"Menggugat" Program Ekonomi Indonesia-IMF Achjar Iljas BELAKANGAN ini, eksistensi program ekonomi Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) kembali mendapat sorotan yang sangat tajam. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie bahkan secara terbuka mengatakan bahwa kehadiran IMF selama ini tidak memberi dampak yang positif. Oleh karena itu, program tersebut sebaiknya dihentikan saja. Kwik Kian Gie juga mengatakan bahwa dana 400 juta dollar AS tak ada gunanya dan Indonesia sangat mampu meningkatkan kinerja ekonomi tanpa bantuan IMF. Ada beberapa hal yang sangat menarik berkaitan dengan kritik dan sorotan terhadap hubungan dengan IMF kali ini. Pertama, sorotan dan kecaman disampaikan secara terbuka oleh seorang menteri ekonomi Kabinet Gotong Royong. Kedua, hal tersebut disampaikan pada saat dnu terdapat optimisme pasar yang antara lain tercermin dari apresiasi Achjar Iljas rupiah. Ketiga, pembicaraan untuk Letter of Intent (LoI) berikutnya masih berlangsung. Keempat, pendapat tersebut mendapat dukungan dari beberapa pihak, termasuk sejumlah pengamat ekonomi dan tokoh politik. Dok kompas/danu kusworo Tulisan ini tidak bermaksud untuk ikut dalam pro atau kontra terhadap eksistensi dan kelangsungan program ekonomi dengan IMF, karena hal itu sebenarnya tergantung kepada pihak Indonesia sendiri, bukan pihak IMF. Tulisan ini, sebaliknya, ingin secara singkat mengemukakan beberapa aspek yang berkaitan dengan fungsi, peranan, serta berbagai kebijakan dan pendekatan IMF, termasuk hal-hal yang dipandang 'merugikan' ataupun 'menguntungkan' dari hubungan dengan IMF tersebut. Dengan memahami hal-hal tersebut, pandangan terhadap hubungan dengan IMF dapat dilakukan secara jernih dan rasional, sehingga terhindar dari sikap yang kadang-kadang cenderung apriori dan bertolak belakang satu sama lainnya, seperti 'tanpa bantuan IMF kita tak bisa keluar dari krisis', 'program IMF tak ada manfaatnya sama sekali', atau 'kita tak bisa didikte terus menerus oleh IMF', dan sebagainya. Patut pula dipahami bahwa ada tidaknya program dengan IMF adalah sebuah pilihan, dan setiap pilihan memiliki implikasi dan konsekuensi baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah kesamaan pandangan mengenai pilihan yang diambil, khususnya implikasi dan konsekuensi dari pilihan yang dimaksud. *** APA saja peranan IMF, dan mengapa IMF sering mendapat sorotan tajam bukan hanya di dalam negeri melainkan juga di beberapa negara lain? Di Mesir dan Venezuela, misalnya, IMF bahkan pernah diprotes dan didemonstrasi secara besar-besaran. Sesuai dengan anggaran dasarnya, fungsi pokok IMF pada dasarnya adalah untuk menciptakan kestabilan moneter dan pembayaran internasional. Hal tersebut dilakukan IMF, terutama dengan memberikan bantuan kepada negara anggota yang mengalami ketidakseimbangan ekonomi, khususnya ketidakseimbangan eksternal (external imbalances) atau kesulitan neraca pembayaran yang umumnya berjangka pendek. Fungsi ini tak ubahnya seperti fungsi sebuah bank sentral yang memberikan bantuan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Ada beberapa fasilitas jangka pendek yang disediakan IMF seperti stand by arrangement (SBA), compensatory fund facility (CFF), yang kemudian berubah menjadi compensatory and contingency fund facility (CCFF). Dalam kenyataannya, ketidakseimbangan ekonomi dan kesulitan neraca pembayaran itu sering tidak dapat diselesaikan atau diatasi dalam jangka pendek karena masalah yang dihadapi bersifat struktural, sehingga diperlukan fasilitas yang berjangka waktu lebih panjang serta jumlah yang lebih besar, seperti extended fund facility (EFF) dan enhanced structural adjustment facility (ESAF). Sebagaimana halnya dalam setiap pinjaman, pihak kreditor (IMF), menetapkan sejumlah conditionalities atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh debitor (negara anggota). Tujuan dari penetapan persyaratan pada dasarnya ada dua hal yang saling berkait satu dengan lainnya. Pertama, agar masalah yang dihadapi negara peminjam dapat diatasi. Kedua, agar pinjaman tersebut dapat dikembalikan sesuai waktu yang diperjanjikan, termasuk bunga atau charges yang ditetapkan. Lazimnya, semakin kompleks permasalahan yang dihadapi, semakin banyak dan berat pula persyaratannya, misalnya, negara peminjam diharuskan untuk melakukan berbagai perubahan kebijakan yang mendasar dan bersifat struktural atau structural reform yang tidak jarang akhirnya juga memasuki area di luar wilayah ekonomi makro. Persyaratan-persyaratan tersebut biasanya dimuat dalam LoI yang ditandatangani pihak pemerintah. Selain itu, misi IMF juga menyusun laporan atau staff report untuk dibahas di Executive Board IMF. Setelah ada persetujuan Board IMF, barulah dilakukan penarikan atau disbursement atas pinjaman IMF. Dana pinjaman ini biasanya dikelola oleh bank sentral dan diperhitungkan sebagai cadangan devisa bruto, namun tak termasuk dalam cadangan devisa neto. Dana ini tidak dapat digunakan untuk keperluan lain serta tidak masuk dan mempengaruhi APBN. *** SEBAGAIMANA dimaklumi, ekonomi makro, khususnya fiskal dan moneter, sering dianggap sebagai core functions and core expertise-nya IMF. Ada beberapa ciri umum pendekatan atau kebijakan ekonomi makro IMF dalam mengatasi ketidakseimbangan ekonomi. Yaitu, kebijakan moneter yang cenderung ketat, penerapan sistem devisa dan perdagangan bebas serta kebijakan fiskal yang juga cenderung ketat. Kebijakan ini sering tidak populer karena lazimnya disertai suku bunga tinggi, kenaikan harga-harga atau inflasi (misalnya akibat pengurangan subsidi BBM), dan kenaikan pajak. Walaupun tidak populer, kebijakan-kebijakan tersebut umumnya cukup berhasil untuk memulihkan keseimbangan atau kestabilan ekonomi sepanjang pokok permasalahan imbalances tersebut memang berkaitan erat dengan pengelolaan ekonomi makro yang kurang baik seperti kebijakan moneter yang tidak berhati-hati, defisit anggaran yang kronis; apalagi bila defisit anggaran tersebut dibiayai dengan kredit bank sentral. Namun, apabila permasalahannya jauh lebih kompleks, seperti yang dihadapi Indonesia lima tahun terakhir ini, kebijakan dan pendekatan IMF memang kerap dipertanyakan baik keampuhan maupun biayanya. Kebijakan likuidasi bank, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pemberian penjaminan (blanket guarantee), dan rekapitalisasi bank-bank, misalnya, meskipun secara umum dipandang perlu dalam menghadapi krisis, sering disorot sebagai kelemahan program dengan IMF, terutama dari segi kesiapan implementasi dan besarnya biaya kebijakan yang akhirnya harus dipikul APBN. Selain itu, kebijakan IMF juga sering dikritik sebagai kebijakan yang one size fits all karena cenderung seragam dan kurang memperhatikan masalah dan kondisi masing-masing negara yang sering sangat berbeda satu dengan lainnya. IMF juga sering dianggap terlalu banyak mencampuri hal-hal yang di luar expertise-nya. Ada juga yang berpendapat bahwa kebijakan IMF, khususnya di Indonesia, ibarat seorang dokter yang telah melakukan malapraktik. Kritik ini mungkin saja berlebihan atau bisa saja ada pendapat sebaliknya, yaitu, yang bermasalah adalah justru si pasien atau negara itu sendiri. Akan tetapi, bahwa program ekonomi IMF yang telah diterapkan untuk mengatasi krisis ekonomi Indonesia tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, apa pun alasannya, adalah sebuah kenyataan. Terhadap berbagai tudingan yang dialamatkan kepadanya, pihak IMF biasanya berargumentasi bahwa yang mengambil keputusan atau kebijakan tersebut adalah pemerintah, bukanlah IMF. Bahwa IMF sering memasuki area di luar ekonomi makro, biasanya dikatakan bahwa hal itu memang diperlukan untuk pemulihan ekonomi dan sejalan dengan kemauan pemerintah, misalnya kebijakan yang berkaitan dengan privatisasi, good governance, dan lainnya. Argumentasi IMF dimaksud secara legal formal memang cukup beralasan mengingat kebijakan atau keputusan tersebut tertuang dalam LoI yang ditandatangani oleh pihak pemerintah dan merupakan komitmen atau janji dari pemerintah. LoI Januari 1998, misalnya, ditandatangani sendiri oleh presiden yang sah waktu itu, Presiden Soeharto. Namun, adalah suatu kenyataan juga bahwa sebagian kebijakan yang diambil tersebut adalah merupakan prasyarat yang tanpa itu, bantuan IMF tak akan diberikan, atau persyaratan yang "didiktekan" oleh IMF. Mengenai kebijakan yang diambil, termasuk mengenai waktu (timing) dan magnitude-nya, sebenarnya sering terjadi perbedaan antara pemerintah dengan misi IMF, namun biasanya tidak dipertentangkan secara terbuka. Dalam kaitan ini perlu diketahui bahwa dalam menjalankan tugasnya, misi IMF harus pula memperhatikan pandangan negara-negara maju yang merupakan major share holders, baik di IMF, Bank Dunia, maupun Bank Pembangunan Asia. Negara-negara ini, melalui Executive Director-nya masing-masing mempunyai peranan yang sangat menentukan atas disetujui tidaknya bantuan IMF. Negara-negara ini pulalah yang umumnya menjadi kreditor (bilateral) dalam Consultative Group on Indonesia (CGI). Seperti kata pepatah "tangan di atas lebih kuat dari tangan di bawah", pihak debitor akhirnya terpaksa juga menerima persyaratan-persyaratan yang digariskan pihak kreditor. Sangatlah sulit bagi tim pemerintah, misalnya, ketika harus menghadapi situasi take it or leave it. Akan lebih sulit lagi apabila dalam menghadapi misi IMF, tim pemerintah tidak siap dengan konsep yang utuh atau argumen-argumen yang kuat. Yang juga akan sangat kontraproduktif adalah bila pihak pemerintah (dan DPR) tidak sama persepsinya, apalagi kalau sampai saling menyalahkan satu sama lainnya. Perlu dikemukakan bahwa banyak juga kebijakan yang dipersyaratkan IMF tersebut, yang walaupun berat, pahit, dan tidak populer, memang merupakan kebijakan yang perlu dilakukan. *** SECARA agak lebih spesifik, mengapa bargaining power pemerintah menghadapi IMF tidak begitu kuat, dapat dijelaskan secara empiris sebagai berikut. Pertama, negara anggota yang meminta bantuan IMF, per definisi sedang mengalami kesulitan ekonomi atau bahkan sebuah krisis ekonomi, sehingga berada dalam kondisi terdesak dan sulit untuk melakukan negosiasi secara berimbang. Kedua, walaupun dana IMF itu hanya bisa dipakai untuk memperkuat cadangan devisa bruto, akan tetapi endorsement atau persetujuan IMF tersebut biasanya dijadikan prasyarat bagi diberikannya pinjaman baru oleh pihak lain. Pinjaman dalam rangka CGI, termasuk pinjaman Bank Dunia atau pinjaman Bank Pembanguan Asia, misalnya, baru bisa direalisasikan setelah ada "lampu hijau" dari IMF, bahwa kebijakan ekonomi yang ditempuh sudah tepat (on the right track). Dengan demikian, catalytic role IMF terhadap tersedianya pinjaman luar negeri baru, sangat menentukan. Ketiga, masih terkait dengan catalytic role tersebut, pengalaman dengan jelas menunjukkan bahwa penjadwalan atau rescheduling utang luar negeri (melalui Paris Club I, II, dan III) juga hanya bisa diwujudkan setelah ada persetujuan Board IMF atas kelanjutan program ekonomi dengan IMF. Keempat, persetujuan IMF sering pula dipakai oleh pelaku ekonomi/pasar, termasuk investor, sebagai patokan atau rujukan (benchmark) atas arah maupun kepastian kebijakan. Hal ini menjadi penting, khususnya dalam hal kepercayaan (confidence) terhadap komitmen pemerintah atas suatu kebijakan masih belum memadai, sehingga memerlukan semacam pengawasan dari pihak lain seperti IMF. Dengan uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa jika program ekonomi dengan IMF atau memakai istilah Kwik Kian Gie, kontrak dengan IMF, memang akan dihentikan, maka diperlukan sebuah strategi baru yang komprehensif. Keinginan untuk merancang dan melaksanakan sebuah program ekonomi tanpa bantuan atau intervensi pihak lain seperti IMF, adalah keinginan mulia dan patut dihargai. Keinginan ini selanjutnya perlu disertai upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, terutama pihak eksekutif dan legislatif. Berbagai aspek yang berkaitan dengan fungsi, peranan, dan kebijakan yang selama ini dilakukan IMF, tentunya perlu dicarikan alternatif yang lebih baik. Program ekonomi baru yang made in Indonesia, juga harus bisa lebih kredibel dan dapat menumbuhkan kepercayaan para pelaku ekonomi. Strategi baru juga perlu mencarikan alternatif sumber-sumber untuk membiayai pembangunan, termasuk pembiayaan APBN, khususnya jika rescheduling dan atau pinjaman luar negeri baru, sekiranya masih diperlukan, ternyata tak bisa lagi diperoleh tanpa program IMF. Dalam kaitan ini, sangat perlu diperhatikan bagaimana strategi bernegosiasi dan menjaga hubungan dengan negara-negara maju yang dewasa ini, suka atau tidak suka, merupakan kreditor utama Indonesia sekaligus major share holders yang mempunyai peran penting dan menentukan pada lembaga-lembaga keuangan multilateral. Strategi baru inilah yang belum pernah disampaikan secara utuh oleh Kwik Kian Gie, dan oleh karena itu sangat dinantikan dalam waktu dekat supaya tidak menimbulkan ketidakpastian baru yang akan menggangu proses pemulihan ekonomi kita. ACHJAR ILJAS, Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia.