SATUAN ACARA PERKULIAHAN (S.A.P) PRANATA PEMBANGUNAN JURUSAN ARSITEKTUR UNIVERSITAS IGM PALEMBANG MATA KULIAH KULIAH KETERANGAN POKOK BAHASAN KE TUGAS/MID TEST/DSB Pengantar silabus Pranata Pembangunan 1 semester V a. Materi Pranata Pembangunan (≥ 12 pertemuan) b. Komponen Penilaian: 1. Kehadiran 10% (min. 75%) 2. Tugas 20% 3. Mid Test 20% 4. UAS 50% - Hubungan Arsitektur dan Pranata Pembangunan (Definisi, Tujuan Mata Kuliah) - Isu dan Masalah Pokok Hukum Pranata Pembangunan - Sejarah hukum pranata pembangunan 2 Mencari dan membuat - Kebijakan-kebijakan di bidang permukiman dan resume tentang kebijakan perumahan beserta peraturan-peraturannya yang berkaitan dengan Pranata Pembangunan Pemerintah Kota Palembang dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan atau Kota/Kabupaten lain (Tugas Kecil 1/Kognitif) 3 - Proses penyusunan rencana dan rancangan Pranata Pembangunan dengan perkembangan kota 4 - Peran dan fungsi Pranata Pembangunan dan Membaca dan membuat fungsi-fungsi lain dalam kota. resume artikel tentang peran dan fungsi Pranata Pembangunan (Tugas Kecil 2/Kognitif) 5 - Hirarki peraturan ketatanegaraan. 6 - Kajian kasus Pranata Pembangunan 1 7 - Ujian Tengah Semester 8 - Peraturan perundangan dalam kearsitekturan 9 - Perda dalam kearsitekturan 10 - Perencanaan dalam tata ruang 11 - 12 - Kajian kasus Pranata Pembangunan 2 perundangan dalam Menyusun makalah tentang Pranata Pembangunan dan diskusi (Tugas Kecil 3/Psikomotorik) Mid Test/UTS Membaca dan membuat resume artikel tentang Regulasi (Tugas Kecil 4/Psikomotorik) Membaca dan membuat resume artikel Perencanaan dalam tata ruang (Tugas Kecil 5) Institusi kelembagaan dalam pranata kearsitekturan Menyusun makalah tentang Pranata Pembangunan dan diskusi (Tugas Besar 6/Afektif) 13 - Ujian Akhir Semester UAS BUKU REFERENSI: 1. Sejarah Hukum Pranata Pembangunan, Ir. Joesron Alisyahbana, Universitas Diponegoro, Semarang. Mengetahui Ketua Jurusan, Palembang, 7 September 2015 Dosen MK. Pranata Pembangunan Ir. H. Anwar Arifai Bambang Wicaksono, ST, MT Tujuan MK. Hukum Pranata Pembangunan Untuk menjadi arsitek yang bijak dalam Pembangunannya. Pranata: - Sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, serta seluruh perlengkapannya guna berbagai kompleks (kelompok) manusia di masyarakat - Aturan yang mengatur nilai-nilai sosial yang berlaku di suatu masyarakat Bangun, Membangun, dan Pembangunan 1. Bangun: Wujud, susunan yang merupakan wujud 2. Membangun: Memperbaiki, Membina, Mendirikan 3. Pembangunan: Proses pembuatan, cara membangun. Pranata Pembangunan: Mengarah pada perlengkapan (institusi dan peraturan) yang mengatur sistem tingkah laku dalam pembangunan, khususnya dalam kompleks masyarakat yang terkait. Peraturan: Tatanan yang dibuat untuk mengatur, Mengatur: Membuat sesuatu menjadi teratur. Institusi: Pembangunan, sesuatu yang dikembangkan oleh UU, adat dan kebiasaan. Arsitektur; Fungsi, tempat, waktu. Arsitektur; Mikro: bangunan Makro: Rencana Tata Ruang yang ada. Undang-undang: 1. UU Bangunan Gedung 2. UU Jasa konstruksi 3. UU Lingkungan Hidup 4. UU Tata Ruang, beserta peraturan-peraturan pemerintah yang ada di bawahnya (sampai ke Perda). MATERI KEPRANATAAN Instrumen peraturan perundangan, pedoman arahan dan atau hasil perencanaan yang formal dengan institusi kelembagaannya. A. Hirarki peraturan perundangan dalam ketatanegaraan; Perda, Peraturan Gubernur/Walikota, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), UU, UUD 1945. B. Peraturan perundangan dalam kearsitekturan; UU Jasa konstruksi, UU Tata Ruang, Lingkungan hidup, Cagar Budaya, Bangunan Gedung, dll. C. Perda dalam kearsitekturan; Perda IMB, IPB, Perda Bangunan Setempat, Perda Rawa. D. Perencanaan dalam tata ruang; Hirarki perencanaannya: Rencana Tata Ruang Nasional, RTRW Provinsi, RTRKota/Kab, RTRKawasan, RDTRKawasan, Rencana Teknik Ruang Kawasan (RTBL), Rencana Induk/Master Plan Kawasan. E. Institusi kelembagaan dalam pranata kearsitekturan. PEMERINTAH BADAN USAHA LEMBAGA PENGEMBANGAN JASA KONSTRUKSI PERGURUAN TINGGI/PAKAR/ AHLI PEMERINTAH Contoh kebijakan: - Saya sudah berkali2 ke luar negeri, dan tiap kali balik dari luar negeri, satu hal selalu berdentang2 dalam benak saya: kok begitu normalnya negeri2 Barat itu, negeri2 yang oleh sebagian orang Islam fundamentalis dianggap sebagai "negeri kafir" tempat berkecamuknya kebejatan moral dan sebagainya. Saya tidak mengabaikan kenyataan bahwa negeri Barat seperti Australia itu jelas mengandung banyak masalah di dalam dirinya. Tetapi, negeri itu mengagumkan sebagai sebuah sistem hidup. Perlindungan terhadap keragaman ras dan agama dan bagaimana jaminan yang diberikan oleh negara kepada keragaman itu luar biasa rumit dan menunjukkan satu hal: bahwa akal manusia jika diberi keleluasaan untuk berkembang, akan dapat menciptakan sistem kehidupan yang memuliakan martabat manusia. (Sudah tentu, akal yang sama bisa berbuat kerusakan). Hal2 sederhana, fisikal, dan sangat mencolok dari negeri itu adalah keberhasilannya untuk menciptakan sejumlah aturan yang menjamin "public comfort". Contoh sederhana yang memukau saya adalah bahwa kita bisa meminum "air mentah" langsung dari kran. Sebetulnya hal ini sudah bisa dicapai oleh negeri tetangga kita, Singapura, dan merupakan hal yang normal di hampir semua negeri barat. Betapa "mewahnya" pengalaman itu bagi seorang seperti saya yang tinggal di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang salah satu ajarannya adalah "Bersih itu adalah Sebagian dari Iman", tetapi dalam kehidupan sehari-hari tak pernah bisa memakai air ledeng untuk mandi (hanya untuk mencuci pakaian saja), boro-boro untuk minum. Sekali lagi: meminum air kran. Masyaallah! Sudah lusinan saya mengunjungi negeri Islam, tetapi tak satupun negeri itu yang menyediakan kran yang bisa saya minum langsung airnya. Termasuk "negeri" Pasuruan di Jawa Timur, satu-satunya kota "Islam" di seluruh dunia yang jargonnya adalah "An Nadzafatu minal Iman", bersih itu adalah bagian dari Iman. - Saya tidak tahu, bagaimana budaya kebersihan ini berhasil dicapai di negeri Kanguru itu. Tetapi yang jelas, kebersihan itu begitu merata dan sudah menjadi "barang normal". Bahkan di pasar umum yang biasanya kita maklumi kalau agak sedikit kotor, juga kebersihan tetap terjaga. Di Melbourne kemaren, kebetulan saya tinggal di apartemen kecil dekat pasar yang terkenal mural di Victoria, yaitu Victoria Market atau dikenal dengan Vic Mart. Inilah pasar yang paling sering dikunjungi oleh Arif Budiman karena murahnya. Ini adalah semacam Tanah Abang-nya Melbourne. Segala hal bisa ditemui di pasar itu: segala jenis souvenir, baju, sepatu, jaket, mainan anak-anak, perhiasan, tumbuh-tumbuhan, bunga, buah2an, binatang, daging, ikan, wine, dsb. Dengan keragaman barang yang dijual di pasar itu, tetap saja kondisinya bersih. Hari minggu kemaren, saya pergi ke pasar ikan Muara Karang, beli ikan segar dan langsung dimasak di tempat. Kotornyaaaaaa......minta ampun. Jarak antara Muara Karang dan Vic Mart di Melbourne dalam hal kebersihan adalah persis dengan jarak antara kota-kota Eropa pada abad pertengahan yang kotor dan bacin dengan kota-kota Islam yang bersih dan "beradab" di Gharnatha (Grenada), Isybilia (Sevilla), Qurthubba (Cordova), Qoirawayn, dan Isfahan. Peradaban memang berputar persis seperti roda. Sekarang ini, Islam persis berada di titik nadir dalam segala hal, termasuk dalam hal elementer yang "tak elementer", yaitu soal minim air dari kran itu. - Contoh lain adalah trotoar. Salah satu hal yang paling saya nikmati ketika berkunjung ke negeri barat, termasuk Australia, adalah trotoar yang luas, nyaman, dan enak untuk berjalan-jalan, dan cuci mata. Juga "public square" atau lapangan umum tempat orang-orang bisa melepaskan lelah dengan santai, bebas dari kerutinan hidup yang menyesakkan. Kita, di Jakarta, menyaksikan suatu pemandangan tragis setiap hari: lapangan umum selalu diserobot entah oleh pemerintah (misalnya, lapangan Monas yang dipagari oleh Bang Yos untuk menangkar rusa), para kapitalis besar (untuk membangun mall), atau pedagang kecil (seperti jalan di Pasar Jatinegara yang 2/3-nya habis oleh lapak atau tenda tempat berjualan). Sikap penduduk Australia yang menyenangkan dan saya pandang sangatlah "Islami" adalah kedermawanan untuk selalu mengucapkan "thank you" kepada siapa saja yang telah melayaninya, sekurangkurangnya inilah yang saya lihat di Melbourne. Setiap turun dari trem atau bus, penumpang biasanya akan mengucapkan "thank you", meskipun dia keluar dari pintu belakang dan jauh jaraknya dari Pak Sopir. Saya mengelus dada, ingat betapa hampir semua penumpang di Jakarta umumnya menumpahkan serapah ke sopir2 Metro Mini, Mayasari Bhakti dan bus kota lain. Setiap saya mau menyeberang jalan, umumnya para sopir akan memberikan jalan terlebih dulu pada saya. Dan benar, pedestrian atau pejalan kaki di negeri2 barat itu umumnya dimanjakan luar biasa. - Hampir semua aturan ditegakkan dengan baik (tentu pelanggaran ada di sana-sini, wong namanya dunia), sehingga kehidupan benar2 tertib. Pengalaman yang mencolok karena begitu tertibnya adalah kehidupan di jalan raya. Kesabaran sopir menunggu antrian luar biasa mengagumkan. Jarang saya melihat adegan serobot yang biasa kita saksikan di Jakarta. Parkir diatur sedemikian rupa sehingga orang tidak bisa memonopoli tempat parkir. Mencari parkiran termasuk pekerjaan yang susah di Melbourne, selain tarifnya yang mahal, sehingga mengendori orang2 untuk memiliki mobil, dan dengan demikian mengurangi jumlah kendaraan di jalan umum. Sebagai kompensasinya, pemerintah menyediakan transportasi umum yang cepat, terjangkau, aman dan sangat nyaman. Setiap pelanggaran akan dikenai denda yang sangat berat dan mahal. Parkir melebihi waktu yang disediakan, kena denda tak kurang dari $100. Ngebut melebihi 100 km/j bisa kenda denda $160. Lihatlah perangai para pengendara mobil di tol Jagorawi yang, mentang2 karena mobilnya BMW, menggenjot gas hingga mencapai kecepatan 150 km/j. Dan kalau anda berjalan malam hari, sopir2 yang ngebut itu suka menyorot anda dari belakang dengan lampu tinggi, berkali-kali, memberi isyarat agar anda minggir, seolah2 jalan tol itu adalah warisan neneknya di Wonosobo sana. Mobil2 yang ngebut itu juga termasuk mobil yang di dalamnya bergelantung pelbagai jenis asesori, mulai dari tasbih, gantungan dengan tulisan Allah dan Muhammad, ayat kursi, atau sekedar gambar Ka'bah atau anak kecil "lugu" pakai peci hitam. Sudah tentu juga asesori lain yang "non Islam", seperti salib dan gambar Yesus, atau Bunda Maria, atau lempengan bundar bergambar binatang yang melambangkan sio dalam tradisi Cina. Semuanya ngebut, membahayakan nyawa pengendaranya sendiri, juga nyawa orang lain, tanpa ada denda apapun. Inilah negeri dengan penduduk mayoritas beragama Islam, dengan kebiasaan tingkah laku yang lebih "bebas" dan "liberal" dari negeri bebas manapun! - Saya sering mendengar retorik para dai yang mengkritik negeri2 barat karena membiarkan seks bebas dan pergaulan laki2 perempuan tanpa batas. Saya kira kritik itu ada benarnya untuk sebagian, tetapi tidak benar untuk sebagian yang lain. Yang tidak benar itu misalnya ini. Saya berkali-kali pergi ke toko buku, dan selalu mendatangi konter tempat majalah untuk mencari2 jurnal atau majalah edsi terakhir yang menarik. Di mana2, biasanya saya selalu mencari edisi terakhir dari Foreign Affairs, New Yorker, New York Review of Books, Vanity Fair, Time, Newsweek atau The Economist. Di Melbourne sangat mudah mencari koran dan majlah berbahasa Arab, seperti Asy Syarq Al Awsat, karena di sana banyak imgran berasal dari Timur Tengah. Di setiap toko buku, saya selalu menjumpai majalah yang dibungkus rapat2, sama sekali tak terlihat sampul depannya. Saya tahu, itu adalah majalah pornografi. Video porno sangat susah didapat di toko2 biasa, kecuali di toko2 "Sex Shop" yang tidak bisa dimasuki kecuali oleh orang yang berumur di atas 18 tahun. Bandingkan dengan keadaan di Glodok, di mana CD porno dijual bebas hampir tanpa pengawasan. Kesimpulan saya: maksiat (perbuatan buruk) pun kalau diatur dengan regulasi yang baik, tidak akan menimbulkan dampak buruk. Sebaliknya, ibadah kalau tak diregulasi, juga bisa menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Contohnya, ibadah haji yang selalu memakan korban setiap tahun, karena pengaturan yang jelek. Jadi intinya: regulasi. - Saya sadar sepenuhnya, bahwa negeri2 barat bukanlah sorga yang memberikan tempat tinggal nyaman dan bebas dari masalah. Tetapi, dengan seluruh masalah yang secara patologis terdapat secara inheren dalam kehidupan di barat (di Melbourne, saya bahkan sempat membeli buku karangan sosiolog yang sedang naik daun, Zygmunt Bauman, yang dengan cemerlang menunjukkan pathos atau penyakit dalam modernitas yang bersumber di Barat, "Modernity and the Holocaust"); sekali lagi, dengan seluruh masalah itu, saya tetap memandang bahwa kehidupan di sana termasuk salah satu kehidupan yang mutunya sangat tinggi, di mana sistem yang rumit dibangun dengan cukup sabar dan gradual untuk tujuan pokok, yaitu memuliakan manusia. Di penghujung abad 19, Abduh dan Afghani berkunjung dan tinggal sementara waktu di Paris. Abduh takjub luar biasa dengan tingkat peradaban di kota itu. Beberapa tahun setelah itu, Rifa'a Badawi Rafi' Al-Tahtawi (1801-73), seorang ulama dari Kairo, tinggal di kota yang sama dan menuliskan kesan2nya mengenai Paris dalam bukunya yang terkenal, Takhlis al-ibriz ila talkhis Bariz. Mari kita ikuti sejenak kesan2 Tahtawi sebagaimana dilaporkan oleh Albert Hourani dalam bukunya "Arabic Thought in Liberal Age" (hal. 71): - "Tahtawi was not an uncritical admirer --the French, he thought, were nearer to avarice than to generosity, and their men were slaves of their women-- but he found much to praise: cleanliness, the careful and prolonged education of children, love of work and disapproval of laziness, intellectual curiosity ('they always want to get to the root of the - - matter'), an above all their social morality. Loving change in outward appearances, unstable in little things, they were steadfast in great: their political convictions were unchanging, and in personal ralations they trusted each other and rarely betrayed." Di awal abad 21 ini, saya masih tetap memandang barat dengan penuh kekaguman. Saya mencoba memandang dalam kehidupan barat sejumlah segi positif yang dapat dipelajari oleh umat Islam, dan sejenak berusaha mengabaikan retorika yang sudah terlanjur menjadi klise di dunia Islam tentang barat sebagai arena seks bebas, politik standar ganda, dst. Edisi terakhir majalah Granta bertajuk "What We Think of America", berisi kesaksian sejumlah pengarang terkenal dunia (sayangnya tak ada yang mewakili Indonesia, hanya ada satu dari kawasan Melayu, yaitu Karim Raslan dari Malaysia). Umumnya kesaksian itu mempunyai nada yang sama: Amerika sebagai sumber kekaguman dan kebencian sekaligus. Dunia Islam akhir-akhir ini menampakkan kebencian yang kian menonjol kepada Amerika (dan barat secara umum), dan kurang berani mengeksplorasi segi2 dalam dunia barat yang layak menerbitkan rasa kagum. Majalah itu saya berikan sebagai oleh2 kepada Sdr. Hamid Basyaib, dan saya persilahkan Hamid untuk berbagi cerita dengan teman lain di milis ini. PRANATA PEMBANGUNAN UIGM 2010 UJIAN TENGAH SEMESTER JURUSAN ARSITEKTUR UIGM Tanggal: 16/11/ 2010, Waktu: 13.00- 14.30 WIB, SKS: 2, Bobot: 20%, Sifat: Open book, Dosen Penguji: Bambang Wicaksono soal 1. Berbagai peraturan, pranata pembangunan telah disusun hingga ratusan peraturan. Hasilnya adalah gambar Rusun Jalan Radial di samping ini. a. Jelaskan akar permasalahannya, apakah kebijakannya yang kurang tepat atau masyarakat penghuninya? b. Bagaimana solusi kebijakannya? Psikomotorik & Afektif 2. Contoh kebijakan: - Saya sudah berkali2 ke luar negeri, dan tiap kali balik dari luar negeri, satu hal selalu berdentang2 dalam benak saya: kok begitu normalnya negeri2 Barat itu, negeri2 yang oleh sebagian orang Islam fundamentalis dianggap sebagai "negeri kafir" tempat berkecamuknya kebejatan moral dan sebagainya. Saya tidak mengabaikan kenyataan bahwa negeri Barat seperti Australia itu jelas mengandung banyak masalah di dalam dirinya. Tetapi, negeri itu mengagumkan sebagai sebuah sistem hidup. Perlindungan terhadap keragaman ras dan agama dan bagaimana jaminan yang diberikan oleh negara kepada keragaman itu luar biasa rumit dan menunjukkan satu hal: bahwa akal manusia jika diberi keleluasaan untuk berkembang, akan dapat menciptakan sistem kehidupan yang memuliakan martabat manusia. (Sudah tentu, akal yang sama bisa berbuat kerusakan). Hal2 sederhana, fisikal, dan sangat mencolok dari negeri itu adalah keberhasilannya untuk menciptakan sejumlah aturan yang menjamin "public comfort". Contoh sederhana yang memukau saya adalah bahwa kita bisa meminum "air mentah" langsung dari kran. Sebetulnya hal ini sudah bisa dicapai oleh negeri tetangga kita, Singapura, dan merupakan hal yang normal di hampir semua negeri barat. Betapa "mewahnya" pengalaman itu bagi seorang seperti saya yang tinggal di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang salah satu ajarannya adalah "Bersih itu adalah Sebagian dari Iman", tetapi dalam kehidupan sehari-hari tak pernah bisa memakai air ledeng untuk mandi (hanya untuk mencuci pakaian saja), boro-boro untuk minum. Sekali lagi: meminum air kran. Masyaallah! Sudah lusinan saya mengunjungi negeri Islam, tetapi tak satupun negeri itu yang menyediakan kran yang bisa saya minum langsung airnya. Termasuk "negeri" Pasuruan di Jawa Timur, satu-satunya kota "Islam" di seluruh dunia yang jargonnya adalah "An Nadzafatu minal Iman", bersih itu adalah bagian dari Iman. Saya tidak tahu, bagaimana budaya kebersihan ini berhasil dicapai di negeri Kanguru itu. Tetapi yang jelas, kebersihan itu begitu merata dan sudah menjadi "barang normal". Bahkan di pasar umum yang biasanya kita maklumi kalau agak sedikit kotor, juga kebersihan tetap terjaga. Di Melbourne kemaren, kebetulan saya tinggal di apartemen kecil dekat pasar yang terkenal mural di Victoria, yaitu Victoria Market atau dikenal dengan Vic Mart. Inilah pasar yang paling sering dikunjungi oleh Arif Budiman karena murahnya. Ini adalah semacam Tanah Abang-nya Melbourne. Segala hal bisa ditemui di pasar itu: segala jenis souvenir, baju, sepatu, jaket, mainan anak-anak, perhiasan, tumbuh-tumbuhan, bunga, buah2an, binatang, daging, ikan, wine, dsb. Dengan keragaman barang yang dijual di pasar itu, tetap saja kondisinya bersih. Hari minggu kemaren, saya pergi ke pasar ikan Muara Karang, beli ikan segar dan langsung dimasak di tempat. Kotornyaaaaaa......minta ampun. Jarak antara Muara Karang dan Vic Mart di Melbourne dalam hal kebersihan adalah persis dengan jarak antara kota-kota Eropa pada abad pertengahan yang kotor dan bacin dengan kota-kota Islam yang bersih dan "beradab" di Gharnatha (Grenada), Isybilia (Sevilla), Qurthubba (Cordova), Qoirawayn, dan Isfahan. Peradaban memang berputar persis seperti roda. Sekarang ini, Islam persis berada di titik nadir dalam segala hal, termasuk dalam hal elementer yang "tak elementer", yaitu soal minim air dari kran itu. Contoh lain adalah trotoar. Salah satu hal yang paling saya nikmati ketika berkunjung ke negeri barat, termasuk Australia, adalah trotoar yang luas, nyaman, dan enak untuk berjalan-jalan, dan cuci mata. Juga "public square" atau lapangan umum tempat orang-orang bisa melepaskan lelah dengan santai, bebas dari kerutinan hidup yang menyesakkan. Kita, di Jakarta, menyaksikan suatu pemandangan tragis setiap hari: lapangan umum selalu diserobot entah oleh pemerintah (misalnya, lapangan Monas yang dipagari oleh Bang Yos untuk menangkar rusa), para kapitalis besar (untuk membangun mall), atau pedagang kecil (seperti jalan di Pasar Jatinegara yang 2/3-nya habis oleh lapak atau tenda tempat berjualan). Sikap penduduk Australia yang menyenangkan dan saya pandang sangatlah "Islami" adalah kedermawanan untuk selalu mengucapkan "thank you" kepada siapa saja yang telah melayaninya, sekurang-kurangnya inilah yang saya lihat di Melbourne. Setiap turun dari trem atau bus, penumpang biasanya akan mengucapkan "thank you", meskipun dia keluar dari pintu belakang dan jauh jaraknya dari Pak Sopir. Saya mengelus dada, ingat betapa hampir semua penumpang di Jakarta umumnya menumpahkan serapah ke sopir2 Metro Mini, Mayasari Bhakti dan bus kota lain. Setiap saya mau menyeberang jalan, umumnya para sopir akan memberikan jalan terlebih dulu pada saya. Dan benar, pedestrian atau pejalan kaki di negeri2 barat itu umumnya dimanjakan luar biasa. Hampir semua aturan ditegakkan dengan baik (tentu pelanggaran ada di sana-sini, wong namanya dunia), sehingga kehidupan benar2 tertib. Pengalaman yang mencolok karena begitu tertibnya adalah kehidupan di jalan raya. Kesabaran sopir menunggu antrian luar biasa mengagumkan. Jarang saya melihat adegan serobot yang biasa kita saksikan di Jakarta. Parkir diatur sedemikian rupa sehingga orang tidak bisa memonopoli tempat parkir. Mencari parkiran termasuk pekerjaan yang susah di Melbourne, selain tarifnya yang mahal, sehingga mengendori orang2 untuk memiliki mobil, dan dengan demikian mengurangi jumlah kendaraan di jalan umum. Sebagai kompensasinya, pemerintah menyediakan transportasi umum yang cepat, terjangkau, aman dan sangat nyaman. Setiap pelanggaran akan dikenai denda yang sangat berat dan mahal. Parkir melebihi waktu yang disediakan, kena denda tak kurang dari $100. Ngebut melebihi 100 km/j bisa kenda denda $160. Lihatlah perangai para pengendara mobil di tol Jagorawi yang, mentang2 karena mobilnya BMW, menggenjot gas hingga mencapai kecepatan 150 km/j. Dan kalau anda berjalan malam hari, sopir2 yang ngebut itu suka menyorot anda dari belakang dengan lampu tinggi, berkali-kali, memberi isyarat agar anda minggir, seolah2 jalan tol itu adalah warisan neneknya di Wonosobo sana. Mobil2 yang ngebut itu juga termasuk mobil yang di dalamnya bergelantung pelbagai jenis asesori, mulai dari tasbih, gantungan dengan tulisan Allah dan Muhammad, ayat kursi, atau sekedar gambar Ka'bah atau anak kecil "lugu" pakai peci hitam. Sudah tentu juga asesori lain yang "non Islam", seperti salib dan gambar Yesus, atau Bunda Maria, atau lempengan bundar bergambar binatang yang melambangkan sio dalam tradisi Cina. Semuanya ngebut, membahayakan nyawa pengendaranya sendiri, juga nyawa orang lain, tanpa ada denda apapun. Inilah negeri dengan penduduk mayoritas beragama Islam, dengan kebiasaan tingkah laku yang lebih "bebas" dan "liberal" dari negeri bebas manapun! - Saya sering mendengar retorik para dai yang mengkritik negeri2 barat karena membiarkan seks bebas dan pergaulan laki2 perempuan tanpa batas. Saya kira kritik itu ada benarnya untuk sebagian, tetapi tidak benar untuk sebagian yang lain. Yang tidak benar itu misalnya ini. Saya berkali-kali pergi ke toko buku, dan selalu mendatangi konter tempat majalah untuk mencari2 jurnal atau majalah edsi terakhir yang menarik. Di mana2, biasanya saya selalu mencari edisi terakhir dari Foreign Affairs, New Yorker, New York Review of Books, Vanity Fair, Time, Newsweek atau The Economist. Di Melbourne sangat mudah mencari koran dan majlah berbahasa Arab, seperti Asy Syarq Al Awsat, karena di sana banyak imgran berasal dari Timur Tengah. Di setiap toko buku, saya selalu menjumpai majalah yang dibungkus rapat2, sama sekali tak terlihat sampul depannya. Saya tahu, itu adalah majalah pornografi. Video porno sangat susah didapat di toko2 biasa, kecuali di toko2 "Sex Shop" yang tidak bisa dimasuki kecuali oleh orang yang berumur di atas 18 tahun. Bandingkan dengan keadaan di Glodok, di mana CD porno dijual bebas hampir tanpa pengawasan.. Itu adalah salah satu alinea artikel tentang contoh kebijakan dan respon masyarakatnya. a. Apa yang dapat anda simpulkan dari artikel di atas dari sudut hukum pranata pembangunan? b. Bagaimana kita harus mulai menegakkan hukum pranata dalam pembangunan? Afektif BEKERJA KERASLAH, ANDA AKAN BERTAHAN HIDUP. BEKERJA CERDASLAH, ANDA AKAN SUKSES. BEKERJA IKHLASLAH, ANDA AKAN BAHAGIA UJIAN AKHIR SEMESTER JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS IGM PALEMBANG Mata Kuliah Tanggal Waktu SKS Bobot Sifat Dosen Penguji : : : : : : : PRANATA PEMBANGUNAN Selasa, 01 Pebruari 2011 09.50- 11.30 WIB (100 menit) 2 50% Close book Bambang Wicaksono, ST, MT. Palembang Berkembang Menyalahi Kodrat… Kompas, Published on Friday, 18/06/2010 00:35:51 by editor | Sejarah zaman Kerajaan Sriwijaya sampai masa penjajahan Belanda sebenarnya cukup jelas menggambarkan, idealnya seperti apa kota Palembang dikembangkan. Sebutan Venice from the east yang pernah disandang ibu kota. Sumatera Selatan ini semakin menguatkan kekhasan kota yang dibelah dan dikelilingi Sungai Musi dan anak-anak sungainya. Sayangnya, pola pembangunan pada era lalu sangat kuat dengan visi Penyeragaman. Alhasil, Palembang yang kodratnya lebih tepat menjadi kota sungai dibentuk sedemikian rupa menjadi kota daratan sebagaimana kota-kota lain di Pulau Jawa. Aliran sungai di sejumlah tempat menjadi sempit, bahkan tertutup, rawa-rawa pun ditimbun. Lalu ketika hujan turun, genangan air dan banjir terjadi di mana-mana. Kurang baiknya penataan kota adalah masalah utama Kota Palembang yang dampaknya membias ke mana-man. Berbagai permasalahan sosial yang muncul, mulai dari maraknya pengemis jalanan, PKL yang sulit diterbitkan, sampai arus lalu lintas yang di beberapa tempat terasa semrawut, tidak terlepas dari soal penataan kota yang sejak awal kurang tepat. Akibatnya, ketika desakan penduduk dan aktivitas ekonomi menuntut kota dikembangkan semakin pesat, berbagai permasalahan sosial pun muncul ke permukaan. Upaya menyelesaikan persoalan sosial tersebut, pada praktiknya seringkali dilakukan secara parsial sehingga yang terjadi adalah kucing-kucingan antara petugas penertiban dengan mereka yang dianggap melanggar ketertiban kota. Akan tetapi, untuk mengubah apa yang sudah ada selama ini, jelas tidak mudah. Apalagi ketika visi dan perencanaan yang matang juga tidak muncul ke permukaan dan menjadi bahan kajian seluruh stakeholder kota ini. Upaya mengembangkan Kota Palembang menjadi lebih rumit ketika ada dua pemerintahan di Kota ini, yaitu pemerintahan kota dan pemerintahan provinsi. Masing-masing mempunyai aset dan pemikiran sendiri-sendiri, meskipun terbungkus rapi dalam kata koordinasi, Salah satu contoh nyata adalah pengembangan kawasan Seberang Ulu atau lebih spesifik lagi kawasan yang sekarang dinamai Jakabaring. Sebagai ibu kota provinsi, Palembang dihadapkan pada berbagai pilihan sulit untuk mengembangkan diri. Fasilitas pelayanan umum warga kota, seperti air bersih dan listrik, masih menjadi kendala utama. Listrik di kota ini yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi kekurangan daya di seluruh Sumatera Bagian Selatan(Sumbagsel), kerapkali mati karena kekurangan daya akibatnya, sering menjadi pertanyaan para investor, bagaimana kebutuhan bisa dipenuhi jika konsumen listrik yang ada sekarang saja belum terlayani sepenuhnya. Begitu pula dengan air bersih. PDAM Tirta Musi Palembang baru bisa melayani 40 persen warga Kota Palembang. Itu pun kualitas airnya untuk sejumlah tempat masih sering dikeluhkan warga karena keruh dan bau. Padahal, sumber mata air untuk Palembang sangat melimpah karena Sungai Musi dan berbagai anak sungainya mengelilingi kota ini. Yang luar biasa adalah daya tarik aktivitas perdagangan yang ternyata jauh lebih kuat untuk menarik investor ketimbang berbagai kendala yang ada. Hal ini bisa terlihat dari maraknya pembangunan ruko, mal, pusat perbelanjaan, dan hotel. Gairah ekonomi di Kota Palembang pun kian terpacu begitu menyadari kota ini jauh tertinggal dari kota-kota besar lainnya di Indonesia. Meskipun demikian, berbagai pembangunan tempat-tempat kegiatan ekonomi itu kurang didukung dengan perhitungan yang nyata mengenai sampai seberapa banyak tempat itu dibutuhkan. yang potensial akan terjadi adalah banyaknya ruko dan mal yang tidak bisa memberikan pemasukan yang semestinya, karena kondisi riil sebagian besar masyarakat Palembang sesungguhnya belum terlalu membutuhkan berbagai produk, jasa, dan fasilitas yang terbilang mewah tersebut. Dalam bahasa ekonomi, demand-nya belum setinggi supply. Untuk meningkatkan demand tersebut, harapannya ada pada sejauh mana orang dari daerah lain tertarik dan mau tinggal dan hidup di Palembang. Untuk itulah, kembali persoalan penataan kota menjadi sangat penting karena siapa pun akan lebih memilih kota yang tertata indah, sarana/prasarana umum tersedia dan memadai, serta tingkat keamanan dan ketertiban yang lebih baik. Dari sisi geografis, Palembang sebenarnya mempunyai keunggulan dibanding banyak kota besar lainnya di Indonesia, yaitu kekhasannya sebagai Venice from the east. Kalau saja kodrat kota ini bisa diwujudkan, Palembang bisa menjadi kota perdagangan sekaligus kota wisata yang menarik lebih banyak lagi orang untuk datang ke kota ini. Masalahnya adalah dibutuhkan perjuangan sangat besar dan tidak sebentar untuk mengembalikan Palembang ke kodratnya. Siapa yang mampu? Warga Palembang sendiri yang harus menjawab. (Rakaryan S./Redaksi) soal 1. Jelaskan akar permasalahan artikel di atas? Bagaimana solusi kebijakannya? Psikomotorik 2. Apa yang dapat anda simpulkan dari artikel di atas dari sudut pranata pembangunan? Afektif __HAKEKAT PENDIDIKAN ADALAH MERINTIS PERUBAHAN. UNIVERSITAS SEHARUSNYA ADA DI GARIS TERDEPAN DALAM MEMPERJUANGKAN NILAI-NILAI KEBENARAN, KEADILAN, DAN KEJERNIHAN AKAL-BUDI. PENDIDIKAN MENGEMBANGKAN KOGNISI (PENGETAHUAN), PSIKOMOTORIK (KETRAMPILAN), DAN YANG PALING PENTING ADALAH AFEKSI (SIKAP)__ __LET’S BE MAKE INDONESIA STRONG FROM EDUCATION__ __JAWABAN DARI SUATU MASALAH, ADA DALAM MASALAH ITU SENDIRI (arsitek LOUIS SULLIVAN)__ __TIADA TEORI CANGGIH UNTUK SOLUSI MENUNDA-NUNDA PEKERJAAN SELAIN KERJAKAN__ UJIAN AKHIR SEMESTER JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI PALEMBANG Mata Kuliah : PRANATA PEMBANGUNAN SKS : 2 Semester : VII Bobot : 30% Ruang : 7 Sifat : Open book Tanggal : Selasa, 7 Pebruari 2012 Dosen Penguji : Bambang Wicaksono, ST, MT. Waktu : 9.50 – 11.30 WIB (100 menit) - - - - SOAL CERITA: Saya sudah berkali2 ke luar negeri, dan tiap kali balik dari luar negeri, satu hal selalu berdentang2 dalam benak saya: kok begitu normalnya negeri2 Barat itu, negeri2 yang oleh sebagian orang Islam fundamentalis dianggap sebagai "negeri kafir" tempat berkecamuknya kebejatan moral dan sebagainya. Saya tidak mengabaikan kenyataan bahwa negeri Barat seperti Australia itu jelas mengandung banyak masalah di dalam dirinya. Tetapi, negeri itu mengagumkan sebagai sebuah sistem hidup. Perlindungan terhadap keragaman ras dan agama dan bagaimana jaminan yang diberikan oleh negara kepada keragaman itu luar biasa rumit dan menunjukkan satu hal: bahwa akal manusia jika diberi keleluasaan untuk berkembang, akan dapat menciptakan sistem kehidupan yang memuliakan martabat manusia. (Sudah tentu, akal yang sama bisa berbuat kerusakan). Hal2 sederhana, fisikal, dan sangat mencolok dari negeri itu adalah keberhasilannya untuk menciptakan sejumlah aturan yang menjamin "public comfort". Contoh sederhana yang memukau saya adalah bahwa kita bisa meminum "air mentah" langsung dari kran. Sebetulnya hal ini sudah bisa dicapai oleh negeri tetangga kita, Singapura, dan merupakan hal yang normal di hampir semua negeri barat. Betapa "mewahnya" pengalaman itu bagi seorang seperti saya yang tinggal di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang salah satu ajarannya adalah "Bersih itu adalah Sebagian dari Iman", tetapi dalam kehidupan sehari-hari tak pernah bisa memakai air ledeng untuk mandi (hanya untuk mencuci pakaian saja), boro-boro untuk minum. Sekali lagi: meminum air kran. Masyaallah! Sudah lusinan saya mengunjungi negeri Islam, tetapi tak satupun negeri itu yang menyediakan kran yang bisa saya minum langsung airnya. Termasuk "negeri" Pasuruan di Jawa Timur, satu-satunya kota "Islam" di seluruh dunia yang jargonnya adalah "An Nadzafatu minal Iman", bersih itu adalah bagian dari Iman. Saya tidak tahu, bagaimana budaya kebersihan ini berhasil dicapai di negeri Kanguru itu. Tetapi yang jelas, kebersihan itu begitu merata dan sudah menjadi "barang normal". Bahkan di pasar umum yang biasanya kita maklumi kalau agak sedikit kotor, juga kebersihan tetap terjaga. Di Melbourne kemaren, kebetulan saya tinggal di apartemen kecil dekat pasar yang terkenal mural di Victoria, yaitu Victoria Market atau dikenal dengan Vic Mart. Inilah pasar yang paling sering dikunjungi oleh Arif Budiman karena murahnya. Ini adalah semacam Tanah Abang-nya Melbourne. Segala hal bisa ditemui di pasar itu: segala jenis souvenir, baju, sepatu, jaket, mainan anak-anak, perhiasan, tumbuh-tumbuhan, bunga, buah2an, binatang, daging, ikan, wine, dsb. Dengan keragaman barang yang dijual di pasar itu, tetap saja kondisinya bersih. Hari minggu kemaren, saya pergi ke pasar ikan Muara Karang, beli ikan segar dan langsung dimasak di tempat. Kotornyaaaaaa......minta ampun. Jarak antara Muara Karang dan Vic Mart di Melbourne dalam hal kebersihan adalah persis dengan jarak antara kota-kota Eropa pada abad pertengahan yang kotor dan bacin dengan kota-kota Islam yang bersih dan "beradab" di Gharnatha (Grenada), Isybilia (Sevilla), Qurthubba (Cordova), Qoirawayn, dan Isfahan. Peradaban memang berputar persis seperti roda. Sekarang ini, Islam persis berada di titik nadir dalam segala hal, termasuk dalam hal elementer yang "tak elementer", yaitu soal minim air dari kran itu. Contoh lain adalah trotoar. Salah satu hal yang paling saya nikmati ketika berkunjung ke negeri barat, termasuk Australia, adalah trotoar yang luas, nyaman, dan enak untuk berjalan-jalan, dan cuci mata. Juga "public square" atau lapangan umum tempat orang-orang bisa melepaskan lelah dengan santai, bebas dari kerutinan hidup yang menyesakkan. Kita, di Jakarta, menyaksikan suatu pemandangan tragis setiap hari: lapangan umum selalu diserobot entah oleh pemerintah (misalnya, lapangan Monas yang dipagari oleh Bang Yos untuk menangkar rusa), para kapitalis besar (untuk membangun mall), atau pedagang kecil (seperti jalan di Pasar Jatinegara yang 2/3-nya habis oleh lapak atau tenda tempat berjualan). Sikap penduduk Australia yang menyenangkan dan saya pandang sangatlah "Islami" adalah kedermawanan untuk selalu mengucapkan "thank you" kepada siapa saja yang telah melayaninya, sekurang-kurangnya inilah yang saya lihat di Melbourne. Setiap turun dari trem atau bus, penumpang biasanya akan mengucapkan "thank you", meskipun dia keluar dari pintu belakang dan jauh jaraknya dari Pak Sopir. Saya mengelus dada, ingat betapa hampir semua penumpang di Jakarta umumnya menumpahkan serapah ke sopir2 Metro Mini, Mayasari Bhakti dan bus kota lain. Setiap saya mau menyeberang jalan, umumnya para sopir akan memberikan jalan terlebih dulu pada saya. Dan benar, pedestrian atau pejalan kaki di negeri2 barat itu umumnya dimanjakan luar biasa. Hampir semua aturan ditegakkan dengan baik (tentu pelanggaran ada di sana-sini, wong namanya dunia), sehingga kehidupan benar2 tertib. Pengalaman yang mencolok karena begitu tertibnya adalah kehidupan di jalan raya. Kesabaran sopir menunggu antrian luar biasa mengagumkan. Jarang saya melihat adegan serobot yang biasa kita saksikan di Jakarta. Parkir diatur sedemikian rupa sehingga orang tidak bisa memonopoli tempat parkir. Mencari parkiran termasuk pekerjaan yang susah di Melbourne, selain tarifnya yang mahal, sehingga mengendori orang2 untuk memiliki mobil, dan dengan demikian mengurangi jumlah kendaraan di jalan umum. Sebagai kompensasinya, pemerintah menyediakan transportasi umum yang cepat, terjangkau, aman dan sangat nyaman. Setiap pelanggaran akan dikenai denda yang sangat berat dan mahal. Parkir melebihi waktu yang disediakan, kena denda tak kurang dari $100. Ngebut melebihi 100 - - - - - km/j bisa kenda denda $160. Lihatlah perangai para pengendara mobil di tol Jagorawi yang, mentang2 karena mobilnya BMW, menggenjot gas hingga mencapai kecepatan 150 km/j. Dan kalau anda berjalan malam hari, sopir2 yang ngebut itu suka menyorot anda dari belakang dengan lampu tinggi, berkali-kali, memberi isyarat agar anda minggir, seolah2 jalan tol itu adalah warisan neneknya di Wonosobo sana. Mobil2 yang ngebut itu juga termasuk mobil yang di dalamnya bergelantung pelbagai jenis asesori, mulai dari tasbih, gantungan dengan tulisan Allah dan Muhammad, ayat kursi, atau sekedar gambar Ka'bah atau anak kecil "lugu" pakai peci hitam. Sudah tentu juga asesori lain yang "non Islam", seperti salib dan gambar Yesus, atau Bunda Maria, atau lempengan bundar bergambar binatang yang melambangkan sio dalam tradisi Cina. Semuanya ngebut, membahayakan nyawa pengendaranya sendiri, juga nyawa orang lain, tanpa ada denda apapun. Inilah negeri dengan penduduk mayoritas beragama Islam, dengan kebiasaan tingkah laku yang lebih "bebas" dan "liberal" dari negeri bebas manapun! Saya sering mendengar retorik para dai yang mengkritik negeri2 barat karena membiarkan seks bebas dan pergaulan laki2 perempuan tanpa batas. Saya kira kritik itu ada benarnya untuk sebagian, tetapi tidak benar untuk sebagian yang lain. Yang tidak benar itu misalnya ini. Saya berkali-kali pergi ke toko buku, dan selalu mendatangi konter tempat majalah untuk mencari2 jurnal atau majalah edsi terakhir yang menarik. Di mana2, biasanya saya selalu mencari edisi terakhir dari Foreign Affairs, New Yorker, New York Review of Books, Vanity Fair, Time, Newsweek atau The Economist. Di Melbourne sangat mudah mencari koran dan majlah berbahasa Arab, seperti Asy Syarq Al Awsat, karena di sana banyak imgran berasal dari Timur Tengah. Di setiap toko buku, saya selalu menjumpai majalah yang dibungkus rapat2, sama sekali tak terlihat sampul depannya. Saya tahu, itu adalah majalah pornografi. Video porno sangat susah didapat di toko2 biasa, kecuali di toko2 "Sex Shop" yang tidak bisa dimasuki kecuali oleh orang yang berumur di atas 18 tahun. Bandingkan dengan keadaan di Glodok, di mana CD porno dijual bebas hampir tanpa pengawasan. Kesimpulan saya: maksiat (perbuatan buruk) pun kalau diatur dengan regulasi yang baik, tidak akan menimbulkan dampak buruk. Sebaliknya, ibadah kalau tak diregulasi, juga bisa menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Contohnya, ibadah haji yang selalu memakan korban setiap tahun, karena pengaturan yang jelek. Jadi intinya: regulasi. Saya sadar sepenuhnya, bahwa negeri2 barat bukanlah sorga yang memberikan tempat tinggal nyaman dan bebas dari masalah. Tetapi, dengan seluruh masalah yang secara patologis terdapat secara inheren dalam kehidupan di barat (di Melbourne, saya bahkan sempat membeli buku karangan sosiolog yang sedang naik daun, Zygmunt Bauman, yang dengan cemerlang menunjukkan pathos atau penyakit dalam modernitas yang bersumber di Barat, "Modernity and the Holocaust"); sekali lagi, dengan seluruh masalah itu, saya tetap memandang bahwa kehidupan di sana termasuk salah satu kehidupan yang mutunya sangat tinggi, di mana sistem yang rumit dibangun dengan cukup sabar dan gradual untuk tujuan pokok, yaitu memuliakan manusia. Di penghujung abad 19, Abduh dan Afghani berkunjung dan tinggal sementara waktu di Paris. Abduh takjub luar biasa dengan tingkat peradaban di kota itu. Beberapa tahun setelah itu, Rifa'a Badawi Rafi' Al-Tahtawi (1801-73), seorang ulama dari Kairo, tinggal di kota yang sama dan menuliskan kesan2nya mengenai Paris dalam bukunya yang terkenal, Takhlis al-ibriz ila talkhis Bariz. Mari kita ikuti sejenak kesan2 Tahtawi sebagaimana dilaporkan oleh Albert Hourani dalam bukunya "Arabic Thought in Liberal Age" (hal. 71): "Tahtawi was not an uncritical admirer --the French, he thought, were nearer to avarice than to generosity, and their men were slaves of their women-- but he found much to praise: cleanliness, the careful and prolonged education of children, love of work and disapproval of laziness, intellectual curiosity ('they always want to get to the root of the matter'), an above all their social morality. Loving change in outward appearances, unstable in little things, they were steadfast in great: their political convictions were unchanging, and in personal ralations they trusted each other and rarely betrayed." Di awal abad 21 ini, saya masih tetap memandang barat dengan penuh kekaguman. Saya mencoba memandang dalam kehidupan barat sejumlah segi positif yang dapat dipelajari oleh umat Islam, dan sejenak berusaha mengabaikan retorika yang sudah terlanjur menjadi klise di dunia Islam tentang barat sebagai arena seks bebas, politik standar ganda, dst. Edisi terakhir majalah Granta bertajuk "What We Think of America", berisi kesaksian sejumlah pengarang terkenal dunia (sayangnya tak ada yang mewakili Indonesia, hanya ada satu dari kawasan Melayu, yaitu Karim Raslan dari Malaysia). Umumnya kesaksian itu mempunyai nada yang sama: Amerika sebagai sumber kekaguman dan kebencian sekaligus. Dunia Islam akhirakhir ini menampakkan kebencian yang kian menonjol kepada Amerika (dan barat secara umum), dan kurang berani mengeksplorasi segi2 dalam dunia barat yang layak menerbitkan rasa kagum. SOAL: Baca dan pahamilah artikel di atas sebelum menjawab soal berikut ini. Artikel tersebut berisi tentang contoh kebijakan dan respon masyarakatnya. a. Apa yang dapat anda simpulkan dari artikel di atas dari sudut pranata pembangunan? Psikomotorik b. Bagaimana kita harus mulai menegakkan pranata dalam pembangunan? Afektif BEKERJA KERASLAH, ANDA AKAN BERTAHAN HIDUP. BEKERJA CERDASLAH, ANDA AKAN SUKSES. BEKERJA IKHLASLAH, ANDA AKAN BAHAGIA