bab 2 studi pustaka

advertisement
BAB 2
STUDI PUSTAKA
2.1. Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik
Teori yang membahas perihal pergerakan benua diajukan pada awal abad dua
puluh. Menurut Kramer (1996), Wagener (1915) misalnya, yakin bahwa bumi dua
ratus juta tahun yang lalu hanya terdiri dari satu benua yang disebut dengan Pangaea.
Dia mengatakan bahwa Pangaea pecah menjadi kepingan-kepingan dan bergerak
secara lambat sekali membentuk format benua dan pulau seperti sekarang ini. Teori
tentang pergerakan benua tidak mendapat banyak perhatian sampai dengan sekitar
tahun 1960, saat jaringan peralatan seismograf dunia mampu menentukan lokasi
gempa secara akurat, dan mengkonfirmasikan bahwa deformasi jangka panjang
terkonsentrasi relatif di sekitar zona antara blok-blok kerak bumi. Dalam waktu
sepuluh tahun berikutnya, teori pergerakan benua sudah dapat lebih diterima secara
meluas dan diakui sebagai kemajuan terbesar dalam ilmu pengetahuan tentang bumi.
Menurut Gubbins (1990), kondisi geologi lantai samudera masih relatif sederhana
dan berusia muda, yaitu hanya sekitar 5% dari usia bumi, dimana beberapa studi
yang cukup detail memberikan dukungan bukti kuat terhadap sejarah pergerakan
benua seperti yang diasumsikan pada teori pergerakan benua.
13
Universitas Sumatera Utara
14
Teori orisinil pergerakan benua memberikan gambaran benua yang sangat
besar mendesak melalui lautan dan melintasi lantai samudera. Diketahui bahwa lantai
samudera terlampau kokoh untuk dapat mengijinkan pergerakan, dan teori ini semula
ditolak oleh para ilmuwan. Dari latar belakang inilah sesungguhnya teori lempeng
tektonik mulai berkembang. Hipotesa dasar dari lempeng tektonik adalah bahwa
permukaan bumi terdiri dari sejumlah blok utuh yang besar disebut lempeng, dan
lempeng-lempeng ini bergerak saling bersenggolan satu dengan lainnya. Kulit bumi
dibagi atas enam lempeng yang seukuran benua (Afrika, Amerika, Antartika,
Australia, Eurasia, dan Pasifik) serta terdiri atas empat belas lempeng sub-benua
(Caribean, Cocos, Nazca, Phillipine, dan lain-lain) seperti pada Gambar 2.1.
Lempeng yang lebih kecil, disebut lempeng mikro, juga sangat banyak bertebaran di
sekitar lempeng yang lebih besar. Deformasi antara lempeng-lempeng tersebut
terjadi hanya pada area di sekitar tepian atau batasnya. Deformasi dari lempeng ini
dapat terjadi secara lambat dan terus-menerus (a seismic deformation) atau dapat
pula terjadi secara tidak teratur dalam bentuk gempa bumi (seismic deformation).
Apabila deformasi terjadi terutama pada batas-batas antara lempeng, dapat dipastikan
bahwa lokasi-lokasi gempa terkonsentrasi di sekitar batas lempeng.
Teori lempeng tektonik merupakan suatu teori kinematik yang menjelaskan
mengenai pergerakan gempa tanpa membahas penyebab dari pergerakan itu. Sesuatu
seharusnya menjadi penyebab pergerakan tersebut untuk menggerakkan massa yang
sangat besar dengan tenaga yang sangat besar pula.
Universitas Sumatera Utara
Java
re
t
h
So
Cocos
Plate
Mexico
Trench
e
Chi
lle
r
n
Atla
n
ia
nd
I
tic
AFRICA
PLATE
ge
rid
EURASIA
PLATE
Gambar 2.1 Lempeng Tektonik Utama, Bubungan Tengah Lautan dan Transformasi Patahan dari Bumi (Kramer, 1996)
Tanda Panah Menunjukkan Arah dari Pergerakan Lempeng.
idAtla
ntic
ANTARCTIC PLATE
SOUTH
AMERICA
PLATE
CARIBBEAN
PLATE
Re
y
k
rid jane
ge s
M
Uncertain plate boundary
Ridge axis
rise
Nazca
Plate
NORTH
AMERICA
PLATE
e
idg
ANTARCTIC PLATE
rtic
nta
A
iccif
a
P
ge
rid
Kermadec-Tonga
Trench
PACIFIC
PLATE
Macquarie
ridge
Marianas
trench
Subduction zone
Strike-slip (transform) faults
ut
hE
ast
Ind
ian rise
AUSTRALIA
PLATE
nc
PHILLIPINE
PLATE
Juan
De Fuca
Plate
aci
East P fic ris
Kurli
trench
Japan
trench
n
Peru-Chille tre
Ale
utian trench
ch
EURASIA PLATE
15
Carlsberg
ridge
Universitas Sumatera Utara
16
Penjelasan yang paling dapat diterima secara meluas tentang sumber pergerakan
lempeng bersandar kepada hukum keseimbangan termomekanika material bumi.
Lapis teratas dari kulit bumi bersentuhan dengan kerak bumi yang relatif dingin,
sementara lapis terbawah bersentuhan dengan lapis luar inti panas.
Jelas peningkatan temperatur pasti terjadi pada lapisan. Variasi kepadatan
lapisan dan temperatur menghasilkan situasi tidak stabil pada ketebalan material
(yang lebih dingin) di atas material lebih tipis (yang lebih panas) dibawahnya.
Akhirnya, material tebal yang lebih dingin mulai tenggelam akibat gravitasi dan
pemanasan, dan material yang lebih tipis mulai naik. Material yang tenggelam
tersebut berangsur-angsur dipanaskan dan menjadi lebih tipis, sehingga akhirnya
bergerak menyamping dan dapat naik lagi yang kemudian sebagai material
didinginkan yang akan tenggelam lagi. Proses ini biasa disebut sebagai konveksi.
Arus konveksi pada batuan setengah lebur pada lapisan mengakibatkan
tegangan geser di bawah lempeng, yang menggeser lempeng tersebut ke arah yang
bervariasi melalui permukaan bumi. Fenomena lain, seperti tarikan bubungan atau
tarikan irisan dapat juga menjadi penyebab pergerakan lempeng.
Karakteristik batas lempeng juga mempengaruhi sifat dasar dari gempa yang
terjadi sepanjang batas lempeng tersebut. Pada beberapa area tertentu, lempeng
bergerak menjauh satu dengan lainnya pada batas lempeng, yang dikenal sebagai
bubungan melebar atau celah melebar. Batuan lebur dari lapisan dasar muncul ke
permukaan dimana akan mendingin dan menjadi bahagian lempeng yang
Universitas Sumatera Utara
17
merenggang. Dengan demikian, lempeng ”mengembang” pada bubungan yang
melebar. Tingkat pelebaran berkisar dari 2 hingga 18 cm/tahun; tingkat tertinggi
ditemukan pada Lautan Pasifik, dan terendah ditemukan sepanjang Bubungan MidAtlantic. Telah diestimasi bahwa kerak bumi yang baru di lautan terbentuk pada
tingkatan sekitar 3,1 km2/tahun di seluruh dunia. Kerak bumi yang masih berusia
muda ini, disebut basal baru, terbentuk tipis di sekitar bubungan yang melebar. Hal
ini juga dapat terbentuk oleh pergerakan ke atas magma yang relatif lambat, atau
dapat pula oleh semburan yang cepat saat terjadinya aktivitas kegempaan.
Lapisan material mendingin setelah mencapai permukaan pada celah lempeng
yang melebar. Lapisan akan menjadi bersifat magnet sejalan dengan pendinginannya
dengan kutub tergantung arah bidang magnet bumi saat itu. Bidang magnet bumi
tidak konstan terhadap skala waktu geologi, karena berfluktuasi dan berbalik pada
interval waktu yang tidak tentu, sehingga penyimpangan sifat magnetik yang tidak
biasa pada bebatuan terbentuk pada pinggiran bubungan yang melebar.
Karena ukuran bumi tetap konstan, maka pembentukan material lempeng baru
pada bubungan melebar harus seimbang dengan berkurangnya material lempeng di
lokasi yang lain. Hal ini terjadi pada batas zona subduksi dimana pergerakan relatif
dari dua lempeng saling menghunjam satu dengan lainnya. Saat bersentuhan, salah
satu lempeng menyusup ke bawah lempeng yang satunya.
Batas zona subduksi sering ditemukan di sekitar pinggiran benua. Karena kerak
lautan biasanya dingin dan tebal, maka zona subduksi akan tenggelam akibat berat
Universitas Sumatera Utara
18
sendirinya di bawah kerak benua yang lebih ringan. Saat tingkat konvergensi
lempeng tinggi, semacam saluran terbentuk pada batas antara lempeng. Sehingga
batas zona subduksi biasa juga disebut sebagai batas saluran. Saat tingkat
konvergensinya pelan, endapan terakumulasi pada suatu pertambahan irisan di atas
perpotongan dari pengkerakan batuan, sehingga membuat saluran tertutup.
Apabila lempeng mengakibatkan benua bertubrukan, maka dapat menjadi
formasi jajaran pegunungan. Himalaya terbentuk dari dua pengkerakan lapisan yang
dibentuk ketika lempeng Australia bertubrukan dengan lempeng Eurasia. Tubrukan
antar benua dari lempeng Afrika dan lempeng Eropa mengakibatkan berkurangnya
luas Laut Mediterania dan pada akhirnya nanti akan menjadi jajaran pegunungan.
Transformasi patahan terjadi ketika lempeng bergerak dan berselisihan satu
dengan yang lainnya tanpa menciptakan kerak bumi yang baru atau mengurangi
kerak bumi yang sudah ada. Transformasi patahan ini biasanya ditemukan pada
kelengkungan bubungan melebar, dan diidentifikasi berdasarkan penyimpangan sifat
magnetiknya dan torehan yang terdapat pada permukaan kerak bumi. Kelengkungan
penyimpangan magnetik memperlihatkan zona retakan yang dapat terjadi sepanjang
ribuan kilometer.
Lempeng tektonik memberikan suatu kerangka yang sangat berguna untuk
dapat menjelaskan pergerakan dari permukaan bumi dan melokaliser gempa dan
vulkanik. Lempeng tektonik juga menggambarkan pembentukan dari material kerak
bumi yang baru serta pengurangan material kerak bumi yang lama sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
19
ketiga jenis pergerakan lempeng seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Batas
bubungan
melebar
Batas
zona
subduksi
ksi
Batas
bubungan
melebar
Le
mp
Batas transformasi
patahan
en
gs
ub
du
Zona retakan
Lempeng
subduksi
Batuan
pendorong
lapisan
Gambar 2.2
Interrelasi di Antara Bubungan Melebar, Zona Subduksi
dan Batas Patahan Lempeng, (Kramer, 1996)
2.2. Patahan
Panjang patahan bervariasi dari beberapa meter saja hingga ratusan kilometer
dan kedalamannya dapat bertambah dari permukaan tanah hingga belasan kilometer.
Pemunculannya bisa nyata, seperti yang direfleksikan pada topografi permukaan,
atau dapat pula sangat sulit untuk dideteksi. Pemunculan patahan bisa jadi bukan
merupakan ekspektasi dari suatu gempa, karena pergerakan yang terjadi merupakan
gerakan seismic (kontinyu namun lambat), atau bisa juga karena patahan tersebut
tidak aktif. Kurangnya pengamatan pada patahan permukaan, di sisi lain, bukan
menyatakan secara langsung bahwa gempa tidak dapat terjadi, karena kenyataannya,
rekahan patahan tidak mencapai permukaan bumi pada kebanyakan gempa yang
terjadi.
Universitas Sumatera Utara
20
2.2.1. Bentuk geometri dari patahan
Standar notasi geologi digunakan untuk menentukan orientasi suatu bidang
patahan. Apabila permukaan suatu patahan besar adalah tak-tentu, maka biasanya
diperkirakan sebagai suatu bidang datar. Orientasi bidang patahan ditentukan
berdasarkan tabrakan (strike) dan hunjamannya (dip). Tabrakan patahan merupakan
garis horizontal yang dihasilkan dari perpotongan bidang patahan dengan bidang
horizontal (Gambar 2.3). Azimuth tabrakan digunakan untuk menentukan orientasi
patahan yang mengacu terhadap arah utara. Kemiringan ke bawah dari bidang
patahan ditentukan oleh sudut hunjaman, yang mana merupakan sudut antara bidang
patahan dengan bidang horizontal dihitung tegak lurus terhadap tabrakan. Patahan
vertikal memiliki sudut hunjuman sebesar 900
Bidang
Patahan
Vektor
Tabrakan
Bidang
Horizontal
Sudut
Hunjaman
Vektor
Hunjaman
Gambar 2.3
Notasi Geometri Untuk Pendeskripsian dari
Orientasi Bidang Patahan, (Kramer, 1996)
2.2.2. Pergerakan menghunjam (dip slip movement)
Pergerakan patahan yang terjadi terutama dalam arah menghunjam (atau tegak
lurus terhadap tabrakan) dinyatakan sebagai pergerakan dip slip. Pematahan normal
Universitas Sumatera Utara
21
terjadi ketika komponen horizontal pergerakan hunjaman adalah suatu perpanjangan
ketika material di atas patahan bergerak miring relatif menuju material di bawahnya.
g
Bidan
Gambar 2.4
a
Patah
n
Pematahan Normal, (Kramer, 1996)
Pematahan normal biasanya terjadi bersamaan dengan tegangan regang pada kerak
bumi dan menghasilkan suatu pemanjangan pada kerak bumi. Saat komponen
horizontal gerakan menghunjam dimampatkan dan material patahan bergerak relatif
ke atas menuju material dibawah patahan, maka pematahan terbalik yang terjadi.
Pergerakan patahan terbalik seperti pada Gambar 2.5 menghasilkan suatu
pemendekan kerak bumi secara horizontal. Suatu jenis khusus dari patahan terbalik
merupakan suatu patahan tusukan, yang terjadi ketika bidang patahan membentuk
sudut hunjaman yang kecil.
Gambar 2.5 Pematahan Terbalik, (Kramer, 1996)
Universitas Sumatera Utara
22
2.2.3. Pergerakan tabrakan (strike-slip movement)
Pergerakan tabrakan pada patahan biasanya hampir mendekati vertikal dan
dapat menghasilkan gerakan besar. Patahan strike-slip lebih jauh diketegorikan oleh
arah relatif pergerakan dari material di setiap sisi patahan.
Gambar 2.6
Pematahan Strike-Slip Lateral Arah ke Kiri,
(Kramer, 1996)
Suatu pengamat berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah kanan akan
melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kanan pula, dan demikian
juga sebaliknya suatu pengamat yang berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah
kiri akan melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kiri.
2.3. Gelombang Gempa
Pelepasan energi tegangan mendadak oleh rekahan pada tepian lempeng
tektonik merupakan penyebab utama dari aktifitas gempa, yang menyebabkan
menjalarnya getaran pada bahagian bumi dalam bentuk gelombang.
Gelombang gempa terdiri atas gelombang badan (body waves) dan gelombang
permukaan (surface waves). Gelombang badan merambat di dalam bumi serta terdiri
Universitas Sumatera Utara
23
atas dua tipe, yaitu : p-waves dan s-waves. Tipe p-waves dikenal juga dengan sebutan
gelombang utama, atau gelombang kompresi, atau gelombang membujur yang akan
menekan dan merapatkan material padat maupun material cair yang dilaluinya
(Gambar 2.7 a). Sementara s-waves disebut juga sebagai gelombang sekunder,
gelombang geser, atau gelombang memotong yang menyebabkan deformasi geser
pada material yang dilaluinya.
Kompresi
Media Undisturbed
(a)
Perapatan
Panjang
Gelombang
Media Undisturbed
(b)
Panjang
Gelombang
Gambar 2.7
Deformasi yang Diakibatkan Oleh Gelombang Badan;
(a) P-Waves dan (b) SV-Waves, (Kramer, 1996)
Pergerakan setiap partikel yang merambat searah dengan s-waves dapat pula
dibagi atas dua komponen, yaitu vertikal terhadap bidang pergerakan (SV-waves,
Gambar 2.7 b) dan horizontal terhadap bidang gerakan (SH-waves). Sementara
kecepatan rambat gelombang badan bervariasi berdasarkan kekakuan dari material
yang dilaluinya. Karena material geologi akan lebih kaku dalam kondisi terkompresi,
maka p-waves merambat lebih cepat dari pada tipe gelombang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
24
Gelombang permukaan terjadi akibat interaksi antara gelombang badan dengan
bagian permukaan lapisan bumi. Gelombang ini menjalar sepanjang permukaan bumi
dengan panjang gelombang (amplitude) yang semakin berkurang secara eksponensial
terhadap kedalamannya. Akibat interaksi tersebut, gelombang permukaan akan lebih
besar efeknya pada jarak yang semakin jauh dari sumber gempa.
Panjang
Gelombang
Media
Undisturbed
(a)
Panjang
Gelombang
Media
Undisturbed
(b)
Gambar 2.8
Deformasi Yang Diakibatkan Oleh Gelombang Permukaan
(a) Gelombang Rayleigh dan (b) Gelombang Love,
(Kramer, 1996)
Untuk tujuan analisa ada dua jenis gelombang permukaan yang paling penting
diketahui, yaitu gelombang Rayleigh (Gambar 2.8 a) yang terjadi akibat interaksi
antara p-waves dan SV-waves dengan gelombang permukaan, termasuk gerakan
vertikal dan horizontal dari partikel, serta gelombang Love (Gambar 2.8 b) yaitu
gelombang yang dihasilkan dari interaksi antara SH-waves dengan permukaan tanah
lunak dan tidak memiliki komponen gerakan horizontal dari partikel. Dalam
beberapa hal, gelombang Rayleigh mirip dengan gelombang yang terjadi saat sebutir
batu dicemplungkan ke suatu kolam.
Universitas Sumatera Utara
25
2.4. Ukuran Gempa
Ukuran besar dari suatu gempa merupakan parameter penting, yang dapat
dideskripsikan
dengan
beberapa
cara
berbeda.
Sebelum
berkembangnya
instrumentasi modern, metoda mengukur besarnya gempa didasarkan atas deskripsi
kualitatif dan deskripsi kasar dari efek suatu gempa. Namun dengan keberadaan
seismograf dapat dikembangkan suatu ukuran gempa yang bersifat kuantitatif.
2.4.1. Intensitas gempa
Ukuran besarnya gempa yang paling tua adalah intensitas gempa. Intensitas
adalah deskripsi kualitatif efek gempa pada suatu lokasi tertentu, yang didadasarkan
atas reaksi manusia dan kerusakan yang terjadi pada lokasi tersebut. Karena deskripsi
kualitatif efek gempa tersedia dalam rekaman sejarah, maka konsep intensitas ini
dapat diberlakukan untuk mengestimasi besar dan lokasi gempa yang terjadi sebelum
adanya instrumentasi kegempaan modern. Intensitas gempa sangat bermanfaat dalam
mengkarakterisasi tingkat perulangan gempa dengan ukuran yang berbeda di
berbagai lokasi, yang merupakan suatu langkah kritis dalam mengevaluasi
kemungkinan
resiko
kegempaan.
Intensitas
dapat
juga
digunakan
untuk
memperkiraan tingkat kekuatan gerakan tanah (strong ground motion), sebagai
perbandingan efek gempa pada daerah geografis yang berbeda, dan untuk
mengestimasi kerugian yang diakibatkan oleh gempa.
Universitas Sumatera Utara
26
Skala intensitas Rossi-Forel (RF), merupakan deskripsi intensitas gempa
dengan nilai berkisar I − X, yang dikembangkan pada tahun 1880-an dan telah
digunakan selama bertahun-tahun. Namun negara-negara yang berbahasa Inggris
telah mengganti skala intensitas ini dengan skala intensitas Mercalli yang
dimodifikasi (MMI, Modified Mercalli Intensity) yang awalnya dikembangkan oleh
seimologist Italia bernama Mercalli dan dimodifikasi pada tahun 1931 agar dapat
menggambarkan lebih baik kondisi-kondisi di California. Skala intensitas MMI
mempunyai nilai I – XII sebagai berikut :
I
: Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa
orang.
II
: Getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung
bergoyang.
III : Getaran dirasakan nyata dalam rumah, terasa getaran seakan-akan ada truk
berlalu.
IV : Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, malam hari dapat
membangunkan orang, piring-piring pecah, jendela / pintu gemeretak dan
dinding bergetar
V
: Getaran dirasakan oleh hampir semua orang; malam hari orang banyak
terbangun, piring-piring pecah, jendela-jendela pecah, barang-barang
terpelanting, tiang-tiang dan barang-barang besar tampak bergoyang, bandul
lonceng dapat berhenti.
Universitas Sumatera Utara
27
VI : Getaran dirasakan oleh semua orang; kebanyakan semua terkejut dan lari
keluar, plester dinding retak dan cerobong asap pada pabrik rusak, kerusakan
ringan.
VII : Tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan
bangunan dan konstruksi yang baik sedangkan pada bangunan dengan
konstruksi kurang baik terjadi retak-retak dan kemudian cerobong asap
pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan.
VIII : Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat; retak-retak
pada bangunan yang kuat, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong
asap dari pabrik-pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh.
IX : Kerusakan pada bangunan yang kuat rangkanya; rumah menjadi tidak lurus
dan banyak retak-retak pada bangunan yang kuat. Rumah tampak agak
berpindah dari fondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus.
X
: Bangunan dari kayu yang kuat rusak; rangka-rangka rumah lepas dari
fondamennya; tanah terbelah; rel melengkung; tanah longsor ditiap-tiap
sungai dan ditanah-tanah yang curam.
XI : Bangunan-bangunan hanya sedikit yang tetap berdiri.; jembatan rusak, terjadi
lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali; tanah terbelah; rel
sangat melengkung.
XII : Hancur
sama
sekali.
Gelombang
tampak
pada
permukaan
tanah.
Pemandangan menjadi gelap. Benda-benda terlempar ke udara.
Universitas Sumatera Utara
28
Tabel 2.1 Perbandingan Beberapa Skala Intensitas Terhadap Modified Mercalli
Intensity (MMI), (Chen & Scawthorn, 2003)
a
gals
MMI
Modified
Mercalli
R–F
Rossi–Forel
MSK
Medvedev–
Sponheur–Karnik
0.7
1.5
3.0
7.0
15
32
68
147
316
681
(1468)*
(3162)*
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
I
I – II
III
IV – V
V – VI
VI – VII
VIII –
VIII+ to IX–
IX+
X
–
–
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
JMA
Japan
Meteorological
Agency
0
I
II
II–III
III
IV
IV–V
V
V–VI
VI
VII
Jawatan Meteorologi Jepang (JMA, Japanese Meteorological Agency)
memiliki skala intensitasnya sendiri, yang terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan berdasarkan
pengamatan gempa yang terjadi di Jepang, sementara skala intensitas MedvedevSpoonheuer-Karnik (MSK) yang dibuat berdasarkan pengamatan di Rusia digunakan
di negara-negara sentral Eropa dan Eropa timur. Perbandingan beberapa skala
intensitas yang telah disebutkan di atas terhadap Modified Mercalli Intensity (MMI).
Intensitas gempa pada umumnya diperoleh dari wawancara setelah peristiwa
terjadinya suatu gempa. Observasi dengan wawancara dapat tersebar lebih luas
dibanding observatorium kegempaan menyebar instrumen kegempaannya, dan
pengamatan intensitas dapat memberi informasi untuk membantu karakterisasi
pendistribusian guncangan tanah pada suatu area. Plot-plot laporan intensitas gempa
Universitas Sumatera Utara
29
di lokasi berbeda pada suatu peta akan memberikan pemetaan kontur intensitas
gempa yang sama. Peta sedemikian disebut dengan peta isoseismal. Intensitas
terbesar biasanya berada di sekitar episenter gempa. Peta Isoseismal menunjukkan
bagaimana berkurangnya intensitas gempa, dengan meningkatnya jarak ke episenter.
2.4.2. Magnitude gempa
Kemungkinan untuk memperoleh ukuran suatu gempa sejalan dengan
berkembangnya instrumentasi modern untuk mengukur besarnya gerakan tanah
selama terjadinya gempa. Instrumentasi kegempaan dapat mengukur secara objektif
kuantitatif besarnya gempa, yang disebut sebagai magnitude.
2.4.2.1. Richter local magnitude
Pada tahun 1935, Charles Richter dengan menggunakan seismometer WoodAnderson mendefinisikan skala magnitude untuk gempa dangkal dan gempa
lokal (jarak episenter lebih kecil dari 600 km) di selatan California. Skala
magnitude yang didefinisikan oleh Richter ini dikenal sebagai magnitude lokal
(local magnitude, ML) dan merupakan skala magnitude yang terkenal dan
dipakai hingga saat ini.
2.4.2.2. Magnitude gelombang permukaan
Richter Local Magnitude tidak memperhitungkan adanya gelombang yang
berbeda. Skala magnitude lain mulai dikembangkan berdasarkan amplitudo
Universitas Sumatera Utara
30
gelombang tertentu yang dihasilkan akibat adanya gempa. Pada jarak episentral
yang besar, gelombang badan biasanya mengalami penyebaran dan pelemahan,
sehingga menghasilkan gerakan yang didominasi oleh gelombang permukaan.
Magnitude gelombang permukaan (surface wave magnitude, MS) merupakan
skala magnitude yang berdasarkan amplitudo gelombang Rayleigh dengan
periode sekitar 20 detik, yang diperoleh dari persamaan berikut :
MS = log A + 1.66 log Δ + 2.0
(2.1)
dimana :
A = perpindahan tanah maksimum (mikrometer)
Δ
= jarak episentral terhadap seismometer (dalam derajat)
Magnitude
gelombang
permukaan
ini
biasanya
digunakan
untuk
mendeskripsikan besarnya gempa dangkal, dengan jarak menengah hingga
jauh (lebih 1000 km).
2.4.2.3. Magnitude gelombang badan
Untuk gempa dengan fokus yang dalam, besar gelombang permukaan lebih
kecil daripada yang disyaratkan untuk melakukan pengukuran magnitude
gelombang tersebut. Magnitude gelombang badan (body wave magnitude, mb)
merupakan skala magnitude yang didasarkan pada amplitudo beberapa siklus
pertama dari p-wave, dimana tidak terlalu dipengaruhi oleh kedalaman fokus.
Magnitude gelombang badan diperoleh dari persamaan empiris berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
31
mb = log A – log T + 0.01 Δ + 5.9
(2.2)
dimana :
A = amplitudo (mikrometer)
T
= perioda p-wave (biasanya sekitar satu detik)
Δ
= jarak episenter terhadap seismometer (dalam derajat)
2.4.2.4. Moment magnitude
Magnitude gempa yang diuraikan di atas merupakan magnitude gempa empiris
berdasarkan berbagai pengukuran dengan bantuan instrumentasi karakteristik
guncangan tanah. Ketika sejumlah energi terlepas saat terjadinya peningkatan
gempa, karakteristik guncangan tanah belum tentu meningkat pula. Pada
gempa yang besar, karakteristik guncangan tanah kurang sensitif terhadap
besarnya gempa dibanding pada gempa yang lebih kecil. Fenomena ini dikenal
sebagai kejenuhan; gelombang badan dan Richter local magnitude menjadi
jenuh pada magnitude 6 hingga 7; dan magnitude gelombang permukaan
menjadi jenuh pada MS = 8. Untuk mendeskripsikan ukuran gempa yang
sangat besar, dibutuhkan suatu skala magnitude yang tidak tergantung pada
tingkat guncangan tanah dan tidak akan jenuh. Skala magnitude yang tidak
akan menjadi jenuh adalah moment magnitude (Kanamori. 1977; Hanks dan
Kanamori, 1979) karena didasarkan pada momen gempa, yang diukur
langsung dari faktor keruntuhan sepanjang patahan. Moment magnitude Mw ini
diperoleh dari persamaan :
Universitas Sumatera Utara
32
Mw =
log M 0
− 10.7
1.5
(2.3)
dimana M0 adalah momen gempa dalam dyne-cm.
2.4.3. Energi gempa
Besar total energi yang dilepaskan selama terjadinya suatu gempa dapat
diestimasi dari persamaan berikut :
log E = 11.8 + 1.5 MS
(2.4)
di mana E adalah energi yang dilepaskan (dalam ergs)
2.5. Resiko Gempa
Peristiwa gempa merupakan gejala alam yang bersifat acak yang tidak dapat
ditentukan dengan pasti, baik besar, tempat maupun waktu kejadiannya. Dengan
konsep probabilitas, terjadinya gempa dengan intensitas dan perioda ulang tertentu
dapat diperkirakan. Angka kemungkinan (probability) inilah yang mencerminkan
resiko gempa.
Resiko tahunan (RA) dari suatu intensitas gempa adalah angka kemungkinan
terjadinya atau terlampauinya intensitas tersebut dalam jangka waktu 1 tahun.
Sedangkan perioda ulang rata-rata (T) dari suatu intensitas merupakan perbandingan
terbalik dari resiko tahunan. Jika resiko tahunan untuk suatu intensitas tertentu
diketahui, maka :
Universitas Sumatera Utara
33
T =
1
RA
(2.5)
Resiko gempa (RN) didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya gempa
dengan intensitas dan perioda ulang tertentu selama masa layan bangunan (N tahun).
Dengan asumsi bahwa resiko-resiko dalam tahun-tahun yang berurutan tidak saling
bergantungan, maka hubungan antara resiko per tahun (RA), dan resiko dalam jangka
waktu N tahun (RN), dapat dinyatakan sebagai berikut :
RN = 1 – (1 – RA)N
(2.6)
Tabel 2.2 Hubungan Antara Resiko Gempa Untuk Periode Ulang Tertentu
Terhadap Masa Layan Bangunan, (Sibero, 2004)
Tingkatan
Beban Gempa
Sedang
Kuat
Sangat Kuat
Perioda, T (Tahun)
5
10
20
50
100
200
500
1000
RA (%)
20.00
10.00
5.00
2.00
1.00
0.50
0.20
0.10
N = 10 Tahun
89.26
6513
40.13 18.29
9.56
4.89
1.98
1.00
N = 30 Tahun
99.88
95.76 78.54 45.45 26.03 13.96
5.83
2.96
N = 50 Tahun 100.00 99.48 92.31 63.58 39.50 22.17
9.52
4.88
N = 100 Tahun 100.00 100.00 99.41 86.74 63.40 39.42 18.14
9.52
RN
(%)
Resiko gempa untuk setiap kategori dengan berbagai macam masa layan bangunan
dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Wangsadinata mengusulkan kriteria gempa yang didasarkan pada resiko gempa
untuk bangunan dengan masa layan 100 tahun sebagai berikut :
1. Gempa Ringan
Universitas Sumatera Utara
34
Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 60 % atau mempunyai perioda
ulang 100 tahun.
2. Gempa Menengah
Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 40 % atau mempunyai perioda
ulang 200 tahun.
3. Gempa Kuat
Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 20 % atau mempunyai perioda
ulang 400 tahun.
4. Gempa Desain (Maksimum)
Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 10 % atau mempunyai perioda
ulang 1000 tahun.
Pada Tabel 2.3 disajikan perbandingan penentuan perioda ulang gempa untuk
masing-masing kriteria yang dipakai pada peraturan pembebanan gempa di berbagai
negara.
Tabel 2.3 Perbandingan Penentuan Perioda Ulang Gempa, (Sibero, 2004)
Return Period (years)
Minor
Moderate
Major
Earthquake Earthquake Earthquake
Uniform Building Code (UBC), 1984
5
−
475
Code of Practice for general Structure Design and
Design Loadings for Buildings of New Zealand, 1992
10
−
475
Tri-Services Manual for Seismic Design of Essential
Buildings, 1986
−
73
950
100
200
450
Wangsadinata, 1995
Universitas Sumatera Utara
35
2.6. Analisa Resiko Gempa
Analisa resiko gempa (seismic hazard analysis) meliputi estimasi kuantitatif
dari goncangan tanah (ground-shaking) pada suatu lokasi tertentu. Resiko gempa
dapat dianalisa secara deterministik dengan mengambil suatu asumsi tertentu
mengenai kejadian gempa atau secara probabilisitik dimana dalam analisa juga
mempertimbangkan secara ekspiisit ketidakpastian dari besarnya gempa, lokasi
maupun waktu teriadinya.
2.6.1. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA)
Salah satu metoda analisa resiko gempa adalah metoda Deterministic Seismic
Hazard Analysis (DSHA), dimana dalam metoda ini evaluasi dari gerakan tanah
(ground motion) untuk suatu wilayah didasarkan kepada skenario gempa wilayah
tersebut. Skenario gempa ini berisi tentang kejadian gempa dengan besar
(magnitude) tertentu yang akan terjadi pada lokasi tertentu. Prosedur analisa resiko
gempa dengan metoda DSHA ini secara sistematika dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Secara tipikal, analisa resiko gempa dengan metoda DSHA ini dapat dibagi
menjadi 4 (empat) proses tahapan (Reiter, 1990) sebagai berikut :
1. Identifikasi dan karakterisasi semua sumber gempa yang mempunyai kapasitas
menghasilkan gerakan tanah pada suatu lokasi. Karakterisasi sumber ini termasuk
juga pendefinisian geometri dari masing-masing sumber (source zone) dan
potensi gempa.
Universitas Sumatera Utara
36
2. Pemilihan parameter jarak dari sumber ke lokasi (source-to-site distance
parameter). Biasanya dalam metoda DSHA, jarak yang dipilih adalah jarak
terdekat antara zona sumber gempa (source zone) dengan lokasi yang ditinjau.
Jarak yang digunakan dapat diekspresikan sebagai jarak dari episenter atau jarak
dari hiposenter, dimana hal ini tergantung pada pengukuran jarak dari persamaan
empiris yang akan digunakan untuk memprediksi pada tahap berikutnya.
3. Pemilihan controlling earthquake, yaitu gempa yang diperkirakan akan
menghasilkan tingkat goncangan yang terkuat, dimana biasanya diekspresikan
dalam parameter gerakan tanah pada suatu lokasi. Pemilihan ini dilakukan
dengan membandingkan tingkat goncangan yang dihasilkan oleh gempa (yang
diidentifikasi dalam tahap pertama) yang diasumsikan terjadi pada jarak yang
diidentifikasi
pada
tahap
kedua.
Controlling
earthquake
ini
biasanya
dideskripsikan dengan besar (umumnya diekspresikan sebagai magnitude) dan
jaraknya dari lokasi yang bersangkutan.
4. Resiko yang terjadi pada suatu lokasi kemudian didefinisikan biasanya dalam
bentuk gerakan tanah yang terjadi pada lokasi tersebut akibat controlling
earthquake. Karakteristik tersebut biasanya dideskripsikan oleh satu atau lebih
parameter gerakan tanah yang diperoleh dari persamaan empiris yang digunakan.
Percepatan puncak (peak acceleration), kecepatan puncak (peak velocity) dan
ordinat spektrum respon (response spectrum ordinates) biasanya digunakan
untuk mengkarakteristikkan resiko gempa.
Universitas Sumatera Utara
37
Sumber 3
Sumber 1
Lokasi yang
ditinjau
M3
R3
R1
M1
R2
M2
Sumber 2
Paremeter Gerakan
Tanah, y
STEP 1
M3
STEP 2
Controlling
Earthquake
Y1
M2
Y =
M1
R3
R2
R1
Jarak
STEP 3
Gambar 2.9
Y2
.
.
.
YN
STEP 4
Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode
Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA),
(Kramer, 1996)
2.6.2. Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA)
Metoda lain yang dapat digunakan untuk menganalisa resiko gempa adalah
dengan konsep probabilitas, yaitu Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA).
Dengan metoda ini ketidakpastian dari besar, lokasi dan kecepatan perulangan (rate
of recurrence) dari gempa maupun variasi dari karakteristik gerakan tanah akibat
besar dan lokasi gempa secara eksplisit ikut diperhitungkan dalam evaluasi resiko
gempa. Metodologi PSHA ini serupa dengan metoda yang dikembangkan oleh
Cornell (1968) dan Algermissen et al. (1982).
Universitas Sumatera Utara
38
Metoda PSHA ini dapat dideskripsikan dalam 4 (empat) tahapan prosedur
(Reiter, 1990) sebagai berikut:
1. Tahap pertama adalah identifikasi dan karakterisasi sumber gempa, termasuk
didalamnya adalah karakterisasi distribusi probabilitas dari lokasi rupture yang
berpontensi pada sumber. Dalam kebanyakan kasus, diterapkan distribusi
probabilitas yang sama untuk masing-masing zona sumber. Hal ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa gempa mungkin sama-sama akan terjadi pada setiap
titik dalam zona sumber gempa. Distribusi ini, dikombinasikan dengan bentuk
geometri sumber untuk mendapatkan distribusi probabilitas yang sesuai dengan
jarak sumber ke lokasi.
2. Langkah berikutnya adalah karakterisasi dari seismisitasi atau distribusi
sementara dari perulangan kejadian gempa. Hubungan empiris perulangan
kejadian gempa (recurrence relationship), yang mengekspresikan kecepatan ratarata (average rate) dari suatu gempa dengan besar yang berbeda akan terlampaui,
digunakan untuk mengkarakterisasikan seismisitasi dari masing-masing zona
sumber gempa. Hubungan empiris ini dapat mengakomodasikan besamya
magnitude maksimum dari gempa.
3. Gerakan tanah yang terjadi disuatu lokasi akibat adanya gempa dengan besar
gempa berapapun dan lokasi kejadian dimanapun dalam masing-masing zona
sumber gempa, dapat ditentukan dengan menggunakan predictive relationships.
4. Langkah terakhir adalah mengkombinasikan ketidakpastian dari lokasi gempa,
Universitas Sumatera Utara
39
besarnya gempa dan prediksi parameter gerakan tanah untuk mendapatkan
probabilitas dimana parameter gerakan tanah akan terlampaui selama perioda
waktu tertentu.
Metodologi analisa resiko gempa dengan metoda Probabilistic Seismic Hazard
Analysis (PSHA) ini dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Sumber 1
Lokasi yang
ditinjau
R
R
Log (# gempa > m)
Sumber 3
1
2
3
Magnitude, x
Sumber 2
R
STEP 2
Parameter gerakan
tanah, Y
STEP 1
Jarak, R
STEP 3
Gambar 2.10
Nilai parameter
STEP 4
Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode
Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA),
(Kramer, 1996)
2.7. Model Matematika Probabilitas Resiko Gempa
Teorema probabilitas total yang digunakan untuk memecahkan masalah resiko
gempa telah banyak dikembangkan dan diusulkan oleh para peneliti, antara lain
Cornell (1968) dan McGuire (1976).
Universitas Sumatera Utara
40
2.7.1. Model USGS (McGuire, 1976)
Teorema probabilitas total yang dikembangkan oleh McGuire tahun 1976 ini
didasarkan atas konsep probabilitas yang dikembangkan oleh Cornell pada tahun
1968, dengan mengambil asumsi bahwa harga kekuatan gempa (M) dan jarak
hiposenter (R) sebagai variabel acak bebas yang menerus (continuous independent
random variable). Teori ini mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut :
P [I ≥ i ] =
∫∫
P [I ≥ i ⏐M dan R ] . fM . fR dm dr
(2.7)
r m
dimana :
fM
= density function dari kekuatan gempa (magnitude)
fR
= density function dari jarak hiposenter
P [I ≥ i ⏐M dan R ] = probabilitas berkondisi dari intensitas I ≥ intensitas i di suatu
lokasi, dengan kekuatan gempa M dan jarak hiposenter R.
Metoda yang dikembangkan oleh beberapa peneliti, seperti Esteva (1970),
Donovan (1974) dan McGuire (1974), untuk probabilitas berkondisi dengan
intensitas I, sama atau lebih besar dari itensitas i di suatu lokasi dengan kekuatan
gempa M dan jarak hiposenter R, mempunyai bentuk umum sebagai berikut :
m (M, R) = C1 + C2 M + C3 ln (R + ro)
(2.8)
dimana :
M
= ukuran besar gempa
R
= jarak hiposenter (km)
Universitas Sumatera Utara
41
C1, C2, C3, dan ro = konstanta
Dengan menggunakan standar deviasi intensitas σ1, distribusi normal dan
Persamaan (2.8), maka intensitas probabilitas berkondisi dengan intensitas I sama
atau tebih besar dari i untuk suatu lokasi dengan kekuatan gempa M dan jarak
hiposenter R, dapat dituliskan sebagai berikut :
⎛ 1 - C1 - C 2 M - C 3 ln (R + ro ) ⎞
⎟⎟
P [I ≥ i ⏐M dan R ] = φ* ⎜⎜
σ1
⎠
⎝
(2.9)
dimana φ* merupakan kumulatif komplementer (complementary cummulative) dari
distribusi normal standar.
Tingkat kejadian rata-rata tahunan (disebut juga sebagai resiko tahunan ratarata) dari gempa yang mempunyai besaran (magnitude) sama dengan atau lebih besar
dari M pada suatu daerah sumber gempa, mempunyai hubungan sebagai berikut
(Gutenberg-Richter, 1958) :
log n(M) = a − b M
(2.10)
dimana :
n(M) = tingkat kejadian tahunan rata-rata (mean annual rate of exceedance)
10a = tingkat kejadian tahunan untuk gempa dengan magnitude lebih besar dari 0
b
= konstanta yang menunjukkan kemungkinan relatif tentang besar kecilnya
(magnitude) gempa yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
42
Secara spesifik parameter b merupakan parameter seismisitasi yang
menggambarkan karakteristik tektonik atau kegempaan suatu daerah. Sedangkan
parameter a adalah parameter seismisitasi yang tidak menggambarkan karakteristik
kegempaan tetapi lebih merupakan parameter yang menerangkan karakteristik
data pengamatan. Konstanta a ini tergantung dari lamanya pengamatan dan tingkat
seismisitasi dari daerah sumber gempa.
Untuk menentukan konstanta a dan b ini, dilakukan plot grafik yang
menggambarkan hubungan antara. magnitude M dengan logaritma dari jumlah
gempa yang mempunyai magnitude lebih besar atau sama dengan M (log n(M)).
Selanjutnya analisis regresi linier dilakukan pada setiap titik yang diplot pada grafik
untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b (Gambar 2.11).
log n(M)
log n(M) = a - bM
a
10
b
1
M
Gambar 2.51 Penyebaran Magnitude Gempa pada Suatu Daerah
Secara grafis harga b dapat ditentukan dengan hubungan sebagai berikut :
b =
d log n(M)
dM
(2.11)
Universitas Sumatera Utara
43
Jadi harga b merupakan perbandingan antara penurunan relatif tingkat kejadian
gempa terhadap perbesaran magnitudenya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
harga b yang besar menunjukkan tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi.
Persamaan (2.10) di atas dapat juga dinyatakan sebagai berikut:
n(M) = 10 a bM = exp (α − β M)
(2.12)
dimana :
α = a ln 10 dan β = b ln 10
Untuk kepentingan rekayasa, besarnya magnitude gempa dibatasi dengan mo,
dimana gempa-gempa dengan magnitude dibawah mo dianggap tidak menyebabkan
kerusakan yang berarti. Oleh karena itu, tingkat kejadian rata-rata tahunan adalah :
n(M) = v . exp (-β (m − mo)); mo < m < m1
(2.13)
dimana : v = exp (α − β mo)
Dengan mengasumsikan besaran gempa dan sejumlah kejadian gempa tidak
tergantung satu sama lain (independent), maka dapat ditentukan distribusi kumulatif
dari tiap-tiap kejadian gempa sebagai berikut :
FM (m) = P[M < m ⏐M > mo]
=
n (m o ) - n (m)
= 1 – e -β (m – mo)
n(m o )
(2.14)
Jika magnitude gempa yang diperhitungkan juga dibatasi oleh harga
maksimum m1, maka distribusi kumulatif adalah :
Universitas Sumatera Utara
44
FM (m) = k (1 – exp (-β (m − mo)) ; mo < m < m1
(2.15)
dimana :
β = b ln (10)
k = [(1 – exp (-β (m − mo))]-1
mo = batas minimum besaran gempa dari area sumber gempa
m1 = batas maksimum besaran gempa dari area sumber gempa
Dari Persamaan (2.15) dapat diperoleh persamaan density function untuk
besaran gempa, dengan menurunkan persamaan tersebut terhadap m :
FM (m) =
∂FM (m)
∂m
= βk exp (-β (m − mo)) ; mo < m < m1
(2.16)
Dengan mensubstitusikan Persamaan (2.9) dan (2.16) ke dalam Persamaan
(2.7), dapat ditentukan probabilitas untuk intensitas I sama atau lebih besar dari
intensitas i di suatu lokasi :
P [ I ≥ i] =
m1
⎛ i - C1 - C 2 M - C 3 ln (R + ro ) ⎞
⎟.
σ
⎠
∫ ∫ φ * ⎜⎝
r mo
βk exp (-β (m − mo)) fR (r) dmdr
(2.17)
Integrasi Persamaan (2.17) dapat ditulis secara analitis (hasil manipulasi aljabar
oleh Cornell dan Merz, McGuire), sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
45
P [I ≥ i]
⎧
⎛ z ⎞
⎛ z' ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ + k φ * ⎜⎜ ⎟⎟ +
φ
(1
k)
*
⎨
∫r
⎝ σ1 ⎠
⎝ σ1 ⎠
⎩
=
β C3
k (R + ro )
C2
⎛ - iβ β C 1
β 2 σ 12
⎜
exp ⎜
+
+ β mo +
2
C2
2 C2
⎝ C2
2
⎛ ⎛
⎜ ⎜ z - b σ1
⎜ ⎜
C2
⎜φ * ⎜
σ1
⎜ ⎜
⎜
⎜
⎝ ⎝
2
⎛
⎞
b σ1
⎜ z' ⎟
C2
⎜
⎟
⎟ -φ *⎜
σ1
⎜
⎟
⎜
⎟
⎝
⎠
⎞
⎟.
⎟
⎠
⎞ ⎞⎫
⎟ ⎟⎪
⎟ ⎟⎪
⎟ ⎟⎬ f R (r) dr
⎟ ⎟⎪
⎟ ⎟⎪
⎠ ⎠⎭
(2.18)
dengan :
z = i – C1 – C2 m1 – C3 ln (R + ro) dan z’ = i – C1 – C2 mo – C3 ln (R + ro)
Maka probabilitas total tahunan dari kejadian-kejadian dengan intensitas I
sama atau lebih besar dari i pada suatu lokasi adalah dengan menjumlahkan angka
kemungkinan seluruh area sumber gempa. Dalam bentuk matematis :
n
NA =
∑N
i =1
1
(M ≥ mo)1 P [ I ≥ i ]
(2.19)
dimana :
NA
= tingkat kejadian tahunan total dari kejadian-kejadian dengan I > i
pada suatu lokasi.
P [I ≥ i]
= resiko kejadian tunggal untuk intensitas I yang sama atau lebih besar
dari intensitas i di lokasi untuk satu daerah sumber gempa.
N1(M ≥ mo) = tingkat kejadian tahunan dari gempa yang mempunyai M ≥ mo
untuk satu daerah sumber gempa.
Universitas Sumatera Utara
46
Besarnya nilai resiko tahunan untuk kejadian gempa tersebut diasumsikan
terdistribusi dalam Distribusi Poisson sebagai berikut :
RA = 1 – e(-NA)
(2.20)
2.7.2. Model gumbel (point sources)
Dalam melakukan analisis resiko gempa, dapat juga menggunakan teorema
probabilitas total yang berkaitan dengan nilai ekstrim. Metoda statistik ini disebut
Jenis I atau lebih dikenal dengan Distribusi Gumbel. Dengan distribusi tersebut,
dapat ditentukan peak baserock acceleration (PBA) untuk berbagai perioda ulang.
Pengaruh dari setiap kejadian gempa pada titik yang ditinjau ditentukan dalam
bentuk percepatan dengan menggunakan fungsi-fungsi atenuasi, dengan asumsi
masing-masing kejadian gempa independen terhadap titik tersebut. Distribusi gempa
menurut Gumbel :
G(M) = e(-α exp (-βM)) ; M ≥ 0
(2.21)
dimana :
α = jumlah gempa rata-rata per tahun
β = parameter yang menyatakan hubungan antara distribusi gempa dengan
magnitude
M = Magnitude gempa
Universitas Sumatera Utara
47
Bentuk Persamaan (2.21) dapat disederhanakan menjadi persamaan garis lurus
sebagai berikut :
-βM
ln G(M) = -α e
(2.22a)
ln (- ln G(M)) = ln α − βM
(2.22b)
Persamaan di atas identik dengan persamaan linier :
(2.23)
y = A +Bx
dimana :
y
= ln (- ln G(M))
α = eA
β = −B
x = percepatan
Persamaan garis ini terdiri dari titik-titik xj, yj; dimana :
xj = aj = percepatan gempa ke-j
j
= nomor urut kejadian gempa yang disusun dari tahun kejadian terbesar kurang
tahun kejadian terkecil yang disebut dengan selang waktu, yang masuk dalam
radius 300 km ditempatkan di nomor urut paling bawah.
N = selang waktu pengamatan
⎛ j ⎞
yj = ln (− ln G(M)) = ln (− ln ⎜
⎟)
⎝ N + 1⎠
Universitas Sumatera Utara
48
Karena titik-titik ini selalu membentuk garis lurus, maka digunakan metode
kuadrat terkecil (least square) untuk menentukan garis yang paling tepat :
2
A =
B =
∑ y j . ∑ x j - ∑ x j . ∑( x j - y j )
(2.24)
2
n ∑ x j - (∑ x j ) 2
n ∑( x j . y j ) - ∑ x j . ∑ y j
(2.25)
2
n ∑ x j - (∑ x j ) 2
Sedangkan hubungan perioda ulang (T) dengan percepatan (a) adalah sebagai
berikut :
a =
ln (T . α)
β
(2.26)
2.8. Fungsi Atenuasi dan Faktor yang Mempengaruhinya
Prediksi hubungan empiris untuk parameter gempa yang melemah (berkurang)
sejalan dengan bertambahnya jarak, seperti percepatan puncak dan kecepatan
puncak, dikenal sebagai fungsi atenuasi (attenuation relationship atau attenuation
function).
Analisa resiko gempa dengan menggunakan model USGS maupun Gumbel
memerlukan nilai percepatan tanah akibat gempa. Pada analisis resiko gempa apabila
lokasi yang ditinjau (site interest) tidak mempunyai data rekaman gempa, maka
untuk memperkirakan besarnya percepatan maksimum tanah digunakan fungsi
Universitas Sumatera Utara
49
atenuasi. Yang dimaksud dengan fungsi atenuasi adalah suatu fungsi yang
menggambarkan korelasi antara intensitas (i) gerakan tanah setempat, magnitude (M)
dan jarak (R) dari sumber titik dalam daerah sumber gempa.
Memperkirakan fungsi atenuasi untuk gerakan tanah akibat gempa, telah
menjadi subjek yang menarik dalam penelitian bidang kegempaan. Fungsi atenuasi
merupakan alat yang penting dalam mengaplikasikan resiko kegempaan dalam
perencanaan bangunan tahan gempa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi atenuasi adalah :
1. Mekanisme gempa
Gempa-gempa besar biasanya terjadi karena pergeseran tiba-tiba lempeng
tektonik yang mengakibatkan terlepasnya energi yang sangat besar. Pergeseran
lempeng tektonik ini bias terjadi pada daerah subduction, ataupun pada patahan
yang tampak di permukaan bumi, seperti patahan semangko di sumatera. Gempa
yang terjadi pada daerah subduction biasanya merupakan gempa dalam yang
mempunyai kandungan frekuensi yang berbeda dengan gempa dangkal. Gempa
dalam biasanya mempunyai gelombang permukaan yang lebih sedikit, sehingga
memberikan spectrum respon yang lebih rendah pada periode tinggi. Oleh karena
itu rumus-rumus atenuasi untuk gempa subduction harus dipisahkan dari gempa
strike slip.
Universitas Sumatera Utara
50
2. Jarak episenter
Respon spectrum dari gempa yang tercatat pada batuan mempunyai bentuk yang
berbeda tergantung jarak episenternya (near field, mid field, dan far field).
Gempa near field memberikan respon yang tinggi pada perioda yang rendah tapi
mengecil secara drastic dengan bertambah perioda. Di lain pihak, gampa far field
pada perioda rendah tetapi responnya terlihat konstan sampai perioda sekitar satu
detik. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kandungan frekuensi gempa
dengan semakin jauhnya suatu daerah yang ditinjau ke episenter.
3. Kondisi tanah lokal
Kondisi tanah lokal mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan
respon suatu daerah terhadap gelombang gempa. Respon gempa yang tiba
dibatuan dasar bisa diperkuat, diperlemah atau berubah kandungan frekuensinya
karena tersaringnya getaran berfrekuensi tinggi.
Sejak percepatan puncak secara umum digunakan untuk mendeskripsikan
parameter gerakan tanah (ground motion), banyak persamaan atenuasi yang
dikembangkan dan diusulkan oleh para peneliti, antara lain Fukushima dan Tanaka
(1990), Crouse (1991), Joyner dan Booer (1981, 1988), Youngs et al (1997) dan
lainnya.
Universitas Sumatera Utara
51
2.8.1. Atenuasi Fukushima dan Tanaka (1990)
Fungsi atenuasi ini dikembangkan untuk percepatan maksimum horizontal
yang berlaku pada sumber gempa di sekitar Jepang. Data yang digunakan terdiri dari
1372 komponen percepatan tanah maksimum horizontal dari 28 gempa yang terjadi
di Jepang dan 15 gempa yang terjadi di Amerika serta di negara lain. Model atenuasi
yang digunakan untuk menghitung bagaimana penyebaran geometrik dari gelombang
gempa.
Beberapa peneliti dari Indonesia menganjurkan penggunaan persamaan ini
untuk patahan (fault) permukaan yang ada di Sumatera dan Jawa. Persamaan empiris
dari persamaan fungsi atenuasi ini adalah :
log (PBA) = 1.30 + 0.41 MS – log [R + 0.032 x 10 0.41 MS] –
0.0034R
(2.27)
dimana :
MS = magnitude gelombang permukaan
R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa (km)
2.8.2. Atenuasi Crouse (1991)
Fungsi atenuasi yang dikembangkan oleh Crouse ini berdasarkan data gempa
yang mempunyai mekanisme subduksi yang diambil dari zona subduksi Cascadia
Pasifik Utara bahagian barat. Bentuk empiris dari fungsi atenuasi tersebut adalah
sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
52
ln (PBA) = 11.5 + 0.657 M – 2.09 ln [R + 63.7 x e 0.128.M] –
0.00397.h
(2.28)
dimana :
M = magnitude gempa
R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa (km)
h
= kedalaman fokus (km)
2.8.3. Atenuasi Joyner dan Boore (1981, 1988)
Fungsi atenuasi yang diperoleh Joyner dan Boore adalah fungsi atenuasi
percepatan horizontal maksimum, kecepatan horizontal maksimum dan pseudo
spectral relative velocity. Fungsi ini menggunakan data berdasarkan gempa di
Amerika Utara bahagian barat dengan magnitude gempa antara 5.0 – 7.0 dalam jarak
100 km dari proyeksi pada permukaan. Bentuk empiris dari fungsi atenuasi ini
pertama kali di publikasikan pada tahun 1981 yakni sebagai berikut :
ln (PBA) = 0.249.MW – log R0 – 0.00255.R0 – 1.02
(2.29)
dimana :
MW = momen magnitude
R 2 + 7.3 2
R0
=
R
= jarak terdekat dari lokasi ke proyeksi vertical dari gempa akibat aktivitas
pada permukaan tanah (km)
Universitas Sumatera Utara
53
Pada tahun 1988, persamaan (2.29) diatas dimodifikasi oleh Joyner dan Boore
menjadi :
ln (PBA) = 0.43 + 0.23.(MW – 6) – log R – 0.0027.R0 –
(2.30)
0.0027.R0
dimana :
MW = momen magnitude
R 2 + 82
R0
=
R
= jarak terdekat dari lokasi ke proyeksi vertical dari gempa akibat aktivitas
pada permukaan tanah (km)
2.8.4. Atenuasi Youngs et al. (1997)
Pada tahun 1997, Youngs et al. mengusulkan suatu fungsi atenuasi yang
dikembangkan berdasarkan data gempa dengan mekanisme subduksi. Bentuk dari
fungsi atenuasi tersebut adalah sebagai berikut :
Untuk bebatuan (rock) :
ln (PBA)
= 0.2418 + 1.414 MW – 2.552 ln [rrup + 1.7818 e0.554MW] +
(2.31)
0.00607 H + 0.3846 Zt
Untuk tanah (soil) :
ln (PBA)
= 0.6687 + 1.438 MW – 2.329 ln [R + 1.097 e0.617MW] +
0.00648 H + 0.3643 Zt
(2.32)
Universitas Sumatera Utara
54
dimana :
rrup = jarak terdekat ke rupture (km)
H
= kedalaman (km)
Zt
= tipe sumber gempa (0 untuk interface, dan 1 untuk interslab)
σ
= standar deviasi, sebesar 1.54 – 0.1 MW.
2.9. Spektrum Respon
Spektrum respon (response spectra) adalah suatu kurva yang menggambarkan
respon maksimum dari perpindahan, kecepatan, percepatan ataupun besaran yang
diinginkan dari suatu sistem derajad kebebasan tunggal (single degree of freedom,
SDOF) dengan redaman pada berbagai macam variasi frekuensi. Istilah teknik yang
digunakan untuk menyatakan respon tersebut, yaitu spektrum simpangan (Sd)
menunjukkan respon maksimum perpindahan, spektrum kecepatan pseudo (Sv) yang
menunjukkan respon maksimum kecepatan, dan percepatan pseudo (Sa) yang
menunjukkan respon maksimum percepatan. Bentuk tipikal dari spektrum respon ini
menggambarkan bahwa nilai puncak spektrum percepatan, kecepatan dan
perpindahan dikaitkan dengan frekuensi atau perioda yang berbeda.
Untuk mendapatkan spektrum respon ini, dapat digunakan persamaan empiris
yang telah diusulkan oleh para peneliti sebelumnya, dimana dalam persamaan
tersebut telah diperhitungkan pengaruh magnitude, jarak episenter dari sumber
gempa, kondisi geologi maupun mekanisme terjadinya gempa.
Universitas Sumatera Utara
55
y
y - ys
max
m
f
..
ys (t)
(a) Bentuk spektrum respon
Gambar 2.62
Secara
sederhana,
(b) Sistem berderajad kebebasan tunggal
yang dipengaruhi pergerakan tanah
Konsep Spektrum Respon
spektrum
respon
adalah
plot
respon
maksimum
(perpindahan, kecepatan, dan percepatan maksimum) dengan fungsi beban tertentu
dari sistem berderajad kebebasan satu. Absis dari spektrum adalah frekuensi natural
(atau perioda) dari sistem, dan ordinat adalah respon maksimum. Plot dari tipe ini
ditunjukkan pada Gambar 2.12 dimana bangunan yang dipengaruhi perpindahan
tanah dinyatakan sebagai fungsi ys(t). Lengkung spektrum respon pada Gambar 2.12
(a) memperlihatkan perpindahan relatif maksimum dari massa m terhadap
perpindahan pondasi dari suatu sistem berderajad kebebasan satu.
ys
y
k
m
c
Gambar 2.73
k (y - ys )
.
c (y - ys )
..
my
Model Struktur dan Freebody
Universitas Sumatera Utara
56
Masalah penting dalam struktur dinamik, seperti halnya gempa, adalah sistem
yang dipengaruhi oleh beban pada pondasi struktur. Contoh untuk hal ini adalah
gerakan bolak-balik dengan redaman yang merupakan model struktur seperti pada
Gambar 2.13. Pada kasus ini, fungsi percepatan merupakan pengaruh seperti yang
dinyatakan pada Gambar 2.14. Perpindahan relatif u didefinisikan sebagai u = y – ys.
Solusi kasus sedemikian ini dapat diselesaikan dengan menggunakan Duhamel
integral.
..
ys (t)
t
Gambar 2.84
Fungsi Percepatan yang Mempengaruhi Struktur pada Gerak Bolakbalik dari Suatu Sistem Berderajad Kebebasan Tunggal
2.10. Pengaruh Tanah Terhadap Percepatan Gempa
Menurut Lysmer et al. (1977) adanya suatu struktur di bawah permukaan
tanah, misalnya terowongan, akan mempengaruhi respon dinamis struktur lainnya
pada saat terjadinya gempa. Pengaruh gempa terhadap interaksi antara tanah dan
struktur pada umumnya dianalisis dengan dua metode. Metode pertama adalah
analisis dengan memperhitungkan variasi-variasi pergerakan struktur dan tanah di
sekitamya. Metode kedua adalah analisis kelembaman, yaitu analisis yang
mengasumsikan tanah disekitar struktur yang ditinjau akan mengalami pergerakan
yang sama untuk setiap titiknya.
Universitas Sumatera Utara
57
Untuk memperoleh hasil analisis yang lengkap, permasalahan interaksi antara
tanah dan struktur, harus memperhitungkan respon dari struktur pada saat teriadi
gempa yang pergerakannya bervariasi dari satu titik ke titik lainnya antara batuan
dasar ke permukaan tanah. Permasalahan tersebut dalam analisis diidealisasi dengan
menganggap pergerakan tanah di sekitar struktur adalah akibat rambatan vertikal
gelombang badan (body wave) dari formasi tanah yang lebih kaku. Kontrol
pergerakan (control motion) yang dispesifikasi untuk suatu titik di lapangan dapat
dijadikan acuan untuk menentukan pergerakan tanah pada suatu kedalaman, seperti
pada perbatasan antara tanah dan batuan. Untuk keperluan tersebut dapat digunakan
teori amplifikasi. Pergerakan yang dihitung pada kedalaman tersebut digunakan
sebagai data masukan (input) pergerakan tanah pada model sistem elemen hingga
antara tanah dengan struktur.
Analisis dilakukan secara interaktif untuk memperoleh regangan yang sesuai
dengan karakteristik tanah yang non-linier melalui prosedur anlisis linier (Seed dan
Idriss, 1970). Prosedur ini dikenal juga dengan nama metode linier ekivalen
(equivalent linier method). Untuk memperolah harga damping ratio yang diinginkan,
dapat digunakan metode analisis respon kompleks.
2.10.1.
Rambat gelombang satu dimensi
Selama berlangsungnya gempa, terjadinya perambatan gelombang sangat
dipengaruhi oleh kondisi tanah setempat. Hampir semua peneliti mengambil asumsi
Universitas Sumatera Utara
58
bahwa respon utama yang terjadi disebabkan oleh perambatan gelombang geser dari
batuan dasar (base rock) ke permukaan tanah. Salah satu teori rambatan gelombang
yang dipakai adalah teori rambatan gelombang geser harmonik satu dimensi. Teori
ini dikemukakan pertama kali oleh Kanai (1951), dan dikembangkan lebih lanjut
oleh Schnabel, Lysmer, dan Seed (1972). Asumsi dasar yang digunakan dalam teori
ini adalah :
1. Sistem tanah panjangnya tidak terbatas
2. Setiap lapisan pada sistem telah diketahui shear modulus-nya, damping rationya, density serta ketebalannya.
3. Respon yang terjadi pada sistem disebabkan oleh rambatan gelombang geser
yang berasal dari batuan dasar
4. Gelombang geser diberikan dalam bentuk percepatan dengan interval waktu yang
sama
5. Tegangan yang terjadi tergantung kepada shear modulus dan damping ratio yang
dihitung dengan prosedur persamaan linier mengacu pada harga rata-rata tingkat
tegangan di setiap lapisan.
Rambatan vertikal gelombang geser di setiap lapisan tanah merupakan
rambatan gelombang yang menyebabkan perpindahan dalam arah horizontal saja.
Pemodelan tersebut dapat ditulis dengan persamaan :
u = u(x,t)
(2.33)
Universitas Sumatera Utara
59
Yang harus memenuhi persamaan gelombang :
ρ
∂2u
∂2u
∂ 3u
=
+
η
G
∂ t2
∂ x2
∂ x 2∂ t
(2.34)
dimana :
u = perpindahan
ρ = massa jenis (kepadatan) media
G = modulus geser
η = viskositas media
2.10.2.
Perpindahan harmonik
Perpindahan harmonik (harmonic displacement) dengan frekuensi ω dapat
ditulis dalam bentuk :
u(x,t) = U(x) . eiωt
(2.35)
Substitusi Persamaan (2.35) ke Persamaan (2.34) memberikan suatu persamaan
differensial berikut :
(G + i ω η)
∂2U
= ρ ω2 U
∂x 2
(2.36)
Yang mempunyai solusi umum :
U(x) = E . eikx + F . eikx
(2.37)
Universitas Sumatera Utara
60
Dengan k didefinisikan sebagai :
k2 =
ρ ω2
ρ ω2
=
G+iωη
G*
(2.38)
k adalah bilangan complex wave, sedangkan G* adalah modulus geser kompleks.
Viskositas η dapat dihasilkan dari perkalian damping kritis β dan G, yang
dirumuskan sebagai :
η = 2G.β
(2.39)
Pengujian pada beberapa material menunjukkan G dan β mendekati konstan
pada daerah frekuensi, yang menjadi hal pokok yang perlu diperhatikan dalam
analisis. Ini akan mempermudah mengekspresikan modulus geser kompleks dalam
bentuk damping kritis yang konstan terhadap perubahan viskositas.
G* = G + i ω η = G (1 + 2 . iβ)
(2.40)
Persamaan (2.35) dan (2.37) memberikan solusi untuk persamaan gelombang
harmonik terhadap frekuensi, yang dinyatakan sebagai :
U(x,t) = E . ei(kx + ωt) + F . e-i(kx -ω t)
(2.41)
Bentuk pertama menyatakan perambatan gelombang searah dengan sumbu-x
negatif (ke atas), dan bentuk kedua menyatakan pantulan gelombang yang menjalar
searah sumbu-x positif (ke bawah). Persamaan (2.40) berlaku untuk tiap-tiap lapisan
pada Gambar 2.15. Dengan memperkenalkan koordinat lokal sistem-x untuk tiap-tiap
lapisan. Perpindahan pada bahagian atas dan bawah lapisan m adalah
Universitas Sumatera Utara
61
Um(x=0) = (Em + Fm ). eiωt
Um(x=hm) = (Em . ei km hm + Fm . ei km hm). eiωt
(2.42)
Tekanan geser pada sebuah permukaan horizontal adalah :
∂u
∂u
∂ 2u
τ(x,t) = G −
− G*
∂x ∂x ∂t
∂x
(2.43)
Dengan mensubstitusikan turunan pertama Persamaan (2.40) terhadap variabel
x kedalam Persamaan (2.43), diperoleh :
τ(x,t) = i k G* (E . eikx + F . eikx) . e
(2.44)
Tekanan geser pada bagian atas dan bawah lapisan m secara berturut-turut adalah :
τm(x=0)
= i km Gm* (Em + Fm) . eiωt
(2.45)
τm(x=hm) = i km Gm* (Em . ei kmhm − Fm . ei kmhm) . eiωt
(2.46)
Tegangan geser dan perpindahan (displacement) harus kontinu pada setiap
permukaan lapisan. Sehingga dengan Persamaan (2.42),(2.45), dan (2.46) :
zEm+1 + Fm+1 = Em . ei kmhm + Fm . e−i kmhm
Em+1 − Fm+1 =
(2.47)
k mG m
(Em . ei kmhm + Fm . e−i kmhm)
k m +1G m
(2.48)
Dari pemisahan dan penjumlahan Persamaan (2.47) dan (2.48), diperoleh :
Em+1 = ½ Em (1+αm) . ei kmhm + Fm (1− αm) . e−i kmhm
(2.49)
Em+1 = ½ Em(1− αm) . ei kmhm + Fm (1+αm) . e i kmhm
(2.50)
Universitas Sumatera Utara
62
Dimana αm adalah complex impedence ratio yang tidak bergantung pada
frekuensi, dan dapat ditulis sebagai :
αm
⎛ ρ G ⎞
km Gm
=
= ⎜⎜ m m ⎟⎟
k m +1 G m +1
⎝ ρ m +1 G m +1 ⎠
Nomor
Lapisan
Sistem
Koordinat
1/ 2
(2.51)
Arah
Pergerakan
Sifat-sifat
Lapisan
u1
1
X
u2
X
un
n
X
un +1
n+1
X n+1
un +2
X n+2
Particle motion
Incident wave
Reflected wave
uN
N
XN
Gambar 2.95 Rambat Gelombang Sistem Satu Dimensi, (Schanabel Et, al, 1972)
Tegangan geser pada permukaan tanah sama dengan nol, sehingga jika τ1 dan
x1 sama dengan nol, maka akan didapat E1 = F1 yaitu amplitudo insiden dan
gelombang pantul yang selalu sama untuk setiap permukaan bebas. Mulai dengan
Universitas Sumatera Utara
63
permukaan bebas, secara berulang menggunakan formula rekursi (recursion formula)
Persamaan (2.49) dan (2.50) berpengaruh pada hubungan antara amplitudo pada
lapisan m dan pada permukaan lapisan tersebut :
Em = em (ω) El
Fm = fm (ω) F1
Transfer fungsi em dan fm akan lebih mudah untuk amplitudo El dan E2 = 1,
dan dapat dihitung dengan mensubstitusikan kondisi ini kedalam rumus rekursi di
atas. Transfer fungsi lain lebih mudah diperoleh dari fungsi em dan fm. Fungsi
transfer An,m antara perpindahan pada level n dan m didefinisikan sebagai :
An,m(ω) = Um /Un
Dan dengan mensubstitusikan Persamaan (2.51), serta kedua fungsi transfer di
atas akan diperoleh :
An,m(ω) =
em (ω ) + f m (ω )
en (ω ) + f n (ω )
(2.52)
Berdasarkan pada persamaan ini dapat ditemukan fungsi transfer A(ω) antara
dua lapisan pada sistem. Sehingga jika gerakan diketahui pada suatu lapisan, maka
gerakan pada lapisan lain dapat dihitung.
Amplitude E dan F kemudian dapat dihitung untuk setiap lapisan pada sistem,
strain, perpindahan, dan percepatan diperoleh dari fungsi displacement :
Universitas Sumatera Utara
64
ü(x,t) =
δ2 u
= − ω2 (E . ei(kx + ωt) + F . e-i(kx -ω t) )
δ t2
(2.53)
dan regangan dengan :
Y =
2.10.3.
δu
= i k (E . ei(kx + ωt) + F . e-i(kx -ω t) )
δx
(2.54)
Pergerakan transien
Rumus-rumus dan penjelasan sebelumnya dipakai dengan memperhatikan
pergerakan-pergerakan tanah yang bergerak secara harmonik. Pelepasan energi
(eksitasi) transien dari batuan dasar, yang merupakan penyebab adanya perambatan
gelombang gaya geser yang merambat ke atas selama suatu gempa bumi
berlangsung, dapat dilihat dari catatan percepatan gempanya (akselerogram). Suatu
catatan percepatan gempa yang telah didigitalisasi dan memiliki n buah nilai
percepatan yang berjarak atau berselang waktu sama uj (j,Δt), j = 0,...,(n-1), dapat
diwakili dengan suatu penjumlahan terbatas dari suatu deret bentuk pergerakanpergerakan harmonik :
ü(t) =
1/2n
∑
s =0
{as exp (i ωs . t) + bs exp (− i ωs . t)}
(2.55)
dimana ωs adalah frekuensi-frekuensi untuk masing-masing nilai tersebut, yaitu :
ωs =
2π
s ⇒ s = 0, . . . , ½ n
n . Δt
Universitas Sumatera Utara
65
dan as serta bs adalah koefisien-koefisien kompleks dari Fourier:
as =
1 n -1
∑ u(j,Δt) exp(− i ωs . t)
n j=0
(2.56)
bs =
1 n -1
∑ u(j,Δt) exp( i ωs . t)
n j=0
(2.57)
Jika deret pada Persamaan (2.55) di atas mewakili pergerakan pada lapisan m,
maka persamaan deret lain yang mewakili pergerakan pada lapisan lain n, diperoleh
dengan mempergunakan fungsi transformasi Am,n (ωs), yang mana secara umum
mempunyai bentuk seperd yang diperiihatkan pada Persamaan (2.52). Sehingga :
1 / 2n
ün(t) =
∑
s =0
Am,n(ωs)[as exp (i ωs . t) + bs exp (− i ωs . t)]
(2.58)
Berdasarkan pada Persamaan (2.58) ini, maka percepatan pergerakan tanah
untuk tiap-tiap lapis tanah, termasuk permukaan bebas, yang disebabkan oleh
pelepasan energi transien (transient excitation) pada batuan dasar, dapat dihitung.
Pada prakteknya, prosedur penghitungan diambil agak sedikit berbeda.
Pertama, spektrum Fourier dari batuan dasar ditentukan. Kemudian fungsi
transformasi untuk tiap-tiap lapisan yang ditinjau, termasuk permukaan bebas,
dihitung dengan mempergunakan teknik transformasi cepat Fourier (Fast Fourier
Transform). Spektrum Fourier untuk permukaan lapisan dan tiap-tiap lapisan yang
ditinjau diperoleh dengan mengalikan spektrum Fourier untuk batuan dasar dengan
fungsi transformasi yang bersangkutan. Catatan percepatan gempa kemudian
Universitas Sumatera Utara
66
diperoleh dengan menurunkan kembali hasil dari spektrum Fourier. Sekali catatan
percepatan gempa untuk pergerakan permukaan diperoleh, respon spektra dianalisa
dengan mempergunakan prosedur standar (evaluasi dari integral Duhamel). Analisa
spektrum Fourier dan penurunannya, transformasi cepat Fourier dan analisa respon
spektra adalah prosedur-prosedur standar dan tidak akan dibahas lebih jauh lagi.
2.10.4.
Properti dinamik tanah
Penentuan respon tanah selama terjadinya gempa, sangat ditentukan oleh
modulus geser dan damping ratio dari tanah yang bersangkutan. Modulus geser G
dan damping ratio D tergantung pada beberapa faktor, seperti jenis tanah, tekanan
keliling (confirming pressure), tingkat regangan dinamik, derajat kejenuhan,
frekuensi, dan derajat amplifikasi pembebanan, magnituda tegangan dinamik, dan
regangan dinamik (Hardin & Black, 1969).
2.10.4.1. Modulus geser
Dari penelitian yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa besarnyakekakuan
tanah, secara umum sangat dipengaruhi oleh tingkat regangan siklis, angka
pori, tegangan efektif rata-rata, indeks plastisitas, over consolidated ratio, dan
frekuensi pembebanan siklis. Harga modulus geser secant pada elemen tanah
(selanjutnya disebut modulus geser G), bervariasi terhadap amplitudo regangan
geser siklis. Pada tingkat regangan kecil, G mempunyai harga yang besar dan
selanjutnya mengecil untuk regangan yang semakin besar. Modulus geser G
Universitas Sumatera Utara
67
pada kondisi regangan sama dengan nol, dinyatakan sebagai modulus geser
maksimum (disebut Gmax), yang digambarkan oleh kemiringan kurva
tegangan - regangan geser siklis sama dengan nol (Gambar 2.16).
Untuk regangan kecil (γ' < 10 -4 %), harga Gmax adalah :
Gmax = ρ .Vs
2
(2.59)
dimana :
ρ
= kepadatan tanah
Vs = kecepatan gelombang geser
Pada tingkat regangan yang lebih besar, modulus ratio (perbandingan antara
Gsec dan Gmax) mempunyai harga yang semakin kecil di bawah angka 1
(satu). Variasi harga modulus ratio terhadap regangan geser siklis dinyatakan
dalam grafik yang disebut grafik modulus reduction (Gambar 2.16)
τ
G
G max
Gmax
1.0
Gsec
γc
γ
Gsec
Gmax
γc
(a)
log γ
(b)
Gambar 2.16 (a) Penentuan Gsec dan Gmax dari Hubungan Tegangan-Regangan
(b) Grafik Reduksi Modulus
Universitas Sumatera Utara
68
2.10.4.2. Damping rasio untuk pasir
Berdasarkan beberapa penelitian tentang harga damping ratio seperti yang
dilakukan oleh Hardin & Drnevich (1972) serta Seed & Idriss (1970),
diketahui bahwa damping ratio untuk pasir sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu :
1. Karakteristik grain size dari hasil analisis saringan.
2. Derajat kejenuhan.
3. Angka pori.
4. Koefisien tekanan tanah pada kondisi diam, K0
5. Sudut geser, ϕ
6. Jumlah pembebanan siklis geser, N
7. Tingkat regangan
8. Tegangan efektif
2.10.4.3. Damping rasio untuk lempung
Dari persamaan yang diberikan oleh Hardin & Drnevich (1972) :
⎛
G
D = Dmax ⎜⎜1 ⎝ G max
⎞
⎟⎟
⎠
(2.60)
Dimana Dmax adalah damping ratio maksimum pada saat G = 0. Dmax untuk
tanah kohesif jenuh adalah :
Dmax = 31 – (0.03 f) σo1/2 + 1.5 f ½ - 1.5 log (N)
(2.61)
Universitas Sumatera Utara
69
dimana :
f
= frekuensi (in/sec)
σo = tegangan efektif
N = jumlah siklis pembebanan
γ"h
D
=
Dmax
1+ γ" h
(2.62)
dengan γ” h = regangan hiperbolik, atau
γ” h = (γ’ / γ’r)[1 + a1 . e –b1(γ’ / γ’r)]
(2.63)
a1 = 1 + 0.2 f 1/2
b1 = 0.2 f (e -σo) + 2.25 σo + 0.3 log (N)
Jadi, dengan terlebih dahulu mencari harga Dmax dan γ” h, harga damping
ratio dapat ditentukan dengan menyelesaikan Persamaan (2.62).
2.11. Kondisi Umum Geologi Wilayah Sumatera Utara
Pulau Sumatera saat ini merupakan sebahagian bentuk dari Lempeng
Kepulauan Sunda, yang merupakan bahagian dari Asia Tenggara. Kerak bumi di
lautan yang mendasari Lautan Hindia merupakan bahagian dari lempeng Australia di
area Hindia, telah tersubduksi pada zona Benioff sepanjang tepian barat dari lempeng
Kepulauan Sunda yang ditandai oleh terputusnya paritan Sunda di pantai barat
Sumatera. Masa magma dan subduksi tersebut menyebabkan munculnya wilayah
Universitas Sumatera Utara
70
busur vulkanik Sumatera dari arah barat laut menuju tenggara, yang mana
mendominasi dan mempengaruhi kondisi geologi Sumatera dan bentuk-bentuk
perpanjangan arah barat laut busur vulkanis Sunda di Jawa dan pulau-pulau
disekitarnya. Tegangan yang dihasilkan dari pendekatan kemiringan dan subduksi
dari kerak lautan menyebabkan pelepasan secara periodik pergerakan pada sistem
patahan Sumatera yang paralel terhadap tepian lempeng, yang mana mempunyai
mata rantai ke arah utara dengan serangkaian transformasi patahan di Laut Andaman.
Sumatera Utara tercakup dalam wilayah busur vulkanis Sumatera dan termasuk
pada bahagian dari belakang busur Cainozoic. Sumatera Utara terdiri atas berbagai
macam bentuk fisiografis, namun dapat dibagi atas beberapa bahagian sebagai
berikut :
1. Dataran rendah timur.
Daerah ini terletak di sektor timur laut Sumatera Utara, yang mana pada bahagian
baratnya merupakan daerah vulkanis usia muda dengan kelandaian permukaan
menuju arah utara, sementara pada bahagian timur merupakan permukaan dari
deposit Toba Tuff. Elevasinya mencapai sekitar 100 m. Area bakau membentang
menuju utara yang umumnya merupakan arah mulut sungai. Ke arah tenggara,
garis pantai menjadi makin tidak berlumpur, dan muncul bentuk pantai berpasir.
2. Kaki bukit pantai timur.
Daerah ini terletak di atas dataran rendah timur yaitu arah barat laut Sungai
Wampu, dengan elevasi yang rendah (dibawah 150 meter), terkontrol secara
struktural, bukit-bukit berhutan dengan bentangan dari barat daya ke tenggara.
Universitas Sumatera Utara
71
3. Dataran tinggi Berastagi.
Daerah ini berada di sekitar arah selatan dataran rendah timur, membentuk
bentangan area hutan sepanjang 10 – 15 km, merupakan daerah utama vulkanis
dan perpanjangan arah timur ngarai Wampu menuju Berastagi, kemudian
membelok ke tenggara dimana ketinggiannya berkurang dan arealnya mengecil.
Elevasinya mencapai 1500 meter, dan puncak tertinggi adalah Gunung Sinabung
dengan elevasi 2451 meter. Ngarainya umumnya terbentuk dari bahan vulkanik
lunak. Topografi Karst terbentuk di atas batu gamping Permian.
4. Lembah Kabanjahe.
Merupakan area yang tidak berhutan, depositnya terdiri dari pembentukan
pegunungan yang terjadi sebelumnya oleh bahan padat yang mengalir dari
vulkanik Toba. Kemiringannya melandai ke barat, menurun dari elevasi 1300
meter menuju 600 meter di bahagian barat. Lembah ini dikelilingi oleh
pegunungan dan bebukitan tinggi.
5. Daerah timur Bukit Barisan.
Merupakan area tidak datar dengan hutan padat terdiri atas lapisan Bahorok
Formation. Tiba-tiba muncul dari kaki bukit pantai timur dan 25 kilometer arah
barat turunan Alas-Renun. Lembahnya saling berdekatan dan terjal. Puncak ratarata pada elevasi 2000 meter dan tertinggi adalah Gunung Bendahara (3012 m) di
sektor barat laut.
6. Turunan Alas-Renun.
Areal ini terbentuk sepanjang garis kompleks patahan-patahan yang melintasi
Universitas Sumatera Utara
72
Sumatera Utara dari arah barat laut ke tenggara dengan panjang sekitar 70 km
dan lebar 7 km pada elevasi 180 – 200 meter.
7. Pusat Bukit Barisan
Membentang dengan hutan padat pada elevasi 3050 meter. Kebanyakan areanya
merupakan deposit resisten strata pre-Tertier.
8. Areal pantai barat
Areal ini dipisahkan oleh garis patahan utama dengan pusat Bukit Barisan,
dengan areal melandai pada elevasi rata-rata 500 meter. Pada bahagian lembah
deposit tanah merupakan lapisan aluvial, sementara bebukitan kebanyakan
merupakan lapisan strata pre-Tertier.
Sementara itu, secara umum menurut SNI 03-1726-2003 : Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung, yang dimaksud dengan
batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah muka tanah yang memiliki nilai hasil
Test Penetrasi Standar N paling rendah 60 dan tidak ada lapisan batuan lain di
bawahnya yang memiliki nilai hasi Test Penetrasi Standar yang kurang dari itu, atau
memiliki kecepatan rambat gelombang geser Vs yang mencapai 750 m/detik dan
tidak ada lapisan batuan lain dibawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat
gelombang geser yang kurang dari itu.
Berdasarkan kondisi SNI 03-1726-2003 tersebut, maka kedalaman batuan
dasar di wilayah Sumatera Utara berkisar 2 meter hingga 100 meter.
Universitas Sumatera Utara
Download