Hubungan Antara Komponen Kebugaran Jasmani Dengan Prestasi

advertisement
iv
ABSTRAK
David M. T. S. , 2007. Hubungan antara Komponen Kebugaran Jasmani dengan Prestasi
Atlet Senam Putra PORPROV X Jabar di Karawang.
Komponen kebugaran jasmani yang predominan untuk menunjang prestasi atlet
senam putra atlet senam putra PORPROV X Jabar antara lain adalah daya tahan jantungparu, kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, dan kelincahan. Akan tetapi seberapa
besar hubungan tiap-tiap komponen fisik tersebut dalam rangka menunjang prestasi atlet
senam putra atlet senam putra PORPROV X Jabar masih belum diketahui. Maka
dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara komponen kebugaran jasmani
dengan prestasi atlet senam putra atlet senam putra PORPROV X Jabar di Karawang.
Subjek penelitian adalah 10 orang atlet senam putra yang meraih medali pada
Pekan Olahraga Provinsi (PORPROV) Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan
adalah analisis korelasional dengan cara mengukur umur (tahun), berat badan (Kg), tinggi
badan (cm), BMI (Kg/m2), pengukuran
O2 maks (ml/kg.mnt) dengan tes Ryhming,
kekuatan otot dengan dynamometer, daya ledak otot lengan dan tungkai dengan twohands medicine ball-put (cm) dan vertical jump (cm), kelentukan (cm) dengan metode sit
and reach test, dan kelincahan dengan tes shuttle run (detik). Kemudian untuk
mengetahui hubungan antara komponen kebugaran jasmani dengan prestasi atlet senam
putra atlet digunakan uji korelasi Jaspen’s (r) (p<0,05)..
Hasil penelitian dengan uji korelasi Jaspen’s (p<0,05) menunjukkan hubungan
antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) dengan prestasi atlet senam putra adalah
sedang (r=0,611), hubungan antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan otot tungkai
dengan prestasi atlet senam putra adalah lemah (r=-0,071; r=-0,324; r=-0,452), hubungan
antara daya ledak otot lengan dan otot tungkai dengan prestasi atlet senam putra adalah
rendah dan lemah (r=0,344; r=-0,106), hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet
senam putra adalah sedang (r=-0,503), dan hubungan antara kelincahan dengan prestasi
atlet senam putra adalah sedang (r=0,520).
Kesimpulan, didapatkan komponen yang berperan terhadap prestasi atlet senam
putra adalah daya tahan jantung paru, kelentukan dan kelincahan dan komponen yang
kurang berperan terhadap prestasi atlet senam putra adalah kekuatan otot dan daya ledak
otot. Saran, perlu diupayakan peningkatan dan perbaikan komponen kebugaran jasmani
untuk mencapai prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar yang maksimal dengan
melakukan bentuk latihan yang tepat dan sesuai dosis latihan yang telah ditentukan.
v
ABSTRACT
David M. T. S. , 2007. The Relationship between The Physical Fitness
Components and The Performance of West Java PORPROV X Male Gymnastic
Athletes in Karawang.
The dominant components of physical fitness
that contribute the
performance of West Java PORPROV (Provincial Sports Week) male gymnastic
athletes are cardiopulmonary endurance, muscle strength, muscle power,
flexibility, and agility. However, how close the relationship of each physical
fitness component to the performance of West Java PORPROV X male gymnastic
athletes is has not been known yet. Therefore, this study was conducted to
investigate the relationship between the physical fitness components and the
performance of West Java PORPROV X male gymnastic athletes in Karawang.
The reseach subject was 10 male gymnastic athletes who won medallion
during the 10th Provincial Sports Week (PORPROV) of West Java. The research
method used was correlation analysis by measuring age (year), body weight (kg),
body height (cm), BMI (kg/m2), VO2 max (ml/kg.min) using Rhyming step test,
muscle strength (kg) with dynamometer, hand and leg muscle power with twohand medicine ball-put (cm) and vertical jump (cm), flexibility using sit-andreach test (cm), and agility with shuttle run test (second). Furthermore, in order
to seek the relationship of the physical fitness components to the gymnastic
performance of male athletes, Jaspen’s correlation analysis (r) (p<0.05) was
used.
The study results using Jaspen’s correlation analysis indicated that the
correlation between cardiopulmonary endurance (VO2 max) and
the
performance of male gymnastic athletes was moderate (r=0.611) ; the
correlations of the strength of hand muscle, back muscle, and leg muscle to the
performance of male gymnastic athletes were weak (r=-0.071, r=-0.324, r=0.452, respectively); the correlation of hand muscle power and leg muscle power
to the perfomance of male gymnastic athletes were low and moderate (r=0.344,
r=0.-0.106, respectively); while the correlations of the flexibility
to the
performance of male gymnastic athletes were moderate (r=-0.503); and the
correlations of the agility to the performance of male gymnastic athletes were
moderate (r=0.520).
The conclusion showed that the physical fitness components played on
the performance of male gymnastic athletes were cardiopulmonary endurance,
flexibility, and agility, whereas the physical fitness components played a less
important role on the performance of male gymnastic athletes muscle strength
and muscle power. Thus, it is necessary to make effort enhancing and improving
the physical fitness components in achieving maximum performance of West
Java PORPROV X male gymnastic athletes by implementing appropriate form
and dose of exercises conforming to the sports principles.
vi
KATA PENGANTAR
Segala pujian serta syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
karena hanya oleh anugerah-Nya semata penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.
Penulis berhutang banyak kepada berbagai pihak yang memungkinkan
penulis menyelelesaikan Tesis ini, baik dari awal hingga selesainya Tesis ini. Oleh
karena itu, penulis berterima kasih sedalam-dalamnya kepada yang terhormat
Prof. A. Himendra, dr., SpAnKIC(K)., selaku Rektor Universitas Padjadjaran,
beserta sekretaris dan segenap staf atas kesempatan yang telah diberikan kepada
penulis untuk menjalani dan menyelesaikan program pendidikan ini.
Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih
kepada yang terhormat
Prof. H. A. Djadja Saefullah, Drs., M.A., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya diberikan
kepada yang terhormat Prof. Dr. Hj. Ieva Baniasih Akbar, dr., MS., AIFO., selaku
Koordinator Pendidikan Program Magister Kesehatan Universitas Padjadjaran,
atas perkenanan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjalani
dan menyelesaikan program pendidikan ini.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis tujukan kepada yang terhormat Eri
Surachman, dr., SpAn(K)., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
beserta staff, Prof. Dr. Imam Supardi, dr., SpMK., Ketua Program Pendidikan
Combined Degree Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran beserta staf, dan
Prof. Dr. A. Purba, dr., MS., AIF., Ketua Program Ilmu Faal dan Kedokteran
Olahraga
Program
Combined
Degree
Fakultas
Kedokteran
Universitas
vii
Padjadjaran beserta staf pengajar di Program Ilmu Faal dan Kedokteran Olahraga
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada yang
terhormat Prof. Dr. A. Purba, dr., MS., AIF., Guru Besar Ilmu Faal atas
kesediaannya menjadi ketua Tim Pembimbing serta segala jerih payahnya,
penyediaan waktu , pengertiannya, bimbingannya, kesabarannya, serta dorongan
semangat yang tidak dapat penulis balas, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan S2 ini.
Kepada Prof. Dr. Hj. Ieva Baniasih Akbar, dr., MS., AIF, penulis sekali
lagi mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas kerelaannya menjadi
anggota Tim Pembimbing serta atas segala pengarahan, bimbingan, dukungan dan
semangat yang telah diberikan sejak awal penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah pula penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dr. H.Adjat Sedjati Rasyad, dr., MKes, AIF; Dr. Beltasar Tarigan, drs., M.S,
AIFO; Renny Farenia, dr., MKes, AIFO; dan juga kepada Jimmy Setiadinata, dr.,
MKes., AIFO, selaku tim penelaah yang telah memberikan saran dan masukan
berharga untuk penyusunan tesis ini.
Terima kasih penulis ucapkan pula kepada Bapak Drs.Etor Suwandar M.Si
selaku Penanggungjawab Pelatda Persani Jawa Barat, dan para pelatih Pelatda
Persani yang telah meluangkan waktu serta memberikan masukan dan berbagai
bantuan selama penulis melakukan penelitian, penulis mengucapkan banyak
terimakasih atas kesediaan, kerjasama, serta bantuannya dalam menyelesaikan
tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada Asep Eris Supriatna, S.Si.,
viii
atas bantuannya dalam pengolahan statistik penelitian ini. Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada staf PPCD : Pak Heri, Tuti, Wini, Bu Ida, yang
telah banyak membantu, dan mendorong penulis sehingga dapat mengikuti
pendidikan pascasarjana ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga bagi segenap
keluarga, Bapa, Mama, dan adik-adikku yang telah memberikan bantuan dan
menjadi sumber penghiburan dalam perjuangan penulis menyelesaikan Tesis ini.
Akhir kata, penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih pada
pada yang terkasih Merry dan rekan-rekan seperjuangan, yang selalu saling
menopang dalam suka maupun duka, Ranto Jaya Simanjuntak, dr.; Firman, dr.;
Bernhard Arianto Purba,dr.; Leonardo Lubis, dr.; Anna Sofyana,dr.; Farra Y
Ermita, dr.; Novi, dr.; Dolly N Lubis, dr.; Adi Sopiandi, dr., dan teman-teman
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, tanpa dorongan dan semangat dari
kalian tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan Tesis dan program pendidikan
S2 ini.
Segala sesuatu hanya dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk kemuliaan nama
Tuhan.
Bandung, Maret 2007
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................
ii
ABSTRAK .......................................................................................
iv
ABSTRACT ......................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................
vi
DAFTAR ISI ....................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ...........................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................
xviii
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................
1
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................
1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................
3
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian .....................................
4
1.3.1 Maksud Penelitian .............................................
4
1.3.2 Tujuan Penelitian ..............................................
4
1.4 Kegunaan Penelitian.....................................................
5
1.4.1 Kegunaan Ilmiah ...............................................
5
1.4.2 Kegunaan Praktis ..............................................
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA,
KERANGKA PEMIKIRAN
DAN HIPOTESIS ...........................................................
6
2.1 Kajian Pustaka..............................................................
6
x
2.1.1 Olahraga Prestasi...............................................
6
2.1.2 Kebugaran Jasmani ............................................
7
2.1.2.1 Daya Tahan Jantung-Paru ....................
8
2.1.2.1.1 Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap
Daya Tahan Jantung Paru..................
12
2.1.2.2.2 Kapasitas Aerobik .............................
14
2.1.2.2 Kekuatan Otot ......................................
15
2.1.2.3 Daya Ledak Otot ..................................
16
2.1.2.4 Kelentukan ............................................
18
2.1.2.5 Kelincahan ...........................................
19
2.1.3 Hubungan Komponen Kebugaran
Jasmani
dengan Prestasi ..................................................
20
2.1.3.1 Hubungan Daya Tahan Jantung - Paru
( O2 maks) dengan Prestasi................
2.1.3.2 Hubungan Kekuatan
Otot
20
dengan
Prestasi ................................................
23
2.1.3.3 Hubungan Daya Ledak Otot dengan
Prestasi .................................................
24
2.1.3.4 Hubungan Kelentukan Otot dengan
Prestasi .................................................
26
2.1.3.5 Hubungan Kelincahan dengan Prestasi
26
2.1.4 Senam ................................................................
27
2.1.4.1 Karakteristik Gerak Dasar Senam .........
28
xi
2.1.4.2 Keterampilan Lokomotor ......................
29
2.1.4.3 Keterampilan Nonlokomotor ................
30
2.1.4.4 Keterampilan Manipulatif .....................
30
2.1.4.5 Aspek Fisiologis Senam.........................
31
2.1.4.6 Aspek Neuromuskular Terhadap Prestasi
Senam.....................................................
33
2.2 Kerangka Pemikiran .....................................................
35
2.3 Hipotesis.......................................................................
44
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN ......................
45
3.1 Subjek Penelitian .........................................................
45
3.2 Metode Penelitian ........................................................
46
3.2.1 Tipe Penelitian .................................................
46
3.2.2 Desain Penelitian ..............................................
46
3.2.3 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
Penelitian ..........................................................
47
3.2.4 Instrumen Penelitian ........................................
49
3.2.5 Prosedur Penelitian ..........................................
50
3.2.6
Rancangan Analisis Data .................................
51
3.2.7
Waktu dan Tempat Penelitian ..........................
51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..
52
4.1 Hasil Penelitian ............................................................
52
xii
4.1.1
Karakteristik
Fisik
Atlet
Senam Putra
Peraih Medali PORPROV X Jabar...................
52
4.1.2
Uji Normalitas dan Homogenitas .....................
53
4.1.3
Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani
Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV
X JABAR Terhadap Standar KONI Pusat.......
54
4.1.4 Hubungan Antara Daya Tahan Jantung Paru
dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih
Medali PORPROV X JABAR..........................
56
4.1.5 Hubungan Antara Kekuatan Otot Lengan (Pull
Strength) dengan Prestasi Atlet Senam Putra
Peraih Medali PORPROV X JABAR...............
57
4.1.6 Hubungan Antara Prestasi Kekuatan Otot
Punggung (Back Strength) dengan Prestasi
Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV
X JABAR..........................................................
4.1.7
Hubungan Antara
58
Kekuatan Otot Tungkai
(Leg Strength) dengan Prestasi Atlet Senam
Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR....
4.1.8
59
Hubungan Antara Daya Ledak Otot Lengan
(Medicine Ball) dengan Prestasi Atlet Senam
Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR.....
60
xiii
4.1.8 Hubungan Antara Daya Ledak Otot Tungkai
(Vertical Jump) dengan Prestasi Atlet Senam
Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR........
61
4.1.9 Hubungan Antara Kelentukan dengan Prestasi
Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X
JABAR ................................................................
4.1.10 Hubungan Antara
62
Kelincahan (Shuttle Run)
dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih
Medali PORPROV X JABAR ............................
63
4.2 Pembahasan......................................................................
65
4.2.1
Hubungan
Antara Daya Tahan Jantung Paru
dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih
Medali PORPROV X JABAR.............................
4.2.2
65
Hubungan Antara Kekuatan Otot Lengan, Otot
Punggung dan Otot Tungkai dengan Prestasi
Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X
JABAR.................................................................
4.2.3
70
Hubungan Antara Daya Ledak Otot Lengan dan
Tungkai dengan Prestasi Atlet Senam Putra
Peraih Medali PORPROV X JABAR..................
4.2.4
72
Hubungan Antara Kelentukan dengan Prestasi
Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X
JABAR.................................................................
74
xiv
4.2.5
Hubungan Antara Kelincahan dengan Prestasi
Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X
JABAR.................................................................
75
4.3 Pengujian Hipotesis.........................................................
76
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................
79
5.2 Saran ............................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................
82
LAMPIRAN .....................................................................................
87
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Karakteristik Fisik Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X
JABAR..............................................................................................
Tabel 4.2
Uji Normalitas & Homogenitas Komponen Kebugaran Jasmani
Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR.........................................
Tabel 4.3
52.
53
Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra
Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI
Pusat...................................................................................................
Tabel 4.4
Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Tahan
Jantung-Paru ( O2 maks) dengan Prestasi.........................................
Tabel 4.5
59
Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Ledak Otot
Lengan dengan Prestasi........................................................................
Tabel 4.9
58
Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Otot
Tungkai dengan Prestasi......................................................................
Tabel 4.8
57
Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan
Punggung dengan Prestasi.................................................................
Tabel 4.7
56
Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Otot
Lengan dengan Prestasi........................................................................
Tabel 4.6
54
60
Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Ledak Otot
Tungkai dengan Prestasi.....................................................................
61
Tabel 4.10 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kelentukan
Tungkai dengan Prestasi...
62
Tabel 4.11 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Eta antara Kelentukan dengan
Medali Emas, Perak, Perunggu............................................................
63
xvi
Tabel 4.12 Tingkatan Komponen Kebugaran Jasmani yang Berperan dalam
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Berdasarkan Koefisien Korelasi (r) dan Kategori Kebugaran Jasmani
64
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1
Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra
Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI
Pusat................................................................................................
Gambar 4.2
55
Tingkatan Komponen Kebugaran Jasmani yang Berperan dalam
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Berdasarkan Koefisien Korelasi (r) dan Kategori Kebugaran
Jasmani............................................................................................
64
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Informed Consent .………………………………….
87
Lampiran 2
Formulir Pemeriksaan Fisik…………………………
88
Lampiran 3
Formulir Penelitian Daya Tahan Kardiovaskular,
Kekuatan Otot, Daya Ledak Otot, Daya Tahan Otot,
Tes
Fleksibilitas / Kelentukan, Tes
Agilitas,
Shuttle Run 6x10 meter …………..………...........
89
Lampiran 4
Prosedur Pengukuran Daya Tahan Jantung Paru
91
Lampiran 5
Prosedur Pengukuran Kekuatan Otot Lengan,
Punggung dan Tungkai..............................................
Lampiran 6
92
Prosedur Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan dan
Otot Tungkai..............................................................
93
Lampiran 7
Prosedur Pengukuran Kelentukan…………………..
94
Lampiran 8
Prosedur Pengukuran Kelincahan..............................
95
Lampiran 9
Normogram Astrand..................................................
95
Lampiran 10 Tabel Koreksi
O2 maks Berdasarkan Berat Badan
96
Lampiran 11 Tabel Derajat Kebugaran Jasmani Berdasarkan
O2 maks (Astrand)………......................................
97
Lampiran 12 Uji Korelasi Jaspen’s (r) antara Komponen Fisik
dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X
Jabar...........................................................................
97
Lampiran 13 Uji-t antara Komponen Fisik dengan Atlet Senam
Putra PORPROV X Jabar terhadap Standard KONI.
99
Lampiran 14 Interpretasi Koefisien Korelasi (Guilford)..................
100
xix
Lampiran 15 Standard KONI Putra-Putri........................................ .
101
Lampiran 16 Tes Normalitas Komponen Fisik Atlet Senam Putra
PORPROV X Jabar......................................................
101
Lampiran 17 Karakteristik Fisik-Fisiologis Atlet Senam Putra.........
103
Lampiran 18 Riwayat Hidup..............................................................
104
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Senam merupakan salah satu olahraga prestasi yang dipertandingkan dan
menjadi andalan dalam meraih medali pada event-event olahraga tingkat nasional
seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) dan pada tingkat internasional seperti
SEA Games, Asian Games maupun Olimpiade.
Dalam mencapai prestasi yang maksimal pada event-event olahraga tersebut,
seorang atlet senam putra membutuhkan komponen kebugaran jasmani yang
prima antara lain: daya tahan jantung paru (
O2 maks), kekuatan otot, daya ledak
otot, kelentukan, kelincahan (Nurhasan, 1984; Harsono, 1988; Pyke,1990;
Astrand & Rodahl, 2003). Hal ini diperkuat oleh Harsono (1988) dan Foss &
Keteyian (1998) yang mengatakan bahwa kemampuan kualitas fisik yang
maksimal mempunyai peranan sangat penting dalam mencapai prestasi atlet.
Pada atlet senam putra terdapat rangkaian gerakan yang spesifik yang harus
dilakukan seperti berlari, melayang, melompat, berdiri terbalik dengan bertumpu
pada kedua tangan, salto, berguling, mengayun badan, berpindah menyilang dan
menyamping dan menendang. Dari uraian di atas menunjukkan diperlukan
kemampuan komponen kebugaran jasmani yang prima dalam melakukan berbagai
rangkaian gerakan yang diperlukan oleh atlet senam putra pada saat pertandingan
dalam meraih prestasi yang maksimal terutama dalam peraihan medali.
1
2
Atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X JABAR bulan Juli
2006 pada saat ini secara khusus diikutsertakan dalam pelatihan Pelatda JABAR
untuk persiapan mengikuti PON XVII di Kalimantan Timur. Walaupun atlet
senam putra pada PORPROV X Jabar tersebut telah meraih medali akan tetapi
seberapa besar hubungan antara kemampuan kebugaran jasmani daya tahan
jantung paru, kekuatan otot lengan dan tungkai, daya ledak otot lengan dan
tungkai, kelentukan, dan kelincahan terhadap prestasi atlet senam putra peraih
medali pada PORPROV X Jabar masih belum diketahui dengan jelas.
Dari pengamatan di lapangan diketahui bahwa latihan daya tahan jantung paru
hanya dilakukan 1 kali dalam seminggu yang seharusnya melakukan latihan tiga
sampai lima kali dalam seminggu dengan intensitas latihan 75-85% dari denyut
nadi maksimal dan berlangsung lebih dari 60 menit. Demikian pula halnya, untuk
meningkatkan kekuatan dan daya ledak seharusnya menggunakan latihan beban
(weight training), dan untuk latihan kekuatan otot dalam rentang 8-12 RM, latihan
daya ledak otot dalam rentang 12-15 RM sebanyak tiga set, dan dilakukan dua
sampai tiga kali seminggu (Bompa, 1983; Harsono,1988). Akan tetapi, ternyata
atlet senam putra yang berprestasi pada PORPROV X Jabar relatif jarang
melakukan bentuk latihan weight training dan hanya dilakukan 1 kali dalam
seminggu.
Sehubungan uraian diatas maka diperlukan adanya pemeriksaan kondisi
kebugaran jasmani untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara kebugaran
jasmani dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X
JABAR.
3
Pengetahuan hubungan antara komponen-komponen kebugaran jasmani
dengan prestasi ini diharapkan dapat membantu pelatih dalam merencanakan
program latihan untuk persiapan menghadapi PON XVII di Kalimantan Timur
serta berguna untuk penyusunan program latihan selanjutnya sehingga komponenkomponen kebugaran jasmani yang mana peranannya sangat penting dalam
pencapaian prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar dapat dimaksimalkan.
Dari uraian tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai: Hubungan antara
Komponen Kebugaran Jasmani dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X
Jabar di Karawang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat
mengidentifikasikan masalah penelitian pada atlet senam putra Pelatda Jawa Barat
sebagai berikut:
1) Seberapa besar hubungan antara daya tahan jantung paru (
O2 maks)
dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di
Karawang?
2) Seberapa besar hubungan antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan
otot tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada
PORPROV X Jabar di Karawang?
3) Seberapa besar hubungan antara daya ledak otot lengan dan otot tungkai
dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar
di Karawang?
4
4) Seberapa besar hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam
putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang?
5) Seberapa besar hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam
putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1
Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk:
Mencari hubungan antara komponen kebugaran jasmani daya tahan jantung
paru, kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai, daya ledak otot lengan dan
tungkai, kelentukan, dan kelincahan dengan prestasi atlet senam putra peraih
medali pada PORPROV X Jabar.
1.3.2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
Memperoleh pengetahuan hubungan antara komponen kebugaran jasmani
daya tahan jantung paru, kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai, daya ledak
otot lengan dan tungkai, kelentukan, dan kelincahan dengan prestasi atlet senam
putra peraih medali pada PORPROV X Jabar.
5
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1
Kegunaan Ilmiah
Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi sebagai dasar pemikiran secara ilmiah khususnya dalam Ilmu Faal &
Kedokteran Olahraga mengenai pengetahuan seberapa besar hubungan antara
komponen kebugaran jasmani dengan prestasi atlet senam putra peraih medali
pada PORPROV X Jabar di Karawang.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Untuk mengetahui komponen kebugaran jasmani yang predominan pada
olahraga senam dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelatih, pembina
olahraga senam
dan atlet
senam putra PORPROV X Jabar dalam upaya
meningkatkan kualitas komponen kebugaran jasmani atlet yang erat kaitannya
dengan pencapaian prestasi yang maksimal sehingga dapat mengukir prestasi yang
lebih baik pada PON XVII di Kalimantan Timur
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1
Olahraga Prestasi
Olahraga ialah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang
dilakukan orang untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu. Olahraga
dapat dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan sifat dan tujuannya, yaitu
olahraga prestasi, olahraga rekreasi, olahraga kesehatan dan olahraga pendidikan
(Lutan, 1991; Giriwijoyo, 1992).
Menurut Undang-Undang Sistim Kesehatan Nasional 2005 (SKN 2005),
olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan
olahragawan secara terencana (sistematis), berjenjang dan berkelanjutan, melalui
kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Prestasi seorang atlet ditentukan oleh tiga hal yaitu: kondisi fisik, kondisi
psikologis dan keterampilan (Pyke,1990). Kontribusi ketiga hal ini sangat
tergantung dari jenis olahraga yang dijalani oleh sang atlet. Olahraga-olahraga
tertentu akan lebih membutuhkan kemampuan fisik yang lebih baik, yang lainnya
membutuhkan kemampuan psikologis yang lebih baik dan tiap cabang olahraga
membutuhkan tingkat keterampilan yang berbeda-beda. Kondisi fisik merupakan
hal yang penting di antara ketiga hal tersebut dan merupakan hal yang dapat
6
7
dievaluasi setelah melakukan suatu program latihan (Pyke, 1990; Harsono, 1998;
Astrand and Rodahl, 2003).
2.1.2
Kebugaran Jasmani
Kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan
tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti
(Departemen Kesehatan, 1994). Menurut World Health Organization (WHO)
kebugaran jasmani adalah kemampuan untuk melakukan kerja otot secara
memuaskan. Sumosardjuno (1992) menjelaskan bahwa kebugaran jasmani adalah
kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari dengan mudah
tanpa merasa lelah yang berlebihan dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk
menikmati
waktu
senggang
dan
untuk
keperluan-keperluan
mendadak.
Kebugaran jasmani istilah asalnya dari physical fitness yang terkandung dari kata
physic yang dapat diartikan sebagai kondisi sehat fisik dan fitness yang berarti
kecocokan, yang dalam arti luas dimaksudkan sebagai kemampuan menyesuaikan
diri organisme mempertahankan tata biokimia dan faalnya dalam batas harga yang
normal pada waktu menghadapi kecaman stress berat, termasuk kerja fisik,
sedangkan pada waktu istirahat ketidakseimbangan yang terjadi terpulihkan
(Astrand and Rodahl, 2003). Dari definisi tersebut diatas maka keadaan tubuh
yang bugar sangat diperlukan sekali dalam melakukan aktifitas sehari-hari yang
berkualitas. Aktifitas fisik sendiri diartikan sebagai setiap gerakan tubuh yang
menggunakan otot dan meningkatkan pengeluaran energi. Dengan berolahraga
8
yang terukur dan terprogram dapat meningkatkan kebugaran (McArdle, 1996;
Astrand and Rodahl, 2003).
Dalam hal pembinaan kebugaran jasmani, terdapat dua jenis kebugaran
jasmani, yaitu kebugaran jasmani yang berkaitan dengan kesehatan (Health
Related Physical Fitness) dan kebugaran jasmani yang berkaitan dengan prestasi
(Performance Related Physical Fitness). Kebugaran jasmani yang berkaitan
dengan kesehatan memerlukan tingkatan yang cukup dari komponen kebugaran
dasar yaitu: daya tahan jantung paru dan pembuluh darah, kekuatan otot, daya
tahan otot, kelentukan, dan komposisi tubuh (Harsono,1988). Sedangkan
kebugaran jasmani yang berkaitan dengan prestasi adalah kebugaran jasmani yang
berkaitan dengan kesehatan ditambah dengan daya ledak otot, kecepatan gerak,
kelincahan, keseimbangan, kecepatan reaksi, dan koordinasi Departemen
Kesehatan, 1998; Harsono, 1988; Astrand & Rodahl, 2003).
Besar kecilnya sumbangan komponen kebugaran jasmani tergantung pada jenis
cabang olahraga yang diikuti seseorang, misalnya untuk seorang pesenam,
membutuhkan daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot,
kelentukan, dan kelincahan (Bompa, 1983).
2.1.2.1 Daya Tahan Jantung Paru ( O2 maks)
Daya tahan jantung paru adalah kesanggupan sistem jantung, paru, dan
pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan kerja
dalam mengambil oksigen secara maksimal untuk menghasilkan energi dan
menyalurkannya ke jaringan yang aktif sehingga dapat digunakan pada proses
9
metabolisme tubuh (Janssen, 1993; Departemen Kesehatan, 1998; Guyton, 1999;
Ganong, 2005). Daya tahan jantung paru adalah kemampuan menunda terjadinya
kelelahan berdasarkan efisiensi kardiovaskular untuk melayani satu tugas gerak
maupun kerja yang ekstensif.
Daya tahan jantung paru yang baik akan menunjang prestasi, karena dengan
daya tahan jantung paru yang baik, seseorang dapat melakukan aktifitas kerja
dengan lebih lama dan lebih baik, bahkan sebelum pertandingan seorang atlet
yang memiliki daya tahan jantung paru yang baik dapat melakukan latihan dengan
lebih lama (Wilmore & Costill, 2004). Latihan yang teratur dalam waktu yang
cukup akan meningkatkan kemampuan mekanis paru-paru, meningkatkan aliran
darah ke paru-paru, meningkatkan kemampuan difusi oksigen melalui membran
paru-paru, meningkatkan kapasitas pengambilan oksigen dalam darah dan
meningkatkan kemampuan jantung memompa darah melalui peningkatan curah
sekuncup (Wilmore and Costill, 2004).
Menurut Foss & Keteyian (1998), parameter yang akurat dan obyektif untuk
mengukur daya tahan jantung paru adalah melalui pengukuran ambilan oksigen
maksimum atau
besarnya
O2 maks. Kebugaran jasmani seseorang tercermin dari
O2 maks (Astrand & Rodahl, 2003). Daya tangkap tubuh terhadap O2
( O2 maks) dibatasi atau dihambat oleh fungsi sistem pernapasan, fungsi jantung,
fungsi paru dan pembuluh darah, serta daya tangkap otot (Foss & Keteyian, 1998;
Astrand & Rodahl, 2003). Aktivitas latihan akan meningkatkan kemampuan otototot respirasi, daya kembang paru, meningkatkan kemampuan untuk mengatasi
resistensi aliran udara, sehingga kemampuan menghirup O2 dari udara akan
10
bertambah. Latihan juga meningkatkan kapasitas difusi O2 dari alveoli ke dalam
darah sehingga konsentrasi O2 dalam darah akan bertambah. Pada orang yang
berolahraga dengan teratur terjadi peningkatan efisiensi kerja jantung melalui dua
mekanisme yaitu : jumlah darah yang dipompa setiap denyut lebih besar dan
frekuensi denyutan berkurang, yang akan mengurangi turbulensi yang
menghasilkan energi (Katch & McArdle, 1996; Foss & Keteyian, 1998). Latihan
juga menyebabkan densitas kapiler dan luas permukaan difusi meningkat,
sehingga memudahkan terjadinya pertukaran gas, substrat, dan metabolit antara
kapiler dan jaringan, sedangkan aktivitas fisik yang rendah menyebabkan
kemampuan difusi dari kapiler ke jaringan menurun. Terbatasnya akitivitas fisik
juga menurunkan oksidasi karbohidrat (glikogen) pada otot skelet akibat
menurunnya jumlah, ukuran, serta luas permukaan mitokondria otot skelet dan
menurunnya konsentrasi enzim yang berperan dalam siklus Krebs dan sistem
transpor elektron (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003).
Hal yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa dengan latihan yang baik
tentunya metabolisme jaringan pun akan lebih baik sehingga seseorang akan
memiliki kebugaran jasmani yang baik (Bompa, 1983; Astrand & Rodahl, 2003).
Davis & Brown (1992) mengatakan bahwa kapasitas aerobik seseorang sangat
dipengaruhi oleh mekanisme kemampuan tubuh dalam menyediakan suplai
oksigen ke otot-otot besar yang sedang latihan, oleh sebab itu baik secara
langsung maupun tidak langsung kapasitas aerobik akan menilai komponenkomponen kebugaran jasmani. Karena daya tahan jantung paru bersifat mendasar
pada banyak cabang olahraga, maka indikator ini sering dipakai untuk menilai
11
ketahanan dalam melakukan aktifitas olahraga (Foss & Keteyian, 1998; Wilmore
& Costill, 2004).
Daya tangkap tubuh terhadap O2 ( O2 maks) dibatasi atau dihambat oleh daya
tangkap otot, fungsi sistem pernapasan, dan fungsi jantung-paru dan pembuluh
darah (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003). Latihan akan
meningkatkan kemampuan difusi oksigen pada otot dan jaringan, perfusi, difusi,
dan ventilasi alveoli. Jumlah mitokondria dalam otot, konsentrasi enzim dan
koenzim yang berperan dalam siklus asam sitrat dan rantai pernapasan juga
meningkat sebagai hasil dari latihan, sehingga penggunaan oksigen dalam otot
lebih efisien (Katch & McArdle, 1996; Foss & Keteyian, 1998). Latihan juga
meningkatkan efisiensi kerja jantung melalui dua mekanisme, yaitu: jumlah darah
yang dipompa setiap denyut lebih besar dan frekuensi denyutan berkurang, yang
akan mengurangi turbulensi yang menghasilkan energi (Foss & Keteyian, 1998).
Pencapaian
O2 maks seseorang memiliki batas tertentu, yang berarti dengan
latihan yang sesuai dan teratur
O2 maks dapat ditingkatkan sampai suatu nilai,
dan tidak akan meningkat lagi atau hanya meningkat sedikit walau dilakukan
latihan yang lebih berat. Nilai batas atas
O2 maks yang dapat dicapai setiap
orang berbeda-beda tiap orang (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003).
Pada atlet dibandingkan dengan bukan atlet didapati VO2 max yang lebih besar
dan atlet cabang-cabang olahraga yang membutuhkan sistem energi aerobik
memiliki
O2 maks yang lebih baik lagi (Foss & Keteyian, 1998; Astrand &
Rodahl, 2003; Wilmore & Costill, 2004). Untuk meningkatkan daya tahan jantung
12
paru diperlukan latihan 3-5 kali seminggu dengan intensitas 75-85% denyut nadi
maksimal dengan waktu lebih dari 1 jam (Bompa,1983; Foss & Keteyian, 1998).
2.1.2.1.1. Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Daya Tahan Jantung Paru
Terdapat enam perubahan utama pada fungsi jantung paru yang disebabkan
latihan yaitu peningkatan ukuran jantung, penurunan denyut nadi, peningkatan isi
sekuncup, peningkatan kapasitas paru, peningkatan volume darah dan
hemoglobin, dan peningkatan densitas kapiler otot (Foss & Keteyian, 1998).
1) Peningkatan ukuran jantung
Dengan menggunakan echokardiografi dapat mengukur ketebalan dinding
ventrikel dan rongga ventrikel sehingga dapat mengetahui perubahan ketebalan
dinding jantung sebagai akibat pengaruh latihan. Pembesaran jantung tersebut
dianggap fisiologis oleh karena terjadinya hipertrofi jantung diakibatkan oleh
latihan (Powers & Howley, 2001).
2) Penurunan denyut nadi
Penurunan denyut nadi atau bradikardia (< 60 denyut/menit) yang disebabkan
latihan fisik paling jelas ditemui pada atlet yang berlatih selama bertahun-tahun.
Jantung diatur oleh dua komponen sistem saraf yaitu saraf simpatis dan saraf
parasimpatis. Saraf simpatis akan meningkatkan kekuatan kontraksi dan frekuensi
jantung, sedangkan saraf parasimpatis menurunkan kekuatan kontraksi dan
frekuensi jantung. Seseorang yang berlatih aerobik secara teratur akan
menurunkan tonus simpatis, akan tetapi meningkatkan kekuatan kontraksi otot
jantung. Menurunnya frekuensi denyut jantung atau denyut nadi akibat latihan
13
disebabkan oleh menurunnya tonus simpatis (Vander, Sherman & Luciano, 2001;
Guyton,1999).
3) Peningkatan isi sekuncup
Peningkatan isi sekuncup dipengaruhi oleh peningkatan kontraktilitas miokard.
Peningkatan kontraktilitas disebabkan peningkatan aktifitas enzim ATPase pada
otot jantung, dan peningkatan interaksi elemen kontraktil sel otot jantung karena
peningkatan availabilitas kalsium ekstraselular. Peningkatan isi sekuncup dan
penurunan denyut nadi menyebabkan peningkatan curah jantung (Foss &
Keteyian, 1998).
4) Peningkatan kapasitas paru
Aktifitas latihan yang terbatas menyebabkan daya tahan dan kekuatan otot-otot
pernafasan menurun sehingga kemampuan mengembang paru-paru menjadi
berkurang disertai penurunan kemampuan otot pernafasan untuk mengatasi
resistensi udara dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya volume paru
(Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003) berpendapat bahwa faktor
yang berperan pada pertukaran gas dari alveolus ke pembuluh kapiler paru adalah
luasnya permukaan alveoli yang dapat melakukan difusi dengan pembuluh darah
kapiler paru. Aktifitas dan mobilitas yang terbatas mengakibatkan penyempitan
permukaan alveoli yang dapat melakukan difusi dengan pembuluh kapiler paru
yang disebabkan oleh menurunnya elastisitas pembuluh darah sekitar alveolus dan
kegagalan pengaktifan mikrosirkulasi sekitar alveolus. Penyempitan permukaan
alveoli menyebabkan difusi oksigen dari alveolus ke pembuluh darah perialveolar
14
terganggu. Gangguan difusi ini mengakibatkan fungsi paru menjadi tidak efektif
dan efisien (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003).
5) Peningkatan volume darah dan hemoglobin
Latihan menyebabkan peningkatan volume darah dan total hemoglobin.
Peningkatan volume darah dan total hemoglobin berhubungan dengan
O2 maks
(Foss & Keteyian, 1998). Peningkatan volume darah mewakili respon adaptif
awal dari latihan fisik (Powers & Howley, 2001).
6) Peningkatan densitas kapiler otot
Densitas kapiler adalah jumlah kapiler yang mengelilingi serabut otot skelet.
Densitas kapiler berhubungan dengan 2 faktor yaitu : ukuran atau diameter serabut
otot dan jumlah mitokondria dalam serabut otot (Fisher and Jensen, 1990; Foss &
Keteyian, 1998). Latihan fisik jangka panjang hampir selalu menyebabkan
peningkatan densitas kapiler disertai bertambahnya ukuran serabut otot (Fisher
and Jensen, 1990; Foss & Keteyian, 1998). Peningkatan densitas kapiler
meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi serta dan pembuangan zat sisa
metabolisme dari otot.
2.1.2.1.2 Kapasitas Aerobik
Kapasitas aerobik adalah derajat metabolisme (kerja) maksimum yang dapat
dicapai oleh seseorang dan dapat diukur secara tepat dan objektif dari kemampuan
konsumsi/tangkapan oksigen maksimum ( O2 maks) (Sutton, 1992). Selanjutnya,
Pate (1993) menyebutkan bahwa kapasitas aerobik seseorang sangat dipengaruhi
oleh mekanisme kemampuan tubuh dalam menyediakan O2 ke otot yang aktif
15
bekerja. Hubungan antara
O2 maks dengan faktor-faktor fisiologis digambarkan
dengan persamaan berikut :
O2 maks
= SV x HR x a-v O2 diff
Dari persamaan itu tampak bahwa kenaikan
O2 maks disebabkan oleh dua
perubahan, yaitu kenaikan isi sekuncup serta bertambahnya densitas kapiler otot
rangka yang cenderung meningkatkan pengeluaran oksigen dari darah oleh otot
rangka ( Foss & Keteyian, 1998).
2.1.2.2 Kekuatan Otot
Secara fisiologis, kekuatan otot adalah kemampuan otot atau sekelompok otot
untuk melakukan satu kali kontraksi secara maksimal melawan tahanan/beban
(Guyton, 1999; Ganong, 2005).
Secara mekanis kekuatan otot didefinisikan sebagai gaya (force) yang dapat
dihasilkan oleh otot atau sekelompok otot dalam satu kali kontraksi maksimal.
Kekuatan otot merupakan hal yang penting, yaitu untuk gerakan dan kemandirian
(Harsono,1988).
Puncak kekutan otot pada manusia dicapai pada umur 20 tahun untuk laki-laki
dan beberapa tahun lebih awal pada wanita (Astrand & Rodahl, 2003). Sedangkan
menurut Katch dan McArdle (1996), tingkat kekuatan tertinggi pada laki-laki dan
perempuan secara umum dicapai pada usia 20-30 tahun, dimana luas lintang
permukaan otot mencapai puncaknya. Di atas usia ini, kekuatan pada sebagian
besar kelompok otot menurun. Hal ini berlangsung lambat pada awalnya dan
kemudian menjadi cepat setelah usia pertengahan.
16
Untuk meningkatkan komponen kekuatan, Harsono (1988), mengemukakan
bahwa latihan yang cocok untuk meningkatkan kekuatan adalah latihan-latihan
tahanan seperti mengangkat, mendorong, atau menarik suatu beban, dengan
menerapkan prinsip beban berlebih (overload).
Menurut Saltin & Gollnick
(1986), Foss & Keteyian (1998), meningkatnya kekuatan otot dapat terjadi oleh
karena terjadinya hipertrofi serabut otot, peningkatan myoglobin, peningkatan
enzim-enzim oksidasi di dalam scapolamik otot, peningkatan jumlah mitokondria
dan bertambahnya kekuatan ligamentum. Kekuatan otot dipengaruhi oleh
genetika, jenis kelamin, dan usia (Pyke, 1990; Harsono, 2000; Astrand & Rodahl,
2003). Bompa (1983) mengatakan, bahwa latihan beban dapat meningkatkan
kekuatan otot menggunakan beban 8-12 Repetisi Maksimal (RM) dilakukan
dalam 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu.
Kekuatan otot memiliki peranan penting dalam pencapaian prestasi puncak,
karena kekuatan otot merupakan daya penggerak aktifitas fisik (Harsono, 1988;
Reilly dkk., 1990). Bompa (1983) juga mengatakan kekuatan adalah bagian
terpenting dari proses penciptaan seorang atlet. Dengan mengkombinasikan antara
kekuatan dengan komponen fisik yang lain seperti kelentukan, kelincahan dan
kecepatan akan didapatkan penampilan atlet yang lebih baik (Harsono, 1988).
2.1.2.3 Daya Ledak Otot
Daya ledak otot adalah salah satu komponen fisik yang sangat dibutuhkan pada
hampir semua cabang olahraga terutama pada cabang olahraga yang memerlukan
tenaga eksplosif. Menurut Pyke (1990), pergerakan yang cepat dan kuat akan
17
menghasilkan daya ledak otot. Rumus yang dapat digunakan adalah : Power =
Work / Time = Force x Distance / Time. Berdasarkan rumus ini unsur waktu
terlibat dalam upaya meningkatkan daya ledak otot dan dapat pula dirumuskan
suatu definisi yaitu kombinasi kekuatan dan kecepatan yang maksimal akan
menghasilkan suatu daya ledak otot (Pyke, 1990). Sedangkan kecepatan adalah
waktu yang dibutuhkan antara permulaan dan akhir suatu gerak (Harsono, 1988).
Kecepatan juga dipengaruhi oleh kekuatan, waktu reaksi dan fleksibilitas
(Wilmore & Costill, 2004). Dengan demikian untuk mendapatkan kecepatan yang
baik, diperlukan juga latihan komponen fisik seperti kekuatan dan daya tahan
(Harsono, 1988). Pyke (1990) mengatakan bahwa latihan terbaik adalah dengan
melakukan gerakan yang digunakan oleh olahraga yang bersangkutan, karena
pengembangan daya ledak dan kecepatan merupakan suatu proses pembelajaran
gerak.
Menurut Harsono (1988), daya ledak otot adalah kemampuan melakukan
gerakan secara eksplosif atau kemampuan seseorang untuk melakukan kekuatan
maksimal dengan usaha yang dikerahkan dalam waktu yang sangat cepat. Dalam
meningkatkan daya ledak otot Bompa (1983) mengatakan bahwa latihan untuk
meningkatkan daya ledak otot harus dilakukan dengan beban 12-15 RM dilakukan
dalam 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu.
Daya ledak otot dibutuhkan terutama pada cabang-cabang olahraga yang
membutuhkan tenaga yang eksplosif seperti nomor lempar dalam atletik dan
melempar bola dalam softball, pada cabang yang membutuhkan menolak dengan
kaki seperti nomor lompat dalam atletik, sprint dan senam, pada cabang yang
18
membutuhkan unsur percepatan seperti balap sepeda, pada cabang yang
membutuhkan pukulan seperti tinju dan beladiri, pada yang membutuhkan
tendangan, bantingan dan mengangkat dengan cepat seperti gulat, judo, dan
angkat besi (Harsono, 1988).
2.1.2.4 Kelentukan
Kelentukan adalah kemampuan sendi untuk melakukan gerakan dalam ruang
gerak sendi secara maksimal. Kemampuan untuk melakukan gerak dalam ruang
gerak sendi ini, selain ditentukan oleh bentuk dari sendi, juga ditentukan oleh
elastis tidaknya otot-otot, tendon dan ligamentum di sekelilingnya (Nossek, 1982;
Bompa, 1983; Pyke, 1990; Hall, 2003). Kelentukan sendi sifatnya spesifik
terhadap suatu sendi dan tergantung pada struktur anatomi tulang yang
membentuk sendi, juga kemampuan meregang dan melipat dari ligamen yang
mengikat sendi serta kemampuan memanjang otot yang melewati sendi (Hall,
2003).
Kelentukan menunjukkan besarnya pergerakan sendi secara maksimal sesuai
dengan kemungkinan gerakan (range of movement). Gangguan pada persendian
ini sering menyebabkan penurunan kemampuan gerak. Penurunan kelentukan
sendi terutama persendian di bagian tubuh bawah sering diikuti oleh penurunan
keseimbangan dan gangguan berjalan (Harsono, 1988). Kelentukan adalah salah
satu komponen fisik yang merupakan faktor penting pada hampir semua gerakan
manusia terutama gerakan dalam olahraga.
19
Kelentukan akan menunjang prestasi dengan mengurangi kemungkinan
terjadinya cedera, meningkatkan keleluasaan bergerak melakukan tehnik,
memungkinkan gerakan lebih panjang, meningkatkan relaksasi otot, menghemat
pengeluaran tenaga dan membantu mengembangkan komponen fisik lainnya.
(Sumosardjono, 1986; Pyke, 1990). Program latihan yang teratur dengan latihan
stretching 15-30 detik, 2-5 kali seminggu dan dilakukan dalam 3 set (Egger &
Champion, 1998). Latihan yang dapat meningkatkan kelentukan adalah
Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) (Bompa, 1983; Hall, 2003).
2.1.2.5 Kelincahan
Kelincahan adalah kemampuan secara cepat mengubah arah tubuh atau bagian
tubuh tanpa terjadi gangguan keseimbangan (Wilmore, 2004).
Kelincahan
tergantung dari faktor kekuatan, kecepatan, daya ledak, waktu reaksi,
keseimbangan, kelentukan dan koordinasi neruomuskuler. Kelincahan juga
tergantung dari tipe tubuh, usia, jenis kelamin, berat badan dan kelelahan.
Kelincahan dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor-faktor umum dan
faktor-faktor khusus. Faktor-faktor umum antara lain usia, tinggi badan, berat
badan, bentuk latihan dan pekerjaan sedangkan yang termasuk faktor-faktor
khusus antara lain faktor anatomi dan fisiologis. Menurut Hatfield (1988) kedua
faktor inilah yang paling utama. Faktor anatomi dan fisiologis berkaitan erat
dengan karakteristik otot secara kualitas maupun kuantitas.
20
2.1.3
Hubungan Komponen Kebugaran Jasmani dengan Prestasi
2.1.3.1 Hubungan Daya Tahan Jantung-Paru ( O2 maks) dengan Prestasi
Seorang atlet yang memiliki daya tahan jantung-paru yang baik mempunyai
kemampuan berprestasi yang lebih besar (Astrand & Rodahl, 2003). Menurut
Harsono (1988) terdapat dua sistem latihan yang dapat meningkatkan daya tahan
jantung paru (atau sering pula disebut cardiovascular endurance) yaitu fartlek dan
interval training. Fartlek disebut juga speedplay merupakan latihan endurance
yang maksudnya adalah untuk membangun, mengembalikan atau memelihara
kondisi tubuh yang dilakukan di alam terbuka dan atlet bebas untuk menentukan
tipe, intensitas, dan lama latihannya. Sedangkan interval training adalah latihan
endurance yang terdiri dari interval-interval yang berupa masa-masa istirahat.
Latihan daya tahan jantung paru tersebut dilakukan tiga sampai lima kali
seminggu dengan intensitas latihan 75-85% dari denyut nadi maksimal dan
berlangsung lebih dari 60 menit. Bentuk latihan ini akan mengakibatkan efek
fisiologis
yang menguntungkan
yang meliputi peningkatan kemampuan
pembentukan energi pada sistem otot skelet dan peningkatan kemampuan transpor
oksigen pada sistem kardiorespirasi.
Akibat latihan aerobik ini ventilasi paru-paru, volume konsumsi oksigen dan
kapasitas difusi oksigen dalam alveoli meningkat sehingga transpor oksigen (O2)
dan eliminasi karbondioksida (CO2) menjadi maksimal (Guyton, 1997; Ganong,
2005). Suplai oksigen yang baik ini akan menyebabkan peningkatan pembentukan
energi secara aerobik dan memperlambat produksi asam laktat. Peningkatan
volume darah dan hemoglobin juga terjadi yang merupakan respon awal latihan
21
aerobik. Keadaan tersebut diikuti dengan peningkatan jumlah enzim 2,3
Diphosphoglycerate (2,3-DPG) yang berfungsi membantu pelepasan oksigen ke
dalam sel dari ikatan oksihemoglobin (HbO2), dan peningkatan enzim karbonik
anhidrase yang bersifat reversibel yang berperan untuk transpor karbondioksida
menuju alveoli yang dibawa dalam bentuk karbaminohemoglobin (HbCO2)
(Guyton, 1997; Ganong, 2005).
Perubahan fisiologis yang terjadi pada jantung adalah peningkatan curah
jantung. Curah jantung meningkat secara linear dengan meningkatnya kapasitas
aerobik ( O2 maks). Curah jantung yang besar ini di tentukan oleh jumlah darah
(mL) yang dipompakan dalam satu kali denyut jantung (stroke volume) dan
jumlah denyut jantung (heart beat) dalam satu menit. Stroke volume ini ditentukan
oleh jumlah darah yang masuk ke dalam bilik jantung (preload), dan kontraktilitas
otot jantung. Peningkatan preload ini disebabkan oleh besarnya jumlah darah
dalam vena yang kembali ke jantung akibat sistem pompa mekanik pada otot
skelet, paru-paru, dan pengecilan ukuran pembuluh darah balik perifer
(vasoconstriction). Kontraktilitas jantung yang baik disebabkan hipertropi otot
jantung yang diikuti oleh peningkatan jumlah mitokondria sehingga jumlah ion
kalsium (Ca2+) yang diikat bertambah sehingga pembentukkan ATP (Adenosine
Triposphat) meningkat melalui proses fosforilasi oksidasi. Jumlah denyut jantung
yang berkurang terjadi seiring meningkatnya kapasitas aerobik. Penurunan jumlah
denyut jantung per menit ini akibat tonus simpatis yang menurun dan tonus
parasimpatis yang meningkat (Guyton, 1997; Ganong, 2005). Dengan demikian,
22
jumlah darah (mL) yang dipompakan dalam satu kali denyut jantung (stroke
volume) lebih besar dan efesien.
Selain perubahan pada sistem kardiorespirasi tersebut, perubahan yang yang
penting juga terjadi pada otot yaitu peningkatan kemampuan pembentukan energi.
Peningkatan kemampuan pembentukan energi pada sistem otot skelet terjadi
karena peningkatan jumlah mioglobin, membaiknya sistem oksidasi karbohidrat
dan sistem oksidasi lemak (Foss & Kateyian, 1998). Peningkatan jumlah
mioglobin dalam otot skelet akan mengakibatkan jumlah oksigen yang diikat lebih
banyak dan transpor oksigen ke mitokondia lebih cepat, pada saat yang sama
terjadi pula penambahan jumlah, ukuran, luas permukaan mitokondria otot skelet
serta peningkatan enzim-enzim oksidatif dalam siklus krebs yang semuanya
mengakibatkan meningkatnya energi yang dihasilkan dan meningkatnya kapasitas
persediaan glikogen dalam otot sehingga hal ini memperbaiki sistem oksidasi
karbohidrat. Selain hal tersebut, membaiknya sistem oksidatif lemak akan
menyebabkan penundaan kelelahan otot. Hal ini dikarenakan terjadinya
peningkatan kapasitas oksidasi lemak dalam otot sehingga lemak menjadi sumber
energi utama atau disebut juga glycogen-sparing effect (Foss & Kateyian, 1998).
Keuntungan terbesar dari metabolisme aerobik tersebut adalah tidak terbentuknya
asam laktat. Jika asam laktat terbentuk akan mempengaruhi pH sel sehingga
keseimbangan intraselular terganggu sehingga akhirnya akan menyebabkan
gangguan kontraksi otot. Selain itu, adanya iritasi oleh asam laktat akan
merangsang nociseptor sehingga timbul nyeri (Brooks & Fahey, 1985). Sehingga
secara garis besar kemampuan daya tahan jantung yang maksimal akan mencegah
23
terbentuknya laktat yang akan menyebabkan kelelahan psikologis maupun
fisiologis yang pada akhirnya akan menghambat prestasi. Hal inilah yang menjadi
landasan mengapa seorang atlet mampu untuk berolahraga dengan lebih baik
sehingga bisa mencapai prestasi puncak.
2.1.3.2 Hubungan Kekuatan Otot dengan Prestasi
Kekuatan otot adalah komponen yang sangat penting untuk meningkatkan
kondisi fisik secara keseluruhan. Kekuatan merupakan daya penggerak setiap
aktivitas fisik dan memegang peranan yang penting dalam melindungi atlet dari
kemungkinan cedera. Dengan kemampuan kekuatan otot lengan dan tungkai yang
baik, atlet dapat lari lebih cepat, melempar, atau menendang lebih jauh dan lebih
efisien, memukul lebih keras, dapat membantu dan memperkuat stabilitas sendisendi. Jadi kekuatan tetap merupakan basis dari semua komponen kondisi fisik
(Harsono, 1988; Foss & Kateyian, 1998). Seorang atlet senam putra PORPROV X
Jabar haruslah cukup kuat untuk melakukan suatu pertandingan secara efisien dan
tanpa mengalami lelah yang berlebihan yang disebabkan karena kekurangan
kekuatan.
Dalam program latihan olahraga senam putra sebaiknya dimasukkan program
latihan kekuatan (weight training). Harsono (1988), mengemukakan bahwa
latihan yang cocok untuk meningkatkan komponen kekuatan adalah latihanlatihan tahanan seperti mengangkat, mendorong, atau menarik suatu beban,
dengan menerapkan prinsip beban berlebih. Dalam program latihan olahraga ini
perlu diberikan latihan untuk kekuatan otot lengan dan tungkai dengan bentuk
24
latihan seperti weight training atau latihan beban dengan range beban 8 – 12 RM
dan dilakukan sebaiknya tiga kali dalam seminggu dengan diselingi satu hari
istirahat (Harsono, 1988). Latihan beban (weight training) akan mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan fisiologis seperti hipertrofi serabut otot, dan
perubahan komposisi serabut otot skelet. Hipertropi otot yang terjadi akibat
peningkatan jumlah dan ukuran miofibril otot, peningkatan jumlah serabut
filamen aktin dan miosin, peningkatan jumlah mioglobin dan densitas kapiler, dan
bertambahnya kekuatan tendon dan ligamentum sehingga kemampuan kontraksi
otot meningkat. Kemampuan kontraksi otot ini juga didukung oleh perubahan
komposisi serabut otot yaitu meningkatnya konsentrasi kreatin otot, kreatin
posfat, ATP, dan persediaan glikogen. Dengan bertambahnya jumlah energi
anaerob ini maka kemampuan untuk melakukan kontraksi otot pun lebih kuat dan
lebih lama.
Kekuatan otot dapat dibangun secara efektif, ketika otot diberikan beban
berlebih (overload). Dengan pemberian beban berlebih maka dapat melewati
resistensi maksimal atau mendekati maksimal. Penggunaan resistensi yang berat
menyebabkan otot berkontraksi secara maksimal dan menstimulasi adaptasi yang
terjadi secara fisiologis (Astrand & Rodahl, 2003).
2.1.3.3 Hubungan Daya Ledak Otot dengan Prestasi
Power diperlukan untuk efisiensi dalam pertandingan senam putra karena
terkait dengan gerakan serangan yang terdiri dari gerakan pukulan, tendangan,
teknik sambut, guntingan, dan disertai gerakan menjatuhkan lawan untuk
25
mendapatkan nilai yang tinggi. Dengan daya ledak yang baik, seorang atlet senam
putra PORPROV X Jabar dapat mengkontraksi otot lengan dengan efisien, cepat
dan kuat.
Kemampuan ini akan menimbulkan efek pada otot seperti kita meledakkan
sesuatu, jadi ketika kita mengkontraksikan otot, maka otot akan berkontraksi
dengan luar biasa cepat mencapai kekuatan kontraksi yang maksimum (Harsono,
1988). Berkaitan dengan hal ini, dalam pertandingan senam putra, kemampuan
daya ledak otot lengan dan tungkai berguna pada gerakan-gerakan seperti yang
telah disebutkan. Dalam program latihan olahraga ini perlu diberikan latihan
untuk daya ledak otot lengan dan tungkai dengan bentuk latihan seperti weight
training atau latihan beban dengan range beban 12 – 15 RM (Harsono, 1988).
Dengan melakukan bentuk latihan ini maka akan didapatkan peningkatan
kemampuan daya ledak yang maksimal yang terjadi akibat membaiknya kerja
sistem neuromuskuler yang merupakan hasil kerjasama jaringan otot yang dinamis
dan adaptasi sistem neural otot. Adaptasi sistem neural yang terjadi berupa
peningkatan kecepatan rangsang (impuls saraf) ke otot. Impuls saraf yang sampai
ke otot akan merangsang pelepasan neurotransmitter asetilkolin pada sinaps
presynaptic yang akan merangsang pelepasan ion natrium (Na+), ion kalium (K+),
dan ion kalsium (Ca2+) pada postsynaptic. Ion-ion ini selanjutnya akan
meyebabkan potensial aksi dalam serabut otot dan tubulus T yang segera
merangsang retikulum sarkoplasmik melepaskan ion kalsium (Ca2+) ke sekitar
miofibril yang pada akhirnya menimbulkan kontraksi otot (Guyton, 1997;
Ganong, 2005).
26
2.1.3.4 Hubungan Kelentukan Otot dengan Prestasi
Kelentukan yang prima sangat diperlukan oleh seorang atlet senam putra dalam
mencapai prestasi yang maksimal. Untuk memperoleh kelentukan yang prima
harus ditunjang sistem neuromuskuler tubuh yang baik. Baik atau buruknya kerja
sistem neuromuskuler bergantung pada kinerja dan harmonisasi dari kerja otot,
tulang dan tentunya latihan yang tepat (Harsono, 1988). Atlet senam putra
PORPROV X Jabar yang memiliki kelentukan yang baik maka akan terlihat lebih
lincah dalam melakukan gerakan-gerakan dalam suatu pertandingan. Sedangkan
apabila kelentukan kurang baik maka akan menghasilkan gerakan yang kurang
sempurna sehingga mengakibatkan prestasi tidak tercapai secara maksimal.
Program latihan yang teratur dengan latihan stretching 15-30 detik, 3-5 kali
seminggu dan dilakukan 3 set akan meningkatkan kelentukan. Adapun latihan
yang dapat meningkatkan kelentukan adalah peregangan aktif, peregangan statis,
peregangan pasif dan peregangan Propioceptive Neuromuscular Facilitation
(PNF) (Bompa, 1983; Egger & Champion, 1998; Hall, 2003).
2.1.3.5 Hubungan Kelincahan dengan Prestasi
Dalam olahraga senam putra, faktor kelincahan merupakan komponen fisik
yang penting dalam mencapai prestasi yang maksimal. Secara umum kelincahan
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengubah arah dengan cepat
dan tepat tanpa kehilangan keseimbangan badan (Sharkey, 1984). Bompa (1983)
mengemukakan bahwa kelincahan merupakan komponen penting dimiliki atlet
karena berhubungan dengan peningkatan keterampilan gerak tubuh dan prestasi.
27
Hal ini berarti, kelincahan merupakan salah satu persyaratan kondisi fisik yang
harus dimiliki atlet senam putra PORPROV X Jabar karena atlet harus lincah dan
mampu melakukan gerakan bolak-balik dengan cepat, selalu berada dalam posisi
yang baik dan memiliki gerak kaki yang sempurna (Harsono, 1988). Bentuk
latihan yang dapat meningkatkan kelincahan pada prinsipnya adalah gerakangerakan yang mengharuskan seseorang untuk bergerak dengan cepat dan merubah
arah dengan tangkas tanpa kehilangan keseimbangan (Harsono, 1988). Berikut ini
beberapa bentuk latihan kelincahan yaitu lari bolak-balik (shuttle run), lari zigzag, squat thrust, lari rintangan (obstale run). Latihan untuk mencapai
kemampuan komponen fisik kelincahan yang maksimal tesebut harus didukung
oleh kombinasi kekuatan otot, daya ledak otot dan kelentukan maksimal pula
(Wilmore & Costill, 1994).
2.1.4
Senam
Senam
merupakan
cabang
olahraga
yang
mempunyai
karakteristik
keterampilan gerak beragam dan unik. Dilihat dari taksonomi gerak umum, senam
bisa secara lengkap diwakili oleh gerak-gerak dasar yang membangun pola gerak
yang lengkap, dari mulai pola gerak lokomotor (berpindah tempat), nonlokomotor
(tidak berpindah tempat), gerakan manipulatif (memanipulasi objek). Sedangkan
bila ditinjau dari klasifikasi keterampilannya, senam bisa dimasukkan menjadi
keterampilan diskrit (berlangsung singkat) sekaligus serial (gabungan diskrit dan
berkelanjutan) jika sudah berupa rangkaian (Magil, 1985; Schmidt, 1991;
Mahendra, 2001).
28
Dari hakekat karakteristik dan struktur geraknya, senam dianggap kegiatan
fisik yang sangat cocok untuk mengembangkan kualitas motorik dan kualitas fisik
sekaligus. Ini dilihat dari kandungan pola gerak lokomotor, yang dianggap mampu
meningkatkan aspek kekuatan, kecepatan, daya ledak, daya tahan jantung paru
disamping tentu saja membangun kelincahan serta keseimbangan dinamis (Magil,
1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Dihubungkan dengan pola gerak
nonlokomotor yang dikandungnya, senam mampu meningkatkan aspek kekuatan,
kelentukan dan keseimbangan statis, sedangkan gerakan-gerakan manipulatif
objek seperti melempar, menangkap tali, simpai, bola, gada, dan pita, bisa
membangun koordinasi yang akan mempengaruhi kelincahan (Hartley, 1994;
Mahendra, 2001).
2.1.4.1 Karakteristik Gerak Dasar Senam
Keterampilan senam selalu dibangun diatas keterampilan lokomotor,
nonlokomotor, dan manipulatif. Berbagai gerakan senam yang dapat ditampilkan
pada semua alat senam, perubahan posisi tubuh, termasuk simulasi dari gerak
binatang, melibatkan semua kelompok otot besar yang ada di seluruh bagian
tubuh, baik kelompok otot tubuh bagian depan, belakang, samping, bagian atas,
tengah, serta bagian bawah (Bowers et al, 1981).
Oleh karena itu agar dapat memberikan manfaat yang baik dalam proses
peningkatan kualitas kerja otot ini, baik dalam fungsi kekuatan, kelentukan dan
daya tahannya, kelompok otot itu perlu dilatih secara menyeluruh, tanpa ada
keharusan untuk memberikan prioritas pada satu atau beberapa kelompok otot
29
saja. Oleh karena itu, pengembangan kualitas otot perlu melibatkan semua jenis
dan bentuk latihan, dari mulai jenis latihan isometrik dan isotonik, kelentukan,
daya ledak otot, keseimbangan, dan kelincahan (Pyke, 1990; Jensen, 1990; Hall,
2003; Bompa, 2003). Menurut Unestahl (1983), secara psikomotorik, fungsifungsi kekuatan, fleksibilitas, keseimbangan, dan kelincahan merupakan ciri
dominan dari pesenam.
2.1.4.2 Keterampilan Lokomotor
Lokomotor diartikan sebagai gerak berpindah tempat seperti jalan, lari, lompat,
berjingkat, skipping, dan sliding. Dalam senam gerak-gerak diatas sangat penting
digunakan, karena hakekatnya hampir seluruh keterampilan atau gerakan senam
merupakan gerak lokomotor seperti kip, handspring, baling-baling, atau flic-flac
(Mahendra, 2001).
Gerak lokomotor dalam senam terutama sangat diperlukan untuk menambah
momentum horizontal, seperti berlari saat melakukan awalan. Gerak awalan ini
diperlukan karena sebagian daya yang diperoleh dari adanya momentum ini
digunakan untuk menyempurnakan gerak keterampilan senam itu sendiri. Untuk
bisa memperoleh daya yang kuat, pesenam harus mengkontraksikan otot-ototnya
untuk mengerahkan daya internal, yang kemudian digabungkan dengan daya
eksternal yang dihasilkan dari alat yang dipakai, misalnya papan tolak. Oleh
karena itu untuk meningkatkan keterampilan atlet senam harus dilatih bermacammacam keterampilan lokomotor.
30
2.1.4.3 Keterampilan Nonlokomotor
Keterampilan nonlokomotor adalah gerak yang tidak berpindah tempat,
mengandalkan ruas-ruas persendian tubuh untuk membentuk posisi-posisi berbeda
dengan tetap tinggal di satu titik (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001).
Contoh-contoh gerakan nonlokomotor adalah melenting, meliuk, membengkok,
dan bertumpu.
Dalam senam, keterampilan nonlokomotor banyak dipakai dalam gerak-gerak
kalistenik, terutama yang berkaitan dengan pengembangan kelentukan. Demikian
juga dengan sikap-sikap bertumpu dan keseimbangan statis, yang tidak perlu
berpindah tempat (Hartley 1994; Egger & Champions, 1998; Mahendra, 2001).
Justru dalam senamlah gerak nonlokomotor banyak mendapat penekanan, karena
berhubungan dengan penguasaan keterampilan.
Untuk melatih keterampilan nonlokomotor ini perlu penekanan latihan untuk
mengembangkan kekuatan, kelentukan, dan keseimbangan.
2.1.4.4 Keterampilan Manipulatif
Keterampilan manipulatif sering diartikan sebagai keterampilan dalam
memanipulasi objek tertentu dengan anggota tubuh baik tangan, kaki, maupun
kepala. Yang termasuk didalam keterampilan manipulatif adalah keterampilan
melempar, menangkap, memukul, menendang, dribling dan lainnya (Mahendra,
2001). Dalam senam putra, keterampilan ini jarang ditemui, kecuali bahwa
beberapa alat perlu dipegang dengan tangan dan pesenam beraksi di atasnya.
Tetapi dalam senam putri, keterampilan manipulatif seolah menjadi ciri utamanya.
31
Semua alat senam ritmik yaitu tali, simpai, bola, gada dan pita menuntut
keterampilan yang didasarkan pada kemampuan memanipulasi semua alat itu;
apakah dilemparkan kemudian ditangkap lagi, diputar, diayun, dipuntir,
digelindingkan baik dengan menggunakan tangan, badan atau dengan kaki.
2.1.4.5 Aspek Fisiologis Senam
Salmela (1983) menyatakan bahwa faktor yang berperan dalam prestasi senam
adalah faktor lingkungan dan faktor bawaan. Faktor bawaan adalah penentu yang
bersumber dari diri pesenam itu sendiri yang terdiri dari karakteristik
antropometri, sosio-psikologis, neuromuskular, serta organis dan fisiologis.
Hakekat penentu dari dimensi organis dan fisiologis atau disebut sebagai kualitas
fisik juga berlaku sesuai alatnya. Dalam beberapa alat yang digunakan pesenam
mengerahkan kekuatan otot selama 30 detik, sedangkan pada alat lainnya pesenam
harus mengerahkan daya ledak ototnya (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra,
2001). Keharusan tersebut menjadi tuntutan yang sedemikian besar, sehingga
pesenam level dunia akan mampu menjadi atlet senam yang paling ramping tanpa
lemak, paling kuat, serta paling lentuk dibandingkan dengan atlet cabang lain.
Aspek organis dan fisiologis seorang atlet berhubungan dengan kualitas
komponen kebugaran jasmani dalam hal daya tahan jantung paru, kekuatan otot,
daya ledak otot, kelentukan, serta kecepatan (Bompa, 1983).
Senam secara umum berisi keterampilan yang kaya akan gerakan, tetapi dalam
pelaksanaannya sangat tergantung pada komponen-komponen fisik daya tahan
32
jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, keseimbangan dan
kelincahan.
Terdapat tujuh pola gerak yang sifatnya sangat dominan (Dominant Movement
Patterns) (Schembry, 1983; Russel, 1986; Mahendra, 2001). Ketujuh pola
tersebut adalah
1. Pendaratan (landing)
2. Posisi statis (static position)
3. Lokomotor (locomotor)
4. Ayunan (swing)
5. Putaran (rotation)
6. Tolakan (spring)
7. Ketinggian dan layangan (height dan flight)
Mengamati ketujuh pola gerak dominan diatas, dapat menyimpulkan
komponen yang paling penting dalam senam adalah terutama kekuatan, kecepatan
dan daya ledak. Ketiga komponen ini terkandung secara melekat dalam hampir
semua pola gerak dominan yang menjadi digunakan dalam senam. Kekuatan
misalnya diperlukan ketika pesenam melakukan pendaratan, mencapai posisi
statis, melakukan gerak berpindah tempat secara cepat, dalam ayunan dan dalam
tolakan. Sedangkan kecepatan dan daya ledak memberikan sumbangan yang
sangat besar untuk keberhasilan lokomotor, seperti ayunan, putaran, dan tolakan
untuk menghasilkan layangan yang tinggi.
Dibandingkan dengan ketiga unsur diatas, kelentukan dan daya tahan memiliki
peran yang berbeda. Kelentukan diperlukan untuk keterampilan dalam sejumlah
33
alat-alat senam berkaitan dengan gerakan-gerakan yang membutuhkan posisi
tubuh yang sulit (Hartley, 1994, Mahendra, 2001).
Terdapat perbedaan yang mencolok antara gerakan-gerakan senam untuk putra
dan putri. Gerakan untuk pesenam putri lebih banyak terdapat gerakan-gerakan
yang dilandasi oleh kelentukan, walaupun jenis keterampilannya hampir sama
dengan pesenam putra, karena terdapat kecenderungan untuk pesenam putri
bahwa gerakan senam harus dilakukan dengan lebih gemulai dan lebih estetis.
Asumsinya, gerakan dengan kelentukan yang baik menghasilkan gerakan yang
lebih artistik (Bowers et al., 1981).
Senam juga membutuhkan faktor kekuatan, kecepatan, daya ledak,
keseimbangan,
kelentukan
memberi
sumbangan
terhadap
peningkatan
kemampuan kelincahan, dimana kelincahan adalah kemampuan secara cepat
mengubah arah tubuh atau bagian tubuh tanpa terjadi gangguan keseimbangan
(Wilmore, 2004). Oleh karena itu kelincahan sangat menentukan dalam
pertandingan terutama pada kategori aerobik dan ritmik yang membutuhkan
variasi gerak sebanyak mungkin dalam mencapai nilai estetis yang setinggi
mungkin. Kelincahan tergantung dari faktor kekuatan, kecepatan, daya ledak,
waktu reaksi, keseimbangan, kelentukan dan koordinasi neruomuskuler.
2.1.4.6 Aspek Neuromuskular Terhadap Prestasi Senam
Aspek neuromuskular mengacu pada kualitas motorik yang sering dianggap
merupakan sumbangan dari kualitas fungsi saraf di dalam tubuh seorang atlet.
Kualitas itulah yang menentukan kemampuan koordinasi serta kemampuan
34
orientasi tubuh dalam hubungannya dengan ruang, waktu, dan posisi-posisi tubuh
sendiri (Auweele et al., 1999). Di dalam kemampuan ini terlibat pula unsur-unsur
kualitas kinestetis (propioseptif), yaitu kemampuan untuk mengenali dirinya
berdasarkan informasi yang diberikan berbagai alat dalam tubuhnya sendiri,
seperti vestibular apparatus, joint receptors, tendon otot, muscle spindles dan
cutaneus receptors (Schmidt, 1991). Semua apparatus tersebut menentukan
keseimbangan dinamis, pemberian feedback diri sendiri, serta kemampuan
mendeteksi posisi tubuh ketika melakukan gerakan-gerakan yang kompleks.
Senam adalah cabang olahraga yang sangat membutuhkan kemampuan atau
kualitas motorik. Atlet senam harus memiliki kemampuan motorik yang baik
misalnya untuk dapat melakukan gerakan mendarat tepat di atas kedua kaki pada
satu salto (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Demikian pula dengan
penampilannya sewaktu menggunakan alat, dimana atlet harus menangkap
kembali alat yang dipegangnya sebelum melakukan putaran di udara. Kemampuan
motorik yang kurang baik dalam melakukan gerakan tersebut dapat menyebabkan
kegagalan bahkan dapat menimbulkan cedera serius pada atlet (Magil, 1985;
Schmidt, 1991; Mahendra, 2001).
Kemampuan motorik adalah kemampuan gerak yang sangat subtle (halus)
hingga kemampuan gerak yang sangat kompleks (Schmidt, 1991). Keterampilan
yang baik dalam melakukan berbagai gerakan senam didasari oleh seperangkat
kemampuan motorik yang sesuai dengan keperluannya, seperti fleksibilitas,
kekuatan, daya ledak, keseimbangan, dan kelincahan. Dalam mencapai
kemampuan gerak yang kompleks seperti senam, kemampuan motorik menjadi
35
faktor yang menyumbang paling banyak dibandingkan faktor-faktor lain seperti
kekuatan atau daya tahan (Auweele, 1999). Kemampuan motorik yang baik harus
disertai dengan kemampuan mengontrol gerak secara akurat, yang merupakan
fungsi tingkat tinggi dari cortex dalam otak (Schmidt, 1991; Guyton, 1999).
Dalam teori neurofisiologis, secara tegas menunjukkan bahwa pengontrolan
gerak diatur oleh wilayah cortex yang berbeda (Schmidt, 1990). Wilayah
serebellum terutama mengontrol program gerak yang cepat dan bersifat balistik,
sedangkan ganglia basalis memprogram gerakan atau jenis keterampilan
berkelanjutan (continuous). Gerak atau aksi yang cepat yang berlangsung kurang
dari 200 milidetik dikontrol oleh program motorik (motor program) yang terjadi
sebelum gerak itu dimulai. Hal ini penting untuk memperhitungkan kesalahan
dalam gerak yang sangat singkat seperti salto. Di pihak lain, gerakan lambat atau
yang berulang-ulang dikontrol oleh closed-loop control system, dimana setiap
gerak berikutnya selalu dapat diperbaiki sesuai dengan umpan balik yang
diperoleh dari lingkungan (Schmidt, 1991; Auweele, 1999).
2.2
Kerangka Pemikiran
Setiap cabang olahraga, khususnya senam membutuhkan kemampuan
komponen fisik yang berbeda sesuai dengan pola gerak dan karakteristik dari
cabang olahraga tersebut agar dapat berprestasi maksimal (Nurhasan, 1984).
Dalam pencapaian prestasi, seorang atlet senam memerlukan komponen
kebugaran jasmani yang prima, antara lain daya tahan jantung paru, kekuatan otot,
daya ledak otot, kelentukan, dan kelincahan (Bompa, 1983; Pyke, 1990; Astrand,
36
2003). Dari uraian ini menjelaskan terdapat hubungan yang erat antara kondisi
kebugaran jasmani untuk mencapai prestasi yang maksimal bagi seorang atlet.
Salah satu komponen fisik yang menunjang dan berhubungan dengan
pencapaian prestasi atlet senam putra adalah daya tahan jantung paru. Daya tahan
jantung paru ( O2) maks yang maksimal diperlukan pada atlet senam agar dapat
meraih prestasi yang maksimal (Bowers, 1981; McCharles, 1994; Egger &
Champion, 1998). Daya tahan jantung paru berkaitan erat dengan ambilan dan
penggunaan oksigen secara maksimal untuk menghasilkan energi dalam
melakukan berbagai rangkaian gerakan-gerakan yang ada dalam olahraga senam.
Untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen tersebut dibutuhkan kemampuan paru,
hemoglobin, jantung dan otot yang baik untuk mengkonsumsi oksigen. Dengan
adanya daya tahan jantung paru yang baik, kemampuan ventilasi paru-paru,
volume konsumsi oksigen dan kapasitas difusi oksigen dalam alveoli meningkat
sehingga transpor oksigen (O2) dan eliminasi karbondioksida (CO2) menjadi
maksimal (Guyton, 1997; McCance & Huether, 2006). Suplai oksigen yang baik
ini akan menyebabkan peningkatan pembentukan energi secara aerobik dan
memperlambat produksi asam laktat. Peningkatan volume darah dan hemoglobin
juga
erjadi
yang
diikuti
dengan
peningkatan
jumlah
enzim
2,3
Diphosphoglycerate (2,3-DPG) yang berfungsi membantu pelepasan oksigen ke
dalam sel dari ikatan oksihemoglobin (HbO2), dan peningkatan enzim karbonik
anhidrase yang bersifat reversibel yang berperan untuk transpor karbondioksida
menuju alveoli yang dibawa dalam bentuk karbaminohemoglobin (HbCO2)
(Henderson, 2000). Perubahan fisiologis yang terjadi pada jantung adalah
37
peningkatan curah jantung (Goodman, 2004). Dengan adanya peningkatan curah
jantung ini akan meningkatkan jumlah mitokondria sehingga jumlah ion kalsium
(Ca2+) yang diikat bertambah sehingga pembentukkan ATP (Adenosine
Triposphat) meningkat melalui proses fosforilasi oksidasi. Selain perubahan pada
sistem kardiorespirasi tersebut, perubahan yang penting juga terjadi pada otot
yaitu peningkatan kemampuan pembentukan energi. Peningkatan kemampuan
pembentukan energi pada sistem otot skelet terjadi karena peningkatan jumlah
mioglobin, membaiknya sistem oksidasi karbohidrat dan sistem oksidasi lemak
(Foss & Kateyian, 1998; Hutber, 1999). Peningkatan jumlah mioglobin dalam otot
skelet akan mengakibatkan jumlah oksigen yang diikat lebih banyak dan transpor
oksigen ke mitokondria lebih cepat. Pada saat yang sama terjadi pula penambahan
jumlah, ukuran, luas permukaan mitokondria otot skelet serta peningkatan enzimenzim oksidatif dalam siklus krebs yang semuanya mengakibatkan meningkatnya
energi yang dihasilkan dan meningkatnya kapasitas persediaan glikogen dalam
otot sehingga hal ini memperbaiki sistem oksidasi karbohidrat. Selain hal tersebut,
membaiknya sistem oksidatif lemak akan menyebabkan penundaan kelelahan otot.
Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan kapasitas oksidasi lemak dalam otot
sehingga lemak menjadi sumber energi utama atau disebut juga glycogen-sparing
effect (Foss & Kateyian, 1998; LeBlanc, 2004). Keuntungan terbesar dari
metabolisme aerobik tersebut adalah tidak terbentuknya asam laktat. Jika asam
laktat terbentuk akan mempengaruhi pH sel sehingga keseimbangan intraselular
terganggu sehingga akhirnya akan menyebabkan gangguan kontraksi otot. Dengan
38
terhambatnya pembentukan asam laktat ini akan menunda kelelahan yang akan
menghambat seorang atlet untuk mencapai prestasi yang maksimal.
Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan daya tahan jantung paru
tersebut, diperlukan latihan tiga sampai lima kali seminggu dengan intensitas
latihan 75-85% dari denyut nadi maksimal dan berlangsung lebih dari 60 menit
(Bompa, 1983; Foss & Keteyian, 1998). Akan tetapi pada pengamatan di
lapangan, latihan untuk meningkatkan daya tahan jantung paru untuk atlet senam
putra peraih medali pada PORPROV X Jabar relatif masih kurang oleh karena
latihan untuk atlet senam tersebut masih 1 kali dalam seminggu. Hal ini
kemungkinan menyebabkan rendahnya kemampuan daya tahan jantung paru pada
atlet senam putra sehingga prestasi yang dicapai tidak maksimal.
Selain daya tahan jantung paru, komponen kebugaran jasmani yang
menunjang prestasi atlet senam putra adalah kekuatan otot. Kekuatan merupakan
basis dari semua komponen kondisi fisik sehingga atlet cukup kuat untuk
melakukan suatu pertandingan secara efisien dan tanpa mengalami lelah yang
berlebihan yang disebabkan karena kekurangan kekuatan (Harsono, 1988).
Dengan adanya kekuatan otot yang maksimal, atlet senam putra untuk dapat
melakukan pola rangkaian gerak dalam senam seperti berlari, melompat,
mengangkat lutut, salto, melayang, gerakan berdiri di atas kedua tangan dengan
maksimal pula. Untuk mendapatkan kekuatan otot yang baik untuk dapat
menunjang prestasi diperlukan latihan kekuatan (weight training) atau latihan
beban dengan range beban 8 – 12 RM dalam 3 set dan dilakukan sebaiknya tiga
kali dalam seminggu dengan diselingi satu hari istirahat (Harsono, 1988).
39
Pengaruh latihan tersebut akan mengakibatan hipertrofi serabut otot, dan
perubahan komposisi serabut otot skelet. Hipertropi otot yang terjadi akan
meningkatkan kemampuan kontraksi otot. Hal ini terjadi akibat dari peningkatan
jumlah dan ukuran miofibril otot, peningkatan jumlah serabut filamen aktin dan
miosin, peningkatan jumlah mioglobin dan densitas kapiler, dan bertambahnya
kekuatan tendon dan ligamentum. Kemampuan kontraksi otot ini juga didukung
oleh perubahan komposisi serabut otot yaitu meningkatnya konsentrasi kreatin
otot, kreatin posfat, ATP, dan persediaan glikogen. Dengan bertambahnya jumlah
energi anaerob ini maka kemampuan untuk melakukan kontraksi otot pun lebih
kuat dan lebih lama. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot yang dilakukan
oleh atlet senam putra PORPROV X JABAR relatif jarang menggunakan weight
training dan dilakukan hanya satu kali dalam seminggu. Hal ini kemungkinan
akan menyebabkan peranan kekuatan otot masih kurang dan perlu ditingkatkan
pada atlet senam putra.
Selain daya tahan jantung paru dan kekuatan otot, komponen kebugaran
jasmani yang juga penting dalam menunjang prestasi atlet senam putra peraih
medali pada PORPROV X Jabar adalah daya ledak otot. Kemampuan daya ledak
otot akan menimbulkan efek pada otot seperti meledakkan sesuatu, jadi ketika
mengkontraksikan otot, maka otot akan berkontraksi dengan luar biasa cepat
mencapai kekuatan kontraksi yang maksimum (Harsono,1988, Foss &
Kateyian,1998). Menurut Bompa (1983), latihan untuk meningkatkan daya ledak
otot yaitu dengan beban 12-15 RM yang dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali
dalam seminggu. Dengan daya ledak otot, seorang atlet ampu melakukan
40
rangkaian gerakan secara cepat dan dengan kekuatan yang maksimal (Harsono,
1988). Daya ledak otot diperlukan oleh atlet senam putra dalam melakukan
rangkaian gerakan sepert gerakan melompat dan melayang. Akan tetapi, latihan
yang dilakukan oleh atlet senam putra tidak mengkhususkan latihan daya ledak
otot sebagaimana disebutkan sebelumnya, akan tetapi melakukan latihan
intensitas yang berganti-ganti dan tidak mempertahankan intensitas yang tepat.
Hal ini juga kemungkinan akan menyebabkan rendahnya peranan daya ledak otot
dalam hubungannya dengan pencapaian prestasi atlet senam putra peraih medali
pada PORPROV X JABAR dan perlu untuk ditingkatkan.
Komponen fisik lain yaitu kelentukan, diperlukan juga untuk menunjang
prestasi. Dengan adanya kelentukan yang baik akan memampukan sendi untuk
melakukan gerakan dalam ruang gerak sendi secara maksimal. Atlet senam putra
yang memiliki kelentukan yang baik akan dapat melakukan gerakan-gerakan
seperti gerakan berdiri di atas satu kaki dan salto dengan sempurna. Untuk
mendapatkan kelentukan yang baik agar dapat melakukan gerakan-gerakan
sebagaimana disebutkan sebelumnya sangat ditunjang oleh sistem neuromuskuler
tubuh yang baik. Baik atau buruknya kerja sistem neuromuskuler bergantung pada
kinerja dan harmonisasi dari kerja otot, tulang dan tentunya latihan yang tepat
(Harsono, 1988). Dengan latihan yang tepat akan mengurangi kemungkinan
terjadinya cedera, meningkatkan keleluasaan bergerak dan kemudahan melakukan
tekhnik, memungkinkan gerakan lebih panjang, meningkatkan relaksasi otot,
menghemat pengeluaran tenaga dan membantu mengembangkan komponen fisik
lainnya sehingga akan meningkatkan kemampuan untuk berprestasi lebih
41
maksimal (Pyke, 1990; Egger & Champion, 1998). Program latihan yang teratur
dengan latihan stretching 15-30 detik, 3-5 kali seminggu dan dilakukan 3 set akan
meningkatkan kelentukan. Adapun latihan yang dapat meningkatkan kelentukan
adalah peregangan aktif, peregangan statis, peregangan pasif dan peregangan
Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) (Bompa, 1983; Egger &
Champion, 1998; Hall, 2003). Pada pengamatan di lapangan sebagaimana
disebutkan di atas latihan untuk meningkatkan kelentukan masih relatif jarang
dilakukan pada setiap latihan oleh atlet senam putra sehingga perlu adanya
peningkatan latihan terhadap komponen kelentukan.
Selain daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, dan kelentukan,
kelincahan juga berhubungan dalam pencapaian prestasi dari atlet senam putra.
Kelincahan merupakan komponen penting dimiliki atlet senam putra karena
berhubungan dengan peningkatan keterampikan gerak tubuh dan prestasi (Bompa,
1983). Dengan memiliki kelincahan yang baik, manuver-manuver seperti
berputar, bergeser, berguling dan melompat dalam senam putra dapat dilakukan
dengan sempurna. Kelincahan tergantung dari faktor kekuatan otot, daya ledak
otot, dan kelentukan (Bompa, 1983; Wilmore & Costill, 1994; Guyton, 1999;
Powers & Howley, 2001). Jadi melihat dari latihan kekuatan otot, daya ledak otot
dan kelentukan yang rendah, maka peranan komponen kelincahan dalam
pencapaian prestasi atlet senam putra tidak maksimal pula.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya
42
ledak otot, kelentukan dan kelincahan dengan prestasi atlet senam putra peraih
medali pada PORPROV X Jabar.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan didukung dengan kajian pustaka, maka
dapat dirumuskan premis-premis sebagai berikut:
Premis 1
:
Setiap cabang olahraga, khususnya senam membutuhkan
kemampuan komponen fisik yang berbeda sesuai dengan pola
gerak dan karakteristik dari cabang olahraga tersebut agar dapat
berprestasi maksimal (Nurhasan, 1984).
Premis 2
:
Daya tahan jantung paru ( O2 maks) yang baik diperlukan oleh
setiap orang pada umumnya, dan khususnya pada atlet senam
agar dapat meraih prestasi yang maksimal (Bowers, 1981;
Harsono, 1988; McCharles, 1994; Egger & Champion, 1998).
Premis 3
:
Untuk meningkatkan daya tahan jantung paru ( O2 maks)
diperlukan latihan 3-5 kali seminggu dengan intensitas 75-85%
denyut nadi maksimal dengan waktu lebih dari 1 jam (Bompa,
1983; Foss & Keteyian, 1998).
Premis 4
:
Kekuatan otot merupakan basis dari semua komponen kondisi
fisik sehingga atlet cukup kuat untuk melakukan suatu
pertandingan secara efisien dan tanpa mengalami lelah yang
berlebihan yang disebabkan karena kekurangan kekuatan
(Harsono, 1988).
43
Premis 5
:
Untuk meningkatkan kekuatan otot dapat dilakukan latihan
beban 8-12 RM dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam
seminggu (Bompa, 1983; Harsono, 1988; Astrand & Rodahl,
2003)
Premis 6
:
Kemampuan daya ledak otot akan menimbulkan efek pada otot
seperti meledakkan sesuatu, jadi ketika mengkontraksikan otot,
maka otot akan berkontraksi dengan luar biasa cepat mencapai
kekuatan kontraksi yang maksimum (Harsono, 1988, Foss &
Kateyian,1998).
Premis 7
:
Untuk meningkatkan daya ledak otot dapat dilakukan latihan
beban 12-15 RM dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali
dalam seminggu (Bompa, 1983)
Premis 8
:
Program latihan yang teratur dengan latihan stretching 15-30
detik, 2-5 kali seminggu dan dilakukan dalam 3 set akan
meningkatkan kelentukan (Egger & Champion, 1998).
Premis 9
:
Latihan
yang
dapat
meningkatkan
kelentukan
adalah
peregangan aktif, peregangan statis, peregangan pasif dan
peregangan Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)
(Bompa, 1983; Egger & Champion, 1998; Hall, 2003).
Premis 10
:
Untuk memperoleh kelincahan yang maksimal ditunjang oleh
komponen kekuatan otot, daya ledak otot dan kelentukan yang
baik pula (Bompa, 1983; Wilmore & Costill, 1994; Guyton,
1999; Powers & Howley, 2001).
44
2.3 Hipotesis
Berdasarkan teori, kerangka pemikiran dan premis maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 1
:
Terdapat hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2
maks) dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali
pada PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1,2 dan 3).
Hipotesis 2
:
Terdapat hubungan antara kekuatan otot lengan, otot tungkai
dan otot punggung dengan dengan prestasi atlet senam putra
yang meraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang
(Premis 1,4 dan 5).
Hipotesis 3
:
Terdapat hubungan antara daya ledak otot lengan dan
tungkai. dengan dengan prestasi atlet senam putra yang
meraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang
(Premis 1,6 dan 7).
Hipotesis 4
:
Terdapat hubungan antara kelentukan dengan dengan
prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada
PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1,8 dan 9)
Hipotesis 5
:
Terdapat hubungan antara kelincahan dengan dengan
prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada
PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1 dan 10)
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
Subjek Penelitian terdiri dari atlet senam putra sebanyak 10 orang yang telah
meraih medali pada Pekan Olahraga Provinsi (PORPROV) dan dipilih
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi subjek dalam penelitian ini adalah:
-
Seorang atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X JABAR
-
Memiliki derajat kesehatan yang baik, dalam arti tidak sedang
mengidap penyakit akut atau kronik.
-
Tidak mengkonsumzi zat-zat perangsang otot (kopi, obat-obatan, teh
pekat).
-
Tidak melakukan aktifitas fisik yang berat dalam 24 jam sebelum tes
fisik dilakukan.
-
Subjek cukup tidur sebelum penelitian.
-
Subjek penelitian telah memahami tujuan, prosedur penelitian serta
secara sukarela mengikuti penelitian.
Sedangkan kriteria eksklusi subjek dalam penelitian ini adalah:
-
Subjek tidak mau melakukan tes fisik.
-
Subjek hanya melakukan sebagian tes fisik.
45
46
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian meliputi antara lain: tipe penelitian, definisi konsepsional
dan operasional variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian dan
rancangan analisis data.
3.2.1
Tipe Penelitian
Tipe penelitian adalah penelitian analitik korelasional dalam bidang Ilmu
Kedokteran Olahraga.
3.2.2
Desain Penelitian
Desain dalam penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut:
X1
X2
X3
X4
Y
X5
X6
X7
X8
Keterangan:
Y
= Prestasi
X1
= Daya tahan jantung paru
X2
= Kekuatan otot lengan
47
3.2.3
X3
= Kekuatan otot tungkai
X4
= Kekuatan otot punggung
X5
= Daya ledak otot lengan
X6
= Daya ledak otot tungkai
X7
= Kelentukan
X8
= Kelincahan
Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Penelitian
Definisi konseptual adalah pengertian variabel penelitian, sedangkan definisi
operasional adalah rumusan/ukuran kuantitatif variabel sebagai dasar pegangan
dalam mengukur data penelitian.
3.2.3
Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Penelitian
Definisi konseptual adalah pengertian variabel penelitian, sedangkan definisi
operasional adalah rumusan/ukuran kuantitatif variabel sebagai dasar pegangan
dalam mengukur data penelitian.
(1) Variabel independen
Variabel independen atau variabel penyebab dalam penelitian ini
adalah komponen kebugaran jasmani atlet senam putra peraih medali
PORPROV X JABAR. Komponen fisik tersebut meliputi:
-
Daya tahan jantung paru, kemampuan tubuh mengambil O2 dari udara
secara maksimal, dihitung berdasarkan tes naik turun bangku Ryhming
dan dinyatakan dalam ml/kgBB.
48
-
Kekuatan otot lengan, kemampuan otot lengan membangkitkan
tegangan
dalam
waktu
singkat,
diukur
menggunakan
hand
dynamometer dan dinyatakan dalam kilogram (kg).
-
Kekuatan otot punggung, kemampuan otot tungkai membangkitkan
tegangan dalam waktu singkat, diukur menggunakan leg dynamometer
dan dinyatakan dalam kilogram (kg).
-
Kekuatan otot tungkai, kemampuan otot tungkai membangkitkan
tegangan dalam waktu singkat, diukur menggunakan leg dynamometer
dan dinyatakan dalam kilogram (kg).
-
Daya ledak otot lengan, kemampuan otot lengan untuk mengerahkan
sejumlah daya dalam waktu cepat, diukur dengan two-hand medicine
ball-put, dinyatakan dalam sentimeter (cm).
-
Daya ledak otot tungkai, kemampuan otot tungkai dalam melakukan
lompatan secara vertikal, diukur dengan vertical jump, dinyatakan
dalam sentimeter (cm).
-
Kelentukan, kemampuan punggung bergerak dalam ruang gerak sendi,
diukur dengan metode sit and reach, dinyatakan dalam sentimeter
(cm).
-
Kelincahan, kemampuan lari bolak-balik secepatnya dari titik satu ke
titik yang lain, diukur dengan shuttle run, dinyatakan dalam detik
(det).
49
(2) Variabel dependen
Variabel dependen atau variabel akibat dalam penelitian ini adalah
prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X 2006 di
Karawang.
3.2.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan instrumen sebagai berikut:
-
Formulir Informed Consent peserta,
-
Formulir data diri dan hasil pemeriksaan,
-
Timbangan untuk mengukur berat badan,
-
Pengukur tinggi badan untuk mengukur tinggi badan,
-
Tensimeter untuk mengukur tekanan darah,
-
Stetoskop untuk mendengar denyut jantung, membandingkan dengan nadi
tangan,
-
Bangku Astrand untuk mengukur
O2 maks,
-
Stopwatch,untuk mengukur waktu,
-
Metronom, untuk menjaga ritme,
-
Polar, untuk mengukur denyut jantung,
-
Tabel konversi Astrand,
-
Hand dynamometer untuk mengukur kekuatan otot lengan,
-
Leg dynamometer untuk mengukur kekuatan otot tungkai,
-
Flexometer sit and reach untuk mengukur kelentukan,
-
Bola medicine untuk mengukur daya ledak otot lengan,
50
-
Meteran untuk mengukur jarak,
-
Peluit untuk penanda start, dan
-
Alat tulis.
3.2.5 Prosedur Penelitian
Pada hari ke-1 subjek yaitu atlet senam putra peraih medali PORPROV X
JABAR diberi penjelasan mengenai maksud dan tujuan secara teknis pelaksanaan
penelitian. Peserta mengisi informed consent penelitian dan dilakukan
pengambilan sampel darah.
Pada hari ke-2 peserta penelitan berkumpul jam 8 pagi untuk melakukan
pendaftaran ulang dilanjutkan pemeriksaan fisik secara umum. Sebelum
melaksanakan tes, subjek penelitian ditimbang dahulu berat badannya dan diukur
tinggi badannya. Setelah itu dihitung denyut jantung dan tekanan darah subjek
saat istirahat. Kemudian diberi pengarahan untuk melakukan persiapan-persiapan
sebelum pengukuran komponen-komponen kebugaran jasmani yang meliputi daya
tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, daya tahan otot, kelentukan,
dan kelincahan. Kemudian subjek melakukan tes Ryhming selama 5 menit dengan
10 kali pencatatan setiap menit yang terdiri dari 5 kali saat melakukan tes
Ryhming dan 1 kali sesudah tes Ryhming dihentikan. Kemudian setelah
beristirahat dan minum secukupnya, subjek melakukan pengukuran kekuatan otot
lengan dengan menggunakan hand dynamometer, kekuatan otot punggung dengan
menggunakan back lift dynamometer sedangkan kekuatan otot tungkai dengan leg
dynamometer. Setelah itu dilakukan pengukuran daya ledak otot lengan dengan
51
bola medicine, dan daya ledak otot tungkai dengan vertical jump. Kemudian
melakukan pengukuran kelentukan dengan menggunakan dengan metode sit and
reach test. Kemudian dilanjutkan pengukuran kelincahan dengan tes shuttle run.
Prosedur pengukuran dijelaskan pada lampiran.
3.2.6 Rancangan Analisis Data
Data yang diperoleh melalui hasil pengukuran dilakukan uji normalitas dengan
uji Kolmogorov-Smirnov Z. Kemudian data tersebut dilakukan perhitungan
koefisien korelasi Jaspen’s untuk mengetahui hubungan (r) antara komponen
kebugaran jasmani dengan prestasi atlet (p<0,05).
3.2.7 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2006 – Maret 2007 yang
pelaksanaannya berlokasi di Gedung Persani Jabar Jl. Tera no.24 Bandung.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1
Karakteristik Fisik Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X
JABAR
Karakteristik fisik atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR
terdiri dari umur (tahun), berat badan (Kg), tinggi badan (cm), IMT (Kg/m2)
tercantum dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik Fisik Atlet Senam Putra Peraih Medali
PORPROV X JABAR
x
SD
Umur (thn)
21,7
0,48
TB (cm)
157,5
4,1
BB (kg)
52,4
5,28
IMT (kg/m2)
20,0
1,71
Keterangan: x (SD) = rata-rata (standar deviasi)
IMT = Indeks Massa Tubuh
<18,5
= status gizi kurang
18,5-24,9 = status gizi normal
25-29,9
= status gizi berlebih
>30
= obesitas
Dari tabel 4.1 menunjukkan Indeks Massa Tubuh atlet senam putra peraih
medali PORPROV X JABAR dalam batas normal.
52
53
4.1.2 Uji Normalitas & Homogenitas
Hasil pengukuran komponen kebugaran jasmani atlet senam putra peraih
medali PORPROV X JABAR yang terdiri dari
O2 maks (ml/kg.mnt), kekuatan
otot lengan (kg), kekuatan otot tungkai (kg), kekuatan otot punggung (kg), daya
ledak otot lengan (cm), daya ledak otot tungkai (cm), kelentukkan (cm), dan
kelincahan (detik) tercantum pada tabel 4.2.
Tabel 4.2.
Uji Normalitas & Homogenitas Komponen Kebugaran Jasmani
Atlet Senam Putra Peraih Medali Pada PORPROV X JABAR
Kolmogorov-
p-
x
SD
Smirnov Z
value
Ket
Daya Tahan Jantung Paru (VO2 mak)
52,32
0,48
0,59
0,88
Normal
Kekuatan Otot Lengan (kg)
34
1,48
0,67
0,76
Normal
Kekuatan Otot Punggung (kg)
121,9
3,48
0,45
0,99
Normal
Kekuatan Otot Tungkai (kg)
173,9
4,48
1,02
0,25
Normal
Daya Ledak Otot Lengan (cm)
445
5,48
0,60
0,87
Normal
Daya Ledak Otot Tungkai (cm)
59,65
6,48
0,63
0,82
Normal
Kelentukkan (cm)
25,6
7,48
0,59
0,87
Normal
Kelincahan (detik)
14,56
8,48
0,55
0,92
Normal
Keterangan :
x
SD
= rata-rata
= standar deviasi
data berdistribusi normal jika p-value > 0,05
Dari tabel 4.2 dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov yang
menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan data tidak homogen
54
4.1.3. Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih
Medali PORPROV X Jabar Terhadap Standar KONI Pusat
Perbedaan hasil pengukuran komponen kebugaran jasmani atlet senam putra
peraih medali PORPROV X Jabar terhadap standar KONI Pusat tercantum dalam
tabel 4.4 yang menunjukkan bahwa komponen kebugaran jasmani atlet senam putra
peraih medali PORPROV X masih di bawah standar KONI Pusat.
Tabel 4.3 Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra
Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI Pusat
Rata-rata
SD
(x)
Standar
t
KONI
pvalue
Daya Tahan Jantung Paru (VO2-maks
52,32
8,05
60
-3,016
0,007
Kekuatan Otot Lengan (kg)
34
10.70
51
-5.025
0.000
Kekuatan Otot Punggung (kg)
121,90
21,13
153,50
-4,730
0,000
Kekuatan Otot Tungkai (kg)
179,30
60,13
283
-3,581
0,002
Daya Ledak Otot Lengan (cm)
394,71
92,71
623
1,161
0,261
Daya Ledak Otot Tungkai (cm)
59,65
6,57
70
5,603
0,000
Kelentukkan (cm)
23,86
2,01
24
1,55
0,139
Kelincahan (det)
14,57
0,96
15,50
-3,093
0,006
Ket: t= uji t-tidak berpasangan (p≤0,05)
Untuk menunjukkan perbedaan komponen kebugaran jasmani atlet senam
putra peraih medali PORPROV X JABAR terhadap standar KONI Pusat maka
dibuat gambar batang seperti pada gambar 4.1.
55
Gambar 4.1 Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra
Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI
Pusat
Rata-rata daya tahan jantung
paru
Stdr.KONI VO2 MAX
700
Rata-rata Kekuatan Otot Lengan
600
Stdr KONI
Rata-rata Kekuatan Otot
Punggung
500
Stdr KONI
Rata-rata Kekuatan Otot Tungkai
400
300
Stdr KONI
Rata-rata Daya Ledak Otot
Lengan
Stdr KONI
200
Rata-rata Daya Ledak Otot
Tungkai
Stdr KONI
100
Rata-rata Kelentukan
Stdr KONI
0
Rata-rata Kelincahan
Stdr KONI
56
4.1.4
Hubungan antara Daya tahan Jantung Paru
( O2 maks) dengan
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran daya tahan jantung-paru ( O2 maks) atlet senam putra yang
meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk
mengetahui hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) yang terdapat
pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X
JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik
koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya
Tahan Jantung Paru ( O2 maks) dengan Prestasi
Variabel
M
Daya tahan jantung paru ( O2 maks) - Prestasi 0.682
r
Kategori
0.611
Sedang
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.4, hasilnya menunjukkan hubungan antara daya tahan jantung paru
( O2 maks) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X
JABAR termasuk ke dalam kategori sedang.
57
4.1.5
Hubungan antara Kekuatan Otot Lengan (Pull Strength) dengan
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran kekuatan otot lengan (pull strength) atlet senam putra yang
meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk
mengetahui hubungan antara kekuatan otot lengan (pull strength) yang terdapat
pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X
JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik
koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan
Otot Lengan (Pull Strength) dengan Prestasi
Variabel
M
r
Kategori
Kekuatan Otot Lengan (Pull Strength) - Prestasi
-0.079
-0.071
Lemah
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.5, hasilnya menunjukkan hubungan antara kekuatan otot lengan
(pull strength) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X
JABAR termasuk ke dalam kategori lemah.
58
4.1.6
Hubungan antara Kekuatan Otot Punggung (Back Strength) dengan
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran kekuatan otot punggung (back strength) atlet senam putra
yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya
untuk mengetahui hubungan antara kekuatan otot punggung (back strength) yang
terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali
PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis
uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel
4.6.
Tabel 4.6 Hasil Hasil analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan
Otot Punggung (Back Strength) dengan Prestasi
Variabel
M
r
Kategori
Kekuatan Otot Punggung (Back Strength)- Prestasi
-0.364
-0.326
Lemah
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.6, hasilnya menunjukkan
hubungan antara kekuatan otot
punggung (back strength) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra
PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori lemah.
59
4.1.7
Hubungan antara Kekuatan Otot Tungkai (Leg Strength) dengan
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran kekuatan otot tungkai (leg strength) atlet senam putra yang
meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk
mengetahui hubungan antara kekuatan otot tungkai (leg strength) yang terdapat
pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X
JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik
koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Hasil analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan
Otot Tungkai (Leg Stength) dengan Prestasi
Variabel
M
r
Kategori
Kekuatan Otot Tungkai (Leg Strength) - Prestasi
-0.504
-0.452
Lemah
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.7, hasilnya menunjukkan hubungan antara kekuatan otot tungkai
(leg strength) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X
JABAR termasuk ke dalam kategori lemah
60
4.1.8
Hubungan antara Daya Ledak Otot Lengan (Medicine Ball) dengan
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran daya ledak otot lengan (medicine ball) atlet senam putra
yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya
untuk mengetahui hubungan antara daya ledak otot lengan (medicine ball) yang
terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali
PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis
uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel
4.8.
Tabel 4.8 Hasil Hasil analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya
Ledak Otot Lengan (M Ball) dengan Prestasi
Variabel
M
r
Kategori
Daya ledak otot lengan (M Ball) - Prestasi
0.383
0.344
Rendah
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.8, hasilnya menunjukkan hubungan antara daya ledak otot lengan
(medicine ball) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X
JABAR termasuk ke dalam kategori rendah
61
4.1.9
Hubungan antara Daya Ledak Otot Tungkai (Vertical Jump) dengan
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran daya ledak otot tungkai (vertical jump) atlet senam putra
yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya
untuk mengetahui hubungan antara daya ledak otot tungkai (vertical jump) yang
terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali
PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis
uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel
4.9.
Tabel 4.9 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Ledak Otot
Tungkai (V Jump) dengan Prestasi
Variabel
M
r
Kategori
Daya Ledak Otot Tungkai (V Jump) - Prestasi
-0.118
-0.106
Lemah
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.9, hasilnya menunjukkan hubungan antara daya ledak otot tungkai
(vertical jump) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X
JABAR termasuk ke dalam kategori lemah
62
4.1.10 Hubungan antara Kelentukan (Sit and Reach Test) dengan Prestasi
Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran kelentukan atlet senam putra yang meraih prestasi pada
PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan
antara kelentukan yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra
peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan
hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang
tercantum pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara
Kelentukan (Sit and Reach Test) dengan Prestasi
Variabel
M
r
Kategori
Kelentukan - Prestasi
0.561
0.503
Sedang
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.10, hasilnya menunjukkan hubungan antara kelentukan dengan
prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke
dalam kategori sedang.
63
4.1.11 Hubungan antara Kelincahan (Shutle Run) dengan Prestasi Atlet
Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Hasil pengukuran kelincahan (Shutle Run) atlet senam putra yang meraih
prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk
mengetahui hubungan antara kelincahan (Shutle Run) yang terdapat pada tabel
4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR
dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien
korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kelincahan
(Shutle Run) dengan Prestasi
Variabel
M
r
Kategori
Kelincahan (Shutle Run) - Prestasi
0.580
0.520
Sedang
Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05)
Dari tabel 4.11, hasilnya menunjukkan hubungan antara kelincahan (Shutle
Run) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR
termasuk ke dalam kategori sedang.
Selanjutnya dari seluruh uraian mengenai hubungan komponen kebugaran
jasmani dengan prestasi atlet senam putra PORPROV Jabar maka dapat
ditentukan tingkatan komponen kebugaran jasmani yang berperan dalam prestasi
64
atlet senam putra berdasarkan koefisien korelasi dan kategori dari masing-masing
komponen kebugaran jasmani seperti yang tercantum pada tabel 4.12
Tabel 4.12 Tingkatan Komponen kebugaran Jasmani yang Berperan dalam Prestasi Atlet
Senam Putra Peraih Medali PORPROV X Jabar Berdasarkan Koefisien Korelasi (r)
dan Kategori Kebugaran Jasmani
Komponen Kebugaran Jasmani
r
Kategori
Daya Tahan Jantung Paru (VO2-maks)
0,611
Sedang
Kelincahan (det)
0,520
Sedang
Kelentukkan (cm)
0,503
Sedang
Daya Ledak Otot Lengan (cm)
0,344
Rendah
Kekuatan Otot Lengan (kg)
-0,071
Lemah
Daya Ledak Otot Tungkai (cm)
-0,106
Lemah
Kekuatan Otot Punggung (kg)
-0,326
Lemah
Kekuatan Otot Tungkai (kg)
-0,452
Lemah
Dari tabel diatas menunjukkan komponen kebugaran yang berperan terhadap
prestasi adalah daya tahan jantung paru, kelincahan dan kelentukan dan yang
kurang berperan adalah kekuatan otot lengan punggung dan tungkai serta daya
ledak otot lengan dan tungkai sebagaimana yang terlihat pula pada gambar 2 di
bawah ini
Koefisien Korelasi (r)
Gambar 2
Tingkatan Komponen kebugaran Jasmani yang Berperan dalam Prestasi Atlet
Senam Putra Peraih Medali PORPROV X Jabar Berdasarkan Koefisien
Korelasi (r) dan Kategori Kebugaran Jasmani
0,8
Daya Tahan Jantung
Paru
0,6
Kekuatan Otot Lengan
0,4
Kekuatan Otot Punggung
0,2
Kekuatan Otot Tungkai
0
Daya Ledak Otot Lengan
-0,2
Daya Ledak Otot Tungkai
-0,4
Kelentukan
-0,6
Komponen Kebugaran Jasmani
Kelincahan
65
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hubungan Antara Daya Tahan Jantung Paru ( O2 maks) dengan
Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR
Berdasarkan hasil hasil analisis pada tabel 4.4 didapatkan hubungan antara
daya tahan jantung paru dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali
pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori sedang (r=0,611). Akan tetapi
dari tabel 4.3 diketahui bahwa kemampuan fisik daya tahan jantung-paru atlet
senam putra masih di bawah standar KONI.
Dari hasil analisa di atas, hubungan antara daya tahan jantung-paru dengan
prestasi yang termasuk dalam kategori sedang ini menunjukkan adanya peranan
daya tahan jantung paru dalam meningkatkan prestasi atlet senam putra
PORPROV X Jabar akan tetapi belum maksimal. Belum maksimalnya komponen
daya tahan jantung paru tersebut dapat disebabkan masih kurangnya latihan yang
terukur dan terprogram dengan baik berdasarkan dosis latihan untuk
meningkatkan daya tahan jantung-paru.
Adapun latihan daya tahan jantung-paru yang dilakukan oleh atlet senam putra
PORPROV X JABAR hanya satu kali dalam seminggu, dengan lama latihan
kurang dari satu jam. Sedangkan untuk mendapatkan kemampuan daya tahan
jantung-paru yang maksimal, seorang atlet harus melakukan latihan dengan
frekuensi tiga sampai lima kali dalam seminggu dengan intensitas latihan 75-85%
dari denyut nadi maksimal dengan lama latihan lebih dari satu jam (ACSM, 1990;
Fosss & Kateyian, 1998; Astrand & Rodahl,2003).
66
Daya tahan jantung paru berkaitan erat dengan penggunaan oksigen secara
maksimal untuk menghasilkan energi dalam melakukan aktifitas seperti olahraga.
Dalam memenuhi kebutuhan oksigen secara maksimal ini harus didukung dengan
kemampuan paru, hemoglobin, jantung dan otot.
Kurangnya latihan daya tahan jantung paru akan menyebabkan menurunnya
kemampuan fungsi paru.sehingga menyebabkan kurangnya maksimalnya ventilasi
paru-paru. Hal ini menyebabkan proses difusi oksigen dalam alveoli berlangsung
tidak maksimal sehingga oksigen yang ditangkap sedikit. Tangkapan oksigen
yang sedikit ini akan berpengaruh dalam menghasilkan energi yang diperlukan
untuk melakukan aktifitas sehingga akan mempercepat pula terbentuknya asam
laktat.
Menurunnya
kemampuan
paru
juga
menyebabkan
eliminasi
karbondioksida yang tidak maksimal akan menyebabkan peningkatan konsentrasi
ion hidrogen (H+) dalam darah. Asam laktat dan konsentrasi ion hidrogen (H+)
yang tinggi akan menyebabkan pH darah turun yang akan menurunkan fungsi
enzim-enzim yang bekerja untuk pembentukan energi dalam sistem metabolisme
aerobik maupun anaerobik (Guyton, 1997; Warpeha, 2003; McCance & Huether,
2006). Menurut penelitian Harms et all, 2000 kemampuan paru khususnya kerja
dari otot-otot pernapasan akan mempengaruhi penampilan dari seorang atlet
karena
akan menyebabkan respon
yang tidak maksimal
pada
sistem
kardiovaskular. Pada atlet-atlet yang melakukan latihan menurut penelitian yang
dilakukan Basset dan Howley (2000) menyatakan
O2 maks dan saturasi oksigen
meningkat sampai 70,1-74,7 ml/kg/menit dan 90,6%-95,9%
67
Dengan latihan daya tahan jantung paru, juga akan meningkatkan volume
darah sebagai respon adaptif awal dari latihan daya tahan jantung paru (Basset &
Howley 2000, Henderson, 2000, Warpeha 2003). Eritrosit yang terdapat dalam
darah mengandung hemoglobin dimana dalam hemoglobin terdapat kandungan
heme yang sangat berperan dalam mengikat O2 dan CO2 dengan bantuan enzimenzim 2,3 Diphosphoglycerate (2,3-DPG) dan enzim karbonik anhidrase yang
bersifat reversibel. Latihan daya tahan jantung paru dengan frekuensi, intensitas
dan waktu yang kurang akan menyebabkan proses pengikatan oksigen tidak
optimal sehingga menyebabkan
O2 maks yang dimiliki atlet senam putra
PORPROV X JABAR masih rendah.
Pengaruh latihan daya tahan jantung paru dengan fekuensi, intensitas dan
waktu yang teratur juga akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiogis dari
jantung yaitu hipertrofi dari otot jantung (Foss & Kateyian, 1998; Schmidt, 2000).
Terjadinya hipertrofi dari otot jantung akan menyebabkan peningkatan preload
/jumlah darah yang masuk ke dalam bilik jantung dan kontraktilitas jantung (stoke
volume), dimana peningkatan ini akan meningkatkan curah jantung. Kontraktilitas
jantung yang baik disebabkan hipertropi otot jantung yang diikuti oleh
peningkatan jumlah mitokondria sehingga jumlah ion kalsium (Ca2+) yang diikat
bertambah sehingga pembentukkan ATP (Adenosine Triposphat) meningkat
melalui proses fosforilasi oksidasi. Peningkatan curah jantung ini ditentukan pula
oleh jumlah denyut jantung (heart beat) dalam satu menit. Jumlah denyut jantung
yang semakin berkurang yang menunjukkan semakin efektif dan efesiennya
fungsi jantung dan dengan demikian jumlah darah (mL) yang dipompakan dalam
68
satu kali denyut jantung (stroke volume) lebih besar dan efesien (Saltin, 1992,
Basset, 2000, Warpeha 2003; Gurd, 2005). Penurunan jumlah denyut jantung per
menit ini akibat tonus simpatis yang menurun dan tonus parasimpatis yang
meningkat (Guyton, 1997; Ganong, 1998). Kondisi seperti yang diuraikan tersebut
tidak terdapat pada atlet senam putra PORPROV X Jabar yang diakibatkan oleh
latihan yang kurang terprogram dengan baik sehingga tidak dapat meningkatkan
fungsi jantung secara maksimal sebagaimana yang diuraikan tersebut diatas.
Pengaruh yang tidak kalah penting akibat dari latihan daya tahan jantung paru
adalah peningkatan kemampuan pembentukan energi pada sistem otot skelet yang
terjadi karena peningkatan jumlah mioglobin akan mengakibatkan jumlah oksigen
yang diikat lebih banyak dan transpor oksigen ke mitokondia lebih cepat, Pada
saat yang sama terjadi pula penambahan jumlah, ukuran, luas permukaan
mitokondria otot skelet serta peningkatan enzim-enzim oksidatif dalam siklus
krebs yang semuanya mengakibatkan meningkatnya energi yang dihasilkan dan
meningkatnya kapasitas persediaan glikogen dalam otot sehingga hal ini
memperbaiki sistem oksidasi karbohidrat. Selain hal tersebut, membaiknya sistem
oksidatif lemak akan menyebabkan penundaan kelelahan otot. Hal ini dikarenakan
terjadinya peningkatan kapasitas oksidasi lemak dalam otot sehingga lemak
menjadi sumber energi utama atau disebut juga glycogen-sparing effect
(Spriet,2002; LeBlanc, 2004). Sehingga apabila bentuk latihan daya tahan jantung
tidak dilakukan secara tepat oleh atlet senam putra PORPROV X Jabar maka akan
menyebabkan menurunnya kemampuan oksidasi karbohidrat dan oksidasi lemak
di dalam otot skelet yang diakibatkan penurunan enzim-enzim yang berperan
69
untuk menghasilkan energi dalam siklus krebs dan siklus beta oksidasi untuk
pemecahan lemak bebas (Foss & Kateyian, 1998; Hutber, 1999). Semua
perubahan fisiologis yang menguntungkan yang didapatkan melalui latihandaya
tahan jantung paru yang teratur ini akan menjamin oksigen yang cukup selama
aktivitas fisik sehingga metabolisme otot dapat dipertahankan dalam suasana
aerobik. Keuntungan terbesar dari metabolisme aerobik tersebut adalah tidak
terbentuknya asam laktat yang berlebihan. Jika asam laktat terbentuk akan
mempengaruhi pH sel sehingga keseimbangan intraselular terganggu sehingga
akhirnya akan menyebabkan gangguan kontraksi otot. Sehingga secara garis besar
kemampuan daya tahan jantung yang maksimal akan mencegah terbentuknya
asam laktat yang akan menyebabkan kelelahan psikologis maupun fisiologis yang
pada akhirnya akan menghambat prestasi.
Dari uraian tersebut, dapat digambarkan peranan daya tahan jantung paru
terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar yang belum
maksimal disebabkan tidak optimalnya fungsi paru, difusi oksigen dalam jaringan,
volume darah dan Hb, dan jantung. Hal ini dikarenakan
latihan daya tahan
jantung paru yang dilakukan belum sesuai dengan dosis latihan yang seharusnya
dilakukan. Dengan latihan yang tidak terprogram dengan baik akan menyebabkan
prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar tidak maksimal oleh karena sangat
erat hubungan dengan tidak maksimalnya fungsi daya tahan jantung-paru.
70
4.2.2
Hubungan Antara Kekuatan Otot Lengan, Otot Punggung dan Otot
Tungkai dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR
Peraih Medali Emas, Perak dan Perunggu
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.5, 4.6 dan 4.7 didapatkan hubungan
antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan otot tungkai terhadap prestasi atlet
senam putra yang meraih medali pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori
lemah (r=-0,071; r=-0,326; r=0,452). Dari tabel 4.3 diketahui kemampuan fisik
kekuatan otot lengan, otot punggung dan otot tungkai atlet senam putra masih di
bawah standar KONI.
Dari uraian di atas menunjukkan kurang berperannya kekuatan otot lengan,
punggung dan tungkai terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali
PORPROV X Jabar. Menurut Harsono (1988) dan Unestahl (1983) kekuatan otot
merupakan basis dari semua komponen kebugaran jasmani dan merupakan ciri
dominan dari seorang pesenam. Sehingga tidak berperannya komponen kekuatan
otot terhadap prestasi atlet senam putra disebabkan karena sangat kurang dalam
melakukan latihan sesuai dengan dosis latihan yang seharusnya dilakukan.
Adapun latihan kekuatan yang dilakukan hanya satu kali dalam seminggu dan
relatif jarang menggunakan weight training. Sedangkan untuk mendapatkan
kemampuan kekuatan yang maksimal, seharusnya atlet senam putra PORPROV X
Jabar melakukan latihan dengan range 8-12 RM sebanyak tiga set dan dilakukan
dua sampai tiga kali dalam seminggu (Bompa, 1983, Aagaard, 2001, Kosek,
2006).
71
Latihan beban (weight training) sesuai dengan dosis yang telah akan
menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis antara lain hipertrofi serabut otot
yang menyebabkan peningkatan jumlah dan ukuran miofibril otot, peningkatan
jumlah serabut filamen aktin dan miosin, peningkatan jumlah mioglobin dan
densitas kapiler, dan bertambahnya kekuatan tendon dan ligamentum sehingga
kemampuan kontraksi otot meningkat. Selain terjadi pula perubahan komposisi
serabut otot yaitu meningkatnya konsentrasi kreatin otot, kreatin posfat, ATP, dan
persediaan glikogen (Arkinstall, 2004). Dengan bertambahnya jumlah energi
anaerobik ini maka kemampuan untuk melakukan kontraksi otot pun lebih kuat
dan lebih lama. Hal inilah yang menunjukkan bawa kekuatan otot yang maksimal
akan dapat menunjang prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar.
Latihan kekuatan (weight training) yang dilakukan juga harus memenuhi
prinsip overload dan progresive resistance (Pyke, 1990; Foss & Kateyian, 1998).
Beban yang diberikan secara overload akan menimbulkan peningkatan kekuatan
otot dengan terjadinya hipertrofi serabut otot dan bertambahnya tegangan otot saat
berkontraksi.
Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa kurang berperannya kemampuan
kekuatan otot atlet senam putra PORPROV X Jabar terhadap prestasi atlet senam
putra perih medali PORPROV X JABAR disebabkan karena latihan beban
(weight training) yang dilakukan belum terukur dan terprogram dengan baik.
72
4.2.3
Hubungan Antara Daya Ledak Otot Lengan dan Tungkai dengan
Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR Peraih Medali
Emas, Perak dan Perunggu
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.8 dan 4.9 didapatkan hubungan antara
daya ledak otot lengan dan tungkai prestasi atlet senam putra yang meraih medali
pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori rendah dan lemah (r=0,344; r=0,106). Dari tabel 4.3 diketahui kemampuan fisik daya ledak otot lengan dan
tungkai atlet senam putra masih di atas standar KONI.
Dari uraian di atas menunjukkan kurang berperannya komponen daya ledak
otot lengan dan tungkai terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali
PORPROV X JABAR. Adapun daya ledak otot sangat diperlukan oleh atlet
senam karena banyak melakukan gerakan yang memakai kombinasi kekuatan dan
kecepatan yang maksimal seperti gerakan melayang dan melompat (Magil,1985;
Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Kurang berperannya daya ledak otot terhadap
prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar disebabkan karena
latihan yang dilakukan dengan intensitas yang berganti-ganti dan tidak
mempertahankan
intensitas
yang
tepat.
Latihan
yang
ditujukan
untuk
meningkatkan daya ledak otot adalah dengan latihan beban (weight training)
dengan range 12-15 RM sebanyak tiga set dan dilakukan dua sampai tiga kali
dalam semingggu. Akan tetapi, atlet senam putra PORPROV X Jabar melakukan
latihan beban (weight training) yang belum terprogram dan terukur dengan baik
untuk meningkatkan daya ledak otot hanya satu kali dalam seminggu.
73
Atlet senam putra PORPROV X Jabar yang hanya satu kali melakukan latihan
daya ledak otot akan menyebabkan kontraksi otot lengan dan tungkai tidak
efisien, kurang cepat dan kurang kuat. Kemampuan daya ledak yang maksimal
disebabkan kemampuan neuromuskuler yang baik yaitu hasil kerjasama jaringan
otot yang dinamis dan adaptasi sistem neural otot (Jensen, 2005). Dengan
melakukan latihan beban (weight training) dengan range 12-15 RM sebanyak tiga
set maka akan tercapai kemampuan otot yang maksimal yang diperlukan untuk
daya ledak otot. Selain hal tersebut, terjadi adaptasi sistem neural yaitu
meningkatnya kecepatan rangsang (impuls saraf) ke otot. Impuls saraf yang
sampai ke otot akan merangsang pelepasan neurotransmitter asetilkolin pada
sinaps presynaptic yang akan merangsang pelepasan ion natrium (Na+), ion
kalium (K+), dan ion kalsium (Ca2+) pada postsynaptic. Ion-ion ini selanjutnya
akan menyebabkan potensial aksi dalam serabut otot dan tubulus T yang segera
merangsang retikulum sarkoplasmik melepaskan ion kalsium (Ca2+) ke sekitar
miofibril yang pada akhirnya menimbulkan kontraksi otot (Guyton, 1997;
Duhamel, 2004; Holloway, 2005).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat menjelaskan latihan beban
(weight training) dengan range beban 12 – 15 RM sebanyak tiga set yang
dilakukan dua sampai tiga kali dalam seminggu akan meningkatkan kemampuan
daya ledak otot atlet senam putra PORPROV X Jabar yang masih relatif jarang
melakukan bentuk latihan ini sehingga peranannya terhadap prestasi masih
kurang.
74
4.2.4
Hubungan Antara Kelentukan dengan Prestasi Atlet Senam Putra
PORPROV X JABAR Peraih Medali Emas, Perak dan Perunggu
Berdasarkan hasil analisis
pada tabel 4.10 didapatkan
hubungan antara
kelentukan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada
PORPROV X termasuk ke dalam kategori sedang (r=0,503). Dan dari tabel 4.3
diketahui kemampuan fisik kelentukan atlet senam putra masih di bawah standar
KONI.
Dari hasil di atas menunjukkkan adanya peranan komponen kelentukan
terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR akan
tetapi peranan tersebut belum maksimal. Hal ini disebabkan kurangnya latihan
kelentukan pada setiap latihan sehingga mengakibatkan kurangnya adaptasi dari
kelentukan otot, tendon dan ligamen.
Bentuk latihan kelentukan yang tidak tepat akan menyebabkan kemampuan
sistem neuromuskuler tubuh yang tidak bekerja secara maksimal. Kerja dari
sistem neuromuskuler tergantung pada kinerja dan harmonisasi dari kerja otot,
tulang dan tentunya latihan yang tepat (Harsono, 1988). Dengan kelentukan yang
baik akan memungkinkan terjadinya pergerakan sendi secara maksimal sesuai
dengan kemungkinan gerakan (range of motion) (Hall, 2003).
Untuk mendapatkan kelentukan yang maksimal dapat diperoleh dengan
melakukan latihan peregangan yaitu dengan Propioceptif Neuromuscular
Fascilitation (PNF) dilakukan 3 – 5X/minggu selama 20-30 detik dalam 4-5 set
(Knudson, 1998; Kubo,2001). Atlet-atlet senam putra PORPROV X JABAR
jarang atau hampir tidak pernah melakukan latihan PNF sehingga hal ini
75
menyebabkan hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra
peraih medali PORPROV X Jabar belum berperan maksimal.
4.2.5
Hubungan Antara Kelincahan dengan Prestasi Atlet Senam Putra
PORPROV X JABAR Peraih Medali Emas, Perak dan Perunggu
Berdasarkan hasil analisis
pada tabel 4.11 didapatkan
hubungan antara
kelincahan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV
X termasuk ke dalam kategori sedang (r=0,520). Dan dari tabel 4.3 diketahui
komponen kelincahan atlet senam putra masih di bawah standar KONI.
Dari hasil di atas menunjukkan adanya peranan antara komponen kelincahan
terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar akan tetapi
peranan komponen kelincahan tersebut belum maksimal. Hal ini disebabkan
masih kurangnya latihan untuk meningkatkan kemampuan komponen kelincahan.
Kelincahan yang baik sangat ditunjang oleh baiknya komponen kekuatan otot,
daya ledak otot dan kelentukan (Bompa,1983). Sehingga untuk mendapatkan
kelincahan yang maksimal harus ditunjang pula oleh komponen kekuatan otot,
daya ledak otot dan kelentukan yang maksimal pula.
Oleh karena itu, hubungan antara komponen kelincahan dengan prestasi yang
masih rendah ini dikarenakan kekuatan otot, daya ledak otot dan kelntukan yang
masih belum secara maksimal dilakukan.
76
4.3 Pengujian Hipotesis
Hipotesis I :
Terdapat hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks)
dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar.
Penunjang :
Terdapat hubungan yang sedang antara daya tahan jantung-paru (
O2 maks) dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV
X Jabar (r=0,611).
Yang tidak menunjang : Tidak ada.
Kesimpulan:
Hipotesis pertama teruji dan diterima.
Hipotesis II:
Terdapat hubungan antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan
tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV
X Jabar.
Penunjang :
Terdapat hubungan yang lemah antara
punggung
kekuatan otot lengan,
dan tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih
medali PORPROV X Jabart (r = -0,071; r= -0,452, r= -0,326).
Yang tidak menunjang : Tidak ada.
Kesimpulan : Hipotesis kedua teruji dan diterima.
77
Hipotesis III:
Terdapat hubungan antara daya ledak otot lengan dan tungkai dengan
prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar.
Penunjang :
Terdapat hubungan yang rendah dan lemah antara daya ledak otot
lengan dan tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali
PORPROV X Jabar (r=0,344; r =-0,106).
Yang tidak menunjang : Tidak ada.
Kesimpulan :
Hipotesis ketiga teruji dan diterima.
Hipotesis IV:
Terdapat hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam
putra peraih medali PORPROV X Jabar.
Penunjang:
Terdapat hubungan yang sedang antara kelentukan dengan prestasi
atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar (r=0,503).
Yang tidak menunjang : Tidak ada.
Kesimpulan :
Hipotesis kelima teruji dan diterima.
78
Hipótesis V:
Terdapat hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam
putra yang meraih medali pada PORPROV X Jabar.
Penunjang:
Terdapat hubungan yang sedang antara kelincahan dengan prestasi
atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar (r=0,520).
Yang tidak menunjang : Tidak ada.
Kesimpulan:
Hipotesis kelima teruji dan diterima.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Komponen kebugaran jasmani yang berperan terhadap prestasi atlet
senam putra peraih medali PORPROV X JABAR adalah: daya tahan
jantung paru (r=0,611), kelincahan (r=0,520) dan kelentukan (r=0503)
sedangkan yang kurang berperan terhadap prestasi atlet senam putra
peraih medali PORPROV X JABAR adalah: kekuatan otot lengan,
punggung dan tungkai (r= - 0,071; r= -0,0326; r= - 0,0452) dan daya
ledak otot lengan dan tungkai (r=0,344; r=-0,106).
2. Hubungan antara daya tahan jantung-paru dengan prestasi atlet senam
putra PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori sedang (r=0,611).
3. Hubungan antara kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai dengan
prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori
lemah (r=-0,071; r=-0,326; r=0,452).
4. Hubungan antara daya ledak otot lengan dengan prestasi termasuk
dalam kategori rendah dan hubungan antara daya ledak otot tungkai
dengan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar termasuk dalam
kategori lemah (r=0,344; r=-0,106).
5. Hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra
PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori sedang (r=0503).
79
80
6. Hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam putra
PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori sedang (r=0,520).
5.2 Saran
1. Sehubungan dengan adanya pengaruh dari komponen kebugaran
jasmani terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV
X Jabar maka perlu adanya peningkatan yang lebih maksimal terhadap
latihan komponen daya tahan jantung paru, kelentukan dan kelincahan
dan sesuai dengan dosis yang seharusnya serta peningkatan peranan
komponen kekuatan otot dan daya ledak otot dengan melakukan
perbaikan dan peningkatan latihan sesuai dengan dosis latihan
sehingga dapat berperan secara maksimal dalam mencapai prestasi
yang lebih baik pada event-event pertandingan yang akan datang
2. Perlu diupayakan agar kemampuan daya tahan jantung-paru atlet
senam putra PORPROV X Jabar menjadi maksimal yaitu dengan
melakukan latihan daya tahan jantung-paru 3-5 kali seminggu dengan
intensitas 75-85% denyut nadi maksimal dengan waktu lebih dari 1
jam.
3. Perlu diupayakan agar kemampuan kelentukan atlet
senam putra
PORPROV X Jabar menjadi maksimal yaitu dengan melakukan PNF
(Propioceptive Neuromuscular Facilitation) 15-30 detik dilakukan 3
set dengan frekuensi 3-5 kali seminggu.
81
4. Perlu diupayakan agar kemampuan kelincahan atlet senam putra
PORPROV X Jabar menjadi maksimal yaitu dengan melakukan latihan
yang mengembangkan kelincahan sesuai dosis latihan yang telah
ditentukan.
5. Perlu diupayakan perbaikan latihan agar kemampuan kekuatan otot
lengan dan tungkai atlet senam putra PORPROV X Jabar menjadi
berperan dengan maksimal yaitu dengan melakukan latihan beban
(weight trainning) 8-12 RM dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3x
/minggu
6. Perlu diupayakan perbaikan latihan agar kemampuan daya ledak otot
lengan dan tungkai atlet senam putra PORPROV X Jabar menjadi
berperan dengan maksimal yaitu dengan melakukan latihan dengan
beban 12-15 RM yang dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam
seminggu.
7. Perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi kemampuan komponen fisik
atlet senam pada umumnya dan atlet senam putra peraih medali
PORPROV X Jabar pada khususnya secara berkala, sehingga tercapai
kualitas komponen fisik yang maksimal yang menunjang peraihan
medali pada event-event yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Aagaard, P., Andersen,J.L., Poulsen P.D., Leffers,A.M., Wagner, A.,
Magnusson,S.P.2001.A Mechanism for Increased Contractile Strength of
Human Pennate Muscle in Resp[onse to Strength Training: Changes in
Muscle Architecture. Journal of Physiology 534:613-623
ACSM (American College of Sport Medicine). 1990. The Recommended Quantity
and Quality of Exercise for Developing and Maintaining Cardiorespiratory
and Muscular Fitness in Healthy Adults. Medicine in Science in Sports
Exercise 22, 265-274
Arkinstall, M.J., Bruce, C.R., Clark, S.A., Rickards, C.A., Burke, L.M., & Hawley,
J.A. 2004. Regulation of Fuel Metabolism by Preexecise Muscle Glycogen
Content and Exercise Intensity. Journal of Applied Physiology 97: 2275-2283.
Astrand, P.O. and Rodahl, K. 2003. Textbook of Work Pysiology, Physiological Bases
of Exercise. New York : McGraw—Hill : 295-348, 713.
Auweele, Y.V., F.Bakker, S.Biddle, M.Durand, & R.Seiler. 1999. Psychology for
Physical Educators. Human Kinetics. 137-145.
Bompa, T.O. 1983. Theory and Methodology of Training. Dubuque, Lowa : Kendal/
Hunt Publishing Company.
Bowers, C.O, Fie, J.K., Schmid, A.B. 1981. Judging and Coaching Woman’s
Gymnastics. California: Mayfield Publishing Co.
Brooks, G.H & Fahey, T.D. 1985. Exercise Physiology Human Bioenergetics and
Its Applications. New York : Macmillan Publishing Company
Bassett, O.B. and Howley, E.T. (2000). Limiting Factors for Maximal Oxygen
Uptake and Determinants of Endurance Performance. Med. Sci. Sports
Exerc.32:70-84.
Davis, K & Brown S.M. 1992. Aerobics Instructor Manual. The Resource for Fitnes
Professionals. American Council of Exercise.
Departemen Kesehatan. 1994. Pedoman Pengukuran Kebugaran Jasmani. Jakarta
Giriwijoyo, Y.S.S. 1992. Ilmu Faal Olahraga. Bandung.
82
83
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Informasi kesegaran jasmani.
Jakarta
De Vries, H. A. 1979. Physiology of Exercise for Physical Education dan Athletics.
Duhamel, T.A., Green, H.J., Sandiford, S.D., Perco, J.G., & Ouyang, J. 2004. Effects
of Progressive Exercise and Hypoxia on Human Muscle Sarcoplasmic
Reticulum Function. Journal of Applied Physiology 97: 188-196
Egger, G. & Champion, N. 1998. The Fitness Leader’s Handbook, 3rd ed. Australia :
Kangaroo Press
Foss, M.L. & Keteyian, S.J. 1998. Fox’s Physiological Basis for Exercise and Sport.
4th ed. New York : W.B. Saunders Company : 259-261.
Fisher, A.G., Jensen, C.R. 1990. Scientific Basis of Athletic Conditioning. 3rd ed.
Philadelphia: Lea & Febriger.
Ganong W., 2005. Review of Medical Physiology. Edisi ke 21. Mc Graw Hill
Companies. USA.
Gurd, B.J., Scheuermann, B.W., Paterson, D.H., & Kowalchuk, J.M. 2005. Prior
Heavy-Intensity Exercise Speeds O2 Kinetics during Moderate-Intensity
Exercise in Young Adults. Journal of Applied Physiology 98: 1371-1378.
Guyton, A.C., Hall J.E. 1999. Fisiologi kedokteran. Textbook of Medical Physiology.
Ed 9. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Hall, S.J. 2003. Basic Biomechanic. 4th Edition. McGraw Hill Comp.
Haltfied, F.C. 1988. Power Scientific Approach Contemporary Book. Chicago
Hartley, G. 1994. A Comparison of The Soviet dan East German Gymnastics
Systems, dalam Holt, Jim. International Gymnastics Systems: An Anthology.
Australia Gymnastics Federation
Harms, Craig A., Thomas J.Wetter, Claudette M.St.Croix, David F.Pegelow, and
Jerome A.Dempsey.Effect of Respiratory Muscle Work on Exercise
Performance.Journal of Applied Physiology 89:131-138, 2000
Harsono, 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta: CV
Tambak Kesuma.
84
Henderson, K.K., McCanse, W., Urano, T., Kuwahira, I., Clancy, R., & Gonzalez,
N.C. 2000. Acute vs. Chronic Effects of Elevated Hemoglobin O2 Affinity on
O2 Transport in Maximal Exercise. Journal of Applied Physiology 89: 265272.
Holloway, G.P., Green, H.J., Duhamel, T.A., Ferth, S., Moule, J.W., Ouyang, j., et al.
2005. Muscle Sarcoplasmic Reticulum Ca2+ Cycling Adaptations During 16 h
of Heavy Intermittent Cycle Exercise. Journal of Applied Physiology 99: 836843
Hutber, C.A., Rasmussen, B.B., & Winder, W.W. 1999. Endurance Training
Attenuates the Decrease in Skeletal Muscle Malonyl-CoA with Exercise.
Journal of Applied Physiology 58: 1917-1922.
Janssen, Peter G.J.M. 1993. Latihan Laktat Denyut Nadi. Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti
Jensen, J.L., Marstrand, P.C.D., & Nielsen, J.B. 2005. Motor Skill Training are
Associated with Different Plastic Changes in the Central Nervous System.
Journal of Applied Physiology 99: 1558-1568.
Knudson, D. 1998. Stretching:Science to Practice. JOPERD,69(3), 38-42
Kosek, D.J., Kim, J.S., Petrella, J.K., Cross, J.M., Bamman, M.M. 2006. Efficacy of
3 wk Resistance Training on Myofiber Hypertrophy and Myogenic
Mechanisms in Young vs. Older Adults. Journal of Applied Physiology
101:531-544.
Kubo, K., Kanehisa, H., Fukunaga, T. 2001. Efect of Different Duration Isometric
Contractions on Tendon Elasticity in Human Quadriceps Muscle. Journal of
Applied Physiology 536: 649-655
LeBlanc, P.J., Howarth, K.R., Gibala, M.J., & George, J.F. 2004. Effects of 7 wk of
Endurance Training on Human Skeletal Muscle Metabolism during
Submaximal Exercise. Journal of Applied Physiology 97: 2148-2153.
Lutan, R. 1991. Manusia dan Olahraga. Bandung: ITB dan FPOK/IKIP Bandung.
Magil, R. A. 1985. Motor Learning, Concepts and Applications. 2nd ed. Iowa: WM.
C. Brown.
85
Mahendra, A. 2001. Pembelajaran Senam: Pendekatan Pola Gerak Dominan untuk
Siswa SLTP. Jakarta: Direktorat Jenderal Olahraga, Depdiknas.
McArdle, W.D; Katch, F. I; Katch, V.L. 1996. Exercise Phisiology, Energy, Nutrition
and Human Performance. Baltimore: Williams and Wilkins.
McCance, K.L. & Huether., S.E. 2006. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Children. 6th edition. USA: Elsevier Mosby.
Nurhasan. 1984. Tes Kemampuan Fisik Atlet-Atlet Cabang Olahraga Prestasi.
Bandung: KONI Jawa Barat.
Pate, R. and Rotella, Mc. Clenghan. 1993. Dasar-dasar Ilmiah Kepelatihan
(terjemahan). IKIP Semarang Press.
Powers, S.K. & Howley, E.T. 2001. 4th Exercise Physiology. New York : McGrawHill Company.
Pyke F.S. & Rushall, B.S. 1990. Training for Sport and Fitness. McMillan Company
Of Australia.
Reilly, T et al. 1993. Physiology of Sports, 1st ed. London : Chapman & Hall.
Salmela, J. 1983. Understanding Gymnastics Performance, dalam Unestahl, LarsEric, The mental Apects of Gymnastics, Orebo: VEJE Publ. Inc
Saltin, B. & Gollnick, P.D. 1986. Skeletal Muscle Adaptability Significance of for
Metabolism an Performance. Handbook of Physiology Scheletal Muscle.
Baltimore : W.B Saunders Company.
Saltin, B. and Strange, S. 1992. Maximal Oxygen Uptake: "Old" and "New"
Arguments for a Cardiovascular Limitation. Med. Sci. Sports Exerc. 24:30-37.
Schembry, G. 1983. Introductory Gymnastics. A Guide for Coaches and Teachers.
Australia: Australian Gymnastics Federation.
Schmidt, R.A. 1991. Motor Learning and Performance, from Principles to Practice.
Champaign. Illinois.: Human Kinetics
Schmidt-Trucksaas,A., A.Schmid, C.Haussler, G.Huber, M.Hounker, and J.Keul.
2000. Left Ventricular Wall Motion During Diastolic Filling in Endurance
Tarined Athletes. Med.Sci.Sport Exerc., Vol 33, No.2,pp.189-195
86
Sharkey, B.J. 1984. Physiology of Fitness. Champaign, Illinois.
Spriet,L.L. 2002. Regulation of Skeletal muscle Fat Oxidation During Exercise in
Humans. MedSci.Sport Exerc.,Vol 34.,No.9.pp.1477-1484
Sumosardjono, S. 1986. Pengetahuan Praktis Kesehatan dalam Olahraga. Jakarta :
Gramedia.
Sutton, J.R. 1992. VO2 Max New Conxepts on an Old Theme. Journal Medicine and
Science in Sports and Exercise vol. 24, No. 1:26.
Unestahl, L. E. 1983. Mental Training for A Gymnastics Career. The Mental Aspect
of Gymnastics. Sweden: VEJE Publ. Inc.
Vander, A. 2001. Human Physiology. Boston : McGraw Hill.
Warpeha, J. 2003; Limitation of Maximal Oxygen Consumption: The Holy Grail of
Exercise Physiology or Fool's Gold? Professionalization of Exercise
Physiology. Vol 6 No 9
Wilmore, J.H. & Costill, L.D. 1994. Physiology of Sport and Exercise. USA: Human
Kinetics.
116
Lampiran 19
RIWAYAT HIDUP
Nama
: David Mangarahon Tua Simangunsong
Tempat, Tanggal Lahir
: Medan, 21 September 1980
Ayah
: Wilson Simangunsong, SE
Ibu
: Rosdiana br.Simanjuntak
Agama
: Kristen Protestan
Pendidikan Formal:

TK St.Yosef Medan, Tamat tahun 1987

SD ST Antonius V-VI Medan, Tamat tahun 1993

SMP St Thomas I Medan, Tamat tahun 1996

SMUN 5 Medan, Tamat tahun 1999

Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Tamat tahun 2004

Pascasarjana Combined Degree Bidang Kajian Utama Ilmu Faal dan
Kedokteran Olahraga Universitas Padjadjaran Bandung, Tahun, Tamat tahun
2007
Download