pemaknaan simbol pada gereja inkulturatif karo - E

advertisement
Bab 2
Landasan Pemikiran
Telaah atas arsitektur dan bagian-bagiannya sebagai salah satu kajian
sosial bisa kita temukan pada beberapa referensi. Mereka antara lain adalah
Amos Rapoport (1969), James J. Fox (1993), dan Roxana Waterson (1990).
Rapaport menuliskan bahwa:
“...building a house is a cultural phenomenon, its form and organization
are greatly influenced by the cultural milieu to which it belongs.”
(1969:46)
Rapoport begitu yakin bahwa kekuatan sosio kultural merupakan
pengaruh utama pada bentuk tempat tinggal. Hipotesisnya mengenai hal
tersebut adalah bahwa bentuk rumah tidak hanya merupakan hasil dari
kekuatan-kekuatan fisik atau faktor penyebab utama tertentu, tapi merupakan
konseksuensi dari seluruh bagian faktor-faktor sosial budaya. Bentuk rumah
dimodifikasi oleh keadaan iklim juga metode konstruksi, ketersediaan material
dan teknologi, sebagai faktor pembentuk pendukung. (Rapoport,1969:47)
Kumpulan essay pada buku Fox memberikan gambaran berbagai bentuk
rumah di wilayah yang berbahasa Austronesia dan hubungannya dengan
penggunaan ruang. Penggunaan ruang terutama bagi kegiatan sosial dan
kegiatan ritual masing-masing etnik. Pendapat Fox yang dapat digaris bawahi
mengenai hal ini adalah:
“... The ‘house’ in this sense is a cultural category of fundamental importance. It
defines a social group, ... The house, as physical entity and as a cultural
category, has the capacity to profide social continuity, ... also possess what may
be called their particular ‘ritual attractor’, ... can also constitute a ritually ordered
structure, ...can be conceived as a representation of a cosmological order, the
house is culturally emblematic.” (Fox,1993:1-2)
Waterson, pada bukunya “The Living House: An Anthropology of
Architecture in South-East Asia” sangat menggali kekayaan bentuk-bentuk
rumah tradisional Indonesia. Pada bukunya tersebut, Ia katakan bahwa bisa jadi
kekayaan bentuk arsitektur di Indonesia dipengaruhi dari wilayah seperti
Madagascar, Jepang dan Oceania. Roxana mempunyai tujuan menggambarkan
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
11
asal muasal model arsitektur di Indonesia dari berbagai perbedaan dan
persamaan bentuk, juga kegunaan tempat tinggal dan perkampungan secara
sosial dan simbolik. Simbol1 pada arsitektur berhubungan dengan pencantuman
makna pada bagian-bagian tertentu bangunan. Waterson menyebutkan hal ini
sebagai bagian yang bertolak belakang dengan pembahasan secara teknologi
atas sebuah bangunan atau tempat tinggal. Bagian bangunan yang mempunyai
makna simbolik biasanya adalah bagian yang tidak biasa, “unusual features of
buildings”.
Makna yang dicantumkan biasanya menggambarkan pentingnya
sebuah bangunan tersebut baginya, dan bentuknya akan merefleksikan world
view penciptanya.(Waterson,1997:91)
Waterson membahas mengenai simbol arsitekur dibawah sub judul
Cosmologies, yang ia sebut sebagai “a holistic worldview”. Bentuk rumah,
penggunaan ruang pada perkampungan dikatakan sebagai akibat dari pemikiran
tertentu yang mendasarinya atau kosmologi atau worldview. Hal ini membawa
bentuk rumah dan pola perkampungan berbeda antara satu etnik dengan etnik
yang lainnya, karena disebabkan perbedaan pemahaman mengenai dunia
masing-masing. Kosmologi berbicara mengenai orientasi manusia terhadap
dunia. Waterson mengatakan bahwa sebagian besar penganut sistem
kepercayaan aseli Indonesia berbagi konsep pembagian tiga bagian kosmos
yang menempatkan dunia manusia pada bagian tengah. Bagian atas biasa di
huni oleh dewa-dewa, sebagai bagian yang suci, dan bagian bawah, dipercayai
sebagai tempat yang dihuni oleh binatang dan yang tidak suci. Hal ini dapat
dilihat dari pembagian bagian rumah, dimana bagian bawahnya kotor dan tempat
hewan peliharaan, bagian tengah dihuni manusia, sedangkan bagian atas rumah
disucikan karena sebagai tempat penyimpanan tulang-belulang nenek moyang
yang dihormati. Kosmologi juga banyak mempengaruhi arah-arah rumah atau
perkampungan yang didirikan, juga naik turunnya bagian rumah. Hal ini ada yang
1
Simbol di definisikan sebagai,
“something that stands for something else: something concrete that represents or
suggest another thing that cannot itself be pictured, 2: a letter, character, or sign used in
writing or printing to represent operations, quantities, elements, sounds, or other ideas”
(Webster, 1997:733)
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
12
didasari oleh kepercayaan terhadap penghormatan pada matahari atau pun
pentingnya sebuah gunung pada orang Karo. (idem:91-93)
Bukan hanya kosmologi, simbol yang ada pada rumah tradisional. Simbol
yang ada pada rumah tradisional suku Nias, sebagai contoh, terdapat pada
bagian hiasan, panel kayu, ornamen-ornamen yang berupa motif-motif ukiran
berbentuk binatang, tanaman dan bentuk-bentuk lain. Ornamen-ornamen ini
merepresentasikan kekayaan, status dan kekuatan penguasa, sedangkan motif
binatang dan tanaman merefleksikan konsep rumah sebagai mikrokosmos.
(idem:108)
Selain Waterson, pembahasan mengenai ornamen sebagai hal yang
mengandung makna diulas oleh Egenter. Egenter memulai dari teori arsitektur
yang pada awalnya dianggap sebagai teori yang tak lepas dari teori seni, yang
menghargai bentuk arsitektur dari keindahan, atau estetikanya. Maka, arsitektur
tidak bisa lepas dari pembahasan keindahan, makna simbol dan semiotika.
(Egenter, 1992:77)
Semiotika pada arsitektur, lebih lanjut dibahas secara mendalam oleh
Juan Pablo Bonta dalam “Architecture and Its Interpretation: A study of
expressive systems in architecture.” Menurut Bonta, ikonologi adalah jawaban
untuk menggali makna pada seni, khususnya ornamen2 atau hiasan-hiasan yang
dapat berupa motif pada bangunan atau arsitektur. Hanya saja, Bonta tidak
2
or·na·ment [ áwrn?m?nt ] noun (plural or·na·ments)
Definition:
1. something that decorates: something that decorates or adds beauty to something else
Christmas tree ornaments
2. decorative object: a small decorative object displayed for its beauty
3. decoration: decoration or decorative quality manuscript pages entirely without ornament
4. music embellishing note: a note or set of notes added to embellish a melody or harmony
5. valued person: somebody whose presence is a source of pride or honor ( archaic or literary )
transitive verb (past and past participle or·na·ment·ed, present participle or·na·ment·ing, 3rd
person present singular or·na·ments)
Definition:
decorate something: to make something more attractive by adding decorative items to it
a stone facade ornamented with gargoyles
[14th century. Via Old French< Latin ornamentum< ornare "equip"]
http://encarta.msn.com/dictionary_1861619909/ornament.htm
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
13
mendukung analisis makna ikon3 atau ornamen pada masyarakat yang tidak
memproduksinya. Menurut Bonta, makna aselinya kemungkinan sudah hilang.
Tinggal connoisseurship yang diartikan Webster (1997:171) sebagai “critical
judge in matter of arts or taste”.
“The technique for determining the meaning of a work of art on the basis of texts
or documents directly related to the production of the work is ussually called
iconography. Iconology, more generally, designates the search for meaning by
using any literary source, wheter or not directly related to the production of the
work of art.
... iconology- a term which i use as encompasing iconography-raises some
questions of its own. The goal of iconologist is to determine meaning as seen at
the time of the creation of the work of art. This could be relevant for historical
research, when what is at stake is how forms were interpreted in the past. But it
is scarcely relevant for an analysis of meaning as seen at later times: the original
meaning may have been lost for modern viewers... Iconology may lead to
connoisseurship, but not to analysis of meaning as actually perceived in a
society.” (Bonta, 1979:77)
Studi mengenai ikon4 sebagai bagian dari bangunan yang mengandung makna
sosial
tidak
lepas
dari
studi
semiotika,
studi
mengenai
tanda.
Ada
‘anthropological value’ sebagai petunjuk adanya ‘kebutuhan dasar manusia’ dari
sebuah objek (disini ikon atau ornamen). Tentang hal tersebut diatas, St. Sunardi
menuliskan,
3
Ikon utamanya adalah mengenai gambaran-gambaran pribadi yang disucikan, yang
diagungkan. Pribadi-pribadi yang disucikan ini adalah Keluarga Kudus dari Jerusalem, Maria,
Joseph dan Jesus. Banyak gambaran ikon ditemukan di gereja-gereja Katolik, meski tidak
terbatas pada Katolik Roma, Gereja Ortodoks juga dihiasi dengan icon-icon dari orang-orang suci
mereka. Kamus Encarta dan Hyperdictionary Online menggaris bawahi mengenai hal ini.
Penjelasan berikutnya mengenai ikon menunjukkan kepada gambar dan representasi. Lalu
adapula
penjelasan
ikon
sebagai
symbol
pada
sistem
komputer.(http://encarta.msn.com/dictionary_1861619909/icon.html;
http://www.hyperdictionary.com/dictionary/icon )
4
Agus Cremmers (2002) mempunyai sesuatu mengenai ikon yang ada di gereja berpaham
Ortodoks. Tidak berbeda dari pemikiran-pemikiran diatas, terdapat fungsi kosmologi pada ikon,
selain estetis-religius. Dalam penjelasannya mengenai ikon salib, Cremmers menjelaskan bahwa,
“...hakikat dan fungsi ikon (eikon, gambaran). Menurut paham Ortodoks Yunani/ Rusia eikon
merupakan sebuah “jendela surgawi yang terbuka ke dunia” atau “jendela yang membuka
pandangan ke dunia keabadian.” Suatu ikon tidak merepresentasikan kenyataan dunia konkret
menurut aspek keindahan duniawi khas yang otonom, tetapi memperlihatkan kenyataan duniawi
sejauh itu dijadikan transparan berdasarkan perspektif dan acuan cahaya surgawi dan cakrawala
ilahi yang aneh di seberang horison pandangan kita. ... oleh karena itu cinta kepada Tuhan dan
cita rasa akan keindahan (philokalia) bersatu padu dalam tradisi ikon. Hanya atas dasar latar
belakang pengakuan estetis-religius itulah, perkataan mendalam dari Dostojewski dapat dipaham
betul, yaitu “hanya keindahanlah yang dapat menyelamatkan dunia”... (Cremmers, 2002:91-94)
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
14
“... Analisis semiotik lebih memusatkan perhatian pada suatu objek sebagai the
significant daripada the technical (atau the functional). Pembedaan ini amat
penting untuk melihat gejala budaya dalam masyarakat di mana the significant
dari objek fungsional menjadi lebih penting dari pada fungsi atau the technical.
(St. Sunardi, 2002: 51)
Suatu objek dilihat sebagai the significant. Demikianlah analisis semiotik
terhadap suatu objek. Semiotik atau ilmu tanda, yang mempelajari mengenai
tanda dimulai dari studi Ferdinand Saussure mengenai bahasa. Bahasa adalah
tanda, yang harus dibaca dan mempunyai makna tertentu bagi komunitas
tertentu. Hal yang menarik lagi dari tulisan St. Sunardi tentang Semiotika
Negativa adalah bahwa makna pada sebuah objek yang sama bisa mengalami
perbedaan dan perubahan makna. Tanda tersebut bukan hanya memiliki satu
makna tapi dapat pula mengandung makna lain, atau maknanya dapat berubah.
Perubahan makna tersebut dipengaruhi konteksnya, bisa disebabkan oleh
komunitasnya. (St. Sunardi, 2002)
Young juga menuliskan bahwa bangunan gereja memiliki makna-makna
yang dibentuk dan membentuk komunitasnya. Sebab, sebagai bangunan, gereja
tidak terlepas dari pemikiran mengenai bangunan sebagai bentukan sosial,
mempunyai faktor-faktor yang membentuk perilaku manusia. Menurut Young,
“…The shape, height, building materials, color and configuration of a building or
other interactional site tell us much about the meanings to be conveyed, the roles
to be enacted, the institutions to be reproduced and the social occasions which
can be embodied in them. Churches,…, all have their own architectural
pecularities. Each has differing furnishings and decor. ..they set the background
frames
for
specialied
social
activities.”
(http://uwacadweb.uwyo.edu/RED_FEATHER/lectures/socgradindex.html)
Gereja adalah rumah ibadat umat Kristiani. Penggunaan kata ibadat dalam tesis
ini didukung dengan dua referensi, yaitu Heuken, dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Heuken menuliskan bahwa rumah ibadat adalah tempat umat agama
tertentu beribadat. Hal ini perlu dijelaskan karena banyak tulisan mencantumkan
tempat beribadat sebagai rumah ibadah. Gereja merupakan tempat umat
beragama kristen beribadat. Meski pada dasarnya, kata Gereja berasal dari kata
Portugis, Igreja, yang diadopsi dari kata Yunani, Ekklesia yang mempunyai arti
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
15
kumpulan orang yang percaya (dalam hal ini pada Jesus Kristus). (Heuken,
2003). Konsep rumah ibadat menurut Heuken diatas, sama definisinya seperti
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Rumah Ibadat adalah bangunan tempat beribadat (masjid, gereja, kuil,
dsb.). (Pusat Bahasa,ed.,2002, hal.967)
Biasanya, orang menyebutkan rumah ibadat dengan kata rumah ibadah,
ternyata ritual yang dilakukan umat tertentu disebut dalam bahasa Indonesia
sebagai ibadat bukan ibadah. Maka pada tesis ini akan dipakai kata-kata rumah
ibadat bukan rumah ibadah.
Rumah ibadat di Berastagi mengadopsi arsitektur rumah adat Karo.
Rumah adat Karo identik dengan, si waluh jabu, rumah besar yang berhasil
didirikan dengan kerja sama penduduk kampung atas dasar kekeluargaan,
kepentingan bersama dan kekompakan, untuk menciptakan kekuatan dalam
menghadapi binatang buas dan orang-orang dengan maksud buruk. Awalnya,
rumah-rumah keluarga di Tanah Karo merupakan rumah-rumah untuk keluarga
inti. Akan tetapi, seiring berkembangnya populasi dari sebuah kampung, maka
muncul gagasan untuk membuat rumah komunal yang lebih kuat. Pembangunan
sebuah rumah adat Karo selalu ‘disponsori’ oleh Bangsa Tanah5. Tulisan diatas
mengartikan rumah adat Karo adalah rumah tempat tinggal, bukan rumah tempat
upacara adat berlangsung. Yang meskipun demikian, pekerjaan pembangunan
rumah ini ini dilakukan dengan bersama-sama diperkuat sistem kekerabatan
rakut si telu atau Sangkep sitelu disertai juga didalamnya ritual atau upacaraupacara. Delapan tahapan upacara yang dilewati dalam pembuatan rumah adat
ini adalah padi-padiken tapak rumah, ngempak, ngerintak kayu, pebelit-belitken,
mahat, ngampeken tekang, ngampeken ayo, dan memasang tanduk. (Sitepu,
1995)
Singarimbun (1984) juga menuliskan bahwa rumah adat Karo adalah “rumah
yang
terjalin
rapat
dalam
sistem
adat-istiadat
Karo
asli,
dimana
pembangunannya didasarkan pada kepercayaan dan diiringi oleh upacara5
Bangsa Tanah adalah individu-individu yang merupakan keluarga dari orang yang membuka
sebuah kampung. Biasanya Bangsa Tanah ini diposisikan sebagai kalimbubu terhadap merga
lain di kampung tersebut.
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
16
upacara yang komplex. Penghuni-penghuninya biasanya terdiri dari 4-8
keluarga.” Rumah adat disini tidak dinamakan si waluh jabu, hanya rumah adat
saja. Tapi Singarimbun juga menggambarkan adanya bangunan-bangunan lain
yang terdapat pada Kuta Gamber, sebuah kampung di Kabupaten Karo, yaitu
Jambor atau Jambur, dan geriten. (Singarimbun dalam Koentjaraningrat,ed. 1984,
hlm.154-156)
Bentuk rumah adat yang difungsikan sebagai rumah ibadat di Berastagi ini
dinamakan
sebagai
gereja
inkulturatif.
Konsep
inkulturatif
ini
mungkin
mempunyai arti sifat inkulturasi. Ada empat referensi yang akan membantu
menjelaskan mengenai konsep inkulturasi. Pertama, menurut Johana, seorang
penulis artikel di arsitektur indis online, inkulturasi dari perspektif arsitektur
adalah:
“proses pada saat mana kebudayaan lokal diserap untuk memahamkan ajaran
gereja komunitas lokalnya.”
(http://www.arsitekturindis.com/index.php/archives/1999/12/ )
Konsep inkulturasi pada gereja Katolik di Indonesia disamakan dengan
Indonesianisasi. Hal ini dijelaskan Boolars, seorang pastor dari Ordo Fransiskan
Minori, pada bukunya “Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi
Gereja Katolik Indonesia”. Konsep inkulturasi secara harfiah seperti analogi
tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Tadinya, satu
pohon kelapa sawit didatangkan dari Afrika tahun 1848, menjadi banyak ditanam
di seluruh Nusantara. Seperti halnya kekristenan, tidak berasal dari Indonesia,
datang ke Indonesia, kemudian berakar menjadi dewasa dan berkembang di
Indonesia. Ketika diaplikasikan ke Gereja Katolik, awalnya berupa gereja
semesta, atau gereja katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia.
masih menurut Boolars, proses Indonesianisasi atau proses inkulturasi pada
Gereja Katolik dilakukan pada ‘unsur-unsur konstitutif’ yaitu: perubahan
pengertian
kebudayaan,
pertukaran
hidup
antara
Gereja
dan
pelbagai
kebudayaan bangsa-bangsa, dan peranan sentral Gereja setempat. Awal proses
inkulturasi gereja Katolik dimulai pada periode Konsili Vatikan II, dimana harus
diadakan penyesuaian dibidang politik maupun sosio-budaya Nusantara dan
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
17
bangsa. Boolars membedakan antara konsep inkulturasi, enkulturasi dan
akulturasi. (Boolars, 2005; hal.19,43,337-341).
“Inkulturasi dipakai untuk menunjukkan proses gereja, selama dimasukkan
kedalam kebudayaan tertentu. Inkulturasi Gereja berarti integrasi pengalaman
kristiani Gereja setempat ke dalam kebudayaan rakyatnya sedemikian rupa
sehingga pengalaman itu tidak hanya mengungkapkan diri dalam unsur-unsur
kebudayaan itu, tetapi menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan dan
membarui kebudayaan itu seupaya menciptakan kesatuan dan persekutuan,
bukan hanya dalam kebudayaan yang bersangkutan, melainkan juga
memperkaya Gereja semesta.” (Boolars, 2005; hal.337-338)
“Enkulturasi adalah istilah teknis dalam antropologi budaya guna menunjukkan
pengalaman belajar, yang karenanya seorang individu mulai hidup dan
berkembang memasuki kebudayaannya.” (Boolars, 2005; hal.337-338)
“Akulturasi ... sinonim bagi ‘hubungan-kebudayaan’ ..” (Boolars, 2005; hal.337338)
Proses inkulturasi mempunyai tiga tahap yang pada prakteknya terjadi
secara berurutan tapi juga dapat berlangsung sekaligus. Boolars dalam hal ini
mengutip Crollius yang merunutkan ketiga tahapan tersebut sebagai:
“Pada tahap pertama, Gereja berada dalam kontak dengan kebudayaan baru,
dan menyajikan warta gembira kristiani serta hidup kristiani berupa kebudayaan
lain. Meskipun diadakan penyesuaian-penyesuaian lebih ringan, penerjemahanpenerjemahan disiapkan, Gereja masih meneruskan penampilan luar negeri.
Masuk kristen berimplikasi dan sering merelakan kebudayaannya sendiri. Pada
stadium pertama itu berlangsung proses asimilasi: para misionaris dan umat
kristiani setempat dari kedua kebudayaan saling menyesuaikan diri.
Baru kalau kelompok-kelompok lebih besar dalampenduduk setempat
menggabungkan diri pada Gereja, apalagi rohaniwan pribumi mulai berkembang,
Gereja mestinya makin berasimilasi dengan kebudayaan masyarakat di
lingkungannya. Pada tahap itu, mulailah proses inkulturasi yang sesungguhnya.
Di situ para pelaksana yang paling penting ialah mereka yang termasuk
kebudayaan setempat.
Semula Gereja yang muda secara lebih pasif menyesuaikan diri dengan
kebudayaan lingkungannya, tetapi pada stadium yang lebih lanjut Gereja akan
memaikan peranan lebih aktif dalam transformasi kebudayaan itu. itulah tahap
ketiga, di mana masa pengarahan kebudayaan setempat secara aktif lebih
menguasai.” (Boolars, 2005; hal. 339)
Konsep inkulturasi yang ketiga, yang dikutip Timo, seorang pendeta yang
menulis “Pemberita Firman Pencinta Budaya, Mendengar dan Melihat Karya
Allah dalam Tradisi”. Ia mengutip Brunner yang mengatakan bahwa alat
inkulturasi adalah titik sambung yang berupa metafora.
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
18
“selalu ada titik sambung dalam budaya atau adat istiadat masyarakat yang
berfungsi sebagai jalan masuk pembawa Injil dalam bahasa, simbol, atau
metafora yang dipahami manusia.” (Timo:2005:115-156).
Konsep inkulturasi yang keempat, dipaparkan oleh Sachary dan Sunarya,
pakar desain dari ITB. Mereka menuliskan bahwa inkulturasi merupakan sebuah
dari dua tahap yang ada pada proses transformasi budaya, selain akulturasi.
Inkulturasi adalah,
“latihan setiap pelaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan
kebudayaan yang terjadi. .. juga pada dasarnya merupakan penempaan setiap
individu sebagai subjek kebudayaan, cita-cita kebudayaan yang diharapkan,
kontrol melawan penyelewengan dan ketegangan terhadap daya cipta
seseorang. Inkulturasi dianggap berhasil dengan baik jika terjadi penggabungan
antara tradisi dan ekspresi pribadi, sehingga nilai-nilai dapat berasimilasi dengan
dinamis.”
Lanjutnya lagi, inkulturasi mempunyai cara pandang pragmatis-realistis, yang
‘cenderung mengikis nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai
baru.’ Inkulturasi berbeda dengan akulturasi, yang ‘merupakan pertemuan
wahana atau area dua kebudayaan dan masing-masing dapat menerima nilainilai bawaannya’. (Sachary dan Sunarya, 2001; hal.86)
Ada perbedaan antara inkulturasi dan enkulturasi. Spradley menerangkan
adanya tahap enkulturasi pada langkah-langkah pengambilan data etnografi,
bagi sebuah tulisan antropologis. Tahap ini merupakan tahap dimana seorang
etnografer melewati “proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu,”
dengan cara meninggalkan budayanya dalam mempelajari budaya baru. Hal ini
tentunya berbeda dengan konsep inkulturasi yang merupakan pertemuan dua
budaya. Sementara enkulturasi lebih pada proses seseorang memasuki budaya
baru dan beradaptasi dengan budaya tersebut. (Spradley:1998; Sunarya:2001)
Inkulturasi merupakan pertemuan dua budaya, dan dengan pertemuan
tersebut, bisa menyebabkan terciptanya budaya baru atau transformasi budaya.
Inkulturasi dapat terlihat pada tataran interaksi sosial, bagaimana pertemuan dua
budaya tersebut terjadi. Pada interaksi sosial dapat terjadi pengaturan dan
manipulasi atribut-atribut kesukubangsaan. Atribut kesukubangsaan merupakan
atribut askriptif. Atribut askriptif diperoleh semenjak kelahiran dan atribut ini akan
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
19
melalui proses seleksi guna mengenali identitas atau jatidiri seseorang. Contoh
atribut askriptif kesukubangsaan adalah merga dalam masyarakat Karo. Merga
diperoleh seseorang lewat kelahiran, tapi seiring kebutuhan merga menjadi
atribut yang bisa diperjuangkan atau bersifat achieved. Ornamen merupakan
salah satu bentuk atribut, ‘ciri-ciri yang menyolok dari benda.’ Jatidiri atau
identitas akan terdetektsi dalam interaksi, yang terlihat dalam “antar-tindakan
para pelaku”. (Suparlan, 2005)
Egia Anintana. Pemaknaan ornamen ..., FISIP UI., 2007.
20
Download