SPL

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Verifikasi Model
Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi
2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter
(Lampiran 1). Begitu pula dengan model gabungan MASNUM, visual SPL
diambil dari lapisan permukaan (Z=1). Nilai SPL di lokasi penelitian, baik dari
model maupun data observasi memperlihatkan variasi setiap bulannnya. Pada
bulan-bulan yang mewakili Musim Barat, yaitu Desember, Januari, dan Februari,
kisaran nilai SPL model SODA versi 2.1.6 berada pada 27,531 ºC. Kisaran nilai
SPL yang ditampilkan oleh hasil model gabungan MASNUM yaitu 27,5–30,5 ºC,
sedangkan yang terekam oleh satelit NOAA/AVHRR menunjukkan kisaran
28,531 ºC (Gambar 10).
Berdasarkan ketiga sumber visualisasi tersebut, terdapat perbedaan nilai
kisaran SPL. Perbedaan nilai antara model SODA versi 2.1.6 dengan
NOAA/AVHRR terdapat pada nilai minimumnya dimana nilai minimum SPL
model SODA versi 2.1.6 lebih rendah sebesar 1 ºC dari SPL NOAA/AVHRR. Hal
ini disebabkan pada bulan Januari terlihat adanya perbedaan SPL dominan yang
cukup besar di sekitar Laut Flores (Lampiran 2). Model gabungan MASNUM
juga memiliki selisih SPL dengan hasil satelit, baik pada nilai minimum maupun
nilai maksimumnya. SPL minimum model gabungan MASNUM juga lebih
rendah sebesar 1 ºC daripada SPL satelit sedangkan SPL maksimum model
gabungan MASNUM lebih rendah 0,5 ºC dibandingkan dengan hasil satelit.
Apabila kedua model tersebut dibandingkan maka terlihat adanya selisih pada
nilai SPL maksimum dimana nilai SPL pada model SODA lebih tinggi daripada
model gabungan MASNUM, namun secara umum, baik kedua model ataupun
rekaman satelit menunjukkan SPL yang relatif tinggi pada Musim Barat.
26
27
(a)
(b)
(c)
Februari
Gambar 1. Klimatologi SPL Musim Barat (Februari) pada rentang 1958-2008
(a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model gabungan
MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit
NOAA/AVHRR Pathfinder V5
Pada Musim Peralihan I, SPL di lokasi penelitian yang ditampilkan model
SODA versi 2.1.6 berkisar antara 2831 ºC dan model gabungan MASNUM
menunjukkan kisaran nilai 27,2531 ºC, sedangkan hasil rekaman satelit
menunjukkan kisaran 28,2531 ºC. Variasi nilai kisaran tersebut menunjukkan
adanya selisih nilai antara kedua model dengan data satelit. Perbedaan SPL
minimum pada model SODA versi 2.1.6 dan hasil rekaman satelit, yaitu sebesar
0,25 ºC. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat di sekitar Laut Flores, namun
terdapat kesamaan pola distribusi antara keduanya, yaitu di Selat Makassar bagian
28
selatan dan Perairan Sulawesi bagian selatan memiliki SPL yang lebih rendah
dibandingkan dengan daerah sekitarnya (Gambar 11).
(a)
(b)
(c)
Mei
Gambar 2. Klimatologi SPL Musim Peralihan I (Mei) pada rentang 1958-2008
(a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model gabungan
MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit
NOAA/AVHRR Pathfinder V5
Selisih nilai SPL minimum juga ditemukan pada perbandingan model
gabungan MASNUM dengan hasil satelit dimana nilai SPL minimum model lebih
rendah 1 ºC daripada SPL minimum hasil rekaman satelit. Apabila dilakukan
perbandingan antara kedua model dapat dilihat adanya selisih pada nilai kisaran
minimum, yakni model SODA versi 2.1.6 memiliki SPL minimum lebih tinggi
0,75 ºC dibandingkan dengan model gabungan MASNUM. Secara umum, pada
29
musim ini terjadi sedikit penurunan SPL dari musim sebelumnnya, tetapi perairan
masih cukup hangat terutama di bagian barat.
SPL Musim Timur, baik dari visual model maupun rekaman satelit
mengalami penurunan nilai yang cukup besar dari Musim Peralihan I. SPL yang
hangat terdesak ke perairan bagian barat dan digantikan dengan massa air dengan
SPL yang dingin yang berasal dari perairan bagian timur (Laut Banda). Pola
distribusi menunjukkan adanya SPL yang lebih rendah dari daerah sekitarnya,
yaitu di Selat Makassar bagian selatan, mulut Teluk Bone, dan Laut Banda.
Nilai SPL paling rendah terlihat pada bulan Agustus yang menjadi puncak
Musim Timur. Kisaran nilai SPL model SODA versi 2.1.6 adalah 26,530 ºC
sedangkan SPL yang ditampilkan hasil model gabungan MASNUM berkisar
antara 26,2529,75 ºC. Adapun nilai yang terekam oleh satelit berkisar antara
2630 ºC (Gambar 12). Selisih nilai SPL minimum model SODA versi 2.1.6
dengan hasil satelit sebesar 0,5 ºC, dimana SPL minimum pada model justru lebih
rendah daripada SPL dari satelit, tidak seperti yang terjadi pada musim-musim
sebelumnya. Perbandingan nilai kisaran model gabungan MASNUM dengan hasil
satelit diperoleh selisih baik untuk nilai SPL minimum maupun maksimum.
Selisih nilai SPL minimum sebesar 0,25 ºC dimana nilai SPL model gabungan
MASNUM lebih tinggi daripada hasil satelit, sedangkan SPL maksimum model
gabungan MASNUM lebih rendah 0,25 ºC dibandingkan hasil rekaman satelit.
Perbandingan antara kedua model memperlihatkan selisih SPL minimum
sebesar 0,25 ºC dimana nilai model SODA versi 2.1.6 lebih tinggi daripada model
gabungan MASNUM. Begitu pula dengan nilai SPL maksimum yang
menunjukkan selisih 0,25 ºC dimana nilai model SODA versi 2.1.6 juga lebih
tinggi dari model gabungan MASNUM. Dari hasil visualisasi pada Musim Timur
ini terlihat bahwa hasil rekaman satelit menunjukkan sebaran SPL yang paling
dingin di lokasi penelitian. Adapun nilai SPL maksimum ditemukan terpusat di
selatan Selat Makassar dekat pesisir Sulawesi.
30
(a)
(b)
(c)
Agustus
Gambar 3. Klimatologi SPL Musim Timur (Agustus) pada rentang 1958-2008
(a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model gabungan
MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit
NOAA/AVHRR Pathfinder V5
Dinginnya SPL yang terjadi pada Musim Timur masih terlihat pada awal
Musim Peralihan II, yaitu pada bulan September. SPL kembali meningkat pada
bulan Oktober dan November. Kondisi SPL paling hangat terjadi pada bulan
November. Hal ini ditemukan pada hasil visual model SODA versi 2.1.6 dan hasil
rekaman satelit (Gambar 13), namun untuk hasil visualisasi model gabungan
MASNUM memperlihatkan puncak SPL tertinggi ditemukan pada bulan Oktober
(Lampiran 2). Kisaran nilai SPL model SODA versi 2.1.6 adalah 26,7530,5 ºC,
model gabungan MASNUM yaitu 2831 ºC, dan hasil rekaman satelit
menunjukkan kisaran nilai 26,531 ºC. Perbandingan model SODA versi 2.1.6
31
dengan hasil rekaman satelit memperlihatkan bahwa nilai SPL minimum model
lebih tinggi 0,25 ºC sedangkan SPL maksimum model lebih rendah 0,25 ºC
daripada data satelit.
Selisih SPL minimum model gabungan MASNUM dengan hasil rekaman
satelit sebesar 1,5 ºC dimana nilai model lebih tinggi dibandingkan rekaman
satelit, sedangkan untuk nilai SPL maksimum antara model gabungan MASNUM
dan rekaman satelit menunjukkan nilai yang sama. Adapun perbandingan hasil
visualisasi kedua model menunjukkan bahwa SPL minimum model SODA versi
2.1.6 lebih rendah 1,25 ºC daripada model gabungan MASNUM dan SPL
maksimumnya lebih rendah 0,5 ºC.
(a)
(b)
(c)
November
Gambar 4. Klimatologi SPL Musim Peralihan II (November) pada rentang
1958-2008 (a) Hasil model SODA versi 2.1.6; (b) Hasil model
gabungan MASNUM dan POM; (c) Hasil observasi citra satelit
NOAA/AVHRR Pathfinder V5
32
Secara umum, pola distribusi SPL pada kedua model mengikuti pola yang
tergambar oleh hasil rekaman satelit NOAA/AVHRR. Selisih nilai SPL pada
model relatif kecil, dimana kisaran nilai SPL tersebut masih di dalam batas
kepercayaan. Hal ini diperkuat oleh Nontji (1993) yang menyatakan bahwa SPL
di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28-31 ºC. Menurut Soegiarto dan
Birowo (1975), untuk suhu lapisan permukaan di perairan Indonesia berkisar
antara 26-30 ºC.
Berdasarkan Gambar 14, dapat kita lihat bahwa pola naik turun pada
grafik menunjukkan adanya kesamaan antara data hasil model dengan rekaman
satelit. Untuk mengetahui tingkat kevalidan data kedua model tersebut dilakukan
perhitungan Root Mean Square Error (RMSE). Nilai RMSE antara model SODA
versi 2.1.6 dan rekaman satelit (RMSEns) yaitu sebesar 0,25, sedangkan nilai
RMSE antara model gabungan MASNUM dan rekaman satelit (RMSEnm) yaitu
sebesar 0,5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model SODA versi 2.1.6 memiliki
tingkat kepercayaan yang lebih tinggi daripada model gabungan MASNUM
karena nilai RMSE yang lebih mendekati nol.
Gambar 5. Grafik perbandingan hasil klimatologi SPL model SODA versi 2.1.6
dan gabungan MASNUM (rentang tahun 1958- 2008) dengan
observasi rekaman satelit (rentang tahun 1982-2010)
33
4.2 Variabilitas Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Arus Permukaan
Dalam mengetahui variabilitas Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Arus
Permukaan digunakan model SODA versi 2.1.6 yang diambil pada lapisan
kedalaman pertama (Z=1) yaitu 0,5 meter sebagai media analisis. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa terjadi variasi nilai SPL dan kecepatan arus
permukaan setiap bulannya pada musim yang sama. Agar analisis, lokasi
penelitian dibagi ke dalam beberapa wilayah perairan, yaitu Timur Laut Jawa (3º
– 7º LS dan 110º – 116º BT), selatan Selat Makassar (2º – 6,5º LS dan 116º – 120º
BT), Teluk Bone (2,75º – 6,5º LS dan 120º – 123º BT), Laut Flores (6,5º – 8,5º LS
dan 118º – 125º BT), dan barat Laut Banda (2º – 8,5º LS dan 125º – 126º BT).
4.2.1 Suhu Permukaan Laut (SPL)
Nilai klimatologi SPL di Timur Laut Jawa menunjukkan keragaman setiap
bulannya. Nilai SPL minimum terendah ditemukan pada bulan Agustus dan
September dengan nilai 27,75 ºC, sedangkan SPL minimum tertinggi ditemukan
pada bulan April yaitu sebesar 29,25 ºC. Nilai SPL maksimum terendah
ditemukan pada bulan Agustus dengan nilai 29,5 ºC dan SPL maksimum tertinggi
ditemukan pada bulan April dan Mei yaitu sebesar 30,75 (Gambar 15). Hasil
tersebut memperlihatkan bahwa SPL di perairan ini relatif tinggi sepanjang
tahunnya, yaitu berkisar antara 27,75 – 30,75 ºC.
(ºC)
Gambar 6. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Timur Laut Jawa pada rentang
Januari 1958 – Desember 2008
34
Memasuki Laut Flores, SPL minimum terendah ditemukan pada bulan
Agustus yaitu berada pada nilai 27,25 ºC dan SPL minimum tertinggi diperoleh
pada bulan November yaitu sebesar 29,5 ºC, sedangkan SPL maksimum terendah
ditemukan di bulan Agustus dan September dengan nilai 28,25 ºC dan nilai SPL
maksimum tertinggi ditemukan di bulan November yaitu sebesar 30,25 (Gambar
16). Variasi tersebut menggambarkan bahwa nilai SPL tahunan di perairan ini
berkisar antara 27,25 – 30,25 ºC.
(ºC)
Gambar 7. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Laut Flores pada rentang
Januari 1958 – Desember 2008
Semakin ke arah timur menuju Laut Banda nilai SPL cenderung
mengalami penurunan. Di perairan barat Laut Banda yang berbatasan langsung
dengan Laut Flores, memiliki nilai SPL minimum terendah yaitu 26,75 ºC yang
ditemukan pada bulan Agustus, sedangkan nilai SPL minimum tertinggi sebesar
28,75 ºC ditemukan di bulan November dan Desember. Nilai SPL maksimum
terendah terekam pada bulan Agustus yaitu sebesar 28,25 ºC dan nilai SPL
maksimum tertinggi diperoleh pada bulan November sebesar 30,25 ºC (Gambar
17), sehingga diperoleh kisaran SPL sepanjang tahunnya sebesar 26,75 – 30,25
ºC.
35
(ºC)
Gambar 8. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Laut Banda pada rentang
Januari 1958 – Desember 2008
SPL perairan selatan Selat Makassar juga mengalami variasi setiap
bulannya. Nilai SPL minimum terendah ditemukan pada bulan Agustus yaitu
sebesar 26,75 ºC dan SPL minimum tertinggi ditemukan di bulan Januari sebesar
29 ºC, sedangkan SPL maksimum terendah terekam di bulan Agustus dan
September dengan nilai 28,75 ºC, sementara itu, SPL maksimum tertinggi
ditemukan pada bulan Maret dan April sebesar 30,5 ºC. Berdasarkan hal tersebut
maka diperoleh kisaran SPL 26,75 – 30,5 ºC (Gambar 18).
(ºC)
Gambar 9. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan selatan Selat Makassar pada
rentang Januari 1958 – Desember 2008
36
Teluk Bone menjadi salah satu wilayah perairan yang masuk ke dalam
lokasi penelitian, memiliki SPL minimum terendah sebesar 26,75 ºC yang
ditemukan pada bulan Agustus dan SPL minimum tertinggi sebesar 29 ºC
ditemukan pada bulan Januari, sedangkan nilai SPL maksimum terendah
diperoleh di bulan Oktober yaitu sebesar 29,5 ºC dan SPL maksimum tertinggi
diperoleh pada bulan Maret dan April yaitu sebesar 31 ºC (Gambar 19).
Berdasarkan data hasil klimatologi diperoleh kisaran nilai SPL di perairan ini
sepanjang rentang Januari 1958 – Desember 2008 yaitu 26,75 – 31 ºC.
(ºC)
Gambar 10. Klimatologi SPL Bulanan di Perairan Teluk Bone pada rentang
Januari 1958 – Desember 2008
Dari beberapa wilayah perairan yang telah dibahas, Laut Jawa memiliki
kisaran SPL yang paling hangat diantara perairan lainnya, karena letaknya yang
berada paling barat, sedangkan SPL paling dingin ditemukan di Laut Banda.
Menurut Rosyadi (2011), apabila dilihat dari keadaan masing-masing samudera,
pada umumnya akan diperoleh bahwa SPL di bumi bagian barat akan lebih tinggi
daripada bagian timurnya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh arus-arus laut
yang membawa bahang dari daerah khatulistiwa menuju ke arah kutub bumi
(Ilahude 1999). Mengacu pada penelitian Sadhotomo (2006) dan laporan Wyrtki
(1961) yang berhubungan dengan variasi SPL di Laut Jawa, diketahui bahwa
perubahan suhu permukaan laut atau dekat laut secara relatif sangatlah kecil.
Perbedaan antara suhu minimum dan maksimum di Laut Jawa kurang dari 2 ºC
37
dengan nilai suhu rata-rata berkisar antara 27 – 29 ºC, namun dalam penelitian ini
justru dibuktikan bahwa perbedaan antara suhu minimum dan maksimum dapat
mencapai 3 ºC.
Distribusi SPL secara horisontal pada umumnya sangat dipengaruhi gejala
musiman, seperti yang dikemukakan oleh Sadhotomo (2006). Pada musim Timur,
angin berhembus dari tenggara menuju barat laut sedangkan pada Musim Barat
angin mengalami pembelokan arah yaitu dari barat menuju tenggara. Angin
tersebut akan bergesekan dengan permukaan perairan sehingga terjadi arus laut.
Tetapi akibat adanya pengaruh gaya gesekan dan gaya Coriolis, kecepatan arus
yang disebabkan oleh angin tersebut berkurang secara eksponensial terhadap
kedalaman. Arah arus tersebut menyimpang 45° ke kiri pada Bumi Bagian Selatan
(BBS) dari arah angin serta sudut penyimpangan bertambah dengan bertambahnya
kedalaman (Silalahi 2013). Perubahan arah dan pergerakan angin ini berhubungan
erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara tinggi dan tekanan udara rendah
di atas benua Asia dan Australia. Antara bulan Desember sampai Februari bertiup
angin Muson Barat dan pada bulan Juni sampai Agustus bertiup angin Muson
Timur (Wyrtki 1961).
Variasi nilai rata-rata dari data klimatologi SPL juga terjadi setiap bulan
pada musim yang sama dalam rentang tahun 1958 hingga 2008 di beberapa
wilayah perairan yang termasuk ke dalam lokasi penelitian. Pada Musim Barat,
SPL rata-rata di Laut Jawa yakni 29,42 °C dengan kisaran 29,13 °C – 29,63 °C.
SPL terendah terjadi pada Desember dan tertinggi terjadi pada Februari.
Selanjutnya pada musim ini SPL rata-rata di Laut Flores mengalami penurunan
menjadi 28,67 °C dengan kisaran 28,38 – 29,125 °C dimana SPL terendah
ditemukan pada bulan Januari dan SPL tertinggi terjadi pada bulan Desember.
Memasuki Laut Banda, nilai rata-rata SPL sedikit meningkat yaitu 28,96 °C
dengan kisaran 28,75 – 29,25 °C. Nilai SPL terendah terjadi pada bulan Februari
dan tertinggi terjadi di bulan Desember. Selatan Selat Makassar memiliki nilai
rata-rata SPL yakni 29,38 °C dengan kisaran 29,125 – 29,63 °C, sedangkan di
Teluk Bone nilai SPL rata-rata mencapai nilai 29,71 °C dengan kisaran 29,38 – 30
38
°C. Di kedua perairan ini ditemukan SPL terendah pada bulan Desember dan SPL
tertinggi pada bulan Januari (Gambar 20).
(ºC)
Gambar 11. Rata-rata klimatologi SPL bulanan selama Musim Barat pada
rentang 1958 – 2008
Tingginya SPL pada Musim Barat tidak terlepas dari adanya aliran massa
air dengan suhu tinggi dan salinitas rendah yang berasal dari Laut Cina Selatan.
Massa air ini masuk ke Laut Jawa melalui Selat Karimata dan Laut Natuna
kemudian terus mengalir mengisi perairan Indonesia menuju Laut Flores dan Laut
Banda sehingga massa air yang bersuhu rendah dari Laut Banda terdesak semakin
ke timur dan digantikan oleh massa air bersuhu tinggi ini.
Intensitas penyinaran matahari yang relatif besar di Bumi Bagian Selatan
(BBS) memicu terbentuknya pusat tekanan udara tinggi di atas benua Asia dan
pusat tekanan udara rendah di atas benua Australia ini menyebabkan pergerakan
angin dari Asia ke Australia yang melewati wilayah lautan yang cukup luas,
sehingga membawa uap air besar pula, dan setelah mencapai kepulauan Indonesia
maka terjadilah hujan. Curah hujan yang cukup tinggi pada Musim Barat ini
menyebabkan salinitas perairan Indonesia lebih rendah akibat adanya pengenceran
air laut oleh air hujan, sedangkan SPL akan lebih hangat karena tingginya
penguapan.
39
Musim Timur memiliki variasi SPL yang lebih rendah dibandingkan
musim barat. Variasi nilai rata-rata dari data klimatologi SPL Musim Timur
menunjukkan perbedaan SPL rata-rata di berbagai perairan. Di Laut Jawa SPL
rata-ratanya yaitu 29,04 °C dengan kisaran 28,63 °C – 29,38 °C. Di Laut Flores
SPL rata-rata bernilai 28,04 °C dengan kisaran 27,75 – 28,25 °C. Memasuki Laut
Banda, nilai rata-rata SPL sedikit meningkat yaitu 28,08 °C dengan kisaran 27,50
– 28,63 °C. Selatan Selat Makassar memiliki nilai rata-rata SPL yakni 28,29 °C
dengan kisaran 27,75 – 28,63 °C, sedangkan di Teluk Bone nilai SPL rata-rata
sedikit lebih tinggi yaitu 28,54 °C dengan kisaran 28,25 – 28,75 °C. Di semua
perairan SPL terendah terjadi pada Agustus dan tertinggi terjadi pada Juni
(Gambar 21).
(ºC)
Gambar 12. Rata-rata klimatologi SPL bulanan selama Musim Barat pada
rentang 1958 – 2008
Pada musim Timur, posisi matahari berada pada Bumi Bagian Utara
(BBU), sehingga intensitas penyinaran matahari yang diterima oleh lokasi
penelitian cenderung lebih sedikit dibandingkan pada musim Barat. Nilai SPL
yang rendah tersebut juga disebabkan adanya pembalikan arah arus yang
membawa massa air dari Laut Banda dengan suhu rendah dan salinitas tinggi
menuju Laut Jawa. Hal tersebut menyebabkan massa air yang bersuhu lebih
hangat terdesak ke barat dan digantikan oleh massa air yang lebih dingin dari Laut
40
Banda. Di perairan dekat pantai terlihat adanya SPL yang lebih tinggi (Lampiran
4), hal ini diindikasikan sebagai hasil pencampuran dengan air tawar (run-off),
oleh karena itu massa air pencampuran tersebut akan lebih hangat daripada air laut
yang posisinya di lepas pantai (Karif 2011).
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, adanya variasi musiman SPL di
perairan lokasi penelitian disebabkan oleh posisi dan radiasi matahari. Masuknya
massa air hangat dari perairan Laut Cina Selatan ke Laut Jawa menuju Laut Flores
dan Laut Banda juga disebabkan oleh kenaikan massa air laut. Musim peralihan I
memiliki nilai SPL yang paling tinggi daripada musim lainnya (Lampiran 3). Hal
ini disebabkan oleh radiasi matahari dan proses penyebaran massa air bersuhu
hangat tidak terjadi dalam waktu singkat. Radiasi matahari diterima perairan
secara terus-menerus selama musim Barat hingga peralihan I serta puncak
pergerakan massa air hangat yang dibawa oleh arus Muson Barat ditemukan pada
bulan Maret yang sudah memasuki musim Peralihan I.
4.2.2 Arus Permukaan
Wilayah perairan dalam Indonesia merupakan lintasan sistem angin muson
yang dalam setahun terjadi pembalikan arah. Arus permukaan di perairan dalam
Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin ini, sehingga pola arus yang terbentuk
sangat ditentukan oleh musim yang sedang berlangsung. Selain angin muson, arus
perairan dalam Indonesia juga dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo).
Selat Makassar merupakan salah satu jalur lintasan arus laut global dari Samudera
Pasifik ke Samudera Hindia yang melalui perairan kawasan timur Indonesia.
Variasi pola arus permukaan pada Musim Barat yang diwakili oleh bulan
Februari menunjukkan arus dominan mengalir dari barat (Laut Jawa) ke timur
(Laut Banda). Selama musim ini massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa
air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke arah Laut Flores
hingga Laut Banda. Pada daerah pertemuan antara kedua massa air ini kecepatan
arus menjadi lebih besar karena adanya akumulasi kekuatan dari kedua sumber
arus yang memiliki arah sama (Gambar 22). Laut Flores yang menjadi daerah
pertemuan dua massa air (massa air Selat Makassar dan Laut Jawa) memiliki
kecepatan arus rata-rata mencapai > 0,5 ms-1.
41
Nilai kecepatan arus yang sama juga ditemukan di perairan selatan Selat
Makassar dan Laut Banda. Besarnya arus di selatan Selat Makassar terjadi akibat
topografi yang menyempit sehingga aliran arus menjadi kencang dengan arah arus
dominan berasal dari utara (Samudera Pasifik) menuju selatan (memasuki Selat
Makassar), sementara itu besarnya arus di Laut Banda terbentuk karena adanya
pembelokan arus dari Laut Flores. Arus ini sebagian menuju ke arah utara karena
membentur daratan Sulawesi Tenggara, kemudian bertemu dengan arus yang
berasal dari Samudera Pasifik yang masuk melalui Laut Maluku sehingga terjadi
turbulensi di sekitar barat Laut Banda. Di Timur Laut Jawa yang merupakan
wilayah lautan lepas dan tidak banyak terhalang topografi pulau memiliki
kecepatan arus permukaan rata-rata relatif kecil, yakni < 0,5 ms-1.
Gambar 13. Overlay Klimatologi bulanan Suhu Permukaan Laut (SPL) (gradasi
warna = ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1) Model SODA
versi 2.1.6 (Z=1) pada Musim Barat (Februari)
Memasuki Musim Pancaroba/Peralihan, angin bertiup tidak menentu
sehingga menimbulkan arus turbulen di beberapa wilayah perairan namun
kecepatannya tidak besar. Pada Musim Peralihan I yang diwakili oleh bulan Mei
terlihat adanya pusaran arus di Laut Flores, dan barat Laut Banda (Gambar 23).
Adapun rata-rata kecepatan arus tersebut tidak lebih besar dari 0,5 ms -1.
42
Kecepatan arus rata-rata > 0,5 ms-1 ditemukan di selatan Selat Makassar. Secara
umum pada musim ini arus mulai mengalami pembalikan arah dari musim
sebelumnya meskipun belum menentu. Akan tetapi pada bulan Maret yang
menjadi awal periode musim ini arah arus masih dominan dari barat menuju timur
(Lampiran 4). Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh Musim Barat yang masih
terlihat kuat, seperti yang dikemukakan Nontji (1993) bahwa pada setiap awal
periode Musim Peralihan pengaruh musim sebelumnya masih kuat. Di Timur Laut
Jawa kecepatan arus rata-rata memiliki nilai yang lebih konstan, yakni < 0,5 ms-1.
Gambar 14. Overlay Klimatologi bulanan Suhu Permukaan Laut (SPL) ((gradasi
warna = ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1) Model SODA
versi 2.1.6 (Z=1) pada Musim Peralihan I (Mei)
Pola arus permukaan pada Musim Timur yang diwakili oleh bulan Agustus
memperlihatkan arah arus dominan dari timur (Laut Banda) menuju barat (Laut
Jawa) (Gambar 24). Dari Selat Makassar mengalir arus yang cukup kuat dengan
kecepatan mencapai > 1 ms-1. Arus ini bertemu dengan arus dari Laut Flores
menuju ke Laut Jawa dan sebagian lagi mengalir ke Samudera Hindia melalui
Selat Lombok dan Selat Bali. Kecepatan arus rata-rata di Laut Flores hingga
daerah pertemuan arus Selat Makassar dan arus Laut Flores yakni mencapai > 0,5
ms-1, kecepatan arus di Laut Jawa masih relatif konstan yaitu < 0,5 ms-1,
43
sedangkan di Laut Banda kecepatan arus lebih bervariasi, seperti yang
ditunjukkan oleh panjang pendeknya vektor. Kecepatan rata-rata arus yang
terekam mencapai 0,5 ms-1.
Gambar 15. Overlay Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) (gradasi warna =
ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1) Model SODA versi
2.1.6 (Z=1) pada Musim Timur (Agustus)
Pola arus pada Musim Peralihan II yang diwakili oleh bulan November
memperlihatkan pembalikan arah dari musim sebelumnya yaitu Musim Timur
(Gambar 25). Pada akhir periode musim ini arah arus dominan mengalir dari barat
ke timur. Meskipun arah arus belum stabil akibat tiupan angin yang tidak menentu
namun tidak terdeteksi adanya pusaran arus. Secara umum kecepatan arus ratarata yang terekam relatif kecil di seluruh lokasi penelitian yaitu 0,5 ms-1.
Kecepatan arus di daerah pertemuan arus dari Selat Makassar dan Laut Flores
yang biasanya membentuk arus yang cukup kuat, tetapi pada musim ini dapat
dikatakan paling lemah.
44
Gambar 16. Overlay Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) (gradasi warna =
ºC) dengan Arus Permukaan (vektor = ms-1) Model SODA versi
2.1.6 (Z=1) pada Musim Peralihan II (November)
Berdasarkan visualisasi arus permukaan yang ditampilkan untuk seluruh
musim diperoleh hasil bahwa kecepatan arus rata-rata terendah selalu ditemukan
di Timur Laut Jawa, sedangkan kecepatan arus rata-rata tertinggi ditemukan di
Selat Makassar dan daerah-daerah pertemuan massa air. Pada musim-musim
peralihan periode awal, kondisi arus akan mengikuti pola musim sebelumnya,
sedangkan pada periode akhir akan memperlihatkan pola arus yang hampir sama
dengan musim setelahnya.
4.3
Variabilitas Gradien Suhu Permukaan Laut dan Energi Kinetik Eddy
(EKE)
Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) merupakan parameter-
parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling
dan kekuatan arus yang mungkin mempengaruhi distribusi ikan. Gradien suhu
memiliki nilai positif dan negatif. Di laut, gradien suhu adalah perubahan suhu
terhadap kedalaman, sebuah gradien positif adalah kenaikan suhu dengan
peningkatan secara mendalam dan gradien negatif adalah penurunan suhu dengan
peningkatan secara mendalam. Dengan kata lain, nilai positif menunjukkan
45
kondisi normal dimana suhu perairan di lapisan atas (permukaan) lebih hangat
daripada suhu di lapisan bawahnya, hal ini karena adanya penyerapan panas
matahari yang lebih besar di lapisan permukaan akibat intensitas penyinaran yang
besar. Nilai negatif menunjukkan kondisi anomali, yaitu suhu perairan di lapisan
atas (permukaan) justru lebih dingin dibandingkan di lapisan bawahnya. Hal
tersebut disebabkan adanya penaikan massa air dari lapisan yang lebih dalam ke
permukaan atau upwelling.
Parameter arus Eddy juga dapat mengindikasikan sinyal upwelling. Proses
ketidakstabilan baroklinik dianggap sebagai sumber utama bagi energi arus Eddy
di lautan. Energi Kinetik Eddy (EKE) berhubungan dengan indeks untuk melihat
daerah subur karena salah satu penyebab upwelling adalah adanya arus turbulen
yang menyebabkan terangkatnya massa air dari lapisan lebih dalam ke
permukaan. Ada beberapa konsentrasi yang berbeda pada EKE di sepanjang ratarata zona frontal di lautan. Dalam kondisi tertentu, bentuk ketidakstabilan yang
melepaskan energi potensial ini dapat diubah menjadi energi potensial Eddy dan
energi kinetik. Di laut, aliran rata-rata memiliki pergeseran horizontal maupun
vertikal, sehingga berpotensi adanya ketidakstabilan baroklinik dan barotropik
(campuran). Dengan adanya mekanisme ketidakstabilan ini, maka aktivitas arus
Eddy dapat terjadi maksimum di daerah arus laut utama.
Kedua parameter ini merupakan parameter turunan yang masing-masing
memiliki peran penting dalam penentuan daerah penangkapan potensial. Dalam
penelitian ini data visual klimatologi gradien suhu dikalkulasi dari hasil model
suhu SODA versi 2.1.6 dalam rentang Januari 1958 hingga Desember 2008 dan
data klimatologi visual EKE dikalkulasi dari data arus geostropik dalam rentang
Januari 1993 hingga Desember 2008 yang diturunkan dari satelit AVISO
Geosthropic Velocities dan diunduh melalui website resmi Ocean Watch NOAA.
Berdasarkan hasil visualisasi tersebut terlihat adanya nilai-nilai yang mencolok di
beberapa titik di lokasi penelitian dan kondisi tersebut berubah-ubah sesuai musim
maupun setiap bulan pada musim yang sama.
46
4.3.1 Musim Barat
Gradien suhu dan kekuatan EKE selama Musim Barat (Desember, Januari,
dan Februari) mengalami keragaman nilai kisaran setiap bulannya. Di beberapa
lokasi yang menunjukkan perbedaan gradien suhu yang cukup mencolok ternyata
juga memperlihatkan nilai EKE yang relatif besar, namun di sebagian lokasi
lainnya menunjukkan kisaran nilai yang relatif besar hanya untuk salah satu
parameter saja. Kisaran nilai gradien suhu negatif paling mencolok yaitu -1,65 – 0,3 ºC/m dengan nilai rata-rata -0,975 ºC/m, terekam di perairan Laut Flores pada
bulan Januari. Kekuatan EKE terbesar pada musim ini terekam di Teluk Bone
pada bulan Desember yaitu berada pada kisaran 0,15 – 1,65 m2s-2 dengan nilai
rata-rata sebesar 0,90 m2s-2 (Tabel 2).
Tabel 1.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama
Musim Barat
Kisaran
Cakupan
Kisaran EKE
Perairan
Bulan
Grad. Suhu
Wilayah
(m2S-2)
(ºC/m)
Desember -0,05 – 0,50
0,05 – 0,25
Timur laut
3 - 7 º LS
Januari
-0,10 – 0,15
0,05 – 0,30
Jawa
110 - 116 º BT Februari
-0.30 – 0,15
0,05 – 0,65
Selatan Selat
Makassar
2 - 6,5º LS
116 - 120º BT
Desember
Januari
Februari
-0,10 – 0,10
-0,40 – 0,10
-0,30 – 0,10
0,15 – 0,90
0,15 – 2
0,15 – 1,10
Teluk Bone
2,75 - 6,5º LS
120 - 123º BT
Desember
Januari
Februari
-0,05 – 0
-0,30 – 0
-0,20 – 0
0,15 – 1,65
0,15 – 1,05
0,15 – 1,05
Laut Flores
6,5 - 8,5º LS
118 - 125º BT
Desember
Januari
Februari
-0,15 – 0
-1,65  -0,30
-1,15  -0,30
0,05 – 0,65
0,05 – 0,65
0,05 – 0,35
Laut Banda
2 - 8,5º LS
125 - 126º BT
Desember
Januari
Februari
-0,10  0,10
-1,50 – 0,10
-0,90  0
0,05 – 0,20
0,15 – 0,45
0,05 – 0,45
Variasi gradien suhu di Timur Laut Jawa pada bulan Desember merupakan
nilai gradien suhu dengan kisaran tertinggi seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, dimana kisaran nilai yang lebih dominan menunjukkan gradien suhu
bernilai positif. Nilai maksimum terlihat di sekitar pesisir Pulau Jawa Timur dan
47
Madura dan nilai minimum mendominasi di dekat pesisir Kalimantan (Gambar
26a). Pada bulan Januari, nilai gradiennya berubah pada kisaran -0,1 – 0,15 ºC/m.
pada bulan ini tidak terlihat perbedaan gradien suhu yang signifikan karena
gradien suhu yang lebih tinggi semakin terdesak ke arah tenggara menuju Laut
Bali dan Selat Lombok sehingga Timur Laut Jawa memiliki gradien suhu yang
lebih homogen. Memasuki bulan Februari, nilai gradien suhu berkisar antara -0,3
– 0,15 ºC/m. Gradien suhu yang terlihat lebih mencolok di bulan ini bernilai
negatif yang menunjukkan bahwa suhu perairan di lapisan permukaan lebih dingin
dibandingkan lapisan bawahnya.
Hasil visualisasi overlay arus geostropik dan EKE di Timur Laut Jawa
selama Musim Barat memperlihatkan potensi kekuatan EKE yang sangat lemah.
Pada bulan Desember tercatat kekuatan EKE hanya 0,05 – 0,25 m2s-2. Memasuki
bulan Januari sedikit meningkat menjadi 0,05 – 0,3 m2s-2, dan terus meningkat
menjadi 0,05 – 0,65 m2s-2 pada bulan Februari. Nilai-nilai EKE maksimum
terekam di dekat pesisir Kalimantan. Kekuatan EKE ini sebanding dengan
kecepatan arus geostropik yang menimbulkannya. Berdasarkan Gambar 26b, arus
geostropik di Timur Laut Jawa pada bulan Desember dan Januari memiliki arah
dominan yang tidak terlalu terlihat karena arus datang dari berbagai arah dan
saling bertemu sehingga terjadi pembelokan-pembelokan yang tidak menentu.
Pada bulan Februari arah arus dominan mulai terlihat menuju ke timur walaupun
sebagian berbelok ke utara membentur topografi pantai Kalimantan dan
menimbulkan arus yang cukup besar, yaitu mencapai 0,7 ms-1.
Di perairan Laut Flores, nilai gradien suhu pada bulan Desember berkisar
antara -0,15 – 0 ºC/m. Selanjutnya di bulan Januari gradien suhu sangat mencolok
dari daerah sekitarnya yaitu mencapai kisaran -1,65 – -0,3 ºC/m dan pada bulan
Februari berkisar antara -1,15 – -0,3 ºC/m. Gradien suhu yang sangat mencolok
pada bulan ini bernilai negatif, dimana suhu di lapisan permukaan lebih dingin.
Nilai gradien suhu yang sangat mencolok ini terlihat berpusat di posisi 7º LS dan
124º BT.
48
Gambar 17. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama
Musim Barat. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: Desember, Januari,
Februari); (b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke bawah:
Desember, Januari, Februari)
Untuk kisaran nilai EKE di Laut Flores pada bulan Desember tercatat 0,5
– 0,65 m2s-2, Januari 0,05 – 0,65 m2s-2, dan Februari 0,05 – 0,35 m2s-2. Potensi
kekuatan EKE yang terlihat di lokasi ini tidak terlepas dari besarnya arus
49
geostropik yang mengalir dominan menuju ke timur (Laut Banda) dengan
kecepatan mencapai 0,7 ms-1. Besarnya kecepatan arus tersebut terjadi akibat
adanya pertemuan antara arus yang berasal dari perairan Sulawesi Tenggara yang
sebagian berbelok di Laut Flores dekat Nusa Tenggara Tengah dengan arus dari
Laut Jawa (Gambar 26b).
Nilai gradien suhu di sekitar perairan Laut Banda bagian barat pada bulan
Desember berkisar antara -0,1 – 0,1 ºC/m. Di bulan Januari kisaran gradien suhu
semakin mencolok yaitu -1,5 – 0,1 ºC/m. Nilai tersebut terekam di lokasi yang
berbatasan langsung dengan Laut Flores. Pada bulan Februari kisaran nilai
gradien suhu berada pada -0,9 – 0 ºC/m. nilai nol menunjukkan terdapat wilayah
perairan yang tidak memiliki perbedaan suhu.
Kekuatan EKE di Laut Banda relatif kecil, yaitu hampir sama dengan
perairan Laut Jawa. Hal tersebut dikarenakan pada kedua lokasi perairan ini
merupakan laut lepas yang tidak terhalang oleh pulau-pulau kecil sehingga arus
yang masuk dapat bebas mengalir tanpa banyak hambatan yang akan berpotensi
menyebabkan turbulensi dan memperbesar aliran arus. Pada bulan Desember
tercatat EKE pada kisaran 0,05 – 0,2 m2s-2, kemudian pada Januari terjadi
peningkatan kekuatan EKE yaitu berkisar 0,15 – 0,45 m2s-2, dan pada bulan
Februari sedikit menurun di nilai minimum menjadi 0,05 – 0,45 m2s-2.
Selatan Selat Makassar menunjukkan nilai gradien suhu yang bervariasi
setiap bulannya selama Musim Barat. Pada bulan Desember nilai gradien suhu
berkisar antara -0,1  0,1 ºC/m. memasuki bulan Januari gradien suhu semakin
mencolok, yaitu berpusat di posisi 2,5º LS dan 118º BT. Nilai gradien suhu pada
bulan Januari berkisar -0,4  0,1 ºC/m. Selanjutnya pada bulan Februari
kisarannya menjadi -0,3  0,1 ºC/m.
Kekuatan EKE di selatan Selat Makassar relatif tinggi. Pada bulan
Desember nilai EKE berkisar anatara 0,15 – 0,9 m2s-2, kemudian pada Januari
EKE maksimum meningkat sehingga berkisar antara 0,15 – 2 m2s-2 dan terus
meningkat mencapai nilai maksimum yang relatif tinggi yaitu 0,15 – 1,1 m2s-2.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, besarnya nilai EKE berbanding lurus
dengan kecepatan arus geostropik. Dalam hal ini, Selat Makassar memiliki
50
kecepatan arus geostropik yang besar akibat topografi yang menyempit dengan
arah arus geostropik dominan menuju utara (Samudera Pasifik), selain itu,
keberadaan sill Dewakang di dasar perairan juga berperan terhadap pembentukan
dan kecepatan arus. Hal inilah yang menyebabkan lokasi ini sebagai salah satu
wilayah dengan kekuatan EKE yang cukup besar.
Hasil visualisasi sebaran gradien temperatur menunjukkan bahwa di
wilayah perairan Teluk Bone pada bulan Desember terlihat adanya gradien suhu
yang berkisar antara -0,05  0 ºC/m. Di bulan Januari nilai gradien suhu berkisar 0,3  0 ºC/m dan di bulan Februari berkisar antara -0,2 – 0 ºC/m. Dari nilai-nilai
yang diperoleh menunjukka bahwa di lokasi ini suhu perairannya lebih seragam
terlihat dari gradien suhu maksimum di semua bulan selama Musim Barat,
meskipun terdapat perbedaan gradien suhu namun nilainya tidak terlalu
signifikan.
Hasil overlay kecepatan arus geostropik dan EKE di sekitar perairan mulut
Teluk Bone menunjukan nilai yang paling tinggi diantara lokasi perairan lainnya
yang telah dibahas, meskipun di lokasi ini tidak terekam nilai gradien suhu yang
terlalu mencolok. Kisaran nilai EKE pada bulan Desember yaitu 0,15 – 1,65 m2 s2
. Memasuki bulan Januari terjadi sedikit penurunan EKE yaitu berada pada
kisaran 0,15-1,05 m2 s-2. Pada bulan Februari nilai EKE berada di kisaran yang
sama dengan bulan sebelumnya, namun kecepatan arus geostropiknya lebih
rendah. Selama Musim Barat, di sekitar mulut Teluk Bone tercatat kecepatan arus
geostropik hingga mencapai lebih dari 0,7 ms-1. Ada beberapa kemungkinan yang
menyebabkan kekuatan arus di lokasi ini relatif besar, diantaranya karena adanya
pulau-pulau kecil di sekitar area tersebut sehingga arus memasuki daerah yang
menyempit dan mengalami pembelokan-pembelokan mengikuti topografi pantai
dan dasar laut sehingga terbentuk arus yang lebih kencang.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, terdapat hubungan antara besar
kecilnya gradien suhu dengan kuat lemahnya EKE. Hubungan keduanya yakni
berbanding terbalik, apabila nilai gradien suhu menunjukkan nilai yang relatif
kecil (cenderung negatif) maka keberadaan EKE akan relatif kuat dan sebaliknya
apabila nilai gradien suhu relatif tinggi (cenderung positif) maka kekuatan EKE
51
akan relatif lemah (Gambar 27), namun terdapat faktor lain yang membuat EKE
lebih besar, yaitu kondisi topografi yang menyempit seperti di selat dan
keberadaan pulau-pulau kecil yang mempersempit daerah laju arus.
Gambar 18. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE
selama Musim Barat di beberapa perairan dalam lokasi penelitian
4.3.2 Musim Peralihan I
Nilai gradien suhu dan kekuatan EKE selama Musim Peralihan I (Maret,
April, Mei) menunjukkan variasi seperti yang terlihat pada musim sebelumnya.
Nilai gradien suhu yang cukup mencolok ditemukan di perairan selatan Selat
Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Banda. Demikian juga kekuatan
EKE yang dominan terlihat di lokasi yang sama dengan ditemukannya perbedaan
gradien suhu tersebut. Pada musim ini tercatat rentang gradien terendah yakni
berkisar -1,3  -0.05 ºC/m ditemukan di Laut Flores pada bulan Maret, sedangkan
rentang nilai gradien suhu tertinggi masih ditemukan di Timur Laut Jawa pada
bulan April yakni dengan kisaran -0,2  0,05 ºC/m. Kekuatan EKE terlemah
ditemukan di perairan Timur Laut Jawa pada bulan April dengan nilai kisaran
0,05 – 0,2 m2s-2 dan kekuatan EKE terbesar ditemukan di Teluk Bone pada bulan
Mei dengan kisaran 0,15 – 1,95 m2s-2 (Tabel 3).
Tabel 2.
No.
Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama
Musim Peralihan I
Perairan
Cakupan
Bulan
Kisaran
Kisaran
52
Wilayah
EKE (m2S-2)
1.
Timur laut
Jawa
3 - 7 º LS
110 - 116 º BT
Maret
April
Mei
Grad. Suhu
(ºC/m)
-0,30 – 0,10
-0,20 – 0,15
-0.20 – 0,10
2.
Selatan Selat
Makassar
2 - 6,5º LS
116 - 120º BT
Maret
April
Mei
-0,65 – 0,10
-0,85 – 0,10
-0,90 – 0
0,15 – 0,90
0,15 – 0,90
0,15 – 1,75
Teluk Bone
2,75 - 6,5º LS
120 - 123º BT
Maret
April
Mei
-0,35 – 0,05
-0,55 – 0
-0,85 – 0
0,10 – 1,65
0,10 – 1,60
0,15 – 1,95
Laut Flores
6,5 - 8,5º LS
118 - 125º BT
Maret
April
Mei
-1,30 – -0,05
-0,65  -0,10
-0,20  0,05
0,05 – 0,50
0,05 – 0,50
0,05 – 0,50
Laut Banda
2 - 8,5º LS
125 - 126º BT
Maret
April
Mei
-1,30  0,10
-0,65 – 0,05
-0,30  0,05
0,05 – 0,75
0,05 – 0,75
0,05 – 0,90
3.
4.
5.
0,05 – 0,25
0,05 – 0,20
0,05 – 0,25
Variasi gradien suhu dan EKE tidak hanya terlihat secara temporal tetapi
juga terlihat secara spasial. Di perairan Timur Laut Jawa diperoleh nilai gradien
suhu rata-rata paling mencolok sebesar -0,1 ºC/m dengan kisaran -0,3  0,1 ºC/m
yang ditemukan pada bulan Maret. Adapun nilai EKE rata-rata tertinggi sebesar
0,15 m2 s-2 ditemukan pada bulan Maret dan Mei dengan kisaran 0,05 – 0,25 m2 s2
. Lokasi ditemukannya nilai EKE tertinggi memperlihatkan bahwa kecepatan
arus geostropik yang terekam relatif tinggi dibandingkan daerah disekitarnya.
Kecepatan geostropik rata-rata yang terlihat dari hasil visualisasi overlay EKE dan
arus geostropik menunjukkan nilai rata-rata hampir 0,7 m s-1 dimana arah
dominan menuju tenggara kemudian berbelok ke garis ekuator yang berada di
utara perairan. Pembelokan ini menyebabkan terbentuknya pusaran arus di bawah
pesisir Kalimantan yakni sekitar posisi 3,5º  6º LS dan 115º  117º BT (Gambar
28b).
53
Gambar 19. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama
Musim Peralihan I. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: Maret, April,
Mei); (b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke bawah: Maret,
April, Mei)
Di perairan lainnya seperti selatan Selat Makassar, nilai EKE rata-rata
cenderung lebih besar karena perairan ini memiliki topografi yang menyempit
sehingga laju arus menjadi kencang. Nilai rata-rata EKE tertinggi ditemukan pada
54
bulan Mei yakni sebesar 0,95 m2 s-2 dengan kisaran 0,15 – 1,75 m2 s-2, diikuti
dengan nilai gradien suhu rata-rata sebesar -0,45 ºC/m dengan kisaran -0,90 – 0
ºC/m yang juga ditemukan pada bulan Mei. Kecepatan rata-rata arus geostropik
mencapai nilai > 0,7 m2 s-2 dengan arah dominan menuju utara.
Hasil visualisasi juga memperlihatkan bahwa Teluk Bone memiliki EKE
yang relatif besar dan gradien suhu yang cukup mencolok, terutama di lokasi
mulut teluk (Gambar 28b). Nilai gradien suhu rata-rata yang paling mencolok
ditemukan pada bulan Mei yaitu sebesar -0,425 ºC/m dengan kisaran -0,85 – 0
ºC/m. Demikian juga dengan nilai EKE terbesar ditemukan di bulan yang sama
dengan nilai rata-rata sebesar 1,05 m2 s-2 dengan kisaran yakni 0,15 – 1,95 m2 s-2.
Kecepatan rata-rata arus geostropik di Teluk Bone juga mencapai > 0,7 m s-1
dimana kecepatan maksimum juga terekam di lokasi mulut teluk, yaitu pada
koordinat 5º – 6,5º LS dan 120º  122º BT.
Di Laut Flores nilai EKE pada Musim Peralihan I menunjukkan kisaran
nilai yang konstan setiap bulannya, yaitu berkisar antara 0,05 – 0,50 m2 s-2 dimana
nilai rata-ratanya sebesar 0,275 m2 s-2. Adapun nilai maksimum selalu terlihat di
sekitar pesisir daratan Pulau Flores, dimana pada lokasi tersebut juga merekam
kecepatan rata-rata arus geostropik paling tinggi di perairan ini. Nilai maksimum
kecepatan rata-rata arus geostropik dapat mencapai 0,7 m s-1 dengan arah arus
dominan menuju timur yang kemudian diteruskan ke utara setelah mencapai barat
Laut Banda. Di perairan Laut Flores memperlihatkan adanya perbedaan nilai
gradien suhu yang paling mencolok dibandingkan perairan lainnya selama Musim
Peralihan I (Gambar 28a), terutama pada bulan Maret dimana nilai gradien suhu
rata-rata sebesar -0,675 ºC/m dengan nilai kisaran yakni -1,30 – -0,05 ºC/m.
Nilai gradien suhu di perairan barat Laut Banda memperlihatkan nilai
paling mencolok pada bulan Maret dengan nilai rata-rata sebesar -0,6 ºC/m dari
kisaran nilai -1,30  0,10 ºC/m. Pada bulan-bulan berikutnya di Musim Peralihan I
nilai gradien suhu semakin mengalami kenaikan namun tetap bernilai negatif.
Berbeda halnya dengan EKE yang menunjukkan nilai tertinggi pada bulan Mei
yakni dengan nilai rata-rata sebesar 0,475 m2 s-2 dan kisaran 0,05 – 0,90 m2 s-2.
Adapun arus geostropik di barat Laut Banda merupakan arus yang berasal dari
55
Laut Flores, arah arus dominan menuju utara (ekuator) dengan kecepatan
mencapai maksimum pada bulan Mei yaitu > 0,7 m s-1.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, nilai gradien suhu rata-rata yang
mencolok pada musim ini merupakan gradien negatif yang menunjukkan adanya
penurunan suhu dengan peningkatan secara mendalam. Hasil yang diperoleh
memperlihatkan bahwa adanya gradien suhu yang mencolok di perairan biasanya
diikuti dengan kekuatan EKE yang relatif besar (Gambar 29).
Gambar 20. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE
selama Musim Peralihan I di beberapa perairan dalam lokasi
penelitian
4.3.3 Musim Timur
Nilai gradien suhu dan EKE pada Musim Timur (Juni, Juli, Agustus)
menunjukkan variasi setiap bulannya dengan kisaran nilai yang berbeda-beda di
setiap lokasi perairan. Berdasarkan Tabel 3, dapat terlihat bahwa nilai gradien
suhu paling mencolok ditemukan di Teluk Bone pada bulan Agustus dengan
kisaran nilai -1,45 – -0,15 ºC/m dan nilai rata-rata sebesar -0,8 ºC/m, sedangkan
kekuatan EKE terbesar ditemukan di selatan Selat Makassar pada bulan Juli
dengan kisaran 0,15 – 1,7 m2 s-2 dan nilai rata-rata 0,925 m2 s-2.
56
Tabel 3.
Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama
Musim Timur
No.
Perairan
Cakupan
Wilayah
1.
Timur laut
Jawa
3 - 7 º LS
110 - 116 º BT
Juni
Juli
Agustus
Kisaran
Grad. Suhu
(ºC/m)
-0,15 – 0
-0,20 – 0
-0.25 – 0
2.
Selatan Selat
Makassar
2 - 6,5º LS
116 - 120º BT
Juni
Juli
Agustus
-0,90 – -0,05
-0,70 – -0,10
-0,55 – -0,10
0,15 – 0,75
0,15 – 1,7
0,3 – 0,8
Teluk Bone
2,75 - 6,5º LS
120 - 123º BT
Juni
Juli
Agustus
-0,10 – -0,05
-1 – -0,10
-1,45 – -0,15
0,15 – 1,5
0,1 – 0,9
0,15 – 1,65
4.
Laut Flores
6,5 - 8,5º LS
118 - 125º BT
Juni
Juli
Agustus
-0,20 – -0,10
-0,15  -0,10
-0,15  -0,10
0,05 – 0,45
0,05 – 0,40
0,05 – 0,40
5.
Laut Banda
2 - 8,5º LS
125 - 126º BT
Juni
Juli
Agustus
-0,55  -0,05
-0,15 – 0,05
-0,15  0,05
0,05 – 0,45
0,05 – 0,45
0,05 – 0,90
3.
Bulan
Kisaran
EKE (m2S-2)
0,05 – 0,30
0,05 – 0,15
0,05 – 1,05
Selama musim ini, terlihat adanya gradien suhu yang lebih homogen di
sekitar Perairan Laut Flores dan Timur Laut Jawa dilihat dari kisaran nilai yang
terekam setiap bulannya. Meskipun kisarannya cenderung homogen, namun dari
ketiga bulan dalam musim ini terdapat nilai yang paling mencolok diantara yang
lainnya. Nilai gradien suhu di Timur Laut Jawa menunjukkan nilai yang paling
mencolok pada bulan Agustus dengan kisaran antara -0,25  0 ºC/m dan nilai ratarata sebesar -0,125 ºC/m. Nilai gradien suhu negatif ini berkembang akibat
masuknya massa air dari Laut Flores dan Selat Makassar yang memiliki suhu
lebih rendah dibandingkan dengan suhu di perairan Laut Jawa itu sendiri. Pada
Gambar 30a terlihat gradien suhu negatif berkembang di sekitar pesisir
Kalimantan yang berbatasan langsung dengan selatan Selat Makassar, semakin
memasuki pertengahan dan akhir periode musim timur semakin luas pula daerah
cakupannya.
57
Nilai EKE di Timur Laut Jawa menunjukkan nilai tertinggi sebesar 0,55
2 -2
m s yang juga terekam pada bulan Agustus dengan kisaran nilai antara 0,05 –
1,05 m2 s-2. Besarnya kekuatan EKE pada Agustus ini disebabkan nilai kecepatan
arus geostropik yang besar pula, seperti yang terlihat pada Gambar 30b. Kekuatan
EKE maksimum di perairan ini terlihat di lokasi sekitar pesisir Kalimantan
dimana kecepatan maksimumnya mencapai > 0,7 m s -1 dengan arah yang tidak
beraturan akibat adanya pembelokan-pembelokan arus saat membentur daratan
dan arus lainnya.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Laut Flores memiliki
kisaran gradien suhu yang relatif homogen (Tabel 4), namun terdapat nilai yang
sedikit lebih mencolok diantara ketiga bulan yang termasuk ke dalam musim ini,
yakni pada bulan Juni dimana kisaran nilai gradien suhu antara -0,20 – -0,10 ºC/m
dan nilai rata-ratanya sebesar -0,5 ºC/m. Gradien suhu pada bulan Juli dan
Agustus menunjukkan nilai yang sama. Sama halnya dengan gradien suhu yang
relatif homogen, kekuatan EKE pada musim ini juga relatif sama setiap bulannya,
hanya saja terdapat nilai yang sedikit lebih besar pada bulan Juni, yaitu berkisar
antara 0,05 – 0,45 m2 s-2 dengan nilai rata-rata sebesar 0,25 m2 s-2. Nilai EKE
maksimum terekam di sekitar pesisir Pulau Flores, dimana lokasi tersebut juga
menunjukkan kecepatan arus geostropik yang relatif besar dari sekitarnya.
Berdasarkan visualisasi selama Musim Timur diperoleh bahwa arah dominan arus
geostropik di laut Flores menuju Tenggara dengan kecepatan > 0,7 m s-1.
Di selatan Selat Makassar terdapat gradien suhu negatif yang cukup
mencolok di lintang 2º  3,5º LS, namun semakin menuju pertengahan dan akhir
periode Musim Timur kenegatifan-nya semakin berkurang. Hal tersebut
dikarenakan adanya distribusi bahang dari selatan Selat Makassar ke Timur Laut
Jawa akibat aliran arus. Gradien suhu negatif paling mencolok ditemukan pada
bulan Juni yaitu berkisar antara -0,90 – -0,05 ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar 0,475 ºC/m. EKE terbesar diperoleh pada bulan Juli dengan kisaran 0,15 – 1,7 m2
s-2 dan nilai rata-rata sebesar 0,925 m2 s-2. Vektor kecepatan arus geostropik
menunjukkan bahwa kecepatan yang terekam dapat mencapai > 0,7 m s -1,
58
terutama pada bulan Juli. Arah arus geostropik dominan menuju utara yaitu selalu
mengarah ke ekuator (Gambar 30b).
Gambar 21. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama
Musim Timur. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: Juni, Juli, Agustus);
(b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke bawah: Juni, Juli,
Agustus)
59
Di perairan tertutup seperti Teluk Bone, diperoleh gradien suhu negatif
paling mencolok dibandingkan perairan lainnya selama Musim Timur. Nilai
kisaran yang menunjukkan gradien suhu paling negatif ditemukan pada bulan
Agustus yakni -1,45 – -0,15 ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar -0,80 ºC/m.
Adapun nilai paling mencolok ditemukan di pedalaman teluk, semakin mendekati
mulut teluk nilai gradien suhu semakin berkurang kenegatifan-nya. Demikian
halnya dengan nilai EKE terbesar yang juga ditemukan pada bulan Agustus
dengan kisaran nilai 0,15 – 1,65 m2 s-2 dan nilai rata-rata sebesar 0,90 m2 s-2. Nilai
EKE maksimum terlihat di lokasi mulut teluk dimana pada lokasi tersebut juga
terekam kecepatan arus geostropik yang relatif besar yakni > 1 m s-1 dengan arah
dominan menuju barat daya dan berbelok ke utara memasuki Selat Makassar.
Gradien suhu negatif juga terlihat cukup mencolok di perairan Laut Banda,
yaitu pada bulan Juni dimana kisaran nilai yang diperoleh sebesar -0,55  -0,05
ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar -0,30 ºC/m. Nilai mencolok tersebut terlihat di
sekitar lintang 2º – 3º LS, akan tetapi saat memasuki bulan Juli dan Agustus nilai
gradien suhu relatif lebih homogen dan memiliki nilai kisaran yang sama. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan adanya pengadukan massa air dari lapisan
dalam hingga ke permukaan oleh proses upwelling sehingga suhu di lapisan
pertama (Z = 1) relatif sama dengan suhu di lapisan bawahnya (Z = 2) yang
mengakibatkan nilai gradien suhu menjadi sangat kecil.
Kekuatan EKE terbesar di Laut Banda ditemukan pada akhir periode
Musim Timur, yaitu pada bulan Agustus dengan nilai berkisar antara 0,05 – 0,90
m2 s-2 dan nilai rata-ratanya sebesar 0,475 m2 s-2. Lokasi ditemukannya nilai EKE
maksimum adalah di sekitar lintang 2º  5,5º LS. Di lokasi tersebut juga di
peroleh kecepatan arus geostropik yang relatif besar yakni mencapai 0,7 m s -1.
Adapun arah arus geostropik terlihat tidak menentu.
Lokasi dimana ditemukannya nilai gradien suhu yang mencolok, baik itu
bernilai negatif ataupun positif biasanya juga terdapat nilai EKE yang relatif kuat.
Hal ini dikarenakan turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan oleh
angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar laut
(Neumann dan Pierson 1966). Pola tersebut terlihat secara kualitatif dari grafik
60
hubungan fluktuasi keduanya (Gambar 31). Faktor lain yang juga mempengaruhi
besarnya EKE adalah interaksi arus dengan batimetri yang dapat membangkitkan
EKE. EKE tertinggi sebenarnya juga sering ditemukan pada daerah yang
berdekatan dengan hambatan utama topografi, seperti yang terjadi di Selat
Makassar dan Mulut Teluk Bone. Hal tersebut menunjukkan pentingnya topografi
dalam stabilitas aliran rata-rata.
Gambar 22. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE
selama Musim Timur di beberapa perairan dalam lokasi penelitian
4.3.4 Musim Peralihan II
Variasi kisaran nilai gradien suhu dan EKE terjadi secara spasial maupun
temporal selama Musim Peralihan II (September, Oktober, dan November).
Gradien suhu paling mencolok di musim ini bernilai negatif yang menjelaskan
bahwa suhu di lapisan permukaan lebih dingin dari lapisan bawahnya. Nilai
kisaran gradien suhu negatif paling mencolok yaitu -1,65 – -0,15 ºC/m dengan
nilai rata-rata sebesar -0,90 ºC/m yang ditemukan pada bulan September di Teluk
Bone, sedangkan nilai EKE paling besar ditemukan di perairan selatan Selat
Makassar pada bulan November dengan kisaran nilai 0,20 – 1,75 m2 s-2 dan nilai
rata-rata sebesar 0,975 m2 s-2 (Tabel 5).
Kisaran gradien suhu di Timur Laut Jawa menunjukkan nilai paling
mencolok pada bulan September yakni -0,30 – 0,05 ºC/m dengan nilai rata-rata
sebesar -0,125 ºC/m. Di bulan yang sama terekam juga nilai EKE terbesar di
61
perairan ini yaitu berkisar antara 0,05 – 0,30 m2 s-2 dengan nilai rata-rata sebesar
0,175 m2 s-2. EKE maksimum terekam di sekitar pesisir Kalimantan yakni pada
lokasi 110º – 112º BT. Lokasi tersebut juga memiliki kecepatan arus geostropik
yang relatif tinggi yakni dapat mencapai nilai maksimum sebesar 0,7 m s-1.
Tabel 4.
Kisaran nilai klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE selama
Musim Peralihan II
September
3 - 7 º LS
Oktober
110 - 116 º BT November
Kisaran
Grad. Suhu
(ºC/m)
-0,30 – 0,05
-0,20 – 0,05
-0,15 – 0,15
2 - 6,5º LS
116 - 120º BT
September
Oktober
November
-0,65 – -0,10
-0,65 – 0,05
-0,45 – 0
0,25 – 1,55
0,10 – 1,05
0,20 – 1,75
Teluk Bone
2,75 - 6,5º LS
120 - 123º BT
September
Oktober
November
-1,65 – -0,15
-1,40 – -0,25
-0,65 – 0
0,05 – 0,95
0,10 – 1,20
0,10 – 1,60
Laut Flores
6,5 - 8,5º LS
118 - 125º BT
September
Oktober
November
-0,10 – -0,20
-0,40  -0,05
-0,35  -0,10
0,05 – 0,40
0,05 – 0,65
0,05 – 0,40
Laut Banda
2 - 8,5º LS
125 - 126º BT
September
Oktober
November
-0,10  -0,05
-0,55 – 0
-0,35  -0,05
0,05 – 0,80
0,15 – 0,65
0,05 – 0,45
No.
Perairan
1.
Timur laut
Jawa
2.
Selatan Selat
Makassar
3.
4.
5.
Cakupan
Wilayah
Bulan
Kisaran EKE
(m2S-2)
0,05 – 0,30
0,05 – 0,25
0,05 – 0,20
Di selatan Selat Makassar, nilai gradien suhu yang paling mencolok
ditemukan pada bulan September dengan kisaran -0,65 – -0,10 ºC/m dan nilai
rata-rata -0,375 ºC/m. namun semakin memasuki akhir periode musim ini
kenegatifan-nya semakin berkurang, hal ini disebabkan adanya distribusi bahang
ke wilayah yang lebih luas sehingga gradien suhu relatif lebih mhomogen dari
bulan-bulan sebelumnya (Gambar 32a). Kekuatan EKE terbesar di perairan ini
diperoleh pada bulan November dengan kisaran 0,20 – 1,75 m2 s-2 dan nilai ratarata sebesar 0,975 m2 s-2. EKE di lokasi ini merupakan EKE terbesar selama
musim Peralihan II jika dibandingkan dengan lokasi perairan lainnya, seperti yang
telah dibahas di awal. Kecepatan rata-rata arus geostropik yang membangkitkan
62
EKE tersebut relatif besar, yakni > 0,1 m s-1 dengan arah dominan selalu menuju
utara (ekuator) (Gambar 32b).
Nilai gradien suhu di perairan Teluk Bone juga menunjukkan variasi setiap
bulannya. Pada bulan September terekam kisaran nilai gradien suhu yang paling
mencolok dibandingkan bulan-bulan lainnya, yakni -1,65 – -0,15 ºC/m dengan
nilai rata-rata sebesar -0,90 ºC/m. Nilai tersebut diketahui sebagai gradien suhu
paling mencolok jika dibandingkan dengan yang terekam di perairan lainnya.
Adapun nilai EKE terbesar ditemukan pada bulan November dengan kisaran nilai
0,10 – 1,60 m2 s-2 dan nilai rata-rata sebesar 0,85 m2 s-2. Di mulut teluk terlihat
adanya kecepatan arus maksimum yakni > 1 m s-1 dimana arah dominan menuju
barat daya lalu berbelok ke utara memasuki Selat Makassar.
Berdasarkan hasil visualisasi gradien suhu selama Musim Peralihan II
(Gambar 32a), terjadi aliran massa air yang memicu perpindahan gradien suhu
permukaan yang lebih dingin dari pedalaman Teluk Bone (pada bulan September)
menuju ke mulut teluk (pada bulan Oktober) dan akhirnya sampai ke perairan
Laut Flores (pada bulan November). Hal tersebut menyebabkan Laut Flores yang
pada awal periode musim ini masih memiliki gradien suhu yang relatif homogen
dan lebih panas menjadi lebih dingin saat memasuki pertengahan dan akhir
periode musim. pada bulan Oktober dan November, nilai gradien suhu mengalami
penurunan secara mendalam terhadap kedalaman dengan kisaran berturut-turut
yaitu -0,40  -0,05 ºC/m dan -0,35  -0,10 ºC/m. Nilai gradien suhu rata-rata pada
kedua bulan tersebut sebesar -0,225 ºC/m. Adapun EKE yang terekam di Laut
Flores mencapai nilai maksimum pada bulan September dan November yakni
sebesar 0,225 m2 s-2 dengan kisaran antara 0,05 – 0,40 m2 s-2.
Di barat Laut Banda gradien suhu paling mencolok berkisar antara -0,55 –
0 ºC/m dengan nilai rata-rata sebesar -0,275 ºC/m dimana nilai tersebut terekam
pada bulan Oktober. Gradien suhu negatif paling mencolok ini terlihat pada
lintang 2º - 3,5º LS, sementara itu, EKE paling besar ditemukan pada bulan
September dengan nilai rata-rata 0,425 m2 s-2 dari kisaran 0,05 – 0,80 m2 s-2,
kemudian kekuatannya perlahan berkurang hingga akhir periode musim ini.
Kecepatan arus geostropik maksimum yang tercatat di perairan ini dapat mencapai
63
> 0,7 m s-1 dengan arah yang tidak menentu, namun secara umum arus geostropik
selalu mengarah ke utara di bagian bumi selatan (mengarah ekuator).
Gambar 23. Klimatologi Gradien suhu dan Energi Kinetik Eddy (EKE) selama
Musim Peralihan II. (a) Gradien suhu (atas ke bawah: September,
Oktober, November); (b) Overlay Arus Geostropik dan EKE (atas ke
bawah: September, Oktober, November)
64
Berbeda dengan pola grafik hubungan gradien suhu dan EKE pada musimmusim sebelumnya, pada musim ini terjadi hubungan positif antara keduanya
dimana meningkatnya nilai gradien suhu diikuti pula dengan meningkatnya nilai
EKE, kecuali di perairan Timur Laut Jawa dan Laut Flores yang masih
menunjukkan hubungan negatif dimana penurunan suhu menyebabkan EKE yang
relatif tinggi (Gambar 33).
Gambar 24. Hubungan nilai rata-rata klimatologi bulanan gradien suhu dan EKE
selama Musim Peralihan II di beberapa perairan dalam lokasi
penelitian
4.4 Variabilitas Klorofil-a
Hasil klimatologi bulanan kandungan klorofil-a hasil rekaman citra
SeaWIFS dalam rentang Januari 1998 sampai Desember 2010 mengalami variasi
nilai sebaran rata-rata baik secara spasial maupun temporal. Berdasarkan variasi
bulanan, kandungan klorofil-a dengan daerah penyebaran paling luas ditemukan
pada bulan Agustus sedangkan kandungan klorofil-a dengan daerah penyebaran
paling sempit ditemukan pada bulan Desember (Lampiran 5). Pada variasi
bulanan, terlihat bahwa secara spasial klorofil-a mulai meningkat sejak bulan
Januari dan mulai berkurang pada bulan Oktober.
Sebaran klorofil-a pada Musim Barat mencapai puncaknya di bulan
Februari. Kandungan klorofil-a relatif tinggi ditemukan di perairan Timur Laut
Jawa dan selatan Selat Makassar seperti yang terlihat pada Gambar 34. Di Timur
65
Laut Jawa, kandungan klorofil-a didominasi oleh nilai 0,1 – 1,25 mg/m3 dimana
nilai kisaran minimum ditemukan di lepas pantai Laut Jawa dan nilai maksimum
ditemukan di dekat pesisir Kalimantan. Di sekitar pesisir Kalimantan ini nilai
dapat mencapai > 7,1 mg/m3, sehingga perlu dilakukan cek lapangan karena
kemungkinan nilai tersebut bukanlah kandungan klorofil-a, tetapi merupakan
pengaruh sedimentasi yang cukup tinggi seperti di pesisir timur Sumatera, pesisir
Kalimantan, dan pesisir Papua (Arsjad et al. 2004).
Nilai kandungan klorofil-a yang mendominasi perairan selatan Selat
Makassar yakni berkisar antara 0,3 – 1,1 mg/m3. Relatif tingginya nilai kandungan
klorofil-a disebabkan banyaknya sungai-sungai di pesisir Kalimantan Timur dan
Sulawesi yang bermuara ke Selat Makassar, sementara itu, kandungan klorofil-a
di Laut Flores dan barat Laut Banda relatif kecil, yaitu didominasi oleh nilai 0,1 –
0,3 mg/m3, hanya di beberapa titik lokasi saja yang nilainya mencapai 1,1 mg/m3
(Gambar 34).
Gambar 25. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m3) pada Musim Barat
(Februari) selama rentang tahun 1998 – 2010
Pada bulan Mei yang mewakili Musim Peralihan I, terlihat adanya
peningkatan kandungan klorofil-a di Timur Laut Jawa yakni 0,3 – 1,5 mg/m3.
Adapun sebaliknya terjadi penurunan kisaran nilai kandungan klorofil-a di selatan
66
Selat Makassar yang pada musim ini di dominasi oleh nilai 0,3 – 0,7 mg/m3. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan pada akhir periode musim ini (Mei) arus telah
mengalami pembalikan arah dari timur menuju barat sehingga klorofil-a dari Selat
Makassar terbawa arus menuju Laut Jawa. Di Laut Flores dan Laut Banda,
kandungan klorofil-a tidak jauh berbeda dengan musim sebelumnya yakni
dominan berkisar antara 0,1 – 0,3 mg/m3 (Gambar 35).
Variasi kandungan klorofil-a di lokasi penelitian juga ditemukan pada
musim Timur. Puncak nilai dan penyebaran klorofil-a ditemukan pada bulan
Agustus. Kandungan dan sebaran klorofil-a pada Musim Timur lebih tinggi
daripada Musim Barat. Seperti halnya pada musim Barat, adanya variasi ini
kemungkinan disebabkan oleh pengaruh musim dan pergerakan massa air, selain
itu ditambah dengan fenomena upwelling yang cukup kuat. Berdasarkan Gambar
35, tingkat penyebaran klorofil-a relatif meluas ke seluruh perairan dibandingkan
dengan musim-musim lainnya. Di Timur Laut Jawa hampir seluruh kawasan
perairannya tersebar klorofil-a dengan nilai > 0,3 mg/m3. Hal tersebut disebabkan
oleh pengaruh upwelling di Laut Banda yang terbawa oleh pergerakan massa air
sampai ke Laut Jawa. Adapun nilai kandungan klorofil-a yang dominan diperoleh
di perairan ini yaitu 0,3 – 2,3 mg/m3, namun semakin mendekati pesisir
Kalimantan kandungan klorofil-a semakin meningkat drastis, sebagaimana yang
terlihat pada bulan-bulan di musim-musim lainnya.
67
Gambar 26. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m3) pada Musim Peralihan I
(Mei) selama rentang tahun 1998 – 2010
Musim Timur juga berperan dalam penyuburan perairan. Indikasi adanya
upwelling di Laut Banda dan Selatan Selat Makassar membuat perairan
disekitarnya menjadi kaya nutrien sehingga memacu pertumbuhan dari
fitoplankton. Hal ini terbukti dengan sebaran kandungan klorofil-a yang semakin
meluas di perairan barat Laut Banda dengan nilai dominan berkisar antara 0,3 –
1,5 mg/m3. Penyuburan juga terjadi di mulut Teluk Bone dan di sekitar pesisir
Sulawesi Selatan dengan kisaran nilai dominan yang sama.
Di selatan Selat Makassar nilai dominan yang terekam yaitu 0,2 – 0,9
3
mg/m dimana nilai kisaran maksimum terlihat di sekitar pesisir Kalimantan
Timur hingga tengah selat. Menurut Ilahude (1978) dalam Prasetyo dan Suwarso
(2010) kandungan klorofil-a di Selat Makassar bagian selatan (daerah pusat
upwelling) pada saat terjadi upwelling (Agustus 1974) berkisar antara 0,4 – 0,7
mg/m3, sedang sebelum terjadinya upwelling (Mei 1975) kandungan klorofil-a
berkisar antara 0,2 – 0,4 mg/m3. Di perairan Laut Flores nilai dominan yang
terlihat yakni 0,1 – 1,5 mg/m3 dimana nilai maksimum terpusat di satu titik lokasi,
yaitu di lintang 6,5º – 7,5º LS (Gambar 36).
68
Gambar 27. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m3) pada Musim Timur
(Agustus) selama rentang tahun 1998 – 2010
Di awal periode Musim Peralihan II mulai terlihat adanya penurunan
kandungan klorofil-a, namun puncak terjadinya penurunan klorofil-a ditemukan
pada bulan November (akhir periode Musim Peralihan II). Di lepas pantai
perairan Timur Laut Jawa terlihat penurunan kandungan klorofil-a dari musim
sebelumnya dengan kisaran nilai dominan 0,1 – 0,7 mg/m3, namun di sekitar
pesisir Kalimantan tetap menunjukkan nilai > 7,1 mg/m 3. Demikian juga yang
terjadi di Laut Banda, nilai kisaran menurun menjadi 0,1 – 0,3 mg/m3. Di selatan
Selat Makassar, nilai kisarannya juga sedikit menurun pada rentang 0,1 – 1,3
mg/m3 dengan daerah sebaran yang lebih sempit karena klorofil-a semakin
terpusat di dekat pesisir Kalimantan Timur (Gambar 37).
69
Gambar 28. Klimatologi bulanan Klorofil-a (mg/m3) pada Musim Peralihan II
(November) selama rentang tahun 1998 – 2010
Umumnya perairan yang bernilai klorofil-a rendah ini adalah perairan laut
lepas yang jauh dari pengaruh daratan, sedangkan di daerah pesisir yang banyak
muara sungai-sungai besar seperti di pesisir Selat Makassar (Arief 2004) dan
Pesisir Kalimantan nilai klorofil-a akan lebih tinggi karena banyak menerima
nutrien dari run-off sungai tersebut. Tingginya kandungan klorofil-a di perairan
dangkal juga disebabkan adanya proses pengadukan massa air sampai ke
permukaan oleh faktor angin (Arief 2004) seperti yang terjadi di Timur Laut
Jawa.
4.5 Indikasi Potensi Upwelling
Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling
melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini adalah sumberdaya neritik,
karena penyebarannya berada di dekat pantai. Di daerah-daerah dimana sering
terjadi kenaikan air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang
sangat besar (Widodo dan Suadi, 2006).
Menurut Nybakken (1988) lebih kurang 90% hasil perikanan dunia
dipanen dari sekitar 2-3 % luasan lautan, dan sebagian besar dari luasan ini adalah
70
daerah upwelling. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah upwelling yang
telah diketahui dan dibuktikan dengan pasti, juga beberapa daerah lainnya yang
masih merupakan dugaan sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Seperti yang
dikemukakan sebelumnya oleh Nontji (2005), bahwa ada empat daerah yang
sudah diketahui secara pasti sering terjadi upwelling yaitu Laut Cina Selatan,
perairan Selatan Jawa hingga Sumbawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Banda
hingga Arafuru.
Wilayah kajian dalam penelitian ini mencakup beberapa daerah lokasi
upwelling yang disebutkan di atas, yaitu selatan Selat Makassar dan Laut Banda
bagian barat. Termasuk juga Laut Sulawesi bagian selatan yang diprediksi sebagai
daerah upwelling. Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan
dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya
lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat hara yang kaya dengan fosfat dan nitrat naik
ke permukaan (Nontji 1993).
Dalam penelitian ini, upwelling dikaji dan diprediksi melalui beberapa
parameter oseanografi, diantaranya SPL, gradien suhu, EKE, dan konsentrasi
klorofil-a. Apabila hasil yang diperoleh positif, selanjutnya dibuktikan dengan
profil suhu vertikal dan fluktuasi lapisan termoklin. Adanya nilai-nilai yang
mencolok dari semua parameter pada lokasi yang sama dapat diindikasikan
sebagai daerah dengan aktivitas upwelling tinggi. Semakin berkurang parameter
yang mendukung maka indikasi potensi upwelling semakin lemah.
4.5.1 Fluktuasi Upwelling
Prediksi daerah potensial upwelling dilakukan berdasarkan beberapa
kriteria, diantaranya ditemukan SPL yang lebih rendah dari daerah sekitarnya,
memiliki gradien suhu negatif yang mencolok dari daerah sekitarnya, adanya EKE
yang cukup kuat, dan relatif tingginya konsentrasi klorofil-a. Hasil analisis secara
kualitatif visual dan kuantitatif data parameter indikator upwelling menunjukkan
adanya nilai yang cukup mencolok untuk keempat parameter tersebut, dimana
pada bulan Juni dan Juli terdapat tiga titik lokasi prediksi sedangkan untuk bulan
Agustus sampai Oktober ditemukan empat titik lokasi prediksi. Lokasi-lokasi
71
tersebut dua diantaranya terdapat di selatan Selat Makassar dan sisanya ditemukan
di Mulut Teluk Bone (Sulawesi Tenggara) dan Timur Laut Jawa.
Tabel 5. Fluktuasi kejadian upwelling di lokasi prediksi
Perairan
Bulan
Jun
Jul
Lokasi A:
Selatan
Selat
Makassar
(bag. Atas)
Agu
Sep
Okt
Jun
Lokasi B:
Selatan
Selat
Makassar
(bag.
Bawah)
Jul
Agu
Sep
Okt
Jun
Lokasi C:
Mulut
Teluk Bone
(Sulawesi
Tenggara)
Jul
Agu
Sep
Okt
Lokasi D:
Perbatasan
Timur Laut
Jun
Jul
Agu
Posisi
2º – 3º LS;
116º – 119,5º BT
2º  3,25º LS;
116º  119,5º BT
2º  4º LS;
116,5º  119,5º BT
2º  3,5º LS;
116,25º  119,5º
BT
2 – 3,5 LS;
116,25º – 119,5º
BT
119º – 120º BT;
5º  6,5º LS
5º  6,5º LS;
119º  120,5º BT
5º  7º LS;
118º  120,5º BT
5  7 LS;
117º  120,5º BT
4,75º – 6,5º LS;
117º – 120º BT
4,75º  6,25º LS;
121º  123º BT
4,75º  6,25º LS;
121º  123º BT
4,25º  7º LS;
120,5º  124º BT
4,75º – 6,25º LS;
121º – 123º BT
4,75º – 6,25º LS;
121º – 123º BT
4,25º  7º LS;
Grad.
Suhu
(ºC/m
)
EKE
(m²s²)
Klorofil-a
(mg/m³)
28,89 – 30,02 -0,305
0,303
0,104 – 6,113
28,51 – 29,55 -0,295
0,320
0,171 – 3,007
28,07 – 29,03 -0,229
0,323
0,180 – 3,260
28,12 – 29,23 -0,241
0,256
0,099 – 1,464
28,24 – 29,36 -0,208
0,438
0,150 – 3,506
27,77 – 28,38 -0,150
0,114
0,156 – 1,876
27,59 -28,07
-0,143
0,133
0,129 – 1,468
27,48 – 28,66 -0,467
0,145
0,179 – 2,227
27,57 – 28,59 -0,485
0,131
0,138 – 1,602
28,33 – 29,10 -0,311
0,091
0,126 – 1,351
27,63 – 29,08 -0,207
0,880
0,154 – 2,335
27,43 – 28,63 -0,117
0,265
0,168 – 2,093
26,26 – 29,08 -0,510
0,316
0,171 – 3,276
26,34 – 28,71 -0,586
0,302
0,071 – 8,482
28,26 – 29,26 -0,646
0,373
0,054 – 0,650
28,18 – 29,02 -0,086
0,004
0,27 – 17,25
SPL
(ºC)
72
Jawa
dengan
selatan
Selat
Makassar
115º  117º BT
4,25º – 7º LS;
Sep
28,18 – 29,02 -0,159 0,010 0,248 – 1,696
115º – 117º BT
4,25º -7º LS;
Okt
28,59 – 29,56 -0,122 0,006 0,090 – 20,45
115º – 117º BT
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa kejadian upwelling mengalami
fluktuasi baik secara spasial maupun temporal. Secara spasial dapat dilihat dari
luasan wilayah yang terkena dampak dan secara temporal dapat dilihat dari
fluktuasi parameter-parameter yang menunjukkan intensitas dari kejadian
upwelling itu sendiri. Variabilitas dan pola penyebaran SPL menunjukkan bahwa
penurunan SPL di lokasi penelitian dimulai pada awal periode Musim Timur,
yaitu bulan Juni yang menjadi awal dari kejadian upwelling. Menurunnya SPL ini
diikuti dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a yang tersebar di seluruh lokasi
penelitian. Kondisi tersebut memuncak pada bulan Agustus dimana ditemukan
SPL paling rendah dan konsentrasi klorofil-a paling tinggi. Selanjutnya kembali
terjadi peningkatan SPL secara bertahap yang diikuti dengan penurunan
konsentrasi klorofil-a. Akhir dari kejadian upwelling diperkirakan terjadi pada
pertengahan Musim Peralihan II yaitu bulan Oktober.
Pada periode awal kejadian upwelling (bulan Juni) ditemukan tiga lokasi
yang diprediksi sebagai daerah upwelling (Gambar 38). Lokasi-lokasi tersebut
terletak pada koordinat2º – 3º LS 116º – 119,5º BT yang selanjutnya kita sebut
lokasi A; 5º  6,5º LS 119º – 120º BT disebut lokasi B, dan lokasi terakhir di
koordinat 4,75º  6,25º LS 121º  123º BT disebut lokasi C.
Spesifikasi perairan di lokasi A pada bulan Juni memiliki SPL yang
berkisar antara 28,89 – 30,02 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 29,24 ºC diikuti
oleh sebaran konsentrasi klorofil-a yang berkisar antara 0,104 – 6,113 mg/m³
dengan kandungan rata-rata sebanyak 0,433 mg/m³. Konsentrasi klorofil-a
maksimum tersebut berpusat di lokasi dengan koordinat 2,543 LS dan 116,36º BT
yang berdekatan dengan pesisir Kalimantan. Prediksi upwelling di lokasi A pada
bulan Juni ini juga diperkuat oleh adanya nilai gradien suhu negatif yang
menjelaskan bahwa terjadi penurunan suhu dengan peningkatan secara mendalam,
yakni suhu di lapisan atas lebih dingin dari lapisan bawahnya. Nilai gradien suhu
yang tercatat yaitu -0,305 ºC/m. Apabila dilihat dari kekuatan Energi Kinetik
73
Eddy (EKE) sebagai indeks untuk melihat daerah subur dimana salah satu
penyebab upwelling adalah adanya arus turbulen yang menyebabkan terangkatnya
massa air dari lapisan lebih dalam ke permukaan, ternyata di lokasi ini juga
tercatat nilai EKE yang lebih besar dari daerah sekitarnya yakni 0,303 m²s-².
Di lokasi B ditemukan kisaran SPL 27,77 – 28,38 ºC dengan nilai rata-rata
sebesar 28,18 ºC, diikuti konsentrasi klorofil-a dengan kisaran nilai 0,156 – 1,876
mg/m³ dan memiliki nilai rata-rata 0,356 mg/m³. Konsentrasi klorofil-a
maksimum berpusat di titik 5,628 LS dan 120,03 BT. Di sekitar lokasi tersebut
juga ditemukan nilai gradien suhu negatif sebesar -0,150 ºC/m dan kekuatan EKE
0,114 m²s-². Di lokasi C SPL berkisar antara 27,63 – 29,08 ºC dengan nilai ratarata sebesar 28,25 ºC, diikuti oleh kandungan klorofil-a yang memiliki nilai
kisaran 0,154 – 2,335 mg/m³ dengan kandungan rata-rata 0,301 mg/m³. Indikasi
upwelling di lokasi ini diperkuat dengan nilai gradien suhu yang menunjukkan 0,207 ºC/m dan EKE relatif tinggi sebesar 0,880 m²s-².
Lokasi A
Lokasi B
Lokasi C
74
Gambar 29. Lokasi Prediksi upwelling berdasarkan parameter indikatornya pada
bulan Juni (atas kiri ke kanan: SPL, gradien suhu; bawah kiri ke
kanan: EKE, klorofil-a)
Pada saat upwelling memuncak, yaitu di bulan Agustus, ditemukan lokasi
baru yang juga diprediksi sebagai daerah upwelling meskipun sangat lemah.
Lokasi tersebut berposisi di Timur Laut Jawa yang disebut lokasi D. Pada bulan
ini lokasi A mencakup batas koordinat 2º  4º LS 116,5º  119,5º BT, lokasi B
mencakup koordinat 5º  7º LS 118º  120,5º BT, lokasi C mencakup koordinat
4,25º  7º LS 120,5º  124º BT, dan lokasi D mencakup koordinat 4,25º  7º LS
115º  117º BT (Gambar 39). Jika dibandingkan dengan awal periode di bulan
Juni, terjadi peluasan daerah prediksi upwelling pada bulan Agustus ini.
Selama bulan Agustus, di lokasi A ditemukan kisaran nilai SPL yaitu
28,07 – 29,03 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 28,54 ºC, diikuti dengan
konsentrasi klorofil-a yang memiliki kisaran nilai relatif tinggi yaitu 0,180 – 3,260
mg/m³ dengan kandungan rata-rata 0,441 mg/m³. Nilai klorofil-a maksimum
diperoleh pada titik lokasi 116,36º BT 3,71º S yang berdekatan dengan pesisir
Kalimantan. Di lokasi ini ditemukan adanya gradien suhu negatif dengan nilai
yang mencolok yaitu -0,229 ºC/m yang diikuti kekuatan EKE sebesar 0,323 m²s-².
Pada lokasi B ditemukan kisaran SPL yang lebih dingin yaitu 27,48 – 28,66 ºC
dengan nilai rata-rata sebesar 27,86 ºC. Akan tetapi rendahnya SPL ini justru
diikuti oleh penurunan kisaran nilai konsentrasi klorofil-a yaitu 0,179 – 2,227
mg/m³ dengan nilai konsentrasi rata-rata 0,404 mg/m³, lokasi ditemukannya
konsentrasi maksimum klorofil-a diketahui berpusat di koordinat 5,628 LS 119,86
BT. Di lokasi B ini ditemukan gradien suhu negatif yang cukup dominan yakni 0,467 ºC/m yang diikuti oleh kekuatan EKE sebesar 0,145 m²s-².
Masih pada puncak kejadian upwelling yakni bulan Agustus, di Lokasi C
terekam SPL dengan kisaran nilai 26,26 – 29,08 ºC dimana nilai rata-ratanya
sebesar 27,96 ºC. Kondisi ini diikuti oleh sebaran konsentrasi klorofil-a 0,171 –
3,276 mg/m³ dengan kandungan rata-rata 0,342 mg/m³ di lokasi tersebut. Nilai
gradien suhu merekam nilai yang paling mencolok, yaitu -0,510 ºC/m yang
didukung oleh nilai EKE 0,316 m²s-² meskipun kekuatannya tidak terlalu besar.
Lokasi prediksi terakhir adalah lokasi D yang sinyalnya baru ditemukan pada
75
puncak kejadian upwelling di tiga lokasi sebelumnya. SPL di lokasi D
menunjukkan kisaran 28,18 – 29,02 ºC dengan nilai rata-rata sebesar 28,46 ºC,
diikuti dengan konsentrasi klorofil-a yang berkisar antara 0,27 – 17,25 mg/m³
dengan nilai kandungan rata-rata relatif tinggi yaitu 0,829 mg/m³. Konsentrasi
maksimum klorofil-a ditemukan di titik lokasi 3,377 LS 114,03 BT yaitu dekat
pesisir Kalimantan. Nilai gradien suhu yang terekam tidak terlalu mencolok yaitu
-0,086 ºC/m karena kekuatan EKE yang terekam juga relatif sangat kecil 0,004
m²s-².
Lokasi A
Lokasi B
Lokasi C
Lokasi D
Gambar 30. Lokasi Prediksi upwelling berdasarkan parameter indikatornya pada
bulan Agustus (atas kiri ke kanan: SPL, gradien suhu; bawah kiri ke
kanan: EKE, klorofil-a)
Pola penyebaran upwelling terlihat jelas mengarah ke selatan untuk lokasi
A dan mengarah ke barat daya untuk lokasi B, C,dan D. Hal tersebut disebabkan
karena sirkulasi massa air pada Musim Timur (Agustus) mengalir dari timur
menuju ke barat, akibat adanya hembusan angin arah arus tersebut sedikit
76
berbelok ke arah barat daya. Rosyadi (2011) dalam Inaku (2011) menyatakan
bahwa di lokasi B penyebaran upwelling mengarah ke barat daya Pulau Sulawesi
sekitar 330 km. Inaku (2011) juga mengemukakan bahwa memuncaknya
fenomena upwelling untuk tahun 2009 terjadi di bulan Agustus dimulai pada
minggu kedua yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya SPL pada minggu
kedua diikuti dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu ketiga.
Penyebaran dan perkembangan area upwelling yang terjadi di bulan
Agustus menunjukkan bahwa penurunan SPL diperkuat dengan ditemukannya
gradien suhu negatif dan kekuatan EKE yang relatif besar yang juga diikuti
peningkatan konsentrasi klorofil-a. Berdasarkan hasil yang diperoleh lokasi
dengan konsentrasi klorofil-a tinggi selalu ditemukan di dekat pesisir Kalimantan.
Hal ini diduga adanya suplai nutrien dari sungai-sungai yang banyak bermuara di
lokasi tersebut, namun nilai konsentrasi yang terlalu tinggi justru dapat
diindikasikan bahwa nilai yang terekam satelit bukanlah konsentrasi klorofil-a
melainkan sedimentasi yang tinggi sehingga perlu dilakukan cek langsung ke
lapangan.
Pada bulan Oktober, daerah prediksi masih ditemukan di empat lokasi
yang sama dengan bulan Agustus namun dengan luasan daerah yang lebih
menyempit, kecuali di lokasi D (Gambar 40). Dampak dari kejadian upwelling di
bulan ini diketahui sangat lemah karena merupakan periode akhir upwelling
(Tabel 6). Menurut Inaku (2011) dalam penelitiannya mengenai fluktuasi
upwelling di selatan Selat Makassar (sekitar lokasi B) pada tahun 2009-2010,
bahwa meningkatnya total luasan daerah yang diindikasikan sebagai area
upwelling untuk tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010 dengan pola
penyebaran mengarah ke barat daya dengan estimasi luasan mencapai ± 46000
km².
77
Lokasi A
Lokasi B
Lokasi C
Lokasi D
Gambar 31. Lokasi Prediksi upwelling berdasarkan parameter indikatornya pada
bulan Oktober (atas kiri ke kanan: SPL, gradien suhu; bawah kiri ke
kanan: EKE, klorofil-a)
Berdasarkan peta penyebaran lokasi upwelling (Nontji 2005) terdapat dua
lokasi prediksi dalam penelitian ini yang berada pada lokasi yang sama, yaitu di
lokasi B dan lokasi C. Dalam peta tersebut dijelaskan bahwa lokasi B adalah
lokasi yang telah diketahui terjadi upwelling sedangkan lokasi C masih
merupakan lokasi prediksi. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang
menyatakan bahwa daerah upwelling di selatan Selat Makassar memiliki kisaran
suhu 26,40 – 27,80 ºC (Diposaptono 2010) dan gradien SPL yang cukup
mencolok atau sekitar >2 °C dengan perairan sekitarnya diikuti penyuburan
kawasan permukaan perairan yang menyebabkan tingginya kandungan klorofil-a
(Silalahi 2013), maka sinyal upwelling yang ditemukan di seluruh lokasi sangatlah
lemah dengan intensitas yang sangat kecil.
78
Tipe upwelling di selatan Selat Makassar merupakan tipe periodik, dimana
upwelling terjadi hanya selama satu musim saja (Illahude 1971) yaitu pada waktu
Musim Tenggara atau Musim Timur (Juni – September) (Diposaptono 2010). Hal
tersebut diduga angin yang berhembus pada musim ini membangkitkan proses
Ekman transpor di sekitar pesisir Sulawessi yang mengakibatkan kekosongan
massa air di permukaan sehingga massa air dari bawah dengan suhu rendah akan
naik ke permukaan. Pada puncak kejadian upwelling (Agustus) terlihat adanya
kenaikan massa air di sekitar lokasi A dan B meskipun terdapat selisih jarak
(Gambar 41). Kecepatan naiknya massa air ini dapat mencapai 0,00014 ms-¹,
dengan daerah cakupan yang cukup terbatas hingga volume air yang naik hanya
sekitar 0,2 juta m³s-¹ (Rosyadi 2011).
Gambar 32. Klimatologi Ekman upwelling (m/s) bulan Agustus (warna semakin
merah (nilai positif) menunjukkan kenaikan massa air)
4.5.2 Lapisan Termoklin
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa kejadian
upwelling dimulai pada bulan Juni dan berakhir pada bulan Oktober, sedangkan
puncaknya terjadi pada bulan Agustus. Kecuali di lokasi D yang sinyalnya baru
terlihat pada bulan Agustus, memuncak pada bulan September, dan berakhir pada
79
bulan Oktober. Untuk mendukung prediksi tersebut maka dilakukan plot profil
suhu secara vertikal beserta fluktuasi lapisan termoklinnya.
Data klimatologi profil suhu vertikal di lokasi A menunjukkan bahwa pada
Musim Barat hingga Peralihan I suhu di lapisan permukaan lebih hangat yakni
berkisar antara 29 – 30 ºC. Kemudian setelah memasuki periode awal Musim
Timur (Juni) mulai terlihat adanya kenaikan massa air dari lapisan kedalaman 5
(35 meter) ke permukaan dengan suhu berkisar 28  29 ºC sehingga terjadi
penurunan SPL. Kondisi tersebut masih terlihat hingga pertengahan Musim
Peralihan II (Gambar 42). Pola yang sama juga dominan ditemukan pada suhu
vertikal bulanan selama periode tahun 1958-2008 yang disajikan pada Lampiran
6.
Gambar 33. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi A (perata-rataan koordinat
2º4º LS dan 116.5º119,5º BT) periode tahun 1958-2008
Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi B menunjukkan pada Musim
Barat nilai SPL relatif hangat, yaiyu berkisar antara 29 – 30 ºC. Kemudian pada
akhir periode Musim Peralihan I (Mei) mulai terlihat adanya kenaikan massa air
dari lapisan kedalaman 5 (35 meter) dengan suhu 28 – 29 ºC. Puncak penurunan
SPL di bulan Agustus dan September karena massa air dari lapisan kedalaman 6
(46 meter) mencapai permukaan, massa air ini memiliki kisaran suhu 27 – 28 ºC,
sementara itu pada bulan Oktober kembali terjadi peningkatan SPL (Gambar 43).
Pola fluktuasi suhu vertikal bulanan di lokasi B dapat dilihat pada Lampiran 6.
80
Gambar 34. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi B (perata-rataan koordinat
5º7º LS dan 117º120,5º BT) periode tahun 1958-2008
Pola fluktuasi klimatologi suhu vertikal di lokasi C hampir sama dengan
lokasi B. di lokasi C juga ditemukan SPL yang lebih hangat pada Musim Barat
hingga pertengahan Musim Peralihan I. Pada akhir periode Musim Peralihan I
(Mei) mulai terdeteksi adanya kenaikan massa air dari lapisan kedalaman 4 (25
meter) ke permukaan dengan suhu berkisar 28 – 29 ºC. Kemudian pada bulan
Agustus ditemukan kenaikan massa air dari lapisan yang lebih dalam, yakni dari
lapisan kedalaman 5 (35 meter) dengan kisaran suhu lebih rendah yaitu 27 – 28
ºC. Di bulan Oktober SPL kembali mulai menghangat (Gambar 44). Fluktuasi
bulanan suhu vertikal dari tahun 1958 hingga 2008 dapat dilihat di Lampiran 6.
Gambar 35. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi C (perata-rataan koordinat
4,25º7º LS dan 120,5º124º BT) periode tahun 1958-2008
81
Di lokasi D ditemukan massa air dengan suhu yang hangat (29 – 30 ºC)
hingga ke lapisan yang cukup dalam pada Musim Barat. Hal tersebut diduga
karena lokasi D ini berada dominan di Timur Laut Jawa yang memiliki lapisan
homogen (mixed layer) yang sangat tebal sesuai dengan karakteristik Laut Jawa
yang merupakan perairan dangkal sehingga proses pengadukan dapat terlihat
hingga ke dasar perairan. Penurunan SPL terjadi mulai bulan Juni (awal Musim
Timur) hingga Oktober (pertengahan Musim Peralihan II) dengan kisaran suhu
menjadi 28 – 29 ºC. Hal ini disebabkan adanya kenaikan massa air dari lapisan 7
(57 meter) ke permukaan (Gambar 45).
Gambar 36. Klimatologi profil suhu vertikal di lokasi D (perata-rataan koordinat
4,25º7º LS dan 115º117º BT) periode tahun 1958-2008
Terjadinya kenaikan massa air ini juga dibuktikan dengan kenaikan
lapisan termoklin. Lapisan termoklin adalah lapisan dimana gradien suhu per
meter lebih dari 0,1 ºC (Ross 1970). Menurut Nontji (1993), pada saat terjadi
penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan
gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari
lapisan dalam naik ke lapisan atas. Penentuan fluktuasi lapisan termoklin
diperoleh dari hasil pendeteksian lapisan massa air dengan isotherm 20 ºC. Nilai
tersebut mengacu pada hasil penelitian Ffield et al. (2000) dalam Umasangaji
(2006) yang menggunakan isotherm 20 ºC untuk mendeteksi lapisan termoklin
pada kondisi normal dan pada kejadian El-Nino 1987.
82
Fluktuasi bulanan lapisan termoklin di lokasi A dari tahun 1958 hingga
2008 secara dominan menunjukkan bahwa pada Musim Barat ditemukan isotherm
20 ºC di kedalaman yang jauh lebih dalam dibandingkan pada Musim Timur. Hal
tersebut diduga merupakan dampak dari kejadian upwelling pada Musim Timur
yang menaikkan lapisan termoklin ke kedalaman yang lebih dangkal. Isotherm 20
ºC paling dalam ditemukan pada Musim Barat hingga Peralihan I (Desember–
Maret) yakni di kedalaman 129 meter (Z = 12), sementara itu, isotherm 20 ºC
paling dangkal ditemukan pada Musim Timur dan awal Musim Peralihan I
(JuniSeptember) di kedalaman 70 meter (Z = 8) (Lampiran 8).
Demikian juga dengan informasi yang diperoleh di lokasi B, C, dan D,
isotherm 20 ºC paling dalam juga dominan ditemukan di Musim Barat hingga
Peralihan I, sedangkan pendangkalan lapisan isotherm 20 ºC terjadi pada Musim
Timur Hingga pertengahan Peralihan II. Di lokasi B, isotherm 20 ºC paling dalam
ditemukan di kedalaman 138,5 meter (Z = 12,5) dan isotherm 20 ºC paling
dangkal ditemukan di kedalaman 89 meter (Z = 9,5). Fluktuasi termoklin di lokasi
C ditunjukkan dengan isotherm 20 ºC paling dalam yang ditemukan di kedalaman
148 meter (Z = 13), sedangkan isotherm 20 ºC paling dangkal ditemukan pada
kedalaman 96 meter (Z = 10). Di lokasi D isotherm 20 ºC paling dalam ditemukan
pada kedalaman 129 meter (Z = 12), sedangkan isotherm 20 ºC paling dangkal di
temukan pada kedalaman 76 meter (Z = 8,5) (Lampiran 8).
Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian Inaku (2011), terutama
untuk lokasi yang berposisi di perairan selatan Selat Makassar (lokasi A dan B),
dimana dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa lapisan termoklin pada
Musim Barat dimulai pada kedalaman 42 meter dengan penurunan suhu mulai
dari 28 ºC, sedangkan untuk Musim Timur data profil suhu pada lokasi upwelling
menunjukkan bahwa lapisan termoklin di bagian selatan Selat Makassar dimulai
pada kedalaman 17 meter dengan penurunan suhu mulai dari 27 ºC dan titik non
upwelling dimulai pada kedalaman 33 meter dengan penurunan suhu mulai 28 ºC.
Dalam penelitian lainnya, Gordon dan Illahude (1996) menemukan bahwa di
lokasi yang sama, lapisan termoklin berada pada kedalaman 60 – 300 meter.
83
4.6 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang
4.6.1 Hubungan SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang
Ikan layang merupakan ikan pelagis kecil yang hidupnya di lapisan
permukaan perairan sehingga fluktuasi SPL sangat mempengaruhi pertumbuhan,
aktifitas
dan
mobilitas
gerakan,
ruaya,
penyebaran
dan
kelimpahan,
penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan, masa inkubasi dan
penetasan telur, serta kelangsungan hidup larva ikan. Perubahan suhu perairan
menjadi di bawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan aktivitas
gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan.
Menurut Laevastu dan Hela (1970) dalam Andrius (2007), ikan layang
biasanyanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu
sebesar 17 ºC. Suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12 – 25 ºC,
sedangkan suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan berkisar
antara 20 -30 ºC.
Dalam penelitian ini, tahap korelasi antara SPL dengan hasil tangkapan
ikan layang tidak dapat dilakukan untuk semua perairan yang termasuk ke dalam
wilayah kajian karena adanya keterbatasan data hasil tangkapan. Data hasil
tangkapan yang tersedia hanya untuk perairan selatan Selat Makassar (wilayah
penangkapan Lumu-lumu, Larilarian, dan Samber Gelap) dan Laut Jawa (wilayah
penangkapan Masalembo, Matasiri, dan Bawean). Data perikanan yang diperoleh
di selatan Selat Makassar merupakan data hasil tangkapan perbulan selama tahun
2006-2007, sedangkan data perikanan di Laut Jawa adalah data hasil tangkapan
bulanan tahun 1996-1997 selama Musim Timur (Juni, Juli, Agustus) dan Musim
Peralihan II (September, Oktober, November).
Hasil overlay SPL dengan tangkapan ikan layang di selatan Selat
Makassar tahun 2006-2007 memperlihatkan adanya korelasi positif dimana
kenaikan SPL akan diikuti peningkatan hasil tangkapan ikan, begitupun
sebaliknya (Gambar 46). Hubungan keduanya ditunjukkan oleh nilai r=0,182.
Menurut interpretasi kekuatan hubungan hasil korelasi Pearson (Kuncoro dan
Riduwan 2007), nilai r yang diperoleh menunjukkan korelasi linear positif sangat
rendah. Dari grafik terlihat bahwa puncak hasil tangkapan ikan layang terjadi pada
bulan November-Januari, hal ini sejalan dengan pernyataan Prasetyo dan Suwarso
84
(2010) yang juga mengatakan musim puncak penangkapan terjadi pada periode
November – Januari, sedangkan musim paceklik penangkapan ikan layang
diketahui pada bulan Maret – Mei. Hal tersebut diduga disebabkan perubahan
kondisi SPL yang semakin hangat.
Gambar 37. Grafik fluktuasi SPL bulanan dengan hasil tangkapan ikan Layang di
selatan Selat Makassar pada tahun 2006-2007 (Sumber: PPN
Pekalongan dalam Prasetyo dan Suwarso 2010)
Berdasarkan Gambar 46, Hasil tangkapan ikan layang tertinggi di selatan
Selat Makassar diperoleh pada bulan Desember, baik pada tahun 2006 maupun
2007. Tingginya hasil tangkapan didukung oleh kondisi SPL yang relatif hangat,
hal ini sesuai dengan pernyataan Astuti (1999) bahwa ikan layang tidak menyukai
perairan dengan suhu dan salinitas yang rendah. Pada bulan Desember 2006 nilai
SPL rata-rata yang terekam yakni 29,29 ºC, diikuti hasil tangkapan yang tinggi
yaitu sebanyak 10.941,08 Kg/bulan. Pada Desember 2007 terjadi peningkatan
hasil tangkapan yang cukup besar yaitu sebanyak 20.983,13 Kg/bulan dengan
nilai SPL rata-rata sebesar 29,21 ºC.
Hasil tangkapan terendah di tahun 2006 ditemukan pada bulan September
yaitu 169,88 Kg/bulan dengan nilai SPL rata-rata sebesar 28,27 ºC, sedangkan
pada tahun 2007 hasil tangkapan terendah diperoleh di bulan Juni yaitu sebanyak
1.400,34 Kg/bulan dengan SPL rata-rata sebesar 29,04 ºC. Apabila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, hasil tangkapan terendah pada tahun 2007 jauh lebih
85
tinggi daripada tahun 2006. Selain karena faktor SPL, faktor lain yang juga
mempengaruhi jumlah tangkapan adalah faktor antropogenik seperti kemampuan
penangkapan dan kapasitas penangkapan.
Terkait dengan musim penangkapan ikan di Laut Jawa, musim puncak
ikan layang di Selat Makassar lebih lambat sekitar dua bulan dibanding musim
puncak kelimpahan di Laut Jawa (perairan sekitar Kepulauan Masalembo dan
Matasiri) yang berlangsung pada Musim Peralihan II (September – November)
dimana penangkapan banyak dilakukan di perairan sekitar Masalembo dan
Matasiri (Potier dan Sadhotomo 2003 dalam Prasetyo dan Suwarso 2010).
Berbeda dengan hasil korelasi Pearson di selatan Selat Makassar, hasil
korelasi antara SPL dengan hasil tangkapan di Laut Jawa selama Musim Timur
dan Peralihan II menunjukkan hubungan negatif, yaitu apabila nilai SPL menurun
akan diikuti dengan peningkatan hasil tangkapan ikan layang, begitupun
sebaliknya. Dari hasil korelasi diperoleh nilai r=-0,440 yang menyatakan bahwa
terdapat korelasi linear negatif agak rendah antara keduanya (Kuncoro dan
Riduwan 2007)
Gambar 38. Grafik fluktuasi SPL bulanan dengan hasil tangkapan ikan Layang di
Laut Jawa selama Musim Timur dan Musim Peralihan II tahun 19961997 (Sumber: PPN Pekalongan dalam Astuti 1999)
86
Berdasarkan Gambar 47, puncak musim ikan layang pada tahun 1996
diperoleh pada bulan Oktober dengan jumlah tangkapan sebanyak 4664635
Kg/bulan. Kondisi SPL pada bulan tersebut relatif hangat yakni 29,26 ºC.
Demikian pula hasil tangkapan tertinggi yang diperoleh pada bulan November
tahun 1997 dengan jumlah tangkapan sebanyak 7.233.507 Kg/bulan juga diikuti
kondisi SPL yang relatif hangat yakni 29,27 ºC. Dalam penelitiannya, Prasetyo
dan Suwarso (2010) sedikit mengulas tentang puncak kelimpahan ikan layang di
Laut Jawa yang ditemukan pada Musim Peralihan II (September – November).
Hal ini sesuai dengan data hasil tangkapan yang juga mencapai nilai tertinggi pada
bulan Oktober dan November. Andrius (2007) juga meyatakan bahwa puncak
produksi ikan Layang di Laut Jawa terjadi dua kali dalam setahun yaitu sekitar
bulan Januari – Maret dan Juli – September, kondisi ini dapat berubah maju atau
mundur sesuai dengan perubahan musim di Indonesia.
Hasil tangkapan terendah di Laut Jawa pada tahun 1996 dan 1997
ditemukan di bulan Juni. Jumlah tangkapan ikan layang pada bulan Juni 1996
sebanyak 1.869.998 Kg/bulan dengan kondisi SPL rata-rata yaitu 29,03 ºC,
sedangkan pada bulan Juni tahun 1997 jumlah tangkapan mengalami penurunan
menjadi 1.141.565 Kg/bulan dimana kondisi SPL rata-rata sebesar 29,06 ºC
(Gambar 47). Rendahnya hasil tangkapan pada bulan Juni ini diduga karena
populasi ikan layang yang berasal dari Laut Flores dan Selat Makassar belum
beruaya sepenuhnya ke perairan Laut Jawa, hal ini disebabkan bulan Juni
merupakan awal periode Musim Timur sehingga seiring dengan perkembangan
pola arus, populasi ikan layang tersebut diduga baru beruaya ke perairan terdekat
dulu, walaupun variasi sebaran SPL sesuai (Astuti 2010). Melihat dari kondisi
SPL rata-rata yang diikuti dengan tingginya hasil tangkapan ikan, maka dapat
disimpulkan bahwa suhu yang optimum untuk daerah penangkapan ikan layang
yaitu sekitar 29 ºC.
4.6.2 Hubungan Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan Ikan Layang
Salah satu indikator tingkat kesuburan suatu perairan adalah konsentrasi
klorofil-a. Klorofil-a merupakan pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan
terdapat di seluruh organisme fitoplankton (Nybakken 1992 dalam Astuti 2008).
87
Menurut Asikin 1971 dalam Andrius (2007), migrasi ikan layang dipengaruhi
secara langsung oleh migrasi massal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh
zooplankton. Biasanya pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton
keberadaan ikan sangat melimpah.
Dalam sub bab ini, korelasi antara konsentrasi klorofil-a dengan hasil
tangkapan ikan layang hanya dilakukan untuk lokasi perairan selatan Selat
Makassar. Hal ini dikarenakan keterbatasan data perikanan dan klorofil-a. Data
klorofil-a hasil rekaman citra SeaWIFS tahun 1996-1997 yang sesuai dengan data
perikanan di Laut Jawa belum tersedia.
Hasil korelasi antara konsentrasi klorofil-a bulanan dengan jumlah
tangkapan ikan layang di selatan Selat Makassar selama 2006-2007 menunjukkan
adanya hubungan negatif. Hal ini dibuktikan dengan nilai korelasi Pearson yaitu
r=-0,229 yang menjelaskan bahwa terdapat korelasi linier negatif rendah antara
keduanya. Hasil korelasi justru menunjukkan apabila terjadi peningkatan
konsentrasi klorofil-a maka akan diikuti oleh penurunan hasil tangkapan ikan.
Berdasarkan Gambar 48, konsentrasi klorofil-a tertinggi terjadi pada periode
Februari – April setiap tahunnya, dimana puncaknya terjadi pada bulan Maret.
Puncak konsentrasi klorofil-a pada bulan Maret tahun 2006 dan 2007 berturutturut sebesar 0,756 mg/m³ dan 0,688 mg/m³. Hal tersebut tidak sesuai dengan
periode terjadinya puncak kelimpahan ikan yang ditemukan pada November –
Januari. Jumlah hasil tangkapan ikan pada Maret 2006 sebanyak 1.206,7
Kg/bulan, sedangkan pada Maret 2007 sebanyak 4.418,6 Kg/bulan. Konsentrasi
klorofil-a terendah pada tahun 2006 ditemukan di bulan Desember dengan nilai
sebesar 0,258 mg/m³, sedangkan tahun 2007 klorofil-a terendah ditemukan pada
bulan November dengan konsentrasi sebesar 0,278 mg/m³.
88
Gambar 39. Grafik Hubungan Kandungan Klorofil-a bulanan dengan hasil
tangkapan ikan Layang di selatan Selat Makassar pada tahun 20062007 (Sumber: PPN Pekalongan dalam Prasetyo dan Suwarso 2010)
Kondisi yang berkebalikan dengan teori yang dikemukakan sebelumnya
mengenai tingginya konsentrasi klorofil-a yang selalu diikuti dengan kelimpahan
ikan ini diduga berkaitan dengan suhu optimal bagi ikan layang yang cenderung
hangat, yaitu sekitar 29 ºC. Konsentrasi klorofil-a biasanya lebih banyak
ditemukan di perairan yang suhunya lebih rendah, seperti di daerah upwelling.
Faktor lain yang juga diduga sebagai penyebab korelasi bernilai negatif adalah
adanya selang waktu (time lag) antara kelimpahan konsentrasi klorofil-a dengan
kelimpahan populasi ikan yang dibutuhkan ikan untuk melakukan migrasi
mencapai lokasi yang subur dan proses makan.
4.7 Prediksi Daerah Penangkapan Potensial Ikan Layang
Penyebaran ikan Layang hampir di seluruh perairan Indonesia, namun
potensi yang dimiliki sangat berbeda menurut wilayah penyebarannya. Jenis ikan
ini tergolong stenohaline, hidup di perairan dengan salinitas relatif tinggi (32 – 34
‰) dengan kisaran yang sempit, dan menyukai perairan yang jernih (Amri 2002).
Suhu optimum ikan Layang berkisar antara 20 – 30 ºC (Laevastu dan Hela 1997;
Amri 2002 dalam Hamka 2012). Menurut Nontji (1993) dalam Andrius (2007),
89
kelimpahan ikan Layang di Laut Jawa selama Musim Timur dapat saja dipicu oleh
proses upwelling di bagian selatan Selat Makassar yang membawa kelimpahan
plankton yang tinggi, proses upwelling ini disebabkan adanya pertemuan arus dari
Selat Makassar dan Laut Flores yang bergabung kuat dan menjadi satu menuju
Laut Jawa. Pola arus juga berperan secara tidak langsung dalam migrasi ikan
Layang, karena sebenarnya arus membawa massa air laut dengan suhu dan kadar
salinitas tertentu yang cocok dengan ikan Layang.
Sesuai teori yang menyatakan bahwa kelimpahan ikan Layang disebabkan
oleh proses upwelling dan pola migrasinya, maka prediksi daerah potensial
penangkapan ikan yang dilakukan dalam penelitian ini didasari oleh kedua
parameter tersebut. Dalam hasil pembahasan sebelumnya ditemukan empat daerah
prediksi upwelling pada Musim Timur hingga pertengahan Peralihan II. Daerahdaerah tersebut diduga sebagai lokasi yang sangat sesuai untuk melakukan
penangkapan karena memiliki tingkat kesuburan yang relatif tinggi dan suhu yang
berada dalam kisaran suhu optimum ikan Layang. Pada lokasi prediksi upwelling
juga ditemukan EKE cukup kuat yang menunjukkan besarnya potensi arus
turbulen yang menyebabkan terangkatnya massa air dari lapisan lebih dalam ke
permukaan dengan salinitas tinggi yang disukai ikan Layang.
Berikut disajikan dalam Tabel 7 posisi dan estimasi luasan wilayah yang
diindikasi sebagai lokasi upwelling dan diprediksi sebagai daerah penangkapan
ikan yang potensial.
Tabel 6.
Posisi dan estimasi luasan daerah upwelling sebagai daerah
penangkapan ikan potensial
Perairan
Bulan
Jun
Lokasi A:
Selatan Selat
Makassar (bag. Atas)
Jul
Agu
Sep
Okt
Posisi
2º – 3º LS;
116º – 119,5º BT
2º  3,25º LS;
116º  119,5º BT
2º  4º LS;
116,5º  119,5º BT
2º  3,5º LS;
116,25º  119,5º BT
2 – 3,5 LS;
Estimasi
Luasan (Km²)
43123,5
53904,375
73926
60064,875
60064,875
90
Jun
Lokasi B:
Selatan Selat
Makassar (bag.
Bawah)
Jul
Agu
Sep
Okt
Jun
Jul
Lokasi C:
Mulut Teluk Bone
(Sulawesi Tenggara)
Agu
Sep
Okt
Lokasi D:
Perbatasan Timur
Laut Jawa dengan
selatan Selat
Makassar
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
116,25º – 119,5º BT
5º  6,5º LS;
119º – 120º BT
5º  6,5º LS;
119º  120,5º BT
5º  7º LS;
118º  120,5º BT
5  7 LS;
117º  120,5º BT
4,75º – 6,5º LS;
117º – 120º BT
4,75º  6,25º LS;
121º  123º BT
4,75º  6,25º LS;
121º  123º BT
4,25º  7º LS;
120,5º  124º BT
4,75º – 6,25º LS;
121º – 123º BT
4,75º – 6,25º LS;
121º – 123º BT
4,25º  7º LS;
115º  117º BT
4,25º – 7º LS;
115º – 117º BT
4,25º -7º LS;
115º – 117º BT
18481,5
27722,25
61605
86247
64685,25
36963
36963
118589,6
36963
36963
67765,5
67765,5
67765,5
Berdasarkan Tabel 6, di lokasi A diketahui cakupan wilayah upwelling
terluas diperoleh pada bulan Agustus dengan estimasi luasan ± 73926 Km²,
sedangkan cakupan wilayah paling kecil diperoleh pada bulan Juni dengan
estimasi luasan ± 43123,5 Km². Di lokasi B estimasi luasan wilayah terluas
diperoleh pada bulan September dengan area ± 86247 Km² dan estimasi luasan
paling kecil ditemukan pada bulan Juni ± 18481,5 Km². Di lokasi C estimasi
luasan terluas ditemukan pada bulan Agustus yakni ± 118589,6 Km², sedangkan
estimasi luasan yang kecil ditemukan pada bulan lainnya ditemukan luasan yang
lebih kecil dengan nilai yang sama yakni ± 36963 Km². Di lokasi D ditemukan
luasan wilayah yang sama pada setiap bulannya selama Agustus – Oktober
91
dengan estimasi ± 67765,5 Km². Dari keseluruhan lokasi yang diprediksi sebagai
daerah upwelling, lokasi yang memiliki estimasi luasan paling besar yaitu lokasi C
pada bulan Agustus, sedangkan lokasi dengan estimasi luasan paling sempit
ditemukan di lokasi B pada bulan Juni.
Keberadaan daerah upwelling ini tentunya mempengaruhi pergerakan ikan
layang di perairan, hal ini terkait dengan habitat hidup, lokasi mencari makan, dan
migrasi (Hamka 2012). Ruaya (migrasi) adalah kegiatan pergerakan ikan dengan
alasan tertentu, dengan jarak yang dekat maupun jauh dari daerah habitat asal
menuju suatu daerah perairan yang cocok oseanografinya dengan kondisi biologis
ikan tersebut. Selama Musim Peralihan I hingga Musim Timur anakan ikan
Layang (immature) yang berasal dari habitatnya di Laut Flores dan Selat
Makassar bergerak ke barat menuju ke Laut Jawa. Di sekitar pulau Bawean ikan
Layang telah menjadi dewasa dan meneruskan migrasi ke barat melalui selat
Gaspar dan Selat Sunda untuk kembali ke habitat asal (Asikin 1971; Burhanudin
dan Djamali 1978 dalam Andrius 2007).
Indikasi ruaya ikan layang diketahui berdasarkan analisis eksploratori
terhadap serial data komposisi ukuran selama 1991-1993, Potier & Sadhotomo
(2003) dalam Prasetyo dan Suwarso (2010) menunjukkan pergeseran ukuran ikan
layang, dimana semakin ke arah timur (Selat Makassar) ukurannya semakin besar.
Sejak tahun 1984 diketahui bahwa daerah penangkapan perikanan pelagis
berkembang ke bagian selatan dari Laut Cina Selatan, Lumu-lumu dan Kepulauan
Lari-larian di Selat Makassar (Atmaja & Sadhotomo 1985; Boely et al. 1987;
Potier et al. 1988; Atmaja et al. 2003 dalam Prasetyo dan Suwarso 2010). Dugaan
pergerakan ikan layang dengan tujuan pemijahan dari Laut Jawa menuju perairan
Selat Makassar didukung oleh penelitian Delsman (1926) dalam Prasetyo dan
Suwarso (2010) yang menemukan telur dan larva dari Decapterus russelli di
perairan Bawean pada bulan April-Mei, dan di perairan Madura pada bulan
Oktober-November.
Burhanuddin et al. (1983) memprediksikan secara khusus alur ruaya
(migrasi) ikan Layang ke dalam suatu peta migrasi ikan Layang. Alur migrasi
yang terjadi pada Musim Timur dapat dilihat pada Gambar 49. Jalur dan pola
92
migrasi ikan Layang pada Musim Timur ini sesuai dengan arah pergerakan arus
permukaan yang dominan mengalir dari timur ke barat perairan Indonesia.
Gambar 40. Migrasi ikan Layang pada Musim Timur bulan Juli – September
(Sumber: Burhanuddin et al. 1983)
Download