M. ZAKY AHLA FIRDAUSI-FSH - Institutional Repository UIN

advertisement
PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN
(Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor:
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
M. ZAKY AHLA FIRDAUSI
NIM. 1110044100041
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
i
ABSTRAK
M. ZAKY AHLA FIRDAUSI. NIM. 1110044100041. “PENETAPAN ISBAT
NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis Penetapan Pengadilan
Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)” Program Studi Hukum
Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses pengajuan Isbat Nikah bagi
Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa, pertimbangan Hakim
pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs., dan pandangan Hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran
setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan
isbat nikah nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. dan wawancara dengan hakim yang
menetapkan permohonan tersebut. Sedangkan sumber data sekundernya adalah
peraturan perundang-undangan perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya
berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses pengajuan
isbat nikah bagi perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa sama
dengan proses pengajuan isbat nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama
WNI yang beragama Islam). Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun
1974 adalah bahwa permohonan isbat nikah dikabulkan demi melindungi dan
menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan
suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Adapun alasan
permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI.
Kata kunci: Isbat Nikah, Perkawinan Campuran, Penetapan Pengadilan Agama.
Pembimbing
: Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A.
Daftar Pustaka
: Tahun 1980 s.d. 2014
KATA PENGANTAR

‫الرحيم‬
ّ ‫الرمحن‬
ّ ‫بسم اهلل‬
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Rabbul
Izzati, Allah SWT., yang telah menerangi, menuntun dan membukakan hati serta
pikiran penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan proses penyusunan skripsi
ini. Iringan shalawat dan salam senantiasa mengalir kepangkuan manusia pilihan,
Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-sahabat setianya
hingga akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Penetapan Isbat Nikah Bagi Perkawinan Campuran
(Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0044/Pdt.p/2014/PA.
Tgrs)”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah
(S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut
ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
i
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Bapak Arip Purkon M.A., Ketua Prodi
dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis.
4. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag., selaku dosen penguji I dan Ibu Sri Hidayati,
M.Ag., selaku penguji II, yang telah memberikan saran dan masukannya
kepada penulis guna kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani. M.Ag., dosen pembimbing akademik, yang telah
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis yang menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta staff yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan
studi perpustakaan.
8. Segenap Hakim dan Staff Pengadilan Agama Tigaraksa yang memberikan data
dan informasi yang penulis butuhkan.
ii
9. The Light Of My Life, Supporter tiada henti, kekuatan saat lemahku, pelipur
lara saat sedihku, Ayahanda Drs. Didi Kusnadi, M.Pd., dan Ibunda tercinta
Nuryati yang tidak pernah mengenal kata lelah mencurahkan perhatian dan
kasih sayangnya berupa bimbingan dalam menuntunku menjadi pribadi yang
lebih baik. Terimakasih untuk semua waktu dan tiap doa yang selalu kau
panjatkan untuk anakmu ini. Terimakasih untuk selalu menjadi yang pertama
membangkitkanku, menyemangatiku, serta membuatku tetap melapangkan
hatiku saat aku mulai lelah dan kehabisan semangat. Bagi ananda, tiada
penghargaan paling terindah di dunia ini selain melihat Ayah dan Ibu selalu
tersenyum. Doakan selalu semoga anakmu ini selalu menjadi pribadi yang
baik, hamba Allah yang baik, dan menjadi anak yang membanggakan kalian.
Amiin. Ana UhibbukumaFillah.
10. Kepada Adik-Adiku Nadhia Rahma Al-Azkia, M. Zahid Noor El-Adly dan
Keluarga Besarku yang senantiasa ada dan berupaya membantuku dalam
menempuh kuliah baik berupa semangat, canda tawa, serta waktu. Terimakasih
untuk
selalu
memberikan
semangat
dan
membantu
penulis
untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Big Thank’s To OPS Management Rifky (Ceper), Syahbana, Ulil Azmi, Rusdi,
Arkim, Zidni, Faudzan, Fajrul, Kahfi, Ipank, Zian, Erwin, Inayah, Rena,
Neneng, Arini, Khairunnisa serta sahabat-sahabat Peradilan Agama Angkatan
2010, Kawan Seperjuanganku Alif Septian, Redi, Luthfi dan sahabat S.M.S All
Stars yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman
seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.
iii
12. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) DINAMIC dan Bapak Ibu
sekeluarga KKN Desa Kohod, Pakuhaji. yang selalu memberikan semangat
dan do’a kepada penulis.
Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi
catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.
Ciputat, 11 J u n i 2015 M.
24 Sya’ban 1436 H.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 9
BAB II
D. Metode Penelitian ...................................................................
11
E. Study Review Terdahulu ........................................................
15
F. Sistematika Penulisan .............................................................
16
: HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN
A. Pengertian Perkawinan Campuran .......................................... 17
B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran ....................................
22
C. Prosedur Perkawinan Campuran ............................................ 25
D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran ................................... 28
BAB III
: ISBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian Isbat Nikah ............................................................ 35
v
B. Dasar Hukum Isbat Nikah ....................................................... 38
C. Alasan Diperbolehkannya Permohonan Isbat Nikah .............. 41
D. Syarat-Syarat Permohonan Isbat Nikah .................................. 45
E. Isbat Nikah Perkawinan Campuran ........................................
47
F. Manfaat Pencatatan Perkawinan dan Isbat Nikah ................... 48
BAB IV
: ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN DI
PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa .................... 51
B. Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa ...
60
C. Persyaratan Permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran
di Pengadilan Agama Tigaraksa .............................................. 65
D. Pertimbangan Hakim Pada Penetapan Nomor
0044/Pdt/P/2014/PA.Tgrs ........................................................ 66
E. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Dalam
Perkara Isbat Nikah Perkawinan Campuran Setelah
Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974 ....................................... 69
F. Analisis Penulis ....................................................................... 73
BAB V
:PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 86
B. Saran ......................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 89
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... 92
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing
2. Surat Permohonan Data dan Wawancara
3. Surat Balasan dari Pengadilan Agama Tigaraksa
4. Pedoman Wawancara
5. Hasil Wawancara
6. Penetapan Nomor : 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan awal terbentuknya institusi kecil dalam keluarga.
Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, baik perorangan maupun
kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dengan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram
dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi
kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Allah SWT.
Perkawinan menurut pandangan
Islam
merupakan suatu ibadah,
sunnatullah, dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sunnatullah berarti menurut
Qadrat dan Iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini, sedangkan sunnah
Nabi Muhammad SAW berarti mengikuti tradisi yang dilakukan oleh Rasul yang
telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk umatnya.1
Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh
aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak
tertulis (hukum adat).
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dijelaskan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
1
Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media,
2007), h. 41
1
2
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Kemajuan teknologi yang pesat dan semakin canggih seperti saat ini, maka
komunikasi semakin mudah untuk dilakukan. Hal ini sangat besar pengaruhnya
terhadap hubungan internasional yang melintasi wilayah antar negara. Keterbukaan
Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional membawa dampak tertentu
pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan, khususnya perkawinan. Selain
itu, manusia mempunyai rasa cinta yang universal, tidak mengenal perbedaan warna
kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga bukanlah hal yang mustahil bila
terjadi perkawinan antar manusia yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda
yaitu antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA).
Perkawinan ini di Indonesia dikenal dengan istilah perkawinan campuran.
Pengertian Perkawinan campuran didefinisikan dalam Pasal 57 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut : ”Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
kemudian menyatakan, perkawinan campuran baru dapat dilangsungkan bilamana
para pihak telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana ditentukan oleh
3
hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak (ayat 1). Hal mana haruslah
dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan (ayat 2). Jika
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka
atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah
penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (ayat 3). Jika
pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang dimkasud dalam ayat (3) tersebut (ayat 4).
Selain syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 60 tersebut, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memerintahkan pula supaya
perkawinan campuran itu dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61
ayat 1).
Perkawinan yang selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah
lembaga yang memberikan legitimasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup
dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman
sebuah keluarga salah satunya ditentukan oleh syarat dan rukun yang telah
ditetapkan menurut syariat Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain
yang mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan
Agama/Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak
dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri
maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
4
Pencatatan
perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan
ketertiban
perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan akta nikah dan masingmasing suami istri mendapat salinannya. Apabila terjadi perselisihan atau
pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang
lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak
masing-masing. Bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan dan
pengawasan pegawai pencatat nikah, maka perkawinan tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Jika perkawinan tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum maka mereka yang melaksanakan perkawinan
tersebut tidak dapat melakukan upaya hukum atau memperoleh haknya ketika
terjadi pelanggaran atas perkawinan mereka. Keterlibatan pegawai pencatat nikah
dalam suatu perkawinan adalah untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu
terwujudnya ketertiban, kepastian, dan perlindungan hukum bagi masyarakat
dalam bidang perkawinan.
Oleh karena itu dalam pernikahan tersebut harus diatur sedemikian rupa
agar mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Keluarga sakinah
pada dasarnya terbentuk dalam 2 dimensi : dimensi kualitas hidup dan dimensi
waktu, durasi atau stabilitas.2 Untuk itulah di Indonesia dibuat UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan, yang merupakan sumber hukum materil perkawinan.
Seiring dengan perkembangan zaman UU tersebut mulai menampakkan
kelemahannya. Pada dasarnya UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
2
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005), h. 17
5
merupakan sumber hukum materil dalam peradilan. Namun saat ini dalam perkara
peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut.
Sebagai contoh dalam masalah Isbat Nikah, seperti dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) bahwa Isbat Nikah yang
diajukan ke pengadilan agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.3 Artinya jika mengacu kepada
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) & UU No. 1 Tahun 1974
ketika seseorang menikah sebelum adanya UU Perkawinan tersebut (sebelum
tahun 1974) maka diperkenankan untuk melakukan Isbat nikah, karena pada saat
itu tidak ada aturan tentang pencatatan Nikah.
Akan tetapi setelah adanya UU Perkawinan tersebut maka pihak yang
menikah sirri (nikah dibawah tangan) dilarang untuk melakukan Isbat Nikah.
Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara Isbat nikah yang
masuk dalam lingkungan Peradilan Agama walaupun pernikahan sirri tersebut
terjadi setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974. Tujuan utama disahkannya
UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya penertiban hukum terhadap
pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upaya yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia adalah dengan pencatatan nikah. Adanya pencatatan
nikah ini, sebagai konsekuensinya masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang
sah oleh hukum terhadap pernikahan tersebut dan akan mendapatkan
perlindungan hukum jika suatu saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan
perceraian, pembagian waris, wakaf, dan lain sebagainya.
3
Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan,
Waris, Perwakafan, Impres No. 1 Th 1991 berikut penjelasan, (Surabaya: Karya Anda, 1991), h.2
6
Seperti yang telah tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 2
dijelaskan, ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam pasal 2 ayat
(2) dijelaskan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut
mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah diundangkannya UU No. 1
Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban pernikahan. Tidak
dicatatkannya sebuah pernikahan akan menimbulkan dampak hukum bagi
pasangan suami-istri. Namun demikian pasal 7 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
(b) Hilangnya Akta Nikah.
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawian.
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No.1 Tahun 1974 dan.
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Pasal 7 ayat 3e KHI tersebut tampaknya memberikan celah hukum
sehingga seorang hakim mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan
Perkara Isbat nikah.
Dilakukannya isbat nikah maka kedua pasangan suami isteri mempunyai
beberapa manfaat, yang pertama, bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi
7
agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan
syarat-syarat
perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun
menurut
perundang-undangan. Ini dapat dihindari pelanggaran terhadap kompetensi relatif
pegawai pencatat hukum, seperti identitas calon mempelai, status perkawinan,
perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.4 Sedangkan yang kedua
adalah manfaat represif berkaitan dengan perkawinan yang tidak memiliki akta
nikah karena lain hal, bisa mengajukan
isbat nikahnya (penetapan) kepada
pengadilan.5
Menurut sejumlah penelitian, isbat nikah merupakan salah satu sarana
empuk bagi pelaku-pelaku pelanggar undang-undang perkawinan. Peluang isbat
nikah ditambah dengan pengetahuan yang rendah, bahkan tidak paham dari pihak
lain, menjadi pintu luang bagi pelanggar. Mengaku calon istri sudah hamil
menjadi lowongan poligami lewat isbat nikah. Mengaku sudah lahir anak yang
kelak tidak jelas status hukum orangtuanya menjadi alasan lagi untuk poligami
lewat isbat nikah. Masih banyak modus-modus hampir sama untuk tujuan sama.
Karena itu, ketegasan para penegak hukum (hakim) untuk bertindak tegas atau
minimal kecerdasan untuk menyeleksi mana yang masih pantas diberi isbat nikah.
Semestinya para hakim dan tokoh masyarakat seperti ustad, kiyai, muballig,
meletakkan Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum (fikih) Islam Indonesia,
sehingga undang-undang inilah sebagai fikih Islam yang diberlakukan di
Indonesia, sama status dan otoritasnya dengan hukum (fikih) Islam konvensional
4
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-III,
h. 111-112.
5
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, h.117
8
yang dikonsepkan para imam mazhab di zamannya. Sehingga tidak ada lagi istilah
sah menurut agama tetapi belum menurut negara. Dengan ungkapan lain, undangundang itulah hukum Islam (agama) sekaligus hukum negara.6
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh
Isbat nikah tersebut yang dalam hal ini secara komprehensip penulis
menuangkannya ke dalam karya Ilmiyah berjudul “ Penetapan Isbat Nikah Bagi
Perkawinan Campuran (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor:
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Banyak perkara yang masuk dalam penetapan Isbat Nikah dalam
Lingkungan Pengadilan Agama Tigaraksa setiap tahunnya. Akan tetapi
dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada perkara Isbat Nikah
dengan alasan Perkawinan Campuran Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.
2. Perumusan Masalah
Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) dinyatakan bahwa isbat nikah dapat
diajukan bagi mereka yang melakukan pernikahan sebelum diberlakukannya
6
Khoiruddin Nasution, “Belajar dari Kasus Syeh Puji,” http://maulhayat.blogspot.com/
2009/03/hikmah-kasus-syekh-puji.html (diakses pada 12 April 2014)
9
UU No. 1 Tahun 1974. Pada kenyataannya masih ada penetapan pengadilan
tentang isbat nikah terhadap
perkawinan yang dilaksanakan setelah
diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, termasuk perkawinan campuran
seperti yang tertuang dalam penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitian ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam
perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1
Tahun 1974 ?
b. Bagaimana proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di
Pengadilan Agama Tigaraksa ?
c. Bagaimana
Pertimbangan
Hakim
pada
Penetapan
Nomor
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat
nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 ?
b. Proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di Pengadilan
Agama Tigaraksa ?
c. Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?
10
2. Manfaat penelitian
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
yang jelas mengenai pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
dalam memutuskan perkara Isbat Nikah setelah terbitnya UU No. 1
Tahun 1974,serta dampak yang terjadi akibat pengabulan isbat nikah
yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, dan solusi yang
ditawarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan
ilmu pengetahuan bagi:
1) Peneliti
Penelitian ini bertujuan untuk memuaskan rasa penasaran peneliti
tentang apa yang menjadi landasan hukum bagi para hakim yang
mengabulkan perkara isbat nikah walaupun pernikahan tersebut terjadi
setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, serta dampak yang terjadi
akibat pengabulan isbat nikah yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1
Tahun 1974, dan solusi yang ditawarkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut.
2) Masyarakat
Hasil penelitian ini tentunya akan sangat bermanfaat sebagai ilmu
pengetahuan bagi masyarakat tentang peraturan isbat nikah yang
sesuai dengan UU Perkawinan .
11
3) Lembaga Peradilan Agama
Penelitian ini diharapkan sebagai informasi agar dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam pemutusan Perkara Isbat Nikah.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis
Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu
perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku
atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal
tentang pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama. Hal ini tidak bisa
dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa terungkap dengan
datang langsung ke Pengadilan Agama. Sehingga data yang diperoleh bisa
bervariasi dan lebih lengkap.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.7
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai
berikut :
a. Sumber primer, adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan
7
h. 6.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
12
data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.
Penelitian ini, subyek penelitiannya adalah dokumen Penetapan Isbat
Nikah Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. serta sumber informasi dari
para hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan
Agama Tigaraksa.
b. Sumber sekunder, adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau
bukan data yang datang langsung, namun data-data ini mendukung
pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder
diantaranya adalah:
1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
3) PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
5) kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya
dengan masalah isbat nikah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu
dengan
menggunakan
metode
dokumentasi
dan
metode
interview/wawancara.
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai variabel yang
berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,
13
notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya.
Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa
tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas
dalam penelitian, serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil
metode interview atau wawancara. Metode ini digunakan untuk
mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji
atau teliti. Dalam hal ini, dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip
atau dokumen salinan penetapan permohonan isbat nikah yang telah
diputus Pengadilan Agama Tigaraksa.
b. Metode Interview
Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan menggunakan
sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula.
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang halhal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan.8 Dengan menggunakan
metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara langsung, jujur,
dan benar serta keterangan lengkap dari informan sehubungan dengan
obyek penelitian. Sehingga dapat diperoleh informasi yang valid dengan
bertanya langsung kepada informan. Dalam hal ini informan adalah para
hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama
Tigaraksa.
8
I, h. 59
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996), cetakan-
14
4. Analisis Data
Menurut Moleong, analisa data merupakan tahap terpenting dari
sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini data dapat dikerjakan dan
dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman
yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan
yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses
pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu
uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.9
Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau
analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri
berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para
tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya
dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa
isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan
memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam
mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.10
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan
BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012 M.
9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
h. 103.
10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 163.
15
E. Study Review Terdahulu
Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang dilakukan
seputar hukum perkawinan di bawah tangan, baik ditinjau menurut perspektif
hukum Islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis
ketahui, belum ada seorangpun yang menulis Penetapan isbat nikah bagi
Perkawinan Campuran (analisis penetapan pengadilan agama Tigaraksa nomor :
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.) Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada
beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat
penulis. Biarpun obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang
mendasar. Misalnya:
Skripsi yang berjudul “Dampak penolakan isbat nikah terhadap hak
perempuan yang disusun oleh Ria Amaliyah pada tahun 2009. Skripsi ini lebih
berfokus pada hak perempuan bila terjadi penolakan dalam isbat nikah.
Kemudian yang kedua “Isbat nikah dalam perkawinan (analisis yuridis
penetapan nomor :083/Pdt.P/2010/PA.JS.) yang ditulis oleh Indro Wibowo,
Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama tahun
2011. Lebih fokus kepada isbat nikah dalam perkawinan yang terjadi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sesuai dengan salinan putusan no:
083/Pdt.P/2010/PA.JS.
Ketiga adalah: “Study putusan Isbat nikah sirri di Pengadilan Agama
Cilegon (perkara no: 33/Pdt.p/2011/PA.Clg). yang disusun oleh Muhamad
Muachir, Mahasiswa Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah pada tahun 2012.
16
Skripsi ini berfokus kepada putusan isbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama
Cilegon dengan alasan perkawinan tidak tercatat atau nikah sirri.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih konkrit dari penelitian ini, maka
sistematika penulisannya disusun sebagai berikut:
Bab I, pendahuluan, meliputi pembahsan tentang: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penulisan, study review terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab II, hakekat perkawinan campuran, meliputi pembahasan tentang:
pengertian perkawinan campuran, dasar hukum perkawinan campuran, prosedur
perkawinan campuran, dan akibat hukum perkawinan campuran.
Bab III, kajian teoritis tentang Isbat Nikah, meliputi pembahasan tentang:
pengertian Isbat Nikah, dasar hukum Isbat Nikah, alasan diperbolehkannya
permohonan Isbat Nikah, syarat-syarat permohonan Isbat Nikah, Isbat Nikah
perkawinan campuran, manfaat pencatatan perkawinan dan Isbat Nikah.
Bab IV, Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,
yang didalamnya menjelaskan tentang: Gambaran Umum Pengadilan Agama
Tigaraksa, permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa, persyaratan
permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,
pertimbangan hakim pada penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs, pandangan
hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara Isbat Nikah Perkawinan
Campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 dan Analisis Penulis
Bab V penutup, yang didalamnya berisi tentang: kesimpulan dan saran.
17
17
BAB II
HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN
A. Pengertian Perkawinan Campuran
Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap
golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan
penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum
antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum manakah yang akan
diberlakukan
terhadap
perkawinan
antara
dua
orang
yang
berbeda
kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran yakni Regeling op
de Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898).
Peraturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam
Staatsblaad Tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama Regeling Op De
Gemengde Huwelijken (yang disingkat GHR). Artikel 1 dari Staatsblaad ini
memberikan pengertian mengenai perkawinan campuran. Pengertian tersebut
diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai perkawinan antara orang-orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda dinamakan perkawinan
campuran.1 Pengertian yang demikian mengandung arti yang sangat luas, apabila
ternyata hukum yang berlaku untuk orang-orang bersangkutan yang hendak
1
Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional
Sedunia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 10
17
18
menikah di Indonesia, maka mereka dianggap telah melakukan perkawinan
campuran, berarti termasuk juga orang-orang yang berbeda kewarganegaraannya.2
Pasal 1 G.H.R. menjelaskan arti perkawinan campuran adalah:
“perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum
yang berlainan”.3 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti
perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar warganegara Indonesia
atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihakpihak yang melaksanakan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan adalah perkawinan campuran.
Menurut konsepsi pasal 1 tersebut, perkawinan antara dua orang yang
berkewarganegaraan asing dan bukan penduduk Indonesia yang dilaksanakan di
luar Indonesia, misalnya orang Arab dan orang Inggris, merupakan perkawinan
campuran dalam arti GHR.
Perkawinan campuran dalam GHR tersebut termasuk pula perkawinanperkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara dua orang warganegara
Indonesia yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara
seorang warganegara Indonesia dan seorang asing. Akan tetapi, bila pihak atau
pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebagian dari hukum
perkawinan Betsluit Wetboek (BW), maka bagi perkawinan tersebut berlakulah
ketentuan BW.4
2
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di Indonesia,
cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 226.
3
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898
No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 60
4
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, h. 61.
19
Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR, dan bahkan
juga dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia, karena pasal 2 itu
dengan tegas menjunjung tinggi asas persamarataan penghargaan terhadap stelselstelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan
pasal 2 GHR tersebut, sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap stelsel-stelsel
hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu
menyatakan bahwa stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal
ini terbukti ketika di Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang
baru pada tahun 1848, dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan
bahwa seorang bukan Eropa yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus
tunduk terlebih dahulu pada Hukum Perdata Eropa.5
Mengenai asas persamarataan sebagai dimuat dalam pasal 2 GHR,
walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang
secara strict juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum
dalam keluarga.6
Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun
pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang
Perkawinan adalah :
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”.
5
Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar BaruVanhoeve, 1980), h. 128
6
Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, h. 128
20
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut:
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita.
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
3. Karena perbedaan kewarganegaraan.
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur
kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita
yang melangsungkan perkawinan itu. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan
karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena
unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini
pun bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat
menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan
Indonesia.7 Tegasnya, perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :8
1. Seorang pria warganegara Indonesia kawin dengan seorang wanita warga
negara asing.
2. Seorang wanita warganegara Indonesia kawin dengan seorang pria warga
negara asing.
Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara
seorang warga negara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga
7
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1993), h. 103.
8
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.
46
21
padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda
hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian
perkawinan internasional sebagai berikut :
“Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung
unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai
mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya,
atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya
dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya”.9
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu :10
1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul
perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda
kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan.
Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2. Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia
asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin
dengan orang Jawa.
3. Perkawinan Campuran Antar Agama (Interreligius)
9
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International
Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997), h. 36.
10
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta, Prestasi Pustaka
Publiser, 2006), h. 242.
22
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masingmasing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang
Islam dengan orang Kristen.
B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran telah terjadi jauh sebelum lahirnya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun dasar hukum perkawinan
campuran adalah sebagai berikut:
1. Menurut Staatblad 1896 N0. 158.
Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit
Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de
gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai
berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah
hukum yang berlainan (Pasal 1). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang
masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu: 11
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warga negara dan orang
asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan
yang dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara
seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita
Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan
sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
11
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), h. 90
23
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel).
Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan
adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3
(tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (2) Golongan Timur Asing (3)
Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang
dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan
campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia (2)
antara Eropa dan Tionghoa (3) antara Eropa dan Arab (4) antara Eropa dan
Timur Asing (5) antara Indonesia dan Arab (6) antara Indonesia dan
Tionghoa (7) antara Indonesia dan Timur Asing (8) antara Tionghoa dan
Arab.
d. Perkawinan Campuran Antar Agama
Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula
perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem
hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam
hal
perkawinan
mengesampingkan
hukum
dan
ketentuan
agama.
Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak
perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah
kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 M. dianggap perlu
untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan
bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai larangan terhadap
suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu
24
adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq
pada Tahun 1900. 12
2. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974.
a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
(pasal 57)
b. Ruang Lingkup. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
adalah hasil
Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam
menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara
Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU
Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
13
Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran
adalah:
1) Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan.
2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3) Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
12
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad
1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 61.
13
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Cet-1,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 230
25
Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya
perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU
Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama
Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka
yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan
ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama
yang
bersangkutan
membolehkan,
maka
perkawinan
campuran
dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai
pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang
dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam
dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.14
Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah
zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena
sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
C. Prosedur Perkawinan Campuran
Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di
Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:15
1. Fotokopi paspor yang sah
14
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 231
15
LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) diakses
pada tanggal 4 April 2015 pukul 21.35.
26
2. Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon
3. Surat Status dari catatan sipil negara pemohon
4. Pasfoto uuran 2x3 sebanyak 3 lembar
5. Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.
6. Membayar biaya pencatatan.
Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan.
1. Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/kelurahan untuk mendapatkan :
a. Surat Keterangan untuk nikah (N.1)
b. Surat Keterangan asal usul (N.2)
c. Surat Persetujuan mempelai (N.3)
d. Surat Keterangan tentang orang tua (N.4)
e. Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)
2. Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :
a. Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita
b. Kartu imunisasi
c. Imunisasi Tetanus Toxoid II
Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke
KUA kecamatan, untuk :
3. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model
N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat
dilakukan oleh wali atau wakilnya
27
4. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut (1)
Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA (2) Pernikahan yang
dilaksanakan di luar balai nikah/ Kantor KUA. di tambah biaya bedolan sesuai
ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/ Kantor Departemen Agama masingmasing daerah.
5. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu.
a. Surat keterangan untuk nikah menurut N.1
b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul
calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat
menurut model N2.
c. Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3.
d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat
setingkat menurut model N4.
e. Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia
21 tahun menurut model N5.
f. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan.
g. Pasfoto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar.
h. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19
tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun.
i. Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari atasannya
atau kesatuannya.
j. Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.
28
k. Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka yang
perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun
1989.
l. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat oleh
kepala desa/ lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar
pengisian model N6 bagi janda/ duda yang akan menikah.
m. Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.
6. Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut
model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran.
7. Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari.
8. Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.
9. Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.
10. Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah
pelaksanaan akad nikah.
11. Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari
kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.16
D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran
Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami
perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaran Republik Indonesia. Undang-Undang yang baru ini
menggantikan UU N0.62 Tahun 1958 yang sangat diskriminatif. Undang-Undang
16
LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) diakses
pada tanggal 4 April 2015 pukul 21.35.
29
Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan oleh Presiden sejak tanggal 1
Agustus 2006.
Dalam penjelasan undang-undang kewarganegaraan yang baru disebutkan
bahwa,Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis, dan
sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan
ketatanegararaan Republik Indonesia.
Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuanketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena
bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan
antara warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan
dan anak-anak.
Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang
tersebut adalah Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak berlaku
lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 yang menyatakan kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar
1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak
asasi manusia dan hak warga negara.
Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
Internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
30
perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya
kesetaraan dan keadilan jender.17
Undang-Undang
Kewarganegaraan
yang
baru
memuat
asas-asas
kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam
undang-undang ini adalah :
1. Asas ius Sanguinis, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas Ius soli, secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anakanak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
3. Asas
kewarganegaraan
tunggal
adalah
asas
yang
menentukan
satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini.
Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda
yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan pengecualian.
Persoalan yang sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah
kewarganegaraan anak. Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut
prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan
campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan yang dalam undang-undang
17
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
1993), h. 103
31
tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.
Pengaturan ini menimbulkan persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia
orang tuanya harus terus menerus memperpanjang izin tinggalnya. Persoaan
lainnya apabila perkawinan orang tua putus, ibu akan kesulitan mendapatkan
pengasuhan anak yang Warga Negara Asing.
Undang-undang Kewarganegaraan
No. 12 Tahun 2006 tidak lagi
mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan yang
melakukan perkawinan campuran, Berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan
untuk berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 tahun atau
sampai mereka menikah. Setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah anak-anak
tersebut harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti ayahnya atau
menjadi WNI. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling
lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Undang-Undang Kewarganegaran ini juga mengatur bahwa anak yang
sudah lahir sebelum undang-undang ini disahkan dan belum berusia 18 tahun dan
belum menikah adalah termasuk Warga Negara Indonesia. Caranya dengan cara
mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik
Indonesia paling lambat empat tahun setelah undang-undang Kewarganegaraan ini
disahkan.18
Anak yang memperoleh kewarganegaraan ganda tersebut tidak hanya
diperoleh oleh anak yang lahir dari perkawinan yang sah, tetapi kewarganegaraan
ganda juga berlaku untuk anak luar kawin, yaitu anak Warga Negara Indonesia
18
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra
Adytia Bakti, 2006), h. 8
32
yang lahir diluar perkawinan yang sah yang diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia (Pasal 5).
Untuk anak luar kawin, terdapat beberapa aspek hukum, yaitu dari aspek
ketentuan Undang Undang Perkawinan dan dari ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa anak
yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
kerabat ibunya. Jika anak tersebut mendapat pengakuan dari ayahnya dan
dikaitkan dengan ketentuan hukum perdata maka anak tersebut secara perdata
punya hubungan hukum dengan ayah tapi tidak dengan keluarga ayahnya.
Pengakuan tersebut harus dibuatkan dengan suatu akte.19
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang
positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan sang anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi
repot-repot mengurus izin tinggal bagi anak-anaknya. Hal ini sebagaimana diatur
pada Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, bahwa dalam hal status kewarganegaraan
Republik Indonesia terhadap anak:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Asing dengan ibu Warga Negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia.
19
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra
Adytia Bakti, 2006), h. 13
33
d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau
belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Anak yang tersebut di atas berakibat berkewarganegraan ganda, setelah
berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah
satu kewarganegaraannya.
Terobosan lain dari Undang-undang Kewarganegaraan ini adalah anak
yang berkewarganegaran ganda berhak mendapatkan akte kelahiran di Indonesia
dan juga akte kelahiran dari Negara lain dimana anak tersebut diakui sebagai
warga Negara. Dengan demikian anak tersebut berhak mendapat pelayanan publik
di Indonsia seperti warga Negara lainnya termasuk untuk mengenyam pendidikan.
Hal ini berbeda dengan Undang-undang Kewarganegaran yang lama, jangankan
untuk mendapatkan akte kelahiran, malah anak tersebut diusir secara paksa dari
wilayah Indonesia apabila izin tinggalnya telah melewati batas ketentuan.20
Secara subtansial dan konseptual, UU No.12 Tahun 2006 ini
mencerminkan usaha serius Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi
kepentingan kaum perempuan yang menikah dengan Warga Negara Asing dan
anak-anak dari hasil perkawinan campuran dan telah menghapus aturan
kewarganegaraan yang bersifat diskriminatif.
20
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra
Adytia Bakti, 2006), h. 14
34
Selanjutnya terhadap orang-orang yang melakukan perkawinan campuran
dapat memperoleh kewarganegaran dari suami atau isterinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam
Undang-undang kewaganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58
Undang-Undang perkawinan).
Berdasarkan Pasal 19 UU No.12 tahun 2006, Warga Negara Asing yang
kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi
Warga Negara Indonesia di hadapan pejabat, pernyataan tersebut dilakukan
apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia
paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turur atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturutturut.
Selanjutnya Pasal 26 UU No.12 Tahun 2006, mengatur bahwa Perempuan
Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga Negara Asing
kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal
suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaar suami sebagai akibat
perkawinan tersebut. Laki-laki warga Negara Indonesia yang kawin dengan
perempuan warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
jika menurut hukum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingin tetap
menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai
keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang
wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.
35
36
35
BAB III
ISBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian Isbat Nikah
Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan
artinya
menyungguhkan,
menentukan,
menetapkan
(kebenaran
sesuatu).1
Sedangkan menurut fiqh nikah secara bahasa berarti ”bersenggama atau
bercampur”. Para ulama’ ahli fiqh berbeda pendapat tentang makna nikah, namun
secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nikah menurut ahli fiqh berarti akad
nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan
bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri serta seluruh tubuhnya.2
Sedang nikah menurut hukum positif yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga,
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3
Jadi, pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah.
Tetapi pernikahan yang terjadi pada masa lampau ini belum atau tidak dicatatkan
ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA (Kantor Urusan Agama)
yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.
Ke-3 1990), h. 339
2
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra,1993), h. 1-2
3
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
35
36
Isbat (penetapan) merupakan produk Pengadilan Agama, dalam arti bukan
pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan dengan jurisdiktio voluntair.
Dikatakan bukan pengadilan yang sesungguhnya, karena di dalam perkara ini
hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu yaitu
penetapan nikah. Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan
didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya
perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan Undang-Undang
menghendaki demikian.
Perkara voluntair yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama seperti
1. Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan
tindakan hukum.
2. Penetapan pengangkatan wali.
3. Penetapan pengangkatan anak.
4. Penetapan nikah (isbat nikah).
5. Penetapan wali adhol.4
Produk perkara voluntair adalah penetapan. Nomor perkara permohonan
diberi tanda P. misalnya: Nomor 125/ Pdt.P/1996/PA/ Btl.5 karena penetapan itu
muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak
berlawan, maka dalam penetapan tersebut tidak akan berbunyi “menghukum”
melainkan bersifat “menyatakan” (declaratoir).
Adapun asas yang melekat pada putusan penetapan pertama asas
kebenaran yang melekat pada penetapan hanya “kebenaran sepihak”. Kebenaran
4
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 40
5
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 41
37
yang terkandung didalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai untuk diri
pemohon, kebenaran tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah asas
berikutnya, yakni kekuatan mengikat. Penetapan hanya berlaku pada diri
pemohon, ahli warisnya, dan orang yang memperoleh hak darinya,6 sama sekali
tidak mengikat siapapun kecuali hanya mengikat kepada yang telah disebut di
atas.
Selanjutnya asas ketiga, yang menegaskan putusan penetapan tidak
mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak manapun. Juga, dalam penetapan
tidak akan pernah terkandung asas nebis in idem. Sebagai salah satu contoh dapat
dikemukakan
putusan
MA
tanggal
27-6-1973,
No.
144
K/Sip/1973.
Pertimbangannya berbunyi: “Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam
penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 14 April 1956 No. 43/1955/Pdt dan
dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 23 November 1965 No.
66/1962/Pdt, tidak merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No.
43/1955/Pdt tersebut hanya bersifat declaratoir sedang dalam perkara No.
66/1962/Pdt tersebut ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan”.
Dalam putusan tersebut terdapat penegasan, putusan yang bersifat declaratoir
yang terwujud dari gugat volunteer, tidak mengandung nebis in idem. Seterusnya
yaitu asas putusan penetapan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Hal ini dapat
dipahami karena amar putusan bersifat deklaratoir sehingga tidak mungkin
memiliki nilai kekuatan eksekusi.7
6
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), h.73
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), h. 311
7
38
B. Dasar Hukum Isbat Nikah
Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi pengadilan agama
dalam sejarahnya adalah diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan
dibawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal
49 ayat (2), Jo. Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974). Namun kewenangan ini
berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 7 ayat 2 dan 3, dalam ayat (2) disebutkan: "isbat nikah yang diajukan
ke pengadilan agama”, pada ayat (3) disebutkan : isbat nikah yang diajukan ke
pengadilan agama terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan : a. adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. hilangnya akta nikah c.
adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan d. perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.8
Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI tersebut, berarti
bahwa KHI telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh
Undang-Undang, baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, padahal menurut pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber
8
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI,
1999/2000), h. 137
39
hukum dan tata urutan perundang-undangan, INPRES tidaklah termasuk dalam
tata urutan perundang-undang Republik Indonesia. 9
Pasal 2 ayat 1 UU No. 35 Tahun 1999 beserta penjelasannya menentukan
bahwa adanya kewenangan suatu peradilan untuk menyelesaikan perkara yang
tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila
dikehendaki (adanya ketentuan / penunjukan ) oleh Undang-Undang.10
Isbat nikah ini PERMENAG No. 3 Tahun 1975 yang dalam pasal 39 ayat
4 menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena
catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menentukan
adanya nikah, talak, cerai, atau rujuk, harus ditentukan dengan keputusan (dalam
arti penetapan) Pengadilan Agama. Tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan
yang dilakukan sebelum UU No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang
terjadi sesudahnya.
Mengenai kompetensi absolut tentang isbat nikah sebagai perkara
voluntair ini tidak bisa dianologikan (qiyaskan) dengan perkara pembatalan
perkawinan, perceraian, atau poligami. Prinsipnya pengadilan tidak mencari-cari
perkara tetapi perkara itu telah menjadi kewenangannya karena telah diberikan
oleh Undang-Undang. Menurut Prof. Wasit Aulawi, MA berpendapat bahwa
perkara isbat nikah tidak dilayani. Perkara isbat nikah adalah perkara voluntair
yang harus ditunjuk Undang-Undang, kalau Undang-Undang tidak memberikan
kewenangan maka pengadilan tidak berwenang. Apabila perkawinan di bawah
9
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 138
Nasrudin Salim, “Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan Yuridis,
Filosofis dan Sosiologis), dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 62 Th. XIV
(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2003), h. 70
10
40
tangan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, diberikan tempat untuk isbat
perkawinan, maka secara sosiologis pastilah akan mendorong terjadinya
perkawinan bawah tangan secara massif. 11
Jika dipikirkan lebih seksama, maka ketentuan pasal 7 ayat 2 KHI telah
memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah ini tanpa
batasan dan pengecualian, padahal dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya
dijelaskan bahwa pasal ini hanya diberlakukan setelah berlakunya UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah menjadi Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Belum lagi pasal 7 ayat 3 huruf (a) yang dapat
mengandung problem lanjutan seperti bagaimana jika penggugat mencabut
perkara cerainya, atau pemohon tidak mau melaksanakan ikrar talak karena telah
rukun kembali sebagai suami istri, padahal telah ada putusan sela tentang sahnya
nikah mereka.
Pasal 7 ayat 3 huruf (b) adalah dalam hal hilangya kutipan akta nikah bisa
dimintakan duplikat ke KUA, dan untuk sebagai tindakan preventif atau kehatihatian akan memungkinkan hilangnya buku catatan akta yang asli, maka pasal 13
ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan bahwa helai kedua dari akta
perkawinan itu harus disimpan (dikirim oleh PPN) kepada panitera pengadilan
dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada.12
Dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (c), yaitu adanya keraguan tentang
sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, hal ini justru mengarahkan kepada
11
A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar
Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996), h. 21
12
A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, h. 22
41
apa yang termasuk dalam perkara pembatalan nikah, bukan perkara isbat nikah,
sebab biasanya orang yang melakukan perkawinan melalui kyai/ustadz adalah
telah sah dan sesuai dengan syari’at (memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 1 ). Juga
terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (e), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU N0.1 Tahun
1974, ini adalah pasal yang amat luas jangkauannya yang tidak memberikan
batasan yang jelas.13
C. Alasan Diperbolehkannya Permohonan Isbat Nikah
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan
kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian
hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain
dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan
atau di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan
mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah
perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat
oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang
untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang
ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat
13
A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar
Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996), h. 22
42
Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya.
Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta
Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah
menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah.14
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan Pasal 100 KHI tersebut, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan
dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan
ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti
perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta
Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan)
perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau
belum ada perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satusatunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu walaupun
sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya
perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan
dan keabsahan perkawinan.15
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang perkawinan
yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum
Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan
14
Depag, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid Pusat,
1992/1993), h. 497
15
Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I
(Jakarta: Gema Insani Press,1994), h. 83
43
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat (2) pencatatan
perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undangundang No. 32 Tahun 1954.
Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi ketentuan
dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (2) perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Kemudian dalam KHI upaya hukum isbat nikah tidak hanya meliputi
pengesahan perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan. Pasal 7 menyebutkan bahwa:
(1) perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah,
dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
(b) Hilangnya Akta Nikah.
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan.
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
(4) yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau
isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
44
Isbat
nikah
yang dilaksanakan
oleh
Pengadilan
Agama
karena
pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Isbat nikah sangat bermanfaat bagi
umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat
atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta
memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing
pasangan suami istri.
Adapun sebab-sebab yang melatar belakangi adanya permohonan Isbat
Nikah ke Pengadilan Agama itu sendiri, disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No 1 th 1974. untuk
hal ini biasanya dilatar belakangi:
a. Guna untuk mencairkan dana pensiun pada PT. Taspen
b. Untuk penetapan ahli waris dan pembagian harta waris
2. Adanya perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya UU No 1 th 1974. ini
biasanya dilatar belakangi:
a. Karena Akta Nikah Hilang
1) bisa karena untuk pembuatan Akta Kelahiran Anak.
2) bisa juga digunakan untuk Gugat Cerai.
3) bisa juga untuk gugat pembagian harta gono-gini.
b. Karena tidak punya Akta Nikah. Dalam hal ini kebanyakan diajukan Isbat
Nikah:
1) Karena sudah nikah dibawah tangan dengan alasan sudah hamil duluan
dan nikah dilangsungkan karena menutupi malu.
2) Karena nikah dibawah tangan sebagai Isteri kedua dan belum dicatatkan
45
3) Dan ada juga Isbat Nikah yang semata-mata diajukan untuk memperoleh
kepastian hukum dalam status sebagai isteri, yang pernikahannya
dilakukan dibawah tangan, dan ternyata dibalik itu semua terkandung
maksud upaya melegalkan poligami.16
D. Syarat-Syarat Permohonan Isbat Nikah
Tentang syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab fiqh klasik
maupun kontemporer. Akan tetapi syarat isbat nikah ini dapat dianalogikan
dengan syarat pernikahan. Hal ini karena isbat nikah (penetapan nikah) pada
dasarnya adalah penetapan suatu perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah
dilakukan dengan sah yaitu telah sesuai dengan syarat dan rukun nikah tetapi
pernikahan ini belum dicatatkan ke pejabat yang berwenang yaitu Pegawai
Pencatat Nikah (PPN). Maka untuk mendapatkan penetapan (pengesahan nikah)
harus mengajukan terlebih dahulu perkara permohonan isbat nikah ke Pengadilan
Agama.
Syarat-syarat seseorang yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah
antara lain:
1. Suami atau istri
2. Anak-anak mereka
3. Wali nikah
16
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI,
1999/2000), h. 167
46
4. Pihak-pihak yang berkepentingan.17
Sebagaimana yang termaktub dalam KHI pasal 7 ayat 4 yang berbunyi;
yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anakanak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Selanjutnya akan diuraikan tentang prosedur pengajuan isbat nikah, namun
perlu diketahui bahwa perkara isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama
memiliki berapa bentuk antara lain :
1. Bersifat volunteir (perkara yang pihaknya hanya terdiri dari Pemohon saja,
tidak ada pihak Termohon):
a. Jika permohonan diajukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama.
b. Jika permohonan diajukan oleh suami/isteri yang ditinggal mati oleh
suami/isterinya, sedang Pemohon tidak mengetahui ada ahli waris lainnya
selain dia.
2. Bersifat kontensius, (perkara yang pihaknya terdiri dari Pemohon melawan
Termohon atau Penggugat melawan Tergugat):
a. Jika permohonan diajukan oleh salah seorang suami atau isteri, dengan
mendudukkan suami atau isteri sebagai pihak Termohon.
b. Jika pernohonan diajukan oleh suami atau isteri sedang salah satu dari suami
isteri tersebut masih ada hubungan perkawinan dengan pihak lain, maka
pihak lain tersebut juga harus dijadikan pihak dalam permohonan tersebut.
c. Jika permohonan diajukan oleh suami atau isteri yang ditinggal mati oleh
suami atau isterinya, tetapi dia tahu ada ahli waris lainnya selain dia.
17
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51
47
d. Jika permohonan diajukan oleh wali nikah, ahli waris atau pihak lain yang
berkepentingan.18
E. Isbat Nikah Perkawinan Campuran
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa perkawinan
campuran menurut ketentuan Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
merupakan perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Sedangkan pengertian isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah dan
belum atau tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat
KUA yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Dengan demikian isbat nikah
perkawinan campuran berarti penetapan atas perkawinan seorang pria dengan
seorang wanita yang berbeda kewarganegaraan yang sudah dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan agama Islam tapi pernikahannya belum atau tidak dicatatkan ke
pejabat yang berwenang.
Isbat nikah perkawinan campuran tidak berbeda dengan isbat nikah biasa,
baik mengenai alasan diperbolehkannya, seperti yang tercantum dalam ketentuan
18
Drs. H. Masrum M Noor, MH. (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Penetapan
Pengesahan Perkawinan, pdf.
48
Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KHI,19 maupun
mengenai syarat-syarat diperbolehkannya permohonan isbat nikah.20
F. Manfaat Pencatatan Perkawinan dan Isbat Nikah
Pencatatan
perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan
ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang
dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat
salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau
salah satu tidak bertanggung jawab. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti
autentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.21
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan
rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu :
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
19
Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I
(Jakarta: Gema Insani Press,1994), h. 83
20
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51
21
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, h. 52
49
(2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.22
tahun 1946 jo dan Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang
penetapan berlakunya Undang-undang republik indonesia tanggal 21
november No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk
di seluruh daerah luar jawa dan madura.
Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 6 yang menyebutkan :
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat
nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat
nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.22
Secara rinci peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II Pasal 2
menjelaskan tentang :
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai
pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam Undang - undang No.32
Tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, dan rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada
kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku
bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan
yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 3 peraturan pemerintah sampai dengan pasal 9
peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.23
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan
22
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995).
Cet 1, h.109.
23
Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan
Agam, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 57
50
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang
akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu
alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala
daerah.
Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan
atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang diberitahukan
meliputi : Nama, Umur, Agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman
calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5 peraturan pemerintah
(PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang perkawinan). Dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya
pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat dihindari.24
24
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995).
Cet 1, h-112-114
51
BAB IV
ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN
DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa
Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor : 85 Tahun 1996 Tanggal 01 Nopember 1996 dan
Pengadilan Agama Tigaraksa dengan kelas 1B diresmikan pada hari Kamis
tanggal 21 Agustus 1997 bertepatan dengan tanggal 17 Rabiul Awwal 1418 H
oleh Direktur Peradilan Agama atas nama Menteri Agama bertempat di Gedung
Negara (Pendopo) Pemda Kabupaten Tangerang yang pada saat itu Bapak Let.
Kol. Agus Junara menjabat sebagai Bupati.1
Yurisdiksi relatif (kewenangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum
Kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21
Agustus 1996 antara Drs. H. Abdurahman Abror selaku Ketua Pengadilan Agama
Tangerang kepada Drs. A.D. Dimyati, S.H. selaku Ketua Pengadilan Agama
Tigaraksa yang terdiri dari 19 kecamatan 3 kemantren dan 306 desa serta
berdasarkan Perda Kabupaten Tangerang telah mengalami Pemekaran menjadi 36
Kecamatan.
Pada saat diresmikan, Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jl. Raya
Serang KM. 12 Kp. Pulo, Desa Bitung Jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten
1
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2.
51
52
Tangerang dengan luas bangunan 7x12 meter di atas tanah 864 M2. Pada Tahun
2002 Pengadilan Agama Tigaraksa menempati Gedung Baru yang terletak di
Jalan Masjid Agung Al-Amjad No.1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten
Tangerang dengan luas tanah 2000 M2 dengan gedung berlantai 2 yang terdiri
dari Ruang Ketua, Ruang Wakil Ketua, Ruang Panitera Sekertaris, Ruang Hakim,
Ruang Kesekretariatan, Ruang Kepaniteaan, 2 buah Ruang Sidang, Ruang Arsip,
Ruang Tunggu Para Pihak, Ruang Register, Ruang Komputer, Ruang
Perpustakaan dan Ruang Kasir.
1. Kabijakan Umum Peradilan2
Fenomena pembangunan hukum pada akhir-akhir ini mulai akrab
dengan aspirasi teoritik dan meninggalkan ketergantungannya pada ranah
politik dan kekuasaan. Salah satu sub dari sistem hukum itu adalah kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dengan badanbadan peradilan di bawahnya. Satu dari empat lingkungan peradilan
pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah Peradilan Agama yang diatur dengan
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua Undang-Undang
Peradilan Agama.
Struktur organisasi Pengadilan Agama ketika dikaitkan dengan kajian
mendalam era reformasi semakin menjadi tokoh ketika memasuki wilayah satu
atap dengan Mahkamah Agung baik secara administratif, anggaran,
kepegawaian selain yang sifatnya Yudisial yang sejak lama menjadi bagian
Mahkamah Agung. Posisi Pengadilan Agama dalam struktur satu atap dengan
2
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2.
53
Mahkamah Agung menjadi tantangan ke depan yang harus dipikirkan dalam
hal:
a. Daya saing dengan Lembaga Peradilan lainnya, sejauh mana daya saing
Pengadilan Agama dalam memberi palayanan dan solusi hukum terhadap
sengketa yang menjadi kewenangannya.
b. Pengadilan Agama pada satu sisi ia berhadapan dengan tuntutan realitas
empirik dari siklus kehidupan berinstitusi, di sisi lain ia beriringan dengan
kenyataan sebagai tamu pada institusi besar yang dinamakan Mahkamah
Agung.
Aparat Pengadilan Agama (dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama)
harus mampu berperan sebagai penghakim Undang-Undang, tetapi dengan
daya kreasinya juga mampu berperan sebagai pencipta hukum (Recht Vinding).
Hal ini penting mengingat pembuat Peraturan Perundang-Undangan Peradilan
Agama berjalan lambat. Padahal kita sering dihadapkan kepada kebutuhan
hukum yang mendesak untuk mengadili masalah tertentu dengan segera.
Dengan kreativitas aparatur Pengadilan Agama boleh terjadi kekosongan di
bidang Undang-Undang, tetapi diharapkan tidak sampai terjadi kekosongan di
bidang hukum.3
Tugas pokok Pengadilan Agama yang diamanatkan Undang-Undang
yaitu memerikasa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu bagi mereka
yang beragama Islam dibutuhkan:
3
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 2.
54
a. Kebijkan yang mendorong penguasaan Hukum Materil pun harus
menguasai Hukum Formil (Hukum Acara) bagi Hakim Pengadilan Agama.
Sebagaimana tersurat dalam pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dan UndangUndang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 yang pada dasarnya hukum acara perdata yang berlaku di
Pengadilan Agama adalah Herziene Indonesiche Reglement (HIR) Stb. 1941
No. 44, dan hukum acara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1989/Lex Specialis
b. Kebijakan yang mendorong penguasaan dan implementasi secara benar
tentang SPO (Standar Prosedur Operasional) yang dikenal dengan pola
BINDALMIN yang terdiri:
- Pola Prosedur Penerimaan Perkara.
- Pola Register Perkara.
- Pola Keuangan Perkara.
- Pola Keuangan Pelaporan Perkara.
- Pola Pengarsipan Perkara.
c. Kebijakan yang mendorong kesekretariatan sebagai fasilitator dan
dinamisator yang mampu mengalokasikan anggaran secara efektif dan
efisien dengan sistem SAI dan SABMIN, serta mampu menghindari
kebocoran, mark up dan penyalahgunaan anggaran (DIPA).
d. Kebijakan yang mendorong transparansi dalam pengelolaan keuangan
APBN maupun biaya proses peradilan.
55
e. Kebijakan yang mampu mendorong terciptanya client service yang
memuaskan (satisfied) bagi para pencari keadilan sehingga terhindarnya
informasi yang salah (false information).
2. Visi, Misi dan Strategi4
Visi:
“Mewujudkan
Pengadilan
Agama
Tigaraksa
yang
Terhormat
dan
Bermartabat.”
Misi :
a. Mewujudkan pelayanan prima yang memberikan rasa keadilan yang cepat
dan jujur serta didukung oleh SDM Profesional, Sarana dan Prasarana yang
memadai.
b. Mewujudkan Pengadilan Agama yang mandiri dan independen dari campur
tangan pihak lain.
c. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal
pada peradilan.
d. Memperbaiki akses pada pelayanan hukum dan peradilan.
e. Mengupayakan sistem informasi sesuasi program IT.
Tujuan :
a. Tercapainya pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
b. Tersedianya Sarana dan Prasarana yang memadai serta didukung oleh SDM
yang profesional.
4
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 3
56
c. Terciptanya peradilan agama yang mandiri dan independen serta bebas dari
campur tangan pihak lain dalam proses peradilan.
d. Terciptanya kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat yang didasari
pada asas peradilan yang sederharna, cepat dan biaya ringan.
e. Terwujudnya sistem peradilan yang cepat, efektif, efesien dan informasi
yang mudah diserap.
Sasaran :5
a. Meningkatkan kualitas proses pelayanan sehingga dapat diselesaikan kurang
dari 6 (enam) bulan.
b. Meningkatkan tingkat kepuasan masyarakat dalam menyelesaikan perkara.
c. Terpenuhinya sarana, fasilitas dan mobilitas serta SDM yang pofesional.
Strategi untuk Mencapai Tujuan dan Sasaran
Kebijakan :
a. Meningkatkan fungsi IT dengan maksimal, dan mendorong penyelesaian
beban pekerjaan dengan modul shcedul time.
b. Mengefektifkan lembaga mediasi.
c. Mendorong terselenggaranya diklat baik bidang teknis fungsional maupun
bidang administrasi keuangan.
d. Mengusulkan pembangunan sarana gendung, fasilitas, mobilitas dan
mengiutsertakan aparatur peradilan baik ke setiap Diklat Reguler ataupun ke
jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi.
5
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 4.
57
e. Meningkatkan koordinasi dengan PEMDA, MUSPIDA dan Instansi terkait
guna kelancaran tugas dan fungsi Pengadilan Agam Tigaraksa di Kabupaten
Tangerang.
f. Meningkatkan pengawasan melekat dan pengawasan melalui Hakim
Pengawas Bidang (HAWASBID).
Program:6
a. Menerapkan SIADPA (Sistem Administrasi Peradilan Agama) dan
membuka akses internet serta membuat kartu kendali perkara.
b. Menunjuk hakim mediator dan menyediakan Hot Line.
c. Menyelenggarakan Diklat In Job Training.
d. Melakukan Eksaminasi dengan Eksaminator dari Ahli Hukum.
e. Penyuluhan hukum kepada masyarakat.
f. Melakukan sosialisai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
g. Melakukan studi banding khususnya bidang Ekonomi Syari’ah.
h. Mengusulkan pengadaan Gedung dan fasilitasnya dalam RKAKL (Rencana
Kerja ke Menterian dan Lembaga) komponen belanja modal disertai data
pendukung.
i. Melakasanakan Sidang Keliling.
j. Menerapkan Punishment and Reward dengan baik dan benar.
k. Mengimplementasikan Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang
pengawasan dengan membuat Job Description Hakim Pengawas Bidang
(HAWASBID).
6
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 4.
58
3. Rencana Kerja Titik Berat Tahun 2009 s/d Tahun 2017
Dari visi, misi tujuan serta sasaran dan program di atas dapat
dirumuskan rencana kerja titik berat pengadilan agama tigaraksa tahun 2009
s/d 2017 sebagai berikut:7
a. Penanganan perkara dengan efektif dan efesien melalui pola BINDALMIN.
b. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan hukum yang berkualitas.
c. Peningkatan infrastruktu perkantoran.
d. Pemberdayaan SDM manusia melalui pengikutsertaan diklat fungsional dan
struktural.
e. Penciptaan tata perkantoran yang baik.
f. Peningkatan ketertiban dan kenyamanan bagi para pihak yang berperkara.
g. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi keperkaraan melalui IT.
h. Peningkatan motivasi kerja aparatur melalui reward dan punishment.
i. Membangun sisterm karir pegawai melalui parameter legalitas formal,
senioritas dan kinerja untuk dipromosikan kejenjang yang lebih tinggi.
j. Revitalisasi pola BINDALMIN melalui SIADPA.
k. Lahan tanah 3500 m2 dari Pemda Kabupaten Tangerang untuk Pengadilan
Agama Tigaraksa, segera akan dibuatkan sertifikat atas nama Pengadilan
Agama Tigaraksa dan akan segera dibangun gedung pengadilan sesuai
dengan stadarisasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
4. Struktur Pengadilan Agama Tigaraksa8
Struktur organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa terdiri dari:
7
8
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 5
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 6.
59
a. Ketua
b. Wakil Ketua
c. Panitera/Sekretaris
d. Wakil Panitera
e. Wakil sekretaris
60
B. Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa
Prosedur permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa dapat
dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut :9
1. Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohoan bersifat
voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak
permohonan Itsbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami , istri
masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi.
2. Jika permohonan Isbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka
permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak
mengajukan permohoan sebagai pihak termohon, produknya bersifat putusan dan
terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
3. Jika Isbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih
terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu
tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak
dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
4. Jika permohonan Isbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang
berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri
dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon.
5. Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat
mengajukan Isbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak
Termohon, produknya berupa putusan.
6. Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka
permohonan Isbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan.
9
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 147-148
61
7. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam
perkara permohonan Itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan
perlawanan kepada Pengadilan Agama Tigaraksa setelah mengetahui ada
penetapan Isbat nikah.
8. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam
perkara permohonan Isbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat
mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama Tigaraksa selama perkara belum
diputus.
9. Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak
dalam perkara Itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan
tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama Tigaraksa dapat mengajukan
pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa.
Selanjutnya proses penyelesaian perkara pengesahan perkawinan (Isbat
Nikah) di Pengadilan Agama Tigaraksa adalah sebagai berikut:10
1. Proses Pendaftaran Perkara:
a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon
atau kuasanya yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama
Tigaraksa (Pasal 142 ayat (1) R. Bg.).
b. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan
permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama
Tigaraksa, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa atau Hakim
10
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 149
62
yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa mencatat
permohonan tersebut (Pasal 144 R. Bg.).
c. Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa, kemudian
diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Pemohon atau
kuasanya membayar panjar biaya perkara ke BRI Cabang Tigaraksa dengan
melampiri slip penyetoran bank yang besarnya telah ditentukan oleh Ketua
Pengadilan Agama Tigaraksa (Pasal 145 ayat (4) R. Bg.).
d. Permohonan tersebut memuat:
1) Nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, kewarganegaraan dan
tempat kediaman Pemohon dan Termohon.
2) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
3) Alasan atau kepentingan yang jelas.
4) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
e. Pemohon
dan
Termohon
atau
kuasanya
menghadiri
persidangan
berdasarkan panggilan yang dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti
Pengadilan Agama Tigaraksa (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975).
2. Proses Penyelesaian Perkara:11
a. Permohonan isbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum Majelis Hakim
menetapkan
hari
sidang,
terlebih
dahulu
mengumumkan
adanya
permohonan isbat nikah melalui media massa (Radio Kalamaira Tigaraksa)
dalam waktu 14 (empat belas) hari.
11
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 150
63
b. Setelah berakhir masa pengumuman Majelis Hakim menetapkan hari sidang
paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman.
c. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti
Pengadilan Agama Tigaraksa untuk menghadiri sidang pemeriksaan:
1) Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan Agama
Tigaraksa, dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan
Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya
tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
2) Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah Pengadilan Agama
Tigaraksa dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari
sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
3) Termohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil melalui media
massa (Radio
Kalamaira Tigaraksa) sebanyak
dua kali, jarak
pemanggilan pertama dengan pemanggilan kedua satu bulan dan jarak
pemanggilan kedua dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga bulan
(Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
4) Termohon yang berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar
negeri cq. Dirjen protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan
tembusan disampaikan kepada kedutaan besar Republik Indonesia dan
64
jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan.
3. Tahapan pemeriksaan:12
a. Pada pemeriksaan sidang pertama;
1) Jika Pemohon dan Termohon hadir, maka tahap persidangan dimulai
dengan memeriksa identitas para pihak, para pihak tidak diwajibkan
melaksanakan proses mediasi karena perkara permohonan isbat nikah
(Pasal 3 ayat (2) Perma. Nomor 1 Tahun 2008), selanjutnya Majelis
Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus
datang secara pribadi (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009).
2) Jika Termohon tidak hadir, maka Termohon dipanggil sekali lagi (Pasal
150 R.Bg).
b. Selanjutnya tahapan pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan
surat permohonan, jawaban, replik, dan duplik (Pasal 157 ayat (1) R. Bg.,
pembuktian dan kesimpulan).
c. Tahapan sidang berikutnya adalah musyawarah Majelis Hakim dan terakhir
membacakan penetapan.
4. Ketentuan penetapan berkekuatan hukum tetap (BHT)
a. Jika kedua belah pihak hadir, maka penetapan akan berkekuatan hukum
tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan dibacakan.
12
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 150
65
b. Jika salah satu pihak tidak hadir pada saat pembacaan penetapan, maka
penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari
penetapan tersebut diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir.
c. Setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera
Pengadilan Agama Tigaraksa berkewajiban menyerahkan atau mengirimkan
salinan putusan kepada para pihak selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah putusan dibacakan tanpa dipungut biaya.
C. Persyaratan Permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di
Pengadilan Agama Tigaraksa
Hasil wawancara yang telah penulis laksanakan terkait dengan persyaratan
permohonan Isbat Nikah perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,
diperoleh informasi bahwa persyaratan permohonan pengesahan isbat nikah bagi
Perkawinan Campuran sama dengan persyaratan permohonan pengesahan isbat
nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama WNI yang beragama Islam).
Persyaratan permohonan pengesahan isbat nikah baik bagi perkawinan
campuran maupun perkawinan biasa adalah :
1. Adanya pengajuan permohonan isbat nikah dan
2. Pernikahan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at
Agama Islam dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain dua ketentuan sebagaimana tersebut di atas, para pemohon harus
dapat membuktikan di depan sidang Majelis Hakim bukti-bukti yang dapat
mendukung keabsahan pernikahan tersebut, seperti adanya wali dan saksi.
66
Jika ketentuan sebagaimana tersebut di atas telah terpenuhi, maka
permohonan isbat nikah tersebut dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim.13
D. Pertimbangan Hakim Pada Penetapan Nomor 0044/Pdt/P/2014/PA.Tgrs
Perkara
Nomor
0044/Pdt.p/2014/PA.Tgrs.
merupakan
perkara
permohonan pengesahan isbat nikah yang diajukan oleh SIMPSON JACK
KRISTINN Bin JACK RAY SIMPSON, Umur 36 tahun, agama Islam,
pendidikan S1, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jalan Alam IV Blok A No. 19
Villa Ilhami Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten
Tangerang, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon I”, dan ESTIN AULIA
THONAH Binti SARKUM BASIR, umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan
SLTP, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jalan Alam IV block A No.19 Villa
Ilhami Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten Tangerang,
selanjutnya disebut sebagai “Pemohon II”. Permohonan pengesahan isbat nikah
ini diajukan pada tanggal 04 Pebruari 2014, sebagaimana terdaftar pada
Kepaniteraan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs.
Dalam surat permohonanya, Pemohon I dan Pemohon II memohon kepada
Majelis Hakim untuk menetapkan sah pernikahan pemohon I dengan pemohon II
yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecaman Curug Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan surat permohonan tersebut, Majelis Hakim yang menangani
perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. permohonan Pemohon I dan Pemohon
13
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 148.
67
II dan menetapkan sah pernikahan Pemohon I dengan Pemohon II yang
dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecaman Curug Kabupaten Tangerang dengan
pertimbangan sebagai berikut:14
1. Pemohon I dan Pemohon II telah mendaftarkan permohonan pengesahan isbat
nikahnya di Pengadilan Agama Tigaraksa sesuai ketentuan dan prosedur yang
telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa.
2. Berdasarkan keterangan Pemohon I, Pemohon II, wali nikah dan dua orang
saksi di persidangan menyatakan bahwa pernikahan tersebut sudah sesuai
dengan ketentuan syari’at Agama Islam.
3. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan untuk menikah,
baik menurut ketentuan syari’at Agama Islam maupun menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Bahwa sampai sekarang para pemohon tidak memiliki kutipan akta nikah karna
perkawinan tidak terdaftar pada Kantor Urusan Agama.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim yang menangani
perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. berpendapat bahwa permohonan para
pemohon supaya pernikahannya yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus
2010 di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang
dinyatakan sah telah memenuhi syarat yang dimaksud sebagaimana diatur dalam
pasal (2) ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) huruf (d)
Kompilasi Hukum Islam.
14
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB
68
Selain alasan di atas, pertimbangan majlis hakim juga mendasarkan
pertimbangannya pada kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:
1. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 76
2. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 102
Menimbang, bahwa sesuai dengan pendapat para ulama dalam kitab
Bughyatul Mustarsyidin, Ushulul Fiqhi, I’anatut Thalibin dan Mughnii al-Muhtaj
yang selanjutnya diambil alih menjadi pendapat majlis berbunyi :
1. Kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 298
2. Kitab Ushulul Fiqhi Abdul Wahab Khalaf halaman 93
3. Kitab I’anatut thalibin juz IV halaman 275
4. Kitab Mughni al-Muhtaj juz II
Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim yang menangani
perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. berpendapat bahwa permohonan para
pemohon supaya pernikahannya yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus
2010 di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang
dinyatakan sah telah memenuhi syarat yang dimaksud sebagaimana diatur dalam
pasal (2) ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) huruf (d)
Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim yang menangani
perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs.menetapkan hal-hal sebagai berikut:15
1. Mengabulkan permohonan para pemohon
15
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB
69
2. Menyatakan sah pernikahan antara pemohon I (SIMPSON JACK KRISTINN
Bin JACK RAY SIMPSON) dengan pemohon II (ESTIN AULIA THONAH
Binti SARKUM BASIR) yang dilaksanakan pada tanggal 07 Agustus 2010
diwilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang
3. Memerintahkan kepada para pemohon untuk mencatatkan perkawinan tersebut
kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug
Kabupaten Tangerang, untuk mendapatkan akta nikah
4. Membebankan kepada para pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 441.000,- (empat ratus empat puluh satu ribu rupiah).16
E. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Dalam Perkara Isbat
Nikah Perkawinan Campuran Setelah Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974
Isbat nikah atau pengesahan nikah, dalam kewenangan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah merupakan perkara voluntair. Yaitu jenis perkara
yang hanya ada pihak pemohon saja, tidak ada pihak lawan dan tidak ada
sengketa.
Landasan yuridis dari isbat nikah adalah ketentuan yang terdapat di dalam
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Pasal 49 huruf
(a) angka 22 undang undang tersebut diatur tentang pengesahan perkawinan bagi
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku.
16
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
70
Dalam KHI upaya hukum isbat nikah tidak hanya meliputi pengesahan
perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku. Hal ini dapat
dilihat dari ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menegaskan, dalam hal perkawinan
tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikah ke
Pengadilan Agama. Kemudian pada pasal 7 ayat (3), hal-hal yang dapat diminta
isbat nikahnya, yaitu :
1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
2. Hilangnya akta nikah.
3. danya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974
dan
5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.
Kepastian hukum isbat nikah terhadap status perkawinan ini erat kaitannya
dengan pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat
sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai
bukti telah terjadinya sebuah perkawinan, karena sahnya suatu perkawinan itu
menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing sesuai pasal 2 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974. Namun demikian, perkawinan perkawinan yang tidak
tercatat tidak akan memperoleh perlindungan dan kekuatan hukum dari negara.
Setelah penetapan isbat nikah dikabulkan oleh Majelis Hakim, pemohon
akan memperoleh akta nikah dari KUA setempat. Akat Nikah ini merupakan bukti
otentik bahwa telah terjadi suatu perkawinan. Maka dari itu perkawinan tersebut
71
dianggap sah menurut hukum. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata, yaitu adanya suatu
perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang
dicatat dalam register. Sehingga para pemohon yang telah melakukan pencatatan
perkawinan akan memperoleh akta nikah untuk mendapat perlindungan dan
kepastian hukum dari pemerintah.17
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah
atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap
warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari
perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial
sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan
menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak tercatat atau dicatatkan, cukup
dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan
terlebih dahulu mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa
harus melakukan nikah ulang atau nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu
bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk
perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 adalah karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai
dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI.
17
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
72
Terkait dengan penetapan isbat nikah bagi perkawinan Campuran di
Pengadilan Agama Tigaraksa didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1. Pada dasarnya mereka telah melaksanakan nikahnya sesuai dengan syariat
Islam, dimana syarat sah sebuah perkawinan yang ditentukan syariat Islam
telah terpenuhi dan sesuai pula dengan ketentuan Pasal 14 KHI yaitu adanya
calon mempelai, wali, dua orang saksi, ijab kabul, serta adanya mahar sebagai
kewajiban dari mempelai laki-laki kepada isterinya.
2. Bahwa, di dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ayat (3) bahwa perkawinan
yang dapat disahkan adalah perkawinan yang dilangsungkan sebelum lahirnya
UU Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan faktanya banyak perkawinan yang
dilangsungkan di bawah tangan setelah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 yang
mohon diitsbatkan, maka dengan berpedoman pada Pasal 7 ayat (3) huruf (e)
yang berbunyi yaitu ”Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut halangan perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974”, maka perkawinan di bawah tangan
yang dilangsungkan oleh para pemohon isbat nikah telah sesuai dengan
ketentuan syariat Islam yaitu telah terpenuhi rukun dan syaratnya serta tidak
ada halangan perkawinan menurut halangan yang terdapat dalam UU No. 1
tahun 1974, maka perkawinan tersebut dapatlah disahkan, karena pasal 7 ayat
(3) tersebut tidaklah bersifat kumulatif tetapi bersifat alternatif yang huruf satu
73
dengan huruf yang lainnya bukanlah merupakan suatu kesatuan tetapi
terpisah.18
F. Analisis Penulis
Mencermati masalah isbat nikah tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum
perkawinan sebagaimana yang diatur dan ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jo. PP No.9 Tahun 1975. Sebagaimana diketahui,
perkawinan dalam perspektif UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
sekedar hubungan kontrak antara individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi
juga mencakup ikatan lahir batin (mitsaqon gholizan) serta dilandasi keyakinan
beragama.
Sebuah perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum atau
menurut hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara
positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan diatur
dalam pasal 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan
yang tidak dicatat dan atau tidak tercatat dianggap tidak sah dimata hukum dan
juga tidak mendapat akta nikah sebagai bukti otentik sahnya suatu perkawinan.
Hak dan kewajiban serta hukum-hukum lainnya itu merupakan
konsekuensi dari sebuah perkawinan yang sah. Hubungan hukum anak ayah
ditunjukkan pada pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berbunyi “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”.
18
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
74
Isbat nikah atau penetapan nikah dilakukan berkaitan dengan unsur
keperdataan yaitu adanya bukti otentik tentang perkawinan yang telah dilakukan
termasuk perkawinan campuran. Hal ini karena perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan akta nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Idris
Ramulyo mengatakan bahwa nikah dan talak yang dilakukan dibawah tangan
lebih cenderung dinyatakan tidak sah menurut hukum Islam, batal, atau sekurangkurangnya dapat dibatalkan.19
Perkawinan campuran yang disahkan penetapannya melalui Penetapan
Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs digolongkan kepada Perkawinan Campuran
Antar Golongan (Intergentiel). Perkawinan tersebut dilaksanakan setelah
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Permohonan isbat nikah tersebut didasarkan karena perkawinannya tidak tercatat,
sehingga tidak memiliki Akta Nikah, dan diajukan untuk memperoleh kepastian
hukum, baik bagi suami-istri maupun anak-anak yang
dilahirkan akibat
perkawinan tersebut. Permohonan isbat nikah dalam Penetapan Nomor
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. bersifat voluntair, produknya berupa penetapan.
Pertimbangan majlis hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah
Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. didasarkan pada kaidah-kaidah fiqhiyyah
sebagai berikut:
1. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 76
‫ما ال يتم انىاجة إال تو فهى واجة‬
Artinya “Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengan
adanya sesuatu itu, maka hukumnya menjadi wajib pula”.
19
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 20-21
75
3. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 102
‫انضسز يزال‬
Artinya: “Kemadharatan itu harus dihilangkan”
Menurut Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag. selaku hakim PA Tigaraksa,20
mengenai kewenangan hakim dalam perkara permohonan isbat nikah adalah
bahwa hakim wajib memeriksa terhadap perkara isbat nikah yang masuk di
Pengadilan Agama melalui prosedur persidangan serta berhak memutus atas
perkara tersebut sesuai aturan hukum yang mengaturnya.
Lebih lanjut Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag. menjelaskan bahwa
majelis hakim memeriksa beberapa bukti tertulis dan para saksi yang memberikan
keterangan di bawah sumpah serta telah memenuhi syarat formil kesaksian dan
dapat diterima sebagai alat bukti kesaksian. Dalam pertimbangannya bahwa
tentang pengesahan nikah hanya diberikan terbatas mengenai hal-hal yang secara
limitatif telah diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 Kompilasi Hukum Islam
maka harus terlebih dahulu dibuktikan apakah dalil-dalil pemohon telah sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud.
Dalam penetapan isbat nikah maka Panitera Pengadilan Agama
berkewajiban untuk mengirimkan salinan penetapan yang telah berkekuatan
hukum tetap kepada PPN/KUA kecamatan setempat untuk diadakan pencatatan
lagi dalam Buku Pendaftaran Nikah atau Rujuk. Pada kolom terakhir Buku
20
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
76
tersebut dituliskan bahwa pencatatan ini didasarkan atas putusan Pengadilan
Agama yang bersangkutan dengan nomor dan tanggal dan putusannya.21
Majelis hakim Pengadilan Agama Tigaraksa menetapkan permohonan
isbat nikah meskipun perkawinan dilakukan setelah tahun 1974. Perkara isbat
nikah dilakukan secara selektif dan hati-hati. Dalam hal ini penetapan disahkan
guna mengurus akta kelahiran anak sebagai upaya untuk memberikan
perlindungan kepada anak. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat
harus mendapatkan hak yang sama dengan anak yang lahir dari perkawinan
tercatat. Karena sesuai pasal 4 UU Perlindungan Anak, anak berhak untuk hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas.
Kebanyakan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa
yaitu untuk mendapatkan pengesahan pernikahan mereka secara resmi di mata
hukum karena belum mempunyai surat nikah yang akan digunakan untuk
mengurus akta kelahiran anak-anaknya.
Dengan melihat uraian pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI telah memberikan
kewenangan lebih dari yang diberikan oleh UU, baik Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.22
Apabila perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri menjadi tradisi dalam
arti dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat serta apalagi dapat dikabulkan jika
21
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
22
Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (Tinjauan Yuridis,
Filosofis, dan Historis) dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 62 THN. XIV, (Jakarta:
2003), h. 70
77
dimintakan isbatnya oleh Pengadilan Agama dan dipertahankan terus menerus
maka akan membawa dampak yang tidak baik. Dan dampak itu antara lain
adalah:23
1. Makna historis Undang-undang perkawinan akan tidak efektif sehingga tujuan
lahirnya UU tersebut tidak tercapai.
2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang
dikehendaki pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka akan
menciptakan suatu kondisi ketidakteraturan dalam pencatatan kependudukan.
3. Masyarakat Muslim dipandang tidak lagi memperdulikan kehidupan dalam
bidang hukum, yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan
ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan Negara.
4. Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri yang hanya
peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan perkawinan
yang mengundang ketidakpastian nasib wanita (isteri).
5. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang
untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas tanpa terlibat prosedur
hukum sebagai akibat langsung dari diabaikannya pencatatan oleh Negara,
sehingga perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri hanya diikuti perceraian
dibawah tangan pula.
6. Akan membentuk preseden buruk sehingga akan cenderung menjadi bersikap
enteng untuk mengabaikan pencatatan nikahnya secara langsung pada saat
perkawinan.
23
Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, h. 72
78
Namun, dalam UU terbaru Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun
2007 tentang pencatatan nikah, belum adanya sanksi yang tegas mengenai
pelanggaran terhadap pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan perkawinan dan para
pegawai pencatat nikah (KUA dan PPN) yang melakukan penyelewengan atas
tugas pencatatan nikah. Jika sanksi ini ditegakkan diharapkan oknum menjadi jera
untuk melakukan pelanggaran terhadap UU.
Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq sebagaimana dikutip Satria Effendi M.
Zein,24 membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada 2 (dua) kategori
yaitu peraturan syara’ dan peraturan tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang
bermaksud agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat
dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwenang. Secara administratif ada peraturan yang mengharuskan agar suatu
pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
kegunaannya agar lembaga perkawinan mempunyai tempat yang sangat penting
dan strategis dalam masyarakat Islam, dapat dilindungi dari upaya-upaya negatif
dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sedangkan menurut Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah yang
dikutip oleh Siti Musdah Mulia, bahwa pemerintah dalam hukum Islam memiliki
kewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan
yang
merugikan
dengan
menciptakan
peraturan-peraturan
yang
dapat
menimbulkan ketentraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr (menjaga Agama)
dan fi siyasah al dunya’ (mengatur urusan dunia). Dalam pelaksanaan kedua
24
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta:
Kencana, 2005). Cet II. h. 29
79
fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya, sepanjang tidak
mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula mendatangkan kemudharatan.
Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan
membuat perundang-undangan dalam bidang siyasah al syar’iyah. Siyasah al
syar’iyah adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah dalam rangka
menunjang keberlakuan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasul, meskipun belum
pernah dirumuskan ulama’ sebelumnya.25
Sedangkan dasar hukum yang digunakan dalam pencatatan perkawinan
yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”.26
Serta dalam KHI dijelaskan dalam pasal 4,5,6,7 secara garis besar memuat
aturan bahwa sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam.
Di dalam Al Quran dijelaskan tentang pentingnya penulisan atau pencatatan yaitu
dalam surat Al Baqarah ayat 282:
َ ‫يَاأَيُّهَا انَّ ِر‬
ُ‫يه َءا َمنُىا إِ َذا تَ َدايَ ْنتُ ْم تِ َد ْي ٍه إِنَى أَ َج ٍم ُم َس ًّّمى فَا ْكتُثُىه‬
َّ ُ‫ة َك َما َعهَّ َمو‬
ُ‫َّللا‬
َ ُ‫ب َكاتِةٌ أَ ْن يَ ْكت‬
َ ْ‫َو ْنيَ ْكتُةْ تَ ْينَ ُك ْم َكاتِةٌ تِ ْان َع ْد ِل َو َال يَأ‬
..... ْ‫فَ ْهيَ ْكتُة‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Hendaklah seorang penulis diantara kau menuliskannya
dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis….” (Q.S S. Al
Baqarah: 282)
25
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press.
2006), h. 144
26
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
80
Wajibnya pencatatan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan dalam
Islam beranalog (berqiyas) kepada ayat yang mewajibkan pencatatan dalam
transaksi hutang-piutang. Perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang amat
penting, bahkan jauh lebih penting dari transaksi yang lainnya dalam kehidupan
manusia. Kalau hutang piutang saja wajib dicatatkan apalagi perkawinan.27
Dengan demikian maka dapat ditegaskan bahwa, pencatatan perkawinan
merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak.
Karena ia memiliki landasan metodologis yang cukup kokoh, yaitu qiyas atau
maslahat mursalah yang menurut al- Syatibi merupakan dalil qath’i yang
dibangun atas dasar kajian induktif (istiqra’i).28 Dengan pencatatan pernikahan
maka akan membentuk dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib dan
menjaga kemaslahatan bagi keluarga.
Bagi mereka yang tidak mencatatkan dan atau tidak mendaftarkan
perkawinan mereka atau enggan melangsungkan perkawinan dihadapan PPN,
maka perkawinan mereka dikualifikasikan “perkawinan liar” dalam bentuk kawin
sirri atau kawin “kumpul kebo”.29
Pasal 7 ayat 2 KHI menerangkan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan
Agama. Sedangkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang syarat
27
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press.
2006), h. 143
28
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.
121
29
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Mimbar Hukum
Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Thn. III, (Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1992),
h. 25
81
dan rukun nikah, yang apabila telah terpenuhinya seluruh syarat dan rukun
tersebut, maka pernikahannya harus dinyatakan sah.
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini tidak mensyaratkan sahnya suatu
perkawinan karena dicatat. Akta nikah hanya sebuah pernyataan dari pihak
pemerintah yang mencatat adanya peristiwa hukum berupa pernikahan. Begitu
banyak pakar hukum yang menyatakan sahnya perkawinan tidak harus dicatat,
hanya tidak mempunyai kekuatan hukum apabila berhadapan dengan hukum
lainnya.
Dalam hal pencatatan perkawinan apabila tidak dilaksanakan maka akan
melanggar Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima
ratus rupiah); begitu juga terhadap poligami yang dilaksanakan tanpa izin
pengadilan agama yang telah memenuhi unsur-unsur Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam, maka secara hukum sah pernikahannya tetapi tidak ada pencatatannya di
Kantor Urusan Agama karena tidak dimintakan izin poligami ke Pengadilan
Agama. Terhadap perkara ini Hakim Peradilan Agama disibukkan dengan
menafsirkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam tentang syarat dan rukun
perkawinan yang bersinergi dengan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam adanya
upaya hukum isbat nikah.
Apabila hakim sudah memutuskan adanya peristiwa hukum tentang
sahnya perkawinan bagi para pemohon (ketetapan isbat nikah) maka seharusnya
hakim juga menyatakan bahwa para pemohon tersebut telah melakukan
pelanggaran terhadap ex Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
82
karenanya para pemohon isbat nikah oleh hakim harus pula dijatuhi sanksi
pelanggaran terhadap pasal tersebut.
Hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Fitriyel Hanif,
S.Ag., M.Ag., diperoleh informasi bahwa sebagian besar pengajuan permohonan
isbat nikah yang diajukan oleh para pemohon di Pengadilan Agama Tigaraksa
bahwa pernikahannya dilaksanakan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, baik pernikahan biasa maupun pernikahan campuran. 30
Hal ini mengisyaratkan bahwa para pemohon telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Undang-Undang Nomor 32
Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. PP Nomor 9 Tahun
1975 Pasal 2 ayat (1,2,3). Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 9 ayat (2, 3), Pasal 34,
35, dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Selain itu, tidak sedikit permohonan kehendak nikah yang diajukan kepada
Kantor Urusan Agama yang ditolak permohonannya karena adanya beberapa
kekurangan persyaratan administratif, seperti kurang usia (calon pengantin pria
kurang dari 19 tahun dan calon pengantin wanita kurang dari 16 tahun), belum
mendapatkan izin atasan (bagi anggota polisi), belum memiliki Kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) bagi Warga Negara Asing, atau persyaratan lain yang harus
30
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
83
dipenuhi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena persyaratan
tersebut bersifat administratif dan tidak menjadi halangan bagi terjadinya
perkawinan menurut ketentuan syari’at Agama Islam, kemudian mereka
melaksanakan perkawinannya tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
Tidak sedikit kasus sebagaimana digambarkan di atas selanjutnya diajukan
pengesahan perkawinannya melalui permohoan penetapan isbat nikah di
Pengadilan Agama, dan hakim mengabulkan permohonannya.
Kondisi seperti ini menurut analisis penulis akan memberikan dampak
yang kurang baik terhadap masyarakat, bahkan lebih jauh dari itu mereka
cenderung tidak mengindahkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
khususnya yang berkaitan dengan perkawinan. Terlebih lagi jika perkawinan
campuran dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama, hal ini menurut analisis
penulis akan menjadi preseden buruk bagi kewibawaan hukum di mata warga
negara asing. Karena perkawinan campuran memerlukan persyaratan administrasi
yang lebih rumit dan melibatkan ketentuan hukum dua negara.
Menurut analisis penulis, penetapan isbat nikah oleh Pengadilan Agama di
satu sisi memberikan manfaat bagi keluarga akan adanya jaminan kepastian
hukum dan akibat yang ditimbulkannya. Tapi di sisi lain akan memberikan ekses
yang kurang baik terhadap masyarakat, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Isbat nikah akan dijadikan sebagai celah hukum bagi terjadinya berbagai
pelanggaran
administratif
oleh
para
calon
suami-istri
yang
melangsungkan perkawinan yang tidak memenuhi syarat administratif.
akan
84
2. Isbat nikah bagi perkawinan campuran akan memberikan dampak buruk bagi
kewibawaan hukum di mata Warga Negara Asing.
3. Isbat nikah dapat digolongkan sebagai jalan pintas bagi pengesahan
perkawinan yang pencatatannya ditolak oleh Kantor Urusan Agama.
4. Adanya dualisme kewenangan dalam pengesahan perkawinan antara Kantor
Urusan Agama dengan Pengadilan Agama, dimana dalam beberapa kasus isbat
nikah yang secara adminsitratif belum memenuhi persyaratan perkawinan dan
ditolak permohonan perkawinannya oleh KUA, tapi oleh Pengadilan Agama
dinyatakan sah. Hal ini secara tidak langsung akan merendahkan posisi
lembaga dari lembaga lainnya.
5. Adanya perbedaan persyaratan administratif dalam permohonan pendaftaran
perkawinan di Kantor Urusan Agama dan permohonan penetapan isbat nikah di
Pengadilan Agama, sehingga terkesan tidak adanya kesamaan prinsip dalam
menetapkan pengesahan perkawinan.
6. Berdasarkan tata urutan dan hirarki perundang-undangan di Indonesia, dalam
penerapannya Kompilasi Hukum Islam menjadi dilematis, karena posisinya
yang tidak kuat sehingga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Berdasarkan dampak di atas, maka diperlukan pengkajian mendalam
terhadap berbagai ketentuan perundang-undangan, khususnya dalam bidang
perkawinan demi terhindarnya kontradiksi antara ketentuan yang satu dengan
ketentuan yang lainnya. Untuk itu beberapa pertimbangan terkait isbat nikah oleh
Pengadilan Agama, dapat penulis paparkan sebagai berikut:
85
1. Melakukan amandemen terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terhadap pasal-pasal
yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain.
2. Memberikan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan penetapan isbat
nikahnya
disahkan
oleh
Pengadilan
Agama,
sedangkan
pelaksanaan
pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974.
3. Menyamakan ketentuan persyaratan administratif permohonan penetapan isbat
nikah di Pengadilan Agama dengan permohonan pendaftaran perkawinan di
Kantor Urusan Agama.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah
perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 adalah bahwa
permohonan isbat nikah dikabulkan demi melindungi dan menjamin
terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami
istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak
sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan
keselarasan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang
telah melakukan perkawinan menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak
tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus melakukan nikah ulang atau
nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu bertentangan dengan ketentuan
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak
ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
86
87
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf
e KHI.
2. Proses pengajuan isbat nikah bagi perkawinan campuran di Pengadilan Agama
Tigaraksa sama dengan proses pengajuan isbat nikah perkawinan biasa
(perkawinan antara sesama WNI yang beragama Islam). Adapun proses
pengajuan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa adalah : (1) Mengajukan
permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya
yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa, (2)
Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa, kemudian
diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register, (3) Para pemohon atau
kuasanya menghadiri persidangan, (4) Majelis hakim melakukan pemeriksaan
terhadap para pemohon dan para saksi, dan (5) Majelis hakim melakukan
musyawarah dan terakhir membacakan penetapan.
3. Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs adalah
sebagai berikut: (1) Pemohon I dan Pemohon II telah mendaftarkan
permohonan pengesahan isbat nikahnya di Pengadilan Agama Tigaraksa sesuai
ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama
Tigaraksa, (2) Berdasarkan keterangan Pemohon I, Pemohon II, wali nikah dan
dua orang saksi di persidangan menyatakan bahwa pernikahan tersebut sudah
sesuai dengan ketentuan syari’at Agama Islam, (3) Bahwa antara Pemohon I
dan Pemohon II tidak ada larangan untuk menikah, baik menurut ketentuan
syari’at Agama Islam maupun menurut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, dan (4) Bahwa sampai sekarang para pemohon tidak memiliki kutipan
88
akta nikah karna perkawinan tidak terdaftar pada Kantor Urusan Agama. Selain
alasan di tgersebut, majleis hakim juga mendasarkan pertimbangannya pada
kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut: (1) Kitab Qowaid Al-Kulliyah al
Fiqhiyah halaman 76, dan (2) Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman
102.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang telah penulis paparkan,
maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Hendaknya pihak-pihak yang terkait melakukan amandemen terhadap beberapa
pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain.
2. Hendaknya diberlakukan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan
penetapan isbat nikahnya disahkan oleh Pengadilan Agama, sedangkan
pelaksanaan pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini untuk menjaga kewibawaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Kepada pihak Pengadilan Agama, hendaknya menyamakan ketentuan
persyaratan administratif permohonan penetapan isbat nikah di Pengadilan
Agama dengan permohonan pendaftaran perkawinan di Kantor Urusan Agama,
demi terciptanya kejelasan aturan dan kesamaan persepsi antara dua lembaga
tersebut.
89
89
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993).
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I
(Jakarta: Gema Insani Press,1994).
Abdullah, Abdul Ghani, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan
Peradilan Agam, (Jakarta: Intermasa, 1991).
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Arto, Ahmad Mukti, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996).
Arto, Ahmad Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996).
Aulawi, Wasit, Prof. H. A., “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”,
dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII
(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996).
Barnadib, Imam, Pemikiran Tentang Metode Pada Pendidikan Perbandingan
(Yogyakarta: IKIP, 1985)
Depag, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid
Pusat, 1992/1993).
Departemen Agama R.I., Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama
RI, 1999/2000).
Gautama, Sudargo (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar
Baru-Vanhoeve, 1980).
Gautama, Sudargo, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di
Indonesia, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990).
Gautama, Sudargo, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata
Internasional Sedunia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996).
89
90
Gautama, Sudargo, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996).
Hadi, Sutrisno, Metode Research I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007).
Harahap, M. Yahya, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Mimbar
Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Thn. III, (Jakarta: Al Hikmah
dan DITBINBAPERA Islam, 1992).
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Jehani, Libertus dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung:
Citra Adytia Bakti, 2006).
LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm)
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan
Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama, 2011).
Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum
Perkawinan, Waris, Perwakafan, Impres No. 1 Th 1991 berikut
penjelasan, (Surabaya: Karya Anda, 1991).
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya,
2001).
Mubarok, Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka
Bani Quraisy, 2005).
Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar
Press. 2006).
Nasution,
Khoiruddin,
“Belajar
dari
Kasus
Syeh
Puji,”
http://maulhayat.blogspot.com/2009/03/hikmah-kasus-syekh-puji.html.
Noor, Masrum, (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Penetapan Pengesahan
Perkawinan, pdf.
Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra,1993).
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
Cet. Ke-3 1990).
91
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998).
Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata
International Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997).
Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Rasyid, Raihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV. Rajawali,
1991).
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000).
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1980).
Salim, Nasrudin, “Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan Yuridis,
Filosofis dan Sosiologis), dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum
Islam, No. 62 Th. XIV (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2003).
Surahmad, Winarno, Dasar dan Tehnik Research, Pengantar Metologi Ilmiah,
(Bandung: CV. Tarsito, 2004).
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ( Jakarta : Prenada
Media, 2007).
Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta, Prestasi
Pustaka Publiser, 2006).
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta:
Kencana, 2005).
92
Download