EPIDEMIOLOGI KUANTITATIF (S2): Pola Perkembangan Epidemi Penyakit Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya Email : @ub.ac.id 1. PENDAHULUAN 4. REFERENSI 2. TUJUAN PEMBELAJARAN 5. PROPAGASI 3. KEGIATAN BELAJAR 6. PENDALAMAN MODUL Dalam modul ini dikemukakan mengenai bagaimana penyakit berkembang di alam sejak saat terjadinya inokulasi dari inokulum ke jaringan tanaman sampai dengan mewabah dari pohon ke pohon atau dari kebun ke kebun lainnya. Semua proses yang terjadi ini dicoba diejawatahkan dalam bentuk data (angka-angka) dari berbagai parameter yang digunakan untuk mengukur perkembangan penyakit sehingga pengertian kuantitatif sudah tercerminkan dalam perhitungan tersebut. Pada epidemi penyakit menunjukkan bahwa terdapat pola tertentu dari setiap jenis penyakit pada jenis tanaman tertentu pula, antara lain berpola monosiklus, polysiklus, heterosiklus, linier, eksponensial, sigmoid, dan sebagainya. Pada masing-masing pola tersebut dibahas mengenai trend pertumbuhan, contoh penyakit dan patogennya, serta alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi meskipun masih perlu pendalaman lebih jauh dalam mengkritisinya. Pola-pola tersebut tentu sangat berpengaruh pada percepatannya di lapangan dalam merusak tanaman budidaya. Dengan mengetahui mengenai pola tersebut akan memudahkan mahasiswa membangun teori mengapa dalam suatu daerah penyakit muncul dan hilang dari waktu ke waktu atau dari musim tanam ke musim tanam berikutnya. Hampir tergambarkan secara luas berbagai model perkembangan penyakit di lapangan dan hanya dengan menambah contoh-contoh yang ada di daerah tertentu pada dasarnya pola pertumbuhannya tidaklah jauh menyimpang. SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED) 2 1. PENDAHULUAN Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 2. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Memberikan pemahaman secara teoritis mengenai pola epidemi setiap penyakit dalam berbagai jenis budidaya tanaman yang dalam modul ini dikemukakan contoh-contohnya secara jelas; dengan demikian diharapkan para mahasiswa dapat membangun pemikiran ini untuk diterapkan pada setiap penelitian sejenis. 2. Melatih mahasiswa berfikir analitis dan kreatif dalam membangun pola epidemi penyakit tanaman dan menanamkan kemampuan pengejewatahan kejadian secara realistis dengan data dan dokumen yang jelas, misalnya gambar atau pola siklus. 3. KEGIATAN BELAJAR 2.1. Apakah yang dipelajari dalam epidemiologi kuantitatif? Dalam Modul I telah dikemukakan mengenai pengertian atau definisi epidemiologi penyakit tanaman, yakni ilmu yang mempelajari keadaan suatu keadaan penyakit pada tanaman (karena epidemi yang berasal dari kata epi, pada; dan demos, penduduk). Sehingga untuk epidemiologi tanaman seharusnya disebut dengan istilah epiphytotic (epi, pada dan phyto tanaman); akan tetapi istilah “epidemi” telah secara umum banyak digunakan dalam referensi ilmu penyakit tanaman dan dipertahankan dalam berbagai literatur fitopatologi sehingga tulisan inipun menggunakan pengertian epidemi dan istilah “epiphytotic” dikesampingkan. Maka apabila hal ini dijadikan acuan, pengertian epidemi pada tanaman adalah mewabahnya penyakit dalam populasi tanaman; sehingga “epidemiology” berarti studi tentang perkembangan penyakit dalam populasi tanaman. Dalam pengertian ini maka secara teknis epidemi dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai seberapa parah bagian tanaman sakit atau tingkatan penyakit. Juga dapat digunakan untuk menentukan kecepatan perkembangan dan kecepatan perluasan atau kecepatan penyebaran penyakit tersebut. Bila hal ini dijadikan rujukan maka jika perkembangan dan penyebarannya lambat atau terbatas dapat dikatakan pada daerah tersebut tidak ada epidemi atau wabah; demikian pula dengan sebaliknya. Dengan definisi tersebut maka sebenarnya yang dimaksud dengan epidemi penyakit, kondisinya bisa cepat atau lambat; dan juga bisa jadi terdapat epidemi “negatif” yakni terjadi penurunan tingkat serangan sejalan dengan waktu. Sebagai contoh, jika proporsi daun yang terinfeksi digunakan sebagai pengukuran kejadian penyakit, maka tentunya akan didapatkan daun-daun yang baru dan sehat yang terbentuk, sementara yang terinfeksi berguguran, maka disini bisa mendapatkan nilai negatif dalam jumlah penyakit. Dinamika naik turunnya keadaan penyakit inilah yang sebenarnya ingin dipelajari dalam epidemiologi sehingga ia merupakan resultante besarnya serangan dan lamanya waktu berjalan (Gambar 1). Page 2 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Gambar 1. Kurva dinamika perkembangan atau pertumbuhan penyakit tanaman, yang menunjukan fase eksponensial, transisi, dan mendatar. Hubungan antara perubahan jumlah penyakit tanaman dibandingkan dengan waktu merupakan resultante dari penyebaran luka secara spasial dari tanaman yang terinfeksi. Definisi yang baik dari epidemi adalah perubahan penyakit tanaman dalam ruang dan waktu. Sehingga apabila epidemi tersebut telah mengalami keseimbangan alamiahnya, maka ia akan menetap dalam daerah tersebut secara konstan dalam waktu yang lama dan umumnya selalu muncul dari musim ke musim. Penyakit dalam keadaan demikian disebut dengan istilah endemi, dan dalam arti sempit berarti khusus untuk wilayah tertentu. 2.2. Mengenai foki penyakit tanaman Penyakit awalnya berkembang dari suatu titik infeksi yang dikenal dengan istilah foci (pusat infeksi) yang dimulai dengan tingkatan yang rendah, baik pada sejumlah kecil tanaman atau sejumlah kecil jaringan tanaman yang terinfeksi. Bila dilihat dalam populasi tanaman maka foki merupakan area kecil dalam populasi tersebut yang pertama kali menunjukan gejala sakit (Gambar 2). Kemudian dengan berjalannya waktu maka akan mengalami peningkatan. Peningkatan serangan ini pada penyakit tanaman mempunyai polanya sendiri tergantung dari jenis penyakitnya, dan sangat menarik dipelajari karena dalam penangannya memerlukan pendekatan tersendiri. Gambar 2. Contoh foci karat daun (Puccinia coronata var. avaenae) berwarna cokelat dalam lingkaran kuning di kebun oat, disebut juga sebagai 'hot spots'. Biasanya terjadi pada awal musim semi dan akan meluas pada akhir musim (Loughman dan McKirdy, 2005). Cara mempelajari perkembangan penyakit yang berasal dari foki akan mudah dilakukan apabila pola perkembangan penyakitnya sudah diketahui karena berhubungan dengan kecepatan laju infeksinya (r), waktu yang Page 3 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 diperlukan (t), dan luasan serangannya (space). Pada Gambar 3 disajikan suatu teknik penelitian perkembangan penyakit dengan menggunakan diagram perkembangan secara horizontal atau meluas ke luar foci. Gambar 3. Percobaan penyebaran penyakit karat kuning (Puccinia striiformis) pada gandum, dengan menggunakan pola “sarang laba-laba”. Penyakit berkembang dari foci berdasarkan waktu dan ruang (Zadoks dan Schein, 1979). Dari Gambar 3. terlihat bahwa setiap terjadi peningkatan jarak satu meter dari foki, maka berdasarkan waktu pengamatan akan terjadi tingkat infeksi menurun tetapi terjadi peningkatan berdasarkan waktunya. Contoh pada pengamatan 180 hari, sampai jarak 1,5 m dari foki tingkat serangannya sekitar 75%, antara 2 sampai 2,5 m menurun hanya 50%, dan pada jarak di atas itu hanya sekitar 25%. Akan tetapi 14 hari kemudian, yakni pada pengamatan 194 hari; pada jarak 1 m infeksi telah mencapai 95-100%, 1-3 m mencapai 90%, dan lebih dari 3 m mencapai 75%. 2.3. Pola perkembangan penyakit Penyakit di alam berkembang berdasarkan pola tertentu yang sangat ditentukan oleh sifat patogennya sehingga terjadi keanekaragaman model kurva yang dibentuknya bila hal tersebut di plot terhadap waktu. 2.3.1. Pola perkembangan linier. Pola ini merupakan cara berkembangnya penyakit yang paling sederhana, karena seperti membentuk garis lurus yang menaik ke atas dan dikenal sebagai garis linier. Banyak penyakit berkembang dengan pola ini namun disini diberikan dua contohnya, yakni: (1) Penyakit layu yang menyerang cabai oleh Phytophthora capsici, yang dapat menyebabkan kematian masal tanaman di lapangan (Gambar 4). Adapun infeksinya dapat terjadi oleh sporangium atau zoospora patogen tersebut melalui akar atau daun, dengan daurnya infeksinya seperti terlihat pada Gambar 5. Maka apabila hal ini diamti pola perkembangannya berdasarkan waktu ke waktu, terlihat terus meningkat secara linier (Gambar 6). Page 4 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Gambar 4. Gejala layu Phytophthora pada cabai (Schwartz, 2008). Gambar 5. Daur infeksi Phytophthora capsici pada cabai (Zitter, 1989). Gambar 6. Pola serangan layu Phytophthora capsici pada cabai. Ket.: Garis hitam berbelok ploting data, garis lurus merah garis linier (diadopsi dari Arneson, 2006). (2) Penyakit batang dan biji pada jagung yang disebabkan oleh Fusarium moniliforme, sinonim dengan F. verticilloides yang mempunyai fase sempurna (perfect) sebagai Gibberella moniliforme. Gejala penyakit tampak menyebabkan buah yang masih muda di batang akan terinfeksi dan menjadi busuk, dan pada buah masak susu pada bagian yang sakit akan dikolonisasi oleh masa miselium jamur penyebabnya seperti disajikan pada Gambar 7. Page 5 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Gambar 7. Gejala busuk batang dan biji jagung dan di kanan morfologi patogennya: a) Gibberella moniliforme (bentuk perfect), b) Fusarium moniliforme bentuk imperfect (Anonim, 2001; Anonim, 2010; dan Anonim, 2011). Bila diamati cara perkembangannya dari waktu ke waktu maka meningkat mengikuti pola linier (Gambar 8). Melihat kejadian penyakit dengan pola sederhana tersebut secara epidemiologi dapatlah dipertimbangkan atau dianalisis mengikuti pola perkembangan model uang dalam penyimpanan. Gambar 8. Pola serangan busuk biji jagung. Ket.: Garis hitam berbelok ploting data, garis lurus merah garis linier (diadopsi dari Arneson, 2006). Untuk menghitung perkembangan populasi patogen dalam populasi inang Zadoks dan Schein (1979) mendekatinya dengan menggunakan logika penggandaan pertumbuhan modal uang. Apabila sejumlah modal uang tersebut disimpan dalam laci, maka ini berarti bahwa modal tersebut tidak akan berkembang. Kalau modal tersebut diberi kode K, maka pada waktu t (Kt) jumlahnya sama dengan modal awal (Ko), sehingga rumusnya : Kt = Ko (1) Dengan persamaan tersebut maka modal tadi mempunyai laju pertumbuhan nol dengan rumus : dK dt 0 (2) Apabila modal tersebut di atas ditabungkan di bank dengan bunga 5% per bulan, akan terjadi peningkatan tahunannya (diberi simbol r) adalah 0,005. Jika bunga tersebut diambil pada akhir tahun dan tidak dikembalikan ke bank tapi disimpan di laci kembali, demikian dilakukan terus menerus setiap tahun, maka modal (bank + laci) akan Page 6 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 tumbuh dengan tingkat yang konstan. Pertambahan demikian disebut bertahap (diskontinyu) dengan bunga sederhana (simple interest) (Gambar 9). Setelah t tahun modal awal telah berkembang menjadi : Kt = Ko ( 1 + r.t ) (3) Ini berarti kecepatan tingkat pertumbuhan rata-ratanya konstan sehingga membentuk garis linier, dengan rumus: dK r dt (4) Gambar 9. Pertumbuhan modal dengan bunga sederhana (lihat rumus 3). Ket. Absis: t, waktu dalam tahun; Ordinat: K, modal dalam unit tertentu; Garis bertangga: pertumbuhan diskontinyu; Garis tebal: pertumbuhan kontinyu (Zadoks dan Schein, 1979). 2.3.2. Pola perkembangan eksponensial Kembali dengan menggunakan asumsi bunga uang. Jika bunga tadi dimasukkan lagi ke bank untuk ditambahkan ke modal awal, maka pada tahun berikutnya bunganya akan dapat berbunga dan apabila bunga tersebut ditambahkan ke modal lagi, bunga ini akan semakin besar setiap tahunnya. Pertumbuhan modal ini disebut sebagai bunga berbunga bertahap (discontinous compound interest) yang terkumpul pada setiap saat pembayaran (Gambar 10), sehingga rumusnya menjadi: Kt = Ko ( 1 + r )t (5) Gambar 10. Pertumbuhan modal dengan bunga berbunga (persamaan 5 dan 6). Ket. Absis: t, dalam waktu; Ordinat: K, modal dalam unit tertentu; Garis bertangga: pertumbuhan diskontinyu; Garis tebal: pertumbuhan kontinyu dengan laju yang sama (Zadoks dan Schein, 1979). Unit waktu biasanya dipilih tahunan, tetapi persamaan tersebut dapat berlaku setiap unit jangka pembayaran, apakah bulanan, mingguan atau harian. Calculus menunjukkan bahwa apabila unit waktu kecil tidak terbatas, maka persamaan (5) dapat ditulis menjadi: Page 7 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Kt = Ko ert (6) Brawijaya University 2013 Disini e adalah logaritma alami dengan nilai 2,7; r adalah tingkat bunga dalam bentuk fraksi (bukan persentase), dan t adalah suatu unit waktu. Hal ini dapat juga ditulis sebagai laju pertumbuhan modal: dK r.k dt (7) Dengan menggunakan logaritma, maka persamaan (6) dapat ditulis menjadi : Loge Kt = r.t loge Ko (8) Sehingga dapat diturunkan menjadi: r 1t log e Kt Ko (9) Nilai loge Kt berada di dalam suatu rangkaian waktu. Dengan logaritma tanpa satuan dan t punya satuan, harga r punya satuan. Apabila digambar dalam log-linier, maka kurva pertumbuhannya berupa sebuah garis lurus (Gambar 11). Dalam pelajaran ekologi, pertumbuhan demikian disebut pertumbuhan yang bersifat eksponensial (exponential growth) atau pertumbuhan logaritmik. Gambar 11. Pertumbuhan modal secara ekponensial atau tumbuh dengan bunga berbunga (persamaan 8). Ket. Absis: t, waktu dalam menurut skala linier; Ordinat: Loge K, modal dalam skala logaritma (Zadoks dan Schein, 1979). Kata “tumbuh“ mampunyai dua arti yakni adanya proses pertumbuhan, seperti ditunjukkan dalam bentuk “pertumbuhan eksponensial” atau hasil dari proses tersebut. Dalam arti kedua pertumbuhan adalah pertambahan sesuatu selama periode tertentu, yang diekspresikan dalam unit tertentu dari sesuatu tersebut. Modal dihitung dalam suatu unit dari mata uang tertentu; manusia dan binatang dihitung dalam bentuk individu. Akan tetapi bagaimana untuk menghitung pertumbuhan jamur? Demikian pula bagaimana mengukur penyakit? Kadang-kadang bisa dihitung melalui jumlah luka atau spora atau jumlah tanaman yang sakit. Dalam menghitung jumlah, maka kembali harus menggunakan satuan, yakni sebagaimana halnya dengan pertumbuhan modal. Pada hakekatnya setiap perhitungan adalah membuat sesuatu perbandingan. Alasan ini dapat dijadikan dasar untuk membuat perbandingan sejumlah bagian tanaman sakit yang disebut sebagai fraksi terhadap jumlah seluruh tanaman. Fraksi tersebut biasanya diberi symbol x, dengan nilai dari 0 (nol) sampai satu (1) atau ditulis 0≥x≤1. Nilai x adalah bagian Page 8 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 tanaman yang sakit di dalam kebun komersial atau plot percobaan. Dengan demikian apabila diganti simbol k dengan x, maka persamaan (6) dan (7) menjadi : Xt = Xo e rl - t dxt rl xt dt (10) (11) Nilai rl disebut laju infeksi eksponensial (exponential infection rate); yakni “tingkat bunga pada epidemiologi”. Dalam ekologi dikenal dengan istilah intrisic growth rate atau relatif growth rate. Untuk membedakan dengan simbol laju infeksi lainnya maka dibelakang r diberi tambahan l. Apabila dua nilai x (x1 dan x2) diketahui pada dua waktu (t1 dan t2) maka rl dapat dihitung dengan merubah persamaan (10) menjadi : rl x 1 loge 2 t 2 t1 x1 Kurva yang disebut dengan persamaan (10) mempunyai suatu bentuk khusus yang disebut Kurva – J ( Gambar 12). Dalam kasus pertumbuhan penyakit yang berpola ini menurut Arneson (2006) didapat beberapa contohnya, yakni: (1) Penyakit karat pada buncis (Phaseolus vulgaris L.) yang disebabkan oleh Uromyces phaseoli dengan gejala serangan dan morfologi patogennya seperti pada Gambar 13 dan pola perkembangannya seperti kurva pada Gambar 14. Gambar 12. Pertumbuhan eksponensial suatu epidemi, membentuk kurva J (persamaan 10). Ket. Absis: t, waktu; Ordinat: x, fraksi penyakit (Zadoks dan Schein, 1979). Page 9 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Gambar 13. Gejala bercak daun pada buncis; nampak gejala karat pada daun di kiri, di tengah kerusakan tanaman di lapangan (Johnson dan Rutgers, 2012); di kanan morfologi Uromyces phaseoli (Anonim, 2011). Gambar 14. Pola serangan penyakit karat pada buncis. Ket.: Garis hitam berbelok ploting data, garis lurus merah garis eksponensialnya (diadopsi dari Arneson, 2006). (2) Penyakit bercak daun jagung oleh Cercospora zeae-maydis. Gejalanya nampak jelas pada daun yang terinfeksi berupa bercak dengan bentuk tidak beraturan yang dipusatnya berwarna coklat yang dikelilingi oleh jaringan sakit berwarna kuning (Gambar 15). Apabila dilihat dibawah mikroskop secara in vitro, maka dari jaringan sakit dapat dipelajari morfologi petogennya, yang berupa konidium bulat lonjong yang terbentuk di atas kondidiofora yang warnanya lebih gelap (Gambar 15). Pada Gambar 16 nampak kurva yang bergerak naik secara perlahan namun mengalami peningkatan yang semakin besar, sehingga membentuk kurva yang dapat dikatakan eksponensial sempurna. Gambar 15. Gejala serangan bercak daun jagung (Stromberg, 2012) dan patogennya Cercospora zeae-maydis: A. Konidiofor gelap; B. konidia berkecambah. C–E. Konidia in vitro. Skala = 10 μm (Crous, et.al., 2012). Page 10 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Gambar 16. Pola perkembangan penyakit bercak daun pada jagung (Arneson, 2006) 2.3.3. Pola perkembangan sigmoid Diketahui bahwa di alam penyakit tidak selalu berkembang terus secara eksponensial karena adanya berbagai hambatan alamiah, seperti keterbatasan sumber makanan, kondisi cuaca, dan sebagainya. Hingga pada tahap tertentu kurva pertumbuhannya akan mengalami titik maksimal dan kemudian berbelok menjadi landai (pertumbuhan sama atau terhenti). Menurut Arneson (2006) terdapat beberapa penyakit penting pada tanaman yang memiliki pola demikian dengan contohnya antara lain: (1) Penyakit rebah semai pada kacang-kacangan oleh Sclerotium rolfsii. Penyakit ini disebut rebah semai (dampingoff) disebabkan hanya menjadi penyakit penting sewaktu tanaman yang diserang berumur muda, yakni saat disemai sampai dengan umur 3-4 minggu setelah tanam pada kedelai. Gejala utamanya yakni tanaman tiba-tiba layu, kemudian mengering dan mati di lapangan; yang apabila kondisi tanah cukup lembab maka pada pangkal batang akan tumbuh miselium jamur patogennya yang kemudian akan membentuk kelompok sclerotium (Gambar 17). Gambar 17. Gejala serangan rebah semai kedelai, yang sakit dan sehat di lapangan, dikanan batang terinfeksi menampakan miselium dan sklerotium, patogennya Sclerotium rolfsii (Sastrahidayat, 2011). Penyakit tersebut pola perkembangannya demikian cepat dan segera menurun dengan makin lanjutnya umur tanaman sehingga membentuk kurva pertumbuhan sigmoid yang relative sempurna (Gambar 18). Page 11 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Gambar 18. Pola serangan penyakit rebah semai pada kacang-kacangan (Arneson, 2006). (2) Penyakit layu atau lanas pada tembakau oleh Phytophthora nicotianae, dengan gejala penyakit dan morfologi patogennya terlihat pada Gambar 19. Perkembangan penyakit dimulai dengan kurva yang tampak linier tapi kemudian melambat ketika mencapai titik maksimum (Gambar 20). Gambar 19. Gejala serangan lanas pada tembakau dilapangan (Reynolds, 2010) dan di kanan patogennya, Phytophthora nicotianae (Bachi, 2010). Gambar 20. Pola serangan layu hitam pada tembakau (Arneson, 2006). (3) Penyakit karat pada rumputan rye (Lolium spp.) oleh Puccinia graminis subsp. graminicola, dengan gejala penyakit dan morfologi patogennya ditunjukan pada Gambar 21, sedangkan pola pertumbuhannya yang tampak seperti kurva eksponensial, tapi sejalan dengan waktu dan ketika kejadian serta keparahan penyakit mencapai 100%, maka tingkat perkembangan penyakitnya telah mencapai tahap maksimal, sehingga membuat kedua kurva tampak berbentuk sigmoid (Gambar 22). Page 12 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Gambar 21. Gejala penyakit karat pada rye dan patogennya Puccinia graminis Persoon subsp.graminicola Urban, yang terdiri dari urediniospora di tengah dan teleutospora di kanan (Tajimi, 1991). Gambar 22. Pola serangan penyakit karat batang pada rye (Arneson, 2006). (4) Penyakit net net blotch pada barley (Hordeum vulgare) oleh Pyrenophora teres f. sp. teres, gejalanya berupa bercak memanjang kecokelatan dan bentuk sporanya lonjong memanjang berukuran 70-160 x 16-23 µm, dengan lebar hilum 3-7 µm, dan bersepta 1 - 11 (Gambar 23). Sementara pola perkembangannya dapat dilihat pada Gambar 24, yakni meningkat berdasarkan waktu Jullian . Gambar 23. Gejala serangan bercak bergaris pada barley, dan konidia Pyrenophora teres f. sp. teres (Orabi, 2012). Gambar 24. Pola serangan penyakit net blotch pada barley (Arneson, 2006) Page 13 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Sehubungan dengan itu perlu adanya faktor koreksi (correction factor) dalam perhitungannya, yang menyebabkan tingkat pertumbuhan mendekati nol apabila jamur misalnya kehabisan cadangan makanan atau waktu. Apabila waktu menjadi pembatas, padahal total waktu diperlukan untuk terjadinya suatu epidemi adalah T, maka faktor koreksi adalah total waktu dikurangi waktu yang telah dilalui, yakni T-t, tentunya hal ini akan mendekati nol dengan meningkatnya waktu. Kecepatan epideminya adalah: dxt rt .xt T t dt (13) Nilai rt merupakan konstanta yang menetukan kecepatan (Gambar 25). Persamaan ini telah digunakan untuk penelitian Cardoso et.al. (2008), terhadap Pyricularia grisea, sebab selang waktu tertentu, tanaman dan/atau cuaca menjadi tidak sesuai lagi untuk perkembangan penyakit blas gandum (Gambar 26). Gambar 25. Epidemi yang tumbuh menurut kurva berbentuk – S asimetris, dengan memasukkan waktu sebagai faktor koreksi (persamaan 13). Pada waktu T = 90 epidemi menjadi berhenti. Konstanta rt = 0,15. Absis: t, waktu dalam hari; Ordinat: x, fraksi penyakit (Zadoks dan Schein, 1979). Gambar 26. Pengaruh periode basah terhadap laju penyakit blas (Pyricularia grisea) pada gandum, yang diekspresikan dalam persamaan statistika (Cardoso et.al., 2008). Apabila cadangan makanan (misal: jaringan rentan) menjadi pertimbangan, maka faktor koreksinya adalah : 1-x, yakni jaringan yang belum terinfeksi (atau total jaringan rentan dikurangi jaringan yang terinfeksi). Dengan meningkatnya t, maka x akan mendekati nilai 1, yakni semua jaringan menjadi terinfeksi (sakit), dengan demikian jelas bahwa faktor koreksi menahan kecepatan epidemi, untuk menghitung ini maka persamaan (11) berubah menjadi : Page 14 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah dx r.xt 1 xt dt (14) Brawijaya University 2013 Dengan integrasi, menambahkan konstanta C, akan didapatkan persamaan sebagai berikut : Log e xt r.t C 1 xt (15) Dari persamaan ini dapatlah dihitung nilai r sebagai berikut: r x x 1 (loge 2 loge 1 ) t 2 t1 1 x2 1 x1 (16) Persamaan (14) disebut persamaan logistik (logistic equation), yang digambarkan dalam bentuk seperti huruf S, sigmoid atau kurva S (Gambar 27) yang menunjukkan bentuk simetris pada titik beloknya. Titik ini dicapai bila x = 0,5 disebut sebagai mid-time, t0,5. Kostanta r disebut sebagai laju infeksi nyata (apparent infection rate) juga disebut sebagai laju infeksi logistic (logistic infection rate); yang mengukur kecepatan proses epidemi. Integrasi konstanta C dapat dieliminir dengan membuat C = 0. Dalam persamaan 15 dan 16, fungsi x adalah sebagai berikut : ƒ (x) = x log e 1 x (17) Fungsi ini disebut logit x, ditulis logit (x) atau logit x. Dengan menggunakan suatu tabel logit, r dapat dihitung dengan mudah sebagai : r 1 (logit x2 – logit x1) t 2 t1 (18) Gambar 27. Pertumbuhan logistik suatu epidemi dalam bentuk kurva S. Garis titik merupakan ektrapolasi. Perkembangan karat bergaris (Puccinia striiformis) pada spring barley cv Topper di Belanda (lihat persamaan 14). Ket. Absis: t, waktu dalam hari dari 1 Januari; Ordinat: x, fraksi penyakit pada daun (Zadoks dan Schein, 1979). Tambahan: kurva a, pertumbuhan logistik disebut kurva S; kurva b, pertumbuhan logaritmik disebut kurva J. Titik-titik adalah data pengamatan; c, titik belok pada mid-time t0,5. Page 15 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Persamaan 15 menunjukkan logit x bersifat linier terhadap waktu. Kurva sigmoid perkembangan pada Gambar 27 akan menjadi garis lurus pada grafik linier Gambar 28). Garis yang dihasilkan ini disebut logit line. Dalam penelitian apabila didapat beberapa sebaran data pengamatan, garis regresi yang dibentuk oleh logit x terhadap waktu disebut pula logit line. Koefisien regresi, tangensial kemiringan, dari logit line, adalah merupakan laju infeksi logistik, r, yang menunjukkan nilai rata-rata pada semua titik waktu. Pada nilai x rendah faktor koreksi (1-x) mendekati 1, dengan demikian nilai Loge x dan logit x praktis sama : Logitx log e x log e 1 x (19) Loge x dan logit x dapat bertukar pada nilai x 0,05, yang berarti nilai tingkat serangan kurang dari 5%. Bila pertumbuhan logistik diplot dengan skala semi logaritma, garis yang dihasilkan adalah lurus terhadap x = 0,05; pada nilai x tinggi garis asimptotik mendekati suatu garis horizontal. Gambar 28. Garis epidemi penyakit strip kuning pada barley dari Gambar 2.24 (lihat persamaan 18). Ket. Absis: t, waktu dalam hari dari 1 Januari; Ordinat: kiri, logit x; kanan, x.; Tambahan: titik-titik data pengamatan (Zadoks dan Schein, 1979). 2.3.4. Laju infeksi dasar Pada persamaan (14) terlihat hanya ada dua kemungkinan pada jaringan tanaman, yakni: sakit dan mewabah (xt) serta sehat dan tidak mewabah (1- xt). Suatu patogen akan menginfeksi tanaman, namun tidak langsung mewabah (menjadi infectious), waktu ini disebut sebagai periode laten (latent period p) yang akan menunda laju infeksi. Kecepatan epidemi pada waktu t dapat dilihat dari jumlah jaringan terwabah ada waktu awal, t-p, yang dapat disusun menjadi xt-p. Persamaannya sekarang menjadi: dxt R.xt p (1 xt ) dt (20) Konstanta baru R disebut sebagai laju infeksi dasar (basic infection rate). Hubungan antara R dan rl pada fase awal epidemi, apabila dibuat loge x = logit x, adalah: Page 16 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah R rt .e rt . p rt . xt xt p (21) Brawijaya University 2013 Dalam praktek penggunaan R jarang digunakan, dan hanya digunakan dalam langkah rantai pemikiran. 2.3.5. Laju infeksi dasar terkoreksi Secara praktis suatu luka atau bercak yang menghasilkan spora, sporulasinya hanya akan berlangsung dalam beberapa waktu saja, hal ini disebut sebagai periode sporulasi (sporulation period) atau periode infeksi (infectious period). Suatu luka yang tidak berspolurasi lagi akan hilang dari proses epidemi. Perubahan jaringan, daun dan sejenisnya yang tidak mewabah (reproduksi) lagi maka akan hilang atau rontok disebut removal. Periode laten (p) dan periode infeksi (i) merupakan pembatas laju epidemi, sehingga persamaan (11) menjadi : (22) Konstanta Rc disebut laju infeksi dasar yang terkoreksi (corected basic infection rate). Apabila waktu diekspresikan dalam hari, Rc adalah merupakan jumlah anak bercak per induk bercak per hari, atau disebut sebagai faktor perbanyakan harian (daily multiplication factor). Rc dikenal sebagai faktor perbanyakan harian efektif, yang dapat diukur atau dihitung. Dalam prakteknya periode laten dan periode infeksi akan saling tumpang tindih satu sama lain sehingga sulit dibedakan. 2.3.6.. Laju infeksi logaritmik terkoreksi Faktor koreksi lain yang sering digunakan dalam praktek adalah pertumbuhan tanaman inang. Selama epidemi terjadi (antara t1 ke t2), inang akan tetap tumbuh sehingga apabila faktor pertumbuhan ini disertakan, maka persamaan 13 menjadi : x (1 x 2 ) y 2 1 log e 2 X t 2 t1 y1 x1 (1 x1 ) (23) Disini simbol ρ disebut sebagai laju infeksi sebenarnya dari suatu patogen yang tumbuh secara logistik pada suatu inang yang tumbuh logaritmik. Dengan keterangan sebagai berikut: t = waktu pengamatan; loge = logaritma umum; x1 = bagian yang sakit pada waktu t1; x2 = bagian yang sakit pada waktu t2; y1 = biomass pada waktu t1; y2 = biomass pada waktu t2 . Namun demikian tidak semua contoh-contoh dalam perkembangan penyakit dapat dikategorikan secara teratur ke dalam beberapa kategori tersebut diatas, tapi pada umumnya epidemi penyakit tanaman cenderung untuk linier atau eksponensial di tahap-tahap awalnya dan akan mengalami penurunan setelah mencapai waktu tertentu. Page 17 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2013 Pengaruh penyakit tanaman dan kerugian yang disebabkannya adalah suatu fungsi dari perkembangan penyakit. Untuk mengurangi pengaruh penyakit ini tidaklah perlu memusnahkan penyakit, namun hanya perlu menjaga agar perkembangan penyakit tersebut berada di bawah suatu tingkat yang masih dapat diterima (toleransi). Hal ini berarti bahwa perkembangan penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit tersebut haruslah dipahami secara kuantitatif. Perlu juga diketahui jenis penyakit apa sajakah yang mengarah pada perkembangan penyakit linier dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kemiringan kurva (tingkat perkembangan penyakit). Juga perlu diketahui jenis penyakit apa yang cenderung untuk menghasilkan kurva perkembangan penyakit bersifat eksponensial dan bagaimana hal tersebut dapat dikurangi tingkat awal penyakitnya dan tingkatan perkembangan epideminya. Terakhir, perlu pula ditahui mengapa epidemi kadang-kadang mengalami penurunan (level-off) dan apa yang membatasi perkembangannya atau hilang sama sekali (removed), yang proses epideminya diilustrasikan pada Gambar 29. Gambar 29. Ilustrasi proses epidemi penyakit dengan faktor pembatasnya. Ket.: t, waktu; i, periode infeksi; p, periode laten; xt, waktu x (Zadoks dan Schein, 1979). Dari Gambar 29 tersebut terlihat bahwa selama waktu (t) epidemi penyakit berjalan maka akan menghasilkan bagian tanaman yang sakit sebesar xt dengan kurva pertumbuhannya eksponensial seperti digambarkan oleh garis Y. Akan tetapi laju tersebut tereduksi karena adanya faktor penghambat yakni periode laten (p), sehingga waktunya menjadi t-p, maka bagian tanaman sakit hanya mencapai xt-p saja. Demikan juga setelah periode laten dilewati dalam tanaman, maka patogen akan berkembang sehingga menghasilkan waktu infeksi (i), sehingga waktu epideminya juga akan berkurang, yakni menjadi: t-i-p, dan menghasilkan tanaman sakit sebesar xt-i-p. Setelah proses infeksi berjalan beberapa waktu, maka akhirnya patogen akan berhenti untuk melakukan infeksi atau mewabahnya karena habisnya makanan atau kemampuan reproduksinya. Hal ini menyebabkan hilangnya penyakit yang dikenal dengan istilah removal, dan epidemi penyakit terhenti dengan sendirinya. Page 18 of 19 Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 4. REFERENSI 2013 Arneson, P.A. 2006. Plant Disease Epidemiology: Temporal Aspects. The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI-A-2001-0524-01. Cornell University. Bachi, P. 2010. Phytophthora blight, Phytophthora nicotianae http://www.insectimages.org/ browse/subthumb.cfm?sub=6955 Breda de Haan. Cardoso, C. A. A.; E. M. Reis; dan E.N. Moreira. 2008. Development of a warning system for wheat blast caused by Pyricularia grisea. Summa phytopathol. vol.34 no.3 Botucatu July/Sept. Orabi J. 2012. Net blotch (Pyrenophora default.aspx?site=234&page=4255. teres). CABI. http://www.plantwise.org/ Reynolds, R.J. 2010. Phytophthora blight Phytophthora nicotianae http://www.insectimages.org/browse/subthumb.cfm?sub=6955 Breda de Haan. Sastrahidayat, I.R. 2011. Fitopatologi (ilmu penyakit tumbuhan). UB. Press. Tajimi, A. 1991. Host specialization in stem rust of Festuca pratensis Huds. (JE) J.Hokkaido Grassl.Sci. 25:100-102. Zadoks, J.C. dan R.D. Schein. 1979. Epidemiology and plant disease management. Oxford Univ. Press, New York. 427 h. 5. PROPAGASI Mahasiswa secara berkelompok melakukan pelatihan perhitungan mengenai pola epidemi penyakit dengan menggunakan software statistika yang tersedia untuk mengerjakan soal-soal hipotesis yang dibuat oleh mereka sendiri kemudian mendiskusikannya. 6. PENDALAMAN 1. Dari pola pertumbuhan penyakit seperti yang dikemukakan dalam modul ini, manakah menurut anda yang dianggap mempunyai potensi kerusakan paling serius apabila terjadi epidemi penyakit di lapangan. Berikan alasan-alasannya dengan memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pendukungnya. 2. Dapatkah suatu pola pertumbuhan penyakit tertentu berubah polanya dalam kondisi lingkungan yang berbeda? Bila dapat mengapa demikian dan bila tidak dapat berikan alasannya pula. 3. Perhatikan Gambar 29, kemudian berikan uraian kritis mengenai peranan simbol-simbol yang ditulis didalamnya pada proses epidemi penyakit di lapangan. Page 19 of 19