BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Setelah mencapai usia

advertisement
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak dapat
berkembang lagi. Sebaliknya terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada
umumnya menjadi tua dianggap hal yang lumrah sehingga semua masalah yang muncul dianggap memang seharusnya dialami. Padahal terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses penuaan. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon
yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang
tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat
bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Lebih jauh
lagi usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik
(Pangkahila, 2011).
Dengan mengingat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses penuaan,
dapatlah ditentukan faktor mana yang perlu dihindari atau diatasi sehingga proses
penuaan dapat dicegah atau dihambat. Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya
menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan
dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih
sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011).
8
2.2 Penyakit Degeneratif
Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang
muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, dari keadaan normal menjadi
lebih buruk. Dari berbagai hasil penelitian modern diketahui bahwa munculnya penyakit degeneratif memiliki hubungan yang cukup kuat dengan bertambahnya usia
seseorang. Penyakit degeneratif dapat dikaitkan pula sebagai penyakit yang
mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003).
Hal yang menyebabkan terjadinya penyakit degeneratif adalah kerusakan sel-sel
dalam jaringan/ organ, sehingga jaringan/ organ tersebut tidak lagi berfungsi sesuai
dengan kebutuhan tubuh. Kerusakan ini bersifat irreversible, sehingga obat-obatan
yang pada saat ini tersedia, hanya dapat memperlambat atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan/ organ yang lebih luas (Halim dkk., 2010).
Penyakit degeneratif dapat terjadi karena adanya proses penuaan, tidak termasuk
penyakit menular dan berlangsung kronis seperti penyakit jantung coroner, hipertensi,
diabetes melitus, obesitas dan lainnya (Powers, 2008).
2.3 Diabetes melitus
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (Perkeni, 2011).
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2015,
dibagi dalam 4 jenis yaitu:
9
a.
Diabetes melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/
IDDM. DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas
karena sebab autoimun.
b.
Diabetes melitus tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/
NIDDM. Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi
insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena
terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
c.
Diabetes melitus tipe lain. DM tipe ini terjadi karena etiologi lain,
misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
d.
Diabetes melitus gestasional. DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga.
2.3.1 Mekanisme kematian sel β pankreas pada diabetes melitus tipe 1 dan 2
Diabetes melitus tipe 1 dan 2 dikarakteristikan dengan adanya kegagalan fungsi
sel β secara progresif. Apoptosis merupakan bentuk utama kematian sel β. Lesi insulinitis pada DM tipe 1 menyebabkan sel imun memproduksi sitokin, seperti IL-1 β,
10
tumor necrosis factor (TNF)-α, dan interferon (IFN)-γ. Apoptosis IL-1β dan/ atau
TNF-α plus IFN-γinduce β-cell terjadi melalui aktivasi dari β-cell gene dibawah
kontrol faktor trasnkripsi NF-κB dan STAT-1. Aktivasi NF-κB menyebabkan
produksi dari nitric oxide (NO) dan chemokines serta deplesi dari kalsium retikulum
endoplasma. Kematian sel β ini terjadi karena aktivasi dari mitogen-activated protein
kinase, yang dipacu oleh stress pada retikulum endoplasma serta pelepasan mitochondrial death signals. Paparan kronik yang menyebabkan kenaikan kadar glukosa dan
asam lemak bebas menyebabkan disfungsi dari sel β serta dapat menginduksi apoptosis sel β pada DM tipe 2. Paparan kadar glukosa yang tinggi memiliki dua efek, yaitu
memacu hipersensitisasi glukosa pada tahap awal dan kemudian apoptosis melalui
mekanisme yang berbeda. Asam lemak bebas menyebabkan apoptosis sel β melalui
stress pada retikulum endoplasma (Cnop dkk., 2005).
2.3.2 Kriteria diagnosis diabetes melitus
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥200
mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM (Perkeni,
2011).
11
2.3.3 Intervensi farmakologis diabetes melitus
Dalam konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititikberatkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM,
yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis
(Perkeni, 2011).
2.4 Sel Punca
Perkembangan sel punca di dunia medis dimulai sejak tahun 1950-an, yaitu ketika
ditemukannya sel-sel penyusun sumsum tulang yang mampu membentuk seluruh
jenis sel darah dalam tubuh manusia. Secara etimologi, sel punca dapat diartikan sebagai sel yang menjadi awal mula dari pertumbuhan sel lain yang menyusun keseluruhan tubuh organisme, termasuk manusia. Selain itu, sel punca juga merupakan
awal dari pertumbuhan berbagai jenis sel penyusun tubuh. Dalam bahasa Indonesia,
kata punca berarti awal mula. Makna yang terkandung dalam kata sel punca, semakin
diteguhkan dengan penemuan keberadaan sel punca pada awal kehidupan manusia,
yaitu saat masih embrio. Hal ini tentu semakin menegaskan bahwa sel punca adalah
sel yang menjadi awal mula terbentuknya 200 jenis sel yang menyusun tubuh (Halim
dkk., 2010).
2.4.1 Karakteristik sel punca
Supaya dapat dikategorikan sebagai sel punca, suatu sel harus memiliki beberapa
karakteristik, yaitu:
12
1. Belum berdiferensiasi (undifferentiated), yaitu belum memiliki bentuk dan
fungsi spesifik layaknya sel-sel lain pada organ tubuh (Halim dkk.,2010).
2. Mampu memperbanyak diri sendiri (self renewal), yang berarti bahwa sel punca dapat melakukan replikasi dan menghasilkan sel-sel yang mempunyai
karakteristik sama dengan sel induknya. Populasi sel punca dalam tubuh terjaga dengan kemampuannya memperbanyak diri sendiri. Kemampuan ini dapat
dilakukan berulang kali, bahkan diduga tidak terbatas. Selain itu, kemampuan
ini juga dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang (Halim dkk., 2010).
3. Berdiferensiasi menjadi lebih dari satu jenis sel (multipoten atau pluripoten);
bersifat pluripoten apabila stem cell mampu berdiferensiasi menjadi sel tubuh
apa pun yang berasal dari ketiga lapisan embrional (ektoderm, mesoderm, dan
endoderm); dan sel punca bersifat multipoten apabila mampu berdiferensiasi
menjadi beberapa jenis sel yang biasanya berada dalam satu golongan serupa,
misalnya sel-sel sistem hematopoietik atau sistem saraf (Halim dkk.,2010).
2.4.2 Jenis sel punca
Berdasarkan tingkat maturasi tubuh yang menjadi sumber keberadaannya, secara
praktis sel punca dibagi menjadi dua jenis, yaitu sel punca embrionik (embryonic
stem cell) dan sel punca dewasa (adult stem cell) (Halim dkk., 2010).
2.4.2.1 Sel punca embrionik (embryonic stem cell)
Sel punca embrionik adalah sel punca yang didapatkan saat perkembangan individu masih berada dalam tahap embrio. Lebih tepatnya, sel punca ini adalah massa sel
13
dalam (inner cell mass) yang terdapat dalam blastosis. Inner cell mass terbentuk saat
embrio berusia 3-5 hari, yaitu saat blastosis terbentuk dan akan mengimplantasikan
dirinya ke dalam dinding rahim. Dalam tahap perkembangan selanjutnya, sel-sel ini
akan berdiferensiasi menjadi sel-sel yang lebih dewasa, yang memiliki kemampuan
proliferasi dan diferensiasi yang lebih rendah dibandingkan sel punca embrionik. Sel
punca embrionik merupakan awal dari seluruh jenis sel dalam tubuh manusia. Sel
punca embrionik tergolong sebagai sel punca yang bersifat pluripoten. Selain sifatnya
yang pluripoten, sel punca embrionik juga memiliki daya proliferasi yang tinggi, telomer yang panjang, dan aktivitas enzim telomerase yang tinggi (Halim dkk., 2010).
2.4.2.2 Sel punca dewasa (adult stem cell)
Sel punca dewasa adalah sel punca yang ditemukan di antara sel-sel lain yang
telah berdiferensiasi, dalam suatu jaringan yang telah mengalami maturasi. Dengan
kata lain, sel punca dewasa adalah sekelompok sel yang belum berdiferensiasi,
bahkan terkadang ditemukan dalam keadaan inaktif, pada suatu jaringan yang telah
memiliki fungsi spesifik dalam tubuh individu. Saat ini hampir seluruh jaringan dan
organ tubuh yang telah matur, terbukti mengandung sel punca dewasa. Oleh karena
itu, penggolongan sel punca dewasa dilakukan berdasarkan organ atau golongan sel
yang akan menjadi alur diferensiasinya, seperti sel punca hematopoietik, sel punca
jantung, sel punca jaringan saraf (neural stem cell), sel punca mesenkimal, sel punca
kulit, dan sebagainya (Halim dkk., 2010).
14
Beberapa contoh alur diferensiasi dari sel punca dewasa:
1. Sel Punca Hematopoietik
Adalah sel yang mampu membentuk seluruh progenitor sel darah,
demi terselenggaranya hematopoiesis dan fungsi imun tubuh. Dengan
demikian, sel ini bisa dikatakan sebagai induk dari segala jenis sel
darah yang beredar dalam tubuh manusia. Sel punca hematopoietik
merupakan hasil dari diferensiasi hemangioblast, yang juga dapat berdiferensiasi menjadi progenitor sel endotel. Oleh karena itu, sel punca
hematopoietik memiliki beberapa kesamaan sifat, terutama dalam hal
ekspresi protein permukaan, dengan progenitor sel endotel. Sel punca
hematopoietik mampu berdiferensiasi menjadi seluruh jenis sel darah,
seperti eritrosit, trombosit, monosit, neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit B, limfosit T, dan natural killer (NK) cell (Halim dkk., 2010)
2. Sel Punca Jaringan Saraf (Neural):
Mampu berdiferensiasi menjadi tiga golongan utama sel saraf,
yaitu astrost, oligodendrosit, dan neuron. Selain itu, sel punca jaringan
saraf juga mampu berdiferensiasi menjadi kelompok sel saraf yang
memiliki aktivitas dopaminergik (Halim dkk., 2010).
3. Sel Punca Jaringan Kulit:
Sel punca yang banyak ditemukan di stratum basalis epidermis
kulit dan dasar folikel rambut ini, mampu berdiferensiasi menjadi
15
keratinosit, dan sel penyusun lapisan epidermis kulit (Halim dkk.,
2010).
4. Sel Punca Mesenkimal:
Mampu berdiferensiasi menjadi osteosit, kondrosit, adiposit, dan
berbagai jenis sel penyusun jaringan ikat (Halim dkk., 2010).
5. Sel Punca Jantung:
Mampu berdiferensiasi menjadi tiga jenis sel utama penyusun organ jantung, yaitu endotel, kardiomiosit, dan sel otot polos (Halim
dkk., 2010).
Khusus untuk sel punca dewasa, walaupun telah disebutkan sebelumnya bahwa
potensi diferensiasi yang telah dimilikinya hanya tergolong multipotent, namun
jurnal-jurnal ilmiah beberapa tahun terakhir ini: menyatakan bukti dapat terjadinya
transdiferensiasi (Halim dkk., 2010).
2.4.3 Homing
Definisi homing sebagai aktivitas sel punca untuk kembali ke rumahnya, yaitu
jaringan tubuh yang rusak dan hendak diperbaiki. Sejumlah faktor memegang peran
penting untuk membantu keberlangsungan proses homing ini. Istilah homing pertama
kali digunakan untuk mendeskripsikan proses yang terjadi dalam transplantasi sel dari
sumsum tulang. Sel punca hematopoietik yang disuntikkan ke pembuluh darah akan
segera menuju ke bagian sumsum tulang yang mengalami kerusakan. Dalam uji laboratorium pada hewan, sel punca diberi suatu penanda untuk melacak keberadaannya setelah masuk ke dalam pembuluh darah. Melalui percobaan tersebut, sel punca
16
yang terbukti segera menuju jaringan tubuh hewan yang rusak. Pada penyelidikan
selanjutnya, aktivitas sel punca seperti ini diduga dipengaruhi oleh adanya protein
spesifik yang dilepaskan oleh sel-sel tubuh yang rusak sebagai bentuk komunikasi
seluler. Protein ini bersifat kemoatraktif, sehingga mampu menarik sel punca yang
berada di peredaran pembuluh darah, untuk menuju ke arah keberadaan proteinnya
(Halim dkk., 2010).
2.4.4 Mekanisme regenerasi jaringan oleh sel punca
Setelah sel punca yang diadministrasikan secara sistemik atau secara langsung
sampai pada jaringan yang dituju, maka mekanisme regenerasi jaringan yang rusak
pun segera dimulai. Mekanisme perbaikan jaringan yang rusak dengan menggunakan
sel punca terdiri dari dua jenis, yaitu diferensiasi sel punca dan produksi faktor pertumbuhan. Diferensiasi sel punca, dengan kemampuan ini maka sel punca yang telah
sampai pada lokasi kerusakan sel dalam jaringan tubuh akan mampu berdiferensiasi
menjadi sel somatik jaringan tubuh tersebut, sehingga mampu menggantikan sel-sel
yang telah rusak. Produksi faktor pertumbuhan, sel punca yang ditransplantasikan ke
dalam tubuh secara sistemik dapat menginduksi sel punca lain yang berada di
berbagai organ tubuh pasien sendiri untuk berproliferasi dan bergerak menuju ke
jaringan/ organ yang mengalami kerusakan. Salah satu hal yang diduga menyebabkan
hal ini adalah sejumlah faktor yang diproduksi oleh sel punca yang dicangkokkan ke
dalam tubuh, mampu merangsang pengeluaran sel punca dari berbagai organ tubuh
pasien. Faktor-faktor ini adalah sitokin dan faktor pertumbuhan (Halim dkk., 2010).
17
2.5 Sel Punca Mesenkimal (Mesenchymal Stem Cell/ MSC)
Sel punca mesenkimal terdapat pada seluruh organ tubuh manusia, lebih tepatnya
sebagai bagian dari populasi sel yang terdapat di daerah perivaskular. Dengan pertimbangan sel, aksesibilitas, dan hasil penelitian yang dilakukan, maka terdapat tiga
sumber yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan sel punca mesenkimal,
yaitu sumsum tulang, darah tali pusat, dan jaringan adiposa (Halim dkk., 2010).
Perkembangan minat penelitian MCS dimulai pada tahun 1960 pada saat
Friedenstein melaporkan bahwa sel stroma sumsum tulang dapat menghasilkan tulang. Ia kemudian menunjukkan bahwa sel-sel stroma sumsum tulang memiliki sifat
khondrogenik dan adipogenik serta kemampuan yang tinggi untuk pembaruan diri.
Sejak saat itu MSC terbukti terdapat di sel punca dewasa seperti di jaringan adiposa,
otot, darah perifer, paru-paru, jantung, stroma kornea, pulpa gigi, plasenta, endometrium, membran amnion, Wharton’s jelly (tali pusat) dan sel punca embrionik. MSC
memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai sel-sel khusus dari
mesoderm asal: sel-sel tulang, tulang rawan, lemak, kardiomiosit, serat otot, sel-sel
tubulus ginjal, dan berdiferensiasi menjadi sel-sel asal ektodermal, misalnya, neuron,
dan asal endodermal, seperti hepatosit dan sel pulau pankreas. Karena sifat di atas,
MSC dianggap sebagai pilihan pengobatan baru yang muncul dan agen terapi dalam
pengobatan regeneratif. Potensi terapi MSC dapat secara langsung dengan meregenerasi sel-sel jaringan yang luka atau dengan efek parakrin pada lingkungan sekitar,
18
dan secara tidak langsung dengan mendukung revaskularisasi, melindungi jaringan
dari stres yang disebabkan apoptosis, dan modulasi reaksi inflamasi. Uji klinis hasil
terapi berbasis sel MSC di berbagai bidang klinis berdasarkan in vitro dan in vivo telah lebih dari 400 yang terdaftar (Kalaszczynska dkk., 2015).
Mesenchymal stem cell awalnya diisolasi dari sumsum tulang (Bone Marrow/
BM) dan populasi sel ini masih dianggap sebagai standar emas untuk aplikasi MSC.
Namun demikian BM memiliki beberapa keterbatasan sebagai sumber MSC, termasuk jumlah MSC yang rendah, prosedur isolasi yang sangat invasif dan terdapat
penurunan karakteristik MSC sesuai dengan usia donor. Sejumlah sel punca diperkirakan mengalami degenerasi seiring dengan semakin lanjut usia, sehingga menyebabkan jumlah dalam populasinya pun berkurang. Oleh karena itu para peneliti
mencari dan mengidentifikasi sumber-sumber alternatif lainnya untuk MSC (Hass
dkk., 2011).
2.5.1 Karakteristik sel punca mesenkimal
Agar dapat dikarakteristikan sebagai MSC, sel harus memiliki karakteristik
mampu untuk menempel pada cawan kultur plastik, mengekspresikan antigen
membran CD105, CD73, CD90, dan sedikitnya ekspresi CD45 dan CD34, serta
mampu berdiferensiasi menjadi garis keturunan kondrogenik dan adipogenik (Halim
dkk., 2010).
2.5.2 Insulin producing cells (IPCs)
19
Schuldiner dkk menunjukkan bahwa human embryonic stem cells (hESCs) dapat
berdiferensiasi secara spontan menjadi menjadi IPCs pada saat dikultur. Assady dkk
juga melaporkan bahwa adherent hESCs dapat mengeskpresikan insulin pada saat
dikultur. Namun, efisiensi pola diferensiasi spontan ini masih sangat rendah. Beberapa peneliti menggunakan manipulasi gen untuk memperbaiki efisiensi islet-cell
transduction dengan overexpression dari Pdx1 (pancreatic β-cell development gene)
atau Ngn3. Namun, metode ini memiliki kekurangan untuk digunakan sebagai terapi
sel karena terdapat kontaminasi eksogenus pada DNA. Terdapat 3 tahap perkembangan penting dalam regenerasi sel β pankreas: tahap pertama dengan menginduksi
sel punca menjadi lapisan endoderm definitif, tahap kedua dengan menjadi pancreatic
progenitors atau endocrine progenitors dan tahap ketiga menjadi sel β pankreas.
Masing-masing tahapan terdapat faktor-faktor yang menginduksi diferensiasi. Sebagai contoh, Activin A, yang telah digunakan untuk diferensiasi hES menjadi garis
keturunan endoderm, adalah faktor penting untuk diferensiasi endoderm definit pada
sel punca embrionik tikus dan manusia (Wu dkk, 2014).
Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly dapat berdiferensiasi menjadi IPC. Chao
dkk mendiferensiasikan WJ-MSC menjadi IPC melalui beberapa tahap kultur
menggunakan neuroconditioned medium. Wu dkk melakukan studi banding dengan
membandingkan kemampuan WJ-MSC dan BM-MSC berdiferensiasi menjadi IPC
phenotype. Kedua tipe seluler tersebut memiliki kemampuan untuk membentuk isletlike cluster pada kultur hari pertama dengan medium kultur yang mengandung nico-
20
tinamide, activin, HGF, exendin-4 dan pentagastrin. Para peneliti tersebut
menemukan ekspresi Pdx-1 pada differentiated WJ-MSC yang lebih tinggi dibanding
dengan differentiated BM-MSC (Anzalone dkk., 2011).
Human umbilical cord MSC dapat berdiferensiasi menjadi IPCs dibawah medium diferensiasi. Wu dkk menggunakan one-step method untuk membentuk islet-like
cell cluster yang dapat mengeskpresikan faktor transkripsi pancreatic-specific PDX-1
dan pancreatic-specific marker C-peptide. Medium diferensiasi mengandung suatu
jenis hormon pentagastrin selain faktor yang biasanya digunakan seperti activin-A,
exendin-4, HGF. Dibawah medium diferensiasi yang sama, bone marrow mesenchymal stem cells (BMMSCs) membentuk islet-like cluster yang lebih kecil dan ekspresi
pdx-1 sertaC-peptide yang lebih rendah. Tiga langkah induksi spesifik WJ-MSC
dapat membentuk insulin-producing cells tanpa pembentukan islet-like cells cluster
(Wu dkk., 2014).
Tabel 1.1
Diferensiasi dari beberapa populasi sel punca mesenkimal menjadi islet-like
cells (Anzalone dkk., 2011)
21
Induced Insulin-Producing Cells dapat melepaskan insulin dan C-peptide. Implantasi dari MSC yang telah berdiferensiasi ke dalam tikus model diabetes dapat
menurunkan kadar glukosa ke tingkat normal. Oleh karena itu IPCs yang berasal dari
induksi MSC terlihat sebagai sumber yang sel β yang ideal untuk terapi cell replacement pada diabetes (Wu dkk, 2014).
2.5.3 Tingkat keamanan sel punca mesenkimal pada aplikasi kilnis
Transplantasi MSC menjadi terapi yang efektif untuk penyakit hematologi, respiratory distress syndrome, spinal cord injury, liver injury, dan critical limb ischemia. Sampai saat ini, ratusan uji klinik menggunakan MSC telah terdaftar dalam database (http://www.clinicaltrials.gov/) dari lembaga kesehatan nasional AS (Wang
dkk., 2012).
22
Untuk mengetahui toksisitas dan tumorigenicity dari human adipose tissuederived mesenchymal stem cells (hAdMCSs), berbagai dosis sel dengan takaran berbeda diinjeksikan secara intravena pada tikus dengan imunodefisiensi dan diobservasi
selama 13 dan 26 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan
adanya efek samping pada pemberian dengan dosis sel tertinggi (2,5 x 108 sel/kgBB)
dan tidak ditemukan adanya perkembangan tumor. Uji klinik selama lebih dari 12
bulan pada 8 pasien laki-laki yang menderita spinal cord injury dengan dosis sel 4 x
108 sel/kgBB juga tidak ditemukan reaksi efek samping. Dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa transplantasi sistemik hAdMSC aman dan tidak menginduksi
perkembangan tumor (Ra dkk., 2011).
2.5.4 Diabetes melitus mengganggu potensi angiogenik adipose-derived stemcell
(ADSC)
Diabetes melitus merusak potensi angiogenik dari ADSC dengan cara deplesi
subpopulasi seluler selektif. Secara khusus, pada DM terjadi gangguan pada fungsi
diabetes endotelial progenitor sel (EPC) dan populasi kultur jaringan fibroblast in
vitro. Selain itu, terdapat pengurangan ekspresi vaskulogenik dan sitokin regeneratif
vaskular endothelial growth factor (VEGF) serta hipoxia induced factor 1-alpha
(HIF-1α). ADSC pada pasien DM gagal memperbaiki penyembuhan luka iskemik
(Rennert dkk., 2014).
23
Gambar 2.1Perbedaan persentase jumlah sel yang berdiferensiasi menjadi adipogenik dan osteogenik ADSC pada pasien DM dan non DM (Rennert dkk.,
2014)
2.5.5 Penurunan karakteristik sel punca mesenkimal
Keberadaan sumber MSC pada adult stem cell dalam tubuh membuat mereka
sangat rentan terhadap penumpukan kerusakan sel yang kemudian dapat
menyebabkan kematian sel, penuaan, atau hilangnya fungsi regeneratif dan
transformasi neoplastik. Sebaliknya, MSC neonatal seperti WJ-MSC, terhindar dari
faktor pro aging. Penurunan kapasitas perbaikan dan peningkatan kerentanan
terhadap penyakit degeneratif disebabkan karena fungsi sel induk menurun seiring
dengan usia. Banyak penelitian ilmiah menunjukkan bahwa usia jaringan donor
mempengaruhi beberapa sifat MSC. Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan ADSC
24
untuk pembentukan jaringan pembuluh darah (neovaskularisasi) berkurang seiring
dengan berjalannya usia. Demikian juga dengan bone marrow stem cell (BMSC)
yang mengalami penurunan kemampuan imunomodulator seiring berjalannya usia
(Kalaszczynska dkk., 2015).
2.6 Sel Punca Mesenkimal Wharton’s Jelly (Wharton’s Jelly Mesenchymal Stem
Cell/ WJ-MSC)
Pada saat ini dikembangkan sumber MSC Wharton’s Jelly yang diperoleh dari
tali pusat (Umbilical Cord/ UC). Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly (Wharton’s
Jelly Mesenchymal Stem Cell/ WJ-MSC) mendapat perhatian yang sangat besar karena sel dapat dengan mudah diisolasi (non-invasive procedure), tidak terbentur masalah etika dan berasal dari jaringan yang didapat setelah lahir sehingga tidak terdapat
penurunan karakteristik MSC (Wang dkk., 2004). WJ-MSC memungkinkan untuk
digunakan sebagai alternatif klinis dari BMMSC karena memiliki aksesibilitas yang
lebih baik, potensi ekspansi yang lebih tinggi serta imunogenisitas rendah
(Quintiliano, 2010).
Penelitian tentang manfaat dan keamanan transplantasi WJ-MSC pada pasien DM
tipe 2 menunjukkan bahwa WJ-MSC dapat menurunkan kadar glukosa, memperbaiki
kadar C-peptide dan fungsi sel beta, serta menurunkan penanda inflamasi sistemik
dan jumlah T limfosit (Liu dkk., 2014).
Terdapat dua populasi sel mesenkimal dalam tali pusat manusia, yaitu: Wharton’s Jelly Messenchymal Stem Cell (WJ-MSC) dan Human Umbilical Cord
25
perivascular Cell (HUCPVCs). WJ-MSC dari tali pusat mengandung jaringan ikat
mucoid dan fibroblast-like cell. Dengan menggunakan analisis flowcitrometri, sel-sel
tersebut mengeksresikan reseptor matriks (CD44, CD105) dan integrin marker
(CD29, CD51) tetapi tidak untuk penanda garis keturunan hematopoietik (CD34,
CD45). Sel-sel ini juga mengekspresikan sejumlah besar penanda sel batang mesenkimal (SH2, SH3) serta memiliki potensi multilineage dan dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel dari garis keturunan adipogenik dan osteogenik (Wang dkk., 2004).
Gambar 2.2 Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly (Baergen, 2011)
2.6.1 Isolasi Sel Punca Mesenkimal Wharton’s Jelly
Dengan metode explan, jaringan dipotong menjadi ukuran kecil (sekitar 1 mm2)
dan ditempatkan dalam medium. Explan menempel pada substrat dan sel keluar dari
jaringan. Sel-sel ini kemudian dipanen dan dipassase (Puranik dkk., 2012).
26
Gambar 2.3 Isolasi dari sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly
( Puranik dkk., 2012)
Gambar 2.4 Kultur sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly hari 1, 3 dan 5
setelah passase hari ke 21. Tampak adanya pertumbuhan sel
punca dan pengelompokan sel punca (tanda panah) tersebut
(Fibrianto dkk., 2009)
27
Gambar 2.5 Isolasi dan karakteristik dari WJ-MSC.
(A)Pasase 5 WJ-MSC; (B) WJ-MSCs masson’s trichrome
staining; (C) Diferensiasi adiposit WJ-MSCs; (D) Oil Red
O Staining; Diferensiasi osteosit, Von kossa Staining (E)
and Alkaline Phosphatase staining (F); (G) Diferensiasi
kondrosit, Safranin O Staining; (H) Analisis
flocitometri WJ-MSC; (I) Diferensiasi
neural,
Neuroglia2 immunostaining (J); (K) Smooth muscle actin
staining; (L) Diferenasiasi sel photoreseptor, Rhodopsin
staining (M); (N) Diferensiasi progenitor pankreatik,
(O) Insulin, (P) PDX1 (Sabapathy dkk., 2014).
2.6.2 Sel punca mesenkimal Wharton’s Jelly berdiferensiasi menjadi insulinproducing cells in vitro
Sel punca Wharton’s Jelly yang diinduksi dengan nikotinamid dan βmercaptoethanol atau neurogenic differentiation 1 gene (NeuroD1) secara gradual
terjadi perubahan morfologi dari sel yang berbentuk fibroblas menjadi sel yang berbentuk bulat. Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan adanya ekspresi positif
dari insulin dan glukagon dari sel-sel ini. Pemeriksaan RT-PCR menunjukkan bahwa
28
huMSC mengekspresikan insulin dan gen PDX-1 setelah diinduksi (Wang dkk.,
2011).
Gambar 2.6 Hasil dari diferensiasi. A1: huMSC, A2: Sel tersebut memiliki morfologi fibroblas-like. B1 & B2: Perubahan morfologi pada huMSC setelah diinduksi nicotinamid & β-mercaptoethanol (perbesaran 200x). C1: ekspresi
seluler dari protein glukagon manusia setelah terapi dengan nicotinamid & βmercaptoethanol. C2 & D2: kelompok kontrol tanpa adanya eskpresi dari insulin atau glukagon (perbesaran 200x). E1: Dithizone staining pada D-HuMSCs
menunjukan cytoplasmic staining dengan warna merah kecoklatan dan E2 adalah kontrol negatif (perbesaran 200x). F: Analisis RT-PCR human insulin dan
PDX-1 genes setelah induksi. Setelah induksi selama 6 hari, huMSCs
mengeskpresikan human PDX-1 gene dan huMSCs mengekspresikan human
insulin gene setelah induksi selama 12 hari. G: Insulin leve (Wang dkk., 2011)
2.6.3 Efek dan keamaan transplantasi sel punca mesenkimal wharton’s jelly
Penelitian tentang efek dan keamaan transplantasi WJ-MSC dilakukan pada 20
pasien DM tipe 2. Kelompok pertama WJ-MSC diberikan secara intravena dan kelompok kedua transplantasi WJ-MSC diberikan secara endovaskular intrapankreatik.
Setelah 12 bulan pasca transplantasi, terdapat penurunan pada kadar glukosa dan glycated hemoglobin, perbaikan kadar C-peptide dan fungsi sel beta pankreas, serta
29
penurunan marker inflamasi sistemik dan hitung T limfosit. Tidak ditemukan efek
samping (Liu dkk., 2014).
Gambar 2.7 Kadar glycated hemoglobin, glukosa puasa dan glukosa 2 jam post
prandial selama 12 bulan periode penelitian (Liu dkk., 2014).
Berdasarkan hasil uji toksisitas dan uji tumorigenicity, Ra JC dkk menyimpulkan
bahwa transplantasi hingga 2 x 108 sel/ kgBB Human Adipose Tissue-Derived Mesenchymal Stem Cells (hAdMSCs) autologus aman bila diberikan infus intravena secara
perlahan (Ra dkk., 2011).
2.6.4 Jalur pemberian sel punca mesenkimal wharton’s jelly
Terdapat dua metode transplantasi sel punca. Metode pertama adalah secara
langsung mengimplantasikan sel punca tersebut ke dalam jaringan/ organ tubuh
30
pasien yang telah rusak. Metode kedua adalah mengimplantasikan sel punca melalui
pembuluh darah, baik yang berada dekat dengan lokasi jaringan/ organ yang telah rusak atau pembuluh darah manapun yang terdapat dalam tubuh pasien. Karena kemudahan aplikasinya di kemudian hari, maka metode kedua inilah yang paling banyak
digunakan dan diuji efektivitasnya. Cara pemberian secara langsung memiliki tingkat
kesulitan yang cukup tinggi dalam pelaksanaannya. Sebalikya, administrasi sel punca
melalui pembuluh darah jauh lebih mudah dilakukan daripada injeksi sel punca intralesi (Halim dkk., 2010).
Gambar 2.8 Adhesi MSC pada pulau pankreas (Scuteri dkk., 2014)
31
Gambar 2.9 Evaluasi persentase survival MSC pada pulau pankreas (Scuteri
dkk., 2014)
2.7 Hewan Percobaan
2.7.1 Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan sebagai hewan coba
Percobaan ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak
dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih
betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih
cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatijan,
2006).
Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Ada dua sifat
yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus
32
putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus
bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus putih
dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan
dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih lebih
menguntungkan daripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan
manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988).
Klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) :
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Classis
: Mammalia
Subclassis
: Placentalia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
33
Species
: Rattus norvegicus
2.7.2 Kriteria tikus diabetes
Kadar glukosa normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 mg/dL sampai 135
mg/dL. Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini tergantung pada tipe makanan
yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir. Kadar glukosa pada tikus dapat
dikatakan diabetes jika kadar glukosa puasa di atas 126 mg/dL (Animalarticle, 2011).
Download