Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia DJB pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Perang Dunia II telah dimulai di Eropa oleh NAZI Jerman pada 10 Mei 1940. Pada perang tersebut Jerman dan Italia bersama-sama menghadapi Inggris, Belanda dan Perancis serta negara-negara kawasan di Eropa lainnya. Masih dalam rentetan perang dunia, Jepang berusaha membangun suatu imperium di Asia dengan mengobarkan perang di kawasam Pasifik. Di wilayah ini Jepang harus menghadapi blok ABCD yang terdiri dari America, Brittain, China, and Dutch. Pada 8 Desember 1941 Angkatan Udara Jepang melancarkan serangan fajarnya atas pangkalan Angkatan laut Amerika di Pearl Harbour, Hawai. Maka genderang Perang Asia-Pasifik telah dimulai. Lima jam setelah serangan tersebut Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang. Dalam serangannya ke selatan, bala tentara Jepang telah memasuki wilayah Hindia Belanda pada awal tahun 1942. Dengan kekuatan yang tak sebanding, yaitu empat divisi militer Hindia Belanda atau sekitar 40.000 personil dibawah pimpinan Jenderal H. ter Poorten, melawan enam sampai delapan divisi tentara Jepang ynag dipimpin oleh Jenderal Hitoshi Imamura terjadilah perang yang tidak berlangsung lama. Pada Januari-Februari secara bertahap Jepang berhasil menduduki Tarakan, Kalimantan Timur kemudian melaju ke Balikpapan, Pontianak, Samarinda dan akhirnya Banjarmasin. Pertempuran di Jawa berakhir ketika pada 1 Maret 1942 Tentara Keenambelas Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yaitu di Teluk Banten, Eretan Wetan, Jawa Barat dan Kragan, Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 7 Maret 1942 Jenderal H. ter Poorten telah menyerah tanpa syarat di Kalijati, Lembang. Maka runtuhlah Hindia Belanda. Menjelang Kedatangan Jepang Sebelumnya Mr. Dr. G.G. van Buttingha Wichers, Presiden DJB ke-14 dalam Laporan Tahunan DJB Tahun Pembukuan ke-113 yang disampaikan pada pertengahan Juni 1941, telah memperingatkan perlunya diperhitungkan kemungkinan meluasnya wilayah Perang Dunia II di Eropa sampai ke Asia/Pasifik. Untuk itu Buttingha mengusulkan agar pemerintah Hindia Belanda segera mengambil langkah-langkah persiapan dalam menghadapi kemungkinan tersebut. Prediksi Presiden DJB tersebut benar-benar terjadi, beberapa bulan kemudian Jepang secepat kilat telah menduduki seluruh wilayah Hindia Belanda. Kejelian prediksi Presiden DJB pun membawa hasil, karena tepat menjelang kedatangan Jepang di pulau Jawa, tepatnya pada 28 Februari 1942 Buttingha berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap dengan tujuan agar DJB dapat menjalankan fungsinya kembali di Hindia Belanda setelah usai perang di kelak kemudian hari. Sementara pemerintah Hindia Belanda pada saat itu telah meminta kepada bank-bank agar tetap mempertahankan aparatnya secara terbatas dan terus melanjutkan kegiatan perbankan untuk menghindari lumpuhnya kegiatan perekonomian secara mendadak. Berdasarkan instruksi pemerintah tersebut, DJB meminta kepada para pemimpin cabangnya untuk tetap berada di posnya masing-masing dan mencabut kembali instruksi pemusnahan persedian kas yang pernah di keluarkan sebelumnya. Pada akhir Februari 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda beserta beberapa pejabat tinggi pemerintah telah mengungsikan diri ke Bandung. Hal yang sama juga dilakukan oleh para direksi bank-bank Belanda, pada 28 Februari 1942 pemerintah 1 Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia telah meminta mereka untuk memindahkan kantor-kantor pusat bank ke Bandung. Pada saat itu antara Jepang dan Hindia Belanda telah tercapai kesepakatan bahwa tidak ada pertempuran yang akan dilakukan kedua belah pihak di Bandung, dengan alasan bahwa kota tersebut pada saat itu telah penuh sesak oleh penduduk sipil, wanita dan anak-anak. Ketika kekuasaan di Jawa pada Maret 1942 mulai terasa tidak dapat dipertahankan lagi, pemerintah memutuskan untuk meninggalkan Hindia Belanda sementara waktu. Letnan Gubernur Jenderal memimpin suatu rombongan kecil yang terdiri dari para tokoh pengusaha dan pejabat pemerintah untuk meninggalkan Hindia Belanda menuju suatu daerah bebas, yaitu Australia. Pemerintah mengajak serta salah seorang Direktur DJB, yaitu Dr. R.E. Smits untuk bergabung dalam rombongan yang berstatus sebagai perwakilan Hindia Belanda. Perwakilan tersebut bertugas memelihara hubungan kepentingan Hindia Belanda dengan dunia internasional serta mempersiapkan pembangunan kembali Hindia Belanda pasca perang. DJB dan Perbankan Masa Pendudukan Jepang Setelah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat, Jepang segera memerintahkan para direksi bank yang telah mengungsi ke Bandung untuk segera menyatakan penyerahan asset-asset bank kepada tentara pendudukan Jepang. Selanjutnya pada 11 April 1942 diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajibannya. Keadaan ini berlangsung hingga 20 Oktober 1942 pada saat Penguasa Perang di Jawa yang berada di Jakarta mengeluarkan (ordonansi) perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh Tentara Pendudukan Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera. Sedangkan bank-bank di Kalimantan dan Great East (Timur Besar, yaitu wilayah timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua) yang dikuasai oleh Kaigun (Angkatan Laut Jepang) perintah likuidasi dikeluarkan oleh Navy Ministry (Kementerian Angkatan Laut) di Tokyo. Dengan demikian pada masa itu terdapat tiga wilayah otoritas likuidasi yang terpisah dan bekerja secara independen antara satu sama lain. Tugas pokok dari otoritas likuidasi tersebut ada tiga. Pertama, menyelesaikan tagihan-tagihan yang harus dilunasi. Usaha tersebut tidak membawa banyak hasil. Dari catatan posisi tagihan pada awal Maret 1942 yang menjadi beban debitur DJB hanya bisa ditagih ƒ5,6 juta atau 2,5% saja. Angka tagihan luar Jawa mencapai ƒ3 juta. Debitur yang telah melunasi hutangnya daapt segera menerima kembali barang agunannya. Kedua, adalah pembayaran hasil likuidasi kepada para kreditur. Khusus kepada mereka yang dianggap tidak bermusuhan dengan pemerintah Jepang ditetapkan pembayaran tahap pertama pada pertengahan 1943 sebesar 30% bagi mereka yang tinggal di Jawa. Sedangkan saldo yang tidak diambil akan dipindahbukukan kepada Nanpo Kaihatsu Ginko. Tugas ketiga dari otoritas likuidasi adalah menyelesaikan simpanan-simpanan tertutup dan safeloket (penyimpanan khasanah bank). Pada awal 1943 ditetapkan bahwa pengembalian simpanan tertutup dan isi safeloket kepada pemilik dapat dilakukan apabila Tentara Jepang tidak mempunyai kepentingan atas isinya. Karena luasnya makna “kepentingan” ini maka banyak simpanan berharga yang hilang. Jika ada penggantian dari Nanpo Kaihatsu Ginko, ternyata nilainya tak ada artinya. Dalam rangka pelaksanaan likuidasi bank-bank, para anggota dan staf eksekutif DJB dipaksa untuk bertindak sebagai penasehat terhadap likuidator Jepang. Mereka justru berusaha agar likuidasi dihentikan dengan alasan Komando Militer Jepang 2 Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia belum mencabut undang-undang yang berlaku antara lain DJB Wet 1922. Tetapi usaha mereka tidak berhasil dan likuidasi tetap dijalankan. Selanjutnya fungsi dan tugas dari bank-bank yang dilikuidasi digantikan oleh bank-bank Jepang yang pernah ada dan ditutup oleh Belanda pada 8 Desember 1941 menjelang pecahnya perang. Bank-bank tersebut adalah Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank dan Mitsui Bank. Tidak lama kemudian di Jawa didirikan Nanpo Kaihatsu Ginko yang bertugas sebagai bank sirkulasi untuk seluruh wilayah pendudukan. Tapi pada kenyataannya Nanpo Kaihatsu Ginko ini hanya bertindak sebagai koordinator, karena sesungguhnya yang beroperasi di beberapa kota adalah Yokohama Specie Bank untuk pulau Jawa dan Taiwan Bank untuk daerah luar Jawa. Pada tahap pertama likuidasi pihak Jepang telah memanfaatkan tenaga-tenaga staf dan tata usaha dari bank-bank yang akan dilikuidasi. Mulanya jumlah tenaga yang dilibatkan dalam jumlah banyak, hingga akhirnya mengerucut menjadi sejumlah tim inti saja dari DJB. Dalam hal ini muncul dilema besar dalam benak para tenaga yang dilibatkan dalam proses likuidasi tersebut. Mereka mulanya merasa berat hati karena sebagai pegawai bank yang akan dilikuidasi harus bekerjasama dengan pihak likuidator, sekalipun mereka diberi posisi sebagai penasehat likuidasi. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk mau bekerjasama secara pasif, karena dengan demikian para staf bank Belanda tersebut masih dapat memata-matai sejauhmana tindakan Jepang dalam melikuidasi bank-bank mereka. Masa pendudukan Jepang yang dimulai pada Maret 1942 telah menghentikan kegiatan DJB yang pada saat itu tepat menghadapi penutupan Tahun Pembukuan ke114. Selama masa pendudukan tersebut beberapa pegawai DJB meninggal dunia, baik karena melawan Jepang atau meninggal dalam kamp interniran milik tentara Jepang. Kondisi mengenaskan itu juga dialami oleh Buttingha Witchers, Presiden DJB yang ditahan selama 10 bulan oleh Kempetai di Bandung, Jakarta dan Bogor. Selebihnya ia hidup dalam kamp tawanan di Jakarta, Bandung dan Cimahi. Keadaan iitu berbeda dengan yang dialami oleh R.E. Smits, salah seorang Direktur DJB. Smits beruntung karena berada di luar Hindia Belanda. Mula-mula ia bertugas sebagai anggota Komisi Hindia Belanda untuk Australia dan Selandia Baru, kemudian menjadi Direktur Keuangan dari Pemerintah Sementara Hindia Belanda di Melbourne dan Brisbane, Australia. Dan terakhir ia diberi tugas oleh C.R.O atau Commissie Rechtsverkeer in Oorlogstidj atau Commission for Safeguarding Rights during Wartime di London untuk mengurusi dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban bank diluar daerah pendudukan Jepang, sesuai dengan kapasitasnya sebagai Direktur DJB. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama pendudukan Jepang akitvitas DJB di Hindia Belanda berhenti secara total. De Bank Voor Nederlandsch-Indie Kebijakan likuidasi bank-bank yang dijalankan oleh Tentara Pendudukan Jepang telah menimbulkan kesan kepada perwakilan Hindia Belanda di Australia, bahwa kondisi perbankan di Hindia Belanda dalam keadaan lumpuh dan sulit diharapkan untuk dapat berfungsi kembali apabila perang telah usai. Untuk itu pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan Surat Keputusan E-10 tanggal 3 Februari 1944 yang menetapkan larangan melakukan kegiatan perbankan di Hindia Belanda tanpa seizin atau atas nama Gubernur Jenderal. Keputusan tersebut dikeluarkan di London karena pada saat yang sama pemerintah Belanda sedang dalam pengungsian akibat serangan Jerman ke negerinya. 3 Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia Surat keputusan tersebut kemudian ditindak-lanjuti dengan Surat Keputusan 21 Februari 1944 tentang pendirian De Bank Voor Nederlandsch Indie di Paramaribo, Suriname sebagai satu-satunya wilayah koloni Belanda yang masih bebas. Para pemegang saham dari bank tersebut adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel Maatschappij NV (NHM), Nederlandsch Indische Handelsbank (NIHB) dan Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij (NIEM). Saham Pemerintah Hindia Belanda pada saatnya nanti akan dialihkan ke DJB. Dengan demikian bank baru ini pada hakekatnya merupakan gabungan dari bank-bank utama yang pernah ada di Hindia Belanda, termasuk DJB sebagai bank sirkulasi. Peredaran Uang Pada awal Desember 1942 Pemerintah Belanda di London telah mulai mempersiapkan mata uang Hindia Belanda yang baru. Berdasarkan Surat Keputusan Ratu Belanda tanggal 2 Maret 1943 ditetapkan pencetakan uang sebagai persiapan untuk menata kembali peredaran uang apabila perang dan pendudukan Jepang telah berakhir kelak kemudian hari. Uang kertas tersebut dicetak pada 1943 di American Bank Note Company, Amerika Serikat dalam pecahan 0.50, 1, 2.50, 5, 10, 25, 50 dan 100 dengan nilai baru Nederlandsch-Indische Gouvernementsgulden dan sekaligus menggunakan nilai Rupiah. Nantinya pada masa revolusi uang tersebut dikenal dengan mata uang NICA. Selama tahun-tahun pendudukan Jepang, jumlah mata uang beredar di Hindia Belanda semakin bertambah. Hal itu terjadi karena invasi Jepang ternyata tidak hanya dalam bentuk militer saja tetapi juga berupa invasi uang (money invasion). Dengan Oendang-Oendang No. 1 pimpinan Bala Tentara Dai Nippon mengumumkan di surat-surat kabar bahwa mulai 11 Maret 1942 uang gulden dan uang militer merupakan alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan Jepang. Pada saat itu Jepang mengedarkan uang kertas Jepang yang disebut dengan uang invasi atau uang militer (gunpyo) dengan tanda De Japansche Regeering Betaalt aan toonder (pemerintah Jepang membayar kepada pembawa). Uang tersebut diedarkan dengan menggunakan nilai gulden dan cent, tanpa tanda tahun dan terdiri dari tujuh pecahan, yaitu 1, 1.50, 5, 10 Gulden dan 1, 5, 10 Cent. Mulanya uang invasi diedarkan oleh Penguasa Perang dan kemudian diteruskan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko yang mulai April 1943 diberi tugas sebagai bank sirkulasi menggantikan DJB. Pada September 1944 Nanpo Kaihatsu Ginko juga mengeluarkan uang kertas baru dengan sebutan Nanpatsu dengan bertanda Dai Nippon Teikoku Seifu (Pemerintahan Balatentara Dai Nippon) dan khusus menggunakan nilai rupiah. Uang tersebut di cetak di Jawa dalam pecahan ½, 1, 5 dan 10 Rupiah yang juga diedarkan di Sumatera, Kalimantan dan wilayah Timur Indonesia. Selain itu khusus untuk daerah Sumatera juga diedarkan pecahan 100 rupiah dan 1000 rupiah (pecahan ini disangsikan peredarannya) yang dicetak secara khusus di Jepang. Secara sporadis Jepang juga mengeluarkan uang logam dari alumunium terdiri dari pecahan 10, 5 dan 1 sen, namun pengedarannya sangat terbatas. Sebenarnya secara yuridis uang kertas Jepang yang dikeluarkan tanpa jaminan (emas) ini merupakan alat pembayaran yang tidak sah. Berdasarkan konvensi Den Haag 1899 dan 1907 telah disepakati bahwa pihak yang menduduki suatu negara lain dilarang mengeluarkan uangnya sendiri. Dalam konvensi tersebut Jepang ikut meratifisir dan menandatanganinya, tetapi mereka mengabaikan isi konvensi tersebut. Pada masa pendudukan Jepang, tidak pernah dikeluarkan suatu undang-undang yang mencabut berlakunya uang-uang pemerintahan Hindia Belanda ataupun Uang 4 Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia DJB yang telah beredar sebelumnya. Oleh karena itu pada masa ini uang-uang tersebut masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah pendudukan Jepang bersama dengan uang Jepang lainnya. Sampai pertengahan tahun 1945 telah diedarkan uang invasi di Jawa sejumlah 2,4 milyar Gulden dan di Sumatera 1,4 milyar Gulden serta dalam jumlah lebih kecil yang juga telah beredar di Kalimantan dan Sulawesi. Diantara jumlah tersebut, Jepang telah memasukkan dalam peredaran uang sebesar 87 juta Gulden yang berasal dari unissued notes yang ditemukan dalam khasanah DJB dan kira-kira 20 juta Gulden uang logam perak yang juga diambil Jepang dari khasanah DJB. Sejak 15 Agustus 1945 telah masuk dalam peredaran uang di wilayah Hindia Belanda sejumlah 2 milyar Gulden. Sebagian dari uang tersebut adalah uang yang ditarik secara curang oleh tentara Jepang dari bankbank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi Jepang mencuri dari DJB Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Pada tahun 1944 kekuatan Jepang di Pasifik telah berhasil dihalau oleh Amerika dan pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Sejak saat itu beberapa peristiwa terjadi dengan cepat, pendudukan berakhir dan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Jepang meninggalkan Indonesia dalam kedaan ekonomi yang porak-poranda. Kondisi perang terus berlangsung dengan terjadinya perselisihan antara pihak Republik Indonesia dan NICA. Hingga Maret 1946 jumlah uang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar 8 milyar Gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda. 5