BAB II

advertisement
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Mentimun
Tanaman mentimun berasal dari benua Asia, tepatnya dari Himalaya Asia
Utara (Rukmana, 1994). Saat ini, budidaya mentimum sudah meluas ke seluruh
dunia, baik wilayah tropis atau subtropis. Daerah yang menjadi pusat pertanaman
mentimun di Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Aceh,
Bengkulu, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Buah mentimun dibutuhkan masyarakat
baik untuk pemenuhan gizi bagi tubuh, juga dibutuhkan bagi industri kosmetik
dalam negeri. Buah ini mengandung mineral seperti kalsium, fosfor, kalium dan
besi di samping vitamin A, B dan C. Mentimun muda dijadikan sayuran mentah
atau bahan makanan yang diawetkan seperti acar. Buah mentimum dimanfaatkan
untuk
perawatan
kecantikan
dan
untuk
pengobatan
tradisional
untuk
memperlancar buang air kecil dan menurunkan darah tinggi. Dewasa ini Indonesia
telah mengekspor buah mentimun ke beberapa negara seperti Malaysia,
Singapura, Jepang, Inggris, Perancis, dan Belanda (Samadi, 2002).
Di daerah tropis, mentimun dapat ditanam di dataran rendah sampai
dataran tinggi karena daya adaptasi tanaman pada berbagai iklim cukup tinggi. Di
Indonesia tanaman mentimun ditanam di daerah daratan rendah dan dataran tinggi
0 sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Untuk pertumbuhan yang optimum
diperlukan iklim kering, sinar matahari yang cukup (tidak ternaungi), temperatur
21,1 sampai 26,7 0C dan tidak banyak hujan. Hampir semua jenis tanah cocok
5
6
untuk ditanami mentimun. Untuk tujuan komersil, sebaiknya lahan yang dilipih
adalah lahan yang subur, gembur, banyak mengandung humus, tata air baik, tanah
mudah meresapkan air, pH tanah antara 6 sampai 7. Mentimun lokal lebih cocok
ditanam di dataran rendah dan biasanya merupakan tanaman yang diikutkan
dalam pola pergiliran tanaman.
2.2
Squash Leaf Curl China Virus Penyebab Penyakit Daun Kuning
Salah satu penyakit yang menyerang tanaman mentimun yaitu daun
keriting kuning, yang disebabkan oleh Squash leaf curl China virus merupakan
virus dari genus Begomovirus famili Geminiviridae. Genus Begomovirus (Bean
golden mosaic virus) memiliki genom bipartit atau monopartit, ditularkan oleh
kutukebul Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera ; Aleyrodidae) secara persisten
sirkulatif yang berasosiasi dengan gejala kuning, dan menginfeksi tanaman dikotil
dan monokotil (Fauquet et al., 2008).
Gambar 2.1 menunjukkan posisi gen dalam genom bipartit Begomovirus,
dimana genom bipartit Begomovirus terdiri dari DNA A dan DNA B. Keduanya
memiliki daerah intergenik (IR = Intergenic Region) yang mencakup daerah
common region (CR) dengan fungsi pengaturan (regulatory function) yang terdiri
dari beberapa ORF (Open Reading Frame). Pada IR/CR terdapat promotor dan
urutan basanya sebagai awal terjadi transkripsi. Pada DNA A, terdapat protein
selubung yang disandikan oleh Coat Protein gene (ORF AV1) berfungsi sebagai
pembentuk selubung protein, penularan dengan vektor serta untuk pergerakan
virus. Gen penyandi selubung protein merupakan daerah genom yang mempunyai
runutan susunan DNA dengan derajat kesamaan yang tinggi (conserved) antar
7
anggota geminivirus. Oleh karena sifatnya tersebut, daerah genom tersebut banyak
digunakan sebagai dasar pemilihan primer untuk mengamplifikasi DNA
geminivirus. Komponen AV1 juga berperan dalam melindungi ssDNA virus dan
penularan oleh vektor ketika virus masuk ke dalam sistem pencernaan serangga
vektor dengan melindungi partikel virus dari degradasi (Morin et al., 2000; Astier
et al., 2001; Fauquet et al., 2005). CP dan Pre CP (BV1) berperan untuk
pergerakan keluar masuk genom virus dari inti sel inang (Briddon et al., 2004).
Replikasi Begomovirus diatur oleh Rep gene pada ORF AC1. Adapun transkripsi
Begomovirus diaktivasi oleh TrAP gene pada ORF AC2 yang merupakan protein
aktivator transkripsi. Pada ORF AC3 terdapat Ren gene yang berfungsi sebagai
pembentukan protein untuk penginduksi replikasi (replication enhancer). Ekspresi
gejala penyakit diatur regulasinya oleh C4 pada DNA A. Pada DNA B dapat
ditemukan adanya Nuclear Shuttle Protein (NSP) gene pada ORF BV1 yang
berfungsi sebagai penyandi virion DNA B dan membentuk nuclear shuttle
protein. Selain itu pada DNA B, terdapat Movement Protein (MP) gene (ORF
BC1) yang berfungsi sebagai protein yang bertanggung jawab untuk perpindahan
dari satu sel ke sel lain dalam plasmodesmata inang (Fauquet et al., 2005; Hull,
2002; Van Regenmortel et al., 2000). Genom monopartit merupakan kombinasi
antara DNA A dan DNA B pada genom bipartit yang dikemas dalam satu partikel
dengan fungsi yang sama (Fauquet et al., 2005; Hull, 2002).
8
Gambar 2.1 Organisasi genom DNA-A dan DNA-B Begomovirus. DNA-A
memiliki enam open reading frame (ORF), yaitu AV1 (gen AR1;
protein selubung, CP) dan AV2 (gen AR2; protein AV2 atau protein
untuk perpindahan virus, MP) pada salah satu untai; AC1 (gen AL1;
protein replikasi, Rep), AC2 (gen AL2; protein aktivator transkripsi,
TrAP), AC3 (gen AL3, peningkat replikasi, REn) dan AC4 (gen AL4;
protein AC4) pada untai komplementer. DNA-B mengandung dua
protein pengkode ORF yang terlibat dalam perpindahan virus, yaitu
BV1 (gen BR1; protein selubung inti, NSP) pada salah satu untai dan
BC1 (gen BL1; protein untuk perpindahan virus, MPB) pada untai
komplementer (Seal et al. 2006, Fauquet et al. 2005b).
2.3 Kloning
Salah satu teknologi DNA rekombinan yang dikembangkan saat ini adalah
kloning gen. Menurut Glick dan Pasternak (2003) kloning gen adalah sejumlah
eksperimen yang bertujuan memindahkan DNA dari satu organism ke organism
lain. Eksperimen DNA rekombinan secara umum meliputi: (1) ekstraksi DNA
sisipan dari organisme donor, (2) pemotongan dan penyambungan secara
enzimatis ke DNA vektor untuk membentuk molekul DNA rekombinan baru, (3)
pemindahan hasil konstruksi vektor kloning-DNA sisipan ke dalam suatu sel
inang dan pemeliharaan di dalam sel tersebut, dan (4) penyeleksian sel-sel inang
9
yang membawa konstruksi DNA. Prinsip dari ekstraksi DNA dalam proses
kloning adalah menghancurkan dinding sel, baik secara mekanis atau enzimatis;
melisis sel dengan menambahkan deterjen (seperti: SDS; membersihkan debris sel
menggunakan pelarut organik fenol dan chloroform-isoamilalkohol; dan
mengendapkan DNA dari lisat jernih dengan menambahkan etanol dan garam
natrium (Old dan Primrose 2003). DNA sisipan dan DNA vektor dipotong
menjadi fragmen linear.
Pemotongan DNA merupakan kerja enzim restriksi yang bersifat spesifik
sehingga menghasilkan DNA dengan potongan unik, baik berujung tumpul (bluntend)
ataupun
lancip
(sticky-end).
Bakteri
menghasilkan
enzim
yang
menghancurkan DNA fag sebelum fag ini sempat mengadakan replikasi dan
mengarahkan sintesis partikel fag baru. DNA bakteri sendiri terlindung dari enzim
ini, hal ini dikarenakan DNA mempunyai gugus metil tambahan yang
menghalangi kerja degradatif enzim. Enzim-enzim degradatif ini disebut
endonuklease restriksi dan disintesis oleh banyak spesies bakteri. Jenis-jenis
enzim restriksi antara lain: Hindlll, Kpnl, Sacl, BamHl, spel, BstXl, EcoRl,
EcoV,Notl, Xhol, Nsil, Xbal dan Apal (Brown, 2003; Glick dan Pasternak, 2003).
Penyambungan DNA sisipan dengan DNA vektor dilakukan oleh enzim ligase.
Konstruksi DNA sisipan-vektor plasmid ditransfer ke sel inang melalui proses
transformasi.
Prinsip transformasi adalah membuat suatu kondisi yang mempengaruhi
sel hidup sehingga dapat menarik dan membiarkan molekul DNA asing masuk
kedalam sel melalui membran sel dari lingkungannya (sel kompeten). Sel
10
kompeten dibuat dengan menurunkan suhu pertumbuhan sel beberapa lama, lalu
memberikan kejutan panas. Kemungkinan DNA asing masuk ke dalam sel
menjadi lebih besar jika pada lingkungannya terdapat ion-ion divalen Ca2+ dan
Mg2+. Suatu inang yang baik hendaknya memenuhi prasyarat: pertumbuhan
cepat, non patogenik, mampu menangkap molekul DNA dan stabil dalam kultur
memiliki enzim yang sesuai untuk replikasi vektor rekombinan, mempunyai
informasi genetik selengkap mungkin, dan mempunyai genotipe spesifik untuk
efektifitas hasil kloning (Glick dan Pasternak, 2003) sistem inang E.coli umum
digunakan. Galur E.coli DH5α adalah E.coli yang dimutasi pada bagian lacZ
(lacZΔM15) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penseleksi transforman, jika
galur ini ditransformasikan oleh plasmid yang membawa daerah regulator operon
lac yaitu gen penyandi ß-galaktosidase dan suatu segmen pendek DNA penyadi
ujung animo terminal plasmid tersebut berkombinasi dengan produk ßgalaktosidase tidak lengkap yang dihasilkan galur lacZΔM15, menghasilkan ßgalaktosidase yang fungsional.
Peristiwa penggabungan potongan protein lacZ menjadi lacZ fungsional
ini disebut komplementasi-α. Enzim ß-galaktosidase fungsional ini dapat
diinduksi oleh IPTG (Isopropyl-Beta-d-Thiogalactopyranoside). Fenotip ini dapat
diamati sebagai warna biru yang dihasilkan dari reaksi dengan substrat
kromogenik X-gal (5-bromo-4chloro-3indoly-ß-D-galactoside), telah dirancang
tepat pada bagian hilir lacZ suatu multiple cloning region atau multiple cloning
sites (MCS), yaitu suatu daerah sempit sebagai situs penyisipan suatu fragmen
DNA. Jika DNA terklon pada daerah tersebut, maka aktivitas fungsional lacZ di
11
plasmid terganggu, sehingga tidak dihasilkan ß-galaktosidase yang fungsional,
akibatnya substrat tidak bereaksi menghasilkan warna biru. Prinsip seleksi koloni
biru putih bermanfaat untuk membedakan transforman dengan koloni lainya
(Glick dan Pasternak, 2003). Seleksi transforman hanya menggambarkan masuk
tidaknya konstruksi DNA ke dalam inang. Untuk membedakan rekombinasi yaitu
koloni yang membawa konstruksi DNA dengan plasmid non rekombinasi perlu
dilakukan uji ekspresi klon gen pada media tertentu. Keberhasilan transformasi
dipengaruhi oleh: jenis plasmid yang digunakan, suhu, jumlah dan ukuran DNA,
lama perlakuan, adanya enzim nuclease pada sel inang, lama dan cara
pemberiannya kejutan panas, spesifitas panas, kekuatan ion, konformasi dan
konsentrasi DNA. Untuk menghindari religasi vektor plasmid maka alkalin
fosfatase dapat digunakan sehingga tidak muncul transforman yang tidak
mengandung insert (Glick dan Pasternak, 2003).
Gambar 2.2 menunjukkan bagian situs pemotongan untuk plasmid (vektor)
dari pTZ57R/T dengan beberapa enzim yang bisa digunakan untuk proses
restriksi. Pada plasmid ini terdapat bagian antiampisilin dimana plasmid ini
berserta gen yang telah tersisipi nanti akan tetap tumbuh pada media selektif agar
(Luria Bertani) yang telah mengandung ampisilin. Plasmid ini menggunakan
prosedur InsTAclone (TA cloning) dimana produk PCR (gen) yang akan disisipi
sudah memiliki ujung A dan A sedangkan plasmid pTZ57R/T ini sudah terpotong
berujung T dan T. Selain itu posedur ini mudah dilakukan karena bisa langsung
digunakan untuk proses ligasi tidak perlu proses pemotongan plasmid (vektor).
12
Gambar 2.2 Peta plasmid (vektor) pTZ57R/T yang digunakan dalam proses ligasi.
Serta situs pemotongan oleh EcoRI dan BamHI pada plasmid
(Thermo Scientific, US).
2.4 Sekuensing
Sekuen pengenalan atau sering disebut juga situs pengenalan merupakan
sekuen DNA yang menjadi tempat menempelnya enzim restriksi dan melakukan
pemotongan pada sekuen tersebut. Menurut Philips (2010) panjang sekuen
pengenalan enzim restriksi berbeda-beda, seperti enzim EcoRI, SacI, dan SstI
mempunyai sekuen pengenalan sepanjang 6 pasang basa, sedangkan NotI 8
pasang basa, dan Sau3AI hanya 4 pasang basa. Kebanyakan dari enzim restriksi
bersifat palindromik (palindromic) yang berarti sekuen pengenalan sama jika
dibaca dari 5’
3’ baik utas atas maupun utas bawah. Contohnya adalah HindIII
dengan situs pengenalan 5’-AAGCTT-3’ (utas atas)/3’-TTCGAA-5’ (utas bawah).
Enzim restriksi yang berbeda dapat mempunyai situs pengenalan yang sama,
contohnya: SacI dan SstI. Ezim yang mempunyai situs pengenalan yang sama
13
disebut dengan istilah isoschizomers. Dalam beberapa kasus, isoschizomers juga
memotong DNA pada tempat yang sama, namun beberapa tidak demikian.
Situs pengenalan pada enzim restriksi dapat pasti atau ambigu. Seperti
contohnya pada BamHI, enzim ini sudah pasti memotong pada sekuen GGATCC.
Sementara itu, situs pengenalan HinfI adalah GANTC. N dalam situs pemotongan
HinfI berarti dapat diganti oleh basa apa saja, inilah yang dimaksud dengan situs
ambigu. Contoh lainnya situs ambigu adalah XhoII. Enzim ini mempunyai situs
pemotongan PuGATCPy. Pu merupakan singkatan dari purin (basa A atau G),
sedangkan Py merupakan singkatan dari pirimidin (pyrimidine) (basa T atau C).
Jadi XhoII dapat mengenali dan memotong sekuen AGATCT, AGATCC,
GGATCT dan GGATCC. Situs pengenalan satu enzim dapat mengandung situs
pengenalan enzim lainnya. Situs pengenalan BamHI mengandung situs
pengenalan Sau3AI. Oleh karena itu, semua sekuen pemotongan BamHI akan
dipotong oleh Sau3AI, tapi tidak sebaliknya (Philips, 2010).
Panjang dari sekuen pengenalan mempengaruhi seringnya enzim restriksi
memotong DNA dalam ukuran tertentu. Misalnya pada enzim yang memiliki
panjang 4 basa, enzim ini diperkirakan akan memotong setiap 256 nukleotida.
Perhitungan tersebut diperoleh dengan mengasumsikan setiap basa mempunyai
kemungkinan yang sama untuk muncul, yaitu sebesar 1/4 (kemungkinan muncul 1
dari 4 basa). Jadi jika sekuen pengenalan mempunyai panjang 6 basa, maka
perhitungannya menjadi: (1/4)6 = 1/4096. Perhitungan ini hanya sebagai
perkiraan, pada kenyataannya belum tentu demikian. Beberapa sekuen bisa jadi
lebih sering atau lebih jarang ditemui dalam suatu organisme. Seperti pada
14
mamalia, sekuen CG sangat jarang ditemui sehingga enzim HpaII yang
mempunyai sekuen pengenalan CCGG akan lebih jarang memotong pada DNA
mamalia. Enzim restriksi yang mempunyai sekuen pengenalan yang pendek akan
menghasilkan banyak potongan DNA; sedangkan jika mempunyai sekuen
pengenalan yang panjang, akan dihasilkan potongan DNA yang lebih sedikit. Baik
enzim yang mempunyai sekuen pemotongan pendek maupun panjang, mempunyai
fungsi masing-masing dalam rekayasa genetika (Philips, 2010).
Download