View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam suatu negara, masyarakat sipil tidak sepenuhnya bersikap pasif
ketika menghadapi kekuasaan negara yang cenderung hegemonik, bahkan dalam
negara otoritarian. Masyarakat sipil memberikan respon dengan berbagai cara,
individu ataupun berkelompok, sebagai upaya menguatkan posisinya secara
ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Dalam melakukan aktivitasnya,
kelompok masyarakat sipil tersebut juga tidak sepenuhnya bergantung pada
kekuasaan negara. Oleh karenanya, tidak mengherankan ketika masyarakat sipil
kerap bertentangan dengan negara. Perbedaan tersebut terjadi, umumnya karena
kepentingan yang berbeda.
Gerakan-gerakan masyarakat sipil dalam mengupayakan perubahan sosial
bisa ditemukan hampir disetiap negara. Apalagi di negara-negara berkembang
seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri, bentuk-bentuk gerakan masyarakat sipil
sudah menguak sejak pemerintah kolonial Belanda. Baik secara individu ataupun
berkelompok, aktif melakukan sejumlah penentangan terhadap kebijakan politik
imprealis Belanda, baik melalui konfrontasi ataupun gerakan kultural. Kelompok
ataupun individu tersebut juga pada umumnya berasal dari kalangan menengah
1
dengan kesadaran dan kepedulian politik, kalangan ini pada umumnya
‘dilahirkan’ melalui institusi pendidikan ataupun keagaamaan.1
Pada masa kolonial, Budi Utomo adalah salah satu contoh kelompok
masyarakat sipil yang lahir dari lingkungan pendidikan. Organisasi ini dirintis dan
dikembangkan kalangan priyayi Jawa setelah memperoleh pendidikan di sekolahsekolah formal yang diadakan pemerintah Belanda. Salah satu bagian dari
kebijakan politik etis pemerintah Belanda yang menyediakan pendidikan bagi
kaum pribumi meski terbatas pada kalangan elit dan menengah. Sebagian
kalangan bahkan menganggap, organisasi ini sebagai ‘pencetus’ semangat
kemerdekaan dan berperan penting dalam sejumlah gerakan melepaskan diri dari
pemerintahan kolonial pada masanya.
Selain Budi Utomo, gerakan masyarakat sipil lainnya pada masa kolonial,
yang juga dipelopori oleh kalangan menengah adalah Serikat Dagang Islam.
Belakangan berganti nama menjadi Serikat Islam (SI) dan berkembang menjadi
partai politik yang menjadi salah satu kontestan pada pemilihan umum awal
kemerdekaan. Awalnya, perserikatan ini menghimpun pedagang-pedagang
muslim untuk menghadapi monopoli dagang dari pedagang keturunan Tionghoa.
H.O.S Tjokroaminoto, salah satu cendikiawan muslim pada masanya merupakan
pelopor oraganisasi ini. Selain menjadi serikat dagang, dalam perkembangannya
yang menyentuh sampai dipelosok-pelosok desa, perserikatan ini menjadi simbol
1
Lihat M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. hlm.376-378.
2
persatuan rakyat yang kerap dijadikan tameng oleh rakyat dalam menghadapi
kekuasaan monolitis kaum priyayi Jawa lainnya di pedesaan.2
Dua organisasi masyarakat sipil di atas, setidaknya memberi gambaran
bahwa aktivitas politik masyarakat sipil memiliki peran penting dalam upaya
menciptakan kedaulatan rakyat. Kelompok-kelompok masyarakat sipil tersebut,
khususnya masa prakemerdekaan, memainkan peran-peran strategis dalam upaya
melepaskan diri dari politik imprealis pemerintahan Belanda. Hal ini dilakukan
melalui sejumlah gerakan yang mengarah pada penyadaran akan pentingnya suatu
kemerdekaan bagi sebuha negara. Upaya tersebut dilakukan baik melalui institusi
pendidikan yang diciptakan sendiri, ataupun gerakan kultural dan dilakukan
secara kontinyu.
Berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda tidak menghentikan
aktivitas kelompok-kelompok masyarakat sipil. Setelah menjadi sebuah negara,
aktivitas kelompok masyarakat sipil juga terus berlanjut dengan berbagai
perubahannya. Apalagi sejak berkembangnya fenomena gerakan masyarakat sipil
di berbagai belahan dunia, seperti fenomena gerakan sosial baru (New Social
Movements) oleh kelompok-kelompok intelektual. 3 Fenomena tersebut juga
berpengaruh pada model gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Seperti,
munculnya sejumlah organisasi masyarakat sipil dengan perhatian yang lebih
2
3
M.C. Ricklefs. Ibid. hlm.347-349.
Berkembangnya model gerakan sosial baru atau New Social Movements (NMS) di Eropa dan
Amerika Latin, juga berpengaruh bagi gerakan-gerakan sosial di dunia ketiga lainnya, seperti
Indonesia. Gerakan sosial baru ini tidak hanya berfokus pada isu pekerja (buruh) atau gerakan
petani yang bisa mengarah pada gerakan pemberontakan. Melainkan lebih plural, seperti isu
tentang kesetaraan politik, kebebasan sipil, perdamaian dan lainnya. Lihat, Noer Fauzi, 2005.
Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Insist Press. Yogyakarta.
3
plural, misalnya lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kebebasan sipil, kesetaraan
politik, anti perang dan lainnya. Isu yang sebelumnya tidak menjadi perhatian bagi
organisasi masyarakat sipil di Indonesia.
Otoritarianisme sistem politik orde baru juga tidak mematikan aktivitas
organisasi masyarakat sipil. Sebaliknya, sistem politik orde baru justru melahirkan
musuhnya sendiri yang bekerja di ‘luar sistem’, karena sistem sudah menjadi
sinonim dengan negara itu sendiri.4 Meski berada di bawah tekanan kekuasaan,
gerakan masyarakat sipil dalam era ini tetap memainkan perannya. Bahkan, kalau
boleh dikatakan, menjadi penyeimbang kekuasaan negara dalam beberapa hal
seperti penyediaan pandangan alternatif mengenai suatu kebijakan. Gerakan
masyarakat sipil pada era ini bahkan berujung pada penggulingan pemerintahan
pada tahun 1998.
Salah satu dampak dari berakhirnya pemerintahan orde baru dibawah
kepemimpinan Suharto adalah ruang yang kian besar pada organisasi masyarakat
sipil dalam melakukan aktivitasnya. Meskipun disisi lain, permasalahan sosial
yang merupakan imbas dari pelaksanaan pemerintahan sebelumnya juga semakin
kompleks, sehingga membutuhkan penanganan yang lebih rumit. Oleh karena itu,
organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian besar terhadap sejumlah
permasalahn sosial, seperti lapangan kerja, korupsi, dan lainnya, tetap memiliki
peran penting dalam upaya penyelesaian dari sejumlah permasalahan tersebut.
Namun dalam tahap ini, pada umumnya tujuan gerakan organisasi masyarakat
4
Daniel Dhakide, 2001. Sistem sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga, Dan Pergulatan
Demokrasi. Kumpulan Tulisan dalam Masyarakat Warga Dan Pergulatan Demokrasi;
menyambut 70 tahun Jakob Utama. Editor, St. Sularto. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. hlm.15.
4
sipil tidak lagi mengarah pada upaya revolusi sistem. Melainkan lebih cenderung
mengarah pada proses transformasi sosial (pengetahuan, informasi, dan lainnya)
kepada masyarakat akar rumput dalam menghadapi praktik-praktik politik
formal.5 Dengan kata lain, mengupayakan peningkatan posisi tawar masyarakat
terhadap negara (pelaksana pemerintahan) sehingga mengurangi penyalahgunaan
kekuasaan seperti yang terjadi di masa pemerintahan otoritarian orde baru.
Fenomena perubahan orientasi gerakan sosial tersebut kemudian
berdampak pada berkembangnya kajian terhadap fenomena gerakan sosial. Salah
satunya adalah pandangan yang menitikberatkan pada gerakan massa dengan
menempatkan petani atau pekerja sebagai aktor utama dalam gerakan sosial tidak
lagi sepenuhnya bisa mampu menjelaskan fenomena gerakan sosial kontemporer.
Hal ini karena semakin kompleksnya ‘wajah’ dari gerakan sosial saat ini. Seperti
munculnya aktor-aktor baru—yang sama sekali tidak bersentuhan dengan proses
produksi pada masyarakat industri—yang melibatkan diri dalam gerakan-gerakan
sosial, serta semakin meluasnya perhatian aktor gerakan sosial yang tidak lagi
didominasi oleh pertentangan ideologi dominan (kapitalisme-komunisme).
Fenomena gerakan sosial yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil
—dimana aktor-aktornya tidak berasal dari pekerja dalam masyarakat industri
sebagaimana penjelasan gerakan sosial lama—salah satunya terlihat dalam
aktivitas Komunitas Ininnawa. Salah satu federasi dari empat organisasi
masyarakat sipil di Makassar. Dalam melaksanakan ativitas sosialnya, Komunitas
5
Lihat Mansour Fakih, 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Pustaka Pelajar. Jakarta. hlm. 41-46.
5
Ininnawa berlandaskan bahwa ketidakadilan merupakan akar dari sejumlah
permasalahan sosial-kemasyarakatan. Ketidakadilan tersebut dianggap terjadi
disejumlah lini, seperti ekonomi, hukum, politik, dan sosial-budaya. 6 Dari
pandangan dasar inilah, yang melatari sejumlah aktivitas sosial dari Komunitas
Ininnawa. Salah satunya terlihat dalam salah satu organisasi anggotanya, Active
Society Institute, yang bekerja untuk mengupayakan penguatan masyarakat
perkotaan atau dalam hal ini para pedagang kecil di sejumlah pasar lokal di
Makassar.
Selain upaya penguatan pedagang pasar lokal di Makassar, Komunitas
Ininnawa juga bekerja untuk penguatan petani pedesaan dengan fokus utama pada
kedaulatan pangan serta energi berkelanjutan. Hal ini dikerjakan melalui salah
satu organisasi anggota lainnya dari komunitas ini, Sekolah Rakyat Petani PayoPayo. Selain itu, dua organisasi anggota lainnya, Penerbitan Ininnawa dan
Perpusatakaan Biblioholic bekerja dalam upaya peningkatan budaya literasi di
Makassar. Namun dalam penelitian ini yang akan menjadi perhatian adalah
program dari salah satu organisasi anggota komunitas ini, yakni penguatan
pedagang pasar lokal di Makassar yang dilakukan oleh Active Society Institute
(AcSI).
Pemilihan fokus penelitian ini, mengingat masyarakat perkotaan ditandai
dengan kompleksitas dengan berbagai kepentingan yang saling berinteraksi.
Apabila pasar lokal juga kemudian disebut sebagai sebuah ruang, lebih
spesifiknya ruang publik, maka ruang adalah hal paling mendasar dari praktik
6
Statuta Komunitas Ininnawa
6
kekuasaan. Hal ini sebagaimana pandangan dalam pemikiran Michel Foucault.
Sementara Henri Lefebvre (1991) penulis buku The Production of Space,
menyatakan bahwa ‘ruang adalah produk sosial. Bukan sekadar suatu ruang netral
yang begitu saja hendak diisi, melainkan ruang itu dinamis dan dibentuk oleh
orang-orang yang memiliki kontrol dan dominasi atas kekuasaan’.
Pertarungan kekuasaan dalam hal ini salah satunya bisa dilihat pada sikap
(perlawanan) pedagang terhadap kebijakan pemerintah tentang tata kelola pasar
Terong. Di tahun 1980an-1900an, saat pedagang belum terorganisir, perlawanan
dilakukan secara individual dan berlangsung hampir setiap hari atau yang disebut
oleh James Scott sebagai everyday resistant. 7 Memasuki periode awal 2000an,
saat organisasi Pedagang Pasar Terong terbentuk, perlawanan mereka mulai
terorganisir dan mulai menyentuh ranah kebijakan politik. Tuntutannya bukan lagi
sekadar tempat pedagang berjualan, melainkan sudah merambah ke ranah tata
kelola pasar ‘tradisional’ oleh pemerintah Kota Makassar. Hal ini tentu saja tidak
lagi menjadi persoalan perorangan tetapi sudah memasuki ranah publik. Dari sini,
kita bisa melihat bahwa perkembangan gerakan sosial para pedagang pasar lokal
di Makassar berkembang kearah lebih luas, yakni bagaimana kontrol negara
terhadap aktifitas warganya.
Apabila pasar lokal dikatakan sebagai satu produk sosial, maka proses
produksinya sedang dimulai sekarang dan apa yang terjadi saat ini tidak terlepas
dari proses produksi sosial sebelumnya. Artinya, pertarungan kekuasaan,
7
Agung Prabowo. 2010. Gerakan Perlawanan Pedagang Pasar Terong Terhadap Kebijakan
Pemerintah Kota Makassar Pasca Pembangunan Gedung Lantai Empat, Skripsi Mahasiswa
Ilmu Politik Universita Hasanuddin. Tidak dipublikasikan.
7
sebagaimana terjadi sebelumnya, sedang ‘dipertontonkan’ sekarang. Dalam
keadaan seperti ini, maka ruang sebagai ‘arena pertarungan’ dapat menjadi
sebentuk peluang, momen, dan saluran di mana warga dapat bertindak secara
potensial untuk mempengaruhi kebijakan, wacana, keputusan, dan hubungan yang
berdampak pada kehidupan orang-orang dan kepentingannya, (John Gaventa
2005).
Kondisi pertentangan pedagang dengan pemerintah dalam pengelolaan
pasar lokal kemudian memberikan ‘ruang’ bagi pelaku gerakan sosial lainnya.
Dalam hal ini, memberikan peluang bagi ‘pihak’ lain untuk memasuki arena
‘pertarungan’ yang tidak seimbang tersebut. Salah satu organisasi masyarakat sipil
yang kemudian melibatkan diri dalam hal ini adalah Active Society Institute, salah
satu organisasi anggota dari Komunitas Ininnawa. Keterlibatan organisasi ini
adalah melakukan upaya transformasi sosial secara sistematik, yaitu dengan
melakukan gerakan pendampingan bagi para pedagang di pasar lokal.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka penulis tertarik menjadikan
organisasi ini sebagai fokus penelitian dalam penyusunan skripsi dengan judul:
Gerakan Sosial Masyarakat Kelas Menengah Di Makassar; Studi
Tentang Gerakan Komunitas Ininnawa.
8
B. RUMUSAN MASALAH
Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti dalam studi
gerakan masyarakat sipil, maka penulis akan membatasi penelitian ini pada;
1. Bagaimana peran Komunitas Ininnawa dalam upaya penguatan pedagang
pasar lokal di Makassar?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
C.1 Tujuan Penelitian ;
Dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan ;
1. Latar belakang Komunitas Ininnawa melibatkan diri dalam gerakan sosial di
Makassar. Hal ini untuk mengetahui ideologi Komunitas Ininnawa dalam
keterlibatannya pada aktivitas gerakan sosial di Makassar.
2. Program-program Komunitas Ininnawa dalam penguatan pedagang pasar lokal
di Makassar.
C.2 Manfaat Penelitian;
C.2.1. Manfaat Teoritis :
1. Menjelaskan secara akademik fenomena gerakan sosial di Indonesia,
khususnya di Makassar.
2. Menjadi salah satu sumber tertulis tentang gerakan masyarakat sipil di
Indonesia, khususnya di Makassar.
9
C.2.2 Manfaat Praktis :
1. Sebagai salah satu prasyarat untuk memenuhi gelar sarjana ilmu politik
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
2. Membantu bagi aktor gerakan sosial di Indonesia, khususnya di
Makassar sebagai salah satu sumber rujukan bagi gerakan masyarakat
sipil.
10
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa konsep dan teori yang
akan digunakan sebagai alat analisis dalam keseluruhan penelitian ini. Selain
menjelaskan konsep, yang bertujuan untuk menjelaskan maksud dari setiap
konsep, dan selanjutnya digunakan dalam sepanjang tulisan ini. Hal ini
dimaksudkan untuk kepentingan penjelasan secara teoritik dalam menjelaskan
fenomena gerakan sosial, sebagaimana yang menjadi perhatian dalam penelitian
ini.
A. Civil Society dan Organisasi Masyarakat Sipil
Konsep civil sosciety dalam bahasa Indonesia mendapatkan padanan
dalam sejumlah kata, seperti masyarakat warga, masyarakat madani atau
masyarakat sipil. Namun pada umumnya, konsep civil society tersebut merujuk
pada konsep masyarakat beradab. Masyarakat dengan kemandirian dan kesadaran
untuk memperjuangkan hak-hak sosial, politik ataupun ekonominya (Culla, 2002;
Dhakide, 2001). Selain itu, civil society juga merujuk pada konsep warga dalam
imperium Romawi. Dimana konsep warga (civis) saat itu merupakan orang-orang
dengan keistimewaan-keistimewaan (privelege) yang diberikan oleh ‘negara’,
11
seperti hak kepemilikan tanah, terbebas hukuman gantung serta sistem
perbudakan.8
Kajian mengenai civil society terus mengalami perubahan mengikuti
perkembangan kompleksitas masyarakat. Pada kajian awal, civil society dimaknai
sebagai ide yang normatif tentang kebebasan dan persamaan hak warga negara,
serta merupakan perwujudan dari politik negara yang lahir melalui proses kontrak
sosial sebagai kesatuan politik. Pemaknaan seperti ini bisa dalam sejumlah
ilmuwan sosial seperti Thomas Hobbes dan Jhon Locke. Selain itu, juga pada
pemikir sosial selanjutnya seperti Montesquieu dan Thomas Paine, dimana
keduanya masih mengidentikkan bahwa negara dan civil society merupakan
perwujudan dari politik negara itu sendiri. Akan tetapi pada kedua pemikir ini,
civil society mengalami penambahan makna, dimana keduanya menganggap civil
society merupakan entitas yang berbeda dari negara.9
Perkembangan kajian civil society kemudian mengalami perubahan secara
signifikan pada ilmuwan sosial Scotlandia, Adam Ferguson, serta pemikir lainnya
seperti David Hume. Kedua ilmuwan ini ‘melihat’ bahwa civil society tidak lagi
identik sebagai perwujudan politik negara. Akan tetapi, konsep civil soceity selain
merujuk pada masyarakat beradab (civilised society), juga merupakan sesuatu
yang berbentuk material atau berupa suatu organisasi dengan otonomi dan
kedudukan yang sama dihadapan negara. Pandangan seperti ini memiliki
8
Lihat Daniel Dhakide, 2001. Sistem sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga, Dan Pergulatan
Demokrasi. Kumpulan Tulisan dalam Masyarakat Warga Dan Pergulatan Demokrasi; menyambut
70 tahun Jakob Utama. Editor, St. Sularto. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. hlm.11-12
9
Adi Suryadi Culla, 2002. Masyarakat Madani. Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan citacita reformasi. Hlm.48-49.
12
kemiripan dengan pemikiran Aristoteles tentang politike koinonia, dimana warga
negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Kajian mengenai civil society juga menjadi perhatian oleh pemikir sosial
lainnya, khususnya pemkir yang tergolong dalam kelompok kiri baru (new-left)
seperti Antonio Gramsci. Dalam pandangannya, Gramsci melihat bahwa civil
society tidak sepenuhnya berada pada domain ekonomi, melainkan juga berada
pada domain politik dan kultural. Dimana civil society merupakan ‘arena’ bagi
negara untuk mendominasi serta mempengaruhi kesadaran masyarakatnya.
Pemikiran Gramsci ini dikenal dengan konsep hegemoni yang dipopulerkannya,
dimana negara dalam mempertahankan kekuasaan salah satunya dilakukan dengan
menguasai pikiran dan kesadaran masyarakat sehingga mengikuti kehendak
negara atau dengan kata lain memberikan legitimasi terhadap negara.10
Salah satu cendikiawan muslim di Indonesia, Nurcholish Madjid, juga
memberikan penjelasannya mengenai civil society. Menurutnya, ‘civil’ dalam
bahasa Inggris memiliki akar kata yang sama dengan civic dan city yang berarti
kota sebagaimana kata latinnya, civis. Kata ini kemudian disejajarkan dengan
‘polis’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘kota’ atau ‘negara kota’. Selanjutnya,
kata civil kemudian mengalami perkembangan dan dimaknai sebagai masyarakat
yang teratur dan beradab. 11 Selain itu, Nurcholis Madjid juga merujuk pada
bahasa yang berkembang di Timur Tengah. Civil society dalam hal ini
10
11
Ibid. hlm 49-51.
Norcholis Madjid, 2001. Kebebasan dan Supremasi Hukum, Dua Asas Masyarakat Madani.
Kumpulan Tulisan dalam Masyarakat Warga Dan Pergulatan Demokrasi; menyambut 70 tahun
Jakob Utama. Editor, St. Sularto. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. hlm.47-48. Bagi pemikir
Indonesia, penggunaan kata masyarakat madani merujuk pada tafsir yang dilakukan oleh
Norucholis Madjid.
13
disejajarkan dengan pengertian ‘madinah’ (Arab) dan ‘medinat’ (Ibrani), dan
bermakna sama dengan bahasa latin, yakni ‘kota’ dan ‘negara’. Dan secara
langsung juga merujuk pada pengertian peradaban sebagaimana tafsir bahasa
Arabnya, madaniyah. Misalnya, dalam frasa Arab seperti ‘qanun madaniy’ yang
merupakan padanan civil law dalam bahasa Inggris, yang berarti suatu pranata
hukum yang berkaitan dengan hak-hak seseorang serta prosedur hukum yang
berkaitan dengan hak-hak tersebut.12
Dari penjelasan di atas, civil society setidaknya merujuk pada hal, yakni
sebuah masyarakat beradab dan otonomi terhadap kekuasaan negara. Selain itu,
dalam konsep civil society, ‘penolakan’ tidak hanya pada monopoli kekuasaan
negara akan tetapi juga terhadap dirinya sendiri, atau setiap individu memiliki
kebebasan dan otonomi. Karena itu dalam hal ini konsep masyarakat sipil merujuk
pada individu, kelompok atau organisasi di luar struktur pemerintahan yang
memiliki kemandirian dalam berhubungan dengan kekuasaan negara.13 Kelompok
masyarakat dengan kemandirian inilah yang lazim dikenal dengan sejumlah istilah
di Indonesia, seperti Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), atau Organisasi Non
Pemerintah (ORNOP).
Keberadaan organisasi masyarakat sipil dalam dua dekade terakhir telah
merebak dan bekerja di berbagai negara.14 OMS tersebut hadir dengan berbagai
12
Nurcholis Madjid. ibid. hlm.48
Adi Suryadi Culla. 2002. Masyarakat Madani; Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan citacita reformasi. Rajawali Press. Jakarta. hlm.30-31. Buku ini merupakan telaah terhadap
beberapa pemikiran mengenai civil society. Salah satunya merupakan pemikiran Ernest Gellner
dalam bukunya; Condition of Liberty, Civil Society and Its Rivals.1994. Pinguin Book. London.
14
Dalam catatan Development Cooperation Review (OECD), telah memperkirakan sebanyak 8000
NGOs yang terlibat dalam kerja pembebasan dan pembangunan di seluruh dunia pada tahun
13
14
visi, serta landasan ideologi. Dalam beraktivitas, tidak jarang organisasi
masyarakat sipil ‘mengambil alih’ peran-peran yang menjadi tanggung jawab
lembaga-lembaga negara. Misalnya menyediakan pendidikan alternatif, pelayanan
kesehatan, dan lainnya. Kemandirian yang dimaksud adalah kemampuan
organisasi masyarakat sipil melakukan inisiatif dalam upaya pembangunan
masyarakat tanpa intervensi kekuasaan negara.
Kajian peran organisasi masyarakat sipil dalam suatu negara, salah satunya
bisa merujuk pada pemikiran Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna yang
menunjukkan empat kategorisasi peran OMS. Pertama, OMS sebagai katalisasi
perubahan dalam sistem. Perubahan sistem dalam hal ini tentu saja tidak terfokus
pada sistem negara secara keseluruhan, akan tetapi juga pada perubahan ditingkat
sub-sistem, seperti perubahan kebijakan tata-kelola ekonomi dan lainnya. Kedua,
OMS sebagai pengawas dalam pelaksanaan sistem dan tata cara penyelenggaraan
negara, bahkan bila perlu melakukan aksi protes apabila dianggap terjadi
kesalahan dalam pengelolaan pemerintahan tersebut.
Ketiga, OMS memfasilitasi rekonsiliasi warga negara dengan lembaga
peradilan. Hal ini misalnya dapat dilihat pada upaya lembaga bantuan hukum
yang menjadi pendamping bagi masyarakat ketika berkonflik dengan aparatur
negara. Dan keempat, OMS menjadi tempat implementasi program pelayanan
1981. Dan telah menyumbangkan sekitar 3,3 miliar dolar Amerika setiap tahun dalam
mendukung program mereka. Lihat Mansour Fakih, 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi
Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia.Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
15
kepada masyarakat. 15 Akan tetapi sejumlah peran dari OMS seperti diatas bisa
terlaksana dengan baik dengan catatan tersedia ruang publik (public sphare) yang
memadai bagi OMS dalam melakukan aktivitas sosial ataupun politik.16
Jika mengacu pada pembagian kategorisasi peran seperti diatas, dalam
beraktivitas OMS bisa bekerjasama, baik dengan negara ataupun masyarakat.
Pilihan bekerjasama tersebut tentu saja bergantung dari visi dan misi dari
organisasi tersebut didirikan. Meskipun bekerja bersama dengan salah satunya,
negara atau masyarakat, tidak menegasikan bahwa organisasi tersebut bekerja
untuk kepentingan pemerintah ataupun masyarakat. Karena bekerja bersama
keduanya tetap memiliki kemungkinan akan berkontribusi positif bagi negara
secara keseluruhan.
Untuk menjelaskan hal ini, dalam penelitian ini akan mengacu pada
tipologi ideologi OMS oleh Mansour Fakih, salah satu pemikir dan pelaku OMS
di Indonesia. Menurutnya, ada tiga tipe paradigma yang berkembang pada
organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang mempenagruhi organisasi tersebut
dalam beraktivitas. Pertama, tipe konformis dimana OMS tersebut selalu
menyesuaikan diri dengan struktur dan sistem dalam bekerja. Organisasi
Masyarakat Sipil dalam tipe ini bekerja berdasarkan projek yang disediakan oleh
pihak lain, pemerintah ataupun lembaga lainnya. Kedua adalah tipe reformis atau
OMS yang menganggap permasalahan sosial-kemasyarakatan disebabkan oleh
minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Program-program
15
Lihat Afan Gaffar, 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. hlm.203-204.
16
Ibid. Hlm 193.
16
yang dijalankan oleh OMS seperti ini lebih cenderung pada upaya peningkatan
partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembangunan.
Ketiga adalah tipe transformatif. OMS dalam tipe ini berpandangan bahwa
permasalahan atau ketimpangan sosial yang terjadi merupakan dampak dari sistem
pembangunan yang diterapkan oleh negara. 17 Oleh karena itu, aktivitas OMS
dalam tipe ini lebih cenderung mengarah pada upaya peningkatan pengetahuan
masyarakat untuk bersikap kritis terhadap pelaksanaan sistem itu sendiri serta
struktur negara.
B. Kelas Menengah
Secara garis besar, kajian mengenai pembagian kelas dalam struktur
masyarakat mengacu pada dua pemikir sosial abad pertengahan, Max Weber dan
Karl Marx. Kedua pemikiran tersebut lahir seiring dengan proses peralihan
masyarakat agraris ke masyarakat industriali di Eropa, seperti Jerman dan Inggris.
Peralihan tersebut kemudian berpengaruh besar perkembangan masyarakat. Salah
satunya adalah kemunculan struktur kelas sosial yang baru dalam masyarakat.
Perubahan ini diakibatkan terjadinya perubahan pola produksi, seiring
ditemukannya sejumlah alat-alat produksi bertenaga mesin yang perlahan
menggantikan peran manusia.
Dalam pemikiran Max Weber, pembagian masyarakat dalam kelas adalah
suatu hal yang normal, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu
memiliki “kesempatan hidup” yang berbeda dan ditentukan oleh kemampuan
17
Mansour Fakih, 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM
Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hlm.121-134.
17
pasar untuk menghargai kerja seseorang dengan balas jasa kepada pemiliknya.
Sementara dalam pemikiran Karl Marx, konsep kelas merupakan analisa untuk
melihat mekanisme penghisapan dari satu golongan atas golongan lain, dan
sumber penghisapan tersebut adalah kepemilikan alat-alat produksi yang
tercermin dalam “hubungan produksi”. Bentuk hubungan tersebut terdiri atas
pemilikan alat-alat produksi, posisi-posisi kelas dan kelompok-kelompok
masyarakat dalam masyarakat, serta hubungan antara kelas-kelas tersebut serta
bentuk-bentuk distribusi kekayaan material. 18
Pada masa peralihan masyarakat tersebut (agraris ke industri), Marx
menganggap bahwa kelompok masyarakat sebelumnya yang terdiri atas petani,
pengusaha dan pedagang kecil, merupakan sisa-sisa dari kelompok masa ekonomi
pra-kapitalis, dan kelompok inilah yang disebut sebagai golongan menengah yang
cenderung bersikap konservatif . Dan pada perkembangan selanjutnya, Marx juga
melihat bahwa munculnya kelas menengah ini, dimana kelas tersebut berbeda
dengan kaum aristokrat dalam sistem feodal, tampak semakin besar dan memiliki
peranan penting dalam pertumbuhan kapitalisme.
Berbeda dengan Marx, salah satu sosiolog Jerman, Max Weber, membagi
masyarakat kapitalis secara ekonomi menjadi lima kelas, yaitu; Pertama kelas
lapisan teratas yang identik dengan kelas borjuasi dalam pemikiran Marx. Kedua,
kelas pekerja di tingkat terbawah, identik dengan kelas buruh. Ketiga, kelas
intelegensia yang mengandalkan pengetahuan atau skill dalam bekerja. Keempat,
18
Lihat Dawam Rahardjo, 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan
Sosial. LP3ES Indonesia, Jakarta. Hlm 263-264.
18
kaum manejer dan administrator dan kelas kelima adalah borjuasi kecil, dalam arti
tradisional merupakan golongan pengusaha, pedagang dan petani. 19
Berdasarkan klarifikasi struktur sosial dari Weber inilah, khususnya kelas
intelegensia, administrator dan manejer, banyak mempengaruhi perkembangan
pemikiran mengenai kajian kelas dalam struktur masyarakat, baik dari kalangan
pemikir Marxian ataupun Non-Marxian. Dari pengkajian tersebut, kemudian
memunculkan berbagai kriteria baru dalam pembagian kelas, seperti politis dan
sosiologis. Perkembangan ini, oleh sejumlah pemikir digunakan untuk melihat
status seseorang dalam sistem sosial dimana mereka berada, salah satunya dengan
melihat faktor kesempatan hidup dan gaya hidup. 20 Dalam perkembangannya,
kelas menengah ini terus mengalami peningkatan dan memegang peranan penting
dalam proses perubahan masyarakat melalui peranan-peranan politik yang
dimainkannya.
Akan tetapi kajian kelas menengah ini mengalami sejumlah persoalan
ketika digunakan dalam menganalisis struktur sosial di Indonesia. Hal ini
setidaknya dipengaruhi oleh terdapat perbedaan mendasar dalam perkembangan
masyarakat di Indonesia dengan sejumlah negara di Eropa, konteks dari sejumlah
pemikir tentang kajian Kelas Menengah. Salah satu perbedaan tersebut misalnya
dapat terlihat pada perkembangan industri sebagai pemicu bagi perkembangan
kelas menengah di Eropa, seperti Inggris dan Jerman.
19
20
Begitu pula dengan
Ibid. Hlm 265-266.
Ibid. Hlm 266-267.
19
perbedaan budaya dan struktur sosial-masyarakat itu sendiri yang menciptakan
kemajumakan dalam menganalisis struktur sosial.
Untuk itu menarik untuk melihat secara sekilas salah satu pemikir yang
mengkaji perkembangan kelas menengah di Indonesia, Daniel S. Lev. Dalam
melihat keberadaan kelas menengah di Indonesia, ia terlebih dahulu menganalisis
perkembangan salah satu segmen dalam kelas menengah, yaitu kaum profesional.
Selain itu, Lev juga melihat sisi sejarah dalam menjelaskan kelas menengah,
dimana kelas ini dianggap sebagai salah satu poros dalam perubahan ekonomi,
sosial, kultural dan politik. Peranan perubahan ini dimungkinan, mengingat kelas
menengah baru ini memiliki sumber daya (materi ataupun non-materi) dalam
memperjuangkan agenda berjangka panjang.21
Dalam kajiannya, Lev berangkat dari kebijakan politik etis pemerintah
Belanda yang memberikan akses pendidikan kepada anak-anak pribumi dalam
melihat tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Kebijakan tersebut dianggap
sebagai bagian penting dalam menciptakan kelas profesional lokal yang
sepenuhnya baru. Selain itu, perkembangan kelas menengah ini juga dilihat
merupakan bagian dari konflik kepentingan antara pedagang pribumi Indonesia
dengan etnis Tionghoa. Dalam perkembangannya, khususnya setelah proklamasi
kemerdekaan 1945, meski pertumbuhan kalangan ini menghasilkan dua perbedaan
21
Lihat Daniel S. Lev. 1996. “Kelompok Tengah” dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan
Awal. Dalam Politik Kelas Menengah di Indonesia. Richard Tanter & Kenneth Young. LPE3S.
Jakarta. Hlm 23-26.
20
sikap yang mencolok, revolusioner dan konservatif, namun kelompok masyarakat
inilah yang memiliki peranan penting dalam perpolitikan nasional.22
Peranan kelas menengah seperti penjelasan diatas, pada perkembangannya
juga memasuki ranah gerakan sosial, apalagi setelah kemunculan fenomena
gerakan sosial baru di sejumlah negara. Kelas menengah dalam hal ini tidak hanya
mengacu pada kepemilikan alat produksi atau besaran pendapatan ekonomi.
Melainkan kelas yang tercipta dalam hubungan sosial antar kelas dan antar tata
produksi yang lebih dinamis. Seperti kaum terpelajar perkotaan (intelektual), atau
kaum profesional yang tidak terikat dalam satu lembaga profit. Akan tetapi dalam
tata-produksi yang ‘belum’ dominan, kelas menengah ini berproduksi dengan
mengandalkan pengetahuan dan keterampilan mutakhir.23
Aktivitas kelas menengah, seperti aktivitas kaum intelektual, dengan
aktivitas kekuasaan memiliki pembedaan pada tingkat tertentu, namun pada
perkembangannya hal tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut terjadi
manakala kaum intelektual melebur menjadi satu kesatuan dengan kekuasaan.
Peleburan ini terjadi ketika kaum intelektual ini menjadi “pelayan” pengetahuan
bagi penguasa yang menghasilkan janji-janji perubahan sosial kepada masyarakat.
Janji-janji tersebut seperti tercapainya tujuan pembangunan dari proyek
moderinasasi yang sangat bersifat Eropa-sentris.
Perubahan tersebut kemudian berdampak pada memudarnya peran kaum
intelektual dalam sejarah perubahan sosial. Oleh karena itu, peran kaum
22
23
Ibid. Hlm 26.
Supriyadi. Kapitalisme, Kelas Menengah Dan Demokrasi Di Asia Tenggara.
21
intelektual dalam perubahan sosial tetap memiliki peran penting, yang tidak hanya
terbatas pada penyebaran pengetahuan, nilai, standar moral dan estetika dalam
masyarakat. Lebih dari itu, kelas menengah dengan kemampuan untuk “melihat
lebih” dan “mendahului masanya” bisa digunakan untuk mengoreksi gerak
perjalanan masyarakat sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh pemegang
kekuasaan (Rajendra Singh 2001;50-53). Karena kelebihan dari kelas menengah
ini, maka tidaklah mengherankan jika kelas menengah merupakan salah satu aktor
penting dalam gerakan sosial.
Merujuk pada pengertian diatas, konsep kelas menengah dalam hal ini juga
penulis lekatkan pada aktor Komunitas Ininnawa, organisasi yang menjadi unit
analisis dalam penelitian ini. Pelekatan konsep kelas menengah ini merujuk pada
aktor-aktor yang terlibat dalam komunitas tersebut merupakan kaum terpelajar
yang memilih melibatkan diri dalam aktivitas gerakan sosial tanpa keterikatan
dengan organisasi berorientasi laba. Aktor-aktor organisasi ini juga secara sadar
menghimpun diri dalam suatu organisasi dengan kemampuan pengetahuan yang
didapatkan melalui pendidikan formal, baik di dalam ataupun diluar negeri.
C. Gerakan Sosial Baru
Gerakan sosial merupakan sebuah pertarungan, dimana para penggeraknya
sedang mengusahakan perubahan sosial terhadap pola relasi dalam suatu
masyarakat. Pola relasi yang timpang dan hanya menguntungkan satu belah
22
pihak.24 Dalam upaya untuk merubah pola relasi yang timpang dalam masyarakat,
dari tingkat makro sampai mikro, gerakan sosial hadir dalam berbagai rupa. Bisa
merupakan pemberontakan petani terhadap tuan tanahnya, pekerja terhadap
majikan, atau dalam fenomena kontemporer gerakan sosial, bahkan sudah hadir
dengan bentuk yang lebih plural. Seperti gerakan lingkungan hidup, anti perang,
kebebasan personal, gerakan LSM dan lainnya.
Kajian gerakan sosial (social movement), setidaknya bisa dilihat dalam dua
pendekatan. Pertama, pendekatan yang melihat bahwa gerakan sosial merupakan
ancaman dan berdampak negatif terhadap sistem yang telah mapan. Pendekatan
ini berakar pada fungsionalisme yang menganggap masyarakat merupakan satu
kesatuan dengan fungsi yang saling berkaitan, dan jika salah satu bagian
mengalami anomali maka juga akan berdampak pada sistem secara keseluruhan.
Kedua, pendekatan yang melihat bahwa gerakan sosial merupakan fenomena yang
positif dan merupakan atau menjadi sarana konstruktif bagi perubahan sosial itu
sendiri. Pendekatan ini berakar pada analisis konflik dari pemikir marxis
tradisional yang menganggap pertentangan merupakan salah satu cara mencapai
tujuan.25
Pada masa-masa awal, kajian gerakan sosial berkonsentrasi pada aksi-aksi
yang dilakukan oleh kelas pekerja (working-class), dimana ekonomi menjadi
faktor determinis untuk menggerakannya. Pemikiran ini bisa ditemukan pada
24
Nurhady Sirimorok, 2011. Sketsa Gerakan Sosial, Indonesia dan Sulawesi Selatan. Paper yang
disampaikan dalam Perencanaan Strategis Komunitas Ininnawa. Tidak dipublikasikan.
25
Mansour Fakih, 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi LSM
Indonesia. Pustaka Pelajar. Jakarta. hlm. 42-43
23
pemikir-pemikir Marxisme tradisional dimana hubungan produksi merupakan
landasan atau pondasi nyata dalam kehidupan masyarakat. Dalam hubungan
produksi tersebut kemudian melahirkan dua kelas berbeda, pekerja dan pemilik
alat produksi, dengan kepentingan material yang juga berbeda. Kepentingan yang
berbeda inilah kemudian memecah dan melahirkan pertentangan atau dikenal
dengan istilah ‘perjuangan kelas’. Dimana kelas yang didominasi atau
tereksploitasi akan melakukan penentangan dan mengambil alih alat produksi.
Oleh karena itu, sejarah masyarakat merupakan sejarah perjuangan kelas. Dimana
kelas yang akan menjadi ‘pemenang’ adalah kelas yang memiliki alat produksi
karena secara ekonomi lebih baik dan lebih memiliki daya tawar yang baik. 26
Apabila mengacu pada pandangan tersebut, maka sangat wajar jika para
pemikir kajian gerakan sosial lama (Old Social Movement) menganggap bahwa
kelas pekerja dan ekonomi merupakan faktor penting atau kunci dalam perubahan
sosial. Namun dalam perkembangannya, gerakan sosial kemudian tidak lagi
sepenuhnya bisa dijelaskan dalam pertentangan dua kelas tersebut, sebagaimana
pandangan Marxis tradisional. Hal ini misalnya bisa dilihat pada gerakan
lingkungan hidup, kesetaraan gender, anti perang, gerakan LSM serta berbagai
gerakan sosial lainnya. Yang sama sekali tidak mengarah pada pertentangan kelas
sebagaimana yang dimaksudkan dalam paradigma gerakan sosial lama.
Dalam menjelaskan gerakan sosial kontemporer, setidaknya ada dua
pendekatan yang bisa digunakan. Yaitu, pendekatan New Social Movement (NSM)
atau gerakan sosial baru dan pendekatan Resource Mobilitation (RM) atau
26
Ibid.hlm 50.
24
mobilisasi sumber daya. Kedua pendekatan ini, masing-masing menjadi kritik dari
pendekatan sebelumnya (gerakan sosial lama). Pendekatan pertama menjadi
counter terhadap pandangan yang menganggap bahwa pekerja dan ekonomi
sebagai faktor penentu gerakan. Sementara pendekatan kedua merupakan kritik
atas fungsionalisme yang menekankan integrasi, keseimbangan dan keselarasan
dalam sistem, dan menawarkan analisis konflik dalam melihat fenomena sosial.27
Selain itu, pendekatan RM juga menolak asumsi dari pendekatan aksi
kolektif (collective action) yang menganggap aktor dari mobilisasi sumber daya
adalah orang-orang yang mengalami alienasi dan ketegangan sosial. Akan tetapi
yang terjadi malah sebaliknya, gerakan kontemporer mensyaratkan sebentuk
komunikasi dan organisasi yang canggih, ketimbang terompet dan tambur dari
gerakan ‘lama’. Olehnya, Gerakan Sosial Baru adalah sebuah sistem mobilisasi
yang terorganisir secara rasional. Ini sekaligus menegaskan posisi GSB terhadap
teori tindakan kolektif yang menganggap, faktor ‘perasaan’ dan ‘penderitaan’
menjadi penggerak setiap aktor sehingga tindakannya dianggap irasional.28
Kedua pendekatan dalam kajian gerakan sosial ini sedikit-banyak
dipengaruhi oleh pemikiran kaum kiri baru (new left), seperti Antonio Gramsci
khususnya dengan pemikirannya tentang konsep hegemoni. Dimana dalam
pemikiran Gramsci, kekuasaan negara tidak sepenuhnya berada pada dua kelas
(pekerja dan pemilik modal) sebagaimana marxisme ortodoks. Melainkan dalam
27
Eduardo Canel.1997. New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory: The
Need for Integration. Bagian 9 dalam buku Community Power And Grassroots Democracy; The
Transformation Of Social Life. Editor Michael Kaufman and Haroldo Dilla Alfonso. Zed Books.
London And New Jersey. hl.190-191.
28
Rajendra Sing, 2010. Gerakan Sosial Baru. Judul asli; Social Movement, Old And New: A PostModernist Critique. 2001. Penerjemah Eko P. Darmawan. Resist Book. Yogyakarta.
25
kekuasaan negara, juga terdapat kelas-kelas lain yang tergabung dalam organisasiorganisasi swasta seperti geraja, serikat dagang, sekolah dan yang lainnya. 29
Pemikiran ini kemudian berimplikasi pada pemahaman bahwa pertentangan dalam
perubahan masyarakat tidak sepenuhnya bertumpu pada kelas pekerja dan pemilik
modal, melainkan terdapat kelas lain atau dalam hal ini masyarakat sipil.
Pendekatan baru ini melihat aktor gerakan perubahan sosial tidak lagi
bertumpu pada kelas pekerja (working class) atau pada petani (peasant) serta
ekonomi sebagai faktor yang esensial. Melainkan, aktor gerakan sosial bisa saja
merupakan aktor baru yang sama sekali tidak bersentuhan secara langsung dengan
proses produksi pada masyarakat industri.30 Oleh karena itu, Laclau dan Mouffe
(1985), mengembangkan pendekatan Gramsci dan menganggap bahwa ‘gerakan
sosial baru’ merupakan pendekatan alternatif atas kemacetan pendekatan
Marxisme tradisional.31
Dalam memahami perbedaan pendekatan gerakan sosial baru dan gerakan
sosial lama, Rajendra Singh mengajukan empat ciri. Pertama, GSB menaruh
konsepsi ideologis pada asumsi, masyarakat sipil tengah menyeluruh; dimana
ruang sosialnya mengalami penciutan dan yang sosial ditengah masyarakat
digerogoti oleh kemampuan kontrol negara yang berkesesuaian dengan ekspansi
pasar. Oleh karenanya, GSB berusaha membangkitkan isu ‘pertahanan diri’ dalam
menghadapi ekspansi dari dua hal tersebut, pasar dan negara.
Roger Simon, 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Judul asli; Gramsci’s Political
Thought. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
30
Op.cit.hlm 189.
31
Mansour Fakih, 2004. Masyarakat sipil Untuk Transformasi Sosial. Pergolakan LSM Indonesia.
Pustaka Pelajar. Jakarta. hlm. 46
29
26
Kedua, GSB merubah paradigma Marxis secara radikal mengenai
penjelasan konflik dan kontradiksi dalam istilah ‘kelas’ dan konflik kelas. Dan
melihat GSB merupakan gerakan sosial transnasional dengan aktor gerakan yang
tidak terkotak-kotakkan pada pembagian kelas tertentu. Aktor yang terlibat
didalamnya juga tidak semata-mata bekerja berdasarkan kepentingan kelas, akan
tetapi untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas.
Ketiga, terkait dengan pandangan bahwa kelas tidak lagi menjadi
penopang aksi kolektif, maka pada umumnya GSB ‘mengabaikan’ model
organisasi serikat buruh industri dan model kepartaian politik, dalam hal ini
terjadi pengecualian pada Partai Buruh dan Partai Hijau di Jerman. Namun dalam
realisasi GSB umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput,
memprakarsai gerakan-mikro dari kelompok-kelompok kecil, serta membidik isuisu lokal dengan sebuah institusi terbatas.
Dan keempat adalah, berdasarkan struktur, GSB didefinisikan oleh
pluralitas cita-cita, tujuan, khendak dan oreantasi, dan oleh heterogenitas basis
sosialnya. Sementara tujuan dari GSB sendiri mengupayakan penataan kembali
relasi antara negara, masyarakat dan perekonomian. Serta menciptakan ruang
publik yang didalamnya wacana demokratis mengenai otonomi, kebebasan
individual dan kolektivitas mereka bisa selalu diskusikan dan diperiksa.32
32
Rajendra Sing, 2010. Gerakan Sosial Baru. Judul asli; Social Movement, Old And New: A PostModernist Critique. 2001. Penerjemah Eko P. Darmawan. Resist Book. Yogyakarta. hlm 124130.
27
Dari uraian diatas, maka dalam penelitian akan mengarah pada bagaimana
Komunitas Ininnawa yang menjadi fokus penelitian ini dibentuk, pola hubungan
yang dibangun dengan negara, peran-peran di masyarakat serta ideologi yang
mempengaruhi organisasi ini dalam bekerja.
Untuk lebih memudahkan, berikut kerangka pemikiran yang akan
digunakan dalam penelitian ini:
(Gerakan Sosial
Baru)
Upaya merubah
pola relasi yang
timpang dalam
masyarakat
yang tidak
sepenuhnya
bertumpu pada
gerakan massa.
Komunitas
Ininnawa
Strategi
perubahan
sosial
berdasarkan
Ideologi
(konformis,
reformis,
transformatif)
Perubahan sosial
dalam hal ini
(Penguatan
pedagang pasar
lokal di
Makassar)
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. LATAR PENELITIAN
Dalam penelitian ini, yang menjadi perhatian utama adalah fenomena
gerakan sosial masyarakat kelas menengah di Makassar. Untuk menjaga fokus
penelitian, dalam penelitian ini akan mengambil salah satu organisasi masyarakat
sipil di Makassar sebagai studi kasus. Organisasi masyarakat sipil tersebut adalah
Komunitas Ininnawa, merupakan federasi dari empat organisasi masyarakat sipil.
Acitive Society Institute (AcSI), Penerbit Ininnawa, Sekolah Rakyat Petani (SRP)
Payo-Payo, dan Perpustakaan Biblioholic.
Keempat organisasi tersebut masing-masing memiliki wilayah kerjanya.
Active Society Institute (AcSI) menitikberatkan perhatiannya pada penguatan
masyarakatan perkotaan, khususnya pada pedagang-pedagang di pasar lokal
(tradisional) Makassar. Selain itu, juga melakukan kerja-kerja sosial, seperti
pendampingan desa dan menyuplai tenaga pengajar pada sekolah menengah
pertama milik pemerintah di salah satu desa dataran tinggi Gowa, Desa Tassese,
Kecamatan Manuju.
Organisasi masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Komunitas
Ininnawa adalah SRP Payo-Payo. Perhatian organisasi ini adalah pada masyarakat
pedesaan, yang ber fokus pada kedaulatan pangan petani dan energi berkelanjutan.
Organisasi ini bekerja di tiga desa yang ada di tiga kabupaten. Desa Soga di
Kabupaten Soppeng, Desa Bonne-Bonne di Polewali Mamasa dan Desa Tompo
29
Bulu di Kabupaten Pangkep. Sementara dua organisasi anggota lainnya, Penerbit
Ininnawa dan Perpusatakaan Biblioholic bekerja untuk pengembangan budaya
literasi di Makassar.
Melihat wilayah kerja dari organisasi yang akan menjadi fokus penelitian,
maka dalam penelitian ini, lokasi penelitian bisa jadi tidak berfokus pada satu
lokasi. Melainkan akan berkembang sesuai dengan kebutuhan penelitian.
B. TIPE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan metodologi Kualitatif. Pemilihan metode
ini untuk menghasilkan temuan (atau kebenaran intersubjektif) yang bersifat lebih
mendalam. Yakni kebenaran yang terbangun dari berbagai faktor, dimana realitas
kebenaran dalam hal ini merupakan sesuatu yang dipersepsikan, bukan sekadar
fakta yang bebas dari konteks dan interpretasi apapun. Kebenaran tersebut juga
merupakan bangunan (konstruksi) yang disusun oleh peneliti, dengan cara
mencatat
dan
memahami
apa
yang
terjadi
dalam
interaksi
sosial
kemasyarakatan.33Sementara metode penelitian yang akan digunakan adalah studi
kasus. Hal ini akan dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menelaah suatu
kasus dengan spesifik dan akan dilakukan secara intensif, mendalam dan
komprehensif .34
33
Prasetya Irawan, 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Departemen
Ilmu Administrasi FISIP-UI. Depok. hlm.5
34
David Marsh & Gerry Stoker.2010. Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik. Nusamedia.
Bandung. Hlm244-245.
30
C. PENGUMPULAN DATA
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan dua
tahap. Pertama, pengumpulan dokumen ataupun litertur yang berkaitan dengan
penelitian ini dan akan menjadi data sekunder. Pengumpulan literatur dilakukan
dengan menelusuri berbagai arsip atau dokumen mengenai berbagai hal yang
berkaitan dengan penelitian. Arsip atau dokumen tersebut dapat berupa dokumen
tertulis, seperti laporan kegiatan, gambar atau foto, film audio-visual, serta
berbagai tulisan ilmiah yang dapat mendukung penelitian.
Kedua, pengumpulan data primer melalui penelitian lapangan. Hal ini
untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam berkaitan dengan program
Komunitas Ininnawa dalam upayanya melakukan penguatan pada pedagang pasar
lokal. Dalam proses ini, pengumpulan data akan dilakukan melalui proses
wawancara secara mendalam. Proses ini dilakukan dengan menemui sejumlah
informan, seperti pengurus Komunitas Ininnawa, pengurus di setiap organisasi
anggota Ininnawa, serta anggota lainnya dalam Komunitas Ininnawa. Selama
pengerjaan wawancara, peneliti akan menggunakan panduan wawancara untuk
tetap menjaga fokus penelitian.
Selain wawancara secara mendalam dengan sejumlah informan seperti
yang disebutkan diatas, dalam penelitian ini, peneliti juga akan menggunakan
metode observasi partisipasi dalam mengamati berbagai kegiatan Komunitas
Ininnawa yang berkiatan dengan penelitian ini. Pemilihan metode observasi
31
pasrtisipasi ini dimungkinkan karena peneliti merupakan bagian dari Komunitas
Ininnawa yang menjadi fokus utama penelitian ini.
D. ANALISIS DATA
Analisa data akan berlangsung hampir bersamaan dengan pengumpulan
data. Hal ini untuk membantu peneliti melihat sejumlah kekurangan penelitian ini,
sekaligus untuk menarik dugaan-dugaan sementara yang akan dikaji lebih
mendalam. Proses ini akan dimulai dengan penulisan data yang lebih teratur dari
proses pengumpulan informasi yang dilakukan melalui proses wawancara,
pencatatan lapangan serta observasi. Hal ini untuk memudahkan peneliti
mencermati sejumlah informasi tersebut. Informasi ini selanjutnya akan di
triangulasi untuk memastikan keabsahan (validity) data.
Langkah selanjutnya adalah penyajian data yang diperoleh dari hasil
analisis serta interpretasi terhadap sejumlah informasi selama penelitian.
Penggunaan penyajian data ini untuk memudahkan peneliti memahami data.
Selain itu, juga akan membantu dalam menentukan tindakan lain berdasarkan
pemahaman tersebut, seperti melakukan proses analisis lebih dalam. Kesimpulan
sementara ini selanjutnya akan dicermati untuk menghasilkan kesimpulan
penelitian, dan akan dituliskan secara deskriptif-analitis. Penelitian ini akan
berakhir ketika data sudah mencukupi untuk menjawab pertanyaan penelitian.
32
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Geografis Dan Kependudukan Kota Makassar
Penelitian ini berlangsung di Makassar. Salah satu dari dua kotamadya,
sekaligus ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar wilayah Makassar
merupakan kawasan pesisir dengan ketinggian 0-20 meter dari permukaan laut,
dengan luas wilayah 175,77 km². Luas wilayah tersebut secara administratif
terbagi dalam 14 Kecamatan dengan 143 kelurahan, dan pada tahun 2009 tercatat
dengan jumlah penduduk terbanyak di Sulawesi Selatan, yakni 1.271.870 jiwa.
Dari jumlah tersebut, 617.747 jiwa merupakan laki-laki dan 654.123 jiwa adalah
perempuan yang tersebar dengan kepadatan sekitar 7.235/km².35
Tabel 01: Luas Wilayah Dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut
Kecamatan Di Kota Makassar
Kode
Wilayah
-1
10
20
30
31
40
50
60
70
35
Kecamatan
Luas Area(km2)
Persentase terhadap
luas Kota Makassar(%)
-2
-3
1,82
2,25
20,21
9,23
2,52
2,63
1,99
2,10
-4
1,04
1,28
11,50
5,25
1,43
1,50
1,13
1,19
Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar
Ujung Pandang
Wajo
Bontoala
Sulawesi Selatan Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.
33
80
90
100
110
101
111
7371
Ujung Tanah
Tallo
Panakkukang
Manggala
Biringkanaya
Tamalanrea
MAKASSAR
5,94
5,83
17,05
24,14
48,22
31,84
175,77
3,38
3,32
9,70
13,73
27,43
18,11
100,00
Sumber : Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Makassar
Tabel 02 : Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin
diKota Makassar pada tahun 2009.
Kelompok Umur
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
-1
0–4
9 - May
10 – 14
15 – 19
20 – 24
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 – 64
65 +
Jumlah/Total
-2
67.309
63.494
61.488
60.285
66.806
56.272
55.521
45.491
37.014
25.729
18.456
15.296
18.558
18.551
610.27
-3
56.306
66.162
56.04
72.389
87.28
71.356
56.561
52.304
29.526
29.164
24.183
19.563
17.179
24.066
662.079
-4
123.615
129.656
117.528
132.674
154.086
127.628
112.082
97.795
66.540
54.893
42.639
34.859
35.737
42.617
1.272.349
Sumber: Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Makassar
34
B. Kondisi Perekonomian Masyarakat Kota Makassar
Perkembangan Kota Makassar juga memicu kegiatan ekonomi yang kian
pesat, hal ini misalnya dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah perusahaan
perdagangan yang mencapai 14.584 unit usaha, dengan rincian 1.460 perdagangan
besar, 5.550 perdagangan menengah, dan 7.574 perdagangan kecil. Untuk
perkembangan industri, di Makassar terdapat 21 industri besar dan 40 industri
sedang yang menempati Kawasan Industri Makassar di kecamatan Biringkanaya,
serta selebihnya di kecamatan Tamalanrea dan Panakkukang yang masing-masing
terdiri dari 5 unit. 36
Selain Sejumlah industri diatas, di Makassar, pembangunan ekonomi
ditopang dengan sejumlah akses masuk, yaitu pelabuhan Sukarno-Hatta dan
Bandar Udara Sultan Hasanuddin, serta dua terminal angkutan darat, Terminal
Umum Mallenkeri dan Terminal Regional Daya. Sektor perekonomian
masyarakat kota Makassar pada umumnya bergerak disektor jasa, perdagangan,
perikanan (nelayan) serta industri melalui salah satu kawasan industrinya,
Kawasan Industri Makassar (KIMA). Sementara sektor perdagangan, khususnya
kebutuhan rumah tangga di kota ini berlangsung di pusat-pusat perbelanjaan
modern serta pasar-pasar lokal (tradisional).
Sebagaimana perkembangan kota pada umumnya, sebagai salah satu pusat
perekonomian, Makassar juga menjadi tujuan masyarakat dari sejumlah daerah di
Sulawesi Selatan dalam memasarkan produk-produk pertaniannya. Mereka yang
36
Makassar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kota Makassar.
35
datang dari sejumlah daerah ini, pada umumnya bergerak disektor ‘informal’
seperti menjadi pedagang di pasar-pasar lokal. Namun munculnya sejumlah pusat
perbelanjaan modern dalam satu dekade terakhir berpengaruh pada keberadaan
dan keberlangsungan perekonomian masyarakat di pasar-pasar lokal. Dimana
pasar lokal tidak lagi menjadi penyangga utama dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Di Makassar sendiri, terdapat sekitar 65 pasar lokal, baik resmi ataupun
darurat yang menjadi tempat transaksi pemenuhan kebutuhan masyarakat kota
Makassar.37 Pasar-pasar lokal ini menempati sejumlah tempat di Makassar, baik
ditengah-tengah perkotaan seperti pasar Terong, pasar Grosir Butung, dan pasar
Pabbaeng-baeng. Ataupun yang menempati jalan-jalan pemukiman warga, seperti
pasar di perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Sebagai salah satu sektor
perekonomian masyarakat, keberadaan pasar lokal yang kian terancam dengan
sejumlah pasar-pasar modern, seperti Carrefour dan jaringan minimarket Alfa,
menarik perhatian sejumlah aktivis di kota ini.
37
Data Active Society Institute (AcSI) tahun 2008.
36
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini akan menjelaskan temuan penelitian tentang bagaimana peran
Komunitas Ininnawa dalam penguatan pedagang pasar lokal di Makassar,
sebagaimana rumusan masalah dalam penelitian ini. Namun dalam pembahasan
ini, terlebih dahulu akan diuraikan sejarah Komunitas Ininnawa. Penjelasan ini
akan melihat konteks sosial yang turut mempengaruhi terbentuknya komunitas ini,
serta pemikiran-pemikiran yang mempengaruhinya. Hal ini sedikit-banyak akan
membantu dalam memahami, mengapa Komunitas Ininnawa melibatkan diri
dalam aktivitas gerakan sosial di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar.
A. Sejarah Komunitas Ininnawa
Komunitas Ininawa baru terbentuk pada tahun 2000. Namun, jika
menelusuri lebih jauh, cikal bakal lahirnya organisasi ini sudah bisa ditemukan
sejak para pendirinya masih menjadi mahasiswa di Universitas Hasanuddin
Makassar. Pada umumnya, merupakan mahasiswa Fakultas Sastra yang kini
berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Tepatnya, jurusan Sastra Inggris.
Saat itu, cikal bakal Komunitas Ininnawa merupakan kelompok diskusi, yang
rutin melakukan kajian tentang fenomena-fenomena sosial. Baik fenomena yang
ada di lingkungan kampus ataupun kehidupan sosial-masyarakat.38
38
Nurhady Sirimorok, 2011. Ininnawa: Antitesa, Anomali dan Anarki. Disampaikan pada Rencana
Strategis (Renstra) Komunitas Ininnawa di Kabupaten Maros. Tidak dipublikasikan.
37
Dari serangkaian diskusi yang dilakukan, salah satu temuannya adalah
serangkaian aksi protes mahasiswa yang gencar dilakukan di Makassar saat itu,
lebih banyak dilakukan tanpa dukungan data yang memadai sebagai pegangan
gerakan mahasiswa saat itu. Apalagi, ketika itu, mulai beredar informasi
dikalangan aktivis kampus tentang maraknya ‘demonstran bayaran’. 39 Dari
pembacaan terhadap fenomena tersebut, oleh sejumlah aktor awal Komunitas
Ininnawa, memilih merespon permasalahan sosial dengan cara yang ‘berbeda’
dari aktivis mahasiswa pada umumnya. Yakni, setiap aksi protes harus didukung
oleh data yang memadai. Oleh karena itu, sebelum melakukan kritik, langkah
yang terlebih dahulu dilakukan adalah melakukan.
Dari pandangan inilah, sejumlah aktor Komunitas Ininnawa meyakini
bahwa penelitian merupakan ‘keharusan’ sebelum melakukan kerja sosial, baik
bekerja secara langsung di masyarakat melalui sejumlah program, ataupun
sekadar melakukan aksi-protes terhadap kebijakan negara. Kegiatan penelitian
yang saat itu dimulai dari internal kampus, khususnya di Jurusan Sastra Inggris,
menjadi salah satu bagian penting perkembangan komunitas ini. Karena dari hasil
penelitian tersebutlah yang menjadi acuan bagi aktor komunitas ini melanjutkan
sejumlah kegiatan-kegiatan berikutnya dan merupakan bagian penting dalam
perjalanan Komunitas Ininnawa.
Misalnya, dari salah satu temuan penelitiannya, seperti kurang tersedianya
literatur di perpusatakaan kampus menyebabkan rendahnya minat baca
mahasiswa. Hasil penelitian inilah yang kemudian ditindaklanjuti dengan
39
Nurhady Sirimorok. Ibid. Hlm.1-2.
38
mengupayakan penyediaan literatur bagi mahasiswa yang memiliki minat baca
namun kesulitan mengakses literatur, khususnya yang berkaitan dengan sastra.
Dari upaya menyediakan literatur bagi mahasiswa ini, menjadi cikal-bakal dari
Perpusatakaan Biblioholic, salah satu organisasi anggota Komunitas Ininnawa.
Perpusatakaan yang awalnya dikerjakan secara sederhana, yakni dengan
mengumpulkan sejumlah literatur dan setiap hari dibawa ke kampus untuk
ditawarkan kesetiap mahasiswa yang berniat untuk membaca karya sastra.
Selain perpusatakaan, upaya lain dari tindaklanjut terhadap hasil penelitian
tersebut adalah upaya dalam menyediakan literatur tentang Sulawesi Selatan.
Dimana saat itu literatur tentang Sulawesi Selatan dianggap sangat terbatas di
Makassar, padahal disatu sisi sejumlah hasil penelitian tentang Sulawesi Selatan
sudah banyak diterbitkan menjadi buku. Namun karena penerbitannya terjadi di
negara-negara Eropa, seperti Belanda dan Inggris, maka mahasiswa maupun
akdemisi di Makassar tidak banyak yang bisa mengkasesnya. Kondisi ini
mendorong komunitas ini untuk mengupayakan penyebarluasan hasil-hasil
penelitian tersebut, sehingga akan lebih mudah diakses khususnya oleh mahasiswa
dan akademisi. Dan dari pertemuan dengan sejumlah Indonesianis, seperti
Cristian Pelras dan Leonard Y. Andaya, dalam kegiatan seminar La Galigo di
Makassar, rencana tersebut akhirnya bisa berjalan.
Sebagai bagian rencana “mengembalikan” hasil-hasil penelitian tentang
kebudayaan Sulawesi Selatan tersebut, maka digagaslah penerbitan. Selain
memudahkan proses penerbitan hasil terjemahan, juga menjadi alternatif untuk
memfasilitasi penulis di Makassar menerbitkan karyanya. Hasil dari uapaya ini,
39
buku Warisan Arung Palakkka; Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 karya
Leonard Y. Andaya akhirnya diterbitkan pada April 2004, yang pengerjaannya
dimulai tahun 2001. Selanjutnya, sejumlah judul buku seperti Pernikahan Bugis;
Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya, dari Susan B. Millar, dan
Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar dari Thomas Gibson. Serta beberapa
judul dari penulis Makassar, seperti Makassar Nol Kilometer dan Assikalaibineng;
kitab persetubuhan bugis.
Masuknya sejumlah lembaga Internasional, seperti UNDP, AusAid, GEF,
ADB, USAID, OXFAM, ILO, JICA dan MOFA Japan di Indonesia, termasuk di
Sulawesi Selatan, juga memiliki pengaruh penting terhadap perjalanan Komunitas
Ininnawa. Pengaruh tersebut setidaknya bisa dilihat dalam dua hal. Pertama,
meski Komunitas Ininnawa tidak sepenuhnya melibatkan diri dalam berbagai
program lembaga tersebut. Namun secara individu, sejumlah aktor komunitas ini
terlibat dalam program lembaga asing tersebut, dengan menjadi penerjemah atau
evaluasi program. Keterlibatan aktor-aktor komunitas inilah, Komunitas Ininnawa
mendapatkan pendanaan melalui mekanisme pemotongan gaji untuk kepentingan
organisasi (institutional fee).
Keputusan Komunitas Ininnawa secara kelembagaan, terhadap sejumlah
organisasi funding tersebut untuk menghindari kecenderungan dari sejumlah
organisasi masyarakat sipil (OMS) saat itu, yang pada umumnya dianggap
menjadi ‘pelayan’ bagi kepentingan lembaga internasional. Selain itu, juga karena
perbedaan pandangan mengenai pembangunan sosial itu sendiri. Dimana
Komunitas Ininawa menganggap bahwa pembangunan sosial-masyarakat harus
40
berangkat dari kesadaran serta kebutuhan masyarakat yang dikerjakan secara
bersama oleh masyarakat itu sendiri. Sementara kecenderungan sejumlah lembaga
internasional saat itu dalam mengerjakan programnya adalah dengan memberikan
sejumlah paket program berikut dengan pendanaannya, tanpa memperhitungkan
dampak lain yang bisa ditimbulkan dari sejumlah program sosial tersebut.
Selain itu, berbagai bantuan pembangunan sosial tersebut juga tidak dilihat
sebagai solusi bagi pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia. Tetapi
juga, sejumlah program bantuan pembangunan sosial tersebut bahkan bisa
memperburuk kondisi sosial-kemasyarakatan, apalagi dengan secara terusmenerus ‘menyuapi’ masyarakat dengan berbagai program. Apalagi, program
bantuan sosial tersebut juga tidak dilihat sebagai bentuk kebaikan negara maju
kepada Indonesia, melainkan berbagai bantuan yang masuk ke Indonesia juga
diikuti dengan sejumlah kepentingan luar negeri dari negara ataupun pihak lain
yang berhubungan dengan lembaga internasional tersebut.
Kedua, keterlibatan aktor Komunitas Ininnawa di beberapa lembaga asing
juga berpengaruh pada peningkatan kapasitas (capacity) dalam mengerjakan
program sosial kemasyarakatan. Selain itu, keterlibatan tersebut juga menjadi
sarana dalam melakukan perluasan jaringan dengan berbagai aktor-aktor gerakan
sosial di Indonesia. 40 Dimana dari perkenalan melalui beberapa lembaga asing,
Komunitas Ininnawa kemudian memiliki akses dengan beberapa organisasi
40
Hasriadi Ary dan Karno B. Batiran, 2011. Tak ada funding yang tak retak. Disampaikan dalam
Rencana Strategis Ininnawa di Kabupaten Maros. Tidak dipublikasikan.
41
ataupun individu yang juga memiliki perhatian besar terhadap masalah sosial
kemasyarakatan serta gerakan sosial.
Salah satu organisasi yang menjadi jaringan Komunits Ininnawa adalah
Insist (Indonesian Society For Social Transformation), salah satu konsorsium
organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Selain itu, juga dengan berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam
konsorsium tersebut, seperti Komunitas Salemba Tengah Jakarta, Lembaga
Pengembangan Teknologi Pertanian (LPTP) Solo, Jaringan Baileo di Maluku dan
lainnya. Dari keterlibatan aktor komunitas ini di beberapa lembaga asing, juga
membuat Komunitas Ininnawa lebih mudah mengakses beberapa literatur serta
informasi mengenai aktivitas gerakan sosial, baik dalam ataupun luar negeri.
Dari upaya pengembangan jaringan Komunitas Ininnawa dengan berbagai
aktor dan lembaga gerakan sosial di Indonesia, seperti Insist dan LPTP Solo,
kemudian turut melahirkan salah satu organisasi anggota komunitas lainnya, yakni
Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo. Organisasi ini lahir sebagai bentuk
kerjasama dengan dua lembaga diatas, Insist dan LPTP Solo, untuk mengerjakan
program pengorganisasian petani pedesaan dengan isu kedaulatan pangan serta
energi alternatif, seperti pemanfaatan biogas dan pupuk organik.
B. Aktor, Pemikiran, dan Dinamika Organisasi
Berkembangnya kajian-kajian pemikiran kritis, seperti pemikiran tentang
pengurangan peran atau campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat sejak
reformasi 1998, juga memiliki pengaruh terhadap pemikiran aktor-aktor
42
Komunitas Ininnawa. Salah satunya, pada aktor penting dalam komunitas ini,
Nurhady Sirimorok. Menurutnya, pemikiran-pemikiran kritis seperti wacana postkolonial dan pemikir-pemikir neomarxis, diakui memiliki pengaruh terhadap
perjalanan Komunitas Ininnawa. Pengaruh pemikiran kritis tersebut terlihat pada
masa awal komunitas ini. Sejumlah program Komunitas Ininnawa lebih
cenderung pada gerakan kebudayaan, seperti kampanye baca dan menulis. Kedua
hal tersebut untuk menumbuhkan budaya literasi di Makassar yang dianggap
sangat jauh tertinggal dari Jawa dan Sumatera.41
Pengaruh lainnya bisa terlihat dalam sistem egalitarian (kesetaraan) yang
terbangun dalam interaksi antar anggota komunitas ini. Pada awalnya, struktur
organisasi baru berfungsi ketika Komunitas Ininnawa akan mengadakan
kerjasama dengan organisasi atau pihak lain. Namun, dalam pengambilan
keputusan, seperti pemilihan program atau menentukan sikap kelembagaan, maka
struktur resmi hampir tidak berjalan sama sekali. Melainkan, keputusan organisasi
akan bergantung dari ide-ide yang berkembang dari setiap anggota, yang ‘harus’
didukung oleh anggota komunitas lainnya. Fleksibitas ini juga sedikit-banyak
dipengaruhi pemikiran, pluralitas individu ataupun organisasi akan lebih efektif
dalam melakukan kerja sosial daripada berada dalam satu kesatuan organisasi. Hal
inilah yang mendasari Komunitas Ininnawa menggunakan sistem federasi dalam
organisasinya.42
41
42
Wawancara Nurhady Sirimorok. Jum’at 13 Mei 2011. Pukul 17.00 wita.
Wawancara Nurhady Sirimorok, Jum’at 13 Mei 2011. Pukul 17.00 wita.
43
Akan tetapi, meski sikap egalitarian berlaku dalam komunitas ini, namun
pada masa-masa awal, pengambilan keputusan juga sedikit-banyak ‘bergantung’
pada beberapa aktor, seperti Nurhady Sirimorok, ketua pertama dari komunitas ini
serta Hasriady Ari yang menjadi ketua untuk periode 2010-2012. Hal ini karena
secara kapasitas kedua orang tersebut dianggap lebih mumpuni, baik dari wacana
ataupun pengalaman bekerja secara profesional dibeberapa lembaga asing. Sikap
‘ketergantungan’ ini kemudian berdampak negatif setelah kedua ‘aktor’
komunitas ini melanjutkan studinya. Nurhady Sirimorok ke Belanda serta
Hasriady Ari ke Amerika pada awal 2006. 43 Hal ini kemudian membuat roda
organisasi mengalami hambatan. Fleksibitas organisasi kemudian mengarah pada
kesulitan dalam pengambilan keputusan, serta aktor penengah ketika terjadi
konflik internal organisasi.44
Keputusan kedua aktor tersebut melanjutkan studinya yang berdampak
pada dinamika roda organisasi, juga memberikan pengaruh pada perkembangan
komunitas ini. Apalagi saat itu, Komunitas Ininnawa tengah berupaya
membangun kerjasama dengan beberapa lembaga luar, seperti Insist Yogyakarta,
yang mengharuskan pengambilan keputusan dilakukan dengan cepat. Kondisi ini
memberikan pengaruh yang cukup besar bagi komunitas ini dalam mengelola
43
Nurhady Sirimorok merupakan ketua pertama dari Komunitas Ininnawa yang melanjutkan studi
(S2) di Institute Social Studies (ISS) Den Haag, Belanda. Sementara Hasriady Ari adalah Ketua
Komunitas Ininnawa pada periode sekarang (2010-2012), yang saat itu melanjutkan studi (S2) di
Vermont, Amerika Serikat.
44
Karno B. Batiran. 2010. Sejarah Yang Bermula Setiap Hari. Ingatan Pribadi Tentang
Komunitas Ininnawa Yang Sinis, Tak Bisa Puitis. (Dalam satu dekade Komunitas Ininnawa
2000-2010). Juga dalam. Anwar Jimpe Rachman. 2010. Gula Gaul, Kubu Buku. Tinjauan
Sekilas Yang Centil dari-oleh-dan untuk Penerbit, Komunitas, Dan Manusia-Manusia di
Dalamnya. Kedua tulisan disampaikan pada Musyawarah Besar Komunitas Ininnawa tahun
2010 dan memperingati satu dekade Komunitas Ininnawa 2000-2010. Tidak di Publikasikan.
44
organisasinya. Dari kondisi itu pula, komunitas ini mulai menerapkan secara
efektif struktur resmi dalam pengelolaan organisasi.
Perkembangan lain Komunitas Ininnawa juga terjadi setelah pertemuan
dengan beberapa aktivis gerakan sosial dari Insist Yogyakarta, seperti Roem
Topatimasang, Saleh Abdullah, dan Mansour Faqih. Satu nama diantaranya,
Roem Topatimasang, merupakan salah satu fasilitator dalam program penelitian
mahasiswa dan profesional Japan di Indonesia melalui FASID yang dikerjakan
Komunitas Ininnawa. Dari pertemuan dengan sejumlah aktivis gerakan sosial ini,
berpengaruh bagi perkembangan orientasi kerja dari Komunitas Ininnawa. Yaitu,
mulai mengarahkan gerakan sosialnya ke pengorganisasian masyarakat, selain
gerakan peningkatan budaya literasi.
Meskipun secara teoritik, pengorganisasian dan pembangunan sosialmasyarakat, sudah tidak asing bagi aktor komunita ini. Karena pada dasarnya
sudah didapatkan ketika sejumlah anggotanya bekerja sebagai penerjemah dalam
program ‘delivery’ DFID Inggris. Selain itu, sejumlah penelitian yang pernah
dilakukan di sejumlah desa juga telah memberikan pengalaman lapangan serta
akses ke masyarakat. Kerja pengorganisasian masyarakat Komunitas Ininnawa
kemudian dilakukan melalui organisasi anggotanya, Sekolah Rakyat Petani (SRP)
Payo-Payo, yang saat ini bekerja untuk petani di tiga desa dengan isu kedaulatan
pangan serta sumber energi berkelanjutan. Selain melalui SRP Payo-Payo,
pengorganisasian masyarakat, lebih tepatnya pedagang pasar lokal, juga dilakukan
di Makassar melalui Active Society Institute (AcSI), salah satu organisasi anggota
lainnya dalam komunitas ini.
45
C. Active Society Institute (AcSI)
AcSI merupakan salah satu organisasi masyarakat sipil lainnya yang
tergabung dalam federasi Komunitas Ininnawa. Untuk memahami keterlibatan
organisasi ini dalam aktivitas gerakan sosial di Makassar, dengan bekerja pada
program pendampingan pedagang pasar lokal , penulis terlebih dahulu akan
memaparkan latar belakang (sejarah) organisasi ini.
C.1. Active Society Institute (AcSI) periode awal (2004-2006)
Secara resmi, organisasi ini mendapatkan legalitas hukum sebagai salah
satu lembaga swadaya masyarakat yang mendapat pengakuan dari negara pada
tahun 2004. Pada umumnya, pendirinya merupakan alumni program studi ilmu
politik Universitas Hasanuddin yang sebelumnya sudah banyak terlibat dalam
sejumlah kegiatan survei yang diselenggarakan oleh lembaga survei, seperti LSI
(Lembaga Survei Indonesia) dan LP3ES. Selain itu, sejumlah aktornya juga
pernah bekerja di lembaga asing, seperti CARE International Central Sulawesi,
lembaga yang berasal dari Kanada. Penamaan organisasi ini, Active Society
Institute (AcSI), diinspirasi pemikiran Amitai Etzioni, salah satu sosiolog
moderen yang membahas tentang konsep masyarakat aktif, konsep yang merujuk
pada masyarakat yang tidak sekadar menjadi objek dari sistem. Pada awalnya,
organisasi ini bertujuan untuk menghimpun sejumlah orang yang selama ini
bekerja pada lembaga survei yang berbasis di Jakarta.45
45
Ishak Salim, 2011. Setelah memilih untuk “menghidup-hidupkan” AcSI. Disampaikan dalam
Musyawarah Besar Komunitas Ininnawa 2010 dan dalam rangka memperingati satu dekade
Komunitas Ininnawa (2000-2010). Tidak dipublikasikan.
46
Penelitian tentang kebijakan publik pemerintah kota Makassar merupakan
program pertama lembaga ini setelah terbentuk. Kegiatan ini dilakukan dengan
menggunakan
metode
survei
dengan
melibatkan
sejumlah
sukarelawan
(volunteeri) dari kalangan mahasiswa. Selain mengukur keberhasilan kebijakan
publik pemerintah Kota, program ini juga sebagai upaya melepaskan
ketergantungan organisasi kepada lembaga-lembaga donor, seperti banyak terjadi
ketika itu. Dimana sejumlah LSM dianggap lebih cenderung mengerjakan
program lembaga-lembaga donor, daripada mengerjakan program organisasi.
Apalagi, dari sejumlah LSM yang ada di Makassar belum ada yang berkonsentrasi
melakukan evaluasi mendalam terhadap kinerja pemerintah kota Makassar.
Pendanaan program ini sepenuhnya bersumber dari internal organisasi.
Tomy Yulianto sebagai Direktur pertama organisasi ini menjadi penyandang dana
prorgam tersebut. Dana yang bersumber dari pesangon setelah “keluar” dari
CARE Palu setelah menjadi bagian dari konflik kepentingan yang terjadi di
internal organisasi tersebut. Pelaksanaan program evaluasi kebijakan pemerintah
ini dalam beberapa hal cukup berhasil. Apalagi hasil penelitian tersebut
dipublikasikan di sejumlah media lokal, seperti harian fajar dan Makassar TV.
Sehingga lembaga ini kemudian mulai dikenal sebagai salah satu lembaga
penelitian di Makassar. 46 Program selanjutnya adalah pendampingan peningkatan
kapasitas pemerintahan desa di Kabupaten Maros, yang dilaksanakan antara
46
Ishak Salim. Ibid. hlm 3
47
September 2005 hingga Februari 2006. Program ini merupakan kerjasama antara
AcSI dengan pemerintahan desa Kabupaten Maros.47
Setelah dua program diatas, organisasi ini kemudian mengalami
kevakuman. Hal ini terjadi ketika sejumlah anggotanya memilih mencari
lingkungan kerja ditempat lain. Seperti, direktur organisasi yang menerima
tawaran salah satu lembaga internasional yang berbasis di Kalimantan Timur, The
Nature Conservancy (TNC). Selain itu, anggota lainnya juga ada yang memilih
mendaftarkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Mamuju Utara, daerah
yang saat itu baru saja mengalami pemekaran wilayah. Sementara dua anggota
lainnya juga tengah merintis lembaga penelitian baru. Kondisi tersebut kemudian
berdampak buruk bagi organisasi beserta program-programnya.
Kondisi internal organisasi tersebut berusaha diatasi dengan sejumlah cara
oleh pengurus yang masih bertahan. Salah satunya, melakukan restrukturisasi
kepengurusan serta pengembangan jaringan kerja. Seperti menawarkan pemikiran
lembaga mengenai penguatan kapasitas pemerintahan desa dibeberapa kabupaten
di Sulawesi Selatan, seperti kabupaten Luwu, Masamba, Enrekang dan Wajo.
Namun, upaya tersebut tidak memberikan hasil yang maksimal. Sejumlah tawaran
kerjasama tidak mendapatkan respon yang baik karena kurangnya komunikasi
dengan setiap pemerintah daerah. Akhirnya, meskipun pengurus lembaga ini
masih sering bersama-sama, namun pada dasarnya roda organisasi ini sudah tidak
berjalan sama sekali. Kevakuman organisasi ini berlangsung dari tahun 2006
hingga akhir 2007.
47
Ishak Salim. Ibid. hlm 5-6.
48
C.2. Active Society Institute (AcSI); setelah masa kevakuman dan perubahan
wilayah kerja organisasi.
Sejak mengalami masa kevakuman pada tahun 2006 hingga akhir 2007,
organisasi ini kemudian mendapatkan ‘amunisi’ baru saat salah satu anggotanya,
Ishak Salim, bersedia melanjutkan roda organisasi. Dari penuturan Ishak Salim,
keputusan melanjutkan organisasi ini merupakan pekerjaan berat, bahkan bisa
dikatakan organisasi ini dimulai dari awal lagi. Mulai dari pengadaan perkantoran
sampai rekruitmen anggota.48 Secara perlahan, upaya melanjutkan organisasi ini
mulai membuahkan hasil.
Hal ini setelah melakukan kerjasama dengan LP3ES pada pemilihan
kepala daerah di Makassar dan Kabupaten Wajo, serta IRE Yogyakarta untuk
pelakasanaan konsultasi publik Rancangan Undang-Undang Desa, organisasi ini
mampu membiayai penyusunan program serta kebutuhan administrasi organisasi.
Keputusan melanjutkan roda organisasi ini diambil setelah Ishak menyelesaikan
studinya di Institute of Social Studies (ISS) di Den Haag, Belanda dan tidak lagi
terikat kontrak kerja dengan CARE International Central Sulawesi.
Perubahan struktur organisasi dan anggota setelah mengalami masa
kevakuman memiliki pengaruh besar terhada perkembangan organisasi ini,
khususnya dalam hal wilayah kerja. Program-program organisasi, yang awalnya
lebih cenderung pada kegiatan penelitian (survei) serta pelatihan pemerintahan
desa, berkembang ke pendampingan komunitas, seperti pedagang pasar lokal.
48
Ishak Salim. Ibid. hlm 9.
49
Perubahan ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh salah seorang anggotanya, Zainal
Siko, yang kembali bergabung setelah perubahan struktur organisasi. Meskipun
pada periode awal, keterlibatannya sekadar ‘simpatisan’ disetiap program
organisasi, dan belum terjadi diskusi lebih jauh mengenai advokasi pedagang
pasar lokal yang mulai dikerjakan sejak tahun 1997. 49
Keterlibatan Zainal Siko dalam pendampingan pedagang di pasar lokal
bermula ketika sejumlah pedagang Pasar Makassar Mall, lebih dikenal dengan
Pasar Sentral, menemuinya melalui salah satu organisasi kampus. Organisasi
tersebut adalah Forum Isu-Isu Strategis (FOSIS) Universitas Muslim Indonesia.
Kedatangan pedagang saat itu untuk menggalang dukungan mahasiswa terhadap
rencana penertiban lapak pedagang oleh pengelola pasar. Sejak pertemuan dengan
komunitas pedagang itulah, komunikasi dengan pedagang di pasar lokal
berlngsung hingga kini. Kegiatan pendampingan inilah yang kemudian ditawarkan
ke pengurus baru organisasi ini untuk dijadikan program organisasi.50
Tawaran advokasi pedagang di pasar lokal menjadi salah satu program
organisasi, oleh pengurus baru mendapatkan persetujuan. Sejumlah anggota baru
dari organisasi ini, yang sebagian besarnya masih berstatus mahasiswa bersedia
membantu dalam mengerjakan prorgam baru tersebut. Namun pandangan
organisasi ini bahwa kegiatan advokasi harus didukung dengan data memadai,
yang artinya serangkaian penelitian harus dilakukan terlebih dahulu, menjadi
kendala. Hal ini karena masih minimnya kapasitas pengetahuan penelitian dari
49
50
Wawancara dengan Zainal Siko. Senin 16 Mei 2011. Pukul 03.00 wita
Wawancara dengan Zainal Siko. Senin 16 Mei 2011. Pukul 03.00 wita.
50
anggota baru organisasi ini. Maka sebelum mengerjakan kegiatan pendampingan
pedagang di pasar lokal, yang dilakukan terlebih dahulu adalah meningkatkan
kapasitas penelitian melalui pelatihan.
Rencana pelatihan penelitian bagi anggota organisasi inilah yang menjadi
bagian penting ‘pertemuan’ antara organisasi ini dengan Komunitas Ininnawa.
Alasannya, Komunitas Ininnawa dianggap memiliki kapasitas untuk membantu
pelaksanaan pelatihan tersebut.51 Selain itu, kantor Komunitas Ininnawa saat itu
juga dianggap sangat kondusif sebagai tempat pelaksanaan pelatihan. Selain
jaraknya yang berdekatan dengan Universitas Hasanuddin, dimana anggotaanggota organisasi ini berkuliah, juga memiliki ruang yang memadai untuk
kegiatan pelatihan. Kerjasama antar organisasi ini juga didasarkan karena Ishak
Salim sebagai direktur organisasi memiliki hubungan baik dengan salah satu
pendiri Komunitas Ininnawa, Nurhady Sirimorok, saat keduanya masih menjadi
mahasiswa di ISS Belanda.
Selama pelaksanaan pelatihan penelitian ini, pengurus AcSI kemudian
memindahkan aktivitas kantornya dan berada satu tempat dengan Komunitas
Ininnawa. Hal ini untuk memudahkan akses anggota baru dalam mengikuti proses
perkuliahan serta kegiatan akademik lainnya selama mengikuti proses pelatihan.
Namun saat itu, AcSI masih belum menjadi salah satu organisasi anggota
51
Wawancara dengan Ishak Salim. Kamis 12 Mei 2011. Pukul 20.00 wita.
51
Komunitas Ininnawa, dan baru bergabung melalui musyawarah besar Komunitas
Ininnawa yang berlangsung dari Maret hingga April 2010.52
C.3. Struktur Organisasi
Sejak organisasi ini kembali dijalankan dengan menunjuk direktur baru,
AcSI sudah mengalami satu kali pergantian struktur organisasi. Pada periode
pertama, dari tahun 2008-2010, dibawah kepemimpinan Ishak Salim, struktur
organisasi mengalami banyak kendala dalam pelaksanaannya. Salah satunya,
orang-orang yang dipercayakan bertanggung jawab disetiap divisi, tidak
menjalankan fungsinya dan koordinasi secara rutin dengan anggotanya mengenai
program divisinya. Selain itu, dalam menjalankan programnya, struktur organisasi
juga hampir tidak berjalan dengan baik.
Pelaksanaan program organisasi lebih banyak dikerjakan secara ‘beramairamai’, tanpa batasan kerja masing-masing divisi yang sudah direncanakan. Model
kerja organisasi ini juga masih berlangsung pada periode kepemimpinan Zulhajar,
yang menggantikan Ishak Salim di tahun 2010 sebagai direktur. Meskipun
sejumlah upaya mengatasi kebuntuan berjalannya struktur ini dilakukan, termasuk
dengan melakukan rotasi anggota di setiap divisi, tetapi upaya tersebut tidak
berdampak positif terhadap kinerja struktur organisasi.
Untuk mengatasi tidak berfungsinya struktur organisasi secara maksimal
ini, struktur kerja organisasi dibuat semakin ramping dan lebih fleksibel sehingga
52
Hal ini berdasarkan pengalaman penulis setelah bergabung dengan Active Society Institute
(AcSI) sejak pertengahan 2008 hingga kini (2011). Sepanjang tulisan ini, data yang digunakan
juga banyak bersumber dari pengalaman penulis sendiri selama telibat dalam aktivitas dari
lembaga ini, baik di Active Society Institute maupun di Komunitas Ininnawa.
52
memudahkan jalur koordinasi. Dari lima divisi yang terbentuk sejak periode Ishak
Salim, kemudian dipadatkan menjadi tiga divisi yang didasarkan atas pembagian
wilayah kerja, desa dan kota serta publikasi program. Pembagian wilayah kerja ini
untuk mengadapatasi perbedaan terhadap perkembangan minat kajian anggota
organisasi. Dalam hal ini, kecenderungan pada kajian penguatan masyarakat desa
serta peguatan masyarakat perkotaan.
D. Hubungan Kerja Antar Organisasi Anggota Komunitas Ininnawa
Sistem federasi yang digunakan Komunitas Ininnawa dalam menjalankan
roda organisasinya berpengaruh langsung pada hubungan kerjasama antar
organisasi yang berada dalam federasi ini. Dengan sistem ini, setiap organisasi
masyarakat sipil yang tergabung dalam Komunitas Ininnawa memiliki kemudahan
dalam melakukan kerjasama antara satu organisasi dengan yang lainnya.
Meskipun setiap organisasi anggota tetap memiliki otonominya masing-masing,
sebagaimana ciri dalam sistem federasi itu sendiri.
Pola hubungan kerjasama antar organisasi anggota dalam komunitas ini
misalnya bisa dilihat dalam pelaksanaan program Active Society Institute yang
berkaitan dengan pendampingan disejumlah pasar lokal di Makassar. Misalnya,
kerjasama dalam pelaksanaan pelatihan peneletian yang dilakukan oleh AcSI
sebelum melakukan kegiatan pendampingan secara kontinyu di pasar lokal,
khususnya pasar Terong Makassar. Selain kerjasama tersebut, dalam Komunitas
Ininnawa, proses kerjasama antar organisasi anggota juga meliputi bantuan
pendanaan dalam pelaksanaan setiap program dari organisasi anggotanya.
53
Khususnya, pelaksanaan program pendampingan pedagang pasar lokal yang
dilakukan oleh AcSI.
Untuk lebih jelasnya, berikut prinsip kerjasama antar organisasi anggota
dalam Komunitas Ininnawa;
1. Setiap organisasi anggota dalam Komunitas Ininnawa bersifat independen.
2. Statuta Komunitas
Ininnawa menjadi
acuan
tertinggi
dalam setiap
pengambilan keputusan dan pelaksanaan kerja.
3. Seluruh organisasi anggota menjadikan hasil Rencana Strategis (RENSTRA)
sebagai acuan pembuatan program yang mencakup isu internal dan eksternal.
4. Dalam
aktifitasnya,
memperhatikan
pengurus
ketersediaan
Komunitas
sumberdaya
Ininnawa
anggota
untuk
berkewajiban
mengambil
keputusan, seperti: (1) menempatkan anggota/person tertentu (baik dari dalam
Ininnawa maupun dari luar Ininnawa; misalnya INSIST) untuk membantu
pekerjaan organisasi anggota. (2) memberikan bantuan finansial (keuangan)
yang diambil dari kas Komunitas Ininnawa atau dengan meminta organisasi
anggota lainnya untuk berkontribusi dalam menyukseskan setiap kegiatan
organisasi anggota.
5. Dalam mengerjakan pekerjaan ataupun program tertentu, pengurus Komunitas
Ininnawa akan meminta masukan kepada setiap anggota, berupa saran dan
menempatkan anggota/person dari organisasi anggota ke dalam pekerjaan
yang dimaksud berdasarkan kesesuaian mandat setiap organisasi anggota.
Misalnya, AcSI sebagai lembaga riset advokasi, penerbitan Ininnawa Sebagai
lembaga percetakan, SRP Payo-Payo sebagai lembaga pengorganisasian
54
masyarakat desa, serta Biblioholic yang bertanggung jawab dalam urusan
kepenulisan dan kepustakaan.
E. Bentuk-Bentuk Gerakan Sosial Active Society Institute (AcSI)
Perluasan wilayah kerja organisasi ini dari ‘masa awal’ yang lebih
cenderung fokus pada penguatan pemerintahan desa dan kebijakan publik, dengan
melakukan pendampingan masyarakat ataupun komunitas terjadi setelah masa
kevakuman organisasi. 53 Perubahan ini tidak terlepas dari keputusan organisasi
ini menjadikan advokasi pedagang pasar lokal sebagai salah satu programnya
serta pengaruh dari pemikiran tentang pentingnya memadukan antara gerakan
pewacanaan dan praktik. Atau dengan kata lain, secara aktiv melakukan
pemberdayaan ataupun penguatan ditingkat masyarakat yang dianggap bagian dari
ketimpangan relasi kuasa yang terjadi setiap hari.54
Upaya program pendampingan pedagang pasar lokal ini pertama kali
dilakukan dengan merancang pembuatan Vidoe Komunitas sebagai alternatif
kampanye pasar lokal. Namun dalam perkembangannya, rencana pembuatan
video komunitas tersebut yang dikerjakan melalui kerjasama dengan sejumlah
anggota Komunitas Ininnawa tidak dilanjutkan karena sejumlah kendala. Seperti
kesibukan pedagang yang rencananya akan dilibatkan dalam program tersebut
serta masih minimnya data yang dimiliki mengenai pasar lokal itu sendiri. Belajar
dari hal tersebut, organisasi ini melanjutkan rencana pelatihan penelitian terhadap
“Masa Awal” merujuk pada periode 2004-2006, dimana Active Society Institute pertama kali di
bentuk dan bekerja sebelum mengalami kevakuman organisasi pada tahun 2006 hingga 2007.
54
Wawancara dengan Ishak Salim. Kamis 12 Mei 2011. Pukul 20.00 wita.
53
55
anggotanya untuk mendukung rencana penelitian sebelum menyusun sejumlah
program pendampingan pedagang dipasar lokal.
Pemilihan Pasar Terong menjadi lokasi program pendampingan pedagang,
karena selain pasar induk yang mengalami sejumlah permasalahan, hubungan baik
pedagang dengan salah satu anggota organisasi ini, Zainal Siko, juga menjadi
alasannya. Dari hasil penelitian itulah, serangkaian kegiatan untuk menyuarakan
kepentingan pedagang pasar lokal, baik terhadap pemerintah atau pengembang
pasar dilakukan. Sejumlah kegiatan tersebut diantaranya, penguatan pedagang
melalui organisasi, Assisambung Kana, memfasilitasi bantuan hukum bagi
pedagang, serta menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang
diserahkan ke Dewan Kota Makassar. Untuk lebih memahami program organisasi
ini, berikut akan dijelaskan dengan lebih rinci.
E.1. Program penguatan pedagang pasar lokal
Salah satu dampak dari sistem politik otoritarian orde baru adalah
depolitisasi terhadap organisasi-organisasi akar rumput, seperti organisasi petani,
sehingga tidak berdaya ketika berhadapan dengan kekuasaan ataupun kepentingan
pemilik modal. 55 Oleh organisasi ini, AcSI, ketidakberdayaan akar rumput
(masyarakat) dalam menghadapi kekuasaan juga terjadi di pasar lokal. Pedagang
pasar lokal, baik secara individu ataupun organisasi, kerapkali tidak berdaya
berhadapan dengan kepentingan pemerintah dan juga pemilik modal. Misalnya
menentukan model bangunan pasar atau negosiasi harga lokasi berjualan dengan
55
Francis Wahono. 2000. Menuju Penguatan Hak-Hak Petani Melalui Gerakan Petani Organik;
Demi Kemakmuran dan Kelangsungan Hidup Rakyat. Dalam, Gelombang Perlawanan Rakyat.
Kasus-Kasus Gerakan Sosial di Indonesia. Hlm.202-203. Insist Press. Yogyakarta.
56
pengembang pasar. Selain itu, organisasi formal pedagang seperti APPSI
(Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), dianggap lebih cenderung menjadi
simbol dari pada berfungsi mengakomodasi kepentingan pedagang.
Di Makassar, pengelolaan pasar yang berada dibawah pemerintah Kota
Makassar melalui Perusahaan Daerah (PD) Pasar Makassar Raya. Namun dalam
pelaksanaannya, pemerintah mengikutserkatan pengusaha besar dalam mengelola
pasar lokal. Hal ini terjadi di pasar Terong, Pasar Butung, dan Pusat Niaga Daya
Makassar. Pengelolaan pasar lokal yang melibatkan pengembang (developer),
kemudian berdampak pada perubahan model berdagang, dari hamparan berganti
bangunan bertingkat, serta naiknya harga sewa tempat berjualan (lods dan kios).
Dalam hal ini, pengelolaan pasar lokal sudah berorientasi profit (keuntungan)
daripada pelayanan kepada pedagang, khususnya bagi pedagang kecil.56
Dalam kasus seperti diatas, lemahnya posisi pedagang dihadapan kedua
aktor tersebut, pemerintah serta pengusaha, menyebabkan pengambilan keputusan
dalam pengelolaan pasar lokal seperti pembangunan gedung pasar, tidak
melibatkan pedagang ataupun tidak menguntungkan kepentingan pedagang. Oleh
karena itu, salah satu upaya yang dilakukan oleh organisasi ini adalah melakukan
56
Dalam naskah akademik untuk Rancangan peraturan daerah yang disusun oleh tim dari Active
Society Institute (AcSI); kebijakan pemerintah kota Makassar yang lebih mengutamakan
pertumbuhan pasar-pasar moderen juga berdampak pada pengelolaan pasar lokal. Pihak
pengembang kemudian diikutkan dalam pembangunan sejumlah pasar lokal dengan menyerupai
pasar moderen sehingga berdampak pada pola berdagang dipasar lokal. Selain itu
ketidakmampuan pedagang dalam menyewa tempat berjualan mengakibatkan para pedagang
meluber ke jalan-jalan utama pasar. Dinas yang dibentuk oleh pemerintah juga tidak berjalan
dengan baik sehingga tetap mengalami kesemarawutan yang menjadi alasan utama bagi
pemrintah setiap kali melakukan penertiban pedagang.
57
transformasi sosial (pengetahuan, informasi dan lainnya) sebagai upaya penguatan
terhadap pedagang.
Penguatan pedagang tersebut dilakukan dengan menciptakan ruang bagi
pedagang untuk menyatukan kepentingan mereka. Ruang tersebut diwujudkan
dalam suatu organisasi, yang dibentuk dan dijalankan sendiri oleh pedagang. Dari
upaya tersebut, sejumlah organisasi pedagang kemudian terbentuk diantaranya,
Asosiasi Pedagang Kaki-5 (ASPEK-5) Makassar Mall, Persaudaraan Pedagang
Pasar Terong (SADAR), serta Persaudaraan Pedagang Pasar Pannampu
(SARAN). Dua organisasi awal, ASPEK-5 Makassar Mall dan SADAR,
pembentukannya dilakukan sebelum Zainal Siko bergabung sebagai salah satu
anggota AcSI.57
Melalui organisasi inilah, khususnya dua organisasi terakhir, SADAR dan
SARAN, pedagang pasar lokal menghimpun diri dan membicarakan permasalahan
yang mereka hadapi selama berdagang di pasar. Sekaligus mencari kemungkinan
solusi dari permasalahan yang mereka alami. Selain itu, dengan menyatukan
pedagang dalam satu organisasi, posisi pedagang di pasar lokal ketika
‘berhadapan’ dengan pengelola pasar, pemerintah atau pihak pengembang, akan
lebih memiliki daya tawar yang lebih kuat.
Selain menyatukan pedagang dalam satu organisasi yang dibentuk sendiri
oleh pedagang, upaya penguatan pedagang juga dilakukan melalui beberapa cara.
Diantaranya, menginisiasi serangkaian pertemuan untuk membicarakan beberapa
57
Wawancara Zainal Siko. Senin, 16 Mei 2011. Pukul. 16.00 wita.
58
kegiatan, seperti merencanakan tindakan pelaporan kepada pihak kepolisian
mengenai kebijakan pengembang yang menggunakan jasa preman untuk rencana
penertiban lapak pedagang didepan bangunan utama pasar Terong, atau
merencankan pelaksanaan pertemuan pedagang dengan pengelola pasar. Pada
pertemuan ini, pengerjaannya dilakukan oleh pengurus organisasi pedagang,
sehingga membiasakan pedagang dalam mengelola dan mengambil keputusan
secara organisasi.58
Sementara untuk mendukung informasi pedagang dalam penelitian
tersebut, hasil dari penelitian yang dilakukan juga dipersentasikan oleh anggota
AcSI. Hal ini untuk melihat lebih sistematis permasalahan dipasar lokal, yang
kemungkinan luput dari pengamatan pedagang, karena kurangnya waktu luang
serta informasi tentang perkembangan pasar lokal itu sendiri. Selain itu, kegiatan
pendampingan terhadap organisasi pedagang, juga dilakukan dengan terlibat
secara aktiv dalam sejumlah pertemuan dengan pihak lain, seperti pemerintah,
pengelola pasar, pengembang pasar (developer), dan pihak keamanan.
E.2. Me-mediasi kepentingan pedagang
Salah satu pemikiran yang berkembang dalam internal organisasi ini,
AcSI, upaya perubahan sosial salah satunya bisa dilakukan dengan menjadikan
organisasi sebagai mediator bagi pihak dengan kepentingan berbeda. Pemikiran
58
Pada awalnya kebiasan organisasi pedagang, SADAR, dalam mengambil keputusan sedikitbanyak bergantung pada Zainal Siko sebagai pendamping pedagang sejak tahun 2003 hingga
kini. Namun sejak AcSI melibatkan diri dalam pendampingan pedagang tersebut, kebiasaan ini
perlahan berubah dengan membiasakan pedagang mengambil keputusan melalui rapat organisasi
dengan mengupayakan menghadirkan seluruh pengurus serta anggota organisasi pedagang.
Kegiatan pertemuan pedagang seperti ini mulai intens dilakukan sejak tahun 2008, dimana AcSI
melibatkan diri sebagai organisasi pendamping bagi pedagang di pasar Terong.
59
ini kemudian ‘mewarnai’ kegiatan pendampingan pedagang pasar lokal yang
dilakukan oleh organisasi ini. Dimana organisasi ini memposisikan diri dalam
memediasi kepentingan pedagang terhadap pemerintah serta pengembang pasar.
Dan pada pelaksanaannya, keberpihakan organisasi ini lebih cenderung memihak
kepentingan pedagang yang selama ini dianggap menjadi ‘objek’ dari kebijakan
sistem pembangunan ekonomi yang berbasis pertumbuhan ekonomi (economic
growth) melalui pembangunan sejumlah pasar-pasar modern.59
Pemikiran tentang konsep mediator ini kemudian diwujudkan dalam
struktur organisasi dengan membentuk satu divisi khusus, yaitu divisi mediasi.
Divisi inilah yang bekerja untuk memfasilitasi kepentingan pedagang pasar lokal
di Makassar melalui serangkaian program, seperti mempertemukan pedagang
dengan pengelola pasar dalam satu pertemuan khusus untuk membicarakan
permasalahan pasar lokal. Selaub itu, pendampingan hukum bagi pedagang, serta
menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) pasar lokal yang diusulkan ke
Dewan Kota Makassar. Terakhir adalah secara aktif melakukan kampanye pasar
lokal sebagai upaya melawan pencitraan buruk yang melekat pada pasar lokal.
E.2.1. Assisambung Kana
Assisambung Kana (Makassar; Menyambung Kata) adalah salah satu
program AcSI dalam mempertemukan sejumlah pihak dalam satu pertemuan
untuk membicarakan permasalahan yang terjadi di pasar lokal. Hal ini dilakukan
59
Dalam Laporan Penelitian “studi etnografi dan observasi pasar-pasar lokal di tengah
pertumbuhan pusat perbelanjaan dan toko mederen di kota makassar”. naskah akademik
rancangan peraturan daerah tentang perlindungan, pemberdayaan pasar lokal dan penataan pusat
perbelanjaan dan toko modern. Hlm 5-7.
60
sebagai upaya memcahkan salah satu kendala dalam pengelolaan pasar lokal
selama ini, yakni kurangnya komunikasi antara pengelola dengan pedagang dalam
pengambilan keputusan tentang pengelolaan pasar. Tidak berjalannya komunikasi
tersebut kemudian berujung pada tidak sejalannya kepentingan antara pedagang
serta pengelola pasar sehingga kerap menimbulkan konflik, baik fisik ataupun
nonfisik.
Program yang berupa pertemuan ini sudah dilaksanakan sebanyak tiga kali
sejak AcSI melakukan pendampingan pedagang pasar lokal tahun 2008.60 Selain
sebagai ruang komunikasi antar pelaku pasar lokal, dalam kegiatan ini juga
melibatkan sejumlah pihak, seperti aktivis LSM atau akademisi yang memiliki
perhatian besar terhadap permasalahan sosial-kemasyarakatan. Pelibatan sejumlah
pihak dalam kegiatan ini untuk melihat penjelasan dari berbagai sudut pandang
mengenai permasalahan di pasar lokal selama ini. Sehingga permasalahan seharihari yang dihadapi pedagang bisa mendapatkan alternatif penanganannya, baik
yang bisa dilakukan sendiri oleh pedagang ataupun pemerintah, dalam hal ini PD
Pasar Makasssar Raya Makassar.
Selain mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi pedagang di
pasar, kegiatan yang pengerjaan dan pendanaannya oleh AcSI dan organisasi
pedagang, juga sebagai alternatif dalam menyampaikan kepentingan pedagang
yang selama ini kerap dilakukan melalui aksi unjuk rasa.
60
Dalam laporan kegiatan AcSI 2008-2009 dan laporan Assisambung Kana III; pelaksanaan
Assisambung Kana I dilaksanakan di pada tanggal 29 Desember 2008. Assisambung Kana II
berlangsung awal Januari 2009 dengan mengikutsertakan Harian Tribun Timur sebagai
pelaksana, dan Assisambung Kana III di laksanakan pada 13 Januari 2010.
61
E.2.2. Pendampingan hukum bagi pedagang
Selain kegiatan Assisambung Kana, bentuk lain yang dilakukan oleh
organisasi ini dalam kegiatan pendampingan pasar lokal adalah memfasilitasi
pedagang yang mengalami permasalahan hukum. Seperti pada kasus salah
seorang pedagang di pasar Terong yang juga sebagai Kepala Sektor (setingkat
divisi) dalam organisasi pedagang, Nursiah Daeng Nur. Pedagang yang sehariharinya berjualan sandal tersebut, sekitar oktober 2009, mengalami penganiayaan
yang dilakukan oleh supir sekaligus petugas keamanan pribadi dari pemilik PT.
Makassar Putra Perkasa, perusahaan yang menjadi pengembang Pasar Terong.
Peristiwa penganiayaan tersebut merupakan bagian dari konflik antara
pedagang dengan pihak pengembang yang berencana merenovasi bangunan pasar
namun mendapatkan perlawanan oleh pedagang karena tidak ada komunikasi
yang terbangun antara pengembang dan pedagang. Oleh organisasi pedagang dan
AcSI, penganiyaan yang dialami oleh pedagang tersebut merupakan tindakan
yang tidak wajar sehingga kasus penganiayaan itu dibawa kejalur hukum. Hal
yang selama ini belum lazim dilakukan oleh kalangan pedagang ketika terjadi
konflik antara pedagang dengan pihak pengembang.
Kasus penganiayaan tersebut juga diadukan ke Dewan Kota melalui aksi
unjuk-rasa untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah serta pihak kepolisian.
Selain aksi unjuk rasa, pemberitaan melalui media massa juga ditempuh untuk
mendapatkan dukungan publik. Salah satunya dengan mengikutkan korban dalam
salah satu acara live di Delta FM, salah satu stasiun radio berjaringan nasional.
62
Organisasi ini juga memfasilitasi pedagang dengan salah satu Lembaga Bantuan
Hukum yang memfokuskan wilayah kerjanya pada kasus hukum yang menimpa
perempuan di Makassar. Dari serangkain langkah tersebut, pihak pengembang
serta pelaku penganiayaan kemudian menawarkan jalur damai dan bersedia
memberikan kompensasi kepada pedagang yang menjadi korban.61
E.2.3 Kampanye pasar lokal
Salah satu permasalahan akibat dari ketidakjelasan sistem tata-kelola pasar
lokal adalah terjadinya kesemrawutan penataan pasar. Berbagai masalah tersebut
misalnya penumpukan sampah atau tempat berjualan pedagang tidak tertata rapih
sehingga pasar lokal dianggap menganggu keindahan kota. Kondisi inilah yang
kerap menjadi alasan pemerintah untuk melakukan penertiban demi kepentingan
tata kota. Oleh organisasi ini, kondisi tersebut dianggap sebagai dampak dari
sistem tata-kelola pasar oleh pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik
yang maksimal kepada masyarakat, khususnya bagi pedagang.62
Menanggapi kondisi ini, dengan dukungan data dari serangkaian penelitian
yang telah dilakukan, hal tersebut berusaha dilawan dengan sejumlah upaya. Salah
satunya, menyebarkan dan menyediakan informasi alternatif kepada masyarakat
dengan memanfaatkan media alternatif di dunia maya, baik melalui situs jaringan
sosial atau berbasis website. Selain itu, organisasi ini secara aktif mewacanakan
61
62
Wawancara Zainal Siko. Senin, 16 Mei 2011. Pukul. 16.00 wita.
Laporan Penelitian “studi etnografi dan observasi pasar-pasar lokal di tengah pertumbuhan pusat
perbelanjaan dan toko mederen di kota makassar”. Naskah Akademik rancangan peraturan
daerah tentang perlindungan, pemberdayaan pasar lokal dan penataan pusat perbelanjaan dan
toko modern.
63
pasar lokal melalui sejumlah forum yang diikuti oleh setiap anggotanya. 63
Langkah-langkah tersebut untuk menyediakan informasi alternatif mengenai
kondisi yang terjadi di pasar lokal, sekaligus menggalang dukungan akan
pentingnya mempertahankan keberadaan pasar lokal yang sudah menjadi sektor
perekonomian masyarakat, khususnya menengah ke bawah.
E.2.4 Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) pasar lokal
Terbitnya aturan hukum yang mengatur penataan dan pembinaan pasar
tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern, melalui Peraturan Presiden
No.112 Tahun 2007, menjadi bagian penting dalam pengelolaan pasar lokal dan
juga kegiatan pendampingan pedagang dari organisasi ini. Dari aturan tersebut,
pemerintah daerah, termasuk pemerintah Kota Makassar, diwajibkan segera
menyusun peraturan daerah sebagai tindak-lanjut dari aturan tersebut. Momentum
ini, oleh AcSI dan organisasi pedagang pasar, dianggap sebagai peluang untuk
melindungi kepentingan pedagang pasar lokal secara legal (hukum).
Peluang tersebut kemudian diupayakan dengan menyusun rancangan
peraturan daerah (Ranperda) yang bisa mengakomodasi kepentingan pedagang
untuk diajukan ke legislatif Makassar. Pengerjaan rancangan undang-undang ini
dilakukan oleh satu tim dari internal AcSI. Dimana dalam proses penyusunannya,
data penelitian serta diskusi rutin dengan pedagang menjadi rujukannya. Selain
63
Di dunia maya, salah satu media kampanye yang dilakukan adalah dengan secara rutin mengupload berbagai tulisan pada salah satu blog khusus, www.desaku.blogdetik.com dengan nama
blog Baca-Baca Kampong serta Balla Pasara. Selain itu, anggota organisasi juga aktif menulis
pada beberapa media lain seperti www.panyingkul.com atau harian surat kabar. Media
penyampaian lainnya adalah melalui buku yang sampai penelitian ini dilakukan masih dalam
tahap penyusunan.
64
penyusunan draft rancangan peraturan daerah, naskah akademik yang berupa hasil
penelitian tentang pasar lokal juga dilakukan. Penyusunan rancangan peraturan
daerah ini berlangsung dari pertengahan Juni sampai minggu pertama Juli 2009.64
Draft peraturan tentang penataan pasar lokal dan pasar moderen tersebut
kemudian diserahkan ke legislatif Makassar dengan arak-arakan yang melibatkan
tiga organisasi pedagang pasar lokal, SADAR, SARAN, dan ASPEK-5 Makassar
Mall, serta sejumlah pedagang dari pasar lokal lainnya. Penyerahan rancangan
undang-undang tersebut dilakukan dengan mengadakan jalan-bersama dari Pasar
Terong ke kantor dewan Makassar. Selain pedagang, kegiatan penyerahan ini juga
melibatkan pertunjukan tradisional, pa’raga dan penari api, sebagai bagian dari
kampanye pasar lokal.65
Secara substansi, poin-poin untuk mengakomodasi kepentingan pedagang
dalam rancangan peraturan daerah yang mereka susun, tidak merubah rancangan
yang diajukan oleh pemerintah kota. Seperti, pelarangan perbelanjaan modern
menyediakan kebutuhan pokok (sembakau) dalam bentuk eceran, peningkatan
pengawasan harga, serta pembatasan jarak antara bangunan perbelanjaan modern
dan pasar lokal. Akan tetapi disisi lain, kegitan ini memberikan dampak positif
bagi organisasi pedagang itu sendiri. Salah satunya, pedagang secara perlahan
mulai dilibatkan dari pengelola pasar dalam mengambil kebijakan mengenai
pengelolaan pasar, khususnya di pasar Terong.
64
65
Laporan kegiatan AcSI 2009.
Pa’raga, bahasa Makassar, sebutan bagi orang yang memiliki kelihaian dalam memainkan bola
takrow. Sementara penari api adalah sekelompok orang yang melakukan tarian sambil
memainkan api pada seluruh badannya, yang diiringi dengan alat musik tradisional seperti
gendang. Kedua tradisi kental dengan dunia magis dan sudah ada sejak abad ke-17. Di Makassar
kedua hal ini seringkali dijadikan sebagai salah satu pertunjukan budaya diberbagai acara resmi.
65
F. Analisis Gerakan Sosial Komunitas Ininnawa
Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam sejumlah gerakan
sosial di Indonesia memiliki catatan panjang. Keterlibatan OMS dalam gerakan
sosial salah satunya bisa terlihat pada upaya perlawanan terhadap kebijakan
pemerintah Orde Baru yang menghentikan izin penerbitan Tempo, salah satu
media cetak yang sering menyoroti kasus korupsi pemerintahan orde baru. Dalam
kasus yang terjadi pada tahun 1994 ini, sejumlah OMS seperti Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Informasi Jaringan Reformasi
(PIJAR), serta Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), berupaya
melawan kebijakan pemerintah saat itu.66 Di Indonesia, peristiwa ini merupakan
salah satu peristiwa penting dalam gerakan pro-demokrasi.
Organisasi masyarakat sipil kemudian semakin mendapatkan ruang ketika
pemerintahan orde baru lengser pada tahun 1998. Orientasi kerja dari OMS juga
tidak hanya terpaku pada pemenuhan kebutuhan praktis, tetapi juga merambah ke
masalah lain, seperti masalah lingkungan, hak azasi manusia, dan masalah yang
berkaitan dengan penindasan lainnya seperti kesetaraan gender, kebebasan
berserikat dan lainnya.
67
Sejumlah aktivis OMS dalam periode ini juga
menjadikan politik sebagai wilayah bermain yang utama, dan mengalami
metamorfosis dari gerakan politik dalam konteks “sosio-kultural” menjadi
66
Lihat Arif Budiman & Olle Tornquist. Aktor Demokrasi. Catatan Tentang Gerakan Perlawanan
Di Indonesia. Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Bab 4. Kasus Pembredelan Tempo. Hlm 129.
67
Lihat Mansour Fakih. 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Hlm. 4-5.
66
gerakan politik dalam konteks yang lebih tajam; “pemberdayaan masyarakat vis a
vis negara”.68
Pengaruh perubahan politik nasional yang kian memberikan ruang
terhadap OMS dalam beraktivitas juga terjadi di daerah. Sejumlah OMS
bermunculan dengan berbagai landasan ideologinya, baik yang bersikap kritis
terhadap kekuasaan ataupun yang bersikap “patuh” terhadap kekuasaan. Hal ini
setidaknya mengacu pada kajian yang dikembangkan oleh salah satu teoritisi dan
praktisi OMS, Mansour Fakih. Dalam penelitiannya, Fakih menyebutkan
setidaknya ada tiga tipologi yang berkaitan dengan ideologi dari suatu OMS
dalam beraktivitas, yaitu konformis, reformis dan transformatif. 69
Dalam penelitian ini, dimana program penguatan pedagang pasar lokal
yang dikerjakan oleh salah satu organisasi anggota Komunitas Ininnawa, Active
Society Institute, OMS yang lahir setelah pemerintahan orde berakhir menemukan
sejumlah hal. Pertama, aktor-aktor dari organisasi ini pada umumnya merupakan
kaum terpelajar yang memilih untuk bekerja dalam pemberdayaan masyarakat.70
Kedua, tujuan utama aktivitas organisasi ini ialah mengupayakan perubahan tatakelola pasar lokal, salah satu sektor ekonomi masyarakat di Makassar, yang lebih
memihak kepentingan pedagang pasar lokal. Tujuan dari gerakan yang dilakukan
68
Lihat Eep Saefulloh Fatah.1998. Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru. Pustaka Pelajar.
Jakarta. Hlm 5-6.
69
Lihat Bab II, Kerangka Konseptual, Bagian A. Civil Society dan Organisasi Masyarakat Sipil.
Hlm. 16-17
70
Misalnya, pada posisi ketua dan wakil ketua dari Komunitas Ininnawa, merupakan alumni salah
satu universitas di Amerika Serikat dan Belanda yang saat ini tidak terikat dalam satu lembaga
yang berorientasi keuntungan dan bekerja untuk komunitas ini dalam melakukan aktivitas
gerakan sosial.
67
oleh organisasi ini juga menyentuh ranah kebijakan pemerintah tentang tata kelola
ruang kota.
Dalam kajian gerakan sosial baru (GSB), setidaknya terdapat dua
perbedaan mencolok dengan kajian gerakan sosial lama. Pertama, ekonomi tidak
menjadi faktor determinis aktor gerakan sosial dalam melakukan aktivitas gerakan
sosial. Kedua, aktor gerakan tidak bertumpu pada kelas pekerja (working class)
sebagaimana pandangan marxisme ortodoks tentang aktor perubahan sosial. Akan
tetapi, aktor gerakan sosial bisa saja berasal dari kelas yang tidak bersentuhan
langung dengan proses produksi pada masyarakat industri.71 Hal ini juga terlihat
pada aktivitas gerakan sosial Komunitas Ininnawa, dimana para aktornya berada
di luar struktur kelas sebagaimana pembagian kelas masyarakat indutsri, yakni
pemilik modal dan pekerja.
Secara umum, aktivitas gerakan sosial memang tidak sepenuhnya
mengarah pada aktivitas politik. Misalnya kegiatan kemanusiaan yang dilakukan
oleh sejumlah orang dalam membantu korban bencana alam. Akan tetapi, aktivitas
gerakan sosial bisa menjadi gerakan politik ketika aktivas tersebut sudah
menyentuh ranah kekuasaan. Seperti yang terlihat dalam gerakan advokasi
pedagang pasar lokal oleh Komunitas Ininnawa melalui organisasi anggotanya,
Active Society Institute (AcSI). Dalam kegiatan tersebut, aktivitas sosialnya sudah
tidak lagi sekedar aksi simpatik, melainkan sudah memasuki ranah kekuasaan
71
Canel, Eduardo. 1997. New Social Movement Theory and Resource Mobilization Theory: The
Need for Integration.
Dalam Community Power And Grassroots Democracy; The
Transformation Of Social Life. Editor Michael Kaufman and Haroldo Dilla Alfonso. Zed Books.
London And New Jersey. Hlm.192-193.
68
melalui serangkaian upaya perubahan relasi-kuasa yang terjadi di sejumlah pasar
lokal di Makassar.
Upaya perubahan relasi-kuasa ini misalnya bisa terlihat dalam program
pembuatan rancangan peraturan daerah (ranperda) yang diajukan ke legislatif
Makassar dalam menangani pengelolaan pasar lokal dan pasar moderen. Dalam
draft ranperda tersebut, komunitas ini berusaha memberikan perlindungan bagi
keberadaan pasar lokal. Diantaranya, menetapkan zonasi (penentuan-jarak) yang
ketat antara pasar modern dan pasar lokal, meningkatkan pengawasan harga. Serta
pemenuhan pelayanan publik yang maksimal terhadap pedagang di pasar lokal,
seperti perbaikan saluran air dan pengelolaan sampah.72
Selain penjelasan diatas, upaya perubahan relasi-kuasa dipasar lokal juga
dilakukan dengan sejumlah program lainnya, seperti upaya penguatan pedagang
dengan menciptakan ruang sendiri dalam mengartikulasikan kepentingan
pedagang
melalui
organisasi
independen.
Menciptakan
forum
untuk
mempertemukan kepentingan antar pelaku pasar lokal (lihat bagian Assiambung
Kana), melakukan pendampingan bagi pedagang yang mengalamiu permasalah
hukum, serta gerakan kampanye pasar lokal. Dari sejumlah program ini,
mengarah pada pengurangan dominasi pemegang kekuasaan, baik kekuasaan
formal ataupun kekuasaan pemilik modal.
72
Hal ini berdasarkan Draft Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Lokal Dan Penataan Pusat Perbelanjaan Dan Toko Moderen, yang
dikerjakan tim dari Active Society Institute (AcSI) dan diajukan ke Legislatif Makassar.
69
Dalam kajian gerakan sosial, khususnya gerakan sosial baru, orientasi
gerakan tidak sepenuhnya mengarah pada revolusi sistem (pergantian rezim)
seperti dalam kajian gerakan sosial lama. Akan tetapi, upaya perubahan sosial
mengikuti permasalahan sosial yang menjadi perhatian aktor gerakan sosial itu
sendiri. Hal ini misalnya terlihat dalam aktivitas pendampingan padagang yang
dilakukan oleh organisasi ini, dimana perubahan yang diupayakan lebih
cenderung pada perbaikan tata-kelola pasar lokal yang mengakomodasi
kepentingan pedagang. Dengan kata lain, sistem tata-kelola pasar lokal yang tidak
meminggirkan kepentingan pedagang, khususnya bagi pedagang kecil.
Dari sejumlah program organisasi ini, seperti upaya penguatan pedagang
menghadapi kekuasaan dari pengelola pasar serta penyusunan ranperda sebagai
alternatif legislatif Makassar, aktivitas gerakan sosial organisasi ini lebih
cenderung mengarah pada gerakan transformatif, sebagaimana tipologi yang
dijelaskan oleh Mansour Fakih tentang ideologi organisasi masyarakat sipil di
Indonesia. Dalam ideologi transformatif ini, permasalahan sosial seperti yang
terjadi di pasar lokal, bukan hanya karena rendahnya partisipasi pedagang dalam
pengelolaan pasar lokal, tetapi juga dampak dari penerapan sistem pembangunan
diterapkan. Sistem ekonomi kota yang cenderung mengutamakan perekonomian
modern melalui pembangunan sejumlah pasar-pasar moderen, seperti Mall,
Hypermart dan Minimarket di Makassar yang kian marak.73
Laporan Penelitian “studi etnografi dan observasi pasar-pasar lokal di tengah pertumbuhan pusat
perbelanjaan dan toko mederen di kota makassar”. Naskah Akademik rancangan peraturan daerah
tentang perlindungan, pemberdayaan pasar lokal dan penataan pusat perbelanjaan dan toko
modern. Dalam laporan ini, dijelaskan mengenai pembangunan kota Makassar yang lebih
73
70
Dalam tipologi transformatif ini, gerakan sosial dari suatu organisasi lebih
cenderung mengarah pada penguatan masyarakat (pedagang) dalam mengahadapi
praktik kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Baik kekuasaan negara, atau
pemerintah kota Makassar, pengusaha pengembang pasar serta pihak lain yang
mengambil keuntungan dari pengelolaan pasar, seperti kelompok masyarakat
(preman), serta pihak keamanan. Dalam pelaksanaan kekuasaan dari sejumlah
pihak tersebut kerap menimbulkan konflik kepentingan, dan pada umumnya
berujung pada kerugian pedagang, khususnya pedagang kecil. Dalam kondisi
inilah, organisasi ini memainkan salah satu peran dari organisasi masyarakat sipil,
yakni melakukan penguatan atau pemberdayaan terhadap masyarakat yang
mengalami kerugian dari penerapan suatu sistem.
mementingkan sistem pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak buruk bagi perekonomian
‘informal’ yang memiliki modal kecil. Kesenjangan tersebut salah satunya bisa terlihat dalam
lemahnya pengawasan terhadap pasar-pasar moderen untuk kepentingan pelaku pasar lokal, salah
satu sektor yang banyak diisi oleh masyarakat Makassar, khususnya kelas menengah kebawah.
71
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, beberapa kesimpulan dapat ditarik sebagaimana yang
dijelaskan pada bagian pembahasan;
1. Terdapat sejumlah peran dari Komunitas Ininnawa dalam upayanya
melakukan penguatan pedagang pasar lokal di Makassar, melalui salah satu
organisasi anggotanya, Active Society Institute (AcSI). Bentuk-bentuk
gerakan tersebut adalah;
Pertama, penguatan pedagang pasar lokal sebagai upaya meningkatkan posisi
tawar pedagang terhadap pemerintah dan pengembang pasar lokal. Hal
dilakukan karena, organisasi ini menganggap lemahnya posisi pedagang
dihadapan kedua aktor tersebut, sehingga menyebabkan pengambilan
keputusan dalam pengelolaan pasar lokal seperti pembangunan gedung pasar,
dan penatapan harga sewa tempat berjualan, seringkali tidak memihak kepada
kepentingan pedagang.
Upaya penguatan pedagang ini dilakukan melalui proses transformasi sosial
(pengetahuan, informasi dan lainnya). Upaya transformasi tersebut dijalankan
melalui organisasi yang dibentuk dan dijalankan sendiri oleh para pedagang.
Organisasi tersebut adalah Persaudaraan Pedagang Pasar Pannampu (SARAN)
di pasar Pannampu, Asosiasi Pedagang Kaki-5 (ASPEK-5) Makassar Mall,
72
serta Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR) di pasar Terong.
Bentuk-bentuk transformasi tersebut dilakukan melalui serangkain pertemuan
antar pedagang untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi oleh
pedagang sekaligus mencari alternatif pemecahan masalahnya. Serta
pertemuan-pertemuan antar individu anggota AcSI dengan pedagang di pasar
lokal.
Kedua, selain gerakan penguatan pedagang, organisasi ini juga menjadi
mediator untuk menyampaikan kepentingan pedagang terhadap pemerintah
serta pengembang pasar. Bentuk mediasi ini dilakukan melalui sejumlah cara,
seperti;
a. Assisambung Kana (Makassar; Menyambung Kata) suatu program yang
digagas untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkepentingan di pasar
lokal, khususnya pemerintah, pengembang, serta pedagang itu sendiri. Hal
ini dilakukan untuk membuka jalur komunikasi antar aktor pasar lokal
yang selama ini dianggap tidak berjalan dengan baik. Dalam kegiatan ini,
juga dihadirkan pihak lain seperti aktivis LSM, akademisi, peneliti, serta
mahasiswa. Hal ini untuk melihat dari berbagai sudut pandang mengenai
permasalahan yang terjadi di pasar lokal. Kegiatan ini sudah dilakukan
sebanyak tiga kali sejak AcSI bekerja sebagai pendamping bagi pedagang
di pasar lokal.
b. Advokasi hukum bagi pedagang. Bentuk lain yang dilakukan oleh
Komunitas Ininnawa melalui organisasi anggotanya, AcSI, dalam kegiatan
pendampingan pedagang pasar lokal adalah memfasilitasi pedagang yang
73
memiliki permasalahan hukum. Seperti pada kasus penganiayaan yang
dialami seorang pedagang di pasar Terong, Nursiah Daeng Nur, yang
dilakukan oleh salah satu pengawal pribadi dari pengusaha pengembang
pasar Terong.
Dalam kasus tersebut, organisasi ini secara aktif memfasilitasi pedagang
dalam menyelesaikan kasus tersebut. Hal itu dilakukan dengan
memfasilitasi pedagang pada salah satu lembaga bantuan hukum di
Makassar, serta bersama-sama organisasi pedagang, SADAR, melakukan
aksi unjuk rasa untuk meminta perhatian dari pemerintah serta kepolisian.
Selain itu, juga secara aktif melakukan publikasi mengenai kasus tersebut
ke masyarakat, seperti mengikutkan korban dalam acara talk show di salah
satu radio nasional, Delta FM.
c. Kampanye pasar lokal juga merupakan salah satu bentuk yang dilakukan
oleh organisasi ini dalam pendampingan pedagang yang dilakukannya.
Kampanye ini dilakukan untuk menyediakan informasi alternatif mengenai
yang terjadi di pasar lokal. Hal ini dilakukan karena seringkali
pemberitaan ataupun informasi mengenai pasar lokal disejumlah media,
dianggap tidak menjelaskan kondisi sebenarnya. Bahkan informasi seperti
kesemrawutan, aksi-aksi kriminal dan lainnya, lebih cenderung merugikan
keberadaan pasar lokal itu sendiri. Kegiatan kampanye pasar lokal ini
dilakukan dengan melalui media internet serta pewacanaan dalam berbagai
forum yang diikuti oleh anggota organisasi ini.
74
d. Penyusunan
rancangan
peraturan
daerah
(ranperda)
mengenai
keberadaan pengelolaan pasar lokal dan pasar modern, yang diserahkan ke
dewan kota sebagai alternatif dalam pengambilan keputusan mengenai
peraturan daerah tersebut.
2. Jika mengacu pada sejumlah program Komunitas Ininnawa dalam upaya
penguatan pedagang pasar lokal di Makassar. Aktivitas organisasi ini lebih
cenderung, atau dapat digolongkan kedalam model gerakan transformatif.
Penggolongan ini mengikuti tipologi ideologi organisasi masyarakat sipil di
Indonesia yang dijelaskan oleh Mansour Fakih, salah satu teoritis dan pratisi
organisasi masyarakat sipil di Indonesia.
Dalam model transformatif ini, permasalahan sosial seperti yang di pasar
lokal, bukan hanya karena rendahnya partisipasi pedagang dalam pengelolaan
pasar lokal, akan tetapi juga karena dampak dari penerapan sistem
pembangunan oleh pemerintah. Dimana pada sistem pembangunan yang
digunakan lebih cenderung mengutamakan perekonomian modern dengan
permodalan yang besar, sehingga berdampak buruk bagi keberlangsungan
pasar lokal sebagai salah satu sektor perekonomian masyarakat kota Makassar.
Sistem pembangunan yang lebih cenderung mengutamakan pasar modern
misalnya bisa terlihat pada pembangunan sejumlah pusat-pusat perbelanjaan
dalam satu dekade terakhir di Makassar. Laju pembangunan yang kemudian
berdampak pada merosotnya perekonomian pasar lokal menjadikan organisasi
ini mengambil peran dalam melakukan penguatan terhadap pedagang pasar
lokal dalam upaya mempertahankan sumber perekonomian mereka. Dalam
75
upaya tersebut, tujuan gerakan sosial organisasi ini lebih mengarah pada
perbaikan sistem tata-kelola pasar lokal yang mengakomodasi kepentingan
pedagang, khususnya bagi pedagang kecil, dan sama sekali tidak mengarah
pada upaya sistem pemerintahan secara keseluruhan.
Tujuan gerakan seperti ini pada dasarnya bisa ditemukan dalam kajian
gerakan sosial, khususnya gerakan sosial baru, dimana tujuan gerakan tidak
lagi sepenuhnya mengarah ke revolusi sistem. Melainkan berdasarkan pada
perhatian dari aktor gerakan sosial itu sendiri. Misalnya pada tujuan gerakan
pendampingan padagang pasar lokal oleh organisasi ini, dimana perubahan
yang diupayakan adalah perbaikan tata-kelola pasar lokal. Tata-kelola serta
relasi-kuasa yang tidak mengorbankan pedagang, khususnya pedagang kecil.
Selain itu, sebagai organisasi masyarakat sipil, dimana para aktornya
merupakan alumni sejumlah universitas dalam dan luar negeri dan bekerja
secara kontinyu dalam aktivitas gerakan sosial. Organisasi ini juga melakukan
fungsi kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan, dalam hal ini yang berkaitan
dengan pengelolaan pasar lokal serta melakukan aksi protes terhadap
pelaksanaannya.
76
B. SARAN
A. Meskipun peneliti merupakan bagian dari fokus penelitian, namun
mengingat singkatnya waktu penelitian, maka tentu saja hasil penelitian ini
masih menyimpan sejumlah, bahkan banyak kekurangan. Kekurangan
tersebut diantaranya, program Komunitas Ininnawa melalui salah satu
organisasi anggotanya, Active Society Institute (AcSI), dalam gerakan
penguatan pedagang pasar lokal di Makassar tidak dijelaskan secara detail
yang bisa membantu pembaca memahami secara keseluruhan mengenai
program tersebut. Selain bagian pemaparan data, kekurangan lain dalam
penelitian ini juga terdapat pada bagian analisis. Bagi pembaca yang sudah
‘kenyang’ dengan literatur gerakan sosial, tentu saja bisa melihatnya
dengan jelas. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian lanjutan
untuk lebih mendalami tema penelitian ini.
B. Bagi aktor gerakan sosial di Makassar, salah satu kelemahannya adalah
minimnya koordinasi antar aktor gerakan sosial serta aktor lain, seperti
politisi, menyebabkan agenda pemberdayaan masyarakat tidak berjalan
maksimal. Misalnya pada gerakan komunitas ini, tidak maksimalnya
persiapan penyusunan rancangan peraturan daerah (ranperda) alternatif
penataan pasar moderen dan pasar lokal, menyebabkan secara substansi
tidak merubah kebijakan yang bisa mengakomodasi masyarakat ataupun
komunitas dampingan, atau dalam hal ini kepentingan pedagang pasar
lokal pada umumnya.
77
DAFTAR PUSTAKA
Ary, Hasriadi, dan Karno B. Batiran. 2011. Tak ada Funding Yang Tak Retak.
Disampaikan pada Rencana Strategis (Renstra) Komunitas Ininnawa
2011. Tidak dipublikasikan.
Batiran, Karno B. 2010. Sejarah Yang Bermula Setiap Hari. Ingatan Pribadi
Tentang Ininnawa Yang Sinis, Tak Bisa Puitis. (Dalam Satu Dekade
Komunitas Ininnawa 2000-2010). Disampaikan pada Musyawarah
Besar Komunitas Ininnawa 2010. Tidak dipublikasikan.
Canel, Eduardo. 1997. New Social Movement Theory and Resource Mobilization
Theory: The Need for Integration. Dalam Community Power And
Grassroots Democracy; The Transformation Of Social Life. Editor
Michael Kaufman and Haroldo Dilla Alfonso. Zed Books. London
And New Jersey.
Culla, Adi Suryadi. 2002. Masyarakat Madani; Pemikiran, teori, dan
relevansinya dengan cita-cita reformasi. Rajawali Press. Jakarta.
Dhakide, Daniel. 2001. Sistem sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga, Dan
Pergulatan Demokrasi. Dalam Masyarakat Warga Dan Pergulatan
Demokrasi; menyambut 70 tahun Jakob Utama. Editor, St. Sularto.
Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka
Pelajar.Yogyakarta.
Gaventa, Jhon. 2005. Reflection on the Uses of the ‘Power Cube’. Approach for
Analyzing Space, Places and Dynamics of Civil Society Participation
and Engagement. CFP Evaluation series 2003-2006: no.4
Fakih, Mansour. 2004. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan
Ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Fauzi, Noer. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Insist
Press. Yogyakarta.
Fatah, Eep Saefulloh. 1998. Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Pustaka
Pelajar. Jakarta.
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang publik; sebuah kajian tentang kategori
masyarakat borjuis. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu
sosial. Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI. Depok.
Lev, S. Daniel. 1996. “Kelompok Tengah” dan Perubahan di Indonesia: sejumlah
catatan awal. Dalam, Politik Kelas Menengah Indonesia. Richard
Tanter & Kenneth Young. Judul Asli, The Politics of Middle Class
Indonesia. Alih Bahasa, Nur Iman S, Arya Wisesa & Ade Armando.
LP3ES. Jakarta.
Lev, S. Daniel. 1996. Sejumlah Catatan Mengenai Kelas Menengah dan
Perubahan di Indonesia. Dalam, Politik Kelas Menengah Indonesia.
Richard Tanter & Kenneth Young. Judul Asli, The Politics of Middle
Class Indonesia. Alih Bahasa, Nur Iman S, Arya Wisesa & Ade
Armando. LP3ES. Jakarta.
78
Madjid, Norcholis. 2001. Kebebasan dan Supremasi Hukum, Dua Asas
Masyarakat Madani. Kumpulan Tulisan dalam Masyarakat Warga
Dan Pergulatan Demokrasi; menyambut 70 tahun Jakob Utama.
Editor, St. Sularto. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Marsh, David & Gerry Stoker. 2010. Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik.
Nusamedia. Bandung.
Prabowo, Agung. 2010. Gerakan Perlawanan Pedagang Pasar Terong Terhadap
Kebijakan Pemerintah Kota Makassar Pasca Pembangunan Gedung
Empat Lantai. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin Makassar.
Rachman, Anwar. J. 2010. Gula Gaul, Kubu Buku. Tinjauan sekilas yang centil
dari-oleh-dan untuk Penerbit, Komunitas dan Manusia-Manusia di
Dalamnya. Disampaikan pada Musyawarah Besar Komunitas
Ininnawa 2010. Tidak dipublikasikan.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Diterjemahkan dari A
History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition. Penerjemah
Satrio Wahono, dkk. Penyunting Husni Syawie dan M.C. Ricklefs. PT
Serambi Ilmu Semesta. Jakarta.
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. LP3ES. Jakarta.
Salim, Ishak. 2011. Setelah memilih untuk “mengidup-hidupkan” ‘AcSI’. Tulisan
disampaikan dalam Musyawarah Besar Komunitas Ininnawa 2010.
Tidak dipublikasikan.
Sirimorok, Nurhady. 2011. Sketsa Gerakan Sosial, Indonesia dan Sulawesi
Selatan. Tulisan disampaikan pada Rencana Strategis (Renstra)
Komunitas Ininnawa 2011.Tidak dipublikasikan.
Sirimorok, Nurhady. 2011. Ininnawa: Antitesa, Anomali Dan Anarki. Tulisan
disampaikan pada Rencana Strategis (Renstra) Komunitas Ininnawa
2011. Tidak dipublikasikan.
Sing, Rajendra. 2010. Gerakan Sosial Baru. Judul asli; Social Movement, Old And
New: A Post-Modernist Critique. 2001. Penerjemah Eko P. Darmawan.
Resist Book. Yogyakarta
Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Judul asli; Gramsci’s
Political Thought. Penerjemah, Kamdani dan Imam Baehaqi. Insist
Press dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Supriyadi. 2006. Kapitalisme, Kelas Menengah Dan Demokrasi Di Asia
Tenggara. Aspirasi, Vol XVI, No.2.
Statuta Komunitas Ininnawa.
Sulawesi Selatan Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Selatan.
Wahono, Francis. 2000. Menuju Penguatan Hak-Hak Petani Melalui Gerakan
Petani Organik; Demi Kemakmuran dan Kelangsungan Hidup Rakyat.
Dalam, Gelombang Perlawanan Rakyat. Kasus-Kasus Gerakan Sosial
di Indonesia. Insist Press. Yogyakarta.
Zieleniec, Andrzej. 2007. Space And Social Theory. Sage Publication. Los
Angeles, London, New Delhi, Singapore.
79
Download