1 REVITALISASI GERAKAN OIKUMENE BERWAWASAN KEBANGSAANDALAM PERSPEKTIF KAUM INJILI DI INDONESIA1 Oleh: Dr. Nus Reimas2 Puji syukur kepada Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, untuk kesempatan yang diberikan kepada kami dapat berpartisipasi dalam konsultasi teologi yang sangat berharga ini. Kami mendapat undangan sebagai nara sumber dalam konsultasi ini, dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), karena itu tulisan yang kami paparkan ini merupakan juga kontribusi pemikiran teologis Kaum Injili di Indonesia berhubungan dengan Revitalisasi Gerakan Oikoumene di Indonesia. 1. Pengertian Tema Pengertian secara terminologi dan etimologi tentang gerakan oikumene menunjuk pada perjalanan dalam kebersamaan gerejagereja, lembaga-lembaga gerejawi, bahkan individu yang secara riil memiliki tradisi atau latar belakang berbeda secara doktrin dan tradisi. Pengertian secara etimologi yang mungkin masih berbeda, karena mengerti istilah “oikumene” berasal dari kata Yunani „oikos’ dan „menes’ (rumah kediaman) atau „oikos’ dan „menos’ (satu rumah), tidak menjadi masalah karena tetap menunjuk pada kerinduan untuk tinggal bersama secara rukun dalam sebuah rumah. Revitalisasi menunjuk pada upaya untuk membawa pada pemahaman dan pengalaman kebersamaan ke depan yang lebih baik dan lebih tepat. Keterangan “Berwawasan Kebangsaan” menunjuk kesadarana akan prinsip negara kebangsaan, negara yang di dalamnya berdiam dan hidup bersama warga negara yang berlatar belakang budaya dan agama berbeda. Perspektif Kaum Injili di Indonesia yang dimaksudkan di sini pemikiran dalam konteks keesaan di Indonesia menurut paham teologi Injili. 1 Makalah disampaikan pada Konsultasi Teologi PGI-PERSETIA di Wisma Bahtera, Cipayung Bogor, Jawa Barat, tanggal 11 Oktober – 4 Nopember 2011, sebagai kontribusi pemikiran teologis Persekutuan Gereja-gereja dan Lembagalembaga Injili Indonesia (PGLII). 2 Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII). 2 2. Tinjauan Historis Tinjauan singkat secara historis gerakan oikumene internasional yang dimulai dari Konferensi Misi Internasional di Edinburgh tahun 1910 hingga gerakan oikumene nasional di Indonesia masa kini, adalah penting untuk dilakukan sebelum memberikan sumbangan pemikiran tentang revitalisasi gerakan oikumene berwawasan kebangsaan. Gerakan yang lahir dari orientasi pemikiran satu panggilan misi dapat menghasilkan suatu wadah keesaan misi, yang dikenal dengan nama International Missionary Council (IMC). Mulanya hanya semata-mata memikirkan bagaimana hidup bersama dan menjalankan tugas bersama (gerakan Life and Work) tanpa memandang latar belakang doktrin berbeda, sehingga dapat menyatukan kaum liberal dan kaum Injili. Harapan keesaan gereja dan paham teologi, yang selama ini dirasakan berpisah sejak abad XVII akibat penerimaan dan pengakuan pemikiran filsafat modern dan teologi modern, kini nampak segera terwujud. Tetapi perjalanan dalam pengalaman empiris menunjukkan bahwa tidak mudah melakukan tugas misi bersama sementara berbeda dan bahkan bertolak belakang dalam biblical foundation yang mendasari perjalanan gerakan keesaan ini, sehingga pada akhirnya dibentuklah gerakan Faith and Order. Gerakan ini pun tidak mampu menggiring gereja-gereja dan para teolog untuk membangun keesaan pemikiran dan tindakan, khususnya dalam panggilan misi bersama. Harapan keesaan bahkan menjadi buyar ketika kedua gerakan ini digabungkan menjadi World Council of Churches (WCC) di Amsterdam pada tanggal 22 Agustus 1948. Kehadiran WCC justru mengakibatkan pemisahan diri kaum Injili dari gerakan keesaan yang sudah dibangun selama empat dekade ini. Jadi sejak saat itulah kaum Injili, secara formal organisatoris dan teologis, memproklamirkan diri sebagai kaum Injili yang terpisah dari gerakan oikumene. Kaum Injili yang dikenal sangat ekstrim, pada tahun dan di kota yang sama dengan terbentuknya WCC, membentuk wadah persekutuan gereja yang disebut The International Council of Christian Churches/ICCC (Dewan Gereja-gereja Kristen Internasional), yang pada tingkat regional di Asia terbentuk The Far Eastern Council of Christian Churches/FECCC (Dewan Gerejagereja Kristen Timur Jauh). Wadah persekutuan ini tidak dibentuk di Indonesia meskipun beberapa gereja turut menjadi anggota penuh dari ICCC. Gerakan Iniili yang ekstrim ini sama sekali tidak mau kompromi dengan WCC dan WEF, sehingga tidak mengijinkan gereja 3 anggota memiliki keanggotaan rangkap di WCC atau di WEF, bahkan melarang keanggotaan rangkap itu sampai ke tingkat regional dan nasional. Wadah persekutuan kaum Injili yang tidak setuju dengan gerakan Injili yang ekstrim kemudian membentuk persekutuan internasional yang disebut World Evangelical Fellowship (WEF, sekarang WEA ), yang pada tingkat regional di Asia terbentuk The Evangelical Fellowship of Asia (EFA). Wadah persekutuan ini dibentuk di Indonesia dengan sebutan Persekutuan Injili Indonesia (PII, sekarang disebut PGLII). Jadi tinjauan historis ini mengungkapkan bahwa PGLII secara formal organisatoris dan teologis tidak berada dalam lingkup gerakan oikumene. Tetapi secara spiritual, ketika gerakan oikumene dipahami sebagai gerakan keesaan gereja-gereja dan lembagalembaga gerejawi, khususnya di Indonesia, maka PGLII ikut di dalamnya memberi kontribusi, baik secara tindakan maupun pemikiran teologis. 3. Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan Perspektif kaum Injili di Indonesia terhadap Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan dibangun menurut konteks paham teologi atau dasar Alkitabiah yang menjadi pegangan kaum Injili. yang sudah tentu juga dilihat dalam pertimbangan relevansi dengan negara kebangsaan Indonesia yang pluralitas. Kaum Injili di Indonesia, dalam hal ini PGLII, hingga kini tetap konsisten berpegang pada paham teologi evangelikal, yang umumnya diformulasikan sedikitnya dalam enam pokok pengakuan utama. Menurut Harold Lindsell, terdapat enam doktrin utama dari kaum Injili dalam bentuk sejarah, yang merupakan penjabaran dari keyakinan akan inerrancy atau ketaksalahan Alkitab, sebagai berikut: (1) Allah adalah Tritunggal, sehakekat, terdiri dari tiga pribadi, Bapa, Anak, dan Roh Kudus. (2) Yesus adalah inkarnasi, anak Allah yang lahir dari perawan, tanpa dosa, suci, dan penebus sebagai ganti pelanggaran-pelanggaran manusia. (3) Adam adalah manusia pertama, ia berdosa di taman Eden dan pelanggarannya membawa bencana bagi manusia. (4) Yesus bangkit dari kubur secara jasmani, naik ke sorga, dan akan datang kembali secara pribadi, dapat dilihat, dan dalam kuasa dan kemuliaan besar. (5) Keselamatan hanya oleh iman, tanpa perbuatan-perbuatan 4 kebenaran. (6) Ada surga dan neraka.3 Filsafat modern dan teologi modern menolak keenam doktrin ini, karena itu secara teologis kaum Injili memisahkan diri dari gerakan oikumene, yang ditenggarai telah mengadopsi paham teologi modern dalam segala pemikiran dan tindakannya. Kaum Injili dengan tegas mengakui Alkitab sebagai firman Allah yang tanpa salah dan menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam pemikiran dan tindakannya. Karena itu perspektif kaum Injili di Indonesia terhadap Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan dibangun menurut konteks paham teologi atau dasar Alkitabiah yang menjadi pegangan kaum Injili tersebut. Gerakan oikumene sebagai gerakan keesaan gereja biasanya didasarkan pada Injil Yohanes 17:20-23, tentang harapan Tuhan Yesus akan keesaan orang-orang percaya. Pokok doa Tuhan Yesus adalah , “...Aku berdoa... untuk orang-orang, yang percaya kepadaKu... supaya mereka semua menjadi satu.” (ay. 20-21). Secara gramatika dengan penggunaan partisip presen menunjuk pada orangorang yang percaya Yesus dalam waktu yang linear, jadi sampai pada gereja masa kini. Secara leksikal doa keesan ini secara khusus bagi gereja, karena itu tidak Alkitabiah dan keliru apabila mengembangkan gerakan oikumene yang mencakup semua agama dan bahkan semua ideologi, sebagaimana gerakan oikumene yang dikembangkan belakangan ini. Kesatuan yang Tuhan Yesus harapkan adalah kesatuan bukan secara fisik orgaanisasi, melainkan secara rohani dan secara tindakan, karena disebutkan demikian, “...sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita.” (ay.21) dan “...sama seperti Kita adalah satu” (ay. 22). Bapa dan Yesus Kristus adalah dua pribadi ilahi yang berbeda, tetapi Allah yang Esa karena dalam kesatuan rohani dan kebersamaan tindakan, tidak ada pertentangan. Keesaan dalam bentuk seperti inilah yang dapat dikembangkan untuk revitalisasi gerakan oikumene, jangan pernah berharap menjadi satu sinode gereja atau satu organisasi raksasa dari gereja-gereja. Gerakan oikumene berwawasan kebangsaan dalam teks doa Tuhan Yesus diungkapkan demikian, “...supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (ay.21) dan “...agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa 3 Harold Lindsell, The Bible in the Balance, dikutip oleh Arnold Tindas, Inerrancy Alkitab (Jakarta: Harvest International Theological Seminary, 2007), 138-139. 5 Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (ay. 23). Jadi konsep keesaan Tuhan Yesus selalu dihubungkan dengan orang-orang sekitar atau secara lebih luas artinya orang-orang sebangsa. Korelasinya pada tujuan atau dampak, yang terlihat dalam ungkapan “...supaya dunia percaya” dan “...agar dunia tahu”. Istilah “dunia” (kosmos) menunjuk kepada manusia, yang dalam Alkitab sering disebut “bangsa-bangsa”, maksudnya non-Yahudi atau bukan gereja, karena yang memiliki kemampuan “tahu” adalah manusia bukan alam kosmos. Jadi keesaan gereja dalam gerakan oikumene memang dipertimbangkan dalam korelasi negara kebangsaan, maksudnya harus terukur seberapa besar pengaruh variabel keesaan gereja terhadap variabel bangsa-bangsa tahu dan percaya Yesus Kristus. Metode penafsiran yang benar dan tepat terhadap sebuah teks Alkitab harus memperhatikan konteks sebelum dan sesudahnya; atau konteks jauh dan dekat dari teks itu sendiri. Konteks sebelumnya dari teks Yohanes 17:20-23, yang menyebut “dunia” untuk maksud manusia bangsa-bangsa, adalah Yohanes 3:16, yang menyebutkan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Pada bagian ayat ini istilah “dunia ini” yang disebut pada awal, dan kemudian diganti dengan “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya...”, jelas menunjuk kepada orang yang belum percaya tetapi memiliki potensi untuk percaya. Konteks kebangsaan di Indonesia, menunjukkan negara kesatuan dari warga masyarakat yang heterogen, berbeda suku bangsa, beda kebudayaan, dan beda agama. Jadi berwawasan kebangsaan artinya memiliki kesadaran yang membentuk suatu perspektif, bagaimana memikirkan suatu gerakan oikumene yang sesuai dengan harapan Tuhan Yesus membawa dampak pada bangsa Indonesia yang heterogen ini. Jadi secara Alkitabiah, Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan yang dimaksud di sini, adalah sebuah gerakan yang bertolak dari kesatuan secara rohani, yang dalam kebersamaan tindakan membawa warga masyarakat negara kebangsaan dapat menjadi tahu dan menjadi percaya Tuhan Yesus Kristus. Tetapi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka gereja yang Tuhan ijinkan hadir di negeri ini harus bertanggungjawab memelihara kesatuan itu, sehingga dibutuh tindakan yang berhikmat dan bijaksana dalam mencapai harapan “supaya mereka percaya”. 6 4. Revitalisasi dalam Perpektif Kaum Injili di Indonesia Berdasarkan kajian Alkitab di atas, maka Kaum Injili di Indonesia, dalam hal ini PGLII, dapat memberikan beberapa usulan tentang Revitalisasi Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan di Indonesia, sebagai berikut: a. Gereja-gereja atau lembaga-lembaga gerejawi di Indonesia perlu kembali kepada keyakinan akan Alkitab sebagai firman Allah yang berotoritas, dan membangun teologi Alkitabiah yang mendasari semua pemikiran tentang Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan. b. Gereja-gereja atau lembaga-lembaga gerejawi di Indonesia wajib membina hubungan yang harmonis satu dengan yang lainnya dalam kesadaran terikat menjadi satu secara rohani di dalam Yesus Kristus. Hindari adanya saling mencela antara gereja satu dengan gereja lainnya. Hindari upaya membangun sebuah sinode atau organisasi raksasa sebagai wujud keesaan gereja, karena bukan kesatuan seperti itulah yang menjadi harapan dalam doa Tuhan Yesus. c. Gereja-gereja atau lembaga-lembaga gerejawi di Indonesia perlu senantiasa membangun tindakan kegiatan bersama, sebagai wujud keesaan dalam tindakan, sehingga membawa dampak di dalam lingkup gereja itu sendiri, misalnya memacu yang tertinggal, menguatkan yang lemah, dan memotivasi yang dalam stagnasi. d. Gereja-gereja atau lembaga-lembaga gerejawi di Indonesia perlu senantiasa membangun tindakan kegiatan bersama, sebagai wujud keesaan dalam tindakan, sehingga membawa dampak di luar gereja itu sendiri, yakni kepada warga masyarakat negara kebangsaan, supaya mereka tahu dan percaya Yesus Kristus. Demikian sumbangan pemikiran teologi Kaum Injili di Indonesia, dalam hal ini PGLII, tentang Revitalisasi Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan. 7 Daftar Pustaka Erickson, Millard J. Teologi Kristen, terj. T.p. Malang: Gandum Mas, 2004. Moulton, Harold K. The Analytical Greek Lexicon Revised. Grand rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1978. Oentoro, Jimmy, ed. Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa. Jakarta: Gramedia, 2010. Pattiasina, J.M.; Sairin, Weinata. Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. Ryrie, Charles C. Basic Theology: A Popular Systematic Guide to Understanding Biblical Truth. Wheaton, Illinois: Victor Books, 1986. Tindas, Arnold. Inerrancy: Ketaksalahan Alkitab. Jakarta: Harvest International Theological Seminary, 2007.