidak sama dengan nol. Inti-inti atom tersebut antara lain proton (1H), inti flour (19F),
isotop nitogen dan lain-lain. Inti karbon (12C) yang sangat penting dalam kimia
organik tidak memiliki momen magnet sehingga studi RMI dengan karbon hanya
terbatas pada isotop
13
C. Pemecahan ini diakibatkan peristiwa penggabungan spin-
spin (spin-spin coupling), yaitu merupakan hasil interaksi magnet dari satu inti
dengan inti yang lain. Pelarut yang biasa digunakan adalah deutrokloroform (CDCl 3),
karbon tetraklorida (CCl4) dan deuterium oksida (D2O) (Silverstein, et al., 2005).
Jenis-jenis spektrometer RMI yang memberikan informasi yang berguna dalam
penentuan struktur kimia molekul organik adalah 1) RMI 1 dimensi, terdiri dari RMI
proton (1H) , RMI karbon (13C), DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization
Transfer) dan 2) RMI 2 dimensi, terdiri dari COSY (Correlation Spectroscopy),
HMQC (Hetero Multiple Quantum Coherence) dan HMBC (Hetero Multiple Bond
Connectivity).
Spektrum RMI proton memberikan informasi tentang keadaan lingkungan kimia
proton dalam senyawa. Prinsip RMI proton adalah inti atom hidrogen mempunyai
sifat-sifat magnet, bila suatu senyawa mengandung hidrogen diletakkan dalam bidang
magnet yang sangat kuat dan diradiasi menggunakan radiasi elektromagnetik, maka
inti atom hidrogen dari senyawa tersebut akan menyerap energi melalui proses
absorpsi yang dikenal dengan resonansi magnet. Tidak semua proton menyerap
energi pada kekuatan medan magnet yang sama, karena proton-proton dilindungi dari
medan magnet oleh elektron yang mengelilinginya. Makin besar densitas elektron
yang mengelilingi proton maka makin besar medan magnet yang dihasilkan. Densitas
elektron dipengaruhi olah ada atau tidaknya atom yang mempunyai elektronegatifitas
tinggi.
Spektrum RMI karbon dan DEPT memberikan informasi jenis dan jumlah
atom karbon primer (CH3), sekunder (CH2), tertier (CH) dan kuarterner (C) yang
diukur berdasarkan sudut pengukuran RMI karbon. Hasil penelitian DEPT pada
sudut 135° menunjukkan bahwa sinyal karbon CH3 dan CH mengarah ke atas,
sedangkan CH2 mengarah ke bawah. Untuk mengetahui perbedaan CH3 dan CH
dilakukan pengukuran pada sudut 90° (Siverstein et al., 2005).
Pergeseran kimia (Chemical shift, δH, δC) adalah parameter yang digunakan pada
RMI proton dan RMI karbon yang mempunyai karakteristik untuk posisi proton dan
karbon di dalam struktur kimia. Pergeseran kimia untuk proton (δH) berkisar antara 0
-10 ppm dan pergeseran kimia untuk karbon (δC) berkisar antara 0 – 200 ppm.
Spektrum RMI 2 dimensi HMQC (Hetero Multiple Quantum Connectivity)
memberikan informasi tentang korelasi antara proton dan karbon dalam satu ikatan
(geminal) pada struktur kimia. Spektrum RMI 2 dimensi COSY (Correlation
Spectroscopy) memberikan informasi tentang korelasi antara proton dan proton dalam
bentuk geminal ataupun visinal pada struktur kimia. Spektrum RMI 2 dimensi HMBC
(Hetero Multiple Bond Connectivity) memberikan informasi tentang korelasi antara
proton dan karbon dilihat dari 2 sampai 3 ikatan pada struktur kimia (Schraml dan
Bellama, 1990).
Download