1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang masalah Salah satu problem utama lingkungan adalah kontaminasi logam toksik pada tanah pertanian yang mengakibatkan stress pada tanaman. Stress tanaman yang diakibatkan oleh logam toksik tiga kali lebih besar daripada yang disebabkan oleh pestisida (Jeliazko, 2001). Pada umumnya logam toksik ini merupakan unsur-unsur runut yang terjadi secara alamiah pada semua daerah dan tanah di dunia ini. Konsentrasi logam-logam runut ini dapat meningkat sebagai akibat aktivitas antropogenik. Walaupun beberapa dari unsur runut ini merupakan unsur essensial terhadap kehidupan manusia, tumbuhan dan juga hewan, tetapi pada konsentrasi tertentu, unsur ini dapat bersifat racun terhadap semua makhluk hidup (Hodel and Andrew,2000). Dampak negatif logam berat terhadap tanaman adalah menurunkan aktivitas organisme serta menurunkan kesuburan tanah. Sebagai akibat dari hal tersebut, jumlah produksi juga akan menurun. Akibat yang paling fatal dari tercemarnya tanaman oleh logam berat adalah terkontaminasinya sistem rantai makanan (McGrath et al., 2002) Peningkatan polutan logam berat pada tanah, air, dan udara yang disebabkan oleh pertambangan dan bahan bakar minyak menjadi problem utama lingkungan karena keberadaan logam-logam berat dapat 2 menyebabkan keracunan pada sel-sel hidup (Qian et al., 1999). Pencemar logam berat tidak dapat didegradasi secara kimia maupun secara biologi. Oleh karena itu polutan logam berat di dalam tanah, air maupun udara harus dikurangi atau dihilangkan untuk menghindari terjadinya dampak negatif terhadap proses kehidupan. Beberapa peneliti telah menyimpulkan bahwa beberapa logam berat memberikan efek negatif terhadap makhluk hidup termasuk manusia, hewan, maupun tumbuhan. Pada manusia, Cr (VI) dapat mengendapkan plasma protein serta menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Kromium (VI) juga berpengaruh terhadap kulit. Kulit buruh industri yang bersentuhan langsung dengan kromium akan mengakibatkan borok yang disebut borok krom. Kromium dapat menyebabkan kanker pada sistem pernapasan, dapat juga menimbulkan penyakit polip (ATSDR, 2006). Pengaruh Cr (VI) terhadap beberapa tanaman telah diteliti misalnya terhadap tanaman kacang hijau (Turner dan Rust, 1971), salada dan gandum (Adema dan Henzen, 1989), tomat (Moral et al., 1995), Albizia lebbek, Acasia lebbek, dan buncis (Sharma dan Sharma, 1993) serta padi dan buncis (Prasad et al 2003). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Cr(VI) pada konsentrasi tertentu mempengaruhi pertumbuhan akar, daun, dan biji. Efek negatif Cd (II) pada manusia pada umumnya terjadi di tempat bekerja, khususnya pada pabrik baterei, penggunaan zat warna pada cat dan plastik. Kadmium (II) dapat menyebabkan penyakit mual dan muntah- 3 muntah. Penyakit kronik yang dapat ditimbulkan oleh Cd (II) adalah terjadinya kerontokan rambut, anemia, migran, osteoporosis, penyakit lambung dan akhirnya dapat menyebabkan kardiovaskuler (Campbell, 2007) Pengaruh kadmium (Cd) pada konsentrasi tertentu terhadap tanaman juga telah diamati oleh beberapa peneliti. Lamersdortf et al. (1991) dan Misra et al. (1994) melaporkan bahwa Cd memberikan efek negatif berturut-turut terhadap pertumbuhan akar pohon cemara dan tanaman Vicia faba. Pertumbuhan biji dan daun Betula pendula juga dipengaruhi oleh Cd (Gussarsson, 1994). Ouzounidou et al. (1997) dan Garate et al. (1993) mengamati adanya pengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar dan daun Triticum aestivum (gandum) dan pertumbuhan akar tomat serta Lactuca seriola L. (salada) Dampak negatif Pb(II) pada manusia adalah terhambatnya pembentukan haemoglobin, yang dapat menimbulkan penyakit anemia dan merupakan keracunan yang kronis. Timbal juga mengganggu kerja enzim khususnya enzim-enzim yang mengikat atom belerang (S). (Wikipedia,2007) Pengaruh Pb (II) pada konsentrasi tertentu terhadap tanaman telah diamati oleh sejumlah peneliti sejak beberapa tahun silam. Muramoto et al.(1990) mengamati pengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar tanaman yang ditanam pada tanah liat berpasir (tanah alluvial) pH 6. Menurut Golbold dan Kettner (1991), kecepatan perpanjangan akar pohon cemara dipengaruhi 4 oleh Pb(II) Kecepatan pertumbuhan akar jamur juga dipengaruhi oleh Pb(II) yang ditambahkan pada larutan nutrien. Dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas maka diperlukan metode untuk menghilangkan atau mengurangi konsentrasi logam berat yang terdapat dalam tanah pertanian untuk menghindari terjadi efek samping pada manusia, hewan dan tumbuhan. Aziz et al., (2004) menyimpulkan bahwa batu kapur dapat menjerap beberapa logam berat seperti Cu, Zn, Cd, Pb, Ni, Cr, Fe, dan Mn melalui proses batch atau proses penyaringan. Kemampuan menjerap logam berat tersebut dapat mencapai 90 % meskipun percobaan yang dilakukan menggunakan air limbah buatan. Ahluwalia dan Goyal (2005) melaporkan bahwa ada beberapa proses yang dapat digunakan untuk mengurangi polusi logam berat. Proses-proses tersebut antara lain adalah penyerapan, pengendapan, koagulasi, penukar kation, sementasi, elektrodialisis, elektrokoagulasi, dan osmosis balik. Mulligan et al. (2001) melaporkan bahwa teknik remediasi logam berat dapat dilakukan dengan cara isolasi dan pengurungan, pemisahan secara mekanik, elektrokinetik, difusi melalui dinding semipermiabel, proses biokimia, dan fitoremediasi. Sheoran dan Sheoran (2005) mengatakan bahwa mekanisme pemindahan logam berat dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia dan biologi. Babel dan Dacera (2005) memindahkan logam berat dari lumpur yang terkontaminasi logam berat dengan cara ekstraksi kimia, proses bioleaching, dan elektroreklamasi. 5 Salah satu metode alternatif yang dapat digunakan untuk meremediasi logam berat pada tanah, air, dan udara adalah fitoremediasi yang merupakan suatu metode untuk memindahkan atau mengimobilisasi logam dalam tanah yang terkontaminasi dengan menggunakan tumbuhan/tanaman. Beberapa tanaman mempunyai kemampuan yang sangat tinggi untuk menghilangkan berbagai pencemaran yang ada (multiple uptake hyperaccumulator plant), dan memiliki kemampuan menghilangkan pencemaran yang bersifat tunggal (specific uptake hyperaccumulator) (Aiyen,2005). Tanaman hiperakumulator adalah spesis tanaman yang mampu mentranslokasikan pencemar atau logam pencemar ke bagian pucuk tanaman lebih banyak daripada ke bagian akar tanpa mengalami gejala toksisitas. Tanaman ini dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100 ppm Cd, 1000 ppm Co, Cr, Cu, dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2004; Baker, dkk,2000). Sejak dua dekade terakhir ini, beberapa spesis tanaman hiperakumulator telah ditemukan seperti, Brassica juncea (sawi hijau) untuk polutan Cd, Cr(VI), Cu, Ni, dan U. B. campetris, B. napus, Helianthus annuus L (bunga matahari), Pisum sativum L. (kacang kapri) untuk Pb. Beberapa peneliti telah berhasil meremediasi logam berat dengan teknik fitoremediasi. Prasad et al. (2003) mengemukakan bahwa logam berat Cd, Cr, Cu, dan Ni dapat diremediasi dengan teknik fitoakumulasi dengan menggunakan tanaman sawi hijau. Schnoor (1997) melaporkan bahwa tanaman bunga matahari, sawi, barley (kedelei), crucifer (kubis-kubisan) 6 dapat digunakan untuk menarik logam-logam seperti Pb, Cd, Zn, Ni, dan Cu dengan cara fitoekstraksi. Belt (1997) menyatakan bahwa ada beberapa tumbuhan yang dapat digunakan untuk meremediasi logam berat seperti tanaman tomat untuk menarik kontaminan Pb, Cd, dan Cu, bunga matahari untuk menarik logam Ce, Sr, dan U. Famili Brassica (kubis) untuk fitoakumulsi logam seperti Pb, Cd, Cr, Ni, Zn, Cu, Ce, dan Sr. Fellet et al., (2007) menggunakan teknik fitoremediasi untuk menarik logam-logam dari tanah yang terkontaminasi As, Cd, Cu, Pb, dan Zn dengan tanaman sorghum bicolar (sorghun, Indonesia), jagung, dan bunga matahari. Tumbuhan dari genus Ipomoea juga telah banyak digunakan untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi logam berat. Baker dan Walker dalam Lasat (2000) melaporkan bahwa Ipomoea alpina merupakan tanaman hiperakumulator tembaga (Cu) dengan kemampuan mengakumulasi logam tersebut hingga konsentrasi 12.300 ppm dalam daunnya. Hasil penelitian dari Gardea-Torresdey et.al. (2004) menyatakan bahwa Convolvulus arvensis L. mampu menarik Cr sebesar 2100 mg/kg daun kering sehingga tanaman ini potensil sebagai hiperakumulator terhadap logam Cr. Ghosh dan Singh (2005) menyimpulkan bahwa Ipomoea carnea jauh lebih efektif dalam menarik logam Cr dari tanah yang terkontaminasi dibandingkan sawi hijau. Chen dan Huang (2006) menyimpulkan bahwa Ipomoea batata L (ubi jalar) mampu mengakumulasi Cd 2000 kali lebih besar daripada yang diperbolehkan untuk dimakan. Rahman et al (2007) dalam penelitiannya 7 menggunakan Ipomoea aquatica Forsk (kangkung air) dan menyimpulkan bahwa tanaman ini mampu menyerap 219,18 ppm Pb sehingga tanaman ini memungkinkan untuk digunakan sebagai tanaman hiperakumulator Pb. Cai et al., 2007. menyimpulkan bahwa kangkung air sangat potensil untuk digunakan sebagai tanaman fitoremediasi bagi tanah yang terkontaminasi dengan di-n-butil ftalat (Ar(COO)2(C4H9)2). Jadi, tanaman dari genus Ipomoea mempunyai potensi untuk digunakan sebagai fitoakumulator. Berdasarkan uraian di atas, remediasi logam Cr, Cd, dan Pb dari tanah akan dilakukan dengan menggunakan salah satu spesies dari Ipomoea yakni kangkung darat Penelitian akan dilakukan secara in vitro dan ion-ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang telah ditarik oleh tanaman ini akan dianalisis di laboratorium dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas maka rumusan masalah yang ingin diselesaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah tanaman kangkung darat hiperakumulator terhadap ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II). 2. Bagaimana mekanisme akumulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada tanaman kangkung darat 3.Adakah efek sinergis paduan ion Cd(II), Cr(VI, dan Pb(II) terhadap akumulasi kangkung darat 8 C.Tujuan Penelitian 1. Menentukan hiperakumulator kangkung darat terhadap ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II). 2. Menentukan mekanisme akumulasi kangkung darat terhadap ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) 3. Menentukan efek sinergis paduan ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) terhadap akumulasi ketiga ion tersebut, D.Manfaat penelitian 1. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang kemampuan fitoremediasi 2. Ditemukannya salah satu solusi alternatif upaya mengatasi pencemaran logam 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Logam berat essensial dan non essensial pada tumbuhan Unsur-unsur kimia di dalam tumbuh-tumbuhan dibagi dalam beberapa kategori berdasarkan kelimpahan dan kerunutannya. Unsur-unsur runut terbagi dua. Pertama adalah unsur runut essensial yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses metabolismenya meskipun unsur ini dapat bersifat toksik jika konsentrasinya melebihi ambang batas yang diperlukan (Co, Cu, Mn, Mo, dan lain-lain). Kedua adalah unsur runut non essensial yang belum diketahui peranan biologi pada proses kehidupan tumbuhan sehingga diharapkan tidak ada di dalam tumbuhan tersebut (Cd, Cr, Pb Hg, dan lain-lain) (Prasad, 1996). A.1. Logam berat Berdasarkan daya hantar panas dan listriknya, semua unsur kimia yang terdapat dalam susunan unsur berkala dibagi atas dua golongan yaitu logam dan non logam. Golongan logam mempunyai daya hantar panas dan listrik yang tinggi, sedangkan unsur non logam mempunyai daya hantar panas dan listrik yang rendah. Berdasarkan densitasnya, golongan logam dapat dibagi atas dua golongan, yaitu golongan logam ringan dan logam berat (Kunarso dan Ruyitno,1991) 10 Menurut Saeni (1989) dan Lasat (2001), logam berat adalah semua jenis logam yang mempunyai berat jenis lebih dari 5 g/cm 3, sedang logam yang berat jenisnya kurang dari 5 g/cm3 dikenal sebagai logam ringan. Logam berat yang ada di lingkungan berasal dari dua sumber yang berbeda yaitu dari alam seperti gunung berapi, sungai, dekomposisi organik, retakan dan dari aktivitas antropogenik seperti industri dan limbah domestik. ( Geyer, 1981). Menurut Verloo(1993) logam berat yang ada dalam tanah dapat dikelompokkan atas beberapa fraksi atau bentuk sebagai berikut. a. Fraksi yang larut dalam air, berada dalam larutan tanah b. Fraksi yang tertukarkan, terikat pada permukaan pada koloid tanah dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion. c. Fraksi yang terikat secara organik, berasosiasi dengan senyawa humus yang tidak larut d. Fraksi yang terjerap (occluded) di dalam oksida besi dan mangan e. Fraksi yang membentuk senyawa-senyawa tertentu, seperti karbonat, fosfat, dan sulfida f. Fraksi yang terikat secara struktural di dalam mineral silikat atau mineral lainnya Hanya fraksi a yang sangat erat hubungannya dengan tanaman/tumbuhan, tetapi bukan berarti kelompok lain tidak mempunyai 11 peranan dalam tumbuhan, karena faktor penyerapan logam berat oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah. A.2. Dampak biologis dan kimiawi logam berat Fenomena logam berat yang terkonsentrasi dalam jaringan ditemukan terkait dengan peran protein pengikat logam. Fungsi dari protein tersebut adalah mengikat logam, protein yang dapat mengikat logam tersebut adalah metalotionin (cys-x-cys, x adalah asam amino selain sistein, biasa disingkat dengan MT). Metalotionin merupakan kelompok protein spesifik non enzim yang memainkan peran sentral dalam metabolisme logam. Metalotionin digambarkan sebagai protein sitoplasma yang mempunyai massa molekul rendah (sekitar 10.000 dalton), dengan struktur yang tidak beraturan. Protein ini terdiri atas sistein dan kadang-kadang mengandung sedikit histidin atau asam amino aromatik lainnya. Hampir setiap metalotionin mempunyai residu 24 sistein dan dalam setiap 3 residu sistein mengikat 1 ion logam sehingga 1 metalotionin mengikat 8 ion logam. Konsekuensi dengan adanya sistein berarti pula metalotionin mempunyai sejumlah besar gugus tio ( sulfidril, -SH). Gugus ini merupakan pengikat logam berat. logam melebihi kecepatan Jika kecepatan masuknya sintesis metalotionin, maka akan terjadi pelimpahan logam dari metalotionin ke dalam penampung enzim. Efek toksik selanjutnya bergantung pada pengalokasian logam-logam essensial dari metaloenzim yaitu enzim yang membutuhkan ion logam spesifik sebagai 12 kofaktor untuk mengkatalisis. Reaksi sederhana antara logam berat dengan gugus sulfidril (-SH) adalah sebagai berikut. 2 R-SH + Cd2+ R-S-Cd-S-R + 2 H+ A.3. Pengambilan/ penyerapan polutan oleh tumbuhan Penarikan/penyerapan polutan oleh akar tumbuhan berbeda untuk polutan organik dan anorganik. Polutan organik pada umumnya adalah buatan manusia dan ksenobiotik pada tumbuh-tumbuhan. Akibatnya tidak ada pembawa untuk senyawa-senyawa organik ke dalam membran tumbuhan. Polutan organik cenderung berpindah masuk ke jaringan tumbuhan melalui difusi sederhana dan juga bergantung pada sifat-sifat bahan kimia tersebut (Briggs, et al.1982). Sebaliknya polutan anorganik diserap dengan proses biologi lewat membran protein pembawa. Membran protein pembawa ini terjadi secara alamiah sebab polutan-polutan anorganik biasanya bergabung dengan nutrien-nutrien itu sendiri (nitrat, fosfat, Cu, Mn, Zn). Polutan anorganik pada umumnya berada dalam bentuk ion sehingga tidak dapat melewati membran tanpa bantuan membran protein pembawa. Pencemar anorganik yang terakumulasi dalam jaringan tumbuhan sering menyebabkan keracunan dan sekaligus merusak struktur dinding sel tumbuhan.(Pilon-Smits, 2005). 13 Pada penelitian ini digunakan ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II), sehingga perlu dikaji tentang penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnnya sebagai referensi. Logam Cd, Cr, dan Pb merupakan pencemar utama dalam lingkungan air, udara, dan tanah sehingga akan dibahas secara rinci A.4. Kromium (Cr) Kromium pertama kali ditemukan pada tahun 1798 oleh seorang ahli kimia Perancis yang bernama Vauquelin pada batuan timbal yang berwarna merah di Siberia Rusia. Kromium adalah unsur transisi yang terletak pada golongan VI B pada tabel periodik dengan konfigurasi elektron 4s13d5 Senyawa kromium yang stabil adalah senyawa-senyawa dari valensi III dan VI. Senyawa Cr(VI) adalah senyawa yang paling toksik, yang pada umumnya membentuk senyawa dengan oksigen sebagai kromat (CrO 42-) dan dikromat (Cr2O72-). Kromium (III) kurang toksik dan pada umumnya berikatan dengan bahan organik dalam tanah dan lingkungan perairan. Kromium berbeda dengan logam-logam toksik lainnya seperti kadmium, raksa, timbal, dan aluminium, dimana logam Cr sangat kurang mendapat perhatian dari ahli tumbuhan. Kompleks kimia kromium merupakan halangan dalam mempelajari mekanisme toksisitas kromium pada tumbuh-tumbuhan. Pengaruh kontaminasi kromium dalam fisiologi tumbuh-tumbuhan bergantung pada spesies logamnya yang berperanan terhadap mobilisasi Cr, termasuk 14 penyerapan dan keracunan pada sistem tumbuhan (Panda and Choudhury,2005) Kromium telah ditemukan pada lingkungan, udara, tanah dan air. Secara alamiah Cr ditemukan dalam tanah dengan variasi konsentrasi 10 50 mg/kg, serta bergantung juga pada asal materi tersebut. Dalam tanah ultramafik (serpentin) konsentrasi krom dapat mencapai 125 g/kg (Adriano 1986). Pada air alam konsentrasi krom pada umumnya bervariasi antara 0,2 – 50 µg/L. Sedangkan konsentrasi krom di udara sangat bervariasi dan bergantung pada tempat dimana sampel udara tersebut diambil, tapi pada umumnya berkisar antara 5,0 x 10-6 sampai 1,2 x 10-3 mg/m3. Peningkatan konsentrasi Cr di lingkungan diakibatkan oleh aktivitas antropogenik seperti, penyamakan kulit, produksi baja, electroplating (penyepuhan), dan pengawetan kayu. Indusri kulit merupakan penyumbang terbesar terhadap pencemaran yang disebabkan oleh Cr di udara dengan jumlah kira-kira 40 % dari seluruh industri yang menggunakan krom.(Arun, et al., 2005). A.4.1. Efek toksik krom pada makhluk hidup Kromium masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernapasan, makanan/minuman ingestion dan penyerapan lewat kulit. Resiko keterpaparan Cr pada umumnya melalui pernapasan dan kontak langsung dengan kulit. (ASTDR,2006) 15 Kecepatan penyerapan Cr pada gastrointestinal relatif lambat dan bergantung pada beberapa faktor termasuk bilangan oksidasi Cr. Kromium (VI) lebih mudah diserap daripada krom (III), senyawa kromium organik lebih mudah diserap dibanding senyawa kromium anorganik, karena kelarutan senyawanya dalam sistem gastrointestinal sangat cepat. Kurang lebih 1 % Cr(III) anorganik dan sekitar 10 % Cr(VI) anorganik ditemukan dalam tubuh manusia dan hewan (Drew et al. 2006) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelarutan senyawa Cr (VI) dan penyerapannya lebih mudah daripada senyawa-senyawa Cr (III) yang menyebabkan Cr (VI) lebih mudah menembus membran sel. Jika konsentrasi krom dalam tubuh sudah melampaui ambang batas maka akan menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti borok krom pada kuku dan tulang jari. Akibat lain adalah terjadinya iritasi pada paru-paru yang pada akhirnya akan menyebabkan polip (Drew et al.2006). A.4.2.Efek toksik krom pada tumbuh-tumbuhan Toksisitas Cr dan senyawa-senyawanya pada tumbuhan sangat tinggi yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun beberapa tanaman palawija tidak dipengaruhi oleh Cr pada konsentrasi rendah (3,8 x 10-4M). Pada umumnya Cr sangat toksik pada tanaman tingkat tingggi. Interaksi pertama Cr dengan tumbuhan adalah pada proses 16 penarikan atau penyerapannya. Kromium adalah logam toksik yang tidak essensial pada tanaman dan penyerapannya tidak melalui mekanisme khusus. Kromium ikut terbawa ke dalam tumbuhan bersama-sama logam essensial lainnya. Kromium diangkut lewat suatu jalur dengan suatu mekanisme aktif yang melibatkan anion essensial sebagai pembawa seperti ion sulfat. Besi, belerang dan fosfor juga telah diketahui berkompetisi dengan Cr untuk membentuk suatu ikatan (Wallace et al.,1997). Pengambilan dan akumulasi Cr pada berbagai macam gandum telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Skeffington et al., 1976 dan Ramachandran et al., 1999. Tumbuhan yang mengalami stress Cr merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada saat fotosintesis, fiksasi CO2, transpor elektron, fotofosforilasi, dan aktivitas enzim. Pada tumbuhan tingkat tinggi dan pohonpohonan, pengaruh Cr pada proses fotosintesis telah dilaporkan oleh Vazques et al. (1992), Barcelo et al. (1986), yang menyatakan bahwa Cr telah menurunkan potensial air, meningkatkan kecepatan respirasi, mengurangi difusi pada tanaman buncis dan bunga matahari. Barcelo et al. (1986) menemukan korelasi yang tinggi antara warna klorofil pada penyerapan Fe dan Zn pada tanaman yang mengandung unsur Cr. Moral et al. (1995) melaporkan bahwa konsentrasi unsur nutrisi N, P, K, Na, Ca, dan Mg dalam kambium meningkat secara signifikan. Selain itu Cr juga memberikan efek negatif terhadap penyerapan Fe . Turner dan Rust (1971), 17 mengamati pengaruh penambahan Cr (VI) pada penyemaian biji kedelai, setelah 3 hari kontak. Hasil menunjukkan bahwa Cr (VI) 30 ppm menyebabkan penurunan berat pucuk sebesar 30 %, sedangkan penambahan 10 ppm tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan biji kedelei. Larutan nutrien yang mengandung Cr(III) 0,05 ppm dapat menurunkan berat daun dan batang dari chysanthemum berturut-turut 31 % dan 36 % setelah 21 hari kontak dengan larutan krom tersebut (Patel et al.,.1976). Berat daun buncis turun sebesar 30 % setelah 11 hari penambahan larutan nutrien yang mengandung Cr(VI) 0,54 ppm (Walace et al.1977). Wong dan Bradshaw (1982) menyatakan bahwa telah terjadi pengurangan panjang akar tanaman gandum sebesar 69 % setelah 14 hari penambahan larutan nutrien yang mengandung Cr(VI) 2,5 ppm. Adema dan Henzen (1989), telah mengamati pengaruh Cr(VI) pada tumbuhan salada, tomat dan gandum yang ditumbuhkan di dalam wadah hingga berumur 15 hari. EC-50 salada pada tanah humit berpasir ( pH 5,1, bahan organik 3,7 %) adalah 11 ppm, sedangkan pada tanah liat (pH 7,4; bahan organik 1,4 %) adalah 1,8 ppm. EC-50 untuk tomat pada tanah humit berpasir adalah 21 ppm, sedangkan pada tanah liat adalah 6,8 ppm. EC-50 untuk tanaman gandum pada tanah humit berpasir adalah 31 ppm sementara pada tanah liat adalah 4,8 ppm. Moral et al. (1995) telah menemukan pengurangan panjang akar sebesar 24 % dan berat akar 32 % pada tanaman tomat yang disemaikan dalam 18 larutan nutrien yang mengandung Cr(III) 100 ppm sedangkan Cr(III) 50 ppm tidak berpengaruh terhadap panjang akar maupun beratnya. A.5. Logam timbal (Pb) Timbal dengan simbol Pb bernomor atom 82 dalam sistem periodik dengan konfigurasi elektron 4f14 5d10 6s2 6p2 dan termasuk golongan utama. Kulit bumi mengandung 16 ppm sedangkan pada batu-batuan sangat bervariasi. Timbal dapat ditemukan di alam sebagai unsur maupun senyawa. Aktivitas manusia menyebabkan konsentrasi timbal dalam lingkungan meningkat. Polusi timbal dapat terjadi di tanah, air, maupun udara karena penggunaannya yang sangat luas. Timbal dipakai dalam jumlah besar pada pabrik baterai, pabrik logam dan pewarna. Fardiaz (1992) mengatakan bahwa penggunaan timbal terbesar adalah pada produksi aki untuk mobil. Timbal juga banyak digunakan sebagai amunisi, pelapis kabel, pipa ,bahan kimia, dan pewarna. Selain itu, senyawa timbal khususnya tetra etil timbal (TEL) atau tetra metil timbal(TML) banyak digunakan dalam bahan bakar minyak sebagai anti ketukan. Dalam industri keramik, timbal digunakan sebagai pelapis pada pembuatan keramik dimana silikat sebagai bahan dasar akan bereaksi dengan timbal oksida membentuk suatu kompleks silikat. Senyawa PbO yang ditambahkan dalam campuran ini akan membuat keramik mengkilap seperti kaca (Cotton,1994). Reaksi silikon oksida dengan timbal oksida adalah sebagai berikut. 19 SiO2 + PbO2 PbSiO2 A.5.1. Efek toksik timbal pada makhluk hidup. Timbal adalah suatu logam yang bersifat racun dan dapat merusak sistem syaraf (khususnya pada anak-anak) dan juga dapat menyebabkan pendarahan dan kerusakan di otak. Pemaparan logam timbal atau garamgaramnya khususnya garam-garam yang mudah larut atau yang bersifat oksidator kuat dalam waktu lama dapat menyebabkan nephopathy dan coliclike abdominal pain. Timbal asetat yang dikenal pada zaman Romawi kuno sebagai gula timbal banyak digunakan untuk pemanis anggur yang menyebabkan penyakit gila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbal mempunyai efek faal terhadap tubuh manusia. Timbal dalam tubuh manusia dapat menghalanghalangi pembentukan reaksi hemoglobin dengan O2. Hal ini dapat menimbulkan penyakit anemia dan merupakan keracunan kronis. Timbal juga mengganggu aktivitas enzim yang mengandung belerang (S) (ATSDR). 20 A.5.2. Efek toksik timbal pada tumbuh-tumbuhan Efek toksik timbal terhadap tumbuhan telah banyak diamati sejak tahun tujuh puluhan sampai sekarang. Pengurangan berat akar dan pucuk sebanyak 52 % pada tumbuhan bluestem terjadi setelah 12 minggu kontak dengan ion Pb(II) 450 ppm (Miles and Parker, 1979). Liu et al. (1994) mengamati kecepatan pertumbuhan akar jamur setelah 4 hari kontak dengan larutan yang mengandung ion Pb(II). Kecepatan pertumbuhan akar turun sebesar 33 % dengan penambahan ion Pb(II) 0,2 ppm, tetapi pada konsentrasi ion Pb(II) 0,02 ppm tidak berpengaruh pada pertumbuhan akar. Muramoto et al. (1990) mengamati pengaruh penambahan Pb pada pertumbuhan gandum dari biji sampai dewasa yang ditanam pada tanah alluvial (pH 6). Berat akarnya berkurang 27 % pada penambahan konsentrasi ion Pb(II) 1000 ppm sedangkan konsentrasi ion Pb(II)ion 300 ppm tidak berpengaruh. Godbold dan Kettner (1991) menemukan bahwa telah terjadi penurunan kecepatan perpanjangan akar pohon cemara setelah 3 minggu penambahan larutan nutrient yang mengandung ion Pb(II) 0,2 ppm. Wierbicka dan Antosiewiecz (1991) telah mengamati pengaruh ion Pb(II) pada biji jagung dan gandum, setelah kontak selama 7 hari dalam larutan nutrien. Panjang akar jagung berkurang 25 % setelah penambahan ion Pb(II) 1 ppm, sedangkan panjang akar gandum turun 27 % setelah penambahan ion Pb(II) 2 ppm. 21 A.6. Kadmium (Cd) Logam kadmium ditemukan pada tahun 1817 oleh seorang ahli bangsa Jerman yang bernama Friedrich Stromeyer. Logam ini mempunyai massa atom relatif 112,41 g/mol, berat jenis 8,64 g/cm 3, titik leleh 321oC, titik didih 767oC. Logam kadmium mudah terbakar membentuk kadmium oksida (CdO) Produksi Cd di seluruh dunia berkisar 6000 metrik ton pertahun pada tahun 1950 sampai 15.000 metrik ton pertahun pada tahun 1980. Produksi kadmium sekarang kurang lebih 19.000 ton metrik ton pertahun. Logam Cd utamanya digunakan pada pelapisan logam atau campuran untuk pencegahan korosi pada pabrik baterai, keramik, kaca, dan beberapa biosida. Kadmium juga seringkali digunakan dalam jumlah besar sebagai pewarna dalam cat, dan juga pada pabrik plastik (Moore, 1990). A.6.1. Efek toksik Cd terhadap makhluk hidup Kadmium tidak mempunyai peranan biologis dalam makhluk hidup. Kadmium adalah logam yang sangat toksik dan dapat terakumulasi cukup besar pada organisme hidup karena mudah diadsorpsi dan mengganggu sistem pernapasan serta pencernaan. Jika teradsorpsi ke dalam sistem pencernaan dan sistem paru-paru, kadmium akan membentuk kompleks dengan protein sehingga mudah diangkut dan menyebar ke hati dan ginjal bahkan sejumlah kecil dapat sampai ke pankreas, usus, dan tulang. Selain 22 itu, kadmium juga akan mengganggu aktivitas enzim dan sel. Hal ini akan menimbulkan tetratogenik, mutagenik, dan karsinogenik (Szymczyk dan Zalewski,2003). A.6.2. Efek toksik Cd terhadap tumbuhan Efek toksik kadmium terhadap tumbuhan telah diteliti sejak beberapa tahun terakhir. Pada umumnya kadmium telah menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan, pengangkutan, dan penggunaan beberapa unsur seperti Ca, Mg, P, dan K dan juga air pada tumbuh-tumbuhan (Das et al.,1997). Kadmium juga mengurangi penyerapan nitrat dan pengangkutannya dari akar ke pucuk, juga menghambat aktivitas enzim nitrat reduktase di dalam pucuk-pucuk tanaman (Hernandez et al.,1996). Kadmium menurunkan aktivitas ATP-ase pada bagian membran plasma dari tanaman gandum dan bunga matahari (Fodor et al., 1995). Rascio et a. (1993) menemukan pengurangan panjang akar dan pucuk sekitar 45 dan 35 % pada tanaman jagung setelah 18 hari ditumbuhkan dalam nutrien yang mengandung ion Cd(II) 28,1 ppm, sedangkan ion Cd(II) 11,2 ppm tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan akar. B.Fitoremediasi Fitoremediasi berasal dari kata Phyto yang berarti tumbuhan dan remedium (bahasa Latin) yang berarti membersihkan atau menyimpan. 23 Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk membersihkan lingkungan yang tercemar yang telah digunakan beberapa puluh tahun yang lampau karena biayanya murah, pilihan yang tidak infasif (noninvasive) atau suatu teknologi yang saling melengkapi yang berdasarkan pada metode remediasi. Tumbuh-tumbuhan dapat digunakan untuk stabilisasi, ekstraksi, degradasi atau volatilisasi polutan. Proses remediasi logam berat dengan metode fitoremediasi telah dikemukakan oleh Belz(1997), Lasat (2000), Chaney et al. (1997), Prasad dan Freits (2003), Widianarko (2004), Turpeinan(2002), Oppelt (2000), Peuke dan Rennenberg (2005), MatheGaspar dan Anton (2005), Pilon-Smits (2005), Padmavathiamma dan Li Y (2007), dan Fellet et al (2007). Manfaat fitoremediasi adalah untuk menghilangkan atau mengimobilisasi logam-logam dalam tanah yang terkontaminasi dengan menggunakan tanaman. Selain biayanya yang rendah, keuntungan utama dari fitoremediasi adalah bahwa metode ini tidak merusak sifat tanah seperti yang terjadi pada pembersihan lainnya. Fitoremediasi dapat diaplikasikan secara luas termasuk meremediasi senyawa organik seperti pestisida, hidrokarbon dan logam-logam. (Schnoor et al.,1995; Kumar et al., 1995). Selain fungsi remediasi, fitoremediasi juga dapat meningkatkan atau mempertahankan struktur dan kesuburan tanah (Watanabe,1997; Negri and Hinchman, 1996) 24 Polutan-polutan anorganik dapat terjadi secara alamiah seperti unsurunsur yang ditemukan pada saat terjadi gempa bumi dan gunung meletus yang membebaskan debu dan gas yang pada umumnya terdiri atas materi yang mengandung bahan-bahan kimia. Aktivitas antropogenik pertambangan, industri, lalu lintas, pertanian dan aktivitas militer meningkatkan konsentrasi seperti dapat polutan anorganik ke lingkungan sehingga konsentrasi polutan-polutan anorganik setiap saat bertambah yang pada akhirnya akan bersifat toksik. Polutan-polutan anorganik tidak dapat didegradasi tetapi pada umumnya polutan-polutan ini dapat difitoremediasi/dipindahkan lewat stabilisasi atau di buang lewat jaringan tumbuhan yang telah dipanen. Polutan-polutan anorganik yang dapat dfitoremediasi antara lain unsur-unsur mikro nutrien, unsur runut bagi tumbuhan, unusur non esensial bagi tumbuhan, dan beberapa isotof radio aktif (Pilon-Smits, 2005). C. Mekanisme akumulasi spesis unsur oleh tanaman Ada beberapa mekanisme akumulasi yang bekerja dalam tumbuhan yang berhubungan dengan keterpaparan logam pada tanah-tanah terkontaminasi. Jenis mekanisme akumulasi logam oleh tanaman terdiri atas , fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitostabilisasi, fitovolatisasi, dan (Yang et al., 2005). fitodegradasi 25 C. 1. Fitoekstraksi. Fitofiltrasi ini dikenal juga sebagai fitoakumulasi yang meliputi pengambilan logam-logam ke dalam akar-akar tumbuhan, yang selanjutnya logam-logam tersebut ditranslokasi ke pucuk-pucuk dan daun-daun melalui ksilem tumbuhan. Bagian atas tumbuh-tumbuhan kemudian dipanen dan logam-logam kemudian dapat diekstraksi dari jaringan tumbuhan untuk memperoleh kembali logam tersebut (teknik ini biasa disebut sebagai fitomining (Anderson et al., 1999). C.2. Filtrasi akar Filtrasi akar merupakan proses kombinasi antara fitoekstraksi dan fitostabilisasi. Metode ini dikembangkan untuk meremediasi air dan sedimen yang terkontaminasi, dimana kontaminan-kontaminan diserap dan dipekatkan oleh akar dan diendapkan sebagai fosfat dan atau karbonat dengan reaksi sebagai berikut. Mn+ + PO43- M3(PO4)n Mn+ + CO32- Tumbuhan hidroponik sering M2(CO3)n digunakan walaupun tumbuhan ini menghasilkan sistem akar yang paling besar dengan biomassa yang besar sehingga dapat memperbaiki pengambilan kontaminan. Tumbuh-tumbuhan tidak mentransfer kontaminan-kontaminan ke bagian atas tumbuhan tetapi 26 lebih senang ke bagian akar, dan paling banyak logam-logam yang dapat dipindahkan (Salt et al., 1995). Akar-akar Brassica juncea telah dilaporkan dapat memindahkan lebih dari 1000 mg/kg Pb dari larutan yang mengandung 2 µg/mL Pb (Dushenkov et al., 1995). C.3. Fitostabilisasi. Karena logam berat yang mencemari tanah biasanya kekurangan penutup vegetasi, logam-logam tersebut mengalami leaching dan erosi. Fitostabilisasi bermanfaat untuk mengvegetasi daerah dengan tanamantanaman yang toleran terhadap logam. Tanaman-tanaman dapat mengurangi leaching logam dengan mereduksi logam-logam dari tingkat oksidasi yang larut menjadi tingkat oksidasi yang tidak larut pada daerah akar (Salt et al., 1995). Teknik ini hanya efektif jika konsentrasi kontaminan rendah atau sedang. Brassica juncea dilaporkan mereduksi logam Pb yang tembus ke dalam air tanah dari campuran pasir dari 740 μg/kg sampai 22 mg/kg dengan adanya tumbuhan. C.4. Fitovolatisasi Logam-logam toksik seperti Se, Hg, dan As dapat dibiometilisasi menjadi molekul-molekul yang mudah menguap sehingga dapat terbang ke atmosfir. Walaupun telah diketahui bahwa dalam waktu yang lama beberapa mikroorganisme mempunyai peranan dalam volatilisasi beberapa logam, 27 suatu tumbuhan yang mampu melakukan fungsi yang sama dengan mikroorganisme ditemukan oleh Salt et al., 1997. Sebagai contoh volatilisasi Se dan Hg telah diusulkan suatu mekanisme dalam bentuk metil selenat dan metil merkuri. (Zeyed and Terry, 1994) bakteri Hg2+ CH3 – Hg – CH3 + Bahan organik C.5. Fitodegradasi Adanya mikroba-mikroba yang menambah aktivitas biologi di sekitar akar dapat mempercepat penguraian zat-zat khususnya polutan-polutan organik. Proses ini hanya terjadi di lapisan atas tanah dan prosesnya mirip dengan bioremediasi D. Tanaman Hiperakumulator logam berat. Istilah yang tepat untuk tanaman hiperakumulator logam tidak diketahui. Hiperakumulator adalah tanaman yang mampu memproteksi dirinya dari penyakit walaupun mengandung logam dalam konsentrasi yang tinggi. Tanaman hiperakumulator sering diidentifikasi sebagai tanaman yang mempunyai kemampuan mengakumulasi lebih dari 1 % logam dalam biomassanya.(Roosens et al.,2003). Menurut Barcelo dan Poschenrieder (2003), tanaman hiperakumulator merupakan tanaman yang dapat mengakumulasi dan mempunyai toleransi logam berat jauh lebih tinggi 28 dibanding tanaman akumulator. Kriteria agar suatu tanaman dapat disebut sebagai hiperakumulator adalah jika tanaman tersebut mampu mentranslokasikan unsur baik tunggal maupun campuran ke bagian atas tanaman (daun)(Aiyen, 2005). Tanaman hiperakumulator harus memenuhi kriteria sebagai berikut. D.1. Tanaman harus mempunyai tolerensi yang tinggi terhadap unsur yang ada dalam akar atau/tunas D.2. Tanaman harus mempunyai kemampuan tinggi untuk mentranslokasikan unsur dari akar ke daun, secara normal logam pada akar tanaman sekitar 10 kali lebih banyak daripada di daun. D.3. Penarikan logam yang ada dalam larutan tanah harus cepat (Chaney, 1997) Kemampuan tanaman dalam mentranslokasikan logam juga dapat diukur dari hasil hitung Faktor Biokonsentrasi (bioconcentration factor, BCF) dan Faktor Translokasi (translocation factor, TF). Faktor biokonsentrasi didefinisikan sebagai ratio antara konsentrasi logam di akar dengan konsentrasi logam dalam tanah. Kemampuan tanaman untuk memindahkan logam dari akar ke daun diukur dengan TF, yang didefinisikan sebagai ratio konsentrasi logam yang ada di daun dengan yang ada di akar (Yoon et al.,2006). 29 E. Aplikasi fitoremediasi Aplikasi fitoremediasi bergantung pada polutan yang akan diremediasi, sehingga metode mana yang paling sesuai dengan polutan tersebut perlu dipilih. Beberapa contoh aplikasi fitoremediasi ditunjukkan pada Tabel 1. Fitoremediasi memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode-metode lain. Keuntungan tersebut adalah antara lain : biaya murah, ramah lingkungan, tidak merusak sifat-sifat fisik tanah, dapat menghindari terjadi erosi, logam dapat diserap oleh tanaman sehingga dengan mudah dapat diangkut ke tempat lain yang pada akhirnya logamlogam dapat diambil kembali dengan proses recovery, metode ini biasa disebut fitomining Tabel 1. Aplikasi fitoremediasi APLIKASI TUMBUHAN Rizolftrasi Bunga matahari Fitoekstraksi Sawi dan bunga matahari Fitostabilisasi Poplar (populus spp) Fitovolatilisasi Brassica spp Fitotransformasi Hybrid poplars (populus POLUTAN 137Cs, 90Sr Pb As, Cd Se TCE spp) Tabel-2 berikut menunjukkan beberapa cara remediasi polutan. perbandingan biaya operasional 30 Tabel 2. Biaya operasinoal beberapa metode remediasi METODE REMEDIASI ONGKOS ($/TON) Perlakuan kimia 100 - 200 Pencucian tanah 75 – 200 Fitrivikasi termal 250 – 425 Perlakuan panas 170 – 300 Elektrokinetika 20 - 200 Insinerasi 200 – 500 Landfilling 100 – 500 Fitoremediasi 25 – 100 Glass (2000) F. Kangkung darat (Ipomoea reptans Poir) Tanaman kangkung dalam tatanama (sistematika) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut. Regnum : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub-divisio : Angiospermae Classisis : Dicotylledoneae Sub Classis : Sympetalae Orde : Solanales Familia : Convolvulaceae Genus : Ipomoea Spesies : Ipomoea aquatica Fork (Kangkung air), I. reptans Poir (kangkung darat). 31 F.1. Morpologi tanaman kangkung Kangkung merupakan tanaman menetap yang dapat tumbuh lebih dari satu tahun. Batang tanaman berbentuk bulat panjang berbuku-buku, banyak mengandung air dan berlubang-lubang. Batang tanaman kangkung tumbuh merambat atau menjalar dengan percabangan yang banyak. Tanaman kangkung memiliki sistem perakaran tunggang dan cabangcabang akarnya menyebar ke semua arah, dapat menembus tanah sampai kedalaman 60 – 100 cm dan melebar secara mendatar pada radius 100 – 150 cm atau lebih Tangkai daun melekat pada buku-buku batang dan di ketiak daunnya terdapat mata tunas yang dapat tumbuh menjadi percabangan baru. Bentuk daun umumnya seperti jantung hati, ujung daun runcing ataupun tumpul, permukaan daun sebelah atas berwarna hijau tua, dan permukaan bagian bawah berwarna hijau muda. Selama fase pertumbuhan, tanaman kangkung terutama jenis kangkung darat dapat berbunga, berbuah, dan berbiji, Bentuk bunga seperti terompet dan daun mahkota bunga berwarna putih atau merah lembayung. Buah kangkung berbentuk bulat telur yang di dalamnya berisi tiga butir biji. Bentuk biji kangkung bersegi-segi atau agak bulat, berwarna coklat atau kehitam-hitaman,dan termasuk biji berkeping dua. Pada jenis kangkung darat biji kangkung berfungsi sebagai alat perbanyakan tanaman secara generatif. 32 F.2. Penanaman kangkung darat Syarat tanah yang dikehendaki kangkung darat adalah tanah yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, dan air tidak mudah tergenang yang mengakibatkan tanah menjadi becek. Pada tanah yang becek, akar-akar dan batang tanaman kangkung darat akan mudah membusuk atau mati. Kangkung darat dikembangbiakkan secara generatif dengan biji-bijinya atau secara vegetatif berupa setek pucuk. Akan tetapi para petani pada umumnya menggunakan bahan tanaman yang berasal dari biji (benih). Penanaman benih kangkung darat dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti berikut ini. 1. Sistem sebar, yakni benih disebar (ditabur) secara merata di atas permukaan bedengan, kemudian ditimbun (ditutup) dengan tanah 2. Sistem barisan, yakni benih disebar dalam larikan-larikan (alur-alur) pada jarak tanam 20 cm antar barisan. 3. Sitem huntukala (triangular), yakni mengukur jarak tanam 20 x 20 cm membentuk segitiga F.3. Cara panen kangkung Panen pertama kangkung dapat dilakukan pada umur 2 – 3 bulan setelah tanam. Panen pertama ini selain bertujuan utnuk mendapatkan hasil 33 bahan sayuran daun, juga berfungsi untuk merangsang pertumbuhan vegetatif (pucuk-pucuk) berikutnya yang lebih banyak. Ciri tanaman kangkung siap dipanen adalah pertumbuhan tunastunasnya telah memanjang sekitar 20 – 25 cm dan ukuran daun-daunnya cukup besar. Waktu panen yang paling baik adalah pagi atau sore hari agar tidak mengalami kelayuan yang draktis akibat pengaruh suhu udara yang panas ataupun teriknya sinar matahari (Rukmana, 1994). G. KERANGKA PIKIR Pada bagian kanan dari skema adalah model sirkulasi kesetimbangan bahan yang menggambarkan kimia-dinamika ekosistem. Manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan sehari-harinya menggunakan hasil industri sebagai bahan konsumsi mereka. Residu dari manusia dan limbah dari proses industri berupa limbah padat dan cair yang mengandung Cd, Cr, dan Pb dikembalikan ke bahan biogeokimia pada tanah. Pada kejadian ini, residu dan limbah industri berada dalam bentuk pencemaran tanah. Bagian kiri dari skema adalah siklus energi dan bahan yang terjadi secara alami. Sebagian dari sinar matahari terjerap oleh tanaman kangkung, kemudian energi ini dirubah menjadi energi kimia melalui fotosintesis. Bahan geokimia berupa mineral, tanah, air dan udara yang telah terjerap dalam kangkung dirubah menjadi struktur seluler biologi. Siklus ini berlangsung terus menerus di dalam ekosistem. 34 Bahan residu dari aktivitas manusia dan limbah dari proses industri dikembalikan ke lingkungan tanah. Banyak dari residu dan limbah cair yang mengandung Cd, Cr, dan Pb tidak dapat diuraikan oleh mikroba tanah dan mikroorganisme dalam air. Akibatnya di dalam tanah, zat pencemar seperti Cd, Cr, dan Pb tersirkulasi bersama-sama dengan semua bahan yang lain dalam proses perubahan makanan. Dalam proses metabolisme, Cd, Cr, dan Pb akan menjadi bagian dari struktur seluler dalam tanaman kangkung. Apabila ditekankan pada penyebaran logam berat pada lingkungan tanah, maka permukaan tanah sangat signifikan peranannya. Penyerapan logam berat pada permukaan tanah dipengaruhi oleh kuatnya pengikatan logam berat pada permukaan tanah dan hal ini yang menentukan proses penyerapan. Ada dua fraksi besar terdapat di dalam tanah yaitu: fraksi organik dan anorganik (mineral). Fraksi mineral tersusun dari lapisan silika dan logam hidroksida. Lapisan silika terbentuk dari dua unit dasar. Unit pertama adalah tetrahedral: 4 atom oksigen mengelilingi satu kation pusat, biasanya Si4+, tetapi kadangkadang Al3+ dan unit kedua adalah oktahedral: 6 oksigen (atau hidroksil) mengelilingi satu kation besar, biasanya Al3+. Lapisan silikon tetrahedral dan aluminium oktahedral berinteraksi dalam berbagai bentuk penggabungan membentuk lapisan struktur mineral clay. Kation yang mempunyai jari-jari serupa dengan kation Al3+ atau Si4+ dapat mengalami substitusi. Tetapi apabila valensi kation pensubstitusi lebih rendah daripada Al 3+ atau Si4+, 35 maka akan dihasilkan suatu lapisan bermuatan negatif yang akan dinetralkan oleh suatu kation yang berada di luar struktur lapisan. Lapisan silika ini merupakan suatu lapisan yang dikarakterisasi dengan luas permukaan yang sangat besar dan dikelilingi muatan negatif yang sangat banyak. Muatan negatif ini ternetralkan oleh kation (Cd, Cr, dan Pb) yang berada di luar lapisan. Permukaan clay merupakan suatu lapisan yang bermuatan negatif yang sifatnya bergantung pada pH dan hasil ionisasi ion hidrogen dan hidroksil. Kemampuan clay melakukan penukaran kation sangat bergantung dari mekanisme peruraian ion hidrogen dan kation-kation bebas. Jadi, logam Cd, Cr, dan Pb menggantikan proton dan kation lainnya di dalam tanah. Fraksi organik (fraksi humus) ini terdiri atas tiga golongan besar yaitu humin (material yang tidak dapat diekstraksi dengan reagen alkali), humik (fraksi yang dapar diekstraksi dengan reagen alkali dan dapat diendapkan dalam suasana asam), dan asam fulvik (fraksi yang tertinggal dalam larutan setelah zat lainnya telah terpisahkan. Aspek signifikan pada fraksi organik tanah dalam konteks penyerapan Cd, Cr, dan Pb adalah karena mempunyai permukaan sangat luas yang sangat baik untuk terjadinya penukaran kation. Fraksi organik ini juga merupakan senyawa organopilik yang mempunyai sifat sangat signifikan terhadap kemampuannya menyerap zat organik non ionik (Cd, Cr, dan Pb yang telah membentuk kompleks). Kangkung darat sebagai hiperakumulator logam berat mempunyai kemampuan menjerap dan mengakumulasi Cd, Cr, dan Pb dari komponen 36 tanah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak ruang besar dalam protoplasma suatu sel di dalam jaringan kangkung. Sel ini mengandung Asam-asam amino: glisin, asam glutamat, prolin dan asam aspartat dan asam-asam amino lain dalam jumlah kecil, gugus karboksilat dan gugus hidroksil. Senyawa ini di dalam kangkung bereaksi dengan Cd, Cr, dan Pb membentuk suatu senyawa kelat yang sifatnya stabil. Hasil reaksi ini merupakan reaksi utama yang mendukung adanya kekuatan penjerapan yang tinggi dari kangkung terhadap Cd, Cr, dan Pb di dalam larutan tanah. Salah satu reaksi kimia yang mungkin terjadi dalam tanaman kangkung darat adalah sebagai berikut. NH – CH2 2 H2N-CH2-COOH + M2+ + 4 H+ M O Glisin C=O 2 M : logam bervalensi 2 NH – CH2 2 H2N-CH2-COOH + Cd2+ Glisin + 4 H+ Cd O C=O 2 37 Akumulasi kation Cd, Cr, dan Pb oleh ujung-ujung akar tanaman kangkung dipengaruhi oleh berbagai faktor luar seperti lama waktu kontak, temperatur, konsentrasi logam berat dan lainnya. Kadmium, krom, dan timbal yang diserap akar tidak berbentuk molekul-molekul garam, akan tetapi logam berat ini diserap akar di dalam bentuk kation dan anion lainnya. Kation-kation ini di dalam larutan tanah bergerak secara horizontal sampai di pembuluh batang (silem). Di dalam silem ini larutan kation Cd, Cr, dan Pb bergerak secara vertikal menuju ke daun karena pertolongan sel-sel hidup yang ada di sekitar silem. 38 Siklus energi-bahan Kimia Dinamika Ekosistem Tenaga matahari Proses Industri Kangkung darat dan tumbuhan berklorofil Limbah Cair dan Padat mengandung Logam Berat Hasil Industri Konsumsi manusia Bahan biogeokimia (mineral, air, tanah dan udara) Residu Pencemaran logam berat dalam tanah Skema Kesetimbangan logam berat dalam tanah M-Clay 2 3 ML-(humus) 1 M: Logam berat L : Ligan M ML Larutan tanah 5 M-Oksida Hidrat 4 1.Larutan tanah, logam berat ada dalam bentuk kation dan Senyawa kompleks 2.Adsorpsi permukaan logam berat pada permukaan clay 3.Pembentukan senyawa kompleks antara logam berat dengan fraksi humus 4.Senyawa yang tidak larut 5. Penyerapan logam berat oleh oksida-oksida hidrat Senyawa tidak larut Gambar 1. Kerangka pikir penelitian 39 H. HIPOTESIS 1. Tanaman kangkung darat bersifat hiperakumulator terhadap Cd(II) Cr(VI), dan Pb(II) 2. Mekanisme akumulasi kangkung darat terhadap logam Cd(II), Cr(VI), dan Pb dapat ditentukan 3. Terjadi efek sinergis pada akumulasi paduan biner dan tertier antara Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada kangkung darat 40 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif untuk mengetahui waktu optimum yang diperlukan untuk mengamulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II), pengaruh konsentrasi pada media tanam serta mekanisme fitoakumulasi pada tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans Poir). Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian adalah, penanaman, waktu panen, preparasi sampel, analisis, dan interpretasi hasil analisis yang diperoleh. B.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Universitas Hasanuddin dan laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin pada awal Januari 2008 sampai Juni 2009. Penanaman kangkung darat dilakukan dalam rumah kaca. C.Alat dan Bahan yang digunakan C.1. Alat-alat. Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas yang umum dipakai di laboratorium, pot plastik, baskom, sprayer, neraca analitik, oven, pemanas, termometer, pH-meter, spektrofotometer serapan atom (SSA, 41 Buck Scientific,205) desikator, dan kertas saring, FTIR, dan Mikroskop Elektron C.2. Bahan-bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah tanah, pupuk kandang, TSP, Urea, KCl, HNO3 Pekat, H2O2 30 %, NaOH, Pb(NO3)2, Cd(NO3)2, K2Cr2O7, dan akuades. D.Prosedur Kerja D.1. Penyiapan media tanah Tanah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari perkebunan sayur-sayuran. Tanah tersebut dibersihkan dari batuan dan akar-akaran yang ada. Kandungan nitrogen, fosfat, kalium, krom (Cr), kadmium (Cd), timbal (Pb) dan bahan organik dianalisis di laboratorium. Tanah kemudian dibiarkan selama 2 minggu sambil diaduk dan diangin-anginkan. D.2.Pembuatan tanah terkontaminasi ion Cd(II),Cr(VI), dan Pb(II) Untuk pembuatan tanah yang terkontaminasi dengan lion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II), konsentrasi yang diinginkan dalam percobaan ini terlebih dahulu ditentukan. Untuk ion Cd(II), konsentrasi ion dalam tanah yang dibuat adalah 50 ppm (50 mg/kg berat kering tanah) sesuai dengan konsentrasi yang digunakan Muramoto et al.,(1990). Untuk ion Cr(VI), konsentrasi yang digunakan adalah 50 ppm sesuai percobaan yang telah dilakukan oleh Moral et al., (1995), sedangkan konsentrasi 42 yang digunakan untuk ion Pb(II) adalah 100 ppm sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Burton et al., (1984). Kadmium yang telah disiapkan dicampurkan dengan tanah sambil diaduk hingga homogen dan diperoleh konsentrasi 50 ppm. Tanah yang terkontaminasi dengan ion Cr(VI) dan Pb(II) dibuat dengan cara yang sama seperti tanah yang terkontaminasi dengan ion Cd(II). D.3.Penyiapan media tanam Sejumlah pot bersih diisi dengan 2 kg tanah yang telah dicampur dengan ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II). Tanah kemudian ditaburi dengan pupuk TSP dan KCl dan disiram dengan akuades. Kontrol dilakukan dengan menggunakan pot yang berukuran sama dan jumlah tanah yang sama tetapi tanah yang digunakan tidak mengandung ion-ion tersebut. D.4.Penanaman kangkung darat Benih kangkung darat direndam selama 4 jam dengan akuades. Biji kangkung darat ditanam secara langsung pada bagian tengah pot dengan ke dalaman sekitar 1- 2 cm. dari permukaan. Setiap hari, benih disiram dengan akuades. Panen pertama dilakukan satu minggu setelah kecambah tumbuh, kemudian dipupuk dengan urea. Selanjutnya panen dilakukan setiap minggu hingga kangkung darat berumur lima minggu. Kangkung darat yang telah dipanen dicuci dengan air bebas mineral hingga bersih dari tanah dan benda-benda lainnya. Akar, batang dan daun 43 yang telah bersih dipisahkan kemudian disimpan dalam kantong plastik dan siap dianalisis secara kimia. Ketiga logam tersebut dianalisis dengan cara yang ditampilkan pada D.5. D.5. Analisis kadar ion Cd(II),Cr(VI), dan Pb(II) pada akar, batang, dan daun. Metode analisis jumlah ion-ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) mengacu pada prosedur kerja yang telah digunakan oleh Hammer (2002), Piotrowska-Cyplik dan Czameki (2005), Nouairi et al. (2005), Aiyen (2004), dan Cave et al. (2000). Pada umumnya peneliti-peneliti tersebut mengatakan bahwa untuk analisis ion logam yang terkandung dalam bahan organik, cara basah lebih baik digunakan daripada cara kering. Akar, batang dan daun yang telah bersih pada bagian D-4 dianginanginkan beberapa jam kemudian ditimbang dengan teliti pada petridish yang telah diketahui berat kosongnya. Bagian tanaman tersebut dipanaskan dalam oven selama 24 jam pada suhu 80o C, kemudian didinginkan dalam eksikator. Bagian tanaman yang kering ditimbang kembali sehingga diketahui berat yang hilang sebagai jumlah air yang terkandung dalam akar, batang dan daun. Sampel kering ini digerus pada lumpang porselin. Contoh yang telah digerus ditimbang kira-kira 0,5 gram dengan neraca analitik. Contoh tersebut dilarutkan dengan campuran 5 mL HNO3 6 M dan 5 mL H2O2 30 %, dipanaskan sampai semua materi larut sempurna. Larutan didinginkan, ditambahkan dengan akuades, 44 dipanaskan dan disaring dalam keadaan panas ke dalam labu ukur 50 mL. Larutan sampel ini diatur pHnya dengan HNO 3 atau NaOH hingga pHnya sekitar 2 – 3. Larutan diimpitkan hingga tanda batas dengan akuades dan dikocok hingga homogen. Larutan siap diukur dengan spektrofotometer serapan atom. D.6. Penentuan waktu optimum akumulasi Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II) Untuk penentuan waktu optimum penyerapan ion Cd(II), Cr(VI),dan Pb(II) oleh kangkung darat, panen dilakukan setelah tanaman berumur satu minggu. Panen selanjutnya dilakukan tiap minggu selama 5 minggu. Setiap selesai panen, kangkung darat dibersihkan dari tanah dan kotorankotoran lainnya kemudian akar, batang dan daun dipisahkan dan dianalisis seperti prosedur D.5. Waktu optimum merupakan waktu dimana penyerapan ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II) maksimum yang dapat diperoleh dari kurva antara konsentrasi versus waktu penyerapan. D.7. Pengaruh Konsentrasi terhadap jumlah ion yang terakumulasi dalam tanaman kangkung darat. Untuk penentuan pengaruh konsentrasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) dalam media tumbuh terhadap jumlah ion yang terakumulasi tanah, terkontaminasi ion Cd(II) dengan variasi konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm dibuat. Konsentrasi yang sama juga dibuat untuk ion Cr(VI), sedangkan untuk ion Pb(II) dibuat variasi konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm. Kemudian tanah-tanah yang terkontaminasi ini ditanami 45 kangkung darat sesuai dengan percobaan D-4. Panen dilakukan pada minggu ke 3 sesuai dengan waktu optimun yang diperoleh pada percobaan D-6. Selanjutnya kandungan ion-ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II) pada akar, batang, dan daun kangkung darat dianalisis sesuai dengan prosedur D.5. D.8. Mekanisme akumulasi Cd(II), Cr(VI),dan Pb(II) pada kangkung darat Penentuan mekanisme akumulasi logam berat pada tanaman dilakukan sesuai dengan prosedur Ghosh dan Singh (2005) dengan menghitung faktor biokonsentrasi (BCF) dan faktor translokasi (TF) dengan rumus berikut : Faktor biokonsent rasi (BCF) [M] pada bagian akar tanaman (mg/kg BK) [M] yang ditambahka n ke dalam tanah (mg/kg BK) Faktor translokas i [M] dalam daun (mg/kg BK) [M] dalam akar (mg/kg BK) D.9. Efek sinergi ion Cr-Pb, Cr-Cd, Pb-Cd, dan Cr-Pb-Cd. Efek sinergi paduan ion-ion logam terhadap penyerapan ion logam berat oleh kangkung darat dikerjakan sesuai dengan prosedur D-1 sampai D-3. Perbedaannya hanya pada kontaminnya. Pada perlakuan ini setiap tanah dikontaminasikan dengan dua atau tiga ion logam. Konsentrasi ion 46 Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang digunakan dalam paduan ini adalah 15 ppm (15 mg/kg berat kering tanah). Selanjutnya penanaman kangkung darat dikerjakan sesuai dengan prosedur D-4 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pendahuluan Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi logam Cd, Cr, dan Pb yang ada dalam tanah sebelum digunakan sebagai media tanam kangkung darat. Tabel 3 menunjukkan kandungan Cd, Cr dan Pb dari tanah tersebut Tabel 3. Kandungan Cd, Cr dan Pb dalam tanah dan pupuk Sampel [Cd] mg/kg [Pb] mg/kg [Cr] mg/kg Tanah 3,498 31,884 23,990 Pupuk KCl 2,993 21,301 4,990 Pupuk urea TT 8,287 4,990 Pupuk TSP 2,993 5,34 10,89 Selain analisis kandungan Cd, Cr, dan Pb, analisis sifat fisik dan kimia tanah juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesuburan serta jenis tanah (Tabel-4). Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah dengan testur yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman kangkung darat. Tanah ini termasuk jenis lempung berliat atau lebih dikenal sebagai tanah alluvial. dan pH 6,8. Kapasitas penukar kation pada tanah yang digunakan adalah 19,77 cmol/kg yang merupakan daerah sedang menurut WHO 1986 (17- 48 24 cmol/kg). Kandungan bahan organiknya (C) adalah 1,19%, sedang nitrogen (N) hanya 0,13 %. Tabel 4. Sifat fisik dan kimia tanah yang digunakan Parameter Uji Hasil yang diperoleh Pasir (% berat kering) 38 Debu (% berat kering) 25 Liat (% berat kering) 37 Kadar Air 1,60 Kapasitas penukar kation (cmol/kg) 19,77 Kandungan bahan organik (% C) 1,19 N (% berat kering) 0,13 P (% berat kering) 17,80 K (cmol/kg) 0,22 Hasil analisis pendahuluan menunjukkan bahwa tanah yang digunakan dalam penelitian ini telah mengandung logam berat Cd, Cr dan Pb tetapi tidak memberikan efek negatif terhadap semua sayuran yang ditanam ditempat tersebut. Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah mengindikasikan bahwa beberapa parameter uji dianggap memenuhi syarat untuk penanaman kangkung darat, meskipun kandungan nitrogen masih rendah sehingga diperlukan pemupukan dengan urea. 49 B. Analisis kandungan ion-ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) setelah akumulasi B.1. Pengaruh waktu panen terhadap jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang terakumulasi Jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang terakumulasi pada kangkung darat sebagai fungsi waktu panen ditunjukkan pada Gambar 2 dan lampiran 3. Gambar 2. Pengaruh waktu panen terhadap jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang terakumulasi pada kangkung darat Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah ion-ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang diakumulasi oleh tanaman kangkung darat meningkat dengan bertambahnya waktu panen dan mencapai maksimum pada minggu ketiga dengan jumlah yang terakumulasi berturut-turut 1342,01, 1067,55, dan 1627,90 mg/kg berat kering untuk ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II). Pada minggu keempat dan kelima, jumlah ketiga ion ini menurun karena tanaman kangkung darat telah mengalami kelainan fisik seperti klorosis (daun menguning). Kelainan fisik ini disebabkan terjadinya 50 penghambatan penyerapan unsur hara yang disebabkan oleh ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II). Secara umum, kondisi homeostasis suatu sistem kehidupan dapat mentoleransi sampai jumlah tertentu konsentrasi logam dengan tidak mengganggu pertumbuhannya. Tetapi konsentrasi logam yang makin besar dapat mengurangi kemampuan detoksifikasi sehingga tanaman mengalami gangguan pertumbuhan. B.2. Pengaruh konsentrasi terhadap jumlah ion-ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II) yang terakumulasi pada kangkung darat Jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang terakumulasi pada kangkung darat sebagai fungsi konsentrasi ion yang ditambahkan dalam media tanam ditunjukkan pada Gambar 3. Hasil menunjukkan bahwa jumlah ion Cd(II) yang dapat diakumulasi oleh kangkung darat meningkat dengan naiknya konsentrasi ion Cd(II) dalam media tanam Jumlah ion Cd(II) tertinggi yang dapat diakumulasi oleh kangkung darat (1164,15 mg/kg berat kering) diperoleh pada penambahan ion Cd(II) 50 ppm dalam media tanam dan terendah (313,42 mg/kg berat kering) pada konsentrasi ion Cd(II) 10 ppm dalam tanah. Jumlah ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat meningkat dengan naiknya konsentrasi ion Cr(VI) dalam media tanam. Jumlah ion Cr(VI) tertinggi yang dapat diakumulasi oleh kangkung darat adalah 1067,55 ppm pada penambahan ion Cr(VI) 50 ppm pada media tanam dan terendah 14,26 ppm pada penambahan ion Cr(VI) 10 ppm. Hasil 51 penelitian yang sama telah dilakukan oleh Ghosh dan Singh (2005) pada [ion] yang terakumulasi (mg/kg BK) tanaman Brassica juncea, B. campetris. 1400 1200 Cd 1000 Cr 800 Pb 600 400 200 0 0 20 40 60 80 100 120 Konsentrasi (m g/kg) Gambar 3. Pengaruh konsentrasi ion Cd(II) ,Cr(VI), dan Pb(II) pada media tumbuh terhadap jumlah ion yang terakumulasi Berdasarkan variasi konsentrasi ion Pb(II) dalam media tanam (Gambar-3), dapat dikatakan bahwa sampai konsentrasi 60 ppm terjadi akumulasi linier yang cukup baik diikuti penurunan lemah pada konsentrasi 80 ppm dan kemudian mencapai penyerapan maksimum, 962,79 ppm, pada penambahan 100 ppm Pb. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa skenario pencemaran tanah oleh Pb sampai 60 ppm dapat dikurangi dengan cukup baik melalui penanaman kangkung darat tersebut. Seperti diketahui nilai ambang Pb dalam tanah adalah 150 ppm (Depkes), 600 ppm (NJDEF,1996 dalam Lasat 2000). Konsentrasi diatas 60 ppm, proses kumulatif terus berlangsung tapi dengan daya dukung 52 kangkung darat yang menurun. Pada konsentrasi 100 ppm terjadi serapan puncak namun diikuti dengan gangguan pertumbuhan kangkung darat yang akhirnya mengalami kematian akibat keracunan. Hasil analisis ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada variasi waktu panen menunjukkan bahwa waktu akumulasi meningkat sampai hari ke 21 (minggu ke III), sedangkan pada minggu ke IV kemampuan kangkung darat untuk mengakumulasi ketiga kation tersebut sudah berkurang. Sehingga waktu optimum yang diperoleh pada penelitian ini adalah pada hari ke 21 atau minggu III). Akumulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada variasi konsentrasi ketiga kation pada media tanam menunjukkan bahwa kemampuan kangkung darat untuk mengakumulasi meningkat dengan naiknya konsentrasi dalam media tanam. Perbedaan yang nampak pada gambar 3 disebabkan karena sifat kimia unsur ini berbeda. Ion Cd(II) dan Pb(II) bersifat asam lunak menurut Lewis sehingga kedua ion lebih cepat berinteraksi dengan basa lunak yang umunya ada dalam tanaman. Sedangkan ion Cr(VI) adalah asam keras sehingga ion ini sulit berinteraksi dengan senyawa yang ada dalam tanaman tersebut. B.3. Mekanisme akumulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II). B.3.1. Mekanisme akumulasi ion Cd(II) pada kangkung darat Hasil perhitungan nilai BCF dan TF untuk variasi waktu ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai BCF pada umumnya lebih besar daripada satu, sedangkan nilai TF pada umumnya lebih kecil daripada satu. Nilai BCF 53 berbanding terbalik dengan nilai TF yang menunjukkan bahwa tanaman kangkung darat mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi logam Cd namun kemampuan untuk mentranslokasikan logam masih rendah, hasil ini sesuai dengan yang diperoleh (Yoon et al., 2006). 25 Nilai BCF dan TF 20 15 10 BCF TF 5 0 -5 I II III IV V Waktu Panen (Pekan) Gambar 4. Nilai BCF dan TF sebagai fungsi waktu Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pada variasi waktu maupun variasi konsentrasi, akumulasi ion Cd(II) paling besar konsentrasinya dalam akar dibandingkan dalam batang dan daun. Hal ini disebabkan karena logam berat masuk ke dalam tanaman secara pasif. Logam berat hanya mampu masuk ke tanaman melalui pembawa (carrier) seperti ionion nutrient atau dalam bentuk kompleks dengan senyawa-senyawa organik. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme yang terjadi pada akumulasi Cd pada kangkung darat adalah fitostabilisasi. Nilai BCF dan TF sebagai fungsi konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai BCF yang diperoleh lebih besar daripada 1 dan nilai TF 54 lebih kecil daripada 1. Hasil ini makin memperkuat dugaan bahwa remediasi tanaman kangkung darat melalui mekanisme fitostabilisasi Nilai BCF dan TF 26 21 16 BCF 11 TF 6 1 -4 10 20 30 40 50 [Cd] yang ditambahkan pada media tanam Gambar 5. Nilai BCF dan TF sebagai fungsi konsentrasi B.3.2. Mekanisme akumulasi Cr pada kangkung darat Pada umumnya semua jenis tanaman adalah akumulator terhadap logam, tetapi tidak semua tanaman berfungsi sebagai hiperakumulator Suatu tanaman dapat disebut sebagai hiperakumulator terhadap Cr jika mampu menarik logam dalam konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 1000 ppm (Lasat, 2000). Hasil analisis akumulasi ion Cr(VI) baik pada pengaruh waktu tanam terhadap akumulasi maupun pada variasi konsentrasi ion Cr(VI) pada media tanah, memberikan nilai lebih besar daripada 1000 ppm (1067,55 mg/kg) pada tanah yang dikontaminasikan dengan Cr(VI) sebanyak 50 ppm, sehingga kangkung darat dapat disebut sebagai tanaman hiperakumulator terhadap krom. Untuk mengetahui mekanisme akumulasi ion Cr(VI) oleh tanaman kangkung darat maka perlu dihitung nilai faktor biokonsentrasi (BCF) dan faktor translokasi (TF). Faktor translokasi (TF) berkaitan erat dengan 55 kemampuan tanaman untuk mengakumulasi dan mentranslokasikan logam dari tanah ke bagian atas tanaman. Dengan cara yang sama pada perhitungan BCF dan TF pada ion Cd(II) diperoleh hasil seperti yang tertera pada Gambar 6. Gambar 6. Nilai BCF dan TF sebagai fungsi waktu akumulasi Nilai BCF pada umumnya lebih besar daripada satu, sedangkan nilai TF pada umunya lebih kecil daripada satu. Nilai BCF berbanding terbalik dengan nilai TF yang menunujukkan bahwa tanaman kangkung darat mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi ion Cr(VI), tetapi kemampuan untuk mentranslokasikan logam masih rendah (Yoon et al.,2006). Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme yang terjadi pada akumulasi Cr pada kangkung darat adalah fitostabilisasi. 56 B.3.3. Mekanisme akumulasi ion Pb(II) pada kangkung darat Untuk mengetahui kemampuan kangkung darat untuk mengakumulasi dan mentranslokasikan logam pencemar oleh kangkung darat maka diperlukan perhitungan faktor biokonsentrasi (BCF) dan faktor translokasi. Faktor biokonsentrasi didefinisikan sebagai rasio antara konsentrasi logam Pb dalam akar dengan konsentrasi Pb dalam tanah. Kemampuan tanaman untuk memindahkan logam dari akar ke bagian atas tanaman disebut sebagai faktor translokasi yang didefinisikan sebagai rasio konsentrasi logam yang ada dalam daun dengan akan tanaman. (Yoon,et al.,2006). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai BCF cukup tinggi sedangkan nilai TF cukup rendah yang ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil mengindikasikan bahwa kangkung darat mempunyai kemampuan yang besar untuk menarik logam Pb dari tanah, tetapi kemampuan untuk mentranslokasikan Pb sangat rendah. Nilai BCF yang tinggi dan TF yang rendah menunjukkan bahwa mekanisme fitoremediasi yang terjadi dalam tanaman kangkung darat tersebut adalah fitostabilisasi. Proses fitostabilisasi merupakan salah satu teknik fitoremediasi yang memperbaiki lingkungan dengan cara menarik dan mengendapkan logam berat dari dan pada rizofer. 57 9 Nilai BCF dan TF 8 7 6 5 BCF 4 TF 3 2 1 0 I II III IV V Waktu Panen (Minggu) Gambar 7. NiLai BCF dan TF pada pengaruh waktu akumulasi Pb pada tananamn kangkung darat Tanaman hiperakumulator menurut Aiyen (2004) adalah yang mengakumulasi minimum 1000 ppm Pb. Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian di atas, kangkung darat dapat dikategorikan sebagai tanaman hiperakumulator untuk logam Pb karena tingkat akumulasinya mendekati 1000 ppm (962,79 ppm). Pada dasarnya faktor BCF dan TF adalah indikator yang dapat membedakan mekanisme akumulasi antara fitostabilisasi dan fitoekstraksi. Pada nilai BCF >1 dan TF < 1, mekanismenya fitostabilisasi. Sebaliknya, BCF < 1, TF > 1, mekanisme adalah fitoekstraksi. Dalam penelitian ini, BCF > 1 dan TF < 1 yang menunjukkan bekerjanya mekanisme fitostabilisasi. Nilai BCF yang berbanding terbalik dengan nilai TF menunjukkan bahwa tanaman kangkung darat mempunyai kemampuan tinggi mengakumulasi logam Pb tapi sulit mentranslokasikannya . 58 B.4. Distribusi logam ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada kangkung darat B.4.1. Distribusi ion Cd(II) pada tanaman kangkung darat Gambar 8 dan 9 berturut-turut menunjukkan distribusi ion Cd(II) pada tanaman kangkung darat. Secara umum kemampuan tanaman kangkung darat untuk mengakumulasi ion Cd(II) terbesar pada bagian akar, batang, dan daunnya. Konsentrasi ion Cd(II) terdapat dalam jumlah yang paling besar di bagian akar, karena akar terdapat di dalam tanah yang merupakan bagian tanaman yang pertama kali berinteraksi secara langsung dengan Cd pada rizofer. Kandungan Cd dalam bagian tanaman semakin berkurang sesuai urutan sebagai berikut akar > batang > daun. Hasil yang sama telah diperoleh Blum, (1997) yang melaporkan bahwa kandungan Cd yang diakumulasi oleh tanaman menurun sesuai urutan akar > batang > daun > buah > biji. Konsentrasi ion Cd(II) di akar paling tinggi karena ion Cd(II) yang pertama kali kontak dengan akar, kemudian disimpan dibagian sel akar yang jika terjadi kompleks dengan senyawa-senyawa organik kompleks tersebut sukar ditranslokasikan kebagian atas tanaman. maka [Cd] mg/kg berat kering 59 1200 A kar 1000 B atang Daun 800 600 400 200 0 I II III IV V Waktu panen (pekan) [Cd], mg/kg berat kering Gambar 8. Distribusi [Cd] di Akar, Batang, daun vs variasi waktu panen 1000 800 akar batang daun 600 400 200 0 10 20 30 40 50 [Cd] yang ditam bahkan (ppm ) Gambar 9. Distribusi [Cd] di akar, batang, daun vs variasi [Cd] pada media tanam 60 B.4.2. Distribusi ion Cr(VI) pada tanaman kangkung darat Gambar 10 dan 11 berturut-turut menunjukkan distribusi Cr(VI) pada akar, batang, dan daun kangkung darat pada variasi waktu panen dan konsentrasi ion Cr(VI) dalam media tanam. Kedua Gambar ini menunjukkan bahwa pada umumnya konsentrasi ion Cr(VI) paling tinggi diperoleh pada akar dibandingkan pada bagian atas tanaman. Akar adalah bagian tanaman dalam tanah yang berinteraksi secara langsung dengan ion Cr(VI) melalui rizofer yang akan membentuk kompleks dengan senyawa pengkelat (asam organik, PC, MTs). Konsentrasi Cr dalam bagian tanaman 800 700 600 500 Akar 400 Batang 300 Daun 200 100 0 1 2 3 4 5 Waktu panen (m inggu) Gambar 10. Distribusi [Cr] di akar, batang, dan daun vs waktu panen Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya akumulasi ion Cr(VI) tertinggi didapatkan pada akar, kemudian daun dan batang. Hal 61 sama ditemukan oleh Rahman dan Parpian (2004) yang mempelajari akumulasi arsen pada kangkung darat dimana kandungan arsen tertinggi diperoleh pada akar (12,1 mg/kg BK. Jumlah arsen yang diakumulasi pada bagian tunas/pucuk adalah 7,7 mg/kg BK. Hasil yang sama juga telah ditemukan oleh Ghosh dan Singh (2005) yang menggunakan spesies Brassica juncea, B. campestris, Dhatura innoxia, Ipomoea carnea, Phragmytes karka, Cassia tora, Lontana camara untuk mengakumulasi ion Cr(VI). [Cr] yang diakumulasi (mg/kg BK) 500 450 400 350 300 Akar 250 Batang 200 Daun 150 100 50 0 10 20 30 40 50 Variasi [Cr] dalam m edia tanam Gambar 11. Distribusi ion Cr(VI) di akar, batang, dan daun vs Variasi [Cr] dalam media tanam Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ion Cr(VI) terakumulasi paling tinggi dalam akar kemudian daun dan batang. Menurut Lasat (2000), tingginya akumulasi dalam akar terjadi karena logam dapat dikomplekskan dan disimpan dalam organel sel vakuola sehingga sulit untuk ditranslokasikan ke bagian atas tanaman. 62 B.4.3. Distribusi ion Pb(II) pada kangkung darat Distribusi logam Pb pada tanaman kangkung darat sebagai fungsi waktu panen dan penambahan konsentrasi Pb pada media tanam berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13. Gambar 12. Distribusi ion Pb(II) pada akar, batang, dan daun Kangkung darat sebagai fungsi waktu panen [Pb] (mg/kg berat kering) 1400 1200 1000 Akar 800 Batang 600 Daun 400 200 0 20 40 60 80 100 Variasi penam bahan [Pb] pada m edia tanam Gambar 13. Distribusi ion Pb(II) pada akar, batang, dan daun Kangkung darat sebagai fungsi [Pb] pada media tanam 63 Kedua grafik di atas menunjukkan bahwa distribusi logam Pb pada tanaman kangkung darat yang terbesar ditemukan dalam akar kemudian batang dan daun. Phenomena ini menandakan bahwa tanaman kangkung darat cukup kuat mengakumulasi ion Pb(II) dalam akar tetapi kurang mampu untuk mentranslokasikan logam Pb ke bagian batang dan daun. Pola distribusi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) tanaman kangkung darat dengan variasi waktu panen dan pengaruh konsentrasi ketiga kation pada media tumbuh menunjukkan bahwa konsentrasi ketiga kation ini sesuai dengan urutan berikut yaitu akar > batang > daun. Ini berarti semakin jauh semakin jauh dari sumber pencemar konsentrasi pencemar juga semakin kecil. C. Pengaruh paduan ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada media tumbuh Untuk mengetahui efek sinergis suatu logam berat terhadap logam berat lainnya maka diteliti pula ion-ion paduan biner dan tertier antara Cd(II) + Cr(VI), Cd(II) + Pb(II), Pb(II) + Cr(VI), dan Cd(II) + Cr(VI) + Pb(II). C.1. Pengaruh ion Cr(VI) dan Pb(II) pada akumulasi ion Cd(II). Gambar 14 menunjukkan konsentrasi ion Cd(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat dengan adanya ion-ion Cr(VI) dan PbII). Ion Cr(VI) dan Pb(II) menyebabkan akumulasi ion Cd(II) lebih kecil jika dibandingkan dengan akumulasi dalam keadaan tunggal. Menurut Athar dan Ahmad 64 (2001) konsentrasi Cd turun sekitar 50 % jika dibandingkan antara akumulasi Cd dalam keadaan tunggal dengan multi unsur (Ni+Cr+Cd+Zn+Pb+Cu). Penelitian dari An et al.,2004 juga menunjukkan bahwa akumulasi ion Cd(II) lebih besar jika dalam ion tunggal dibandingkan kalau dikombinasikan dengan ion Pb(II). Gambar 14. Akumulasi ion Cd(II) pada pengaruh Cr(VI) dan Pb(II) Jadi adanya ion Pb(II) bersama-sama dengan Ion Cd(II) dalam tanah menyebabkan penurunan jumlah ion Cd(II) yang diakumulasikan oleh kangkung darat. Tetapi pada kombinasi ketiga ion tersebut dalam tanah, pengaruh kedua logam ini menurun dengan meningkatnya konsentrasi ion Cd(II) dalam tanaman kangkung darat tersebut. Pola akumulasi ini mengindikasikan bahwa efek sinergis jauh lebih besar antara paduan biner daripada paduan tertier. 65 C.2. Pengaruh ion Cr(VI) dan Pb(II) pada distribusi ion Cd(II) di akar, batang dan daun pada kangkung darat Gambar 15 menunjukkan distribusi ion Cd(II) pada akar, batang, [Cd] yang diakumulasi akar, batang dan daun (mg/kg) dan daun pada pengaruh penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). 140 120 100 Akar 80 Batang 60 Daun 40 20 0 Cd Cd+Pb Cd++Cr Cd+Cr+Pb Cd dan paduannya Gambar 15. Distribusi ion Cd(II) pada kangkung darat Konsentrasi ion Cd(II) dalam akar lebih besar pada penambahan ion Cd(II) tunggal jika dibandingkan dengan pada penambahan kombinasi biner ion Cd(II) dengan Cr(VI) dan Cd(II) dengan Pb(II), tetapi pada kombinasi tertier konsentrasi ion Cd(II) meningkat walaupun rendah. Gejala yang sama ditunjukkan pada batang dan daun. Pada daun, konsentrasi ion Cd(II) pada penambahan kombinasi biner lebih kecil daripada pada penambahan ion Cd(II) tunggal dalam perlakuannya tetapi konsentrasi Cd pada penambahan kombinasi ketiga unsur ini lebih besar dibandingkan kombinasi biner. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara dua logam lebih besar dibanding dengan dengan tiga logam. 66 Distribusi ion Cd(II) pada kangkung darat pada pada kontaminasi tunggal, biner maupun tertier sesuai dengan urutan akar > batang > daun. C.3. Pengaruh Cd dan Cr pada akumulasi Pb pada kangkung darat Gambar 16 menunjukkan hasil analisis akumulasi ion Pb(II) pada kangkung darat dengan kombinasi ion Cr(VI) dan Cd(II). Jika dibandingkan dengan pengaruh penambahan ion Cd(II) dan Cr(VI), maka pengaruh ion Cr(VI) lebih kuat karena konsentrasi ion Pb(II) pada kombinasi dengan ion Cr(VI) lebih kecil daripada kombinasi dengan ion Cd(II). [Pb] dan paduannya (mg/kg BK) 300 250 200 150 100 50 0 Pb Pb+Cd Pb+Cr Pb+Cd+Cr Pb dan paduannya Gambar 16. Akumulasi Pb pada kangkung darat Jika Pb dikombinasikan dengan Cu maka konsentrasi Pb lebih kecil daripada perlakuan tunggal pada tanaman Cucumis sativus al.,2004). Hasil yang (An et sama diperoleh jika ion Pb(II) dikombinasikan dengan ion Cr(VI) pada tanaman kangkung darat. Konsentrasi ion Pb(II) 67 lebih besar daripada ion Cr(VI) pada semua bagian tanaman (akar > batang > daun). Pada paduan tertier ketiga ion ini, akumulasi konsentrasi ion Pb(II) meningkat yang hampir sama dengan akumulasi ion Pb(II) jika ion tunggal digunakan dalam media tanam. Sedangkan konsentrasi Pb pada pucuk (daun) Cucumis sativus pada penambahan ion Pb(II) tunggal lebih besar dibandingkan pada penambahan kombinasi antara ion Cd+Cu +Pb (An et al.,2004). C.4. Pengaruh ion Cd(II), Cr (VI) pada distribusi Pb(II) di akar, batang dan daun pada kangkung darat Distribusi ion Pb(II) pada tanaman kangkung darat pada pengaruh paduan dengan ion Cd(II) dan Cr(VI) ditunjukkan pada Gambar 17. Konstrasi ion Pb(II) yang terakumulasi 250 200 Akar 150 Batang 100 Daun 50 0 Pb Pb+Cd Pb+Cr Pb+Cd+Cr Ion Pb(II) dan paduannya Gambar 17. Distribusi ion Pb(II) pada kangkung darat. Konsentrasi ion Pb(II) yang diakumulasi dalam akar tanpa adanya ion lain lebih tinggi dibandingkan dengan adanya ion Cd(II) dan Cr(VI).Paduan biner ion Pb(II) + Cd(II) akumulasi ion Pb(II) lebih tinggi 68 daripada paduan antara ion Pb(II) dan Cr(VI). Sedangkan untuk padaun biner ion Pb(II) + Cd(II) dan ion Pb(II) + Cr(VI), konsentrasi ion Pb(II) lebih besar pada ion Pb(II) + Cd(II)) daripada ion Pb(II) + Cr(VI)) hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ion Cr(VI) lebih besar daripada ion Cd(II). Pada paduan tertier ion Pb(II) + Cd(II) + CrVI) konsentrasi ion Pb(II) meningkat dibanding dengan paduan biner tetapi masih lebih rendah dari perlakuan tunggal Pb. Indikasi ini menunjukkan bahwa semakin kompleks paduan logam dalam tanah semakin kurang efek sinergis antara logam tersebut. C.5. Pengaruh Ion Cd(II) dan Pb(II) terhadap akumulasi ion Cr(VI) Gambar 18 menunjukkan jumlah ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat pada perlakuan tunggal, paduan biner ion Cd(II)+Cr(VI) dan ion Cr(VI)+Pb(II), dan tertier ion (Cd(II)+Cr(VI)+Pb(II). Konsentrasi ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat pada perlakuan tunggal lebih besar dibandingkan pada perlakuan paduan biner dan tertier, tetapi jumlah ion Cr(VI) yang diakumulasi pada perlakuan biner lebih kecil daripada perlakuan tertier. Konsentrasi ion Cr(VI) pada perlakuan biner lebih kecil daripada tertier. Hasil ini mengindikasikan bahwa efek kombinasi biner lebih besar daripada tertier. 69 Gambar 18. Akumulasi ion Cr(VI) pada kangkung darat. Kecenderungan yang sama juga dilaporkan oleh An et al.,(2004) pada akumulasi ion Cu(II), Cd(II), dan Pb(II) pada tanaman Cucumis sativus serta Athar dan Ahmad (2001) melaporkan hal sama pada tanaman gandum. C.6 Pengaruh ion Cd(II) dan Pb(II) pada distribusi ion Cr(VI) di akar, batang dan daun pada kangkung darat. Distribusi ion Cr(VI) pada bagian akar, batang, dan daun tanaman kangkung darat ditunjukkan pada Gambar 19. Konsentrasi ion Cr(VI) paling tinggi pada perlakuan tunggal jika dibandingkan dengan kombinasi biner maupun tertier. Sedangkan konsentrasi ion Cr(VI) pada kombinasi biner (Cr+Cd) dan (Cr+Pb) lebih kecil daripada kombinasi tertier. [Cr] pada akar, batang dan daun 70 160 140 120 100 Akar 80 Batang 60 Daun 40 20 0 Cr Cr+Pb Cr+Cd Cd+Cr+Pb [Cr] dengan kom binasi Cd dan Pb Gambar 19. Distribusi ion Cr(VI) pada kangkung darat Secara umum, akumulasi ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II) paling besar pada penambahan ion tunggal dibandingkan pada penambahan paduan biner atau tersier. Tetapi pada paduan tertier jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat lebih besar dibandingkan pada paduan biner. Hal ini mengindikasikan bahwa efek sinergis paduan biner lebih besar daripada paduan tertier sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Al-Subu et al.(1993), An Young-Joo et al.,(2004), dan Fargsova et al.,(2006). D. Hasil Analisis FTIR D.1. Spektra Infra Merah akar kangkung darat. Untuk analisis FTIR dilakukan untuk ion Cr(VI) dan Pb(II), sedangkan ion Cd(II) dianggap terwakili oleh ion Pb(II) karena kedua logam ini mempunyai valensi yang sama. 71 Tabel 5 dan lampiran 18 menunjukkan spektra IR dari akar sebelum dan setelah penambahan ion-ion Cr(VI) dan Pb(II). Spektrum akar sebelum penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) memberikan 18 puncak serapan, tetapi setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) memberikan puncak serapan serapan 19, namun ada perbedaan diantara spektra akar setelah penambahan kedua ion tersebut. Puncak serapan kadang-kadang ada pada spektrum pembanding tetapi tidak ditemukan setelah penambahan ion Cr(VI) maupun ion Pb(II). Beberapa puncak serapan baru muncul pada penambahan ion Pb(II) dan Cr(VI) dan juga terjadi pergeseran bilangan gelombang antara pembanding dengan perlakuan. Puncak serapan yang hilang maupun muncul atau bergeser sebagai akibat penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II), mengindikasikan adanya interaksi antara ion Cr(VI) dan Pb(II) dengan gugus fungsi yang ada dalam tanaman kangkung darat tersebut. Tabel 5 menunjukkan bilangan gelombang puncak-puncak vibrasi yang ada pada kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). Puncak serapan pada bilangan gelombang 3387 cm -1 (rentangan O-H atau N-H) yang ada pada kontrol, bergeser ke bilangan gelombang yang lebih tinggi (3425,5 cm-1) setelah penambahan Cr(VI) sedangkan puncak ini tidak bergeser setelah penambahan ion Pb(II). Pergeseran ini menunjukkan bahwa ada interaksi antara ion Cr(VI) dengan gugus OH atau N-H sedangkan dengan ion Pb(II) tidak terjadi interaksi. Interaksi yang mungkin terjadi antara gugus O-H dan N-H dengan ion Cr(VI) adalah 72 terbentuknya ikatan antara N dengan Cr. Puncak serapan yang terjadi pada bilangan gelombang 1651,07 cm -1 pada kontrol mengalami pergeseran sebesar 15,43 cm-1 setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) yang menunjukkan adanya interaksi antara kedua ion tersebut dengan gugus C = C atau C = O. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1257,59 dan 1049,28 cm-1 pada kontrol, pergeseran bilangan gelombang setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II), hal ini menunjukkan adanya interaksi antara ion-ion tersebut dengan gugus S=O atau C-H. Puncak serapan pada bilangan gelombang 540,07 cm -1 pada kontrol juga bergeser setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) yang mengindikasikan adanya interaksi antara gugus alkil (klorida) dengan kedua ion tersebut. Interaksi yang terjadi adalah sebagai berikut. Pb2+ + RCl Cl – Pb – Cl (bentuk simetri) Cr2+ + RCl Cr – Cr – Cl (bentuk simetri) Puncak serapan pada bilangan gelombang 493,76 cm-1 pada kontrol tidak nampak pada penambahan ion Cr(VI) tetapi mengalami pergeseran pada penambahan ion Pb(II). Hal ini berarti bahwa tidak terjadi interaksi ion Cr(VI) dengan gugus S-S, sedangkan interaksi ion Pb(II) dengan gugus tersebut adalah interaksi nonionik. 73 Tabel 5. Bilangan gelombang puncak-puncak vibrasi pada akar kangkung darat sebelum dan sesudah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). No. Bil.Gel urut (cm-1) Kontrol Bil.Gel (cm-1) + ion Pb(II) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 354,9 401,19 455,2 493,76 540,07 555,50 617 825,53 894,97 1049,28 1257,59 354,9 432,05 455,20 493,78 516,92 555,50 586,36 825,53 894,97 1041,56 1265,30 1381,03 1512,19 1651,07 1381,03 1512,19 -1635,64 2499,75 2846,93 2924,09 3387 3749,62 2854,65 2924,09 3387 3749,62 ∆ Bil.Gel. (cm-1) Bil.Gel (cm-1) + ion Cr(VI) 0 354,9 21,86 447,49 0 478,49 0 478 - 23,15 524,64 0 555,50 30,64 0 825,53 0 898,03 7,71 1056,99 7,71 1234,44 1273,02 0 1381,03 0 1512,19 15,43 1635,64 baru 2499.75 - 7,72 2846,93 0 2924,09 0 3425,58 0 3749,82 ∆ Ggs. fungsi Bil.Gel. (cm-1) 0 46,3 23,29 - 15,76 15,43 0 M-S M-S S-S C-Cl C-Cl 0 0 -7,72 23,15 0 0 -15,43 baru - 7,72 0 38,58 0 S=O C-H C-H C=C (-CH3) OH dan NH Puncak serapan pada bilangan gelombang 401,19 cm -1 pada kontrol mengalami pergeseran pada penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). Pergeseran ini disebabkan karena adanya interaksi antara ion-ion tersebut dengan S-H yang membentuk suatu ikatan koordinasi. 74 D.2. Spektrum Infra Merah batang kangkung darat. Puncak serapan pada batang kangkung darat terjadi pada bilangan gelombang 4000 – 300 cm-1 ditunjukkan pada Tabel 6 dan lampiran19 dengan jumlah puncak 17 pada batang kangkung darat sebelum penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) dan masing-masing 19 dan 21 puncak serapan setelah penambahan ion Pb(II) dan Cr(VI). Puncak serapan pada 3402,43 cm-1 bergeser ke 3410,15 cm-1 setelah penambahan ion Cr(VI) dan ke 3379,29 setelah penambahan ion Pb(II). Pergeseran ini menunjukkan adanya interaksi antara kedua ion ini dengan gugus OH. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1543,05 cm-1 yang terlihat pada spektrum kontrol bergeser ke 1527,62 cm -1 setelah penambahan ion Cr(VI) tetapi tidak berubah setelah penambahan ion Pb(II). Hal ini mengindikasikan bahwa ada interaksi antara ion Cr(VI) dengan gugus N-O tetapi interaksi ini tidak terjadi pada ion Pb(II). Puncak serapan pada bilangan gelombang 1056,99; 894,97 dan 817,82 cm-1 pada kontrol juga bergeser setelah penambahan ion Cr(VI) tetapi tidak berubah setelah penambahan ion Pb(II). Pengamatan ini memberi kesimpulan bahwa Ion Cr(VI) membentuk ikatan koordinasi dengan gugus C-N. Puncak serapan pada bilangan gelombang 524,64 cm-1 bergeser setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). Pergeseran puncak serapan ini mungkin disebabkan karena adanya ikatan antara ion Cr(VI) dan Pb(II) dengan gugus C-X. 75 Tabel 6. Bilangan gelombang Batang kontrol dan setelah Penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) No. Bil.Gel urut (cm-1) Kontrol Bil.Gel (cm-1) + ion Pb(II) ∆ Bil.Gel. (cm-1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 354,90 370,33 393,48 425,05 450,08 532,25 586,36 0 15,43 354,90 385,76 447,49 524,64 586,36 817,82 894,97 1056,99 1242,16 1327,03 1381,03 1543,05 1635,54 1735,93 2854,65 2924,09 3402,43 3749,62 817,82 894,97 1056,99 1242,16 1327,03 1381,03 1543,05 1635,64 1735,93 2854,65 2924,09 3379,29 3749,62 2.59 7,61 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23,14 0 Bil.Gel (cm-1) + ion Cr(VI) 347,19 385,76 401,19 432,05 478,35 501,49 586,36 779,24 825,53 879,54 1064,71 1242,16 1327,03 1381,03 1527,62 1635,64 1735,93 2854,65 2924,09 3410,15 3749,62 ∆ Bil.Gel. (cm-1) 7,71 0 baru 30,86 23,15 0 Ggs. fungsi M-S M-S M-S S-S C-Br (alkil) C-Cl (alkil) 7,71 15,43 7,72 0 0 0 15,43 0 0 0 0 7,72 0 N=O S=O N=O OH Puncak serapan pada bilangan gelombang 447,49 cm -1 bergeser setelah penambahan ion Cr(VI) yang menunjukkan adanya ikatan antara ion Cr(VI) dengan ini dangan gugus S-S. Pergeseran bilangan gelombang yang terjadi pada 385,76 cm-1 setelah penambahan ion Pb(II) menunjukkan adanya interaksi antara ion ini dengan M-S yang ditunjang dengan terbentuknya puncak serapan baru pada 393,48 dan 425,05 cm -1. Hal yang sama terjadi setelah penambahan ion Cr(VI). 76 D.3. Spektrum Infra Merah daun kangkung darat. Spektra FTIR dari daun sebelum dan setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) ditunjukkan pada Tabel 7 lampiran 20 dengan jumlah puncak serapan 18 pada kontrol dan masing-masing 19 pada panambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). Puncak serapan pada bilangan gelombang 3371,57 cm-1 terjadi pergeseran setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). Pergeseran ini mungkin disebabkan oleh adanya interaksi antara ion Cr(VI) dan Pb(II) ini dengan gugus OH. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1064,71 cm-1 pada kontrol, terjadi pergeseran setelah penambahan ion Cr(VI) yang disebabkan adanya ikatan antara ion-ion Cr(VI) dengan gugus S=O. Pergeseran puncak serapan juga terjadi pada bilangan gelombang 887,26 cm-1 pada kontrol dan 879,54 cm-1 untuk penambahan ion Cr(VI).Pergeseran ini disebabkan karena adanya interaksi antara ion Cr(VI) dengan gugus N=O. Puncak serapan pada bilangan gelombang 450,22 – 354,90 cm-1 yang terjadi pada penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) disebabkan karena adanya interaksi antara gugus fungsi N dan S. 77 Tabel 7. FTIR Daun kontrol dengan Penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) No. Bil.Gel urut (cm-1) Kontrol Bil.Gel (cm-1) + ion Pb(II) ∆ Bil.Gel. (cm-1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 362,62 393,48 401,19 432,05 450,22 524,64 617,22 825,53 887,26 1064,71 1224,16 1327,03 1388,75 1543,05 1651,07 2854,65 2924,09 3332,99 3749,62 7,72 7,72 354,9 385,76 416,62 450,22 523,35 617,22 825,53 887,26 1064,71 1224,16 1327,03 1388,75 1543,05 1651,05 2846,93 2924,09 3371,57 3749,62 15,43 0 1,29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 38,58 0 Bil.Gel (cm-1) + ion Cr(VI) 362,62 393,48 401,19 420,12 462,92 516,92 617,22 825,53 879,54 1049,28 1242,16 1327,03 1388,75 1543,05 1651,07 2846,93 2924,09 3332,99 3749,62 ∆ Bil.Gel. (cm-1) Ggs. fungsi 7,72 7,72 M-N M-S 3,5 12,7 6,43 0 0 7,72 23,15 18 0 0 0 0 0 0 38,58 0 M-S N-O S=O OH E. Hasil Scanning Electron Microcopy (SEM) Gambar 20 menunjukkan foto SEM dari akar kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion Pb(II). b) a) 4 micron 2 micron Gambar 20. Foto SEM serbuk akar kangkung darat a) sebelum dan b) setelah penambahan ion Pb(II) 78 Kedua gambar ini menunjukkan perbedaan yang cukup jelas dimana bentuk kristalnya mengecil setelah penambahan ion Pb(II) dan berubah dari bentuk prisma ke bentuk bundar. Selain itu, matriks juga menjadi lebih padat jika dibandingkan dengan kontrol. terjadi sebagai akibat terjadinya interaksi antara ion Perubahan ini Pb(II) yang mengakibatkan pecahnya sel-sel epidermis, palisade dan parenchym yang menurunkan ruang antara sel dibanding dengan kontrol Sridhar et.al., (2004) Gambar 21 menunjukkan foto SEM dari batang kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion Pb(II). a) b) Gambar 21. Foto SEM batang kangkung darat sebelum dan b) setelah penambahan ion Pb(II) Adanya interaksi antara Pb dengan batang dapat dilihat dari perubahan bentuk struktur sebelum dan sesudah penambahan Pb(II). Bentuk kristal dari batang kangkung darat sebelum penambahan ion Pb(II) adalah prismatik (beberapa kristal mempunyai bentuk rhomboidal). Setelah penambahan ion Pb(II) ukurannya menjadi lebih kecil dan bentuk 79 kristal hilang dan menjadi lebih padat yang diakibatkan oleh rusaknya dinding sel pada batang kangkung darat Gambar 22 menunjukkan foto SEM daun kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion Pb(II). a) b) Gambar 22. Foto SEM serbuk daun kangkung darat a) sebelum dan b) setelah penambahan ion Pb(II) Perubahan yang sangat drastis dapat dilihat pada daun sebelum dan setelah penambahan ion Pb(II). Bentuk kristal sebelum penambahan lebih renggang sedangkan setelah penambahan menjadi lebih padat. Perubahan ini menunjukkan bahwa ada interaksi antara Pb dengan komponen yang ada dalam daun kangkung darat. Foto SEM akar kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion Cr(VI) diberikan pada Gambar 23. 80 a) b) Gambar 23. Foto SEM serbuk akar kangkung darat a) sebelum dan b) setelah penambahan ion Cr(VI) Setelah penambahan ion Cr(VI), perubahan yang nyata nampak terjadi perubahan kristal dimana sebelum penambahan Cr bentuk kristal sangat jelas, tetapi setelah penambahan Cr bentuk kristal hilang menjadi suatu bentuk yang padat memanjang hal ini disebabkan adanya pengrusakan pada dinding-dinding sel. Gambar 24 menunjukkan foto SEM batang kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion Cr(VI). a b) G a m b a r 2 Gambar 24. Foto SEM6 serbuk batang kangkung darat a) sebelum dan b) setelah. penambahan ion Cr(VI) Bentuk kristal F prismatik sebelum dan sesudah perlakuan nampak o tidak begitu berbeda.t Hanya ada perbedaan yang kecil pada matriksnya, o setelah perlakuan bentuknya kristalnya tidak begitu berbeda. S E M b a t a 81 Gambar 25 menunjukkan foto SEM daun kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion Cr(VI) kangkung darat a b) G a m b a r 2 6 Gambar 25. Foto SEM serbuk daun kangkung darat a) sebelum dan . b) setelah penambahan ion Cr(VI) F o Nampak jelas perbedaan antara foto SEM sebelum dan setelah t o penambahan ion. Sebelum berinteraksi dengan ion Cr(VI) masih nampak S bentuk kristal dari E daun kangkung darat. Setelah penambahan ion Cr(VI) M nampak struktur berubah membentuk seperti cacing yang menunjukka b bahwa terjadi interaksi antara ion Cr(VI) dengan sel-sel yang ada di daun. a t a n g k a n g k u n g d a r a t a ) s e 82 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Konsentrasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat masing-masing adalah, 1340,10; 1067,55; dan 1627,90 mg/kg berat kering. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kangkung darat merupakan tanaman hiperakumulator terhadap ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) Berdasarkan perhitungan nilai BCF yang diperoleh pada variasi waktu panen dan variasi konsentrasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) dalam media tanam kangkung darat lebih besar satu dan perhitungan TF pada percobaan yang sama, lebih kecil dari satu maka mekanisme yang terjadi pada fitoakumulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada kangkung darat, adalah fitostabilisasi Efek sinergi telah terjadi antara kombinasi biner (Cd+Cr), (Cd+Pb), (Cr+Pb), dan tertier (Cd+Cr+Pb). Efek sinergi ini ditunjukkan oleh terjadinya penurunan konsentrasi semua unsur pada kombinasi biner maupun tertier jika dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Penurunan konsentrasi pada kombinasi biner dan tertier menunjukkan bahwa ada persaingan pada proses akumulasi diantara ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II). 83 B. SARAN 1. Kajian ulang yang lebih mendalam perlu dilakukan terhadap pengaruh konsentrasi ion Cr(VI) dan Pb(II) dalam media tanam pada akumulasi kangkung darat terhadap kedua kation ini. 2. Akumulasi paduan binar dan tetier ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) oleh kangkung darat perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada efek sinerginya. 84 DAFTAR PUSTAKA Adema, D.M., and Henzen, L. 1989. A Comparison of Plants Toxicity of Some Industrial Chemical ion Soil Culture and Soilless Culture. Ecotoxicol. Environ. Saf.18: 219 -229. Diakses Desember 2006 Adriano, D.C., 1986. Trace elements in the terrestial environment. Springer-Verlag, New York Ahluwalia, S.S. and Goyal, D. 2005. Microbial and plant derived biomass for removal of heavy metals from wastewater. Bioresource Technology. www.elsevier.com/locate/wasman. Diakses 25 April 2007 Aiyen. 2004. Importance of Root Growth Parameters to Cd and Zn Acquisition by Nonhyperaccumulator and hyperaccumulator Plants. Dissertation University of Hohenhein, Institutebof Plants Nutrition, Verlag Graner- Meuren-Stutgard. Aiyen, 2005, Ilmu Remediasi Untuk Atasi Pencemaran Tanah di Aceh dan Sumatera Utara, Harian Kompas 4 Maret 2005 Alkotra, I., Hernandes-Allica, J., Becerril, J.M., Amezaga, I., Albizu, I.,Garbisu, I. 2004. Recent finding on the phytoremediation of soils contaminated with environmentally toxic metals and metalloids such as zinc, cadmium, lead, and arsenic. Reviews in Environmental Science and Biotechnology, (3) 1:71 – 90 Al-Subu, M.M., R. Salim, A. Doullah, A. Atallah. 1993. Combined effect of cadmium, lead and copper on the growth and metal uptake of broad beans, carrots, radishes and marrow vegetables. Rev.Int. Contam. Ambient, 9 (1), 1- 9 Anderson, C.W.N., Brooks, R.R., Chiaricci, A., LaCosta, C.L., LeBlance, M., Robinson,. B.H., Simcock, R., and Stewart, R.B., 1999. Phytomining for nickel , thallium, gold. J. Geochem. Exploration. 67; 407 – 415. Diakses Oktober 2007 An Youn-Joo, Young-Mi Kim, Tae-Im Kwon, Seung-Woo Jeong, 2004. Combined effect of Copper, cadmium, and lead upon Cucumis sativus growth bioaccumulation. Science of the total Enmvironment 326. 85-93. Available online at www.sciencedirect.com 85 Arun, A.K., Cervantes, C., Loza-Travera, H., Avudainainagam, C. 2005 Chromium Toxicity in Plants. Available online at www.siencedirect.com. Diakses 5 Mei 2005 ASTDR, 2006. Case studies in environmental medicine. Chromium Toxicity, U.S. Departement of Health and Human Services. Athar, R., and Masood Ahmad, 2001. Heavy metal toxicity: Effect on plants growth and metal uptake by wheat, and on free living Azotobacter. Water, Air, and Soil Pollution 138: 165-180. Aziz, H.A., Yusoff, M.S., Adlan, N., Adnan, N.H., Alias, S. 2004. Physicochemical removal of iron from semi aerobic landfill leachate by limestone filter. Waste Management, 24. 353 – 358. www.elsevier.com/locate/wasman. Diakses 25 April 2007 Babel, S., and Dacera del Mundo, D. 2005. Heavy metal removal from contaminated sludge for land application: A review. Waste Management. Available online at www.sciencedirect.Com. Diakses 10 Mei 2007 Baker, A.J.M., S.P., McGrath, S.P., R.D. Reeves, J.A.C. Smith. 2000. Metal Hyperaccumulator Plants : A review of the ecology and physiology of a biological resource for phytoremediation of metalpollute soils inphytoremediation of contaminated soil and water ,N Terry and G.Banuelos (Eds) Lewis Publisher, Boca Raton, FL, USA Barcelo, I and Poschenrieder, C., 2003, Phytoremediaion principles and perspective, Contribution To Science, 2 (3): 333-334 Barcelo, I and Poschenrieder, C., Gunse, B.,1986. Water relation of chromium (VI) treated bush bean plants (phaseoulus vulgaris L. Ev. Contender) under both normal and water stress condition, J. Exp. Bot. 37: 178-182 Beltz, K.E., 1997. Phytoremediation, Groundwater Pollution Primer. Diakses Januari 2006 Benavides, M.P., Susana, M,G., Tomaro, M.L., 2005. Cadmium Toxicity in Plants. Brazilian Journal of Plant Physiology. Vol.17 No.1. Diakses 16 Mei 2007 86 Briggs, G.G., Bromilow, R.H., Evans, A.A. 1982. Relationships between lipophilicity and root uptake and translocation of non-ionized chemicals by barley. Pestic. Sci. 13: 405-504 Burton,K. W., E. Morgan, and A. Roiq, 1984. The influence of heavy metals upon the growth of sitka-spruce in South Wales forest II. Greenhouse experiments. Plant Soil 78:271-82 Cai, Quan-Ying , Ce-Hui Mo, Qiao-Yung Zeng, Qi-Tang Wu, JeanFrancois Ferard, Blanca Antizar-Ladislao. 2007. Potential of Ipomea aquatica cultivars in phytoremediation of soils contaminated with di-n-butyl phthalate. Diakses Oktober 2007 Cave, M.R., Owen, B., Simon, R.N.C., Jennifer, M.C., Malcolm, S.C., and Douglas, L.M., 2001. Atomic Spectrometry Update: Environmental Analysis. J.Anal. At. Spectrom. 16, 194-235. Diakses Oktober 2006 Chaney, R.L., Minnie, M., Li, Y.M., Brown, S.L., Brewer, E.P., Angle, J,C.,and Baker A.J.M., 1997. Phytoremediation of Soil Metals, Diakses 17 september 2005 Chen, S.F., and Huang, C.Y. 2006. Influence of cadmium on growth of root vegetable and accumulation of cadmium in the edible root.International Journal of Applied Science and Engineering. Diakses 30 Mei 2007 Cunningham, S.D., Berti, W.R., and Huang, J.W., 1995. Phytoremediation ofcontaminated soils. Tibitech, 13: 393 –n397 Drew, D., Ifeoma, S.I., Tucker, P. 2006. Chromiun Toxicity, ATSDR Publication No. ATSDR-HE-CS-2001-2005. Diakses, Januari 2006 Dushenkov, V., Kumar, P.B.A.N., Motto, H., and Raskin, I., 1995. Rhizofiltration: The use of plants to remove heavy metals from aqueous streams . Environ. Sci.Tech. 29(5): 1239-1245.Diakses 25 Juni 2007 Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta Fargasova, A., J.Patierova, K. Svetkova, 2006. Effect of Se-metal pair combination (Cd, Zn, Cu, Pb) on photosyntetic pigment production and metal accumulatio in Sinapsis alba L. Seedlings, Plant Soil Environ., 52, (1): 8 - 15 87 Fellet, L., Marchiol, D.P., Zerbi, G., 2007. The Application of Phytoremediation Technology in Soil Contaminated by Pyrite Cinder..Available at www.sciencedirect.com. Diakses 7 September 2007 Fritroff, A. and Maria, G. 2005. Uptake and distribution of Zn, Cu, Cd, and PbInaquatiq plant Potamogetan natans, www.elsevier.com/locate/chemosphere. diakses Oktober 2006 Garate, A., I. Ramos, M. Manzanares, and J.J. Lucena. 1993. Cadmium Uptake and Distribution in Three Cultivars of Latuca spp. Bull. Environ. Contam.Toxicol. 50: 209-216. Diakses Oktober 2005 Gardea-Torresdey, J.L., Peralta-Videa, J.R., Montes, M., de la Rosa, G., andCorral, B. 2004. Bioaccumulation of cadmium, chromium, and copper by Convolvulus arvensis L. Impact on plant growth and uptake of nutritional elements. Available online at www.Sciencedirect.com. Diakses 18 Oktober 2007 Geyer, R.A., 1981. Marine Environmental Pollution 2. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam-Oxford-New York Glas, D.J. 1999. U.S. and International Markets for Phytoremediation 1999-2000.D. Glass Assoc. Inc. Needham, M.A Godbold, D.L., and C. Kettner. 1991. Use of Root Elongation Studies to Determination Aluminium and Lead Toxicity in Picea abies Seedling.J.Plant.Physiol. 138; 231-235 Gosh, M., and Singh, S.P. 2005. Comparative intake and phytpextraction study of soil induced chromium by accumulation and high biomas sweed spesies . diakses 9-206 Gussarsson, 1994. Cadmium-induced alterations in Nutrient Composition and Growth of Betula pendula: The Significance of Fine Roots as a Primary Target for Cadmium Toxicity. J. Plant Nutr. 17: 2151 – 2163 Diakses Maret 2005 Hodel, D.R. and Andrew C.C. (2000). Trace element and urban gardens. http://celosangeles.nedavis.edu. Diakses 29 Juni 2007 Holleman, A.F. and Egon Wiberg. 1995. Inorganic Chmistry. By Academic Press, A Harcout Science and Technology Company, Berlin-New York. 88 Housecroft, C.E. and Alan, G.S. 2005. Inorganic Chemistry, 2 nd. Printed by Asford Colour Press Ltd. Gosport Jeliazko, V.D. 2001. Study on Heavy Metals Absorption by Plants. http://wwwlib.umi-com/dissertation/fullcit. Diakses 27 Juni 2007 John, M.K. and C. van Laerhoven. 1972. Lead uptake by lettuce and oats as affected by lime, nitrogen, and source of lead. J.Environ. Quali. 1 (2)169 -171. Diakses April 2007 Khan, D.H., and B. Frankland. 1983. Effect of Cadmium and Lead on RadishPlants with Particular Reference to Movement of Metals Through Soil Profile and Plant. Plant Soil 70:335-345. Diakses Maret 2005 Kumar, P.B.A.N., Dushenkov, V., Motto, H., Raskin, I., 1995. Phytoextraction:The use of plants to remove heavy metals from soil. Environ.Sci.Tech.29(5)1232-1238. Diakses Nopember 2007 Kunarso, D.H., dan Ruyitno. 1991. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik pemantauannya. LON-LIPI-Jakarta Lasat, M.M., 2000. Phytoextraction of Metal from Contaminated Soil: A Review of Plant /Soil/ Metal interaction and Assessment of Pertinent Agronomic Issues. J.Hazard. Subs.Res.2: 5 – 25 Lasat, M.M. 2001. The Use of Plant of the Removal of Toxic Metals from Contaminated soil. American Association for the Advancement of Science. Diakses Juni 2006 Lamersdorf, N.I., Goldbold, N.P., and D. Knoche. 1991. Risk Assessment of Some Heavy Metals for the Growth of Norway Spruce. Water, Air , Soil Pollut. 57-58; 535-543. Diakses Februari 2006 Lippard, S.J. and Jeremy, M.B. 1994. Principle of Bioinorganic Chemistry University Science Books. Mill Vallery, California. Liu, Z., W.Jiang, F.Zhao, and C.Lu, 1994. Effect of Lead on Root Growth, Cell Divition and Nucleolus of Allium cepa. Environ. Pollut. 86: 1-4. Diakses Januari 2006 McGrath, S.P., Zhao, F. J. and Lombi, E. (2002). Phytoremediation of metals, metalloids, and radionuclides. Advances in Agronomy, 75, 1-56 89 Meharg, A.A., 2005. Mechanism of plants resistance to metal and metalloid ions and potential biotechnological Apllication, Plant and Soil (274) 1-2: 163 – 174. Miles, L.J., and G.R.Parker. 1979. Heavy Metal Interaction for Andropogonscoparius and Rudbeckia hiata Grown on Soil from Urban and Rural Sites with Heavy Metals Addition. J.Environ. Qual. 8 (4): 443 – 49 Misra, J.V., V.Pandey, and N.Singh. 1994. Effect of Some Heavy Metal on Root Growth of Germinating See of Vicia faba. J.Environ.Sci. Health. 29(10):2229-2234. Diakses September 2005 Moral, R.J., J.N. Pedreno, I. Gomez, and J. Mataix . 1995. Effect of Chromium the Nutrient Element Content and Morphology of Tomato.J.Plant Nut. 18(4): 815-822. Diakses September 2005 Moore, J.W. 1990. Inorganic contaminants of Surface water research andmonitoring priorities. Springer Verlag Mulligan, C.N., Yong, R.N., Gibbs, B.F. 2001. Remediation technologies for metal-contaminated soils and groundwater : an evaluation.Engineering Geology. Diakses April 2007 Muramoto, S., H. Nishizaki, and I. Aoyama. 1990. The Critical Levels and the Maximum Metal Uptake for Wheat and Rice Plants when Applying Metal Oxides to Soil. J. Environ. Sci. Health, Part B 25 (2) 273 – 80. Diakses Mei 2006 Negri, M.C., and Hinchman, R.R., 1996, Plants that remove contaminant from the environment. Laboratory Medicine, 27(1): 36 – 40 Nouairi, I., Wided, Ben A., Nabil Ben, Y., Douja Ben, M.A., Mohamed, H.G.,Mokhtar, Z. 2005. Comparative Study of Cadmium Effects onMembrane Lipid Composition of Brassica juncea and Brassica napus leaves. Available online at www.sciencedirect.com. Diakses 24 Januari 2006 Ouzounidou, G., M. Moustabas, E.P, Eleftheriou. 1997. Physiological and Ultrastructural Effect of Cadmium on wheat (Tritium aestivum) Leaves Arch. Environ. Contam. Tocxicol. 32: 1154-1160. Diakses Februari 2006 90 Padmavathiamma, P.K., and Y.L. Li. 2007. Phytoremediation Technology: Hyperaccumulation Metals in Plants. Water, Air, Soil Pollut. 184: 105- 126. Diakses Oktober 2007 Patel, P.M., A.Wallace, R.T. Mueller. 1976. Some effects of copper, cadmium, zinc, nickel, and chromium on growth and mineral element consentrationin chrysanthenium. J.Am.Soc.Hortic. Sci. 101 (5) : 553 – 556. Diakses 25 Mei 2006 Panda, S.K., and S. Choudhury. 2005. Chromium Stress in Plants. Brazilian Journal of Plant Physiology. Vol.17 No, 1. Diakses 16 Mei 2005 Philon-Smith, E. 2005. Phytoremediation Annu Rev.Plant Biol. 56: 15-39. Diakses 10 Oktober 2007. Piotrowska-Cyplik, A., and C. Zbigniew. 2005. Phytoextraction of Pb, Cr, and Cd by Hemp During Sugar Industry Anaerobic Sewage Sludge Treatment.Vol.8. Diakses 11 September 2006 Piotrowska-Cyplik, A., and C. Zbigniew. 2003. Phytoextraction of heavymetals by hemp during anaerob sewage slugde management in the non-industrial site. Diakses 5 Mei 2005 Prasad, M.N.V., 1996. Metal Biomolecule Complexes in Plants: Occurance,Functions, and Application. Analusis Magazine 26 N0.6. Diakses April 2006 Prasad, M.N.V., and Freitas, H.M.de Oliveira. 2003. Metal Hyperaccumulation in Plants Biodiversity Prospecting for Phytoremediation Technology. Electronic Journal of Biotechnology. Diakses 01 Desember 2005. Qian, J.I.I., Zayed, A., Zhu, Y.L., and Terry, N.P., 1999. Phytoaccumulation of trace elements by wetlands plants uptake and accumulation of ten trace elements by twelve plants species. J. Environ. Qual. 28: 1448-1455 Rahman, M.M., Haoliang, L., Chonling, Y., Hoque, S. 2007. Heavy Metal Hype-accumulation in Plans and Metal Distribution in Soil on tannery and dying industries polluted area in Bangladesh. Academic Open Internet Journal, V0l.21. diakses 29 Agustus 2007 Ramachandran, V., D’Souza, T.J., Mistry, K.B., 1999. Uptake and Transport of Chromium in Plants. J.Nucl. Agric. Biol. 126-9. Diakses Maret 2006 91 Rascio, N., F.D. Vecchia, M.Ferretti, L.Merlo, and R.Ghisi. 1993. Some of effects of cadmium on maize plants. Arch.environ. Contam. Toxical. 25 : 244 – 249. Diakses 3 Januari 2006 Roosens, N., Verbruggen, N., Meerts, P., Ximenex-Embun, P., Smith, J.A.C., 2003. Natural variation in cadmiumtolerance and its relationship to metal hyperaccumulationfor seven of Thlaspi caerulecens from western Europe, Plant, Cell and Environment, (10) 26: 233-237 Rukmana, R. 1994. Bertanam kangkung. Penerbit Kanisius, Yogyakarta Saeni, 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Salt, D.F., Blaylock, M., Kumar, N., Dushenkov, V., Ensley, B.D., Chet,I., and Raskin, I., 1995. Phytoremediation : A novel strategy for the removal of toxic metals from the environment using plants. Biotechnology., 13; 468-474. Diakses Maret 2007 Salt, D.E., Pickering, I.J., Prince, R.D., Gleba, D., Dushenkov, S., Smith, R.D., and Raskin, I., 1997. Metal accumulation by aquacultured seedling of Indian mustard. Environ.Sci.Technol. 31:1636-1644 Schnoor, J.L. 1997. Phytoremediation. The University of Iowa Departement ofCivil and Environmental Engineering and Center for Global and Regional Environmental Research. Diakses. Oktober 2005 Sharma, D.C., and Sharma, C.P. 1993. Chromium Uptake and Its Effects onGrowth and Biological Yield of Wheat. Cereal Res. Commun 21 :317- 21. Diakses Nopember 2005 Sharma, P. and Rama, S.D. 2005. Lead toxicity in plants. Brazillian Journal of Plants Physiology. Vol. 17 No.1. Diakses 27 Desember 2007 Shanker, A.K., C. Carlos, L.T. Herminia, and S. Avudainayagam. 2005. Chromium Toxicity in Plants. Available online at www.sciencedirect.com. Diakses September 2005. Sheoran, A.S. and Sheoran, V. 2005. Heavy metal removal mechanism of acid mine drainage in wetland: A critical review, mineral engineering, 19. 105 – 116. Available online at www.sciencedirect.com. Diakses 24 Mei 2007 92 Skeffington, R.A., Shewry, P.R., Peterson, P.J.1976. Chromium uptake and transport in barley seedlings (Hordeum vulgare L.). Planta 132: 209-214 Sridhar Maruthi, B.B., S.V. Diehl, F.X. Han, D.L. Monts, Y. Su, 2005. Anatomical changes due to uptake and accunmulation of Zn and Cd in Indian mustard (Brassica juncea). Environmental and Experimental Botany 54: 131 134 Available online at www.sciencedirect.com. Szymezyk, K. and Zalewski. 2003. Copper, zinc, and cadmium content in liver and muscles of Mallards and other hunting Fowl spesies in Warnia and Mazury in 1999 – 2000. J. Environ. 12 (3) : 382 – 386.Diakses 5 Maret 2007 Turner, D.M., and L. Henzen. 1989. Effect of Chromium on Growth and Mineral Nutrition of Soybeans. Soil.Sci.Soc. Am. Proc. 35: 755758.Diakses Oktober 2005. Turner, M.A., and R.H. Rust, 1971. Effect of chromium on growth and mineral nutrition of soy beans. Soil. Sci. Soc. Am. Prog. 35 : 755 758 Vazquez, M.D., Barcelo, J., Poschenrieder, C., Madico, J., Hatton, P., Baker, A.J.M., Cope, G.H., 1992. Lokalization of zinc and cadmium in Thlaspi caerulescens (Brassicaseae), a metallophyta that can hyperaccumulate both metals. J. Plant Physiol. 140: 350355. Verloo, M. 1993. Chemical Aspect of Soil pollution. ITC-Gen Publication, 4:17-46 Watanabe, M.E., 1997. Phytoremediation on the brink of commercialization. Environ.Sci.Tech. 31(4):182A-186A. Diakses Maret 2007 Wallace, A., R.M. Romey, G.V. Alexander, R.T. Mueller, S.M. Soufi, and P.M. Patel. 1997. Some Interaction in Plants Among Cadmium, other Heavy Metal and Chelating Agent. Agronomy J. 69: 18 – 30. Diakses Maret 2006 Wierzbicka, M. and D. Antosiewicz. 1993. How Lead can Easy enter the Food Chain a Study of plant Root. Sci.Total Environ. Suppl. :423429. 93 Widianarko, B. 2004. Prospek Fitoremediasi Logam Berat. Tekno Limbah. Diakses Desember 2005 Wikipedia. Lead. Wikipedia, the free encyclopedia. Wikipedia.org/wiki/lead. Diakses 09 Mei 2007 http://en. Wong, M.K. and A.B. Bradshow. 1982. A comparison of the toxicity of heavymetals using root elongation of rye grass, Lolium perenne. NewPhytol. 92: 255 – 267. Diakses Juni 2006 Yang, X., Feng, Y., Zhenli, H., Stoffella, P.L., 2005. Moleculer mechanism of heavy metal hyperaccumulation and phytoremediaton. Journal of Trace Elemants in Medicine and Biology (18) 4 339-353. Yoon, J., Cao, X., Zhou, Q., Ma, Q.L., 2006, Accumulation of Pb, Cu, and Zn in Native Plants Growing on a Contaminated Florida site, Science of the Environment, 368, 456-464. Zayed, A.M. and Terry, N. 1994. selenium volatilization in root and shoots: effect of shoot removal and sulfate level. J. Plant Physiol., 143: 18-14 94 Lampiran 1. Bagan Kerja Penyiapan Media Tanam Tanah - Dibersihkan - Dianalisis (N, P, K, pH, KA, BO, Cr, Cd, Pb) Sampel tanah Sampel tanah Spesies Cr, Cd, Pb Homogenkan Timbang 2 kg pada pot Tanah tercemar Timbang 2 kg pada pot Tanah kontrol Atur pH (7) + TSP dan KCl Tanam bibit kangkung Tanaman kangkung Atur pH (7) + TSP dan KCl Tanam bibit kangkung Tanaman kangkung Tumbuhkan Panen Tumbuhkan Panen Dianalisis 95 Lampiran 2 E.Bagan kerja analisis logam pada kangkung darat I. reptans Poir Dicuci dgn akuabides sampai bersih. Dipisahkan antara akar, btg, daun. Diangin-anginkan di udara terbuka. Dikeringkan pada suhu 60oC selama 24 jam, dinginkan dan timbang. . Akar,batang,daun Dihaluskan, timbang kira-kira 0,5 g. Dilarutkan dengan campuran HNO3 6M dan H2O2 30 % Panaskan sampai larut sempurna. Dinginkan, tambahkan akuabides. Panaskan, saring dalam keadaan panas. Filtrat Atur pH sekitar 3 dengan HNO3/NaOH. Cukupkan volumenya kemudian kocok. Ukur absorbannya dengan SSA. Hitung konsentrasi unsur dengan menggunakan kurva kalibrasi. Data Interpretasi Kesimpulan 96 Lampiran 3 Konsentrasi Cd yang diakumulasi oleh kangkung darat pada variasi waktu Panen Parameter Morpologi Uji (Cd) Cd1 tanaman 2 3 4 5 [Cd] [Cd] [Cd] [Cd] [Cd] mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg 1027,39 1063,94 995,87 1149,06 1021,98 Batang 86,91 22,92 161,55 171,20 115,86 Daun 37,28 12,52 31,81 35,06 23,20 1151,57 1099,39 1189,24 1355,32 1161,04 Akar 773,,27 1129,30 1263,41 1203,54 770,74 Batang 129,26 179,32 237,10 145,35 98,74 Daun 72,29 61,12 30,75 33,95 36,20 974,82 1369,75 1532,16 1382,84 905,67 Akar 951,62 1113,38 1058,40 909,21 519,84 Batang 201,57 132,98 155,59 124,08 129,74 Daun 108,21 44,84 90,64 61,35 69,65 Total Cd2 1 Akar Total Cd2 Variasi waktu panen (pekan) Total 1261,40 1291,21 1304,63 1094,64 719,22 Total [Cd] di Akar 2572,28 3306,62 3317,68 3261,81 2312,56 Rataan [Cd] di Akar 917,43 1102,21 1105,92 1087,27 770,85 Total [Cd] di Batang 417,74 335,22 554,24 440,63 344,34 Rataan [Cd] di Batang 139,25 111,74 184,75 146,88 114,79 Total [Cd] di Daun 217,78 110,48 153,20 130,36 129,05 Rataan [Cd] di Daun 72,58 39,49 51,07 43,45 43,02 Rataan 1129,26 1253,45 1342,01 1277,60 928,65 97 Lampiran 4 [Cd] yang diakumulasi oleh kangkung darat pada variasi konsentrasi di media tanam Parameter Morpologi Uju (Cd) Tanaman Varisi konsentasi (mg/kg) 10 20 30 40 50 [Cd] [Cd] [Cd] [Cd] [Cd] mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Akar 296,61 418,52 839,13 957,45 1021,13 Batang 93,67 88,41 160,44 153,16 163,74 Daun 14,58 10,58 38,99 102,55 35,64 404,86 517,50 1038,56 1213,16 1220,51 217,39 476,19 817,31 1360,76 1288,66 Batang 48,06 103,21 28,70 179,74 240,18 Daun 9,10 84,85 56,48 53,57 34,59 274,55 664,25 902,49 1594,07 1563,43 Akar 159,36 376,71 572,29 378,79 450,93 Batang 62,86 133,41 221,14 147,58 175,63 Daun 38,62 98,79 123,37 69,18 81,95 Total 260,84 608,92 916,79 595,55 708,51 Total [Cd] di Akar 673.36 1271,42 2228,73 2697,00 2760,72 Rataan [Cd] di Akar 224,45 423,81 742,91 899,00 920,24 Rataan [Cd] di Batang 68,19 108,34 136,76 160,16 193,18 Rataan [Cd] di Daun 20,72 64,74 72,95 75,10 50,73 Rataan 313,42 602,18 957,91 1134,26 1164,15 Cd1 Total Akar Cd2 Total Cd3 98 Lampiran 5 Nilai BCF dan TF tanaman kangkung darat pada pengaruh waktu panen Waktu [Cd] di [Cd]di daun [Cd] di (Pekan) akar (mg/kg) tanah (mg/kg) BCF TF (mg/kg) I 773,27 72,29 53,49 14,46 0,09 II 1129,30 61,12 53,49 21,11 0.05 III 1263,41 30.75 53,49 23,62 0.02 IV 1203,54 33,95 53,49 22.50 0.01 V 770,74 36,20 53,49 14.41 0.05 Lampiran 6 Nilai BCF dan TF tanaman kangkung pada variasi [Cd] pada media tanam [Cd] yang [Cd] di [Cd] di daun [Cd] di Di + kan akar (mg/kg) tanah (mg/kg) BCF TF (mg/kg) 10 217,39 48,06 13,49 16,11 0,22 20 476,19 103,21 23,49 20,27 0,22 30 839,13 160,44 33,49 25,06 0,19 40 957,45 153,16 43,49 22.02 0,16 50 1021,13 163,74 53,49 19,09 0.16 Cara Menghitung BCF dan TF [M] pada akar tanaman (mg/kg bk) BCF = [M] yang ditambahkan dalam tanah (mg/kg) = 217,39/13,49 = 16,11 99 [M] dalam daun (mg/kg bk) TF = [M] dalam akar (mg/kg bk) = 48,06/217,39 = 0,22 Lampiran 7 Konsentrasi ion CrV(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat pada variasi waktu Paramater Morpologi Uji (Cr) tanaman Variasi waktu (pekan) 1 2 3 4 5 [Cr] [Cr] [Cr] [Cr] [Cr] (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) Akar 352,47 362,67 464,30 185,89 190,66 Batang 36,95 97,77 103,47 43,72 41,38 Daun 65,58 112,53 191,56 36,72 37,72 455.00 537,96 759,33 266,33 269.76 Akar 333,33 341,38 454,99 148,11 144,37 Batang 75,05 149,49 130,29 14,10 27,25 Daun 118,67 126,08 156,30 12,68 31,73 527,06 616,95 744,57 174,88 203,35 Akar 333,33 411,60 1181,26 244,73 209,35 Batang 294,06 127,24 200,60 148,60 115,71 daun 152,75 122,53 316,90 97,22 87,88 Total 780,14 661,35 1698,75 490,54 412,94 Rataan dari total 587,40 617,09 1067,55 310,58 295,35 Rataan dari akar 339,71 371,88 700,18 192,91 181,46 Rataan dari batang 135,35 124,83 144,78 68,81 61,45 Rataan dari daun 112,33 120,38 221,58 48,87 52,44 Cr-1 Total Cr-2 Total Cr-3 100 Lampiran 8 Konsentrasi ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat pada variasiIon Cr(VI) dalam media tumbuh Parameter Morpologi Uji (Cr) Tanaman Variasi [Cr] yang ditambahkan 10 ppm 20 ppm 30 ppm 40 ppm 50 ppm [Cr] [Cr] [Cr] [Cr] [Cr] (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) Akar 17,51 25,57 37,04 108,26 464,30 Batang 3,28 6,66 6,39 14,17 103,47 Daun 5,15 12,16 7,70 24,06 191,56 25,93 44,38 51,12 146,48 759,33 Akar 2,23 44,48 47,89 79,04 454,99 Batang 0,45 9,66 5,81 12,39 130,29 Daun 0,79 17,08 9,40 19,05 159,30 3,47 71,22 63,10 110,48 744,57 Akar 9,67 6,51 26,94 132,84 1181,26 Batang 1,86 3,02 9,51 15,26 200,60 Daun 1,84 2,05 6,11 21,45 316,90 Total 13,37 11,58 42,56 169,54 1698,75 Rataan 14,26 42,39 52,26 142,17 1067,55 Cr-I Total Cr-II Total Cr-III 101 Lampiran 9 Nilai BCF dan TF tanaman kangkung darat versus waktu panen Waktu [Cr] di [Cr] di Daun [Cr] di akumulasi akar (mg/kg BK) tanah (Pekan) Mg/kg BK 1 339,71 123,33 2 371,74 3 BCF TF 53,99 6,29 0,36 120,38 53,99 6,88 0,32 700,18 222,59 53,99 6.79 0,61 4 192,91 48,87 53,99 3,57 0,25 5 181,46 52,44 53,99 3,36 0,29 (mg/kg BK) Lampiran 10 Nilai BCF dan TF kangkung darat pada penambahan ion Cr(VI) dengan variasi konsentrasi ion Cr(VI) dalam media tanam [Cr] (ppm) [Cr] di akar [Cr] di daun [Cr] di (mg/kg BK) (mg/kg BK) tanah BCF TF (mg/kg BK) 10 9.8 2,65 33,99 0,28 0,27 20 25,52 10,43 43,99 0,58 0,41 30 37,29 7,74 53,99 0,69 0,21 40 106,71 21,52 63,99 1,67 0,20 50 320,70 22,94 73,99 4,33 0,23 102 Lampiran 11 Konsentrasi ion Pb(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat Pada variasi waktu panen Parameter Morpologi uji (Pb) tanaman Pb-1 Akar Batang Daun Total Pb-2 Akar Batang Daun Pb-3 Total Akar Batang Daun Total Rataan dari Total Rataan [Pb] di akar Rataan [Pb] di batang Rataan [Pb] di daun Variasi waktu (minggu) 1 2 3 4 [Pb] [Pb] [Pb] [Pb] ppm ppm ppm ppm 158,02 323,15 322,09 744,11 110,02 128,30 77,82 289,46 123,92 122,30 81,82 181,55 391,96 573,76 481,38 1215,15 231,18 516,59 1261,41 396,65 145,93. 302,65 359,51 180,85 60,65 270,77 200,11 191,47 437,64 1090,01 1821,03 768,98 768,68 450,91 1553,61 750,65 303,72 260,47 656,56 303,00 272,73 184,50 371,12 244,69 1345,13 895,88 2581,29 1298,34 724,92 853,22 1627,90 1094,16 385,96 430,22 1045,70 630,47 186,57 230,47 363,63 257,77 152,40 192,52 217,57 205,90 5 [Pb] ppm 515,15 105.36 115,39 735,90 473,77 97,34 103,62 674,73 623,18 136,74 176,37 936,29 782,31 537,37 113,15 131,79 103 Lampiran 12 Konsetrasi ion Pb(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat pada Variasi ion Pb(II) dalam media tanam Parameter Morpologi Uji (Pb) Tanaman Variasi [Pb] yang ditambahkan 20 ppm 40 ppm 60 ppm 80 ppm 100 ppm [Pb] [Pb] [Pb] [Pb] [Pb] (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) Akar 24,29 86,46 352,51 263,02 322,09 Batang 21,94 36,97 102,79 108,61 77,82 Daun 29,97 28,44 75,72 84,04 81,47 76,40 151,87 531,03 455,67 481,38 Akar 45,14 397,42 575,03 413,39 1261,41 Batang 35,39 210,71 241,28 192,51 359,51 Daun 25,10 198,80 148,27 143,11 200,11 105,63 806,93 964,58 749,01 1821,03 Akar 56,66 173,27 277,25 381,36 453,13 Batang 43,19 18,88 35,82 49,88 70,63 Daun 14,68 21,83 29,65 60,08 62,22 Total 114,53 213,98 342,72 491,32 585,98 Total dari total 296,56 1172,78 1838,33 1696,00 2888,39 Pb-I Total Pb-II Total Pb-III 104 Lampiran 13 Nilai BCF dan TF pada pengaruh waktu panen pada Tanam kangkung darat Waktu [Pb] di [Pb] di Daun [Pb] di akumulasi akar (mg/kg BK) tanah (Pekan) Mg/kg BK 1 231,18 60,54 2 516,59 3 BCF TF 131,88 1,75 0,26 270,77 131,88 3,92 0,52 1261,41 200,11 131,88 9,56 0,16 4 396,65 191,47 131,88 3,01 0,48 5 473,77 103,62 131,88 3,59 0,22 (mg/kg BK) Lampiran 14 Nilai BCF dan TF pada pengaruh penambahan [Pb] pada media Tanam kangkung darat [Pb] (ppm) [Pb] di akar [Pb] di [Pb] di (mg/kg BK) daun tanah (mg/kg BK) (mg/kg BK) BCF TF 20 415,14 95,10 51,88 8,00 0,23 40 397,42 198,80 71,88 5,53 0,50 60 575,03 148,27 91,88 6,26 0,26 80 413,39 143,11 111,88 3,69 0,35 100 1261,41 200,11 131,88 9,56 0,16 105 Lampiran 15 Konsentrasi ion Cd(II) dalam paduan dengan ion Cr(VI) dan Pb(II) MORPOLOGI TANAMAN AKAR BATANG DAUN TOTAL AKAR BATANG DAUN TOTAL AKAR BATANG DAUN TOTAL TOTAL AKAR RATAAN AKAR TOTAL BATANG RATAAN BATANG TOTAL DAUN RATAAN DAUN Total dari total Rataan dari ∑ total [Cd] (mg/kg) 138,23 37,46 21,80 197.49 100,42 42,44 17,58 160,44 118,35 27,15 12,75 158,25 357,00 119,00 107,05 35,68 52,13 17,38 516,18 172,06 Cd + Pb (mg/kg) 90,48 41,85 11,79 144,12 83,33 34,69 16,38 134.40 79,55 12,39 21,15 113,09 253,36 84,45 88,93 29,64 49,32 16,44 391.61 130,54 Cd + Cr (mg/kg) 96,67 12,65 13,99 123,31 70,60 32,38 12,41 115,39 80,73 32,73 12,98 126,44 248,00 82,67 77,40 25,80 39,38 13,13 365.14 121,71 Cd + Cr + Pb (mg/kg) 106,19 22,38 27,69 156.11 105,09 36,08 12,50 153,67 84.42 24,39 15.89 124,70 295,70 98,57 82,85 27,62 56,08 18,69 434,48 144,83 106 Lampiran 16 Konsentrasi ion Pb(II) dalam paduan dengan ion Cd(II) dan Cr(VI) MORPOLOGI TANAMAN AKAR BATANG DAUN TOTAL AKAR BATANG DAUN TOTAL AKAR BATANG DAUN TOTAL TOTAL AKAR RATAAN AKAR TOTAL BATANG RATAAN BATANG TOTAL DAUN RATAAN DAUN Total dari total Rataan dari total [Pb] (mg/kg) 160,49 41,81 59,41 261,71 246,48 19,08 16,78 282,34 188,56 22,56 32.57 243,69 575,53 198,51 83,45 27,82 108,76 36,25 787,74 262,58 Pb + Cd (mg/kg) 135,60 40,75 29,14 125,49 161,29 32,72 19,27 213,28 162,23 15,92 30,74 208,89 459,12 153,04 89,39 29,79 79,15 26,38 547,66 182,55 Pb + Cr (mg/kg) 94,49 35,55 12,26 142,30 157,34 20,20 30,36 207,90 137,66 27.23 24,46 189,78 389,49 129,83 82,98 27,66 67,08 22,36 539,97 179,99 Cd + Cr + Pb (mg/kg) 212,37 45,55 34,72 292,64 159,24 25,77 31,25 216,26 194,81 21,95 15,89 232,65 566,42 188,81 93,27 31,09 81,86 27,29 741.54 247,18 107 Lampiran 17 Konsentrasi ion Cr(VI) dalam paduan dengan ion Cd(II) dan Pb(II) \ MORPOLOGI TANAMAN AKAR BATANG DAUN TOTAL AKAR BATANG DAUN TOTAL AKAR BATANG DAUN TOTAL TOTAL AKAR RATAAN AKAR TOTAL BATANG RATAAN BATANG TOTAL DAUN [Cr] (mg/kg) 115,33 23,38 26,58 165,29 178,13 37,67 30,80 246,60 113,64 24,39 16,72 154,75 407,10 135,70 85,44 28,48 74,10 Cr + Cd (mg/kg) 99,36 21,75 17,3 138,41 125,78 9,52 24,81 168,11 80,21 9,09 19,92 109,22 305,35 101,78 40,36 13,45 62,03 Pb + Cr (mg/kg) 110,37 18,34 23,26 151,97 94,49 35,55 12,26 142,30 106,95 18,18 19,81 144,94 311,81 103,94 72,07 24,02 55,33 Cd + Cr + Pb (mg/kg) 137,23 12,16 16,39 165,78 127,39 16,44 27,81 171,64 129,87 16,47 31,79 178,13 394,49 131,49 45,07 15,02 75,99 RATAAN DAUN Total dari total Rataan dari ∑total 24,70 566,64 188,88 20,68 415,74 138,58 18,44 439,21 146,40 25,33 515,55 171,85 108 Lampiran 18 Spetra FTIR dari akar I. reptans a) kontrol, b) dan c) setelah penambahan ion Pb(II) dan ion Cr(VI) 109 110 Lampiran 19 Spetra FTIR dari batang I. reptans a) kontrol, b) setelah penambahan Pb2+, dan c) setelah penambahan Cr6+ 111 112 Lampiran 20 Spetra FTIR dari daun I. reptans a) kontrol, b) setelah penambahan Pb2+, dan c) setelah penambahan Cr6+ 113 114 Lampiran 21 Foto-foto hasil penanaman kangkung darat 115 116 117