potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di

advertisement
TESIS
POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN
MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG
KABUPATEN BANYUWANGI
YANUAR RUSTRIANTO BUWONO
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN
MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG
KABUPATEN BANYUWANGI
YANUAR RUSTRIANTO BUWONO
NIM 1391261001
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN
MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG
KABUPATEN BANYUWANGI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Udayana
YANUAR RUSTRIANTO BUWONO
NIM 1391261001
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 7 JULI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. IPG Ardhana, M.AgrSc, SH.
NIP. 194911021976031001
Dr. Ir. Made Sudarma, MS.
NIP. 196007281986011002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister
Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS.
NIP. 196703031994031002
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K).
NIP.195902151985102001
iii
Penetapan Panitia Penguji
Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
pada Tanggal 29 Juni 2015
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor
: 1925/UN.14.4/HK/2015
Tanggal
: 23 Juni 2015
Panitia Penguji Penelitian Tesis adalah :
Ketua
: Prof. Dr. Ir. IPG. Ardhana, M.AgrSc, SH.
Anggota
:
1. Dr. Ir. Made Sudarma, MS.
2. Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.
3. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Sudana, M.Rur.Sc.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Yanuar Rustrianto Buwono
NIM
: 1391261001
Program Studi
: Magister Ilmu Lingkungan
Judul Tesis
: Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di
Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, Juni 2015
Yang membuat pernyataan,
Yanuar Rustrianto Buwono
NIM.1391261001
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Potensi Fauna
Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang
Kabupaten Banyuwangi” sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam penyelesaian Tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). Selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. IPG. Ardhana, M.AgrSc, SH. dan Bapak Dr. Ir. Made
Sudarma, MS. selaku dosen pembimbing I dan II, yang telah meluangkan
waktu kepada penulis untuk bimbingan dan masukan dengan penuh
kesabaran.
3. Bapak Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ida Bagus
Sudana, M.Rur.Sc., yang telah memberikan saran dan masukan pada saat
Seminar Hasil dan Ujian Penelitian Tesis.
4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Bapak Prof. Dr. I Wayan
Budiarsa Suyasa, MS., yang telah mendukung kelancaran studi penulis.
5. Seluruh Dosen dan staff Tata Usaha Program Studi Ilmu Lingkungan yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam mendalami studi Ilmu
Lingkungan.
6. Bapak Rusdianto dan Ibu Hermin Sri Wahyuni sebagai orangtua penulis. Istri,
Rita Yuliati dan anak, Dika Arsyl Ruswinata tercinta serta seluruh keluarga
yang telah memberikan doa, dukungan, bantuan moral material yang telah
diberikan dalam menempuh studi penulis.
7. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Balai Diklat Perikanan
Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Dinas Kelautan
dan Perikanan, Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan, Kecamatan
vi
Muncar, Kelompok Tani serta masyarakat pesisir Muncar yang telah
memberikan fasilitas sarana dan prasarana serta kemudahan dalam
menyelesaikan tesis ini.
8. Rekan-rekan sejawat Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, yang telah
banyak memberikan semangat, saran, dan dukungan kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu dalam penyusunan Tesis ini.
Penulis menyadari adanya keterbatasan pengalaman dan pengetahuan
sehingga Penelitian Tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu penyempurnaan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar Penelitian
Tesis ini lebih sempurna.
Denpasar, Juni 2015
Penulis
vii
ABSTRAK
Ekosistem mangrove berada di antara wilayah pesisir daratan dan lautan
yang mengalami perubahan secara terus menerus akibat aktivitas manusia
sehingga mempengaruhi fauna akuatik beberapa spesies ikan dan non ikan.
Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat indeks nilai penting dan
keanekaragaman mangrove, menganalisis kelimpahan, biomassa, keanekaragaman
dan kemerataan, serta penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove. Hasil
penelitian flora mangrove menunjukkan indeks keanekaragaman dalam kategori
sedang dengan indeks nilai penting famili Rhizophoraceae dan Sonneratiaceae
mendominasi pada semua fasenya. Fauna akuatik bernilai ekonomis ditemukan
berjumlah 21 jenis dari 15 famili. Kelompok fauna ikan ditemukan ikan bedul (A.
caninus) mempunyai kelimpahan dan biomassa sebanyak 975 ind sebesar
18.299,56 gr, sedangkan kelompok fauna non ikan ditemukan udang werus
(Metapenaeus sp.) mempunyai kelimpahan sebanyak 1.936 ind dan rajungan (P.
pelagicus) mempunyai biomassa sebesar 13.609,38 gr yang berasosiasi di
kawasan mangrove Teluk Pangpang. Indeks keanekaragaman fauna termasuk
dalam kategori sedang, sedangkan indeks kemerataan fauna tergolong kategori
tinggi. Pola penyebaran di bagian mulut teluk dengan adanya muara aliran sungai
Wagut ditemukan fauna berupa ikan pelagis dan demersal seperti famili
Mugilidae, Clupediae, Leiognatidae, Psettodidae. Pada bagian tengah teluk
berupa tepi tambak budidaya ditemukan kelompok ikan pelagis yaitu famili
Centropomidae, Polynemidae, Sillagidae. Sedangkan, pada bagian ujung teluk
dengan adanya aliran Sungai Setail ditemukan kelompok ikan demersal yaitu
famili Gobidae dan Platycephalidae.
Kata kunci: Keanekaragaman, Flora mangrove, Fauna, Biomassa
viii
ABSTRACT
Mangrove ecosystem located between terrestrial and marine coastal areas
are changing constantly due to human activities that affect the aquatic fauna
several species of fish and non-fish. The aim of research to determine the level of
importance and biodiversity index value of mangrove, analyze abundance,
biomass, biodiversity and equity, as well as the spread of aquatic fauna mangrove
forest ecosystem. Results of the study showed an index of biodiversity of
mangrove flora in the medium category with a relative importance value index
Rhizophoraceae and Sonneratiaceae dominate in all phases. Economically
valuable aquatic fauna found amounted to 21 species of 15 families. Groups of
fish fauna found bedul fish (A. caninus) have abundance and biomass as much as
975 ind at 18,299.56 gr, meanwhile the non fish fauna found werus shrimp
(Metapenaeus sp.) has an abundance of as much as 1,936 ind and biomass crabs
(P. pelagicus) have amounted to 13,609.38 gr associated in mangrove areas
Pangpang Bay. Fauna biodiversity index included in the medium category,
meanwhile the index of evenness fauna belonging in the high category. Dispersal
patterns at the mouth of the bay with the mouth of the river flow Wagut fauna
found in the form of pelagic and demersal fish such as family Mugilidae,
Clupediae, Leiognatidae, Psettodidae. At the center of the edge of the bay in the
form of aquaculture ponds found that pelagic fish group Centropomidae,
Polynemidae, Sillagidae family. Meanwhile, at the end of the bay with the river
flow Setail what the group found that demersal fish Platycephalidae and Gobidae
family.
Keywords: Biodiversity, Mangrove flora, Fauna, Biomass
ix
RINGKASAN
Yanuar Rustrianto Buwono, Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan
Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi di bawah
bimbingan I Putu Gede Ardhana dan Made Sudarma.
Kawasan Teluk Pangpang yang terletak di Kecamatan Muncar
Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur terdapat pengembangan kegiatan
perikanan, yang bertujuan untuk peningkatan pendapatan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan budidaya tambak, alat
tangkapan ikan, pelabuhan, industri pengolahan ikan. Tekanan lingkungan akibat
aktivitas manusia tersebut dapat mengurangi fungsi ekologis mangrove dan
mengganggu keberadaan fauna akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, sehingga dapat mempengaruhi potensi
fauna akuatik di ekosistem hutan mangrove.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat indeks nilai penting
dan keanekaragaman jenis vegetasi pada ekosistem hutan mangrove, menganalisis
tingkat kelimpahan dan biomassa, keanekaragaman dan kemerataan, serta pola
penyebaran fauna akuatik pada ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk
Pangpang, Kabupaten Banyuwangi.
Manfaat penelitian, bagi masyarakat sebagai bahan informasi yang
bermanfaat dan bahan masukan dalam upaya konservasi biota laut yaitu fauna
akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Bagi pemerintah sebagai
bahan informasi dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap
potensi fauna akuatik sehingga dapat menjadi masukan dalam mengambil
kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove. Bagi mahasiswa sebagai bahan
literatur dengan kajian-kajian lebih lanjut dalam potensi fauna akuatik kaitannya
dengan keberadaan vegetasi mangrove di masa yang akan datang.
Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung yaitu metoda
pengumpulan data dengan cara menjelajah dan mengidentifikasi lokasi penelitian
melalui pengamatan langsung secara cermat dengan berpedoman pada desain
penelitian di sekitar ekosistem mangrove dengan menentukan 3 (tiga) stasiun
sampling yang terletak di kawasan ekosistem mangrove Teluk Pangpang, yaitu:
Stasiun I berada di kawasan pesisir Tratas Kawang, terletak di bagian mulut teluk
dengan kondisi berupa daerah pemukiman, pelabuhan, area rehabilitasi dan muara
aliran sungai Wagut; Stasiun II berada di kawasan pesisir Muncing Krajan,
terletak di bagian tengah teluk dengan kondisi berupa tambak budidaya ikan,
daerah rehabilitasi dan agak berjauhan dengan muara Sungai Setail; Sedangkan
Stasiun III berada di kawasan pesisir Tegalpare, terletak di bagian ujung teluk
dengan kondisi berupa bekas tambak budidaya ikan dan berdekatan dengan muara
aliran sungai Setail, daerah pertanian yang mengalirkan limbah pertanian dan
limbah budidaya ikan.
Hasil penelitian kondisi mangrove menunjukkan secara keseluruhan pada
pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang mempunyai kriteria keanekaragaman
jenis yang bervariasi dan didominasi flora mangrove jenis Rhizophora mucronata
dari famili Rhizophoraceae dan Sonneratia alba dari famili Sonneratiaceae. Pada
daerah yang berdekatan dengan pemukiman dan muara aliran sungai Wagut, Jenis
x
R. mucronata mendominasi vegetasi mangrove dengan Indeks Nilai Penting pada
fase semai sebesar 231,92%, fase pancang 150,73%, dan fase pohon 133,95%.
Pada daerah yang berada di tepi tambak budidaya, S. alba mendominasi pada fase
semai sebesar 140,89%, fase pancang 168,01, dan fase pohon 192,73%.
Sedangkan, pada daerah yang berdekatan dengan sungai Setail jenis Ceriops tagal
mendominasi pada fase semai sebesar 259,87%, pada fase pancang Bruguiera
gymnorrhiza sebesar 102,10%, dan pada fase pohon S. alba sebesar 109,46%.
Hasil pengamatan kondisi fauna akuatik menunjukkan nilai indeks
keanekaragaman dalam kategori sedang dan nilai indeks kemerataan dalam
kategori tinggi. Fauna akuatik bernilai ekonomis penting di kawasan mangrove
ditemukan berjumlah 21 jenis dari 15 famili. Kelompok fauna ikan ditemukan
ikan bedul (A. caninus) mempunyai kelimpahan dan biomassa sebanyak 975 ind
sebesar 18.299,56 gr, sedangkan kelompok fauna non ikan ditemukan udang
werus (Metapenaeus sp.) mempunyai kelimpahan sebanyak 1.936 ind dan
rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa sebesar 13.609,38 gr yang
berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang.
Pola penyebaran fauna akuatik di ekosistem mangrove ditemukan daerah
yang berdekatan pemukiman dan muara aliran sungai Wagut, jenis R.mucronata
dan R.apiculata banyak ditemukan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup
pelagis dan demersal yaitu famili Mugilidae, Clupediae, Leiognatidae,
Psettodidae. Pada daerah yang berada di tepi tambak budidaya dan agak
berjauhan dengan muara sungai menyebabkan kondisi salinitas perairan tinggi
sehingga banyak ditemukan tegakan mangrove jenis S. alba dengan kelompok
ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Centropomidae,
Polynemidae, Sillagidae. Sedangkan, pada daerah yang berdekatan dengan sungai
Setail dan berada di ujung teluk didominasi tegakan mangrove jenis C. tagal, B.
gymnorrhiza, Avicennia marina, Acanthus illcifolius dan Xylocarpus moluccensis
yang terletak agak jauh dari garis pantai serta lebih berdekatan dengan daratan
menyebabkan banyak ditemukan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup
demersal yaitu famili Gobidae dan Platycephalidae.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................................. i
LEMBAR PRASYARAT GELAR .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................ iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................viii
ABSTRACT ...................................................................................................... ix
RINGKASAN .................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1.Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3.Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 4
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1.Kawasan Teluk Pangpang ...................................................................... 5
2.2.Potensi Biota Laut .................................................................................. 7
2.3.Ekosistem Mangrove............................................................................. 9
2.4. Luas dan Penyebaran Mangrove ......................................................... 10
2.5. Fungsi dan Manfaat Mangrove .......................................................... 12
xii
2.6. Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove .............................................. 13
BAB III.KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN .......... 16
3.1.Kerangka Berpikir ................................................................................ 16
3.2.Penelitian Terdahulu ............................................................................ 18
3.3.Konsep Penelitian ................................................................................ 19
BAB IV. METODA PENELITIAN ............................................................... 21
4.1.Rancangan Penelitian ........................................................................... 21
4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 21
4.3. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 22
4.4. Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel .................................... 23
4.5. Penentuan Sumber Data ...................................................................... 24
4.6. Bahan dan Instrumen Penelitian ......................................................... 24
4.7. Prosedur Penelitian ............................................................................. 25
4.8. Analisa Data ........................................................................................ 29
BAB V. HASIL PENELITIAN ...................................................................... 35
5.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 35
5.1.1. Kondisi lokasi penelitian........................................................... 35
5.1.2. Kondisi tekstur tanah ................................................................ 37
5.1.3. Kondisi perairan ........................................................................ 38
5.2. Analisis Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang... 40
5.2.1. Komposisi jenis vegetasi mangrove.......................................... 40
5.2.2. Kerapatan jenis vegetasi mangrove .......................................... 41
5.2.3. Frekuensi jenis vegetasi mangrove ........................................... 43
5.2.4. Luas penutupan jenis vegetasi mangrove ................................. 46
5.2.5. Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove ........................ 48
5.2.6. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove ............................. 49
xiii
5.2.7. Tingkat kerusakan vegetasi mangrove ...................................... 50
5.3. Analisis Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang .......... 50
5.3.1. Komposisi jenis fauna akuatik .................................................. 50
5.3.2. Kelimpahan dan biomassa jenis fauna akuatik ......................... 52
5.3.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik ........... 54
5.4. Analisis Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik .................................. 55
BAB VI. PEMBAHASAN............................................................................... 59
6.1. Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ................. 59
6.2. Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ........................ 69
6.3. Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik ................................................ 75
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 82
6.1. Simpulan ............................................................................................. 82
6.2. Saran ................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 84
LAMPIRAN ..................................................................................................... 89
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1. Daftar Jenis Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo Teluk Pangpang .... 6
3.1. Penelitian Terdahulu di Kawasan Teluk Pangpang ....................................... 18
4.1. Penentuan Sumber Data Penelitian ................................................................ 24
4.2. Baku Mutu Air untuk Biota Laut ................................................................... 33
5.1. Parameter Suhu, Salinitas, pH dan Tekstur Tanah ......................................... 38
5.2. Identifikasi Jenis Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ............................ 40
5.3. Jumlah Individu Mangrove per Fase di Kawasan Teluk Pangpang ............... 41
5.4. Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove .............................................................. 41
5.5. Kerapatan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove .................................................. 43
5.6. Frekuensi Jenis Vegetasi Mangrove............................................................... 44
5.7. Frekuensi Relatif Jenis Vegetasi Mangrove ................................................... 45
5.8. Luas Penutupan Jenis Vegetasi Mangrove ..................................................... 46
5.9. Luas Penutupan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove ......................................... 47
5.10. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove .................................................... 48
5.11. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Mangrove .............................................. 49
5.12. Tingkat Kerusakan mangrove Dilihat dari Kerapatan Vegetasi .................. 50
5.13. Kelimpahan Jenis dan Biomassa Fauna Akuatik ......................................... 53
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1. Peta Pengelolaan Aktivitas di Teluk Pangpang ............................................. 5
2.2. Hubungan Keterkaitan Komponen Ekosistem Mangrove.............................. 13
3.1. Alur Pemikiran Penelitian .............................................................................. 17
4.1. Titik Sampling Penelitian di Kawasan Mangrove ......................................... 22
4.2. Desain Penempatan Plot (Petak Contoh) Metoda Transek ............................ 27
4.3. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak ....................... 27
5.1. Alat Tangkap Trapped Net di Kawasan Teluk Pangpang .............................. 51
5.2. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Ikan ........................... 54
5.3. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Non Ikan ................... 55
5.4. Komposisi Famili Fauna Akuatik di Stasiun Pengamatan ............................ 56
5.5. Pola Sebaran Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove .................................. 56
6.1. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan I .................................................. 61
6.2. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan II ................................................. 63
6.3. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan III................................................ 64
6.4. Kerusakan Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ...................................... 68
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Pengamatan Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ............89
2. Hasil Pengamatan Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ....................92
3. Dokumentasi Kondisi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ....................95
4. Dokumentasi Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ..............96
5. Panduan Pasang Surut Kedalaman Air Laut di Banyuwangi ..........................98
6. Spesies Fauna Akuatik Di Kawasan Teluk Pangpang ....................................100
7. Hasil Pengolahan Analisis Korespondensi Kondisi Famili Fauna Akuatik ....101
8. Rekomendasi Izin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik ................103
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan lautan.
Wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air dan
masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan
air asin. Untuk wilayah laut di pesisir mencakup bagian lautan yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi seperti sedimentasi dan aliran
air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan
hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976). Kordi (2012), menjelaskan ekosistem
mangrove berada di antara wilayah pesisir bagian daratan dan lautan yang
mengalami perubahan secara terus menerus, sehingga berbagai biota di kawasan
mangrove memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan beradaptasi secara
berkesinambungan karena merupakan suatu ekosistem yang khas dan unik.
Ekosistem mangrove termasuk dalam ekosistem pantai yang terdapat pada
perairan tropik dan subtropik, serta menjadi penyangga sistem kehidupan fauna
akuatik karena menjadi tempat berasosiasinya sejumlah biota air. Pada ekosistem
ini serasah daun mangrove yang terdekomposisi (detritus) akan menjadi nutrien
yang dimanfaatkan oleh hewan pemakan detritus (detrivorus) seperti species ikan
dan crustacea (Supriharyono, 2007). Pengaruh dan tekanan terhadap habitat
mangrove yang bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal
hutan mangrove menjadi areal pemukiman, industri perikanan dan pertanian
menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove sehingga dapat
1
2
mengakibatkan kerusakan ekologi di pesisir, salah satunya di pesisir Muncar
Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi.
Sejak tahun 2000, lembaga pemerintah dan non pemerintah telah banyak
melakukan rehabilitasi dengan penanaman mangrove di sekitar kawasan tersebut
akibat kerusakan hutan mangrove yang cukup parah oleh berbagai hal, seperti
perambahan hutan untuk pembukaan lahan tambak, kayu bakar, bahan bangunan,
pembuatan jangkar perahu dan lain-lain. Hasil penelitian Biswas et al. (2008),
luas ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Pangpang menggunakan citra Satelit
Landsat pada tahun 1989 adalah ± 207,5 ha mengalami peningkatan menjadi ±
282,8 ha pada tahun 2011.
Kawasan Teluk Pangpang adalah salah satu pesisir yang menjadi pusat
(central) kegiatan perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Keberadaan
mangrove di kawasan tersebut memiliki peran penting sebagai habitat fauna,
perlindungan fisik untuk garis pantai, spawning, nursery dan feeding ground bagi
beberapa spesies ikan dan udang-udangan. Selain itu ekosistem mangrove juga
berfungsi sebagai sarana pengolahan air limbah alami, sehingga mencegah
pencemaran pesisir. Pengembangan kegiatan perikanan yang bertujuan untuk
peningkatan pendapatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat melalui
pengembangan budidaya tambak, alat tangkapan ikan, pelabuhan, industri
pengolahan ikan akan mengancam kelestarian ekosistem mangrove.
Tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia tersebut dapat mengurangi
fungsi ekologis mangrove dan mengganggu keberadaan fauna akuatik yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, sehingga
dapat mempengaruhi potensi fauna akuatik di ekosistem hutan mangrove. Dinas
3
Kelautan dan Perikanan Banyuwangi mencatat bahwa produksi penangkapan ikan
di Muncar dalam 10 tahun terakhir yaitu tahun 2003 sebesar 33.896.220 Kg
mengalami penurunan menjadi 21.466.872 Kg pada tahun 2013. Onu La Ola
(2008), dalam penelitiannya menerangkan kerusakan mangrove di Wakatobi
untuk pemukiman dari tahun 1985-2001 seluas 2,5 ha mengalami penurunan
produksi ikan belanak sebesar 218,75 kg/tahun. Penelitian lainnya, kondisi
mangrove di muara C.A. Leuweng Sancang mempengaruhi tingginya jumlah dan
keragaman ikan sebanyak 6 jenis, dibandingkan muara TNUK sebanyak 43 jenis
karena kerusakan mangrove akibat penebangan, pembukaan lahan pertanian serta
adanya pendangkalan akibat longsoran sungai (Dewantoro, 2009).
Penurunan hasil tangkapan serta keragaman jenis ikan erat kaitannya
dengan keberadaan kondisi ekosistem mangrove dikarenakan biota akuatik
kehilangan daerah untuk reproduksi, pengasuhan dan tempat mencari makan. Atas
dasar hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai potensi fauna akuatik
ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman jenis
vegetasi pada ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang,
Kabupaten Banyuwangi?
2. Bagaimanakah
tingkat
kelimpahan,
biomassa,
keanekaragaman
dan
kemerataan fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten
Banyuwangi?
4
3. Bagaimanakah pola penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di
Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman jenis pada
ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten
Banyuwangi.
2. Menganalisis tingkat kelimpahan, biomassa, keanekaragaman dan kemerataan
fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi.
3. Menganalisis pola penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di
Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi yang bermanfaat dan bahan
masukan dalam upaya konservasi biota laut yaitu fauna akuatik yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove.
2. Bagi pemerintah sebagai bahan informasi dalam melaksanakan kebijakankebijakan pemerintah terhadap potensi fauna akuatik sehingga dapat menjadi
masukan dalam mengambil kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove.
3. Bagi mahasiswa sebagai bahan literatur dengan kajian-kajian lebih lanjut
dalam potensi fauna akuatik kaitannya dengan keberadaan vegetasi mangrove
di masa yang akan datang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kawasan Teluk Pangpang
Kawasan Teluk Pangpang adalah salah satu pesisir yang menjadi pusat
(central) kegiatan perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Kawasan Teluk
Pangpang ini berbatasan dengan Selat Bali di sebelah Timur dan Samudra
Indonesia di sebelah Selatan. Teluk Pangpang berada di Selatan Banyuwangi
dengan panjang ± 8 km, lebar teluk ± 3,5 km dengan luas wilayah perairan ±
3.000 ha, terletak di dua wilayah administrasi yaitu Kecamatan Muncar dan
Kecamatan Tegaldlimo. Teluk Pangpang dikelilingi pesisir yang mempunyai
potensi mangrove yang secara geografis terletak antara 8º27’052’’ - 8º32’098’’
LS dan 114º20’988’’ - 114º21’747’’ BT (Pemkab Banyuwangi, 2014).
Gambar 2.1.
Peta Lokasi Penelitian di Teluk Pangpang
5
6
(Pemkab Banyuwangi, 2014)
Ekosistem Mangrove yang terdapat di kawasan Teluk Pangpang terdiri
dari beberapa jenis, yaitu Rhizophora sp, Sonneratia caseolaris, Bruguiera sp
Avicennia sp., dan lain-lain (Erwiantono, 2006). Berdasarkan data laporan
identifikasi mangrove di Taman Nasional Alas Purwo untuk kawasan Teluk
Pangpang tahun 2001, terdapat 12 jenis mangrove yang di temukan (Tabel 2.1).
Tabel 2.1
Daftar Jenis Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Teluk Pangpang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nama Latin
Aegiceras floridum
Bruguiera gymnorrhiza
Ceriops decandera
C. tagal
Excoecaria agallocha
Lumnitzera racemosa
Rhizophora apiculata
R. mucronata
Scyphyphora hydrophyllaceae
Sonneratia alba
S. caseolaris
Xylocarpus granatum
Nama Indonesia
Mange
Tanjang merah
Tingi tagal
Tingi
Pennengen
Pacar banyu
Bakau merah
Tanjang slindur
Perpat lanang
Perpat
Perpat
Nyirih agung
Famili
Myrsinceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Euphorbiaceae
Combretaceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Rubiaceae
Sonneratiaceae
Sonneratiaceae
Meliaceae
Sumber : Laporan Balai Taman Nasional Alas Purwo, 2001
Menurut Raharja et al. (2014), Mangrove dijumpai di Teluk Pangpang
meliputi Kecamatan Muncar dan Kecamatan Tegaldlimo dengan total ± 600 ha,
dengan rincian di Kecamatan Muncar yaitu 226 ha yang terbagi atas Kelurahan
Wringinputih seluas 225 ha dan Kelurahan Kedungringin seluas 1 Ha, sedangkan
sisanya berada di Kecamatan Tegaldlimo. Hutan mangrove Teluk Pangpang
menyusun formasi mengelilingi Teluk sehingga banyak dijumpai mulai batas
Tratas, Kabat Mantren, Tegal Pare, dan Tegaldimo. Sedangkan, menurut Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Banyuwangi tahun 2003, potensi mangrove untuk
Desa Wringinputih seluas 375 ha dan Desa Kedungringin seluas 75 ha.
7
Kawasan Teluk Pangpang di Kecamatan Muncar meliputi dua desa yaitu
Desa Kedungringin dengan satu dusun pesisir yaitu Dusun Tratas, sedangkan
Desa Wringinputih mempunyai tiga dusun pesisir yaitu Dusun Kabatmantren,
Dusun Krajan dan Dusun Tegalpare. Mangrove yang ada di sekitar Teluk
Pangpang sebelah Timur (sepanjang Tanjung Sembulungan) merupakan hutan
mangrove yang dikelola oleh Perhutani. Sedangkan sebelah Barat Teluk Pangpang
sebagian besar areal mangrove telah mengalami alih fungsi untuk kegiatan
tambak. Saat ini, terdapat usaha-usaha rehabilitasi penanaman mangrove di
sebelah Barat Teluk Pangpang seluas ± 200 hektar melalui Proyek Cofish
(Gustiar, 2005). Desa Wringinputih memiliki rata-rata perubahan paling tinggi
yaitu 30 ha/tahun dengan luasan mencapai ± 104 ha pada Tahun 1989, dan
berkembang menjadi ± 226 ha pada Tahun 2011 oleh adanya kegiatan rehabilitasi,
sebaliknya Desa Kedungringin mengalami perubahan yang menurun akibat
berdekatan dengan kawasan industri perikanan Muncar.
2.2. Potensi Biota Laut
Laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama potensi
perikanan laut dari segi jumlah ataupun keragaman jenis. Luas laut Indonesia
kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Laut
Indonesia yang luas menyediakan sumberdaya ikan laut dengan potensi lestari
sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan
perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Jumlah tangkapan yang
diperbolehkan di Indonesia sebesar 80% dari potensi lestari sumberdaya ikan laut
yaitu sebesar 5,12 juta ton (Nurjanah et al., 2011).
8
Potensi merupakan sesuatu hal yang dapat dijadikan sebagai bahan atau
sumber yang akan dikelola baik melalui usaha yang dilakukan manusia maupun
yang dilakukan melalui tenaga mesin dimana dalam pengerjaannya potensi dapat
juga diartikan sebagai sumber daya yang ada disekitar. (Kartasapoetra et al.,
1987). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) potensi yaitu kemampuan,
kekuatan, kesanggupan, atau pun daya yang mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan. Biota merupakan makhluk hidup berupa flora maupun fauna,
sedangkan laut adalah sebuah tempat berkumpulnya air asin. Dapat disimpulkan
“Biota Laut” adalah gabungan dari flora dan fauna yang hidup di perairan air asin;
sebuah lingkungan atau ekosistem dimana habitat air asin tersebut tinggal atau
hidup.
Biota laut terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok hewan dan
tumbuhan. Romimohtarto dan Juwana (1999), menyatakan bahwa biota laut
secara umum terbagi menjadi tiga berdasarkan cara atau sifat hidupnya meliputi:
1. Planktonik, yaitu biota yang melayang-layang, mengapung dan bergerak
mengikuti arus. Jenis ini umumnya ditemukan di kolom permukaan air.
Terbagi menjadi 2 yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan) seperti alga biru
dan doniflegellata, dan zooplankton (plankton hewan) misalnya lucifer, udang
rebon, ostracoda dan cladocera.
2. Nektonik, yaitu biota yang berenang-renang umumnya dapat melawan arus
(terdiri dari hewan saja). Contohnya adalah ikan, ubur-ubur,cumi-cumi dan
lain-lain.
3. Bentik, yaitu biota yang hidup di dasar atau dalam substrat, baik tumbuhan
maupun hewan. Terbagi menjadi 3 macam yaitu 1) menempel (sponge,
9
teritip, tiram dan lainnya); 2) merayap (kepiting, udang karang dan lain-lain)
dan 3) meliang (cacing, karang dan lain-lain).
2.3. Ekosistem Mangrove
Menurut Marsoedi et al. (1997), hutan mangrove adalah vegetasi hutan
yang tumbuh di daerah pantai dan disekitar muara sungai, yang selalu atau secara
teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Vegetasi hutan
mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau, api-api, prepat, dan tunjang.
Areal mangrove tidak hanya sebagai koleksi tanaman, tetapi merupakan salah satu
sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Hutan mangrove juga berperan sebagai tempat hidup jenis udang dan ikan yang
bernilai komersial.
Karakteristik habitat mangrove menurut Bengen (2001), adalah: Menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat; Umumnya tumbuh pada daerah intertidal
yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir; Daerahnya tergenang
air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat
pasang purnama. Frekuensi genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan
mangrove; Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; Air
bersalinitas payau (2 – 22 permil) hingga asin mencapai 38 permil; Ditemukan
banyak di pantai - pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai
yang terlindung.
Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
produktivitas tinggi dibandingkan ekosistem lain dengan dekomposisi bahan
organik yang tinggi, dan menjadikannya sebagai mata rantai ekologis yang sangat
penting bagi kehidupan mahluk hidup yang berada di perairan sekitarnya. Materi
10
organik menjadikan hutan mangrove sebagai tempat sumber makanan dan tempat
asuhan berbagai biota seperti ikan, udang dan kepiting. Berbagai kelompok
moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan penyusun
hutan mangrove (Bruno et al., 1998). Ekosistem Mangrove merupakan ekosistem
utama penyusun ekosistem wilayah pesisir berupa formasi tumbuhan litoral
dengan kerakteristik terdapat didaerah tropika dan sub tropika, terhampar
disepanjang pesisir (Manan, 1986). Menurut Nybakken (1988), sebutan mangrove
atau bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal
ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan
ini.
Keberadaan hutan mangrove dalam ekosistem pantai merupakan suatu
persekutuan hidup alam hayati dan alam lingkungannya yang terdapat di daerah
pantai dan disekitar muara sungai pada kawasan hutan tropika, yaitu kawasan
hutan yang khas dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove, baik
di dalam maupun di luar kawasan hutan merupakan jalur hijau daerah pantai yang
mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomis yang memiliki berbagai manfaat
(Farimansyah, 2005).
2.4. Luas dan Penyebaran Mangrove
Luas dan Penyebaran Menurut Santono et al., (2005) terdapat variasi yang
nyata dari luas total ekosistem mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta4,25 juta ha. Perbedaan jumlah luasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan
metodologi pengukuran luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Walaupun demikian diakui oleh dunia bahwa Indonesia mempunyai luas
ekosistem mangrove terluas di dunia (21% luas mangrove dunia). Hutan-hutan
11
mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di
sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan mangrove Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,
merupakan mangrove yang terluas di dunia melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria
(1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang
luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan
tempat bermuara sungai-sungai besar, yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai
barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama
terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia,
ditepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai
barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai
luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia (Santono, et
al , 2005).
Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnya
ekosistem
mangrove antara lain:
1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain, seperti
permukiman, pertanian, tambak, industri, pertambangan, dll.
2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan HPH
(Hak Pengusaha Hutan) serta penebangan liar dan bentuk perambahan
hutan lainnya.
3. Polusi di perairan estuaria, pantai, dan lokasi - lokasi perairan lainnya
dimana tumbuh mangrove.
4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan
abrasi yang tidak terkendali.
12
Penambahan hutan mangrove di beberapa provinsi belum diketahui dan
dilaporkan secara pasti, namun ada beberapa faktor yang memungkinkan
bertambahnya areal hutan mangrove dibeberapa provinsi, yaitu:
1. Adanya reboisasi atau penghijauan.
2. Adanya perluasan lahan hutan mangrove secara alami yang berkaitan
dengan adanya proses sedimentasi dan atau penaikan permukaan air laut.
3. Adanya metoda perhitungan luas hutan yang lebih baik dari metoda yang
digunakan sebelumnya (Santono et al., 2005).
2.5. Fungsi Dan Manfaat Mangrove
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk
menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing
sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat
pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,
dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman
biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman
anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai
sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan
tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).
Ekosistem hutan mangrove mempunyai arti penting karena tidak sedikit
jumlah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam ini
(Sugiarto dan Willy, 2003). Disamping itu adanya berbagai komponen rantai
makanan yang saling bergantung pada ekosistem mangrove ini, yaitu serasah yang
berasal dari tumbuhan mangrove, yang prosesnya dimulai oleh bakteri dan
cendawan yang mengubah daun-daun menjadi detritus yang disebut sebagai bahan
13
organik. Selanjutnya bahan organik ini menjadi makanan bagi udang atau rebon,
kemudian binatang pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang, dan
kepiting.
Gambar 2.2. Hubungan Keterkaitan Komponen
Ekosistem Mangrove (Nontji, 1987)
Kordi (2012), menjelaskan hutan mangrove disebut sebagai ekosistem
pesisir yang paling produktif, yang menghasilkan serasah daun dan ranting sekitar
9 ton/ha/tahun. Di Indonesia produksi serasah daun dan ranting hutan mangrove
berkisar antara 78 ton/ha/tahun. Serasah daun dan ranting yang gugur merupakan
sumber bahan organik penting dalam rantai pakan (food chain) di lingkungan
perairan. Daun dan ranting yang gugur kedalam air segera menjadi bahan
makanan bagi berbagai jenis hewan air atau dihancurkan lebih dulu oleh kegiatan
bakteri dan jamur. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan inipun menjadi makanan
bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan seterusnya (Gambar 2.2).
2.6. Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove
Menurut
Bengen
(2001),
komunitas
membentuk percampuran antara 2 (dua) kelompok:
fauna
ekosistem
mangrove
14
1. Kelompok fauna daratan / terestrial yang umumnya menempati bagian atas
pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini
tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove,
karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut
pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan
makanannya berupa hewan laut pada saat air surut.
2. Kelompok fauna perairan / akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu :
a. Yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang.
b. Yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun
lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata
lainnya.
Menurut Nybakken (1988), kelompok hewan lautan yang dominan dalam
hutan mangrove (bakau) adalah moluska, udang-udangan, dan beberapa jenis
ikan. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, yang umumnya hidup pada akar dan
batang
pohon
bakau.
Kelompok
kedua
dari
moluska
termasuk
pelecypoda/bivalvia, yaitu tiram, mereka melekat pada akar-akar bakau. Selain itu
hewan yang hidup di bakau adalah sejumlah kepiting dan udang. Kawasan bakau
juga berguna sebagai tempat pembesaran udang penaied dan ikan-ikan seperti
belanak, yang melewatkan masa awal hidupnya pada daerah ini sebelum
berpindah ke lepas pantai.
Para ahli mengelompokkan ikan di ekosistem mangrove ke dalam empat
kelompok, yaitu (a) Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya
berada di daerah ekosistem mangrove, seperti ikan gelodok; (b) Ikan penetap
sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove selama
15
periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung bergerombol di sepanjang
pantai berdekatan dengan ekosistem mangrove, seperti ikan belanak; (c) Ikan
pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke ekosistem
mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, seperti ikan gulamah; (d)
Ikan pengunjung musiman, yaitu ikan-ikan yang menggunakan ekosistem
mangrove sebagai tempat memijah dan asuhan, serta tempat perlindungan
musiman dari predator (Nirarita et al., 1996).
Ekosistem mangrove juga merupakan habitat bagi biota crustasea dam
molusca. Menurut Kartawinata et al. (1979) tercatat 80 spesies crustasea yang
hidup di ekosistem mangrove. Spesies penting yang hidup atau terkait dengan
ekosistem mangrove adalah udang (Penaeus, Metapenaeus) dan kepiting bakau
(Syclla). Kemudian, biota molusca yang tercatat sekitar 65 spesies yang terdiri
dari gastropoda dan pelecypoda/bivalvia. Beberapa spesies molusca penting di
ekosistem mangrove yaitu kerang bakau atau tiram bakau (Crassotrea sp.), kerang
hijau (Mytilus sp.), kerang alang (Gelonia sp.), kerang darah (Anadara sp.), dan
popaco atau kerang teleskop (Telescopium sp.).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Perairan Teluk Pangpang di Kecamatan Muncar merupakan kawasan
penghasil biota laut seperti fauna akuatik dan mangrove, kawasan budidaya
tambak, kawasan pemukiman dan kawasan industri perikanan diantara Kecamatan
lainnya yang berada di pesisir Kabupaten Banyuwangi. Kondisi pemanfaatan
ekosistem dengan menghasilkan produksi sebesar-besarnya tanpa memikirkan
lingkungan menyebabkan menipisnya populasi biota laut, pencemaran lingkungan
dan kerusakan lingkungan. Kondisi kawasan pesisir Muncar mengalami situasi
yang mengkuatirkan dikarenakan adanya kerusakan lingkungan terlihat di
sepanjang ekosistem mangrove yang berbatasan dengan kawasan tambak,
pemukiman, pelabuhan dan kondisi di kawasan hulu sampai hilir sungai. Adanya
abrasi laut mengakibatkan terjadinya terkikisnya bangunan tambak pada saat
gelombang pasang datang, pencemaran kualitas perairan akibat adanya limbah
domestik, limbah industri pengolahan serta limbah tambak membuat ekosistem
mangrove mengalami tekanan lingkungan yang membuat terjadinya degradasi
penurunan pertumbuhan mangrove serta terganggunya tingkat keanekaragaman
fauna di kawasan ekosistem mangrove.
Kondisi ekosistem mangrove yang telah mengalami perbaikan pada tahun
2000 oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah dengan penghijauan kembali
(rehabilitation), membuat kawasan mangrove cenderung mengalami peningkatan
dan menurunnya luasan mangrove. Pengembangan industri perikanan dengan
kebijakan pemerintah di pesisir Muncar dapat membuat perubahan luasan
16
17
mangrove yang dinamis sehingga mengakibatkan dampak pada meningkatnya dan
menurunnya fauna akuatik baik ikan dan non ikan yang berasosiasi di kawasan
mangrove serta kesejahteraan masyarakat di pesisir Muncar.
Berdasarkan dampak yang akan dihasilkan akibat tekanan lingkungan
manusia di sekitar mangrove perlu dilakukan kajian potensi fauna akuatik
terhadap struktur ekosistem mangrove di pesisir Muncar Kawasan Teluk
Pangpang kedepan yang akan berdampak pada masyarakat pesisir.
Kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang
Kecamatan Muncar
Permasalahan :
1. Alih lahan mangrove sebagai pengembangan kegiatan perikanan
2. Kondisi hulu dan hilir sungai
3. Rehabilitasi kawasan mangrove
4. Tekanan lingkungan di pesisir mangrove sehingga mengganggu
keberadaaan fauna akuatik
5. Penurunan produksi perikanan dengan adanya degradasi kawasan
mangrove
Kondisi flora mangrove
Kondisi lingkungan
mangrove
Kondisi fauna akuatik
Komposisi dan
Struktur Mangrove
Komposisi dan
Struktur Fauna
1. Kerapatan mangrove
2. Frekuensi
0 mangrove
3. Penutupan mangrove
4. Indeks Nilai Penting
5. Indeks Keanekaragaman
1. Salinitas (‰)
2. pH
3. Suhu (°C)
4. Substrat
Tanah
1. Kelimpahan dan
Biomassa
0
2. Indeks Keanekaragaman
3. Indeks Kemerataan
4. Pola Penyebaran Fauna
Metoda Deskriptif Kuantitatif
Potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove
Rekomendasi
0
Gambar 3.1. Alur Pemikiran Penelitian
18
3.2. Penelitian Terdahulu
Tabel berikut ini menguraikan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang
dilakukan di kawasan mangrove Teluk Pangpang.
Tabel 3.1 Penelitian Terdahulu di Kawasan Teluk Pangpang
No
1.
Penulis
Chandra Gustiar
2.
Erwiantoro
3.
Kurnia Setyani
4.
Dian Sulastini
5.
Lugi Hartanto
6.
Sucipto
7.
Apriadi Budi
Raharja et al.
Tahun
Tesis Program Studi
Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan, IPB,
2005
Penelitian Akhir
Fakultas Perikanan dan
Kelautan, Universitas
Mulawarman, 2006
Penelitian Akhir
Konservasi Sumberdaya
Hutan Fakultas
Kehutanan UGM, 2010
Tesis Pascasarjana
Universitas Gajah Mada,
2011
Tesis Pasca Sarjana
Fakultas Kehutanan
UGM, 2011
Judul
Analisis Kelembagaan dan
Peranannya dalam Penataan
Ruang di Teluk Pangpang
Kabupaten Banyuwangi.
Kajian Tingkat partisipasi
Masyarakat dalam Pengelolaan
Ekosistem Mangrove di
Kawasan Teluk PangpangBanyuwangi
Keanekaragaman Jenis
Burung Di Kawasan Hutan
Mangrove Teluk Pangpang
Taman Nasional Alas Purwo
Struktur dan Komposisi Hutan
Mangrove di Teluk Pangpang
Taman Nasional Alas Purwo
Pola Pengelompokan
Vegetasi Mangrove di Teluk
Pangpang Taman Nasional
Alas Purwo
Tesis, Pascasarjana
Peranan Ekosistem Mangrove
Universitas Gajah Mada, dalam Peningkatan Ekonomi
2013
Masyarakat di Teluk Pangpang
Taman Nasional Alas Purwo
Penelitian Akhir
Kajian Potensi Kawasan
Mangrove di Kawasan Pesisir
Program Studi PSPL,
Teluk Pangpang, Banyuwangi
Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB,
2014
19
3.3. Konsep Penelitian
Konsep penelitian dalam pengambilan topik di Kecamatan Muncar adalah:
1. Kawasan pantai berhutan bakau berupa kawasan pelestarian alam
dimaksudkan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem
bakau dan tempat berkembang biaknya berbagai biota laut disamping sebagai
pelindung pantai dan pengikisan air laut, serta pelindung usaha budidaya di
belakangnya berada di sekitar pantai tersebut (Perda RTRW Kabupaten
Banyuwangi, 2012).
2. Suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun
di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan (Perda RTRW Kabupaten
Banyuwangi, 2012).
3. Pengembangan kawasan budidaya perikanan dengan menumbuhkan kearifan
lokal dan memperhatikan aspek ekologis, dengan strategi meliputi:
mengembangkan kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan
perikanan, kawasan peruntukan perkebunan, kawasan peruntukan kehutanan,
dan kawasan peruntukan peternakan yang terintegrasi dengan pengembangan
agroindustri dan agrobisnis (Perda RTRW Kabupaten Banyuwangi, 2012).
4. Zonasi kawasan hutan berbakau dengan ketentuan: a. pengelolaan kawasan
pantai berhutan bakau dilakukan melalui penanaman tanaman bakau dan
nipah di pantai; b. diizinkan untuk kegiatan rehabilitasi reboisasi lahan; c.
dilarang pemanfaatan kayu bakau; d. dilarang kegiatan yang mengurangi luas
bakau atau mencemari ekosistem bakau, dan e. dilarang kegiatan yang
20
mengubah bentang alam dan ekosistem, menganggu kelestarian flora dan
fauna serta keanekaragaman hayati; f. diizinkan untuk kegiatan penelitian,
pendidikan dan wisata alam; g. pengembangan wisata alam disekitar kawasan
bakau dilarang merubah rona alam pantai dan hutan bakau (Perda RTRW
Kabupaten Banyuwangi, 2012).
5. Hutan Mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada tanah
alluvial didaerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang
surut air laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis Avicennia spp (Apiapi), Sonneratia spp. (Pedada), Rhizophora spp. (bakau), Bruguiera spp.
(Tanjang), Lumnitzera spp. (Taruntum), Excoecaria spp. (Buta-buta),
Xylocarpus spp. (Nyirih), Anisoptera dan Nypa spp. (Nipah) (Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2009).
6. Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan
mangrove yang mengalami degradasi pada kondisi yang dianggap baik dan
mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis (Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2009).
7. Biota laut adalah berbagai jenis organisme hidup di perairan laut (Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004).
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu :
1. Studi pendahuluan yang meliputi observasi lapangan dan studi literatur
dengan maksud untuk mengumpulkan data umum mengenai kondisi umum
lokasi penelitian di kawasan mangrove dan mengumpulkan informasi yang
relevan dengan penyusunan proposal penelitian.
2. Persiapan yang meliputi panduan observasi, penelitian, serta alat-alat
penelitian yang akan dipakai untuk mendapatkan data penelitian.
3. Penelitian yang meliputi pengambilan data di lokasi penelitian yang telah
ditetapkan dalam pengambilan sample yang representatif untuk digunakan
dalam pengolahan data.
4. Pembahasan data yang meliputi hasil-hasil penelitian kemudian dipadukan
dengan kajian pustaka yang berkaitan dengan penelitian dan dianalisa
menggunakan metoda deskriptif kuantitatif untuk memperoleh suatu
kesimpulan.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang
Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dengan unit
analisis struktur vegetasi mangrove, analisis struktur fauna akuatik dan analisis
korespondensi pada bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Februari 2015.
Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.
21
22
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling methode,
dengan dasar pertimbangan bahwa di Kecamatan Muncar mempunyai beberapa
komoditas tingkat fauna laut baik ikan dan non ikan seperti ikan kerapu, ikan
belanak, udang, kepiting, kerang dan tiram serta adanya tingkat ancaman tekanan
lingkungan terhadap ekosistem mangrove yang sangat tinggi berupa kegiatan
industri perikanan, seperti tambak budidaya ikan, pelabuhan, pengolahan ikan,
penangkapan ikan, pemukiman, dan muara aliran sungai.
I
Keterangan:
I= TratasKawang
II = Muncing Krajan
III= Tegalpare
II
III
Gambar 4.1. Titik Sampling Penelitian di Kawasan Mangrove
Sumber: Google Earth (2014)
4.3. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi:
1. Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung yaitu metoda
pengumpulan data melalui pengamatan langsung secara cermat di lokasi
penelitian dengan berpedoman pada desain penelitian di sekitar ekosistem
mangrove.
2. Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode jalur
transek berpetak. Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi mangrove
23
dilakukan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang yaitu di Kecamatan
Muncar dengan membentuk stasiun-stasiun, yaitu stasiun I terletak di pesisir
Tratas Kawang muara Sungai Wagut, stasiun II terletak di pesisir Muncing
Krajan, dan stasiun III terletak di pesisir Tegalpare, kemudian ditabulasi
untuk mengetahui komposisi dan struktur ekosistem hutan mangrove sesuai
dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004.
3. Analisa potensi fauna akuatik dilakukan dengan menggunakan analisa
struktur komunitas meliputi kelimpahan, berat hasil tangkapan (biomassa),
indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks kemerataan (E).
4. Analisa korespondensi dilakukan untuk mengetahui pola penyebaran fauna
akuatik ekosistem hutan mangrove dengan menggunakan aplikasi SPSS
(Statistical Package for the Social Science).
5. Data pendukung berupa kondisi lingkungan mangrove meliputi tekstur tanah
dan kualitas perairan meliputi fisika (suhu), kimia (pH dan salinitas) sesuai
dengan Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut.
4.4. Variabel Penelitian Dan Pengukuran Variabel
Variabel-variabel dalam penelitian meliputi :
1. Kondisi flora mangrove dengan parameter komposisi, kerapatan, frekuensi,
penutupan, indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman secara kuantitatif
2. Kondisi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove dengan parameter
komposisi,
kelimpahan,
biomassa,
indeks
kemerataan dan pola penyebaran secara kuantitatif.
keanekaragaman,
indeks
24
4.4. Penentuan Sumber Data
Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan
data sekunder (Tabel 4.1) yang meliputi:
Tabel 4.1
Penentuan Sumber Data Penelitian
No
1.
2
Tujuan
Untuk
mengetahui
tingkat
indeks nilai
penting dan
keanekaraga
man vegetasi
mangrove
Jenis Data
Kuantitatif
Untuk
mengetahui
kelimpahan,
biomassa,
keanekaraga
man dan
kemerataan,
pola
penyebaran
Kuantitatif
Instrumen
Observasi
langsung
Sumber
Primer
Hasil
penelitian
terdahulu
Observasi
langsung
Sekunder
Hasil
penelitian
terdahulu
Sekunder
Primer
Parameter
Komposisi, Kerapatan
, Frekuensi ,
Penutupan , Indeks
Nilai Penting dan
Indeks
Keanekaragaman
Komposisi,
Kelimpahan,
Biomassa, Indeks
Keanekaragaman dan
Indeks Kemerataan
Serta pola penyebaran
4.6. Bahan Dan Instrumen Penelitian
Jenis peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah patok kayu
yang berfungsi sebagai tempat mengikat tali transek, meteran/rol meter untuk
mengukur transek, GPS untuk menetukan lokasi titik pengambilan sampel, buku
panduan identifikasi mangrove dan taksonomi ikan, pH meter dan pH indicator
untuk mengukur pH air laut, termometer untuk mengukur suhu, Hand
Refractometer untuk mengukur salinitas, jangka kaliper, wadah keranjang untuk
pengambilan sampel fauna, timbangan digital dan timbangan gantung untuk
mengukur berat hasil tangkapan fauna, kamera digital untuk dokumentasi berupa
foto-foto kawasan lahan mangrove dan biota air laut, alat tulis serta komputer.
25
4.7. Prosedur Penelitian
Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi mangrove yaitu
dengan pengamatan lapangan terlebih dahulu yang akan dijadikan zona penelitian
pada tegakan mangrove dengan menentukan 3 (tiga) stasiun sampling yang
terletak di kawasan ekosistem mangrove dengan pertimbangan ketebalan
mangrove dan kondisi lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir Muncar
sebagai berikut :
a. Stasiun I, Kawasan pesisir Tratas Kawang merupakan kawasan mangrove
dengan kondisi penelitian berupa tambak budidaya ikan, pemukiman,
pelabuhan, daerah tangkapan ikan, daerah rehabilitasi dan muara aliran sungai
Wagut yang mengalirkan limbah pencemaran berupa limbah domestik,
limbah industri pengolahan ikan dan limbah budidaya ikan.
b. Stasiun II, Kawasan pesisir Muncing Krajan merupakan kawasan mangrove
kondisi berupa tambak budidaya ikan, daerah rehabilitasi mangrove
berdekatan dengan pembuangan limbah budidaya dan muara aliran Sungai
Tojo dan Sungai Setail.
c. Stasiun III, Kawasan pesisir Tegalpare merupakan kawasan mangrove kondisi
berupa tambak budidaya ikan dan muara aliran sungai Setail, daerah pertanian
sehingga mengalirkan bahan pencemar berupa limbah pertanian dan limbah
budidaya ikan.
Prosedur pengambilan data penelitian untuk mengetahui kondisi mangrove
dilakukan dengan metoda pengukuran Transek Garis Berpetak (Line Transect
Plot). Jarak petak di jalur disesuaikan dengan keadaan luasan mangrove di setiap
stasiun yaitu pada stasiun I ketebalan mangrove mencapai 150 meter dibuat 5
26
petak contoh dengan jarak 30 m, stasiun II ketebalan mangrove mencapai 200 m
dibuat 4 petak contoh dengan jarak 50 m, sedangkan stasiun III ketebalan
mangrove mencapai 300 m dibuat 4 petak contoh dengan jarak contoh dengan
jarak 75 m untuk mencapai intensitas sampling yang dikehendaki pada ketelitian
sampel yang memadai (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Mekanisme
pengukuran untuk pengambilan sampel tersebut, yaitu :
a. Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan transek-transek garis dari arah laut
ke arah darat tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove
didaerah intertidal.
b. Identifikasi setiap jenis mangrove yang ada dengan referensi dari Buku
Identifikasi Mangrove “Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia”
karangan Noor YR et al (2006).
c. Pada setiap jalur dibuat petak-petak pengamatan sesuai dengan tingkat
pertumbuhannya. Setiap zona mangrove yang berada di sepanjang transek
garis, diletakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan
ukuran 10 m x 10 m seperti pada Gambar 4.2.
d. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, dilakukan determinasi
setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis
dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, setinggi 1,3
meter.
27
Sungai Wagut
Sungai Setail
Gambar 4.2. Desain Penempatan Plot (Petak Contoh) Metoda Transek
Sumber: Google Earth (2014)
e. Pada penelitian ini penghitungan data dilakukan dengan metoda jalur dan
permudaan dengan metoda garis berpetak (Kusmana, 1997). Ukuran
permudaan yang digunakan dalam analisis vegetasi hutan mangrove adalah
sebagai berikut (Gambar 4.3):
a) Semai
: Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi
kurang dari 1,5 m.
b) Pancang : Permudaaan dengan tinggi ≥ 1,5 m dan diameter anakan
kurang dari 10 cm.
c) Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih.
10 m
10 m
2m
5m
Arah Rintis
Gambar 4.3. Desain kombinasi metoda jalur dan metode garis berpetak
28
Selanjutnya ukuran sub-petak untuk setiap tingkat permudaan adalah sebagai
berikut:
a) Petak contoh untuk pengamatan tanaman semai ( 2m x 2 m)
b) Petak contoh untuk pengamatan tanaman pancang ( 5 m x 5 m)
c) Petak contoh untuk pengamatan tanaman pohon ( 10 m x 10 m)
Kondisi potensi jenis fauna akuatik diperoleh dengan metoda observasi
langsung yaitu dengan cara menjelajah dan mengidentifikasi biota yang bernilai
ekonomis tinggi yaitu kelompok fauna akuatik laut di kawasan mangrove dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Pengumpulan fauna akuatik dilakukan dengan Trapped Net atau banjang
(bahasa lokal) yaitu alat tangkap yang dipasang secara permanen di tepi
pesisir mangrove dilengkapi tiang yang terbuat dari bambu sebagai penguat
agar tetap di posisinya dengan cara kerja yaitu pada saat air pasang ikan-ikan
masuk mengikuti arus air menuju perangkap, sedangkan pada saat surut ikanikan yang terperangkap diambil sebagai hasil tangkapan di setiap stasiun.
b.
Fauna akuatik diperoleh dari nelayan yang mempunyai Trapped Net dan
diambil 10% dari hasil tangkapan sebanyak 18 kali selama 3 bulan secara
acak sebagai sampel penelitian di setiap stasiun. Pengambilan sampel fauna
akuatik dilakukan berdasarkan panduan pasang surut kedalaman air laut dapat
dilihat pada Lampiran 5.
c.
Penyortiran fauna akuatik dilakukan untuk menghitung jumlah dan
penimbangan berat untuk mengetahui kelimpahan dan biomassa per individu.
Pengambilan sampel menggunakan wadah keranjang dengan dalam keadaan
air surut dan musim ikan serta tidak terjadi air kundo/konda (kondisi air laut
29
tidak pasang tinggi dan tidak surut rendah/stagnan) pada jam 05.00-09.00
WIB secara bersamaan.
d.
Fauna akuatik tertangkap diidentifikasi dengan mengacu pada referensi dari
buku “Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II ” karangan Saanin
H. (1984).
e.
Setiap data yang telah terkumpul dan teridentifikasi langsung dicatat.
Pola penyebaran jenis fauna akuatik bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara vegetasi mangrove dengan spesies fauna akuatik ditentukan
dengan menhitung banyaknya jumlah hasil tangkapan (individu/ekor) berdasarkan
famili fauna akuatik yang ditemukan pada lokasi stasiun. Data pendukung berupa
data kondisi lingkungan di kawasan mangrove, meliputi: Pengambilan data suhu,
pH, salinitas pada saat pasang dan surut air laut serta kondisi tekstur tanah dengan
metoda feeling/perasaan dilapangan dengan cara memijit dan merasakan tanah
dengan menggunakan jari-jari untuk mengetahui kasar/halusnya kondisi substrat
tanah mangrove (Hardjowigeno, 1989).
4.8. Analisis Data
Data kondisi mangrove diinventarisasi kemudian ditabulasi dan dianalisis
untuk mengetahui indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman ekosistem
hutan mangrove sebagai berikut :
1) Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif
yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan)
spesies-spesies dalam suatu vegetasi (Soegianto, 1994; Ardhana, 2012)
dengan rumus :
30
INP = KR + FR + CR
INP-i = KR-i + FR-i + CR-i
Dimana : INP
= Indeks Nilai Penting (%)
INP-i = Indeks Nilai Penting Spesies ke-i (%)
KR
= Kerapatan relative (%)
FR
= Frekuensi relative (%)
CR
= Luas Penutupan relatif (%)
INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relative, frekuensi relative dan
luas penutupan relative menggunakan metode analisis dengan formulaformula (Indriyanto, 2006; Ardhana, 2012), sebagai berikut:
a. Densitas/Kerapatan
Densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan luas. Untuk
kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah densitas digunakan
dengan istilah kerapatan dan diberi notasi “K”.
jumlah individu
luas seluruh petak contoh
K=
Dengan demikian, densitas ke-i dapat dihitung sebagai K-i dan densitas
relative setiap spesies ke-i terhadap kerapatan total dapat dihitung sebagai
KR-i.
K-i =
KR-i =
Dimana :
jumlah individu untuk spesies ke-i
luas seluruh petak contoh
kerapatan spesies ke-i
x 100%
kerapatan seluruh spesies
K
= Kerapatan (pohon/ha)
K-i
= Kerapatan spesies ke-i (pohon/ha)
KR-i
= Kerapatan relatif spesies ke-i (%)
31
b. Frekuensi jenis
Ardhana (2012) menjelaskan bahwa frekuensi dipergunakan untuk
menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies
tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi merupakan besarnya
intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan
keberadaan organisme pada suatu komunitas atau ekosistem. Untuk
kepentingan analisis vegetasi, frekuensi spesies (F), frekuensi spesies ke-i
(F-i) dan frekuensi relative spesies ke-i (FR-i) dapat dihitung dengan
rumus:
F=
F-i =
jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies
jumlah seluruh petak contoh
jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies ke-i
jumlah seluruh petak contoh
FR-i =
Dimana :
frekuensi suatu spesies ke-i
x 100%
frekuensi seluruh spesies
F
= Frekuensi (jumlah petak contoh)
F-i
= Frekuensi spesies ke i (jumlah petak contoh)
FR-i
= Jumlah relative spesies ke-i (%)
c. Penutupan
Luas penutupan (coverage) adalah proporsi antara luas tempat yang
ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan
dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas
bidang dasar (luas basal area)(Ardhana,2012). Luas penutupan dapat
dihitung dengan rumus:
C=
luas basal area
luas seluruh petak contoh
32
C-i =
CR-i =
total luas basal area spesies ke-i
luas seluruh petak contoh
penutupan spesies ke-i
x 100%
penutupan seluruh petak contoh
= Luas penutupan (m2)
Dimana : C
= Luas penutupan spesies ke-i (m2)
C-i
CR-i = Luas penutupan relative spesies ke-i (%)
2) Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman (H’) digunakan untuk mendapatkan gambaran
populasi organisme secara matematis agar mempermudah menganalisis
informasi jumlah individu masing masing spesies dalam suatu komunitas,
yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil
meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto,1994).
sehingga dapat dihitung dengan rumus indeks keanekaragaman ShannonWienner:
𝑛
𝐻′ = −
𝑖=1
𝑛𝑖
𝑛
𝑙𝑛
𝑛𝑖
𝑛
Dimana : H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
ni = nilai penting dari setiap spesies
N = total nilai penting
Kategori penilaian indeks keanekaragaman menurut Odum (1971), adalah
sebagai berikut :
a) H’ ≤ 1 = Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan
komunitas rendah.
b) 1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan
komunitas sedang.
33
c) H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan
komunitas tinggi.
Data kondisi fauna akuatik diinventarisasi kemudian ditabulasi dan
dianalisis untuk mengetahui kelimpahan dan biomassa, keanekaragaman (indeks
keanekaragaman Shannon-Wienner) dan kemerataan, serta pola penyebaran jenis
fauna akuatik sebagai berikut :
1) Kelimpahan dan biomassa
Fauna akuatik yang telah terkumpul, diidentifikasi dan dilakukan perhitungan
jumlah dan berat (berat basah) per individu (ekor) di setiap stasiun penelitian.
Biomassa merupakan keseluruhan materi baik berupa berat basah maupun
berat kering yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik
yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah
maupun yang ada di bawah permukaan tanah, (Sutaryo, 2009). Hasil
perhitungan dianalisa secara deskriptif.
2) Indeks Kemerataan
Indeks keseragaman atau indeks kemerataan (E’) adalah komposisi jumlah
individu dalam setiap genus yang terdapat dalam komunitas agar dapat
menggambarkan keseimbangan ekosistem. Kemerataan didapat dengan
membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. untuk
mengetahui indeks kemerataan digunakan rumus Evennes Indeks sebagai
berikut:
E=
H'
H' max
Dimana : E = Indeks kemerataan populasi
H’= Indeks keanekaragaman
34
H’ max = Indeks keanekaragaman maksimum = ln S
S = Jumlah total spesies
Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0-1. Bila E mendekati 0 (nol), spesies
penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominansi dari spesies tertentu dan
menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Sedangkan, bila E
mendekati 1 (satu), jumlah individu yang dimiliki antar spesies tidak jauh
berbeda, tidak ada dominansi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.
Kategori kemerataan menurut Brower et al (1990), yaitu sebagai berikut :
a) 0 < E ≤ 0,4
= Kemerataan kecil, komunitas tertekan;
b) 0,4 < E ≤ 0,6
= Kemerataan sedang, komunitas labil;
c) 0,6 < E ≤ 1,0
= Kemerataan tinggi, komunitas stabil.
Data fauna akuatik yang telah ditabulasi kemudian diolah dengan analisis
korespondensi (correspondence analysis) menggunakan software SPSS. Analisis
korespondensi adalah sebuah teknik multivariat secara grafik yang digunakan
untuk eksplorasi data dari sebuah tabulasi silang dua variabel / tabel kontingensi,
berupa tabel frekuensi, dan hasil keluarannya berupa peta (mapping) kategori dari
variabel (Rusgiyono, 2012).
Hasil analisis kondisi flora mangrove dan kondisi fauna akuatik disajikan
dalam bentuk tabel dan gambar (foto) dengan metoda deskriptif kuantitatif.
Metode deskriptif kuantitatif yaitu suatu bentuk penelitian berdasarkan data yang
dikumpulkan selama penelitian secara sistematis mengenai fakta-fakta dan sifatsifat dari obyek yang diteliti dengan menggabungkan hubungan antar variabel
yang terlibat didalamnya, kemudian diinterpretasikan berdasarkan teori-teori dan
literatur-literatur yang berhubungan dengan objek tersebut (Sugiyono,2008).
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Kondisi lokasi penelitian
Kabupaten Banyuwangi terletak di bagian paling timur Provinsi Jawa Timur
dengan daerah penghasil ikan terbesar berada di Kecamatan Muncar. Potensi
perikanan yang besar berkaitan dengan adanya kawasan yang ditumbuhi mangrove
sebagai kawasan nursery grounds, spawning grounds dan feeding grounds yang
berlokasi di Kawasan Teluk Pangpang, yang bersebelahan dengan perairan Selat
Bali dan Samudera Hindia. Stasiun Penelitian dilakukan di Pesisir Muncar yang
terbagi atas 3 wilayah pengamatan yaitu Stasiun I (Tratas Kawang), Stasiun II
(Muncing Krajan) dan Stasiun III (Tegalpare).
Lokasi pengamatan I terletak di daerah pesisir Tratas Kawang yang terletak
di antara 2 Dusun yaitu Dusun Tratas dan Dusun Kabatmantren dengan batas
Sungai Wagut yang mempunyai panjang aliran sungai ± 44,6 Km. Ekosistem
Mangrove di Stasiun I memiliki ketebalan mencapai 150 meter dan panjang pesisir
mencapai 600 meter yang dibagi menjadi 5 petak contoh penelitian dengan jarak
antar petak contoh 30 meter.
Stasiun II berada dipesisir Muncing Krajan yaitu di Dusun Kabatmantren
dan Dusun Krajan berada didaerah muara aliran Sungai Setail yang mempunyai
panjang aliran sungai ± 73,35 Km. Ekosistem mangrove di Stasiun II memiliki
ketebalan mencapai 200 meter dan panjang pesisir mencapai 250 meter yang dibagi
menjadi 4 petak contoh penelitian dengan jarak antar petak contoh 50 meter.
Sedangkan, Stasiun III terletak di pesisir mangrove Dusun Tegalpare yaitu
35
36
memiliki ketebalan mencapai 300 meter dan panjang pesisir mencapai 450 meter
yang dibagi menjadi 4 petak contoh penelitian dengan jarak antar petak contoh 75
meter.
Adanya degradasi lahan dan tekanan lingkungan aktivitas masyarakat
berupa pengembangan tambak budidaya perikanan, pelabuhan, pemukiman,
pencemaran limbah domestik dan industri di pesisir dapat merugikan biota laut
berupa flora mangrove dan fauna akuatik, sehingga Kawasan Teluk Pangpang
ditetapkan sebagai areal rehabilitasi oleh Pemerintah, Swasta dan Kelompok tani
setempat. Terlihat beberapa wilayah hutan mangrove di pesisir Teluk Pangpang
memiliki kerapatan yang relatif sangat tinggi dan tekstur tanah yang berpasir dan
berlumpur sehingga cukup menyulitkan untuk berjalan dan menembus areal
rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian.
Pengambilan sampel penelitian berupa fauna akuatik di Kawasan Teluk
Pangpang dilakukan dalam keadaan surut pada saat musim ikan/tidak dalam
keadaan air kundo/konda. Air Konda yaitu keadaan air laut tidak mengalami pasang
tinggi dan surut rendah karena keadaan gelombang dan arus yang stagnan/stabil.
Pasang surut air laut berupa kedalaman air laut bulanan mengacu pada BMKG
Banyuwangi serta nelayan di pesisir yang masih mengacu dengan melihat bulan
dan penanggalan jawa (Hijriah).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nelayan pesisir dalam pengambilan
fauna akuatik menggunakan alat tangkap jaring berupa jebakan (Trapped net) atau
banjang/sero (bahasa lokal) yang banyak terpasang di pesisir pantai dan mangrove.
Pengambilan fauna dilakukan pada saat bulan purnama/penuh dan bulan mati/sabit
yaitu pada saat air laut mengalami pasang/surut besar berkisar tanggal 12-19 dan
37
27-6. Sedangkan, para nelayan tidak mengambil hasil tangkap pada saat air kunda
karena fauna akuatik yang tertangkap lebih sedikit yaitu berkisar tanggal 20-27 dan
5-10 sehingga mereka lebih memilih memperbaiki atau membersihkan jaring dan
menunggu pada saat air laut mulai pasang maju/besar.
5.1.2. Kondisi tekstur tanah
Karakteristik tekstur tanah menggunakan metoda feeling/perasaan yaitu
sampel tekstur tanah yang telah didapatkan di setiap plot-plot mangrove Stasiun
penelitian dikumpulkan dan diteliti dengan memijit tanah basah diantara jari-jari,
sambil dirasakan halus kasarnya yaitu untuk mengetahui tekstur tanah pasir, debu
dan liat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan Stasiun I mempunyai tekstur
tanah pasir berlempung dengan ciri-ciri rasa kasar pasir jelas, sedikit sekali melekat
dan dapat dibentuk bola atau gulungan yang mudah sekali hancur. Letaknya yang
berada di pesisir pantai dan berdekatan dengan muara sungai menyebabkan aliran
air yang membawa sedimentasi ke arah laut terjebak pada akar-akar mangrove pada
saat rehabilitasi di Kawasan Teluk Pangpang. Kondisi tekstur tanah di Stasiun I
menyebabkan vegetasi mangrove dapat beradaptasi seperti Rhizophora sp.,
Avicennia marina, dan Sonneratia alba.
Stasiun II mempunyai tekstur tanah lempung berpasir dengan ciri-ciri rasa
pasir agak jelas, agak melekat dan dapat dibuat bola tetapi mudah hancur. Letak
mangrove yang berada pada muara sungai merupakan hasil rehabilitasi di lokasi
tambak yang rusak. Kondisi mangrove yang tumbuh dan berkembang didalam
lokasi tambak menyebabkan aliran sungai yang membawa sedimentasi berupa
tanah lempung masuk ke dalam tambak dan mengendap pada akar-akar mangrove.
Kondisi kerapatan dan penutupan mangrove di Stasiun II yang lebih tebal dan rapat
38
didominansi oleh jenis S. alba yang terletak di muara sungai Setail dengan
hamparan pesisir yang luas sehingga menyebabkan tekstur tanahnya tersusun oleh
lempung berpasir.
Stasiun III dengan tekstur tanah lempung liat berdebu dengan ciri-ciri rasa
liat agak licin, melekat dan dapat dibentuk gulungan tetap seperti bola yang
mengkilat. Lokasi yang berdekatan dengan sungai merupakan areal rehabilitasi di
tambak yang rusak menyebabkan aliran sungai yang membawa sedimentasi yang
bergerak menuju perairan teluk bagian dalam dan mengalami pendangkalan lumpur
yang tinggi. Adanya kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi dalam mengikat
sedimen (sedimen trapped) menyebabkan kondisi tanah mempunyai tekstur
lempung liat berdebu.
5.1.3. Kondisi perairan
Faktor kondisi perairan di kawasan mangrove menunjukkan terdapat adanya
fluktuasi kenaikan dan penurunan parameter suhu, pH, dan salinitas sehingga biota
laut harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis atau
berubah-ubah. Hasil analisis kondisi perairan dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Parameter Suhu, Salinitas, pH dan Tekstur Tanah
Stasiun
Suhu (ºC)
Salinitas (‰)
pH
Tekstur tanah
I
30-32
20-35
7,2-7,5
Pasir berlempung
II
32-34
30-35
7,2-7,4
Lempung berpasir
III
27-31
10-30
6,8-7,2
Lempung liat berdebu
Kepmen.LH
28-32
Alami-34
7,0 - 8,5
No:51/2004
Keterangan: I = Tratas Kawang, II = Muncing Krajan dan III = Tegal Pare
Hasil pengukuran kondisi lingkungan perairan di Stasiun I, II, III
menunjukkan adanya kesesuaian batasan toleransi suhu untuk mangrove yaitu
39
berkisar 28-32 ºC, salinitas alami yaitu kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi
setiap saat sampai berkisar 34 ‰ dan pH air laut yaitu 7-8,5 pada peraturan baku
mutu air laut untuk biota laut Kepmen. LH Nomor : 51 Tahun 2004.
Kondisi perairan kawasan Teluk Pangpang dengan adanya muara sungai,
tambak, dan perairan laut menyebabkan suhu lingkungan di stasiun penelitian
berkisar 27 ºC - 34 ºC. Suhu merupakan salah satu pengukuran kondisi lingkungan
yang paling mudah untuk diteliti dan ditentukan dilokasi penelitian, sehingga hasil
penelitian berupa suhu perairan yang didapat masih toleran dan tidak terlalu
ekstrem. Hal ini disebabkan karena kerapatan dan penutupan mangrove yang relatif
tebal dan tinggi, sehingga cahaya matahari tidak terlalu banyak masuk ke lantai
hutan mangrove.
Salinitas perairan didapatkan hasil pengukuran yang berbeda pada setiap
Stasiun yaitu berkisar antara 10 ‰ sampai dengan 35 ‰. Salinitas perairan di
lokasi penelitian mengalami perubahan yang fluktuatif karena adanya aliran air
sungai dari hulu ke hilir ditambah curah hujan yang tinggi serta saluran air keluar
(outlet) tambak ke pesisir menyebabkan pencampuran air tawar sehingga membuat
biota laut beradaptasi dengan kandungan salinitas di pesisir Kawasan Teluk
Pangpang.
Derajat keasaman (pH) perairan di Kawasan Teluk Pangpang mengalami
kondisi yang fluktuatif berkisar 6,8 sampai dengan 7,5. Hal ini tidak terlepas dari
kerapatan dan penutupan mangrove yaitu semakin tebal dan lebat kondisi mangrove
maka semakin tinggi serasah daun mangrove yang dihasilkan. Guguran daun
mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan terdekomposisi oleh bakteri dan jamur
40
sehingga menjadi detritus dan menyebabkan kecenderungan perairan menjadi asam
(pH < 7).
5.2. Analisis Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang
5.2.1. Komposisi jenis vegetasi mangrove
Penelitian kondisi vegetasi mangrove Kawasan Teluk Pangpang ini terletak
di pesisir Muncar, Kawasan Teluk Pangpang. Identifikasi vegetasi mangrove
mengacu pada buku “Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia” karangan
Noor et.al (2006). Selama penelitian berlangsung didapatkan 5 Famili dan 8 spesies
jenis mangrove di Kawasan Teluk Pangpang. Hasil penelitian dapat dilihat pada
Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Identifikasi Jenis Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang
Familia
Sonneratiaceae
Spesies
Sonneratia alba J.E. Smith.
Nama Lokal
Pedada, perepat, bogem,
mange-mange.
Rhizophoraceae
Rhizophora mucronata Lmk.
Bakau korap, bakau hitam,
Tanjang slindur.
Rhizophora apiculata Bl.
Bakau
merah,
bakau
kacang, slengkreng.
Ceriops tagal C.B.Rob.
Tingi, tengar, mentigi,
mange darat, wanggo.
Bruguiera gymnorrhiza (L.)
Tanjang merah, pertut,
lindur,bako,sarau.
Avicenniaceae
Avicennia marina (Forsk.)
Api-api,sie-sie,pejapi,
nyapi,hajusia,pai.
Acanthaceae
Acanthus ilicifolius L.
Jeruju hitam, daruyu,
darulu.
Meliaceae
Xylocarpus moluccencis (L)
Nyirih batu, siri, jombok,
Roem.
kabau, raru.
Keterangan: I = Tratas Kawang, II = Muncing Krajan dan III = Tegal Pare
Stasiun
I, II dan
III
I, II dan
III
I, II dan
III
II dan
III
III
I dan III
III
III
Hasil penelitian menunjukkan Stasiun pengamatan I terdapat 3 familia yaitu
Sonneratiaceae, Rhizophoraceae dan Avicenniaceae yang terdiri dari 4 Spesies
seperti Sonneratia alba J.E. Smith., Rhizophora mucronata Lmk., R. apiculata Bl.,
41
dan Avicennia marina (Forsk.). Stasiun pengamatan II terdapat 2 familia yaitu
Sonneratiaceae dan Rhizophoraceae yang terdiri dari 4 spesies seperti S. alba J.E.
Smith., R. mucronata Lmk., R. apiculata Bl. dan Ceriops tagal C.B. Rob.
Sedangkan, Stasiun III terdapat 5 familia yaitu Sonneratiaceae, Rhizophoraceae,
Avicenniaceae, Acanthaceae dan Meliaceae yang terdiri dari 8 spesies yaitu S. alba
J.E. Smith., R. mucronata Lmk., R. apiculata Bl., C. tagal C.B.Rob., B.
gymnorrhiza (L.), A. marina (Forsk.), Acanthus ilicifolius L., dan Xylocarpus
moluccencis (L) Roem.
Jenis vegetasi mangrove di Kawasan Teluk Pangpang pada masing-masing
Stasiun terlihat dari berbagai jumlah tingkatan pertumbuhan mangrove berupa fase
semai, pancang dan pohon. Pada Stasiun I, fase semai mempunyai jumlah 55
individu, fase pancang berjumlah 47 individu dan fase pohon berjumlah 258
individu. Pada Stasiun II, fase semai mempunyai jumlah 32 individu, fase pancang
berjumlah 50 individu, dan fase pohon berjumlah 276 individu. Sedangkan, pada
Stasiun III fase semai mempunyai jumlah 63 individu, fase pancang berjumlah 35
individu dan fase pohon berjumlah 164 individu (Tabel 5.3).
Tabel 5.3. Jumlah Individu Mangrove per Fase di Kawasan Teluk Pangpang
Stasiun
Pengamatan
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
jumlah
Semai
55
32
63
150
Jumlah individu per fase (ind)
Pancang
47
50
35
132
Pohon
258
276
164
698
5.2.2. Kerapatan jenis vegetasi mangrove
Hasil penelitian kerapatan jenis pada seluruh stasiun pengamatan didapatkan
tegakan mangrove > 1.500 ind/ha. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.4.
42
Tabel 5.4. Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
II
III
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
A. marina (Forsk.)
jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius L.
jumlah
Kerapatan jenis (Ind/Ha)
Semai
Pancang
32.500
700
105.000
833
100
137.500
1.633
15.000
4.533
25.000
4.800
1.600
40.000
10.933
2.000
400
75.000
2.600
4.800
1.200
3.750
78.750
11.000
Pohon
2.175
2.760
1.067
100
6.102
3.100
1.275
367
4.742
2.033
700
1.100
1.133
800
1.000
500
7.266
Kerapatan vegetasi di keseluruhan Stasiun pengamatan yaitu fase semai
berkisar 40.000 - 137.500 ind/ha, fase pancang berkisar 1.633 – 11.000 ind/ha, dan
fase pohon berkisar 4.742 – 7.266 ind/ha. Kerapatan vegetasi mangrove pada fase
semai tertinggi ditemukan di Stasiun I sebesar 137.500 ind/ha. Fase pancang dan
fase pohon tertinggi ditemukan di Stasiun III yaitu 11.000 ind/ha dan 7.266 ind/ha.
Sedangkan, kerapatan vegetasi terendah pada fase semai ditemukan di Stasiun II
sebesar 40.000 ind/ha, fase pancang di Stasiun I sebesar 1.633 ind/ha dan fase
pohon di Stasiun II sebesar 4.742 ind/ha.
Hasil pengamatan kerapatan relatif menunjukkan pada fase semai jenis C.
tagal di Stasiun III mempunyai kerapatan relatif tertinggi sebesar 95,24%, fase
pancang jenis R. mucronata di Stasiun I sebesar 51,02% dan fase pohon jenis S.
alba di Stasiun II sebesar 65,38%. Sedangkan, kerapatan relatif terendah pada fase
semai jenis A. ilicifolius sebesar 4,76 % ditemukan di Stasiun III, pada fase pancang
43
jenis R. mucronata ditemukan di Stasiun III sebesar 3,64 % dan pada fase pohon
jenis A. marina ditemukan di Stasiun I sebesar 1,64 %. Hasil analisis vegetasi
kerapatan relatif dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Kerapatan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
II
III
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl.
A. marina (Forsk.)
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius(L.)
Jumlah
Kerapatan relatif (%)
Semai
Pancang
23,64
42,86
76,36
51,02
6,12
100,00
100,00
37,50
41,46
62,50
43,90
14,63
100,00
100,00
18,18
3,64
95,24
23,64
43,64
10,91
4,76
100,00
100,00
Pohon
35,65
45,23
17,48
1,64
100,00
65,38
26,89
7,73
100,00
27,98
9,63
15,14
15,60
11,01
13,76
6,88
100,00
5.2.3. Frekuensi jenis vegetasi mangrove
Frekuensi vegetasi mangrove pada stasiun penelitian menunjukkan kondisi
yang cukup homogen terutama pada fase semai, fase pancang berkisar 0,14 – 0,67.
Hasil analisis frekuensi vegetasi dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Hasil pengamatan di Stasiun I menunjukkan R. mucronata mempunyai
frekuensi tertinggi pada fase semai yaitu 0,67, fase pancang 0,43 dan fase pohon
0,38. Frekuensi terendah pada fase semai diidentifikasi jenis S. alba yaitu 0,33,
pada fase pancang jenis R. apiculata yaitu 0,14 dan pada fase pohon jenis A.
marina yaitu 0,08. Pada Stasiun II, jenis S. alba dan R. mucronata mempunyai
44
frekuensi tertinggi yang sama pada fase semai sebesar 0,50 dan fase pohon sebesar
0,36, sedangkan fase pancang diidentifikasi jenis S. alba sebesar 0,60. Frekuensi
terendah diidentifikasi jenis R. mucronata dan C. tagal pada fase pancang sebesar
0,20. Sedangkan, pada fase pohon diidentifikasi jenis R. apiculata sebesar 0,27.
Tabel 5.6. Frekuensi Jenis Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
II
III
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
A. marina (Forsk.)
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius L.
Jumlah
Frekuensi Jenis
Semai
0,33
0,67
1,00
0,50
0,50
1,00
0,67
0,33
1,00
Pancang
0,43
0,43
0,14
1,00
0,60
0,20
0,20
1,00
0,14
0,29
0,29
0,14
0,14
1,00
Pohon
0,31
0,38
0,23
0,08
1,00
0,36
0,36
0,27
1,00
0,21
0,14
0,14
0,21
0,07
0,14
0,07
1,00
Pada Stasiun III menunjukkan kehadiran frekuensi tertinggi jenis C. tagal
pada fase semai sebesar 0,67, fase pancang diidentifikasi jenis R. mucronata dan C.
tagal sebesar 0,29 dan pada fase pohon diidentifikasi jenis S. alba dan C. tagal
sebesar 0,21. Frekuensi terendah pada fase semai diidentifikasi jenis A. ilicifolius
sebesar 0,33. Fase pancang diidentifikasi Jenis S. alba, B. gymnorrhiza dan A.
marina sebesar 0,14 dan fase pohon diidentifikasi jenis B. gymnorrhiza dan X.
moluccensis sebesar 0,07.
Hasil penelitian menunjukkan frekuensi relatif jenis yang terdapat di Stasiun
I dan II cukup homogen pada fase semai, pancang, dan pohon. Sedangkan, Stasiun
45
III terdapat perbedaan frekuensi relatif pada masing-masing jenis. Hasil analisis
dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Frekuensi Relatif Jenis Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
II
III
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
A. marina (Forsk.)
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius L.
Jumlah
Frekuensi relatif (%)
Semai
Pancang
33,33
42,86
66,67
42,86
14,29
100,00
100,00
50,00
60,00
50,00
20,00
20,00
100,00
100,00
14,29
28,57
66,67
28,57
14,29
14,29
33,33
100,00
100,00
Pohon
30,77
38,46
23,08
7,69
100,00
36,36
36,36
27,27
100,00
21,43
14,29
14,29
21,43
7,14
14,29
7,14
100,00
Hasil analisis frekuensi relatif tertinggi pada fase semai menunjukkan jenis
R. mucronata di Stasiun I dan C. tagal di Stasiun III sebesar 66,67%, fase pancang
jenis S. alba mempunyai nilai frekuensi relatif di Stasiun II sebesar 60% dan fase
pohon jenis R. mucronata mempunyai frekuensi relatif di Stasiun I sebesar
38,46%. Sedangkan, nilai frekuensi relatif terendah pada fase semai jenis S. alba di
Stasiun I dan A. ilicifolius di Stasiun III sebesar 33,33%, fase pancang jenis R.
apiculata di Stasiun I, jenis S. alba, B. gymnorrhiza, A. marina di Stasiun III
mempunyai frekuensi relatif sebesar 14,29% dan fase pohon jenis B. gymnorrhiza,
X. moluccencis mempunyai frekuensi relatif sebesar 7,14%.
46
5.2.4. Luas penutupan jenis vegetasi mangrove
Luas penutupan mangrove pada fase semai pada masing-masing Stasiun
berkisar antara 0,08 m2/ha – 38,75 m2/ha, fase pancang berkisar antara 0,01 m2/ha
– 53,03 m2/ha, sedangkan fase pohon berkisar antara 0,10 m2/ha –1.840,70 m2/ha.
Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Luas Penutupan Jenis Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
II
III
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
A. marina (Forsk.)
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius L.
Jumlah
Luas Penutupan Jenis (m2/Ha)
Semai
Pancang
0,08
7,99
0,64
10,54
0,01
0,72
18,54
0,26
53,03
0,08
24,66
1,99
0,34
79,68
5,04
0,36
38,75
13,98
16,88
1,94
0,81
39,56
38,2
Pohon
743,88
906,15
152,93
0,10
1.803,06
1.840,70
181,91
0,33
2.022,94
582,34
18,99
180,31
68,79
17,23
72,86
29,20
969,72
Hasil analisis perhitungan luas penutupan dapat diketahui bahwa Stasiun I
diidentifikasi jenis R. mucronata mempunyai luas penutupan tertinggi pada fase
semai seluas 0,64 m2/ha, fase pancang 10,54 m2/ha dan fase pohon 906,91 m2/ha.
Pada Stasiun II, diidentifikasi jenis S. alba mempunyai luas penutupan tertinggi
pada fase semai seluas 0,26 m2/ha, fase pancang seluas 53,03 m2/ha dan fase pohon
seluas 1.840,70 m2/ha. Pada Stasiun III, luas penutupan tertinggi diidentifikasi pada
47
fase semai jenis C. tagal seluas 38,75 m2/ha, fase pancang jenis B. gymnorrhiza
seluas 16,88 m2/ha dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba seluas 582,34 m2/ha.
Luas penutupan relatif menunjukkan bahwa fase semai jenis R. mucronata
di Stasiun I dan C. tagal di Stasiun III terdapat penutupan relatif >70%. Sedangkan,
S. alba di Stasiun II yaitu <50%. Pada fase pancang, Stasiun I dan II mempunyai
luas penutupan ≥ 50%-<75% dibandingkan Stasiun III dengan luas penutupan
relatif <50%. Pada fase pohon di Stasiun I,II, III luas penutupan relatif ≥ 50%<75%. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9. Luas Penutupan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
II
III
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
A. marina (Forsk.)
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius L.
Jumlah
Luas Penutupan relatif
Semai
11,11
88,89
100,00
53,39
46,61
100,00
97,26
2,04
100,00
(%)
Pancang
43,08
56,85
0,07
100,00
66,55
30,95
2,50
100,00
13,20
0,94
36,59
44,18
5,09
100,00
Pohon
41,26
50,26
8,48
0,01
100,00
90,99
8,99
0,22
100,00
60,05
1,96
18,59
7,09
1,78
7,51
3,01
100,00
Luas penutupan relatif tertinggi pada fase semai diidentifikasi jenis C. tagal
di Stasiun III sebesar 97,26%, fase pancang diidentifikasi jenis S. alba di Stasiun II
sebesar 66,55%, dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba di Stasiun II sebesar
90,99%. Sedangkan, luas penutupan relatif terendah pada fase semai diidentifikasi
48
A. ilicifolius di Stasiun III sebesar 2,04%, fase pancang diidentifikasi jenis R.
apiculata di Stasiun I sebesar 0,07% dan fase pohon diidentifikasi jenis A. marina
di Stasiun I sebesar 0,01%.
5.2.5. Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove
Hasil analisis Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove menunjukkan
secara keseluruhan pada pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang mempunyai
kriteria keanekaragaman jenis yang bervariasi dan didominasi flora mangrove jenis
Rhizophora mucronata dari famili Rhizophoraceae dan Sonneratia alba dari famili
Sonneratiaceae. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
II
III
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
A. marina (Forsk.)
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius L.
Jumlah
Indeks Nillai Penting (%)
Semai
Pancang
68,08
128,80
231,92
150,73
20,48
300,00
300,00
140,89
168,01
159,11
94,85
37,13
300,00
300,00
45,67
33,15
259,87
88,80
102,10
30,28
40,13
300,00
300,00
Pohon
107,67
133,95
49,04
9,34
300,00
192,73
72,25
35,02
300,00
109,46
25,88
48,02
44,12
19,93
35,56
17,03
300,00
Jenis R.mucronata dominan pada semua fase di Stasiun I yaitu fase semai
sebesar 231,92%, fase pancang sebesar 150,73% dan fase pohon sebesar 133,95%
Pada Stasiun II ditemukan jenis S. alba dengan INP tertinggi pada fase pancang
49
sebesar 168,01% dan fase pohon sebesar 192,73%. Sedangkan, Stasiun III pada
fase semai diidentifikasi jenis C. tagal mempunyai INP tertinggi yaitu 259,87%,
fase pancang diidentifikasi jenis B. gymnorhiza mempunyai INP sebesar 102,10%
dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba mempunyai INP sebesar 109,46%.
5.2.6. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove
Hasil penelitian indeks keanekaragaman pada seluruh stasiun pengamatan
didapatkan H’ berkisar 0,55-1,86. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Mangrove
Stasiun
I
H’
II
H’
III
H’
Spesies
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
A. marina (Forsk.)
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
Jumlah
S. alba J.E. Smith
R. mucronata Lmk.
R. apiculata Bl
C. tagal C.B.Rob
B. gymnorrhiza (L)
A. marina (Forsk.)
X. moluccencis (L)
A. ilicifolius L.
Jumlah
Nilai Keanekaragaman
Semai
Pancang
0,34
0,36
0,21
0,34
0,17
0,55
0,88
0,37
0,37
0,29
0,36
0,28
0,66
1,01
0,31
0,13
0,05
0,34
0,36
0,24
0,15
0,20
1,38
Pohon
0,37
0,36
0,30
0,08
1,11
0,28
0,35
0,20
0,84
0,36
0,22
0,28
0,29
0,24
0,28
0,19
1,86
Hasil analisis indeks keanekaragaman mangrove pada seluruh stasiun
pengamatan menunjukkan pada Stasiun I, H’ berkisar antara 0,55 – 1,11, Stasiun II
H’ berkisar antara 0,66 – 1,01 dan Stasiun III H’ berkisar antara 0,20 – 1,86.
H’ tertinggi fase semai terdapat di stasiun II sebesar 0,66, sedangkan H’
terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,20. H’ tertinggi fase pancang terdapat di
50
stasiun III sebesar 1,38, sedangkan H’ terendah terdapat di stasiun I sebesar 0,88.
H’ tertinggi fase pohon terdapat di stasiun III sebesar 1,86, sedangkan H’ terendah
terdapat di stasiun II sebesar 0,84.
5.2.7. Tingkat kerusakan vegetasi mangrove
Kerusakan vegetasi mangrove berdasarkan hasil pengamatan diperoleh di
tingkat semai kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun I yaitu 137.500 semai/ha,
kemudian berturut-turut di Stasiun III 78.750 semai/ha, dan di Stasiun II 40.000
semai/ha. Tingkat pancang kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun III yaitu 11.000
pohon/ha, kemudian berturut-turut di Stasiun III 10.933 pohon/ha, dan di Stasiun I
1.633 pohon/ha. Tingkat pohon, kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun III yaitu
7.266 pohon/ha, kemudian berturut-turut di Stasiun I yaitu 6.102 pohon/ha, dan di
Stasiun II yaitu 4.742 pohon/ha (Tabel 5.12).
Tabel 5.12. Tingkat Kerusakan Mangrove Dilihat Dari Kerapatan Vegetasi
Stasiun
I
II
III
Rata-Rata
Semai
137.500
40.000
78.750
85.416
Kriteria
Baik
Baik
Baik
Baik
Kerapatan (pohon/ha)
Pancang
Kriteria
1.633
Baik
10.933
Baik
11.000
Baik
7.855
Baik
Pohon
6.102
4.742
7.266
6.036
Kriteria
Baik
Baik
Baik
Baik
5.3. Analisis Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang
5.3.1. Komposisi jenis fauna akuatik
Kondisi vegetasi mangrove di Kawasan Teluk Pangpang mempunyai
hubungan yang erat terhadap struktur komunitas fauna yang beradaptasi dengan
lingkungannya salah satunya adalah fauna perairan atau fauna akuatik di kawasan
mangrove. Hasil tangkapan fauna akuatik diperoleh dari nelayan yang berada di
pesisir mangrove berupa alat tangkap jebakan (trapped net) atau banjang/sero.
Hasil pengamatan jumlah ikan yang melimpah ditemukan pada alat tangkap
51
banjang/sero daripada menggunakan alat tangkap pukat pantai karena dipasang
secara tetap atau permanen didalam air dan hasil tangkapan dilakukan pada waktu
air surut yaitu pagi hari. Alat tangkap Trapped Net dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Alat Tangkap Trapped Net di Kawasan Teluk Pangpang
Hasil pengamatan fauna akuatik kelompok ikan mengacu pada buku
“Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1 dan 2” karangan Saanin. H (1984) yaitu
diperoleh fauna akuatik bernilai ekonomis yaitu kelompok ikan berjumlah 14 jenis
dari 12 famili dan kelompok crustacea berjumlah 7 jenis dari 3 famili yang
berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Hasil tangkapan fauna akuatik
dapat dilihat pada Lampiran 6.
Kelompok ikan yang diperoleh sebesar 14 spesies ikan, yaitu : Valamugil
seheli, Leiognathus equulus, Acentrogobius caninus, Thryssa baelama, Stolephorus
indicus, Sardinella lemuru, Platycephalus scaber, Ambassis sp, Psettodes erumei,
Therapon jarbua, Polynemus plebeius, Tylosurus strongylurus, Sciaena russeli dan
Sillago sihama. Sedangkan, Kelompok crustacean diperoleh 7 spesies yaitu :
Harpiosquilla raphidea, Penaeus merguiensis, Metapenaeus sp., Panaeus
monodon, Thalamita sima, Scylla serata, dan Portunus pelagicus.
52
5.3.2. Kelimpahan dan biomassa jenis fauna akuatik
Hasil penelitian di Kawasan Teluk Pangpang didapatkan kelimpahan fauna
akuatik tertinggi untuk kelompok fauna ikan jenis ikan bedul (Acentrogobius
caninus) dengan kelimpahan dan biomassa tertinggi sebanyak 975 ind sebesar
18.299,56 gr. Sedangkan, kelimpahan dan biomassa terendah diidentifikasi jenis
ikan kacangan (T. strongylurus), ikan gulamah (Sciaena russeli), ikan sumbal (P.
plebeius) dan ikan kerong (T. jarbua).
Kelompok fauna non ikan ditemukan Metapenaeus sp. mempunyai
kelimpahan tertinggi sebanyak 1.936 ind dan P. pelagicus mempunyai biomassa
tertinggi sebesar 13.609,38 gr. Sedangkan, kelimpahan dan biomassa terendah
diidentifikasi jenis kepiting bakau (S.serata) dan udang mantis (H.raphidea) yang
berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Hasil analisis dapat dilihat pada
Tabel 5.13.
Hasil penelitian di Stasiun I menunjukkan ikan petek (L. equulus)
mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 332 ind dan ikan kerong (T. jarbua)
mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 31 ind. Pada Stasiun II, ikan seriding
(Ambassis sp.) mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 253 ind dan ikan
kacangan (T. strongylurus) mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 7 ind. Pada
stasiun III, ikan bedul (A. caninus) mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 552
ind dan ikan kerong (T. jarbua) mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 7 ind.
Kelimpahan tertinggi kelompok non ikan diidentifikasi jenis udang werus
(Metapenaeus sp.) di stasiun I, II dan III yaitu sebanyak 684 ind, 577 ind dan 675
ind dan kelimpahan terendah pada Stasiun I, II dan III diidentifikasi jenis udang
mantis (H.raphidea) yaitu sebanyak 41 ind, 98 ind dan 46 ind.
53
Tabel 5.13. Kelimpahan dan Biomassa Jenis Fauna Akuatik
Spesies
Sta.I
K
Sta.II
B
Sta.III
K
B
K
Jumlah Total
B
K
B
Fauna Ikan
V. seheli
52,00
1.206,40
38,00
2.555,50
9,00
720,00
99,00
4.481,90
L. equulus
332,00
3.764,88
148,00
476,56
75,00
321,75
555,00
4.563,19
A. caninus
320,00
12.352,00
103,00
1.470,84
552,00
4.476,72
975,00
18.299,56
T. baelama
319,00
5.378,34
136,00
3.332,00
148,00
697,08
603,00
9.407,42
S.indicus
201,00
1.330,62
70,00
970,20
243,00
505,44
514,00
2.806,26
S.lemuru
102,00
1.460,64
112,00
2.038,40
107,00
1.433,80
321,00
4.932,84
P. scaber
31,00
220,10
58,00
3.045,00
74,00
1.600,62
163,00
4.865,72
Ambassis sp
85,00
289,00
253,00
931,04
338,00
1.220,04
P. erumei
137,00
3.068,80
56,00
232,40
52,00
796,64
245,00
4.097,84
T. jarbua
13,00
742,30
21,00
661,50
7,00
381,50
8,00
173,60
-
P. plebeius
-
-
T. strongylurus
-
-
7,00
120,40
S. russeli
-
-
17,00
1.499,40
75,00
1.032,75
53,00
S.sihama
63,00
2.368,80
20,00
-
-
41,00
1.785,30
-
8,00
173,60
125,00
27,00
245,40
-
17,00
1.499,40
808,25
191,00
4.209,80
Fauna Non Ikan
H.raphidea
41,00
233,70
98,00
784,00
46,00
139,38
185,00
1.157,08
P.merguiensis
118,00
1.516,30
369,00
3.051,63
98,00
769,30
585,00
5.337,23
Metapenaeus sp.
684,00
1.915,20
577,00
3.542,78
675,00
5.359,50
1936,00
10.817,48
P.monodon
357,00
2.548,98
141,00
549,90
94,00
2.350,00
592,00
5.448,88
T.sima
128,00
1.702,40
88,00
1.714,24
55,00
830,50
271,00
4.247,14
S.serata
82,00
1.052,88
-
-
59,00
4.822,07
141,00
5.874,95
P. pelagicus
141,00
5.950,20
104,00
4.898,40
89,00
2.760,78
334,00
13.609,38
Keterangan : Sta = Stasiun ; K = Kelimpahan (individu); B= Biomassa (gram)
Hasil penelitian biomassa kelompok fauna ikan menunjukkan ikan bedul
(A.caninus) mempunyai biomassa tertinggi pada Stasiun I dan III yaitu sebesar
12.352 gr dan 18.299,56 gr. Pada stasiun II, biomassa tertinggi diidentifikasi ikan
liplip (T.baelama) sebesar 3.332 gr. Sedangkan, biomassa terendah pada Stasiun I
diidentifikasi ikan pahat (P. scaber) mempunyai biomassa terendah sebesar 220,10
gr. Pada Stasiun II dan III, ikan kacangan (T.strongylurus) mempunyai biomassa
terendah sebesar 120,4 gr dan 125 gr.
Hasil penelitian biomassa kelompok fauna non ikan menunjukkan kepiting
rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa tertinggi pada Stasiun I dan II yaitu
54
sebesar 5.950,2 gr dan 4.898,4 gr. Pada stasiun III, biomassa tertinggi diidentifikasi
udang werus (Metapenaeus sp.) sebesar 5.359,5 gr. Sedangkan, biomassa terendah
pada Stasiun I, III diidentifikasi udang mantis (H. raphidea) sebesar 233,7 gr dan
139,38 gr/m2. Pada Stasiun II, biomassa terendah diidentifikasi udang windu
(P.monodon) sebesar 549,9 gr.
5.3.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik
Hasil indeks keanekaragaman (H’) fauna akuatik tertinggi menunjukkan di
Stasiun II berkisar 1,51 – 2,31, H’ tertinggi kedua terdapat di stasiun I berkisar
1,57 – 2,09 dan H’ terendah terendah di stasiun III berkisar 1,36 – 1,82. Hasil
indeks kemerataan (E’) fauna akuatik tertinggi menunjukkan di Stasiun II berkisar
0,87 – 0,84, Stasiun I berkisar 0,87 – 0,81 dan Stasiun III berkisar 0,76 – 0,70.
Hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E’) kelompok
fauna ikan menunjukkan di Stasiun II memperoleh nilai indeks tertinggi yaitu nilai
H’ sebesar 2,31 dan nilai E’ sebesar 0,87. Sedangkan, nilai H’ dan E’ terendah
didapatkan di Stasiun III yaitu 1,82 dan 0,76. Indeks Keanekaragaman (H’) dan
Indeks Kemerataan (E’) kelompok fauna ikan dapat dilihat pada Gambar 5.2.
2,5
2
1,5
H'
1
E'
0,5
0
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Gambar 5.2. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan
Kelompok Fauna Ikan
55
Hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E’) kelompok
fauna non ikan menunjukkan di Stasiun I dan II memiliki nilai H’ dan E’ yang
tinggi yaitu Stasiun I dengan nilai H’ 1,57 dan E’ 0,81. Sedangkan, Stasiun II
dengan nilai H’ 1,50 dan E’ 0,84. Indeks keanekaragaman dan kemerataan terendah
diidentifikasi terdapat di Stasiun III yaitu nilai H’ 1,17 dan nilai E’ 0,65. Indeks
Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E’) kelompok fauna non ikan dapat
dilihat pada Gambar 5.3.
2
1,5
H'
1
E'
0,5
0
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Gambar 5.3. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan
Kelompok Fauna Non Ikan
5.4. Analisis Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik
Keterkaitan fauna terhadap kondisi Stasiun pengamatan dikumpulkan
berdasarkan jumlah hasil tangkapan famili fauna akuatik bernilai ekonomis penting
yang berjumlah 15 famili yaitu Mugilidae, Leiognathidae, Gobiidae, Clupeidae,
Platycephalidae,
Centropomidae,
Belonidae, Sciaenidae, Sillagidae,
Psettodidae,
Theraponidae,
Polynemidae,
Squillidae, Penaeidae dan Portunidae
(Lampiran 6). Famili fauna akuatik yang melimpah menunjukkan adanya hubungan
yang erat dengan ekosistem mangrove sehingga ditemukan tingginya jumlah hasil
tangkapan famili Clupeidae dari kelompok ikan dan famili Panaeidae dari
56
kelompok non ikan. Komposisi hasil tangkapan famili fauna akuatik (individu) di
setiap stasiun penelitian dapat dilihat di Gambar 5.4.
Mugilidae
Leiognathidae
Gobiidae
Clupeidae
Famili fauna akuatik
Platycephalidae
Centropomidae
Psettodidae
Theraponidae
Polynemidae
Belonidae
Scevinidae
Sillagidae
Squillidae
Penaeidae
Portunidae
0
200
400
600
800
1000
1200
Jumlah Hasil Tangkapan Fauna (Ind)
Stasiun III
Stasiun II
Stasiun I
Gambar 5.4. Komposisi Famili Fauna Akuatik di Stasiun pengamatan
Keterangan :
I : Stasiun Pengamatan I
II : Stasiun Pengamatan II
III : Stasiun Pengamatan III
1 : Mugilidae
2 : Leiognathidae
3 : Gobiidae
4 : Clupeidae
5 : Platycephalidae
6 : Centropomidae
7 : Psettodidae
8 : Theraponidae
9 : Polynemidae
10 : Belonidae
11 : Scevinidae
12 : Sillagidae
13: Squillidae
14 : Penaeidae
15: Portunidae
Gambar 5.5. Pola Sebaran Fauna akuatik di Ekosistem Mangrove
57
Kondisi penyebaran famili fauna akuatik yang berasosiasi dengan kawasan
mangrove di Teluk Pangpang dikaji dengan analisis korespondensi. Hasil
pengolahan data correspondence analysis berupa kondisi Stasiun I, II, III dan
kondisi jumlah hasil tangkapan famili fauna akuatik menggunakan software SPSS
(Statistical Package for the Social Science) (Lampiran 7). Sedangkan, hasil
keluaran (output) berupa peta (mapping) kategori dari variabel famili fauna akuatik
di Stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Analisis korespondensi digunakan untuk melihat secara visual ada tidaknya
ketergantungan antar kategori dan membantu melihat keterkaitan suatu profil dari
suatu kategori menjadi komponen baris dan kolom. Hasil pengamatan sebaran pola
sebaran menunjukkan pada Stasiun I yang terletak paling atas berdekatan dengan
Stasiun
II
menandakan
adanya
keterkaitan
fauna
yaitu
kelimpahan,
keanekaragaman ikan yang cenderung merata. sehingga dominan ditemukan
kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Mugilidae,
Clupediae dan demersal yaitu famili Leiognatidae, Psettodidae.
Pada Stasiun II, fauna akuatik yang banyak tertangkap menunjukkan famili
kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Centropomidae,
Polynemidae, Sillagidae dan sifat hidup demersal yaitu Theraponidae, Sciaenidae.
Stasiun III terletak dikiri dengan angka paling kecil menandakan adanya
faktor-faktor lingkungan seperti keadaan mangrove, kualitas perairan dan alat
tangkap yang menyebabkan perbedaan dengan Stasiun lainnya. Kondisi mangrove
Stasiun III menunjukkan dominasi jenis C. tagal, B. gymnorrhiza, A. marina, A.
illcifolius dan X. moluccensis sehingga menyebabkan tingkat adaptasi dan jenis
fauna akuatik yang berasosiasi ditemukan dominan famili ikan yang mempunyai
58
sifat hidup demersal seperti ikan famili Gobidae, Platycephalidae. Sedangkan, ikan
famili Belonidae termasuk ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis.
Pengelompokkan kategori di Stasiun I,II dan III terlihat komposisi famili
fauna akuatik yang merata dan dominan dijumpai kelompok ikan yaitu famili
clupeidae dan silagidae. Sedangkan kelompok non ikan yaitu famili penaidae dan
portunidae.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1.Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang
Kondisi
mangrove
didominasi
oleh
famili
Sonneratiaceae
dan
Rhizophoraceae, dengan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan
perkembangan vegetasi mangrove serta fauna akuatik yaitu suhu berkisar 27-33 ºC,
Salinitas 10-33 ‰, pH 6,8-7,4 dan tekstur tanah yang berpasir dan berlempung.
Kawasan Teluk Pangpang ditetapkan sebagai areal rehabilitasi oleh Pemerintah,
Swasta dan Kelompok tani setempat. Penelitian oleh Raharja (2012), peningkatan
luasan hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang dipengaruhi oleh adanya
kegiatan rehabilitasi yang tergolong berhasil sehingga dominan ditemukan jenis R.
mucronata oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah, diantaranya Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Kementerian Kelautan Perikanan (Co-Fish Project),
OISCA dan Yayasan Mangrove, Lembaga Pemberdayaan Industri Pedesaan (LPIP),
dan Komisi Riset Malang.
Perkembangan jenis mangrove terlihat semakin membaik karena adanya
aliran sungai yang membawa lumpur dan pasir ke dasar laut dan bercampur dengan
ombak dan pasang surut. Hasil penelitian Gustiar (1995) di kawasan Teluk
Pangpang, menerangkan bahwa keberadaan hutan mangrove sebagai daerah transisi
antara daratan DAS yaitu melindungi perairan pantai dan teluk dari sedimentasi
yang berat dari daerah hulu DAS, menstabilkan sedimen yang masuk ke perairan
dan meredam bahan pencemar di kawasan Teluk Pangpang.
Nilai kerapatan tinggi pada fase semai, fase pancang dan fase pohon famili
Rhizophoraceae di keseluruhan stasiun merupakan tegakan hasil penanaman /
59
60
rehabilitasi mangrove di pesisir pantai yang berdekatan dengan muara sungai.
Substrat tanah berpasir dan berlumpur menyebabkan pertumbuhan jenis R.
mucronata beradaptasi dengan lingkungannya sehingga penyebaran bijinya dapat
mudah tumbuh dan berkembang di lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Sudarmadji et al. (2011), bahwa di Kabupaten Banyuwangi jenis R.
apiculata, R. mucronata dan S. alba merupakan jenis dominan dan penyebarannya
merata di seluruh wilayah pantai. Hal ini disebabkan dari bentuk propagul yang
besar, memanjang dan dapat disebarkan oleh arus secara lebih luas serta memiliki
cadangan makanan lebih banyak sehingga kesempatan hidup lebih tinggi, serta
jenis S. alba memiliki buah berbentuk bulat dan besar dengan banyak biji, sehingga
memiliki kemungkinan hidup lebih tinggi.
Kawasan Teluk Pangpang ditentukan dengan 3 (tiga) stasiun sampling yang
terletak di kawasan ekosistem mangrove, yaitu: Stasiun I berada di kawasan pesisir
Tratas Kawang, terletak di bagian mulut teluk dengan kondisi berupa daerah
pemukiman, pelabuhan, area rehabilitasi dan muara aliran sungai Wagut; Stasiun II
berada di kawasan pesisir Muncing Krajan, terletak di bagian tengah teluk dengan
kondisi berupa tambak budidaya ikan, daerah rehabilitasi dan agak berjauhan
dengan muara Sungai Setail; Sedangkan Stasiun III berada di kawasan pesisir
Tegalpare, terletak di bagian ujung teluk dengan kondisi berupa bekas tambak
budidaya ikan dan berdekatan dengan muara aliran sungai Setail, daerah pertanian
yang mengalirkan limbah pertanian dan limbah budidaya ikan.
Kondisi pesisir pantai Tratas Kawang, merupakan daerah pemukiman,
pelabuhan, industri perikanan yang menyebabkan kondisi mangrove banyak terlihat
limbah domestik berupa sampah plastik dan non plastik. Penebangan mangrove
61
masih terjadi yang membuat perkembangan mangrove jenis S. alba cenderung sulit
berkembang yaitu terlihat adanya bekas tebangan pada fase pancang dan fase
pohon. Hal ini dibuktikan dari adanya kerapatan yang rendah pada fase pancang
karena keberadaan mangrove dengan pemukiman menyebabkan beberapa
masyarakat beranggapan bahwa tegakan mangrove hanya jenis Tanjang yang
dilindungin oleh pemerintah, sedangkan jenis Perepat merupakan tumbuhan liar,
hidup secara alami tanpa ditanam dan mengganggu Tanjang, sehingga masyarakat
menduga boleh mengambil batang dan daunnya untuk pakan ternak dan kayu bakar.
Kondisi Stasiun I dapat dilihat pada Gambar 6.1.
Gambar 6.1. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan I
Aliran sungai yang membawa limpasan material lumpur pada saat curah
hujan membuat kondisi substrat tanah berpasir menjadi berlumpur sehingga
mendukung Famili Rhizophoraceae mendominasi dalam setiap petak contoh yang
dibuat karena merupakan hasil penanaman masyarakat bersama dengan pemerintah
dan non pemerintah. Hal ini terlihat dengan tingginya frekuensi relatif pada fase
semai dan fase pohon jenis R. mucronata karena sesuai dengan lokasi yang
mempunyai unsur hara dengan substrat berlumpur yaitu pasir berlempung, serta
kepedulian masyarakat/nelayan terhadap bibit R. mucronata yang jatuh tidak
sempurna dengan menancapkan kembali ke tempat-tempat yang jarang sehingga
dapat ditemukan kemunculannya untuk tumbuh meluas dan berkembang.
62
Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove menunjukkan jenis R.mucronata
dominan pada semua fase yaitu fase semai, fase pancang dan fase pohon yang
termasuk kriteria tinggi dalam penguasaannya dibanding jenis mangrove lainnya.
Dominasi vegetasi mangrove tingkat penguasaan fase semai, fase pancang dan fase
pohon jenis R. mucronata karena merupakan lokasi hasil percobaan penanaman
jenis Rhizophora sp. yang mempunyai tekstur tanah pasir berlempung. Dominasi
jenis R. mucronata dan S. alba pada seluruh stasiun karena jenis vegetasi mangrove
yang tumbuh mempunyai daya tahan terhadap berbagai gelombang dan arus laut
yang tinggi dengan didukung keberadaannya di muara sungai sehingga
keberhasilan tanaman semakin membesar dan meluas.
Lokasi penempatan plot yang berdekatan dengan sungai dapat teridentifikasi
keberadaan A. marina. Rendahnya frekuensi
A. marina benyak ditemukan di
daerah pinggiran sungai dan tumbuh lebih banyak diantara tumbuhan perepat (S.
alba). Arief (2003), menjelaskan zona A. marina terletak pada lapisan paling luar
dari hutan mangrove, tumbuh pada tanah yang berlumpur lembek dan berkadar
garam tinggi serta banyak ditemui berasosiasi dengan S. alba. Zona ini merupakan
pionner atau perintis karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat
cengkeraman perakaran tumbuhan jenis ini.
Kondisi daerah pesisir Muncing Krajan, merupakan daerah bekas tambak
yang tidak terpakai/terbengkalai. Adanya kerugian budidaya akibat penyakit udang
serta gelombang laut membuat tambak budidaya menjadi rusak sehingga dilakukan
program rehabilitasi/penanaman mangrove. Gangguan aktivitas masyarakat yang
secara terus menerus akan dapat mengurangi luasan hutan mangrove, dengan
ditemukan tingkat kerapatan yang rendah pada fase pohon karena pengambilan
63
cacing laut yang dilakukan diakar mangrove sehingga menjadi terputus, tumbang
dan mengganggu fungsi ekologis mangrove sehingga perkembangan tidak dapat
berjalan dengan baik. Gunarto (2004), menjelaskan ekosistem mangrove
mempunyai fungsi fisik sebagai pencegah abrasi, perlindungan angin, pencegah
intrusi air laut; fungsi biologis sebagai daerah asuhan berbagai biota; dan fungsi
ekonomis sebagai bahan makanan, minuman, keperluan rumah tangga dan lain-lain.
Kondisi Stasiun II dapat dilihat pada Gambar 6.2.
Gambar 6.2. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan II
Tingkat kerapatan yang rendah ditemukan pada fase semai karena adanya
serangan hama teritip yang hidup di akar mangrove dan menyebabkan sebagian
tegakan semai jenis R. mucronata mengalami kematian. Hasil pengamatan, hama
teritip banyak ditemukan pada tegakan semai yaitu parasit yang menempel pada
batang mangrove yang terbawa oleh perairan laut dan berkembang ke seluruh
bagian tanaman mangrove sehingga daya hidupnya tidak bertahan lama. Dewiyanti
et al. (2013), menyatakan apabila terdapat serangan hama teritip hebat maka dapat
menyebabkan kematian bibit mangrove. Teritip akan merusak kulit batang terutama
jenis Rhizophora sp. karena menyukai daerah yang terendam air laut dibandingkan
bagian atas batang yang kering dan hanya terendam jika air laut pasang.
64
Kemunculan jenis S. alba pada fase pancang dengan frekuensi relatif tinggi
karena diduga biji-biji S. alba terbawa arus pasang surut ke lahan pinggiran sungai
dan lahan tambak yang tidak terpakai/rusak, ditambah adanya tekstur tanah
lempung berpasir serta aliran muara sungai yang luas dalam mengalirkan unsur
hara menyebabkan tegakan mangrove S. alba dapat tumbuh dan berkembang luas.
Hal ini terlihat dengan adanya luas penutupan mangrove yang tinggi pada fase
pancang dan pohon dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan sehingga
mendukung pertumbuhan dan perkembangan jenis S.alba dengan INP tertinggi
sehingga tergolong sedang dalam penguasaan mangrovenya.
Kondisi pesisir Tegalpare terletak berdekatan dengan sungai Setail dan di
daerah bekas tambak yang hancur akibat limpasan ombak gelombang laut. Hasil
pengamatan menunjukkan fase semai yang lebih sedikit dibandingkan dengan
tingkat pancang dan pohon karena bibit semai yang jatuh dipermukaan tanah tidak
dapat tumbuh dengan baik akibat terlalu rapatnya jenis mangrove dan kondisi
tekstur tanah yang berlumpur semakin padat. Gangguan aktivitas masyarakat yang
letaknya jauh dari pemukiman serta tambak budidaya perikanan yang beroperasi
lebih sedikit menyebabkan keberadaaan mangrove dapat tumbuh dan berkembang
lebih baik. Kondisi Stasiun III dapat dilihat pada Gambar 6.3.
Gambar 6.3. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan III
65
Hasil pengamatan menunjukkan Jenis C. tagal, R. mucronata dan S. alba
mempunyai kerapatan relatif tinggi karena kondisi substrat tanah yang sesuai yaitu
tekstur tanah lempung, liat dan berdebu serta letak mangrove yang jauh dari garis
pantai sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya. Kordi (2012),
menjelaskan hutan yang paling dekat dengan laut lebih banyak ditumbuhi oleh
Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia tumbuh pada lumpur lembek dengan sedikit
bahan organik dan kadar garam agak tinggi, serta biasanya berasosiasi dengan jenis
bakau (Rhizophora sp.), Sedangkan C. tagal terletak agak jauh dari laut berdekatan
dengan daratan dengan keadaan tanah yaitu berlumpur agak keras.
Kondisi lingkungan berupa tekstur tanah menyebabkan dominasi pada fase
semai diidentifikasi jenis C. tagal, fase pancang diidentifikasi jenis B. gymnorhiza
dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba sehingga ditemukan INP tergolong tinggi
dalam penguasaan di kawasannya. Kordi (2012), menjelaskan kearah darat
dibelakang zona Rhizophora adalah Zona Bruguierra, tumbuh pada substrat yang
lebih keras, seperti tanah liat. Zona terakhir adalah Zona Ceriops yang bercampur
dengan semak belukar.
Kerapatan relatif menunjukkan jenis A. ilicifolius terlihat rendah karena
merupakan jenis mangrove yang diduga tumbuh secara alami dan berasal dari
tegakan mangrove di Kawasan Taman Nasional Alas Purwo serta terbawa oleh arus
pasang surut air laut. Keadaan lingkungan yang berada di pinggir daratan, jarang
terkena air laut secara langsung serta kualitas perairan yang lebih payau seperti
salinitas yang rendah berkisar 10 – 30 ‰ membentuk zonasi yang ditumbuhi oleh
tipe vegetasi mangrove yang dapat berasosiasi dengan jenis vegetasi lainnya. Kordi
(2012), menerangkan A. marina, S. alba, A. ilicifolius dan Aegiceras corniculatum
66
termasuk dalam zona air payau ke air laut dengan kisaran salinitas antara 10-30 ppt
dengan daerah genangan pasang satu atau dua kali sehari selama 20 hari per bulan.
Menurut Dahuri (2003), salinitas menjadi faktor pembatas untuk spesies tertentu
karena memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi, bila suplai air tawar tidak tersedia
akan menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrem sehingga
mengancam kelangsungan hidup ekosistem mangrove.
Frekuensi vegetasi mangrove ditemukan rendah pada fase pohon jenis A.
marina, B. gymnorrhiza dan X. moluccensis karena adanya kesesuaian lahan tekstur
lempung, liat dan berdebu, lokasi yang jauh dari pemukiman dan gangguan
aktivitas masyarakat yang rendah membuat tegakan mangrove tumbuh secara alami
dan dapat dijumpai kemunculannya. Menurut
Setiawan
(2013),
Keberadaan
vegetasi mangrove sangat berpengaruh terhadap pembentukan kelas tekstur tanah.
Tingkat ketebalan mangrove yang tinggi cenderung mempunyai tekstur lempung
liat berdebu. Hal ini disebabkan karena adanya dekomposisi serasah dan bahan
organik yang dibawa oleh aliran sungai yang ikut menentukan tekstur tanah serta
adanya pengikatan partikel debu dan liat oleh akar vegetasi mangrove sehingga
partikel tersebut akan mengendap semakin lama dan membentuk lumpur. Pada
daerah tanpa vegetasi mangrove kelas teksurnya cenderung berpasir karena tidak
adanya vegetasi yang mengikat partikel lumpur.
Frekuensi relatif jenis S. alba, A. ilicifolius pada fase semai, jenis R.
apiculata, S. alba, B. gymnorrhiza, A. marina pada fase pancang terlihat rendah
karena aliran sungai serta serasah daun yang membawa unsur hara menyebabkan
terjadi kompetisi yang tidak seimbang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Supardjo (2008) di Segara Anak Selatan TNAP bahwa tingkat frekuensi relatif
67
yang rendah pada S. caseolaris dipengaruhi oleh kompetisi yang tidak seimbang
dengan R. mucronata karena tempat hidup yang berada di tepi sungai sehingga
kurang kompetitif dalam perolehan unsur hara.
Indeks keanekaragaman mangrove menunjukkan di kawasan Teluk
Pangpang secara keseluruhan mempunyai kriteria keanekaragaman jenis tergolong
sedang (H’= 0,55-1,86). Tingkat indeks keanekaragaman tertinggi pada fase semai,
fase pancang dan fase pohon di stasiun penelitian menunjukkan komunitas
mangrove didalamnya memiliki kompleksitas tinggi karena tingginya interaksi
spesies yang terjadi sehingga mempunyai kendali yang lebih besar dalam
mengurangi gangguan-gangguan serta meningkatkan kestabilan dan kemantapan.
Soegianto (1994), menerangkan bahwa keanekaragaman juga dapat digunakan
untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas untuk
menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponenkomponennya.
Indeks keanekaragaman tertinggi pada fase semai terlihat pada daerah yang
memiliki substrat tanah lempung berpasir sehingga bibit mangrove S. alba dan R.
mucronata dapat cepat dan tumbuh berkembang. Sedangkan, pada fase pancang
dan pohon lebih tinggi karena faktor lingkungan berupa tekstur tanah yang lebih
padat yaitu lempung, liat dan berdebu serta pasang surut air laut menuju daratan
sehingga terbentuk zonasi mangrove yang mendukung perkembangan jenis
mangrove yang beragam. Rendahnya gangguan aktivitas masyarakat serta jarak dari
tempat pemukiman yang jauh menyebabkan perkembangan mangrove lebih stabil
dan mantap dibandingkan dengan lokasi yang mempunyai tekanan lingkungan
68
seperti pemukiman dan limbah domestik yang masih tergolong tingkat
keanekaragaman mangrove sedang.
Tingkat kerusakan di Kawasan Teluk Pangpang dari hasil penelitian dapat
dikategorikan tidak mengalami kerusakan dengan kondisi baik pada seluruh stasiun
pengamatan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.201 Tahun
2004. Perkembangan dan pertumbuhan yang jauh lebih baik dengan tingkat
kerapatan lebih dari 1.500 pohon/ha dikarenakan adanya rehabilitasi mangrove di
pesisir kawasan oleh pemerintah dan masyarakat. Masyarakat telah mengetahui
pentingnya fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai, tempat memijah fauna
akuatik, dan penyaring/filter bahan pencemar seperti limbah tambak yang terdapat
diarea pertambakan dengan menanam di sekitar pematang tambak.
Pertumbuhan mangrove yang semakin meluas didukung kesadaran
masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang serta
adanya Peraturan Desa (Perdes) di Kecamatan Muncar No. 03 Tahun 2003 tentang
Penetapan Pengelolaan Kawasan Lindung Ekosistem Jalur Hijau Hutan Mangrove
Berbasis Pada Masyarakat Setempat. Adanya Perdes di Kawasan Teluk Pangpang
tidak sepenuhnya diterapkan, yaitu dengan masih ditemukan pelanggaran selama
penelitian seperti penebangan pohon dan pengambilan cacing laut di akar mangrove
yang semakin lama dapat merusak keadaan tegakan mangrove pada Gambar 6.4.
Gambar 6.4. Kerusakan Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang
69
Tingkat pancang yang ditemukan rendah pada lokasi yang berdekatan
dengan pemukiman yaitu jumlah kerapatan sebesar 1.633 pohon/ha dikarenakan
pengambilan batang dan daun jenis S. alba untuk pakan ternak akibat pemahaman
masyarakat jenis mangrove yang masih kurang. Kerapatan rendah pada fase pohon
sebesar 4.742 pohon/ha pada lokasi yang berdekatan dengan tepi tambak budidaya
dan sungai akibat pengambilan cacing laut dapat menyebabkan mangrove menjadi
rusak dan tumbang karena tidak adanya kekuatan pada substrat tanah. Sedangkan
pada lokasi yang jauh dari gangguan aktivitas masyarakat mempunyai keadaan
mangrove tingkat kerapatan yang jauh lebih baik.
6.2. Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang
Jenis fauna akuatik di lokasi penelitian Kawasan Teluk Pangpang masih
berukuran kecil (juvenile) dengan biomassa/berat basah rata-rata < 100 gr. Hal ini
terkait karena adanya kawasan mangrove sebagai tempat berkembang biak, tempat
mencari makan dan tempat berlindung sehingga jarang ditemukan fauna akuatik
yang berukuran besar yang lebih mencari lokasi diperairan laut lepas. Kordi (2012),
menjelaskan fauna akuatik menjadikan ekosistem mangrove sebagai tempat untuk
reproduksi, seperti : memijah, bertelur dan beranak, seperti kepiting, ikan dan
udang memijah di ekosistem mangrove dan di perairan agak dalam, namun setelah
menetas larva dan benihnya dibawa oleh arus dan angin ke ekosistem mangrove.
Hasil identifikasi fauna ikan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang
ditemukan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis ikan bedul (A. caninus)
karena merupakan fauna akuatik yang seluruh siklus hidupnya berada di daerah
mangrove sehingga termasuk dalam ikan penetap sejati dari famili Gobidae.
Dewantoro (2011), menjelaskan bahwa Gobidae merupakan kelompok ikan yang
70
sangat dominan baik keragaman dan kelimpahan di dalam mangrove. Jenis Gobi
akan menyerupai warna dasar perairan dan seringkali membenamkan diri dalam
substrat. Hal serupa dilakukan oleh Viqi (2012) di Kawasan Nasional Alas Purwo
bahwa jenis ikan bedul ditemukan terbanyak dan dominan dijumpai di Segara
Anakan di semua stasiun sehingga menjadi salah satu nama blok di Segara Anak
yaitu Blok Bedul.
Keberadaan sungai besar yaitu Sungai Wagut yang berada di mulut teluk
dan berdekatan dengan laut lepas, serta Sungai Setail yang berjauhan dengan
pemukiman diujung teluk diduga mengalirkan bahan organik dan nutrien berupa
sedimen lumpur dari daratan ke pesisir sehingga mendukung biomassa
pertumbuhan dan perkembangan ikan bedul yang mempunyai sifat hidup demersal.
Hasil penelitian Budiman (2006), Daerah Pantai Barat Korowelang, ikan demersal
mempunyai kepadatan tertinggi pada kedalaman 10-15 m karena adanya muara
sungai besar dan kecil sehingga bahan organik dan nutrien yang berasal dari daratan
sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan demersal.
Hasil identifikasi fauna non ikan di Kawasan Teluk Pangpang ditemukan
kelimpahan udang werus (Metapenaeus sp.) dari famili Panaeidae banyak
tertangkap dalam keadaan fase juvenile karena pengaruh kondisi luas penutupan
mangrove yang terdapat di keseluruhan stasiun penelitian. Luas penutupan
mangrove yang tinggi berdampak pada rendahnya kelimpahan Panaeidae di
Kawasan Teluk Pangpang. Hai ini karena faktor ketersediaan unsur hara berupa
detritus serasah daun yang melimpah didalam ekosistem mangrove. Tjahjo D.W et
al. (2011) dalam penelitiannya di Muara Dua, menunjukkan bahwa tingkat
penutupan vegetasi mangrove yang tinggi mampu memberikan pakan dan
71
perlindungan yang cukup bagi populasi juvenil ikan dan udang karena mampu
berperan sebagai daerah asuhan.
Hasil pengamatan biomassa yang tinggi pada fauna non ikan diidentifikasi
jenis Kepiting rajungan (P. pelagicus) karena Kawasan Teluk Pangpang
mempunyai substrat tanah berlumpur dan berpasir. Adanya perilaku dan habitat
kepiting rajungan yang hidup dengan membenamkan diri dalam pasir dan pantai
berlumpur menyebabkan fauna beradaptasi di hutan bakau, batu karang atau kadang
dijumpai berenang di permukaan. Hal ini sesuai dengan kondisi tekstur tanah lokasi
yang berdekatan dengan pemukiman yaitu pasir berlempung dan daerah yang
berdekatan dengan tambak budidaya perikanan yaitu lempung berpasir untuk
mencari makan. Rajungan dewasa memakan molusca, crustacea, ikan atau bangkai
pada malam hari. Larva bersifat planktonik pemakan plankton, berkembang
menjadi dewasa melalui stadia zoea, megalopa, dan rajungan muda (Oemarjati dan
Wardhana, 1990).
Kelimpahan dan biomassa fauna ikan terendah diidentifikasi jenis ikan
kacangan (T. strongylurus), ikan gulamah (Sciaena russeli ), ikan sumbal (P.
plebeius) dan ikan kerong (T. jarbua) karena diduga termasuk ikan pengunjung
yaitu pada periode pasang berkunjung ke ekosistem mangrove untuk mencari
makan, sehingga bersifat predator dan menyendiri (solitaire) sehingga ditemukan
dalam keadaan jumlah kelimpahan dan biomassa yang kecil. Kondisi fauna akuatik
ini lebih cenderung menyukai daerah pesisir di sekitar mangrove pada saat musim
ikan dan air pasang untuk mencari makan di pesisir mangrove.
Rendahnya kelimpahan dan biomassa fauna non ikan jenis kepiting bakau
(S.serata) dan udang mantis (H.raphidea) di kawasan mangrove diduga adanya
72
penangkapan berlebih (over fishing) menggunakan alat tangkap jaring kepiting,
plitur/jebakan kepiting, selodok/pukat dorong yang terlalu banyak oleh masyarakat,
serta kerusakan vegetasi mangrove dengan tekanan lingkungan seperti pencarian
cacing laut di akar mangrove yang menyebabkan rusaknya habitat kepiting bakau
sehingga jarang ditemukan di ekosistem mangrove.
Jenis udang mantis bersifat predator dan hidup di wilayah dasar perairan
yang mempunyai habitat padang lamun dan batu-batu karang namun dapat hidup di
tipe substrat tanah yang berpasir dan berlumpur. Menurut Mashar dan Wardiatno
(2011), habitat yang cocok untuk udang mantis adalah perairan yang bersubstrat
lumpur berpasir dengan arus yang tidak terlalu cepat dan cenderung membenamkan
diri ke dasar perairan untuk berlindung dengan membuat lubang dengan diameter
dan kedalaman lubang yang bervariasi sesuai dengan ukuran udang mantis. Djuwito
et al. (2013), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa udang mantis yang
tertangkap di perairan Cilacap relatif masih kecil atau dalam keadaaan belum layak
tangkap sehingga mengakibatkan overfishing, karena tidak cukup tersedianya induk
yang memijah sehingga mengancam kelestarian sumberdaya udang mantis di
perairan Cilacap.
Kelimpahan kelompok ikan diidentifikasi ikan petek (L. equulus) dari famili
Leiognathidae melimpah dilokasi yang berada berdekatan dengan pemukiman dan
terletak di muara Sungai Wagut. Jenis ikan petek merupakan jenis ikan demersal
yang hidup di daerah perairan dangkal, salinitas perairan yang lebih payau berkisar
20-30 ‰ sehingga banyak ditemukan didaerah estuaria dan perairan pantai
berlumpur. L. equulus ditemukan di daerah pasang surut muara sungai berdekatan
laut lepas di mulut teluk diduga memasuki hilir sungai air tawar dan memakan
73
organisme seperti cacing laut (polychaeta), crustacea dan ikan yang lebih kecil. L.
equulus mempunyai badan yang lebar dan pipih, bentuk punggung yang menonjol,
berwarna putih perak mengkilat dan termasuk ikan ekonomis tinggi. Widodo et.al
(1999) dalam penelitiannya, menjelaskan Ikan petek (Leiognathidae) termasuk
pengelompokan sumberdaya ikan demersal kategori ekonomis penting nomor tiga
selain ikan beloso, kuniran, kerong-kerong, mata besar/merah dan gabus laut di
perairan Arafura dan sekitarnya.
Keadaan lokasi dengan tekanan lingkungan budidaya tambak perikanan
ditemukan ikan siriding (Ambassis sp) yang melimpah karena adanya habitat fauna
yang berdekatan dengan garis pantai dan letaknya berkisar 200 meter dari muara
sungai menyebabkan salinitas perairan rata-rata berkisar 30-35 ‰. Kondisi tekstur
tanah yang berlumpur serta perilakunya menyebabkan fauna cenderung bergerak
secara bergerombol (schooling) dan bermigrasi ke pesisir untuk berkembang biak.
Ikan siriding mempunyai ukuran relatif kecil, berwarna keperakan dan transparan
serta diduga menyukai habitat yang berlumpur sehingga dominan tertangkap pada
saat air laut pasang. Penelitian yang dilakukan Kawaroe (2001) di Kabupaten
Subang menyatakan perbedaan struktur komunitas ikan antar stasiun penelitian
diduga disebabkan karena perbedaan kualitas air dan habitat yang secara tidak
langsung berhubungan dengan karakteristik habitat ikan. Adanya spesies ikan
Ambassis kopsi dan Ambassis nalua mengindikasikan bahwa perairan telah
mengalami pelumpuran.
Kelimpahan tertinggi jenis Ikan bedul (A.caninus) banyak ditemukan di
daerah yang berada lebih dekat dengan muara sungai Setail berkisar 50 meter dan
letaknya yang jauh dari pemukiman serta jauh dari garis pantai menyebabkan
74
melimpahnya famili Gobiidae dari Ordo Perciformes yang mempunyai sifat hidup
demersal. Ikan bedul merupakan salah satu jenis ikan gabus yang mempunyai sirip
dipunggungnya dan dominan karena diduga kawasan ini lebih dekat dengan daerah
aliran Sungai Setail yang mengalirkan bahan organik ke daerah mangrove sehingga
membentuk kondisi lingkungan seperti tekstur tanah yang berlumpur sebagai
habitat dan tempat mencari makan.
Biomassa tertinggi ditemukan di daerah lokasi yang berdekatan dengan
garis pantai dan salinitas perairan yang lebih tinggi seperti ikan liplip (T. baelama )
karena mempunyai kemampuan mentolerir penurunan salinitas dan mendiami
perairan yang keruh. T. baelama dominan melimpah di daerah kawasan mangrove
Teluk Pangpang karena memanfaatkan untuk memijah dan berkembang biak
sehingga banyak ditemui dalam keadaaan bergerombol (schooling), mencapai
ukuran panjang maksimal 16 cm. Tubuh berbentuk bulat dan lonjong dengan
hampir menyerupai silinder, dan agak meruncing kearah ekor, berwarna gelap biru
kecoklatan pada bagian punggungnya, sedangkan pada bagian sisi tubuh berwarna
keperakan.
Keanekaragaman jenis (H’) fauna akuatik berdasarkan hasil pengamatan
ditemukan pada seluruh Kawasan Teluk Pangpang termasuk kategori sedang yaitu
berkisar 1,36 – 2,31, sehingga dapat diartikan bahwa komunitas fauna akuatik di
keseluruhan stasiun mempunyai kondisi stabilitas dan penyebaran komunitas
sedang. Sedangkan, kemerataan jenis (E’) fauna akuatik termasuk kategori
kemerataan tinggi yaitu berkisar 0,70 – 0,87, sehingga dapat diartikan kondisi
komunitas jenis stabil dan tidak ada yang mendominasi sehingga tidak ada tekanan
fauna akuatik di kawasan mangrove Teluk Pangpang.
75
Tingkat keanekaragaman dan kemerataan yang rendah pada lokasi yang
jauh dari pemukiman dan terletak di ujung teluk lebih banyak dipengaruhi kondisi
substrat tanahnya yaitu lempung liat dan berdebu serta kecenderungan fauna
akuatik mencari makan di kondisi mangrove yang mempunyai kerapatan dan
penutupan yang lebih rapat dan tebal. Penutupan mangrove yang rendah
berpengaruh terhadap keanekaragaman fauna kelompok non ikan karena
memanfaatkan akar dan substrat tanah sebagai perlindungan dari serangan predator.
Hal ini berdasarkan hasil identifikasi dan sifat hidup fauna akuatik kelompok ikan
dan non ikan yang ditemukan lebih cenderung menyukai kondisi substrat berpasir
dan berlumpur sehingga lebih banyak ditemukan di daerah yang dekat dengan
pemukiman dan daerah yang berada di tepi tambak budidaya perikanan
dibandingkan lokasi yang mempunyai substrat tanah yang lebih padat karena akan
menyulitkan jenis fauna untuk menggali untuk berlindung.
6.3. Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik
Hasil penelitian famili fauna akuatik yang teridentifikasi di Kawasan Teluk
Pangpang belum pernah dilakukan sebelumnya yang berjumlah 15 famili yang
terdiri dari 14 famili kelompok ikan dan 7 famili kelompok non ikan. Sedangkan,
hasil penelitian serupa yang dilakukan Latupapua (2011) di kawasan segara anakan
TNAP Kabupaten Banyuwangi berjumlah 13 famili berupa 10 famili kelompok
ikan dan 2 famili kelompok non ikan, sehingga lebih banyak tertangkap di Kawasan
Teluk Pangpang. Hal ini tidak terlepas dari fungsi ekologis ekosistem hutan
mangrove untuk kehidupan fauna akuatik sebagai nursery grounds, spawning
grounds dan feeding grounds.
76
Hasil pengamatan menunjukkan adanya adaptasi fauna akuatik yang dapat
dibagi dalam empat kategori kelompok ikan yang berada di ekosistem hutan
mangrove Kawasan Teluk Pangpang (Nirarita et al. 1996), yaitu diantaranya:

Ikan penetap sejati seperti ikan bedul (A. caninus) dari famili Gobidae karena
seluruh siklus hidupnya berada di daerah mangrove,

Ikan penetap sementara seperti ikan belanak (V. seheli) dari famili Mugilidae
karena selama periode anakan hingga dewasa cenderung bergerombol di
sepanjang pantai,

Ikan pengunjung seperti ikan gulamah (S. russeli) dari famili Scianidae karena
pada periode pasang berkunjung ke ekosistem mangrove untuk mencari makan,

Ikan musiman seperti ikan lemuru (Sardinella sp.) dari famili Clupeidae yang
menggunakan mangrove sebagai perlindungan musiman dari predator.
Pola sebaran fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ditemukan adanya
pengelompokan ikan berdasarkan sifat hidupnya yaitu ikan pelagis (permukaan dan
kolom air laut) dan ikan demersal (dasar air laut) yang menetap dan berkembang di
kawasan mangrove sehingga dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungannya.
Faktor lingkungan berupa kondisi perairan yang fluktuatif dan tekstur tanah
menyebabkan sifat hidup fauna akuatik yang beradaptasi di Kawasan mangrove
Teluk Pangpang bervariasi, hal ini terkait dengan keberadaan mangrove di stasiun
penelitian dalam menyediakan makanan berupa bahan organik seperti serasah daun
sebagai daerah asuhan (nursery grounds) dan daerah mencari makan (feeding
grounds). Zahid et al. (2011) mengemukakan, bahwa kelimpahan ikan di perairan
mangrove terkait erat dengan kebiasaan makan herbivora dan karnivora sehingga
peran fungsional estuari sebagai daerah pemijahan, pembesaran, perlindungan dan
77
lumbung makanan, oleh karenanya ikan-ikan ini lebih banyak dijumpai pada daerah
mangrove.
Kondisi mangrove yang berada di dekat pemukiman serta adanya tekanan
lingkungan berupa limbah domestik dan berada di bagian mulut teluk serta muara
Sungai Wagut menyebabkan kondisi perairan lebih stabil dalam mencampur aliran
air tawar dengan air laut, sehingga dominan dijumpai ikan pelagis dan demersal
dalam mencari makanan dan berkembang biak di daerah kawasan mangrove. Hasil
penelitian Kawaroe (2001), ikan famili Leiognatidae, dan Mugilidae banyak
tertangkap di lokasi Blanakan dibandingkan dengan lokasi Mayangan. Kondisi
perairan di Kawasan Blanakan lebih stabil karena cenderung memiliki kualitas
perairan payau (muara) dan laut. Adanya pasang surut yang lebih tinggi serta
sungai yang lebih besar (Sungai Blanakan) menyebabkan pertukaran air menjadi
lebih baik.
Penguasaaan mangrove yang dominan jenis R.mucronata dan R.apiculata
yang mempunyai akar tunjang pada batang dan menggantung kemudian masuk ke
tanah menjadi tempat yang sesuai untuk pemijahan dan pembesaran fauna akuatik.
Sistem perakaran Rhizophora sp. dimanfaatkan untuk bersembunyi dan sangat
efektif dalam meredam gelombang laut dan arus laut sehingga telur dan anak ikan
tidak hanyut terbawa pasang surut air laut. Hal ini ditunjukkan adanya jenis
kelompok ikan yang tertangkap yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili
Mugilidae, Clupediae dan demersal yaitu famili Leiognatidae, Psettodidae.
Lingkungan ekosistem mangrove menjadi tempat yang cocok bagi biota
akuatik, keberadaan fauna akuatik yang tinggi banyak ditemukan pada tegakan
mangrove jenis S. alba yang berada paling depan zonasi mangrove yaitu lebih dekat
78
dengan garis pantai dengan kondisi lingkungan berada di tepi tambak budidaya
perikanan serta letaknya yang agak jauh dari muara sungai menyebabkan salinitas
perairan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan famili kelompok ikan dominan
ditemukan jenis fauna yang mempunyai sifat hidup pelagis seperti ikan seriding
(Ambassis sp.) dari famili Centropomidae. Jenis fauna ini termasuk kelompok
pengunjung pada periode pasang yang mempunyai kelimpahan ikan yang tinggi,
sehingga menarik ikan predator untuk mencari makan seperti ikan kerong (T.
jarbua) dari famili Theraponidae dan ikan gulama (S. russeli) dari famili
Sciaenidae.
Letaknya yang berada di bagian tengah Kawasan Teluk Pangpang
menyebabkan kandungan organik lebih tinggi di perairan dengan tekstur tanah
lempung berpasir. Hancuran daun dan ranting dari pohon S. alba yang lebih kecil
dibandingkan Rhizophora sp. pada saat gugur kedalam air diduga lebih cepat terurai
pada salinitas perairan 30-35‰ sehingga serasah daun terdekomposisi dan
dimanfaatkan bagi biota akuatik. Kordi (2012), menjelaskan dekomposisi serasah
daun sangat bervariasi, serasah daun yang jatuh ditempat yang kering dan perairan
yang tawar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan perairan yang mempunyai
kadar garam tinggi.
Kondisi mangrove yang hidup dan berkembang dengan tekstur tanah
lempung liat berdebu serta cenderung tidak terdapat gangguan dari aktivitas
masyarakat banyak ditemukan fauna akuatik beradaptasi seperti ikan demersal
dengan kondisi perairan payau yaitu salinitas 10-30 ‰. Kondisi lokasi yang lebih
dekat dengan perairan air tawar seperti Sungai Setail lebih banyak menerima air
tawar dari muara sungai sehingga membuat keadaan lokasi cenderung payau. Fauna
79
akuatik yang hidup harus mempunyai sifat dan batasan toleransi untuk beradaptasi
sehingga fauna akuatik air laut lebih sedikit ditemukan.
Ikan famili Belonidae bersifat predator sehingga ditemukan hidup di air
payau yaitu bersalinitas 10-30 ‰ dengan berasosiasi pada pantai yang dangkal
sebagai pemakan ikan kecil seperti ikan bedul (Gobidae), ikan pahat
(Platycephalidae), dan ikan kecil lainnya. Menurut Redzeki (2013), Ikan famili
Belonidae melakukan reproduksi dengan meletakkan telurnya pada substrat yang
diduga diletakkan diantara vegetasi mangrove.
Dominasi mangrove jenis C. tagal, B. gymnorrhiza termasuk dalam Zona
Tanjang (Bruguiera) terletak di belakang Zona Bakau (Rhizophora), agak jauh dari
laut dekat dengan daratan dan dalam keadaan tanah berlumpur agak keras diduga
kurang memberikan fungsi ekologis dalam menyediakan makanan bagi ikan
dikarenakan serasah daun yang jatuh lebih lambat terdekomposisi akibat kondisi
tanah yang mempunyai tekstur lempung liat dan berdebu. Redzeki (2013), dalam
penelitiannya menunjukkan komposisi ikan dan distribusinya sangat dipengaruhi
oleh perubahan fisik, kimia dan biologi perairan. Kelimpahan famili ikan di lokasi
Rhizophora sp. lebih tinggi dibandingkan di Cyperus sp. Hal ini diduga sesuai
dengan fungsi ekologis mangrove yang kaitannya dengan menyediakan makanan
bagi ikan yaitu dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan daun
serta berbagai jenis hewan avertebrata seperti kepiting dan serangga.
Faktor penempatan alat tangkap yaitu Trapped Net (banjang) mempunyai
pengaruh terhadap keberadaan fauna akuatik di ekosistem mangrove. Jumlah alat
tangkap yang terlalu banyak dan berada di pesisir mangrove Teluk Pangpang
diduga mengganggu keberadaan fauna akuatik menuju ke daerah mangrove untuk
80
berkembang dan memijah. Pengembangan alat tangkap ikan yang semakin banyak
dan luas di pesisir mangrove menyebabkan tekanan terhadap fauna akuatik yang
terus menerus dan tidak tertutup kemungkinan akan menyebabkan penurunan
populasi di Kawasan Teluk Pangpang. Menurut Kordi (2012), penangkapan fauna
akuatik di ekosistem mangrove yang tidak dilakukan secara selektif dapat
mengganggu populasi fauna, seperti fauna akuatik yang siap matang gonad untuk
memijah, sehingga tidak mempunyai kesempatan melakukan regenerasi dan
semakin lama menyebabkan kepunahan.
Pengelompokkan kategori sifat hidup fauna akuatik di Kawasan Teluk
Pangpang yaitu kelompok ikan dari jenis Famili Clupeidae dan Silagidae terlihat
lebih melimpah dan merata karena merupakan golongan ikan pelagis yang
mempunyai sifat bergerombol dan mencari jasad renik berupa plankton, cacing laut
(Polychaeta), ikan dan udang kecil, serta memanfaatkan ekosistem mangrove untuk
menghindari predator pada saat musim memijah. Hasil penelitian Zahid et al.
(2011), menjelaskan keberadaan ekosistem mangrove di pesisir Mayangan turut
berperan dalam kelimpahan spesies ikan, karena ikan tertarik memasuki ekosistem
mangrove untuk berlindung dari predator. Struktur perakaran mangrove
menyulitkan pergerakan predator serta tingkat kekeruhan yang tinggi menyebabkan
visibilitas predator berkurang.
Hasil pengamatan kelompok non ikan ditemukan famili Penaideae dan
Portunidae terlihat lebih merata dan melimpah karena adanya kondisi lingkungan
perairan di Kawasan mangrove Teluk Pangpang. Suhu perairan yang didapatkan
masih dalam batasan toleran untuk biota laut yaitu berkisar 27 - 34 ºC sehingga
sesuai dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Menurut Ulqodry et al. (2010),
81
Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air banyak dipengaruhi oleh
suhu air sehingga suhu yang baik tidak kurang dari 20 ºC, sedangkan suhu yang
tinggi >40 ºC cenderung mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan biota laut.
Salinitas perairan Kawasan Teluk Pangpang yang didapatkan masih
termasuk batas toleran yaitu berkisar 10 – 35 ‰ sehingga selain suhu, salinitas
perairan merupakan faktor pembatas dalam kesesuaian fauna akuatik hidup dan
berkembang biak seperti famili Panaeidae dan Portunidae yang melimpah di
ekosistem mangrove. Menurut Naamin et al. (1992), Penyesuaian salinitas udang
muda terlihat antara 0-3 ‰, sedangkan udang dewasa pada salinitas 7-10 ‰ yang
hidup di sekitar lantai hutan mangrove. Namun secara umum udang dewasa hidup
pada salinitas 27,5-35 ‰ pada perairan laut lepas. Pratiwi et al. (2013), dalam
penelitiannya di Kepulauan Matasiri juga menyebutkan bahwa kepadatan tertinggi
pada suku Penaeidae dan kepadatan tertinggi kedua pada suku Portunidae didaerah
mangrove karena diduga merupakan daerah spawning ground (berkembang biak)
bagi crustacea tertentu, kondisi lingkungan perairan yang mendukung berupa suhu
optimum yang berkisar antara 25-27 ºC dan salinitas berkisar 24 - 26‰.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
1.
Ekosistem mangrove secara keseluruhan mempunyai tingkat keanekaragaman
bervariasi dan didominasi jenis R. mucronata dari famili Rhizophoraceae dan
S. alba dari famili Sonneratiaceae dengan INP tertinggi pada setiap fasenya.
Hal ini dikarenakan merupakan ekosistem rehabilitasi dan ekosistem alami
yang mengalami konversi seperti pengembangan budidaya perikanan. Kondisi
mangrove tergolong baik, tetapi masih terjadi pelanggaran seperti penebangan
dan pengambilan cacing laut yang semakin lama dapat merusak ekosistem
hutan mangrove.
2. Keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik termasuk kriteria tinggi.
Keberadaan sungai yang membawa bahan organik berupa sedimen lumpur dan
dekomposisi serasah daun menyebabkan kelimpahan dan biomassa yang tinggi
pada jenis A.caninus dan Metapenaeus sp. Sedangkan rendahnya H.raphidea
dan S.serata diduga adanya kerusakan vegetasi sehingga jarang ditemukan di
ekosistem mangrove.
3. Pola penyebaran fauna akuatik erat kaitannya dengan ekosistem hutan
mangrove, sehingga ditemukan pengelompokan ikan berdasarkan sifat
hidupnya yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Adanya pengembangan alat
tangkap ikan yang semakin banyak di pesisir mangrove menyebabkan tekanan
yang terus menerus dan akan menyebabkan penurunan populasi fauna akuatik
di Kawasan Teluk Pangpang.
82
83
6.2. Saran
1.
Perlu adanya pengawasan dan penegakan pelanggaran seperti penebangan dan
pengambilan fauna cacing laut, sesuai peraturan yang telah disepakati oleh
masyarakat setempat.
2.
Perlu adanya pengelolaan pengembangan alat tangkap ikan yang berada
dipesisir mangrove sehingga penggunaannya ramah lingkungan dalam
keberadaan fauna akuatik di kawasan mangrove.
3.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kelimpahan plankton dan laju
dekomposisi serasah daun mangrove sebagai supply makanan bagi kehidupan
fauna akuatik.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I.P.G. 2012. Ekologi Tumbuhan. Udayana University Press. Universitas
Udayana. Denpasar.
Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.
Bengen, G.D. 2001. Ekosistem Dan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Serta
Pengelolaan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. Prosiding pelatihan
pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bogor.
Brower, J.E., Jerrold H. Z., Car I.N. V.E., 1990. Field and Laboratory Methods
for General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher, USA, New
York.
Bruno C, M.B. Cousseau, and C. Bremec. 1998. Contribution Of Polychaetous
Annelid To The Diet Of Cheilodactylus Berghi (Pisces, Cheilodactilidae).
Abstract of 6th International Polychaete Conference. Brazil.
Budiman. 2006. Analisis Sebaran Ikan demersal Sebagai Basis Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Kendal. Tesis Program Magister
Manajemen Sumberdaya Pantai.Universitas Diponegoro.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Dewantoro, G.W. 2009. Komposisi Jenis Ikan Perairan Mangrove Pada Beberapa
Muara Sungai Di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang. Banten. Jurnal
Fauna Tropika Vol.18 No.2, November 2009. ISSN 0215-191X.
Dewantoro,G.W. 2011.Ikan Kawasan Mangrove Pada Beberapa Sungai Di Sekitar
Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang: Tinjauan Musim Hujan. Jurnal
Bionatura Vol.13 No.2,November 2011:217-225.
Dewiyanti I, dan Yunita. 2013. Identifikasi dan Kemelimpahan Hama Penyebab
Ketidakberhasilan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal : Ilmu Kelautan
September 2013 Vol.18 (3):150-156.ISSN 0853-7291.
Djuwito, Saputra S.W., dan Widyaningtiwi W.A. 2013. Beberapa Aspek Biologi
Udang Mantis Di Perairan Cilacap, Jawa Tengah. Journal Of Management
Of Aquatic Resources. Vol.2 No.2. Tahun 2013. Hal.56-64.
Farimansyah. 2005. Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove dengan Sistem Empang
Parit di Kabupaten Deli Serdang. Pascasarjana, USU, Medan.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati
Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). 15-21.
84
85
Gustiar, C. 2005. Analisis Kelembagaan dan Peranannya dalam Penataan Ruang
di Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi.. Tesis Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB.
Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Melton Putra.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Kartasapoetra, G., A. G. Kartasapoetra.,dan M. M. Sutedjo., 1987. Teknologi
Konservasi Tanah dan Air. Jakarta. PT. Bina Aksara.
Kawaroe, M. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur
Komunitas Ikan Di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal
Pesisir dan Kelautan Universitas Haluoleo Kendari Vol.02 No. 03.
Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : P.03/Menhut-II/2009 tentang Petunjuk Dana Alokasi Khusus
Bidang Kehutanan.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor :201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Mutu
dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Kordi,K.M.G.H. 2012. Ekosistem Mangrove : Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan.
Jakarta. Penerbit: Rineka Cipta, 256 Hal.
Kusmana, C., 1997. Metode Survei Vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Latupapua M.J.J.2011. Keanekaragaman Jenis Nekton di Mangrove Kawasan
Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri Vol.VI No.2.
Marsoedi, dan Samlawi, A. 1997. Panduan Pelatihan Pelestarian dan
Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Universitas Brawijaya.
Mashar, A., dan Wardiatno, Y. 2011. Distribusi Spasial Udang Mantis
Harpiosquilla raphidea di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Jambi. Jurnal Pertanian-UMMI.,1(1):2088-8848.
Naamin, N.B. Simiono, S.Ilyas. 1992. Pedoman Teknis Pemanfaatan dan
Pengelolaan Sumberdaya Udang Peneid Bagi Pembangunan Perikanan.
Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.89 hal.
86
Nirarita, C.H.E., P. Wibowo, S. Susanti, D. Padmawinata, Kusmarini, M. Syarif,
Y. Hendriani, Kusniangsih, L. Sinulingga. 1996. Ekosistem Lahan Basah
Indonesia. Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Bogor.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara . Jakarta : Djambatan.
Noor, Y.R., Khazali M., Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove
di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. 220.
Nurjanah, Abdullah A, Kustariyah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan
Baku Hasil Perairan. IPB Press. Bogor.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: Penerbit
P.T. Gramedia.
Odum, E. P., 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Edisi
ketiga.Yogyakarta.
Oemarjati, B. S. dan Wardhana, W., 1990. Taksonomi Avertebrata : Pengantar
Praktikum Laboratorium. UI-Press. Jakarta.
Ola, O.L. 2008. Kajian Dampak Pemanfaatan Hutan Mangrove Terhadap
Penurunan Biota Laut Pada Ekosistem Lamun Di Kepulauan Wakatobi.
Kendari. Jurnal Agriplus. Vol. 19 No. 2. ISSN 0854-0128.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.2003. Peraturan Desa Wringinputih Nomor:
03 Tahun 2003 tentang Penetapan Pengelolaan Kawasan Lindung
Ekosistem Jalur Hijau Hutan Mangrove Berbasis Pada Masyarakat
Setempat.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten
Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Tahun 2012-2032.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2014. Forum Pengelolaan Ekosistem
Esensial Lahan Basah/Kawasan Mangrove Teluk Pangpang Kabupaten
Banyuwangi. Wetlands International dan Balai Besar KSDA Jawa Timur.
Pratiwi, R. dan Wijaya, N. I. 2013. Keanekaragaman Komunitas Krustasea Di
Kepulauan Matasiri Kalimantan Selatan. Jurnal Berita Biologi 12(1)-April.
Raharja, A.P., Widigdo, B., dan Sutrisno, D. 2014. Kajian Potensi Kawasan
Mangrove di Kawasan Pesisir Teluk Pangpang, Banyuwangi. Bogor. Jurnal
: Depik, 3(1) :36-45. ISSN 2089-7790.
Redzeki, S. 2013. Komposisi dan Kelimpahan Ikan di Ekosistem Mangrove di
Kedungmalang, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol.18 (1):54-60- Maret.
87
Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI,Jakarta:
527 hal.
Rusgiyono, A. 2010. Analisis Koresponden Untuk Pemetaan Persepsi. Jurnal
Media Statistika, Vol.03,No.2, Desember 2010.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan Jilid II .
Jakarta: Bina Cipta.
Santono, N., Bayu, C.N., Ahmad, F.S, dan Ida, F. 2005. Resep Makanan
Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga
Pengembangan dan Pengkajian Mangrove.
Setiawan, H. 2013. Status Ekologi Hutan Mangrove Pada Berbagai Tingkat
Ketebalan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. Vol. 02 No.02.:104 -120.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional.
Soegiarto, A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta.
Lembaga Oseanologi Nasional.
Sudarmadji dan Indarto. 2011. Identifikasi Lahan Dan Potensi Hutan Mangrove
Di Bagian Timur Propinsi Jawa Timur. Bonorowo Wetlands, 1(1), 7-13.
Sugiarto dan Willy, E. 2003. Penghijauan Pantai. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.. Jakarta: Alfabeta.
Supardjo, M.N. 2008. Identifikasi Vegetasi mangrove Di Segoro Anak Selatan,
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi Jawa Timur. Jurnal Saintek
Perikanan Vol.03 No.02 2008 : 9-15
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya hayati di Wilayah
Pesisir Tropis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa: Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon
dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme.
Bogor.
Tjahjo D.W dan Riswanto.2011. Peran Laguna Segara Anakan Sebagai Sumber
Rekruitmen Udang Dan Ikan. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumber
Daya Ikan III.
88
Ulqodry, T.Z., Bengen, D.G.,Kaswadji, R.F. 2010. Karakteristik Perairan
Mangrove Tanjung Api-Api Sumatera Selatan Berdasarkan Sebaran
Parameter Lingkungan Perairan Dengan Menggunakan Analisis Komponen
Utama (PCA). Maspari Journal 01 (2010) 16-21.
Viqi, A. 2012. Keanekaragaman Jenis Ikan Di Blok Bedul Segoro Anak Taman
Nasional Alas Purwo. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas
Jember.
Widodo, Salim. S., Tapsirin dan Soewito. 1999. Sumberdaya Perikanan Demersal
di Perairan Arafura dan Sekitarnya. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan
Semarang.
Zahid, A., Simanjuntak, C. P. H., M. F. Rahardjo, Sulistiono. 2011. Iktiofauna
Ekosistem Estuari Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia,
11(1):77-85.
89
Lampiran 1. Hasil Pengamatan Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang
Jumlah
Petak
(Pohon)
Contoh
13
1
Lmk.
42
JUMLAH
Luas
Keliling
Diameter
LBD
(K-i)
(KR-i)
cm
cm
m
(m2)
(pohon/ha)
(%)
(F-i)
(petak
contoh)
0,0004
2,00
0,64
0,0064
0,00003
32.500,00
23,64
0,33
33,33
0,08
11,11
68,08
0,34
2
0,0008
4,00
1,27
0,0127
0,00013
105.000,00
76,36
0,67
66,67
0,64
88,89
231,92
0,21
55
3
0,0012
6,00
3,00
0,0191
0,00016
137.500,00
100,00
1,00
100,00
0,72
100,00
300,00
0,55
21
3
0,0300
8,26
2,63
0,0263
0,00054
700,00
42,86
0,43
42,86
7,99
43,08
128,80
0,36
25
3
0,0300
7,97
2,54
0,0254
0,00051
833,33
51,02
0,43
42,86
10,54
56,85
150,73
0,34
Bl.
1
1
0,0100
4,00
1,27
0,0127
0,00013
100,00
6,12
0,14
14,29
0,01
0,07
20,48
0,17
JUMLAH
47
7
0,0700
20,23
6,44
0,0644
0,00118
1.633,33
100,00
1,00
100,00
18,54
100,00
300,00
0,88
87
4
0,0400
22,22
7,08
0,0708
0,00393
2.175,00
35,65
0,31
30,77
743,88
41,26
107,67
0,37
138
5
0,0500
17,29
5,51
0,0551
0,00238
2.760,00
45,23
0,38
38,46
906,15
50,26
133,95
0,36
32
3
0,0300
23,72
7,55
0,0755
0,00448
1.066,67
17,48
0,23
23,08
152,93
8,48
49,04
0,30
1
1
0,0100
11,40
3,63
0,0363
0,00103
100,00
1,64
0,08
7,69
0,10
0,01
9,34
0,08
258
13
0,1300
74,63
23,77
0,2377
0,01183
6.101,67
100,00
1,00
100,00
1803,06
100,00
300,00
1,11
Stasiun I
(FR-i)
(C-i)
(CR-i)
INP-i
(%)
(m2)
(%)
(%)
(H')
Semai (2 m x 2 m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
Rhizophora mucronata
Pancang (5 m x 5 m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
Rhizophora mucronata
Lmk.
Rhizophora apiculata
Pohon (10 m x 10 m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
Rhizophora mucronata
Lmk,
Rhizophora apiculata
Bl.
Avicennia marina
(Forsk.)
JUMLAH
90
Lanjutan Lampiran 1.
Jumlah
Petak
Luas
Keliling
Diameter
LBD
(K-i)
(KR-i)
cm
cm
m
(m2)
(pohon/ha)
(%)
(F-i)
(petak
contoh)
0,0008
61,00
19,43
0,1943
0,02963
15.000,00
37,50
0,5
50,00
37,03
53,39
140,89
0,37
2
0,0008
57,00
18,15
0,1815
0,02587
25.000,00
62,50
0,5
50,00
32,33
46,61
159,11
0,29
32,00
4,00
0,0016
118,00
37,58
0,38
0,0555
40.000,00
100,00
1,00
100,00
69,37
100,00
300,00
0,66
Pancang (5 m x 5 m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
34
3
0,0075
223,50
71,18
0,7118
0,39771
4.533,33
41,46
0,60
60,00
53,03
66,55
168,01
0,37
Rhizophora
mucronata Lmk.
12
1
0,0025
88,00
28,03
0,2803
0,06166
4.800,00
43,90
0,20
20,00
24,66
30,95
94,85
0,36
Ceriops tagal (Perr.)
C.B.Rob.
4
1
0,0025
25,00
7,96
0,0796
0,00498
1.600,00
14,63
0,20
20,00
1,99
2,50
37,13
0,28
50,00
5,00
0,01
336,50
107,17
1,07
0,4643
10.933,33
100,00
1,00
100,00
79,68
100,00
300,00
1,01
Pohon (10 m x 10 m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
124
4
0,0400
3041,00
968,47
9,6847
73,62803
3.100,00
65,38
0,36
36,36
1840,70
90,99
192,73
0,28
Rhizophora
mucronata Lmk.
51
4
0,0400
956,00
304,46
3,0446
7,27656
1.275,00
26,89
0,36
36,36
181,91
8,99
72,25
0,35
Rhizophora apiculata
3
3
0,0300
35,00
11,15
0,1115
0,00975
366,67
7,73
0,27
27,27
0,33
0,02
35,02
0,20
276
18
0,1800
97,02
48,51
12,8408
80,9143
4.741,67
100,00
1,00
100,00
2,022,94
100,00
300,00
0,84
Stasiun II
(Pohon)
Contoh
Semai (2 m x 2 m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
12
2
Rhizophora
mucronata Lmk.
20
JUMLAH
JUMLAH
JUMLAH
(FR-i)
(C-i)
(CR-i)
INP-i
(%)
(m2)
(%)
(%)
(H')
91
Lanjutan Lampiran 1.
Jumlah
Petak
(Pohon)
Contoh
60
2
3
63
Luas
Keliling
Diameter
LBD
(K-i)
(KR-i)
cm
cm
m
(m2)
(pohon/ha)
(%)
(F-i)
(petak
contoh)
0,0008
62,40
19,87
0,1987
0,03100
75000,00
95,24
0,67
66,67
38,75
97,96
259,87
0,05
1
3
0,0008
0,0016
9,00
4,04
2,87
2,02
0,0287
0,2274
0,00064
0,03165
3750,00
78750,00
4,76
100,00
0,33
1,00
33,33
100,00
0,81
39,56
2,04
100,00
40,13
300,00
0,15
0,20
5
1
0,0025
39,80
12,68
0,1268
0,01261
2000,00
18,18
0,14
14,29
5,04
13,20
45,67
0,31
2
2
0,0050
15,00
4,78
0,0478
0,00179
400,00
3,64
0,29
28,57
0,36
0,94
33,15
0,13
13
2
0,0050
93,70
29,84
0,2984
0,06990
2600,00
23,64
0,29
28,57
13,98
36,59
88,80
0,34
12
1
0,0025
72,80
23,18
0,2318
0,04220
4800,00
43,64
0,14
14,29
16,88
44,18
102,10
0,36
3
35
1
7
0,0025
0,0175
24,70
36,97
7,87
18,48
0,0787
0,7834
0,00486
0,13136
1200,00
11000,00
10,91
100,00
0,14
1,00
14,29
100,00
1,94
38,20
5,09
100,00
30,28
300,00
0,24
1,38
61
3
0,0300
1481,30
471,75
4,7175
17,47014
2033,00
27,98
0,21
21,43
582,34
60,05
109,46
0,36
14
2
0,0200
218,40
69,55
0,6955
0,37977
700,00
9,63
0,14
14,29
18,99
1,96
25,88
0,22
22
2
0,0200
673,00
214,33
2,1433
3,60612
1100,00
15,14
0,14
14,29
180,31
18,59
48,02
0,28
34
3
0,0300
509,10
162,13
1,6213
2,06356
1133,33
15,60
0,21
21,43
68,79
7,09
44,12
0,29
8
1
0,0100
147,10
46,85
0,4685
0,17228
800,00
11,01
0,07
7,14
17,23
1,78
19,93
0,24
20
2
0,0200
427,80
136,24
1,3624
1,45711
1000,00
13,76
0,14
14,29
72,86
7,51
35,56
0,28
5
1
0,0100
191,50
60,99
0,6099
0,29198
500,00
6,88
0,07
7,14
29,20
3,01
17,03
0,19
164,00
14,00
0,14
3,648,20
1,161,85
11,62
25,44
7,266,33
100,00
1,00
100,00
969,70
100,00
300,00
1,86
Stasiun III
Semai (2 m x 2 m)
Ceriops tagal (Perr.)
C.B.Rob.
Acanthus ilicifolius
L.
JUMLAH
Pancang (5 m x 5 m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
Rhizophora
mucronata Lmk.
Ceriops tagal (Perr.)
C.B.Rob.
Bruguiera
gymnorrhiza (L.)
Avicennia
marina
(Forsk.)
JUMLAH
Pohon (10 m x 10
m)
Sonneratia alba J.E.
Smith.
Rhizophora
mucronata Lmk.
Rhizophora apiculata
Bl.
Ceriops tagal (Perr.)
C.B.Rob.
Bruguiera
gymnorrhiza (L.)
Avicennia
marina
(Forsk.)
Xylocarpus
moluccencis
JUMLAH
(FR-i)
(C-i)
(CR-i)
INP-i
(%)
(m2)
(%)
(%)
(H')
92
Lampiran 2. Hasil Pengamatan Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang
No
Stasiun I
Bulan
Jumlah/kelimpahan
Kelimpahan
Indeks
Indeks
Berat/biomassa
Desember
Januari
Februari
(individu)
relative (%)
Keanekaragaman (H')
Kemerataan (E')
X
(gram)
Kelompok Ikan
1
Valamugil seheli
20,00
15,00
17,00
52,00
3,14
0,11
0,05
23,20
1.206,40
2
Leiognathus equulus
122,00
150,00
60,00
332,00
20,06
0,32
0,13
11,34
3.764,88
3
Acentrogobius caninus
120,00
150,00
50,00
320,00
19,34
0,32
0,13
38,60
12.352,00
4
Thryssa baelama
124,00
145,00
50,00
319,00
19,27
0,32
0,13
16,86
5.378,34
5
Stolephorus indicus
124,00
56,00
21,00
201,00
12,15
0,26
0,11
6,62
1.330,62
6
Sardinella lemuru
68,00
34,00
-
102,00
6,16
0,17
0,07
14,32
1.460,64
7
Platycephalus scaber
9,00
12,00
10,00
31,00
1,87
0,07
0,03
7,10
220,10
8
Ambassis sp
30,00
34,00
21,00
85,00
5,14
0,15
0,06
3,40
289,00
9
Psettodes erumei
62,00
50,00
25,00
137,00
8,28
0,21
0,09
22,40
3.068,80
10
Therapon jarbua
8,00
5,00
-
13,00
0,79
0,04
0,02
57,10
742,30
11
Sillago sihama
16,00
32,00
15,00
63,00
3,81
0,12
0,05
37,60
2.368,80
1.655,00
100,00
2,09
0,87
Jumlah
32.181,88
Kelompok Non Ikan
1
Harpiosquilla raphidea
16,00
15,00
10,00
41,00
2,64
0,10
0,05
5,70
233,70
2
Penaeus merguiensis
53,00
35,00
30,00
118,00
7,61
0,20
0,10
12,85
1.516,30
3
Metapenaeus sp.
380,00
254,00
50,00
684,00
44,10
0,36
0,19
2,80
1.915,20
4
Panaeus monodon
158,00
150,00
49,00
357,00
23,02
0,34
0,17
7,14
2.548,98
5
Thalamita sima
43,00
55,00
30,00
128,00
8,25
0,21
0,11
13,30
1.702,40
6
Scylla serata
47,00
25,00
10,00
82,00
5,29
0,16
0,08
12,84
1.052,88
7
Portunus pelagicus
35,00
56,00
50,00
141,00
9,09
0,22
0,11
42,20
5.950,20
1.551,00
100,00
1,57
0,81
Jumlah
Jumlah Total
1.435,00
1.273,00
498,00
3.206,00
14.919,66
47.101,54
93
Lanjutan Lampiran 2.
No
Stasiun II
Bulan
Jumlah/kelimpahan
Kelimpahan
Indeks
Indeks
Berat/biomassa
Desember
Januari
Februari
(individu)
relative (%)
Keanekaragaman (H')
Kemerataan (E')
X
(gram)
Kelompok Ikan
1
Valamugil seheli
12,00
18,00
8,00
38,00
3,45
0,12
0,04
67,25
2.555,50
2
Leiognathus equulus
56,00
47,00
45,00
148,00
13,43
0,27
0,10
3,22
476,56
3
Acentrogobius caninus
42,00
19,00
42,00
103,00
9,35
0,22
0,08
14,28
1.470,84
4
Thryssa baelama
56,00
22,00
58,00
136,00
12,34
0,26
0,10
24,50
3.332,00
5
Stolephorus indicus
24,00
12,00
34,00
70,00
6,35
0,18
0,07
13,86
970,20
6
Sardinella lemuru
70,00
42,00
-
112,00
10,16
0,23
0,09
18,20
2.038,40
7
Platycephalus scaber
25,00
28,00
5,00
58,00
5,26
0,15
0,06
52,50
3.045,00
8
Ambassis sp
168,00
35,00
50,00
253,00
22,96
0,34
0,13
3,68
931,04
9
Psettodes erumei
28,00
23,00
5,00
56,00
5,08
0,15
0,06
4,15
232,40
10
Therapon jarbua
2,00
7,00
12,00
21,00
1,91
0,08
0,03
31,50
661,50
11
Polynemus plebeius
3,00
-
5,00
8,00
0,73
0,04
0,01
21,70
173,60
12
Tylosurus strongylurus
4,00
3,00
-
7,00
0,64
0,03
0,01
17,20
120,40
13
Sciaena russeli
8,00
9,00
-
17,00
1,54
0,06
0,02
88,20
1.499,40
14
Sillago sihama
14,00
47,00
14,00
75,00
6,81
0,18
0,07
13,77
1.032,75
1.102,00
100,00
2,31
0,87
Jumlah
18.539,59
Kelompok Non Ikan
1
Harpiosquilla raphidea
26,00
54,00
18,00
98,00
7,12
0,19
0,10
8,00
784,00
2
Penaeus merguiensis
133,00
127,00
109,00
369,00
26,80
0,35
0,20
8,27
3.051,63
3
Metapenaeus sp.
252,00
137,00
188,00
577,00
41,90
0,36
0,20
6,14
3.542,78
4
Panaeus monodon
54,00
47,00
40,00
141,00
10,24
0,23
0,13
3,90
549,90
5
Thalamita sima
24,00
19,00
45,00
88,00
6,39
0,18
0,10
19,48
1.714,24
6
Portunus pelagicus
25,00
45,00
34,00
104,00
7,55
0,20
0,11
47,10
4.898,40
1.377,00
100,00
1,51
0,84
Jumlah
Jumlah Total
1.026,00
741,00
694,00
2.479,00
14.540,95
33.080,54
94
Lanjutan Lampiran 2.
No
Stasiun III
Bulan
Jumlah/kelimpahan
Kelimpahan
Indeks
Indeks
Berat/biomassa
Desember
Januari
Februari
(individu)
relative (%)
Keanekaragaman (H')
Kemerataan (E')
X
(gram)
Kelompok Ikan
1
Valamugil seheli
5,00
3,00
1,00
9,00
0,67
0,03
0,01
80,00
720,00
2
Leiognathus equulus
13,00
37,00
25,00
75,00
5,60
0,16
0,07
4,29
321,75
3
Acentrogobius caninus
254,00
180,00
118,00
552,00
41,19
0,37
0,15
8,11
4.476,72
4
Thryssa baelama
19,00
105,00
24,00
148,00
11,04
0,24
0,10
4,71
697,08
5
Stolephorus indicus
25,00
168,00
50,00
243,00
18,13
0,31
0,13
2,08
505,44
6
Sardinella lemuru
32,00
75,00
-
107,00
7,99
0,20
0,08
13,40
1.433,80
7
Platycephalus scaber
19,00
30,00
25,00
74,00
5,52
0,16
0,07
21,63
1.600,62
8
Psettodes erumei
22,00
9,00
21,00
52,00
3,88
0,13
0,05
15,32
796,64
9
Therapon jarbua
4,00
3,00
-
7,00
0,52
0,03
0,01
54,50
381,50
10
Tylosurus strongylurus
-
5,00
15,00
20,00
1,49
0,06
0,03
6,25
125,00
11
Sillago sihama
9,00
19,00
25,00
53,00
3,96
0,13
0,05
15,25
808,25
1.340,00
100,00
1,82
0,76
Jumlah
11.866,80
Kelompok Non Ikan
1
Harpiosquilla raphidea
15,00
12,00
19,00
46,00
4,12
0,13
0,07
3,03
139,38
2
Penaeus merguiensis
19,00
37,00
42,00
98,00
8,78
0,21
0,11
7,85
769,30
3
Metapenaeus sp.
141,00
280,00
254,00
675,00
60,48
0,30
0,16
7,94
5.359,50
4
Panaeus monodon
21,00
38,00
35,00
94,00
8,42
0,21
0,11
25,00
2.350,00
5
Thalamita sima
25,00
19,00
11,00
55,00
4,93
0,15
0,08
15,10
830,50
6
Scylla serata
12,00
32,00
15,00
59,00
5,29
0,16
0,08
81,73
4.822,07
7
Portunus pelagicus
32,00
40,00
17,00
89,00
7,97
0,20
0,10
31,02
2.760,78
1.116,00
100,00
1,36
0,70
2.456
545,78
Jumlah
Jumlah Total
667,00
1.092,00
697,00
17.031,53
28.898,33
95
Lampiran 3. Dokumentasi Kondisi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang
Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun I
Lokasi Tepi Laut Berbatasan Sungai
Bagian Tengah Hasil Rehabilitasi
Bagian Tepi yang ditanami Mangrove
Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun II
Bagian Tepi Laut Berbatasan Sungai
Bagian Tengah Hasil Rehabilitasi
Bagian Tepi Pesisir Berdekatan Tambak
Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun III
Bagian Tepi Laut Berbatasan Sungai
Bagian Tengah di Tambak yang Rusak
Bagian Tepi yang ditumbuhi Mangrove
96
Lampiran 4. Dokumentasi Kondisi Fauna Akuatik dan Perairan di Kawasan Teluk Pangpang
Hasil Tangkapan Fauna Akuatik
Pengukuran pH
Ambassis sp
Sillago sihama
Penyortiran Fauna Akuatik
Pengukuran Salinitas
Acentrogobius caninus
Psettodes erumei
Pengukuran Suhu
Pengukuran Tekstur Tanah
Leiognathus equulus
Polydactylus plebeius
Platycephalus scaber
97
Lanjutan Lampiran 4.
Valamugil seheli
Sardinella lemuru
Harpiosquilla raphidea
Portunus pelagicus
Terapon jarbua
Thryssa baelama
Penaeus monodon
Scylla serata
Tylosurus strongylurus
Metapenaeus sp.
Penaeus merguiensis
Thalamita sima
98
Lampiran 5. Panduan Pasang Surut Kedalaman Air Laut di Banyuwangi
99
Lanjutan Lampiran 5.
Ket:
: Keadaan Air Pasang Tinggi
: Pengambilan Sampel Fauna Akuatik
100
Lampiran 6. Famili Fauna Akuatik Berdasarkan Hasil Tangkapan
No
1.
Familia
Mugilidae
Spesies
Valamugil seheli
Nama Lokal
Stasiun
I
II
III
52
38
9
Pelagis
52
38
9
332
148
75
332
148
75
320
103
552
320
103
552
Ikan Liplip
319
136
148
Pelagis
Ikan Teri
201
70
243
Pelagis
Ikan Lemuru
102
112
107
Pelagis
662
318
498
31
58
74
31
58
74
85
253
-
85
253
-
137
56
52
137
56
52
13
21
7
13
21
7
-
8
-
-
8
-
-
7
20
-
7
20
-
17
-
-
17
-
63
75
53
63
75
53
41
98
46
41
98
46
Ikan Belanak
Jumlah
2.
Leiognathidae
Leiognathus equulus
Ikan Petek
Jumlah
3.
Gobiidae
Acentrogobius caninus
Ikan Bedul
Jumlah
4.
Clupeidae
Thryssa baelama
Stolephorus indicus
Sardinella sp.
Jumlah
5.
Platycephalidae
Platycephalus scaber
Ikan Pahat
Jumlah
6.
Centropomidae
Ambassis sp.
Ikan Siriding
Jumlah
7.
Psettodidae
Psettodes erumei
Mata Sebelah
Jumlah
8.
Theraponidae
Therapon jarbua
Ikan Kerong
Jumlah
9.
Polynemidae
Polynemus plebeius
Ikan Sumbal
Jumlah
10.
Belonidae
Tylosurus strongylurus
Ikan Kacangan
Jumlah
11.
Sciaenidae
Sciaena russeli
Ikan Gulamah
Jumlah
12.
Sillaginidae
Sillago sihama
Ikan Lojung
Jumlah
13.
Squillidae
Harpiosquilla raphidea
Udang Mantis
Jumlah
14.
Penaeidae
Portunidae
Demersal
Demersal
Demersal
Pelagis
Demersal
Demersal
Pelagis
Pelagis
Demersal
Pelagis
-
Penaeus merguiensis
Udang Manis
118
369
98
-
Metapenaeus sp.
Udang Werus
684
577
675
-
Panaeus monodon
Udang Windu
357
141
94
-
1159
1069
867
Kepiting Batu
128
88
55
-
Kepiting Bakau
82
-
59
-
Kepiting
141
104
89
-
351
192
203
Jumlah
15.
Sifat
Hidup
Thalamita sima
Scylla serata
Portunus pelagicus
Rajungan
Jumlah
101
Lampiran 7. Hasil Pengolahan Analisis Korespondensi Kondisi Famili Fauna Akuatik
Output - 1
Case Processing Summary
Cases
Valid
Missing
N
Percent
N
Percent
8123
100,0%
0
,0%
Stasiun * Jenis
Total
N
Percent
100,0%
8123
Output – 2
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
1264,465(a)
Likelihood Ratio
1468,723
Linear-by-Linear Association
,011
N of Valid Cases
8123
df
Asymp. Sig. (2-sided)
28
28
1
,000
,000
,918
Interpretsi:
Hasil pengujian independensi untuk mengetahui kebebasan antar kategori berupa uji Pearson Chi-Sguare (uji Chi-kuadrat) didapatkan nilai
signifikansi (Asymp. Sig) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Hasil stastistik menunjukkan dengan koefisien taraf nyata 5%
didapatkan adanya hubungan antara variabel kategori stasiun penelitian dengan variabel kategori famili fauna akuatik yang memiliki
kecenderungan untuk saling terkait.
Output – 3
Stasiun * Jenis Crosstabulation
1
Stasiun
1 Count
Expected
Count
2 Count
Expected
Count
3 Count
Total
Expected
Count
Count
Expected
Count
Famili fauna akuatik (individu)
6
7
8
9
10
5
Total
2
3
4
11
12
13
52
332
320
622
31
85
137
13
0
0
0
63
41
39,1
219,0
384,8
567,6
64,3
133,4
96,7
16,2
3,2
10,7
6,7
75,4
73,0
38
223
103
318
58
253
56
21
8
7
17
75
30,9
173,3
304,4
448,9
50,9
105,5
76,5
12,8
2,5
8,4
5,3
9
0
552
498
74
0
52
7
0
20
29,0
162,7
285,8
421,5
47,8
99,1
71,8
12,0
2,3
99
555
975
163
338
245
41
99,0
555,0
975,0
1438
1438,
0
163,0
338,0
245,0
41,0
14
15
351
3206
294,4
3206,0
98
1159
1221,
5
1069
192
2536
59,6
57,8
966,3
232,9
2536,0
0
53
46
867
203
2381
7,9
5,0
56,0
54,2
907,2
218,7
2381,0
8
27
191
185
8123
27,0
191,0
185,0
3095
3095,
0
746
8,0
17
17,
0
746,0
8123,0
Keterangan :
1 : Mugilidae; 2 : Leiognathidae; 3 : Gobiidae; 4 : Clupeidae; 5 : Platycephalidae; 6 : Centropomidae; 7 : Psettodidae; 8 :
Theraponidae; 9 : Polynemidae; 10 : Belonidae; 11 : Scevinidae;12 : Sillagidae; 13: Squillidae; 14 : Penaeidae; 15: Portunidae
Interpretasi:
Menunjukkan informasi mengenai nilai observasi (count) dan nilai harapan (expected count) dari masing-masing sel. Besaran selisih
antara nilai observasi dengan nilai harapan dalam sel yang sama digunakan sebagai petunjuk profil famili fauna akuatik dan profil stasiun
penelitian yang mana saling terkait.
Output - 4
Correspondence Table
Stasiun
1
2
3
Active
Margin
Interpretasi:
Famili fauna akuatik (individu)
1
52
38
9
2
332
223
0
3
320
103
552
4
622
318
498
5
31
58
74
6
85
253
0
7
137
56
52
8
13
21
7
9
0
8
0
10
0
7
20
11
0
17
0
12
63
75
53
13
41
98
46
14
1159
1069
867
15
351
192
203
Active
Margin
3206
2536
2381
99
555
975
1438
163
338
245
41
8
27
17
191
185
3095
746
8123
102
Menunjukkan data penjumlahan jumlah hasil tangkapan per ekor di setiap stasiun penelitian yang berguna untuk melihat kembali apakah
data yang dimasukkan tidak ada kesalahan.
Output - 5
Overview Row Points(a)
Stasiun
Mass
Score in Dimension
1
Inertia
Contribution
Of Point to Inertia of
Dimension
2
1
Of Dimension to Inertia of Point
2
1
2
Total
1
,395
,060
,539
,022
,004
,601
,022
,978
1,000
2
,312
,690
-,396
,061
,431
,257
,846
,154
1,000
3
,293
-,816
-,304
,073
,565
,142
,929
,071
1,000
,156
1,000
1,000
Active
Total
1,000
Interpretasi:
Menunjukan informasi mengenai koefisien profil baris hasil penguraian nilai singular (Singular Value Decomposition). Koefisien baris ini
digunakan untuk menggambarkan masing-masing kategori baris dalam peta (mapping) pola sebaran stasiun penelitian.
Output - 6
Overview Column Points(a)
Famili
Mass
Score in Dimension
1
Inertia
Contribution
Of Point to Inertia of
Dimension
2
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Active
Total
,012
,068
,120
,177
,020
,042
,030
,005
,001
,003
,002
,024
,023
,381
,092
1,000
,644
,907
-1,069
-,301
-,328
1,540
,052
,675
1,999
-1,232
1,999
,187
,510
,094
-,047
,542
,856
-,194
,211
-,925
-,844
,767
-,440
-2,077
-1,718
-2,077
-,326
-,870
-,105
,362
2
Of Dimension to Inertia of Point
1
,002
,029
,048
,007
,004
,040
,003
,001
,002
,004
,005
,001
,005
,002
,002
,015
,163
,397
,046
,006
,286
,000
,007
,011
,015
,024
,002
,017
,010
,001
,019
,262
,024
,042
,090
,156
,093
,005
,022
,051
,047
,013
,090
,022
,063
,156
1,000
1,000
2
,718
,670
,982
,786
,186
,858
,008
,810
,626
,482
,626
,373
,383
,588
,029
,282
,330
,018
,214
,814
,142
,992
,190
,374
,518
,374
,627
,617
,412
,971
Total
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
Interpretasi:
Menunjukan informasi mengenai koefisien profil kolom hasil penguraian nilai singular (Singular Value Decomposition).
Koefisien kolom ini digunakan untuk menggambarkan masing-masing kategori kolom dalam peta (mapping) pola sebaran
fauna akuatik di setiap stasiun penelitian .
Output - 7
Hasil output peta (mapping) pola sebaran fauna akuatik berdasarkan jumlah hasil tangkapan famili akuatik per ekor di setiap
stasiun penelitian. Berdasarkan hubungan antara variabel dilakukan pengelompokkan di setiap kuadran yang memiliki
kedekatan variabel stasiun penelitian dengan variabel famili fauna akuatik (Gambar 5.8).
103
Lampiran 8. Rekomendasi Izin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
Download