7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada umumnya menjadi tua dianggap hal yang lumrah sehingga semua masalah yang muncul dianggap memang seharusnya dialami. Padahal terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses penuaan. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Lebih jauh lagi usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011). Dengan mengingat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses penuaan, dapatlah ditentukan faktor mana yang perlu dihindari atau diatasi sehingga proses penuaan dapat dicegah atau dihambat. Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011). 8 2.2 Penyakit Degeneratif Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Dari berbagai hasil penelitian modern diketahui bahwa munculnya penyakit degeneratif memiliki hubungan yang cukup kuat dengan bertambahnya usia seseorang. Penyakit degeneratif dapat dikaitkan pula sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003). Hal yang menyebabkan terjadinya penyakit degeneratif adalah kerusakan sel-sel dalam jaringan/ organ, sehingga jaringan/ organ tersebut tidak lagi berfungsi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kerusakan ini bersifat irreversible, sehingga obat-obatan yang pada saat ini tersedia, hanya dapat memperlambat atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan/ organ yang lebih luas (Halim dkk., 2010). Penyakit degeneratif dapat terjadi karena adanya proses penuaan, tidak termasuk penyakit menular dan berlangsung kronis seperti penyakit jantung coroner, hipertensi, diabetes melitus, obesitas dan lainnya (Powers, 2008). 2.3 Diabetes melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011). Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2015, dibagi dalam 4 jenis yaitu: 9 a. Diabetes melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ IDDM. DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. b. Diabetes melitus tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/ NIDDM. Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. c. Diabetes melitus tipe lain. DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. d. Diabetes melitus gestasional. DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. 2.3.1 Mekanisme kematian sel β pankreas pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 Diabetes melitus tipe 1 dan 2 dikarakteristikan dengan adanya kegagalan fungsi sel β secara progresif. Apoptosis merupakan bentuk utama kematian sel β. Lesi insulinitis pada DM tipe 1 menyebabkan sel imun memproduksi sitokin, seperti IL-1 β, 10 tumor necrosis factor (TNF)-α, dan interferon (IFN)-γ. Apoptosis IL-1β dan/ atau TNF-α plus IFN-γinduce β-cell terjadi melalui aktivasi dari β-cell gene dibawah kontrol faktor trasnkripsi NF-κB dan STAT-1. Aktivasi NF-κB menyebabkan produksi dari nitric oxide (NO) dan chemokines serta deplesi dari kalsium retikulum endoplasma. Kematian sel β ini terjadi karena aktivasi dari mitogen-activated protein kinase, yang dipacu oleh stress pada retikulum endoplasma serta pelepasan mitochondrial death signals. Paparan kronik yang menyebabkan kenaikan kadar glukosa dan asam lemak bebas menyebabkan disfungsi dari sel β serta dapat menginduksi apoptosis sel β pada DM tipe 2. Paparan kadar glukosa yang tinggi memiliki dua efek, yaitu memacu hipersensitisasi glukosa pada tahap awal dan kemudian apoptosis melalui mekanisme yang berbeda. Asam lemak bebas menyebabkan apoptosis sel β melalui stress pada retikulum endoplasma (Cnop dkk., 2005). 2.3.2 Kriteria diagnosis diabetes melitus Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM (Perkeni, 2011). 11 2.3.3 Intervensi farmakologis diabetes melitus Dalam konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititikberatkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis (Perkeni, 2011). 2.4 Sel Punca Perkembangan sel punca di dunia medis dimulai sejak tahun 1950-an, yaitu ketika ditemukannya sel-sel penyusun sumsum tulang yang mampu membentuk seluruh jenis sel darah dalam tubuh manusia. Secara etimologi, sel punca dapat diartikan sebagai sel yang menjadi awal mula dari pertumbuhan sel lain yang menyusun keseluruhan tubuh organisme, termasuk manusia. Selain itu, sel punca juga merupakan awal dari pertumbuhan berbagai jenis sel penyusun tubuh. Dalam bahasa Indonesia, kata punca berarti awal mula. Makna yang terkandung dalam kata sel punca, semakin diteguhkan dengan penemuan keberadaan sel punca pada awal kehidupan manusia, yaitu saat masih embrio. Hal ini tentu semakin menegaskan bahwa sel punca adalah sel yang menjadi awal mula terbentuknya 200 jenis sel yang menyusun tubuh (Halim dkk., 2010). 2.4.1 Karakteristik sel punca Supaya dapat dikategorikan sebagai sel punca, suatu sel harus memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 12 1. Belum berdiferensiasi (undifferentiated), yaitu belum memiliki bentuk dan fungsi spesifik layaknya sel-sel lain pada organ tubuh (Halim dkk.,2010). 2. Mampu memperbanyak diri sendiri (self renewal), yang berarti bahwa sel punca dapat melakukan replikasi dan menghasilkan sel-sel yang mempunyai karakteristik sama dengan sel induknya. Populasi sel punca dalam tubuh terjaga dengan kemampuannya memperbanyak diri sendiri. Kemampuan ini dapat dilakukan berulang kali, bahkan diduga tidak terbatas. Selain itu, kemampuan ini juga dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang (Halim dkk., 2010). 3. Berdiferensiasi menjadi lebih dari satu jenis sel (multipoten atau pluripoten); bersifat pluripoten apabila stem cell mampu berdiferensiasi menjadi sel tubuh apa pun yang berasal dari ketiga lapisan embrional (ektoderm, mesoderm, dan endoderm); dan sel punca bersifat multipoten apabila mampu berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel yang biasanya berada dalam satu golongan serupa, misalnya sel-sel sistem hematopoietik atau sistem saraf (Halim dkk.,2010). 2.4.2 Jenis sel punca Berdasarkan tingkat maturasi tubuh yang menjadi sumber keberadaannya, secara praktis sel punca dibagi menjadi dua jenis, yaitu sel punca embrionik (embryonic stem cell) dan sel punca dewasa (adult stem cell) (Halim dkk., 2010). 2.4.2.1 Sel punca embrionik (embryonic stem cell) Sel punca embrionik adalah sel punca yang didapatkan saat perkembangan individu masih berada dalam tahap embrio. Lebih tepatnya, sel punca ini adalah massa sel 13 dalam (inner cell mass) yang terdapat dalam blastosis. Inner cell mass terbentuk saat embrio berusia 3-5 hari, yaitu saat blastosis terbentuk dan akan mengimplantasikan dirinya ke dalam dinding rahim. Dalam tahap perkembangan selanjutnya, sel-sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel-sel yang lebih dewasa, yang memiliki kemampuan proliferasi dan diferensiasi yang lebih rendah dibandingkan sel punca embrionik. Sel punca embrionik merupakan awal dari seluruh jenis sel dalam tubuh manusia. Sel punca embrionik tergolong sebagai sel punca yang bersifat pluripoten. Selain sifatnya yang pluripoten, sel punca embrionik juga memiliki daya proliferasi yang tinggi, telomer yang panjang, dan aktivitas enzim telomerase yang tinggi (Halim dkk., 2010). 2.4.2.2 Sel punca dewasa (adult stem cell) Sel punca dewasa adalah sel punca yang ditemukan di antara sel-sel lain yang telah berdiferensiasi, dalam suatu jaringan yang telah mengalami maturasi. Dengan kata lain, sel punca dewasa adalah sekelompok sel yang belum berdiferensiasi, bahkan terkadang ditemukan dalam keadaan inaktif, pada suatu jaringan yang telah memiliki fungsi spesifik dalam tubuh individu. Saat ini hampir seluruh jaringan dan organ tubuh yang telah matur, terbukti mengandung sel punca dewasa. Oleh karena itu, penggolongan sel punca dewasa dilakukan berdasarkan organ atau golongan sel yang akan menjadi alur diferensiasinya, seperti sel punca hematopoietik, sel punca jantung, sel punca jaringan saraf (neural stem cell), sel punca mesenkimal, sel punca kulit, dan sebagainya (Halim dkk., 2010). 14 Beberapa contoh alur diferensiasi dari sel punca dewasa: 1. Sel Punca Hematopoietik Adalah sel yang mampu membentuk seluruh progenitor sel darah, demi terselenggaranya hematopoiesis dan fungsi imun tubuh. Dengan demikian, sel ini bisa dikatakan sebagai induk dari segala jenis sel darah yang beredar dalam tubuh manusia. Sel punca hematopoietik merupakan hasil dari diferensiasi hemangioblast, yang juga dapat berdiferensiasi menjadi progenitor sel endotel. Oleh karena itu, sel punca hematopoietik memiliki beberapa kesamaan sifat, terutama dalam hal ekspresi protein permukaan, dengan progenitor sel endotel. Sel punca hematopoietik mampu berdiferensiasi menjadi seluruh jenis sel darah, seperti eritrosit, trombosit, monosit, neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit B, limfosit T, dan natural killer (NK) cell (Halim dkk., 2010) 2. Sel Punca Jaringan Saraf (Neural): Mampu berdiferensiasi menjadi tiga golongan utama sel saraf, yaitu astrost, oligodendrosit, dan neuron. Selain itu, sel punca jaringan saraf juga mampu berdiferensiasi menjadi kelompok sel saraf yang memiliki aktivitas dopaminergik (Halim dkk., 2010). 3. Sel Punca Jaringan Kulit: Sel punca yang banyak ditemukan di stratum basalis epidermis kulit dan dasar folikel rambut ini, mampu berdiferensiasi menjadi 15 keratinosit, dan sel penyusun lapisan epidermis kulit (Halim dkk., 2010). 4. Sel Punca Mesenkimal: Mampu berdiferensiasi menjadi osteosit, kondrosit, adiposit, dan berbagai jenis sel penyusun jaringan ikat (Halim dkk., 2010). 5. Sel Punca Jantung: Mampu berdiferensiasi menjadi tiga jenis sel utama penyusun organ jantung, yaitu endotel, kardiomiosit, dan sel otot polos (Halim dkk., 2010). Khusus untuk sel punca dewasa, walaupun telah disebutkan sebelumnya bahwa potensi diferensiasi yang telah dimilikinya hanya tergolong multipotent, namun jurnal-jurnal ilmiah beberapa tahun terakhir ini: menyatakan bukti dapat terjadinya transdiferensiasi (Halim dkk., 2010). 2.4.3 Homing Definisi homing sebagai aktivitas sel punca untuk kembali ke rumahnya, yaitu jaringan tubuh yang rusak dan hendak diperbaiki. Sejumlah faktor memegang peran penting untuk membantu keberlangsungan proses homing ini. Istilah homing pertama kali digunakan untuk mendeskripsikan proses yang terjadi dalam transplantasi sel dari sumsum tulang. Sel punca hematopoietik yang disuntikkan ke pembuluh darah akan segera menuju ke bagian sumsum tulang yang mengalami kerusakan. Dalam uji laboratorium pada hewan, sel punca diberi suatu penanda untuk melacak keberadaannya setelah masuk ke dalam pembuluh darah. Melalui percobaan tersebut, sel punca 16 yang terbukti segera menuju jaringan tubuh hewan yang rusak. Pada penyelidikan selanjutnya, aktivitas sel punca seperti ini diduga dipengaruhi oleh adanya protein spesifik yang dilepaskan oleh sel-sel tubuh yang rusak sebagai bentuk komunikasi seluler. Protein ini bersifat kemoatraktif, sehingga mampu menarik sel punca yang berada di peredaran pembuluh darah, untuk menuju ke arah keberadaan proteinnya (Halim dkk., 2010). 2.4.4 Mekanisme regenerasi jaringan oleh sel punca Setelah sel punca yang diadministrasikan secara sistemik atau secara langsung sampai pada jaringan yang dituju, maka mekanisme regenerasi jaringan yang rusak pun segera dimulai. Mekanisme perbaikan jaringan yang rusak dengan menggunakan sel punca terdiri dari dua jenis, yaitu diferensiasi sel punca dan produksi faktor pertumbuhan. Diferensiasi sel punca, dengan kemampuan ini maka sel punca yang telah sampai pada lokasi kerusakan sel dalam jaringan tubuh akan mampu berdiferensiasi menjadi sel somatik jaringan tubuh tersebut, sehingga mampu menggantikan sel-sel yang telah rusak. Produksi faktor pertumbuhan, sel punca yang ditransplantasikan ke dalam tubuh secara sistemik dapat menginduksi sel punca lain yang berada di berbagai organ tubuh pasien sendiri untuk berproliferasi dan bergerak menuju ke jaringan/ organ yang mengalami kerusakan. Salah satu hal yang diduga menyebabkan hal ini adalah sejumlah faktor yang diproduksi oleh sel punca yang dicangkokkan ke dalam tubuh, mampu merangsang pengeluaran sel punca dari berbagai organ tubuh pasien. Faktor-faktor ini adalah sitokin dan faktor pertumbuhan (Halim dkk., 2010). 17 2.5 Sel Punca Mesenkimal (Mesenchymal Stem Cell/ MSC) Sel punca mesenkimal terdapat pada seluruh organ tubuh manusia, lebih tepatnya sebagai bagian dari populasi sel yang terdapat di daerah perivaskular. Dengan pertimbangan sel, aksesibilitas, dan hasil penelitian yang dilakukan, maka terdapat tiga sumber yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan sel punca mesenkimal, yaitu sumsum tulang, darah tali pusat, dan jaringan adiposa (Halim dkk., 2010). Perkembangan minat penelitian MCS dimulai pada tahun 1960 pada saat Friedenstein melaporkan bahwa sel stroma sumsum tulang dapat menghasilkan tulang. Ia kemudian menunjukkan bahwa sel-sel stroma sumsum tulang memiliki sifat khondrogenik dan adipogenik serta kemampuan yang tinggi untuk pembaruan diri. Sejak saat itu MSC terbukti terdapat di sel punca dewasa seperti di jaringan adiposa, otot, darah perifer, paru-paru, jantung, stroma kornea, pulpa gigi, plasenta, endometrium, membran amnion, Wharton’s jelly (tali pusat) dan sel punca embrionik. MSC memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai sel-sel khusus dari mesoderm asal: sel-sel tulang, tulang rawan, lemak, kardiomiosit, serat otot, sel-sel tubulus ginjal, dan berdiferensiasi menjadi sel-sel asal ektodermal, misalnya, neuron, dan asal endodermal, seperti hepatosit dan sel pulau pankreas. Karena sifat di atas, MSC dianggap sebagai pilihan pengobatan baru yang muncul dan agen terapi dalam pengobatan regeneratif. Potensi terapi MSC dapat secara langsung dengan meregenerasi sel-sel jaringan yang luka atau dengan efek parakrin pada lingkungan sekitar, 18 dan secara tidak langsung dengan mendukung revaskularisasi, melindungi jaringan dari stres yang disebabkan apoptosis, dan modulasi reaksi inflamasi. Uji klinis hasil terapi berbasis sel MSC di berbagai bidang klinis berdasarkan in vitro dan in vivo telah lebih dari 400 yang terdaftar (Kalaszczynska dkk., 2015). Mesenchymal stem cell awalnya diisolasi dari sumsum tulang (Bone Marrow/ BM) dan populasi sel ini masih dianggap sebagai standar emas untuk aplikasi MSC. Namun demikian BM memiliki beberapa keterbatasan sebagai sumber MSC, termasuk jumlah MSC yang rendah, prosedur isolasi yang sangat invasif dan terdapat penurunan karakteristik MSC sesuai dengan usia donor. Sejumlah sel punca diperkirakan mengalami degenerasi seiring dengan semakin lanjut usia, sehingga menyebabkan jumlah dalam populasinya pun berkurang. Oleh karena itu para peneliti mencari dan mengidentifikasi sumber-sumber alternatif lainnya untuk MSC (Hass dkk., 2011). 2.5.1 Karakteristik sel punca mesenkimal Agar dapat dikarakteristikan sebagai MSC, sel harus memiliki karakteristik mampu untuk menempel pada cawan kultur plastik, mengekspresikan antigen membran CD105, CD73, CD90, dan sedikitnya ekspresi CD45 dan CD34, serta mampu berdiferensiasi menjadi garis keturunan kondrogenik dan adipogenik (Halim dkk., 2010). 2.5.2 Insulin producing cells (IPCs) 19 Schuldiner dkk menunjukkan bahwa human embryonic stem cells (hESCs) dapat berdiferensiasi secara spontan menjadi menjadi IPCs pada saat dikultur. Assady dkk juga melaporkan bahwa adherent hESCs dapat mengeskpresikan insulin pada saat dikultur. Namun, efisiensi pola diferensiasi spontan ini masih sangat rendah. Beberapa peneliti menggunakan manipulasi gen untuk memperbaiki efisiensi islet-cell transduction dengan overexpression dari Pdx1 (pancreatic β-cell development gene) atau Ngn3. Namun, metode ini memiliki kekurangan untuk digunakan sebagai terapi sel karena terdapat kontaminasi eksogenus pada DNA. Terdapat 3 tahap perkembangan penting dalam regenerasi sel β pankreas: tahap pertama dengan menginduksi sel punca menjadi lapisan endoderm definitif, tahap kedua dengan menjadi pancreatic progenitors atau endocrine progenitors dan tahap ketiga menjadi sel β pankreas. Masing-masing tahapan terdapat faktor-faktor yang menginduksi diferensiasi. Sebagai contoh, Activin A, yang telah digunakan untuk diferensiasi hES menjadi garis keturunan endoderm, adalah faktor penting untuk diferensiasi endoderm definit pada sel punca embrionik tikus dan manusia (Wu dkk, 2014). Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly dapat berdiferensiasi menjadi IPC. Chao dkk mendiferensiasikan WJ-MSC menjadi IPC melalui beberapa tahap kultur menggunakan neuroconditioned medium. Wu dkk melakukan studi banding dengan membandingkan kemampuan WJ-MSC dan BM-MSC berdiferensiasi menjadi IPC phenotype. Kedua tipe seluler tersebut memiliki kemampuan untuk membentuk isletlike cluster pada kultur hari pertama dengan medium kultur yang mengandung nico- 20 tinamide, activin, HGF, exendin-4 dan pentagastrin. Para peneliti tersebut menemukan ekspresi Pdx-1 pada differentiated WJ-MSC yang lebih tinggi dibanding dengan differentiated BM-MSC (Anzalone dkk., 2011). Human umbilical cord MSC dapat berdiferensiasi menjadi IPCs dibawah medium diferensiasi. Wu dkk menggunakan one-step method untuk membentuk islet-like cell cluster yang dapat mengeskpresikan faktor transkripsi pancreatic-specific PDX-1 dan pancreatic-specific marker C-peptide. Medium diferensiasi mengandung suatu jenis hormon pentagastrin selain faktor yang biasanya digunakan seperti activin-A, exendin-4, HGF. Dibawah medium diferensiasi yang sama, bone marrow mesenchymal stem cells (BMMSCs) membentuk islet-like cluster yang lebih kecil dan ekspresi pdx-1 sertaC-peptide yang lebih rendah. Tiga langkah induksi spesifik WJ-MSC dapat membentuk insulin-producing cells tanpa pembentukan islet-like cells cluster (Wu dkk., 2014). Tabel 1.1 Diferensiasi dari beberapa populasi sel punca mesenkimal menjadi islet-like cells (Anzalone dkk., 2011) 21 Induced Insulin-Producing Cells dapat melepaskan insulin dan C-peptide. Implantasi dari MSC yang telah berdiferensiasi ke dalam tikus model diabetes dapat menurunkan kadar glukosa ke tingkat normal. Oleh karena itu IPCs yang berasal dari induksi MSC terlihat sebagai sumber yang sel β yang ideal untuk terapi cell replacement pada diabetes (Wu dkk, 2014). 2.5.3 Tingkat keamanan sel punca mesenkimal pada aplikasi kilnis Transplantasi MSC menjadi terapi yang efektif untuk penyakit hematologi, respiratory distress syndrome, spinal cord injury, liver injury, dan critical limb ischemia. Sampai saat ini, ratusan uji klinik menggunakan MSC telah terdaftar dalam database (http://www.clinicaltrials.gov/) dari lembaga kesehatan nasional AS (Wang dkk., 2012). 22 Untuk mengetahui toksisitas dan tumorigenicity dari human adipose tissuederived mesenchymal stem cells (hAdMCSs), berbagai dosis sel dengan takaran berbeda diinjeksikan secara intravena pada tikus dengan imunodefisiensi dan diobservasi selama 13 dan 26 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya efek samping pada pemberian dengan dosis sel tertinggi (2,5 x 108 sel/kgBB) dan tidak ditemukan adanya perkembangan tumor. Uji klinik selama lebih dari 12 bulan pada 8 pasien laki-laki yang menderita spinal cord injury dengan dosis sel 4 x 108 sel/kgBB juga tidak ditemukan reaksi efek samping. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa transplantasi sistemik hAdMSC aman dan tidak menginduksi perkembangan tumor (Ra dkk., 2011). 2.5.4 Diabetes melitus mengganggu potensi angiogenik adipose-derived stemcell (ADSC) Diabetes melitus merusak potensi angiogenik dari ADSC dengan cara deplesi subpopulasi seluler selektif. Secara khusus, pada DM terjadi gangguan pada fungsi diabetes endotelial progenitor sel (EPC) dan populasi kultur jaringan fibroblast in vitro. Selain itu, terdapat pengurangan ekspresi vaskulogenik dan sitokin regeneratif vaskular endothelial growth factor (VEGF) serta hipoxia induced factor 1-alpha (HIF-1α). ADSC pada pasien DM gagal memperbaiki penyembuhan luka iskemik (Rennert dkk., 2014). 23 Gambar 2.1Perbedaan persentase jumlah sel yang berdiferensiasi menjadi adipogenik dan osteogenik ADSC pada pasien DM dan non DM (Rennert dkk., 2014) 2.5.5 Penurunan karakteristik sel punca mesenkimal Keberadaan sumber MSC pada adult stem cell dalam tubuh membuat mereka sangat rentan terhadap penumpukan kerusakan sel yang kemudian dapat menyebabkan kematian sel, penuaan, atau hilangnya fungsi regeneratif dan transformasi neoplastik. Sebaliknya, MSC neonatal seperti WJ-MSC, terhindar dari faktor pro aging. Penurunan kapasitas perbaikan dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit degeneratif disebabkan karena fungsi sel induk menurun seiring dengan usia. Banyak penelitian ilmiah menunjukkan bahwa usia jaringan donor mempengaruhi beberapa sifat MSC. Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan ADSC 24 untuk pembentukan jaringan pembuluh darah (neovaskularisasi) berkurang seiring dengan berjalannya usia. Demikian juga dengan bone marrow stem cell (BMSC) yang mengalami penurunan kemampuan imunomodulator seiring berjalannya usia (Kalaszczynska dkk., 2015). 2.6 Sel Punca Mesenkimal Wharton’s Jelly (Wharton’s Jelly Mesenchymal Stem Cell/ WJ-MSC) Pada saat ini dikembangkan sumber MSC Wharton’s Jelly yang diperoleh dari tali pusat (Umbilical Cord/ UC). Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly (Wharton’s Jelly Mesenchymal Stem Cell/ WJ-MSC) mendapat perhatian yang sangat besar karena sel dapat dengan mudah diisolasi (non-invasive procedure), tidak terbentur masalah etika dan berasal dari jaringan yang didapat setelah lahir sehingga tidak terdapat penurunan karakteristik MSC (Wang dkk., 2004). WJ-MSC memungkinkan untuk digunakan sebagai alternatif klinis dari BMMSC karena memiliki aksesibilitas yang lebih baik, potensi ekspansi yang lebih tinggi serta imunogenisitas rendah (Quintiliano, 2010). Penelitian tentang manfaat dan keamanan transplantasi WJ-MSC pada pasien DM tipe 2 menunjukkan bahwa WJ-MSC dapat menurunkan kadar glukosa, memperbaiki kadar C-peptide dan fungsi sel beta, serta menurunkan penanda inflamasi sistemik dan jumlah T limfosit (Liu dkk., 2014). Terdapat dua populasi sel mesenkimal dalam tali pusat manusia, yaitu: Wharton’s Jelly Messenchymal Stem Cell (WJ-MSC) dan Human Umbilical Cord 25 perivascular Cell (HUCPVCs). WJ-MSC dari tali pusat mengandung jaringan ikat mucoid dan fibroblast-like cell. Dengan menggunakan analisis flowcitrometri, sel-sel tersebut mengeksresikan reseptor matriks (CD44, CD105) dan integrin marker (CD29, CD51) tetapi tidak untuk penanda garis keturunan hematopoietik (CD34, CD45). Sel-sel ini juga mengekspresikan sejumlah besar penanda sel batang mesenkimal (SH2, SH3) serta memiliki potensi multilineage dan dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel dari garis keturunan adipogenik dan osteogenik (Wang dkk., 2004). Gambar 2.2 Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly (Baergen, 2011) 2.6.1 Isolasi Sel Punca Mesenkimal Wharton’s Jelly Dengan metode explan, jaringan dipotong menjadi ukuran kecil (sekitar 1 mm2) dan ditempatkan dalam medium. Explan menempel pada substrat dan sel keluar dari jaringan. Sel-sel ini kemudian dipanen dan dipassase (Puranik dkk., 2012). 26 Gambar 2.3 Isolasi dari sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly ( Puranik dkk., 2012) Gambar 2.4 Kultur sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly hari 1, 3 dan 5 setelah passase hari ke 21. Tampak adanya pertumbuhan sel punca dan pengelompokan sel punca (tanda panah) tersebut (Fibrianto dkk., 2009) 27 Gambar 2.5 Isolasi dan karakteristik dari WJ-MSC. (A)Pasase 5 WJ-MSC; (B) WJ-MSCs masson’s trichrome staining; (C) Diferensiasi adiposit WJ-MSCs; (D) Oil Red O Staining; Diferensiasi osteosit, Von kossa Staining (E) and Alkaline Phosphatase staining (F); (G) Diferensiasi kondrosit, Safranin O Staining; (H) Analisis flocitometri WJ-MSC; (I) Diferensiasi neural, Neuroglia2 immunostaining (J); (K) Smooth muscle actin staining; (L) Diferenasiasi sel photoreseptor, Rhodopsin staining (M); (N) Diferensiasi progenitor pankreatik, (O) Insulin, (P) PDX1 (Sabapathy dkk., 2014). 2.6.2 Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly berdiferensiasi menjadi insulinproducing cells in vitro Sel punca Wharton’s Jelly yang diinduksi dengan nikotinamid dan βmercaptoethanol atau neurogenic differentiation 1 gene (NeuroD1) secara gradual terjadi perubahan morfologi dari sel yang berbentuk fibroblas menjadi sel yang berbentuk bulat. Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan adanya ekspresi positif dari insulin dan glukagon dari sel-sel ini. Pemeriksaan RT-PCR menunjukkan bahwa 28 huMSC mengekspresikan insulin dan gen PDX-1 setelah diinduksi (Wang dkk., 2011). Gambar 2.6 Hasil dari diferensiasi. A1: huMSC, A2: Sel tersebut memiliki morfologi fibroblas-like. B1 & B2: Perubahan morfologi pada huMSC setelah diinduksi nicotinamid & β-mercaptoethanol (perbesaran 200x). C1: ekspresi seluler dari protein glukagon manusia setelah terapi dengan nicotinamid & βmercaptoethanol. C2 & D2: kelompok kontrol tanpa adanya eskpresi dari insulin atau glukagon (perbesaran 200x). E1: Dithizone staining pada D-HuMSCs menunjukan cytoplasmic staining dengan warna merah kecoklatan dan E2 adalah kontrol negatif (perbesaran 200x). F: Analisis RT-PCR human insulin dan PDX-1 genes setelah induksi. Setelah induksi selama 6 hari, huMSCs mengeskpresikan human PDX-1 gene dan huMSCs mengekspresikan human insulin gene setelah induksi selama 12 hari. G: Insulin leve (Wang dkk., 2011) 2.6.3 Efek dan keamaan transplantasi sel punca mesenkimal wharton’s jelly Penelitian tentang efek dan keamaan transplantasi WJ-MSC dilakukan pada 20 pasien DM tipe 2. Kelompok pertama WJ-MSC diberikan secara intravena dan kelompok kedua transplantasi WJ-MSC diberikan secara endovaskular intrapankreatik. Setelah 12 bulan pasca transplantasi, terdapat penurunan pada kadar glukosa dan glycated hemoglobin, perbaikan kadar C-peptide dan fungsi sel beta pankreas, serta 29 penurunan marker inflamasi sistemik dan hitung T limfosit. Tidak ditemukan efek samping (Liu dkk., 2014). Gambar 2.7 Kadar glycated hemoglobin, glukosa puasa dan glukosa 2 jam post prandial selama 12 bulan periode penelitian (Liu dkk., 2014). Berdasarkan hasil uji toksisitas dan uji tumorigenicity, Ra JC dkk menyimpulkan bahwa transplantasi hingga 2 x 108 sel/ kgBB Human Adipose Tissue-Derived Mesenchymal Stem Cells (hAdMSCs) autologus aman bila diberikan infus intravena secara perlahan (Ra dkk., 2011). 2.6.4 Jalur pemberian sel punca mesenkimal wharton’s jelly Terdapat dua metode transplantasi sel punca. Metode pertama adalah secara langsung mengimplantasikan sel punca tersebut ke dalam jaringan/ organ tubuh 30 pasien yang telah rusak. Metode kedua adalah mengimplantasikan sel punca melalui pembuluh darah, baik yang berada dekat dengan lokasi jaringan/ organ yang telah rusak atau pembuluh darah manapun yang terdapat dalam tubuh pasien. Karena kemudahan aplikasinya di kemudian hari, maka metode kedua inilah yang paling banyak digunakan dan diuji efektivitasnya. Cara pemberian secara langsung memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam pelaksanaannya. Sebalikya, administrasi sel punca melalui pembuluh darah jauh lebih mudah dilakukan daripada injeksi sel punca intralesi (Halim dkk., 2010). Gambar 2.8 Adhesi MSC pada pulau pankreas (Scuteri dkk., 2014) 31 Gambar 2.9 Evaluasi persentase survival MSC pada pulau pankreas (Scuteri dkk., 2014) 2.7 Hewan Percobaan 2.7.1 Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan sebagai hewan coba Percobaan ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006). Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus 32 putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Classis : Mammalia Subclassis : Placentalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae Genus : Rattus 33 Species : Rattus norvegicus 2.7.2 Kriteria tikus diabetes Kadar glukosa normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 mg/dL sampai 135 mg/dL. Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir. Kadar glukosa pada tikus dapat dikatakan diabetes jika kadar glukosa puasa di atas 126 mg/dL (Animalarticle, 2011).