iv ABSTRAK David M. T. S. , 2007. Hubungan antara Komponen Kebugaran Jasmani dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X Jabar di Karawang. Komponen kebugaran jasmani yang predominan untuk menunjang prestasi atlet senam putra atlet senam putra PORPROV X Jabar antara lain adalah daya tahan jantungparu, kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, dan kelincahan. Akan tetapi seberapa besar hubungan tiap-tiap komponen fisik tersebut dalam rangka menunjang prestasi atlet senam putra atlet senam putra PORPROV X Jabar masih belum diketahui. Maka dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara komponen kebugaran jasmani dengan prestasi atlet senam putra atlet senam putra PORPROV X Jabar di Karawang. Subjek penelitian adalah 10 orang atlet senam putra yang meraih medali pada Pekan Olahraga Provinsi (PORPROV) Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis korelasional dengan cara mengukur umur (tahun), berat badan (Kg), tinggi badan (cm), BMI (Kg/m2), pengukuran O2 maks (ml/kg.mnt) dengan tes Ryhming, kekuatan otot dengan dynamometer, daya ledak otot lengan dan tungkai dengan twohands medicine ball-put (cm) dan vertical jump (cm), kelentukan (cm) dengan metode sit and reach test, dan kelincahan dengan tes shuttle run (detik). Kemudian untuk mengetahui hubungan antara komponen kebugaran jasmani dengan prestasi atlet senam putra atlet digunakan uji korelasi Jaspen’s (r) (p<0,05).. Hasil penelitian dengan uji korelasi Jaspen’s (p<0,05) menunjukkan hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) dengan prestasi atlet senam putra adalah sedang (r=0,611), hubungan antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan otot tungkai dengan prestasi atlet senam putra adalah lemah (r=-0,071; r=-0,324; r=-0,452), hubungan antara daya ledak otot lengan dan otot tungkai dengan prestasi atlet senam putra adalah rendah dan lemah (r=0,344; r=-0,106), hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra adalah sedang (r=-0,503), dan hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam putra adalah sedang (r=0,520). Kesimpulan, didapatkan komponen yang berperan terhadap prestasi atlet senam putra adalah daya tahan jantung paru, kelentukan dan kelincahan dan komponen yang kurang berperan terhadap prestasi atlet senam putra adalah kekuatan otot dan daya ledak otot. Saran, perlu diupayakan peningkatan dan perbaikan komponen kebugaran jasmani untuk mencapai prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar yang maksimal dengan melakukan bentuk latihan yang tepat dan sesuai dosis latihan yang telah ditentukan. v ABSTRACT David M. T. S. , 2007. The Relationship between The Physical Fitness Components and The Performance of West Java PORPROV X Male Gymnastic Athletes in Karawang. The dominant components of physical fitness that contribute the performance of West Java PORPROV (Provincial Sports Week) male gymnastic athletes are cardiopulmonary endurance, muscle strength, muscle power, flexibility, and agility. However, how close the relationship of each physical fitness component to the performance of West Java PORPROV X male gymnastic athletes is has not been known yet. Therefore, this study was conducted to investigate the relationship between the physical fitness components and the performance of West Java PORPROV X male gymnastic athletes in Karawang. The reseach subject was 10 male gymnastic athletes who won medallion during the 10th Provincial Sports Week (PORPROV) of West Java. The research method used was correlation analysis by measuring age (year), body weight (kg), body height (cm), BMI (kg/m2), VO2 max (ml/kg.min) using Rhyming step test, muscle strength (kg) with dynamometer, hand and leg muscle power with twohand medicine ball-put (cm) and vertical jump (cm), flexibility using sit-andreach test (cm), and agility with shuttle run test (second). Furthermore, in order to seek the relationship of the physical fitness components to the gymnastic performance of male athletes, Jaspen’s correlation analysis (r) (p<0.05) was used. The study results using Jaspen’s correlation analysis indicated that the correlation between cardiopulmonary endurance (VO2 max) and the performance of male gymnastic athletes was moderate (r=0.611) ; the correlations of the strength of hand muscle, back muscle, and leg muscle to the performance of male gymnastic athletes were weak (r=-0.071, r=-0.324, r=0.452, respectively); the correlation of hand muscle power and leg muscle power to the perfomance of male gymnastic athletes were low and moderate (r=0.344, r=0.-0.106, respectively); while the correlations of the flexibility to the performance of male gymnastic athletes were moderate (r=-0.503); and the correlations of the agility to the performance of male gymnastic athletes were moderate (r=0.520). The conclusion showed that the physical fitness components played on the performance of male gymnastic athletes were cardiopulmonary endurance, flexibility, and agility, whereas the physical fitness components played a less important role on the performance of male gymnastic athletes muscle strength and muscle power. Thus, it is necessary to make effort enhancing and improving the physical fitness components in achieving maximum performance of West Java PORPROV X male gymnastic athletes by implementing appropriate form and dose of exercises conforming to the sports principles. vi KATA PENGANTAR Segala pujian serta syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena hanya oleh anugerah-Nya semata penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Penulis berhutang banyak kepada berbagai pihak yang memungkinkan penulis menyelelesaikan Tesis ini, baik dari awal hingga selesainya Tesis ini. Oleh karena itu, penulis berterima kasih sedalam-dalamnya kepada yang terhormat Prof. A. Himendra, dr., SpAnKIC(K)., selaku Rektor Universitas Padjadjaran, beserta sekretaris dan segenap staf atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menjalani dan menyelesaikan program pendidikan ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Prof. H. A. Djadja Saefullah, Drs., M.A., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana Universitas Padjadjaran, dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya diberikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Hj. Ieva Baniasih Akbar, dr., MS., AIFO., selaku Koordinator Pendidikan Program Magister Kesehatan Universitas Padjadjaran, atas perkenanan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjalani dan menyelesaikan program pendidikan ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis tujukan kepada yang terhormat Eri Surachman, dr., SpAn(K)., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran beserta staff, Prof. Dr. Imam Supardi, dr., SpMK., Ketua Program Pendidikan Combined Degree Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran beserta staf, dan Prof. Dr. A. Purba, dr., MS., AIF., Ketua Program Ilmu Faal dan Kedokteran Olahraga Program Combined Degree Fakultas Kedokteran Universitas vii Padjadjaran beserta staf pengajar di Program Ilmu Faal dan Kedokteran Olahraga Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. A. Purba, dr., MS., AIF., Guru Besar Ilmu Faal atas kesediaannya menjadi ketua Tim Pembimbing serta segala jerih payahnya, penyediaan waktu , pengertiannya, bimbingannya, kesabarannya, serta dorongan semangat yang tidak dapat penulis balas, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S2 ini. Kepada Prof. Dr. Hj. Ieva Baniasih Akbar, dr., MS., AIF, penulis sekali lagi mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas kerelaannya menjadi anggota Tim Pembimbing serta atas segala pengarahan, bimbingan, dukungan dan semangat yang telah diberikan sejak awal penulisan Tesis ini. Perkenankanlah pula penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. H.Adjat Sedjati Rasyad, dr., MKes, AIF; Dr. Beltasar Tarigan, drs., M.S, AIFO; Renny Farenia, dr., MKes, AIFO; dan juga kepada Jimmy Setiadinata, dr., MKes., AIFO, selaku tim penelaah yang telah memberikan saran dan masukan berharga untuk penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada Bapak Drs.Etor Suwandar M.Si selaku Penanggungjawab Pelatda Persani Jawa Barat, dan para pelatih Pelatda Persani yang telah meluangkan waktu serta memberikan masukan dan berbagai bantuan selama penulis melakukan penelitian, penulis mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan, kerjasama, serta bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada Asep Eris Supriatna, S.Si., viii atas bantuannya dalam pengolahan statistik penelitian ini. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada staf PPCD : Pak Heri, Tuti, Wini, Bu Ida, yang telah banyak membantu, dan mendorong penulis sehingga dapat mengikuti pendidikan pascasarjana ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga bagi segenap keluarga, Bapa, Mama, dan adik-adikku yang telah memberikan bantuan dan menjadi sumber penghiburan dalam perjuangan penulis menyelesaikan Tesis ini. Akhir kata, penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih pada pada yang terkasih Merry dan rekan-rekan seperjuangan, yang selalu saling menopang dalam suka maupun duka, Ranto Jaya Simanjuntak, dr.; Firman, dr.; Bernhard Arianto Purba,dr.; Leonardo Lubis, dr.; Anna Sofyana,dr.; Farra Y Ermita, dr.; Novi, dr.; Dolly N Lubis, dr.; Adi Sopiandi, dr., dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, tanpa dorongan dan semangat dari kalian tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan Tesis dan program pendidikan S2 ini. Segala sesuatu hanya dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk kemuliaan nama Tuhan. Bandung, Maret 2007 Penulis ix DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ............................................................ ii ABSTRAK ....................................................................................... iv ABSTRACT ...................................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................... ix DAFTAR TABEL ........................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1 1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................ 3 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ..................................... 4 1.3.1 Maksud Penelitian ............................................. 4 1.3.2 Tujuan Penelitian .............................................. 4 1.4 Kegunaan Penelitian..................................................... 5 1.4.1 Kegunaan Ilmiah ............................................... 5 1.4.2 Kegunaan Praktis .............................................. 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ........................................................... 6 2.1 Kajian Pustaka.............................................................. 6 x 2.1.1 Olahraga Prestasi............................................... 6 2.1.2 Kebugaran Jasmani ............................................ 7 2.1.2.1 Daya Tahan Jantung-Paru .................... 8 2.1.2.1.1 Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Daya Tahan Jantung Paru.................. 12 2.1.2.2.2 Kapasitas Aerobik ............................. 14 2.1.2.2 Kekuatan Otot ...................................... 15 2.1.2.3 Daya Ledak Otot .................................. 16 2.1.2.4 Kelentukan ............................................ 18 2.1.2.5 Kelincahan ........................................... 19 2.1.3 Hubungan Komponen Kebugaran Jasmani dengan Prestasi .................................................. 20 2.1.3.1 Hubungan Daya Tahan Jantung - Paru ( O2 maks) dengan Prestasi................ 2.1.3.2 Hubungan Kekuatan Otot 20 dengan Prestasi ................................................ 23 2.1.3.3 Hubungan Daya Ledak Otot dengan Prestasi ................................................. 24 2.1.3.4 Hubungan Kelentukan Otot dengan Prestasi ................................................. 26 2.1.3.5 Hubungan Kelincahan dengan Prestasi 26 2.1.4 Senam ................................................................ 27 2.1.4.1 Karakteristik Gerak Dasar Senam ......... 28 xi 2.1.4.2 Keterampilan Lokomotor ...................... 29 2.1.4.3 Keterampilan Nonlokomotor ................ 30 2.1.4.4 Keterampilan Manipulatif ..................... 30 2.1.4.5 Aspek Fisiologis Senam......................... 31 2.1.4.6 Aspek Neuromuskular Terhadap Prestasi Senam..................................................... 33 2.2 Kerangka Pemikiran ..................................................... 35 2.3 Hipotesis....................................................................... 44 BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN ...................... 45 3.1 Subjek Penelitian ......................................................... 45 3.2 Metode Penelitian ........................................................ 46 3.2.1 Tipe Penelitian ................................................. 46 3.2.2 Desain Penelitian .............................................. 46 3.2.3 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Penelitian .......................................................... 47 3.2.4 Instrumen Penelitian ........................................ 49 3.2.5 Prosedur Penelitian .......................................... 50 3.2.6 Rancangan Analisis Data ................................. 51 3.2.7 Waktu dan Tempat Penelitian .......................... 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 52 4.1 Hasil Penelitian ............................................................ 52 xii 4.1.1 Karakteristik Fisik Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X Jabar................... 52 4.1.2 Uji Normalitas dan Homogenitas ..................... 53 4.1.3 Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI Pusat....... 54 4.1.4 Hubungan Antara Daya Tahan Jantung Paru dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR.......................... 56 4.1.5 Hubungan Antara Kekuatan Otot Lengan (Pull Strength) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR............... 57 4.1.6 Hubungan Antara Prestasi Kekuatan Otot Punggung (Back Strength) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR.......................................................... 4.1.7 Hubungan Antara 58 Kekuatan Otot Tungkai (Leg Strength) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR.... 4.1.8 59 Hubungan Antara Daya Ledak Otot Lengan (Medicine Ball) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR..... 60 xiii 4.1.8 Hubungan Antara Daya Ledak Otot Tungkai (Vertical Jump) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR........ 61 4.1.9 Hubungan Antara Kelentukan dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR ................................................................ 4.1.10 Hubungan Antara 62 Kelincahan (Shuttle Run) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR ............................ 63 4.2 Pembahasan...................................................................... 65 4.2.1 Hubungan Antara Daya Tahan Jantung Paru dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR............................. 4.2.2 65 Hubungan Antara Kekuatan Otot Lengan, Otot Punggung dan Otot Tungkai dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR................................................................. 4.2.3 70 Hubungan Antara Daya Ledak Otot Lengan dan Tungkai dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR.................. 4.2.4 72 Hubungan Antara Kelentukan dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR................................................................. 74 xiv 4.2.5 Hubungan Antara Kelincahan dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR................................................................. 75 4.3 Pengujian Hipotesis......................................................... 76 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................. 79 5.2 Saran ............................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 82 LAMPIRAN ..................................................................................... 87 xv DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Karakteristik Fisik Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR.............................................................................................. Tabel 4.2 Uji Normalitas & Homogenitas Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR......................................... Tabel 4.3 52. 53 Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI Pusat................................................................................................... Tabel 4.4 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Tahan Jantung-Paru ( O2 maks) dengan Prestasi......................................... Tabel 4.5 59 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Ledak Otot Lengan dengan Prestasi........................................................................ Tabel 4.9 58 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Otot Tungkai dengan Prestasi...................................................................... Tabel 4.8 57 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Punggung dengan Prestasi................................................................. Tabel 4.7 56 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Otot Lengan dengan Prestasi........................................................................ Tabel 4.6 54 60 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Ledak Otot Tungkai dengan Prestasi..................................................................... 61 Tabel 4.10 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kelentukan Tungkai dengan Prestasi... 62 Tabel 4.11 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Eta antara Kelentukan dengan Medali Emas, Perak, Perunggu............................................................ 63 xvi Tabel 4.12 Tingkatan Komponen Kebugaran Jasmani yang Berperan dalam Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Berdasarkan Koefisien Korelasi (r) dan Kategori Kebugaran Jasmani 64 xvii DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI Pusat................................................................................................ Gambar 4.2 55 Tingkatan Komponen Kebugaran Jasmani yang Berperan dalam Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Berdasarkan Koefisien Korelasi (r) dan Kategori Kebugaran Jasmani............................................................................................ 64 xviii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Informed Consent .…………………………………. 87 Lampiran 2 Formulir Pemeriksaan Fisik………………………… 88 Lampiran 3 Formulir Penelitian Daya Tahan Kardiovaskular, Kekuatan Otot, Daya Ledak Otot, Daya Tahan Otot, Tes Fleksibilitas / Kelentukan, Tes Agilitas, Shuttle Run 6x10 meter …………..………........... 89 Lampiran 4 Prosedur Pengukuran Daya Tahan Jantung Paru 91 Lampiran 5 Prosedur Pengukuran Kekuatan Otot Lengan, Punggung dan Tungkai.............................................. Lampiran 6 92 Prosedur Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan dan Otot Tungkai.............................................................. 93 Lampiran 7 Prosedur Pengukuran Kelentukan………………….. 94 Lampiran 8 Prosedur Pengukuran Kelincahan.............................. 95 Lampiran 9 Normogram Astrand.................................................. 95 Lampiran 10 Tabel Koreksi O2 maks Berdasarkan Berat Badan 96 Lampiran 11 Tabel Derajat Kebugaran Jasmani Berdasarkan O2 maks (Astrand)………...................................... 97 Lampiran 12 Uji Korelasi Jaspen’s (r) antara Komponen Fisik dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X Jabar........................................................................... 97 Lampiran 13 Uji-t antara Komponen Fisik dengan Atlet Senam Putra PORPROV X Jabar terhadap Standard KONI. 99 Lampiran 14 Interpretasi Koefisien Korelasi (Guilford).................. 100 xix Lampiran 15 Standard KONI Putra-Putri........................................ . 101 Lampiran 16 Tes Normalitas Komponen Fisik Atlet Senam Putra PORPROV X Jabar...................................................... 101 Lampiran 17 Karakteristik Fisik-Fisiologis Atlet Senam Putra......... 103 Lampiran 18 Riwayat Hidup.............................................................. 104 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Senam merupakan salah satu olahraga prestasi yang dipertandingkan dan menjadi andalan dalam meraih medali pada event-event olahraga tingkat nasional seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) dan pada tingkat internasional seperti SEA Games, Asian Games maupun Olimpiade. Dalam mencapai prestasi yang maksimal pada event-event olahraga tersebut, seorang atlet senam putra membutuhkan komponen kebugaran jasmani yang prima antara lain: daya tahan jantung paru ( O2 maks), kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, kelincahan (Nurhasan, 1984; Harsono, 1988; Pyke,1990; Astrand & Rodahl, 2003). Hal ini diperkuat oleh Harsono (1988) dan Foss & Keteyian (1998) yang mengatakan bahwa kemampuan kualitas fisik yang maksimal mempunyai peranan sangat penting dalam mencapai prestasi atlet. Pada atlet senam putra terdapat rangkaian gerakan yang spesifik yang harus dilakukan seperti berlari, melayang, melompat, berdiri terbalik dengan bertumpu pada kedua tangan, salto, berguling, mengayun badan, berpindah menyilang dan menyamping dan menendang. Dari uraian di atas menunjukkan diperlukan kemampuan komponen kebugaran jasmani yang prima dalam melakukan berbagai rangkaian gerakan yang diperlukan oleh atlet senam putra pada saat pertandingan dalam meraih prestasi yang maksimal terutama dalam peraihan medali. 1 2 Atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X JABAR bulan Juli 2006 pada saat ini secara khusus diikutsertakan dalam pelatihan Pelatda JABAR untuk persiapan mengikuti PON XVII di Kalimantan Timur. Walaupun atlet senam putra pada PORPROV X Jabar tersebut telah meraih medali akan tetapi seberapa besar hubungan antara kemampuan kebugaran jasmani daya tahan jantung paru, kekuatan otot lengan dan tungkai, daya ledak otot lengan dan tungkai, kelentukan, dan kelincahan terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar masih belum diketahui dengan jelas. Dari pengamatan di lapangan diketahui bahwa latihan daya tahan jantung paru hanya dilakukan 1 kali dalam seminggu yang seharusnya melakukan latihan tiga sampai lima kali dalam seminggu dengan intensitas latihan 75-85% dari denyut nadi maksimal dan berlangsung lebih dari 60 menit. Demikian pula halnya, untuk meningkatkan kekuatan dan daya ledak seharusnya menggunakan latihan beban (weight training), dan untuk latihan kekuatan otot dalam rentang 8-12 RM, latihan daya ledak otot dalam rentang 12-15 RM sebanyak tiga set, dan dilakukan dua sampai tiga kali seminggu (Bompa, 1983; Harsono,1988). Akan tetapi, ternyata atlet senam putra yang berprestasi pada PORPROV X Jabar relatif jarang melakukan bentuk latihan weight training dan hanya dilakukan 1 kali dalam seminggu. Sehubungan uraian diatas maka diperlukan adanya pemeriksaan kondisi kebugaran jasmani untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara kebugaran jasmani dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X JABAR. 3 Pengetahuan hubungan antara komponen-komponen kebugaran jasmani dengan prestasi ini diharapkan dapat membantu pelatih dalam merencanakan program latihan untuk persiapan menghadapi PON XVII di Kalimantan Timur serta berguna untuk penyusunan program latihan selanjutnya sehingga komponenkomponen kebugaran jasmani yang mana peranannya sangat penting dalam pencapaian prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar dapat dimaksimalkan. Dari uraian tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai: Hubungan antara Komponen Kebugaran Jasmani dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X Jabar di Karawang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat mengidentifikasikan masalah penelitian pada atlet senam putra Pelatda Jawa Barat sebagai berikut: 1) Seberapa besar hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang? 2) Seberapa besar hubungan antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan otot tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang? 3) Seberapa besar hubungan antara daya ledak otot lengan dan otot tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang? 4 4) Seberapa besar hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang? 5) Seberapa besar hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk: Mencari hubungan antara komponen kebugaran jasmani daya tahan jantung paru, kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai, daya ledak otot lengan dan tungkai, kelentukan, dan kelincahan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: Memperoleh pengetahuan hubungan antara komponen kebugaran jasmani daya tahan jantung paru, kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai, daya ledak otot lengan dan tungkai, kelentukan, dan kelincahan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar. 5 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi sebagai dasar pemikiran secara ilmiah khususnya dalam Ilmu Faal & Kedokteran Olahraga mengenai pengetahuan seberapa besar hubungan antara komponen kebugaran jasmani dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang. 1.4.2 Kegunaan Praktis Untuk mengetahui komponen kebugaran jasmani yang predominan pada olahraga senam dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelatih, pembina olahraga senam dan atlet senam putra PORPROV X Jabar dalam upaya meningkatkan kualitas komponen kebugaran jasmani atlet yang erat kaitannya dengan pencapaian prestasi yang maksimal sehingga dapat mengukir prestasi yang lebih baik pada PON XVII di Kalimantan Timur BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Olahraga Prestasi Olahraga ialah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu. Olahraga dapat dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan sifat dan tujuannya, yaitu olahraga prestasi, olahraga rekreasi, olahraga kesehatan dan olahraga pendidikan (Lutan, 1991; Giriwijoyo, 1992). Menurut Undang-Undang Sistim Kesehatan Nasional 2005 (SKN 2005), olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana (sistematis), berjenjang dan berkelanjutan, melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Prestasi seorang atlet ditentukan oleh tiga hal yaitu: kondisi fisik, kondisi psikologis dan keterampilan (Pyke,1990). Kontribusi ketiga hal ini sangat tergantung dari jenis olahraga yang dijalani oleh sang atlet. Olahraga-olahraga tertentu akan lebih membutuhkan kemampuan fisik yang lebih baik, yang lainnya membutuhkan kemampuan psikologis yang lebih baik dan tiap cabang olahraga membutuhkan tingkat keterampilan yang berbeda-beda. Kondisi fisik merupakan hal yang penting di antara ketiga hal tersebut dan merupakan hal yang dapat 6 7 dievaluasi setelah melakukan suatu program latihan (Pyke, 1990; Harsono, 1998; Astrand and Rodahl, 2003). 2.1.2 Kebugaran Jasmani Kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Departemen Kesehatan, 1994). Menurut World Health Organization (WHO) kebugaran jasmani adalah kemampuan untuk melakukan kerja otot secara memuaskan. Sumosardjuno (1992) menjelaskan bahwa kebugaran jasmani adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari dengan mudah tanpa merasa lelah yang berlebihan dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang dan untuk keperluan-keperluan mendadak. Kebugaran jasmani istilah asalnya dari physical fitness yang terkandung dari kata physic yang dapat diartikan sebagai kondisi sehat fisik dan fitness yang berarti kecocokan, yang dalam arti luas dimaksudkan sebagai kemampuan menyesuaikan diri organisme mempertahankan tata biokimia dan faalnya dalam batas harga yang normal pada waktu menghadapi kecaman stress berat, termasuk kerja fisik, sedangkan pada waktu istirahat ketidakseimbangan yang terjadi terpulihkan (Astrand and Rodahl, 2003). Dari definisi tersebut diatas maka keadaan tubuh yang bugar sangat diperlukan sekali dalam melakukan aktifitas sehari-hari yang berkualitas. Aktifitas fisik sendiri diartikan sebagai setiap gerakan tubuh yang menggunakan otot dan meningkatkan pengeluaran energi. Dengan berolahraga 8 yang terukur dan terprogram dapat meningkatkan kebugaran (McArdle, 1996; Astrand and Rodahl, 2003). Dalam hal pembinaan kebugaran jasmani, terdapat dua jenis kebugaran jasmani, yaitu kebugaran jasmani yang berkaitan dengan kesehatan (Health Related Physical Fitness) dan kebugaran jasmani yang berkaitan dengan prestasi (Performance Related Physical Fitness). Kebugaran jasmani yang berkaitan dengan kesehatan memerlukan tingkatan yang cukup dari komponen kebugaran dasar yaitu: daya tahan jantung paru dan pembuluh darah, kekuatan otot, daya tahan otot, kelentukan, dan komposisi tubuh (Harsono,1988). Sedangkan kebugaran jasmani yang berkaitan dengan prestasi adalah kebugaran jasmani yang berkaitan dengan kesehatan ditambah dengan daya ledak otot, kecepatan gerak, kelincahan, keseimbangan, kecepatan reaksi, dan koordinasi Departemen Kesehatan, 1998; Harsono, 1988; Astrand & Rodahl, 2003). Besar kecilnya sumbangan komponen kebugaran jasmani tergantung pada jenis cabang olahraga yang diikuti seseorang, misalnya untuk seorang pesenam, membutuhkan daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, dan kelincahan (Bompa, 1983). 2.1.2.1 Daya Tahan Jantung Paru ( O2 maks) Daya tahan jantung paru adalah kesanggupan sistem jantung, paru, dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan kerja dalam mengambil oksigen secara maksimal untuk menghasilkan energi dan menyalurkannya ke jaringan yang aktif sehingga dapat digunakan pada proses 9 metabolisme tubuh (Janssen, 1993; Departemen Kesehatan, 1998; Guyton, 1999; Ganong, 2005). Daya tahan jantung paru adalah kemampuan menunda terjadinya kelelahan berdasarkan efisiensi kardiovaskular untuk melayani satu tugas gerak maupun kerja yang ekstensif. Daya tahan jantung paru yang baik akan menunjang prestasi, karena dengan daya tahan jantung paru yang baik, seseorang dapat melakukan aktifitas kerja dengan lebih lama dan lebih baik, bahkan sebelum pertandingan seorang atlet yang memiliki daya tahan jantung paru yang baik dapat melakukan latihan dengan lebih lama (Wilmore & Costill, 2004). Latihan yang teratur dalam waktu yang cukup akan meningkatkan kemampuan mekanis paru-paru, meningkatkan aliran darah ke paru-paru, meningkatkan kemampuan difusi oksigen melalui membran paru-paru, meningkatkan kapasitas pengambilan oksigen dalam darah dan meningkatkan kemampuan jantung memompa darah melalui peningkatan curah sekuncup (Wilmore and Costill, 2004). Menurut Foss & Keteyian (1998), parameter yang akurat dan obyektif untuk mengukur daya tahan jantung paru adalah melalui pengukuran ambilan oksigen maksimum atau besarnya O2 maks. Kebugaran jasmani seseorang tercermin dari O2 maks (Astrand & Rodahl, 2003). Daya tangkap tubuh terhadap O2 ( O2 maks) dibatasi atau dihambat oleh fungsi sistem pernapasan, fungsi jantung, fungsi paru dan pembuluh darah, serta daya tangkap otot (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003). Aktivitas latihan akan meningkatkan kemampuan otototot respirasi, daya kembang paru, meningkatkan kemampuan untuk mengatasi resistensi aliran udara, sehingga kemampuan menghirup O2 dari udara akan 10 bertambah. Latihan juga meningkatkan kapasitas difusi O2 dari alveoli ke dalam darah sehingga konsentrasi O2 dalam darah akan bertambah. Pada orang yang berolahraga dengan teratur terjadi peningkatan efisiensi kerja jantung melalui dua mekanisme yaitu : jumlah darah yang dipompa setiap denyut lebih besar dan frekuensi denyutan berkurang, yang akan mengurangi turbulensi yang menghasilkan energi (Katch & McArdle, 1996; Foss & Keteyian, 1998). Latihan juga menyebabkan densitas kapiler dan luas permukaan difusi meningkat, sehingga memudahkan terjadinya pertukaran gas, substrat, dan metabolit antara kapiler dan jaringan, sedangkan aktivitas fisik yang rendah menyebabkan kemampuan difusi dari kapiler ke jaringan menurun. Terbatasnya akitivitas fisik juga menurunkan oksidasi karbohidrat (glikogen) pada otot skelet akibat menurunnya jumlah, ukuran, serta luas permukaan mitokondria otot skelet dan menurunnya konsentrasi enzim yang berperan dalam siklus Krebs dan sistem transpor elektron (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003). Hal yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa dengan latihan yang baik tentunya metabolisme jaringan pun akan lebih baik sehingga seseorang akan memiliki kebugaran jasmani yang baik (Bompa, 1983; Astrand & Rodahl, 2003). Davis & Brown (1992) mengatakan bahwa kapasitas aerobik seseorang sangat dipengaruhi oleh mekanisme kemampuan tubuh dalam menyediakan suplai oksigen ke otot-otot besar yang sedang latihan, oleh sebab itu baik secara langsung maupun tidak langsung kapasitas aerobik akan menilai komponenkomponen kebugaran jasmani. Karena daya tahan jantung paru bersifat mendasar pada banyak cabang olahraga, maka indikator ini sering dipakai untuk menilai 11 ketahanan dalam melakukan aktifitas olahraga (Foss & Keteyian, 1998; Wilmore & Costill, 2004). Daya tangkap tubuh terhadap O2 ( O2 maks) dibatasi atau dihambat oleh daya tangkap otot, fungsi sistem pernapasan, dan fungsi jantung-paru dan pembuluh darah (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003). Latihan akan meningkatkan kemampuan difusi oksigen pada otot dan jaringan, perfusi, difusi, dan ventilasi alveoli. Jumlah mitokondria dalam otot, konsentrasi enzim dan koenzim yang berperan dalam siklus asam sitrat dan rantai pernapasan juga meningkat sebagai hasil dari latihan, sehingga penggunaan oksigen dalam otot lebih efisien (Katch & McArdle, 1996; Foss & Keteyian, 1998). Latihan juga meningkatkan efisiensi kerja jantung melalui dua mekanisme, yaitu: jumlah darah yang dipompa setiap denyut lebih besar dan frekuensi denyutan berkurang, yang akan mengurangi turbulensi yang menghasilkan energi (Foss & Keteyian, 1998). Pencapaian O2 maks seseorang memiliki batas tertentu, yang berarti dengan latihan yang sesuai dan teratur O2 maks dapat ditingkatkan sampai suatu nilai, dan tidak akan meningkat lagi atau hanya meningkat sedikit walau dilakukan latihan yang lebih berat. Nilai batas atas O2 maks yang dapat dicapai setiap orang berbeda-beda tiap orang (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003). Pada atlet dibandingkan dengan bukan atlet didapati VO2 max yang lebih besar dan atlet cabang-cabang olahraga yang membutuhkan sistem energi aerobik memiliki O2 maks yang lebih baik lagi (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003; Wilmore & Costill, 2004). Untuk meningkatkan daya tahan jantung 12 paru diperlukan latihan 3-5 kali seminggu dengan intensitas 75-85% denyut nadi maksimal dengan waktu lebih dari 1 jam (Bompa,1983; Foss & Keteyian, 1998). 2.1.2.1.1. Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Daya Tahan Jantung Paru Terdapat enam perubahan utama pada fungsi jantung paru yang disebabkan latihan yaitu peningkatan ukuran jantung, penurunan denyut nadi, peningkatan isi sekuncup, peningkatan kapasitas paru, peningkatan volume darah dan hemoglobin, dan peningkatan densitas kapiler otot (Foss & Keteyian, 1998). 1) Peningkatan ukuran jantung Dengan menggunakan echokardiografi dapat mengukur ketebalan dinding ventrikel dan rongga ventrikel sehingga dapat mengetahui perubahan ketebalan dinding jantung sebagai akibat pengaruh latihan. Pembesaran jantung tersebut dianggap fisiologis oleh karena terjadinya hipertrofi jantung diakibatkan oleh latihan (Powers & Howley, 2001). 2) Penurunan denyut nadi Penurunan denyut nadi atau bradikardia (< 60 denyut/menit) yang disebabkan latihan fisik paling jelas ditemui pada atlet yang berlatih selama bertahun-tahun. Jantung diatur oleh dua komponen sistem saraf yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis akan meningkatkan kekuatan kontraksi dan frekuensi jantung, sedangkan saraf parasimpatis menurunkan kekuatan kontraksi dan frekuensi jantung. Seseorang yang berlatih aerobik secara teratur akan menurunkan tonus simpatis, akan tetapi meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung. Menurunnya frekuensi denyut jantung atau denyut nadi akibat latihan 13 disebabkan oleh menurunnya tonus simpatis (Vander, Sherman & Luciano, 2001; Guyton,1999). 3) Peningkatan isi sekuncup Peningkatan isi sekuncup dipengaruhi oleh peningkatan kontraktilitas miokard. Peningkatan kontraktilitas disebabkan peningkatan aktifitas enzim ATPase pada otot jantung, dan peningkatan interaksi elemen kontraktil sel otot jantung karena peningkatan availabilitas kalsium ekstraselular. Peningkatan isi sekuncup dan penurunan denyut nadi menyebabkan peningkatan curah jantung (Foss & Keteyian, 1998). 4) Peningkatan kapasitas paru Aktifitas latihan yang terbatas menyebabkan daya tahan dan kekuatan otot-otot pernafasan menurun sehingga kemampuan mengembang paru-paru menjadi berkurang disertai penurunan kemampuan otot pernafasan untuk mengatasi resistensi udara dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya volume paru (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003) berpendapat bahwa faktor yang berperan pada pertukaran gas dari alveolus ke pembuluh kapiler paru adalah luasnya permukaan alveoli yang dapat melakukan difusi dengan pembuluh darah kapiler paru. Aktifitas dan mobilitas yang terbatas mengakibatkan penyempitan permukaan alveoli yang dapat melakukan difusi dengan pembuluh kapiler paru yang disebabkan oleh menurunnya elastisitas pembuluh darah sekitar alveolus dan kegagalan pengaktifan mikrosirkulasi sekitar alveolus. Penyempitan permukaan alveoli menyebabkan difusi oksigen dari alveolus ke pembuluh darah perialveolar 14 terganggu. Gangguan difusi ini mengakibatkan fungsi paru menjadi tidak efektif dan efisien (Foss & Keteyian, 1998; Astrand & Rodahl, 2003). 5) Peningkatan volume darah dan hemoglobin Latihan menyebabkan peningkatan volume darah dan total hemoglobin. Peningkatan volume darah dan total hemoglobin berhubungan dengan O2 maks (Foss & Keteyian, 1998). Peningkatan volume darah mewakili respon adaptif awal dari latihan fisik (Powers & Howley, 2001). 6) Peningkatan densitas kapiler otot Densitas kapiler adalah jumlah kapiler yang mengelilingi serabut otot skelet. Densitas kapiler berhubungan dengan 2 faktor yaitu : ukuran atau diameter serabut otot dan jumlah mitokondria dalam serabut otot (Fisher and Jensen, 1990; Foss & Keteyian, 1998). Latihan fisik jangka panjang hampir selalu menyebabkan peningkatan densitas kapiler disertai bertambahnya ukuran serabut otot (Fisher and Jensen, 1990; Foss & Keteyian, 1998). Peningkatan densitas kapiler meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi serta dan pembuangan zat sisa metabolisme dari otot. 2.1.2.1.2 Kapasitas Aerobik Kapasitas aerobik adalah derajat metabolisme (kerja) maksimum yang dapat dicapai oleh seseorang dan dapat diukur secara tepat dan objektif dari kemampuan konsumsi/tangkapan oksigen maksimum ( O2 maks) (Sutton, 1992). Selanjutnya, Pate (1993) menyebutkan bahwa kapasitas aerobik seseorang sangat dipengaruhi oleh mekanisme kemampuan tubuh dalam menyediakan O2 ke otot yang aktif 15 bekerja. Hubungan antara O2 maks dengan faktor-faktor fisiologis digambarkan dengan persamaan berikut : O2 maks = SV x HR x a-v O2 diff Dari persamaan itu tampak bahwa kenaikan O2 maks disebabkan oleh dua perubahan, yaitu kenaikan isi sekuncup serta bertambahnya densitas kapiler otot rangka yang cenderung meningkatkan pengeluaran oksigen dari darah oleh otot rangka ( Foss & Keteyian, 1998). 2.1.2.2 Kekuatan Otot Secara fisiologis, kekuatan otot adalah kemampuan otot atau sekelompok otot untuk melakukan satu kali kontraksi secara maksimal melawan tahanan/beban (Guyton, 1999; Ganong, 2005). Secara mekanis kekuatan otot didefinisikan sebagai gaya (force) yang dapat dihasilkan oleh otot atau sekelompok otot dalam satu kali kontraksi maksimal. Kekuatan otot merupakan hal yang penting, yaitu untuk gerakan dan kemandirian (Harsono,1988). Puncak kekutan otot pada manusia dicapai pada umur 20 tahun untuk laki-laki dan beberapa tahun lebih awal pada wanita (Astrand & Rodahl, 2003). Sedangkan menurut Katch dan McArdle (1996), tingkat kekuatan tertinggi pada laki-laki dan perempuan secara umum dicapai pada usia 20-30 tahun, dimana luas lintang permukaan otot mencapai puncaknya. Di atas usia ini, kekuatan pada sebagian besar kelompok otot menurun. Hal ini berlangsung lambat pada awalnya dan kemudian menjadi cepat setelah usia pertengahan. 16 Untuk meningkatkan komponen kekuatan, Harsono (1988), mengemukakan bahwa latihan yang cocok untuk meningkatkan kekuatan adalah latihan-latihan tahanan seperti mengangkat, mendorong, atau menarik suatu beban, dengan menerapkan prinsip beban berlebih (overload). Menurut Saltin & Gollnick (1986), Foss & Keteyian (1998), meningkatnya kekuatan otot dapat terjadi oleh karena terjadinya hipertrofi serabut otot, peningkatan myoglobin, peningkatan enzim-enzim oksidasi di dalam scapolamik otot, peningkatan jumlah mitokondria dan bertambahnya kekuatan ligamentum. Kekuatan otot dipengaruhi oleh genetika, jenis kelamin, dan usia (Pyke, 1990; Harsono, 2000; Astrand & Rodahl, 2003). Bompa (1983) mengatakan, bahwa latihan beban dapat meningkatkan kekuatan otot menggunakan beban 8-12 Repetisi Maksimal (RM) dilakukan dalam 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu. Kekuatan otot memiliki peranan penting dalam pencapaian prestasi puncak, karena kekuatan otot merupakan daya penggerak aktifitas fisik (Harsono, 1988; Reilly dkk., 1990). Bompa (1983) juga mengatakan kekuatan adalah bagian terpenting dari proses penciptaan seorang atlet. Dengan mengkombinasikan antara kekuatan dengan komponen fisik yang lain seperti kelentukan, kelincahan dan kecepatan akan didapatkan penampilan atlet yang lebih baik (Harsono, 1988). 2.1.2.3 Daya Ledak Otot Daya ledak otot adalah salah satu komponen fisik yang sangat dibutuhkan pada hampir semua cabang olahraga terutama pada cabang olahraga yang memerlukan tenaga eksplosif. Menurut Pyke (1990), pergerakan yang cepat dan kuat akan 17 menghasilkan daya ledak otot. Rumus yang dapat digunakan adalah : Power = Work / Time = Force x Distance / Time. Berdasarkan rumus ini unsur waktu terlibat dalam upaya meningkatkan daya ledak otot dan dapat pula dirumuskan suatu definisi yaitu kombinasi kekuatan dan kecepatan yang maksimal akan menghasilkan suatu daya ledak otot (Pyke, 1990). Sedangkan kecepatan adalah waktu yang dibutuhkan antara permulaan dan akhir suatu gerak (Harsono, 1988). Kecepatan juga dipengaruhi oleh kekuatan, waktu reaksi dan fleksibilitas (Wilmore & Costill, 2004). Dengan demikian untuk mendapatkan kecepatan yang baik, diperlukan juga latihan komponen fisik seperti kekuatan dan daya tahan (Harsono, 1988). Pyke (1990) mengatakan bahwa latihan terbaik adalah dengan melakukan gerakan yang digunakan oleh olahraga yang bersangkutan, karena pengembangan daya ledak dan kecepatan merupakan suatu proses pembelajaran gerak. Menurut Harsono (1988), daya ledak otot adalah kemampuan melakukan gerakan secara eksplosif atau kemampuan seseorang untuk melakukan kekuatan maksimal dengan usaha yang dikerahkan dalam waktu yang sangat cepat. Dalam meningkatkan daya ledak otot Bompa (1983) mengatakan bahwa latihan untuk meningkatkan daya ledak otot harus dilakukan dengan beban 12-15 RM dilakukan dalam 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu. Daya ledak otot dibutuhkan terutama pada cabang-cabang olahraga yang membutuhkan tenaga yang eksplosif seperti nomor lempar dalam atletik dan melempar bola dalam softball, pada cabang yang membutuhkan menolak dengan kaki seperti nomor lompat dalam atletik, sprint dan senam, pada cabang yang 18 membutuhkan unsur percepatan seperti balap sepeda, pada cabang yang membutuhkan pukulan seperti tinju dan beladiri, pada yang membutuhkan tendangan, bantingan dan mengangkat dengan cepat seperti gulat, judo, dan angkat besi (Harsono, 1988). 2.1.2.4 Kelentukan Kelentukan adalah kemampuan sendi untuk melakukan gerakan dalam ruang gerak sendi secara maksimal. Kemampuan untuk melakukan gerak dalam ruang gerak sendi ini, selain ditentukan oleh bentuk dari sendi, juga ditentukan oleh elastis tidaknya otot-otot, tendon dan ligamentum di sekelilingnya (Nossek, 1982; Bompa, 1983; Pyke, 1990; Hall, 2003). Kelentukan sendi sifatnya spesifik terhadap suatu sendi dan tergantung pada struktur anatomi tulang yang membentuk sendi, juga kemampuan meregang dan melipat dari ligamen yang mengikat sendi serta kemampuan memanjang otot yang melewati sendi (Hall, 2003). Kelentukan menunjukkan besarnya pergerakan sendi secara maksimal sesuai dengan kemungkinan gerakan (range of movement). Gangguan pada persendian ini sering menyebabkan penurunan kemampuan gerak. Penurunan kelentukan sendi terutama persendian di bagian tubuh bawah sering diikuti oleh penurunan keseimbangan dan gangguan berjalan (Harsono, 1988). Kelentukan adalah salah satu komponen fisik yang merupakan faktor penting pada hampir semua gerakan manusia terutama gerakan dalam olahraga. 19 Kelentukan akan menunjang prestasi dengan mengurangi kemungkinan terjadinya cedera, meningkatkan keleluasaan bergerak melakukan tehnik, memungkinkan gerakan lebih panjang, meningkatkan relaksasi otot, menghemat pengeluaran tenaga dan membantu mengembangkan komponen fisik lainnya. (Sumosardjono, 1986; Pyke, 1990). Program latihan yang teratur dengan latihan stretching 15-30 detik, 2-5 kali seminggu dan dilakukan dalam 3 set (Egger & Champion, 1998). Latihan yang dapat meningkatkan kelentukan adalah Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) (Bompa, 1983; Hall, 2003). 2.1.2.5 Kelincahan Kelincahan adalah kemampuan secara cepat mengubah arah tubuh atau bagian tubuh tanpa terjadi gangguan keseimbangan (Wilmore, 2004). Kelincahan tergantung dari faktor kekuatan, kecepatan, daya ledak, waktu reaksi, keseimbangan, kelentukan dan koordinasi neruomuskuler. Kelincahan juga tergantung dari tipe tubuh, usia, jenis kelamin, berat badan dan kelelahan. Kelincahan dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor-faktor umum dan faktor-faktor khusus. Faktor-faktor umum antara lain usia, tinggi badan, berat badan, bentuk latihan dan pekerjaan sedangkan yang termasuk faktor-faktor khusus antara lain faktor anatomi dan fisiologis. Menurut Hatfield (1988) kedua faktor inilah yang paling utama. Faktor anatomi dan fisiologis berkaitan erat dengan karakteristik otot secara kualitas maupun kuantitas. 20 2.1.3 Hubungan Komponen Kebugaran Jasmani dengan Prestasi 2.1.3.1 Hubungan Daya Tahan Jantung-Paru ( O2 maks) dengan Prestasi Seorang atlet yang memiliki daya tahan jantung-paru yang baik mempunyai kemampuan berprestasi yang lebih besar (Astrand & Rodahl, 2003). Menurut Harsono (1988) terdapat dua sistem latihan yang dapat meningkatkan daya tahan jantung paru (atau sering pula disebut cardiovascular endurance) yaitu fartlek dan interval training. Fartlek disebut juga speedplay merupakan latihan endurance yang maksudnya adalah untuk membangun, mengembalikan atau memelihara kondisi tubuh yang dilakukan di alam terbuka dan atlet bebas untuk menentukan tipe, intensitas, dan lama latihannya. Sedangkan interval training adalah latihan endurance yang terdiri dari interval-interval yang berupa masa-masa istirahat. Latihan daya tahan jantung paru tersebut dilakukan tiga sampai lima kali seminggu dengan intensitas latihan 75-85% dari denyut nadi maksimal dan berlangsung lebih dari 60 menit. Bentuk latihan ini akan mengakibatkan efek fisiologis yang menguntungkan yang meliputi peningkatan kemampuan pembentukan energi pada sistem otot skelet dan peningkatan kemampuan transpor oksigen pada sistem kardiorespirasi. Akibat latihan aerobik ini ventilasi paru-paru, volume konsumsi oksigen dan kapasitas difusi oksigen dalam alveoli meningkat sehingga transpor oksigen (O2) dan eliminasi karbondioksida (CO2) menjadi maksimal (Guyton, 1997; Ganong, 2005). Suplai oksigen yang baik ini akan menyebabkan peningkatan pembentukan energi secara aerobik dan memperlambat produksi asam laktat. Peningkatan volume darah dan hemoglobin juga terjadi yang merupakan respon awal latihan 21 aerobik. Keadaan tersebut diikuti dengan peningkatan jumlah enzim 2,3 Diphosphoglycerate (2,3-DPG) yang berfungsi membantu pelepasan oksigen ke dalam sel dari ikatan oksihemoglobin (HbO2), dan peningkatan enzim karbonik anhidrase yang bersifat reversibel yang berperan untuk transpor karbondioksida menuju alveoli yang dibawa dalam bentuk karbaminohemoglobin (HbCO2) (Guyton, 1997; Ganong, 2005). Perubahan fisiologis yang terjadi pada jantung adalah peningkatan curah jantung. Curah jantung meningkat secara linear dengan meningkatnya kapasitas aerobik ( O2 maks). Curah jantung yang besar ini di tentukan oleh jumlah darah (mL) yang dipompakan dalam satu kali denyut jantung (stroke volume) dan jumlah denyut jantung (heart beat) dalam satu menit. Stroke volume ini ditentukan oleh jumlah darah yang masuk ke dalam bilik jantung (preload), dan kontraktilitas otot jantung. Peningkatan preload ini disebabkan oleh besarnya jumlah darah dalam vena yang kembali ke jantung akibat sistem pompa mekanik pada otot skelet, paru-paru, dan pengecilan ukuran pembuluh darah balik perifer (vasoconstriction). Kontraktilitas jantung yang baik disebabkan hipertropi otot jantung yang diikuti oleh peningkatan jumlah mitokondria sehingga jumlah ion kalsium (Ca2+) yang diikat bertambah sehingga pembentukkan ATP (Adenosine Triposphat) meningkat melalui proses fosforilasi oksidasi. Jumlah denyut jantung yang berkurang terjadi seiring meningkatnya kapasitas aerobik. Penurunan jumlah denyut jantung per menit ini akibat tonus simpatis yang menurun dan tonus parasimpatis yang meningkat (Guyton, 1997; Ganong, 2005). Dengan demikian, 22 jumlah darah (mL) yang dipompakan dalam satu kali denyut jantung (stroke volume) lebih besar dan efesien. Selain perubahan pada sistem kardiorespirasi tersebut, perubahan yang yang penting juga terjadi pada otot yaitu peningkatan kemampuan pembentukan energi. Peningkatan kemampuan pembentukan energi pada sistem otot skelet terjadi karena peningkatan jumlah mioglobin, membaiknya sistem oksidasi karbohidrat dan sistem oksidasi lemak (Foss & Kateyian, 1998). Peningkatan jumlah mioglobin dalam otot skelet akan mengakibatkan jumlah oksigen yang diikat lebih banyak dan transpor oksigen ke mitokondia lebih cepat, pada saat yang sama terjadi pula penambahan jumlah, ukuran, luas permukaan mitokondria otot skelet serta peningkatan enzim-enzim oksidatif dalam siklus krebs yang semuanya mengakibatkan meningkatnya energi yang dihasilkan dan meningkatnya kapasitas persediaan glikogen dalam otot sehingga hal ini memperbaiki sistem oksidasi karbohidrat. Selain hal tersebut, membaiknya sistem oksidatif lemak akan menyebabkan penundaan kelelahan otot. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan kapasitas oksidasi lemak dalam otot sehingga lemak menjadi sumber energi utama atau disebut juga glycogen-sparing effect (Foss & Kateyian, 1998). Keuntungan terbesar dari metabolisme aerobik tersebut adalah tidak terbentuknya asam laktat. Jika asam laktat terbentuk akan mempengaruhi pH sel sehingga keseimbangan intraselular terganggu sehingga akhirnya akan menyebabkan gangguan kontraksi otot. Selain itu, adanya iritasi oleh asam laktat akan merangsang nociseptor sehingga timbul nyeri (Brooks & Fahey, 1985). Sehingga secara garis besar kemampuan daya tahan jantung yang maksimal akan mencegah 23 terbentuknya laktat yang akan menyebabkan kelelahan psikologis maupun fisiologis yang pada akhirnya akan menghambat prestasi. Hal inilah yang menjadi landasan mengapa seorang atlet mampu untuk berolahraga dengan lebih baik sehingga bisa mencapai prestasi puncak. 2.1.3.2 Hubungan Kekuatan Otot dengan Prestasi Kekuatan otot adalah komponen yang sangat penting untuk meningkatkan kondisi fisik secara keseluruhan. Kekuatan merupakan daya penggerak setiap aktivitas fisik dan memegang peranan yang penting dalam melindungi atlet dari kemungkinan cedera. Dengan kemampuan kekuatan otot lengan dan tungkai yang baik, atlet dapat lari lebih cepat, melempar, atau menendang lebih jauh dan lebih efisien, memukul lebih keras, dapat membantu dan memperkuat stabilitas sendisendi. Jadi kekuatan tetap merupakan basis dari semua komponen kondisi fisik (Harsono, 1988; Foss & Kateyian, 1998). Seorang atlet senam putra PORPROV X Jabar haruslah cukup kuat untuk melakukan suatu pertandingan secara efisien dan tanpa mengalami lelah yang berlebihan yang disebabkan karena kekurangan kekuatan. Dalam program latihan olahraga senam putra sebaiknya dimasukkan program latihan kekuatan (weight training). Harsono (1988), mengemukakan bahwa latihan yang cocok untuk meningkatkan komponen kekuatan adalah latihanlatihan tahanan seperti mengangkat, mendorong, atau menarik suatu beban, dengan menerapkan prinsip beban berlebih. Dalam program latihan olahraga ini perlu diberikan latihan untuk kekuatan otot lengan dan tungkai dengan bentuk 24 latihan seperti weight training atau latihan beban dengan range beban 8 – 12 RM dan dilakukan sebaiknya tiga kali dalam seminggu dengan diselingi satu hari istirahat (Harsono, 1988). Latihan beban (weight training) akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan fisiologis seperti hipertrofi serabut otot, dan perubahan komposisi serabut otot skelet. Hipertropi otot yang terjadi akibat peningkatan jumlah dan ukuran miofibril otot, peningkatan jumlah serabut filamen aktin dan miosin, peningkatan jumlah mioglobin dan densitas kapiler, dan bertambahnya kekuatan tendon dan ligamentum sehingga kemampuan kontraksi otot meningkat. Kemampuan kontraksi otot ini juga didukung oleh perubahan komposisi serabut otot yaitu meningkatnya konsentrasi kreatin otot, kreatin posfat, ATP, dan persediaan glikogen. Dengan bertambahnya jumlah energi anaerob ini maka kemampuan untuk melakukan kontraksi otot pun lebih kuat dan lebih lama. Kekuatan otot dapat dibangun secara efektif, ketika otot diberikan beban berlebih (overload). Dengan pemberian beban berlebih maka dapat melewati resistensi maksimal atau mendekati maksimal. Penggunaan resistensi yang berat menyebabkan otot berkontraksi secara maksimal dan menstimulasi adaptasi yang terjadi secara fisiologis (Astrand & Rodahl, 2003). 2.1.3.3 Hubungan Daya Ledak Otot dengan Prestasi Power diperlukan untuk efisiensi dalam pertandingan senam putra karena terkait dengan gerakan serangan yang terdiri dari gerakan pukulan, tendangan, teknik sambut, guntingan, dan disertai gerakan menjatuhkan lawan untuk 25 mendapatkan nilai yang tinggi. Dengan daya ledak yang baik, seorang atlet senam putra PORPROV X Jabar dapat mengkontraksi otot lengan dengan efisien, cepat dan kuat. Kemampuan ini akan menimbulkan efek pada otot seperti kita meledakkan sesuatu, jadi ketika kita mengkontraksikan otot, maka otot akan berkontraksi dengan luar biasa cepat mencapai kekuatan kontraksi yang maksimum (Harsono, 1988). Berkaitan dengan hal ini, dalam pertandingan senam putra, kemampuan daya ledak otot lengan dan tungkai berguna pada gerakan-gerakan seperti yang telah disebutkan. Dalam program latihan olahraga ini perlu diberikan latihan untuk daya ledak otot lengan dan tungkai dengan bentuk latihan seperti weight training atau latihan beban dengan range beban 12 – 15 RM (Harsono, 1988). Dengan melakukan bentuk latihan ini maka akan didapatkan peningkatan kemampuan daya ledak yang maksimal yang terjadi akibat membaiknya kerja sistem neuromuskuler yang merupakan hasil kerjasama jaringan otot yang dinamis dan adaptasi sistem neural otot. Adaptasi sistem neural yang terjadi berupa peningkatan kecepatan rangsang (impuls saraf) ke otot. Impuls saraf yang sampai ke otot akan merangsang pelepasan neurotransmitter asetilkolin pada sinaps presynaptic yang akan merangsang pelepasan ion natrium (Na+), ion kalium (K+), dan ion kalsium (Ca2+) pada postsynaptic. Ion-ion ini selanjutnya akan meyebabkan potensial aksi dalam serabut otot dan tubulus T yang segera merangsang retikulum sarkoplasmik melepaskan ion kalsium (Ca2+) ke sekitar miofibril yang pada akhirnya menimbulkan kontraksi otot (Guyton, 1997; Ganong, 2005). 26 2.1.3.4 Hubungan Kelentukan Otot dengan Prestasi Kelentukan yang prima sangat diperlukan oleh seorang atlet senam putra dalam mencapai prestasi yang maksimal. Untuk memperoleh kelentukan yang prima harus ditunjang sistem neuromuskuler tubuh yang baik. Baik atau buruknya kerja sistem neuromuskuler bergantung pada kinerja dan harmonisasi dari kerja otot, tulang dan tentunya latihan yang tepat (Harsono, 1988). Atlet senam putra PORPROV X Jabar yang memiliki kelentukan yang baik maka akan terlihat lebih lincah dalam melakukan gerakan-gerakan dalam suatu pertandingan. Sedangkan apabila kelentukan kurang baik maka akan menghasilkan gerakan yang kurang sempurna sehingga mengakibatkan prestasi tidak tercapai secara maksimal. Program latihan yang teratur dengan latihan stretching 15-30 detik, 3-5 kali seminggu dan dilakukan 3 set akan meningkatkan kelentukan. Adapun latihan yang dapat meningkatkan kelentukan adalah peregangan aktif, peregangan statis, peregangan pasif dan peregangan Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) (Bompa, 1983; Egger & Champion, 1998; Hall, 2003). 2.1.3.5 Hubungan Kelincahan dengan Prestasi Dalam olahraga senam putra, faktor kelincahan merupakan komponen fisik yang penting dalam mencapai prestasi yang maksimal. Secara umum kelincahan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengubah arah dengan cepat dan tepat tanpa kehilangan keseimbangan badan (Sharkey, 1984). Bompa (1983) mengemukakan bahwa kelincahan merupakan komponen penting dimiliki atlet karena berhubungan dengan peningkatan keterampilan gerak tubuh dan prestasi. 27 Hal ini berarti, kelincahan merupakan salah satu persyaratan kondisi fisik yang harus dimiliki atlet senam putra PORPROV X Jabar karena atlet harus lincah dan mampu melakukan gerakan bolak-balik dengan cepat, selalu berada dalam posisi yang baik dan memiliki gerak kaki yang sempurna (Harsono, 1988). Bentuk latihan yang dapat meningkatkan kelincahan pada prinsipnya adalah gerakangerakan yang mengharuskan seseorang untuk bergerak dengan cepat dan merubah arah dengan tangkas tanpa kehilangan keseimbangan (Harsono, 1988). Berikut ini beberapa bentuk latihan kelincahan yaitu lari bolak-balik (shuttle run), lari zigzag, squat thrust, lari rintangan (obstale run). Latihan untuk mencapai kemampuan komponen fisik kelincahan yang maksimal tesebut harus didukung oleh kombinasi kekuatan otot, daya ledak otot dan kelentukan maksimal pula (Wilmore & Costill, 1994). 2.1.4 Senam Senam merupakan cabang olahraga yang mempunyai karakteristik keterampilan gerak beragam dan unik. Dilihat dari taksonomi gerak umum, senam bisa secara lengkap diwakili oleh gerak-gerak dasar yang membangun pola gerak yang lengkap, dari mulai pola gerak lokomotor (berpindah tempat), nonlokomotor (tidak berpindah tempat), gerakan manipulatif (memanipulasi objek). Sedangkan bila ditinjau dari klasifikasi keterampilannya, senam bisa dimasukkan menjadi keterampilan diskrit (berlangsung singkat) sekaligus serial (gabungan diskrit dan berkelanjutan) jika sudah berupa rangkaian (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). 28 Dari hakekat karakteristik dan struktur geraknya, senam dianggap kegiatan fisik yang sangat cocok untuk mengembangkan kualitas motorik dan kualitas fisik sekaligus. Ini dilihat dari kandungan pola gerak lokomotor, yang dianggap mampu meningkatkan aspek kekuatan, kecepatan, daya ledak, daya tahan jantung paru disamping tentu saja membangun kelincahan serta keseimbangan dinamis (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Dihubungkan dengan pola gerak nonlokomotor yang dikandungnya, senam mampu meningkatkan aspek kekuatan, kelentukan dan keseimbangan statis, sedangkan gerakan-gerakan manipulatif objek seperti melempar, menangkap tali, simpai, bola, gada, dan pita, bisa membangun koordinasi yang akan mempengaruhi kelincahan (Hartley, 1994; Mahendra, 2001). 2.1.4.1 Karakteristik Gerak Dasar Senam Keterampilan senam selalu dibangun diatas keterampilan lokomotor, nonlokomotor, dan manipulatif. Berbagai gerakan senam yang dapat ditampilkan pada semua alat senam, perubahan posisi tubuh, termasuk simulasi dari gerak binatang, melibatkan semua kelompok otot besar yang ada di seluruh bagian tubuh, baik kelompok otot tubuh bagian depan, belakang, samping, bagian atas, tengah, serta bagian bawah (Bowers et al, 1981). Oleh karena itu agar dapat memberikan manfaat yang baik dalam proses peningkatan kualitas kerja otot ini, baik dalam fungsi kekuatan, kelentukan dan daya tahannya, kelompok otot itu perlu dilatih secara menyeluruh, tanpa ada keharusan untuk memberikan prioritas pada satu atau beberapa kelompok otot 29 saja. Oleh karena itu, pengembangan kualitas otot perlu melibatkan semua jenis dan bentuk latihan, dari mulai jenis latihan isometrik dan isotonik, kelentukan, daya ledak otot, keseimbangan, dan kelincahan (Pyke, 1990; Jensen, 1990; Hall, 2003; Bompa, 2003). Menurut Unestahl (1983), secara psikomotorik, fungsifungsi kekuatan, fleksibilitas, keseimbangan, dan kelincahan merupakan ciri dominan dari pesenam. 2.1.4.2 Keterampilan Lokomotor Lokomotor diartikan sebagai gerak berpindah tempat seperti jalan, lari, lompat, berjingkat, skipping, dan sliding. Dalam senam gerak-gerak diatas sangat penting digunakan, karena hakekatnya hampir seluruh keterampilan atau gerakan senam merupakan gerak lokomotor seperti kip, handspring, baling-baling, atau flic-flac (Mahendra, 2001). Gerak lokomotor dalam senam terutama sangat diperlukan untuk menambah momentum horizontal, seperti berlari saat melakukan awalan. Gerak awalan ini diperlukan karena sebagian daya yang diperoleh dari adanya momentum ini digunakan untuk menyempurnakan gerak keterampilan senam itu sendiri. Untuk bisa memperoleh daya yang kuat, pesenam harus mengkontraksikan otot-ototnya untuk mengerahkan daya internal, yang kemudian digabungkan dengan daya eksternal yang dihasilkan dari alat yang dipakai, misalnya papan tolak. Oleh karena itu untuk meningkatkan keterampilan atlet senam harus dilatih bermacammacam keterampilan lokomotor. 30 2.1.4.3 Keterampilan Nonlokomotor Keterampilan nonlokomotor adalah gerak yang tidak berpindah tempat, mengandalkan ruas-ruas persendian tubuh untuk membentuk posisi-posisi berbeda dengan tetap tinggal di satu titik (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Contoh-contoh gerakan nonlokomotor adalah melenting, meliuk, membengkok, dan bertumpu. Dalam senam, keterampilan nonlokomotor banyak dipakai dalam gerak-gerak kalistenik, terutama yang berkaitan dengan pengembangan kelentukan. Demikian juga dengan sikap-sikap bertumpu dan keseimbangan statis, yang tidak perlu berpindah tempat (Hartley 1994; Egger & Champions, 1998; Mahendra, 2001). Justru dalam senamlah gerak nonlokomotor banyak mendapat penekanan, karena berhubungan dengan penguasaan keterampilan. Untuk melatih keterampilan nonlokomotor ini perlu penekanan latihan untuk mengembangkan kekuatan, kelentukan, dan keseimbangan. 2.1.4.4 Keterampilan Manipulatif Keterampilan manipulatif sering diartikan sebagai keterampilan dalam memanipulasi objek tertentu dengan anggota tubuh baik tangan, kaki, maupun kepala. Yang termasuk didalam keterampilan manipulatif adalah keterampilan melempar, menangkap, memukul, menendang, dribling dan lainnya (Mahendra, 2001). Dalam senam putra, keterampilan ini jarang ditemui, kecuali bahwa beberapa alat perlu dipegang dengan tangan dan pesenam beraksi di atasnya. Tetapi dalam senam putri, keterampilan manipulatif seolah menjadi ciri utamanya. 31 Semua alat senam ritmik yaitu tali, simpai, bola, gada dan pita menuntut keterampilan yang didasarkan pada kemampuan memanipulasi semua alat itu; apakah dilemparkan kemudian ditangkap lagi, diputar, diayun, dipuntir, digelindingkan baik dengan menggunakan tangan, badan atau dengan kaki. 2.1.4.5 Aspek Fisiologis Senam Salmela (1983) menyatakan bahwa faktor yang berperan dalam prestasi senam adalah faktor lingkungan dan faktor bawaan. Faktor bawaan adalah penentu yang bersumber dari diri pesenam itu sendiri yang terdiri dari karakteristik antropometri, sosio-psikologis, neuromuskular, serta organis dan fisiologis. Hakekat penentu dari dimensi organis dan fisiologis atau disebut sebagai kualitas fisik juga berlaku sesuai alatnya. Dalam beberapa alat yang digunakan pesenam mengerahkan kekuatan otot selama 30 detik, sedangkan pada alat lainnya pesenam harus mengerahkan daya ledak ototnya (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Keharusan tersebut menjadi tuntutan yang sedemikian besar, sehingga pesenam level dunia akan mampu menjadi atlet senam yang paling ramping tanpa lemak, paling kuat, serta paling lentuk dibandingkan dengan atlet cabang lain. Aspek organis dan fisiologis seorang atlet berhubungan dengan kualitas komponen kebugaran jasmani dalam hal daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, serta kecepatan (Bompa, 1983). Senam secara umum berisi keterampilan yang kaya akan gerakan, tetapi dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada komponen-komponen fisik daya tahan 32 jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, keseimbangan dan kelincahan. Terdapat tujuh pola gerak yang sifatnya sangat dominan (Dominant Movement Patterns) (Schembry, 1983; Russel, 1986; Mahendra, 2001). Ketujuh pola tersebut adalah 1. Pendaratan (landing) 2. Posisi statis (static position) 3. Lokomotor (locomotor) 4. Ayunan (swing) 5. Putaran (rotation) 6. Tolakan (spring) 7. Ketinggian dan layangan (height dan flight) Mengamati ketujuh pola gerak dominan diatas, dapat menyimpulkan komponen yang paling penting dalam senam adalah terutama kekuatan, kecepatan dan daya ledak. Ketiga komponen ini terkandung secara melekat dalam hampir semua pola gerak dominan yang menjadi digunakan dalam senam. Kekuatan misalnya diperlukan ketika pesenam melakukan pendaratan, mencapai posisi statis, melakukan gerak berpindah tempat secara cepat, dalam ayunan dan dalam tolakan. Sedangkan kecepatan dan daya ledak memberikan sumbangan yang sangat besar untuk keberhasilan lokomotor, seperti ayunan, putaran, dan tolakan untuk menghasilkan layangan yang tinggi. Dibandingkan dengan ketiga unsur diatas, kelentukan dan daya tahan memiliki peran yang berbeda. Kelentukan diperlukan untuk keterampilan dalam sejumlah 33 alat-alat senam berkaitan dengan gerakan-gerakan yang membutuhkan posisi tubuh yang sulit (Hartley, 1994, Mahendra, 2001). Terdapat perbedaan yang mencolok antara gerakan-gerakan senam untuk putra dan putri. Gerakan untuk pesenam putri lebih banyak terdapat gerakan-gerakan yang dilandasi oleh kelentukan, walaupun jenis keterampilannya hampir sama dengan pesenam putra, karena terdapat kecenderungan untuk pesenam putri bahwa gerakan senam harus dilakukan dengan lebih gemulai dan lebih estetis. Asumsinya, gerakan dengan kelentukan yang baik menghasilkan gerakan yang lebih artistik (Bowers et al., 1981). Senam juga membutuhkan faktor kekuatan, kecepatan, daya ledak, keseimbangan, kelentukan memberi sumbangan terhadap peningkatan kemampuan kelincahan, dimana kelincahan adalah kemampuan secara cepat mengubah arah tubuh atau bagian tubuh tanpa terjadi gangguan keseimbangan (Wilmore, 2004). Oleh karena itu kelincahan sangat menentukan dalam pertandingan terutama pada kategori aerobik dan ritmik yang membutuhkan variasi gerak sebanyak mungkin dalam mencapai nilai estetis yang setinggi mungkin. Kelincahan tergantung dari faktor kekuatan, kecepatan, daya ledak, waktu reaksi, keseimbangan, kelentukan dan koordinasi neruomuskuler. 2.1.4.6 Aspek Neuromuskular Terhadap Prestasi Senam Aspek neuromuskular mengacu pada kualitas motorik yang sering dianggap merupakan sumbangan dari kualitas fungsi saraf di dalam tubuh seorang atlet. Kualitas itulah yang menentukan kemampuan koordinasi serta kemampuan 34 orientasi tubuh dalam hubungannya dengan ruang, waktu, dan posisi-posisi tubuh sendiri (Auweele et al., 1999). Di dalam kemampuan ini terlibat pula unsur-unsur kualitas kinestetis (propioseptif), yaitu kemampuan untuk mengenali dirinya berdasarkan informasi yang diberikan berbagai alat dalam tubuhnya sendiri, seperti vestibular apparatus, joint receptors, tendon otot, muscle spindles dan cutaneus receptors (Schmidt, 1991). Semua apparatus tersebut menentukan keseimbangan dinamis, pemberian feedback diri sendiri, serta kemampuan mendeteksi posisi tubuh ketika melakukan gerakan-gerakan yang kompleks. Senam adalah cabang olahraga yang sangat membutuhkan kemampuan atau kualitas motorik. Atlet senam harus memiliki kemampuan motorik yang baik misalnya untuk dapat melakukan gerakan mendarat tepat di atas kedua kaki pada satu salto (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Demikian pula dengan penampilannya sewaktu menggunakan alat, dimana atlet harus menangkap kembali alat yang dipegangnya sebelum melakukan putaran di udara. Kemampuan motorik yang kurang baik dalam melakukan gerakan tersebut dapat menyebabkan kegagalan bahkan dapat menimbulkan cedera serius pada atlet (Magil, 1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Kemampuan motorik adalah kemampuan gerak yang sangat subtle (halus) hingga kemampuan gerak yang sangat kompleks (Schmidt, 1991). Keterampilan yang baik dalam melakukan berbagai gerakan senam didasari oleh seperangkat kemampuan motorik yang sesuai dengan keperluannya, seperti fleksibilitas, kekuatan, daya ledak, keseimbangan, dan kelincahan. Dalam mencapai kemampuan gerak yang kompleks seperti senam, kemampuan motorik menjadi 35 faktor yang menyumbang paling banyak dibandingkan faktor-faktor lain seperti kekuatan atau daya tahan (Auweele, 1999). Kemampuan motorik yang baik harus disertai dengan kemampuan mengontrol gerak secara akurat, yang merupakan fungsi tingkat tinggi dari cortex dalam otak (Schmidt, 1991; Guyton, 1999). Dalam teori neurofisiologis, secara tegas menunjukkan bahwa pengontrolan gerak diatur oleh wilayah cortex yang berbeda (Schmidt, 1990). Wilayah serebellum terutama mengontrol program gerak yang cepat dan bersifat balistik, sedangkan ganglia basalis memprogram gerakan atau jenis keterampilan berkelanjutan (continuous). Gerak atau aksi yang cepat yang berlangsung kurang dari 200 milidetik dikontrol oleh program motorik (motor program) yang terjadi sebelum gerak itu dimulai. Hal ini penting untuk memperhitungkan kesalahan dalam gerak yang sangat singkat seperti salto. Di pihak lain, gerakan lambat atau yang berulang-ulang dikontrol oleh closed-loop control system, dimana setiap gerak berikutnya selalu dapat diperbaiki sesuai dengan umpan balik yang diperoleh dari lingkungan (Schmidt, 1991; Auweele, 1999). 2.2 Kerangka Pemikiran Setiap cabang olahraga, khususnya senam membutuhkan kemampuan komponen fisik yang berbeda sesuai dengan pola gerak dan karakteristik dari cabang olahraga tersebut agar dapat berprestasi maksimal (Nurhasan, 1984). Dalam pencapaian prestasi, seorang atlet senam memerlukan komponen kebugaran jasmani yang prima, antara lain daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, kelentukan, dan kelincahan (Bompa, 1983; Pyke, 1990; Astrand, 36 2003). Dari uraian ini menjelaskan terdapat hubungan yang erat antara kondisi kebugaran jasmani untuk mencapai prestasi yang maksimal bagi seorang atlet. Salah satu komponen fisik yang menunjang dan berhubungan dengan pencapaian prestasi atlet senam putra adalah daya tahan jantung paru. Daya tahan jantung paru ( O2) maks yang maksimal diperlukan pada atlet senam agar dapat meraih prestasi yang maksimal (Bowers, 1981; McCharles, 1994; Egger & Champion, 1998). Daya tahan jantung paru berkaitan erat dengan ambilan dan penggunaan oksigen secara maksimal untuk menghasilkan energi dalam melakukan berbagai rangkaian gerakan-gerakan yang ada dalam olahraga senam. Untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen tersebut dibutuhkan kemampuan paru, hemoglobin, jantung dan otot yang baik untuk mengkonsumsi oksigen. Dengan adanya daya tahan jantung paru yang baik, kemampuan ventilasi paru-paru, volume konsumsi oksigen dan kapasitas difusi oksigen dalam alveoli meningkat sehingga transpor oksigen (O2) dan eliminasi karbondioksida (CO2) menjadi maksimal (Guyton, 1997; McCance & Huether, 2006). Suplai oksigen yang baik ini akan menyebabkan peningkatan pembentukan energi secara aerobik dan memperlambat produksi asam laktat. Peningkatan volume darah dan hemoglobin juga erjadi yang diikuti dengan peningkatan jumlah enzim 2,3 Diphosphoglycerate (2,3-DPG) yang berfungsi membantu pelepasan oksigen ke dalam sel dari ikatan oksihemoglobin (HbO2), dan peningkatan enzim karbonik anhidrase yang bersifat reversibel yang berperan untuk transpor karbondioksida menuju alveoli yang dibawa dalam bentuk karbaminohemoglobin (HbCO2) (Henderson, 2000). Perubahan fisiologis yang terjadi pada jantung adalah 37 peningkatan curah jantung (Goodman, 2004). Dengan adanya peningkatan curah jantung ini akan meningkatkan jumlah mitokondria sehingga jumlah ion kalsium (Ca2+) yang diikat bertambah sehingga pembentukkan ATP (Adenosine Triposphat) meningkat melalui proses fosforilasi oksidasi. Selain perubahan pada sistem kardiorespirasi tersebut, perubahan yang penting juga terjadi pada otot yaitu peningkatan kemampuan pembentukan energi. Peningkatan kemampuan pembentukan energi pada sistem otot skelet terjadi karena peningkatan jumlah mioglobin, membaiknya sistem oksidasi karbohidrat dan sistem oksidasi lemak (Foss & Kateyian, 1998; Hutber, 1999). Peningkatan jumlah mioglobin dalam otot skelet akan mengakibatkan jumlah oksigen yang diikat lebih banyak dan transpor oksigen ke mitokondria lebih cepat. Pada saat yang sama terjadi pula penambahan jumlah, ukuran, luas permukaan mitokondria otot skelet serta peningkatan enzimenzim oksidatif dalam siklus krebs yang semuanya mengakibatkan meningkatnya energi yang dihasilkan dan meningkatnya kapasitas persediaan glikogen dalam otot sehingga hal ini memperbaiki sistem oksidasi karbohidrat. Selain hal tersebut, membaiknya sistem oksidatif lemak akan menyebabkan penundaan kelelahan otot. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan kapasitas oksidasi lemak dalam otot sehingga lemak menjadi sumber energi utama atau disebut juga glycogen-sparing effect (Foss & Kateyian, 1998; LeBlanc, 2004). Keuntungan terbesar dari metabolisme aerobik tersebut adalah tidak terbentuknya asam laktat. Jika asam laktat terbentuk akan mempengaruhi pH sel sehingga keseimbangan intraselular terganggu sehingga akhirnya akan menyebabkan gangguan kontraksi otot. Dengan 38 terhambatnya pembentukan asam laktat ini akan menunda kelelahan yang akan menghambat seorang atlet untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan daya tahan jantung paru tersebut, diperlukan latihan tiga sampai lima kali seminggu dengan intensitas latihan 75-85% dari denyut nadi maksimal dan berlangsung lebih dari 60 menit (Bompa, 1983; Foss & Keteyian, 1998). Akan tetapi pada pengamatan di lapangan, latihan untuk meningkatkan daya tahan jantung paru untuk atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar relatif masih kurang oleh karena latihan untuk atlet senam tersebut masih 1 kali dalam seminggu. Hal ini kemungkinan menyebabkan rendahnya kemampuan daya tahan jantung paru pada atlet senam putra sehingga prestasi yang dicapai tidak maksimal. Selain daya tahan jantung paru, komponen kebugaran jasmani yang menunjang prestasi atlet senam putra adalah kekuatan otot. Kekuatan merupakan basis dari semua komponen kondisi fisik sehingga atlet cukup kuat untuk melakukan suatu pertandingan secara efisien dan tanpa mengalami lelah yang berlebihan yang disebabkan karena kekurangan kekuatan (Harsono, 1988). Dengan adanya kekuatan otot yang maksimal, atlet senam putra untuk dapat melakukan pola rangkaian gerak dalam senam seperti berlari, melompat, mengangkat lutut, salto, melayang, gerakan berdiri di atas kedua tangan dengan maksimal pula. Untuk mendapatkan kekuatan otot yang baik untuk dapat menunjang prestasi diperlukan latihan kekuatan (weight training) atau latihan beban dengan range beban 8 – 12 RM dalam 3 set dan dilakukan sebaiknya tiga kali dalam seminggu dengan diselingi satu hari istirahat (Harsono, 1988). 39 Pengaruh latihan tersebut akan mengakibatan hipertrofi serabut otot, dan perubahan komposisi serabut otot skelet. Hipertropi otot yang terjadi akan meningkatkan kemampuan kontraksi otot. Hal ini terjadi akibat dari peningkatan jumlah dan ukuran miofibril otot, peningkatan jumlah serabut filamen aktin dan miosin, peningkatan jumlah mioglobin dan densitas kapiler, dan bertambahnya kekuatan tendon dan ligamentum. Kemampuan kontraksi otot ini juga didukung oleh perubahan komposisi serabut otot yaitu meningkatnya konsentrasi kreatin otot, kreatin posfat, ATP, dan persediaan glikogen. Dengan bertambahnya jumlah energi anaerob ini maka kemampuan untuk melakukan kontraksi otot pun lebih kuat dan lebih lama. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot yang dilakukan oleh atlet senam putra PORPROV X JABAR relatif jarang menggunakan weight training dan dilakukan hanya satu kali dalam seminggu. Hal ini kemungkinan akan menyebabkan peranan kekuatan otot masih kurang dan perlu ditingkatkan pada atlet senam putra. Selain daya tahan jantung paru dan kekuatan otot, komponen kebugaran jasmani yang juga penting dalam menunjang prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar adalah daya ledak otot. Kemampuan daya ledak otot akan menimbulkan efek pada otot seperti meledakkan sesuatu, jadi ketika mengkontraksikan otot, maka otot akan berkontraksi dengan luar biasa cepat mencapai kekuatan kontraksi yang maksimum (Harsono,1988, Foss & Kateyian,1998). Menurut Bompa (1983), latihan untuk meningkatkan daya ledak otot yaitu dengan beban 12-15 RM yang dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu. Dengan daya ledak otot, seorang atlet ampu melakukan 40 rangkaian gerakan secara cepat dan dengan kekuatan yang maksimal (Harsono, 1988). Daya ledak otot diperlukan oleh atlet senam putra dalam melakukan rangkaian gerakan sepert gerakan melompat dan melayang. Akan tetapi, latihan yang dilakukan oleh atlet senam putra tidak mengkhususkan latihan daya ledak otot sebagaimana disebutkan sebelumnya, akan tetapi melakukan latihan intensitas yang berganti-ganti dan tidak mempertahankan intensitas yang tepat. Hal ini juga kemungkinan akan menyebabkan rendahnya peranan daya ledak otot dalam hubungannya dengan pencapaian prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X JABAR dan perlu untuk ditingkatkan. Komponen fisik lain yaitu kelentukan, diperlukan juga untuk menunjang prestasi. Dengan adanya kelentukan yang baik akan memampukan sendi untuk melakukan gerakan dalam ruang gerak sendi secara maksimal. Atlet senam putra yang memiliki kelentukan yang baik akan dapat melakukan gerakan-gerakan seperti gerakan berdiri di atas satu kaki dan salto dengan sempurna. Untuk mendapatkan kelentukan yang baik agar dapat melakukan gerakan-gerakan sebagaimana disebutkan sebelumnya sangat ditunjang oleh sistem neuromuskuler tubuh yang baik. Baik atau buruknya kerja sistem neuromuskuler bergantung pada kinerja dan harmonisasi dari kerja otot, tulang dan tentunya latihan yang tepat (Harsono, 1988). Dengan latihan yang tepat akan mengurangi kemungkinan terjadinya cedera, meningkatkan keleluasaan bergerak dan kemudahan melakukan tekhnik, memungkinkan gerakan lebih panjang, meningkatkan relaksasi otot, menghemat pengeluaran tenaga dan membantu mengembangkan komponen fisik lainnya sehingga akan meningkatkan kemampuan untuk berprestasi lebih 41 maksimal (Pyke, 1990; Egger & Champion, 1998). Program latihan yang teratur dengan latihan stretching 15-30 detik, 3-5 kali seminggu dan dilakukan 3 set akan meningkatkan kelentukan. Adapun latihan yang dapat meningkatkan kelentukan adalah peregangan aktif, peregangan statis, peregangan pasif dan peregangan Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) (Bompa, 1983; Egger & Champion, 1998; Hall, 2003). Pada pengamatan di lapangan sebagaimana disebutkan di atas latihan untuk meningkatkan kelentukan masih relatif jarang dilakukan pada setiap latihan oleh atlet senam putra sehingga perlu adanya peningkatan latihan terhadap komponen kelentukan. Selain daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, dan kelentukan, kelincahan juga berhubungan dalam pencapaian prestasi dari atlet senam putra. Kelincahan merupakan komponen penting dimiliki atlet senam putra karena berhubungan dengan peningkatan keterampikan gerak tubuh dan prestasi (Bompa, 1983). Dengan memiliki kelincahan yang baik, manuver-manuver seperti berputar, bergeser, berguling dan melompat dalam senam putra dapat dilakukan dengan sempurna. Kelincahan tergantung dari faktor kekuatan otot, daya ledak otot, dan kelentukan (Bompa, 1983; Wilmore & Costill, 1994; Guyton, 1999; Powers & Howley, 2001). Jadi melihat dari latihan kekuatan otot, daya ledak otot dan kelentukan yang rendah, maka peranan komponen kelincahan dalam pencapaian prestasi atlet senam putra tidak maksimal pula. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya 42 ledak otot, kelentukan dan kelincahan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X Jabar. Berdasarkan kerangka pemikiran dan didukung dengan kajian pustaka, maka dapat dirumuskan premis-premis sebagai berikut: Premis 1 : Setiap cabang olahraga, khususnya senam membutuhkan kemampuan komponen fisik yang berbeda sesuai dengan pola gerak dan karakteristik dari cabang olahraga tersebut agar dapat berprestasi maksimal (Nurhasan, 1984). Premis 2 : Daya tahan jantung paru ( O2 maks) yang baik diperlukan oleh setiap orang pada umumnya, dan khususnya pada atlet senam agar dapat meraih prestasi yang maksimal (Bowers, 1981; Harsono, 1988; McCharles, 1994; Egger & Champion, 1998). Premis 3 : Untuk meningkatkan daya tahan jantung paru ( O2 maks) diperlukan latihan 3-5 kali seminggu dengan intensitas 75-85% denyut nadi maksimal dengan waktu lebih dari 1 jam (Bompa, 1983; Foss & Keteyian, 1998). Premis 4 : Kekuatan otot merupakan basis dari semua komponen kondisi fisik sehingga atlet cukup kuat untuk melakukan suatu pertandingan secara efisien dan tanpa mengalami lelah yang berlebihan yang disebabkan karena kekurangan kekuatan (Harsono, 1988). 43 Premis 5 : Untuk meningkatkan kekuatan otot dapat dilakukan latihan beban 8-12 RM dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu (Bompa, 1983; Harsono, 1988; Astrand & Rodahl, 2003) Premis 6 : Kemampuan daya ledak otot akan menimbulkan efek pada otot seperti meledakkan sesuatu, jadi ketika mengkontraksikan otot, maka otot akan berkontraksi dengan luar biasa cepat mencapai kekuatan kontraksi yang maksimum (Harsono, 1988, Foss & Kateyian,1998). Premis 7 : Untuk meningkatkan daya ledak otot dapat dilakukan latihan beban 12-15 RM dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu (Bompa, 1983) Premis 8 : Program latihan yang teratur dengan latihan stretching 15-30 detik, 2-5 kali seminggu dan dilakukan dalam 3 set akan meningkatkan kelentukan (Egger & Champion, 1998). Premis 9 : Latihan yang dapat meningkatkan kelentukan adalah peregangan aktif, peregangan statis, peregangan pasif dan peregangan Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) (Bompa, 1983; Egger & Champion, 1998; Hall, 2003). Premis 10 : Untuk memperoleh kelincahan yang maksimal ditunjang oleh komponen kekuatan otot, daya ledak otot dan kelentukan yang baik pula (Bompa, 1983; Wilmore & Costill, 1994; Guyton, 1999; Powers & Howley, 2001). 44 2.3 Hipotesis Berdasarkan teori, kerangka pemikiran dan premis maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1 : Terdapat hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1,2 dan 3). Hipotesis 2 : Terdapat hubungan antara kekuatan otot lengan, otot tungkai dan otot punggung dengan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1,4 dan 5). Hipotesis 3 : Terdapat hubungan antara daya ledak otot lengan dan tungkai. dengan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1,6 dan 7). Hipotesis 4 : Terdapat hubungan antara kelentukan dengan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1,8 dan 9) Hipotesis 5 : Terdapat hubungan antara kelincahan dengan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X Jabar di Karawang (Premis 1 dan 10) BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Subjek Penelitian Subjek Penelitian terdiri dari atlet senam putra sebanyak 10 orang yang telah meraih medali pada Pekan Olahraga Provinsi (PORPROV) dan dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi subjek dalam penelitian ini adalah: - Seorang atlet senam putra peraih medali pada PORPROV X JABAR - Memiliki derajat kesehatan yang baik, dalam arti tidak sedang mengidap penyakit akut atau kronik. - Tidak mengkonsumzi zat-zat perangsang otot (kopi, obat-obatan, teh pekat). - Tidak melakukan aktifitas fisik yang berat dalam 24 jam sebelum tes fisik dilakukan. - Subjek cukup tidur sebelum penelitian. - Subjek penelitian telah memahami tujuan, prosedur penelitian serta secara sukarela mengikuti penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi subjek dalam penelitian ini adalah: - Subjek tidak mau melakukan tes fisik. - Subjek hanya melakukan sebagian tes fisik. 45 46 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian meliputi antara lain: tipe penelitian, definisi konsepsional dan operasional variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian dan rancangan analisis data. 3.2.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian adalah penelitian analitik korelasional dalam bidang Ilmu Kedokteran Olahraga. 3.2.2 Desain Penelitian Desain dalam penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut: X1 X2 X3 X4 Y X5 X6 X7 X8 Keterangan: Y = Prestasi X1 = Daya tahan jantung paru X2 = Kekuatan otot lengan 47 3.2.3 X3 = Kekuatan otot tungkai X4 = Kekuatan otot punggung X5 = Daya ledak otot lengan X6 = Daya ledak otot tungkai X7 = Kelentukan X8 = Kelincahan Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Penelitian Definisi konseptual adalah pengertian variabel penelitian, sedangkan definisi operasional adalah rumusan/ukuran kuantitatif variabel sebagai dasar pegangan dalam mengukur data penelitian. 3.2.3 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Penelitian Definisi konseptual adalah pengertian variabel penelitian, sedangkan definisi operasional adalah rumusan/ukuran kuantitatif variabel sebagai dasar pegangan dalam mengukur data penelitian. (1) Variabel independen Variabel independen atau variabel penyebab dalam penelitian ini adalah komponen kebugaran jasmani atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR. Komponen fisik tersebut meliputi: - Daya tahan jantung paru, kemampuan tubuh mengambil O2 dari udara secara maksimal, dihitung berdasarkan tes naik turun bangku Ryhming dan dinyatakan dalam ml/kgBB. 48 - Kekuatan otot lengan, kemampuan otot lengan membangkitkan tegangan dalam waktu singkat, diukur menggunakan hand dynamometer dan dinyatakan dalam kilogram (kg). - Kekuatan otot punggung, kemampuan otot tungkai membangkitkan tegangan dalam waktu singkat, diukur menggunakan leg dynamometer dan dinyatakan dalam kilogram (kg). - Kekuatan otot tungkai, kemampuan otot tungkai membangkitkan tegangan dalam waktu singkat, diukur menggunakan leg dynamometer dan dinyatakan dalam kilogram (kg). - Daya ledak otot lengan, kemampuan otot lengan untuk mengerahkan sejumlah daya dalam waktu cepat, diukur dengan two-hand medicine ball-put, dinyatakan dalam sentimeter (cm). - Daya ledak otot tungkai, kemampuan otot tungkai dalam melakukan lompatan secara vertikal, diukur dengan vertical jump, dinyatakan dalam sentimeter (cm). - Kelentukan, kemampuan punggung bergerak dalam ruang gerak sendi, diukur dengan metode sit and reach, dinyatakan dalam sentimeter (cm). - Kelincahan, kemampuan lari bolak-balik secepatnya dari titik satu ke titik yang lain, diukur dengan shuttle run, dinyatakan dalam detik (det). 49 (2) Variabel dependen Variabel dependen atau variabel akibat dalam penelitian ini adalah prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X 2006 di Karawang. 3.2.4 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini digunakan instrumen sebagai berikut: - Formulir Informed Consent peserta, - Formulir data diri dan hasil pemeriksaan, - Timbangan untuk mengukur berat badan, - Pengukur tinggi badan untuk mengukur tinggi badan, - Tensimeter untuk mengukur tekanan darah, - Stetoskop untuk mendengar denyut jantung, membandingkan dengan nadi tangan, - Bangku Astrand untuk mengukur O2 maks, - Stopwatch,untuk mengukur waktu, - Metronom, untuk menjaga ritme, - Polar, untuk mengukur denyut jantung, - Tabel konversi Astrand, - Hand dynamometer untuk mengukur kekuatan otot lengan, - Leg dynamometer untuk mengukur kekuatan otot tungkai, - Flexometer sit and reach untuk mengukur kelentukan, - Bola medicine untuk mengukur daya ledak otot lengan, 50 - Meteran untuk mengukur jarak, - Peluit untuk penanda start, dan - Alat tulis. 3.2.5 Prosedur Penelitian Pada hari ke-1 subjek yaitu atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR diberi penjelasan mengenai maksud dan tujuan secara teknis pelaksanaan penelitian. Peserta mengisi informed consent penelitian dan dilakukan pengambilan sampel darah. Pada hari ke-2 peserta penelitan berkumpul jam 8 pagi untuk melakukan pendaftaran ulang dilanjutkan pemeriksaan fisik secara umum. Sebelum melaksanakan tes, subjek penelitian ditimbang dahulu berat badannya dan diukur tinggi badannya. Setelah itu dihitung denyut jantung dan tekanan darah subjek saat istirahat. Kemudian diberi pengarahan untuk melakukan persiapan-persiapan sebelum pengukuran komponen-komponen kebugaran jasmani yang meliputi daya tahan jantung paru, kekuatan otot, daya ledak otot, daya tahan otot, kelentukan, dan kelincahan. Kemudian subjek melakukan tes Ryhming selama 5 menit dengan 10 kali pencatatan setiap menit yang terdiri dari 5 kali saat melakukan tes Ryhming dan 1 kali sesudah tes Ryhming dihentikan. Kemudian setelah beristirahat dan minum secukupnya, subjek melakukan pengukuran kekuatan otot lengan dengan menggunakan hand dynamometer, kekuatan otot punggung dengan menggunakan back lift dynamometer sedangkan kekuatan otot tungkai dengan leg dynamometer. Setelah itu dilakukan pengukuran daya ledak otot lengan dengan 51 bola medicine, dan daya ledak otot tungkai dengan vertical jump. Kemudian melakukan pengukuran kelentukan dengan menggunakan dengan metode sit and reach test. Kemudian dilanjutkan pengukuran kelincahan dengan tes shuttle run. Prosedur pengukuran dijelaskan pada lampiran. 3.2.6 Rancangan Analisis Data Data yang diperoleh melalui hasil pengukuran dilakukan uji normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z. Kemudian data tersebut dilakukan perhitungan koefisien korelasi Jaspen’s untuk mengetahui hubungan (r) antara komponen kebugaran jasmani dengan prestasi atlet (p<0,05). 3.2.7 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2006 – Maret 2007 yang pelaksanaannya berlokasi di Gedung Persani Jabar Jl. Tera no.24 Bandung. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Karakteristik Fisik Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Karakteristik fisik atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR terdiri dari umur (tahun), berat badan (Kg), tinggi badan (cm), IMT (Kg/m2) tercantum dalam tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik Fisik Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR x SD Umur (thn) 21,7 0,48 TB (cm) 157,5 4,1 BB (kg) 52,4 5,28 IMT (kg/m2) 20,0 1,71 Keterangan: x (SD) = rata-rata (standar deviasi) IMT = Indeks Massa Tubuh <18,5 = status gizi kurang 18,5-24,9 = status gizi normal 25-29,9 = status gizi berlebih >30 = obesitas Dari tabel 4.1 menunjukkan Indeks Massa Tubuh atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dalam batas normal. 52 53 4.1.2 Uji Normalitas & Homogenitas Hasil pengukuran komponen kebugaran jasmani atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR yang terdiri dari O2 maks (ml/kg.mnt), kekuatan otot lengan (kg), kekuatan otot tungkai (kg), kekuatan otot punggung (kg), daya ledak otot lengan (cm), daya ledak otot tungkai (cm), kelentukkan (cm), dan kelincahan (detik) tercantum pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Uji Normalitas & Homogenitas Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih Medali Pada PORPROV X JABAR Kolmogorov- p- x SD Smirnov Z value Ket Daya Tahan Jantung Paru (VO2 mak) 52,32 0,48 0,59 0,88 Normal Kekuatan Otot Lengan (kg) 34 1,48 0,67 0,76 Normal Kekuatan Otot Punggung (kg) 121,9 3,48 0,45 0,99 Normal Kekuatan Otot Tungkai (kg) 173,9 4,48 1,02 0,25 Normal Daya Ledak Otot Lengan (cm) 445 5,48 0,60 0,87 Normal Daya Ledak Otot Tungkai (cm) 59,65 6,48 0,63 0,82 Normal Kelentukkan (cm) 25,6 7,48 0,59 0,87 Normal Kelincahan (detik) 14,56 8,48 0,55 0,92 Normal Keterangan : x SD = rata-rata = standar deviasi data berdistribusi normal jika p-value > 0,05 Dari tabel 4.2 dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan data tidak homogen 54 4.1.3. Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X Jabar Terhadap Standar KONI Pusat Perbedaan hasil pengukuran komponen kebugaran jasmani atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar terhadap standar KONI Pusat tercantum dalam tabel 4.4 yang menunjukkan bahwa komponen kebugaran jasmani atlet senam putra peraih medali PORPROV X masih di bawah standar KONI Pusat. Tabel 4.3 Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI Pusat Rata-rata SD (x) Standar t KONI pvalue Daya Tahan Jantung Paru (VO2-maks 52,32 8,05 60 -3,016 0,007 Kekuatan Otot Lengan (kg) 34 10.70 51 -5.025 0.000 Kekuatan Otot Punggung (kg) 121,90 21,13 153,50 -4,730 0,000 Kekuatan Otot Tungkai (kg) 179,30 60,13 283 -3,581 0,002 Daya Ledak Otot Lengan (cm) 394,71 92,71 623 1,161 0,261 Daya Ledak Otot Tungkai (cm) 59,65 6,57 70 5,603 0,000 Kelentukkan (cm) 23,86 2,01 24 1,55 0,139 Kelincahan (det) 14,57 0,96 15,50 -3,093 0,006 Ket: t= uji t-tidak berpasangan (p≤0,05) Untuk menunjukkan perbedaan komponen kebugaran jasmani atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR terhadap standar KONI Pusat maka dibuat gambar batang seperti pada gambar 4.1. 55 Gambar 4.1 Perbedaan Komponen Kebugaran Jasmani Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Terhadap Standar KONI Pusat Rata-rata daya tahan jantung paru Stdr.KONI VO2 MAX 700 Rata-rata Kekuatan Otot Lengan 600 Stdr KONI Rata-rata Kekuatan Otot Punggung 500 Stdr KONI Rata-rata Kekuatan Otot Tungkai 400 300 Stdr KONI Rata-rata Daya Ledak Otot Lengan Stdr KONI 200 Rata-rata Daya Ledak Otot Tungkai Stdr KONI 100 Rata-rata Kelentukan Stdr KONI 0 Rata-rata Kelincahan Stdr KONI 56 4.1.4 Hubungan antara Daya tahan Jantung Paru ( O2 maks) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran daya tahan jantung-paru ( O2 maks) atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Tahan Jantung Paru ( O2 maks) dengan Prestasi Variabel M Daya tahan jantung paru ( O2 maks) - Prestasi 0.682 r Kategori 0.611 Sedang Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.4, hasilnya menunjukkan hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori sedang. 57 4.1.5 Hubungan antara Kekuatan Otot Lengan (Pull Strength) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran kekuatan otot lengan (pull strength) atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kekuatan otot lengan (pull strength) yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Otot Lengan (Pull Strength) dengan Prestasi Variabel M r Kategori Kekuatan Otot Lengan (Pull Strength) - Prestasi -0.079 -0.071 Lemah Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.5, hasilnya menunjukkan hubungan antara kekuatan otot lengan (pull strength) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori lemah. 58 4.1.6 Hubungan antara Kekuatan Otot Punggung (Back Strength) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran kekuatan otot punggung (back strength) atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kekuatan otot punggung (back strength) yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Hasil Hasil analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Otot Punggung (Back Strength) dengan Prestasi Variabel M r Kategori Kekuatan Otot Punggung (Back Strength)- Prestasi -0.364 -0.326 Lemah Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.6, hasilnya menunjukkan hubungan antara kekuatan otot punggung (back strength) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori lemah. 59 4.1.7 Hubungan antara Kekuatan Otot Tungkai (Leg Strength) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran kekuatan otot tungkai (leg strength) atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kekuatan otot tungkai (leg strength) yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil Hasil analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kekuatan Otot Tungkai (Leg Stength) dengan Prestasi Variabel M r Kategori Kekuatan Otot Tungkai (Leg Strength) - Prestasi -0.504 -0.452 Lemah Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.7, hasilnya menunjukkan hubungan antara kekuatan otot tungkai (leg strength) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori lemah 60 4.1.8 Hubungan antara Daya Ledak Otot Lengan (Medicine Ball) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran daya ledak otot lengan (medicine ball) atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara daya ledak otot lengan (medicine ball) yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil Hasil analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Ledak Otot Lengan (M Ball) dengan Prestasi Variabel M r Kategori Daya ledak otot lengan (M Ball) - Prestasi 0.383 0.344 Rendah Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.8, hasilnya menunjukkan hubungan antara daya ledak otot lengan (medicine ball) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori rendah 61 4.1.9 Hubungan antara Daya Ledak Otot Tungkai (Vertical Jump) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran daya ledak otot tungkai (vertical jump) atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara daya ledak otot tungkai (vertical jump) yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.9. Tabel 4.9 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Daya Ledak Otot Tungkai (V Jump) dengan Prestasi Variabel M r Kategori Daya Ledak Otot Tungkai (V Jump) - Prestasi -0.118 -0.106 Lemah Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.9, hasilnya menunjukkan hubungan antara daya ledak otot tungkai (vertical jump) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori lemah 62 4.1.10 Hubungan antara Kelentukan (Sit and Reach Test) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran kelentukan atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kelentukan yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.10. Tabel 4.10 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kelentukan (Sit and Reach Test) dengan Prestasi Variabel M r Kategori Kelentukan - Prestasi 0.561 0.503 Sedang Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.10, hasilnya menunjukkan hubungan antara kelentukan dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori sedang. 63 4.1.11 Hubungan antara Kelincahan (Shutle Run) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Hasil pengukuran kelincahan (Shutle Run) atlet senam putra yang meraih prestasi pada PORPROV X tercantum pada tabel 4.2. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara kelincahan (Shutle Run) yang terdapat pada tabel 4.2 dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR dilakukan pengujian dengan menggunakan hasil analisis uji statistik koefisien korelasi Jaspen’s (p<0,05) seperti yang tercantum pada tabel 4.11. Tabel 4.11 Hasil Analisis Koefisien Korelasi Jaspen’s antara Kelincahan (Shutle Run) dengan Prestasi Variabel M r Kategori Kelincahan (Shutle Run) - Prestasi 0.580 0.520 Sedang Keterangan: r = koefisien korelasi Jaspen’s (p≤0,05) Dari tabel 4.11, hasilnya menunjukkan hubungan antara kelincahan (Shutle Run) dengan prestasi peraihan medali atlet senam putra PORPROV X JABAR termasuk ke dalam kategori sedang. Selanjutnya dari seluruh uraian mengenai hubungan komponen kebugaran jasmani dengan prestasi atlet senam putra PORPROV Jabar maka dapat ditentukan tingkatan komponen kebugaran jasmani yang berperan dalam prestasi 64 atlet senam putra berdasarkan koefisien korelasi dan kategori dari masing-masing komponen kebugaran jasmani seperti yang tercantum pada tabel 4.12 Tabel 4.12 Tingkatan Komponen kebugaran Jasmani yang Berperan dalam Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X Jabar Berdasarkan Koefisien Korelasi (r) dan Kategori Kebugaran Jasmani Komponen Kebugaran Jasmani r Kategori Daya Tahan Jantung Paru (VO2-maks) 0,611 Sedang Kelincahan (det) 0,520 Sedang Kelentukkan (cm) 0,503 Sedang Daya Ledak Otot Lengan (cm) 0,344 Rendah Kekuatan Otot Lengan (kg) -0,071 Lemah Daya Ledak Otot Tungkai (cm) -0,106 Lemah Kekuatan Otot Punggung (kg) -0,326 Lemah Kekuatan Otot Tungkai (kg) -0,452 Lemah Dari tabel diatas menunjukkan komponen kebugaran yang berperan terhadap prestasi adalah daya tahan jantung paru, kelincahan dan kelentukan dan yang kurang berperan adalah kekuatan otot lengan punggung dan tungkai serta daya ledak otot lengan dan tungkai sebagaimana yang terlihat pula pada gambar 2 di bawah ini Koefisien Korelasi (r) Gambar 2 Tingkatan Komponen kebugaran Jasmani yang Berperan dalam Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X Jabar Berdasarkan Koefisien Korelasi (r) dan Kategori Kebugaran Jasmani 0,8 Daya Tahan Jantung Paru 0,6 Kekuatan Otot Lengan 0,4 Kekuatan Otot Punggung 0,2 Kekuatan Otot Tungkai 0 Daya Ledak Otot Lengan -0,2 Daya Ledak Otot Tungkai -0,4 Kelentukan -0,6 Komponen Kebugaran Jasmani Kelincahan 65 4.2 Pembahasan 4.2.1 Hubungan Antara Daya Tahan Jantung Paru ( O2 maks) dengan Prestasi Atlet Senam Putra Peraih Medali PORPROV X JABAR Berdasarkan hasil hasil analisis pada tabel 4.4 didapatkan hubungan antara daya tahan jantung paru dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori sedang (r=0,611). Akan tetapi dari tabel 4.3 diketahui bahwa kemampuan fisik daya tahan jantung-paru atlet senam putra masih di bawah standar KONI. Dari hasil analisa di atas, hubungan antara daya tahan jantung-paru dengan prestasi yang termasuk dalam kategori sedang ini menunjukkan adanya peranan daya tahan jantung paru dalam meningkatkan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar akan tetapi belum maksimal. Belum maksimalnya komponen daya tahan jantung paru tersebut dapat disebabkan masih kurangnya latihan yang terukur dan terprogram dengan baik berdasarkan dosis latihan untuk meningkatkan daya tahan jantung-paru. Adapun latihan daya tahan jantung-paru yang dilakukan oleh atlet senam putra PORPROV X JABAR hanya satu kali dalam seminggu, dengan lama latihan kurang dari satu jam. Sedangkan untuk mendapatkan kemampuan daya tahan jantung-paru yang maksimal, seorang atlet harus melakukan latihan dengan frekuensi tiga sampai lima kali dalam seminggu dengan intensitas latihan 75-85% dari denyut nadi maksimal dengan lama latihan lebih dari satu jam (ACSM, 1990; Fosss & Kateyian, 1998; Astrand & Rodahl,2003). 66 Daya tahan jantung paru berkaitan erat dengan penggunaan oksigen secara maksimal untuk menghasilkan energi dalam melakukan aktifitas seperti olahraga. Dalam memenuhi kebutuhan oksigen secara maksimal ini harus didukung dengan kemampuan paru, hemoglobin, jantung dan otot. Kurangnya latihan daya tahan jantung paru akan menyebabkan menurunnya kemampuan fungsi paru.sehingga menyebabkan kurangnya maksimalnya ventilasi paru-paru. Hal ini menyebabkan proses difusi oksigen dalam alveoli berlangsung tidak maksimal sehingga oksigen yang ditangkap sedikit. Tangkapan oksigen yang sedikit ini akan berpengaruh dalam menghasilkan energi yang diperlukan untuk melakukan aktifitas sehingga akan mempercepat pula terbentuknya asam laktat. Menurunnya kemampuan paru juga menyebabkan eliminasi karbondioksida yang tidak maksimal akan menyebabkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam darah. Asam laktat dan konsentrasi ion hidrogen (H+) yang tinggi akan menyebabkan pH darah turun yang akan menurunkan fungsi enzim-enzim yang bekerja untuk pembentukan energi dalam sistem metabolisme aerobik maupun anaerobik (Guyton, 1997; Warpeha, 2003; McCance & Huether, 2006). Menurut penelitian Harms et all, 2000 kemampuan paru khususnya kerja dari otot-otot pernapasan akan mempengaruhi penampilan dari seorang atlet karena akan menyebabkan respon yang tidak maksimal pada sistem kardiovaskular. Pada atlet-atlet yang melakukan latihan menurut penelitian yang dilakukan Basset dan Howley (2000) menyatakan O2 maks dan saturasi oksigen meningkat sampai 70,1-74,7 ml/kg/menit dan 90,6%-95,9% 67 Dengan latihan daya tahan jantung paru, juga akan meningkatkan volume darah sebagai respon adaptif awal dari latihan daya tahan jantung paru (Basset & Howley 2000, Henderson, 2000, Warpeha 2003). Eritrosit yang terdapat dalam darah mengandung hemoglobin dimana dalam hemoglobin terdapat kandungan heme yang sangat berperan dalam mengikat O2 dan CO2 dengan bantuan enzimenzim 2,3 Diphosphoglycerate (2,3-DPG) dan enzim karbonik anhidrase yang bersifat reversibel. Latihan daya tahan jantung paru dengan frekuensi, intensitas dan waktu yang kurang akan menyebabkan proses pengikatan oksigen tidak optimal sehingga menyebabkan O2 maks yang dimiliki atlet senam putra PORPROV X JABAR masih rendah. Pengaruh latihan daya tahan jantung paru dengan fekuensi, intensitas dan waktu yang teratur juga akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiogis dari jantung yaitu hipertrofi dari otot jantung (Foss & Kateyian, 1998; Schmidt, 2000). Terjadinya hipertrofi dari otot jantung akan menyebabkan peningkatan preload /jumlah darah yang masuk ke dalam bilik jantung dan kontraktilitas jantung (stoke volume), dimana peningkatan ini akan meningkatkan curah jantung. Kontraktilitas jantung yang baik disebabkan hipertropi otot jantung yang diikuti oleh peningkatan jumlah mitokondria sehingga jumlah ion kalsium (Ca2+) yang diikat bertambah sehingga pembentukkan ATP (Adenosine Triposphat) meningkat melalui proses fosforilasi oksidasi. Peningkatan curah jantung ini ditentukan pula oleh jumlah denyut jantung (heart beat) dalam satu menit. Jumlah denyut jantung yang semakin berkurang yang menunjukkan semakin efektif dan efesiennya fungsi jantung dan dengan demikian jumlah darah (mL) yang dipompakan dalam 68 satu kali denyut jantung (stroke volume) lebih besar dan efesien (Saltin, 1992, Basset, 2000, Warpeha 2003; Gurd, 2005). Penurunan jumlah denyut jantung per menit ini akibat tonus simpatis yang menurun dan tonus parasimpatis yang meningkat (Guyton, 1997; Ganong, 1998). Kondisi seperti yang diuraikan tersebut tidak terdapat pada atlet senam putra PORPROV X Jabar yang diakibatkan oleh latihan yang kurang terprogram dengan baik sehingga tidak dapat meningkatkan fungsi jantung secara maksimal sebagaimana yang diuraikan tersebut diatas. Pengaruh yang tidak kalah penting akibat dari latihan daya tahan jantung paru adalah peningkatan kemampuan pembentukan energi pada sistem otot skelet yang terjadi karena peningkatan jumlah mioglobin akan mengakibatkan jumlah oksigen yang diikat lebih banyak dan transpor oksigen ke mitokondia lebih cepat, Pada saat yang sama terjadi pula penambahan jumlah, ukuran, luas permukaan mitokondria otot skelet serta peningkatan enzim-enzim oksidatif dalam siklus krebs yang semuanya mengakibatkan meningkatnya energi yang dihasilkan dan meningkatnya kapasitas persediaan glikogen dalam otot sehingga hal ini memperbaiki sistem oksidasi karbohidrat. Selain hal tersebut, membaiknya sistem oksidatif lemak akan menyebabkan penundaan kelelahan otot. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan kapasitas oksidasi lemak dalam otot sehingga lemak menjadi sumber energi utama atau disebut juga glycogen-sparing effect (Spriet,2002; LeBlanc, 2004). Sehingga apabila bentuk latihan daya tahan jantung tidak dilakukan secara tepat oleh atlet senam putra PORPROV X Jabar maka akan menyebabkan menurunnya kemampuan oksidasi karbohidrat dan oksidasi lemak di dalam otot skelet yang diakibatkan penurunan enzim-enzim yang berperan 69 untuk menghasilkan energi dalam siklus krebs dan siklus beta oksidasi untuk pemecahan lemak bebas (Foss & Kateyian, 1998; Hutber, 1999). Semua perubahan fisiologis yang menguntungkan yang didapatkan melalui latihandaya tahan jantung paru yang teratur ini akan menjamin oksigen yang cukup selama aktivitas fisik sehingga metabolisme otot dapat dipertahankan dalam suasana aerobik. Keuntungan terbesar dari metabolisme aerobik tersebut adalah tidak terbentuknya asam laktat yang berlebihan. Jika asam laktat terbentuk akan mempengaruhi pH sel sehingga keseimbangan intraselular terganggu sehingga akhirnya akan menyebabkan gangguan kontraksi otot. Sehingga secara garis besar kemampuan daya tahan jantung yang maksimal akan mencegah terbentuknya asam laktat yang akan menyebabkan kelelahan psikologis maupun fisiologis yang pada akhirnya akan menghambat prestasi. Dari uraian tersebut, dapat digambarkan peranan daya tahan jantung paru terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar yang belum maksimal disebabkan tidak optimalnya fungsi paru, difusi oksigen dalam jaringan, volume darah dan Hb, dan jantung. Hal ini dikarenakan latihan daya tahan jantung paru yang dilakukan belum sesuai dengan dosis latihan yang seharusnya dilakukan. Dengan latihan yang tidak terprogram dengan baik akan menyebabkan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar tidak maksimal oleh karena sangat erat hubungan dengan tidak maksimalnya fungsi daya tahan jantung-paru. 70 4.2.2 Hubungan Antara Kekuatan Otot Lengan, Otot Punggung dan Otot Tungkai dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR Peraih Medali Emas, Perak dan Perunggu Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.5, 4.6 dan 4.7 didapatkan hubungan antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan otot tungkai terhadap prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori lemah (r=-0,071; r=-0,326; r=0,452). Dari tabel 4.3 diketahui kemampuan fisik kekuatan otot lengan, otot punggung dan otot tungkai atlet senam putra masih di bawah standar KONI. Dari uraian di atas menunjukkan kurang berperannya kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar. Menurut Harsono (1988) dan Unestahl (1983) kekuatan otot merupakan basis dari semua komponen kebugaran jasmani dan merupakan ciri dominan dari seorang pesenam. Sehingga tidak berperannya komponen kekuatan otot terhadap prestasi atlet senam putra disebabkan karena sangat kurang dalam melakukan latihan sesuai dengan dosis latihan yang seharusnya dilakukan. Adapun latihan kekuatan yang dilakukan hanya satu kali dalam seminggu dan relatif jarang menggunakan weight training. Sedangkan untuk mendapatkan kemampuan kekuatan yang maksimal, seharusnya atlet senam putra PORPROV X Jabar melakukan latihan dengan range 8-12 RM sebanyak tiga set dan dilakukan dua sampai tiga kali dalam seminggu (Bompa, 1983, Aagaard, 2001, Kosek, 2006). 71 Latihan beban (weight training) sesuai dengan dosis yang telah akan menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis antara lain hipertrofi serabut otot yang menyebabkan peningkatan jumlah dan ukuran miofibril otot, peningkatan jumlah serabut filamen aktin dan miosin, peningkatan jumlah mioglobin dan densitas kapiler, dan bertambahnya kekuatan tendon dan ligamentum sehingga kemampuan kontraksi otot meningkat. Selain terjadi pula perubahan komposisi serabut otot yaitu meningkatnya konsentrasi kreatin otot, kreatin posfat, ATP, dan persediaan glikogen (Arkinstall, 2004). Dengan bertambahnya jumlah energi anaerobik ini maka kemampuan untuk melakukan kontraksi otot pun lebih kuat dan lebih lama. Hal inilah yang menunjukkan bawa kekuatan otot yang maksimal akan dapat menunjang prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar. Latihan kekuatan (weight training) yang dilakukan juga harus memenuhi prinsip overload dan progresive resistance (Pyke, 1990; Foss & Kateyian, 1998). Beban yang diberikan secara overload akan menimbulkan peningkatan kekuatan otot dengan terjadinya hipertrofi serabut otot dan bertambahnya tegangan otot saat berkontraksi. Dengan demikian dapatlah dijelaskan bahwa kurang berperannya kemampuan kekuatan otot atlet senam putra PORPROV X Jabar terhadap prestasi atlet senam putra perih medali PORPROV X JABAR disebabkan karena latihan beban (weight training) yang dilakukan belum terukur dan terprogram dengan baik. 72 4.2.3 Hubungan Antara Daya Ledak Otot Lengan dan Tungkai dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR Peraih Medali Emas, Perak dan Perunggu Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.8 dan 4.9 didapatkan hubungan antara daya ledak otot lengan dan tungkai prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori rendah dan lemah (r=0,344; r=0,106). Dari tabel 4.3 diketahui kemampuan fisik daya ledak otot lengan dan tungkai atlet senam putra masih di atas standar KONI. Dari uraian di atas menunjukkan kurang berperannya komponen daya ledak otot lengan dan tungkai terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR. Adapun daya ledak otot sangat diperlukan oleh atlet senam karena banyak melakukan gerakan yang memakai kombinasi kekuatan dan kecepatan yang maksimal seperti gerakan melayang dan melompat (Magil,1985; Schmidt, 1991; Mahendra, 2001). Kurang berperannya daya ledak otot terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar disebabkan karena latihan yang dilakukan dengan intensitas yang berganti-ganti dan tidak mempertahankan intensitas yang tepat. Latihan yang ditujukan untuk meningkatkan daya ledak otot adalah dengan latihan beban (weight training) dengan range 12-15 RM sebanyak tiga set dan dilakukan dua sampai tiga kali dalam semingggu. Akan tetapi, atlet senam putra PORPROV X Jabar melakukan latihan beban (weight training) yang belum terprogram dan terukur dengan baik untuk meningkatkan daya ledak otot hanya satu kali dalam seminggu. 73 Atlet senam putra PORPROV X Jabar yang hanya satu kali melakukan latihan daya ledak otot akan menyebabkan kontraksi otot lengan dan tungkai tidak efisien, kurang cepat dan kurang kuat. Kemampuan daya ledak yang maksimal disebabkan kemampuan neuromuskuler yang baik yaitu hasil kerjasama jaringan otot yang dinamis dan adaptasi sistem neural otot (Jensen, 2005). Dengan melakukan latihan beban (weight training) dengan range 12-15 RM sebanyak tiga set maka akan tercapai kemampuan otot yang maksimal yang diperlukan untuk daya ledak otot. Selain hal tersebut, terjadi adaptasi sistem neural yaitu meningkatnya kecepatan rangsang (impuls saraf) ke otot. Impuls saraf yang sampai ke otot akan merangsang pelepasan neurotransmitter asetilkolin pada sinaps presynaptic yang akan merangsang pelepasan ion natrium (Na+), ion kalium (K+), dan ion kalsium (Ca2+) pada postsynaptic. Ion-ion ini selanjutnya akan menyebabkan potensial aksi dalam serabut otot dan tubulus T yang segera merangsang retikulum sarkoplasmik melepaskan ion kalsium (Ca2+) ke sekitar miofibril yang pada akhirnya menimbulkan kontraksi otot (Guyton, 1997; Duhamel, 2004; Holloway, 2005). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat menjelaskan latihan beban (weight training) dengan range beban 12 – 15 RM sebanyak tiga set yang dilakukan dua sampai tiga kali dalam seminggu akan meningkatkan kemampuan daya ledak otot atlet senam putra PORPROV X Jabar yang masih relatif jarang melakukan bentuk latihan ini sehingga peranannya terhadap prestasi masih kurang. 74 4.2.4 Hubungan Antara Kelentukan dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR Peraih Medali Emas, Perak dan Perunggu Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.10 didapatkan hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori sedang (r=0,503). Dan dari tabel 4.3 diketahui kemampuan fisik kelentukan atlet senam putra masih di bawah standar KONI. Dari hasil di atas menunjukkkan adanya peranan komponen kelentukan terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR akan tetapi peranan tersebut belum maksimal. Hal ini disebabkan kurangnya latihan kelentukan pada setiap latihan sehingga mengakibatkan kurangnya adaptasi dari kelentukan otot, tendon dan ligamen. Bentuk latihan kelentukan yang tidak tepat akan menyebabkan kemampuan sistem neuromuskuler tubuh yang tidak bekerja secara maksimal. Kerja dari sistem neuromuskuler tergantung pada kinerja dan harmonisasi dari kerja otot, tulang dan tentunya latihan yang tepat (Harsono, 1988). Dengan kelentukan yang baik akan memungkinkan terjadinya pergerakan sendi secara maksimal sesuai dengan kemungkinan gerakan (range of motion) (Hall, 2003). Untuk mendapatkan kelentukan yang maksimal dapat diperoleh dengan melakukan latihan peregangan yaitu dengan Propioceptif Neuromuscular Fascilitation (PNF) dilakukan 3 – 5X/minggu selama 20-30 detik dalam 4-5 set (Knudson, 1998; Kubo,2001). Atlet-atlet senam putra PORPROV X JABAR jarang atau hampir tidak pernah melakukan latihan PNF sehingga hal ini 75 menyebabkan hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar belum berperan maksimal. 4.2.5 Hubungan Antara Kelincahan dengan Prestasi Atlet Senam Putra PORPROV X JABAR Peraih Medali Emas, Perak dan Perunggu Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.11 didapatkan hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X termasuk ke dalam kategori sedang (r=0,520). Dan dari tabel 4.3 diketahui komponen kelincahan atlet senam putra masih di bawah standar KONI. Dari hasil di atas menunjukkan adanya peranan antara komponen kelincahan terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar akan tetapi peranan komponen kelincahan tersebut belum maksimal. Hal ini disebabkan masih kurangnya latihan untuk meningkatkan kemampuan komponen kelincahan. Kelincahan yang baik sangat ditunjang oleh baiknya komponen kekuatan otot, daya ledak otot dan kelentukan (Bompa,1983). Sehingga untuk mendapatkan kelincahan yang maksimal harus ditunjang pula oleh komponen kekuatan otot, daya ledak otot dan kelentukan yang maksimal pula. Oleh karena itu, hubungan antara komponen kelincahan dengan prestasi yang masih rendah ini dikarenakan kekuatan otot, daya ledak otot dan kelntukan yang masih belum secara maksimal dilakukan. 76 4.3 Pengujian Hipotesis Hipotesis I : Terdapat hubungan antara daya tahan jantung paru ( O2 maks) dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar. Penunjang : Terdapat hubungan yang sedang antara daya tahan jantung-paru ( O2 maks) dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar (r=0,611). Yang tidak menunjang : Tidak ada. Kesimpulan: Hipotesis pertama teruji dan diterima. Hipotesis II: Terdapat hubungan antara kekuatan otot lengan, otot punggung dan tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar. Penunjang : Terdapat hubungan yang lemah antara punggung kekuatan otot lengan, dan tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabart (r = -0,071; r= -0,452, r= -0,326). Yang tidak menunjang : Tidak ada. Kesimpulan : Hipotesis kedua teruji dan diterima. 77 Hipotesis III: Terdapat hubungan antara daya ledak otot lengan dan tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar. Penunjang : Terdapat hubungan yang rendah dan lemah antara daya ledak otot lengan dan tungkai dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar (r=0,344; r =-0,106). Yang tidak menunjang : Tidak ada. Kesimpulan : Hipotesis ketiga teruji dan diterima. Hipotesis IV: Terdapat hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar. Penunjang: Terdapat hubungan yang sedang antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar (r=0,503). Yang tidak menunjang : Tidak ada. Kesimpulan : Hipotesis kelima teruji dan diterima. 78 Hipótesis V: Terdapat hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam putra yang meraih medali pada PORPROV X Jabar. Penunjang: Terdapat hubungan yang sedang antara kelincahan dengan prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar (r=0,520). Yang tidak menunjang : Tidak ada. Kesimpulan: Hipotesis kelima teruji dan diterima. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Komponen kebugaran jasmani yang berperan terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR adalah: daya tahan jantung paru (r=0,611), kelincahan (r=0,520) dan kelentukan (r=0503) sedangkan yang kurang berperan terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X JABAR adalah: kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai (r= - 0,071; r= -0,0326; r= - 0,0452) dan daya ledak otot lengan dan tungkai (r=0,344; r=-0,106). 2. Hubungan antara daya tahan jantung-paru dengan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori sedang (r=0,611). 3. Hubungan antara kekuatan otot lengan, punggung dan tungkai dengan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori lemah (r=-0,071; r=-0,326; r=0,452). 4. Hubungan antara daya ledak otot lengan dengan prestasi termasuk dalam kategori rendah dan hubungan antara daya ledak otot tungkai dengan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori lemah (r=0,344; r=-0,106). 5. Hubungan antara kelentukan dengan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori sedang (r=0503). 79 80 6. Hubungan antara kelincahan dengan prestasi atlet senam putra PORPROV X Jabar termasuk dalam kategori sedang (r=0,520). 5.2 Saran 1. Sehubungan dengan adanya pengaruh dari komponen kebugaran jasmani terhadap prestasi atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar maka perlu adanya peningkatan yang lebih maksimal terhadap latihan komponen daya tahan jantung paru, kelentukan dan kelincahan dan sesuai dengan dosis yang seharusnya serta peningkatan peranan komponen kekuatan otot dan daya ledak otot dengan melakukan perbaikan dan peningkatan latihan sesuai dengan dosis latihan sehingga dapat berperan secara maksimal dalam mencapai prestasi yang lebih baik pada event-event pertandingan yang akan datang 2. Perlu diupayakan agar kemampuan daya tahan jantung-paru atlet senam putra PORPROV X Jabar menjadi maksimal yaitu dengan melakukan latihan daya tahan jantung-paru 3-5 kali seminggu dengan intensitas 75-85% denyut nadi maksimal dengan waktu lebih dari 1 jam. 3. Perlu diupayakan agar kemampuan kelentukan atlet senam putra PORPROV X Jabar menjadi maksimal yaitu dengan melakukan PNF (Propioceptive Neuromuscular Facilitation) 15-30 detik dilakukan 3 set dengan frekuensi 3-5 kali seminggu. 81 4. Perlu diupayakan agar kemampuan kelincahan atlet senam putra PORPROV X Jabar menjadi maksimal yaitu dengan melakukan latihan yang mengembangkan kelincahan sesuai dosis latihan yang telah ditentukan. 5. Perlu diupayakan perbaikan latihan agar kemampuan kekuatan otot lengan dan tungkai atlet senam putra PORPROV X Jabar menjadi berperan dengan maksimal yaitu dengan melakukan latihan beban (weight trainning) 8-12 RM dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3x /minggu 6. Perlu diupayakan perbaikan latihan agar kemampuan daya ledak otot lengan dan tungkai atlet senam putra PORPROV X Jabar menjadi berperan dengan maksimal yaitu dengan melakukan latihan dengan beban 12-15 RM yang dilakukan 3 set dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu. 7. Perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi kemampuan komponen fisik atlet senam pada umumnya dan atlet senam putra peraih medali PORPROV X Jabar pada khususnya secara berkala, sehingga tercapai kualitas komponen fisik yang maksimal yang menunjang peraihan medali pada event-event yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Aagaard, P., Andersen,J.L., Poulsen P.D., Leffers,A.M., Wagner, A., Magnusson,S.P.2001.A Mechanism for Increased Contractile Strength of Human Pennate Muscle in Resp[onse to Strength Training: Changes in Muscle Architecture. Journal of Physiology 534:613-623 ACSM (American College of Sport Medicine). 1990. The Recommended Quantity and Quality of Exercise for Developing and Maintaining Cardiorespiratory and Muscular Fitness in Healthy Adults. Medicine in Science in Sports Exercise 22, 265-274 Arkinstall, M.J., Bruce, C.R., Clark, S.A., Rickards, C.A., Burke, L.M., & Hawley, J.A. 2004. Regulation of Fuel Metabolism by Preexecise Muscle Glycogen Content and Exercise Intensity. Journal of Applied Physiology 97: 2275-2283. Astrand, P.O. and Rodahl, K. 2003. Textbook of Work Pysiology, Physiological Bases of Exercise. New York : McGraw—Hill : 295-348, 713. Auweele, Y.V., F.Bakker, S.Biddle, M.Durand, & R.Seiler. 1999. Psychology for Physical Educators. Human Kinetics. 137-145. Bompa, T.O. 1983. Theory and Methodology of Training. Dubuque, Lowa : Kendal/ Hunt Publishing Company. Bowers, C.O, Fie, J.K., Schmid, A.B. 1981. Judging and Coaching Woman’s Gymnastics. California: Mayfield Publishing Co. Brooks, G.H & Fahey, T.D. 1985. Exercise Physiology Human Bioenergetics and Its Applications. New York : Macmillan Publishing Company Bassett, O.B. and Howley, E.T. (2000). Limiting Factors for Maximal Oxygen Uptake and Determinants of Endurance Performance. Med. Sci. Sports Exerc.32:70-84. Davis, K & Brown S.M. 1992. Aerobics Instructor Manual. The Resource for Fitnes Professionals. American Council of Exercise. Departemen Kesehatan. 1994. Pedoman Pengukuran Kebugaran Jasmani. Jakarta Giriwijoyo, Y.S.S. 1992. Ilmu Faal Olahraga. Bandung. 82 83 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Informasi kesegaran jasmani. Jakarta De Vries, H. A. 1979. Physiology of Exercise for Physical Education dan Athletics. Duhamel, T.A., Green, H.J., Sandiford, S.D., Perco, J.G., & Ouyang, J. 2004. Effects of Progressive Exercise and Hypoxia on Human Muscle Sarcoplasmic Reticulum Function. Journal of Applied Physiology 97: 188-196 Egger, G. & Champion, N. 1998. The Fitness Leader’s Handbook, 3rd ed. Australia : Kangaroo Press Foss, M.L. & Keteyian, S.J. 1998. Fox’s Physiological Basis for Exercise and Sport. 4th ed. New York : W.B. Saunders Company : 259-261. Fisher, A.G., Jensen, C.R. 1990. Scientific Basis of Athletic Conditioning. 3rd ed. Philadelphia: Lea & Febriger. Ganong W., 2005. Review of Medical Physiology. Edisi ke 21. Mc Graw Hill Companies. USA. Gurd, B.J., Scheuermann, B.W., Paterson, D.H., & Kowalchuk, J.M. 2005. Prior Heavy-Intensity Exercise Speeds O2 Kinetics during Moderate-Intensity Exercise in Young Adults. Journal of Applied Physiology 98: 1371-1378. Guyton, A.C., Hall J.E. 1999. Fisiologi kedokteran. Textbook of Medical Physiology. Ed 9. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Hall, S.J. 2003. Basic Biomechanic. 4th Edition. McGraw Hill Comp. Haltfied, F.C. 1988. Power Scientific Approach Contemporary Book. Chicago Hartley, G. 1994. A Comparison of The Soviet dan East German Gymnastics Systems, dalam Holt, Jim. International Gymnastics Systems: An Anthology. Australia Gymnastics Federation Harms, Craig A., Thomas J.Wetter, Claudette M.St.Croix, David F.Pegelow, and Jerome A.Dempsey.Effect of Respiratory Muscle Work on Exercise Performance.Journal of Applied Physiology 89:131-138, 2000 Harsono, 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta: CV Tambak Kesuma. 84 Henderson, K.K., McCanse, W., Urano, T., Kuwahira, I., Clancy, R., & Gonzalez, N.C. 2000. Acute vs. Chronic Effects of Elevated Hemoglobin O2 Affinity on O2 Transport in Maximal Exercise. Journal of Applied Physiology 89: 265272. Holloway, G.P., Green, H.J., Duhamel, T.A., Ferth, S., Moule, J.W., Ouyang, j., et al. 2005. Muscle Sarcoplasmic Reticulum Ca2+ Cycling Adaptations During 16 h of Heavy Intermittent Cycle Exercise. Journal of Applied Physiology 99: 836843 Hutber, C.A., Rasmussen, B.B., & Winder, W.W. 1999. Endurance Training Attenuates the Decrease in Skeletal Muscle Malonyl-CoA with Exercise. Journal of Applied Physiology 58: 1917-1922. Janssen, Peter G.J.M. 1993. Latihan Laktat Denyut Nadi. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Jensen, J.L., Marstrand, P.C.D., & Nielsen, J.B. 2005. Motor Skill Training are Associated with Different Plastic Changes in the Central Nervous System. Journal of Applied Physiology 99: 1558-1568. Knudson, D. 1998. Stretching:Science to Practice. JOPERD,69(3), 38-42 Kosek, D.J., Kim, J.S., Petrella, J.K., Cross, J.M., Bamman, M.M. 2006. Efficacy of 3 wk Resistance Training on Myofiber Hypertrophy and Myogenic Mechanisms in Young vs. Older Adults. Journal of Applied Physiology 101:531-544. Kubo, K., Kanehisa, H., Fukunaga, T. 2001. Efect of Different Duration Isometric Contractions on Tendon Elasticity in Human Quadriceps Muscle. Journal of Applied Physiology 536: 649-655 LeBlanc, P.J., Howarth, K.R., Gibala, M.J., & George, J.F. 2004. Effects of 7 wk of Endurance Training on Human Skeletal Muscle Metabolism during Submaximal Exercise. Journal of Applied Physiology 97: 2148-2153. Lutan, R. 1991. Manusia dan Olahraga. Bandung: ITB dan FPOK/IKIP Bandung. Magil, R. A. 1985. Motor Learning, Concepts and Applications. 2nd ed. Iowa: WM. C. Brown. 85 Mahendra, A. 2001. Pembelajaran Senam: Pendekatan Pola Gerak Dominan untuk Siswa SLTP. Jakarta: Direktorat Jenderal Olahraga, Depdiknas. McArdle, W.D; Katch, F. I; Katch, V.L. 1996. Exercise Phisiology, Energy, Nutrition and Human Performance. Baltimore: Williams and Wilkins. McCance, K.L. & Huether., S.E. 2006. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 6th edition. USA: Elsevier Mosby. Nurhasan. 1984. Tes Kemampuan Fisik Atlet-Atlet Cabang Olahraga Prestasi. Bandung: KONI Jawa Barat. Pate, R. and Rotella, Mc. Clenghan. 1993. Dasar-dasar Ilmiah Kepelatihan (terjemahan). IKIP Semarang Press. Powers, S.K. & Howley, E.T. 2001. 4th Exercise Physiology. New York : McGrawHill Company. Pyke F.S. & Rushall, B.S. 1990. Training for Sport and Fitness. McMillan Company Of Australia. Reilly, T et al. 1993. Physiology of Sports, 1st ed. London : Chapman & Hall. Salmela, J. 1983. Understanding Gymnastics Performance, dalam Unestahl, LarsEric, The mental Apects of Gymnastics, Orebo: VEJE Publ. Inc Saltin, B. & Gollnick, P.D. 1986. Skeletal Muscle Adaptability Significance of for Metabolism an Performance. Handbook of Physiology Scheletal Muscle. Baltimore : W.B Saunders Company. Saltin, B. and Strange, S. 1992. Maximal Oxygen Uptake: "Old" and "New" Arguments for a Cardiovascular Limitation. Med. Sci. Sports Exerc. 24:30-37. Schembry, G. 1983. Introductory Gymnastics. A Guide for Coaches and Teachers. Australia: Australian Gymnastics Federation. Schmidt, R.A. 1991. Motor Learning and Performance, from Principles to Practice. Champaign. Illinois.: Human Kinetics Schmidt-Trucksaas,A., A.Schmid, C.Haussler, G.Huber, M.Hounker, and J.Keul. 2000. Left Ventricular Wall Motion During Diastolic Filling in Endurance Tarined Athletes. Med.Sci.Sport Exerc., Vol 33, No.2,pp.189-195 86 Sharkey, B.J. 1984. Physiology of Fitness. Champaign, Illinois. Spriet,L.L. 2002. Regulation of Skeletal muscle Fat Oxidation During Exercise in Humans. MedSci.Sport Exerc.,Vol 34.,No.9.pp.1477-1484 Sumosardjono, S. 1986. Pengetahuan Praktis Kesehatan dalam Olahraga. Jakarta : Gramedia. Sutton, J.R. 1992. VO2 Max New Conxepts on an Old Theme. Journal Medicine and Science in Sports and Exercise vol. 24, No. 1:26. Unestahl, L. E. 1983. Mental Training for A Gymnastics Career. The Mental Aspect of Gymnastics. Sweden: VEJE Publ. Inc. Vander, A. 2001. Human Physiology. Boston : McGraw Hill. Warpeha, J. 2003; Limitation of Maximal Oxygen Consumption: The Holy Grail of Exercise Physiology or Fool's Gold? Professionalization of Exercise Physiology. Vol 6 No 9 Wilmore, J.H. & Costill, L.D. 1994. Physiology of Sport and Exercise. USA: Human Kinetics. 116 Lampiran 19 RIWAYAT HIDUP Nama : David Mangarahon Tua Simangunsong Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 21 September 1980 Ayah : Wilson Simangunsong, SE Ibu : Rosdiana br.Simanjuntak Agama : Kristen Protestan Pendidikan Formal: TK St.Yosef Medan, Tamat tahun 1987 SD ST Antonius V-VI Medan, Tamat tahun 1993 SMP St Thomas I Medan, Tamat tahun 1996 SMUN 5 Medan, Tamat tahun 1999 Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Tamat tahun 2004 Pascasarjana Combined Degree Bidang Kajian Utama Ilmu Faal dan Kedokteran Olahraga Universitas Padjadjaran Bandung, Tahun, Tamat tahun 2007