Perkembangan Hutan Mangrove di Muara Kali Porong Tahun 2003 – 20091 Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumber daya alam yang sangat potensial. Mangrove dapat didefinisikan juga sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas (Tomlinson, 1986; Wightman, 1989), sedangkan Saengar et al, (1983) menjelaskan bahwa mangrove merupakan tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung. Nybakken (1992) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Sedangkan Santoso (2000) menyatakan bahwa ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau. Ekosistem mangrove yang terjadi adalah unik karena perpaduan antara habitat-habitat yang bertentangan adalah unik. Untuk menghadapi lingkungan yang unik ini, jasad-jasad hidup yang hidup di lingkungan ini telah mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang unik tersebut. Ekosistem mangrove terdapat dua bagian, bagian darat dan bagian perairan. Bagian perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut. Ekosistem mangrove terkenal produktif, rapuh dan penuh sumber daya (Kasijan dan Juwana, 2005). Manfaat dan Fungsi Mangrove Mangrove mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat banyak bagi kehidupan manusia. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi multiguna baik jasa biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan; serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya. Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang, memperlambat arus pasang surut, menahan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat. Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari makan bagi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, seperti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasma nutfah. 1 Bagian dari Kajian Sebaran Lumpur dan Perubahan Dasar Perairan Akibat Semmburan Lumpur Sidoarjo Menggunakan Model Numerik, Balai Riset dan Observasi Kelautan, BRKP, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009). Mangrove juga mempunyai manfaat ekonomis bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar, et al, 1992; Burhanuddin, 1993). Selain itu beberapa jenis ikan juga akan sangat tergantung sekali pada ekosistem mangrove (Djamali, 1991). Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) serta ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan ikan yang sangat tergantung sekali dengan ekosistem mangrove. Produksi serasah mangrove mempunyai arti penting dalam hal kesuburan ekosistem pesisir, bahkan mangrove dianggap yang paling produktif dalam kesuburan perairan pesisir (Odum et al., 1974) Pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh masyarakat sebagai kayu bakar dan bahan bangunan sudah lama digunakan oleh masyarakat . Bahkan pemanfaatan mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit dan juga arang (Rusila Noor et a.l, 1999). Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal, dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan. Mangrove memainkan peran sangat penting dalam melindungi daerah pesisir. Peran penting itu antara lain melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dalam melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang. Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove sebagai pembentuk lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi keseluruhan dapat menjadi perangkap sedimen (Othman, 1994). Satu hal penting adalah bahwa vegetasi mangrove mempunyai peranan besar dalam hal mempertahankan lahan yang telah dikolonisasinya, terutama dari ombak dan arus. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove, peranan mangrove sangat besar dalam mempertahankan pulau tersebut. Sebaliknya, pada pulau yang hilang mangrove-nya, pulau tersebut mudah disapu ombak dan arus musiman (Chambers, 1980). Ekologi dan Adaptasi Mangrove Karakteristik mangrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus Rhizopora, akar napas (pneumatophores) pada genus Avicennia dan Sonneratia; akar lutut (knee roots) pada genus Bruguiera; dan akar papan (plank roots) yang dijumpai pada genus Xylocarpus. Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan pola zonasi. Chapman (1997), Bunt dan Willliams (1981) menyebutkan bahwa kekhasan itu sangat berkaitan sekali dengan tipe tanah, keterbukaan, salinitas, serta pengaruh pasang surut. Sebagian mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977). Substrat berlumpur sangat baik sekali untuk Rhizophora mucronata dan Avicennia (Kint, 1934 in Rusila Noor et al., 1999).Substrat berbatu baik sekali untuk tumbuhnya R. stylosa dan Sonneratia alba. Berbeda dengan Rhizophora stylosa, vegetasi ini sangat baik tumbuh pada substrat berpasir. Jenis Halimeda sangat cocok pada pulau yang memiliki pecahan karang dan kerang (Ding Hou, 1958). Salinitas juga sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove melakukan adaptasi terhadapa salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya memiliki sel-sel khusus dalam daun yang secara selektif mampu menghindari 2 penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar pada daunnya guna mengatur keseimbangan garam (Bengen, 2001). Beberapa dari mangrove juga memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Pada salinitas ekstrim, pohon akan tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah akan menghilang. Avicennia mempunyai kisaran toleransi yang sangat luas dibanding dengan spesies lainnya. A. marina mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90‰ (MacNae, 1968). Sonneratia ditemui hidup di daerah dengan salinitas mendekati air laut, kecuali S. Caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10‰. Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40‰, Rhizophora mucronota dan R. stylosa pada salinitas 55‰, Ceriops tagal pada salinitas 60‰ dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90‰ (Chapman, 1977). Pasang surut sangat mempengaruhi dari zonasi vegetasi mangrove. Terdapat korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut dan frekuensi banjir (Van Steenis, 1958). Avicennia alba dan Sonneratia alba dapat tumbuh pada areal yang selalu tergenangi walaupun pada saar pasang rendah (Bengen, 2001). Areal yang digenangi pasang sedang didominasi oleh jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, di mana areal ini lebih ke daratan, didominasi oleh jenis Bruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea (Rusila Noor, 1999). Adaptasi mangrove terhadap kadar oksigen rendah berdasarkan Bengen (2001) yaitu mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas: (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora yang sebagai pensuplai oksigen dari udara terdapat pada Avicennia, Xylocarpus, dan Sonneratia, (2) tipe penyangga/ tongkat yang mempunyai lentisel, terdapat pada Rhyzophora. Fisika-Kimia Sedimen di Muara Kali Porong di masa mendatang Hutan mangrove yang ada disekitar muara Porong sangat beragam, mulai dari jarang sampai rapat. Umumnya distribusi dari zonasi mangrove bisa terlihat mulai dari daerah pesisir sampai ke daratan. Daerah muara di mana terjadi endapan lumpur biasanya lebih banyak ditumbuhi mangrove dibandingkan daerah lain, karena unsur hara yang terbawa dari sungai terkumpul. Pada tahun 2003 mangrove yang ada di sekitar muara Kali Porong banyak dijumpai di daerah muara Kali Ketapang, muara sungai Kali Porong bagian utara dan daerah pesisir Sidoarjo. Kemudian jika dilihat pada tahun 2007, vegetasi mangrove yang ada di muara Kali Porong jauh lebih sedikit dibandingkan pada tahun 2009 (warna merah pada citra menunjukkan tingkat kerapatan mangrove). Adanya penampungan lumpur (spoil bank) di daerah muara Kali Porong menyebabkan terhalanginya arus yang datang dari Selat Madura. Hempasan udara yang dari utara menuju mangrove bisa berkurang. Umumnya daya ikat oksigen terjadi lebih baik pada substrat berukuran besar (pasir) dibandingkan dengan substrat dengan ukuran kecil atau halus (lumpur). Namun, kemampuan lumpur dalam mengikat zat hara jauh lebih tinggi dibandingkan pasir. Jika dilihat dari tempat idealnya, maka ekosistem mangrove akan tumbuh subur pada daerah muara dengan tipe substrat berlumpur tanah liat bercampur bahan organik; akan tetapi bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya. Perbedaan antara karakteristik pasir dan lumpur disajikan pada tabel di bawah ini: 3 Karakteristik Substrat Pasir Lumpur Infiltrasi Tinggi Rendah Porositas Tinggi Rendah Permeabilitas Tinggi Rendah Kecepatan pengeringan Tinggi Rendah Kapasitas menahan air Rendah Tinggi Kemampuan menahan garam Rendah Tinggi Cepat Lambat Rendah Tinggi Pencucian (leaching) Kapilaritas Sumber: Hutchings dan Saenger (1987) Menurut Dahuri (2003), pasokan air tawar dan salinitas juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pengendalian efisiensi metabolisme mangrove. Ketersediaan air tawar sangat tergantung dari (1) Frekuensi dan volume sistem sungai dan irigasi darat, (2) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, serta (3) tingkat penguapan ke atmosfir. Meskipun spesies mangrove memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun demikian, bila tidak tersedia suplai air tawar, hal ini akan menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan hidupnya. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan terjadinya modifikasi masukan air tawar yang tidak hanya menyebabkan perubahan kadar garam, tetapi juga dapat merubah aliran nutrien dan sedimen ke ekosistem mangrove. Kestabilan substrat juga mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove. Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen yang dipengaruhi oleh pergerakkan angin, sirkulasi pasang surut, partikel tersuspensi, dan kecepatan aliran air tawar. Gerakan air yang lambat akan menyebabkan partikel sedimen halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Karena gerakan air yang lambat maka mangrove akan membentuk sistem perakaran yang khas. Sistem perakaran ini akan menyebabkan partikel yang halus, kaya akan bahan organik tinggi akan cepat mengendap di sekililing akar dan membentuk kumpulan lapisan sedimen. Terkait dengan sedimen yang ada di sekitar spoil bank di muara Kali Porong, bisa diketahui jenis substratnya, karena ini sangat berpengaruh sekali dengan perkembangan mangrove. Substrat merupakan salah satu faktor pembatas bagi mangrove. Dengan mengetahui karakteristik substrat kita bisa mengetahui sebaran mangrove. Misalnya saja, Rhizophora mucronata dapat tumbuh pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur. Tekstur dan konsentrasi ion yang terdapat dalam sedimen mempunyai pengaruh terhadap susunan jenis dan kerapatan tegakan. Hal ini bisa dilihat jika komposisi substrat lebih banyak tanah liat dan debu maka tegakan menjadi lebih rapat. Konsentrasi kation juga sangat mempengaruhi konfigurasi dari vegetasi mangrove. Jika kation mempunyai urutan Na>Mg>Ca atau K, maka akan membentuk konfigurasi Avicenni/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera. Jika Mg>Ca>Na atau K maka akan terbentuk konfigurasi Nipah, sedangkan jika Ca>Mg, Na atau K, maka akan membentuk konfigurasi Melauleuca. Dari uraian di atas dapat diketahui faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup dari mangrove. Kegiatan survei lapangan dan uji laboratorium terhadap kimia tanah serta lumpur (soil/mud chemical test) memang belum dilakukan di daerah muara Kali Porong ataupun di daerah spoil bank. Perlu diketahuinya faktor-faktor pembatas yang mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari mangrove. Unsur hara yang bersifat 4 organik maupun inorganik yang ada di spoil bank perlu kajian lebih lanjut, sehingga nantinya pertumbuhan dan kelangsungan hidup mangrove dapat maksimal. Pengolahan dan hasil citra Landsat Dalam kajian ini digunakan citra satelit Landsat ETM+. Dalam kajian ini dibandingkan sebaran dan kerapatan mangrove dari citra Landsat ETM+ selama 3 tahun (multitemporal), yaitu tahun 2003, 2007 dan 2009. Kajian ini hanya melihat objek mangrove saja dari tahun ke tahun, baik dari tahun sebelum terjadinya semburan lumpur Sidoarjo maupun sesudahnya. Dengan melakukan kajian multitemporal diharapkan dapat dilihat perkembangan lahan mangrove apakah terpengaruh atau tidak dengan proses pembuangan lumpur ke arah muara Kali Porong. Dipilih 3 tahun yaitu 2003 sebelum semburan lumpur terjadi, tahun 2007 yaitu setahun setelah pembuangan lumpur ke Kali Porong, dan tahun 2009 yang mencerminkan kondisi terakhir saat penelitian dilakukan. Klasifikasi objek mangrove dilakukan dengan metode klasifikasi terselia maximum likelihood, sehingga harus dibuat training area yang mewakili objek-objek yang nampak pada citra. Klasifikasi ini merupakan klasifikasi otomatis dari software ENVI dan training area yang telah dibuat tadi merupakan masukan dalam software tersebut memisahkan objek pada citra. Sesuai dengan hasil klasifikasi yang dibuat maka pada kajian ini, mangrove diklaskan menjadi 3 klas kerapatan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Pembedaan kerapatan ini berdasarkan interpretasi dari pembuatan training area. Mangrove yang tingkat kerapatannya rendah akan berwarna merah kecoklatan karena warna tersebut merupakan campuran antara vegetasi dan tanah, dan dimungkinkan karena kerapatannya rendah, objek tanah tempat mangrove tersebut tumbuh juga ikut memantulkan spektralnya. Warna komposit mangrove sesuai tingkat kerapatannya sebagaimana gambar di bawah ini: kerapatan rendah kerapatan sedang kerapatan tinggi Mangrove dengan kerapatan sedang akan berwarna lebih merah, namun juga warna merahnya tidak terlalu mencolok dan masih mengandung warna spektral tanah. Sedangkan untuk mangrove dengan kerapatan tinggi warnanya merah terang dan terlihat lebih tebal. Dari hasil interpretasi dan klasifikasi multispektral pada masing-masing tahun didapatkan luasan kerapatan mangrove sebagai berikut. Lahan mangrove pada tahun 2003 totalnya seluas 666,709 hektar, tahun 2007 seluas 435,365 hektar, dan tahun 2009 seluas 550,08 hektar. Luasan ini didapat berdasarkan hasil interpretasi dan belum dilakukan cek lapangan, sehingga hasilnya masih tentative. Pada rincian masing-masing kerapatan mangrove, terlihat bahwa terjadi penurunan luas lahan dari tahun 2003 ke 2007 dan kemudian meningkat lagi ditahun 2009 nampak pada grafik sebagai berikut: 5 Luasa an mangrove e sesuai kerrapatannya: 2003 Kond disi Mangrove 2007 Luasan Kondisi Mangrove 157,063 Kerapatan tinggi Mangrrove Kerapatan Sedang 26 6,370 Kerapatan rendah Mangrove Ke erapatan Luasan n (Hektar)) Mang grove Kerapata an 33 3,964 Mang grove Kerapata an 323,730 0 37 75,031 Mang grove Kerapata an 180,900 0 Seda ang Mangrove Ke erapatan rendah 666,709 Kon ndisi Mangrov ve tingg gi Sedang 64,455 Jumlah Mangrove Ke erapatan tinggi 445,191 Mangrrove Lu uasan (H Hektar) (Hektar) Mangrrove 2009 9 45,450 rendah Jumlah 435,365 4 Jumlah 550,08 Sumberr : Klasifikasi multispektral m citra Landsat ETM M+ Peta sebaran s man ngrove di Mu uara Porong g tahun 2003 3, 2007 dan 2009: 6 7