Bab II GUGUS GALAKSI Identifikasi gugus galaksi yang dilakukan secara saintifik dimulai pada abad ke-18, ketika untuk pertama kalinya katalog nebula dikeluarkan oleh C. Messier dan William Herschel secara terpisah (Biviano, 2000). Gugus galaksi dideteksi secara visual sebagai daerah dengan kerapatan galaksi yang lebih terkonsentrasi daripada medan langit. Deteksi gugus galaksi yang dilakukan saat ini tidak hanya terbatas pada pemeriksaan secara visual saja namun sudah mencakup inspeksi pada panjang gelombang sinar-X, dimana daerah gugus didapati sebagai sumber pemancar sinar-X yang membentang, serta pemeriksaan terhadap shear lensa gravitasi yang menunjukkan bahwa daerah gugus merupakan puncak dari shear field. Gugus galaksi merupakan sistem galaksi di mana galaksi-galaksi berkumpul dan terikat oleh gravitasi diri gugus. Gugus galaksi memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik masing-masing galaksi penyusunnya sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Karena itu pada bab berikut akan diulas mengenai karakteristik gugus galaksi sebagai sistem galaksi. II.1 Properti Gugus Galaksi Salah satu katalog gugus yang banyak dipakai adalah katalog gugus yang disusun oleh Abell pada tahun 1958. Pengelompokan dilakukan dengan cara pemeriksaan plat foto visual. Pengelompokan gugus dilakukan berdasar pada kriteria yang digunakan oleh Abell, Corwin, dan Olowin (Abell, Corwin, Olowin, 1989) untuk mengidentifikasi 4073 gugus galaksi. Kriteria tersebut adalah : 1. Richness (R). Kriteria Richness memberikan informasi tentang seberapa banyak jumlah galaksi yang masuk sebagai anggota gugus galaksi bersangkutan. Jumlah galaksi yang 4 dihitung adalah galaksi yang memiliki kecerlangan antara magnitudo galaksi terterang ketiga (m3) dalam gugus sampai dua magnitudo lebih redup pada m3 (N(m ≤ m3 + 2)) . Pemilihan magnitudo terterang ketiga sampai dua magnitudo lebih redup diambil dengan harapan diperolehnya gambaran tentang richness gugus yang lebih adil. Gugus paling tidak memiliki 30 galaksi dengan magnitudo sama dengan magnitudo anggota gugus terterang ketiga sampai 2 magnitudo lebih redup. Richness class dibagi menjadi 6 kelas dengan jumlah anggota gugus yang makin banyak dengan besarnya angka kelas. 2. Compactness. Jumlah galaksi yang berada dalam radius Abell (RA) 1.5 h-1 Mpc, yang memperlihatkan kompak atau tidaknya sebaran galaksi dalam sebuah gugus. Galaksigalaksi yang dihitung untuk menentukan kelas richness adalah galaksi yang berada dalam radius Abell dari pusat gugus. 3. Kriteria jarak. Katalog gugus Abell berasal dari studi yang dilakukan dengan menggunakan teleskop UK Schmidt 48 inchi. Keterbatasan plat membuat Abell menentukan batas bawah jarak gugus yang diamati dari apakah bentangan gugus yang dipotret dalam plat melebihi ukuran plat tersebut. Dari pemilihan di atas gugus Abell memiliki redshift terendah 0.02. Sementara batas atas ditentukan oleh galaksi teredup yang dapat diamati yakni yang memiliki magnitudo 20, sehingga batas magnitudo ketiga yang dapat diamati adalah 17.5. Gugus Abell terbatas hanya sampai redshift 0.2 saja, padahal terdapat banyak gugus yang ditemukan berada pada redshift yang lebih jauh lagi. Dari pengamatan beberapa gugus didapati bahwa redshift gugus memiliki hubungan dengan magnitudo semu anggota terterang kesepuluh dalam gugus artinya semakin besar redshift gugus maka semakin redup m10 yang dimilikinya. Sampel pada tabel II.1 lengkap (complete) untuk langit belahan utara. Kelengkapan sampel didasarkan pada adanya sampel gugus dari kelas jarak 1–6 dan kelas richness 0–5. Densitas ruang dari gugus Abell untuk kelas richness lebih besar sama dengan 1 (R ≥ 1) adalah Ncl ((R ≥ 1) = 10-5 h3 Mpc-3. Dengan demikian jarak antar gugus dapat diestimasi dengan asumsi dalam volum ruang sebesar 1000 Mpc3 5 terdapat 1 buah gugus, maka jarak rata-rata antar pusat gugus adalah sekitar ~ 50 h-1 Mpc. Tabel II.1 Kriteria pengelompokkan gugus (Abell, 1958) Richness Class (R) N (Jumlah Jumlah gugus untuk a Galaksi) sampel lengkap (0)a 30 – 49 ( 103 ≤ ) 1 50 – 79 1224 2 80 – 129 383 3 130 – 199 68 4 200 -299 6 5 300 ≤ 1 sampel tidak lengkap untuk kelas Richness 0. Jarak ( D ) ‹ zest › Ncl (1 ≤ R) 1 0.0283 9 2 0.0400 2 3 0.0577 33 4 0.0787 60 5 0.131 657 6 0.198 921 ‹ zest › = perkiraan redshift rata-rata dari magnitudo semu galaksi terang kesepuluh Ncl = jumlah gugus 6 Gambar II.1 : Gugus Abell 1689 dan 68 . Sumber : www.folk.uio.no Gambar II.1 adalah gambar contoh dua gugus Abell dengan kelas jarak sama yakni z = 0.22 dan kelas richness berbeda. Gambar kiri adalah gugus Abell 1689, R = 4 memiliki 200–299 galaksi, kanan adalah Abell 68 R = 1, memiliki 50–79 galaksi. Selain klasifikasi Abell, kedua gugus di atas juga terdaftar dalam katalog lainnya. Diantara katalog gugus lain adalah yang disusun oleh Zwicky yang dikenal dengan Catalogue of Galaxies and Clusters of Galaxies (CGCG) (Zwicky, 19611968), kelemahan katalog ini adalah ukuran gugus bergantung pada jarak gugus tersebut. Hal ini muncul karena gugus didefinisikan dalam daerah dengan kerapatan dua kali kerapatan medan, artinya sebuah gugus yang mungkin memiliki anggota gugus yang sama banyak dengan gugus lain memiliki ukuran yang lebih besar atau kecil bergantung pada ukuran kontur daerah dua kali rapat medan. Klasifikasi lainnya yang memiliki kriteria yang lebih rinci adalah klasifikasi Bautz–Morgan. Klasifikasi ini didasarkan pada bentangan gugus dan jenis galaksi apa yang mendominasi gugus tersebut (Bautz dan Morgan, 1970). Gugus tipe I BautzMorgan adalah gugus yang memiliki satu galaksi cD di bagian pusat . Tipe II memiliki galaksi pusat pertengahan antara bentuk cD dengan galaksi ellips raksasa, sementara pada tipe III gugus Bautz-Morgan tidak didapati galaksi yang dominan yang membentuk pusat gugus. Klasifikasi berikutnya adalah klasifikasi yang disusun Rood dan Sastry (RS) yang didasarkan pada distribusi dari sepuluh anggota terterang dalam gugus (Rood dan Sastry, 1971). Kelas (RS) dibedakan menjadi cD, binary (B), 7 Core (C), Line (L), Flat (F), dan Irregular (I)). Deskripsi untuk masing-masing kelasnya adalah sebagai berikut : Kelas cD : gugusnya didominasi galaksi cD di bagian pusatnya (contoh : A2199) Kelas B : bagian pusat didominasi oleh dua galaksi yang terang (contoh : A1656) Kelas L : sekurang-kurangnya tiga buah galaksi nampak dalam satu garis lurus (contoh : A426) Kelas C : nampak empat sampai sepuluh buah galaksi anggota yang paling terang membentuk pusat gugus (contoh : A2065) Kelas F : galaksi-galaksi terang membentuk distribusi yang rata (contoh: A2151) Kelas I : distribusi galaksi –galaksi paling terang tidak teratur (contoh: A400). Sama seperti urutan dalam diagram garpu tala Hubble di mana terdapat urutan keteraturan dimana kelas cD–B adalah kelas gugus dengan bentuk teratur (regular) menuju ke kelas yang agak teratur , kelas L–C , sampai dengan kelas tidak teratur (irregular) yakni kelas F–I. Klasifikasi selanjutnya adalah klasifikasi Morgan dan Oemler yang membagi gugus berdasarkan isi dari galaksi-galaksi yang ada di dalamnya. Kriterianya adalah seberapa besar fraksi dari anggota gugus yang berupa galaksi spiral (Sp), galaksi disk tanpa struktur spiral (S0) dan galaksi ellips (Es). Morgan membagi menjadi dua kelas yakni kelas i jika fraksi galaksi spiral dan tipe ii jika galaksi spiral sedikit (Morgan, 1966). Oemler membuat klasifikasi yang lebih halus yakni gugus kaya spiral (spiral rich) jika didominasi oleh galaksi spiral, kemudian gugus miskin spiral (poor-spiral cluster) jika didominasi oleh galaksi S0 dan yang terakhir adalah gugus cD yang memiliki galaksi cD di bagian pusat gugus dan didominasi oleh galaksi ellips (Oemler, 1974). Dua katalog yang terakhir memperhatikan tampakan fisis galaksi anggota gugus sebagai kriteria klasifikasi, berbeda dengan kriteria yang digunakan oleh Abell yang lebih didasarkan pada jumlah galaksi. Namun dalam banyak hal kriteria masingmasing katalog dapat dihubungsilangkan, misalnya sebuah gugus yang masuk dalam 8 kriteria kelas richness 6 dalam klasifikasi Abell biasanya masuk dalam kelas I klasifikasi Bautz-Morgan dan klasifikasi Rood-Sastry yang memiliki galaksi pembentuk pusat gugus. Biasanya gugus yang menempati indeks I pada katalog Bautz–Morgan yang berarti memiliki galaksi cD memiliki richness yang tinggi dalam katalog Abell dengan bentuk yang nampak lebih simetrik. Tabel II.2 Klasifikasi gugus dan karakteristiknya (Bahcall, 1996) Properti Tipe regular / Intermediate Tipe Irregular/ early type late type Klasifikasi Zwicky Kompak Cukup kompak Terbuka I, I – II, II (II), II III (II – III), III Cd, B, (L, C) (L), (F), ( C) (F), I Simetrik Simetrik Intermediate Tidak beraturan Konsentrasi pusat Tinggi Sedang Rendah Galaksi penyusun Kaya ellips Miskin spiral Kaya spiral Fraksi Ellips 35% 20% 15% Fraksi S0 45% 50% 35% E : S0 : Sp 3:4:2 2:5:3 1:2:3 Emisi radio ~ 50% terdeteksi ~ 50% terdeteksi ~ 25% terdeteksi Luminositas Tinggi Sedang Rendah A401, Coma A194 A1228, Virgo Klasifiaksi BautzMorgan (BM) Klasifikasi RoodSastry (RS) Fraksi spiral daerah X-ray Contoh Gugus regular memiliki bentuk yang lebih simetrik dengan konsentrasi galaksi yang lebih tinggi di bagian inti gugus. Jarang atau tidak terdapat struktur sub gugus (subclustering) yang dideteksi dalam gugus ini. Hal ini menunjukkan bahwa gugus regular telah berevolusi lebih lanjut secara dinamik dibandingkan dengan 9 gugus yang iregular. Gugus iregular memiliki struktur yang lebih tidak simetrik di mana konsentrasi gugus di bagian pusat lebih rendah dibandingkan dengan gugus regular. Lebih sering ditemukannya subgugus dalam gugus ini menunjukkan bahwa sedang terjadi proses relaksasi dari bentuk dini gugus menuju bentuk yang lebih teratur. Nampaknya ada suatu korelasi antara keteraturan gugus dengan isi galaksi penyusunnya serta simetri bentuk. Walaupun demikian bukan berarti bahwa gugus dengan kelas richness lebih tinggi adalah gugus regular atau sebaliknya bahwa gugus dengan richness lebih rendah adalah gugus iregular. Gugus regular didapati lebih rapat sedangkan gugus iregular sebaliknya. Keteraturan atau tidak dari sebuah gugus hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan dinamika internal dalam gugus tersebut yang meliputi distribusi materi dalam gugus. Selain gugus galaksi juga terdapat asosiasi galaksi dengan konsentrasi yang lebih rendah. Asosiasi ini dikenal dengan grup galaksi. Perbedaan yang mencolok antara gugus dengan grup adalah pada jumlah galaksi dimana gugus memiliki anggota yang lebih banyak dibandingkan dengan grup. Gambar II.1 menunjukkan contoh gambar dari gugus galaksi dengan kelas richness yang sama namun berada pada dengan anggota yang jauh lebih sedikit dari kelas jarak yang berbeda. Gambar II.2 menunjukkan gambar grup dengan anggota yang lebih sedikit dari gugus galaksi pada gambar II.1. Perbedaan lain adalah evolusi terinci yang dialami oleh masingmasing galaksi anggota yang berada dalam lingkungan gugus yang lebih rapat daripada lingkungan grup. Hal ini terbukti salah satunya dengan hanya didapatinya galaksi cD dalam lingkungan gugus dengan kerapatan yang tinggi dan fraksi spiral yang rendah dalam gugus galaksi. Kesemuanya dapat menawarkan informasi tentang bagaimana galaksi berevolusi dalam lingkungan yang membatasinya. Tabel II.3 Properti Gugus galaksi dan Grup (Bahcall, 1996) Properti Gugus Galaksi Grup/Poor Cluster Richness 30–300 galaksi 3–30 galaksi Radius (1–2)h-1 Mpc ( 0.1–1)h-1 Mpc 10 400–1400 km s-1 100–500 km s-1 ( 1x10 14 - 2x1015 ) h-1 M (1012.5 – 1014 ) h-1 M (6 x 1011 – 6x1012 ) h-2L (1010.5 – 1012) h-2L < M / LB > ~ 300 h M /L ~ 200 h M /L Temperatur X-ray 2 – 14 keV ≤ 2keV Luminositas X-ray (1042.5 – 1045 ) h-2L ≤ 1043 h-2L Densitas Gugus (10-5 – 10-6 ) h3 Mpc3 (10-3 – 10-5 ) h3 Mpc3 Dispersi Kecepatan Radial Massa ( M(r ≤ 1.5 h-1 Mpc)) Luminositas (daerah biru) Gambar II.2 Contoh grup galaksi Hickson 44 dengan beberapa anggota galaksi. Sumber : www.rc-astro.com Dispersi kecepatan yang tinggi dalam gugus memberikan informasi bahwa gugus menyimpan lebih banyak massa dibandingkan grup, hal ini juga dikonfirmasi oleh data temperatur sinar - X dalam gugus yang lebih tinggi, serta luminositas gugus yang lebih besar dibandingkan dengan grup. Secara fisis gugus memiliki ukuran yang sepuluh kali lipat lebih besar, antara 1 sampai beberapa Mpc, dibandingkan dengan grup, sehingga dengan jumlah anggota yang lebih banyak dibandingkan dengan grup ,kerapatan serta kandungan massa lebih banyak dibandingkan dengan grup. Seperti yang dikemukakan tadi bahwa lingkungan yang berbeda sedikit banyak menentukan bagaimana evolusi dari galaksi yang berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan gugus memiliki keragaman yang lebih banyak dibandingkan dengan grup, salah satu 11 bukti dari keragaman ini adalah adanya galaksi tipe cD dalam gugus yang kaya sementara di lingkungan grup dipastikan tidak terdapat galaksi cD. Dalam gugus juga terdapat berbagai macam tipe morfologi galaksi mulai dari ellips, lentikular sampai iregular dengan fraksi tertentu demikian pula grup. Keragaman serta berbagai macam karakter lingkungan ini dapat dijadikan batasan untuk memodelkan evolusi galaksi dalam gugus ataupun evolusi gugus itu sendiri. Studi grup memberikan hasil yang diharapkan melengkapi informasi tentang evolusi dengan lebih lengkap. II.1.1 Galaksi Galaksi merupakan salah satu elemen penyusun gugus yang penting. Galaksi merupakan konstituen gugus yang diamati pada panjang gelombang optik, sinar–X serta radio dan dapat menjadi petunjuk bagi studi gugus. Morfologi gugus dibagi menjadi beberapa jenis tergantung pada struktur dari galaksi tersebut. Salah satu klasifikasi yang terus dijadikan dasar adalah klasifikasi yang dilakukan oleh Hubble. Diagram Hubble mengklasifikasikan galaksi menjadi 2 macam kelas yakni, galaksi ellips dan spiral. Galaksi ellips terletak di ujung paling kiri dari diagram dengan pertambahan elliptisitas dari kiri menuju kanan, kemudian sampai pada galaksi lentikular (lens-like) diagram ini mulai bercabang 2 menjadi galaksi spiral normal dan galaksi spiral berpalang (barred-spiral galaxy). Masing-masing tipe galaksi diklasifisikasikan lagi menjadi subtipe galaksi yang lebih halus transisinya dari satu galaksi ke galaksi berikutnya. Misalnya, untuk galaksi tipe Ellips dibagi menjadi subtipe berdasarkan elliptisitas dari galaksi tersebut dengan aturan angka yang diperoleh dari hasil 10 x (a –b)/a diletakkan setelah huruf E. Notasi a adalah setengah sumbu mayor dan b adalah setengah sumbu minor. Galaksi yang berbentuk bulat memiliki indeks E0, sedangkan galaksi dengan elliptisitas paling tinggi mempunyai indeks E7 dengan perbandingan b/a = 0,3. Galaksi lentikular tidak masuk dalam kelas yang sama dengan galaksi ellips karena bentuknya yang pipih dan memiliki fitur piringan. Statistik studi galaksi menunjukkan bahwa tidak terdapat ellips dengan 12 rasio b/a yang lebih kecil daripada 0,3, dengan kata lain indeks terbesar dari galaksi ellips yang menunjukkan rasio ini adalah E7. Gambar II.3 Diagram klasifikasi Hubble. Sumber : www.boojum.as.arizona.edu Gambar II.3 menggambarkan diagram klasifikasi Hubble dengan galaksi yang terletak di sebelah kiri adalah galaksi tipe awal (early type) sementara semakin ke kanan tipe galaksinya adalah tipe akhir (late type). Galaksi spiral normal diberi indeks S dengan subtipe galaksi Sa, Sb, dan Sc. Pembagian menjadi subtipe galaksi ini didasarkan pada terbuka atau tertutupnya lengan spiral galaksi, apakah bintangbintang yang terletak di lengan spiral dapat terpisahkan dengan baik, perbandingan ukuran antara komponen piringan dengan komponen bulge-nya, serta luminositas dari galaksi. Berturut-turut dari subtipe Sa menuju Sc, subtipe Sa memiliki lengan spiral yang rapat, halus tidak terpisahkan menjadi bintang-bintang penyusun, dengan komponen bulge yang lebih dominan daripada komponen piringan. Subtipe Sb memiliki lengan spiral yang lebih terbuka daripada subtipe Sa, bintang penyusun lengan spiral yang dapat terpisahkan, serta memiliki komponen bulge yang lebih kecil dibandingkan dengan subtipe Sa. Subtipe Sc memiliki lengan spiral yang terbuka, menampakkan daerah gugus bintang terbuka serta daerah HII, dengan komponen bulge yang kecil. 13 Tipe galaksi spiral berpalang (selanjutnya dinotasikan dengan SB) juga memiliki subtipe yakni SBa, SBb, dan SBc dengan bentuk morfologi yang berbeda dengan galaksi spiral tanpa palang. Pembagian sub kelas juga didasarkan atas kriteria yang sama dengan galaksi spiral, dimana semakin ke kanan, menuju tipe SBc warna galaksi semakin biru, bukaan lengan makin lebar, serta bintang penyusunnya dapat teresolusi dengan baik. Kriteria klasifikasi dari subtipe dari SB tidak jauh berbeda dengan galaksi spiral normal (SA). Klasifikasi yang diusulkan oleh Hubble masih dipakai sampai sekarang karena memakai kriteria morfologi dasar tanpa memperhatikan rincian bentuk galaksi yang lebih rumit. Walaupun demikian seiring dengan berkembangnya pengamatan astronomi galaksi, diagram klasifikasi Hubble mengalami modifikasi dimana tipe galaksi cD yang banyak terdapat di dalam gugus galaksi dengan densitas tinggi dimasukkan dalam klasifikasi. Diagram yang telah dimodofikasi ini ditunjukkan oleh gambar II.4. Galaksi katai seperti katai ellips, katai lentikular, katai irregular yang memiliki ukuran, massa serta luminositas yang lebih kecil dibandingkan dengan galaksi dengan morfologi sama dengan ukuran normal juga dimasukkan. Gambar II.4 Klasifikasi Hubble yang sudah dimodifikasi- Sparke & Gallagher, 2000. 14 Letak galaksi dalam klasifikasi Hubble nampaknya memiliki korelasi dengan kecenderungan properti galaksi tersebut seperti warna galaksi, kandungan bintang, spektrum , kandungan gas HI, dan banyaknya daerah HI. Karakter galaksi seperti warna galaksi serta banyak sedikitnya daerah HII dikaitkan dengan laju pembentukan bintang yang terjadi dalam galaksi tersebut pada masa lalu. Galaksi dengan tipe early atau awal, seperti ellips dan lentikular, memiliki warna yang lebih merah, miskin gas hidrogen netral, serta sedikit daerah HII yang aktif. Galaksi dengan tipe late atau akhir, seperti spiral dan galaksi iregular, memiliki warna yang lebih biru, kandungan gas hidrogen netral yang banyak serta terdapat daerah HII yang aktif. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan bintang masih terus berlangsung dan akan berlangsung pada galaksi dengan tipe akhir, sementara hal sebaliknya terjadi pada galaksi dengan tipe awal seperti ellips dan lentikular dimana nampaknya proses pembentukan bintang baru tidak terjadi sesering galaksi tipe akhir. Korelasi properti dengan morfologi macam ini dapat dimanfaatkan untuk mencari cara lain untuk mengidentifikasi morfologi galaksi jika pada kondisi pengamatan tertentu gambar morfologi tidak didapatkan. Gambar II.5 Relasi antara warna dengan tipe morfologi galaksi. – Longair, 1998. 15 Gambar II.6 Relasi antara ukuran galaksi serta luminositas dengan tipe galaksi – Longair, 1998. Sumbu horisontal dari gambar II.6 adalah urutan bentuk galaksi, sama dengan sumbu horisontal gambar II.5 di atas, titik paling kiri mewakili galaksi ellips (E), lentikular (S0), S0a, spiral (Sa), kemudian Sab, Sb, Sbc, Sc, Scd, Sd, Sm, dan yang terakhir adalah Im. Sumbu vertikalnya untuk gambar atas yang terletak di atas adalah log dari radius galaksi, sedangkan pada gambar bawah adalah log dari luminositas galaksi. Simbol lingkaran hitam melambangkan nilai median, sedangkan simbol lingkaran putih adalah nilai rata-rata. 16 Gambar II.7 Perbedaan spektrum galaksi ellips pada kolom kiri dengan spiral pada kolom kanan. www.google.com Gambar II.5 menunjukkan adanya korelasi antara warna dengan tipe morfologi galaksi, dimana galaksi tipe awal memiliki warna yang lebih merah dengan indeks (B-V) yang lebih besar daripada galaksi tipe akhir. Gambar II.6 menunjukkan bahwa nampaknya ada kecenderungan galaksi dengan tipe awal seperti ellips dan lentikular memiliki batas ukuran radius yang lebih besar jika dibandingkan dengan galaksi dengan tipe akhir seperti spiral. Juga ada kecenderungan bahwa galaksi dengan tipe awal memiliki luminositas yang lebih besar dibandingkan dengan galaksi tipe akhir. Gambar II.7 menunjukkan perbedaan spektrum yang dimiliki oleh galaksi tipe awal dengan tipe akhir. Spektrum galaksi ellips (kiri) menunjukkan penurunan intensitas pada panjang gelombang pendek, sementara spektrum galaksi spiral (kanan) tidak demikian. Kemungkinan besar terdapat hubungan antara bentuk galaksi dengan bintang penyusun galaksi tersebut. Galaksi tipe awal disusun oleh bintangbintang tua yang berwarna lebih merah sedangkan galaksi dengan tipe akhir disusun oleh bintang-bintang muda yang berwarna lebih biru. 17 II.1.2 Gas dalam Gugus Selain galaksi, elemen lain dalam sebuah gugus adalah gas. Gas dalam gugus dipelajari melalui pengamatan pada panjang gelombang sinar-X, berbeda dengan galaksi yang dapat dipelajari pada daerah optik. Gambar sinar-X dapat memberikan informasi proses hidrodinamika apa yang terjadi dalam gugus tersebut. Dua gambar di bawah diambil pada panjang gelombang sinar-X, gambar pertama adalah gambar dari gugus RBS797 yang diambil oleh CHANDRA, sedangkan gambar sebelah kanan adalah gugus CL0939+4713 yang diambil oleh XMM. Gugus RBS797 menunjukkan pola distribusi surface brightness yang regular dan simetris, sementara distribusi surface brightness CL0939+4713 menunjukkan terjadinya proses merger dua buah substruktur dalam gugus yang akan membentuk pusat dari gugus tersebut. Gambar II.8 Gambar sinar-X gugus RBS797 dari ROSAT, dan CL0939+4713 (XMM) Struktur gugus yang dipelajari dalam daerah sinar-X memberikan petunjuk apakah gugus tersebut secara dinamika masih muda atau sebaliknya. Gugus yang secara dinamik masih muda sebagian besar memiliki kecerlangan dalam sinar-X yang rendah, kerapatan pusat yang rendah, terdapat substruktur dalam gugus, memiliki dispersi kecepatan yang rendah dan fraksi galaksi tipe akhir yang lebih besar. 18 Sedangkan gugus yang secara dinamika telah lanjut memiliki karakteristik cemerlang di daerah sinar-X, dispersi kecepatan yang tinggi, bentuk gugus yang simetris, fraksi galaksi elliptikal yang lebih besar, serta kerapatan pusat gugus yang tinggi. Beberapa contoh gugus yang muda secara dinamik adalah gugus galaksi Virgo dan Hercules. Gugus yang secara dinamik telah lanjut adalah gugus Coma. II.2 Dinamika Gugus Galaksi Gaya fundamental yang bekerja dalam skala gugus adalah gaya gravitasi. Asumsi umum yang diterapkan dalam gugus adalah ia menyerupai bola gas isotermal. Jika energi termal berkaitan dengan energi kinetik gugus lewat hubungan 3 1 kT v 2 , 2 2 (II.1) dimana T adalah temperatur, k adalah kostanta Boltzmann, <v2> adalah rata-rata dari kuadrat kecepatan partikel dan μ adalah berat molekul rata-rata dari partikel, maka kecepatan galaksi dengan massa yang sama akan bernilai sama pula. Nilai dispersi kecepatan adalah sama untuk semua tempat dalam gugus. Asumsi berikutnya adalah sistem galaksi dalam gugus tersebut adalah sistem collisionless di mana perubahan gerak galaksi dalam gugus tersebut lebih dominan diatur oleh potensial rata-rata dari gugus, bukan potensial galaksi secara individu sehingga gaya yang bekerja bersifat weak yang disebabkan oleh distant encounter. Untuk sistem seperti ini skala waktu relaksasi menjadi ukuran apakah sistem tersebut adalah sistem yang muda atau tua secara dinamika. Sebagian besar gugus yang diamati berada dalam keadaan yang muda secara dinamika ditunjukkan oleh adanya substruktur dan bentuk gugus yang tidak teratur. Jika skala waktu relaksasi lebih pendek daripada umur sistem gugus maka dapat dikatakan gugus tersebut telah tervirialisasi. Virialisasi merupakan proses dimana gugus tersebut berusaha menyeimbangkan energi potensial dengan energi kinetiknya melalui hubungan 19 E p 2Ek 0 , (II.2) Waktu relaksasi yang dibutuhkan untuk sebuah gugus dapat didekati melalui persamaan trelaksasi ncross tcross , (II.3) tcross R , v (II.4) ncross N , ln 8 (II.5) dengan ncross adalah jumlah berapa kali putaran sebuah galaksi mengelilingi sistem gugus tersebut, tcross adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu putaran itu, R adalah jari-jari sistem, v adalah kecepatan galaksi, N adalah jumlah galaksi dan ln Λ adalah log natural dari perbandingan radius sistem, dalam hal ini gugus, dengan b, parameter tumbukan (Binney dan Tremaine, 1987). Untuk sebuah gugus galaksi dengan jumlah galaksi ~ 1000 galaksi akan memiliki waktu tcross selama 109 tahun. Dalam suatu gugus kemungkian terjadinya interaksi antara dua galaksi adalah lebih mungkin dibandingkan peristiwa tumbukan antar bintang (Binney dan Tremaine, 1987). II.3 Gugus Abell 2219 Gugus Abell 2219 merupakan obyek yang dijadikan studi kasus tugas akhir ini. Dalam klasifikasi Abell, ia masuk dalam kelas Richness = 3 (130 – 190 galaksi anggota dalam RA = 1.5 h-1 Mpc ) dan masuk kelas jarak 6, dengan redshift z = 0.225. Koordinat pusat gugus terletak pada daerah RA (J2000) = 16h 40m 20.56s , DEC (J2000) = +46° 42’ 42.2” berdekatan dengan koordinat galaksi cD RA (J2000) = 16h 40m 19.87s dan DEC (J2000) = + 46° 42’41.3”, Boschin et. al (2004). Abell 2219 merupakan gugus pemancar sinar-X dan juga gugus pelensa gravitasi. Abell 2219 20 memiliki dispersi kecepatan sebesar v 1438109 86 km / s , (Boschin, 2004), yang dapat menunjukkan besarnya massa yang dikandung. Massa gugus Abell 2219, M ~ 2.8 1015 h1 M berkaitan dengan temperatur sinar-X ~ 10.3 keV. Abell 2219 dipilih karena ketersediaan data spektroskopi maupun fotometri. Data fotometri untuk gugus ini diambil dari Sloan Digital Sky Survey (SDSS) melalui antar muka navigate (http://cas.sdss.org/dr5//en/tools/chart/navi.asp) dengan memasukkan koordinat galaksi yang dituju. Koordinat galaksi anggota diperoleh dari Boschin et. al. (2004). Pita fotometri SDSS u,g,r,i,z dengan u = 3551Å, g = 4686Å, r = 6165Å, i = 7481Å, z = 8931Å. Data fotometri kemudian diolah untuk mendapatkan warna galaksi serta magnitudo mutlak. Sumber data spektroskopi untuk Abell 2219 diperoleh dari Boschin et. al. (2004) dengan jumlah galaksi sebanyak 132 galaksi yang menjadi 113 setelah dikoreksi terhadap galaksi latar depan dan latar belakang. Data spektroskopi kemudian dikoreksi terhadap gerak Tata Surya mengelilingi Galaksi Bima Sakti dan digunakan untuk menentukan jarak gugus tersebut. 21 Gambar II.9 Gugus Galaksi Abell 2219 – Boschin, 2004. Gambar II.9 adalah gambar gugus Abell 2219 dari Boschin, 2004 dengan jumlah galaksi sebanyak 132 galaksi. Galaksi cD bernomor 65 berada pada pusat gugus dalam gambar berukuran 36 menit busur persegi ini. Hal lain yang menarik adalah diagram magnitudo-warna dari galaksi-galaksi gugus Abell 2219 untuk beberapa daerah panjang gelombang. Diagram Magnitudo - Warna -19.00 M(4777.88) -20.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 -21.00 E,S0 -22.00 Sa,Sb,Sc,Irr -23.00 -24.00 -25.00 (u-g) (a) 22 Diagram Magnitudo - Warna -19.00 M(5797.77) -20.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 -21.00 E,S0 -22.00 Sa,Sb,Sc,Irr -23.00 -24.00 -25.00 (g-r) (b) Diagram Magnitudo - Warna -19.00 M(6921.52) -20.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 -21.00 E,S0 -22.00 Sa,Sb,Sc,Irr -23.00 -24.00 -25.00 (r-i) (c) Gambar II.10 (a),(b), dan (c) Tiga buah diagram magnitudo – warna untuk galaksi – galaksi di gugus Abell 2219. Diagram magnitudo–warna dibuat pada 3 macam daerah dengan panjang gelombang yang berbeda yaitu dengan daerah panjang gelombang yang berbeda yakni, λ = 4777.88 Å dengan warna (u-g), kemudian λ = 5787.77 Å dengan warna (g-r) dan yang terakhir adalah λ = 6921.52 Å dengan warna (r – i). Ketiga diagram memiliki skala sumbu yang sama. Galaksi yang ditunjukkan dengan simbol persegi warna merah adalah galaksi tipe akhir yaitu Sa, Sb, Sc yang memiliki warna (u – r) < 2.5, sedangkan galaksi dengan simbol titik warna biru adalah galaksi tipe awal seperti E dan S0 yang memiliki warna (u-r) > 2.5. Terlihat bahwa galaksi tipe akhir pada semua diagram 23 magnitudo-warna ini memiliki kecerlangan atau luminositas yang lebih kecil dibandingkan galaksi tipe awal. Galaksi tipe awal tersebar di hampir semua tingkat luminositas dari yang paling redup sampai yang paling terang. Gugus Abell 2219 memiliki sebuah galaksi cD yang masuk dalam galaksi tipe awal dan memiliki kecerlangan di atas galaksi rata-rata secara umum. Keberadaan galaksi cD diwakili oleh sebuah titik yang konsisten memiliki magnitudo mutlak paling kecil di semua diagram magnitudo–warna. Terlihat pergeseran warna dari galaksi-galaksi anggota gugus untuk warna yang lebih merah. Pada diagram II.10(a) nampak kedua tipe galaksi terpisahkan dengan baik dimana galaksi tipe akhir menempati daerah kiri yang menunjukkan warna biru sedangkan galaksi tipe akhir menempati daerah kanan untuk warna yang lebih merah. Pada diagram II.10(b) nampak bahwa galaksi tipe akhir mulai bercampur dengan galaksi tipe awal, dan akhirnya pada diagram II.10(c) nampak bahwa kedua tipe galaksi telah tercampur pada daerah warna merah. Hal yang yang bisa disimpulkan adalah pada warna biru galaksi tipe awal dan tipe akhir masih dapat terpisahkan dengan baik di mana galaksi tipe akhir memang luminus secara intrinsik pada daerah biru. Sementara galaksi tipe awal tidak demikian di mana ia secara konsisten cemerlang di daerah merah. Dispersi dari sumbu warna terlihat pada diagram II.10(a) dan berangsur-angsur menyempit pada diagram II.10(b) dan II.10(c). Hal ini menunjukkan bahwa galaksi tipe awal memang tidak cemerlang pada warna biru sedangkan galaksi tipe akhir sebaliknya. Semakin bergerak ke daerah yang lebih merah dapat disimpulkan bahwa galaksi–galaksi tipe awal berwarna merah secara intrinsik. 24