Bab 2 Landasan Pemikiran Telaah atas arsitektur dan bagian-bagiannya sebagai salah satu kajian sosial bisa kita temukan pada beberapa referensi. Mereka antara lain adalah Amos Rapoport (1969), James J. Fox (1993), dan Roxana Waterson (1990). Rapaport menuliskan bahwa: “...building a house is a cultural phenomenon, its form and organization are greatly influenced by the cultural milieu to which it belongs.” (1969:46) Rapoport begitu yakin bahwa kekuatan sosio kultural merupakan pengaruh utama pada bentuk tempat tinggal. Hipotesisnya mengenai hal tersebut adalah bahwa bentuk rumah tidak hanya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan fisik atau faktor penyebab utama tertentu, tapi merupakan konseksuensi dari seluruh bagian faktor-faktor sosial budaya. Bentuk rumah dimodifikasi oleh keadaan iklim juga metode konstruksi, ketersediaan material dan teknologi, sebagai faktor pembentuk pendukung. (Rapoport,1969:47) Kumpulan essay pada buku Fox memberikan gambaran berbagai bentuk rumah di wilayah yang berbahasa Austronesia dan hubungannya dengan penggunaan ruang. Penggunaan ruang terutama bagi kegiatan sosial dan kegiatan ritual masing-masing etnik. Pendapat Fox yang dapat digaris bawahi mengenai hal ini adalah: “... The ‘house’ in this sense is a cultural category of fundamental importance. It defines a social group, ... The house, as physical entity and as a cultural category, has the capacity to profide social continuity, ... also possess what may be called their particular ‘ritual attractor’, ... can also constitute a ritually ordered structure, ...can be conceived as a representation of a cosmological order, the house is culturally emblematic.” (Fox,1993:1-2) Waterson, pada bukunya “The Living House: An Anthropology of Architecture in South-East Asia” sangat menggali kekayaan bentuk-bentuk rumah tradisional Indonesia. Pada bukunya tersebut, Ia katakan bahwa bisa jadi kekayaan bentuk arsitektur di Indonesia dipengaruhi dari wilayah seperti Madagascar, Jepang dan Oceania. Roxana mempunyai tujuan menggambarkan Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 11 asal muasal model arsitektur di Indonesia dari berbagai perbedaan dan persamaan bentuk, juga kegunaan tempat tinggal dan perkampungan secara sosial dan simbolik. Simbol1 pada arsitektur berhubungan dengan pencantuman makna pada bagian-bagian tertentu bangunan. Waterson menyebutkan hal ini sebagai bagian yang bertolak belakang dengan pembahasan secara teknologi atas sebuah bangunan atau tempat tinggal. Bagian bangunan yang mempunyai makna simbolik biasanya adalah bagian yang tidak biasa, “unusual features of buildings”. Makna yang dicantumkan biasanya menggambarkan pentingnya sebuah bangunan tersebut baginya, dan bentuknya akan merefleksikan world view penciptanya.(Waterson,1997:91) Waterson membahas mengenai simbol arsitekur dibawah sub judul Cosmologies, yang ia sebut sebagai “a holistic worldview”. Bentuk rumah, penggunaan ruang pada perkampungan dikatakan sebagai akibat dari pemikiran tertentu yang mendasarinya atau kosmologi atau worldview. Hal ini membawa bentuk rumah dan pola perkampungan berbeda antara satu etnik dengan etnik yang lainnya, karena disebabkan perbedaan pemahaman mengenai dunia masing-masing. Kosmologi berbicara mengenai orientasi manusia terhadap dunia. Waterson mengatakan bahwa sebagian besar penganut sistem kepercayaan aseli Indonesia berbagi konsep pembagian tiga bagian kosmos yang menempatkan dunia manusia pada bagian tengah. Bagian atas biasa di huni oleh dewa-dewa, sebagai bagian yang suci, dan bagian bawah, dipercayai sebagai tempat yang dihuni oleh binatang dan yang tidak suci. Hal ini dapat dilihat dari pembagian bagian rumah, dimana bagian bawahnya kotor dan tempat hewan peliharaan, bagian tengah dihuni manusia, sedangkan bagian atas rumah disucikan karena sebagai tempat penyimpanan tulang-belulang nenek moyang yang dihormati. Kosmologi juga banyak mempengaruhi arah-arah rumah atau perkampungan yang didirikan, juga naik turunnya bagian rumah. Hal ini ada yang 1 Simbol di definisikan sebagai, “something that stands for something else: something concrete that represents or suggest another thing that cannot itself be pictured, 2: a letter, character, or sign used in writing or printing to represent operations, quantities, elements, sounds, or other ideas” (Webster, 1997:733) Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 12 didasari oleh kepercayaan terhadap penghormatan pada matahari atau pun pentingnya sebuah gunung pada orang Karo. (idem:91-93) Bukan hanya kosmologi, simbol yang ada pada rumah tradisional. Simbol yang ada pada rumah tradisional suku Nias, sebagai contoh, terdapat pada bagian hiasan, panel kayu, ornamen-ornamen yang berupa motif-motif ukiran berbentuk binatang, tanaman dan bentuk-bentuk lain. Ornamen-ornamen ini merepresentasikan kekayaan, status dan kekuatan penguasa, sedangkan motif binatang dan tanaman merefleksikan konsep rumah sebagai mikrokosmos. (idem:108) Selain Waterson, pembahasan mengenai ornamen sebagai hal yang mengandung makna diulas oleh Egenter. Egenter memulai dari teori arsitektur yang pada awalnya dianggap sebagai teori yang tak lepas dari teori seni, yang menghargai bentuk arsitektur dari keindahan, atau estetikanya. Maka, arsitektur tidak bisa lepas dari pembahasan keindahan, makna simbol dan semiotika. (Egenter, 1992:77) Semiotika pada arsitektur, lebih lanjut dibahas secara mendalam oleh Juan Pablo Bonta dalam “Architecture and Its Interpretation: A study of expressive systems in architecture.” Menurut Bonta, ikonologi adalah jawaban untuk menggali makna pada seni, khususnya ornamen2 atau hiasan-hiasan yang dapat berupa motif pada bangunan atau arsitektur. Hanya saja, Bonta tidak 2 or·na·ment [ áwrn?m?nt ] noun (plural or·na·ments) Definition: 1. something that decorates: something that decorates or adds beauty to something else Christmas tree ornaments 2. decorative object: a small decorative object displayed for its beauty 3. decoration: decoration or decorative quality manuscript pages entirely without ornament 4. music embellishing note: a note or set of notes added to embellish a melody or harmony 5. valued person: somebody whose presence is a source of pride or honor ( archaic or literary ) transitive verb (past and past participle or·na·ment·ed, present participle or·na·ment·ing, 3rd person present singular or·na·ments) Definition: decorate something: to make something more attractive by adding decorative items to it a stone facade ornamented with gargoyles [14th century. Via Old French< Latin ornamentum< ornare "equip"] http://encarta.msn.com/dictionary_1861619909/ornament.htm Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 13 mendukung analisis makna ikon3 atau ornamen pada masyarakat yang tidak memproduksinya. Menurut Bonta, makna aselinya kemungkinan sudah hilang. Tinggal connoisseurship yang diartikan Webster (1997:171) sebagai “critical judge in matter of arts or taste”. “The technique for determining the meaning of a work of art on the basis of texts or documents directly related to the production of the work is ussually called iconography. Iconology, more generally, designates the search for meaning by using any literary source, wheter or not directly related to the production of the work of art. ... iconology- a term which i use as encompasing iconography-raises some questions of its own. The goal of iconologist is to determine meaning as seen at the time of the creation of the work of art. This could be relevant for historical research, when what is at stake is how forms were interpreted in the past. But it is scarcely relevant for an analysis of meaning as seen at later times: the original meaning may have been lost for modern viewers... Iconology may lead to connoisseurship, but not to analysis of meaning as actually perceived in a society.” (Bonta, 1979:77) Studi mengenai ikon4 sebagai bagian dari bangunan yang mengandung makna sosial tidak lepas dari studi semiotika, studi mengenai tanda. Ada ‘anthropological value’ sebagai petunjuk adanya ‘kebutuhan dasar manusia’ dari sebuah objek (disini ikon atau ornamen). Tentang hal tersebut diatas, St. Sunardi menuliskan, 3 Ikon utamanya adalah mengenai gambaran-gambaran pribadi yang disucikan, yang diagungkan. Pribadi-pribadi yang disucikan ini adalah Keluarga Kudus dari Jerusalem, Maria, Joseph dan Jesus. Banyak gambaran ikon ditemukan di gereja-gereja Katolik, meski tidak terbatas pada Katolik Roma, Gereja Ortodoks juga dihiasi dengan icon-icon dari orang-orang suci mereka. Kamus Encarta dan Hyperdictionary Online menggaris bawahi mengenai hal ini. Penjelasan berikutnya mengenai ikon menunjukkan kepada gambar dan representasi. Lalu adapula penjelasan ikon sebagai symbol pada sistem komputer.(http://encarta.msn.com/dictionary_1861619909/icon.html; http://www.hyperdictionary.com/dictionary/icon ) 4 Agus Cremmers (2002) mempunyai sesuatu mengenai ikon yang ada di gereja berpaham Ortodoks. Tidak berbeda dari pemikiran-pemikiran diatas, terdapat fungsi kosmologi pada ikon, selain estetis-religius. Dalam penjelasannya mengenai ikon salib, Cremmers menjelaskan bahwa, “...hakikat dan fungsi ikon (eikon, gambaran). Menurut paham Ortodoks Yunani/ Rusia eikon merupakan sebuah “jendela surgawi yang terbuka ke dunia” atau “jendela yang membuka pandangan ke dunia keabadian.” Suatu ikon tidak merepresentasikan kenyataan dunia konkret menurut aspek keindahan duniawi khas yang otonom, tetapi memperlihatkan kenyataan duniawi sejauh itu dijadikan transparan berdasarkan perspektif dan acuan cahaya surgawi dan cakrawala ilahi yang aneh di seberang horison pandangan kita. ... oleh karena itu cinta kepada Tuhan dan cita rasa akan keindahan (philokalia) bersatu padu dalam tradisi ikon. Hanya atas dasar latar belakang pengakuan estetis-religius itulah, perkataan mendalam dari Dostojewski dapat dipaham betul, yaitu “hanya keindahanlah yang dapat menyelamatkan dunia”... (Cremmers, 2002:91-94) Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 14 “... Analisis semiotik lebih memusatkan perhatian pada suatu objek sebagai the significant daripada the technical (atau the functional). Pembedaan ini amat penting untuk melihat gejala budaya dalam masyarakat di mana the significant dari objek fungsional menjadi lebih penting dari pada fungsi atau the technical. (St. Sunardi, 2002: 51) Suatu objek dilihat sebagai the significant. Demikianlah analisis semiotik terhadap suatu objek. Semiotik atau ilmu tanda, yang mempelajari mengenai tanda dimulai dari studi Ferdinand Saussure mengenai bahasa. Bahasa adalah tanda, yang harus dibaca dan mempunyai makna tertentu bagi komunitas tertentu. Hal yang menarik lagi dari tulisan St. Sunardi tentang Semiotika Negativa adalah bahwa makna pada sebuah objek yang sama bisa mengalami perbedaan dan perubahan makna. Tanda tersebut bukan hanya memiliki satu makna tapi dapat pula mengandung makna lain, atau maknanya dapat berubah. Perubahan makna tersebut dipengaruhi konteksnya, bisa disebabkan oleh komunitasnya. (St. Sunardi, 2002) Young juga menuliskan bahwa bangunan gereja memiliki makna-makna yang dibentuk dan membentuk komunitasnya. Sebab, sebagai bangunan, gereja tidak terlepas dari pemikiran mengenai bangunan sebagai bentukan sosial, mempunyai faktor-faktor yang membentuk perilaku manusia. Menurut Young, “…The shape, height, building materials, color and configuration of a building or other interactional site tell us much about the meanings to be conveyed, the roles to be enacted, the institutions to be reproduced and the social occasions which can be embodied in them. Churches,…, all have their own architectural pecularities. Each has differing furnishings and decor. ..they set the background frames for specialied social activities.” (http://uwacadweb.uwyo.edu/RED_FEATHER/lectures/socgradindex.html) Gereja adalah rumah ibadat umat Kristiani. Penggunaan kata ibadat dalam tesis ini didukung dengan dua referensi, yaitu Heuken, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Heuken menuliskan bahwa rumah ibadat adalah tempat umat agama tertentu beribadat. Hal ini perlu dijelaskan karena banyak tulisan mencantumkan tempat beribadat sebagai rumah ibadah. Gereja merupakan tempat umat beragama kristen beribadat. Meski pada dasarnya, kata Gereja berasal dari kata Portugis, Igreja, yang diadopsi dari kata Yunani, Ekklesia yang mempunyai arti Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 15 kumpulan orang yang percaya (dalam hal ini pada Jesus Kristus). (Heuken, 2003). Konsep rumah ibadat menurut Heuken diatas, sama definisinya seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Rumah Ibadat adalah bangunan tempat beribadat (masjid, gereja, kuil, dsb.). (Pusat Bahasa,ed.,2002, hal.967) Biasanya, orang menyebutkan rumah ibadat dengan kata rumah ibadah, ternyata ritual yang dilakukan umat tertentu disebut dalam bahasa Indonesia sebagai ibadat bukan ibadah. Maka pada tesis ini akan dipakai kata-kata rumah ibadat bukan rumah ibadah. Rumah ibadat di Berastagi mengadopsi arsitektur rumah adat Karo. Rumah adat Karo identik dengan, si waluh jabu, rumah besar yang berhasil didirikan dengan kerja sama penduduk kampung atas dasar kekeluargaan, kepentingan bersama dan kekompakan, untuk menciptakan kekuatan dalam menghadapi binatang buas dan orang-orang dengan maksud buruk. Awalnya, rumah-rumah keluarga di Tanah Karo merupakan rumah-rumah untuk keluarga inti. Akan tetapi, seiring berkembangnya populasi dari sebuah kampung, maka muncul gagasan untuk membuat rumah komunal yang lebih kuat. Pembangunan sebuah rumah adat Karo selalu ‘disponsori’ oleh Bangsa Tanah5. Tulisan diatas mengartikan rumah adat Karo adalah rumah tempat tinggal, bukan rumah tempat upacara adat berlangsung. Yang meskipun demikian, pekerjaan pembangunan rumah ini ini dilakukan dengan bersama-sama diperkuat sistem kekerabatan rakut si telu atau Sangkep sitelu disertai juga didalamnya ritual atau upacaraupacara. Delapan tahapan upacara yang dilewati dalam pembuatan rumah adat ini adalah padi-padiken tapak rumah, ngempak, ngerintak kayu, pebelit-belitken, mahat, ngampeken tekang, ngampeken ayo, dan memasang tanduk. (Sitepu, 1995) Singarimbun (1984) juga menuliskan bahwa rumah adat Karo adalah “rumah yang terjalin rapat dalam sistem adat-istiadat Karo asli, dimana pembangunannya didasarkan pada kepercayaan dan diiringi oleh upacara5 Bangsa Tanah adalah individu-individu yang merupakan keluarga dari orang yang membuka sebuah kampung. Biasanya Bangsa Tanah ini diposisikan sebagai kalimbubu terhadap merga lain di kampung tersebut. Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 16 upacara yang komplex. Penghuni-penghuninya biasanya terdiri dari 4-8 keluarga.” Rumah adat disini tidak dinamakan si waluh jabu, hanya rumah adat saja. Tapi Singarimbun juga menggambarkan adanya bangunan-bangunan lain yang terdapat pada Kuta Gamber, sebuah kampung di Kabupaten Karo, yaitu Jambor atau Jambur, dan geriten. (Singarimbun dalam Koentjaraningrat,ed. 1984, hlm.154-156) Bentuk rumah adat yang difungsikan sebagai rumah ibadat di Berastagi ini dinamakan sebagai gereja inkulturatif. Konsep inkulturatif ini mungkin mempunyai arti sifat inkulturasi. Ada empat referensi yang akan membantu menjelaskan mengenai konsep inkulturasi. Pertama, menurut Johana, seorang penulis artikel di arsitektur indis online, inkulturasi dari perspektif arsitektur adalah: “proses pada saat mana kebudayaan lokal diserap untuk memahamkan ajaran gereja komunitas lokalnya.” (http://www.arsitekturindis.com/index.php/archives/1999/12/ ) Konsep inkulturasi pada gereja Katolik di Indonesia disamakan dengan Indonesianisasi. Hal ini dijelaskan Boolars, seorang pastor dari Ordo Fransiskan Minori, pada bukunya “Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia”. Konsep inkulturasi secara harfiah seperti analogi tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Tadinya, satu pohon kelapa sawit didatangkan dari Afrika tahun 1848, menjadi banyak ditanam di seluruh Nusantara. Seperti halnya kekristenan, tidak berasal dari Indonesia, datang ke Indonesia, kemudian berakar menjadi dewasa dan berkembang di Indonesia. Ketika diaplikasikan ke Gereja Katolik, awalnya berupa gereja semesta, atau gereja katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. masih menurut Boolars, proses Indonesianisasi atau proses inkulturasi pada Gereja Katolik dilakukan pada ‘unsur-unsur konstitutif’ yaitu: perubahan pengertian kebudayaan, pertukaran hidup antara Gereja dan pelbagai kebudayaan bangsa-bangsa, dan peranan sentral Gereja setempat. Awal proses inkulturasi gereja Katolik dimulai pada periode Konsili Vatikan II, dimana harus diadakan penyesuaian dibidang politik maupun sosio-budaya Nusantara dan Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 17 bangsa. Boolars membedakan antara konsep inkulturasi, enkulturasi dan akulturasi. (Boolars, 2005; hal.19,43,337-341). “Inkulturasi dipakai untuk menunjukkan proses gereja, selama dimasukkan kedalam kebudayaan tertentu. Inkulturasi Gereja berarti integrasi pengalaman kristiani Gereja setempat ke dalam kebudayaan rakyatnya sedemikian rupa sehingga pengalaman itu tidak hanya mengungkapkan diri dalam unsur-unsur kebudayaan itu, tetapi menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan dan membarui kebudayaan itu seupaya menciptakan kesatuan dan persekutuan, bukan hanya dalam kebudayaan yang bersangkutan, melainkan juga memperkaya Gereja semesta.” (Boolars, 2005; hal.337-338) “Enkulturasi adalah istilah teknis dalam antropologi budaya guna menunjukkan pengalaman belajar, yang karenanya seorang individu mulai hidup dan berkembang memasuki kebudayaannya.” (Boolars, 2005; hal.337-338) “Akulturasi ... sinonim bagi ‘hubungan-kebudayaan’ ..” (Boolars, 2005; hal.337338) Proses inkulturasi mempunyai tiga tahap yang pada prakteknya terjadi secara berurutan tapi juga dapat berlangsung sekaligus. Boolars dalam hal ini mengutip Crollius yang merunutkan ketiga tahapan tersebut sebagai: “Pada tahap pertama, Gereja berada dalam kontak dengan kebudayaan baru, dan menyajikan warta gembira kristiani serta hidup kristiani berupa kebudayaan lain. Meskipun diadakan penyesuaian-penyesuaian lebih ringan, penerjemahanpenerjemahan disiapkan, Gereja masih meneruskan penampilan luar negeri. Masuk kristen berimplikasi dan sering merelakan kebudayaannya sendiri. Pada stadium pertama itu berlangsung proses asimilasi: para misionaris dan umat kristiani setempat dari kedua kebudayaan saling menyesuaikan diri. Baru kalau kelompok-kelompok lebih besar dalampenduduk setempat menggabungkan diri pada Gereja, apalagi rohaniwan pribumi mulai berkembang, Gereja mestinya makin berasimilasi dengan kebudayaan masyarakat di lingkungannya. Pada tahap itu, mulailah proses inkulturasi yang sesungguhnya. Di situ para pelaksana yang paling penting ialah mereka yang termasuk kebudayaan setempat. Semula Gereja yang muda secara lebih pasif menyesuaikan diri dengan kebudayaan lingkungannya, tetapi pada stadium yang lebih lanjut Gereja akan memaikan peranan lebih aktif dalam transformasi kebudayaan itu. itulah tahap ketiga, di mana masa pengarahan kebudayaan setempat secara aktif lebih menguasai.” (Boolars, 2005; hal. 339) Konsep inkulturasi yang ketiga, yang dikutip Timo, seorang pendeta yang menulis “Pemberita Firman Pencinta Budaya, Mendengar dan Melihat Karya Allah dalam Tradisi”. Ia mengutip Brunner yang mengatakan bahwa alat inkulturasi adalah titik sambung yang berupa metafora. Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 18 “selalu ada titik sambung dalam budaya atau adat istiadat masyarakat yang berfungsi sebagai jalan masuk pembawa Injil dalam bahasa, simbol, atau metafora yang dipahami manusia.” (Timo:2005:115-156). Konsep inkulturasi yang keempat, dipaparkan oleh Sachary dan Sunarya, pakar desain dari ITB. Mereka menuliskan bahwa inkulturasi merupakan sebuah dari dua tahap yang ada pada proses transformasi budaya, selain akulturasi. Inkulturasi adalah, “latihan setiap pelaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kebudayaan yang terjadi. .. juga pada dasarnya merupakan penempaan setiap individu sebagai subjek kebudayaan, cita-cita kebudayaan yang diharapkan, kontrol melawan penyelewengan dan ketegangan terhadap daya cipta seseorang. Inkulturasi dianggap berhasil dengan baik jika terjadi penggabungan antara tradisi dan ekspresi pribadi, sehingga nilai-nilai dapat berasimilasi dengan dinamis.” Lanjutnya lagi, inkulturasi mempunyai cara pandang pragmatis-realistis, yang ‘cenderung mengikis nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru.’ Inkulturasi berbeda dengan akulturasi, yang ‘merupakan pertemuan wahana atau area dua kebudayaan dan masing-masing dapat menerima nilainilai bawaannya’. (Sachary dan Sunarya, 2001; hal.86) Ada perbedaan antara inkulturasi dan enkulturasi. Spradley menerangkan adanya tahap enkulturasi pada langkah-langkah pengambilan data etnografi, bagi sebuah tulisan antropologis. Tahap ini merupakan tahap dimana seorang etnografer melewati “proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu,” dengan cara meninggalkan budayanya dalam mempelajari budaya baru. Hal ini tentunya berbeda dengan konsep inkulturasi yang merupakan pertemuan dua budaya. Sementara enkulturasi lebih pada proses seseorang memasuki budaya baru dan beradaptasi dengan budaya tersebut. (Spradley:1998; Sunarya:2001) Inkulturasi merupakan pertemuan dua budaya, dan dengan pertemuan tersebut, bisa menyebabkan terciptanya budaya baru atau transformasi budaya. Inkulturasi dapat terlihat pada tataran interaksi sosial, bagaimana pertemuan dua budaya tersebut terjadi. Pada interaksi sosial dapat terjadi pengaturan dan manipulasi atribut-atribut kesukubangsaan. Atribut kesukubangsaan merupakan atribut askriptif. Atribut askriptif diperoleh semenjak kelahiran dan atribut ini akan Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 19 melalui proses seleksi guna mengenali identitas atau jatidiri seseorang. Contoh atribut askriptif kesukubangsaan adalah merga dalam masyarakat Karo. Merga diperoleh seseorang lewat kelahiran, tapi seiring kebutuhan merga menjadi atribut yang bisa diperjuangkan atau bersifat achieved. Ornamen merupakan salah satu bentuk atribut, ‘ciri-ciri yang menyolok dari benda.’ Jatidiri atau identitas akan terdetektsi dalam interaksi, yang terlihat dalam “antar-tindakan para pelaku”. (Suparlan, 2005) Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007. 20