TESIS POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG KABUPATEN BANYUWANGI YANUAR RUSTRIANTO BUWONO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG KABUPATEN BANYUWANGI YANUAR RUSTRIANTO BUWONO NIM 1391261001 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 POTENSI FAUNA AKUATIK EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KAWASAN TELUK PANGPANG KABUPATEN BANYUWANGI Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Udayana YANUAR RUSTRIANTO BUWONO NIM 1391261001 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 JULI 2015 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Ir. IPG Ardhana, M.AgrSc, SH. NIP. 194911021976031001 Dr. Ir. Made Sudarma, MS. NIP. 196007281986011002 Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS. NIP. 196703031994031002 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP.195902151985102001 iii Penetapan Panitia Penguji Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Tanggal 29 Juni 2015 Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1925/UN.14.4/HK/2015 Tanggal : 23 Juni 2015 Panitia Penguji Penelitian Tesis adalah : Ketua : Prof. Dr. Ir. IPG. Ardhana, M.AgrSc, SH. Anggota : 1. Dr. Ir. Made Sudarma, MS. 2. Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. 3. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Sudana, M.Rur.Sc. iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Yanuar Rustrianto Buwono NIM : 1391261001 Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan Judul Tesis : Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan, Yanuar Rustrianto Buwono NIM.1391261001 v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi” sesuai dengan yang diharapkan. Dalam penyelesaian Tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). Selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. IPG. Ardhana, M.AgrSc, SH. dan Bapak Dr. Ir. Made Sudarma, MS. selaku dosen pembimbing I dan II, yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk bimbingan dan masukan dengan penuh kesabaran. 3. Bapak Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Sudana, M.Rur.Sc., yang telah memberikan saran dan masukan pada saat Seminar Hasil dan Ujian Penelitian Tesis. 4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Bapak Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS., yang telah mendukung kelancaran studi penulis. 5. Seluruh Dosen dan staff Tata Usaha Program Studi Ilmu Lingkungan yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam mendalami studi Ilmu Lingkungan. 6. Bapak Rusdianto dan Ibu Hermin Sri Wahyuni sebagai orangtua penulis. Istri, Rita Yuliati dan anak, Dika Arsyl Ruswinata tercinta serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, dukungan, bantuan moral material yang telah diberikan dalam menempuh studi penulis. 7. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Balai Diklat Perikanan Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan, Kecamatan vi Muncar, Kelompok Tani serta masyarakat pesisir Muncar yang telah memberikan fasilitas sarana dan prasarana serta kemudahan dalam menyelesaikan tesis ini. 8. Rekan-rekan sejawat Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, yang telah banyak memberikan semangat, saran, dan dukungan kepada penulis. 9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam penyusunan Tesis ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan pengalaman dan pengetahuan sehingga Penelitian Tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar Penelitian Tesis ini lebih sempurna. Denpasar, Juni 2015 Penulis vii ABSTRAK Ekosistem mangrove berada di antara wilayah pesisir daratan dan lautan yang mengalami perubahan secara terus menerus akibat aktivitas manusia sehingga mempengaruhi fauna akuatik beberapa spesies ikan dan non ikan. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman mangrove, menganalisis kelimpahan, biomassa, keanekaragaman dan kemerataan, serta penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove. Hasil penelitian flora mangrove menunjukkan indeks keanekaragaman dalam kategori sedang dengan indeks nilai penting famili Rhizophoraceae dan Sonneratiaceae mendominasi pada semua fasenya. Fauna akuatik bernilai ekonomis ditemukan berjumlah 21 jenis dari 15 famili. Kelompok fauna ikan ditemukan ikan bedul (A. caninus) mempunyai kelimpahan dan biomassa sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56 gr, sedangkan kelompok fauna non ikan ditemukan udang werus (Metapenaeus sp.) mempunyai kelimpahan sebanyak 1.936 ind dan rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa sebesar 13.609,38 gr yang berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Indeks keanekaragaman fauna termasuk dalam kategori sedang, sedangkan indeks kemerataan fauna tergolong kategori tinggi. Pola penyebaran di bagian mulut teluk dengan adanya muara aliran sungai Wagut ditemukan fauna berupa ikan pelagis dan demersal seperti famili Mugilidae, Clupediae, Leiognatidae, Psettodidae. Pada bagian tengah teluk berupa tepi tambak budidaya ditemukan kelompok ikan pelagis yaitu famili Centropomidae, Polynemidae, Sillagidae. Sedangkan, pada bagian ujung teluk dengan adanya aliran Sungai Setail ditemukan kelompok ikan demersal yaitu famili Gobidae dan Platycephalidae. Kata kunci: Keanekaragaman, Flora mangrove, Fauna, Biomassa viii ABSTRACT Mangrove ecosystem located between terrestrial and marine coastal areas are changing constantly due to human activities that affect the aquatic fauna several species of fish and non-fish. The aim of research to determine the level of importance and biodiversity index value of mangrove, analyze abundance, biomass, biodiversity and equity, as well as the spread of aquatic fauna mangrove forest ecosystem. Results of the study showed an index of biodiversity of mangrove flora in the medium category with a relative importance value index Rhizophoraceae and Sonneratiaceae dominate in all phases. Economically valuable aquatic fauna found amounted to 21 species of 15 families. Groups of fish fauna found bedul fish (A. caninus) have abundance and biomass as much as 975 ind at 18,299.56 gr, meanwhile the non fish fauna found werus shrimp (Metapenaeus sp.) has an abundance of as much as 1,936 ind and biomass crabs (P. pelagicus) have amounted to 13,609.38 gr associated in mangrove areas Pangpang Bay. Fauna biodiversity index included in the medium category, meanwhile the index of evenness fauna belonging in the high category. Dispersal patterns at the mouth of the bay with the mouth of the river flow Wagut fauna found in the form of pelagic and demersal fish such as family Mugilidae, Clupediae, Leiognatidae, Psettodidae. At the center of the edge of the bay in the form of aquaculture ponds found that pelagic fish group Centropomidae, Polynemidae, Sillagidae family. Meanwhile, at the end of the bay with the river flow Setail what the group found that demersal fish Platycephalidae and Gobidae family. Keywords: Biodiversity, Mangrove flora, Fauna, Biomass ix RINGKASAN Yanuar Rustrianto Buwono, Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi di bawah bimbingan I Putu Gede Ardhana dan Made Sudarma. Kawasan Teluk Pangpang yang terletak di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur terdapat pengembangan kegiatan perikanan, yang bertujuan untuk peningkatan pendapatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan budidaya tambak, alat tangkapan ikan, pelabuhan, industri pengolahan ikan. Tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia tersebut dapat mengurangi fungsi ekologis mangrove dan mengganggu keberadaan fauna akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, sehingga dapat mempengaruhi potensi fauna akuatik di ekosistem hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman jenis vegetasi pada ekosistem hutan mangrove, menganalisis tingkat kelimpahan dan biomassa, keanekaragaman dan kemerataan, serta pola penyebaran fauna akuatik pada ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi. Manfaat penelitian, bagi masyarakat sebagai bahan informasi yang bermanfaat dan bahan masukan dalam upaya konservasi biota laut yaitu fauna akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Bagi pemerintah sebagai bahan informasi dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap potensi fauna akuatik sehingga dapat menjadi masukan dalam mengambil kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove. Bagi mahasiswa sebagai bahan literatur dengan kajian-kajian lebih lanjut dalam potensi fauna akuatik kaitannya dengan keberadaan vegetasi mangrove di masa yang akan datang. Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung yaitu metoda pengumpulan data dengan cara menjelajah dan mengidentifikasi lokasi penelitian melalui pengamatan langsung secara cermat dengan berpedoman pada desain penelitian di sekitar ekosistem mangrove dengan menentukan 3 (tiga) stasiun sampling yang terletak di kawasan ekosistem mangrove Teluk Pangpang, yaitu: Stasiun I berada di kawasan pesisir Tratas Kawang, terletak di bagian mulut teluk dengan kondisi berupa daerah pemukiman, pelabuhan, area rehabilitasi dan muara aliran sungai Wagut; Stasiun II berada di kawasan pesisir Muncing Krajan, terletak di bagian tengah teluk dengan kondisi berupa tambak budidaya ikan, daerah rehabilitasi dan agak berjauhan dengan muara Sungai Setail; Sedangkan Stasiun III berada di kawasan pesisir Tegalpare, terletak di bagian ujung teluk dengan kondisi berupa bekas tambak budidaya ikan dan berdekatan dengan muara aliran sungai Setail, daerah pertanian yang mengalirkan limbah pertanian dan limbah budidaya ikan. Hasil penelitian kondisi mangrove menunjukkan secara keseluruhan pada pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang mempunyai kriteria keanekaragaman jenis yang bervariasi dan didominasi flora mangrove jenis Rhizophora mucronata dari famili Rhizophoraceae dan Sonneratia alba dari famili Sonneratiaceae. Pada daerah yang berdekatan dengan pemukiman dan muara aliran sungai Wagut, Jenis x R. mucronata mendominasi vegetasi mangrove dengan Indeks Nilai Penting pada fase semai sebesar 231,92%, fase pancang 150,73%, dan fase pohon 133,95%. Pada daerah yang berada di tepi tambak budidaya, S. alba mendominasi pada fase semai sebesar 140,89%, fase pancang 168,01, dan fase pohon 192,73%. Sedangkan, pada daerah yang berdekatan dengan sungai Setail jenis Ceriops tagal mendominasi pada fase semai sebesar 259,87%, pada fase pancang Bruguiera gymnorrhiza sebesar 102,10%, dan pada fase pohon S. alba sebesar 109,46%. Hasil pengamatan kondisi fauna akuatik menunjukkan nilai indeks keanekaragaman dalam kategori sedang dan nilai indeks kemerataan dalam kategori tinggi. Fauna akuatik bernilai ekonomis penting di kawasan mangrove ditemukan berjumlah 21 jenis dari 15 famili. Kelompok fauna ikan ditemukan ikan bedul (A. caninus) mempunyai kelimpahan dan biomassa sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56 gr, sedangkan kelompok fauna non ikan ditemukan udang werus (Metapenaeus sp.) mempunyai kelimpahan sebanyak 1.936 ind dan rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa sebesar 13.609,38 gr yang berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Pola penyebaran fauna akuatik di ekosistem mangrove ditemukan daerah yang berdekatan pemukiman dan muara aliran sungai Wagut, jenis R.mucronata dan R.apiculata banyak ditemukan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis dan demersal yaitu famili Mugilidae, Clupediae, Leiognatidae, Psettodidae. Pada daerah yang berada di tepi tambak budidaya dan agak berjauhan dengan muara sungai menyebabkan kondisi salinitas perairan tinggi sehingga banyak ditemukan tegakan mangrove jenis S. alba dengan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Centropomidae, Polynemidae, Sillagidae. Sedangkan, pada daerah yang berdekatan dengan sungai Setail dan berada di ujung teluk didominasi tegakan mangrove jenis C. tagal, B. gymnorrhiza, Avicennia marina, Acanthus illcifolius dan Xylocarpus moluccensis yang terletak agak jauh dari garis pantai serta lebih berdekatan dengan daratan menyebabkan banyak ditemukan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup demersal yaitu famili Gobidae dan Platycephalidae. xi DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ............................................................................................. i LEMBAR PRASYARAT GELAR .................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................ iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... vi ABSTRAK ......................................................................................................viii ABSTRACT ...................................................................................................... ix RINGKASAN .................................................................................................... x DAFTAR ISI ................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1.Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2.Rumusan Masalah .................................................................................. 3 1.3.Tujuan Penelitian ................................................................................... 3 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 4 BAB II. KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 5 2.1.Kawasan Teluk Pangpang ...................................................................... 5 2.2.Potensi Biota Laut .................................................................................. 7 2.3.Ekosistem Mangrove............................................................................. 9 2.4. Luas dan Penyebaran Mangrove ......................................................... 10 2.5. Fungsi dan Manfaat Mangrove .......................................................... 12 xii 2.6. Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove .............................................. 13 BAB III.KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN .......... 16 3.1.Kerangka Berpikir ................................................................................ 16 3.2.Penelitian Terdahulu ............................................................................ 18 3.3.Konsep Penelitian ................................................................................ 19 BAB IV. METODA PENELITIAN ............................................................... 21 4.1.Rancangan Penelitian ........................................................................... 21 4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 21 4.3. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 22 4.4. Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel .................................... 23 4.5. Penentuan Sumber Data ...................................................................... 24 4.6. Bahan dan Instrumen Penelitian ......................................................... 24 4.7. Prosedur Penelitian ............................................................................. 25 4.8. Analisa Data ........................................................................................ 29 BAB V. HASIL PENELITIAN ...................................................................... 35 5.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 35 5.1.1. Kondisi lokasi penelitian........................................................... 35 5.1.2. Kondisi tekstur tanah ................................................................ 37 5.1.3. Kondisi perairan ........................................................................ 38 5.2. Analisis Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang... 40 5.2.1. Komposisi jenis vegetasi mangrove.......................................... 40 5.2.2. Kerapatan jenis vegetasi mangrove .......................................... 41 5.2.3. Frekuensi jenis vegetasi mangrove ........................................... 43 5.2.4. Luas penutupan jenis vegetasi mangrove ................................. 46 5.2.5. Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove ........................ 48 5.2.6. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove ............................. 49 xiii 5.2.7. Tingkat kerusakan vegetasi mangrove ...................................... 50 5.3. Analisis Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang .......... 50 5.3.1. Komposisi jenis fauna akuatik .................................................. 50 5.3.2. Kelimpahan dan biomassa jenis fauna akuatik ......................... 52 5.3.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik ........... 54 5.4. Analisis Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik .................................. 55 BAB VI. PEMBAHASAN............................................................................... 59 6.1. Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ................. 59 6.2. Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ........................ 69 6.3. Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik ................................................ 75 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 82 6.1. Simpulan ............................................................................................. 82 6.2. Saran ................................................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 84 LAMPIRAN ..................................................................................................... 89 xiv DAFTAR TABEL Halaman 2.1. Daftar Jenis Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo Teluk Pangpang .... 6 3.1. Penelitian Terdahulu di Kawasan Teluk Pangpang ....................................... 18 4.1. Penentuan Sumber Data Penelitian ................................................................ 24 4.2. Baku Mutu Air untuk Biota Laut ................................................................... 33 5.1. Parameter Suhu, Salinitas, pH dan Tekstur Tanah ......................................... 38 5.2. Identifikasi Jenis Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ............................ 40 5.3. Jumlah Individu Mangrove per Fase di Kawasan Teluk Pangpang ............... 41 5.4. Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove .............................................................. 41 5.5. Kerapatan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove .................................................. 43 5.6. Frekuensi Jenis Vegetasi Mangrove............................................................... 44 5.7. Frekuensi Relatif Jenis Vegetasi Mangrove ................................................... 45 5.8. Luas Penutupan Jenis Vegetasi Mangrove ..................................................... 46 5.9. Luas Penutupan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove ......................................... 47 5.10. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove .................................................... 48 5.11. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Mangrove .............................................. 49 5.12. Tingkat Kerusakan mangrove Dilihat dari Kerapatan Vegetasi .................. 50 5.13. Kelimpahan Jenis dan Biomassa Fauna Akuatik ......................................... 53 xv DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1. Peta Pengelolaan Aktivitas di Teluk Pangpang ............................................. 5 2.2. Hubungan Keterkaitan Komponen Ekosistem Mangrove.............................. 13 3.1. Alur Pemikiran Penelitian .............................................................................. 17 4.1. Titik Sampling Penelitian di Kawasan Mangrove ......................................... 22 4.2. Desain Penempatan Plot (Petak Contoh) Metoda Transek ............................ 27 4.3. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak ....................... 27 5.1. Alat Tangkap Trapped Net di Kawasan Teluk Pangpang .............................. 51 5.2. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Ikan ........................... 54 5.3. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Non Ikan ................... 55 5.4. Komposisi Famili Fauna Akuatik di Stasiun Pengamatan ............................ 56 5.5. Pola Sebaran Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove .................................. 56 6.1. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan I .................................................. 61 6.2. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan II ................................................. 63 6.3. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan III................................................ 64 6.4. Kerusakan Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ...................................... 68 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Pengamatan Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ............89 2. Hasil Pengamatan Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ....................92 3. Dokumentasi Kondisi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang ....................95 4. Dokumentasi Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ..............96 5. Panduan Pasang Surut Kedalaman Air Laut di Banyuwangi ..........................98 6. Spesies Fauna Akuatik Di Kawasan Teluk Pangpang ....................................100 7. Hasil Pengolahan Analisis Korespondensi Kondisi Famili Fauna Akuatik ....101 8. Rekomendasi Izin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik ................103 xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan lautan. Wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air dan masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Untuk wilayah laut di pesisir mencakup bagian lautan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976). Kordi (2012), menjelaskan ekosistem mangrove berada di antara wilayah pesisir bagian daratan dan lautan yang mengalami perubahan secara terus menerus, sehingga berbagai biota di kawasan mangrove memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan beradaptasi secara berkesinambungan karena merupakan suatu ekosistem yang khas dan unik. Ekosistem mangrove termasuk dalam ekosistem pantai yang terdapat pada perairan tropik dan subtropik, serta menjadi penyangga sistem kehidupan fauna akuatik karena menjadi tempat berasosiasinya sejumlah biota air. Pada ekosistem ini serasah daun mangrove yang terdekomposisi (detritus) akan menjadi nutrien yang dimanfaatkan oleh hewan pemakan detritus (detrivorus) seperti species ikan dan crustacea (Supriharyono, 2007). Pengaruh dan tekanan terhadap habitat mangrove yang bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pemukiman, industri perikanan dan pertanian menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove sehingga dapat 1 2 mengakibatkan kerusakan ekologi di pesisir, salah satunya di pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Sejak tahun 2000, lembaga pemerintah dan non pemerintah telah banyak melakukan rehabilitasi dengan penanaman mangrove di sekitar kawasan tersebut akibat kerusakan hutan mangrove yang cukup parah oleh berbagai hal, seperti perambahan hutan untuk pembukaan lahan tambak, kayu bakar, bahan bangunan, pembuatan jangkar perahu dan lain-lain. Hasil penelitian Biswas et al. (2008), luas ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Pangpang menggunakan citra Satelit Landsat pada tahun 1989 adalah ± 207,5 ha mengalami peningkatan menjadi ± 282,8 ha pada tahun 2011. Kawasan Teluk Pangpang adalah salah satu pesisir yang menjadi pusat (central) kegiatan perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Keberadaan mangrove di kawasan tersebut memiliki peran penting sebagai habitat fauna, perlindungan fisik untuk garis pantai, spawning, nursery dan feeding ground bagi beberapa spesies ikan dan udang-udangan. Selain itu ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai sarana pengolahan air limbah alami, sehingga mencegah pencemaran pesisir. Pengembangan kegiatan perikanan yang bertujuan untuk peningkatan pendapatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan budidaya tambak, alat tangkapan ikan, pelabuhan, industri pengolahan ikan akan mengancam kelestarian ekosistem mangrove. Tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia tersebut dapat mengurangi fungsi ekologis mangrove dan mengganggu keberadaan fauna akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, sehingga dapat mempengaruhi potensi fauna akuatik di ekosistem hutan mangrove. Dinas 3 Kelautan dan Perikanan Banyuwangi mencatat bahwa produksi penangkapan ikan di Muncar dalam 10 tahun terakhir yaitu tahun 2003 sebesar 33.896.220 Kg mengalami penurunan menjadi 21.466.872 Kg pada tahun 2013. Onu La Ola (2008), dalam penelitiannya menerangkan kerusakan mangrove di Wakatobi untuk pemukiman dari tahun 1985-2001 seluas 2,5 ha mengalami penurunan produksi ikan belanak sebesar 218,75 kg/tahun. Penelitian lainnya, kondisi mangrove di muara C.A. Leuweng Sancang mempengaruhi tingginya jumlah dan keragaman ikan sebanyak 6 jenis, dibandingkan muara TNUK sebanyak 43 jenis karena kerusakan mangrove akibat penebangan, pembukaan lahan pertanian serta adanya pendangkalan akibat longsoran sungai (Dewantoro, 2009). Penurunan hasil tangkapan serta keragaman jenis ikan erat kaitannya dengan keberadaan kondisi ekosistem mangrove dikarenakan biota akuatik kehilangan daerah untuk reproduksi, pengasuhan dan tempat mencari makan. Atas dasar hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman jenis vegetasi pada ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi? 2. Bagaimanakah tingkat kelimpahan, biomassa, keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi? 4 3. Bagaimanakah pola penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui tingkat indeks nilai penting dan keanekaragaman jenis pada ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi. 2. Menganalisis tingkat kelimpahan, biomassa, keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi. 3. Menganalisis pola penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang, Kabupaten Banyuwangi. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi yang bermanfaat dan bahan masukan dalam upaya konservasi biota laut yaitu fauna akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. 2. Bagi pemerintah sebagai bahan informasi dalam melaksanakan kebijakankebijakan pemerintah terhadap potensi fauna akuatik sehingga dapat menjadi masukan dalam mengambil kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove. 3. Bagi mahasiswa sebagai bahan literatur dengan kajian-kajian lebih lanjut dalam potensi fauna akuatik kaitannya dengan keberadaan vegetasi mangrove di masa yang akan datang. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Teluk Pangpang Kawasan Teluk Pangpang adalah salah satu pesisir yang menjadi pusat (central) kegiatan perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Kawasan Teluk Pangpang ini berbatasan dengan Selat Bali di sebelah Timur dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan. Teluk Pangpang berada di Selatan Banyuwangi dengan panjang ± 8 km, lebar teluk ± 3,5 km dengan luas wilayah perairan ± 3.000 ha, terletak di dua wilayah administrasi yaitu Kecamatan Muncar dan Kecamatan Tegaldlimo. Teluk Pangpang dikelilingi pesisir yang mempunyai potensi mangrove yang secara geografis terletak antara 8º27’052’’ - 8º32’098’’ LS dan 114º20’988’’ - 114º21’747’’ BT (Pemkab Banyuwangi, 2014). Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian di Teluk Pangpang 5 6 (Pemkab Banyuwangi, 2014) Ekosistem Mangrove yang terdapat di kawasan Teluk Pangpang terdiri dari beberapa jenis, yaitu Rhizophora sp, Sonneratia caseolaris, Bruguiera sp Avicennia sp., dan lain-lain (Erwiantono, 2006). Berdasarkan data laporan identifikasi mangrove di Taman Nasional Alas Purwo untuk kawasan Teluk Pangpang tahun 2001, terdapat 12 jenis mangrove yang di temukan (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Daftar Jenis Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Teluk Pangpang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nama Latin Aegiceras floridum Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandera C. tagal Excoecaria agallocha Lumnitzera racemosa Rhizophora apiculata R. mucronata Scyphyphora hydrophyllaceae Sonneratia alba S. caseolaris Xylocarpus granatum Nama Indonesia Mange Tanjang merah Tingi tagal Tingi Pennengen Pacar banyu Bakau merah Tanjang slindur Perpat lanang Perpat Perpat Nyirih agung Famili Myrsinceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Euphorbiaceae Combretaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rubiaceae Sonneratiaceae Sonneratiaceae Meliaceae Sumber : Laporan Balai Taman Nasional Alas Purwo, 2001 Menurut Raharja et al. (2014), Mangrove dijumpai di Teluk Pangpang meliputi Kecamatan Muncar dan Kecamatan Tegaldlimo dengan total ± 600 ha, dengan rincian di Kecamatan Muncar yaitu 226 ha yang terbagi atas Kelurahan Wringinputih seluas 225 ha dan Kelurahan Kedungringin seluas 1 Ha, sedangkan sisanya berada di Kecamatan Tegaldlimo. Hutan mangrove Teluk Pangpang menyusun formasi mengelilingi Teluk sehingga banyak dijumpai mulai batas Tratas, Kabat Mantren, Tegal Pare, dan Tegaldimo. Sedangkan, menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyuwangi tahun 2003, potensi mangrove untuk Desa Wringinputih seluas 375 ha dan Desa Kedungringin seluas 75 ha. 7 Kawasan Teluk Pangpang di Kecamatan Muncar meliputi dua desa yaitu Desa Kedungringin dengan satu dusun pesisir yaitu Dusun Tratas, sedangkan Desa Wringinputih mempunyai tiga dusun pesisir yaitu Dusun Kabatmantren, Dusun Krajan dan Dusun Tegalpare. Mangrove yang ada di sekitar Teluk Pangpang sebelah Timur (sepanjang Tanjung Sembulungan) merupakan hutan mangrove yang dikelola oleh Perhutani. Sedangkan sebelah Barat Teluk Pangpang sebagian besar areal mangrove telah mengalami alih fungsi untuk kegiatan tambak. Saat ini, terdapat usaha-usaha rehabilitasi penanaman mangrove di sebelah Barat Teluk Pangpang seluas ± 200 hektar melalui Proyek Cofish (Gustiar, 2005). Desa Wringinputih memiliki rata-rata perubahan paling tinggi yaitu 30 ha/tahun dengan luasan mencapai ± 104 ha pada Tahun 1989, dan berkembang menjadi ± 226 ha pada Tahun 2011 oleh adanya kegiatan rehabilitasi, sebaliknya Desa Kedungringin mengalami perubahan yang menurun akibat berdekatan dengan kawasan industri perikanan Muncar. 2.2. Potensi Biota Laut Laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama potensi perikanan laut dari segi jumlah ataupun keragaman jenis. Luas laut Indonesia kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Laut Indonesia yang luas menyediakan sumberdaya ikan laut dengan potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan di Indonesia sebesar 80% dari potensi lestari sumberdaya ikan laut yaitu sebesar 5,12 juta ton (Nurjanah et al., 2011). 8 Potensi merupakan sesuatu hal yang dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber yang akan dikelola baik melalui usaha yang dilakukan manusia maupun yang dilakukan melalui tenaga mesin dimana dalam pengerjaannya potensi dapat juga diartikan sebagai sumber daya yang ada disekitar. (Kartasapoetra et al., 1987). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) potensi yaitu kemampuan, kekuatan, kesanggupan, atau pun daya yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Biota merupakan makhluk hidup berupa flora maupun fauna, sedangkan laut adalah sebuah tempat berkumpulnya air asin. Dapat disimpulkan “Biota Laut” adalah gabungan dari flora dan fauna yang hidup di perairan air asin; sebuah lingkungan atau ekosistem dimana habitat air asin tersebut tinggal atau hidup. Biota laut terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok hewan dan tumbuhan. Romimohtarto dan Juwana (1999), menyatakan bahwa biota laut secara umum terbagi menjadi tiga berdasarkan cara atau sifat hidupnya meliputi: 1. Planktonik, yaitu biota yang melayang-layang, mengapung dan bergerak mengikuti arus. Jenis ini umumnya ditemukan di kolom permukaan air. Terbagi menjadi 2 yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan) seperti alga biru dan doniflegellata, dan zooplankton (plankton hewan) misalnya lucifer, udang rebon, ostracoda dan cladocera. 2. Nektonik, yaitu biota yang berenang-renang umumnya dapat melawan arus (terdiri dari hewan saja). Contohnya adalah ikan, ubur-ubur,cumi-cumi dan lain-lain. 3. Bentik, yaitu biota yang hidup di dasar atau dalam substrat, baik tumbuhan maupun hewan. Terbagi menjadi 3 macam yaitu 1) menempel (sponge, 9 teritip, tiram dan lainnya); 2) merayap (kepiting, udang karang dan lain-lain) dan 3) meliang (cacing, karang dan lain-lain). 2.3. Ekosistem Mangrove Menurut Marsoedi et al. (1997), hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pantai dan disekitar muara sungai, yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Vegetasi hutan mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau, api-api, prepat, dan tunjang. Areal mangrove tidak hanya sebagai koleksi tanaman, tetapi merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove juga berperan sebagai tempat hidup jenis udang dan ikan yang bernilai komersial. Karakteristik habitat mangrove menurut Bengen (2001), adalah: Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir; Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove; Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; Air bersalinitas payau (2 – 22 permil) hingga asin mencapai 38 permil; Ditemukan banyak di pantai - pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi dibandingkan ekosistem lain dengan dekomposisi bahan organik yang tinggi, dan menjadikannya sebagai mata rantai ekologis yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup yang berada di perairan sekitarnya. Materi 10 organik menjadikan hutan mangrove sebagai tempat sumber makanan dan tempat asuhan berbagai biota seperti ikan, udang dan kepiting. Berbagai kelompok moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan penyusun hutan mangrove (Bruno et al., 1998). Ekosistem Mangrove merupakan ekosistem utama penyusun ekosistem wilayah pesisir berupa formasi tumbuhan litoral dengan kerakteristik terdapat didaerah tropika dan sub tropika, terhampar disepanjang pesisir (Manan, 1986). Menurut Nybakken (1988), sebutan mangrove atau bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini. Keberadaan hutan mangrove dalam ekosistem pantai merupakan suatu persekutuan hidup alam hayati dan alam lingkungannya yang terdapat di daerah pantai dan disekitar muara sungai pada kawasan hutan tropika, yaitu kawasan hutan yang khas dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomis yang memiliki berbagai manfaat (Farimansyah, 2005). 2.4. Luas dan Penyebaran Mangrove Luas dan Penyebaran Menurut Santono et al., (2005) terdapat variasi yang nyata dari luas total ekosistem mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta4,25 juta ha. Perbedaan jumlah luasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan metodologi pengukuran luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak. Walaupun demikian diakui oleh dunia bahwa Indonesia mempunyai luas ekosistem mangrove terluas di dunia (21% luas mangrove dunia). Hutan-hutan 11 mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan mangrove Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar, yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia, ditepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia (Santono, et al , 2005). Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnya ekosistem mangrove antara lain: 1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain, seperti permukiman, pertanian, tambak, industri, pertambangan, dll. 2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan HPH (Hak Pengusaha Hutan) serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya. 3. Polusi di perairan estuaria, pantai, dan lokasi - lokasi perairan lainnya dimana tumbuh mangrove. 4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi yang tidak terkendali. 12 Penambahan hutan mangrove di beberapa provinsi belum diketahui dan dilaporkan secara pasti, namun ada beberapa faktor yang memungkinkan bertambahnya areal hutan mangrove dibeberapa provinsi, yaitu: 1. Adanya reboisasi atau penghijauan. 2. Adanya perluasan lahan hutan mangrove secara alami yang berkaitan dengan adanya proses sedimentasi dan atau penaikan permukaan air laut. 3. Adanya metoda perhitungan luas hutan yang lebih baik dari metoda yang digunakan sebelumnya (Santono et al., 2005). 2.5. Fungsi Dan Manfaat Mangrove Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004). Ekosistem hutan mangrove mempunyai arti penting karena tidak sedikit jumlah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam ini (Sugiarto dan Willy, 2003). Disamping itu adanya berbagai komponen rantai makanan yang saling bergantung pada ekosistem mangrove ini, yaitu serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove, yang prosesnya dimulai oleh bakteri dan cendawan yang mengubah daun-daun menjadi detritus yang disebut sebagai bahan 13 organik. Selanjutnya bahan organik ini menjadi makanan bagi udang atau rebon, kemudian binatang pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang, dan kepiting. Gambar 2.2. Hubungan Keterkaitan Komponen Ekosistem Mangrove (Nontji, 1987) Kordi (2012), menjelaskan hutan mangrove disebut sebagai ekosistem pesisir yang paling produktif, yang menghasilkan serasah daun dan ranting sekitar 9 ton/ha/tahun. Di Indonesia produksi serasah daun dan ranting hutan mangrove berkisar antara 78 ton/ha/tahun. Serasah daun dan ranting yang gugur merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai pakan (food chain) di lingkungan perairan. Daun dan ranting yang gugur kedalam air segera menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan air atau dihancurkan lebih dulu oleh kegiatan bakteri dan jamur. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan inipun menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan seterusnya (Gambar 2.2). 2.6. Fauna Akuatik di Ekosistem Mangrove Menurut Bengen (2001), komunitas membentuk percampuran antara 2 (dua) kelompok: fauna ekosistem mangrove 14 1. Kelompok fauna daratan / terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan laut pada saat air surut. 2. Kelompok fauna perairan / akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu : a. Yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang. b. Yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Menurut Nybakken (1988), kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan mangrove (bakau) adalah moluska, udang-udangan, dan beberapa jenis ikan. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, yang umumnya hidup pada akar dan batang pohon bakau. Kelompok kedua dari moluska termasuk pelecypoda/bivalvia, yaitu tiram, mereka melekat pada akar-akar bakau. Selain itu hewan yang hidup di bakau adalah sejumlah kepiting dan udang. Kawasan bakau juga berguna sebagai tempat pembesaran udang penaied dan ikan-ikan seperti belanak, yang melewatkan masa awal hidupnya pada daerah ini sebelum berpindah ke lepas pantai. Para ahli mengelompokkan ikan di ekosistem mangrove ke dalam empat kelompok, yaitu (a) Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya berada di daerah ekosistem mangrove, seperti ikan gelodok; (b) Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove selama 15 periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung bergerombol di sepanjang pantai berdekatan dengan ekosistem mangrove, seperti ikan belanak; (c) Ikan pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke ekosistem mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, seperti ikan gulamah; (d) Ikan pengunjung musiman, yaitu ikan-ikan yang menggunakan ekosistem mangrove sebagai tempat memijah dan asuhan, serta tempat perlindungan musiman dari predator (Nirarita et al., 1996). Ekosistem mangrove juga merupakan habitat bagi biota crustasea dam molusca. Menurut Kartawinata et al. (1979) tercatat 80 spesies crustasea yang hidup di ekosistem mangrove. Spesies penting yang hidup atau terkait dengan ekosistem mangrove adalah udang (Penaeus, Metapenaeus) dan kepiting bakau (Syclla). Kemudian, biota molusca yang tercatat sekitar 65 spesies yang terdiri dari gastropoda dan pelecypoda/bivalvia. Beberapa spesies molusca penting di ekosistem mangrove yaitu kerang bakau atau tiram bakau (Crassotrea sp.), kerang hijau (Mytilus sp.), kerang alang (Gelonia sp.), kerang darah (Anadara sp.), dan popaco atau kerang teleskop (Telescopium sp.). BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Perairan Teluk Pangpang di Kecamatan Muncar merupakan kawasan penghasil biota laut seperti fauna akuatik dan mangrove, kawasan budidaya tambak, kawasan pemukiman dan kawasan industri perikanan diantara Kecamatan lainnya yang berada di pesisir Kabupaten Banyuwangi. Kondisi pemanfaatan ekosistem dengan menghasilkan produksi sebesar-besarnya tanpa memikirkan lingkungan menyebabkan menipisnya populasi biota laut, pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan. Kondisi kawasan pesisir Muncar mengalami situasi yang mengkuatirkan dikarenakan adanya kerusakan lingkungan terlihat di sepanjang ekosistem mangrove yang berbatasan dengan kawasan tambak, pemukiman, pelabuhan dan kondisi di kawasan hulu sampai hilir sungai. Adanya abrasi laut mengakibatkan terjadinya terkikisnya bangunan tambak pada saat gelombang pasang datang, pencemaran kualitas perairan akibat adanya limbah domestik, limbah industri pengolahan serta limbah tambak membuat ekosistem mangrove mengalami tekanan lingkungan yang membuat terjadinya degradasi penurunan pertumbuhan mangrove serta terganggunya tingkat keanekaragaman fauna di kawasan ekosistem mangrove. Kondisi ekosistem mangrove yang telah mengalami perbaikan pada tahun 2000 oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah dengan penghijauan kembali (rehabilitation), membuat kawasan mangrove cenderung mengalami peningkatan dan menurunnya luasan mangrove. Pengembangan industri perikanan dengan kebijakan pemerintah di pesisir Muncar dapat membuat perubahan luasan 16 17 mangrove yang dinamis sehingga mengakibatkan dampak pada meningkatnya dan menurunnya fauna akuatik baik ikan dan non ikan yang berasosiasi di kawasan mangrove serta kesejahteraan masyarakat di pesisir Muncar. Berdasarkan dampak yang akan dihasilkan akibat tekanan lingkungan manusia di sekitar mangrove perlu dilakukan kajian potensi fauna akuatik terhadap struktur ekosistem mangrove di pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang kedepan yang akan berdampak pada masyarakat pesisir. Kerangka konsep penelitian sebagai berikut : Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Kecamatan Muncar Permasalahan : 1. Alih lahan mangrove sebagai pengembangan kegiatan perikanan 2. Kondisi hulu dan hilir sungai 3. Rehabilitasi kawasan mangrove 4. Tekanan lingkungan di pesisir mangrove sehingga mengganggu keberadaaan fauna akuatik 5. Penurunan produksi perikanan dengan adanya degradasi kawasan mangrove Kondisi flora mangrove Kondisi lingkungan mangrove Kondisi fauna akuatik Komposisi dan Struktur Mangrove Komposisi dan Struktur Fauna 1. Kerapatan mangrove 2. Frekuensi 0 mangrove 3. Penutupan mangrove 4. Indeks Nilai Penting 5. Indeks Keanekaragaman 1. Salinitas (‰) 2. pH 3. Suhu (°C) 4. Substrat Tanah 1. Kelimpahan dan Biomassa 0 2. Indeks Keanekaragaman 3. Indeks Kemerataan 4. Pola Penyebaran Fauna Metoda Deskriptif Kuantitatif Potensi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove Rekomendasi 0 Gambar 3.1. Alur Pemikiran Penelitian 18 3.2. Penelitian Terdahulu Tabel berikut ini menguraikan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Tabel 3.1 Penelitian Terdahulu di Kawasan Teluk Pangpang No 1. Penulis Chandra Gustiar 2. Erwiantoro 3. Kurnia Setyani 4. Dian Sulastini 5. Lugi Hartanto 6. Sucipto 7. Apriadi Budi Raharja et al. Tahun Tesis Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB, 2005 Penelitian Akhir Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Mulawarman, 2006 Penelitian Akhir Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM, 2010 Tesis Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2011 Tesis Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan UGM, 2011 Judul Analisis Kelembagaan dan Peranannya dalam Penataan Ruang di Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Kajian Tingkat partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Teluk PangpangBanyuwangi Keanekaragaman Jenis Burung Di Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pangpang Taman Nasional Alas Purwo Struktur dan Komposisi Hutan Mangrove di Teluk Pangpang Taman Nasional Alas Purwo Pola Pengelompokan Vegetasi Mangrove di Teluk Pangpang Taman Nasional Alas Purwo Tesis, Pascasarjana Peranan Ekosistem Mangrove Universitas Gajah Mada, dalam Peningkatan Ekonomi 2013 Masyarakat di Teluk Pangpang Taman Nasional Alas Purwo Penelitian Akhir Kajian Potensi Kawasan Mangrove di Kawasan Pesisir Program Studi PSPL, Teluk Pangpang, Banyuwangi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, 2014 19 3.3. Konsep Penelitian Konsep penelitian dalam pengambilan topik di Kecamatan Muncar adalah: 1. Kawasan pantai berhutan bakau berupa kawasan pelestarian alam dimaksudkan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem bakau dan tempat berkembang biaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut, serta pelindung usaha budidaya di belakangnya berada di sekitar pantai tersebut (Perda RTRW Kabupaten Banyuwangi, 2012). 2. Suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan (Perda RTRW Kabupaten Banyuwangi, 2012). 3. Pengembangan kawasan budidaya perikanan dengan menumbuhkan kearifan lokal dan memperhatikan aspek ekologis, dengan strategi meliputi: mengembangkan kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan perkebunan, kawasan peruntukan kehutanan, dan kawasan peruntukan peternakan yang terintegrasi dengan pengembangan agroindustri dan agrobisnis (Perda RTRW Kabupaten Banyuwangi, 2012). 4. Zonasi kawasan hutan berbakau dengan ketentuan: a. pengelolaan kawasan pantai berhutan bakau dilakukan melalui penanaman tanaman bakau dan nipah di pantai; b. diizinkan untuk kegiatan rehabilitasi reboisasi lahan; c. dilarang pemanfaatan kayu bakau; d. dilarang kegiatan yang mengurangi luas bakau atau mencemari ekosistem bakau, dan e. dilarang kegiatan yang 20 mengubah bentang alam dan ekosistem, menganggu kelestarian flora dan fauna serta keanekaragaman hayati; f. diizinkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam; g. pengembangan wisata alam disekitar kawasan bakau dilarang merubah rona alam pantai dan hutan bakau (Perda RTRW Kabupaten Banyuwangi, 2012). 5. Hutan Mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada tanah alluvial didaerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis Avicennia spp (Apiapi), Sonneratia spp. (Pedada), Rhizophora spp. (bakau), Bruguiera spp. (Tanjang), Lumnitzera spp. (Taruntum), Excoecaria spp. (Buta-buta), Xylocarpus spp. (Nyirih), Anisoptera dan Nypa spp. (Nipah) (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2009). 6. Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi pada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2009). 7. Biota laut adalah berbagai jenis organisme hidup di perairan laut (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004). BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu : 1. Studi pendahuluan yang meliputi observasi lapangan dan studi literatur dengan maksud untuk mengumpulkan data umum mengenai kondisi umum lokasi penelitian di kawasan mangrove dan mengumpulkan informasi yang relevan dengan penyusunan proposal penelitian. 2. Persiapan yang meliputi panduan observasi, penelitian, serta alat-alat penelitian yang akan dipakai untuk mendapatkan data penelitian. 3. Penelitian yang meliputi pengambilan data di lokasi penelitian yang telah ditetapkan dalam pengambilan sample yang representatif untuk digunakan dalam pengolahan data. 4. Pembahasan data yang meliputi hasil-hasil penelitian kemudian dipadukan dengan kajian pustaka yang berkaitan dengan penelitian dan dianalisa menggunakan metoda deskriptif kuantitatif untuk memperoleh suatu kesimpulan. 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dengan unit analisis struktur vegetasi mangrove, analisis struktur fauna akuatik dan analisis korespondensi pada bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Februari 2015. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1. 21 22 Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling methode, dengan dasar pertimbangan bahwa di Kecamatan Muncar mempunyai beberapa komoditas tingkat fauna laut baik ikan dan non ikan seperti ikan kerapu, ikan belanak, udang, kepiting, kerang dan tiram serta adanya tingkat ancaman tekanan lingkungan terhadap ekosistem mangrove yang sangat tinggi berupa kegiatan industri perikanan, seperti tambak budidaya ikan, pelabuhan, pengolahan ikan, penangkapan ikan, pemukiman, dan muara aliran sungai. I Keterangan: I= TratasKawang II = Muncing Krajan III= Tegalpare II III Gambar 4.1. Titik Sampling Penelitian di Kawasan Mangrove Sumber: Google Earth (2014) 4.3. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi: 1. Penelitian dilakukan dengan metode observasi langsung yaitu metoda pengumpulan data melalui pengamatan langsung secara cermat di lokasi penelitian dengan berpedoman pada desain penelitian di sekitar ekosistem mangrove. 2. Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode jalur transek berpetak. Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi mangrove 23 dilakukan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang yaitu di Kecamatan Muncar dengan membentuk stasiun-stasiun, yaitu stasiun I terletak di pesisir Tratas Kawang muara Sungai Wagut, stasiun II terletak di pesisir Muncing Krajan, dan stasiun III terletak di pesisir Tegalpare, kemudian ditabulasi untuk mengetahui komposisi dan struktur ekosistem hutan mangrove sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004. 3. Analisa potensi fauna akuatik dilakukan dengan menggunakan analisa struktur komunitas meliputi kelimpahan, berat hasil tangkapan (biomassa), indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks kemerataan (E). 4. Analisa korespondensi dilakukan untuk mengetahui pola penyebaran fauna akuatik ekosistem hutan mangrove dengan menggunakan aplikasi SPSS (Statistical Package for the Social Science). 5. Data pendukung berupa kondisi lingkungan mangrove meliputi tekstur tanah dan kualitas perairan meliputi fisika (suhu), kimia (pH dan salinitas) sesuai dengan Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. 4.4. Variabel Penelitian Dan Pengukuran Variabel Variabel-variabel dalam penelitian meliputi : 1. Kondisi flora mangrove dengan parameter komposisi, kerapatan, frekuensi, penutupan, indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman secara kuantitatif 2. Kondisi fauna akuatik ekosistem hutan mangrove dengan parameter komposisi, kelimpahan, biomassa, indeks kemerataan dan pola penyebaran secara kuantitatif. keanekaragaman, indeks 24 4.4. Penentuan Sumber Data Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder (Tabel 4.1) yang meliputi: Tabel 4.1 Penentuan Sumber Data Penelitian No 1. 2 Tujuan Untuk mengetahui tingkat indeks nilai penting dan keanekaraga man vegetasi mangrove Jenis Data Kuantitatif Untuk mengetahui kelimpahan, biomassa, keanekaraga man dan kemerataan, pola penyebaran Kuantitatif Instrumen Observasi langsung Sumber Primer Hasil penelitian terdahulu Observasi langsung Sekunder Hasil penelitian terdahulu Sekunder Primer Parameter Komposisi, Kerapatan , Frekuensi , Penutupan , Indeks Nilai Penting dan Indeks Keanekaragaman Komposisi, Kelimpahan, Biomassa, Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Serta pola penyebaran 4.6. Bahan Dan Instrumen Penelitian Jenis peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah patok kayu yang berfungsi sebagai tempat mengikat tali transek, meteran/rol meter untuk mengukur transek, GPS untuk menetukan lokasi titik pengambilan sampel, buku panduan identifikasi mangrove dan taksonomi ikan, pH meter dan pH indicator untuk mengukur pH air laut, termometer untuk mengukur suhu, Hand Refractometer untuk mengukur salinitas, jangka kaliper, wadah keranjang untuk pengambilan sampel fauna, timbangan digital dan timbangan gantung untuk mengukur berat hasil tangkapan fauna, kamera digital untuk dokumentasi berupa foto-foto kawasan lahan mangrove dan biota air laut, alat tulis serta komputer. 25 4.7. Prosedur Penelitian Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi mangrove yaitu dengan pengamatan lapangan terlebih dahulu yang akan dijadikan zona penelitian pada tegakan mangrove dengan menentukan 3 (tiga) stasiun sampling yang terletak di kawasan ekosistem mangrove dengan pertimbangan ketebalan mangrove dan kondisi lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir Muncar sebagai berikut : a. Stasiun I, Kawasan pesisir Tratas Kawang merupakan kawasan mangrove dengan kondisi penelitian berupa tambak budidaya ikan, pemukiman, pelabuhan, daerah tangkapan ikan, daerah rehabilitasi dan muara aliran sungai Wagut yang mengalirkan limbah pencemaran berupa limbah domestik, limbah industri pengolahan ikan dan limbah budidaya ikan. b. Stasiun II, Kawasan pesisir Muncing Krajan merupakan kawasan mangrove kondisi berupa tambak budidaya ikan, daerah rehabilitasi mangrove berdekatan dengan pembuangan limbah budidaya dan muara aliran Sungai Tojo dan Sungai Setail. c. Stasiun III, Kawasan pesisir Tegalpare merupakan kawasan mangrove kondisi berupa tambak budidaya ikan dan muara aliran sungai Setail, daerah pertanian sehingga mengalirkan bahan pencemar berupa limbah pertanian dan limbah budidaya ikan. Prosedur pengambilan data penelitian untuk mengetahui kondisi mangrove dilakukan dengan metoda pengukuran Transek Garis Berpetak (Line Transect Plot). Jarak petak di jalur disesuaikan dengan keadaan luasan mangrove di setiap stasiun yaitu pada stasiun I ketebalan mangrove mencapai 150 meter dibuat 5 26 petak contoh dengan jarak 30 m, stasiun II ketebalan mangrove mencapai 200 m dibuat 4 petak contoh dengan jarak 50 m, sedangkan stasiun III ketebalan mangrove mencapai 300 m dibuat 4 petak contoh dengan jarak contoh dengan jarak 75 m untuk mencapai intensitas sampling yang dikehendaki pada ketelitian sampel yang memadai (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Mekanisme pengukuran untuk pengambilan sampel tersebut, yaitu : a. Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove didaerah intertidal. b. Identifikasi setiap jenis mangrove yang ada dengan referensi dari Buku Identifikasi Mangrove “Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia” karangan Noor YR et al (2006). c. Pada setiap jalur dibuat petak-petak pengamatan sesuai dengan tingkat pertumbuhannya. Setiap zona mangrove yang berada di sepanjang transek garis, diletakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m seperti pada Gambar 4.2. d. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, dilakukan determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, setinggi 1,3 meter. 27 Sungai Wagut Sungai Setail Gambar 4.2. Desain Penempatan Plot (Petak Contoh) Metoda Transek Sumber: Google Earth (2014) e. Pada penelitian ini penghitungan data dilakukan dengan metoda jalur dan permudaan dengan metoda garis berpetak (Kusmana, 1997). Ukuran permudaan yang digunakan dalam analisis vegetasi hutan mangrove adalah sebagai berikut (Gambar 4.3): a) Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m. b) Pancang : Permudaaan dengan tinggi ≥ 1,5 m dan diameter anakan kurang dari 10 cm. c) Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih. 10 m 10 m 2m 5m Arah Rintis Gambar 4.3. Desain kombinasi metoda jalur dan metode garis berpetak 28 Selanjutnya ukuran sub-petak untuk setiap tingkat permudaan adalah sebagai berikut: a) Petak contoh untuk pengamatan tanaman semai ( 2m x 2 m) b) Petak contoh untuk pengamatan tanaman pancang ( 5 m x 5 m) c) Petak contoh untuk pengamatan tanaman pohon ( 10 m x 10 m) Kondisi potensi jenis fauna akuatik diperoleh dengan metoda observasi langsung yaitu dengan cara menjelajah dan mengidentifikasi biota yang bernilai ekonomis tinggi yaitu kelompok fauna akuatik laut di kawasan mangrove dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pengumpulan fauna akuatik dilakukan dengan Trapped Net atau banjang (bahasa lokal) yaitu alat tangkap yang dipasang secara permanen di tepi pesisir mangrove dilengkapi tiang yang terbuat dari bambu sebagai penguat agar tetap di posisinya dengan cara kerja yaitu pada saat air pasang ikan-ikan masuk mengikuti arus air menuju perangkap, sedangkan pada saat surut ikanikan yang terperangkap diambil sebagai hasil tangkapan di setiap stasiun. b. Fauna akuatik diperoleh dari nelayan yang mempunyai Trapped Net dan diambil 10% dari hasil tangkapan sebanyak 18 kali selama 3 bulan secara acak sebagai sampel penelitian di setiap stasiun. Pengambilan sampel fauna akuatik dilakukan berdasarkan panduan pasang surut kedalaman air laut dapat dilihat pada Lampiran 5. c. Penyortiran fauna akuatik dilakukan untuk menghitung jumlah dan penimbangan berat untuk mengetahui kelimpahan dan biomassa per individu. Pengambilan sampel menggunakan wadah keranjang dengan dalam keadaan air surut dan musim ikan serta tidak terjadi air kundo/konda (kondisi air laut 29 tidak pasang tinggi dan tidak surut rendah/stagnan) pada jam 05.00-09.00 WIB secara bersamaan. d. Fauna akuatik tertangkap diidentifikasi dengan mengacu pada referensi dari buku “Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II ” karangan Saanin H. (1984). e. Setiap data yang telah terkumpul dan teridentifikasi langsung dicatat. Pola penyebaran jenis fauna akuatik bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vegetasi mangrove dengan spesies fauna akuatik ditentukan dengan menhitung banyaknya jumlah hasil tangkapan (individu/ekor) berdasarkan famili fauna akuatik yang ditemukan pada lokasi stasiun. Data pendukung berupa data kondisi lingkungan di kawasan mangrove, meliputi: Pengambilan data suhu, pH, salinitas pada saat pasang dan surut air laut serta kondisi tekstur tanah dengan metoda feeling/perasaan dilapangan dengan cara memijit dan merasakan tanah dengan menggunakan jari-jari untuk mengetahui kasar/halusnya kondisi substrat tanah mangrove (Hardjowigeno, 1989). 4.8. Analisis Data Data kondisi mangrove diinventarisasi kemudian ditabulasi dan dianalisis untuk mengetahui indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman ekosistem hutan mangrove sebagai berikut : 1) Indeks Nilai Penting (INP) Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu vegetasi (Soegianto, 1994; Ardhana, 2012) dengan rumus : 30 INP = KR + FR + CR INP-i = KR-i + FR-i + CR-i Dimana : INP = Indeks Nilai Penting (%) INP-i = Indeks Nilai Penting Spesies ke-i (%) KR = Kerapatan relative (%) FR = Frekuensi relative (%) CR = Luas Penutupan relatif (%) INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relative, frekuensi relative dan luas penutupan relative menggunakan metode analisis dengan formulaformula (Indriyanto, 2006; Ardhana, 2012), sebagai berikut: a. Densitas/Kerapatan Densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan luas. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah densitas digunakan dengan istilah kerapatan dan diberi notasi “K”. jumlah individu luas seluruh petak contoh K= Dengan demikian, densitas ke-i dapat dihitung sebagai K-i dan densitas relative setiap spesies ke-i terhadap kerapatan total dapat dihitung sebagai KR-i. K-i = KR-i = Dimana : jumlah individu untuk spesies ke-i luas seluruh petak contoh kerapatan spesies ke-i x 100% kerapatan seluruh spesies K = Kerapatan (pohon/ha) K-i = Kerapatan spesies ke-i (pohon/ha) KR-i = Kerapatan relatif spesies ke-i (%) 31 b. Frekuensi jenis Ardhana (2012) menjelaskan bahwa frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi merupakan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada suatu komunitas atau ekosistem. Untuk kepentingan analisis vegetasi, frekuensi spesies (F), frekuensi spesies ke-i (F-i) dan frekuensi relative spesies ke-i (FR-i) dapat dihitung dengan rumus: F= F-i = jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies jumlah seluruh petak contoh jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies ke-i jumlah seluruh petak contoh FR-i = Dimana : frekuensi suatu spesies ke-i x 100% frekuensi seluruh spesies F = Frekuensi (jumlah petak contoh) F-i = Frekuensi spesies ke i (jumlah petak contoh) FR-i = Jumlah relative spesies ke-i (%) c. Penutupan Luas penutupan (coverage) adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area)(Ardhana,2012). Luas penutupan dapat dihitung dengan rumus: C= luas basal area luas seluruh petak contoh 32 C-i = CR-i = total luas basal area spesies ke-i luas seluruh petak contoh penutupan spesies ke-i x 100% penutupan seluruh petak contoh = Luas penutupan (m2) Dimana : C = Luas penutupan spesies ke-i (m2) C-i CR-i = Luas penutupan relative spesies ke-i (%) 2) Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman (H’) digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi organisme secara matematis agar mempermudah menganalisis informasi jumlah individu masing masing spesies dalam suatu komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto,1994). sehingga dapat dihitung dengan rumus indeks keanekaragaman ShannonWienner: 𝑛 𝐻′ = − 𝑖=1 𝑛𝑖 𝑛 𝑙𝑛 𝑛𝑖 𝑛 Dimana : H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner ni = nilai penting dari setiap spesies N = total nilai penting Kategori penilaian indeks keanekaragaman menurut Odum (1971), adalah sebagai berikut : a) H’ ≤ 1 = Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan komunitas rendah. b) 1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang. 33 c) H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi. Data kondisi fauna akuatik diinventarisasi kemudian ditabulasi dan dianalisis untuk mengetahui kelimpahan dan biomassa, keanekaragaman (indeks keanekaragaman Shannon-Wienner) dan kemerataan, serta pola penyebaran jenis fauna akuatik sebagai berikut : 1) Kelimpahan dan biomassa Fauna akuatik yang telah terkumpul, diidentifikasi dan dilakukan perhitungan jumlah dan berat (berat basah) per individu (ekor) di setiap stasiun penelitian. Biomassa merupakan keseluruhan materi baik berupa berat basah maupun berat kering yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah maupun yang ada di bawah permukaan tanah, (Sutaryo, 2009). Hasil perhitungan dianalisa secara deskriptif. 2) Indeks Kemerataan Indeks keseragaman atau indeks kemerataan (E’) adalah komposisi jumlah individu dalam setiap genus yang terdapat dalam komunitas agar dapat menggambarkan keseimbangan ekosistem. Kemerataan didapat dengan membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. untuk mengetahui indeks kemerataan digunakan rumus Evennes Indeks sebagai berikut: E= H' H' max Dimana : E = Indeks kemerataan populasi H’= Indeks keanekaragaman 34 H’ max = Indeks keanekaragaman maksimum = ln S S = Jumlah total spesies Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0-1. Bila E mendekati 0 (nol), spesies penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominansi dari spesies tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Sedangkan, bila E mendekati 1 (satu), jumlah individu yang dimiliki antar spesies tidak jauh berbeda, tidak ada dominansi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem. Kategori kemerataan menurut Brower et al (1990), yaitu sebagai berikut : a) 0 < E ≤ 0,4 = Kemerataan kecil, komunitas tertekan; b) 0,4 < E ≤ 0,6 = Kemerataan sedang, komunitas labil; c) 0,6 < E ≤ 1,0 = Kemerataan tinggi, komunitas stabil. Data fauna akuatik yang telah ditabulasi kemudian diolah dengan analisis korespondensi (correspondence analysis) menggunakan software SPSS. Analisis korespondensi adalah sebuah teknik multivariat secara grafik yang digunakan untuk eksplorasi data dari sebuah tabulasi silang dua variabel / tabel kontingensi, berupa tabel frekuensi, dan hasil keluarannya berupa peta (mapping) kategori dari variabel (Rusgiyono, 2012). Hasil analisis kondisi flora mangrove dan kondisi fauna akuatik disajikan dalam bentuk tabel dan gambar (foto) dengan metoda deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif kuantitatif yaitu suatu bentuk penelitian berdasarkan data yang dikumpulkan selama penelitian secara sistematis mengenai fakta-fakta dan sifatsifat dari obyek yang diteliti dengan menggabungkan hubungan antar variabel yang terlibat didalamnya, kemudian diinterpretasikan berdasarkan teori-teori dan literatur-literatur yang berhubungan dengan objek tersebut (Sugiyono,2008). BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kondisi lokasi penelitian Kabupaten Banyuwangi terletak di bagian paling timur Provinsi Jawa Timur dengan daerah penghasil ikan terbesar berada di Kecamatan Muncar. Potensi perikanan yang besar berkaitan dengan adanya kawasan yang ditumbuhi mangrove sebagai kawasan nursery grounds, spawning grounds dan feeding grounds yang berlokasi di Kawasan Teluk Pangpang, yang bersebelahan dengan perairan Selat Bali dan Samudera Hindia. Stasiun Penelitian dilakukan di Pesisir Muncar yang terbagi atas 3 wilayah pengamatan yaitu Stasiun I (Tratas Kawang), Stasiun II (Muncing Krajan) dan Stasiun III (Tegalpare). Lokasi pengamatan I terletak di daerah pesisir Tratas Kawang yang terletak di antara 2 Dusun yaitu Dusun Tratas dan Dusun Kabatmantren dengan batas Sungai Wagut yang mempunyai panjang aliran sungai ± 44,6 Km. Ekosistem Mangrove di Stasiun I memiliki ketebalan mencapai 150 meter dan panjang pesisir mencapai 600 meter yang dibagi menjadi 5 petak contoh penelitian dengan jarak antar petak contoh 30 meter. Stasiun II berada dipesisir Muncing Krajan yaitu di Dusun Kabatmantren dan Dusun Krajan berada didaerah muara aliran Sungai Setail yang mempunyai panjang aliran sungai ± 73,35 Km. Ekosistem mangrove di Stasiun II memiliki ketebalan mencapai 200 meter dan panjang pesisir mencapai 250 meter yang dibagi menjadi 4 petak contoh penelitian dengan jarak antar petak contoh 50 meter. Sedangkan, Stasiun III terletak di pesisir mangrove Dusun Tegalpare yaitu 35 36 memiliki ketebalan mencapai 300 meter dan panjang pesisir mencapai 450 meter yang dibagi menjadi 4 petak contoh penelitian dengan jarak antar petak contoh 75 meter. Adanya degradasi lahan dan tekanan lingkungan aktivitas masyarakat berupa pengembangan tambak budidaya perikanan, pelabuhan, pemukiman, pencemaran limbah domestik dan industri di pesisir dapat merugikan biota laut berupa flora mangrove dan fauna akuatik, sehingga Kawasan Teluk Pangpang ditetapkan sebagai areal rehabilitasi oleh Pemerintah, Swasta dan Kelompok tani setempat. Terlihat beberapa wilayah hutan mangrove di pesisir Teluk Pangpang memiliki kerapatan yang relatif sangat tinggi dan tekstur tanah yang berpasir dan berlumpur sehingga cukup menyulitkan untuk berjalan dan menembus areal rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian. Pengambilan sampel penelitian berupa fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang dilakukan dalam keadaan surut pada saat musim ikan/tidak dalam keadaan air kundo/konda. Air Konda yaitu keadaan air laut tidak mengalami pasang tinggi dan surut rendah karena keadaan gelombang dan arus yang stagnan/stabil. Pasang surut air laut berupa kedalaman air laut bulanan mengacu pada BMKG Banyuwangi serta nelayan di pesisir yang masih mengacu dengan melihat bulan dan penanggalan jawa (Hijriah). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nelayan pesisir dalam pengambilan fauna akuatik menggunakan alat tangkap jaring berupa jebakan (Trapped net) atau banjang/sero (bahasa lokal) yang banyak terpasang di pesisir pantai dan mangrove. Pengambilan fauna dilakukan pada saat bulan purnama/penuh dan bulan mati/sabit yaitu pada saat air laut mengalami pasang/surut besar berkisar tanggal 12-19 dan 37 27-6. Sedangkan, para nelayan tidak mengambil hasil tangkap pada saat air kunda karena fauna akuatik yang tertangkap lebih sedikit yaitu berkisar tanggal 20-27 dan 5-10 sehingga mereka lebih memilih memperbaiki atau membersihkan jaring dan menunggu pada saat air laut mulai pasang maju/besar. 5.1.2. Kondisi tekstur tanah Karakteristik tekstur tanah menggunakan metoda feeling/perasaan yaitu sampel tekstur tanah yang telah didapatkan di setiap plot-plot mangrove Stasiun penelitian dikumpulkan dan diteliti dengan memijit tanah basah diantara jari-jari, sambil dirasakan halus kasarnya yaitu untuk mengetahui tekstur tanah pasir, debu dan liat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan Stasiun I mempunyai tekstur tanah pasir berlempung dengan ciri-ciri rasa kasar pasir jelas, sedikit sekali melekat dan dapat dibentuk bola atau gulungan yang mudah sekali hancur. Letaknya yang berada di pesisir pantai dan berdekatan dengan muara sungai menyebabkan aliran air yang membawa sedimentasi ke arah laut terjebak pada akar-akar mangrove pada saat rehabilitasi di Kawasan Teluk Pangpang. Kondisi tekstur tanah di Stasiun I menyebabkan vegetasi mangrove dapat beradaptasi seperti Rhizophora sp., Avicennia marina, dan Sonneratia alba. Stasiun II mempunyai tekstur tanah lempung berpasir dengan ciri-ciri rasa pasir agak jelas, agak melekat dan dapat dibuat bola tetapi mudah hancur. Letak mangrove yang berada pada muara sungai merupakan hasil rehabilitasi di lokasi tambak yang rusak. Kondisi mangrove yang tumbuh dan berkembang didalam lokasi tambak menyebabkan aliran sungai yang membawa sedimentasi berupa tanah lempung masuk ke dalam tambak dan mengendap pada akar-akar mangrove. Kondisi kerapatan dan penutupan mangrove di Stasiun II yang lebih tebal dan rapat 38 didominansi oleh jenis S. alba yang terletak di muara sungai Setail dengan hamparan pesisir yang luas sehingga menyebabkan tekstur tanahnya tersusun oleh lempung berpasir. Stasiun III dengan tekstur tanah lempung liat berdebu dengan ciri-ciri rasa liat agak licin, melekat dan dapat dibentuk gulungan tetap seperti bola yang mengkilat. Lokasi yang berdekatan dengan sungai merupakan areal rehabilitasi di tambak yang rusak menyebabkan aliran sungai yang membawa sedimentasi yang bergerak menuju perairan teluk bagian dalam dan mengalami pendangkalan lumpur yang tinggi. Adanya kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi dalam mengikat sedimen (sedimen trapped) menyebabkan kondisi tanah mempunyai tekstur lempung liat berdebu. 5.1.3. Kondisi perairan Faktor kondisi perairan di kawasan mangrove menunjukkan terdapat adanya fluktuasi kenaikan dan penurunan parameter suhu, pH, dan salinitas sehingga biota laut harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis atau berubah-ubah. Hasil analisis kondisi perairan dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Parameter Suhu, Salinitas, pH dan Tekstur Tanah Stasiun Suhu (ºC) Salinitas (‰) pH Tekstur tanah I 30-32 20-35 7,2-7,5 Pasir berlempung II 32-34 30-35 7,2-7,4 Lempung berpasir III 27-31 10-30 6,8-7,2 Lempung liat berdebu Kepmen.LH 28-32 Alami-34 7,0 - 8,5 No:51/2004 Keterangan: I = Tratas Kawang, II = Muncing Krajan dan III = Tegal Pare Hasil pengukuran kondisi lingkungan perairan di Stasiun I, II, III menunjukkan adanya kesesuaian batasan toleransi suhu untuk mangrove yaitu 39 berkisar 28-32 ºC, salinitas alami yaitu kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat sampai berkisar 34 ‰ dan pH air laut yaitu 7-8,5 pada peraturan baku mutu air laut untuk biota laut Kepmen. LH Nomor : 51 Tahun 2004. Kondisi perairan kawasan Teluk Pangpang dengan adanya muara sungai, tambak, dan perairan laut menyebabkan suhu lingkungan di stasiun penelitian berkisar 27 ºC - 34 ºC. Suhu merupakan salah satu pengukuran kondisi lingkungan yang paling mudah untuk diteliti dan ditentukan dilokasi penelitian, sehingga hasil penelitian berupa suhu perairan yang didapat masih toleran dan tidak terlalu ekstrem. Hal ini disebabkan karena kerapatan dan penutupan mangrove yang relatif tebal dan tinggi, sehingga cahaya matahari tidak terlalu banyak masuk ke lantai hutan mangrove. Salinitas perairan didapatkan hasil pengukuran yang berbeda pada setiap Stasiun yaitu berkisar antara 10 ‰ sampai dengan 35 ‰. Salinitas perairan di lokasi penelitian mengalami perubahan yang fluktuatif karena adanya aliran air sungai dari hulu ke hilir ditambah curah hujan yang tinggi serta saluran air keluar (outlet) tambak ke pesisir menyebabkan pencampuran air tawar sehingga membuat biota laut beradaptasi dengan kandungan salinitas di pesisir Kawasan Teluk Pangpang. Derajat keasaman (pH) perairan di Kawasan Teluk Pangpang mengalami kondisi yang fluktuatif berkisar 6,8 sampai dengan 7,5. Hal ini tidak terlepas dari kerapatan dan penutupan mangrove yaitu semakin tebal dan lebat kondisi mangrove maka semakin tinggi serasah daun mangrove yang dihasilkan. Guguran daun mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan terdekomposisi oleh bakteri dan jamur 40 sehingga menjadi detritus dan menyebabkan kecenderungan perairan menjadi asam (pH < 7). 5.2. Analisis Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang 5.2.1. Komposisi jenis vegetasi mangrove Penelitian kondisi vegetasi mangrove Kawasan Teluk Pangpang ini terletak di pesisir Muncar, Kawasan Teluk Pangpang. Identifikasi vegetasi mangrove mengacu pada buku “Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia” karangan Noor et.al (2006). Selama penelitian berlangsung didapatkan 5 Famili dan 8 spesies jenis mangrove di Kawasan Teluk Pangpang. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Identifikasi Jenis Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Familia Sonneratiaceae Spesies Sonneratia alba J.E. Smith. Nama Lokal Pedada, perepat, bogem, mange-mange. Rhizophoraceae Rhizophora mucronata Lmk. Bakau korap, bakau hitam, Tanjang slindur. Rhizophora apiculata Bl. Bakau merah, bakau kacang, slengkreng. Ceriops tagal C.B.Rob. Tingi, tengar, mentigi, mange darat, wanggo. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Tanjang merah, pertut, lindur,bako,sarau. Avicenniaceae Avicennia marina (Forsk.) Api-api,sie-sie,pejapi, nyapi,hajusia,pai. Acanthaceae Acanthus ilicifolius L. Jeruju hitam, daruyu, darulu. Meliaceae Xylocarpus moluccencis (L) Nyirih batu, siri, jombok, Roem. kabau, raru. Keterangan: I = Tratas Kawang, II = Muncing Krajan dan III = Tegal Pare Stasiun I, II dan III I, II dan III I, II dan III II dan III III I dan III III III Hasil penelitian menunjukkan Stasiun pengamatan I terdapat 3 familia yaitu Sonneratiaceae, Rhizophoraceae dan Avicenniaceae yang terdiri dari 4 Spesies seperti Sonneratia alba J.E. Smith., Rhizophora mucronata Lmk., R. apiculata Bl., 41 dan Avicennia marina (Forsk.). Stasiun pengamatan II terdapat 2 familia yaitu Sonneratiaceae dan Rhizophoraceae yang terdiri dari 4 spesies seperti S. alba J.E. Smith., R. mucronata Lmk., R. apiculata Bl. dan Ceriops tagal C.B. Rob. Sedangkan, Stasiun III terdapat 5 familia yaitu Sonneratiaceae, Rhizophoraceae, Avicenniaceae, Acanthaceae dan Meliaceae yang terdiri dari 8 spesies yaitu S. alba J.E. Smith., R. mucronata Lmk., R. apiculata Bl., C. tagal C.B.Rob., B. gymnorrhiza (L.), A. marina (Forsk.), Acanthus ilicifolius L., dan Xylocarpus moluccencis (L) Roem. Jenis vegetasi mangrove di Kawasan Teluk Pangpang pada masing-masing Stasiun terlihat dari berbagai jumlah tingkatan pertumbuhan mangrove berupa fase semai, pancang dan pohon. Pada Stasiun I, fase semai mempunyai jumlah 55 individu, fase pancang berjumlah 47 individu dan fase pohon berjumlah 258 individu. Pada Stasiun II, fase semai mempunyai jumlah 32 individu, fase pancang berjumlah 50 individu, dan fase pohon berjumlah 276 individu. Sedangkan, pada Stasiun III fase semai mempunyai jumlah 63 individu, fase pancang berjumlah 35 individu dan fase pohon berjumlah 164 individu (Tabel 5.3). Tabel 5.3. Jumlah Individu Mangrove per Fase di Kawasan Teluk Pangpang Stasiun Pengamatan Stasiun I Stasiun II Stasiun III jumlah Semai 55 32 63 150 Jumlah individu per fase (ind) Pancang 47 50 35 132 Pohon 258 276 164 698 5.2.2. Kerapatan jenis vegetasi mangrove Hasil penelitian kerapatan jenis pada seluruh stasiun pengamatan didapatkan tegakan mangrove > 1.500 ind/ha. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.4. 42 Tabel 5.4. Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove Stasiun I II III Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl A. marina (Forsk.) jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius L. jumlah Kerapatan jenis (Ind/Ha) Semai Pancang 32.500 700 105.000 833 100 137.500 1.633 15.000 4.533 25.000 4.800 1.600 40.000 10.933 2.000 400 75.000 2.600 4.800 1.200 3.750 78.750 11.000 Pohon 2.175 2.760 1.067 100 6.102 3.100 1.275 367 4.742 2.033 700 1.100 1.133 800 1.000 500 7.266 Kerapatan vegetasi di keseluruhan Stasiun pengamatan yaitu fase semai berkisar 40.000 - 137.500 ind/ha, fase pancang berkisar 1.633 – 11.000 ind/ha, dan fase pohon berkisar 4.742 – 7.266 ind/ha. Kerapatan vegetasi mangrove pada fase semai tertinggi ditemukan di Stasiun I sebesar 137.500 ind/ha. Fase pancang dan fase pohon tertinggi ditemukan di Stasiun III yaitu 11.000 ind/ha dan 7.266 ind/ha. Sedangkan, kerapatan vegetasi terendah pada fase semai ditemukan di Stasiun II sebesar 40.000 ind/ha, fase pancang di Stasiun I sebesar 1.633 ind/ha dan fase pohon di Stasiun II sebesar 4.742 ind/ha. Hasil pengamatan kerapatan relatif menunjukkan pada fase semai jenis C. tagal di Stasiun III mempunyai kerapatan relatif tertinggi sebesar 95,24%, fase pancang jenis R. mucronata di Stasiun I sebesar 51,02% dan fase pohon jenis S. alba di Stasiun II sebesar 65,38%. Sedangkan, kerapatan relatif terendah pada fase semai jenis A. ilicifolius sebesar 4,76 % ditemukan di Stasiun III, pada fase pancang 43 jenis R. mucronata ditemukan di Stasiun III sebesar 3,64 % dan pada fase pohon jenis A. marina ditemukan di Stasiun I sebesar 1,64 %. Hasil analisis vegetasi kerapatan relatif dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Kerapatan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove Stasiun I II III Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl. A. marina (Forsk.) Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius(L.) Jumlah Kerapatan relatif (%) Semai Pancang 23,64 42,86 76,36 51,02 6,12 100,00 100,00 37,50 41,46 62,50 43,90 14,63 100,00 100,00 18,18 3,64 95,24 23,64 43,64 10,91 4,76 100,00 100,00 Pohon 35,65 45,23 17,48 1,64 100,00 65,38 26,89 7,73 100,00 27,98 9,63 15,14 15,60 11,01 13,76 6,88 100,00 5.2.3. Frekuensi jenis vegetasi mangrove Frekuensi vegetasi mangrove pada stasiun penelitian menunjukkan kondisi yang cukup homogen terutama pada fase semai, fase pancang berkisar 0,14 – 0,67. Hasil analisis frekuensi vegetasi dapat dilihat pada Tabel 5.6. Hasil pengamatan di Stasiun I menunjukkan R. mucronata mempunyai frekuensi tertinggi pada fase semai yaitu 0,67, fase pancang 0,43 dan fase pohon 0,38. Frekuensi terendah pada fase semai diidentifikasi jenis S. alba yaitu 0,33, pada fase pancang jenis R. apiculata yaitu 0,14 dan pada fase pohon jenis A. marina yaitu 0,08. Pada Stasiun II, jenis S. alba dan R. mucronata mempunyai 44 frekuensi tertinggi yang sama pada fase semai sebesar 0,50 dan fase pohon sebesar 0,36, sedangkan fase pancang diidentifikasi jenis S. alba sebesar 0,60. Frekuensi terendah diidentifikasi jenis R. mucronata dan C. tagal pada fase pancang sebesar 0,20. Sedangkan, pada fase pohon diidentifikasi jenis R. apiculata sebesar 0,27. Tabel 5.6. Frekuensi Jenis Vegetasi Mangrove Stasiun I II III Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl A. marina (Forsk.) Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius L. Jumlah Frekuensi Jenis Semai 0,33 0,67 1,00 0,50 0,50 1,00 0,67 0,33 1,00 Pancang 0,43 0,43 0,14 1,00 0,60 0,20 0,20 1,00 0,14 0,29 0,29 0,14 0,14 1,00 Pohon 0,31 0,38 0,23 0,08 1,00 0,36 0,36 0,27 1,00 0,21 0,14 0,14 0,21 0,07 0,14 0,07 1,00 Pada Stasiun III menunjukkan kehadiran frekuensi tertinggi jenis C. tagal pada fase semai sebesar 0,67, fase pancang diidentifikasi jenis R. mucronata dan C. tagal sebesar 0,29 dan pada fase pohon diidentifikasi jenis S. alba dan C. tagal sebesar 0,21. Frekuensi terendah pada fase semai diidentifikasi jenis A. ilicifolius sebesar 0,33. Fase pancang diidentifikasi Jenis S. alba, B. gymnorrhiza dan A. marina sebesar 0,14 dan fase pohon diidentifikasi jenis B. gymnorrhiza dan X. moluccensis sebesar 0,07. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi relatif jenis yang terdapat di Stasiun I dan II cukup homogen pada fase semai, pancang, dan pohon. Sedangkan, Stasiun 45 III terdapat perbedaan frekuensi relatif pada masing-masing jenis. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Frekuensi Relatif Jenis Vegetasi Mangrove Stasiun I II III Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl A. marina (Forsk.) Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius L. Jumlah Frekuensi relatif (%) Semai Pancang 33,33 42,86 66,67 42,86 14,29 100,00 100,00 50,00 60,00 50,00 20,00 20,00 100,00 100,00 14,29 28,57 66,67 28,57 14,29 14,29 33,33 100,00 100,00 Pohon 30,77 38,46 23,08 7,69 100,00 36,36 36,36 27,27 100,00 21,43 14,29 14,29 21,43 7,14 14,29 7,14 100,00 Hasil analisis frekuensi relatif tertinggi pada fase semai menunjukkan jenis R. mucronata di Stasiun I dan C. tagal di Stasiun III sebesar 66,67%, fase pancang jenis S. alba mempunyai nilai frekuensi relatif di Stasiun II sebesar 60% dan fase pohon jenis R. mucronata mempunyai frekuensi relatif di Stasiun I sebesar 38,46%. Sedangkan, nilai frekuensi relatif terendah pada fase semai jenis S. alba di Stasiun I dan A. ilicifolius di Stasiun III sebesar 33,33%, fase pancang jenis R. apiculata di Stasiun I, jenis S. alba, B. gymnorrhiza, A. marina di Stasiun III mempunyai frekuensi relatif sebesar 14,29% dan fase pohon jenis B. gymnorrhiza, X. moluccencis mempunyai frekuensi relatif sebesar 7,14%. 46 5.2.4. Luas penutupan jenis vegetasi mangrove Luas penutupan mangrove pada fase semai pada masing-masing Stasiun berkisar antara 0,08 m2/ha – 38,75 m2/ha, fase pancang berkisar antara 0,01 m2/ha – 53,03 m2/ha, sedangkan fase pohon berkisar antara 0,10 m2/ha –1.840,70 m2/ha. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8. Luas Penutupan Jenis Vegetasi Mangrove Stasiun I II III Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl A. marina (Forsk.) Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius L. Jumlah Luas Penutupan Jenis (m2/Ha) Semai Pancang 0,08 7,99 0,64 10,54 0,01 0,72 18,54 0,26 53,03 0,08 24,66 1,99 0,34 79,68 5,04 0,36 38,75 13,98 16,88 1,94 0,81 39,56 38,2 Pohon 743,88 906,15 152,93 0,10 1.803,06 1.840,70 181,91 0,33 2.022,94 582,34 18,99 180,31 68,79 17,23 72,86 29,20 969,72 Hasil analisis perhitungan luas penutupan dapat diketahui bahwa Stasiun I diidentifikasi jenis R. mucronata mempunyai luas penutupan tertinggi pada fase semai seluas 0,64 m2/ha, fase pancang 10,54 m2/ha dan fase pohon 906,91 m2/ha. Pada Stasiun II, diidentifikasi jenis S. alba mempunyai luas penutupan tertinggi pada fase semai seluas 0,26 m2/ha, fase pancang seluas 53,03 m2/ha dan fase pohon seluas 1.840,70 m2/ha. Pada Stasiun III, luas penutupan tertinggi diidentifikasi pada 47 fase semai jenis C. tagal seluas 38,75 m2/ha, fase pancang jenis B. gymnorrhiza seluas 16,88 m2/ha dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba seluas 582,34 m2/ha. Luas penutupan relatif menunjukkan bahwa fase semai jenis R. mucronata di Stasiun I dan C. tagal di Stasiun III terdapat penutupan relatif >70%. Sedangkan, S. alba di Stasiun II yaitu <50%. Pada fase pancang, Stasiun I dan II mempunyai luas penutupan ≥ 50%-<75% dibandingkan Stasiun III dengan luas penutupan relatif <50%. Pada fase pohon di Stasiun I,II, III luas penutupan relatif ≥ 50%<75%. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9. Luas Penutupan Relatif Jenis Vegetasi Mangrove Stasiun I II III Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl A. marina (Forsk.) Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius L. Jumlah Luas Penutupan relatif Semai 11,11 88,89 100,00 53,39 46,61 100,00 97,26 2,04 100,00 (%) Pancang 43,08 56,85 0,07 100,00 66,55 30,95 2,50 100,00 13,20 0,94 36,59 44,18 5,09 100,00 Pohon 41,26 50,26 8,48 0,01 100,00 90,99 8,99 0,22 100,00 60,05 1,96 18,59 7,09 1,78 7,51 3,01 100,00 Luas penutupan relatif tertinggi pada fase semai diidentifikasi jenis C. tagal di Stasiun III sebesar 97,26%, fase pancang diidentifikasi jenis S. alba di Stasiun II sebesar 66,55%, dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba di Stasiun II sebesar 90,99%. Sedangkan, luas penutupan relatif terendah pada fase semai diidentifikasi 48 A. ilicifolius di Stasiun III sebesar 2,04%, fase pancang diidentifikasi jenis R. apiculata di Stasiun I sebesar 0,07% dan fase pohon diidentifikasi jenis A. marina di Stasiun I sebesar 0,01%. 5.2.5. Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove Hasil analisis Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove menunjukkan secara keseluruhan pada pesisir Muncar Kawasan Teluk Pangpang mempunyai kriteria keanekaragaman jenis yang bervariasi dan didominasi flora mangrove jenis Rhizophora mucronata dari famili Rhizophoraceae dan Sonneratia alba dari famili Sonneratiaceae. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.10. Tabel 5.10. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove Stasiun I II III Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl A. marina (Forsk.) Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius L. Jumlah Indeks Nillai Penting (%) Semai Pancang 68,08 128,80 231,92 150,73 20,48 300,00 300,00 140,89 168,01 159,11 94,85 37,13 300,00 300,00 45,67 33,15 259,87 88,80 102,10 30,28 40,13 300,00 300,00 Pohon 107,67 133,95 49,04 9,34 300,00 192,73 72,25 35,02 300,00 109,46 25,88 48,02 44,12 19,93 35,56 17,03 300,00 Jenis R.mucronata dominan pada semua fase di Stasiun I yaitu fase semai sebesar 231,92%, fase pancang sebesar 150,73% dan fase pohon sebesar 133,95% Pada Stasiun II ditemukan jenis S. alba dengan INP tertinggi pada fase pancang 49 sebesar 168,01% dan fase pohon sebesar 192,73%. Sedangkan, Stasiun III pada fase semai diidentifikasi jenis C. tagal mempunyai INP tertinggi yaitu 259,87%, fase pancang diidentifikasi jenis B. gymnorhiza mempunyai INP sebesar 102,10% dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba mempunyai INP sebesar 109,46%. 5.2.6. Indeks keanekaragaman vegetasi mangrove Hasil penelitian indeks keanekaragaman pada seluruh stasiun pengamatan didapatkan H’ berkisar 0,55-1,86. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.11. Tabel 5.11. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Stasiun I H’ II H’ III H’ Spesies S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl A. marina (Forsk.) Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob Jumlah S. alba J.E. Smith R. mucronata Lmk. R. apiculata Bl C. tagal C.B.Rob B. gymnorrhiza (L) A. marina (Forsk.) X. moluccencis (L) A. ilicifolius L. Jumlah Nilai Keanekaragaman Semai Pancang 0,34 0,36 0,21 0,34 0,17 0,55 0,88 0,37 0,37 0,29 0,36 0,28 0,66 1,01 0,31 0,13 0,05 0,34 0,36 0,24 0,15 0,20 1,38 Pohon 0,37 0,36 0,30 0,08 1,11 0,28 0,35 0,20 0,84 0,36 0,22 0,28 0,29 0,24 0,28 0,19 1,86 Hasil analisis indeks keanekaragaman mangrove pada seluruh stasiun pengamatan menunjukkan pada Stasiun I, H’ berkisar antara 0,55 – 1,11, Stasiun II H’ berkisar antara 0,66 – 1,01 dan Stasiun III H’ berkisar antara 0,20 – 1,86. H’ tertinggi fase semai terdapat di stasiun II sebesar 0,66, sedangkan H’ terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,20. H’ tertinggi fase pancang terdapat di 50 stasiun III sebesar 1,38, sedangkan H’ terendah terdapat di stasiun I sebesar 0,88. H’ tertinggi fase pohon terdapat di stasiun III sebesar 1,86, sedangkan H’ terendah terdapat di stasiun II sebesar 0,84. 5.2.7. Tingkat kerusakan vegetasi mangrove Kerusakan vegetasi mangrove berdasarkan hasil pengamatan diperoleh di tingkat semai kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun I yaitu 137.500 semai/ha, kemudian berturut-turut di Stasiun III 78.750 semai/ha, dan di Stasiun II 40.000 semai/ha. Tingkat pancang kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun III yaitu 11.000 pohon/ha, kemudian berturut-turut di Stasiun III 10.933 pohon/ha, dan di Stasiun I 1.633 pohon/ha. Tingkat pohon, kerapatan tertinggi terdapat di Stasiun III yaitu 7.266 pohon/ha, kemudian berturut-turut di Stasiun I yaitu 6.102 pohon/ha, dan di Stasiun II yaitu 4.742 pohon/ha (Tabel 5.12). Tabel 5.12. Tingkat Kerusakan Mangrove Dilihat Dari Kerapatan Vegetasi Stasiun I II III Rata-Rata Semai 137.500 40.000 78.750 85.416 Kriteria Baik Baik Baik Baik Kerapatan (pohon/ha) Pancang Kriteria 1.633 Baik 10.933 Baik 11.000 Baik 7.855 Baik Pohon 6.102 4.742 7.266 6.036 Kriteria Baik Baik Baik Baik 5.3. Analisis Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang 5.3.1. Komposisi jenis fauna akuatik Kondisi vegetasi mangrove di Kawasan Teluk Pangpang mempunyai hubungan yang erat terhadap struktur komunitas fauna yang beradaptasi dengan lingkungannya salah satunya adalah fauna perairan atau fauna akuatik di kawasan mangrove. Hasil tangkapan fauna akuatik diperoleh dari nelayan yang berada di pesisir mangrove berupa alat tangkap jebakan (trapped net) atau banjang/sero. Hasil pengamatan jumlah ikan yang melimpah ditemukan pada alat tangkap 51 banjang/sero daripada menggunakan alat tangkap pukat pantai karena dipasang secara tetap atau permanen didalam air dan hasil tangkapan dilakukan pada waktu air surut yaitu pagi hari. Alat tangkap Trapped Net dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1. Alat Tangkap Trapped Net di Kawasan Teluk Pangpang Hasil pengamatan fauna akuatik kelompok ikan mengacu pada buku “Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1 dan 2” karangan Saanin. H (1984) yaitu diperoleh fauna akuatik bernilai ekonomis yaitu kelompok ikan berjumlah 14 jenis dari 12 famili dan kelompok crustacea berjumlah 7 jenis dari 3 famili yang berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Hasil tangkapan fauna akuatik dapat dilihat pada Lampiran 6. Kelompok ikan yang diperoleh sebesar 14 spesies ikan, yaitu : Valamugil seheli, Leiognathus equulus, Acentrogobius caninus, Thryssa baelama, Stolephorus indicus, Sardinella lemuru, Platycephalus scaber, Ambassis sp, Psettodes erumei, Therapon jarbua, Polynemus plebeius, Tylosurus strongylurus, Sciaena russeli dan Sillago sihama. Sedangkan, Kelompok crustacean diperoleh 7 spesies yaitu : Harpiosquilla raphidea, Penaeus merguiensis, Metapenaeus sp., Panaeus monodon, Thalamita sima, Scylla serata, dan Portunus pelagicus. 52 5.3.2. Kelimpahan dan biomassa jenis fauna akuatik Hasil penelitian di Kawasan Teluk Pangpang didapatkan kelimpahan fauna akuatik tertinggi untuk kelompok fauna ikan jenis ikan bedul (Acentrogobius caninus) dengan kelimpahan dan biomassa tertinggi sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56 gr. Sedangkan, kelimpahan dan biomassa terendah diidentifikasi jenis ikan kacangan (T. strongylurus), ikan gulamah (Sciaena russeli), ikan sumbal (P. plebeius) dan ikan kerong (T. jarbua). Kelompok fauna non ikan ditemukan Metapenaeus sp. mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 1.936 ind dan P. pelagicus mempunyai biomassa tertinggi sebesar 13.609,38 gr. Sedangkan, kelimpahan dan biomassa terendah diidentifikasi jenis kepiting bakau (S.serata) dan udang mantis (H.raphidea) yang berasosiasi di kawasan mangrove Teluk Pangpang. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.13. Hasil penelitian di Stasiun I menunjukkan ikan petek (L. equulus) mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 332 ind dan ikan kerong (T. jarbua) mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 31 ind. Pada Stasiun II, ikan seriding (Ambassis sp.) mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 253 ind dan ikan kacangan (T. strongylurus) mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 7 ind. Pada stasiun III, ikan bedul (A. caninus) mempunyai kelimpahan tertinggi sebanyak 552 ind dan ikan kerong (T. jarbua) mempunyai kelimpahan terendah sebanyak 7 ind. Kelimpahan tertinggi kelompok non ikan diidentifikasi jenis udang werus (Metapenaeus sp.) di stasiun I, II dan III yaitu sebanyak 684 ind, 577 ind dan 675 ind dan kelimpahan terendah pada Stasiun I, II dan III diidentifikasi jenis udang mantis (H.raphidea) yaitu sebanyak 41 ind, 98 ind dan 46 ind. 53 Tabel 5.13. Kelimpahan dan Biomassa Jenis Fauna Akuatik Spesies Sta.I K Sta.II B Sta.III K B K Jumlah Total B K B Fauna Ikan V. seheli 52,00 1.206,40 38,00 2.555,50 9,00 720,00 99,00 4.481,90 L. equulus 332,00 3.764,88 148,00 476,56 75,00 321,75 555,00 4.563,19 A. caninus 320,00 12.352,00 103,00 1.470,84 552,00 4.476,72 975,00 18.299,56 T. baelama 319,00 5.378,34 136,00 3.332,00 148,00 697,08 603,00 9.407,42 S.indicus 201,00 1.330,62 70,00 970,20 243,00 505,44 514,00 2.806,26 S.lemuru 102,00 1.460,64 112,00 2.038,40 107,00 1.433,80 321,00 4.932,84 P. scaber 31,00 220,10 58,00 3.045,00 74,00 1.600,62 163,00 4.865,72 Ambassis sp 85,00 289,00 253,00 931,04 338,00 1.220,04 P. erumei 137,00 3.068,80 56,00 232,40 52,00 796,64 245,00 4.097,84 T. jarbua 13,00 742,30 21,00 661,50 7,00 381,50 8,00 173,60 - P. plebeius - - T. strongylurus - - 7,00 120,40 S. russeli - - 17,00 1.499,40 75,00 1.032,75 53,00 S.sihama 63,00 2.368,80 20,00 - - 41,00 1.785,30 - 8,00 173,60 125,00 27,00 245,40 - 17,00 1.499,40 808,25 191,00 4.209,80 Fauna Non Ikan H.raphidea 41,00 233,70 98,00 784,00 46,00 139,38 185,00 1.157,08 P.merguiensis 118,00 1.516,30 369,00 3.051,63 98,00 769,30 585,00 5.337,23 Metapenaeus sp. 684,00 1.915,20 577,00 3.542,78 675,00 5.359,50 1936,00 10.817,48 P.monodon 357,00 2.548,98 141,00 549,90 94,00 2.350,00 592,00 5.448,88 T.sima 128,00 1.702,40 88,00 1.714,24 55,00 830,50 271,00 4.247,14 S.serata 82,00 1.052,88 - - 59,00 4.822,07 141,00 5.874,95 P. pelagicus 141,00 5.950,20 104,00 4.898,40 89,00 2.760,78 334,00 13.609,38 Keterangan : Sta = Stasiun ; K = Kelimpahan (individu); B= Biomassa (gram) Hasil penelitian biomassa kelompok fauna ikan menunjukkan ikan bedul (A.caninus) mempunyai biomassa tertinggi pada Stasiun I dan III yaitu sebesar 12.352 gr dan 18.299,56 gr. Pada stasiun II, biomassa tertinggi diidentifikasi ikan liplip (T.baelama) sebesar 3.332 gr. Sedangkan, biomassa terendah pada Stasiun I diidentifikasi ikan pahat (P. scaber) mempunyai biomassa terendah sebesar 220,10 gr. Pada Stasiun II dan III, ikan kacangan (T.strongylurus) mempunyai biomassa terendah sebesar 120,4 gr dan 125 gr. Hasil penelitian biomassa kelompok fauna non ikan menunjukkan kepiting rajungan (P. pelagicus) mempunyai biomassa tertinggi pada Stasiun I dan II yaitu 54 sebesar 5.950,2 gr dan 4.898,4 gr. Pada stasiun III, biomassa tertinggi diidentifikasi udang werus (Metapenaeus sp.) sebesar 5.359,5 gr. Sedangkan, biomassa terendah pada Stasiun I, III diidentifikasi udang mantis (H. raphidea) sebesar 233,7 gr dan 139,38 gr/m2. Pada Stasiun II, biomassa terendah diidentifikasi udang windu (P.monodon) sebesar 549,9 gr. 5.3.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik Hasil indeks keanekaragaman (H’) fauna akuatik tertinggi menunjukkan di Stasiun II berkisar 1,51 – 2,31, H’ tertinggi kedua terdapat di stasiun I berkisar 1,57 – 2,09 dan H’ terendah terendah di stasiun III berkisar 1,36 – 1,82. Hasil indeks kemerataan (E’) fauna akuatik tertinggi menunjukkan di Stasiun II berkisar 0,87 – 0,84, Stasiun I berkisar 0,87 – 0,81 dan Stasiun III berkisar 0,76 – 0,70. Hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E’) kelompok fauna ikan menunjukkan di Stasiun II memperoleh nilai indeks tertinggi yaitu nilai H’ sebesar 2,31 dan nilai E’ sebesar 0,87. Sedangkan, nilai H’ dan E’ terendah didapatkan di Stasiun III yaitu 1,82 dan 0,76. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E’) kelompok fauna ikan dapat dilihat pada Gambar 5.2. 2,5 2 1,5 H' 1 E' 0,5 0 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Gambar 5.2. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Fauna Ikan 55 Hasil analisis indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E’) kelompok fauna non ikan menunjukkan di Stasiun I dan II memiliki nilai H’ dan E’ yang tinggi yaitu Stasiun I dengan nilai H’ 1,57 dan E’ 0,81. Sedangkan, Stasiun II dengan nilai H’ 1,50 dan E’ 0,84. Indeks keanekaragaman dan kemerataan terendah diidentifikasi terdapat di Stasiun III yaitu nilai H’ 1,17 dan nilai E’ 0,65. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E’) kelompok fauna non ikan dapat dilihat pada Gambar 5.3. 2 1,5 H' 1 E' 0,5 0 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Gambar 5.3. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Kelompok Fauna Non Ikan 5.4. Analisis Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik Keterkaitan fauna terhadap kondisi Stasiun pengamatan dikumpulkan berdasarkan jumlah hasil tangkapan famili fauna akuatik bernilai ekonomis penting yang berjumlah 15 famili yaitu Mugilidae, Leiognathidae, Gobiidae, Clupeidae, Platycephalidae, Centropomidae, Belonidae, Sciaenidae, Sillagidae, Psettodidae, Theraponidae, Polynemidae, Squillidae, Penaeidae dan Portunidae (Lampiran 6). Famili fauna akuatik yang melimpah menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove sehingga ditemukan tingginya jumlah hasil tangkapan famili Clupeidae dari kelompok ikan dan famili Panaeidae dari 56 kelompok non ikan. Komposisi hasil tangkapan famili fauna akuatik (individu) di setiap stasiun penelitian dapat dilihat di Gambar 5.4. Mugilidae Leiognathidae Gobiidae Clupeidae Famili fauna akuatik Platycephalidae Centropomidae Psettodidae Theraponidae Polynemidae Belonidae Scevinidae Sillagidae Squillidae Penaeidae Portunidae 0 200 400 600 800 1000 1200 Jumlah Hasil Tangkapan Fauna (Ind) Stasiun III Stasiun II Stasiun I Gambar 5.4. Komposisi Famili Fauna Akuatik di Stasiun pengamatan Keterangan : I : Stasiun Pengamatan I II : Stasiun Pengamatan II III : Stasiun Pengamatan III 1 : Mugilidae 2 : Leiognathidae 3 : Gobiidae 4 : Clupeidae 5 : Platycephalidae 6 : Centropomidae 7 : Psettodidae 8 : Theraponidae 9 : Polynemidae 10 : Belonidae 11 : Scevinidae 12 : Sillagidae 13: Squillidae 14 : Penaeidae 15: Portunidae Gambar 5.5. Pola Sebaran Fauna akuatik di Ekosistem Mangrove 57 Kondisi penyebaran famili fauna akuatik yang berasosiasi dengan kawasan mangrove di Teluk Pangpang dikaji dengan analisis korespondensi. Hasil pengolahan data correspondence analysis berupa kondisi Stasiun I, II, III dan kondisi jumlah hasil tangkapan famili fauna akuatik menggunakan software SPSS (Statistical Package for the Social Science) (Lampiran 7). Sedangkan, hasil keluaran (output) berupa peta (mapping) kategori dari variabel famili fauna akuatik di Stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.5. Analisis korespondensi digunakan untuk melihat secara visual ada tidaknya ketergantungan antar kategori dan membantu melihat keterkaitan suatu profil dari suatu kategori menjadi komponen baris dan kolom. Hasil pengamatan sebaran pola sebaran menunjukkan pada Stasiun I yang terletak paling atas berdekatan dengan Stasiun II menandakan adanya keterkaitan fauna yaitu kelimpahan, keanekaragaman ikan yang cenderung merata. sehingga dominan ditemukan kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Mugilidae, Clupediae dan demersal yaitu famili Leiognatidae, Psettodidae. Pada Stasiun II, fauna akuatik yang banyak tertangkap menunjukkan famili kelompok ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Centropomidae, Polynemidae, Sillagidae dan sifat hidup demersal yaitu Theraponidae, Sciaenidae. Stasiun III terletak dikiri dengan angka paling kecil menandakan adanya faktor-faktor lingkungan seperti keadaan mangrove, kualitas perairan dan alat tangkap yang menyebabkan perbedaan dengan Stasiun lainnya. Kondisi mangrove Stasiun III menunjukkan dominasi jenis C. tagal, B. gymnorrhiza, A. marina, A. illcifolius dan X. moluccensis sehingga menyebabkan tingkat adaptasi dan jenis fauna akuatik yang berasosiasi ditemukan dominan famili ikan yang mempunyai 58 sifat hidup demersal seperti ikan famili Gobidae, Platycephalidae. Sedangkan, ikan famili Belonidae termasuk ikan yang mempunyai sifat hidup pelagis. Pengelompokkan kategori di Stasiun I,II dan III terlihat komposisi famili fauna akuatik yang merata dan dominan dijumpai kelompok ikan yaitu famili clupeidae dan silagidae. Sedangkan kelompok non ikan yaitu famili penaidae dan portunidae. BAB VI PEMBAHASAN 6.1.Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Kondisi mangrove didominasi oleh famili Sonneratiaceae dan Rhizophoraceae, dengan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan vegetasi mangrove serta fauna akuatik yaitu suhu berkisar 27-33 ºC, Salinitas 10-33 ‰, pH 6,8-7,4 dan tekstur tanah yang berpasir dan berlempung. Kawasan Teluk Pangpang ditetapkan sebagai areal rehabilitasi oleh Pemerintah, Swasta dan Kelompok tani setempat. Penelitian oleh Raharja (2012), peningkatan luasan hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang dipengaruhi oleh adanya kegiatan rehabilitasi yang tergolong berhasil sehingga dominan ditemukan jenis R. mucronata oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah, diantaranya Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kementerian Kelautan Perikanan (Co-Fish Project), OISCA dan Yayasan Mangrove, Lembaga Pemberdayaan Industri Pedesaan (LPIP), dan Komisi Riset Malang. Perkembangan jenis mangrove terlihat semakin membaik karena adanya aliran sungai yang membawa lumpur dan pasir ke dasar laut dan bercampur dengan ombak dan pasang surut. Hasil penelitian Gustiar (1995) di kawasan Teluk Pangpang, menerangkan bahwa keberadaan hutan mangrove sebagai daerah transisi antara daratan DAS yaitu melindungi perairan pantai dan teluk dari sedimentasi yang berat dari daerah hulu DAS, menstabilkan sedimen yang masuk ke perairan dan meredam bahan pencemar di kawasan Teluk Pangpang. Nilai kerapatan tinggi pada fase semai, fase pancang dan fase pohon famili Rhizophoraceae di keseluruhan stasiun merupakan tegakan hasil penanaman / 59 60 rehabilitasi mangrove di pesisir pantai yang berdekatan dengan muara sungai. Substrat tanah berpasir dan berlumpur menyebabkan pertumbuhan jenis R. mucronata beradaptasi dengan lingkungannya sehingga penyebaran bijinya dapat mudah tumbuh dan berkembang di lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sudarmadji et al. (2011), bahwa di Kabupaten Banyuwangi jenis R. apiculata, R. mucronata dan S. alba merupakan jenis dominan dan penyebarannya merata di seluruh wilayah pantai. Hal ini disebabkan dari bentuk propagul yang besar, memanjang dan dapat disebarkan oleh arus secara lebih luas serta memiliki cadangan makanan lebih banyak sehingga kesempatan hidup lebih tinggi, serta jenis S. alba memiliki buah berbentuk bulat dan besar dengan banyak biji, sehingga memiliki kemungkinan hidup lebih tinggi. Kawasan Teluk Pangpang ditentukan dengan 3 (tiga) stasiun sampling yang terletak di kawasan ekosistem mangrove, yaitu: Stasiun I berada di kawasan pesisir Tratas Kawang, terletak di bagian mulut teluk dengan kondisi berupa daerah pemukiman, pelabuhan, area rehabilitasi dan muara aliran sungai Wagut; Stasiun II berada di kawasan pesisir Muncing Krajan, terletak di bagian tengah teluk dengan kondisi berupa tambak budidaya ikan, daerah rehabilitasi dan agak berjauhan dengan muara Sungai Setail; Sedangkan Stasiun III berada di kawasan pesisir Tegalpare, terletak di bagian ujung teluk dengan kondisi berupa bekas tambak budidaya ikan dan berdekatan dengan muara aliran sungai Setail, daerah pertanian yang mengalirkan limbah pertanian dan limbah budidaya ikan. Kondisi pesisir pantai Tratas Kawang, merupakan daerah pemukiman, pelabuhan, industri perikanan yang menyebabkan kondisi mangrove banyak terlihat limbah domestik berupa sampah plastik dan non plastik. Penebangan mangrove 61 masih terjadi yang membuat perkembangan mangrove jenis S. alba cenderung sulit berkembang yaitu terlihat adanya bekas tebangan pada fase pancang dan fase pohon. Hal ini dibuktikan dari adanya kerapatan yang rendah pada fase pancang karena keberadaan mangrove dengan pemukiman menyebabkan beberapa masyarakat beranggapan bahwa tegakan mangrove hanya jenis Tanjang yang dilindungin oleh pemerintah, sedangkan jenis Perepat merupakan tumbuhan liar, hidup secara alami tanpa ditanam dan mengganggu Tanjang, sehingga masyarakat menduga boleh mengambil batang dan daunnya untuk pakan ternak dan kayu bakar. Kondisi Stasiun I dapat dilihat pada Gambar 6.1. Gambar 6.1. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan I Aliran sungai yang membawa limpasan material lumpur pada saat curah hujan membuat kondisi substrat tanah berpasir menjadi berlumpur sehingga mendukung Famili Rhizophoraceae mendominasi dalam setiap petak contoh yang dibuat karena merupakan hasil penanaman masyarakat bersama dengan pemerintah dan non pemerintah. Hal ini terlihat dengan tingginya frekuensi relatif pada fase semai dan fase pohon jenis R. mucronata karena sesuai dengan lokasi yang mempunyai unsur hara dengan substrat berlumpur yaitu pasir berlempung, serta kepedulian masyarakat/nelayan terhadap bibit R. mucronata yang jatuh tidak sempurna dengan menancapkan kembali ke tempat-tempat yang jarang sehingga dapat ditemukan kemunculannya untuk tumbuh meluas dan berkembang. 62 Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove menunjukkan jenis R.mucronata dominan pada semua fase yaitu fase semai, fase pancang dan fase pohon yang termasuk kriteria tinggi dalam penguasaannya dibanding jenis mangrove lainnya. Dominasi vegetasi mangrove tingkat penguasaan fase semai, fase pancang dan fase pohon jenis R. mucronata karena merupakan lokasi hasil percobaan penanaman jenis Rhizophora sp. yang mempunyai tekstur tanah pasir berlempung. Dominasi jenis R. mucronata dan S. alba pada seluruh stasiun karena jenis vegetasi mangrove yang tumbuh mempunyai daya tahan terhadap berbagai gelombang dan arus laut yang tinggi dengan didukung keberadaannya di muara sungai sehingga keberhasilan tanaman semakin membesar dan meluas. Lokasi penempatan plot yang berdekatan dengan sungai dapat teridentifikasi keberadaan A. marina. Rendahnya frekuensi A. marina benyak ditemukan di daerah pinggiran sungai dan tumbuh lebih banyak diantara tumbuhan perepat (S. alba). Arief (2003), menjelaskan zona A. marina terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove, tumbuh pada tanah yang berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi serta banyak ditemui berasosiasi dengan S. alba. Zona ini merupakan pionner atau perintis karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkeraman perakaran tumbuhan jenis ini. Kondisi daerah pesisir Muncing Krajan, merupakan daerah bekas tambak yang tidak terpakai/terbengkalai. Adanya kerugian budidaya akibat penyakit udang serta gelombang laut membuat tambak budidaya menjadi rusak sehingga dilakukan program rehabilitasi/penanaman mangrove. Gangguan aktivitas masyarakat yang secara terus menerus akan dapat mengurangi luasan hutan mangrove, dengan ditemukan tingkat kerapatan yang rendah pada fase pohon karena pengambilan 63 cacing laut yang dilakukan diakar mangrove sehingga menjadi terputus, tumbang dan mengganggu fungsi ekologis mangrove sehingga perkembangan tidak dapat berjalan dengan baik. Gunarto (2004), menjelaskan ekosistem mangrove mempunyai fungsi fisik sebagai pencegah abrasi, perlindungan angin, pencegah intrusi air laut; fungsi biologis sebagai daerah asuhan berbagai biota; dan fungsi ekonomis sebagai bahan makanan, minuman, keperluan rumah tangga dan lain-lain. Kondisi Stasiun II dapat dilihat pada Gambar 6.2. Gambar 6.2. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan II Tingkat kerapatan yang rendah ditemukan pada fase semai karena adanya serangan hama teritip yang hidup di akar mangrove dan menyebabkan sebagian tegakan semai jenis R. mucronata mengalami kematian. Hasil pengamatan, hama teritip banyak ditemukan pada tegakan semai yaitu parasit yang menempel pada batang mangrove yang terbawa oleh perairan laut dan berkembang ke seluruh bagian tanaman mangrove sehingga daya hidupnya tidak bertahan lama. Dewiyanti et al. (2013), menyatakan apabila terdapat serangan hama teritip hebat maka dapat menyebabkan kematian bibit mangrove. Teritip akan merusak kulit batang terutama jenis Rhizophora sp. karena menyukai daerah yang terendam air laut dibandingkan bagian atas batang yang kering dan hanya terendam jika air laut pasang. 64 Kemunculan jenis S. alba pada fase pancang dengan frekuensi relatif tinggi karena diduga biji-biji S. alba terbawa arus pasang surut ke lahan pinggiran sungai dan lahan tambak yang tidak terpakai/rusak, ditambah adanya tekstur tanah lempung berpasir serta aliran muara sungai yang luas dalam mengalirkan unsur hara menyebabkan tegakan mangrove S. alba dapat tumbuh dan berkembang luas. Hal ini terlihat dengan adanya luas penutupan mangrove yang tinggi pada fase pancang dan pohon dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan sehingga mendukung pertumbuhan dan perkembangan jenis S.alba dengan INP tertinggi sehingga tergolong sedang dalam penguasaan mangrovenya. Kondisi pesisir Tegalpare terletak berdekatan dengan sungai Setail dan di daerah bekas tambak yang hancur akibat limpasan ombak gelombang laut. Hasil pengamatan menunjukkan fase semai yang lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat pancang dan pohon karena bibit semai yang jatuh dipermukaan tanah tidak dapat tumbuh dengan baik akibat terlalu rapatnya jenis mangrove dan kondisi tekstur tanah yang berlumpur semakin padat. Gangguan aktivitas masyarakat yang letaknya jauh dari pemukiman serta tambak budidaya perikanan yang beroperasi lebih sedikit menyebabkan keberadaaan mangrove dapat tumbuh dan berkembang lebih baik. Kondisi Stasiun III dapat dilihat pada Gambar 6.3. Gambar 6.3. Kondisi Penelitian di Stasiun Pengamatan III 65 Hasil pengamatan menunjukkan Jenis C. tagal, R. mucronata dan S. alba mempunyai kerapatan relatif tinggi karena kondisi substrat tanah yang sesuai yaitu tekstur tanah lempung, liat dan berdebu serta letak mangrove yang jauh dari garis pantai sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya. Kordi (2012), menjelaskan hutan yang paling dekat dengan laut lebih banyak ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia tumbuh pada lumpur lembek dengan sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi, serta biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp.), Sedangkan C. tagal terletak agak jauh dari laut berdekatan dengan daratan dengan keadaan tanah yaitu berlumpur agak keras. Kondisi lingkungan berupa tekstur tanah menyebabkan dominasi pada fase semai diidentifikasi jenis C. tagal, fase pancang diidentifikasi jenis B. gymnorhiza dan fase pohon diidentifikasi jenis S. alba sehingga ditemukan INP tergolong tinggi dalam penguasaan di kawasannya. Kordi (2012), menjelaskan kearah darat dibelakang zona Rhizophora adalah Zona Bruguierra, tumbuh pada substrat yang lebih keras, seperti tanah liat. Zona terakhir adalah Zona Ceriops yang bercampur dengan semak belukar. Kerapatan relatif menunjukkan jenis A. ilicifolius terlihat rendah karena merupakan jenis mangrove yang diduga tumbuh secara alami dan berasal dari tegakan mangrove di Kawasan Taman Nasional Alas Purwo serta terbawa oleh arus pasang surut air laut. Keadaan lingkungan yang berada di pinggir daratan, jarang terkena air laut secara langsung serta kualitas perairan yang lebih payau seperti salinitas yang rendah berkisar 10 – 30 ‰ membentuk zonasi yang ditumbuhi oleh tipe vegetasi mangrove yang dapat berasosiasi dengan jenis vegetasi lainnya. Kordi (2012), menerangkan A. marina, S. alba, A. ilicifolius dan Aegiceras corniculatum 66 termasuk dalam zona air payau ke air laut dengan kisaran salinitas antara 10-30 ppt dengan daerah genangan pasang satu atau dua kali sehari selama 20 hari per bulan. Menurut Dahuri (2003), salinitas menjadi faktor pembatas untuk spesies tertentu karena memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi, bila suplai air tawar tidak tersedia akan menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrem sehingga mengancam kelangsungan hidup ekosistem mangrove. Frekuensi vegetasi mangrove ditemukan rendah pada fase pohon jenis A. marina, B. gymnorrhiza dan X. moluccensis karena adanya kesesuaian lahan tekstur lempung, liat dan berdebu, lokasi yang jauh dari pemukiman dan gangguan aktivitas masyarakat yang rendah membuat tegakan mangrove tumbuh secara alami dan dapat dijumpai kemunculannya. Menurut Setiawan (2013), Keberadaan vegetasi mangrove sangat berpengaruh terhadap pembentukan kelas tekstur tanah. Tingkat ketebalan mangrove yang tinggi cenderung mempunyai tekstur lempung liat berdebu. Hal ini disebabkan karena adanya dekomposisi serasah dan bahan organik yang dibawa oleh aliran sungai yang ikut menentukan tekstur tanah serta adanya pengikatan partikel debu dan liat oleh akar vegetasi mangrove sehingga partikel tersebut akan mengendap semakin lama dan membentuk lumpur. Pada daerah tanpa vegetasi mangrove kelas teksurnya cenderung berpasir karena tidak adanya vegetasi yang mengikat partikel lumpur. Frekuensi relatif jenis S. alba, A. ilicifolius pada fase semai, jenis R. apiculata, S. alba, B. gymnorrhiza, A. marina pada fase pancang terlihat rendah karena aliran sungai serta serasah daun yang membawa unsur hara menyebabkan terjadi kompetisi yang tidak seimbang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Supardjo (2008) di Segara Anak Selatan TNAP bahwa tingkat frekuensi relatif 67 yang rendah pada S. caseolaris dipengaruhi oleh kompetisi yang tidak seimbang dengan R. mucronata karena tempat hidup yang berada di tepi sungai sehingga kurang kompetitif dalam perolehan unsur hara. Indeks keanekaragaman mangrove menunjukkan di kawasan Teluk Pangpang secara keseluruhan mempunyai kriteria keanekaragaman jenis tergolong sedang (H’= 0,55-1,86). Tingkat indeks keanekaragaman tertinggi pada fase semai, fase pancang dan fase pohon di stasiun penelitian menunjukkan komunitas mangrove didalamnya memiliki kompleksitas tinggi karena tingginya interaksi spesies yang terjadi sehingga mempunyai kendali yang lebih besar dalam mengurangi gangguan-gangguan serta meningkatkan kestabilan dan kemantapan. Soegianto (1994), menerangkan bahwa keanekaragaman juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponenkomponennya. Indeks keanekaragaman tertinggi pada fase semai terlihat pada daerah yang memiliki substrat tanah lempung berpasir sehingga bibit mangrove S. alba dan R. mucronata dapat cepat dan tumbuh berkembang. Sedangkan, pada fase pancang dan pohon lebih tinggi karena faktor lingkungan berupa tekstur tanah yang lebih padat yaitu lempung, liat dan berdebu serta pasang surut air laut menuju daratan sehingga terbentuk zonasi mangrove yang mendukung perkembangan jenis mangrove yang beragam. Rendahnya gangguan aktivitas masyarakat serta jarak dari tempat pemukiman yang jauh menyebabkan perkembangan mangrove lebih stabil dan mantap dibandingkan dengan lokasi yang mempunyai tekanan lingkungan 68 seperti pemukiman dan limbah domestik yang masih tergolong tingkat keanekaragaman mangrove sedang. Tingkat kerusakan di Kawasan Teluk Pangpang dari hasil penelitian dapat dikategorikan tidak mengalami kerusakan dengan kondisi baik pada seluruh stasiun pengamatan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.201 Tahun 2004. Perkembangan dan pertumbuhan yang jauh lebih baik dengan tingkat kerapatan lebih dari 1.500 pohon/ha dikarenakan adanya rehabilitasi mangrove di pesisir kawasan oleh pemerintah dan masyarakat. Masyarakat telah mengetahui pentingnya fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai, tempat memijah fauna akuatik, dan penyaring/filter bahan pencemar seperti limbah tambak yang terdapat diarea pertambakan dengan menanam di sekitar pematang tambak. Pertumbuhan mangrove yang semakin meluas didukung kesadaran masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove di Kawasan Teluk Pangpang serta adanya Peraturan Desa (Perdes) di Kecamatan Muncar No. 03 Tahun 2003 tentang Penetapan Pengelolaan Kawasan Lindung Ekosistem Jalur Hijau Hutan Mangrove Berbasis Pada Masyarakat Setempat. Adanya Perdes di Kawasan Teluk Pangpang tidak sepenuhnya diterapkan, yaitu dengan masih ditemukan pelanggaran selama penelitian seperti penebangan pohon dan pengambilan cacing laut di akar mangrove yang semakin lama dapat merusak keadaan tegakan mangrove pada Gambar 6.4. Gambar 6.4. Kerusakan Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang 69 Tingkat pancang yang ditemukan rendah pada lokasi yang berdekatan dengan pemukiman yaitu jumlah kerapatan sebesar 1.633 pohon/ha dikarenakan pengambilan batang dan daun jenis S. alba untuk pakan ternak akibat pemahaman masyarakat jenis mangrove yang masih kurang. Kerapatan rendah pada fase pohon sebesar 4.742 pohon/ha pada lokasi yang berdekatan dengan tepi tambak budidaya dan sungai akibat pengambilan cacing laut dapat menyebabkan mangrove menjadi rusak dan tumbang karena tidak adanya kekuatan pada substrat tanah. Sedangkan pada lokasi yang jauh dari gangguan aktivitas masyarakat mempunyai keadaan mangrove tingkat kerapatan yang jauh lebih baik. 6.2. Kondisi Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang Jenis fauna akuatik di lokasi penelitian Kawasan Teluk Pangpang masih berukuran kecil (juvenile) dengan biomassa/berat basah rata-rata < 100 gr. Hal ini terkait karena adanya kawasan mangrove sebagai tempat berkembang biak, tempat mencari makan dan tempat berlindung sehingga jarang ditemukan fauna akuatik yang berukuran besar yang lebih mencari lokasi diperairan laut lepas. Kordi (2012), menjelaskan fauna akuatik menjadikan ekosistem mangrove sebagai tempat untuk reproduksi, seperti : memijah, bertelur dan beranak, seperti kepiting, ikan dan udang memijah di ekosistem mangrove dan di perairan agak dalam, namun setelah menetas larva dan benihnya dibawa oleh arus dan angin ke ekosistem mangrove. Hasil identifikasi fauna ikan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang ditemukan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis ikan bedul (A. caninus) karena merupakan fauna akuatik yang seluruh siklus hidupnya berada di daerah mangrove sehingga termasuk dalam ikan penetap sejati dari famili Gobidae. Dewantoro (2011), menjelaskan bahwa Gobidae merupakan kelompok ikan yang 70 sangat dominan baik keragaman dan kelimpahan di dalam mangrove. Jenis Gobi akan menyerupai warna dasar perairan dan seringkali membenamkan diri dalam substrat. Hal serupa dilakukan oleh Viqi (2012) di Kawasan Nasional Alas Purwo bahwa jenis ikan bedul ditemukan terbanyak dan dominan dijumpai di Segara Anakan di semua stasiun sehingga menjadi salah satu nama blok di Segara Anak yaitu Blok Bedul. Keberadaan sungai besar yaitu Sungai Wagut yang berada di mulut teluk dan berdekatan dengan laut lepas, serta Sungai Setail yang berjauhan dengan pemukiman diujung teluk diduga mengalirkan bahan organik dan nutrien berupa sedimen lumpur dari daratan ke pesisir sehingga mendukung biomassa pertumbuhan dan perkembangan ikan bedul yang mempunyai sifat hidup demersal. Hasil penelitian Budiman (2006), Daerah Pantai Barat Korowelang, ikan demersal mempunyai kepadatan tertinggi pada kedalaman 10-15 m karena adanya muara sungai besar dan kecil sehingga bahan organik dan nutrien yang berasal dari daratan sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan demersal. Hasil identifikasi fauna non ikan di Kawasan Teluk Pangpang ditemukan kelimpahan udang werus (Metapenaeus sp.) dari famili Panaeidae banyak tertangkap dalam keadaan fase juvenile karena pengaruh kondisi luas penutupan mangrove yang terdapat di keseluruhan stasiun penelitian. Luas penutupan mangrove yang tinggi berdampak pada rendahnya kelimpahan Panaeidae di Kawasan Teluk Pangpang. Hai ini karena faktor ketersediaan unsur hara berupa detritus serasah daun yang melimpah didalam ekosistem mangrove. Tjahjo D.W et al. (2011) dalam penelitiannya di Muara Dua, menunjukkan bahwa tingkat penutupan vegetasi mangrove yang tinggi mampu memberikan pakan dan 71 perlindungan yang cukup bagi populasi juvenil ikan dan udang karena mampu berperan sebagai daerah asuhan. Hasil pengamatan biomassa yang tinggi pada fauna non ikan diidentifikasi jenis Kepiting rajungan (P. pelagicus) karena Kawasan Teluk Pangpang mempunyai substrat tanah berlumpur dan berpasir. Adanya perilaku dan habitat kepiting rajungan yang hidup dengan membenamkan diri dalam pasir dan pantai berlumpur menyebabkan fauna beradaptasi di hutan bakau, batu karang atau kadang dijumpai berenang di permukaan. Hal ini sesuai dengan kondisi tekstur tanah lokasi yang berdekatan dengan pemukiman yaitu pasir berlempung dan daerah yang berdekatan dengan tambak budidaya perikanan yaitu lempung berpasir untuk mencari makan. Rajungan dewasa memakan molusca, crustacea, ikan atau bangkai pada malam hari. Larva bersifat planktonik pemakan plankton, berkembang menjadi dewasa melalui stadia zoea, megalopa, dan rajungan muda (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Kelimpahan dan biomassa fauna ikan terendah diidentifikasi jenis ikan kacangan (T. strongylurus), ikan gulamah (Sciaena russeli ), ikan sumbal (P. plebeius) dan ikan kerong (T. jarbua) karena diduga termasuk ikan pengunjung yaitu pada periode pasang berkunjung ke ekosistem mangrove untuk mencari makan, sehingga bersifat predator dan menyendiri (solitaire) sehingga ditemukan dalam keadaan jumlah kelimpahan dan biomassa yang kecil. Kondisi fauna akuatik ini lebih cenderung menyukai daerah pesisir di sekitar mangrove pada saat musim ikan dan air pasang untuk mencari makan di pesisir mangrove. Rendahnya kelimpahan dan biomassa fauna non ikan jenis kepiting bakau (S.serata) dan udang mantis (H.raphidea) di kawasan mangrove diduga adanya 72 penangkapan berlebih (over fishing) menggunakan alat tangkap jaring kepiting, plitur/jebakan kepiting, selodok/pukat dorong yang terlalu banyak oleh masyarakat, serta kerusakan vegetasi mangrove dengan tekanan lingkungan seperti pencarian cacing laut di akar mangrove yang menyebabkan rusaknya habitat kepiting bakau sehingga jarang ditemukan di ekosistem mangrove. Jenis udang mantis bersifat predator dan hidup di wilayah dasar perairan yang mempunyai habitat padang lamun dan batu-batu karang namun dapat hidup di tipe substrat tanah yang berpasir dan berlumpur. Menurut Mashar dan Wardiatno (2011), habitat yang cocok untuk udang mantis adalah perairan yang bersubstrat lumpur berpasir dengan arus yang tidak terlalu cepat dan cenderung membenamkan diri ke dasar perairan untuk berlindung dengan membuat lubang dengan diameter dan kedalaman lubang yang bervariasi sesuai dengan ukuran udang mantis. Djuwito et al. (2013), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa udang mantis yang tertangkap di perairan Cilacap relatif masih kecil atau dalam keadaaan belum layak tangkap sehingga mengakibatkan overfishing, karena tidak cukup tersedianya induk yang memijah sehingga mengancam kelestarian sumberdaya udang mantis di perairan Cilacap. Kelimpahan kelompok ikan diidentifikasi ikan petek (L. equulus) dari famili Leiognathidae melimpah dilokasi yang berada berdekatan dengan pemukiman dan terletak di muara Sungai Wagut. Jenis ikan petek merupakan jenis ikan demersal yang hidup di daerah perairan dangkal, salinitas perairan yang lebih payau berkisar 20-30 ‰ sehingga banyak ditemukan didaerah estuaria dan perairan pantai berlumpur. L. equulus ditemukan di daerah pasang surut muara sungai berdekatan laut lepas di mulut teluk diduga memasuki hilir sungai air tawar dan memakan 73 organisme seperti cacing laut (polychaeta), crustacea dan ikan yang lebih kecil. L. equulus mempunyai badan yang lebar dan pipih, bentuk punggung yang menonjol, berwarna putih perak mengkilat dan termasuk ikan ekonomis tinggi. Widodo et.al (1999) dalam penelitiannya, menjelaskan Ikan petek (Leiognathidae) termasuk pengelompokan sumberdaya ikan demersal kategori ekonomis penting nomor tiga selain ikan beloso, kuniran, kerong-kerong, mata besar/merah dan gabus laut di perairan Arafura dan sekitarnya. Keadaan lokasi dengan tekanan lingkungan budidaya tambak perikanan ditemukan ikan siriding (Ambassis sp) yang melimpah karena adanya habitat fauna yang berdekatan dengan garis pantai dan letaknya berkisar 200 meter dari muara sungai menyebabkan salinitas perairan rata-rata berkisar 30-35 ‰. Kondisi tekstur tanah yang berlumpur serta perilakunya menyebabkan fauna cenderung bergerak secara bergerombol (schooling) dan bermigrasi ke pesisir untuk berkembang biak. Ikan siriding mempunyai ukuran relatif kecil, berwarna keperakan dan transparan serta diduga menyukai habitat yang berlumpur sehingga dominan tertangkap pada saat air laut pasang. Penelitian yang dilakukan Kawaroe (2001) di Kabupaten Subang menyatakan perbedaan struktur komunitas ikan antar stasiun penelitian diduga disebabkan karena perbedaan kualitas air dan habitat yang secara tidak langsung berhubungan dengan karakteristik habitat ikan. Adanya spesies ikan Ambassis kopsi dan Ambassis nalua mengindikasikan bahwa perairan telah mengalami pelumpuran. Kelimpahan tertinggi jenis Ikan bedul (A.caninus) banyak ditemukan di daerah yang berada lebih dekat dengan muara sungai Setail berkisar 50 meter dan letaknya yang jauh dari pemukiman serta jauh dari garis pantai menyebabkan 74 melimpahnya famili Gobiidae dari Ordo Perciformes yang mempunyai sifat hidup demersal. Ikan bedul merupakan salah satu jenis ikan gabus yang mempunyai sirip dipunggungnya dan dominan karena diduga kawasan ini lebih dekat dengan daerah aliran Sungai Setail yang mengalirkan bahan organik ke daerah mangrove sehingga membentuk kondisi lingkungan seperti tekstur tanah yang berlumpur sebagai habitat dan tempat mencari makan. Biomassa tertinggi ditemukan di daerah lokasi yang berdekatan dengan garis pantai dan salinitas perairan yang lebih tinggi seperti ikan liplip (T. baelama ) karena mempunyai kemampuan mentolerir penurunan salinitas dan mendiami perairan yang keruh. T. baelama dominan melimpah di daerah kawasan mangrove Teluk Pangpang karena memanfaatkan untuk memijah dan berkembang biak sehingga banyak ditemui dalam keadaaan bergerombol (schooling), mencapai ukuran panjang maksimal 16 cm. Tubuh berbentuk bulat dan lonjong dengan hampir menyerupai silinder, dan agak meruncing kearah ekor, berwarna gelap biru kecoklatan pada bagian punggungnya, sedangkan pada bagian sisi tubuh berwarna keperakan. Keanekaragaman jenis (H’) fauna akuatik berdasarkan hasil pengamatan ditemukan pada seluruh Kawasan Teluk Pangpang termasuk kategori sedang yaitu berkisar 1,36 – 2,31, sehingga dapat diartikan bahwa komunitas fauna akuatik di keseluruhan stasiun mempunyai kondisi stabilitas dan penyebaran komunitas sedang. Sedangkan, kemerataan jenis (E’) fauna akuatik termasuk kategori kemerataan tinggi yaitu berkisar 0,70 – 0,87, sehingga dapat diartikan kondisi komunitas jenis stabil dan tidak ada yang mendominasi sehingga tidak ada tekanan fauna akuatik di kawasan mangrove Teluk Pangpang. 75 Tingkat keanekaragaman dan kemerataan yang rendah pada lokasi yang jauh dari pemukiman dan terletak di ujung teluk lebih banyak dipengaruhi kondisi substrat tanahnya yaitu lempung liat dan berdebu serta kecenderungan fauna akuatik mencari makan di kondisi mangrove yang mempunyai kerapatan dan penutupan yang lebih rapat dan tebal. Penutupan mangrove yang rendah berpengaruh terhadap keanekaragaman fauna kelompok non ikan karena memanfaatkan akar dan substrat tanah sebagai perlindungan dari serangan predator. Hal ini berdasarkan hasil identifikasi dan sifat hidup fauna akuatik kelompok ikan dan non ikan yang ditemukan lebih cenderung menyukai kondisi substrat berpasir dan berlumpur sehingga lebih banyak ditemukan di daerah yang dekat dengan pemukiman dan daerah yang berada di tepi tambak budidaya perikanan dibandingkan lokasi yang mempunyai substrat tanah yang lebih padat karena akan menyulitkan jenis fauna untuk menggali untuk berlindung. 6.3. Pola Penyebaran Jenis Fauna Akuatik Hasil penelitian famili fauna akuatik yang teridentifikasi di Kawasan Teluk Pangpang belum pernah dilakukan sebelumnya yang berjumlah 15 famili yang terdiri dari 14 famili kelompok ikan dan 7 famili kelompok non ikan. Sedangkan, hasil penelitian serupa yang dilakukan Latupapua (2011) di kawasan segara anakan TNAP Kabupaten Banyuwangi berjumlah 13 famili berupa 10 famili kelompok ikan dan 2 famili kelompok non ikan, sehingga lebih banyak tertangkap di Kawasan Teluk Pangpang. Hal ini tidak terlepas dari fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove untuk kehidupan fauna akuatik sebagai nursery grounds, spawning grounds dan feeding grounds. 76 Hasil pengamatan menunjukkan adanya adaptasi fauna akuatik yang dapat dibagi dalam empat kategori kelompok ikan yang berada di ekosistem hutan mangrove Kawasan Teluk Pangpang (Nirarita et al. 1996), yaitu diantaranya: Ikan penetap sejati seperti ikan bedul (A. caninus) dari famili Gobidae karena seluruh siklus hidupnya berada di daerah mangrove, Ikan penetap sementara seperti ikan belanak (V. seheli) dari famili Mugilidae karena selama periode anakan hingga dewasa cenderung bergerombol di sepanjang pantai, Ikan pengunjung seperti ikan gulamah (S. russeli) dari famili Scianidae karena pada periode pasang berkunjung ke ekosistem mangrove untuk mencari makan, Ikan musiman seperti ikan lemuru (Sardinella sp.) dari famili Clupeidae yang menggunakan mangrove sebagai perlindungan musiman dari predator. Pola sebaran fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang ditemukan adanya pengelompokan ikan berdasarkan sifat hidupnya yaitu ikan pelagis (permukaan dan kolom air laut) dan ikan demersal (dasar air laut) yang menetap dan berkembang di kawasan mangrove sehingga dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungannya. Faktor lingkungan berupa kondisi perairan yang fluktuatif dan tekstur tanah menyebabkan sifat hidup fauna akuatik yang beradaptasi di Kawasan mangrove Teluk Pangpang bervariasi, hal ini terkait dengan keberadaan mangrove di stasiun penelitian dalam menyediakan makanan berupa bahan organik seperti serasah daun sebagai daerah asuhan (nursery grounds) dan daerah mencari makan (feeding grounds). Zahid et al. (2011) mengemukakan, bahwa kelimpahan ikan di perairan mangrove terkait erat dengan kebiasaan makan herbivora dan karnivora sehingga peran fungsional estuari sebagai daerah pemijahan, pembesaran, perlindungan dan 77 lumbung makanan, oleh karenanya ikan-ikan ini lebih banyak dijumpai pada daerah mangrove. Kondisi mangrove yang berada di dekat pemukiman serta adanya tekanan lingkungan berupa limbah domestik dan berada di bagian mulut teluk serta muara Sungai Wagut menyebabkan kondisi perairan lebih stabil dalam mencampur aliran air tawar dengan air laut, sehingga dominan dijumpai ikan pelagis dan demersal dalam mencari makanan dan berkembang biak di daerah kawasan mangrove. Hasil penelitian Kawaroe (2001), ikan famili Leiognatidae, dan Mugilidae banyak tertangkap di lokasi Blanakan dibandingkan dengan lokasi Mayangan. Kondisi perairan di Kawasan Blanakan lebih stabil karena cenderung memiliki kualitas perairan payau (muara) dan laut. Adanya pasang surut yang lebih tinggi serta sungai yang lebih besar (Sungai Blanakan) menyebabkan pertukaran air menjadi lebih baik. Penguasaaan mangrove yang dominan jenis R.mucronata dan R.apiculata yang mempunyai akar tunjang pada batang dan menggantung kemudian masuk ke tanah menjadi tempat yang sesuai untuk pemijahan dan pembesaran fauna akuatik. Sistem perakaran Rhizophora sp. dimanfaatkan untuk bersembunyi dan sangat efektif dalam meredam gelombang laut dan arus laut sehingga telur dan anak ikan tidak hanyut terbawa pasang surut air laut. Hal ini ditunjukkan adanya jenis kelompok ikan yang tertangkap yang mempunyai sifat hidup pelagis yaitu famili Mugilidae, Clupediae dan demersal yaitu famili Leiognatidae, Psettodidae. Lingkungan ekosistem mangrove menjadi tempat yang cocok bagi biota akuatik, keberadaan fauna akuatik yang tinggi banyak ditemukan pada tegakan mangrove jenis S. alba yang berada paling depan zonasi mangrove yaitu lebih dekat 78 dengan garis pantai dengan kondisi lingkungan berada di tepi tambak budidaya perikanan serta letaknya yang agak jauh dari muara sungai menyebabkan salinitas perairan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan famili kelompok ikan dominan ditemukan jenis fauna yang mempunyai sifat hidup pelagis seperti ikan seriding (Ambassis sp.) dari famili Centropomidae. Jenis fauna ini termasuk kelompok pengunjung pada periode pasang yang mempunyai kelimpahan ikan yang tinggi, sehingga menarik ikan predator untuk mencari makan seperti ikan kerong (T. jarbua) dari famili Theraponidae dan ikan gulama (S. russeli) dari famili Sciaenidae. Letaknya yang berada di bagian tengah Kawasan Teluk Pangpang menyebabkan kandungan organik lebih tinggi di perairan dengan tekstur tanah lempung berpasir. Hancuran daun dan ranting dari pohon S. alba yang lebih kecil dibandingkan Rhizophora sp. pada saat gugur kedalam air diduga lebih cepat terurai pada salinitas perairan 30-35‰ sehingga serasah daun terdekomposisi dan dimanfaatkan bagi biota akuatik. Kordi (2012), menjelaskan dekomposisi serasah daun sangat bervariasi, serasah daun yang jatuh ditempat yang kering dan perairan yang tawar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan perairan yang mempunyai kadar garam tinggi. Kondisi mangrove yang hidup dan berkembang dengan tekstur tanah lempung liat berdebu serta cenderung tidak terdapat gangguan dari aktivitas masyarakat banyak ditemukan fauna akuatik beradaptasi seperti ikan demersal dengan kondisi perairan payau yaitu salinitas 10-30 ‰. Kondisi lokasi yang lebih dekat dengan perairan air tawar seperti Sungai Setail lebih banyak menerima air tawar dari muara sungai sehingga membuat keadaan lokasi cenderung payau. Fauna 79 akuatik yang hidup harus mempunyai sifat dan batasan toleransi untuk beradaptasi sehingga fauna akuatik air laut lebih sedikit ditemukan. Ikan famili Belonidae bersifat predator sehingga ditemukan hidup di air payau yaitu bersalinitas 10-30 ‰ dengan berasosiasi pada pantai yang dangkal sebagai pemakan ikan kecil seperti ikan bedul (Gobidae), ikan pahat (Platycephalidae), dan ikan kecil lainnya. Menurut Redzeki (2013), Ikan famili Belonidae melakukan reproduksi dengan meletakkan telurnya pada substrat yang diduga diletakkan diantara vegetasi mangrove. Dominasi mangrove jenis C. tagal, B. gymnorrhiza termasuk dalam Zona Tanjang (Bruguiera) terletak di belakang Zona Bakau (Rhizophora), agak jauh dari laut dekat dengan daratan dan dalam keadaan tanah berlumpur agak keras diduga kurang memberikan fungsi ekologis dalam menyediakan makanan bagi ikan dikarenakan serasah daun yang jatuh lebih lambat terdekomposisi akibat kondisi tanah yang mempunyai tekstur lempung liat dan berdebu. Redzeki (2013), dalam penelitiannya menunjukkan komposisi ikan dan distribusinya sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik, kimia dan biologi perairan. Kelimpahan famili ikan di lokasi Rhizophora sp. lebih tinggi dibandingkan di Cyperus sp. Hal ini diduga sesuai dengan fungsi ekologis mangrove yang kaitannya dengan menyediakan makanan bagi ikan yaitu dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan daun serta berbagai jenis hewan avertebrata seperti kepiting dan serangga. Faktor penempatan alat tangkap yaitu Trapped Net (banjang) mempunyai pengaruh terhadap keberadaan fauna akuatik di ekosistem mangrove. Jumlah alat tangkap yang terlalu banyak dan berada di pesisir mangrove Teluk Pangpang diduga mengganggu keberadaan fauna akuatik menuju ke daerah mangrove untuk 80 berkembang dan memijah. Pengembangan alat tangkap ikan yang semakin banyak dan luas di pesisir mangrove menyebabkan tekanan terhadap fauna akuatik yang terus menerus dan tidak tertutup kemungkinan akan menyebabkan penurunan populasi di Kawasan Teluk Pangpang. Menurut Kordi (2012), penangkapan fauna akuatik di ekosistem mangrove yang tidak dilakukan secara selektif dapat mengganggu populasi fauna, seperti fauna akuatik yang siap matang gonad untuk memijah, sehingga tidak mempunyai kesempatan melakukan regenerasi dan semakin lama menyebabkan kepunahan. Pengelompokkan kategori sifat hidup fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang yaitu kelompok ikan dari jenis Famili Clupeidae dan Silagidae terlihat lebih melimpah dan merata karena merupakan golongan ikan pelagis yang mempunyai sifat bergerombol dan mencari jasad renik berupa plankton, cacing laut (Polychaeta), ikan dan udang kecil, serta memanfaatkan ekosistem mangrove untuk menghindari predator pada saat musim memijah. Hasil penelitian Zahid et al. (2011), menjelaskan keberadaan ekosistem mangrove di pesisir Mayangan turut berperan dalam kelimpahan spesies ikan, karena ikan tertarik memasuki ekosistem mangrove untuk berlindung dari predator. Struktur perakaran mangrove menyulitkan pergerakan predator serta tingkat kekeruhan yang tinggi menyebabkan visibilitas predator berkurang. Hasil pengamatan kelompok non ikan ditemukan famili Penaideae dan Portunidae terlihat lebih merata dan melimpah karena adanya kondisi lingkungan perairan di Kawasan mangrove Teluk Pangpang. Suhu perairan yang didapatkan masih dalam batasan toleran untuk biota laut yaitu berkisar 27 - 34 ºC sehingga sesuai dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Menurut Ulqodry et al. (2010), 81 Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air banyak dipengaruhi oleh suhu air sehingga suhu yang baik tidak kurang dari 20 ºC, sedangkan suhu yang tinggi >40 ºC cenderung mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan biota laut. Salinitas perairan Kawasan Teluk Pangpang yang didapatkan masih termasuk batas toleran yaitu berkisar 10 – 35 ‰ sehingga selain suhu, salinitas perairan merupakan faktor pembatas dalam kesesuaian fauna akuatik hidup dan berkembang biak seperti famili Panaeidae dan Portunidae yang melimpah di ekosistem mangrove. Menurut Naamin et al. (1992), Penyesuaian salinitas udang muda terlihat antara 0-3 ‰, sedangkan udang dewasa pada salinitas 7-10 ‰ yang hidup di sekitar lantai hutan mangrove. Namun secara umum udang dewasa hidup pada salinitas 27,5-35 ‰ pada perairan laut lepas. Pratiwi et al. (2013), dalam penelitiannya di Kepulauan Matasiri juga menyebutkan bahwa kepadatan tertinggi pada suku Penaeidae dan kepadatan tertinggi kedua pada suku Portunidae didaerah mangrove karena diduga merupakan daerah spawning ground (berkembang biak) bagi crustacea tertentu, kondisi lingkungan perairan yang mendukung berupa suhu optimum yang berkisar antara 25-27 ºC dan salinitas berkisar 24 - 26‰. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1. Ekosistem mangrove secara keseluruhan mempunyai tingkat keanekaragaman bervariasi dan didominasi jenis R. mucronata dari famili Rhizophoraceae dan S. alba dari famili Sonneratiaceae dengan INP tertinggi pada setiap fasenya. Hal ini dikarenakan merupakan ekosistem rehabilitasi dan ekosistem alami yang mengalami konversi seperti pengembangan budidaya perikanan. Kondisi mangrove tergolong baik, tetapi masih terjadi pelanggaran seperti penebangan dan pengambilan cacing laut yang semakin lama dapat merusak ekosistem hutan mangrove. 2. Keanekaragaman dan kemerataan fauna akuatik termasuk kriteria tinggi. Keberadaan sungai yang membawa bahan organik berupa sedimen lumpur dan dekomposisi serasah daun menyebabkan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis A.caninus dan Metapenaeus sp. Sedangkan rendahnya H.raphidea dan S.serata diduga adanya kerusakan vegetasi sehingga jarang ditemukan di ekosistem mangrove. 3. Pola penyebaran fauna akuatik erat kaitannya dengan ekosistem hutan mangrove, sehingga ditemukan pengelompokan ikan berdasarkan sifat hidupnya yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Adanya pengembangan alat tangkap ikan yang semakin banyak di pesisir mangrove menyebabkan tekanan yang terus menerus dan akan menyebabkan penurunan populasi fauna akuatik di Kawasan Teluk Pangpang. 82 83 6.2. Saran 1. Perlu adanya pengawasan dan penegakan pelanggaran seperti penebangan dan pengambilan fauna cacing laut, sesuai peraturan yang telah disepakati oleh masyarakat setempat. 2. Perlu adanya pengelolaan pengembangan alat tangkap ikan yang berada dipesisir mangrove sehingga penggunaannya ramah lingkungan dalam keberadaan fauna akuatik di kawasan mangrove. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kelimpahan plankton dan laju dekomposisi serasah daun mangrove sebagai supply makanan bagi kehidupan fauna akuatik. DAFTAR PUSTAKA Ardhana, I.P.G. 2012. Ekologi Tumbuhan. Udayana University Press. Universitas Udayana. Denpasar. Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Bengen, G.D. 2001. Ekosistem Dan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. Prosiding pelatihan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bogor. Brower, J.E., Jerrold H. Z., Car I.N. V.E., 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher, USA, New York. Bruno C, M.B. Cousseau, and C. Bremec. 1998. Contribution Of Polychaetous Annelid To The Diet Of Cheilodactylus Berghi (Pisces, Cheilodactilidae). Abstract of 6th International Polychaete Conference. Brazil. Budiman. 2006. Analisis Sebaran Ikan demersal Sebagai Basis Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Kendal. Tesis Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai.Universitas Diponegoro. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Dewantoro, G.W. 2009. Komposisi Jenis Ikan Perairan Mangrove Pada Beberapa Muara Sungai Di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang. Banten. Jurnal Fauna Tropika Vol.18 No.2, November 2009. ISSN 0215-191X. Dewantoro,G.W. 2011.Ikan Kawasan Mangrove Pada Beberapa Sungai Di Sekitar Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang: Tinjauan Musim Hujan. Jurnal Bionatura Vol.13 No.2,November 2011:217-225. Dewiyanti I, dan Yunita. 2013. Identifikasi dan Kemelimpahan Hama Penyebab Ketidakberhasilan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal : Ilmu Kelautan September 2013 Vol.18 (3):150-156.ISSN 0853-7291. Djuwito, Saputra S.W., dan Widyaningtiwi W.A. 2013. Beberapa Aspek Biologi Udang Mantis Di Perairan Cilacap, Jawa Tengah. Journal Of Management Of Aquatic Resources. Vol.2 No.2. Tahun 2013. Hal.56-64. Farimansyah. 2005. Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove dengan Sistem Empang Parit di Kabupaten Deli Serdang. Pascasarjana, USU, Medan. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). 15-21. 84 85 Gustiar, C. 2005. Analisis Kelembagaan dan Peranannya dalam Penataan Ruang di Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi.. Tesis Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB. Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Melton Putra. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Kartasapoetra, G., A. G. Kartasapoetra.,dan M. M. Sutedjo., 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta. PT. Bina Aksara. Kawaroe, M. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur Komunitas Ikan Di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Kelautan Universitas Haluoleo Kendari Vol.02 No. 03. Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.03/Menhut-II/2009 tentang Petunjuk Dana Alokasi Khusus Bidang Kehutanan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor :201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Mutu dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kordi,K.M.G.H. 2012. Ekosistem Mangrove : Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Jakarta. Penerbit: Rineka Cipta, 256 Hal. Kusmana, C., 1997. Metode Survei Vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Latupapua M.J.J.2011. Keanekaragaman Jenis Nekton di Mangrove Kawasan Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri Vol.VI No.2. Marsoedi, dan Samlawi, A. 1997. Panduan Pelatihan Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Universitas Brawijaya. Mashar, A., dan Wardiatno, Y. 2011. Distribusi Spasial Udang Mantis Harpiosquilla raphidea di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Jurnal Pertanian-UMMI.,1(1):2088-8848. Naamin, N.B. Simiono, S.Ilyas. 1992. Pedoman Teknis Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Udang Peneid Bagi Pembangunan Perikanan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.89 hal. 86 Nirarita, C.H.E., P. Wibowo, S. Susanti, D. Padmawinata, Kusmarini, M. Syarif, Y. Hendriani, Kusniangsih, L. Sinulingga. 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia. Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Bogor. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara . Jakarta : Djambatan. Noor, Y.R., Khazali M., Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. 220. Nurjanah, Abdullah A, Kustariyah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan. IPB Press. Bogor. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia. Odum, E. P., 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Edisi ketiga.Yogyakarta. Oemarjati, B. S. dan Wardhana, W., 1990. Taksonomi Avertebrata : Pengantar Praktikum Laboratorium. UI-Press. Jakarta. Ola, O.L. 2008. Kajian Dampak Pemanfaatan Hutan Mangrove Terhadap Penurunan Biota Laut Pada Ekosistem Lamun Di Kepulauan Wakatobi. Kendari. Jurnal Agriplus. Vol. 19 No. 2. ISSN 0854-0128. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.2003. Peraturan Desa Wringinputih Nomor: 03 Tahun 2003 tentang Penetapan Pengelolaan Kawasan Lindung Ekosistem Jalur Hijau Hutan Mangrove Berbasis Pada Masyarakat Setempat. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2012. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2012-2032. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2014. Forum Pengelolaan Ekosistem Esensial Lahan Basah/Kawasan Mangrove Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Wetlands International dan Balai Besar KSDA Jawa Timur. Pratiwi, R. dan Wijaya, N. I. 2013. Keanekaragaman Komunitas Krustasea Di Kepulauan Matasiri Kalimantan Selatan. Jurnal Berita Biologi 12(1)-April. Raharja, A.P., Widigdo, B., dan Sutrisno, D. 2014. Kajian Potensi Kawasan Mangrove di Kawasan Pesisir Teluk Pangpang, Banyuwangi. Bogor. Jurnal : Depik, 3(1) :36-45. ISSN 2089-7790. Redzeki, S. 2013. Komposisi dan Kelimpahan Ikan di Ekosistem Mangrove di Kedungmalang, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol.18 (1):54-60- Maret. 87 Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI,Jakarta: 527 hal. Rusgiyono, A. 2010. Analisis Koresponden Untuk Pemetaan Persepsi. Jurnal Media Statistika, Vol.03,No.2, Desember 2010. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan Jilid II . Jakarta: Bina Cipta. Santono, N., Bayu, C.N., Ahmad, F.S, dan Ida, F. 2005. Resep Makanan Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Mangrove. Setiawan, H. 2013. Status Ekologi Hutan Mangrove Pada Berbagai Tingkat Ketebalan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. Vol. 02 No.02.:104 -120. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional. Soegiarto, A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta. Lembaga Oseanologi Nasional. Sudarmadji dan Indarto. 2011. Identifikasi Lahan Dan Potensi Hutan Mangrove Di Bagian Timur Propinsi Jawa Timur. Bonorowo Wetlands, 1(1), 7-13. Sugiarto dan Willy, E. 2003. Penghijauan Pantai. Jakarta: Penebar Swadaya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.. Jakarta: Alfabeta. Supardjo, M.N. 2008. Identifikasi Vegetasi mangrove Di Segoro Anak Selatan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi Jawa Timur. Jurnal Saintek Perikanan Vol.03 No.02 2008 : 9-15 Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya hayati di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa: Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Tjahjo D.W dan Riswanto.2011. Peran Laguna Segara Anakan Sebagai Sumber Rekruitmen Udang Dan Ikan. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumber Daya Ikan III. 88 Ulqodry, T.Z., Bengen, D.G.,Kaswadji, R.F. 2010. Karakteristik Perairan Mangrove Tanjung Api-Api Sumatera Selatan Berdasarkan Sebaran Parameter Lingkungan Perairan Dengan Menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA). Maspari Journal 01 (2010) 16-21. Viqi, A. 2012. Keanekaragaman Jenis Ikan Di Blok Bedul Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Jember. Widodo, Salim. S., Tapsirin dan Soewito. 1999. Sumberdaya Perikanan Demersal di Perairan Arafura dan Sekitarnya. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang. Zahid, A., Simanjuntak, C. P. H., M. F. Rahardjo, Sulistiono. 2011. Iktiofauna Ekosistem Estuari Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(1):77-85. 89 Lampiran 1. Hasil Pengamatan Vegetasi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Jumlah Petak (Pohon) Contoh 13 1 Lmk. 42 JUMLAH Luas Keliling Diameter LBD (K-i) (KR-i) cm cm m (m2) (pohon/ha) (%) (F-i) (petak contoh) 0,0004 2,00 0,64 0,0064 0,00003 32.500,00 23,64 0,33 33,33 0,08 11,11 68,08 0,34 2 0,0008 4,00 1,27 0,0127 0,00013 105.000,00 76,36 0,67 66,67 0,64 88,89 231,92 0,21 55 3 0,0012 6,00 3,00 0,0191 0,00016 137.500,00 100,00 1,00 100,00 0,72 100,00 300,00 0,55 21 3 0,0300 8,26 2,63 0,0263 0,00054 700,00 42,86 0,43 42,86 7,99 43,08 128,80 0,36 25 3 0,0300 7,97 2,54 0,0254 0,00051 833,33 51,02 0,43 42,86 10,54 56,85 150,73 0,34 Bl. 1 1 0,0100 4,00 1,27 0,0127 0,00013 100,00 6,12 0,14 14,29 0,01 0,07 20,48 0,17 JUMLAH 47 7 0,0700 20,23 6,44 0,0644 0,00118 1.633,33 100,00 1,00 100,00 18,54 100,00 300,00 0,88 87 4 0,0400 22,22 7,08 0,0708 0,00393 2.175,00 35,65 0,31 30,77 743,88 41,26 107,67 0,37 138 5 0,0500 17,29 5,51 0,0551 0,00238 2.760,00 45,23 0,38 38,46 906,15 50,26 133,95 0,36 32 3 0,0300 23,72 7,55 0,0755 0,00448 1.066,67 17,48 0,23 23,08 152,93 8,48 49,04 0,30 1 1 0,0100 11,40 3,63 0,0363 0,00103 100,00 1,64 0,08 7,69 0,10 0,01 9,34 0,08 258 13 0,1300 74,63 23,77 0,2377 0,01183 6.101,67 100,00 1,00 100,00 1803,06 100,00 300,00 1,11 Stasiun I (FR-i) (C-i) (CR-i) INP-i (%) (m2) (%) (%) (H') Semai (2 m x 2 m) Sonneratia alba J.E. Smith. Rhizophora mucronata Pancang (5 m x 5 m) Sonneratia alba J.E. Smith. Rhizophora mucronata Lmk. Rhizophora apiculata Pohon (10 m x 10 m) Sonneratia alba J.E. Smith. Rhizophora mucronata Lmk, Rhizophora apiculata Bl. Avicennia marina (Forsk.) JUMLAH 90 Lanjutan Lampiran 1. Jumlah Petak Luas Keliling Diameter LBD (K-i) (KR-i) cm cm m (m2) (pohon/ha) (%) (F-i) (petak contoh) 0,0008 61,00 19,43 0,1943 0,02963 15.000,00 37,50 0,5 50,00 37,03 53,39 140,89 0,37 2 0,0008 57,00 18,15 0,1815 0,02587 25.000,00 62,50 0,5 50,00 32,33 46,61 159,11 0,29 32,00 4,00 0,0016 118,00 37,58 0,38 0,0555 40.000,00 100,00 1,00 100,00 69,37 100,00 300,00 0,66 Pancang (5 m x 5 m) Sonneratia alba J.E. Smith. 34 3 0,0075 223,50 71,18 0,7118 0,39771 4.533,33 41,46 0,60 60,00 53,03 66,55 168,01 0,37 Rhizophora mucronata Lmk. 12 1 0,0025 88,00 28,03 0,2803 0,06166 4.800,00 43,90 0,20 20,00 24,66 30,95 94,85 0,36 Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob. 4 1 0,0025 25,00 7,96 0,0796 0,00498 1.600,00 14,63 0,20 20,00 1,99 2,50 37,13 0,28 50,00 5,00 0,01 336,50 107,17 1,07 0,4643 10.933,33 100,00 1,00 100,00 79,68 100,00 300,00 1,01 Pohon (10 m x 10 m) Sonneratia alba J.E. Smith. 124 4 0,0400 3041,00 968,47 9,6847 73,62803 3.100,00 65,38 0,36 36,36 1840,70 90,99 192,73 0,28 Rhizophora mucronata Lmk. 51 4 0,0400 956,00 304,46 3,0446 7,27656 1.275,00 26,89 0,36 36,36 181,91 8,99 72,25 0,35 Rhizophora apiculata 3 3 0,0300 35,00 11,15 0,1115 0,00975 366,67 7,73 0,27 27,27 0,33 0,02 35,02 0,20 276 18 0,1800 97,02 48,51 12,8408 80,9143 4.741,67 100,00 1,00 100,00 2,022,94 100,00 300,00 0,84 Stasiun II (Pohon) Contoh Semai (2 m x 2 m) Sonneratia alba J.E. Smith. 12 2 Rhizophora mucronata Lmk. 20 JUMLAH JUMLAH JUMLAH (FR-i) (C-i) (CR-i) INP-i (%) (m2) (%) (%) (H') 91 Lanjutan Lampiran 1. Jumlah Petak (Pohon) Contoh 60 2 3 63 Luas Keliling Diameter LBD (K-i) (KR-i) cm cm m (m2) (pohon/ha) (%) (F-i) (petak contoh) 0,0008 62,40 19,87 0,1987 0,03100 75000,00 95,24 0,67 66,67 38,75 97,96 259,87 0,05 1 3 0,0008 0,0016 9,00 4,04 2,87 2,02 0,0287 0,2274 0,00064 0,03165 3750,00 78750,00 4,76 100,00 0,33 1,00 33,33 100,00 0,81 39,56 2,04 100,00 40,13 300,00 0,15 0,20 5 1 0,0025 39,80 12,68 0,1268 0,01261 2000,00 18,18 0,14 14,29 5,04 13,20 45,67 0,31 2 2 0,0050 15,00 4,78 0,0478 0,00179 400,00 3,64 0,29 28,57 0,36 0,94 33,15 0,13 13 2 0,0050 93,70 29,84 0,2984 0,06990 2600,00 23,64 0,29 28,57 13,98 36,59 88,80 0,34 12 1 0,0025 72,80 23,18 0,2318 0,04220 4800,00 43,64 0,14 14,29 16,88 44,18 102,10 0,36 3 35 1 7 0,0025 0,0175 24,70 36,97 7,87 18,48 0,0787 0,7834 0,00486 0,13136 1200,00 11000,00 10,91 100,00 0,14 1,00 14,29 100,00 1,94 38,20 5,09 100,00 30,28 300,00 0,24 1,38 61 3 0,0300 1481,30 471,75 4,7175 17,47014 2033,00 27,98 0,21 21,43 582,34 60,05 109,46 0,36 14 2 0,0200 218,40 69,55 0,6955 0,37977 700,00 9,63 0,14 14,29 18,99 1,96 25,88 0,22 22 2 0,0200 673,00 214,33 2,1433 3,60612 1100,00 15,14 0,14 14,29 180,31 18,59 48,02 0,28 34 3 0,0300 509,10 162,13 1,6213 2,06356 1133,33 15,60 0,21 21,43 68,79 7,09 44,12 0,29 8 1 0,0100 147,10 46,85 0,4685 0,17228 800,00 11,01 0,07 7,14 17,23 1,78 19,93 0,24 20 2 0,0200 427,80 136,24 1,3624 1,45711 1000,00 13,76 0,14 14,29 72,86 7,51 35,56 0,28 5 1 0,0100 191,50 60,99 0,6099 0,29198 500,00 6,88 0,07 7,14 29,20 3,01 17,03 0,19 164,00 14,00 0,14 3,648,20 1,161,85 11,62 25,44 7,266,33 100,00 1,00 100,00 969,70 100,00 300,00 1,86 Stasiun III Semai (2 m x 2 m) Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob. Acanthus ilicifolius L. JUMLAH Pancang (5 m x 5 m) Sonneratia alba J.E. Smith. Rhizophora mucronata Lmk. Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Avicennia marina (Forsk.) JUMLAH Pohon (10 m x 10 m) Sonneratia alba J.E. Smith. Rhizophora mucronata Lmk. Rhizophora apiculata Bl. Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Avicennia marina (Forsk.) Xylocarpus moluccencis JUMLAH (FR-i) (C-i) (CR-i) INP-i (%) (m2) (%) (%) (H') 92 Lampiran 2. Hasil Pengamatan Fauna Akuatik di Kawasan Teluk Pangpang No Stasiun I Bulan Jumlah/kelimpahan Kelimpahan Indeks Indeks Berat/biomassa Desember Januari Februari (individu) relative (%) Keanekaragaman (H') Kemerataan (E') X (gram) Kelompok Ikan 1 Valamugil seheli 20,00 15,00 17,00 52,00 3,14 0,11 0,05 23,20 1.206,40 2 Leiognathus equulus 122,00 150,00 60,00 332,00 20,06 0,32 0,13 11,34 3.764,88 3 Acentrogobius caninus 120,00 150,00 50,00 320,00 19,34 0,32 0,13 38,60 12.352,00 4 Thryssa baelama 124,00 145,00 50,00 319,00 19,27 0,32 0,13 16,86 5.378,34 5 Stolephorus indicus 124,00 56,00 21,00 201,00 12,15 0,26 0,11 6,62 1.330,62 6 Sardinella lemuru 68,00 34,00 - 102,00 6,16 0,17 0,07 14,32 1.460,64 7 Platycephalus scaber 9,00 12,00 10,00 31,00 1,87 0,07 0,03 7,10 220,10 8 Ambassis sp 30,00 34,00 21,00 85,00 5,14 0,15 0,06 3,40 289,00 9 Psettodes erumei 62,00 50,00 25,00 137,00 8,28 0,21 0,09 22,40 3.068,80 10 Therapon jarbua 8,00 5,00 - 13,00 0,79 0,04 0,02 57,10 742,30 11 Sillago sihama 16,00 32,00 15,00 63,00 3,81 0,12 0,05 37,60 2.368,80 1.655,00 100,00 2,09 0,87 Jumlah 32.181,88 Kelompok Non Ikan 1 Harpiosquilla raphidea 16,00 15,00 10,00 41,00 2,64 0,10 0,05 5,70 233,70 2 Penaeus merguiensis 53,00 35,00 30,00 118,00 7,61 0,20 0,10 12,85 1.516,30 3 Metapenaeus sp. 380,00 254,00 50,00 684,00 44,10 0,36 0,19 2,80 1.915,20 4 Panaeus monodon 158,00 150,00 49,00 357,00 23,02 0,34 0,17 7,14 2.548,98 5 Thalamita sima 43,00 55,00 30,00 128,00 8,25 0,21 0,11 13,30 1.702,40 6 Scylla serata 47,00 25,00 10,00 82,00 5,29 0,16 0,08 12,84 1.052,88 7 Portunus pelagicus 35,00 56,00 50,00 141,00 9,09 0,22 0,11 42,20 5.950,20 1.551,00 100,00 1,57 0,81 Jumlah Jumlah Total 1.435,00 1.273,00 498,00 3.206,00 14.919,66 47.101,54 93 Lanjutan Lampiran 2. No Stasiun II Bulan Jumlah/kelimpahan Kelimpahan Indeks Indeks Berat/biomassa Desember Januari Februari (individu) relative (%) Keanekaragaman (H') Kemerataan (E') X (gram) Kelompok Ikan 1 Valamugil seheli 12,00 18,00 8,00 38,00 3,45 0,12 0,04 67,25 2.555,50 2 Leiognathus equulus 56,00 47,00 45,00 148,00 13,43 0,27 0,10 3,22 476,56 3 Acentrogobius caninus 42,00 19,00 42,00 103,00 9,35 0,22 0,08 14,28 1.470,84 4 Thryssa baelama 56,00 22,00 58,00 136,00 12,34 0,26 0,10 24,50 3.332,00 5 Stolephorus indicus 24,00 12,00 34,00 70,00 6,35 0,18 0,07 13,86 970,20 6 Sardinella lemuru 70,00 42,00 - 112,00 10,16 0,23 0,09 18,20 2.038,40 7 Platycephalus scaber 25,00 28,00 5,00 58,00 5,26 0,15 0,06 52,50 3.045,00 8 Ambassis sp 168,00 35,00 50,00 253,00 22,96 0,34 0,13 3,68 931,04 9 Psettodes erumei 28,00 23,00 5,00 56,00 5,08 0,15 0,06 4,15 232,40 10 Therapon jarbua 2,00 7,00 12,00 21,00 1,91 0,08 0,03 31,50 661,50 11 Polynemus plebeius 3,00 - 5,00 8,00 0,73 0,04 0,01 21,70 173,60 12 Tylosurus strongylurus 4,00 3,00 - 7,00 0,64 0,03 0,01 17,20 120,40 13 Sciaena russeli 8,00 9,00 - 17,00 1,54 0,06 0,02 88,20 1.499,40 14 Sillago sihama 14,00 47,00 14,00 75,00 6,81 0,18 0,07 13,77 1.032,75 1.102,00 100,00 2,31 0,87 Jumlah 18.539,59 Kelompok Non Ikan 1 Harpiosquilla raphidea 26,00 54,00 18,00 98,00 7,12 0,19 0,10 8,00 784,00 2 Penaeus merguiensis 133,00 127,00 109,00 369,00 26,80 0,35 0,20 8,27 3.051,63 3 Metapenaeus sp. 252,00 137,00 188,00 577,00 41,90 0,36 0,20 6,14 3.542,78 4 Panaeus monodon 54,00 47,00 40,00 141,00 10,24 0,23 0,13 3,90 549,90 5 Thalamita sima 24,00 19,00 45,00 88,00 6,39 0,18 0,10 19,48 1.714,24 6 Portunus pelagicus 25,00 45,00 34,00 104,00 7,55 0,20 0,11 47,10 4.898,40 1.377,00 100,00 1,51 0,84 Jumlah Jumlah Total 1.026,00 741,00 694,00 2.479,00 14.540,95 33.080,54 94 Lanjutan Lampiran 2. No Stasiun III Bulan Jumlah/kelimpahan Kelimpahan Indeks Indeks Berat/biomassa Desember Januari Februari (individu) relative (%) Keanekaragaman (H') Kemerataan (E') X (gram) Kelompok Ikan 1 Valamugil seheli 5,00 3,00 1,00 9,00 0,67 0,03 0,01 80,00 720,00 2 Leiognathus equulus 13,00 37,00 25,00 75,00 5,60 0,16 0,07 4,29 321,75 3 Acentrogobius caninus 254,00 180,00 118,00 552,00 41,19 0,37 0,15 8,11 4.476,72 4 Thryssa baelama 19,00 105,00 24,00 148,00 11,04 0,24 0,10 4,71 697,08 5 Stolephorus indicus 25,00 168,00 50,00 243,00 18,13 0,31 0,13 2,08 505,44 6 Sardinella lemuru 32,00 75,00 - 107,00 7,99 0,20 0,08 13,40 1.433,80 7 Platycephalus scaber 19,00 30,00 25,00 74,00 5,52 0,16 0,07 21,63 1.600,62 8 Psettodes erumei 22,00 9,00 21,00 52,00 3,88 0,13 0,05 15,32 796,64 9 Therapon jarbua 4,00 3,00 - 7,00 0,52 0,03 0,01 54,50 381,50 10 Tylosurus strongylurus - 5,00 15,00 20,00 1,49 0,06 0,03 6,25 125,00 11 Sillago sihama 9,00 19,00 25,00 53,00 3,96 0,13 0,05 15,25 808,25 1.340,00 100,00 1,82 0,76 Jumlah 11.866,80 Kelompok Non Ikan 1 Harpiosquilla raphidea 15,00 12,00 19,00 46,00 4,12 0,13 0,07 3,03 139,38 2 Penaeus merguiensis 19,00 37,00 42,00 98,00 8,78 0,21 0,11 7,85 769,30 3 Metapenaeus sp. 141,00 280,00 254,00 675,00 60,48 0,30 0,16 7,94 5.359,50 4 Panaeus monodon 21,00 38,00 35,00 94,00 8,42 0,21 0,11 25,00 2.350,00 5 Thalamita sima 25,00 19,00 11,00 55,00 4,93 0,15 0,08 15,10 830,50 6 Scylla serata 12,00 32,00 15,00 59,00 5,29 0,16 0,08 81,73 4.822,07 7 Portunus pelagicus 32,00 40,00 17,00 89,00 7,97 0,20 0,10 31,02 2.760,78 1.116,00 100,00 1,36 0,70 2.456 545,78 Jumlah Jumlah Total 667,00 1.092,00 697,00 17.031,53 28.898,33 95 Lampiran 3. Dokumentasi Kondisi Mangrove di Kawasan Teluk Pangpang Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun I Lokasi Tepi Laut Berbatasan Sungai Bagian Tengah Hasil Rehabilitasi Bagian Tepi yang ditanami Mangrove Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun II Bagian Tepi Laut Berbatasan Sungai Bagian Tengah Hasil Rehabilitasi Bagian Tepi Pesisir Berdekatan Tambak Kondisi Lokasi Mangrove Stasiun III Bagian Tepi Laut Berbatasan Sungai Bagian Tengah di Tambak yang Rusak Bagian Tepi yang ditumbuhi Mangrove 96 Lampiran 4. Dokumentasi Kondisi Fauna Akuatik dan Perairan di Kawasan Teluk Pangpang Hasil Tangkapan Fauna Akuatik Pengukuran pH Ambassis sp Sillago sihama Penyortiran Fauna Akuatik Pengukuran Salinitas Acentrogobius caninus Psettodes erumei Pengukuran Suhu Pengukuran Tekstur Tanah Leiognathus equulus Polydactylus plebeius Platycephalus scaber 97 Lanjutan Lampiran 4. Valamugil seheli Sardinella lemuru Harpiosquilla raphidea Portunus pelagicus Terapon jarbua Thryssa baelama Penaeus monodon Scylla serata Tylosurus strongylurus Metapenaeus sp. Penaeus merguiensis Thalamita sima 98 Lampiran 5. Panduan Pasang Surut Kedalaman Air Laut di Banyuwangi 99 Lanjutan Lampiran 5. Ket: : Keadaan Air Pasang Tinggi : Pengambilan Sampel Fauna Akuatik 100 Lampiran 6. Famili Fauna Akuatik Berdasarkan Hasil Tangkapan No 1. Familia Mugilidae Spesies Valamugil seheli Nama Lokal Stasiun I II III 52 38 9 Pelagis 52 38 9 332 148 75 332 148 75 320 103 552 320 103 552 Ikan Liplip 319 136 148 Pelagis Ikan Teri 201 70 243 Pelagis Ikan Lemuru 102 112 107 Pelagis 662 318 498 31 58 74 31 58 74 85 253 - 85 253 - 137 56 52 137 56 52 13 21 7 13 21 7 - 8 - - 8 - - 7 20 - 7 20 - 17 - - 17 - 63 75 53 63 75 53 41 98 46 41 98 46 Ikan Belanak Jumlah 2. Leiognathidae Leiognathus equulus Ikan Petek Jumlah 3. Gobiidae Acentrogobius caninus Ikan Bedul Jumlah 4. Clupeidae Thryssa baelama Stolephorus indicus Sardinella sp. Jumlah 5. Platycephalidae Platycephalus scaber Ikan Pahat Jumlah 6. Centropomidae Ambassis sp. Ikan Siriding Jumlah 7. Psettodidae Psettodes erumei Mata Sebelah Jumlah 8. Theraponidae Therapon jarbua Ikan Kerong Jumlah 9. Polynemidae Polynemus plebeius Ikan Sumbal Jumlah 10. Belonidae Tylosurus strongylurus Ikan Kacangan Jumlah 11. Sciaenidae Sciaena russeli Ikan Gulamah Jumlah 12. Sillaginidae Sillago sihama Ikan Lojung Jumlah 13. Squillidae Harpiosquilla raphidea Udang Mantis Jumlah 14. Penaeidae Portunidae Demersal Demersal Demersal Pelagis Demersal Demersal Pelagis Pelagis Demersal Pelagis - Penaeus merguiensis Udang Manis 118 369 98 - Metapenaeus sp. Udang Werus 684 577 675 - Panaeus monodon Udang Windu 357 141 94 - 1159 1069 867 Kepiting Batu 128 88 55 - Kepiting Bakau 82 - 59 - Kepiting 141 104 89 - 351 192 203 Jumlah 15. Sifat Hidup Thalamita sima Scylla serata Portunus pelagicus Rajungan Jumlah 101 Lampiran 7. Hasil Pengolahan Analisis Korespondensi Kondisi Famili Fauna Akuatik Output - 1 Case Processing Summary Cases Valid Missing N Percent N Percent 8123 100,0% 0 ,0% Stasiun * Jenis Total N Percent 100,0% 8123 Output – 2 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square 1264,465(a) Likelihood Ratio 1468,723 Linear-by-Linear Association ,011 N of Valid Cases 8123 df Asymp. Sig. (2-sided) 28 28 1 ,000 ,000 ,918 Interpretsi: Hasil pengujian independensi untuk mengetahui kebebasan antar kategori berupa uji Pearson Chi-Sguare (uji Chi-kuadrat) didapatkan nilai signifikansi (Asymp. Sig) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05. Hasil stastistik menunjukkan dengan koefisien taraf nyata 5% didapatkan adanya hubungan antara variabel kategori stasiun penelitian dengan variabel kategori famili fauna akuatik yang memiliki kecenderungan untuk saling terkait. Output – 3 Stasiun * Jenis Crosstabulation 1 Stasiun 1 Count Expected Count 2 Count Expected Count 3 Count Total Expected Count Count Expected Count Famili fauna akuatik (individu) 6 7 8 9 10 5 Total 2 3 4 11 12 13 52 332 320 622 31 85 137 13 0 0 0 63 41 39,1 219,0 384,8 567,6 64,3 133,4 96,7 16,2 3,2 10,7 6,7 75,4 73,0 38 223 103 318 58 253 56 21 8 7 17 75 30,9 173,3 304,4 448,9 50,9 105,5 76,5 12,8 2,5 8,4 5,3 9 0 552 498 74 0 52 7 0 20 29,0 162,7 285,8 421,5 47,8 99,1 71,8 12,0 2,3 99 555 975 163 338 245 41 99,0 555,0 975,0 1438 1438, 0 163,0 338,0 245,0 41,0 14 15 351 3206 294,4 3206,0 98 1159 1221, 5 1069 192 2536 59,6 57,8 966,3 232,9 2536,0 0 53 46 867 203 2381 7,9 5,0 56,0 54,2 907,2 218,7 2381,0 8 27 191 185 8123 27,0 191,0 185,0 3095 3095, 0 746 8,0 17 17, 0 746,0 8123,0 Keterangan : 1 : Mugilidae; 2 : Leiognathidae; 3 : Gobiidae; 4 : Clupeidae; 5 : Platycephalidae; 6 : Centropomidae; 7 : Psettodidae; 8 : Theraponidae; 9 : Polynemidae; 10 : Belonidae; 11 : Scevinidae;12 : Sillagidae; 13: Squillidae; 14 : Penaeidae; 15: Portunidae Interpretasi: Menunjukkan informasi mengenai nilai observasi (count) dan nilai harapan (expected count) dari masing-masing sel. Besaran selisih antara nilai observasi dengan nilai harapan dalam sel yang sama digunakan sebagai petunjuk profil famili fauna akuatik dan profil stasiun penelitian yang mana saling terkait. Output - 4 Correspondence Table Stasiun 1 2 3 Active Margin Interpretasi: Famili fauna akuatik (individu) 1 52 38 9 2 332 223 0 3 320 103 552 4 622 318 498 5 31 58 74 6 85 253 0 7 137 56 52 8 13 21 7 9 0 8 0 10 0 7 20 11 0 17 0 12 63 75 53 13 41 98 46 14 1159 1069 867 15 351 192 203 Active Margin 3206 2536 2381 99 555 975 1438 163 338 245 41 8 27 17 191 185 3095 746 8123 102 Menunjukkan data penjumlahan jumlah hasil tangkapan per ekor di setiap stasiun penelitian yang berguna untuk melihat kembali apakah data yang dimasukkan tidak ada kesalahan. Output - 5 Overview Row Points(a) Stasiun Mass Score in Dimension 1 Inertia Contribution Of Point to Inertia of Dimension 2 1 Of Dimension to Inertia of Point 2 1 2 Total 1 ,395 ,060 ,539 ,022 ,004 ,601 ,022 ,978 1,000 2 ,312 ,690 -,396 ,061 ,431 ,257 ,846 ,154 1,000 3 ,293 -,816 -,304 ,073 ,565 ,142 ,929 ,071 1,000 ,156 1,000 1,000 Active Total 1,000 Interpretasi: Menunjukan informasi mengenai koefisien profil baris hasil penguraian nilai singular (Singular Value Decomposition). Koefisien baris ini digunakan untuk menggambarkan masing-masing kategori baris dalam peta (mapping) pola sebaran stasiun penelitian. Output - 6 Overview Column Points(a) Famili Mass Score in Dimension 1 Inertia Contribution Of Point to Inertia of Dimension 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Active Total ,012 ,068 ,120 ,177 ,020 ,042 ,030 ,005 ,001 ,003 ,002 ,024 ,023 ,381 ,092 1,000 ,644 ,907 -1,069 -,301 -,328 1,540 ,052 ,675 1,999 -1,232 1,999 ,187 ,510 ,094 -,047 ,542 ,856 -,194 ,211 -,925 -,844 ,767 -,440 -2,077 -1,718 -2,077 -,326 -,870 -,105 ,362 2 Of Dimension to Inertia of Point 1 ,002 ,029 ,048 ,007 ,004 ,040 ,003 ,001 ,002 ,004 ,005 ,001 ,005 ,002 ,002 ,015 ,163 ,397 ,046 ,006 ,286 ,000 ,007 ,011 ,015 ,024 ,002 ,017 ,010 ,001 ,019 ,262 ,024 ,042 ,090 ,156 ,093 ,005 ,022 ,051 ,047 ,013 ,090 ,022 ,063 ,156 1,000 1,000 2 ,718 ,670 ,982 ,786 ,186 ,858 ,008 ,810 ,626 ,482 ,626 ,373 ,383 ,588 ,029 ,282 ,330 ,018 ,214 ,814 ,142 ,992 ,190 ,374 ,518 ,374 ,627 ,617 ,412 ,971 Total 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Interpretasi: Menunjukan informasi mengenai koefisien profil kolom hasil penguraian nilai singular (Singular Value Decomposition). Koefisien kolom ini digunakan untuk menggambarkan masing-masing kategori kolom dalam peta (mapping) pola sebaran fauna akuatik di setiap stasiun penelitian . Output - 7 Hasil output peta (mapping) pola sebaran fauna akuatik berdasarkan jumlah hasil tangkapan famili akuatik per ekor di setiap stasiun penelitian. Berdasarkan hubungan antara variabel dilakukan pengelompokkan di setiap kuadran yang memiliki kedekatan variabel stasiun penelitian dengan variabel famili fauna akuatik (Gambar 5.8). 103 Lampiran 8. Rekomendasi Izin Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik