penguatan kesadaran beragama dalam masyarakat pluralistik

advertisement
Oleh: Yayuk Sri Rahayu, S.Ag.
TAAT BERAGAMA
MAJU SEJAHTERA
TOLERANSI TINGGI
PENUH
KEHARMONISAN
DALAM
KEHIDUPAN
BERMASYARA
KAT,
BERBANGSA
& BERNEGARA
DEMI
KEUTUHAN
BIMBINGAN, PEMAHAMAN
PELAYANAN &
PENGAMALAN
PENGHAYATAN MORAL &
ETIKA
PENDIDIKAN &
KESELARASAN PEMAHAMAN
RASA TOLERANSI, CIPTAKAN
KEHARMONISAN
PEMBERDAYAAN UMAT &
KELEMBAGAAN
Undang-Undang Dasar 1945
mengamanatkan agar
Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan
satu sistem pengajaran
nasional yang diatur
dengan undang-undang.
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang berlaku sejak tanggal 27
Maret 1989, yang kemudian diperbaharui dengan
Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003.
BERKEMBANGNYA POTENSI PESERTA
DIDIK AGAR MENJADI MANUSIA YANG:
1. BERIMAN DAN BERTAKWA
KEPADA TUHAN YME,
2. BERAKHLAK MULIA,
3. SEHAT,
4. BERILMU,
5. CAKAP,
6. KREATIF,
7. MANDIRI,
8. MENJADI WARGA NEGARA
YANG DEMOKRATIS SERTA
BERTANGGUNG JAWAB.
PENDIDIKAN NASIONAL
BERFUNGSI :
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN
DAN MEMBENTUK WATAK SERTA
PERADABAN BANGSA YANG
BERMARTABAT DALAM RANGKA
MENCERDASKAN KEHIDUPAN
BANGSA
UMAT BUDDHA SEBAGAI BAGIAN DARI KOMPONEN BANGSA,
BERKEWAJIBAN TURUT SERTA DALAM MENGEMBANGKAN
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN KEAGAMAAN BUDDHA
1.
PASAL
42
Pendidikan
keagamaan
Buddha
diselenggarakan oleh masyarakat
pada jalur pendidikan non formal
dalam bentuk nprogram Sekolah
Minggu Buddha, Pabbajja Samanera,
dan bentuk lain yang sejenis
2. Pengelolaan satuan pendidikan
keagamaan Buddha dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah,
dan/ atau masyarakat
1. Pabbajja Samanera merupakan pendidikan nonformal
yang
diselenggarakan oleh sangha atau majelis
keagamaan Buddha bertempat di vihara/cetiya yang
diperuntukkan khusus bagi Samanera, Samaneri,
Silacarini, Buddhasiswa, dalam rangka peningkatan
kualitas keimanan dan ketakwaan
PASAL
43
2.
Pabbajja
Samanera
bertujuan
untuk
menanamkan disiplin pertapaan sesuai dengan
ajaran Sang Buddha dalam meningkatkan
kualitas keimanan umat Buddha
3.
Pabbajja Samanera dilaksanakan
kurangnya 2 (dua) minggu)
sekurang-
4. Peserta didik Pabbajja Samanera, meliputi anak-anak, remaja, dan
dewasa
5. Kurikulum Pabbajja Samanera meliputi riwayat hidup Buddha Gotama,
Etika Samanera, pokok-pokok dasar agama Buddha, parita/mantra,
meditasi, kedharmadutan, dan materi penting terkait lainnya
6. Pendidik pada Pabbajja Samanera mencakup para Bhikkhu/bhikkhuni, Pandita,
Pendidik Agama, atau yang berkompetensi
PASAL 44
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sekolah Minggu Buddha merupakan kegiatan belajar mengajar
nonformal yang dilaksanakan di vihara atau cetiya setiap hari
minggu secara rutin
Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan
saddha/sradha dan bakti peserta didik dalam rangka
meningkatkan keimanan umat Buddha secara berkesinambungan
Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan secara berjenjang atau
tidak berjenjang
Sekolah Minggu Buddha merupakan pelengkap atau bagian dari
pendidikan agama pada satuan pendidikan formal
Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat bahan kajian
Paritta/Mantram, Darmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama
Buddha
Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddha mencakup
mencakup para Bhikkhu/bhikkhuni, Pandita, Pendidik Agama, atau
yang berkompetensi
1. MENINGKATKAN PENGETAHUAN
SISWA UNTUK
MENGEMBANGKAN DIRI AGAR
SEJALAN DENGAN
PERKEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN , TEKNOLOGI
DAN KESENIAN YANG DIJIWAI
AJARAN AGAMA BUDDHA
2. MENINGKATKAN KEMAMPUAN
SISWA SEBAGAI ANGGOTA
MASYARAKAT DALAM
MENGADAKAN HUBUNGAN
TIMBAL-BALIK DENGAN
LINGKUNGAN SOSIAL, BUDAYA
DAN ALAM SEKITARNYA YANG
DIJIWAI AJARAN AGAMA BUDDHA
1.
2.
3.
MENGAJARKAN
TENTANG SADDHA
(SRADHA)
RIWAYAT HIDUP
BUDDHA GOTAMA
CERITA-CERITA
KELAHIRAN
BODHISATTVA,
KISAH BHIKKHU,
KISAH-KISAH
ORANG SUCI.
1.
PENGENALAN
KITAB SUCI
TRIPITAKA
2.
LAMBANG’S
ATAU SIMBOL
AGAMA BUDDHA
3.
TEMPAT’S SUCI
AGAMA BUDDHA
1.
SILA DAN
MORALITAS
2.
HUKUM’S
KESUNYATAAN
3.
KEMASYARAKA
TAN BUDDHIS
4. DLL.
1. MENANAMKAN POLA PIKIR
BUDDHIS DAN KASIH SAYANG
SEJAK DINI
2. MEMBIASAKAN SIKAP SANTUN
DALAM KELUARGA SEJAK KECIL
3. SEBAGAI FIGUR/TAULADAN BAGI
ANAK-ANAK
4. TIDAK BERBICARA KASAR
DIHADAPAN ANAK-ANAK
5. MENYELESAIKAN PERMASALAHAN
SECARA KEKELUARGAAN
Peranan yang sangat penting dalam mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa, serta kedamaian hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka para
pendiri-pendiri bangsa memasukkan peraturan tentang
kekebasan memeluk agama dan melaksanakan ibadah
sesuai dengan agamanya masing-masing yang tertuang
dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Melalui
peraturan
tersebut
pemerintah
bermakasud
memberikan pedoman sekaligus melindungi kebebasan
memeluk agama dan melaksanakan ibadahnya, tanpa
adanya
gangguan
dari
pemeluk
lainnya.
Toleransi kehidupan umat beragama pada zaman
kerajaan Majapahit telah berhasil membuktikan pada
sejarah bahwa Majapahit berhasil menyatukan nusantara
dan membawanya ke masa kejayaannya, karena adanya
toleransi hidup beragama, yakni kerukunan hidup agama
Hindu Siwa dengan agama Buddha. Seorang pujangga
besar Buddhis telah menyusun Buku Sotasoma yang di
dalamnya memuat sebuah slogan kerukunan hidup
beragama yang masyarakatnya pluralistik pada masa itu,
yang berbunyi: “Siwa Buddha Bhinnekkha Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mangrwa” yang berarti Hindu dan
Buddha berbeda-beda tetap satu juga tidak ada
kebenaran
yang
mendua.
Penerapan kesadaran toleransi kehidupan beragama di
tengah masyarakat yang pluralisme khususnya bagi umat Buddha
lebih didasarkan pada pengembangan diri. Buddha Gotama atau
Sakyamuni Buddha dalam ajarannya senantiasa menekankan pada
kesadaran diri dari setiap individu untuk membangun
pengembangan batin yang luhur. Untuk membangun batin yang
luhur, maka Buddha Gotama mengajarkan tentang tentang 2 (dua)
Dhamma
(Kebenaran)
pelindung
dunia
yang
harus
ditumbuhkembangkan dalam diri setiap umat Buddha, yaitu: 1)
Hiri (rasa malu berbuat jahat) dan 2) Ottapa (Takut akan akibat
perbuatan jahat). Bila setiap orang mengembangkan Hiri dan
Ottapa dalam hidupnya, maka tidak pernah ada perselisihan dan
pertikaian
di
dalam
keluarga,
bahkan
masyarakat.
Setiap keluarga tentram dan masyarakat damai, maka bangsa dan
Negara
aman,
sehingga
dunia
damai.
Mari kita awali dari diri kita. Bila kita ingin hidup damai, maka
kembangkanlah cara hidup yang benar bagi diri kita. Jangan pernah
menuntut orang lain seperti apa yang kita mau, namun tumbuh dan
kembangkan dalam diri untuk mengerti orang lain. Dengan demikian
hidup kita akan damai. Orang yang hidupnya senantiasa mengharap atau
menuntut orang lain mengikuti tuntutannya, maka dia sendiri tidak akan
damai, apalagi bagi orang lain yang di tuntut. Belajar mengerti orang lain
juga belajar hidup tenang. Sakyamuni Buddha telah banyak memberikan
ajaran kepada umat Buddha agar hidupnya damai ditengah kehidupan
masyarakat yang pluralistik. Umat Buddha agar senantiasa terjaga
moralitasnya, maka Sakyamuni Buddha memberikan Pancasila Buddhis
yang sila-silanya senantiasa diterapkan dalam kehidupan umat Buddha.
Pancasila Buddhis merupakan lima latihan moral yang menjadi pedoman
umat Buddha. Pancasila Buddhis tersebut sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami yang artinya Aku
bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup;
Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami yang artinya
Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang
tidak diberikan;
Kamesu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami yang
artinya Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan
asusila;
Musavada veramani sikkhapadam samadiyami yang artinya Aku
bertekad melatih diri menghindari ucapan dusta;
Sura-meraya-majja-pamadatthana
veramani
sikkhapadam
samadiyami yang artinya Aku bertekad melatih diri menghindari
minuman keras, barang madat yang menyebabkan lemahnya
kesadaran.1 Catatan Sangha Theravada Indonesia, Paritta Suci,
Halaman 26.
Selain pelaksanaan Pancasila Buddhis, Sang Buddha
Gotama telah mengajarkan pedoman moralitas bagi umat
Buddha seperti yang termuat dalam Sutta Pitaka, Digha
Nikaya, Pathika Vagga, Sigalovada Sutta. Sutta (Kotbah) ini
memuat tentang Kotbah Sang Buddha kepada Pemuda
Sigala yang memuja enam arah mata angin. Sang Buddha
menjelaskan kepada Pemuda Sigala bagaimana enam
arah
itu harus disembah dalam Buddha Dharma.
… “Demikianlah, kepala keluarga yang belia, perhatikanlah
kata-kata
kami
dan
kami
berbicara.”
“Baiklah, Bhante, “ jawab Sigala yang muda belia.
Sang
Bhagava
bersabda:
“ Sedemikian jauh, siswa Yang Ariya telah menyingkirkan
empat cacat dalam tingkah laku, duhai kepala keluarga
yang muda belia. Sebegitu jauh ia tidak melakukan
perbuatan-perbuatan jahat karena empat dorongan,
sebegitu jauh ia tidak mengejar enam saluran yang
menelan kekayaan. Demikianlah ia menjauhkan diri dari
empat belas cara jahat, dia itu pelindung enam arah, ia
telah terlatih sedemikian rupa untuk menaklukkan kedua
alam, ia telah terjamin untuk alam sini dan alam sana.
Pada saat hancurnya badan jasmani setelah mati, ia akan
tumimbal lahir dalam kehidupan bahagia di Surga.”
…” Dan dengan cara bagaimanakah, duhai kepala keluarga yang muda
belia, siswa Yang Ariya melindungi enam arah itu? Keenam arah itu
harus dipandang sebagai berikut:
1.
a.
1)
2)
3)
4)
5)
Ibu dan ayah sebagai arah Timur.
Dalam lima cara seorang anak
memperlakukan orang tuanya
sebagai arah Timur sebagai berikut:
Dahulu aku ditunjang oleh mereka,
sekarang aku akan menjadi
penunjang mereka;
Aku akan menjalankan kewajibanku
terhadap mereka;
Aku
akan
mempertahankan
kehormatan keluargaku;
Aku akan mengurus warisanku;
Aku akan mengatur pemberian
sesaji kepada keluargaku yang
telah meninggal.
Demikianlah arah Timur terlindung
untuknya, dibuat aman dan
terjamin.
b. Dalam lima cara orang tua yang
1)
2)
3)
4)
5)
diperlakukan demikian, sebagai arah
Timur menunjukkan kecintaan mereka
kepada anak-anaknya sebagai berikut:
Mereka mencegah ia berbuat
kejahatan;
Mereka mendorong supaya ia
berbuat baik;
Mereka melatih ia dalam suatu
pekerjaan;
Mereka melaksanakan perkawinan
yang pantas bagi anaknya;
Dan menyerahkan warisan pada
waktunya.
2. Para Guru sebagai arah Selatan.
a. Dalam lima cara siswa-siswi harus
1)
2)
3)
4)
5)
memperlakukan
guru
mereka
sebagai arah selatan sebagai berikut:
Dengan bangun dari tempat
duduk
mereka
(memberi
hormat);
Dengan melayani mereka;
Dengan tekad baik untuk belajar;
Dengan memberi persembahan
kepada mereka;
Dan
dengan
memberikan
perhatian
sewaktu
diberi
pelajaran.
b. Dan dalam lima cara guru akan
diperlakukan demikian sebagai arah
Selatan akan berbuat kepada muridmuridnya sebagai berikut:
1)
Mereka melatih siswa itu sedemikian
rupa, sehingga ia terlatih dengan baik;
2)
Mereka membuat ia menguasai apa
yang telah diajarkan;
3)
Mereka mengajarnya secara
mendalam ilmu pengetahuan dan
kesenian;
4)
Mereka bicara baik tentang muridnya
diantara sahabat dan kawankawannya;
5)
Mereka memperlengkapi muridnya
demi keamanan dalam setiap arah.
Demikianlah arah Selatan terlindung untuknya, dibuat aman
dan terjamin.
3. Isteri dan anak sebagai arah
Barat.
Dalam lima cara seorang isteri
harus diperlakukan sebagai
arah Barat oleh suaminya:
1) Dengan perhatian;
2) Dengan keramah-tamahan;
3) Dengan kesetiaan;
4) Dengan
menyerahkan
kekuasaan kepadanya;
5) Dengan memberikan barangbarang perhiasan kepadanya.
a.
b.
1)
2)
3)
4)
5)
Dalam lima cara ini sang isteri
membalas cinta suaminya sebagai
arah Barat:
Kewajiban-kewajibannya
dilakukan
dengan
sebaikbaiknya;
Berlaku ramah-tamah kepada
sanak keluarga dari kedua pihak;
Dengan kesetiaannya;
Menjaga barang-barang yang ia
bawa;
Pandai dan rajin mengurus segala
pekerjaan rumah.
Demikianlah arah Barat ini terlindung untuknya, dibuat aman dan
terjamin.
4. sahabat dan kawan sebagai arah Utara.
a. Dalam
lima cara anggota keluarga
memperlakukan sahabat dan
kawannya sebagai arah Utara:
1) Dengan murah hati;
2) Ramah-tamah;
3) Berbuat untuk kebahagiaan
mereka;
4) Memperlakukan mereka
bagaikan memperlakukan diri
sendiri;
5) Menepati janji.
Diperlakukan dalam lima cara ini,
sebagai arah Utara, sahabat dan
kawan-kawan akan mencintainya:
1) Melindunginya, jika ia tidak
siaga;
2) Dan dalam keaddaan yang
demikian
menjaga
harta
bendanya;
3) Dalam
bahaya
ia
dapat
berlindung pada mereka;
4) Mereka tidk akan meninggalkan
dia dalam kesulitan;
5) Mereka
Menghormati
keluarganya.
b.
Demikianlah arah Utara terlindung
untuknya, dibuat aman dan terjamin.
5. Pelayan dan buruh
sebagai arah Bawah.
a. Dalam lima cara majikan akan
memperlakukan pelayan dan
buruhnya sebagai arah Bawah:
1) Memberikan tugas yang
2)
3)
4)
5)
sesuai dengan kemampuan
mereka;
Memberikan makanan dan
upah kepada mereka;
Merawat mereka sewaktu
sakit;
Membagi mereka makanan
yang istimewa;
Memberikan mereka liburan
pada waktu tertentu.
Demikianlah arah Bawah
terlindung untuknya,
dibuat aman dan terjamin.
b. Diperlakukan dalam lima cara
itu, pelayan dan pekerja akan
menjunjung majikan mereka
dalam lima cara:
1) Mereka bangun lebih pagi
daripada majikan mereka;
2) Mereka beristirahat setelah
majikan mereka beristirahat;
3) Mereka puas dengan apa yang
diberikan kepada mereka;
4) Mereka melakukan kewajiban
mereka dengan baik;
5) Di mana saja mereka akan
memuji majikan mereka.
6. Pertapa dan Brahmana
sebagai arah Atas.
a. Dalam lima cara seorang b. Diperlakukan demikian sebagai arah
atas, para samana dan brahmana
anggota
keluarga
harus
memperlakukan
para
anggota
memperlakukan para Samana
keluarga itu dalam enam cara:
dan Brahmana sebagai arah 1) Mereka mencegah anggota
atas:
keluarga melakukan kejahatan;
1) Dengan perbuatan yang 2) Mereka menganjurkan ia berbuat
kebaikan;
ramah-tamah;
mereka selalu terjaga
2) Dengan ucapan yang ramah- 3) Pikiran
terhadapnya;
tamah;
4) Mereka ajarkan apa yang belum
pernah ia dengar;
3) Dengan pikiran yang bersih;
4) Membuka pintu bagi mereka; 5) Mereka memperjelas apa yang
telah ia dengar;
5) Memberikan
mereka 6) Mereka menunjukkan jalan
keperluan kehidupan.
kehidupan ke Surga.
Dalam enam cara ini para pertapa dan
brahmana memperlihatkan cinta kasih
mereka
kepada
gharavasa
(perumah
tangga)….” 1
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha,
Penerbit CV. Dewi Kalyana Abadi, Jakarta, Tahun 2003.
Dharmadhiro, Bhikkhu, Paritta Suci, Penerbit Sangha Theravada
Indonesia, Jakarta, Tahun 2005.
Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya, Penerbit Buddhis Bodhi, Jakarta,
Tahun 1997.
U Ko Lay, Guide To Tripitaka, (“ Panduan Tripitaka” Alih Bahasa Dra.
Lanny Anggawati & Dra. Wena Cintawati), Penerbit Vihara
Buddhavamsa, Klaten, Tahun 2000.
Download