Supercritical Airfoil

advertisement
AERODINAMIKA
SUPERCRITICAL AIRFOIL
Dalam kedua artikel pendahuluan, telah dengan jelas ditunjukkan
keterkaitan yang erat antara perkembangan pesawat (aircraft)
dengan sistem propulsi (engine). Pada pesawat, perkembangan
berwujud semakin meningkatnya performa dan kapasitasnya,
sedangkan pada sistem propulsi berwujud semakin besarnya
gaya dorong dan iritnya bahan bakar.
Dalam hubungan ini, akan dibahas salah satu parameter yang
paling penting, yaitu “kecepatan terbang” yang kenyataannya
merupakan aspek paling berpengaruh dalam perancangan
pesawat terbang.
PERKEMBANGAN KECEPATAN TERBANG
Gbr. 1-1
Pesawat-pesawat pemegang rekor:
A. Santos Dumont B. Bleriot C. Deperdussin
D. Nieuport 29 E. Bernard F. Supermarine S.6
G. Macchi 72 H. Messer Schmitt Me 209 VI
J. Meteor 4 K. Swift L. NA F-100c
M. Fairey FD.2 N. Mc Donnel Voodoo
REKOR
KECEPATAN
ABSOLUT
(Absolut
Speed Record)
Kurva 1 menyatakan pesawat pembom, kurva 2
untuk pesawat transpor jet, dan kurva 3 untuk
pesawat transpor turboprop
Pada gambar di atas ditunjukkan perkembangan
kecepatan terbang dari pesawat pertama pada 1900an sampai pada 1960-an, di mana kecepatan suara
(Mach 1) sudah dapat dilampaui dengan propulsi
turbin gas.
Mengamati Gbr. 1-1 diatas, tampak ada
spektrum yang tidak berubah yaitu ―konfigurasi‖
pesawat yang tetap ―konvensional‖. Konfigurasi
―konvensional‖ dalam pengertian tata letak sayap
yang dipasang di tengah badan, dan bidang 2-ekor
di ujung belakang badan. Enjin dapat dipasang di
ujung belakang badan atau di bawah sayap.
Sampai masa kini, lebih dari 95 % pesawat
transpor di seluruh dunia masih memiliki
konfigurasi ―konvensional‖ ini. Namun, ada tipetipe tertentu yang memiliki konfigurasi ―canard‖ se-
perti Beech ―Starship‖ dan pesawat swayasa Rutan
―Vary-eze‖. Sedangkan konfigurasi ―three planes‖
diterapkan pada pesawat bisnis eksekutif Piagio
―Avanti‖.
Pada rancangan pesawat tempur, berbagai
konfigurasi telah diterapkan guna memenuhi
berbagai persyaratan manuver.
Pada Gbr. 1-1 tampak juga dengan jelas
pengaruh kecepatan terbang terhadap bentuk sayap
(wing planform) yaitu semakin besarnya sudut
miring ke belakang (swept back-sweep angle). Tapi
yang tidak tampak pada gambar tersebut adalah
penampang sayap atau ―airfoil‖. Seperti diketahui,
bentuk ―airfoil‖ ini sangat menentukan karakteristik
aerodinamika dari sayap, dibantu oleh bentuk
planform dan kelengkapan-kelengkapan lainnya.
42
Gbr.1-1 menunjukkan dengan jelas peningkatan
kecepatan terbang yang dimungkinkan oleh
peningkatan gaya dorong motor letup (piston
engine). Maupun dengan turbin gas. Yang paling
signifikan adalah ditembusnya kecepatan suara
Mach 1 oleh pesawat-pesawat tempur atau riset.
Namun perkembangan lebih dari satu setengah
dekade menunjukkan bahwa hampir semua pesawat-pesawat komersial dari berbagai produsen tetap
bersaing di bawah Mach 1. Daerah kecepatan yang
disebut ―high subsonic speed‖. Mungkin (salah
satu) alasannya karena pada waktu itu (tahun 60-an)
teknologi belum cukup maju. Tetapi hal tersebut
dibantah, dengan terwujudnya pesawat SST
(Supersonic Transport) buatan Rusia Tu-144 yang
terbang perdana pada 1968. Kemudian disusul
tahun berikutnya oleh SST hasil kerja sama Inggris
dan Prancis: ―Concorde‖.
Karena masalah teknis, Tu-144
hanya
mengalami pengoperasian dalam jangka waktu
pendek. Sedangkan Concorde yang baru
dipensiunkan pada 2003 hanya dioperasikan dalam
jumlah terbatas (16 pesawat). Hal ini menunjukkan
bahwa SST belum menarik masyarakat yang cukup
luas, karena mahalnya harga tiket yang belum
seimbang dengan kecepatan terbang yang
disajikannya.
Di lain pihak pesawat-pesawat ―high subsonic‖
semakin berkembang baik dalam kapasitas
penumpangnya, jangkauan terbangnya maupun
kecepatannnya yang mendekati Mach 1—seperti
ditunjukkan pada Gbr.1-2. Hanya pesawat-pesawat
tempur yang dikembangkan sampai Mach 3 atau
lebih cepat lagi bagi pesawat-pesawat riset.
Tren ini disebabkan oleh perbedaan sifat
operasi antara SST dengan pesawat tempur. Seperti
halnya dengan Concorde, sebagai SST ia terbang
menjelajah (cruising) pada kecepatan supersonik
(Mach 1,5 − 2,0) untuk menghubungkan London
dan New York dalam waktu 5 jam. Sedangkan
pesawat tempur terbang supersonik hanya bila
diperlukan dalam combat (bertempur), selebihnya
penerbangan akan dilakukan subsonik.
Jadi, masalahnya adalah kebutuhan gaya
dorong (thrust) yang digunakan pada kecepatan
tinggi dalam kaitannya dengan konsumsi bahan
bakar. Pada penerbangan komersial hal ini
merupakan faktor yang sangat penting karena akan
menentukan biaya operasi dan selanjutnya harga
tiket. Berhubung pesawat terbang bergerak dalam
medium udara yang tunduk pada hukum-hukum
fisika udara atau aerodinamika maka masalah
kebutuhan gaya dorong tersebut akan dibahas
berdasarkan hukum-hukum ini.
GAYA HAMBATAN ( DRAG)
Seperti diketahui, gaya hambatan adalah
penentu besarnya gaya dorong, thrust, yang harus
dihasilkan oleh sumber tenaga dorong (motor)
untuk memacu pesawat pada kecepatan tertentu
sehingga sayap dapat menghasilkan gaya angkat,
lift, yang diperlukan pada kondisi terbang tertentu.
Gambar berikut menunjukkan gaya-gaya pada
kondisi terbang mendatar (cruise).
L
T
D
FD
CG
W
Gbr. 1-2
Ditunjukkan di sini bahwa kecepatan pesawat transpor
berkembang sebesar setengah atau seperempat dari
“Rekor Kecepatan Absolut” (Absolut Speed Record)yang
dicapai menjelang 1960. Kemudian para airliner turboprop dan turbofan menetap pada kecepatan Mach
0,6 − 0,9. Kecuali Concorde dan Tu-144 yang menjelajah pada Mach 2,2.
Perkembangan dalam kapasitas (berat)
dan jarak yang semakin besar
43
Pola Abraham: Aerodinamika
Supercritical Airfoil
(Mengacu hlm. 4)
Advanced wing technology
After the introduction of transonic
profiles, a major step, we expect some refinements, but further achievements
through only new airfoils will be limited.
Besarnya gaya
persamaan:
hambatan
ρ
T = D = — V2 CD S
2
di mana
ρ
dinyatakan
oleh
(N) (lb) - - - - - - - - (1)
V = kecepatan terbang; (m/det), (ft/det).
= luas sayap; (m2), (ft2).
CD = koefisien hambatan, suatu besaran tanpa
dimensi dinyatakan sebagai berikut.
CDtotal = CD tekanan + CD gesekan - - - - (2)
(pesawat)
( friction)
di mana
CD tekanan =
Maka gaya hambatan Dpesawat ditentukan dengan
rumus (2) berdasarkan besaran-besaran di atas.
= kerapatan udara, karakteristik fisik dari
udara sebagai fungsi ketinggian; (slugs/
lb3), (kg/m3).
S
CD gesekan = luas permukaan (wetted area) dari
komponen dikalikan dengan koefisien gesekan
berdasarkan data empiris.
CD sayap
+
CD parasit
= CD airfoil + CD induksi +ΣCD komponen
dengan
C D ai r f o il
didasar kan
aerodinamis.
CL2
CD induksi = —–——
π θ AR
karakter istik
CL = koefisien lift ; θ = faktor Oswald, untuk sayap 0,7 − 1,0; AR = Aspect Ratio.
CD komponen = CD dari badan, bidangbidang ekor, roda pendarat, engine cowling,
dsb, berdasarkan data dari terowongan
angin, masing-masing.
KETERMAMPATAN UDARA DAN
DAERAH PENERBANGAN ( FLIGHT
REGION)
Analisa berdasarkan kejadian-kejadian yang
cukup luas menunjukkan bahwa fenomena ini
terkait dengan kenyataan bahwa udara adalah
―termampatkan‖ (compressible) pada kecepatan
tinggi. Ini berarti bahwa harga CD pesawat adalah
konstan seperti ditentukan di atas hanya berlaku di
daerah kecepatan rendah (sampai Mach 0,5 atau
sekitar 600 km/jam). Di mana udara (diasumsikan)
―tak termampatkan‖ (incompressible). Perubahan
besarnya CD pesawat sebagai fungsi dari kecepatan
(Mach) dan pembagian daerah kecepatan (flight
region) ditunjukkan di Gbr. 1-3.
Dalam kondisi seperti di atas, maka besarnya
gaya hambatan sepenuhnya ditentukan oleh
kecepatan terbang V dan kerapatan ρ yang
tergantung ketinggian, karena harga C D pesawat
praktis konstan (dan juga luas sayap S).
Menjelang berakhinya PD II ketika pesawatpesawat tempur (bertenaga motor torak dan
berpropeler) di kedua belah pihak telah terbang
semakin besar kecepatannya sekitar Mach 0,5+
(500 - 600 km/jam), seringkali terjadi fenomena di
mana tiba-tiba pilot merasakan gejala ―nose heavy‖.
Dan ketika ingin dikoreksi terasa timbulnya vibrasi
pada bidang-bidang kendali sehingga tidak
berfungsi dan dapat berakibat ―crash‖.
Peningkatan harga CD pesawat ketika mendekati
Mach 1 ini disebabkan oleh ―wave drag‖(hambatan
gelombang) sehingga persamaan dasar koefisien:
CDpesawat =CDtekanan+CDgesekan+CDgelombang ..(3)
(wave)
44
Hal ini terutama berkaitan dengan sifat udara
―inkompresibel‖ atau ―tak termampatkan‖ pada
kecepatan rendah sampai mendekati kecepatan
suara atau Mach 1. Kemudian di atas daerah ini
mulai tampak sifat ―kompresibel‖ atau
―termampatkan‖ dari udara. Hal yang ditunjukkan
oleh meningkatnya harga koefisien hambatan CD
ketika mendekati Mach 0,6 dan mencapai
puncaknya pada kecepatan Mach 1. Dan turun lagi
tapi tidak serendah kecepatan subsonik.
Karena harga CD menentukan gaya dorong
motor, maka bagi pesawat yang mampu terbang
supersonik harus memiliki motor yang cukup kuat
untuk melampaui puncak tersebut (lihat Gbr. 1-3).
Secara umum daerah penerbangan (flight
regime) dapat dibagi menjadi “region-region”
berikut:
Subsonik inkompresibel 0 < Ma < M < 0,72
Transonik
M 0,8 < Ma < M 1,2
Supersonik
M 1,2 < Ma < M 5
Hipersonik
Ma > 5
Di mana Ma menyatakan bilangan Mach dari
region terkait. Dalam bab ini, kompresibilitas pada
kecepatan tinggi akan dibahas pengaruhnya
terhadap desain aerodinamik dari sayap. Baik yang
berkaitan dengan bentuk airfoil, bentuk planform
maupun ketentuan-ketentuan aerodinamik lainnya.
SAYAP UNTUK KECEPATAN TINGGI
Indikasi dari terjadinya ―shock wave‖ adalah:
a. Terjadi ―drag rise‖ yang menyolok pada
kurva CD.
b. Terjadi getaran (vibration) pada pesawat
c. Terjadi pergantian sikap (attitude) ke arah
menukik (drive, nose heavy), yang
memerlukan keseimbangan (trim change).
Apa yang disebut ―Mach
didefinisikan sebagai berikut.
Kritis‖
dapat
1. Mach kritis adalah bilangan Mach di mana
pada suatu tempat tertentu di pesawat mulai
terjadi arus dengan kecepatan suara (sonic
flow). Hal ini pada kondisi tertentu masih
dapat dibiarkan (ditolerir).
2. Definisi lain, Mach kritis adalah Mach di
mana terjadi peningkatan hambatan (drag
rise) yang cukup besar sebagai akibat dari
a da nya /t imbul nya
― gel omba ng
kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai
batas intensitas yang masih dapat diterima
(acceptable).
Letak titik Mach kritis dapat didefinisikan
sebagai berikut.
Mach kritis adalah bilangan Mach di mana
dCD / dMach > 0,04
Mengenai indikasi-indikasi masuknya suatu
pesawat ke dalam daerah arus kompresibel yang
disebut ―Mach Kritis‖ dapat diterangkan sebagai
berikut.
dCD
dMach
0,100
Supercritical Region
CD
0,050
1,0
2,0
Gbr. 1-3 Daerah Penerbangan (Flight Regime)
45
Mach
3,0
CD
Gbr. 1-4 PENINGKATAN
MACH KRITIS
Dilaksanakan dengan
penerapan supercritical
airfoil dan geometri
sayap yang sesuai.
Jadi Mach kritis merupakan batas kecepatan
maksimum dari suatu tipe pesawat yang ditentukan
oleh desain aerodinamiknya. Mengenai hal ini, akan
dilakukan pembahasan lebih lanjut dalam bab-bab
berikut.
Pesawat-pesawat yang beroperasi pada
kecepatan rendah (sampai M 0,6) tidak akan
menemui masalah kompresibilitas dengan segala
konsekuensinya. Sehingga untuk itu dapat
sepenuhnya diterapkan aerodinamika pada arus
inkompresibel yang lebih sederhana.
Mengenai proses awal terjadinya shock wave
ini pada sayap, ditunjukkan pada Gbr. 1-6. Terlihat
pada gambar bahwa Mach kritis terjadi pada M 0,72
dan ini berlaku untuk airfoil tertentu. Airfoil yang
karakteristik aerodinamiknya ditentukan oleh
bentuk lengkungan kontur dan perbandingan
ketebalan terhadap lebarnya (thickness to chord
ratio, t/c) dan ini juga yang menentukan besarnya
Mach kritis tersebut.
kecepatan tinggi terutama dengan penerapan rasio
t/c yang lebih kecil.
Bentuk dasar dari airfoil-airfoil ini memiliki
kontur yang hampir sama simetris (antara atas dan
bawah) dan t/c yang kecil. Besarnya Mach kritis
dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut.
AIRFOIL KECEPATAN SUBSONIK TINGGI
(HIGH SPEED SUBSONIC AIRFOIL)
Untuk batasan rasio ketebalan: 0,06 < t/c 0,18
dan batasan jarak terjadinya ―shock wave‖ dari
leading edge (LE): 0,3 c < XR < 0,6c.
Seperti telah ditunjukkan di Gbr.1-3, Daerah
Penerbangan, ketika arus mendekati kecepatan
suara maka akan terjadi peningkatan hambatan
(drag rise) yang titik awalnya disebut “Mach
kritis‖. Dalam pelaksanaan desain sayap
diupayakan agar titik tersebut bergeser ke kanan
(artinya Mach kritis lebih tinggi) seperti
ditunjukkan pada Gbr.1-4, daerah penerbangan
inilah yang kini diterbangi pesawat-pesawat
transpor modern.
Untuk itu, diperlukan airfoil sesuai, yang pada
prinsipnya Mach kritis yang lebih tinggi tetapi tetap
efektif untuk beroperasi di daerah kecepatan yang
lebih rendah. Pelaksanaan yang praktis untuk itu,
adalah ―laminar airfoil‖ yang dikembangkan untuk
Mkrit = 1 − 0,66 (t/c) 1/2 − 0,2 CL - - - - - - - (4)
(Ref.1)
Ini berlaku untuk sayap tanpa atau dengan
―sweep back‖, memiliki AR sedang (moderate)
serta batasan rasio ketebalan: 0,06 < t/c < 0,18.
Mach kritis dapat ditentukan dengan lebih tepat
b er dasar ka n lap or an ―T r ansonic Data
Memorandum‖ sebagai berikut.
Mkrit = 0,87 + 0,1 (XR/c) − 1,5 (t/c) −
(0,2 − 0,5 t/c) CL - - - - - (5)
(Ref.1)
shock wave
46
SUPERCRITICAL AIRFOIL
Ini adalah airfoil yang khusus dioptimalkan
untuk para airliner yang beroperasi pada kecepatan
tinggi subsonik yakni M 0,70 − 0,90. Tujuan
utamanya adalah menggeser Mach kritis ke arah
kanan yaitu mendekati M 1,0 namun tidak perlu
memiliki kemampuan supersonik. Dengan kata lain
untuk menghindarkan peningkatan hambatan, drag
rise, pada kecepatan yang lebih tinggi.
Airfoil ini berbeda konsep desainnya dengan
―high speed subsonic airfoil‖ atau ―supersonic
airfoil‖ yang telah dibahas di atas. Prinsip yang
diterapkan pada ―high subsonic airfoil‖ ialah
memerlambat (delay) pembentukan shock wave
sejauh harga Mach kritis.
shock wave dipecah
Sedangkan ―supercritical airfoil‖ memiliki
bentuk yang membiarkan gelombang kejut terjadi di
sepanjang chord, jadi pecah, tidak terpusat, sehingga energinya lemah. Pada keadaan ini terjadi
distribusi tekanan dari kedua jenis airfoil tersebut,
seperti ditunjukkan dengan jelas pada gambar atas.
Gambar di bawah (Gbr. 1-5) menunjukkan
perbedaan bentuk dari kedua jenis airfoil tersebut.
Kecuali pada bentuk konturnya, ciri khas pada
supercritical arifoil ialah ketebalannya yang lebih
besar. Hal ini memberikan keuntungan-keuntungan
sebagai berikut.
Memungkinkan struktur yang lebih ringan
karena spar memiliki momen inersia yang
lebih besar.
Menyediakan tempat yang lebih besar
untuk tangki bahan bakar. Dan ini sangat
penting terutama untuk pesawat transpor.
Memiliki harga CL yang lebih tinggi
sehingga diperlukan sayap lebih kecil,
berarti hambatan utama lebih kecil dan
struktur sayap lebih ringan
Pada Gbr. 1-7A ditunjukkan penerapan pada
Boeing 707, pesawat transpor jet generasi pertama
yang sukses dioperasikan sejak pertengahan tahun
60-an. Dalam gambar ini diperlihatkan perbaikan
pada segi aerodinamik (performa) dan dari segi
konstruksi yang dapat terwujud dengan penerapan
―supercritical airfoil‖. Sehingga kini pesawatpesawat yang beroperasi di daerah kecepatan
subsonik tinggi menggunakan airfoil tersebut,
dalam satu atau lain bentuk pelaksanaannya.
Gbr. 1-5 Perbandingan bentuk airfoil
47
Gbr. 1-6 PERKEMBANGAN TERJADINYA ARUS TRANSONIK
(TRANSONIC FLOW) PADA AIRFOIL, Ref. 3
48
Gbr. 1-7
PENERAPAN SAYAP SUPERKRITIS
(SUPERCRITICAL WING) PADA PESAWAT
BOEING 707-320B
49
Gbr. 1-8 Pesawat Tempur VTOL AV-8B Harrier II
Penggunaan supercritical airfoil ini ternyata
tidak hanya meluas pada pesawat-pesawat
komersial saja tetapi juga pada pesawat-pesawat
tempur. Contohnya adalah pesawat VTOL Inggris
BAe AV-8A Harrier II, yang sebelumnya
menggunakan high subsonic airfoil.
Kemudian pada versi pengembangannya dalam
kerja sama dengan McDonnel Douglas dari
Amerika menjadi AV-8B, yang menggunakan
supercritical airfoil. Begitu pula pesawat tempur
―variable swept wing‖ North American F-111.
CD Breakdown
Persamaan (3) di atas (hlm 44) merupakan
dasar dari drag polar yang didefinisikan sebagai
persamaan maupun grafik yang menyatakan relasi
antara CD dan CL (Anderson/Ref.2). Sementara
grafik drag polar dengan berbagai variasi Mach
ditunjukkan pada Gbr. 1-9 (Ref. 3).
Dan Anderson membuat CD breakdown dalam
bentuk bar chart yakni pada dua kecepatan, M 0,8
dan M 2,2, untuk menunjukkan pengaruh wave
drag terhadap CD, yang pada akhirnya terkait erat
dengan gaya dorong, thrust, seperti dinyatakan
dalam persamaan (1) di atas (hlm. 44). Tinggi bar
chart yang menyatakan harga CD (total drag) pada
Gbr. 1-9 Grafik drag polar dengan berbagai variasi Mach
kedua kecepatan tersebut dapat berbeda (pada Mach
2,2 selalu lebih tinggi) seperti ditunjukkan pada
kurva-kurva Mach dalam grafik drag polar Gbr.1-9.
Sehingga Gbr.1-10a dan 1-10b menggambarkan
perbandingan relatif CD breakdown dimaksud
secara persentase, juga bukan dalam besaran aktual.
Pada Gbr. 1-10a, tampak bahwa elemen-elemen
wing, body, empennage, engine installations,
interference, leaks, undercarriage, dan flaps
berkontribusi terhadap apa yang disebut dengan
Zero-lift parasite drag (kotak-kotak berarsir). Atau
dalam persamaan (3)—yang dijabarkan lanjut dari
persamaan (2)—di atas dinotasi sebagai CDtekanan.
Sementara yang disebut Lift-dependent drag
(kotak-kotak putih/tak berarsir) pada persamaan (3)
maupun (2) dinotasi dengan CDgesekan. Jelaslah,
pada jelajah subsonik ini yang disebut zero-lift wave
100 %
Wing
Wing/body
Includ Engine inst etc
Fin
Body
%
Total
Drag
Empennage
Engine install.
Interference
leaks etc
Zero-lift
wave drag
Liftdependent
drag
Liftdependent
drag
0%
Zero-lift parasite drag
Gbr. 1-10a
Subsonic transport
Cruise M 0,8
(Di bawah Mach Kritis)
Gbr. 1-10b
Supersonic transport
Cruise M 2,2
(Di atas Mach Kritis)
drag tidak ada, karena shock wave belum muncul.
Pada Gbr. 1-10b untuk jelajah di atas kecepatan
suara, M 2,2 dalam konteks ini, pengaruh zero-lift
wave drag jelas terlihat. Malah, bersama dengan lift
-dependent drag memberikan persentase kontribusi
hampir dua pertiga dari total drag pesawat.
Dan menarik, bahwa persentase kontribusi zerolift parasite drag atau CDtekanan justru mengecil
dibanding dengan kondisi pada jelajah subsonik
dalam Gbr. 1-10a—seiring CD yang menurun di atas
M 1, seperti pada Gbr.1-3. Juga kontribusi liftdependent drag supersonik ini lebih besar dibanding
dengan kondisi jelajah subsonik; hal yang
dijelaskan oleh koefisien lift CL sebagai salah satu
parameter induced drag (CD induksi; persamaan [2])
ketika menjelajah pada supersonik.
Dengan demikian dari CD breakdown ini—
50
khususnya pada Gbr. 1-10b—lebih menegaskan
lagi bukan hanya hadirnya pengaruh wave drag,
seperti ditunjukkan oleh persamaan (3), tetapi juga
dominasinya, setidaknya pengaruhnya yang besar,
pada karakteristik utama segi aerodinamik pesawat
supersonik—pada kebutuhan thrust.
KESIMPULAN
Dalam perkembangan kecepatan yang
dimungkinkan oleh sistem propulsi, sayap sebagai
penghasil gaya angkat perlu menyesuaikan diri
dengan mewujudkan nilai CL/CD atau disebut
―aerodynamic efficiency factor‖ yang optimal.
Ini sangat penting karena berkaitan dengan
BIRD WING
Typical airfoil or wing section of
soaring birds such as:
eagle, buzzard, hawk, seagul
aspek ekonomi yang didasari oleh pengiritan bahan
bakar. Untuk itu terjadi evolusi dalam perubahan
bentuk airfoil era pesawat pertama sampai masa
kini seperti ditunjukkan oleh tabel pada Gbr.1-11.
Supercritical airfoil merupakan bentuk yang
dioptimasikan untuk M 0,70 − M 0,90 yaitu daerah
kecepatan yang pada waktu ini di dunia diterbangi
oleh paling banyak pesawat terbang komersial.
Pesawat jenis transpor sipil yang mengangkut lebih
kurang 7 miliar penumpang setiap tahunnya.
Jadi seperti dikemukakan dalam pola Abraham
perkembangan aspek aerodinamika, khususnya
sayap, penggunaan supercritical airfoil guna
menekan wave drag telah diterapkan secara luas
dengan sukses pada pesawat-pesawat modern.
WRIGHT BROTHERS
Wright Brothers 1903 Flyer
Wright Brothers 1905 Fyer
Wright Brothers 1907 Flyer
Roe Triplane 1909
Curtiss early models 1910-1912
WW.I-NIEUPORT
Nieuport
Other World War I fighters used
similar cambered sections in
biplanes or triplanes configurations
with external bracing
BIPLANES
CLARK Y & GÖTTINGEN 396
Sipirit of St Louis, Northrop Alpha,
Northrop Beta.
Many early monoplanes used either the
Clark Y or the Göttingen 367 from 1922 on.
These two airfoils were actually very
similar in geometry and aerodynamics
characteristics.
The NACA four digits series was derived
partially by of these airfoils
NACA FOUR DIGIT SERIES
Douglas B-18, Douglas B-23, Douglas AD,
Douglas DC-2, Douglas DC-3, Douglas B-19,
North American F86, Cesnna F2 Trainer,
Cessna Various Light Airplane Types,
Lockheed P-3, Northrop Delta,
Northrop Gamma
NACA FIVE DIGIT SERIES
Douglas DB-7, Douglas A-20,
Douglas DC-4, Douglas DC-6,
Douglas DC-7, Cessna 401-421,
Cessna Citation I & II
Beech Most Models
MONOPLANES
NACA SIX SERIES
Douglas A-26, Douglas D558-I, Douglas D558-II,
North American F-100, North American T-2 Trainer,
Lockheed C-130, Vought A-7, McDonnell F-15,
General Dynamics F-111
MONOPLANES
SUPERCRITICAL
Early Pearcey Peaky Types
Trident, Harrier, CSA, Airbus, Lockheed L1011
Whitcomb Type
T2C Mod, F-111 Mod, F8U Mod > NASA Research Airplanes
Douglas YC-15 STOL Transport Prototype,
Cessna Citation, Gulf Stream III, Adv A 300,
Dassault Falcon 50, Canada Challenger CL 600, Future Transport
Gbr. 1-11 Tabel Historical Development of Airfoils (Sebagai fungsi dari kecepatan terbang)-Ref. 4
Willem J. Pattiradjawane
Referensi:
1. Flight International, July 1971 & March 1982,
Read Business, Sussex, UK.
2. John D. Anderson, Jr, Aircraft Performance &
Design, Mc Graw-Hill International, LondonNew York, 1999.
51
3.
Ray Whitford, Design for Air Combat, Jane’s
Publishing Inc., New York, 1987.
4.
Ed Heinemann, Aircraft Design, The Nautical &
Aviation Publishing Co. of America Inc., 1985.
Download