desertasi - Repository | UNHAS

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Salah satu problem utama lingkungan adalah kontaminasi logam
toksik pada tanah pertanian yang mengakibatkan stress pada tanaman.
Stress tanaman yang diakibatkan oleh logam toksik tiga kali lebih besar
daripada yang disebabkan oleh pestisida (Jeliazko, 2001). Pada umumnya
logam toksik ini merupakan unsur-unsur runut yang terjadi secara alamiah
pada semua daerah dan tanah di dunia ini. Konsentrasi logam-logam runut ini
dapat meningkat sebagai akibat aktivitas antropogenik. Walaupun beberapa
dari unsur runut ini merupakan unsur essensial terhadap kehidupan manusia,
tumbuhan dan juga hewan, tetapi pada konsentrasi tertentu, unsur ini dapat
bersifat racun terhadap semua makhluk hidup (Hodel and Andrew,2000).
Dampak negatif logam berat terhadap tanaman adalah menurunkan
aktivitas organisme serta menurunkan kesuburan tanah. Sebagai akibat dari
hal tersebut, jumlah produksi juga akan menurun. Akibat yang paling fatal
dari tercemarnya tanaman oleh logam berat adalah terkontaminasinya sistem
rantai makanan (McGrath et al., 2002)
Peningkatan polutan logam berat pada tanah, air, dan udara yang
disebabkan oleh pertambangan dan bahan bakar minyak menjadi problem
utama
lingkungan
karena
keberadaan
logam-logam
berat
dapat
2
menyebabkan keracunan pada sel-sel hidup (Qian et al., 1999). Pencemar
logam berat tidak dapat didegradasi secara kimia maupun secara biologi.
Oleh karena itu polutan logam berat di dalam tanah, air maupun udara harus
dikurangi atau dihilangkan untuk menghindari terjadinya
dampak negatif
terhadap proses kehidupan.
Beberapa peneliti telah menyimpulkan bahwa beberapa logam berat
memberikan efek negatif terhadap makhluk hidup termasuk manusia, hewan,
maupun tumbuhan. Pada manusia, Cr (VI) dapat mengendapkan plasma
protein serta menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Kromium (VI) juga
berpengaruh terhadap kulit. Kulit buruh industri yang bersentuhan langsung
dengan kromium akan mengakibatkan
borok yang disebut borok krom.
Kromium dapat menyebabkan kanker pada sistem pernapasan, dapat juga
menimbulkan penyakit polip (ATSDR, 2006).
Pengaruh Cr (VI) terhadap beberapa tanaman telah diteliti misalnya
terhadap tanaman kacang hijau (Turner dan Rust, 1971), salada dan gandum
(Adema dan Henzen, 1989), tomat (Moral
et al., 1995), Albizia lebbek,
Acasia lebbek, dan buncis (Sharma dan Sharma, 1993) serta padi dan buncis
(Prasad et al 2003). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Cr(VI)
pada konsentrasi tertentu mempengaruhi pertumbuhan akar, daun, dan biji.
Efek negatif Cd (II) pada manusia pada umumnya terjadi di tempat
bekerja, khususnya pada pabrik baterei, penggunaan zat warna pada cat
dan plastik. Kadmium (II) dapat menyebabkan penyakit mual dan muntah-
3
muntah. Penyakit kronik yang dapat ditimbulkan oleh Cd (II) adalah terjadinya
kerontokan rambut, anemia, migran, osteoporosis, penyakit lambung dan
akhirnya dapat menyebabkan kardiovaskuler (Campbell, 2007)
Pengaruh kadmium (Cd) pada konsentrasi tertentu terhadap tanaman
juga telah diamati oleh beberapa peneliti. Lamersdortf et al. (1991) dan Misra
et al. (1994) melaporkan bahwa Cd memberikan efek negatif berturut-turut
terhadap pertumbuhan akar pohon cemara dan tanaman Vicia faba.
Pertumbuhan biji dan daun Betula pendula juga dipengaruhi oleh Cd
(Gussarsson, 1994).
Ouzounidou et al. (1997) dan Garate et al. (1993)
mengamati adanya pengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar dan daun
Triticum aestivum (gandum) dan pertumbuhan akar tomat serta Lactuca
seriola L. (salada)
Dampak
negatif
Pb(II)
pada
manusia
adalah
terhambatnya
pembentukan haemoglobin, yang dapat menimbulkan penyakit anemia dan
merupakan keracunan yang kronis. Timbal juga mengganggu kerja enzim
khususnya enzim-enzim yang mengikat atom belerang (S). (Wikipedia,2007)
Pengaruh Pb (II) pada konsentrasi tertentu terhadap tanaman telah
diamati oleh sejumlah peneliti sejak beberapa tahun silam. Muramoto et
al.(1990) mengamati pengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar tanaman
yang ditanam pada tanah liat berpasir (tanah alluvial) pH 6. Menurut Golbold
dan Kettner (1991), kecepatan perpanjangan akar pohon cemara dipengaruhi
4
oleh Pb(II) Kecepatan pertumbuhan akar jamur juga dipengaruhi oleh Pb(II)
yang ditambahkan pada larutan nutrien.
Dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas maka diperlukan metode
untuk menghilangkan atau mengurangi konsentrasi logam berat yang
terdapat dalam tanah pertanian untuk menghindari terjadi efek samping pada
manusia, hewan dan tumbuhan. Aziz et al., (2004) menyimpulkan bahwa
batu kapur dapat menjerap beberapa logam berat seperti Cu, Zn, Cd, Pb, Ni,
Cr, Fe, dan Mn melalui proses batch atau proses penyaringan. Kemampuan
menjerap logam berat tersebut dapat mencapai 90 % meskipun percobaan
yang dilakukan menggunakan air limbah buatan. Ahluwalia dan Goyal (2005)
melaporkan bahwa ada beberapa proses yang dapat digunakan untuk
mengurangi polusi logam berat. Proses-proses tersebut antara lain adalah
penyerapan,
pengendapan,
koagulasi,
penukar
kation,
sementasi,
elektrodialisis, elektrokoagulasi, dan osmosis balik. Mulligan et al. (2001)
melaporkan bahwa teknik remediasi logam berat dapat dilakukan dengan
cara isolasi dan pengurungan, pemisahan secara mekanik, elektrokinetik,
difusi melalui dinding semipermiabel, proses biokimia, dan fitoremediasi.
Sheoran dan Sheoran (2005) mengatakan bahwa mekanisme pemindahan
logam berat dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia dan biologi. Babel dan
Dacera (2005) memindahkan logam berat dari lumpur yang terkontaminasi
logam berat dengan cara ekstraksi kimia, proses bioleaching, dan
elektroreklamasi.
5
Salah satu metode alternatif yang dapat digunakan untuk meremediasi logam
berat pada tanah, air, dan udara adalah fitoremediasi yang merupakan suatu
metode untuk memindahkan atau mengimobilisasi logam dalam tanah yang
terkontaminasi
dengan
menggunakan
tumbuhan/tanaman.
Beberapa
tanaman mempunyai kemampuan yang sangat tinggi untuk menghilangkan
berbagai pencemaran yang ada (multiple uptake hyperaccumulator plant),
dan memiliki kemampuan menghilangkan pencemaran yang bersifat tunggal
(specific uptake hyperaccumulator) (Aiyen,2005).
Tanaman hiperakumulator adalah spesis tanaman yang mampu
mentranslokasikan pencemar atau logam pencemar ke bagian pucuk
tanaman lebih banyak daripada ke bagian akar tanpa mengalami gejala
toksisitas. Tanaman ini dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100 ppm
Cd, 1000 ppm Co, Cr, Cu, dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2004;
Baker, dkk,2000). Sejak dua dekade terakhir ini, beberapa spesis tanaman
hiperakumulator telah ditemukan seperti, Brassica juncea (sawi hijau) untuk
polutan Cd, Cr(VI), Cu, Ni, dan U. B. campetris, B. napus, Helianthus annuus
L (bunga matahari), Pisum sativum L. (kacang kapri) untuk Pb.
Beberapa peneliti telah berhasil meremediasi logam berat dengan
teknik fitoremediasi. Prasad et al. (2003) mengemukakan bahwa logam berat
Cd, Cr, Cu, dan Ni dapat diremediasi dengan teknik fitoakumulasi dengan
menggunakan tanaman sawi hijau. Schnoor (1997) melaporkan bahwa
tanaman bunga matahari, sawi, barley (kedelei), crucifer (kubis-kubisan)
6
dapat digunakan untuk menarik logam-logam seperti Pb, Cd, Zn, Ni, dan Cu
dengan cara fitoekstraksi. Belt (1997) menyatakan bahwa ada beberapa
tumbuhan yang dapat digunakan untuk meremediasi logam berat seperti
tanaman tomat untuk menarik kontaminan Pb, Cd, dan Cu, bunga matahari
untuk menarik logam Ce, Sr, dan U.
Famili Brassica (kubis) untuk
fitoakumulsi logam seperti Pb, Cd, Cr, Ni, Zn, Cu, Ce, dan Sr. Fellet et al.,
(2007) menggunakan teknik fitoremediasi untuk menarik logam-logam dari
tanah yang terkontaminasi
As, Cd, Cu, Pb, dan Zn dengan tanaman
sorghum bicolar (sorghun, Indonesia), jagung, dan bunga matahari.
Tumbuhan dari genus Ipomoea juga telah banyak digunakan untuk
meremediasi tanah yang terkontaminasi
logam berat. Baker dan Walker
dalam Lasat (2000) melaporkan bahwa Ipomoea alpina merupakan tanaman
hiperakumulator tembaga (Cu) dengan kemampuan mengakumulasi logam
tersebut hingga konsentrasi 12.300 ppm dalam daunnya. Hasil penelitian dari
Gardea-Torresdey et.al. (2004) menyatakan bahwa Convolvulus arvensis L.
mampu menarik Cr sebesar 2100 mg/kg daun kering sehingga tanaman ini
potensil sebagai hiperakumulator terhadap logam Cr. Ghosh dan Singh
(2005) menyimpulkan bahwa Ipomoea carnea jauh lebih efektif dalam
menarik logam Cr dari tanah yang terkontaminasi dibandingkan sawi hijau.
Chen dan Huang (2006) menyimpulkan bahwa Ipomoea batata L (ubi jalar)
mampu
mengakumulasi
Cd
2000
kali
lebih
besar
daripada
yang
diperbolehkan untuk dimakan. Rahman et al (2007) dalam penelitiannya
7
menggunakan Ipomoea aquatica Forsk (kangkung air) dan menyimpulkan
bahwa tanaman ini mampu menyerap 219,18 ppm Pb sehingga tanaman ini
memungkinkan untuk digunakan sebagai tanaman hiperakumulator Pb. Cai
et al., 2007. menyimpulkan bahwa kangkung air sangat potensil untuk
digunakan sebagai tanaman fitoremediasi bagi tanah yang terkontaminasi
dengan di-n-butil ftalat (Ar(COO)2(C4H9)2).
Jadi, tanaman dari genus
Ipomoea mempunyai potensi untuk digunakan sebagai fitoakumulator.
Berdasarkan uraian di atas, remediasi logam Cr, Cd, dan Pb dari
tanah akan dilakukan dengan menggunakan salah satu spesies dari Ipomoea
yakni kangkung darat
Penelitian akan dilakukan secara in vitro dan ion-ion
Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang telah ditarik oleh tanaman ini akan dianalisis di
laboratorium dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA).
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka rumusan masalah yang ingin diselesaikan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah tanaman kangkung darat hiperakumulator terhadap ion
Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II).
2. Bagaimana mekanisme akumulasi
ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II)
pada tanaman kangkung darat
3.Adakah efek sinergis paduan ion Cd(II), Cr(VI, dan Pb(II) terhadap
akumulasi kangkung darat
8
C.Tujuan Penelitian
1. Menentukan hiperakumulator kangkung darat terhadap ion Cd(II),
Cr(VI) dan Pb(II).
2. Menentukan mekanisme akumulasi kangkung darat terhadap ion
Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II)
3. Menentukan efek sinergis paduan ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II)
terhadap akumulasi ketiga ion tersebut,
D.Manfaat penelitian
1. Dapat
meningkatkan
pengetahuan
tentang
kemampuan
fitoremediasi
2. Ditemukannya salah satu solusi alternatif upaya mengatasi
pencemaran logam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Logam berat essensial dan non essensial pada tumbuhan
Unsur-unsur kimia di dalam tumbuh-tumbuhan dibagi dalam beberapa
kategori berdasarkan kelimpahan dan kerunutannya. Unsur-unsur runut
terbagi dua. Pertama adalah unsur runut essensial yang sangat dibutuhkan
oleh tumbuhan untuk proses metabolismenya meskipun unsur ini dapat
bersifat toksik jika konsentrasinya melebihi ambang batas yang diperlukan
(Co, Cu, Mn, Mo, dan lain-lain). Kedua adalah unsur runut non essensial
yang belum diketahui peranan biologi pada proses kehidupan tumbuhan
sehingga diharapkan tidak ada di dalam tumbuhan tersebut (Cd, Cr, Pb Hg,
dan lain-lain) (Prasad, 1996).
A.1. Logam berat
Berdasarkan daya hantar panas dan listriknya, semua unsur kimia
yang terdapat dalam susunan unsur berkala dibagi atas dua golongan yaitu
logam dan non logam. Golongan logam mempunyai daya hantar panas dan
listrik yang tinggi, sedangkan unsur non logam mempunyai daya hantar
panas dan listrik yang rendah. Berdasarkan densitasnya, golongan logam
dapat dibagi atas dua golongan, yaitu golongan logam ringan dan logam
berat (Kunarso dan Ruyitno,1991)
10
Menurut Saeni (1989) dan Lasat (2001), logam berat adalah semua
jenis logam yang mempunyai berat jenis lebih dari 5 g/cm 3, sedang logam
yang berat jenisnya kurang dari 5 g/cm3 dikenal sebagai logam ringan.
Logam berat yang ada di lingkungan berasal dari dua sumber yang
berbeda yaitu dari alam seperti gunung berapi, sungai, dekomposisi organik,
retakan dan dari aktivitas antropogenik seperti industri dan limbah domestik.
( Geyer, 1981).
Menurut Verloo(1993) logam berat yang ada dalam tanah dapat
dikelompokkan atas beberapa fraksi atau bentuk sebagai berikut.
a. Fraksi yang larut dalam air, berada dalam larutan tanah
b. Fraksi yang tertukarkan, terikat pada permukaan pada koloid tanah
dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion.
c. Fraksi yang terikat secara organik, berasosiasi dengan senyawa
humus yang tidak larut
d. Fraksi yang terjerap (occluded) di dalam oksida besi dan mangan
e. Fraksi yang membentuk senyawa-senyawa tertentu, seperti
karbonat, fosfat, dan sulfida
f. Fraksi yang terikat secara struktural di dalam mineral silikat atau
mineral lainnya
Hanya
fraksi
a
yang
sangat
erat
hubungannya
dengan
tanaman/tumbuhan, tetapi bukan berarti kelompok lain tidak mempunyai
11
peranan dalam tumbuhan, karena faktor penyerapan logam berat oleh
tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah.
A.2. Dampak biologis dan kimiawi logam berat
Fenomena logam berat yang terkonsentrasi dalam jaringan ditemukan
terkait dengan peran protein pengikat logam. Fungsi dari protein tersebut
adalah mengikat logam, protein yang dapat mengikat logam tersebut adalah
metalotionin (cys-x-cys, x adalah asam amino selain sistein, biasa disingkat
dengan MT). Metalotionin merupakan kelompok protein spesifik non enzim
yang memainkan peran sentral dalam metabolisme logam. Metalotionin
digambarkan sebagai protein sitoplasma yang mempunyai massa molekul
rendah (sekitar 10.000 dalton), dengan struktur yang tidak beraturan. Protein
ini terdiri atas sistein dan kadang-kadang mengandung sedikit histidin atau
asam amino aromatik lainnya. Hampir setiap metalotionin mempunyai residu
24 sistein dan dalam setiap 3 residu sistein mengikat 1 ion logam sehingga 1
metalotionin mengikat 8 ion logam. Konsekuensi dengan adanya sistein
berarti pula metalotionin mempunyai sejumlah besar gugus tio ( sulfidril, -SH).
Gugus ini merupakan pengikat logam berat.
logam
melebihi
kecepatan
Jika kecepatan masuknya
sintesis metalotionin,
maka
akan
terjadi
pelimpahan logam dari metalotionin ke dalam penampung enzim. Efek toksik
selanjutnya bergantung pada pengalokasian logam-logam essensial dari
metaloenzim yaitu enzim yang membutuhkan ion logam spesifik sebagai
12
kofaktor untuk mengkatalisis. Reaksi sederhana antara logam berat dengan
gugus sulfidril (-SH) adalah sebagai berikut.
2 R-SH + Cd2+
R-S-Cd-S-R + 2 H+
A.3. Pengambilan/ penyerapan polutan oleh tumbuhan
Penarikan/penyerapan polutan oleh akar tumbuhan
berbeda untuk
polutan organik dan anorganik. Polutan organik pada umumnya adalah
buatan manusia dan ksenobiotik pada tumbuh-tumbuhan. Akibatnya tidak
ada pembawa untuk senyawa-senyawa organik ke dalam membran
tumbuhan. Polutan organik cenderung berpindah masuk ke jaringan
tumbuhan melalui difusi sederhana dan juga bergantung pada sifat-sifat
bahan kimia tersebut (Briggs, et al.1982).
Sebaliknya polutan anorganik diserap dengan proses biologi lewat
membran protein pembawa. Membran protein pembawa ini terjadi secara
alamiah sebab polutan-polutan anorganik biasanya bergabung dengan
nutrien-nutrien itu sendiri (nitrat, fosfat, Cu, Mn, Zn). Polutan anorganik pada
umumnya berada dalam bentuk ion sehingga tidak dapat melewati membran
tanpa bantuan membran protein pembawa. Pencemar anorganik yang
terakumulasi dalam jaringan tumbuhan sering menyebabkan keracunan dan
sekaligus merusak struktur dinding sel tumbuhan.(Pilon-Smits, 2005).
13
Pada penelitian ini digunakan ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II), sehingga
perlu dikaji tentang penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnnya sebagai referensi. Logam Cd, Cr, dan Pb merupakan pencemar
utama dalam lingkungan air, udara, dan tanah sehingga akan dibahas secara
rinci
A.4. Kromium (Cr)
Kromium pertama kali ditemukan pada tahun 1798 oleh seorang ahli
kimia Perancis yang bernama Vauquelin pada batuan timbal yang berwarna
merah di Siberia Rusia. Kromium adalah unsur transisi yang terletak pada
golongan VI B pada tabel periodik dengan konfigurasi elektron 4s13d5
Senyawa kromium yang stabil adalah senyawa-senyawa dari valensi
III dan VI. Senyawa Cr(VI) adalah senyawa yang paling toksik, yang pada
umumnya membentuk senyawa dengan oksigen sebagai kromat (CrO 42-) dan
dikromat (Cr2O72-). Kromium (III) kurang toksik dan pada umumnya berikatan
dengan bahan organik dalam tanah dan lingkungan perairan. Kromium
berbeda dengan logam-logam toksik lainnya seperti kadmium, raksa, timbal,
dan aluminium, dimana logam Cr sangat kurang mendapat perhatian dari
ahli tumbuhan. Kompleks kimia kromium merupakan halangan dalam
mempelajari
mekanisme
toksisitas
kromium
pada
tumbuh-tumbuhan.
Pengaruh kontaminasi kromium dalam fisiologi tumbuh-tumbuhan bergantung
pada spesies logamnya yang berperanan terhadap mobilisasi Cr, termasuk
14
penyerapan
dan
keracunan
pada
sistem
tumbuhan
(Panda
and
Choudhury,2005)
Kromium telah ditemukan pada lingkungan, udara, tanah dan air.
Secara alamiah Cr ditemukan dalam tanah dengan variasi konsentrasi 10 50 mg/kg, serta bergantung juga pada asal materi tersebut. Dalam tanah
ultramafik (serpentin) konsentrasi krom dapat mencapai 125 g/kg (Adriano
1986). Pada air alam konsentrasi krom pada umumnya bervariasi antara 0,2
– 50 µg/L. Sedangkan konsentrasi krom di udara sangat bervariasi dan
bergantung pada tempat dimana sampel udara tersebut diambil, tapi pada
umumnya berkisar antara 5,0 x 10-6 sampai 1,2 x 10-3 mg/m3.
Peningkatan konsentrasi Cr di lingkungan diakibatkan oleh aktivitas
antropogenik seperti, penyamakan kulit, produksi baja, electroplating
(penyepuhan), dan pengawetan kayu. Indusri kulit merupakan penyumbang
terbesar terhadap pencemaran yang disebabkan oleh Cr di udara dengan
jumlah kira-kira 40 % dari seluruh industri yang menggunakan krom.(Arun, et
al., 2005).
A.4.1. Efek toksik krom pada makhluk hidup
Kromium masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernapasan,
makanan/minuman
ingestion
dan
penyerapan
lewat
kulit.
Resiko
keterpaparan Cr pada umumnya melalui pernapasan dan kontak langsung
dengan kulit. (ASTDR,2006)
15
Kecepatan penyerapan Cr pada gastrointestinal relatif lambat dan
bergantung pada beberapa faktor termasuk bilangan oksidasi Cr. Kromium
(VI) lebih mudah diserap daripada krom (III), senyawa kromium organik lebih
mudah diserap dibanding senyawa kromium anorganik, karena kelarutan
senyawanya dalam sistem gastrointestinal sangat cepat. Kurang lebih 1 %
Cr(III) anorganik dan sekitar 10 % Cr(VI) anorganik ditemukan dalam tubuh
manusia dan hewan (Drew et al. 2006)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelarutan senyawa Cr (VI) dan
penyerapannya lebih mudah daripada senyawa-senyawa Cr (III) yang
menyebabkan Cr (VI) lebih mudah menembus membran sel.
Jika
konsentrasi krom dalam tubuh sudah melampaui ambang batas maka akan
menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti borok krom pada kuku dan
tulang jari. Akibat lain adalah terjadinya iritasi pada paru-paru yang pada
akhirnya akan menyebabkan polip (Drew et al.2006).
A.4.2.Efek toksik krom pada tumbuh-tumbuhan
Toksisitas Cr dan senyawa-senyawanya pada tumbuhan sangat tinggi
yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun
beberapa tanaman palawija tidak dipengaruhi oleh Cr pada konsentrasi
rendah (3,8 x 10-4M). Pada umumnya Cr sangat toksik pada tanaman tingkat
tingggi. Interaksi pertama Cr dengan tumbuhan adalah pada proses
16
penarikan atau penyerapannya. Kromium adalah logam toksik yang tidak
essensial pada tanaman dan penyerapannya tidak melalui mekanisme
khusus. Kromium ikut terbawa ke dalam tumbuhan bersama-sama logam
essensial lainnya. Kromium diangkut lewat suatu jalur dengan suatu
mekanisme aktif yang melibatkan anion essensial sebagai pembawa seperti
ion sulfat. Besi, belerang dan fosfor juga telah diketahui berkompetisi dengan
Cr untuk membentuk suatu ikatan (Wallace et al.,1997). Pengambilan dan
akumulasi Cr pada berbagai macam gandum telah dilakukan oleh beberapa
peneliti seperti Skeffington et al., 1976 dan Ramachandran et al., 1999.
Tumbuhan yang mengalami stress Cr merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh pada saat fotosintesis, fiksasi CO2, transpor elektron,
fotofosforilasi, dan aktivitas enzim. Pada tumbuhan tingkat tinggi dan pohonpohonan, pengaruh Cr pada proses fotosintesis telah dilaporkan oleh
Vazques et al. (1992), Barcelo et al. (1986), yang menyatakan bahwa Cr
telah
menurunkan
potensial
air,
meningkatkan
kecepatan
respirasi,
mengurangi difusi pada tanaman buncis dan bunga matahari. Barcelo et al.
(1986) menemukan korelasi yang tinggi antara warna klorofil pada
penyerapan Fe dan Zn pada tanaman yang mengandung unsur Cr. Moral et
al. (1995) melaporkan bahwa konsentrasi unsur nutrisi N, P, K, Na, Ca, dan
Mg dalam kambium meningkat secara signifikan. Selain itu Cr juga
memberikan efek negatif terhadap penyerapan Fe . Turner dan Rust (1971),
17
mengamati pengaruh penambahan Cr (VI) pada penyemaian biji kedelai,
setelah 3 hari kontak. Hasil menunjukkan bahwa Cr (VI) 30 ppm
menyebabkan penurunan berat pucuk sebesar 30
%, sedangkan
penambahan 10 ppm tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan biji kedelei.
Larutan nutrien yang mengandung Cr(III) 0,05 ppm dapat menurunkan berat
daun dan batang dari chysanthemum berturut-turut 31 % dan 36 % setelah
21 hari kontak dengan larutan krom tersebut (Patel et al.,.1976). Berat daun
buncis turun sebesar 30 % setelah 11 hari penambahan larutan nutrien
yang mengandung Cr(VI) 0,54 ppm (Walace et al.1977). Wong dan
Bradshaw (1982) menyatakan bahwa telah terjadi pengurangan panjang akar
tanaman gandum sebesar 69 % setelah 14 hari penambahan larutan nutrien
yang mengandung Cr(VI) 2,5 ppm. Adema dan Henzen (1989), telah
mengamati pengaruh Cr(VI) pada tumbuhan salada, tomat dan gandum yang
ditumbuhkan di dalam wadah hingga berumur 15 hari. EC-50 salada pada
tanah humit berpasir ( pH 5,1, bahan organik 3,7 %) adalah
11 ppm,
sedangkan pada tanah liat (pH 7,4; bahan organik 1,4 %) adalah 1,8 ppm.
EC-50 untuk tomat pada tanah humit berpasir adalah 21 ppm, sedangkan
pada tanah liat adalah 6,8 ppm. EC-50 untuk tanaman gandum pada tanah
humit berpasir adalah 31 ppm sementara pada tanah liat adalah 4,8 ppm.
Moral et al. (1995) telah menemukan pengurangan panjang akar sebesar
24 % dan berat akar 32 % pada tanaman tomat yang disemaikan dalam
18
larutan nutrien yang mengandung Cr(III) 100 ppm sedangkan Cr(III) 50 ppm
tidak berpengaruh terhadap panjang akar maupun beratnya.
A.5. Logam timbal (Pb)
Timbal dengan simbol Pb bernomor atom 82 dalam sistem periodik
dengan konfigurasi elektron 4f14 5d10 6s2 6p2 dan termasuk golongan utama.
Kulit bumi mengandung 16 ppm sedangkan pada batu-batuan sangat
bervariasi. Timbal dapat ditemukan di alam sebagai unsur maupun senyawa.
Aktivitas manusia menyebabkan konsentrasi timbal dalam lingkungan
meningkat. Polusi timbal dapat terjadi di tanah, air, maupun udara karena
penggunaannya yang sangat luas. Timbal dipakai dalam jumlah besar pada
pabrik baterai, pabrik logam dan pewarna. Fardiaz (1992) mengatakan
bahwa penggunaan timbal terbesar adalah pada produksi aki untuk mobil.
Timbal juga banyak digunakan sebagai amunisi, pelapis kabel, pipa ,bahan
kimia, dan pewarna. Selain itu, senyawa timbal khususnya tetra etil timbal
(TEL) atau tetra metil timbal(TML) banyak digunakan dalam bahan bakar
minyak sebagai anti ketukan. Dalam industri keramik, timbal digunakan
sebagai pelapis pada pembuatan keramik dimana silikat sebagai bahan
dasar akan bereaksi dengan timbal oksida membentuk suatu kompleks
silikat. Senyawa PbO yang ditambahkan dalam campuran ini akan membuat
keramik mengkilap seperti kaca (Cotton,1994). Reaksi silikon oksida dengan
timbal oksida adalah sebagai berikut.
19
SiO2 + PbO2
PbSiO2
A.5.1. Efek toksik timbal pada makhluk hidup.
Timbal adalah suatu logam yang bersifat racun dan dapat merusak
sistem syaraf (khususnya pada anak-anak) dan juga dapat menyebabkan
pendarahan dan kerusakan di otak. Pemaparan logam timbal atau garamgaramnya khususnya garam-garam yang mudah larut atau yang bersifat
oksidator kuat dalam waktu lama dapat menyebabkan nephopathy dan coliclike abdominal pain. Timbal asetat yang dikenal pada zaman Romawi kuno
sebagai gula timbal banyak digunakan untuk pemanis anggur yang
menyebabkan penyakit gila.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbal mempunyai efek faal
terhadap tubuh manusia. Timbal dalam tubuh manusia dapat menghalanghalangi pembentukan reaksi hemoglobin dengan O2. Hal ini dapat
menimbulkan penyakit anemia dan merupakan keracunan kronis. Timbal juga
mengganggu aktivitas enzim yang mengandung belerang (S) (ATSDR).
20
A.5.2. Efek toksik timbal pada tumbuh-tumbuhan
Efek toksik timbal terhadap tumbuhan telah banyak diamati sejak
tahun tujuh puluhan sampai sekarang. Pengurangan berat akar dan pucuk
sebanyak 52 % pada tumbuhan bluestem terjadi setelah 12 minggu kontak
dengan ion Pb(II) 450 ppm
(Miles and Parker, 1979).
Liu et al. (1994)
mengamati kecepatan pertumbuhan akar jamur setelah 4 hari kontak dengan
larutan yang mengandung ion Pb(II). Kecepatan pertumbuhan akar turun
sebesar
33 % dengan penambahan ion Pb(II) 0,2 ppm, tetapi pada
konsentrasi ion Pb(II) 0,02 ppm tidak berpengaruh pada pertumbuhan akar.
Muramoto et al. (1990) mengamati pengaruh penambahan Pb pada
pertumbuhan gandum dari biji sampai dewasa yang ditanam pada tanah
alluvial (pH 6). Berat akarnya berkurang 27 % pada penambahan konsentrasi
ion Pb(II) 1000 ppm sedangkan konsentrasi ion Pb(II)ion 300 ppm tidak
berpengaruh. Godbold dan Kettner (1991) menemukan bahwa telah terjadi
penurunan kecepatan perpanjangan akar pohon cemara setelah 3 minggu
penambahan larutan nutrient yang mengandung ion Pb(II) 0,2 ppm.
Wierbicka dan Antosiewiecz (1991) telah mengamati pengaruh ion Pb(II)
pada biji jagung dan gandum, setelah kontak selama 7 hari dalam larutan
nutrien. Panjang akar jagung berkurang 25 % setelah penambahan ion Pb(II)
1 ppm, sedangkan panjang akar gandum turun 27 % setelah penambahan
ion Pb(II) 2 ppm.
21
A.6. Kadmium (Cd)
Logam kadmium ditemukan pada tahun 1817 oleh seorang ahli
bangsa Jerman yang bernama Friedrich Stromeyer. Logam ini mempunyai
massa atom relatif 112,41 g/mol, berat jenis 8,64 g/cm 3, titik leleh 321oC, titik
didih 767oC. Logam kadmium mudah terbakar membentuk kadmium oksida
(CdO)
Produksi Cd di seluruh dunia berkisar 6000 metrik ton pertahun pada
tahun 1950 sampai 15.000 metrik ton pertahun pada tahun 1980. Produksi
kadmium sekarang kurang lebih 19.000 ton metrik ton pertahun. Logam Cd
utamanya
digunakan
pada
pelapisan
logam
atau
campuran
untuk
pencegahan korosi pada pabrik baterai, keramik, kaca, dan beberapa
biosida. Kadmium juga seringkali digunakan dalam jumlah besar sebagai
pewarna dalam cat, dan juga pada pabrik plastik (Moore, 1990).
A.6.1. Efek toksik Cd terhadap makhluk hidup
Kadmium tidak mempunyai peranan biologis dalam makhluk hidup.
Kadmium adalah logam yang sangat toksik dan dapat terakumulasi cukup
besar pada organisme hidup karena mudah diadsorpsi dan mengganggu
sistem pernapasan serta pencernaan. Jika teradsorpsi ke dalam sistem
pencernaan dan sistem paru-paru, kadmium akan membentuk kompleks
dengan protein sehingga mudah diangkut dan menyebar ke hati dan ginjal
bahkan sejumlah kecil dapat sampai ke pankreas, usus, dan tulang. Selain
22
itu, kadmium juga akan mengganggu aktivitas enzim dan sel. Hal ini akan
menimbulkan tetratogenik, mutagenik, dan karsinogenik (Szymczyk dan
Zalewski,2003).
A.6.2. Efek toksik Cd terhadap tumbuhan
Efek toksik kadmium terhadap tumbuhan telah diteliti sejak beberapa
tahun terakhir. Pada umumnya kadmium telah menunjukkan pengaruh
terhadap pengambilan, pengangkutan, dan penggunaan beberapa unsur
seperti Ca, Mg, P, dan K dan juga air pada tumbuh-tumbuhan (Das et
al.,1997).
Kadmium
juga
mengurangi
penyerapan
nitrat
dan
pengangkutannya dari akar ke pucuk, juga menghambat aktivitas enzim nitrat
reduktase di dalam pucuk-pucuk tanaman (Hernandez et al.,1996). Kadmium
menurunkan aktivitas ATP-ase pada bagian membran plasma dari tanaman
gandum dan bunga matahari (Fodor et al., 1995).
Rascio et a. (1993)
menemukan pengurangan panjang akar dan pucuk sekitar 45 dan 35 % pada
tanaman jagung setelah 18 hari ditumbuhkan dalam nutrien yang
mengandung ion Cd(II) 28,1 ppm, sedangkan ion Cd(II) 11,2 ppm tidak
mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan akar.
B.Fitoremediasi
Fitoremediasi berasal dari kata Phyto yang berarti tumbuhan dan
remedium
(bahasa Latin) yang berarti membersihkan atau menyimpan.
23
Fitoremediasi
adalah
penggunaan
tumbuhan
untuk
membersihkan
lingkungan yang tercemar yang telah digunakan beberapa puluh tahun yang
lampau karena biayanya murah, pilihan yang tidak infasif (noninvasive) atau
suatu teknologi yang saling melengkapi yang berdasarkan pada metode
remediasi. Tumbuh-tumbuhan dapat digunakan untuk stabilisasi, ekstraksi,
degradasi atau volatilisasi polutan. Proses remediasi logam berat dengan
metode fitoremediasi telah dikemukakan oleh Belz(1997), Lasat (2000),
Chaney et al. (1997), Prasad dan Freits (2003), Widianarko (2004),
Turpeinan(2002), Oppelt (2000), Peuke dan Rennenberg (2005), MatheGaspar dan Anton (2005), Pilon-Smits (2005), Padmavathiamma dan Li Y
(2007), dan Fellet et al (2007).
Manfaat
fitoremediasi
adalah
untuk
menghilangkan
atau
mengimobilisasi logam-logam dalam tanah yang terkontaminasi dengan
menggunakan tanaman. Selain biayanya yang rendah, keuntungan utama
dari fitoremediasi adalah bahwa metode ini tidak merusak sifat tanah seperti
yang terjadi pada pembersihan lainnya. Fitoremediasi dapat
diaplikasikan
secara luas termasuk meremediasi senyawa organik seperti pestisida,
hidrokarbon dan logam-logam. (Schnoor et al.,1995; Kumar et al., 1995).
Selain fungsi remediasi, fitoremediasi juga dapat meningkatkan atau
mempertahankan struktur dan kesuburan tanah (Watanabe,1997; Negri and
Hinchman, 1996)
24
Polutan-polutan anorganik dapat terjadi secara alamiah seperti unsurunsur yang ditemukan pada saat terjadi gempa bumi dan gunung meletus
yang membebaskan debu dan gas yang pada umumnya terdiri atas materi
yang mengandung bahan-bahan kimia. Aktivitas antropogenik
pertambangan, industri, lalu lintas, pertanian dan aktivitas militer
meningkatkan konsentrasi
seperti
dapat
polutan anorganik ke lingkungan sehingga
konsentrasi polutan-polutan anorganik setiap saat bertambah yang pada
akhirnya akan bersifat toksik. Polutan-polutan anorganik tidak dapat
didegradasi
tetapi
pada
umumnya
polutan-polutan
ini
dapat
difitoremediasi/dipindahkan lewat stabilisasi atau di buang lewat jaringan
tumbuhan yang telah dipanen. Polutan-polutan anorganik yang dapat
dfitoremediasi antara lain unsur-unsur mikro nutrien, unsur runut bagi
tumbuhan, unusur non esensial bagi tumbuhan, dan beberapa isotof radio
aktif (Pilon-Smits, 2005).
C. Mekanisme akumulasi spesis unsur oleh tanaman
Ada beberapa mekanisme akumulasi yang bekerja dalam tumbuhan
yang
berhubungan
dengan
keterpaparan
logam
pada
tanah-tanah
terkontaminasi. Jenis mekanisme akumulasi logam oleh tanaman terdiri atas ,
fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitostabilisasi, fitovolatisasi, dan
(Yang et al., 2005).
fitodegradasi
25
C. 1. Fitoekstraksi.
Fitofiltrasi ini dikenal juga sebagai fitoakumulasi yang meliputi
pengambilan logam-logam ke dalam akar-akar tumbuhan, yang selanjutnya
logam-logam tersebut ditranslokasi ke pucuk-pucuk dan daun-daun melalui
ksilem tumbuhan. Bagian atas tumbuh-tumbuhan kemudian dipanen dan
logam-logam kemudian dapat
diekstraksi dari jaringan tumbuhan untuk
memperoleh kembali logam tersebut (teknik ini biasa disebut sebagai
fitomining (Anderson et al., 1999).
C.2. Filtrasi akar
Filtrasi akar merupakan proses kombinasi antara fitoekstraksi dan
fitostabilisasi. Metode ini dikembangkan untuk meremediasi air dan sedimen
yang terkontaminasi, dimana kontaminan-kontaminan diserap dan dipekatkan
oleh akar dan diendapkan sebagai fosfat dan atau karbonat dengan reaksi
sebagai berikut.
Mn+ + PO43-
M3(PO4)n
Mn+ + CO32-
Tumbuhan
hidroponik
sering
M2(CO3)n
digunakan
walaupun
tumbuhan
ini
menghasilkan sistem akar yang paling besar dengan biomassa yang besar
sehingga dapat memperbaiki pengambilan kontaminan. Tumbuh-tumbuhan
tidak mentransfer kontaminan-kontaminan ke bagian atas tumbuhan tetapi
26
lebih senang ke bagian akar, dan paling banyak logam-logam yang dapat
dipindahkan (Salt et al., 1995). Akar-akar Brassica juncea telah dilaporkan
dapat memindahkan lebih dari 1000 mg/kg Pb dari larutan yang mengandung
2 µg/mL Pb (Dushenkov et al., 1995).
C.3. Fitostabilisasi.
Karena logam berat yang mencemari tanah biasanya
kekurangan
penutup vegetasi, logam-logam tersebut mengalami leaching dan erosi.
Fitostabilisasi bermanfaat untuk mengvegetasi daerah dengan tanamantanaman yang toleran terhadap logam. Tanaman-tanaman dapat mengurangi
leaching logam dengan mereduksi logam-logam dari tingkat oksidasi yang
larut menjadi tingkat oksidasi yang tidak larut pada daerah akar (Salt et al.,
1995). Teknik ini hanya efektif jika konsentrasi kontaminan rendah atau
sedang. Brassica juncea dilaporkan mereduksi logam Pb yang tembus ke
dalam air tanah dari campuran pasir dari 740 μg/kg sampai 22 mg/kg dengan
adanya tumbuhan.
C.4. Fitovolatisasi
Logam-logam toksik seperti Se, Hg, dan As dapat dibiometilisasi
menjadi molekul-molekul yang mudah menguap sehingga dapat terbang ke
atmosfir. Walaupun telah diketahui bahwa dalam waktu yang lama beberapa
mikroorganisme mempunyai peranan dalam volatilisasi beberapa logam,
27
suatu tumbuhan yang mampu melakukan fungsi yang sama dengan
mikroorganisme ditemukan oleh Salt et al., 1997. Sebagai contoh volatilisasi
Se dan Hg telah diusulkan suatu mekanisme dalam bentuk metil selenat dan
metil merkuri. (Zeyed and Terry, 1994)
bakteri
Hg2+
CH3 – Hg – CH3
+ Bahan organik
C.5. Fitodegradasi
Adanya mikroba-mikroba yang menambah aktivitas biologi di sekitar
akar dapat mempercepat penguraian zat-zat khususnya polutan-polutan
organik. Proses ini hanya terjadi di lapisan atas tanah dan prosesnya mirip
dengan bioremediasi
D. Tanaman Hiperakumulator logam berat.
Istilah yang tepat untuk tanaman hiperakumulator logam tidak
diketahui. Hiperakumulator
adalah tanaman yang mampu memproteksi
dirinya dari penyakit walaupun mengandung logam dalam konsentrasi yang
tinggi. Tanaman hiperakumulator sering diidentifikasi sebagai tanaman yang
mempunyai kemampuan mengakumulasi lebih dari 1 % logam dalam
biomassanya.(Roosens et al.,2003). Menurut Barcelo dan Poschenrieder
(2003),
tanaman
hiperakumulator
merupakan
tanaman
yang
dapat
mengakumulasi dan mempunyai toleransi logam berat jauh lebih tinggi
28
dibanding tanaman akumulator. Kriteria agar suatu tanaman dapat disebut
sebagai
hiperakumulator
adalah
jika
tanaman
tersebut
mampu
mentranslokasikan unsur baik tunggal maupun campuran ke bagian atas
tanaman (daun)(Aiyen, 2005).
Tanaman hiperakumulator harus memenuhi kriteria sebagai berikut.
D.1. Tanaman harus mempunyai tolerensi yang tinggi terhadap unsur
yang ada dalam akar atau/tunas
D.2. Tanaman harus mempunyai kemampuan tinggi untuk
mentranslokasikan unsur dari akar ke daun, secara normal logam
pada akar tanaman sekitar 10 kali lebih banyak daripada di daun.
D.3. Penarikan logam yang ada dalam larutan tanah harus cepat
(Chaney, 1997)
Kemampuan tanaman dalam mentranslokasikan logam juga dapat
diukur dari hasil hitung Faktor Biokonsentrasi (bioconcentration factor, BCF)
dan Faktor Translokasi (translocation factor, TF). Faktor biokonsentrasi
didefinisikan sebagai ratio antara konsentrasi logam di akar dengan
konsentrasi logam dalam tanah. Kemampuan tanaman untuk memindahkan
logam dari akar ke daun diukur dengan TF, yang didefinisikan sebagai ratio
konsentrasi logam yang ada di daun dengan yang ada di akar (Yoon et
al.,2006).
29
E. Aplikasi fitoremediasi
Aplikasi fitoremediasi bergantung pada polutan yang akan diremediasi,
sehingga metode mana yang paling sesuai dengan polutan tersebut perlu
dipilih. Beberapa contoh aplikasi fitoremediasi ditunjukkan pada Tabel 1.
Fitoremediasi memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan
dengan metode-metode lain. Keuntungan tersebut adalah antara lain : biaya
murah, ramah lingkungan, tidak merusak sifat-sifat fisik tanah, dapat
menghindari terjadi erosi, logam dapat diserap oleh tanaman sehingga
dengan mudah dapat diangkut ke tempat lain yang pada akhirnya logamlogam dapat diambil kembali dengan proses recovery, metode ini biasa
disebut fitomining
Tabel 1. Aplikasi fitoremediasi
APLIKASI
TUMBUHAN
Rizolftrasi
Bunga matahari
Fitoekstraksi
Sawi dan bunga matahari
Fitostabilisasi
Poplar (populus spp)
Fitovolatilisasi
Brassica spp
Fitotransformasi
Hybrid poplars (populus
POLUTAN
137Cs, 90Sr
Pb
As, Cd
Se
TCE
spp)
Tabel-2
berikut
menunjukkan
beberapa cara remediasi polutan.
perbandingan
biaya
operasional
30
Tabel 2. Biaya operasinoal beberapa metode remediasi
METODE REMEDIASI
ONGKOS ($/TON)
Perlakuan kimia
100 - 200
Pencucian tanah
75 – 200
Fitrivikasi termal
250 – 425
Perlakuan panas
170 – 300
Elektrokinetika
20 - 200
Insinerasi
200 – 500
Landfilling
100 – 500
Fitoremediasi
25 – 100
Glass (2000)
F. Kangkung darat (Ipomoea reptans Poir)
Tanaman kangkung dalam tatanama (sistematika) tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut.
Regnum
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub-divisio : Angiospermae
Classisis
: Dicotylledoneae
Sub Classis : Sympetalae
Orde
: Solanales
Familia
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea aquatica Fork (Kangkung air), I. reptans Poir
(kangkung darat).
31
F.1. Morpologi tanaman kangkung
Kangkung merupakan tanaman menetap yang dapat tumbuh lebih dari
satu tahun. Batang tanaman berbentuk bulat panjang berbuku-buku, banyak
mengandung air dan berlubang-lubang. Batang tanaman kangkung tumbuh
merambat atau menjalar dengan percabangan yang banyak.
Tanaman kangkung memiliki sistem perakaran tunggang dan cabangcabang akarnya menyebar ke semua arah, dapat menembus tanah sampai
kedalaman 60 – 100 cm dan melebar secara mendatar pada radius
100 – 150 cm atau lebih
Tangkai daun melekat pada buku-buku batang dan di ketiak daunnya
terdapat mata tunas yang dapat tumbuh menjadi percabangan baru. Bentuk
daun umumnya seperti jantung hati, ujung daun runcing ataupun tumpul,
permukaan daun sebelah atas berwarna hijau tua, dan permukaan bagian
bawah berwarna hijau muda.
Selama fase pertumbuhan, tanaman kangkung terutama jenis
kangkung darat dapat berbunga, berbuah, dan berbiji, Bentuk bunga seperti
terompet dan daun mahkota bunga berwarna putih atau merah lembayung.
Buah kangkung berbentuk bulat telur yang di dalamnya berisi tiga butir biji.
Bentuk biji kangkung bersegi-segi atau agak bulat, berwarna coklat atau
kehitam-hitaman,dan termasuk biji berkeping dua. Pada jenis kangkung darat
biji kangkung berfungsi sebagai alat perbanyakan tanaman secara generatif.
32
F.2. Penanaman kangkung darat
Syarat tanah yang dikehendaki kangkung darat adalah tanah yang
subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, dan air tidak mudah
tergenang yang mengakibatkan tanah menjadi becek. Pada tanah yang
becek, akar-akar dan batang tanaman kangkung darat akan mudah
membusuk atau mati.
Kangkung darat dikembangbiakkan secara generatif dengan biji-bijinya
atau secara vegetatif berupa setek pucuk. Akan tetapi para petani pada
umumnya menggunakan bahan tanaman yang berasal dari biji (benih).
Penanaman benih kangkung darat dapat dilakukan dengan beberapa
cara seperti berikut ini.
1. Sistem sebar, yakni benih disebar (ditabur) secara merata di atas
permukaan bedengan, kemudian ditimbun (ditutup) dengan tanah
2. Sistem barisan, yakni benih disebar dalam larikan-larikan (alur-alur)
pada jarak tanam 20 cm antar barisan.
3. Sitem huntukala (triangular), yakni mengukur jarak tanam 20 x 20
cm
membentuk segitiga
F.3. Cara panen kangkung
Panen pertama kangkung dapat dilakukan pada umur 2 – 3 bulan
setelah tanam. Panen pertama ini selain bertujuan utnuk mendapatkan hasil
33
bahan sayuran daun, juga berfungsi untuk merangsang pertumbuhan
vegetatif (pucuk-pucuk) berikutnya yang lebih banyak.
Ciri tanaman kangkung siap dipanen adalah pertumbuhan tunastunasnya telah memanjang sekitar 20 – 25 cm dan ukuran daun-daunnya
cukup besar. Waktu panen yang paling baik adalah pagi atau sore hari agar
tidak mengalami kelayuan yang draktis akibat pengaruh suhu udara yang
panas ataupun teriknya sinar matahari (Rukmana, 1994).
G. KERANGKA PIKIR
Pada bagian kanan dari skema adalah model sirkulasi kesetimbangan
bahan yang menggambarkan kimia-dinamika ekosistem. Manusia dalam
usaha memenuhi kebutuhan sehari-harinya menggunakan hasil industri
sebagai bahan konsumsi mereka. Residu dari manusia dan limbah dari
proses industri berupa limbah padat dan cair yang mengandung Cd, Cr, dan
Pb dikembalikan ke bahan biogeokimia pada tanah. Pada kejadian ini, residu
dan limbah industri berada dalam bentuk pencemaran tanah.
Bagian kiri dari skema adalah siklus energi dan bahan yang terjadi
secara alami. Sebagian dari sinar matahari terjerap oleh tanaman kangkung,
kemudian energi ini dirubah menjadi energi kimia melalui fotosintesis. Bahan
geokimia berupa mineral, tanah, air dan udara yang telah terjerap dalam
kangkung dirubah menjadi struktur seluler biologi. Siklus ini berlangsung
terus menerus di dalam ekosistem.
34
Bahan residu dari aktivitas manusia dan limbah dari proses industri
dikembalikan ke lingkungan tanah. Banyak dari residu dan limbah cair yang
mengandung Cd, Cr, dan Pb tidak dapat diuraikan oleh mikroba tanah dan
mikroorganisme dalam air. Akibatnya di dalam tanah, zat pencemar seperti
Cd, Cr, dan Pb tersirkulasi bersama-sama dengan semua bahan yang lain
dalam proses perubahan makanan. Dalam proses metabolisme, Cd, Cr, dan
Pb akan menjadi bagian dari struktur seluler dalam tanaman kangkung.
Apabila ditekankan pada penyebaran logam berat pada lingkungan
tanah, maka permukaan tanah sangat signifikan peranannya. Penyerapan
logam berat pada permukaan tanah dipengaruhi oleh kuatnya pengikatan
logam berat pada permukaan tanah dan hal ini yang menentukan proses
penyerapan. Ada dua fraksi besar terdapat di dalam tanah yaitu: fraksi
organik dan anorganik (mineral).
Fraksi mineral tersusun dari lapisan silika dan logam hidroksida.
Lapisan silika terbentuk dari dua unit dasar. Unit pertama adalah tetrahedral:
4 atom oksigen mengelilingi satu kation pusat, biasanya Si4+, tetapi kadangkadang Al3+ dan unit kedua adalah oktahedral: 6 oksigen (atau hidroksil)
mengelilingi satu kation besar, biasanya Al3+. Lapisan silikon tetrahedral dan
aluminium oktahedral berinteraksi dalam berbagai bentuk penggabungan
membentuk lapisan struktur mineral clay. Kation yang mempunyai jari-jari
serupa dengan kation Al3+ atau Si4+ dapat mengalami substitusi. Tetapi
apabila valensi kation pensubstitusi lebih rendah daripada Al 3+ atau Si4+,
35
maka akan dihasilkan suatu lapisan bermuatan negatif yang akan dinetralkan
oleh suatu kation yang berada di luar struktur lapisan. Lapisan silika ini
merupakan suatu lapisan yang dikarakterisasi dengan luas permukaan yang
sangat besar dan dikelilingi muatan negatif yang sangat banyak. Muatan
negatif ini ternetralkan oleh kation (Cd, Cr, dan Pb) yang berada di luar
lapisan. Permukaan clay merupakan suatu lapisan yang bermuatan negatif
yang sifatnya bergantung pada pH dan hasil ionisasi ion hidrogen dan
hidroksil. Kemampuan clay melakukan penukaran kation sangat bergantung
dari mekanisme peruraian ion hidrogen dan kation-kation bebas. Jadi, logam
Cd, Cr, dan Pb menggantikan proton dan kation lainnya di dalam tanah.
Fraksi organik (fraksi humus) ini terdiri atas tiga golongan besar yaitu
humin (material yang tidak dapat diekstraksi dengan reagen alkali), humik
(fraksi yang dapar diekstraksi dengan reagen alkali dan dapat diendapkan
dalam suasana asam), dan asam fulvik (fraksi yang tertinggal dalam larutan
setelah zat lainnya telah terpisahkan. Aspek signifikan pada fraksi organik
tanah dalam konteks penyerapan Cd, Cr, dan Pb adalah karena mempunyai
permukaan sangat luas yang sangat baik untuk terjadinya penukaran kation.
Fraksi organik ini juga merupakan senyawa organopilik yang mempunyai sifat
sangat signifikan terhadap kemampuannya menyerap zat organik non ionik
(Cd, Cr, dan Pb yang telah membentuk kompleks).
Kangkung darat sebagai hiperakumulator logam berat mempunyai
kemampuan menjerap dan mengakumulasi Cd, Cr, dan Pb dari komponen
36
tanah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak ruang besar dalam
protoplasma suatu sel di dalam jaringan kangkung. Sel ini mengandung
Asam-asam amino: glisin, asam glutamat,
prolin dan asam aspartat dan
asam-asam amino lain dalam jumlah kecil, gugus karboksilat dan gugus
hidroksil. Senyawa ini di dalam kangkung bereaksi dengan Cd, Cr, dan Pb
membentuk suatu senyawa kelat yang sifatnya stabil. Hasil reaksi ini
merupakan reaksi utama yang mendukung adanya kekuatan penjerapan
yang tinggi dari kangkung terhadap Cd, Cr, dan Pb di dalam larutan tanah.
Salah satu reaksi kimia yang mungkin terjadi dalam tanaman kangkung darat
adalah sebagai berikut.
NH – CH2
2 H2N-CH2-COOH + M2+
+ 4 H+
M
O
Glisin
C=O 2
M : logam bervalensi 2
NH – CH2
2 H2N-CH2-COOH + Cd2+
Glisin
+ 4 H+
Cd
O
C=O 2
37
Akumulasi kation Cd, Cr, dan Pb oleh ujung-ujung akar tanaman
kangkung dipengaruhi oleh berbagai faktor luar seperti lama waktu kontak,
temperatur, konsentrasi logam berat dan lainnya. Kadmium, krom, dan timbal
yang diserap akar tidak berbentuk molekul-molekul garam, akan tetapi logam
berat ini diserap akar di dalam bentuk kation dan anion lainnya. Kation-kation
ini di dalam larutan tanah bergerak secara horizontal sampai di pembuluh
batang (silem). Di dalam silem ini larutan kation Cd, Cr, dan Pb bergerak
secara vertikal menuju ke daun karena pertolongan sel-sel hidup yang ada di
sekitar silem.
38
Siklus energi-bahan
Kimia Dinamika Ekosistem
Tenaga
matahari
Proses Industri
Kangkung darat dan
tumbuhan berklorofil
Limbah Cair dan Padat
mengandung Logam
Berat
Hasil Industri
Konsumsi manusia
Bahan biogeokimia (mineral, air, tanah dan udara)
Residu
Pencemaran logam berat
dalam tanah
Skema Kesetimbangan logam berat dalam tanah
M-Clay
2
3
ML-(humus)
1
M: Logam berat
L : Ligan
M
ML
Larutan tanah
5
M-Oksida
Hidrat
4
1.Larutan tanah, logam berat ada dalam bentuk kation dan
Senyawa kompleks
2.Adsorpsi permukaan logam berat pada permukaan clay
3.Pembentukan senyawa kompleks antara logam berat dengan
fraksi humus
4.Senyawa yang tidak larut
5. Penyerapan logam berat oleh oksida-oksida hidrat
Senyawa
tidak larut
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
39
H. HIPOTESIS
1. Tanaman kangkung darat bersifat hiperakumulator terhadap
Cd(II) Cr(VI), dan Pb(II)
2. Mekanisme akumulasi kangkung darat terhadap logam Cd(II),
Cr(VI), dan Pb dapat ditentukan
3. Terjadi efek sinergis pada akumulasi paduan biner dan tertier
antara Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada kangkung darat
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif untuk mengetahui waktu
optimum yang diperlukan untuk mengamulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II),
pengaruh konsentrasi pada media tanam serta mekanisme fitoakumulasi
pada tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans Poir). Adapun tahapan
yang dilakukan dalam penelitian adalah, penanaman, waktu panen,
preparasi sampel, analisis, dan interpretasi hasil analisis yang diperoleh.
B.Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian
dilaksanakan
di
Universitas
Hasanuddin
dan
laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin pada awal Januari 2008
sampai Juni 2009. Penanaman kangkung darat dilakukan dalam rumah
kaca.
C.Alat dan Bahan yang digunakan
C.1. Alat-alat.
Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas yang umum dipakai
di laboratorium, pot plastik, baskom, sprayer, neraca analitik, oven,
pemanas, termometer, pH-meter, spektrofotometer serapan atom (SSA,
41
Buck Scientific,205) desikator, dan kertas saring, FTIR, dan Mikroskop
Elektron
C.2. Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah tanah, pupuk kandang, TSP,
Urea, KCl, HNO3 Pekat, H2O2 30 %, NaOH, Pb(NO3)2, Cd(NO3)2, K2Cr2O7,
dan akuades.
D.Prosedur Kerja
D.1. Penyiapan media tanah
Tanah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari perkebunan
sayur-sayuran. Tanah tersebut dibersihkan dari batuan dan akar-akaran
yang ada. Kandungan nitrogen, fosfat, kalium, krom (Cr), kadmium (Cd),
timbal (Pb) dan bahan organik dianalisis di laboratorium. Tanah kemudian
dibiarkan selama 2 minggu sambil diaduk dan diangin-anginkan.
D.2.Pembuatan tanah terkontaminasi ion Cd(II),Cr(VI), dan Pb(II)
Untuk pembuatan tanah yang terkontaminasi dengan lion Cd(II),
Cr(VI), dan Pb(II), konsentrasi yang diinginkan dalam percobaan ini
terlebih dahulu ditentukan. Untuk ion Cd(II), konsentrasi ion dalam tanah
yang dibuat adalah
50 ppm (50 mg/kg berat kering tanah) sesuai
dengan konsentrasi yang digunakan Muramoto et al.,(1990). Untuk ion
Cr(VI), konsentrasi yang digunakan adalah
50 ppm sesuai percobaan
yang telah dilakukan oleh Moral et al., (1995), sedangkan konsentrasi
42
yang digunakan untuk ion
Pb(II)
adalah 100 ppm sesuai dengan
percobaan yang dilakukan oleh Burton et al., (1984). Kadmium yang telah
disiapkan dicampurkan dengan tanah sambil diaduk hingga homogen dan
diperoleh konsentrasi 50 ppm. Tanah yang terkontaminasi dengan ion
Cr(VI) dan Pb(II) dibuat dengan cara yang sama seperti tanah yang
terkontaminasi dengan ion Cd(II).
D.3.Penyiapan media tanam
Sejumlah pot bersih diisi dengan 2 kg tanah yang telah dicampur
dengan ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II). Tanah kemudian ditaburi dengan
pupuk TSP dan KCl dan disiram dengan akuades. Kontrol dilakukan
dengan menggunakan pot yang berukuran sama dan jumlah tanah yang
sama tetapi tanah yang digunakan tidak mengandung ion-ion tersebut.
D.4.Penanaman kangkung darat
Benih kangkung darat direndam selama 4 jam dengan akuades. Biji
kangkung darat ditanam secara langsung pada bagian tengah pot dengan
ke dalaman sekitar 1- 2 cm. dari permukaan. Setiap hari, benih disiram
dengan akuades. Panen pertama dilakukan satu minggu setelah
kecambah tumbuh, kemudian dipupuk dengan urea. Selanjutnya panen
dilakukan setiap minggu hingga kangkung darat berumur lima minggu.
Kangkung darat yang telah dipanen dicuci dengan air bebas mineral
hingga bersih dari tanah dan benda-benda lainnya. Akar, batang dan daun
43
yang telah bersih dipisahkan kemudian disimpan dalam kantong plastik
dan siap dianalisis secara kimia. Ketiga logam tersebut dianalisis dengan
cara yang ditampilkan pada D.5.
D.5. Analisis kadar ion Cd(II),Cr(VI), dan Pb(II) pada akar, batang, dan
daun.
Metode analisis jumlah ion-ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) mengacu
pada prosedur kerja yang telah digunakan oleh Hammer (2002),
Piotrowska-Cyplik dan Czameki (2005), Nouairi et al. (2005), Aiyen (2004),
dan Cave et al. (2000). Pada umumnya peneliti-peneliti tersebut
mengatakan bahwa untuk analisis ion logam yang terkandung dalam
bahan organik, cara basah lebih baik digunakan daripada cara kering.
Akar, batang dan daun yang telah bersih pada bagian D-4 dianginanginkan beberapa jam kemudian ditimbang dengan teliti pada petridish
yang telah diketahui berat kosongnya. Bagian tanaman tersebut
dipanaskan dalam oven selama 24 jam pada suhu 80o C, kemudian
didinginkan dalam eksikator. Bagian tanaman yang kering ditimbang
kembali sehingga diketahui berat yang hilang sebagai jumlah air yang
terkandung dalam akar, batang dan daun. Sampel kering ini digerus pada
lumpang porselin. Contoh yang telah digerus ditimbang kira-kira 0,5 gram
dengan neraca analitik. Contoh tersebut dilarutkan dengan campuran 5
mL HNO3 6 M dan 5 mL H2O2 30 %, dipanaskan sampai semua materi
larut sempurna. Larutan didinginkan, ditambahkan dengan akuades,
44
dipanaskan dan disaring dalam keadaan panas ke dalam labu ukur
50
mL. Larutan sampel ini diatur pHnya dengan HNO 3 atau NaOH hingga
pHnya sekitar
2 – 3. Larutan diimpitkan hingga tanda batas dengan
akuades dan dikocok hingga homogen. Larutan siap diukur dengan
spektrofotometer serapan atom.
D.6. Penentuan waktu optimum akumulasi Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II)
Untuk penentuan waktu optimum penyerapan ion Cd(II), Cr(VI),dan
Pb(II) oleh kangkung darat, panen dilakukan setelah tanaman berumur
satu minggu. Panen selanjutnya dilakukan tiap minggu selama 5 minggu.
Setiap selesai panen, kangkung darat dibersihkan dari tanah dan kotorankotoran lainnya kemudian akar, batang dan daun dipisahkan dan
dianalisis seperti prosedur D.5. Waktu optimum merupakan waktu dimana
penyerapan ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II) maksimum yang dapat diperoleh
dari kurva antara konsentrasi versus waktu penyerapan.
D.7. Pengaruh Konsentrasi terhadap jumlah ion yang terakumulasi
dalam tanaman kangkung darat.
Untuk penentuan pengaruh konsentrasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II)
dalam media tumbuh terhadap jumlah ion yang terakumulasi tanah,
terkontaminasi ion Cd(II) dengan variasi konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan
50 ppm dibuat. Konsentrasi yang sama juga dibuat untuk ion Cr(VI),
sedangkan untuk ion Pb(II) dibuat variasi konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan
100 ppm.
Kemudian tanah-tanah yang terkontaminasi ini ditanami
45
kangkung darat sesuai dengan percobaan D-4. Panen dilakukan pada
minggu ke 3 sesuai dengan waktu optimun yang diperoleh pada
percobaan D-6. Selanjutnya kandungan ion-ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II)
pada akar, batang, dan daun kangkung darat dianalisis sesuai dengan
prosedur D.5.
D.8. Mekanisme akumulasi Cd(II), Cr(VI),dan Pb(II) pada kangkung
darat
Penentuan mekanisme akumulasi logam berat pada tanaman
dilakukan
sesuai dengan prosedur Ghosh dan Singh (2005) dengan
menghitung faktor biokonsentrasi (BCF) dan faktor translokasi (TF)
dengan rumus berikut :
Faktor biokonsent rasi (BCF) 
[M] pada bagian akar tanaman (mg/kg BK)
[M] yang ditambahka n ke dalam tanah (mg/kg BK)
Faktor translokas i 
[M] dalam daun (mg/kg BK)
[M] dalam akar (mg/kg BK)
D.9. Efek sinergi ion Cr-Pb, Cr-Cd, Pb-Cd, dan Cr-Pb-Cd.
Efek sinergi paduan ion-ion logam terhadap penyerapan ion logam
berat oleh kangkung darat dikerjakan sesuai dengan prosedur D-1 sampai
D-3. Perbedaannya hanya pada kontaminnya. Pada perlakuan ini setiap
tanah dikontaminasikan dengan dua atau tiga ion logam. Konsentrasi ion
46
Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang digunakan dalam paduan ini adalah 15 ppm
(15 mg/kg berat kering tanah). Selanjutnya penanaman kangkung darat
dikerjakan sesuai dengan prosedur D-4
47
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Pendahuluan
Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi
logam Cd, Cr, dan Pb yang ada dalam tanah sebelum digunakan sebagai
media tanam kangkung darat. Tabel 3 menunjukkan kandungan Cd, Cr
dan Pb dari tanah tersebut
Tabel 3. Kandungan Cd, Cr dan Pb dalam tanah dan pupuk
Sampel
[Cd] mg/kg
[Pb] mg/kg
[Cr] mg/kg
Tanah
3,498
31,884
23,990
Pupuk KCl
2,993
21,301
4,990
Pupuk urea
TT
8,287
4,990
Pupuk TSP
2,993
5,34
10,89
Selain analisis kandungan Cd, Cr, dan Pb, analisis sifat fisik dan
kimia tanah juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesuburan serta jenis
tanah (Tabel-4).
Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah tersebut
merupakan tanah dengan testur yang sesuai dengan pertumbuhan
tanaman kangkung darat. Tanah ini termasuk jenis lempung berliat atau
lebih dikenal sebagai tanah alluvial. dan pH 6,8.
Kapasitas penukar kation pada tanah yang digunakan adalah
19,77 cmol/kg yang merupakan daerah sedang menurut WHO 1986 (17-
48
24 cmol/kg). Kandungan bahan organiknya (C) adalah 1,19%, sedang
nitrogen (N) hanya 0,13 %.
Tabel 4. Sifat fisik dan kimia tanah yang digunakan
Parameter Uji
Hasil yang diperoleh
Pasir (% berat kering)
38
Debu (% berat kering)
25
Liat (% berat kering)
37
Kadar Air
1,60
Kapasitas penukar kation (cmol/kg)
19,77
Kandungan bahan organik (% C)
1,19
N (% berat kering)
0,13
P (% berat kering)
17,80
K (cmol/kg)
0,22
Hasil analisis pendahuluan menunjukkan bahwa tanah yang
digunakan dalam penelitian ini telah mengandung logam berat Cd, Cr dan
Pb tetapi tidak memberikan efek negatif terhadap semua sayuran yang
ditanam ditempat tersebut. Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah
mengindikasikan bahwa beberapa parameter uji dianggap memenuhi
syarat untuk penanaman kangkung darat, meskipun kandungan nitrogen
masih rendah sehingga diperlukan pemupukan dengan urea.
49
B. Analisis kandungan ion-ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) setelah
akumulasi
B.1. Pengaruh waktu panen terhadap jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan
Pb(II) yang terakumulasi
Jumlah ion
Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang terakumulasi
pada
kangkung darat sebagai fungsi waktu panen ditunjukkan pada Gambar 2
dan lampiran 3.
Gambar 2. Pengaruh waktu panen terhadap jumlah ion Cd(II), Cr(VI),
dan Pb(II) yang terakumulasi pada kangkung darat
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah ion-ion Cd(II), Cr(VI),
dan Pb(II) yang diakumulasi oleh tanaman kangkung darat meningkat
dengan bertambahnya waktu panen dan mencapai maksimum pada
minggu ketiga dengan jumlah yang terakumulasi berturut-turut 1342,01,
1067,55, dan 1627,90 mg/kg berat kering untuk ion Cd(II), Cr(VI), dan
Pb(II). Pada minggu keempat dan kelima, jumlah ketiga ion ini menurun
karena tanaman kangkung darat telah mengalami kelainan fisik seperti
klorosis (daun menguning). Kelainan fisik ini disebabkan terjadinya
50
penghambatan penyerapan unsur hara yang disebabkan oleh ion Cd(II),
Cr(VI), dan Pb(II). Secara umum, kondisi homeostasis suatu sistem
kehidupan dapat mentoleransi sampai jumlah tertentu konsentrasi logam
dengan tidak mengganggu pertumbuhannya. Tetapi konsentrasi logam
yang makin besar dapat mengurangi kemampuan detoksifikasi sehingga
tanaman mengalami gangguan pertumbuhan.
B.2. Pengaruh konsentrasi terhadap jumlah ion-ion Cd(II), Cr(VI)
dan Pb(II) yang terakumulasi pada kangkung darat
Jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang terakumulasi pada
kangkung darat sebagai fungsi konsentrasi ion yang ditambahkan dalam
media tanam ditunjukkan pada
Gambar 3. Hasil menunjukkan bahwa
jumlah ion Cd(II) yang dapat diakumulasi oleh kangkung darat meningkat
dengan naiknya konsentrasi ion Cd(II) dalam media tanam
Jumlah ion Cd(II) tertinggi yang dapat diakumulasi oleh kangkung
darat
(1164,15 mg/kg berat kering) diperoleh pada penambahan ion
Cd(II) 50 ppm dalam media tanam dan terendah (313,42 mg/kg berat
kering) pada konsentrasi ion Cd(II) 10 ppm dalam tanah.
Jumlah ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat meningkat
dengan naiknya konsentrasi ion Cr(VI) dalam media tanam. Jumlah ion
Cr(VI) tertinggi yang dapat diakumulasi oleh kangkung darat adalah
1067,55 ppm pada penambahan ion Cr(VI) 50 ppm pada media tanam
dan terendah 14,26 ppm pada penambahan ion Cr(VI) 10 ppm. Hasil
51
penelitian yang sama telah dilakukan oleh Ghosh dan Singh (2005) pada
[ion] yang terakumulasi (mg/kg
BK)
tanaman Brassica juncea, B. campetris.
1400
1200
Cd
1000
Cr
800
Pb
600
400
200
0
0
20
40
60
80
100
120
Konsentrasi (m g/kg)
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi ion Cd(II) ,Cr(VI), dan Pb(II)
pada media tumbuh terhadap jumlah ion yang
terakumulasi
Berdasarkan variasi konsentrasi ion Pb(II) dalam media tanam
(Gambar-3), dapat dikatakan bahwa sampai konsentrasi 60 ppm terjadi
akumulasi linier yang cukup baik diikuti penurunan lemah pada
konsentrasi 80 ppm dan kemudian mencapai penyerapan maksimum,
962,79 ppm, pada penambahan 100 ppm Pb. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa skenario pencemaran tanah oleh Pb sampai 60 ppm
dapat dikurangi dengan cukup baik melalui penanaman kangkung darat
tersebut. Seperti diketahui nilai ambang Pb dalam tanah adalah 150 ppm
(Depkes), 600 ppm (NJDEF,1996 dalam Lasat 2000). Konsentrasi diatas
60 ppm, proses kumulatif terus berlangsung tapi dengan daya dukung
52
kangkung darat yang menurun. Pada konsentrasi 100 ppm terjadi serapan
puncak namun diikuti dengan gangguan pertumbuhan kangkung darat
yang akhirnya mengalami kematian akibat keracunan.
Hasil analisis ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada variasi waktu panen
menunjukkan bahwa waktu akumulasi meningkat sampai hari ke 21
(minggu ke III), sedangkan pada minggu ke IV kemampuan kangkung
darat untuk mengakumulasi ketiga kation tersebut sudah berkurang.
Sehingga waktu optimum yang diperoleh pada penelitian ini adalah pada
hari ke 21 atau minggu III). Akumulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada
variasi konsentrasi ketiga kation pada media tanam menunjukkan bahwa
kemampuan kangkung darat untuk mengakumulasi meningkat dengan
naiknya konsentrasi dalam media tanam. Perbedaan yang nampak pada
gambar 3 disebabkan karena sifat kimia unsur ini berbeda. Ion Cd(II) dan
Pb(II) bersifat asam lunak menurut Lewis sehingga kedua ion lebih cepat
berinteraksi dengan basa lunak yang umunya ada dalam tanaman.
Sedangkan ion Cr(VI) adalah asam keras sehingga ion ini sulit berinteraksi
dengan senyawa yang ada dalam tanaman tersebut.
B.3. Mekanisme akumulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II).
B.3.1. Mekanisme akumulasi ion Cd(II) pada kangkung darat
Hasil perhitungan nilai BCF dan TF untuk variasi waktu ditunjukkan
pada Gambar 4. Nilai BCF pada umumnya lebih besar daripada satu,
sedangkan nilai TF pada umumnya lebih kecil daripada satu. Nilai BCF
53
berbanding terbalik dengan nilai TF yang menunjukkan bahwa tanaman
kangkung darat mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi logam Cd
namun kemampuan untuk mentranslokasikan logam masih rendah, hasil
ini sesuai dengan yang diperoleh (Yoon et al., 2006).
25
Nilai BCF dan TF
20
15
10
BCF
TF
5
0
-5
I
II
III
IV
V
Waktu Panen (Pekan)
Gambar 4. Nilai BCF dan TF sebagai fungsi waktu
Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pada variasi waktu maupun
variasi konsentrasi, akumulasi ion Cd(II) paling besar konsentrasinya
dalam akar dibandingkan dalam batang dan daun. Hal ini disebabkan
karena logam berat masuk ke dalam tanaman secara pasif. Logam berat
hanya mampu masuk ke tanaman melalui pembawa (carrier) seperti ionion nutrient atau dalam bentuk kompleks dengan senyawa-senyawa
organik. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme yang terjadi pada
akumulasi Cd pada kangkung darat adalah fitostabilisasi.
Nilai BCF dan TF sebagai fungsi konsentrasi dapat dilihat pada
Gambar 6. Nilai BCF yang diperoleh lebih besar daripada 1 dan nilai TF
54
lebih kecil daripada 1. Hasil ini makin memperkuat dugaan bahwa
remediasi tanaman kangkung darat melalui mekanisme fitostabilisasi
Nilai BCF dan TF
26
21
16
BCF
11
TF
6
1
-4
10
20
30
40
50
[Cd] yang ditambahkan pada media tanam
Gambar 5. Nilai BCF dan TF sebagai fungsi konsentrasi
B.3.2. Mekanisme akumulasi Cr pada kangkung darat
Pada umumnya semua jenis tanaman adalah akumulator terhadap
logam, tetapi tidak semua tanaman berfungsi sebagai hiperakumulator
Suatu tanaman dapat disebut sebagai hiperakumulator terhadap Cr jika
mampu menarik logam dalam konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 1000
ppm (Lasat, 2000). Hasil analisis akumulasi ion Cr(VI) baik pada pengaruh
waktu tanam terhadap akumulasi maupun pada variasi konsentrasi ion
Cr(VI) pada media tanah, memberikan nilai lebih besar daripada 1000
ppm (1067,55 mg/kg) pada tanah yang dikontaminasikan dengan Cr(VI)
sebanyak 50 ppm, sehingga kangkung darat dapat disebut sebagai
tanaman hiperakumulator terhadap krom.
Untuk mengetahui mekanisme akumulasi ion Cr(VI) oleh tanaman
kangkung darat maka perlu dihitung nilai faktor biokonsentrasi (BCF) dan
faktor translokasi (TF). Faktor translokasi (TF) berkaitan erat dengan
55
kemampuan tanaman untuk mengakumulasi
dan mentranslokasikan
logam dari tanah ke bagian atas tanaman. Dengan cara yang sama pada
perhitungan BCF dan TF pada ion Cd(II) diperoleh hasil seperti yang
tertera pada Gambar 6.
Gambar 6. Nilai BCF dan TF sebagai fungsi waktu akumulasi
Nilai BCF pada umumnya lebih besar daripada satu, sedangkan nilai
TF pada umunya lebih kecil daripada satu. Nilai BCF berbanding terbalik
dengan nilai TF yang menunujukkan bahwa tanaman kangkung darat
mempunyai
kemampuan
untuk
mengakumulasi
ion
Cr(VI),
tetapi
kemampuan untuk mentranslokasikan logam masih rendah (Yoon et
al.,2006). Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme yang terjadi pada
akumulasi Cr pada kangkung darat adalah fitostabilisasi.
56
B.3.3. Mekanisme akumulasi ion Pb(II) pada kangkung darat
Untuk
mengetahui
kemampuan
kangkung
darat
untuk
mengakumulasi dan mentranslokasikan logam pencemar oleh kangkung
darat maka diperlukan perhitungan faktor biokonsentrasi (BCF) dan faktor
translokasi. Faktor biokonsentrasi didefinisikan sebagai rasio antara
konsentrasi logam Pb dalam akar dengan konsentrasi Pb dalam tanah.
Kemampuan tanaman untuk memindahkan logam dari akar ke bagian
atas tanaman disebut sebagai faktor translokasi yang didefinisikan
sebagai rasio konsentrasi logam yang ada dalam daun dengan akan
tanaman. (Yoon,et al.,2006).
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai BCF cukup tinggi
sedangkan nilai TF cukup rendah yang ditunjukkan pada Gambar 7.
Hasil
mengindikasikan
bahwa
kangkung
darat
mempunyai
kemampuan yang besar untuk menarik logam Pb dari tanah, tetapi
kemampuan untuk mentranslokasikan Pb sangat rendah.
Nilai BCF yang tinggi dan TF yang rendah menunjukkan bahwa
mekanisme fitoremediasi yang terjadi dalam tanaman kangkung darat
tersebut adalah fitostabilisasi. Proses fitostabilisasi merupakan salah satu
teknik fitoremediasi yang memperbaiki lingkungan dengan cara menarik
dan mengendapkan logam berat dari dan pada rizofer.
57
9
Nilai BCF dan TF
8
7
6
5
BCF
4
TF
3
2
1
0
I
II
III
IV
V
Waktu Panen (Minggu)
Gambar 7. NiLai BCF dan TF pada pengaruh waktu akumulasi Pb
pada tananamn kangkung darat
Tanaman hiperakumulator menurut Aiyen (2004) adalah yang
mengakumulasi minimum 1000 ppm Pb. Dengan demikian, berdasarkan
hasil penelitian di atas, kangkung darat dapat dikategorikan sebagai
tanaman hiperakumulator untuk logam Pb karena tingkat akumulasinya
mendekati 1000 ppm (962,79 ppm).
Pada dasarnya faktor BCF dan TF adalah indikator yang dapat
membedakan mekanisme akumulasi antara fitostabilisasi dan fitoekstraksi.
Pada nilai BCF >1 dan TF < 1, mekanismenya fitostabilisasi. Sebaliknya,
BCF < 1, TF > 1, mekanisme adalah fitoekstraksi. Dalam penelitian ini,
BCF > 1 dan TF < 1 yang menunjukkan bekerjanya mekanisme
fitostabilisasi. Nilai BCF yang berbanding terbalik dengan nilai TF
menunjukkan bahwa tanaman kangkung darat mempunyai kemampuan
tinggi mengakumulasi logam Pb tapi sulit mentranslokasikannya .
58
B.4. Distribusi logam ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada kangkung
darat
B.4.1. Distribusi ion Cd(II) pada tanaman kangkung darat
Gambar 8 dan 9 berturut-turut menunjukkan distribusi ion Cd(II)
pada tanaman kangkung darat. Secara umum kemampuan tanaman
kangkung darat untuk mengakumulasi ion Cd(II) terbesar pada bagian
akar, batang, dan daunnya.
Konsentrasi ion Cd(II) terdapat dalam jumlah yang paling besar di
bagian akar, karena akar terdapat di dalam tanah yang merupakan bagian
tanaman yang pertama kali berinteraksi secara langsung dengan Cd pada
rizofer. Kandungan Cd dalam bagian tanaman semakin berkurang sesuai
urutan sebagai berikut akar > batang > daun. Hasil yang sama telah
diperoleh Blum, (1997) yang melaporkan bahwa kandungan Cd yang
diakumulasi oleh tanaman menurun sesuai urutan akar > batang > daun >
buah > biji.
Konsentrasi ion Cd(II) di akar paling tinggi karena ion Cd(II) yang
pertama kali kontak dengan akar, kemudian disimpan dibagian sel akar
yang jika terjadi kompleks dengan senyawa-senyawa organik
kompleks tersebut sukar ditranslokasikan kebagian atas tanaman.
maka
[Cd] mg/kg berat kering
59
1200
A kar
1000
B atang
Daun
800
600
400
200
0
I
II
III
IV
V
Waktu panen (pekan)
[Cd], mg/kg berat kering
Gambar 8.
Distribusi [Cd] di Akar, Batang, daun vs
variasi waktu panen
1000
800
akar
batang
daun
600
400
200
0
10
20
30
40
50
[Cd] yang ditam bahkan (ppm )
Gambar 9.
Distribusi [Cd] di akar, batang, daun vs variasi
[Cd] pada media tanam
60
B.4.2. Distribusi ion Cr(VI) pada tanaman kangkung darat
Gambar 10 dan 11
berturut-turut menunjukkan distribusi Cr(VI)
pada akar, batang, dan daun kangkung darat pada variasi waktu panen
dan
konsentrasi ion Cr(VI) dalam media tanam. Kedua Gambar ini
menunjukkan bahwa pada umumnya konsentrasi ion Cr(VI) paling tinggi
diperoleh pada akar dibandingkan pada bagian atas tanaman. Akar
adalah bagian tanaman dalam tanah yang berinteraksi secara langsung
dengan ion Cr(VI) melalui rizofer yang
akan membentuk kompleks
dengan senyawa pengkelat (asam organik, PC, MTs).
Konsentrasi Cr dalam bagian
tanaman
800
700
600
500
Akar
400
Batang
300
Daun
200
100
0
1
2
3
4
5
Waktu panen (m inggu)
Gambar 10. Distribusi [Cr] di akar, batang, dan daun vs
waktu panen
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya akumulasi
ion Cr(VI) tertinggi didapatkan pada akar, kemudian daun dan batang. Hal
61
sama ditemukan oleh Rahman dan Parpian (2004) yang mempelajari
akumulasi arsen pada kangkung darat dimana kandungan arsen tertinggi
diperoleh pada akar (12,1 mg/kg BK. Jumlah arsen yang diakumulasi
pada bagian tunas/pucuk adalah 7,7 mg/kg BK.
Hasil yang sama juga telah ditemukan oleh Ghosh dan Singh
(2005) yang menggunakan spesies Brassica juncea, B. campestris,
Dhatura innoxia, Ipomoea carnea, Phragmytes karka, Cassia tora,
Lontana camara untuk mengakumulasi ion Cr(VI).
[Cr] yang diakumulasi (mg/kg BK)
500
450
400
350
300
Akar
250
Batang
200
Daun
150
100
50
0
10
20
30
40
50
Variasi [Cr] dalam m edia tanam
Gambar 11. Distribusi ion Cr(VI) di akar, batang, dan daun vs
Variasi [Cr] dalam media tanam
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ion Cr(VI) terakumulasi
paling tinggi dalam akar kemudian daun dan batang. Menurut Lasat
(2000), tingginya akumulasi dalam akar terjadi karena logam dapat
dikomplekskan dan disimpan dalam organel sel vakuola sehingga sulit
untuk ditranslokasikan ke bagian atas tanaman.
62
B.4.3. Distribusi ion Pb(II) pada kangkung darat
Distribusi logam Pb pada tanaman kangkung darat sebagai fungsi
waktu panen dan penambahan konsentrasi Pb pada media tanam
berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
Gambar 12. Distribusi ion Pb(II) pada akar, batang, dan daun
Kangkung darat sebagai fungsi waktu panen
[Pb] (mg/kg berat kering)
1400
1200
1000
Akar
800
Batang
600
Daun
400
200
0
20
40
60
80
100
Variasi penam bahan [Pb] pada m edia
tanam
Gambar 13. Distribusi ion Pb(II) pada akar, batang, dan daun
Kangkung darat sebagai fungsi [Pb] pada media tanam
63
Kedua grafik di atas menunjukkan bahwa distribusi logam Pb pada
tanaman kangkung darat yang terbesar ditemukan dalam akar kemudian
batang dan daun.
Phenomena ini menandakan bahwa tanaman
kangkung darat cukup kuat mengakumulasi ion Pb(II) dalam akar tetapi
kurang mampu untuk mentranslokasikan logam Pb ke bagian batang dan
daun.
Pola distribusi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) tanaman kangkung
darat dengan variasi waktu panen dan pengaruh konsentrasi ketiga kation
pada media tumbuh menunjukkan bahwa konsentrasi ketiga kation ini
sesuai dengan urutan berikut yaitu akar > batang > daun. Ini berarti
semakin jauh semakin jauh dari sumber pencemar konsentrasi pencemar
juga semakin kecil.
C. Pengaruh paduan ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada media tumbuh
Untuk mengetahui efek sinergis suatu logam berat terhadap logam
berat lainnya maka diteliti pula ion-ion paduan biner dan tertier antara
Cd(II) + Cr(VI), Cd(II) + Pb(II), Pb(II) + Cr(VI), dan Cd(II) + Cr(VI) + Pb(II).
C.1. Pengaruh ion Cr(VI) dan Pb(II) pada akumulasi ion Cd(II).
Gambar 14 menunjukkan konsentrasi ion Cd(II) yang diakumulasi
oleh kangkung darat dengan adanya ion-ion Cr(VI) dan PbII). Ion Cr(VI)
dan Pb(II) menyebabkan akumulasi ion Cd(II) lebih kecil jika dibandingkan
dengan akumulasi dalam keadaan tunggal. Menurut Athar dan Ahmad
64
(2001) konsentrasi Cd turun sekitar 50 % jika dibandingkan antara
akumulasi
Cd
dalam
keadaan
tunggal
dengan
multi
unsur
(Ni+Cr+Cd+Zn+Pb+Cu). Penelitian dari An et al.,2004 juga menunjukkan
bahwa akumulasi ion Cd(II) lebih besar jika dalam ion tunggal
dibandingkan kalau dikombinasikan dengan ion Pb(II).
Gambar 14. Akumulasi ion Cd(II) pada pengaruh Cr(VI) dan Pb(II)
Jadi adanya ion Pb(II) bersama-sama dengan Ion Cd(II) dalam
tanah menyebabkan penurunan jumlah ion Cd(II) yang diakumulasikan
oleh kangkung darat. Tetapi pada kombinasi ketiga ion tersebut dalam
tanah,
pengaruh kedua logam ini menurun dengan meningkatnya
konsentrasi ion Cd(II) dalam tanaman kangkung darat
tersebut. Pola
akumulasi ini mengindikasikan bahwa efek sinergis jauh lebih besar antara
paduan biner daripada paduan tertier.
65
C.2. Pengaruh ion Cr(VI) dan Pb(II) pada distribusi ion Cd(II) di akar,
batang dan daun pada kangkung darat
Gambar 15 menunjukkan distribusi ion Cd(II) pada akar, batang,
[Cd] yang diakumulasi akar, batang
dan daun (mg/kg)
dan daun pada pengaruh penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II).
140
120
100
Akar
80
Batang
60
Daun
40
20
0
Cd
Cd+Pb
Cd++Cr
Cd+Cr+Pb
Cd dan paduannya
Gambar 15. Distribusi ion Cd(II) pada kangkung darat
Konsentrasi ion Cd(II) dalam akar lebih besar pada penambahan ion
Cd(II) tunggal jika dibandingkan dengan pada penambahan kombinasi
biner ion Cd(II) dengan Cr(VI) dan Cd(II) dengan Pb(II), tetapi pada
kombinasi tertier konsentrasi ion Cd(II) meningkat walaupun rendah.
Gejala yang sama ditunjukkan pada batang dan daun. Pada daun,
konsentrasi ion Cd(II) pada penambahan kombinasi biner lebih kecil
daripada pada penambahan ion Cd(II) tunggal dalam perlakuannya tetapi
konsentrasi Cd pada penambahan kombinasi ketiga unsur ini lebih besar
dibandingkan kombinasi biner. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi
antara dua logam lebih besar dibanding dengan dengan tiga logam.
66
Distribusi ion Cd(II) pada kangkung darat pada pada kontaminasi tunggal,
biner maupun tertier sesuai dengan urutan akar > batang > daun.
C.3. Pengaruh Cd dan Cr pada akumulasi Pb pada kangkung darat
Gambar 16 menunjukkan hasil analisis akumulasi ion Pb(II) pada
kangkung darat dengan kombinasi ion Cr(VI)
dan Cd(II). Jika
dibandingkan dengan pengaruh penambahan ion Cd(II) dan Cr(VI), maka
pengaruh ion Cr(VI) lebih kuat karena konsentrasi ion Pb(II) pada
kombinasi dengan ion Cr(VI) lebih kecil daripada kombinasi dengan ion
Cd(II).
[Pb] dan paduannya (mg/kg BK)
300
250
200
150
100
50
0
Pb
Pb+Cd
Pb+Cr
Pb+Cd+Cr
Pb dan paduannya
Gambar 16. Akumulasi Pb pada kangkung darat
Jika Pb dikombinasikan dengan Cu maka konsentrasi Pb lebih kecil
daripada perlakuan tunggal pada tanaman Cucumis sativus
al.,2004). Hasil yang
(An et
sama diperoleh jika ion Pb(II) dikombinasikan
dengan ion Cr(VI) pada tanaman kangkung darat. Konsentrasi ion Pb(II)
67
lebih besar daripada ion Cr(VI) pada semua bagian tanaman (akar >
batang > daun). Pada paduan tertier ketiga ion ini, akumulasi konsentrasi
ion Pb(II) meningkat yang hampir sama dengan akumulasi ion Pb(II) jika
ion tunggal digunakan dalam media tanam. Sedangkan konsentrasi Pb
pada pucuk (daun) Cucumis sativus pada penambahan ion Pb(II) tunggal
lebih besar dibandingkan pada penambahan kombinasi antara ion Cd+Cu
+Pb (An et al.,2004).
C.4. Pengaruh ion Cd(II), Cr (VI) pada distribusi Pb(II) di akar, batang
dan daun pada kangkung darat
Distribusi ion Pb(II) pada tanaman kangkung darat pada pengaruh
paduan dengan ion Cd(II) dan Cr(VI) ditunjukkan pada Gambar 17.
Konstrasi ion Pb(II) yang
terakumulasi
250
200
Akar
150
Batang
100
Daun
50
0
Pb
Pb+Cd
Pb+Cr
Pb+Cd+Cr
Ion Pb(II) dan paduannya
Gambar 17. Distribusi ion Pb(II) pada kangkung darat.
Konsentrasi ion Pb(II) yang diakumulasi dalam akar tanpa adanya
ion lain lebih tinggi dibandingkan dengan adanya ion Cd(II) dan
Cr(VI).Paduan biner ion Pb(II) + Cd(II) akumulasi ion Pb(II) lebih tinggi
68
daripada paduan antara ion Pb(II) dan Cr(VI).
Sedangkan untuk padaun
biner ion Pb(II) + Cd(II) dan ion Pb(II) + Cr(VI), konsentrasi ion Pb(II) lebih
besar pada ion Pb(II) + Cd(II)) daripada ion Pb(II) + Cr(VI)) hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh ion Cr(VI) lebih besar daripada ion Cd(II).
Pada paduan tertier ion Pb(II) + Cd(II) + CrVI) konsentrasi ion Pb(II)
meningkat dibanding dengan paduan biner tetapi masih lebih rendah dari
perlakuan tunggal Pb. Indikasi ini menunjukkan bahwa semakin kompleks
paduan logam dalam tanah semakin kurang
efek sinergis antara logam
tersebut.
C.5. Pengaruh Ion Cd(II) dan Pb(II) terhadap akumulasi ion Cr(VI)
Gambar 18 menunjukkan jumlah ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh
kangkung darat pada perlakuan tunggal, paduan biner ion Cd(II)+Cr(VI)
dan ion Cr(VI)+Pb(II), dan tertier ion (Cd(II)+Cr(VI)+Pb(II).
Konsentrasi ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat pada
perlakuan tunggal lebih besar dibandingkan pada perlakuan paduan biner
dan tertier, tetapi jumlah ion Cr(VI) yang diakumulasi pada perlakuan biner
lebih kecil daripada perlakuan tertier.
Konsentrasi ion Cr(VI) pada perlakuan biner lebih kecil daripada
tertier. Hasil ini mengindikasikan bahwa efek kombinasi biner lebih besar
daripada tertier.
69
Gambar 18. Akumulasi ion Cr(VI) pada kangkung darat.
Kecenderungan yang sama juga dilaporkan oleh An et al.,(2004)
pada akumulasi ion Cu(II), Cd(II), dan Pb(II) pada tanaman Cucumis
sativus serta Athar dan Ahmad (2001) melaporkan hal sama pada
tanaman gandum.
C.6 Pengaruh ion Cd(II) dan Pb(II) pada distribusi ion Cr(VI) di akar,
batang dan daun pada kangkung darat.
Distribusi ion Cr(VI) pada bagian akar, batang, dan daun tanaman
kangkung darat ditunjukkan pada Gambar 19.
Konsentrasi ion Cr(VI) paling tinggi pada perlakuan tunggal jika
dibandingkan dengan kombinasi biner maupun tertier. Sedangkan
konsentrasi ion Cr(VI) pada kombinasi biner (Cr+Cd) dan (Cr+Pb) lebih
kecil daripada kombinasi tertier.
[Cr] pada akar, batang dan daun
70
160
140
120
100
Akar
80
Batang
60
Daun
40
20
0
Cr
Cr+Pb
Cr+Cd
Cd+Cr+Pb
[Cr] dengan kom binasi Cd dan Pb
Gambar 19. Distribusi ion Cr(VI) pada kangkung darat
Secara umum, akumulasi ion Cd(II), Cr(VI) dan Pb(II) paling besar
pada penambahan ion tunggal dibandingkan pada penambahan paduan
biner atau tersier. Tetapi pada paduan tertier jumlah ion Cd(II), Cr(VI), dan
Pb(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat lebih besar dibandingkan
pada paduan biner. Hal ini mengindikasikan bahwa efek sinergis paduan
biner lebih besar daripada paduan tertier sesuai dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Al-Subu et al.(1993), An Young-Joo et al.,(2004), dan
Fargsova et al.,(2006).
D. Hasil Analisis FTIR
D.1. Spektra Infra Merah akar kangkung darat.
Untuk analisis FTIR
dilakukan untuk ion Cr(VI) dan Pb(II),
sedangkan ion Cd(II) dianggap terwakili oleh ion Pb(II) karena kedua
logam ini mempunyai valensi yang sama.
71
Tabel 5 dan lampiran 18 menunjukkan spektra IR dari akar sebelum
dan setelah penambahan ion-ion Cr(VI) dan Pb(II). Spektrum akar
sebelum
penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) memberikan 18 puncak
serapan, tetapi setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) memberikan
puncak serapan serapan 19, namun ada perbedaan diantara spektra akar
setelah penambahan kedua ion tersebut. Puncak serapan kadang-kadang
ada
pada
spektrum
pembanding
tetapi
tidak
ditemukan
setelah
penambahan ion Cr(VI) maupun ion Pb(II). Beberapa puncak serapan
baru muncul pada penambahan ion Pb(II) dan Cr(VI) dan juga terjadi
pergeseran bilangan gelombang antara pembanding dengan perlakuan.
Puncak serapan yang hilang maupun
muncul atau bergeser sebagai
akibat penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II), mengindikasikan adanya
interaksi antara ion Cr(VI) dan Pb(II) dengan gugus fungsi yang ada dalam
tanaman kangkung darat tersebut. Tabel 5 menunjukkan bilangan
gelombang puncak-puncak vibrasi
yang
ada pada kangkung darat
sebelum dan setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II).
Puncak serapan pada bilangan gelombang 3387 cm -1 (rentangan
O-H atau N-H) yang ada pada kontrol, bergeser ke bilangan gelombang
yang lebih tinggi (3425,5 cm-1) setelah penambahan Cr(VI) sedangkan
puncak ini tidak bergeser setelah penambahan ion Pb(II). Pergeseran ini
menunjukkan bahwa ada interaksi antara ion Cr(VI) dengan gugus OH
atau N-H sedangkan dengan ion Pb(II) tidak terjadi interaksi. Interaksi
yang mungkin terjadi antara gugus O-H dan N-H dengan ion Cr(VI) adalah
72
terbentuknya ikatan antara N dengan Cr. Puncak serapan yang terjadi
pada bilangan gelombang 1651,07 cm -1 pada kontrol mengalami
pergeseran sebesar 15,43 cm-1 setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II)
yang menunjukkan adanya interaksi antara kedua ion tersebut dengan
gugus C = C atau
C = O. Puncak serapan pada bilangan gelombang
1257,59 dan 1049,28 cm-1 pada kontrol, pergeseran bilangan gelombang
setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II), hal ini menunjukkan adanya
interaksi antara ion-ion tersebut dengan gugus S=O atau C-H.
Puncak serapan pada bilangan gelombang 540,07 cm -1 pada
kontrol juga bergeser setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) yang
mengindikasikan adanya interaksi antara gugus alkil (klorida) dengan
kedua ion tersebut. Interaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
Pb2+ + RCl
Cl – Pb – Cl (bentuk simetri)
Cr2+ + RCl
Cr – Cr – Cl (bentuk simetri)
Puncak serapan pada bilangan gelombang 493,76 cm-1 pada
kontrol tidak nampak pada penambahan ion Cr(VI) tetapi mengalami
pergeseran pada penambahan ion Pb(II).
Hal ini berarti bahwa tidak terjadi interaksi ion Cr(VI) dengan gugus
S-S, sedangkan interaksi ion Pb(II) dengan gugus tersebut adalah
interaksi nonionik.
73
Tabel 5. Bilangan gelombang puncak-puncak vibrasi pada akar
kangkung darat sebelum dan sesudah penambahan ion
Cr(VI) dan Pb(II).
No. Bil.Gel
urut (cm-1)
Kontrol
Bil.Gel
(cm-1) +
ion Pb(II)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
354,9
401,19
455,2
493,76
540,07
555,50
617
825,53
894,97
1049,28
1257,59
354,9
432,05
455,20
493,78
516,92
555,50
586,36
825,53
894,97
1041,56
1265,30
1381,03
1512,19
1651,07
1381,03
1512,19
-1635,64
2499,75
2846,93
2924,09
3387
3749,62
2854,65
2924,09
3387
3749,62
∆
Bil.Gel.
(cm-1)
Bil.Gel
(cm-1) +
ion
Cr(VI)
0
354,9
21,86
447,49
0
478,49
0
478
- 23,15 524,64
0
555,50
30,64
0
825,53
0
898,03
7,71
1056,99
7,71
1234,44
1273,02
0
1381,03
0
1512,19
15,43
1635,64
baru
2499.75
- 7,72
2846,93
0
2924,09
0
3425,58
0
3749,82
∆
Ggs. fungsi
Bil.Gel.
(cm-1)
0
46,3
23,29
- 15,76
15,43
0
M-S
M-S
S-S
C-Cl
C-Cl
0
0
-7,72
23,15
0
0
-15,43
baru
- 7,72
0
38,58
0
S=O
C-H
C-H
C=C
(-CH3)
OH dan NH
Puncak serapan pada bilangan gelombang 401,19 cm -1 pada
kontrol mengalami pergeseran pada penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II).
Pergeseran ini disebabkan karena adanya interaksi antara ion-ion tersebut
dengan S-H yang membentuk suatu ikatan koordinasi.
74
D.2. Spektrum Infra Merah batang kangkung darat.
Puncak serapan pada batang kangkung darat terjadi pada bilangan
gelombang 4000 – 300 cm-1 ditunjukkan pada Tabel 6 dan lampiran19
dengan jumlah puncak 17 pada batang kangkung darat sebelum
penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II) dan masing-masing 19 dan 21 puncak
serapan setelah penambahan ion Pb(II) dan Cr(VI).
Puncak serapan pada 3402,43 cm-1 bergeser ke 3410,15 cm-1
setelah penambahan ion Cr(VI) dan ke 3379,29 setelah penambahan ion
Pb(II). Pergeseran ini menunjukkan adanya interaksi antara kedua ion ini
dengan gugus OH. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1543,05
cm-1 yang terlihat pada spektrum kontrol bergeser ke 1527,62 cm -1
setelah penambahan ion Cr(VI) tetapi tidak berubah setelah penambahan
ion Pb(II). Hal ini mengindikasikan bahwa ada interaksi antara ion Cr(VI)
dengan gugus N-O tetapi interaksi ini tidak terjadi pada ion Pb(II).
Puncak serapan pada bilangan gelombang 1056,99; 894,97 dan
817,82 cm-1 pada kontrol juga bergeser setelah penambahan ion Cr(VI)
tetapi tidak berubah setelah penambahan ion Pb(II). Pengamatan ini
memberi kesimpulan bahwa Ion Cr(VI) membentuk ikatan koordinasi
dengan gugus C-N. Puncak serapan pada bilangan gelombang 524,64
cm-1 bergeser setelah penambahan ion Cr(VI)
dan Pb(II). Pergeseran
puncak serapan ini mungkin disebabkan karena adanya ikatan antara ion
Cr(VI) dan Pb(II) dengan gugus C-X.
75
Tabel 6. Bilangan gelombang Batang kontrol dan setelah Penambahan
ion Cr(VI) dan Pb(II)
No. Bil.Gel
urut (cm-1)
Kontrol
Bil.Gel
(cm-1) +
ion Pb(II)
∆
Bil.Gel.
(cm-1)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
354,90
370,33
393,48
425,05
450,08
532,25
586,36
0
15,43
354,90
385,76
447,49
524,64
586,36
817,82
894,97
1056,99
1242,16
1327,03
1381,03
1543,05
1635,54
1735,93
2854,65
2924,09
3402,43
3749,62
817,82
894,97
1056,99
1242,16
1327,03
1381,03
1543,05
1635,64
1735,93
2854,65
2924,09
3379,29
3749,62
2.59
7,61
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
23,14
0
Bil.Gel
(cm-1) +
ion
Cr(VI)
347,19
385,76
401,19
432,05
478,35
501,49
586,36
779,24
825,53
879,54
1064,71
1242,16
1327,03
1381,03
1527,62
1635,64
1735,93
2854,65
2924,09
3410,15
3749,62
∆
Bil.Gel.
(cm-1)
7,71
0
baru
30,86
23,15
0
Ggs. fungsi
M-S
M-S
M-S
S-S
C-Br (alkil)
C-Cl (alkil)
7,71
15,43
7,72
0
0
0
15,43
0
0
0
0
7,72
0
N=O
S=O
N=O
OH
Puncak serapan pada bilangan gelombang 447,49 cm -1 bergeser
setelah penambahan ion Cr(VI) yang menunjukkan adanya ikatan antara
ion Cr(VI) dengan ini dangan gugus S-S. Pergeseran bilangan gelombang
yang
terjadi
pada
385,76
cm-1
setelah
penambahan
ion
Pb(II)
menunjukkan adanya interaksi antara ion ini dengan M-S yang ditunjang
dengan terbentuknya puncak serapan baru pada 393,48 dan 425,05 cm -1.
Hal yang sama terjadi setelah penambahan ion Cr(VI).
76
D.3. Spektrum Infra Merah daun kangkung darat.
Spektra FTIR dari daun sebelum dan setelah penambahan ion
Cr(VI) dan Pb(II) ditunjukkan pada Tabel 7 lampiran 20 dengan jumlah
puncak
serapan
18
pada
kontrol
dan
masing-masing
19
pada
panambahan ion Cr(VI) dan Pb(II).
Puncak serapan pada bilangan gelombang 3371,57 cm-1 terjadi
pergeseran setelah penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II). Pergeseran ini
mungkin disebabkan oleh adanya interaksi antara ion Cr(VI) dan Pb(II) ini
dengan gugus OH. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1064,71
cm-1 pada kontrol, terjadi pergeseran setelah penambahan ion Cr(VI) yang
disebabkan adanya ikatan antara ion-ion Cr(VI) dengan gugus S=O.
Pergeseran puncak serapan juga terjadi pada bilangan gelombang 887,26
cm-1
pada
kontrol
dan
879,54
cm-1
untuk
penambahan
ion
Cr(VI).Pergeseran ini disebabkan karena adanya interaksi antara ion
Cr(VI) dengan gugus N=O. Puncak serapan pada bilangan gelombang
450,22 – 354,90 cm-1 yang terjadi pada penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II)
disebabkan karena adanya interaksi antara gugus fungsi N dan S.
77
Tabel 7. FTIR Daun kontrol dengan Penambahan ion Cr(VI) dan Pb(II)
No. Bil.Gel
urut (cm-1)
Kontrol
Bil.Gel
(cm-1) +
ion Pb(II)
∆
Bil.Gel.
(cm-1)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
362,62
393,48
401,19
432,05
450,22
524,64
617,22
825,53
887,26
1064,71
1224,16
1327,03
1388,75
1543,05
1651,07
2854,65
2924,09
3332,99
3749,62
7,72
7,72
354,9
385,76
416,62
450,22
523,35
617,22
825,53
887,26
1064,71
1224,16
1327,03
1388,75
1543,05
1651,05
2846,93
2924,09
3371,57
3749,62
15,43
0
1,29
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
38,58
0
Bil.Gel
(cm-1) +
ion
Cr(VI)
362,62
393,48
401,19
420,12
462,92
516,92
617,22
825,53
879,54
1049,28
1242,16
1327,03
1388,75
1543,05
1651,07
2846,93
2924,09
3332,99
3749,62
∆
Bil.Gel.
(cm-1)
Ggs. fungsi
7,72
7,72
M-N
M-S
3,5
12,7
6,43
0
0
7,72
23,15
18
0
0
0
0
0
0
38,58
0
M-S
N-O
S=O
OH
E. Hasil Scanning Electron Microcopy (SEM)
Gambar 20 menunjukkan foto SEM dari akar kangkung darat
sebelum dan setelah penambahan ion Pb(II).
b)
a)
4 micron
2 micron
Gambar 20. Foto SEM serbuk akar kangkung darat a) sebelum dan
b) setelah penambahan ion Pb(II)
78
Kedua gambar ini menunjukkan perbedaan yang cukup jelas
dimana bentuk kristalnya mengecil setelah penambahan ion Pb(II) dan
berubah dari bentuk prisma ke bentuk bundar. Selain itu, matriks juga
menjadi lebih padat jika dibandingkan dengan kontrol.
terjadi sebagai akibat terjadinya interaksi antara ion
Perubahan ini
Pb(II) yang
mengakibatkan pecahnya sel-sel epidermis, palisade dan parenchym
yang menurunkan ruang antara sel dibanding dengan kontrol Sridhar
et.al., (2004)
Gambar 21 menunjukkan foto SEM dari batang kangkung darat
sebelum dan setelah penambahan ion Pb(II).
a)
b)
Gambar 21. Foto SEM batang kangkung darat sebelum dan
b) setelah penambahan ion Pb(II)
Adanya interaksi antara Pb dengan batang dapat dilihat dari
perubahan bentuk struktur sebelum dan sesudah penambahan Pb(II).
Bentuk kristal dari batang kangkung darat sebelum penambahan ion Pb(II)
adalah prismatik (beberapa kristal mempunyai bentuk rhomboidal).
Setelah penambahan ion Pb(II) ukurannya menjadi lebih kecil dan bentuk
79
kristal hilang dan menjadi lebih padat yang diakibatkan oleh rusaknya
dinding sel pada batang kangkung darat
Gambar 22 menunjukkan foto SEM daun kangkung darat sebelum
dan setelah penambahan ion Pb(II).
a)
b)
Gambar 22. Foto SEM serbuk daun kangkung darat a) sebelum dan
b) setelah penambahan ion Pb(II)
Perubahan yang sangat drastis dapat dilihat pada daun sebelum dan
setelah penambahan ion Pb(II). Bentuk kristal sebelum penambahan lebih
renggang sedangkan setelah penambahan menjadi lebih padat. Perubahan ini
menunjukkan bahwa ada interaksi antara Pb dengan komponen yang ada
dalam daun kangkung darat.
Foto SEM akar kangkung darat sebelum dan setelah penambahan ion
Cr(VI) diberikan pada Gambar 23.
80
a)
b)
Gambar 23. Foto SEM serbuk akar kangkung darat a) sebelum dan
b) setelah penambahan ion Cr(VI)
Setelah penambahan ion Cr(VI), perubahan yang nyata nampak
terjadi perubahan kristal dimana sebelum penambahan Cr bentuk kristal
sangat jelas, tetapi setelah penambahan Cr bentuk kristal hilang menjadi
suatu bentuk yang padat memanjang hal ini disebabkan adanya
pengrusakan pada dinding-dinding sel.
Gambar 24 menunjukkan foto SEM batang kangkung darat
sebelum dan setelah penambahan ion Cr(VI).
a
b)
G
a
m
b
a
r
2
Gambar 24. Foto SEM6 serbuk batang kangkung darat a) sebelum dan
b) setelah. penambahan ion Cr(VI)
Bentuk kristal F
prismatik sebelum dan sesudah perlakuan nampak
o
tidak begitu berbeda.t Hanya ada perbedaan yang kecil pada matriksnya,
o
setelah perlakuan bentuknya kristalnya tidak begitu berbeda.
S
E
M
b
a
t
a
81
Gambar 25 menunjukkan foto SEM daun kangkung darat sebelum
dan setelah penambahan ion Cr(VI) kangkung darat
a
b)
G
a
m
b
a
r
2
6
Gambar 25. Foto
SEM serbuk daun kangkung darat a) sebelum dan
.
b) setelah penambahan ion Cr(VI)
F
o
Nampak jelas
perbedaan antara foto SEM sebelum dan setelah
t
o
penambahan ion. Sebelum berinteraksi dengan ion Cr(VI) masih nampak
S
bentuk kristal dari
E daun kangkung darat. Setelah penambahan ion Cr(VI)
M
nampak struktur berubah membentuk seperti cacing yang menunjukka
b
bahwa terjadi interaksi
antara ion Cr(VI) dengan sel-sel yang ada di daun.
a
t
a
n
g
k
a
n
g
k
u
n
g
d
a
r
a
t
a
)
s
e
82
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Konsentrasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) yang diakumulasi oleh
kangkung darat masing-masing adalah, 1340,10; 1067,55; dan 1627,90
mg/kg berat kering.
Hasil analisis ini menunjukkan
bahwa kangkung
darat merupakan tanaman hiperakumulator terhadap ion Cd(II), Cr(VI),
dan Pb(II)
Berdasarkan perhitungan nilai BCF yang diperoleh pada variasi
waktu panen dan variasi konsentrasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) dalam
media tanam kangkung darat lebih besar satu dan perhitungan TF pada
percobaan yang sama, lebih kecil dari satu maka mekanisme yang terjadi
pada fitoakumulasi ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) pada kangkung darat,
adalah fitostabilisasi
Efek sinergi telah terjadi antara kombinasi biner (Cd+Cr), (Cd+Pb),
(Cr+Pb), dan tertier (Cd+Cr+Pb). Efek sinergi ini ditunjukkan oleh
terjadinya penurunan konsentrasi semua unsur pada kombinasi biner
maupun tertier jika dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Penurunan
konsentrasi pada kombinasi biner dan tertier menunjukkan bahwa ada
persaingan pada proses akumulasi diantara ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II).
83
B. SARAN
1. Kajian ulang yang lebih mendalam perlu dilakukan terhadap pengaruh
konsentrasi ion Cr(VI) dan Pb(II) dalam media tanam pada akumulasi
kangkung darat terhadap kedua kation ini.
2. Akumulasi paduan binar dan tetier ion Cd(II), Cr(VI), dan Pb(II) oleh
kangkung darat perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
faktor-faktor yang berpengaruh pada efek sinerginya.
84
DAFTAR PUSTAKA
Adema, D.M., and Henzen, L. 1989. A Comparison of Plants Toxicity of
Some Industrial Chemical ion Soil Culture and Soilless Culture.
Ecotoxicol. Environ. Saf.18: 219 -229. Diakses Desember 2006
Adriano, D.C., 1986. Trace elements in the terrestial environment.
Springer-Verlag, New York
Ahluwalia, S.S. and Goyal, D. 2005. Microbial and plant derived biomass
for removal of heavy metals from wastewater. Bioresource
Technology. www.elsevier.com/locate/wasman. Diakses 25 April
2007
Aiyen. 2004. Importance of Root Growth Parameters to Cd and Zn
Acquisition by Nonhyperaccumulator and hyperaccumulator
Plants. Dissertation University of Hohenhein, Institutebof Plants
Nutrition, Verlag Graner- Meuren-Stutgard.
Aiyen, 2005, Ilmu Remediasi Untuk Atasi Pencemaran Tanah di Aceh dan
Sumatera Utara, Harian Kompas 4 Maret 2005
Alkotra, I., Hernandes-Allica, J., Becerril, J.M., Amezaga, I., Albizu,
I.,Garbisu, I. 2004. Recent finding on the phytoremediation of soils
contaminated with environmentally toxic metals and metalloids
such as
zinc, cadmium, lead, and arsenic. Reviews in
Environmental Science and Biotechnology, (3) 1:71 – 90
Al-Subu, M.M., R. Salim, A. Doullah, A. Atallah. 1993. Combined effect of
cadmium, lead and copper on the growth and metal uptake of
broad beans, carrots, radishes and marrow vegetables. Rev.Int.
Contam. Ambient, 9 (1), 1- 9
Anderson, C.W.N., Brooks, R.R., Chiaricci, A., LaCosta, C.L., LeBlance,
M., Robinson,. B.H., Simcock, R., and Stewart, R.B., 1999.
Phytomining for nickel , thallium, gold. J. Geochem. Exploration.
67; 407 – 415. Diakses Oktober 2007
An Youn-Joo, Young-Mi Kim, Tae-Im Kwon, Seung-Woo Jeong, 2004.
Combined effect of Copper, cadmium, and lead upon Cucumis
sativus growth bioaccumulation. Science of the total
Enmvironment 326.
85-93.
Available online at
www.sciencedirect.com
85
Arun, A.K., Cervantes, C., Loza-Travera, H., Avudainainagam, C. 2005
Chromium
Toxicity
in
Plants.
Available
online
at
www.siencedirect.com. Diakses 5 Mei 2005
ASTDR, 2006. Case studies in environmental medicine. Chromium
Toxicity, U.S. Departement of Health and Human Services.
Athar, R., and Masood Ahmad, 2001. Heavy metal toxicity: Effect on
plants growth and metal uptake by wheat, and on free living
Azotobacter. Water, Air, and Soil Pollution 138: 165-180.
Aziz, H.A., Yusoff, M.S., Adlan, N., Adnan, N.H., Alias, S. 2004. Physicochemical removal of iron from semi aerobic landfill leachate by
limestone filter. Waste Management, 24. 353 – 358.
www.elsevier.com/locate/wasman. Diakses 25 April 2007
Babel, S., and Dacera del Mundo, D. 2005. Heavy metal removal from
contaminated sludge for land application: A review. Waste
Management. Available online at www.sciencedirect.Com.
Diakses 10 Mei 2007
Baker, A.J.M., S.P., McGrath, S.P., R.D. Reeves, J.A.C. Smith. 2000.
Metal Hyperaccumulator Plants : A review of the ecology and
physiology of a biological resource for phytoremediation of metalpollute soils inphytoremediation of contaminated soil and water ,N
Terry and G.Banuelos (Eds) Lewis Publisher, Boca Raton, FL,
USA
Barcelo, I and Poschenrieder, C., 2003, Phytoremediaion principles and
perspective, Contribution To Science, 2 (3): 333-334
Barcelo, I and Poschenrieder, C., Gunse, B.,1986. Water relation of
chromium (VI) treated bush bean plants (phaseoulus vulgaris L.
Ev. Contender) under both normal and water stress condition, J.
Exp. Bot. 37: 178-182
Beltz, K.E., 1997. Phytoremediation, Groundwater Pollution Primer.
Diakses Januari 2006
Benavides, M.P., Susana, M,G., Tomaro, M.L., 2005. Cadmium Toxicity in
Plants. Brazilian Journal of Plant Physiology. Vol.17 No.1. Diakses
16 Mei 2007
86
Briggs, G.G., Bromilow, R.H., Evans, A.A. 1982. Relationships between
lipophilicity and root uptake and translocation of non-ionized
chemicals by barley. Pestic. Sci. 13: 405-504
Burton,K. W., E. Morgan, and A. Roiq, 1984. The influence of heavy
metals upon the growth of sitka-spruce in South Wales forest II.
Greenhouse experiments. Plant Soil 78:271-82
Cai, Quan-Ying , Ce-Hui Mo, Qiao-Yung Zeng, Qi-Tang Wu, JeanFrancois Ferard, Blanca Antizar-Ladislao. 2007. Potential of
Ipomea aquatica cultivars in phytoremediation of soils
contaminated with
di-n-butyl phthalate. Diakses Oktober 2007
Cave, M.R., Owen, B., Simon, R.N.C., Jennifer, M.C., Malcolm, S.C., and
Douglas, L.M., 2001. Atomic Spectrometry Update: Environmental
Analysis. J.Anal. At. Spectrom. 16, 194-235. Diakses Oktober
2006
Chaney, R.L., Minnie, M., Li, Y.M., Brown, S.L., Brewer, E.P., Angle,
J,C.,and Baker A.J.M., 1997. Phytoremediation of Soil Metals,
Diakses 17 september 2005
Chen, S.F., and Huang, C.Y. 2006. Influence of cadmium on growth of root
vegetable and accumulation of cadmium in the edible
root.International Journal of Applied Science and Engineering.
Diakses 30 Mei 2007
Cunningham, S.D., Berti, W.R., and Huang, J.W., 1995. Phytoremediation
ofcontaminated soils. Tibitech, 13: 393 –n397
Drew, D., Ifeoma, S.I., Tucker, P. 2006. Chromiun Toxicity, ATSDR
Publication No. ATSDR-HE-CS-2001-2005. Diakses, Januari 2006
Dushenkov, V., Kumar, P.B.A.N., Motto, H., and Raskin, I., 1995.
Rhizofiltration: The use of plants to remove heavy metals from
aqueous streams . Environ. Sci.Tech. 29(5): 1239-1245.Diakses
25 Juni 2007
Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Fargasova, A., J.Patierova, K. Svetkova, 2006. Effect of Se-metal pair
combination (Cd, Zn, Cu, Pb) on photosyntetic pigment production
and metal accumulatio in Sinapsis alba L. Seedlings, Plant Soil
Environ., 52, (1): 8 - 15
87
Fellet,
L., Marchiol, D.P., Zerbi, G., 2007. The Application of
Phytoremediation Technology in Soil Contaminated by Pyrite
Cinder..Available at www.sciencedirect.com. Diakses 7 September
2007
Fritroff, A. and Maria, G. 2005. Uptake and distribution of Zn, Cu, Cd, and
PbInaquatiq
plant
Potamogetan
natans,
www.elsevier.com/locate/chemosphere. diakses Oktober 2006
Garate, A., I. Ramos, M. Manzanares, and J.J. Lucena. 1993. Cadmium
Uptake and Distribution in Three Cultivars of Latuca spp. Bull.
Environ. Contam.Toxicol. 50: 209-216. Diakses Oktober 2005
Gardea-Torresdey, J.L., Peralta-Videa, J.R., Montes, M., de la Rosa, G.,
andCorral, B. 2004. Bioaccumulation of cadmium, chromium, and
copper by Convolvulus arvensis L. Impact on plant growth and
uptake
of
nutritional
elements.
Available
online
at
www.Sciencedirect.com. Diakses 18 Oktober 2007
Geyer, R.A., 1981. Marine Environmental Pollution 2. Elsevier Scientific
Publishing Company. Amsterdam-Oxford-New York
Glas, D.J. 1999. U.S. and International Markets for Phytoremediation
1999-2000.D. Glass Assoc. Inc. Needham, M.A
Godbold, D.L., and C. Kettner. 1991. Use of Root Elongation Studies to
Determination Aluminium and Lead Toxicity in Picea abies
Seedling.J.Plant.Physiol. 138; 231-235
Gosh, M., and Singh, S.P. 2005. Comparative intake and phytpextraction
study of soil induced chromium by accumulation and high biomas
sweed spesies . diakses 9-206
Gussarsson, 1994. Cadmium-induced alterations in Nutrient Composition
and Growth of Betula pendula: The Significance of Fine Roots as
a Primary Target for Cadmium Toxicity. J. Plant Nutr. 17: 2151 –
2163 Diakses Maret 2005
Hodel, D.R. and Andrew C.C. (2000). Trace element and urban gardens.
http://celosangeles.nedavis.edu. Diakses 29 Juni 2007
Holleman, A.F. and Egon Wiberg. 1995. Inorganic Chmistry. By Academic
Press, A Harcout Science and Technology Company, Berlin-New
York.
88
Housecroft, C.E. and Alan, G.S. 2005. Inorganic Chemistry, 2 nd. Printed
by Asford Colour Press Ltd. Gosport
Jeliazko, V.D. 2001. Study on Heavy Metals Absorption by Plants.
http://wwwlib.umi-com/dissertation/fullcit. Diakses 27 Juni 2007
John, M.K. and C. van Laerhoven. 1972. Lead uptake by lettuce and oats
as affected by lime, nitrogen, and source of lead. J.Environ. Quali.
1 (2)169 -171. Diakses April 2007
Khan, D.H., and B. Frankland. 1983. Effect of Cadmium and Lead on
RadishPlants with Particular Reference to Movement of Metals
Through Soil Profile and Plant. Plant Soil 70:335-345. Diakses
Maret 2005
Kumar,
P.B.A.N., Dushenkov, V., Motto, H., Raskin, I., 1995.
Phytoextraction:The use of plants to remove heavy metals from
soil. Environ.Sci.Tech.29(5)1232-1238. Diakses Nopember 2007
Kunarso, D.H., dan Ruyitno. 1991. Status Pencemaran Laut di Indonesia
dan Teknik pemantauannya. LON-LIPI-Jakarta
Lasat, M.M., 2000. Phytoextraction of Metal from Contaminated Soil: A
Review of Plant /Soil/ Metal interaction and Assessment of
Pertinent Agronomic Issues. J.Hazard. Subs.Res.2: 5 – 25
Lasat, M.M. 2001. The Use of Plant of the Removal of Toxic Metals from
Contaminated soil. American Association for the Advancement of
Science. Diakses Juni 2006
Lamersdorf, N.I., Goldbold, N.P., and D. Knoche. 1991. Risk Assessment
of Some Heavy Metals for the Growth of Norway Spruce. Water,
Air , Soil Pollut. 57-58; 535-543. Diakses Februari 2006
Lippard, S.J. and Jeremy, M.B. 1994. Principle of Bioinorganic Chemistry
University Science Books. Mill Vallery, California.
Liu, Z., W.Jiang, F.Zhao, and C.Lu, 1994. Effect of Lead on Root Growth,
Cell Divition and Nucleolus of Allium cepa. Environ. Pollut. 86: 1-4.
Diakses Januari 2006
McGrath, S.P., Zhao, F. J. and Lombi, E. (2002). Phytoremediation of
metals, metalloids, and radionuclides. Advances in Agronomy, 75,
1-56
89
Meharg, A.A., 2005. Mechanism of plants resistance to metal and
metalloid ions and potential biotechnological Apllication, Plant and
Soil (274) 1-2: 163 – 174.
Miles,
L.J., and G.R.Parker. 1979. Heavy Metal Interaction for
Andropogonscoparius and Rudbeckia hiata Grown on Soil from
Urban and Rural Sites with Heavy Metals Addition. J.Environ.
Qual. 8 (4): 443 – 49
Misra, J.V., V.Pandey, and N.Singh. 1994. Effect of Some Heavy Metal on
Root Growth of Germinating See of Vicia faba. J.Environ.Sci.
Health. 29(10):2229-2234. Diakses September 2005
Moral, R.J., J.N. Pedreno, I. Gomez, and J. Mataix . 1995. Effect of
Chromium the Nutrient Element Content and Morphology of
Tomato.J.Plant Nut. 18(4): 815-822. Diakses September 2005
Moore, J.W. 1990. Inorganic contaminants of Surface water research
andmonitoring priorities. Springer Verlag
Mulligan, C.N., Yong, R.N., Gibbs, B.F. 2001. Remediation technologies
for metal-contaminated soils and groundwater : an
evaluation.Engineering Geology. Diakses April 2007
Muramoto, S., H. Nishizaki, and I. Aoyama. 1990. The Critical Levels and
the Maximum Metal Uptake for Wheat and Rice Plants when
Applying Metal Oxides to Soil. J. Environ. Sci. Health, Part B 25
(2) 273 – 80. Diakses Mei 2006
Negri, M.C., and Hinchman, R.R., 1996, Plants that remove contaminant
from the environment. Laboratory Medicine, 27(1): 36 – 40
Nouairi, I., Wided, Ben A., Nabil Ben, Y., Douja Ben, M.A., Mohamed,
H.G.,Mokhtar, Z. 2005. Comparative Study of Cadmium Effects
onMembrane Lipid Composition of Brassica juncea and Brassica
napus
leaves. Available online at www.sciencedirect.com.
Diakses 24 Januari 2006
Ouzounidou, G., M. Moustabas, E.P, Eleftheriou. 1997. Physiological and
Ultrastructural Effect of Cadmium on wheat (Tritium aestivum)
Leaves Arch. Environ. Contam. Tocxicol. 32: 1154-1160. Diakses
Februari 2006
90
Padmavathiamma, P.K., and Y.L. Li. 2007. Phytoremediation Technology:
Hyperaccumulation Metals in Plants. Water, Air, Soil Pollut. 184:
105- 126. Diakses Oktober 2007
Patel, P.M., A.Wallace, R.T. Mueller. 1976. Some effects of copper,
cadmium, zinc, nickel, and chromium on growth and mineral
element consentrationin chrysanthenium. J.Am.Soc.Hortic. Sci.
101 (5) : 553 – 556. Diakses 25 Mei 2006
Panda, S.K., and S. Choudhury. 2005. Chromium Stress in Plants.
Brazilian Journal of Plant Physiology. Vol.17 No, 1. Diakses 16
Mei 2005
Philon-Smith, E. 2005. Phytoremediation Annu Rev.Plant Biol. 56: 15-39.
Diakses 10 Oktober 2007.
Piotrowska-Cyplik, A., and C. Zbigniew. 2005. Phytoextraction of Pb, Cr,
and Cd by Hemp During Sugar Industry Anaerobic Sewage
Sludge Treatment.Vol.8. Diakses 11 September 2006
Piotrowska-Cyplik, A., and C. Zbigniew. 2003. Phytoextraction of
heavymetals by hemp during anaerob sewage slugde
management in the non-industrial site. Diakses 5 Mei 2005
Prasad,
M.N.V., 1996. Metal Biomolecule Complexes in Plants:
Occurance,Functions, and Application. Analusis Magazine 26
N0.6. Diakses April 2006
Prasad,
M.N.V., and Freitas, H.M.de Oliveira. 2003. Metal
Hyperaccumulation in Plants Biodiversity Prospecting for
Phytoremediation
Technology.
Electronic
Journal
of
Biotechnology. Diakses 01 Desember 2005.
Qian,
J.I.I., Zayed, A., Zhu, Y.L., and Terry, N.P., 1999.
Phytoaccumulation of trace elements by wetlands plants uptake
and accumulation of ten trace elements by twelve plants species.
J. Environ. Qual. 28:
1448-1455
Rahman, M.M., Haoliang, L., Chonling, Y., Hoque, S. 2007. Heavy Metal
Hype-accumulation in Plans and Metal Distribution in Soil on
tannery and dying industries polluted area in Bangladesh.
Academic Open Internet Journal, V0l.21. diakses 29 Agustus 2007
Ramachandran, V., D’Souza, T.J., Mistry, K.B., 1999. Uptake and
Transport of Chromium in Plants. J.Nucl. Agric. Biol. 126-9.
Diakses Maret 2006
91
Rascio, N., F.D. Vecchia, M.Ferretti, L.Merlo, and R.Ghisi. 1993. Some of
effects of cadmium on maize plants. Arch.environ. Contam.
Toxical. 25 : 244 – 249. Diakses 3 Januari 2006
Roosens, N., Verbruggen, N., Meerts, P., Ximenex-Embun, P., Smith,
J.A.C., 2003. Natural variation in cadmiumtolerance and its
relationship to metal hyperaccumulationfor seven of Thlaspi
caerulecens from western Europe, Plant, Cell and Environment,
(10) 26: 233-237
Rukmana, R. 1994. Bertanam kangkung. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Saeni, 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.
Salt, D.F., Blaylock, M., Kumar, N., Dushenkov, V., Ensley, B.D., Chet,I.,
and Raskin, I., 1995. Phytoremediation : A novel strategy for the
removal of toxic metals from the environment using plants.
Biotechnology., 13; 468-474. Diakses Maret 2007
Salt, D.E., Pickering, I.J., Prince, R.D., Gleba, D., Dushenkov, S., Smith,
R.D., and Raskin, I., 1997. Metal accumulation by aquacultured
seedling of Indian mustard. Environ.Sci.Technol. 31:1636-1644
Schnoor, J.L. 1997. Phytoremediation. The University of Iowa
Departement ofCivil and Environmental Engineering and Center
for Global and Regional Environmental Research. Diakses.
Oktober 2005
Sharma, D.C., and Sharma, C.P. 1993. Chromium Uptake and Its Effects
onGrowth and Biological Yield of Wheat. Cereal Res. Commun 21
:317- 21. Diakses Nopember 2005
Sharma, P. and Rama, S.D. 2005. Lead toxicity in plants. Brazillian
Journal of Plants Physiology. Vol. 17 No.1. Diakses 27 Desember
2007
Shanker, A.K., C. Carlos, L.T. Herminia, and S. Avudainayagam. 2005.
Chromium
Toxicity
in
Plants.
Available
online
at
www.sciencedirect.com. Diakses September 2005.
Sheoran, A.S. and Sheoran, V. 2005. Heavy metal removal mechanism of
acid mine drainage in wetland: A critical review, mineral
engineering,
19.
105
–
116.
Available
online
at
www.sciencedirect.com. Diakses 24 Mei 2007
92
Skeffington, R.A., Shewry, P.R., Peterson, P.J.1976. Chromium uptake
and transport in barley seedlings (Hordeum vulgare L.). Planta
132: 209-214
Sridhar Maruthi, B.B., S.V. Diehl, F.X. Han, D.L. Monts, Y. Su, 2005.
Anatomical changes due to uptake and accunmulation of Zn and
Cd in Indian mustard (Brassica juncea). Environmental and
Experimental Botany 54: 131 134 Available online at
www.sciencedirect.com.
Szymezyk, K. and Zalewski. 2003. Copper, zinc, and cadmium content in
liver and muscles of Mallards and other hunting Fowl spesies in
Warnia and Mazury in 1999 – 2000. J. Environ. 12 (3) : 382 –
386.Diakses 5 Maret 2007
Turner, D.M., and L. Henzen. 1989. Effect of Chromium on Growth and
Mineral Nutrition of Soybeans. Soil.Sci.Soc. Am. Proc. 35: 755758.Diakses Oktober 2005.
Turner, M.A., and R.H. Rust, 1971. Effect of chromium on growth and
mineral nutrition of soy beans. Soil. Sci. Soc. Am. Prog. 35 : 755 758
Vazquez, M.D., Barcelo, J., Poschenrieder, C., Madico, J., Hatton, P.,
Baker, A.J.M., Cope, G.H., 1992. Lokalization of zinc and
cadmium in Thlaspi caerulescens (Brassicaseae), a metallophyta
that can hyperaccumulate both metals. J. Plant Physiol. 140: 350355.
Verloo, M. 1993. Chemical Aspect of Soil pollution. ITC-Gen Publication,
4:17-46
Watanabe, M.E., 1997. Phytoremediation on the brink of
commercialization. Environ.Sci.Tech. 31(4):182A-186A. Diakses
Maret 2007
Wallace, A., R.M. Romey, G.V. Alexander, R.T. Mueller, S.M. Soufi, and
P.M. Patel. 1997. Some Interaction in Plants Among Cadmium,
other Heavy Metal and Chelating Agent. Agronomy J. 69: 18 – 30.
Diakses Maret 2006
Wierzbicka, M. and D. Antosiewicz. 1993. How Lead can Easy enter the
Food Chain a Study of plant Root. Sci.Total Environ. Suppl. :423429.
93
Widianarko, B. 2004. Prospek Fitoremediasi Logam Berat. Tekno Limbah.
Diakses Desember 2005
Wikipedia. Lead. Wikipedia, the free encyclopedia.
Wikipedia.org/wiki/lead. Diakses 09 Mei 2007
http://en.
Wong, M.K. and A.B. Bradshow. 1982. A comparison of the toxicity of
heavymetals using root elongation of rye grass, Lolium perenne.
NewPhytol. 92: 255 – 267. Diakses Juni 2006
Yang, X., Feng, Y., Zhenli, H., Stoffella, P.L., 2005. Moleculer mechanism
of heavy metal hyperaccumulation and phytoremediaton. Journal
of Trace Elemants in Medicine and Biology (18) 4 339-353.
Yoon, J., Cao, X., Zhou, Q., Ma, Q.L., 2006, Accumulation of Pb, Cu, and
Zn in Native Plants Growing on a Contaminated Florida site,
Science of the Environment, 368, 456-464.
Zayed, A.M. and Terry, N. 1994. selenium volatilization in root and shoots:
effect of shoot removal and sulfate level. J. Plant Physiol., 143:
18-14
94
Lampiran 1.
Bagan Kerja Penyiapan Media Tanam
Tanah
- Dibersihkan
- Dianalisis (N, P, K, pH, KA,
BO, Cr, Cd, Pb)
Sampel tanah
Sampel tanah
Spesies Cr, Cd, Pb
Homogenkan
Timbang 2 kg pada pot
Tanah tercemar
Timbang 2 kg
pada pot
Tanah kontrol
Atur pH (7)
+ TSP dan KCl
Tanam bibit kangkung
Tanaman kangkung
Atur pH (7)
+ TSP dan KCl
Tanam bibit
kangkung
Tanaman kangkung
Tumbuhkan
Panen
Tumbuhkan
Panen
Dianalisis
95
Lampiran 2
E.Bagan kerja analisis logam pada kangkung darat
I. reptans Poir
Dicuci dgn akuabides sampai
bersih.
Dipisahkan antara akar, btg, daun.
Diangin-anginkan di udara terbuka.
Dikeringkan pada suhu 60oC
selama 24 jam, dinginkan dan
timbang.
.
Akar,batang,daun
Dihaluskan, timbang kira-kira 0,5 g.
Dilarutkan dengan campuran
HNO3 6M dan H2O2 30 %
Panaskan sampai larut sempurna.
Dinginkan, tambahkan akuabides.
Panaskan, saring dalam keadaan
panas.
Filtrat
Atur pH sekitar 3 dengan
HNO3/NaOH.
Cukupkan volumenya kemudian
kocok.
Ukur absorbannya dengan SSA.
Hitung konsentrasi unsur dengan
menggunakan kurva kalibrasi.
Data
Interpretasi
Kesimpulan
96
Lampiran 3
Konsentrasi Cd yang diakumulasi oleh kangkung darat
pada variasi waktu Panen
Parameter Morpologi
Uji (Cd)
Cd1
tanaman
2
3
4
5
[Cd]
[Cd]
[Cd]
[Cd]
[Cd]
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
1027,39 1063,94 995,87
1149,06
1021,98
Batang
86,91
22,92
161,55
171,20
115,86
Daun
37,28
12,52
31,81
35,06
23,20
1151,57 1099,39 1189,24 1355,32
1161,04
Akar
773,,27
1129,30 1263,41 1203,54
770,74
Batang
129,26
179,32
237,10
145,35
98,74
Daun
72,29
61,12
30,75
33,95
36,20
974,82
1369,75 1532,16 1382,84
905,67
Akar
951,62
1113,38 1058,40 909,21
519,84
Batang
201,57
132,98
155,59
124,08
129,74
Daun
108,21
44,84
90,64
61,35
69,65
Total
Cd2
1
Akar
Total
Cd2
Variasi waktu panen (pekan)
Total
1261,40 1291,21 1304,63 1094,64
719,22
Total [Cd] di Akar
2572,28 3306,62 3317,68 3261,81
2312,56
Rataan [Cd] di Akar
917,43
1102,21 1105,92 1087,27
770,85
Total [Cd] di Batang
417,74
335,22
554,24
440,63
344,34
Rataan [Cd] di Batang
139,25
111,74
184,75
146,88
114,79
Total [Cd] di Daun
217,78
110,48
153,20
130,36
129,05
Rataan [Cd] di Daun
72,58
39,49
51,07
43,45
43,02
Rataan
1129,26 1253,45 1342,01 1277,60
928,65
97
Lampiran 4
[Cd] yang diakumulasi oleh kangkung darat
pada variasi konsentrasi di media tanam
Parameter
Morpologi
Uju (Cd)
Tanaman
Varisi konsentasi (mg/kg)
10
20
30
40
50
[Cd]
[Cd]
[Cd]
[Cd]
[Cd]
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Akar
296,61
418,52
839,13
957,45
1021,13
Batang
93,67
88,41
160,44
153,16
163,74
Daun
14,58
10,58
38,99
102,55
35,64
404,86
517,50
1038,56
1213,16
1220,51
217,39
476,19
817,31
1360,76
1288,66
Batang
48,06
103,21
28,70
179,74
240,18
Daun
9,10
84,85
56,48
53,57
34,59
274,55
664,25
902,49
1594,07
1563,43
Akar
159,36
376,71
572,29
378,79
450,93
Batang
62,86
133,41
221,14
147,58
175,63
Daun
38,62
98,79
123,37
69,18
81,95
Total
260,84
608,92
916,79
595,55
708,51
Total [Cd] di Akar
673.36
1271,42
2228,73
2697,00
2760,72
Rataan [Cd] di Akar
224,45
423,81
742,91
899,00
920,24
Rataan [Cd] di Batang
68,19
108,34
136,76
160,16
193,18
Rataan [Cd] di Daun
20,72
64,74
72,95
75,10
50,73
Rataan
313,42
602,18
957,91
1134,26
1164,15
Cd1
Total
Akar
Cd2
Total
Cd3
98
Lampiran 5
Nilai BCF dan TF tanaman kangkung darat pada pengaruh waktu panen
Waktu
[Cd] di
[Cd]di daun
[Cd] di
(Pekan)
akar
(mg/kg)
tanah
(mg/kg)
BCF
TF
(mg/kg)
I
773,27
72,29
53,49
14,46
0,09
II
1129,30
61,12
53,49
21,11
0.05
III
1263,41
30.75
53,49
23,62
0.02
IV
1203,54
33,95
53,49
22.50
0.01
V
770,74
36,20
53,49
14.41
0.05
Lampiran 6
Nilai BCF dan TF tanaman kangkung pada variasi [Cd] pada media tanam
[Cd] yang
[Cd] di
[Cd] di daun
[Cd] di
Di + kan
akar
(mg/kg)
tanah
(mg/kg)
BCF
TF
(mg/kg)
10
217,39
48,06
13,49
16,11
0,22
20
476,19
103,21
23,49
20,27
0,22
30
839,13
160,44
33,49
25,06
0,19
40
957,45
153,16
43,49
22.02
0,16
50
1021,13
163,74
53,49
19,09
0.16
Cara Menghitung BCF dan TF
[M] pada akar tanaman (mg/kg bk)
BCF =
[M] yang ditambahkan dalam tanah (mg/kg)
= 217,39/13,49 = 16,11
99
[M] dalam daun (mg/kg bk)
TF =
[M] dalam akar (mg/kg bk)
= 48,06/217,39 = 0,22
Lampiran 7
Konsentrasi ion CrV(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat
pada variasi waktu
Paramater Morpologi
Uji (Cr)
tanaman
Variasi waktu (pekan)
1
2
3
4
5
[Cr]
[Cr]
[Cr]
[Cr]
[Cr]
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
Akar
352,47
362,67
464,30
185,89
190,66
Batang
36,95
97,77
103,47
43,72
41,38
Daun
65,58
112,53
191,56
36,72
37,72
455.00
537,96
759,33
266,33
269.76
Akar
333,33
341,38
454,99
148,11
144,37
Batang
75,05
149,49
130,29
14,10
27,25
Daun
118,67
126,08
156,30
12,68
31,73
527,06
616,95
744,57
174,88
203,35
Akar
333,33
411,60
1181,26
244,73
209,35
Batang
294,06
127,24
200,60
148,60
115,71
daun
152,75
122,53
316,90
97,22
87,88
Total
780,14
661,35
1698,75
490,54
412,94
Rataan dari total
587,40
617,09
1067,55
310,58
295,35
Rataan dari akar
339,71
371,88
700,18
192,91
181,46
Rataan dari batang
135,35
124,83
144,78
68,81
61,45
Rataan dari daun
112,33
120,38
221,58
48,87
52,44
Cr-1
Total
Cr-2
Total
Cr-3
100
Lampiran 8
Konsentrasi ion Cr(VI) yang diakumulasi oleh kangkung darat
pada variasiIon Cr(VI) dalam media tumbuh
Parameter Morpologi
Uji (Cr)
Tanaman
Variasi [Cr] yang ditambahkan
10 ppm
20 ppm
30 ppm
40 ppm
50 ppm
[Cr]
[Cr]
[Cr]
[Cr]
[Cr]
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
Akar
17,51
25,57
37,04
108,26
464,30
Batang
3,28
6,66
6,39
14,17
103,47
Daun
5,15
12,16
7,70
24,06
191,56
25,93
44,38
51,12
146,48
759,33
Akar
2,23
44,48
47,89
79,04
454,99
Batang
0,45
9,66
5,81
12,39
130,29
Daun
0,79
17,08
9,40
19,05
159,30
3,47
71,22
63,10
110,48
744,57
Akar
9,67
6,51
26,94
132,84
1181,26
Batang
1,86
3,02
9,51
15,26
200,60
Daun
1,84
2,05
6,11
21,45
316,90
Total
13,37
11,58
42,56
169,54
1698,75
Rataan
14,26
42,39
52,26
142,17
1067,55
Cr-I
Total
Cr-II
Total
Cr-III
101
Lampiran 9
Nilai BCF dan TF tanaman kangkung darat versus waktu panen
Waktu
[Cr] di
[Cr] di Daun
[Cr] di
akumulasi
akar
(mg/kg BK)
tanah
(Pekan)
Mg/kg BK
1
339,71
123,33
2
371,74
3
BCF
TF
53,99
6,29
0,36
120,38
53,99
6,88
0,32
700,18
222,59
53,99
6.79
0,61
4
192,91
48,87
53,99
3,57
0,25
5
181,46
52,44
53,99
3,36
0,29
(mg/kg BK)
Lampiran 10
Nilai BCF dan TF kangkung darat pada penambahan ion Cr(VI)
dengan variasi konsentrasi ion Cr(VI) dalam media tanam
[Cr] (ppm)
[Cr] di akar
[Cr] di daun
[Cr] di
(mg/kg BK)
(mg/kg BK)
tanah
BCF
TF
(mg/kg BK)
10
9.8
2,65
33,99
0,28
0,27
20
25,52
10,43
43,99
0,58
0,41
30
37,29
7,74
53,99
0,69
0,21
40
106,71
21,52
63,99
1,67
0,20
50
320,70
22,94
73,99
4,33
0,23
102
Lampiran 11
Konsentrasi ion Pb(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat
Pada variasi waktu panen
Parameter Morpologi
uji (Pb)
tanaman
Pb-1
Akar
Batang
Daun
Total
Pb-2
Akar
Batang
Daun
Pb-3
Total
Akar
Batang
Daun
Total
Rataan dari Total
Rataan [Pb] di akar
Rataan [Pb] di batang
Rataan [Pb] di daun
Variasi waktu (minggu)
1
2
3
4
[Pb]
[Pb]
[Pb]
[Pb]
ppm
ppm
ppm
ppm
158,02
323,15
322,09
744,11
110,02
128,30
77,82
289,46
123,92
122,30
81,82
181,55
391,96
573,76
481,38 1215,15
231,18
516,59 1261,41 396,65
145,93. 302,65
359,51
180,85
60,65
270,77
200,11
191,47
437,64 1090,01 1821,03 768,98
768,68
450,91 1553,61 750,65
303,72
260,47
656,56
303,00
272,73
184,50
371,12
244,69
1345,13 895,88 2581,29 1298,34
724,92
853,22 1627,90 1094,16
385,96
430,22 1045,70 630,47
186,57
230,47
363,63
257,77
152,40
192,52
217,57
205,90
5
[Pb]
ppm
515,15
105.36
115,39
735,90
473,77
97,34
103,62
674,73
623,18
136,74
176,37
936,29
782,31
537,37
113,15
131,79
103
Lampiran 12
Konsetrasi ion Pb(II) yang diakumulasi oleh kangkung darat pada
Variasi ion Pb(II) dalam media tanam
Parameter
Morpologi
Uji (Pb)
Tanaman
Variasi [Pb] yang ditambahkan
20 ppm
40 ppm
60 ppm
80 ppm
100 ppm
[Pb]
[Pb]
[Pb]
[Pb]
[Pb]
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
Akar
24,29
86,46
352,51
263,02
322,09
Batang
21,94
36,97
102,79
108,61
77,82
Daun
29,97
28,44
75,72
84,04
81,47
76,40
151,87
531,03
455,67
481,38
Akar
45,14
397,42
575,03
413,39
1261,41
Batang
35,39
210,71
241,28
192,51
359,51
Daun
25,10
198,80
148,27
143,11
200,11
105,63
806,93
964,58
749,01
1821,03
Akar
56,66
173,27
277,25
381,36
453,13
Batang
43,19
18,88
35,82
49,88
70,63
Daun
14,68
21,83
29,65
60,08
62,22
Total
114,53
213,98
342,72
491,32
585,98
Total dari total
296,56
1172,78
1838,33
1696,00
2888,39
Pb-I
Total
Pb-II
Total
Pb-III
104
Lampiran 13
Nilai BCF dan TF pada pengaruh waktu panen pada
Tanam kangkung darat
Waktu
[Pb] di
[Pb] di Daun
[Pb] di
akumulasi
akar
(mg/kg BK)
tanah
(Pekan)
Mg/kg BK
1
231,18
60,54
2
516,59
3
BCF
TF
131,88
1,75
0,26
270,77
131,88
3,92
0,52
1261,41
200,11
131,88
9,56
0,16
4
396,65
191,47
131,88
3,01
0,48
5
473,77
103,62
131,88
3,59
0,22
(mg/kg BK)
Lampiran 14
Nilai BCF dan TF pada pengaruh penambahan [Pb] pada
media Tanam kangkung darat
[Pb] (ppm)
[Pb] di akar
[Pb] di
[Pb] di
(mg/kg BK)
daun
tanah
(mg/kg BK)
(mg/kg BK)
BCF
TF
20
415,14
95,10
51,88
8,00
0,23
40
397,42
198,80
71,88
5,53
0,50
60
575,03
148,27
91,88
6,26
0,26
80
413,39
143,11
111,88
3,69
0,35
100
1261,41
200,11
131,88
9,56
0,16
105
Lampiran 15
Konsentrasi ion Cd(II) dalam paduan dengan ion Cr(VI) dan Pb(II)
MORPOLOGI
TANAMAN
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
TOTAL AKAR
RATAAN AKAR
TOTAL BATANG
RATAAN BATANG
TOTAL DAUN
RATAAN DAUN
Total dari total
Rataan dari ∑ total
[Cd]
(mg/kg)
138,23
37,46
21,80
197.49
100,42
42,44
17,58
160,44
118,35
27,15
12,75
158,25
357,00
119,00
107,05
35,68
52,13
17,38
516,18
172,06
Cd + Pb
(mg/kg)
90,48
41,85
11,79
144,12
83,33
34,69
16,38
134.40
79,55
12,39
21,15
113,09
253,36
84,45
88,93
29,64
49,32
16,44
391.61
130,54
Cd + Cr
(mg/kg)
96,67
12,65
13,99
123,31
70,60
32,38
12,41
115,39
80,73
32,73
12,98
126,44
248,00
82,67
77,40
25,80
39,38
13,13
365.14
121,71
Cd + Cr +
Pb (mg/kg)
106,19
22,38
27,69
156.11
105,09
36,08
12,50
153,67
84.42
24,39
15.89
124,70
295,70
98,57
82,85
27,62
56,08
18,69
434,48
144,83
106
Lampiran 16
Konsentrasi ion Pb(II) dalam paduan dengan ion Cd(II) dan Cr(VI)
MORPOLOGI
TANAMAN
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
TOTAL AKAR
RATAAN AKAR
TOTAL BATANG
RATAAN BATANG
TOTAL DAUN
RATAAN DAUN
Total dari total
Rataan dari total
[Pb]
(mg/kg)
160,49
41,81
59,41
261,71
246,48
19,08
16,78
282,34
188,56
22,56
32.57
243,69
575,53
198,51
83,45
27,82
108,76
36,25
787,74
262,58
Pb + Cd
(mg/kg)
135,60
40,75
29,14
125,49
161,29
32,72
19,27
213,28
162,23
15,92
30,74
208,89
459,12
153,04
89,39
29,79
79,15
26,38
547,66
182,55
Pb + Cr
(mg/kg)
94,49
35,55
12,26
142,30
157,34
20,20
30,36
207,90
137,66
27.23
24,46
189,78
389,49
129,83
82,98
27,66
67,08
22,36
539,97
179,99
Cd + Cr +
Pb (mg/kg)
212,37
45,55
34,72
292,64
159,24
25,77
31,25
216,26
194,81
21,95
15,89
232,65
566,42
188,81
93,27
31,09
81,86
27,29
741.54
247,18
107
Lampiran 17
Konsentrasi ion Cr(VI) dalam paduan dengan ion Cd(II) dan Pb(II)
\
MORPOLOGI
TANAMAN
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
AKAR
BATANG
DAUN
TOTAL
TOTAL AKAR
RATAAN AKAR
TOTAL BATANG
RATAAN BATANG
TOTAL DAUN
[Cr]
(mg/kg)
115,33
23,38
26,58
165,29
178,13
37,67
30,80
246,60
113,64
24,39
16,72
154,75
407,10
135,70
85,44
28,48
74,10
Cr + Cd
(mg/kg)
99,36
21,75
17,3
138,41
125,78
9,52
24,81
168,11
80,21
9,09
19,92
109,22
305,35
101,78
40,36
13,45
62,03
Pb + Cr
(mg/kg)
110,37
18,34
23,26
151,97
94,49
35,55
12,26
142,30
106,95
18,18
19,81
144,94
311,81
103,94
72,07
24,02
55,33
Cd + Cr +
Pb (mg/kg)
137,23
12,16
16,39
165,78
127,39
16,44
27,81
171,64
129,87
16,47
31,79
178,13
394,49
131,49
45,07
15,02
75,99
RATAAN DAUN
Total dari total
Rataan dari ∑total
24,70
566,64
188,88
20,68
415,74
138,58
18,44
439,21
146,40
25,33
515,55
171,85
108
Lampiran 18
Spetra FTIR dari akar I. reptans a) kontrol, b) dan c)
setelah penambahan ion Pb(II) dan ion Cr(VI)
109
110
Lampiran 19
Spetra FTIR dari batang I. reptans a) kontrol, b) setelah
penambahan Pb2+, dan c) setelah penambahan Cr6+
111
112
Lampiran 20
Spetra FTIR dari daun I. reptans a) kontrol, b) setelah
penambahan Pb2+, dan c) setelah penambahan Cr6+
113
114
Lampiran 21
Foto-foto hasil penanaman kangkung darat
115
116
117
Download