bab ii pembelajaran membaca puisi dan potensi tradisi

advertisement
BAB II
PEMBELAJARAN MEMBACA PUISI
DAN POTENSI TRADISI PELISANAN MACAPAT
DALAM PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA
Untuk sampai pada pemahaman yang cukup bagi usaha pembahasan dalam
penelitian disertasi in
i, pada bab ini akan dipaparkan konsep-konsep dasar yang meliputi: (1)
seni tradisi dalam konteks sosial masyarakatnya, (2) seni macapat, (3) hakikat
pendidikan dan paradigma baru pendidikan Indonesia, (4) pendidikan seni sastra
di sekolah, (5) puisi dan seni membaca puisi sebagai karya kreatif (6) model
pembelajaran, dan (7) model pembelajaran membaca puisi dengan memanfaatkan
tradisi pelisanan macapat.
2.1 Seni Tradisi dalam Konteks Sosial Masyarakatnya
Keberadaan seni tradisi tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial
masyarakatnya. Sebagai peristiwa dan tontonan, roh seni tradisi hanya dapat
ditemukan ketika ia berada di tengah masyarakatnya, demi kebutuhan-kebutuhan
transenden hingga dalam peristiwa keseharian yang pragmatis sekalipun. Hal
demikian tidak lepas dari kenyataan bahwa seni tradisi memiliki peran yang
melekat pada masyarakatnya. Dalam konteks ini, Bandem & Murgiyanto
21
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
22
(1996:27–33) menekankan bahwa seni tradisi memiliki sejumlah peran, yaitu
sebagai (1) sarana upacara, (2) hiburan, (3)media komunikasi, dan (4) pengucapan
sejarah.
Sebagai sarana upacara, seni tradisi dapat berposisi sebagai bagian dari
rangkaian upacara atau bentuk upacara itu sendiri. Ini dapat berlangsung siang
atau malam, dan terkait dengan upacara keagamaan. Sebagai hiburan, seni tradisi
biasa ditujukan pada orang-orang yang sedang berpartisipasi dalam kegiatan
tertentu ataupun pada orang-orang yang khusus menjadi penonton. Dalam konteks
hiburan ini, sajian artistik menjadi perhatian penting demi tercapainya rasa puas
dan terhiburnya penonton. Sebagai media komunikasi, seni tradisi mengemban
fungsi penyaluran informasi. Hal demikian sejalan dengan sifat komunal yang
dimiliki seni tradisi.
Sebagai pengungkapan sejarah, seni tradisi umumnya
mengangkat materi atau peristiwa masa lalu. Dengan demikian, masyarakat
mendapatkan informasi yang sekaligus memahami sejarah.
Seni tradisi dengan peran sebagaimana diuraikan di atas umumnya dikenal
dalam bentuk sastra dan pertunjukan (teater). Sifat khas seni tradisi dapat digali
akar-akarnya dalam upacara agama. Dalam hal ini, Saini K.M. (Malaon, dkk.,
1986:41) mengutarakan sebagai berikut.
Upacara-upacara agama sudah barang tentu tidak dilakukan dalam
rangka menggambarkan kenyataan objektif, melainkan kenyataan yang
ada di atas kenyataan sehari-hari, atau kenyataan transendental. Mudah
dipahami kalau teatrikalisme pentas dan perlengkapan pentas tidak
berusaha meniru apa yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan tak jarang digunakan perlengkapan yang semata-mata
dipergunakan untuk teater, misalnya gunungan dan blencong dalam
wayang kulit .... Bahkan pada berbagai jenis teater tradisional,
perlengkapan bukan saja masih dipergunakan, akan tetapi para
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
23
pemainnya tidak merasa tenteram kalau perlengkapan itu tidak
tersedia. Tidak mengherankan kalau pada awal pertunjukan dupa
dinyalakan, kemenyan dibakar, dan sajen tersedia.
Sifat khas seni tradisi sebagaimana gambaran di atas menunjukkan bahwa
sesungguhnya keseluruhan perlengkapan, proses, dan bentuk seni tradisi tidaklah
semata-mata mewakili dirinya, tetapi mewakili hal-hal yang ada di belakangnya.
Dengan kata lain, keseluruhannya bersifat simbolik. Karena sifatnya yang
transendental, maka simbol-simbol itu kaya makna dan dalam.
Lebih lanjut, Saini K.M. (Malaon, 1986:45) menunjukkan bahwa bahasa
dan sastra dalam seni tradisional memiliki kedudukan sangat penting pula. Bahasa
dalam seni tradisional bersifat formal dan sangat terikat pada fungsi artistik dan
teatrikalnya. Itulah sebabnya jika tidak sepenuhnya berupa puisi, bahasa dalam
seni tradisi memiliki kecenderungan puitik yang sangat kuat.
Kenyataan bahasa yang puitik, karena berorientasi pada aspek artistik,
tidak jarang juga menimbulkan jarak komunikasi dengan penikmat (audience)
seni tradisi. Namun demikian, hal ini pulalah yang menunjukkan kekhasan dan
kekuatan seni tradisi di tengah masyarakatnya. Penikmat atau masyarakat hampir
tidak pernah mempersoalkan bahasa yang tidak mudah atau bahkan tidak
dimengertinya. Hal ini karena ada aspek lain yang dipandang lebih penting, antara
lain adalah adanya kekuatan spiritual dalam seni tradisi.
2.2 Seni Macapat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) disebutkan bahwa macapat
adalah bentuk puisi Jawa tradisional, setiap baitnya mempunyai baris kalimat
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
24
(gatra) tertentu, setiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan)
tertentu, dan berakhir pd bunyi sanjak akhir (guru lagu; guru suara tertentu), msl
Dandanggula, Kinanti, Maskumambang. Sementara Mustopo & Sumantri
(1993:4) menyebutkan bahwa macapat sebagai “lagu winengku sastra”. Artinya,
macapat itu merupakan jenis lagu yang mengedepankan aspek sastra. Mencipta
macapat tidak dapat sekenanya, melainkan harus mmematuhi aturan tertentu.
Dari paparan tersebut selanjutnya dapat dipahami bahwa aturan-aturan
pada (bait), gatra (baris), guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris), dan guru
lagu/swara (bunyi) tidak lain adalah untuk memenuhi aspek (keindahan) sastra.
Hal demikian dipertegas dengan kenyataan bahwa jika disimak, kata-demi kata
dalam macapat bukanlah kata-kata bahasa Jawa yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari. Kata yang dipakai dalam macapat umumnya telah mengalami
pengolahan untuk mendapatkan aspek sastrawinya.
Ada sebagian orang yang mengartikan macapat sebagai maca papat-papat
(membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku
kata. Mengenai pengertian macapat yang dikaitkan dengan cara membaca empatempat ini, Mustopo & Sumantri (1993:3) menyatakan sebagai berikut.
Tembang macapat kang wus sumebar ing bebrayan umum, ana sadhengah
wong kang nduweni panemu manawa tembang macapat iku diarani ‘maca
papat-papat’ (manut kerata basa). Panemu kasebut sejatine isih kurang
trep, amarga nembang utawa nglagokake macapat iku dudu nembang
sarana dopedhot papat-papat (ora dipedhot saben 4 wanda).
Berdasarkan paparan Mustapa & Sumantri tersebut, pengertian macapat
yang diarahkan pada cara membaca tembang tersebut dengan tiap empat suku
kata (patang wanda) hanyalah pendapat sebagian orang dan tidak sepenuhnya
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
25
benar. Hal ini karena dalam kenyataannya, pembacaan macapat tidak selalu
dengan cara pemutusan rangkaian kata dalam baris pada tiap empat suku kata.
Lebih lanjut, Mustapa & Sumantri (1993:4) menguraikan bahwa pemutusan
rangkaian kata disebut dengan istilah pedhotan; dan dalam macapat dikenal ada
pedhotan kendho (pemutusan longgar) dan pedhotan kenceng (pemutusan
kencang/ketat). Pedhotan kendho merupakan cara pemutusan yang terletak pada
akhir kata. Misalnya: ojo turu / sore kaki. Adapun pedhotan kenceng merupakan
pemutusan yang terletak tidak pada akhir kata. Misalnya: anoman ma- / -lumpat
sampun; podho gulang- / -en ing kalbu. Pedhotan kenceng dilakukan umumnya
untuk menerapkan cara pembacaan tiap empat suku kata.
Mengenai cara pembacaan yang tidak selalu empat suku kata-empat suku
kata terdapat banyak variasi. Mustopo & Sumantri (1993:4); Sandi (Tanpa
tahun:3) memberikan contoh variasi pedhotan kendho sebagai berikut.
a. Gatra yang terdiri atas 5 suku kata (pada tembang Durma gatra ke-6)
Baris (Gatra)
Pedhotan dalam Pembacaan
Pola Pedhotan
Ari laksmana
Ari / laksmana
2–3
Kadanga dewa
Kadhanga / dewa
3–2
b. Gatra yang terdiri atas 6 suku kata (pada tembang Mijil gatra ke-2)
Baris (Gatra)
Pedhotan dalam Pembacaan
Pola Pedhotan
dununge tan adoh
dununge tan / adoh
4–2
dununge limang nggon
dununge / limang nggon
3–3
aywa anyalemong
aywa / anyalemong
2–4
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
26
c. Gatra yang terdiri atas 7 suku kata (pada tembang Pangkur gatra ke-4)
Baris (Gatra)
Pedhotan dalam Pembacaan
Pola Pedhotan
maratani sajagad
maratani / sajagad
4–3
myang ingkang para suka
myang ingkang / para suka
3–4
yen tan mikani rasa
yen tan / mikani / rasa
2–3–2
d. Gatra yang terdiri atas 8 suku kata (pada tembang Asmaradana gatra ke-1)
Baris (Gatra)
Pedhotan dalam Pembacaan
Pola Pedhotan
Brajamusti Jambumangli
Brajamusti / Jambumangli
4 -4
Tan ana kumliwer aglis
tan ana / kumliwer / aglis
3–3–2
Sigra angraup pasalin
sigra / angraup / pasalin
2–3–3
e. Gatra yang terdiri atas 9 suku kata (pada tembang dhandhanggula gatra ke-5)
Baris (Gatra)
Pedhotan dalam Pembacaan
Pola Pedhotan
Pangrasane sampun udani
Pangrasane / sampun / udani
4–2–3
Datan wruh yen akeh
ngesemi
Datan wruh yen / akeh nge- /sem-i
4–3–2
e. Gatra yang terdiri atas 10 suku kata atau lebih (pedhotan diambil 4 di awal,
selebihnya menggunakan rumus yang ada)
Baris (Gatra)
Pedhotan dalam Pembacaan
Pola Pedhotan
Lan den sami mantep
maring becik
Akarana karenan mardi
siwi
Lan den sami / mantep / maring
becik
Akarana / karenan / mardi siwi
4–2–4
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
4–3–4
27
Mapan ana sesiku telung
prakara
Mapan ana / sesiku / telung pra- /
-kara
4–3–3–2
Dalam masyarakat Jawa, dikenal ada beberapa ragam puisi rakyat. Ragam
puisi jawa ini dapat ditetapkan berdasarkan aspek bentuk. Dari segi bentuk, puisi
jawa dapat dibedakan menjadi (1) tembang yasan, (2) tembang para, dan (3) puisi
Jawa bebas (Endraswara, 2010:133). Tembang yasan merupakan puisi yang
menerapkan aturan (metrum) baku, tidak berubah-ubah, biasanya menggunakan
bahasa Jawa kuno dan tradisional. Tembang para merupakan puisi Jawa yang
memiliki aturan tetapi relatif longgar. Adapun puisi Jawa bebas merupakan jenis
puisi Jawa yang tidak memiliki aturan secara jelas, sehingga ada kebebasan
kreativitas.
Macapat merupakan salah satu bentuk tembang yasan (selain kekawin,
kidung, tembang gedhe, dan tembang tengahan). Dalam masyarakat Jawa, dari
kelima bentuk tembang yasan tersebut, yang paling populer adalah tembang
gedhe dan macapat. Endraswara (2010:134–150) menguraikan bahwa tembang
gedhe biasanya digunakan sebagai bawa (mengawali) gendhing dan suluk dalang.
Tembang gedhe merupakan puisi yang berupa deskripsi suasana makrokosmos.
Secara tidak langsung, tembang gedhe juga menjadi wahana ekspresi jagad gedhe
(alam semesta). Melalui tembang gedhe (baik sebagai bawa maupun suluk),
penikmat akan menjadi lebih mudah dalam memahami alam semesta. Adapun
macapat dikenal sebagai jagad cilik (mikrokosmos), berisi pikiran/gagasan
pengarang.
Artinya, macapat mengandung gagasan atau apa yang dipikirkan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
28
pengarang, isu-isu yang diangkat dan disampaikan sebagai refleksi maupun
representasi kehidupan sosial masyarakat.
Sebagai tembang yasan, macapat ditulis dengan memenuhi aturan metrum,
yang meliputi guru gatra (jumlah baris), guru wilangan (jumlah suku kata tiap
baris), dan guru lagu/swara (bunyi suku akhir tiap baris). Metrum ini sekaligus
menunjukkan jenis-jenis macapat dengan ciri isi dan suasana yang terkandung di
dalamnya. Perbedaan ciri isi dan suasana tersebut selanjutnya menjadi penanda
bagi penyebutan jenis-jenis macapat.
Sutopo & Sumantri (1993:4–6) menguraikan bahwa tembang macapat ada
sebelas jenis, yaitu dhandhanggula, sinom, kinanthi, asmaradana, pangkur, mijil,
pocung, durma, maskumambang, megatruh, dan
gambuh. Terkait dengan jenis-
jenis tembang macapat, terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa nama jenisjenis macapat tersebut melambangkan siklus kehidupan manusia. Namun
demikian, terdapat sejumlah penafsiran yang berbeda-bedan menegenai tata
urutannya. Salah satu bentuk penafsiran tata urutan macapat sebagai gambaran
siklus kehidupan manusia disampaikan oleh Samsubur (2011), yaitu (1)
maskumambang (masa dalam kandungan), (2) mijil (masa kelahiran) , (3) kinanthi
(masa kanak-kanak), (4) sinom (masa tumbuh dewasa), (5) asmaradana (masa
mengenal asmara), (6) gambuh (masa membina rumah tangga), (7) dandanggula
(masa jaya), (8) durma (masa berdarma), (9) pangkur (masa menghindari hawa
nafsu), (10) megatruh (masa kematian), (11) pucung (masa seseorang sudah
berkain kafan).
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
29
Selanjutnya, metrum (guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu) masingmasing jenis macapat tersebut dapat diuraikan dalam bentuk tabel berikut.
Tabel 2.1
METRUM MACAPAT
No. Jenis Macapat
Jumlah Jumlah Suku dan Guru Lagu Baris KeBaris
2
3
4 5
6 7
8
9
Tiap Bait 1
1
Maskumambang
4
12i 6a
8i
2
Mijil
6
10i 6o
10e 10i 6i
6u
3
Kinanthi
6
8u
8i
8a
8i
8a
8i
4
Sinom
9
8a
8i
8a
8i
7i
8u 7a
5
Asmaradana
7
8i
8a
8e/o 8a
7a
8u 8a
6
Gambuh
5
7u
10u 12i 8u 8o
7
Dhandhanggula
10
10i 10a 8e
7u 9i
7a 6u
8
Durma
7
12a 7i
6a
7a
8i
5a 7i
9
Pangkur
7
8a
11i 8u
7a
12u 8a 8i
10
Megatruh
5
12u 8i
8u
8i
8o
11
Pucung
4
12u 6a
8i
12a
10
8a
8i
12a
8a
12i 7a
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tiap jenis macapat memiliki
kandungan isi dan suasana. Gambaran isi dan suasana tiap jenis macapat adalah
sebagai berikut (Mustopo & Sumantri, 1993:6–7; Samsubur, 2011).
1) Maskumambang
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
30
Jenis macapat ini dikaitkan dengan keadaan janin dalam kandungan, yang
disimbolkan sebagai emas kang kumambang (emas yang mengambang). Watak
tembang ini umumnya seperti menggambarkan kondisi belum jelas, terluntalunta, sengsara, dan cocok untuk menggambarkan hati yang tersentuh. Dalam
konteks yang lain, maskumambang juga dikaitkan dengan gambaran laki-laki
pada masa tumbuh dewasa, yang melanglang buana mencari jati diri.
2) Mijil
Mijil mengandung arti lahir, bayi yang lahir dari kandungan. Tembang
mijil umumnya menggambarkan isi dan suasana penyadaran (wedharing rasa)
dan tepat untuk menyampaikan cerita yang berisi petuah/pesan.
3) Kinanthi
Kinanthi menggambarkan kanak-kanak. Kata kinanthi berasal dari kata
kanthi yang artinya menuntun. Sisipan –in- bermakna pasif, jadi kinanthi
berarti dituntun. Maksudnya dituntun untuk dapat tumbuh dan menjalani hidup.
Kinanthi merupakan jenis macapat yang umumnya digunakan untuk
menggambarkan rasa senang, kecintaan, dan kebijaksanaan. Adakalanya
kinanti juga dikaitkan
dengan maskumambang. Jika maskumambang
menggambarkan laki-laki yang sedang tumbuh dewasa, maka kinanthi untuk
menggambarkan perempuan yang sedang tumbuh dewasa.
4) Sinom
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
31
Sinom artinya daun yang masih muda. Macapat jenis sinom memiliki sifat
batiniah muda, seperti seorang anak yang baru mengerti dunia. Artinya masa
yang sangat penting dan paling penting untuk menimba pengetahuan sebanyakbanyaknya.
5) Asmarandana
Asmarandana atau asmaradana merupakan jenis macapat yang
digunakan mengungkapkan isi hati yang sedang dilanda asmara,
umumnya
Asmara
mengandung arti jatuh cinta, dan dahana artinya api atau gejolak. Gejolak cinta
dalam arti yang luas: cinta sesame manusia maupun cinta manusia pada
Tuhannya. Suasananya dapat senang, sedih, atau prihatin.
6) Gambuh
Gambuh dari kata jumbuh yang mengandung arti sesuatu yang memiliki
kesamaan. Ini berarti pula kecocokan. Jika dikaitkan dengan pasangan pria dan
wanita, maka gambuh ini menggambarkan dipertemukannya pria-wanita untuk
membina rumah tangga. Gambuh juga berisi petuah agar manusia selalu
mengingat segala perbuatannya, bahwa semua perilaku manusia itu ada
akibatnya. Apa yang diperbuat akan sama dengan apa yang didapat. Sifat
sombong hanya akan mencelekakan diri.
7) Dandanggula
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
32
Dhandhanggula merupakan jenis macapat yang berisi pengharapan yang
baik. Oleh karena itu, dhandhanggula biasanya beisi petuah. Dahandhang
mengandung arti pengharapan, gula artinya gula dengan sifat rasanya yang
manis. Dhandhanggula sering dimaksudkan juga untuk menggambarkan
senangnya hidup, hati yang senang, apa yang dicita-citakan tercapai, kejayaan
hidup, harapan akan hidup yang baik.
8) Durma
Durma dimaksudkan sebagai darma, berdarma. Hal ini menggambarkan
saatnya seseorang harus melakukan atau berbuat sesuatu. Jika perbuatannya
baik dan mau berkorban, maka hidup menjadi berguna untuk negara,
masyarakat, keluarga, juga dirinya. Jika perbuatannya jelek, maka akan
menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu, durma juga memiliki watak
“galak”,
keras,
dan
marah.
Kadang
durma
juga
digunakan
untuk
menggambarkan suasana yang seram dan menjadikan takut.
9) Pangkur
Pangkur berasal dari kata mungkur yang berarti menyingkir. Maknanya
adalah menyingkir dari nafsu angkara murka. Yang ada hanyalah rasa ingin
memberi dan berbuat baik pada sesama.Pangkur merupakan tembang macapat
yang memiliki watak tinggi. Jika berupa pelajaran, maka merupakan pelajaran
yang tinggi. Jika rasa cinta, maka rasa cinta yang sejati.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
33
10) Megatruh
Dari kata pegat roh yang berarti putus roh/nyawa karena sudah tiba
waktunya menghadap Yang Maha Kuasa. Megatruh merupakan jenis macapat
yang memiliki watak prihatin dan rasa sesal yang mendalam.
11) Pucung
Pucung merupanan tembang macapat yang mengingatkan pada kematian.
Kata pocung dapat diasosiasikan pada “pocong”, kain mori untuk
membungkus jenazah. Tembang pucung digunakan untuk mengingatkan
bahwa kehidupan itu ada akhirnya. Namun demikian, pucung juga memiliki
watak lain. Bunyi cung mengingatkan pada hal yang lucu seperti halnya masa
kecil waktu masih di-kuncung. Oleh karena itu, tembang ini juga sering
digunakan untuk mengutarakan hal-hal yang lucu, juga berupa tebak-tebakan.
2.3 Hakikat Pendidikan dan Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia
2.3.1 Hakikat Pendidikan
Terdapat banyak definisi mengenai pendidikan. Namun demikian, satu dan
lainnya berada dalam ide dasar yang relatif sama dan apabila terdapat perbedaan
maka itu semata-mata memperluas dan mempertegas. Beberapa di antara definisi
tersebut adalah sebagai berikut.
Langeveld, seorang pakar pendidikan Belanda, mengemukakan bahwa
pendidikan ialah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
34
yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan (Mahfud, 2008:33).
Pengertian ini mengacu pada konteks pertumbuhan alamiah manusia. Hal ini
tampak pada penggambaran interaksi manusia dewasa dengan manusia yang
belum dewasa.
Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan juga diartikan sebagai segala daya-upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi-pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan
tubuh anak. Keseluruhannya sebagai kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak. Menuntun segala kekuatan kodrat agar menjadi manusia
dan anggota masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya (Dewantara, 1977:14–20). Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan menentukan bagi manusia,
baik secara individu maupun sosial, fisik maupun mental.
Husein & Aziz (2004:1–2) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
untuk
memperkembangkan
pengetahuan,
kemahiran,
tingkah
laku,
dan
perwatakan (karakter) pelajar. Walaupun definisi pendidikan bisa berbeda di
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
35
antara banyak orang, namun diakui bahwa tujuan pendidikan terdapat di dalam
proses pendidikan itu sendiri.
Dalam berbagai perspektif dan dengan berbagai penjelasan masingmasing, pendidikan dapat diartikan sebagai proses transformasi budaya, proses
pembentukan pribadi, proses penyiapan warga negara, proses penyiapan tenaga
kerja, dan sebagainya (Tirtarahardja & La Sulo, 2005:33–37). Perspektif yang
dimaksudkan pada umunya adalah menempatkan suatu aspek menjadi pusat
perhatian dalam pembahasan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan
pada dasarnya merupakan sesuatu yang kompleks.
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan dimaksudkan sebagai
kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain.
Dalam
konteks ini, terdapat tiga bentuk transformasi, yaitu (1) nilai yang masih cocok
diteruskan, (2) nilai yang kurang cocok diperbaiki, dan (3) nilai yang tidak baik
diganti. Dengan demikian, pendidikan dalam definisi pewarisan budaya tidak
semata-mata mengekalkan budaya secara estafet, melainkan sebuah upaya
konstruktif dan mempunyai tugas menyiapkan peserta didik untuk kehidupam
masa depan.
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu
kegiatan sistematis dan sistemik yang mengarah kepada terbentuknya kepribadian
peserta didik. Bayi yang baru lahir belum memiliki kepribadian atau
kepribadiannya belum terbentuk. Ia baru sebagai individu. Untuk menjadi suatu
pribadi perlu mendapatkan bimbingan, pelatihan, pengalaman melalui bergaul
bersama
lingkungan,
khususnya
dengan
lingkungan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
pendidikan.
Proses
36
pembentukan pribadi ini mencakup pembentukan cipta, rasa, dan karsa (kognitif,
afektif, dan psikomotor), yang keseluruhannya sejalan dengan pengembangan
fisik.
Sebagai proses penyiapan warga negara, pendidikan diartikan sebagai
kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga
negara yang baik. Ukuran baik di sini tentu bersifat relatif, tergantung pada tujuan
nasional suatu bangsa. Hal demikian dikarenakan oleh setiap bangsa memiliki
falsafah yang berbeda-beda.
Sebagai proses penyiapan tenaga kerja, pendidikan diartikan sebagai
kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja.
Pembekalan yang dimaksudkan meliputi pembentukan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan kerja. Dalam perspektif ini, pembekalan demikian menjadi sesuatu
yang penting dan misi utama pendidikan.
Keseluruhan uraian mengenai konsep pendidikan di atas menunjukkan
bahwa pendidikan merupakan sebagai usaha sadar manusia. Hal ini secara pokok
ditandai oleh adanya maksud atau tujuan yang hendak dicapai melalui peristiwa
pendidikan. Selain itu, pendidikan juga dipastikan melibatkan banyak aspek yang
masing-masingnya memiliki peran dan fungsi, serta memiliki keterjalinan.
Dengan demikian pendidikan merupakan upaya yang sistematis dan sistemis.
Dengan memerhatikan definisi pendidikan sebagaimana telah diuraian
oleh sejumlah pakar di atas, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa pendidikan
pada dasarnya adalah usaha sadar manusia yang dilakukan secara sistematis dan
sistemis untuk menuntun dan memajukan tumbuhnya budi-pekerti (kekuatan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
37
batin, karakter), pikiran (intelektual), dan jasmani bagi pencapaian keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Bagi kehidupan manusia, pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi sepanjang hayat. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan
keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Tanpa pendidikan, suatu kelompok
manusia atau masyarakat tidak mampu bertahan hidup dan berkembang sesuai
dengan harapan, cita-cita sebagaimana konsep dan pandangan hidupnya.
Pendidikan terlaksana sebagai suatu proses memobilisasi segenap
komponen pendidikan bagi pencapaian tujuan pendidikan (Tirtarahardja & Sulo,
2005:20). Dalam konteks keseluruhan, kualitas proses pendidikan dipengaruhi
oleh kualitas komponen dan kualitas pengelolaan. Selanjutnya, bagaimana suatu
proses pendidikan dilakukan akan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian
tujuan pendidikan.
Yang menjadi tujuan utama pengelolaan proses pendidikan adalah
terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal. Di sini
menunjukkan bahwa pengelolaan proses pendidikan harus memperhitungkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa dalam pengelolaan proses pendidikan, setiap pendidik harus menekuninya
secara saksama dan terus melakukan inovasi.
Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yang selanjutnya disebut
sebagai unsur-unsur dalam pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005:51), yaitu:
1) subjek yang dibimbing (peserta didik),
2) orang yang membimbing (pendidik),
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
38
3) interaksi antara peserta didik dan pendidik (interaksi edukasi),
4) arah bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan),
5) pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan),
6) cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode), dan
7) tempat peristiwa bimbingan dilangsungkan (lingkungan pendidikan).
Ketujuh unsur pendidikan tersebut dalam implementasinya terlaksana
dalam kerangka sistem, yang menunjukkan keberkaitannya antara yang satu
dengan yang lain. Secara komprehensif, keseluruhan unsur pendidikan dapat
digambarkan dalam kerangka sistem pendidikan sebagai berikut (Tirtarahardja &
Sulo, 2009:61).
INSTRUMENTAL INPUT
Administrasi
Kurikulum
Tenaga Guru
& Non-Guru
RAW INPUT
Anggaran
Sarana &
Prasarana
PROSES PENDIDIKAN
SISWA BARU
OUTPUT
LULUSAN
Sosial
Budaya
Politik
Kependudukan
Keamanan
Ekonomi, dll.
ENVIRONMENTAL INPUT
Gambar 2.1: Sistem Pendidikan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
39
Bertolak dari ikatan sistem sebagaimana gambar di atas, selanjutnya dapat
dipahami bahwa setiap aktivitas pengembangan yang menyangkut aspek dalam
pendidikan dituntut untuk selalu mempertimbangkan dan memerhatikan aspek
lain secara keseluruhan. Misalnya, dalam mengembangkan strategi pembelajaran
harus mempertimbangkan aspek guru, siswa, sarana-prasarana, ekonomi, dan lainlain.
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah pada hakikatnya memiliki tiga
misi, yaitu (1) pendidikan kepribadian, (2) pendidikan kewarganegaraan, dan (3)
pendidikan intelektual (Uno, 2010:32).
Ketiga misi tersebut selanjutnya
diaktualisasikan dalam berbagai aktivitas sekolah, baik dalam konteks terbatas
pada mata pelajaran maupun dalam konteks yang lebih luas dalam bentuk sinergi
antar-mata pelajaran dan program sekolah lainnya.
Sebagai upaya mengembangkan pribadi anak sebagai kaum terpelajar,
pendidikan di sekolah sebagai kegiatan yang bersifat formal harus pula memiliki
landasan yang kuat, utamanya terkait dengan hakikat manusia. Hal ini
dikarenakan kegiatan pendidikan merupakan peristiwa sosial, gejala rohani, dan
tindakan manusiawi dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan sistem nilai.
Hakikat manusia pada dasarnya adalah animal educandum, animal symbolicum,
dan homo regiusus (Uno, 2010:32–33).
Memerhatikan kenyataan demikian,
pendidikan bagi manusia harus menyeluruh, komprehensif, dan memerlukan
landasan secara interdisipliner. Dalam konteks ini, pemanfaatan pendekatan
secara eklektif menjadi solusinya, yang oleh Brown (2001: 46–48) di antaranya
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
40
disebutkan pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa, pendekatan kooperatif
dan kolaboratif, pembelajaran interaktif.
2.3.2 Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Kenyataan mutakhir yang menunjukkan demikian cepat dan gencarnya
transformasi sosial dalam kehidupan manusia merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan. Dalam kerangka menyeluruh, kenyataan demikian tentu memberi
akibat pada tuntutan tersedianya sistem pendidikan nasional yang mampu
mengatasi dan mengantisipasi perkembangan/tuntutan zaman.
Transformasi sosial yang berlangsung demikian cepat juga memunculkan
tuntutan-tuntutan
memunculkan
baru
gerakan
dan
pandangan-pandangan
reformasi
bidang
baru
pendidikan.
yang
kemudian
Tilaar
(1999:19)
menguraikan bahwa pendidikan nasional harus didasarkan pada paradigmaparadigma baru yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat madani yang
demokratis. Masyarakat demikian adalah masyarakat yang terbuka, yaitu yang
sadar akan harkat martabat kemanusiaannya dan bertanggung jawab terhadap
kehidupannya. Kondisi demikian digambarkan sebagai sesuatu yang berlangsung
sebagai kesadaran diri, bukan karena paksaan dari penguasa.
Secara substansial, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat
dengan manusia sebagai anggotanya dan dengan berbagai dinamikanya.
Brubacher (Jalal & Supriadi, 2001:16) menjelaskan bahwa karena pendidikan
terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat,
maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
41
antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara
simultan. Di samping itu, secara mikro, pendidikan juga harus memperhitungkan
individualitas atau karakteristik perbedaan antarindividu. Dengan mengacu pada
konsepsi demikian, maka pemikiran, penataan, dan pengembangan istem
pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara
selektif sehingga terbangun keterpaduan dalam konsep. Oleh karena itu
pengembangan sistem pendidikan nasional
berpijak pada acuan dasar, yang
meliputi acuang filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan strategis.
Paradigma
baru
pendidikan
nasional
Indonesia
mengarah
pada
terbangunnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa
untuk memberdayakan semua warga negara agar dapat berkembang menjadi
manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah. Visi demikian kemudian diterjemahkan ke dalam
misi, di antaranya adalah meningkatkan muru pendidikan yang memeiliki daya
saing di tingkat nasional, regional, dan global, serta meningkatkan profesionalitas
dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar
yang bersifat nasional dan global.
Berdasarkan nilai-nilai yang dikembangkan dalam sistem pendidikan
nasional dewasa ini, selanjutnya dapat terlihat adanya pergeseran dari apa yang
selama ini terjadi (paradigma lama) menuju paradigma baru pendidikan nasional
Indonesia. Dengan memperbandingkannya dengan paradigma lama, Jalal &
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
42
Supriadi (2001:5) menunjukkan paradigma baru pendidikan Indonesia adalah
sebagai berikut.
Paradigma lama
Paradigma Baru
• Sentralistik;
• desentralistik;
• kebijakan top down;
• kebijakan bottom up;
• orientasi pengembangan parsial:
pendidikan untuk pertumbuhan
ekonomi, stabilitas politik, dan
teknologi perakitan;
• orientasi pengembangan holistik:
pendidikan untuk pengembangan
kesadaran untuk bersatu dalam
kemajemukan budaya, menjunjung
tinggi nilai moral, kemanusiaan dan
agama, kesadaran kreatif, produktif,
kesadaran hukum;
• peran pemerintah sangat dominan;
• meningkatkan peran serta masyarakat
secara kualitatif dan kuantitatif;
• lemahnya institusi nonsekolah.
• pemberdayaan institusi masyarakat:
keluarga, LSM, pesantren, dan dunia
usaha.
Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan
pendidikan nasional adalah:
1) kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain;
2) pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial;
3) pendidikan dalam rangka pemberdayaan bangsa;
4) pemberdayaan infrastrukstur sosial untuk kemajuan pendidikan nasional;
5) pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan;
6) penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus
dalam kemajemukan;
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
43
7) perencanaan terpadu secara horizontal (antarsektor) dan vertikal (antarjenjang –
bottom-up dan top-down planning)
8) pendidikan berorientasi peserta didik;
9) pendidikan multikultural; dan
10) pendidikan dengan perspektif global.
Paradigma baru pendidikan Indonesia seperti diuraikan di atas pada
dasarnya menggambarkan tiga amanat reformasi pendidikan sebagaimana
diungkap Lengkanawati (2005:2–3). Pertama, paradigma proses pendidikan dari
pengajaran yang menitikberatkan pada pendidik dalam mentransformasikan
pengetahuan bergeser ke arah paradigma pembelajaran yang memberikan peran
lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi kreativitas diri
dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kecerdasan, etika, sehat jasmani
dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. Kedua, adanya perubahan paradigma mengenai peran manusia dari
paradigma manusia sebagai sumber daya pembangunan menjadi paradigma
manusia sebagai subjek pembangunan secara utuh. Oleh karena itu, pendidikan
harus mampu membentuk manusia seutuhnya, yaitu yang digambarkan memiliki
karakteristik personal yang memahami dinamika psikososial dan lingkungan
budayanya. Ketiga, adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang
terintegrasi dalam lingkungan sosial-budayanya, yang pada gilirannya akan
menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat yang mandiri dan
berbudaya.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
44
Dewasa ini, salah satu aspek yang dikedepankan dalam proses pendidikan
adalah kesadaran untuk belajar dan kemandirian dalam belajar peserta didik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Tirtarahardja & Sulo (2005:51), kemandirian belajar
merupakan aktivitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan
sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pebelajar (peserta didik).
Kemandirian belajar ini bertumpu pada prinsip bahwa individu yang belajar hanya
akan sampai pada perolehan hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, penalaran,
sikap, dan lain-lain) apabila ia mengalami sendiri dalam proses pemerpolehan
hasil belajar tersebut.
Kemandirian belajar peserta didik juga dapat dijadikan salah satu indikator
penting bagi sebuah pendidikan yang efektif. Jika pembelajar dapat belajar secara
mandiri berarti mereka memahami tugas sepenuhnya. Mereka dapat membuat
perencanaan, melaksanakan kegiatan, dan membuat keputusan berdasarkan latar
belakang pemahaman dan kapasitas masing-masing (Reid, 2009:8). Hal demikian
sekaligus menunjukkan juga bahwa proses pembelajaran yang didasarkan pada
kemandirian belajar mengakomodasikan potensi dan menghargai perbedaan
peserta didik, berlangsung konstruktif, dan manusiawi.
Reformasi pendidikan Indonesia dengan paradigma baru merupakan
bentuk antisipasi menghadapi arus informasi dan perubahan kehidupan
masyarakat yang mengglobal dengan berlandaskan pada empat pilar pendidikan
sebagaimana dicanangkan UNESCO sejak 1997 (Sindunata, 2000:55), yaitu
learning oi know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.
Learning to know mengandung pengertian bahwa pendidikan harus berorientasi
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
45
pada pengetahuan logis dan rasional sehingga pembelajar berani menyatakan
pendapat dan bersikap kritis, serta memiliki semangat membaca yang tinggi.
Learning to do mengandung pengertian bahwa pendidikan berorientasi pada
perbuatan untuk meningkatkan kualitas hidup. Learning to live together
mengandung pengertian bahwa pendidikan diarahkan pada pembentukan
pembelajar yang memiliki kesadaran hidup bersama dalam masyarakat global
dengan latar belakang bahasa, etnik, agama, dan budaya. Learning to be
mengandung pengertian bahwa pendidikan diarahkan pada pengembangan sikap
kreatif dan daya pikir imajinatif sebagai hasil belajar dari lingkungan, pengalaman
sendiri dan orang lain, dan alam sekitar.
Paradigma
baru
pendidikan
Indonesia
dengan
segenap
nilainya
sebagaimana diuraikan di atas memberikan gambaran betapa pentingnya
kematangan jasmani, rohani, intelektual secara utuh dalam konteks manusia
sebagai pribadi dan anggota masyarakat luas dibentuk dan dikembangkan pada
setiap manusia, tidak terkecuali para pembelajar tingkat SMP. Hal yang tidak
kalah pentingnya untuk dijadikan perhatian adalah terbangunnya wawasan, watak,
dan sikap multikultural pada peserta didik. Hal demikian tentu hanya dapat
dilakukan
jika
pendidikan
juga
berlangsung
dalam
landasan-landasan
multikultural. Dengan demikian peserta didik semakin memahami potensi dan
posisinya sebagai bangsa Indonesia dan warga dunia.
2.4 Pendidikan Sastra di Sekolah
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
46
Melalui
pendidikan,
manusia
bermaksud
menuju
kemajuan
dan
kesejahteraan. Kemajuan dan kesejahteraan hidup dapat dicapai masyarakat jika
anggotanya memiliki keterampilan dan kualitas-kualitas kepribadian yang berguna
bagi usaha mengatasi persoalan, terutama dalam dunia modern dewasa ini
(Rahmanto, 1988:15). Dalam persoalan kualitas kepribadian inilah pendidikan dan
pengajaran seni sastra di sekolah mengambil peran dan fungsi. Hal ini tentu tanpa
mengabaikan fungsi dan peran pengajaran bidang lain sebagai satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual
maupun kelompok yang menghasilkan sesuatu yang indah. Dari segi tujuan
pendidikan, yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian memiliki
andil yang besar. Hal ini dikarenakan kegiatan berkesenian dapat mengisi
pengembangan domain afektif, khususnya emosi yang positif dan konstruktif, dan
aspek keterampilan (Tirtarahardja & Sulo, 2005:243). Dalam konteks sistem
pendidikan, apa yang diperankan oleh bidang kesenian tentu merupakan satu
kesatuan tak terpisahkan dari apa yang telah diperankan oleh bidang (mata
pelajaran) lain. Namun demikian, terdapat hal yang secara khsusus menjadi
pembeda bidang kesenian dari bidang lainnya, yaitu penekanannya pada bidang
estetika, moral, dan emosi.
2.4.1 Kurikulum Pendidikan Sastra
Kurikulum yang diberlakukan di sekolah dewasa ini adalah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini pada mulanya merupakan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
47
pengembangan yang dilakukan sejak tahun 2001 atas kurikulum 1994. Sejak
tahun 2001, Depdiknas melakukan serangkaian kegiatan penyempurnaan
kurikulum 1994 dan melakukan rintisan (piloting) secara terbatas untuk validasi
dan mendapatkan masukan empiris. Rintisan ini menghasilkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Pada KBK dirumuskan secara eksplisit kemampuan
(kompetensi) minimal yang harus dicapai oleh peserta didik, materi standar untuk
pencapaian kompetensi, dan indikator yang dapat digunakan sebagai tolok ukur
untuk menetapkan ketercapaian hasil pembelajaran. KBK yang merupakan
kurikulum rintisan ini semula akan diberlakukan penerapannya pada tahun
2004/2005. Namun demikian, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kurikulum KBK perlu
disempurnakan kembali.
Sesuai dengan PP No. 19 th. 2005, penyempurnaannya kurikulum KBK
dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Penyempurnaan
mencakup sinkronisasi kompetensi untuk setiap mata pelajaran
antar-jenjang
pendidikan, beban belajar dan jumlah mata pelajaran, serta validasi empirik
terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar. Selanjutnya, BSNP
menetapkan standar isi dan standar kompetensi lulusan, serta mengembangkan
Penduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang di dalamnya
terdapat model-model kurikulum satuan pendidikan. Dari sinilah selanjutnya
setiap satuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kurikulum yang dapat
diimplementasikan di satuan pendidikan masing-masing. Selanjutnya dengan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
48
mengacu pada UU No.20 th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No.19
th. 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No.22 th. 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
Permendiknas No.23 th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar Menengah, setiap satuan pendidikan pada dasarnya dapat
mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari yang telah
ditetapkan dengan tetap memerhatikan penduan penyusunan KTSP dari BSNP.
Oleh karenanya, standar kompetensi yang telah ditetapkan BSNP disebut dan
selalu ditekankan sebagai standar kompetensi minimal.
Dalam sistem kurikulum pendidikan Indonesia, pendidikan sastra di
tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK masuk dalam cakupan mata pelajaran
bahasa Indonesia. Materi bidang sastra ditampilkan secara terintegrasi dalam
empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis). Oleh karena itu, dalam beberapa hal, kenyataan mengenai pembelajaran
sastra tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini
dapat disebutkan misalnya mengenai guru pengampu, alokasi waktu, dan sistem
evaluasi yang dilakukan.
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dijelaskan bahwa
mata pelajaran sastra (bahasa Indonesia) termasuk dalam kelompok mata
pelajaran estetika (yang lainnya ada kelompok mata pelajaran agama,
kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, jasmani).
Kelompok mata pelajaran
estetika ini meliputi bahasa, seni dan budaya,
keterampilan dan muatan lokal yang relevan. Kelompok mata pelajaran estetika
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
49
dimaksudkan untuk meniingkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan
kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi
dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi,
baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri
hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan
kebersamaan yang harmonis.
Sebagai satu kesatuan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, rumusan
tujuan pembelajaran sastra di sekolah berada dalam satu rangkaian tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu (1) menghargai dan membanggakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) memahami
bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya
dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan;
(3) memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial; (4)
memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis); (5)
mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (Depdiknas, 2002:9).
Masih mengenai tujuan pembelajaran sastra, Rusyana (1982:6) mengemukakan sebagai berikut.
Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk beroleh pengalaman dan
pengetahuan tentang sastra. Kedua tujuan ini sama pentingnya, akan tetapi
untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama, tujuan beroleh
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
50
pengalaman itu harus diutamakan. Jika anak telah berhasil memperoleh
pengalaman, kemudian ia akan terdorong untuk mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan pengalamannya itu.
Tujuan pembelajaran sastra sebagaimana diuraikan di atas mengisyaratkan
adanya sejumlah harapan yang ditumpukan pada pembelajaran sastra di sekolah.
Hal ini sekaligus menunjukkan sejumlah fungsi pembelajaran sastra dalam
membantu pendidikan secara utuh, yaitu membantu keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjang pembentukan watak. Dalam kaitan ini, Rahmanto (1988:16–25)
menjelaskan sejumlah fungsi pengajaran sastra di sekolah sebagai berikut.
1) Membantu keterampilan berbahasa
Terdapat empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis. Melalui pengajaran sastra, keterampilan menyimak dapat
dikembangkan melalui kegiatan mendengarkan pembacaan karya sastra oleh
guru atau siswa lain. Keterampilan berbicara dapat dikembangkan dengan ikut
berperan dalam drama, diskusi tentang sastra. Keterampilan membaca dapat
dikembangkan melalui kegiatan membaca puisi dan prosa. Keterampilan
menulis dikembangkan melalui kegiatan menuliskan hasil diskusi yang
dilakukan siswa.
2) Meningkatkan pengetahuan budaya
Sastra berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan manusia. Setiap karya
sastra selalu menghadirkan ‘sesuatu’ dan sering menyajikan banyak hal, yang
jika dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan. Walaupun
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
51
dalam karya satra disajikan fakta-fakta, keterkaitan dan relasi secara
menyeluruh mengenai fakta tersebut menjadi lebih penting dan dianggap
mampu memberikan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan manusia
lengkap dengan konteks budaya yang melatarbelakanginya.
3) Mengembangkan cipta dan rasa
Siswa adalah individu dengan kepribadian, kemampuan, masalah, dan kadar
perkembangan masing-masing yang khas dan khusus. Apa yang ada dalam diri
individu siswa tersebut pada dasarnya merupakan kecakapan yang dimilikinya.
Melalui pengajaran sastra dapat dikembangkan kecakapan siswa yang bersifat
indra, penalaran, afektif, sosial, dan religius.
4) Menunjang pembentukan watak
Karya satra dipandang sanggup memuat berbagai medan engalaman yang
sangat luas. Dalam potensi demikian, pengajaran sastra diharapkan mampu
memberikan bantuan dalam mengembangkan berbagai kualitas kepribadian.
Pengajaran sastra diharapkan mampu membina perasaan yang tajam dan dalam
mengenai berbagai kemungkinan hidup: kebanggaan, kebahagiaan, kesetiaan,
kekalahan, dan lain-lain. Malalui karya sastra seseorang diharapkan tumbuh
cita, rasa, dan kepekaannya terhadap sesuatu yang bernilai dan yang tidak
bernilai. Dengan demikian akan tumbuh kualitas pribadi siswa sebagaimana
yang dicita-citakan.
Pendidikan sastra harus dapat memaksimalkan fungsi dan maknanya.
Dalam konteks ini, Siswanto (2008:171–174) memberikan perspektif dengan
menjadikan sastra sebagai medium pendidikan (pendidikan melalui sastra),
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
52
pembelejaranan sastra yang seimbang (mengolah dalam keseimbangan spiritual,
emosional, logika, etika,estetika, dan kinestetika), dan pembelajaran sastra
untuk kecakapan hidup.
Dengan memerhatikan harapan sebagaimana ditumpukan pada bidang
kesenian, khususnya sastra, maka sudah seyogyanya pendidikan seni sastra harus
dikembangkan melalui sistem pendidikan secara terstruktur dan terprogram.
Pengembangan kualitas pendidikan sastra secara terprogram menuntut tersedianya
sarana-prasarana dan berbagai kelengkapan sistem pendidikan. Salah satu bentuk
realisasinya adalah ketersediaan materi yang eksploratif dan penerapan model
pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan memerhatikan konteks dan potensi
multikultural masyarakat Indonesia. Dengan demikian, lulusan SMP berada dalam
kompetensi yang dicita-citakan dalam paradigma baru pendidikan Indonesia.
2.4.2 Komponen Pembelajaran Membaca Puisi
Komponen pembelajaran membaca puisi meliputi (1) pendekatan, metode,
teknik, (2) tujuan, (3) materi, (4) media, dan (5) penilaian. Kelima komponen
tersebut dikembangkan dengan berdasar pada paradigma baru pendidikan
Indonesia, yang menitikberatkan pada keberdayaan dan pemberdayaan peserta
didik dan masyarakat, potensi budaya bangsa, mengakui keberagaman budaya
dalam sebuah pengembangan yang holistik.
1) Pendekatan, metode, dan teknik
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
53
Pendekatan, metode, dan teknik mempunyai hubungan hirarki.
Hubungan itu menyatakan bahwa teknik merupakan hasil dari (pelaksanaan)
suatu metode yang selalu konsisten dengan pendekatan. Pendekatan bersifat
aksiomatik, metode bersifat teoretis prosedural, dan teknik bersifat teknis
pelaksanaan.
Pendekatan yang selama ini digunakan dalam pembelajaran sastra di
sekolah adalah pendekatan apresiatif. Hal demikian tampak dalam berbagai
orientasi pembelajaran sastra yang senantiasa diarahkan pada tujuan dan
kegiatan apresiasi.
Tujuan (utama) pembelajaran sastra adalah mengapresiasi nilai-nilai
yang terkandung dalam sastra (Rusyana, 1984:314), yaitu pengenalan dan
pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya, serta
kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Untuk mendapatkan
kenikmatan yang mendalam, sudah barang tentu juga perlu pemahaman
terhadap sastra. Pengetahuan sastra meliputi teori, sejarah, esai, dan kritik
sastra.
Dalam karya sastra terkandung pengalaman manusia yang indah dan
mendalam. Pengenalan yang semakin mendalam dan hasrat serta jawaban kita
terhadap pengalaman hidup yang terkandung dalam sastra itulah yang dapat
disebut sebagai apresiasi sastra (Rusyana, 1982:7). Dalam konteks demikian,
apresiasi sastra dengan berbagai kegiatan eksplorasi yang dapat dikembangkan
dipandang menjadi hal yang penting bagi sebuah pembelajaran sastra.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
54
Apresiasi berisikan kegiatan atau usaha merasakan dan menikmati
hasil-hasil karya seni (Soeharianto, 1981:15), termasuk di dalamnya karya
sastra. Hal demikian mengandung arti mempersepsi dan mengenal dengan
cukup luas suatu karya sastra. Maksudnya adalah mengerti, memahami, dan
mengenal secara intuitif tentang kebenaran dan kualitas estetik karya sastra.
Selama hubungan dengan karya sastra belum atau kurang menggambarkan
kegiatan itu, belumlah dapat dikatakan bahwa kita sudah mengapresiasi karya
sastra. Apresiasi sastra merupakan kegiatan menggauli cipta sastra dengan
sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran
kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
Pembelajaran membaca puisi pada dasarnya juga perlu dikembangkan
dengan pendekatan yang berorientasi pada kreativitas dan potensi kreatif
manusia. Gordon (Joice & Weil, 2000:166) menekankan bahwa kreativitas
merupakan hal penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari,
serta makna suatu gagasan dapat ditingkatkan melalui aktivitas kreatif.
Berdasarkan pendapat Gordon ini, maka pembelajaran membaca puisi yang
dikembangkan dengan pendekatan yang berorientasi pada kreativitas akan
mampu mengungkap secara komprehensif dan lebih banyak makna dan nilai
yang terkandung dalam puisi.
Selain pendekatan apresiatif dan pendekatan yang berorientasi pada
kreativitas, dalam pembelajaran membaca puisi perlu juga digunakan
pendekatan kontekstual, yaitu pendekatan pembelajaran yang menempatkan
siswa dalam konteks bermakna. Dalam penelitian ini, kebermaknaan diarahkan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
55
pada keesesuaian materi dan peristiwa pembelajaran dengan kebutuhan siswa
baik secara individu maupun dalam konteks sosial dan budaya. Secara lebih
khusus, pembelajaran membaca puisi akan lebih sadar dan peka pada potensi
tradisi (kultural) yang berkelindan dalam lingkungan kehidupan siswa. Dengan
pendekatan ini, pembelajaran membaca pusi diarahkan pada terbangunnya
keterampilan membaca puisi secara lisan secara kreatif dengan memerhatikan
dan memanfaatkan potensi tradisi (kultural).
2) Tujuan
Sebagaimana diuraikan oleh Rusyana (1984:314), tujuan pembelajaran
sastra adalah mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, yaitu
pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan
kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu.
Bertolak dari uraian Rusyana tersebut, terdapat gagasan penting yang dapat
dijadikan dasar pengembangan pembelajaran sastra, khususnya membaca puisi,
yaitu perlu diupayakan secara sungguh-sungguh diperolehnya kegairahan dan
berbagai kenikmatan sebagai akibat (hasil) pembelajaran sastra. Hal demikian
mengisyaratkan bahwa pembelajaran sastra harus dilakukan dalam peristiwa
pembelajaran yang tidak sekedarnya atau biasa-biasanya saja.
3) Materi ajar
Membaca puisi secara lisan merupakan bentuk keterampilan produktif
dan kegiatan kreatif karena merupakan kegiatan kesenian. Materi pembelajaran
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
56
membaca puisi secara lisan sebagai kegiatan kreatif produktif harus
dikembangkan dengan orientasi kecukupan bahan bagi pencapaian tujuan.
Materi ini meliputi (1) bahan puisi, dan (2) konsep dasar dan prinsip-prinsip
membaca puisi sebagai karya kreatif seni.
4) Media
Media pembelajaran digunakan untuk membantu proses pembelajaran.
Selain terkait dengan fungsi bagi pemahaman siswa, media pembelajaran juga
diarahkan bagi terciptanya proses pembelajaran yang menarik. Media dapat
berupa sesuatu yang sederhana dan murah hingga yang kompleks dan mahal.
Bentuknya dapat berupa gambar dan foto, benda-benda di sekitar yang relevan,
yang sudah tersedia atau yang harus dipersiapkan secara khusus oleh guru,
milik pribadi siswa/guru atau inventaris sekolah, dan sebagainya yang memiliki
makna bagi pembelajaran membaca puisi.
5) Penilaian
Penilaian pembelajaran membaca puisi dilakukan dengan mencakup
ranah kognitif, afektif, psikomotorik. Penilaian juga dilakukan terkait dengan
kegiatan proses pembelajaran dan hasil pembelajaran. Penilaian diarahkan
untuk mendapatkan informasi dan gambaran yang sesungguhnya, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Untuk keperluan itu, perlu disusun panduan dan
rubrik penilaian dengan kisi-kisi dan indikator yang digunakan sebagai tolok
ukur penilaian. Panduan dan rubrik penilaian ini disediakan untuk memberikan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
57
penilaian saat proses pembelajaran berlangsung maupun pada akhir
pembelajaran. Penilaian pada akhir pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk
unjuk kerja membaca puisi secara lisan.
2.5 Puisi dan Membaca Puisi sebagai Karya Kreatif
2.5.1 Definisi Puisi
Sulit diperoleh sebuah definisi puisi yang memuaskan banyak pihak. Hal
ini dikarenakan banyaknya perspektif berbeda yang digunakan untuk melihat apa
itu puisi. Sebagaimana ditegaskan oleh Teeuw (1980:12) bahwa puisi selalu
mengalami perubahan, perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai
sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan
pembaharuan. Hal demikian senada dengan Riffatere (1978:1) yang menyatakan
bahwa puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan
konsep estetiknya. Namun demikian, sudah sangat dipahami bahwa puisi
merupakan karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti.
Dalam usaha memahami definisi puisi, biasanya kita harus membandingkannya dengan prosa. Dalam kasus ini ada yang melihatnya dari segi bentuk, yaitu
bahwa puisi sebagai bentuk karangan yang terikat, sedangkan prosa adalah bentuk
karangan bebas (Wirjosoedarmo dalam Pradopo, 1993:5). Sebagai karangan yang
terikat, puisi dibatasi oleh (1) banyaknya baris dalam tiap bait, (2) banyaknya kata
dalam tiap baris, (3) banyaknya suku kata dalam tiap baris, (4) rima, dan (5)
irama.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
58
Mengenai pembedaan dari segi bentuk ini, Teeuw (1983:6) menyatakan
bahwa untuk waktu sekarang, niat pembaca turut menjadi ciri sastra yang utama.
Hal ini mengingat pembaca adalah pihak yang memberi makna atas sebuah puisi.
Altenbernd (1970:2) memberikan definisi bahwa puisi adalah pendramaan
pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berima (bermetrum). Namun
demikian, definisi demikian tidak tepat untuk puisi Indonesia karena puisi
Indonesia dapat dikatakan tidak menggunakan metrum sebagai dasarnya. Namun,
jika metrum itu diartikan sebagai irama yang umum (rhythm-ritme), definisi
Altenbernd masih dapat diterima.
Beberapa definisi puisi juga dicoba untuk ditampilkan oleh Shahnon
Ahmad (1978) sebagaimana dikutip oleh Pradopo (1993:6), yaitu dengan
mengumpulkan definisi-definisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para
penyair
romantik
Inggris
sebagai
berikut.
Samuel
Taylor
Coleridge
mengemukakan bahwa puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan
terindah. Disebutkan di sini bahwa penyair memilih kata yang tepat dan disusun
secara sebaik-baiknya (seimbang, simetris, terdapat hubungan erat antarunsur,
dsb.), memikirkan efek bunyi. Wordsworth memiliki gagasan bahwa puisi adalah
pernyataan-pernyataan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau
diangankan. Dunton menyebutkan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia
secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Maksudnya
dengan kiasan, citra-citra, dan disusun secara artistik (selaras, simetris, tepat
pilihan kata), dan bahasanya penuh perasaan serta berirama seperti musik.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
59
Dalam sejumlah definisi tersebut tampak sekali terdapat perbedaan
pemikiran. Namun, sebagaimana dikemukakan Shahnon (Pradopo, 1993:7)
selanjutnya bahwa jika unsur-unsur yang ada dalam pendapat mengenai definisi
puisi tersebut dipadukan maka akan didapat garis-garis besar tentang pengertian
puisi. Unsur-unsur tersebut meliputi: emosi, imajinasi, pemikiran, nada, irama,
kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga unsur pokok, yaitu (1) pemikiran, ide,
emosi; (2) bentuk; dan (3) kesan. Keseluruhan itu terungkap dengan media
bahasa.
Dengan memerhatikan pandangan mengenai puisi, selanjutnya dapat
disimpulkan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan
perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama.
Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting,
digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Sebagaimana disebutkan Riffaterre sebelumnya, bahwa puisi itu selalu
berubah, dan perubahan itu dikeranakan oleh evolusi selera dan konsep estetik
yang berubah-ubah. Namun demikian, Riffaterre (1978:1) menyebutkan bahwa
ada hal yang tetap dalam puisi, yaitu bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara
tidak langsung, mengatakan suatu hal dan berarti lain. Ketidaklangsungan ini
disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing), yang terjadi pada
metafora dan metomini; (2) penyimpangan arti (distorting), terjadi pada
ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
60
meaning), terjadi pada pengorganisasian ruang teks, seperti persejarahan tempat
(homologues), enjambement, dan tipografi.
2.5.2 Membaca Puisi secara Lisan dalam Konteks Keterampilan Berbahasa
Membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa, yaitu
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Zintz (1980:5) menjelaskan
beberapa pengertian membaca sebagai berikut.
Reading is decoding written words so that they can be produced orally.
Reading is understanding the language of the outhor of printed passage.
Reading is the ability to anticipate meaning in lines of print so that the
reader is not concerned with the mechanical details but with grasping
ideas from groups of words that convey meaning.
Pengertian membaca sebagaimana diutarakan Zintz di atas menunjukkan
bahwa membaca dapat menunjuk pada kegiatan memaknai kata-kata tertulis
sehingga dihasilkan ucapan lisan; memahami bahasa penulis; kemampuan
menangkap makna suatu teks dengan memahami ide-ide dari kelompok kata
bermakna. Berdasarkan konsep demikian, Aminuddin (1991:15–16) menyebutkan
bahwa membaca adalah mereaksi; membaca adalah proses; dan membaca adalah
memecahkan kode dan penerimaan pesan.
Selanjutnya, Aminuddin (1991:17–21) menjelaskan bahwa berdasarkan
tujuan dan sifatnya, ragam membaca dapat dibedakan menjadi (1) membaca
dalam hati, (2) membaca cepat, (3) membaca teknik, (4) membaca bahasa, (5)
membaca estetik, (6) membaca kritis, dan (7) membaca kreatif. Membaca dalam
hati merupakan kegiatan membaca dengan tujuan memahami keseluruhan isi
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
61
bacaan secara mendalam. Oleh karena itu, membaca jenis ini disebut juga dengan
membaca pemahaman. Membaca cepat adalah membaca yang dilakukan secara
cepat dengan tujuan memahami isi bacaan secara garis besar. Membaca teknik
adalah membaca yang dilakukan secara bersuara sesuai dengan aksentuasi,
intonasi, dan irama yang selaras dengan gagasan dan suasana penuturan dalam
teks. Membaca bahasa merupakan kegiatan membaca yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan berbahasa. Membaca estetik adalah kegiatan
membaca dengan tujuan menikmati serta menghargai unsur-unsur keindahan
dalam teks (sastra). Membaca kritis adalah kegiatan membaca yang bertujuan
tidak semata-mata memahami isi bacaan, melainkan juga memberikan penilaian.
Membaca kreatif adalah kegiatan membaca yang bertujuan menerapkan perolehan
pemahaman dari membaca untuk diaplikasikan dalam keperluan lain.
Mengenai membaca puisi secara lisan dalam bentuknya sebagai karya
kesenian, penggolongan dengan hanya menggunakan satu sudut pandang menjadi
kurang tepat atau belum sepenuhnya tepat. Jika dilihat dari aspek kelisanannya
(oral), membaca puisi secara lisan dapat digolongkan sebagai membaca teknik.
Istilah membaca teknik sering juga disebut membaca lisan (oral reading) maupun
membaca nyaring (reading aloud). Namun jika dikaitkan dengan sifat bahan dan
maksud pembacaan yang lebih mengeksplorasi nilai keindahan, maka membaca
puisi secara lisan dapat dipandang sebagai membaca estetik.
Zintz (1980:315) mengemukakan bahwa tujuan membaca secara lisan adalah
sebagai berikut.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
62
The major purposes of oral reading have been presented as (1) to
entertain; (2) to give personal enjoyment and satisfaction; (3) to
encourage effective group participation; (4) to provide effective practice
for speech improvement; and (5) to provide for the teacher a diagnostic
measure of the strengths and weaknesses in childrent's oral reading
abilities.
Apa yang disampaikan Zintz mengenai tujuan utama membaca lisan di
atas menunjukkan adanya nilai menghibur, memberikan kenikmatan dan
kepuasan, mendorong partisipasi aktif kelompok, menyediakan latihan berbicara,
dan mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa dalam hal kemampuan
membaca
lisan.
Dengan
demikian,
selain
berkembang
keterampilan
berbahasanya, anak juga berkembang aspek-aspek rohaniahnya.
Ragam membaca ini, selain dikaitkan dengan membaca teks ilmiah secara
lisan, dapat juga berhubungan dengan kegiatan membaca karya sastra (misalnya
puisi). Membaca puisi (poetry reading) secara lisan memiliki sifat re-deskriptif.
Oleh karena itu, dalam membaca puisi secara lisan, bunyi ujar tidak muncul
secara sewenang-wenang tetapi harus mampu menggambarkan isi dan suasana
yang digambarkan dalam teks tulis.
Sejalan dengan sifat re-deskriptif tersebut, Aminuddin (1991:19)
mengutarakan bahwa sebelum membaca puisi secara lisan, seorang pembaca
harus memahami isi puisi dan suasana penuturannya. Selain itu juga harus
memahami dan menguasai aspek-aspek (1) pelafalan, (2) penentuan kualitas
bunyi: tinggi-rendah, keras-lunak, (3) tempo, dan (4) irama. Karena membaca
puisi secara lisan juga melibatkan aspek tubuh, maka pembaca juga harus
memiliki keterampilan gerak tubuh (gesture), dan mimik (facial expression),
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
63
posisi tubuh, dan kontak mata (eye contact). Keseluruhannya merupakan media
untuk dapat membangun hubungan batin dengan pendengar.
Hal yang sama adalah seperti apa yang disarankan oleh Larson (Zintz,
1980:309) mengenai reader’s theater, yaitu
“... a ’reader's theater’ as an
inovative technique for improving oral reading in the classroom. … a ‘reader's
theater’ as a medium in which two or more oral interpreters cause an audience to
experience literature”. Sebagai sebuah teknik inovatif bagi pengembangan
kemampuan membaca lisan, reader’s theater merupakan medium. Terkait dengan
hal ini, maka terdapat beberapa persoalan mengenai aspek keteateran yang perlu
diperhatikan.
Berdasarkan paparan mengenai hakikat membaca di atas, selanjutnya
dapat dipahami jika membaca puisi secara lisan secara pokok tergelong sebagai
membaca teknik, karena berupa pelisanan puisi atau pembacaan secara nyaring;
namun juga berkaitan dengan membaca estetik (indah) karena kegiatan membaca
ini juga bertujuan menikmati serta menghargai unsur-unsur keindahan dalam teks
(sastra).
2.5.3 Membaca Puisi sebagai Kegiatan Berekspresi Sastra
Membaca sastra merupakan istilah untuk menyebut kegiatan membaca
karya sastra secara lisan. Dalam konteks lain sering juga disebut membaca
ekspresif (Sunaryo, 2005) dan membaca kreatif (Tarigan, 1991). Kegiatan ini
memiliki target “menghidupkan” teks sastra dan disikapi sebagai aktivitas
berkesenian, yang sangat menuntut kemampuan kreatif seseorang. Hal ini
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
64
dikarenakan
oleh
kenyataan
bahwa
aktivitas
membaca
dengan
target
menghidupkan teks dengan muatan emosi dan karakter lebih berkenaan dengan
aktivitas kreatif (berkesenian). Bentuknya dapat berupa membaca puisi,
deklamasi, membaca cerita atau pengisahan cerita (storytelling).
Lebih lanjut Sunaryo (2005:22) menegaskan bahwa dalam kaitannya
sebagai aktivitas kreatif, membaca ekspresif merupakan aktivitas khusus dan khas
yang menuntut banyak potensi pendukung dan prosedur kerja tertentu. Potensi
pendukung akan mencakup aspek diri dan nondiri yang ada pada pelaku kegiatan
(pembaca). Prosedur kerja akan berkenaan dengan jenis dan tataurutan aktivitas
yang ditempuh oleh pelaku (pembaca). Kedua potensi ini sekaligus sebagai
karakter khas yang dimiliki dan ditempuh seseorang. Sulit dan bahkan tidak dapat
ditetapkan rumusan baku mengenai jenis aktivitas apa dan dengan prosedur
bagimana dalam aktivitas kreatif yang harus ditempuh oleh pelaku kesenian. Hal
ini selanjutnya berimplikasi pada terbukanya kemungkinan mengenai kenyataan
membaca ekpresif yang berbeda antara orang yang satu dan orang yang lain,
walaupun teks (bahan tulis, karya sastra) yang dihadapi sama. Namun demikian,
ukuran, kriteria, atau standar pengekspresian harus tetap memenuhi nilai-nilai
tertentu. Hal ini terbukti dengan adanya format-format dan standar penilaian yang
diterapkan dalam lomba/festival baca puisi atau baca cerpen.
Mengenai istilah, WS Rendra menggunakan secara bergantian istilah
deklamasi dan membaca sajak. Ramadhan K.H. (Haryono, Ed. 2004:43)
menyebut istilah membaca sajak sebagai padanan istilah asing poetry reading.
Pada intinya, deklamasi, membaca sajak atau poetry reading ini menunjukkan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
65
kegiatan pemaparan sajak secara lisan kepada orang banyak, kadang-kadang
dengan gerakan-gerakan semacam orang memainkan sebuah adegan dramatik
dengan bunyi-bunyi yang jauh daripada normal. WS Rendra (Haryono, Ed.
2004:23–24) dalam tulisannya berjudul “Seni Deklamasi di Kota Yogya dan
Solo”, memaparkan bahwa deklamasi dapat memberikan kepuasan pada darah
muda. Membaca sajak di depan orang banyak dapat memberi suasana romantis
dan meluapkan gairah. Dengan memberikan tekanan dramatik dalam membaca
sajak atau deklamasi berarti pula memberikan tekanan pada ungkapan jiwa dan
perasaan atas persoalan yang dihadapi. Dengan keadaan yang terkendali, seni
deklamasi dapat lebih mendekatkan sajak pada publiknya, dan di samping itu juga
mempunyai nilai kesenian tersendiri, yaitu keindahan yang menafsirkan, yang
dapat dirasakan, keindahan suara yang dapat didengarkan, serta keindahan susana
yang dapat dilihat.
Lebih lanjut Rendra (Haryono, Ed. 2004:26) menegaskan bahwa
deklamasi adalah mewartakan sajak secara lisan, baik sajak sendiri maupun sajak
orang lain. Jadi, yang pertama tidak boleh dilupakan adalah bahwa yang
diucapkan dalam deklamasi adalah sajak. Penyair dalam menulis sajak
bersenjatakan kata-kata, dan dari kata-kata tersusunlah pengertian yang puitis,
irama, juga suasana. Dengan kata-kata, penyair juga melakukan perbandinganperbandingan. Oleh karena itu, deklamator tidak boleh melupakan fungsi katakata tersebut. Kata harus diucapkan dengan jelas dan tepat, tekanan dan intonasi
yang tepat. Mimik dan gerak hanya memiliki kepentingan yang mendukung.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
66
Irama dan lagu memiliki arti yang sangat penting dalam sajak. Melalui
irama dan lagu yang ditangkap pendengaran dapat diketahui seseorang membaca
sajak atau prosa. Bagi Rendra, sangat tidak tepat jika dalam berdeklamasi
seseorang lebih banyak mengerjakan gerak dan mimik, sehingga kadang-kadang
malah melupakan kelancaran irama sajak.
Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya dapat diidentifikasi indikatorindikator yang sekaligus menjadi prinsip yang menunjukkan bagaimanakah
seharusnya seni membaca puisi dilakukan. Indikator tersebut meliputi hal-hal
berikut.
1) Seni membaca puisi dilakukan secara lisan dengan irama dan lagu yang khas,
yang berbeda dengan yang bukan membaca puisi.
2) Pengucapan kata harus tepat dan jelas dalam fungsinya: pengertian, irama,
suasana.
3) Mimik dan gerak bersifat mendukung pembacaan.
4) Tekanan dramatik untuk mengungkapkan jiwa dan perasaan.
5) Indah: nilai keindahan menyangkut suara yang dapat didengarkan, serta
keindahan susana yang dapat dilihat dan dirasakan.
Kelima indikator tersebut selanjutnya dapat dijelaskan dalam kaitannya
dengan aspek-aspek pembacaan sebagai berikut.
Tabel 2.2
Aspek-aspek Pembacaan Puisi secara Lisan
Butir indikator
Penjelasan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
Aspek Pembacaan
67
• Membaca secara lisan
atau nyaring: irama dan
lagu
Irama dan lagu
membedakan dengan
yang bukan membaca
puisi/sajak
Nada dan Irama
(gaya pembacaan)
• Pengucapan kata
sebagai prioritas: jelas
dan tepat fungsi
pengertian, irama,
suasana
Vokal dan
penghayatan
• Mimik dan gerak
Bersifat mendukung
pembacaan
Gerak dan mimik
• Tekanan dramatik
Tepat mengungkapkan
jiwa dan perasaan puisi
Penghayatan ide dan
jiwa puisi
• Indah
Suara yang didengar.
Suasana yang dilihat
dan dirasakan.
Media pementasan
yang dilibatkan.
Kreativitas
penampilan
Dengan memerhatikan substansi membaca puisi secara lisan, lebih lanjut
kualitas aspek-aspek pembacaan puisi secara lisan tersebut diukur dengan
menggunakan parameter sebagaimana paparan berikut.
1) Vokal. Sebagaimana dikatakan Rendra (Haryono, Ed.,2004:26), membaca
puisi/sajak adalah mewartakan sajak kepada khalayak. Alat utamanya adalah
suara. Oleh karena itu suara harus dapat menjamin tersampaikannya isi sajak,
mantap dan jelas. Dalam konteks ini, Stanislavski (2008:139) mengemukakan
bahwa yang membuat kata-kata berharga adalah muatan batinnya. Sebuah kata
tidak berarti apa-apa. Arti kata sangat tergantung pada bagaimana diucapkan,
dan hasilnya adalah muatan batin. Pengucapan bukan sekedar artifisial.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
68
2) Irama. Membaca puisi memiliki irama pengucapan yang khas, berbeda dari
yang bukan membaca puisi. Pengucapannya bukanlah dengan cara berdialog
seperti dalam drama, juga bukan seperti orang bercerita. Stanislavski
(2008:233) mengemukakan bahwa tempo dan ritme memiliki daya sihir
mempengaruhi emosi dan suasana batin. Tanpa tempo dan ritme segala sesuatu
akan belangsung monoton. Lebih lanjut dijelaskan (Stanislavski, 2008:277)
bahwa pelisanan yang berirama, jernih, kuat, dan teramu dengan baik akan
memiliki banyak kualitas. Huruf, kata, suku kata dan yang lain merupakan
nada-nada musik dalam wicara, sehingga wicara itu indah atau wicara itu
musikal.
3) Ekspresi dan gerak. Tempo dan ritme dalam gerak berimplikasi pada gairah,
semangat, emosi (Stanislavski, 2008:225–274). Gerak dan ekspresi merupakan
perwujudan dari aspek batinah. Gerak juga dapat mengaosiasikan sesuatu.
Dengan tempo dan ritme, asosiasi yang diciptakan menjadi berada dalam
kualitas tertentu. Dengan demikian, ekspresi dan gerak dalam membaca puisi
harus dapat membantu dalam penciptaan dan membangkitkan asosiasi,
imajinasi, pesan, jiwa sebagaimana dimaksudkan puisi/sajak.
4) Penghayatan. Menangkap jiwa dan meluapkannya dalam sikap batin dan laku
adalah bukti penghayatan. Sikap khusuk dan terjaga sehingga pembacaan
lancar tidak dibuat-buat. Apa yang diwujudkan sebagai hal yang timbul dari
kedalaman jiwa, sebagai hasil penghayatan. Dengan demikian
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
69
5) Kreativitas. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah dan
membuat kaitan-kaitan atas sejumlah hal sehingga menemukan penggunaan
baru dan memberikan nilai tambah (Wycoff, 2004:43–44). Dalam membaca
puisi secara lisan, kreativitas dapat dilihat dari bagaimana seorang pembaca
menggali dan mengolah berbagai unsur yang ada menjadi sesuatu yang baru,
harmonis dan bernilai tambah. Karena membaca puisi secara lisan merupakan
performance,
maka
pengolahan
unsur-unsur
tersebut
pada
akhirnya
menghasilkan keindahan, baik yang didengar, dilihat, maupun yang dirasakan.
Dengan karakter membaca puisi secara lisan sebagaimana tergambar dalam
indikator-indikator dan parameter untuk menentukan kualitasnya tersebut
menunjukkan adanya sejumlah tuntutan yang harus dipenuhi oleh pembaca puisi.
Tuntutan tersebut berkait dengan potensi yang memungkin-kannya dapat
melakukan olah vokal, mimik, gerak, dan laku dramatik sehingga terbangun
keindahan pembacaan puisi. Dalam konteks seni panggung/pertunjukan,
kemampuan demikian lazim disebut sebagai potensi keaktoran. Potensi keaktoran
bukan semata-mata menyangkut aspek-aspek vokal, mimik, gerak sebagai media
utama dalam membaca puisi namun juga menyangkut kemampuan kreatif dalam
mencipta dan mendayagunakan aspek-aspek tersebut. Oleh karena itu, dalam
pembinaan keterampilan membaca puisi perlu juga diperhatikan persoalan
bagaimana mengembangkan kemampuan kreatif dilakukan.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
70
2.5.4 Pengembangan Kemampuan Kreatif
Manusia sebagai makhluk pilihan ditandai dengan daya kreativitas sebagai
potensi otaknya. Dengan kreativitas yang dimiliki, sastrawan mampu sampai pada
sebuah “orisinalitas” karya. Kreativitas juga menjadikan sastrawan berani berbeda
dari apa yang umum dilakukan orang lain. Apakah kreativitas itu?
Dalam tinjauan psikologi, kreativitas pada diri manusia ada bersamaan
dengan kelahirannya. Semenjak lahir,
manusia menunjukkan kecenderungan
kreatif. Dalam persoalan kreativitas terdapat hal yang sangat kompleks. Oleh
karenanya juga sulit dirumuskan pengertiannya secara tuntas. Konsep terbaru
kreativitas yang menonjol dalam filsafat abad ke-20 didasarkan atas fungsi dasar
berpikir, merasa, mengindera, dan intuisi.
Sebagaimana telah dikutip di depan, Semiawan (2002:60) menjelaskan
bahwa kretivitas merupakan sebuah integrasi yang mencakup empat fungsi dasar,
yang meliputi (1) berpikir rasional, (2) perkembangan emosional atau perasaan
pada tingkat tinggi, (3) perkembangan bakat khusus atau penginderaan cipta talen
dalam kehidupan mental dan fisik, (4) kesadaran tingkat tinggi yang menghasilkan
imajinasi, fantasi, dan pendobrakan ambang kesadaran tau ketaksadaran. Di sini,
kreativitas selalu mencakup interpretasi keseluruhan kehidupan berpikir, merasa,
mengindera, dan intuisi yang terjadi secara menyatu.
HARI SUNARYO, 2012
Kondisi kesadaran yang
diperoleh dari
ketaksadaran = INTUISI
Universitas Pendidikan Indonesia
Kondisi berpikir,
rasional, terukur
= BERPIKIR
| repository.upi.edu
KREATIVITAS
Kondisi perasaan,
dampak emosional
yang menuntut
kesadaran diri –
71
Kreativitas terjadi karena keterlibatan secara bersama keseluruhan potensi.
Meskipun setiap fungsi memiliki ciri masing-masing, kekuatan dan kelebihan,
namun kreativitas baru akan muncul bila fungsi yang satu berinteraksi dengan
fungsi yang lain.
Kreativitas merupakan kemampuan melihat hal-hal yang juga dilihat orang
lain di sekitar kita, tetapi membuat keterkaitan-keterkaitan yang tak terpikirkan
oleh orang lain. Kreativitas mengarah kepada makna positif, baru, lebih baik.
Orang yang kreatif akan mampu membawa makna atau tujuan baru dalam tugastugas, menemukan penggunaan baru, memberikan nilai tambah (Wycoff,
2004:43–44). Kreativitas pada dasarnya sebagai potensi yang dimiliki manusia
untuk mengeksplorasi lebih jauh, lebih bermakna. Potensi demikian inilah yang
selanjutnya digunakan untuk membedakan orang kreatif dengan yang tidak
kreatif.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
72
Bagaimanakah ciri-ciri orang kreatif? Lebih lanjut Wycoff (2004:49)
memaparkan bahwa orang kreatif umumnya memiliki karakter berani, eksprsif,
humoris, dan intuitif.
1) Berani
Orang kreatif berani menghadapi tantangan baru dan berani menghadapi resiko
kegagalan. Ia selalu penasaran ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
2) Ekspresif
Orang kratif tidak takut menyatakan pikiran dan perasaan, sekalipun berbeda
dengan apa yang umumnya terjadi/berlaku. Ia yakin dan mau menjadi dirinya
sendiri.
3) Humoris
Umumnya humor dihasilkan dari usaha mengait-ngaitkan suatu hal sedemikian
rupa sehingga menjadi sesuatu yang tak lazim, berbeda, dan tak terduga.
Kemampuan demikian tentu hanya karena kreativitas.
4) Intuitif
Orang kreatif menerima intuisi sebagai aspek yang wajar dalam kepribadiannya.
Ia paham bahwa intuisi merupakan potensi yang prosesnya bersumber pada
belahan otak kanan, yang memeliki cara kerja berbeda dengan belahan otak kiri.
Kreativitas merupakan dasar keberagaman. Setiap manusia memiliki
dirinya. Di tengah kebersamaannya dengan manusia lain dalam kelompok
masyarakat, tiap manusia tetap memiliki wilayah otonomnya sendiri sebagai
individu, unik. Walaupun dalam konteks kebersamaan manusia melebur dan
membangun kohesivitas, namun sering ada sejumlah orang tidak mampu menekan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
73
dan mengekang keunikan diri demi kesaturagaman sosial. Justru dalam keunikan
diri itu untuk beberapa orang mampu mengaktualisasikan diri, dengan
memanfaatkan seluruh potensinya.
Maslow (Wycoff, 2004:47–48) melalui penelitian yang dilakukan
menemukan bahwa orang yang mengaktualisasi-diri memiliki beberapa ciri khas,
yaitu:
1) menerima kenyataan dengan akurat dan objektif; menerima bahkan menyukai
keambiguan; dan tidak takut terhadap hal yang belum dikenalnya;
2) menerima diri sendiri, orang lain, serta sifat manusia;
3) spontan, alami, dan murni;
4) berorientasi pada masalah (bukan pada diri sendiri), tidak egois, memiliki
filsafat hidup, dan misi hidup;
5) lebih membutuhkan privasi dan kesendirian daripada orang pada umumnya,
mampu berkonsentrasi penuh;
6) mandiri, merasa puas dengan diri sendiri dan swatantra; tidak terlalu
membutuhkan pujian dan popularitas;
7) mampu menghargai pengalaman yang biasa dan sederhana; punya semangat
hidup, memiliki rasa humor yang tinggi, dan memilki kemampuan mengatasi
stres;
8) memiliki rasa persaudaraan dan altruistik;
9) demokratis dan tidak berburuk sangka;
10) beretika kuat dan bermoral dengan cara-cara yang khas;
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
74
11) kreatif, orisinal, memiliki daya cipta dengan pandangan yang segar, langsung, sederhana dan apadanya terhadap hidup;
12) mampu melepaskan diri dari pengaruh budaya; mampu membandingkan
berbagai budaya secara objektif, tahu kapan harus mengikuti atau
meninggalkan suatu kebiasaan.
Terkait dengan apa yang umumnya terjadi pada dunia kesenian, terdapat
hal penting yang dapat disimak pada ciri psikologis lain yang dimiliki orang
kreatif sebagaimana yang diungkapkan oleh David N. Perkins, dari Universitas
Harvard, (Wycoff, 2004:50), yaitu:
1) dorongan untuk menemukan keteraturan dalam keadaan kacau-balau;
2) minat menemukan masalah yang tidak umum dan cara penyelesaiannya;
3) kemampuan membentuk kaitan-kaitan baru, dan menentang anggapan tradisional;
4) kemampuan menyeimbangkan kreasi gagasan pengujian dan penilaian;
5) hasrat untuk melenyapkan berbagai hal yang membatasi kemampuan mereka;
6) termotivasi oleh masalah/tugas bukan oleh keuntungan lain, seperti uang,
jabatan, atau popularitas.
Selanjutnya, bagaimanakah kreativitas berproses/berlangsung pada diri
manusia? Otak manusia terdiri atas dua belahan, kiri dan kanan. Belahan kiri ke
arah fungsi berpikir konvergen, logis, analitis, yang mengarah pada satu jawaban
tunggal. Adapun belahan otak kanan ke arah berpikir holistik, kreatif, imajinatif,
dan divergen, yang mengarah pada pertimbangan berbagai kemungkinan.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
75
Graham Wallas (Semiawan, dkk; 2002:66) menjelaskan tahap-tahap dalam
proses kreativitas sebagai berikut.
Tahap I: Persiapan
Pada tahap ini ide datang dan timbul dari berbagai kemungkinan. Namun
biasanya berlangsung dengan hadirnya suatu keterampilan, keahlian, atau ilmu
pengetahuan tertentu sebagai latar belakang atau sumber.
Tahap II: Inkubasi
Pada tahap ini diharapkan hadirnya suatu pemahaman serta kematangan
terhadap ide (yang timbul pada tahap I). Berbagai teknik dalam menyegarkan
dan meningkatkan kesadaran atas ide di antaranya seperti meditasi, latihan
menajamkan kreativitas, perluasan dan pendalaman ide.
Tahap III: Iluminasi
Tahap ini merupakan suatu tingkat penemuan saat inspirasi yang tadi
diperoleh, dikelola, digarap, kemudian menuju kepada pengembangan suatu
hasil (product development). Tidak jarang, pada tahap ini seseorang berada
dalam kondisi tiba-tiba “Nah, ini dia!”; yaitu menemukan jawaban (secara
tidak disangka) atas suatu hal yang direnungkan. Bahkan ini bisa juga terjadi
saat berada dalam situasi santai atau melakukan hal lain.
Tahap IV: Verifikasi
Tahap ini merupakan tahap perwujudan dan pertanggungjawaban hasil.
Desiminasi dan perwujudan karya kreatif untuk diteruskan kepada masyarakat
yang lebih luas.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
76
Kreativitas merupakan potensi seseorang untuk mencipta, berkreasi, dan
memunculkan temuan baru, baik dalam bidang ilmu, teknologi, maupun bidang
lainnya. Guild Ford (Saondi & Suherman, 2010:126) mendeskripsikan lima ciri
kreativitas sebagai berikut.
1) Kelancaran
: kemampuan memproduksi banyak ide.
2) Keluwesan
: kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam
pendekatan jalan pemecahan masalah.
3) Keaslian
: kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinal
sebagai hasilikiran sendiri.
4) Penguraian
: kemampuan menguraian suatu cara secara terperinci.
5) Perumusan
: kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan
melalui cara yang berbeda dengan yang sudah lazim.
Tidak mudah dan sangat diperlukan kesungguhan dalam laju kreativitas.
Dalam banyak kasus, sering terjadi gangguan (kendala) atas kreativitas, baik yang
sepele hingga yang tampak serius. Terkait dengan ini, Roger von Oech (Wycoff,
2004:53–54) mengemukakan sejumlah hal yang terkait dengan pola pikir, pola
tindak yang dapat menjadi kendala kreativitas, yaitu sebagai berikut.
1) Jawaban yang benar. Kita hampir salalu diajari untuk mencari “jawaban yang
benar”. Kepada kita sangat jarang diajarkan mencari berbagai kemungkinan
jawaban.
2) Itu tidak logis. Menerapkan logika terlalu awal akan menutup berbagai jalan
pikiran. Bila dibiarkan, jalan pikiran bisa saja menghasilkan beragam gagasan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
77
pendobrak, yang mungkin saja lebih memiliki kemungkinan untuk berkembang.
3) Ikut aturan. Aturan itu penting, tetapi kadang harus disisihkan terlebih dahulu
agar terdapat ruang bagi munculnya pikiran baru. “Suatu penciptaan tidak
jarang diawali dari sebuah perusakan”.
4) Bertindak praktis. Bertindak praktis berarti bersikap mengkritik. Mengkritik
terlalu dini dapat berakibat matinya gagasan. Terkadang gagasan paling bodoh
sekalipun dapat menjadi karya besar jika tidak dipadamkan terlalu dini.
5) Menghindari keambiguan. Jika suatu fakta memiliki makna kabur, biasanya
pikiran akan bekerja lebih keras, menggali dan mencari kaitan atau pola baru.
Pola demikian akan mampu menghasilkan temuan dan gagasan baru.
6) Melakukan kekeliruan sebagai hal yang salah. Jangan takut membuat
kesalahan, karena kreativitas membutuhkan lompatan masuk ke ruang yang
tidak dikenal.
7) Itu bukan bidang saya. Jangan membatasi diri pada suatu bidang. Banyak
penemuan besar terjadi pada saat seseorang “berkeliaran” pada bidang baru.
8) Jangan bodoh. Jangan takut, kebodohan tidak akan berlangsung selamanya.
Suatu saat seseorang pasti akan kembali pada logika.
9) Saya tidak kreatif. Bagaimana tahu? Menghakimi diri sendiri dengan
pengakuan yang tidak semmestinya justru akan menghalangi munculnya
potensi diri. Pada dasarnya setiap manusia terlahir kreatif. Jadi potensi kreatif
itu pasti ada pada diri setiam manusia.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
78
Sebagai potensi manusia yang positif, kreativitas harus terus diberi ruang
untuk tumbuh. Saondi & Suherman (2010:127) menyebutkan terdapat beberapa
cara untuk memunculkan gagasan kratif, yaitu kuantitas gagasan, brainstorming,
sinektik, dan memfokuskan tujuan.
1) Kuantitas gagasan
Teknik-teknik kreatif dalam berbagai tingkatan selalu bersandar pada
pengembangan sejumlah gagasan. Untuk mendapatkan pemecahan baru dan
orisinal, khususnya permasalahan yang besar, diperlukan banyak gagasan untuk
dipilih.
2) Brainstorming
Dalam brainstorming akan terjadi interaksi dan pertukarpikiran yang beragam.
Persinggungan antarpikiran tersebut memungkinkan timbulnya gagasan baru
yang orisinal, yang sekaligus ini dapat menambah sejumlah gagasan
konvensional yang sudah ada.
3) Sinektik
Gagasan kreatif dan wawasan yang segar dapat muncul melalui penerapan
metafora dan analogi. Proses sinektik mencoba membuat sesuatu yang asing
menjadi akrab.
4) Memfokuskan tujuan
Apa yang diinginkan disikapi sebagai sesuatu yang akan terjadi besuk atau
bahkan terjadi saat ini, yaitu dengan cara visualisasi yang kuat. Jika proses ini
dilakukan berulang-ulang, maka pikiran akan menjadi terpusat ke arah tujuan
dan terjadilah autosugesti.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
79
Memerhatikan sejumlah hal yang menjadi kendala bagi munculnya
kreativitas dan bagaimana cara memunculkan kreativitas, selanjutnya dapat
disimpulkan bahwa kreativitas menuntut ”kemerdekaan”. Artinya, untuk
mengembangkan kreativitas, seseorang harus diberi keleluasaan dan ruang untuk
melakukan sesuatu (berpikir, bertindak, dan bersikap). Norma atau aturan harus
diberlakukan secara konstruktif.
2.6 Model Pembelajaran
Pembahasan mengenai model pembelajaran dalam bagian ini meliputi (1)
pengertian model pembelajaran, (2) kategori model pembelajaran, dan (3) model
pembelajaran kreatif produktif.
2.6.1 Pengertian Model Pembelajaran
Joyce & Weil (2000:6) mendefinisikan model pembelajaran sebagai
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan
kata lain, model pembelajaran merupakan bingkai dari penerapan suatu
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Syah (1995:190) menyebutkan bahwa model mengajar (teaching models)
sebagai blue print mengajar yang direkayasa guna mencapai tujuan pengajaran
yang telah ditetapkan. Cetak biru ini biasa dijadikan pedoman perencanaan dan
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
80
pelaksanaan pengajaran serta evaluasi belajar. Dengan demikian, model
pembelajaran akan mencakup peristiwa aspek-aspek pembelajaran secara
keseluruhan.
Soekamto,
dkk.
(1997:78) mengartikan
model
sebagai
kerangka
konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.
Dalam pengertian demikian, suatu model pembelajaran melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
belajar-mengajar (pembelajaran). Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benarbenar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.
Terkait dengan penjelasan mengenai model, selain istilah model, dalam
dunia pembelajaran terdapat beberapa istilah lain yang mirip dan bersinggungan
secara makna, sehingga sering menimbulkan kerancuan dalam penggunaannya.
Istilah-istilah tersebut adalah (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi
pembelajaran, (3) metode pembelajaran,
(4) teknik dan taktik pembelajaran.
Penjelasan singkat mengenai istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut (Syah,
1995:190; Soekamto, dkk., 1997:78; Sanjaya, 2005:99).
Pendekatan pembelajaran merupakan titik tolak atau sudut pandang
terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi,
menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan
teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
81
pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat
pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Strategi merupakan rencana konseptual mengenai kegiatan pembelajaran
guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Dilihat dari strateginya,
pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1)
exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning. Adapun ditinjau
dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat
dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran
deduktif.
Metode pembelajaran diartikan sebagai cara atau pola yang digunakan
untuk mengimplementasikan strategi yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan
nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Adapun teknik
pembelajaran merupakan cara spesifik yang dilakukan dalam menjalankan atau
menerapkan metode.
Model merupakan sebuah gambaran mengenai sesuatu secara keseluruhan.
Dalam konteks pembelajaran, model merupakan kerangka menyeluruh mengenai
peristiwa pembelajaran
yang menggambarkan secara komprehensif atas
pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran; yang sudah
terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh. Jadi, model pembelajaran pada
dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir
yang disajikan secara khas oleh guru.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
82
Berdasarkan uraian mengenai pengertian model pembelajaran di atas,
selanjutnya dapat ditarik pemahaman bahwa model pembelajaran tidak lain adalah
gambaran
(format)
pembelajaran
secara
komprehensif
dan
merupakan
keseluruhan yang mencakup kerangka dasar berpikir, pemilihan dan penataan
tujuan dan bahan, prosedur, hingga proses.
Sebuah pembelajaran pada dasarnya meliputi lima elemen pokok: metode,
kesadaran/pemahaman mengenai siswa, pengetahuan tentang materi, tujuan akhir,
dan relasi guru-murid (Frenstermacher & Soltis, 2004:7).
Metode meliputi
keterampilan guru dalam menggunakan teknik yang mampu membantu siswa
mendapatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan. Kesadaran mengenai
siswa mengarah pada persoalan apa yang guru ketahui tentang siswanya: minat,
talenta, komitmen, sejarah pribadi, latar belakang keluarga, prestasi di kelas
sebelumnya. Pengetahuan tentang materi meliputi apa yang guru ketahui tentang
mata pelajaran yang diajarkan, konsep-konsep penting, teori, dan fakta-fakta.
Tujuan pembelajaran diungkapkan melalui pertanyaan-pertanyaan: apa yang
diinginkan untuk diketahui dan dikerjakan siswa; apa yang telah dilakukan
sebagai guru. Relasi guru-murid mencakup macam-macam hubungan yang
dibangun guru dengan muridnya.
2.6.2 Komponen Model Pembelajaran
Joyce & Weil, dalam buku Models of Teaching (2000) memberikan
penjelasan bahwa setiap model pembelajaran pada dasarnya memiliki komponen
pokok yang meliputi (1) sintaks atau syntax, (2) sistem sosial atau social system,
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
83
(3) prinsip reaksi atau principle of reaction, dan (4) sistem pendukung (support
system).
1) Sintaks (syntax) merupakan langkah-langkah, fase-fase, atau urutan kegiatan
pembelajaran. Setiap model tentu memiliki sintaks atau struktur yang berbedabeda.
2) Sistem sosial (social system) merupakan situasi dan norma yang diberlakukan.
Hal ini menyangkut tiga pengertian utama, yaitu (a) deskripsi macam-macam
peranan pembelajaran dan pengajar; (b) deskripsi hubungan hierarkis/otoritas
pembelajar dan pengajar; (c) deskripsi macam-macam kaidah untuk
mendorong pembelajar.
3) Prinsip reaksi (principle of reaction) merupakan kaidah yang menyangkut
bagaimana pengajar (guru) melihat dan memperlakukan pembelajar. Prinsip
reaksi akan berguna dalam memilih bentuk-bentuk reaksi yang efektif
dilakukan.
4) Sistem pendukung (support system) merupakan kondisi yang dibutuhkan oleh
suatu model. Sistem pendukung berkaitan dengan bentuk dukungan yang
dibutuhkan demi teriptanya kondisi dan lingkungan khusus bagi keberhasilan
model.
Keempat komponen utama model tersebut harus mampu bersinergi secara
secara efektif bagi keberhasilan pembelajaran. Keberhasilan ini ditandai dengan
terciptanya efek belajar, baik efek langsung yang berkaitan dengan kurikulum
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
84
(direct effect atau instructional effect) maupun efek tidak langsung (indirect
effect) atau disebut juga efek pengiring (nurturant effect).
2.6.3 Kategori Model Pembelajaran
Joyce & Weil (2000:13–28), dalam buku Models of Teaching,
mengelompokkan model-model pembelajaran ke dalam empat kategori, yaitu (1)
kelompok model pengolahan informasi, (2) kelompok model personal, (3)
kelompok model sosial, dan (4) kelompok model sistem perilaku. Penjelasan
singkat menganai empat kategori model tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kelompok Model Pengolahan Informasi (The Information Processing Family)
Model pembelajaran ini menekankan cara-cara dalam meningkatkan
dorongan alamiah manusia untuk membentuk makna tentang dunia (sense of
the world) dengan memperoleh dan mengolah data, merasakan masalahmasalah dan menghasilkan solusi yang tepat, serta mengembangkan konsep dan
bahasa untuk untuk mengungkapkannya.
Yang tergolong dalam model
pengelohan informasi adalah model (1) berpikir induktif (inductive thingking),
(2) pencapaian konsep (concep attainment), (3) penelitian ilmiah (scientific
inquiry),
(4)
latihan
penelitian
(inquiry
training),
(5)
memorisasi
(memorization), (6) sinektik (synectics), (7) pemandu awal (advance
organizer), dan (8) pengembangan intelek (developing intelect)..
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
85
2) Kelompok Model Personal (The Prsonal Family)
Kelompok model personal menekankan pada usaha memahami diri
sendiri. Model personal sangat memerhatikan perspektif individu untuk
mendorong produktivitas mandiri, meningkatkan kesadaran, dan rasa tanggung
jawab. Model-model pembelajaran yang termasuk ke dalam kelompok model
personal meliputi (1) pengajaran tanpa arahan (non-directive teaching), (2)
membangun kesadaran dan penghargaan diri (enhancing self-esteem).
3) Kelompok Model Sosial (The Social Family)
Kelompok model ini menekankan pada konsepsi bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Model sosial dibangun untuk memanfaatkan fenomena kerja
sama dan hubungan-hubungan kooparatif di dalam pembelajaran. Interaksi
yang dibangun siswa dipandang memiliki kekuatan untuk mengembangkan
kualitas pembelajaran. Yang termasuk ke dalam model personal adalah model
(1) belajar berpasangan (partners in learning), (2) investigasi kelompok (group
investigation), (3) bermain peran (roel playing), (4) penyelidikan jurisprudensial (jurisprudential inquiry).
4) Kelompok Model Sistem Perilaku (The Behavioral System Family)
Kelompok model sistem perilaku menggunakan landasan teoretik teori
belajar sosial, yang juga dikenal dengan modifikasi perilaku, terapi tingkah
laku, dan sibernetik. Prinsipnya adalah bahwa manusia merupakan sistemsistem komunikasi perbaikan diri (self-correcting communication system) yang
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
86
dapat mengubah perilakunya saat merespon informasi dalam menyelesaikan
tugas-tugas dengan baik. Yang termasuk dalam kelompok model ini meliputi
model (1) belajar tuntas (mastery learning), (2) pembelajaran langsung (direct
instruction), (3) pembelajaran dengan simulasi (learning from simulations).
2.6.4 Model Pembelajaran Kreatif Produktif
Istilah pembelajaran kreatif produktif yang sementara ini ada dikenalkan
oleh Depdiknas (2005:112). Pembelajaran kreatif produktif dikembangkan dengan
mengacu pada berbagai pendekatan pembelajaran. Di dalamnya terdapat
pendekatan pembelajaran aktif dan kreatif yang juga dikenal dengan strategi
inkuiri; pembelajaran konstruktif, pembelajaran kolaboratif dan kooparatif.
Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut diintegrasikan sehingga
menghasilkan model yang mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan suatu
produk yang bersumber dari
pemahamannya atas topik yang dipelajari
(Depdiknas, 2005:112; Wena, 2010:139).
Selanjutnya diuraikan bahwa karakteristik pembelajaran kreatif produktif
antara lain adalah sebagai berikut.
1) Pengembangannya mengacu kepada berbagai pendekatan pembelajaran yang
diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar.
2) Pendekatan pembelajaran yang mengolaborasikan dan mengintegrasikan
antara lain adalah : (a) pembelajaran aktif , (b) kreatif, (c) konstruktif, (d)
kolaboratif dan (e) kooperatif.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
87
3) Karakteristik penting dari setiap pendekatan pembelajaran tersebut (butir 2)
diintegrasikan sehingga menghasilkan satu model yang memungkinkan siswa
atau mahasiswa mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk yang
bersumber dari pemahaman mereka terhadap konsep yang sedang dikaji.
4) Keterlibatan secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran mendorong
siswa menemukan/mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dimiliki, dan
memberi kesempatan untuk bertanggung jawab terhadap tugas serta mendorong lebih kreatif, bekerja keras, percaya diri untuk meningkatkan produktivitasnya dalam bidang sastra.
Model pembelajaran kreatif produktif sebagaimana dijelaskan Depdiknas
(2005:112) dan Wenna (2010:139) dikembangkan untuk memfasilitasi peserta
didik dalam usaha menguasai suatu topik atau bahasan. Dengan pembelajaran ini
diharapkan peserta didik dapat menunjukkan penguasaan atas suatu topik dengan
cara menuangkan kembali kedalam bentuk baru. Oleh karenanya hal penting yang
menandai pembelajaran ini adalah sifat mengkreasikan kembali. Dengan demikian
pengkreasian kembali (re-kreasi) difungsikan untuk menguji pemahaman atau
penguasaan peserta didik atas topik atau bahasan yang dipelajari. Langkahlangkah pembelajaran kreatif produkti tersebut meliputi orientasi, eksplorasi,
interpretasi, re-kreasi, dan evaluasi.
Bagaimana meningkatkan kreativitas dalam diri siswa? Wankat &
Oreovoc (Wena, 2010:138) menguraikan bahwa untuk meningkatkan kreativitas
siswa dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut.
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
88
1) Mendorong untuk berlaku kreatif, yaitu dengan (a) mengembangkan beberapa
pemecahan masalah yang kreatif untuk suatu masalah, (b) mengembangkan
beberapa cara dalam memecahkan suatu masalah, (c) membuat daftar beberapa
kemungkinan solusi untuk suatu masalah.
2) Mengajari siswa dengan beberapa metode untuk menjadi kreatif, yaitu dengan
(a) mengembangkan ide sebanyak-banyaknya, (b) mengembangkan ide
berdasarkan ide orang lain, (c) tidak memberi kritik pada saat pengembangan
ide, (d) mengevaluasi ide-ide yang sudah ada, dan (e) menyimpulkan ide yang
terbaik.
3) Menerima ide-ide kreatif yang dihasilkan siswa, yaitu dengan (a) memberi
catatan tentang aspek positif dan negatif, (b) memberi catatan mengenai hal
yang menarik dari ide siswa.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya model pembelajaran
selalu berkaitan dengan penciptaan situasi, kondisi, dan prosedur pembelajaran.
Selanjutnya, dengan berdasar pada uraian mengenai sistem pendidikan (bahasan
2.3.1) dan model pembelajaran (2.6), dapat digambarkan kerangka sistem
pengembangan model pembelajaran sebagai berikut.
INPUT
PROSES
OUTPUT
GURU
KOMPETENSI GURU
KOMPETENSI
SISWA
Model
Pembelajaran
repository.upi.edu
• Dampak
instruksional
• Dampak
pengiring
PEMBELASISWA
JARAN
HARI
SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
|
MATERI AJAR &
LINGKUNGAN
MATERI AJAR &
LINGKUNGAN
yang diciptakan
89
HARI SUNARYO, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
Download