situasi penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar

advertisement
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
SITUASI PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS PADA
RUMINANSIA BESAR: SURVEILANS DAN MONITORING
ANAK AGUNG GDE PUTRA
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar
ABSTRAK
Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Peternakan No. 103/TN.510/Kpts/DJP/03.98, dari 11 jenis penyakit
hewan menular (PHM) strategis, enam diantaranya adalah penyakit hewan menular yang menyerang
ruminansia besar. Penyakit tersebut adalah: brucellosis, antraks, Jembrana, bovine viral diarhea,
haemorrhagic septicaemia, dan infectious bovine rhinotracheitis. Secara umum, hampir semua dari penyakit
tersebut telah bersifat endemis di Indonesia dengan prevalensi yang bervariasi di beberapa daerah. Karena
upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah, wabah PHM Strategis yang menyerang ruminansia
besar bisanya muncul secara sporadik pada lokasi geografis yang terbatas. Hanya beberapa dari PHM
Strategis tersebut yang telah berhasil diberantas di suatu pulau, misalnya penyakit ngorok di pulau Lombok
dan penyakit brucellosis di pulau Lombok dan Sumbawa. Keberhasilan yang cukup signifikan adalah
pemberantasan penyakit mulut dan kuku di seluruh wilayah Indonesia.
Kata Kunci: Surveilans, monitoring, penyakit strategis
PENDAHULUAN
Sekurang-kurangnya ada tiga kriteria yang
digunakan untuk mengklasifikasikan suatu
penyakit hewan menular (PHM) sebagai PHM
strategis. Ketiga kriteria tersebut berkaitan
dengan dampak eksternalitas dari penyakit
tersebut, yakni yang berkaitan dengan aspek
ekonomi, politik dan strategis. Pertimbangan
ekonomi meliputi seberapa jauh PHM tersebut
mengganggu produktivitas dan reproduktivitas
ternak, serta apakah ia dapat mengakibatkan
gangguan
perdagangan.
Aspek
politis
dipertimbangkan apabila munculnya PHM
tersebut mengakibatkan keresahan masyarakat,
misalnya karena ia bersifat zoonosis.
Selanjutnya, pertimbangan strategis meliputi:
tingginya angka mortalitas, penyebaran
penyakit yang cepat antar daerah/kawasan
sehingga membutuhkan pengaturan serta
pengawasan lalulintas ternak dan produknya.
Berdasarkan
Surat
Keputusan
Dirjen
Peternakan No. 103/TN.510/Kpts/DJP/03.98,
dari 11 jenis penyakit hewan menular strategis,
enam diantaranya adalah penyakit hewan
menular yang menyerang ruminansia besar.
Penyakit tersebut adalah: brucellosis, antraks,
Jembrana, bovine viral diarhea, haemorrhagic
septicaemia,
dan
infectious
bovine
rhinotracheitis.
Dalam
rangka
mengoptimalkan
produktivitas dan reproduktivitas ternak, dan
menekan
morbiditas/mortalitas
serta
penanggulangan penyebaran PHM strategis
antar daerah (pulau), paling tidak ada tiga
manajemen penanganan penyakit hewan yaitu
upaya
pencegahan,
pengendalian
dan
pemberantasan.
Tindakan
pencegahan
dimaksudkan untuk menolak masuknya
penyakit eksotik dari luar negeri atau antar
pulau (daerah) dalam wilayah Republik
Indonesia. Tindakan pengendalian adalah
segala upaya yang dilakukan untuk menekan
kejadian
penyakit
serendah-rendahnya
sehingga tidak terlalu menimbulkan dampak
kerugian ekonomi atau sampai pada batas yang
tidak menimbulkan keresahan masyarakat
apabila berkaitan dengan penyakit zoonosis.
Sedangkan tindakan pemberantasan adalah
upaya yang dilakukan untuk menghilangkan
agen penyebab penyakit dari suatu pulau.
Apabila
ketiga
komponen
dalam
manajemen penanganan penyakit hewan
tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, dan
dalam kaitannya dengan kondisi geografi
Indonesia yang merupakan negara kepulauan
(archipelago) untuk memanfaatkan laut
sebagai barier alami, maka PHM strategis
sesungguhnya dapat ditanggulangi/diberantas
secara bertahap (boarding system) pulau per
31
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
pulau. Makalah ini menguraikan atau mengkaji
secara ringkas situasi PHM strategis yang
menyerang ruminansia besar di Indonesia
berdasarkan
hasil-hasil
surveilans
dan
monitoring yang telah dilaksanakan.
MATERI DAN METODE
Makalah ini disusun berdasarkan hasil-hasil
surveilans dan monitoring yang dilakukan
terutama oleh Balai Penyidikan dan Pengujian
Veteriner Regional dan Balai Besar Veteriner
di seluruh Indonesia. Di samping itu, juga
digunakan beberapa sumber pustaka lainnya
yang berkaitan dengan PHM strategis.
Penyakit Brucellosis
Dari hasil surveilans yang dilakukan oleh
BPPV dan BBVet dalam enam tahun terakhir
ini, nampak bahwa prevalensi reaktor
brucellosis pada sapi potong dan sapi perah
sangat bervariasi, dan di beberapa daerah telah
bersifat endemik.
Prevalensi reaktor brucellosis di Pulau
Sumatra (Tabel 1, ROZA, 1958; ANONIMUS,
1986, 2000; PAKPAHAN dan SOENARDI, 1986;
Putra, 2000; PAKPAHAN, 2001; PUTRA dan
SOSIAWAN, 2001; MISWATI et al., 2003) dan
Kalimantan (Tabel 2, ASTUTI et al., 2000)
relatif masih rendah. Sementara pada
peternakan sapi perah di Pulau Jawa (Tabel 3,
SUDIANA et al., 1989; WITONO et al., 1999;
SAMKHAN et al., 2003; SULAIMAN et al., 2005;
Putra, 2005) dan peternakan tradisional di
Provinsi NTT terutama di Pulau Timor (Tabel
4, PUTRA et al., 1995; 2001; PUTRA, 2002c,d)
prevalensi reaktor brucellosis cukup tinggi.
Reaktor dan wabah brucellosis juga ditemukan
di beberapa daerah di Pulau Sulawesi
(HAMIDJOJO, 1984; AKOSO dan SIREGAR,
1984). Hasil surveilans yang dilakukan di
Pulau Bali memperlihatkan hasil yang negatif
(Tabel 5), mengukuhkan statusnya sebagai
daerah yang secara historis tidak pernah
tertular brucellosis.
Data surveilans yang berkaitan dengan
program pemberantasan brucellosis di Provinsi
NTB disajikan dalam Tabel 6 dan 7. Di Pulau
Lombok, sebanyak 180.221 spesimen yang
berasal dari 319 desa (97,8%) dari 326 desa
yang ada, telah diambil secara massal dan
serentak, serta semua reaktor brucellosis telah
dipotong bersyarat. Demikian juga di Pulau
Sumbawa, dengan metode yang sama,
sebanyak 247.316 spesimen telah diambil di
359 desa (96,5%) dari 372 desa yang ada.
Informasi lebih rinci dapat dilihat dalam
makalah yang telah dipublikasikan (PUTRA,
2002a,b; PUTRA, et al., 2002; PUTRA dan
ARSANI, 2003 a,b; PUTRA dan ARSANI, 2004,
2006).
Tabel 1. Prevalensi reaktor brucellosis (positif CFT) pada sapi di Pulau Sumatra
Propinsi
Tahun
Jumlah sampel
Sumatera Utara
2002
2005
2005
2000
2002
2000
2001
2002
2000
2002
445
2.800
327
1.258
3.835
1.205
4.45
4.723
754
15.104
NAD
Sumbar
Riau
Jambi
32
Jumlah positif
(RBPT)
0
1.916
325
Jumlah positif
(CFT)
?
?
?
0
0
0
0
4
0
3
Persentase
?
?
?
0
0
0
0
0,08
0
0,01
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 2. Prevalensi reaktor brucellosis (positif CFT) pada sapi di Pulau Kalimantan
Propinsi
Kalimanta Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Tahun
1998
1999
2000
1998
1999
2000
1998
1999
2000
1998
1999
2000
Jumlah sampel
4.919
4.547
464
2.582
1.090
483
531
259
261
261
22
72
Jumlah Positif
2
0
1
2
1
0
0
0
0
0
0
0
Persentase
0,04
0
0,2
0,07
0,09
0
0
0
0
0
0
0
Tabel 3. Prevalensi reaktor brucellosis (positif CFT) pada sapi perah di Pulau Jawa
Propinsi
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI
DIY
Tahun
Jumlah sampel
Jumlah Positif
Persentase
2002
3.991
855
21,4
2003
1.012
254
25,1
2002
442
160
36,2
2003
82
23
28,0
2002
964
183
18,9
2003
1.019
29
2,8
2002
607
188
30,9
2003
296
62
20,9
2002
4
1
25,0
Tabel 4. Prevalensi reaktor brucellosis (positif CFT) pada sapi di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun
Jumlah sampel
Jumlah Positif
Persentase
2003
1.693
124
7,32%
2004
2.091
960
45,91%
2005
5.768
366
6,34%
Tabel 5 Prevalensi reaktor brucellosis (positif CFT) pada sapi di Pulau Bali
Tahun
Jumlah sampel
Jumlah Positif
Persentase
2003
1.989
0
0
2004
1.504
0
0
2005
1.541
0
0
33
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 6 Jumlah serum yang diuji sebelum dan saat program pemberantasan Brucellosis di pulau Lombok,
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun
Sebelum Pemberantasan
Selama Program Pemberantasan:
Juli, 2000
September 2000
Juli 2001
September 2001
Nopember 2001
Total
2002
Jumlah serum
63.648
RBPT + (%)
265 (0,41%)
CFT + (%)
9 (0,01%)
Program
Pengendalian
43.386
4.550
45.459
5.579
250
162.872
17.349
72 (0,16%)
2 (0,04%)
84 (0,18%)
16 (0,28%)
0
439 (0,27%)
21 (0,12%)
35 (0,07%)
0%
16 (0,04%)
0%
0%
60 (0,04%)
0%
Pemberantasan
Pemberantasan
Pemberantasan
Pemberantasan
Pemberantasan
Monitoring
Catatan: semua ternak yang positif pada uji CFT dipotong bersyarat
Tabel 7 Jumlah serum yang diuji sebelum dan saat program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumbawa,
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun
Sebelum Pemberantasan
Selama Program Pemberantasan:
Oktober 2002
2003
2004
2005
Jumlah serum
23.878
RBPT + (%)
368 (1,54%)
CFT + (%)
6 (0,03%)
Program
Pengendalian
45.341
30.511
117.586
30.000
193 (0,43%)
159 (0,52%)
410 (0,35)
130 (0,43%)
21 (0,05%)
33 (0,11%)
108 (0,09)
9 (0,03%)
Pemberantasan
Pemberantasan
Pemberantasan
Pemberantasan
Total
247.316
1.260(0,51%)
177 (0,07 %)
Catatan: semua ternak yang positif pada uji CFT telah dipotong bersyarat
Penyakit Antraks
Antraks adalah penyakit hewan menular
yang dapat menyerang berbagai jenis hewan
mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut
dan bersifat zoonosis. Burung unta dilaporkan
peka terhadap antraks (NOOR, et al. 2001;
HARDJOUTOMO, et al. 2002). Ada dua bentuk
antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk
septisemik (EZZEL, 1986). Bila kuman Bacillus
anthracis berada dalam lingkungan yang tidak
menguntungkan
perkembangannya
dan
memperoleh jumlah oksigen yang cukup maka
ia akan membentuk spora, dan spora ini
mampu bertahan hidup puluhan tahun.
Penyemblihan hewan tertular antraks akan
mendorong kuman ini membentuk spora.
Padang penggembalaan atau lingkungan
budidaya ternak yang telah tercemar spora
antraks akan mengakibatkan penyakit bersifat
endemik dan membutuhkan waktu lama untuk
memberantasnya.
34
Penyakit antraks pertama kali dilaporkan
terjadi di Teluk Betung pada tahun 1884,
selanjutnya tahun 1885 terjadi di Bali. Saat ini
pulau Bali sudah terbebas dari antraks. Di
Indonesia, ada beberapa daerah yang endemis
antraks, seperti di beberapa kabupaten di Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, NTB dan di NTT.
Setelah lama sekali tidak pernah dilaporkan
kasus, pada tahun 2003 terjadi kasus antraks di
Daerah Istimewa Yogyakarta (Tabel 8).
Di Provinsi NTB dan NTT pernah terjadi
beberapa kali wabah besar dengan tingkat
mortalitas ternak yang cukup tinggi (Tabel 9,
Soemanegara, 1958). Di Pulau Lombok,
antraks sebelumnya bersifat endemis, karena
upaya penanggulangan yang dilakukan secara
intensif, sejak 19 tahun terakhir (kasus terakhir
tahun 1987) sudah tidak dijumpai lagi kasus
antraks di lapangan. Akibat dari penanganan
antraks yang belum optimal, sejak lama Pulau
Sumbawa dikenal sebagai pulau yang endemik
antraks, dan hampir setiap tahun muncul wabah
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 8 Data kasus antraks (konfirmasi laboratorium) dari tahun 2000 – 2005
Wilayah BPPV
Propinsi
Tahun
Medan
Sumatera Utara
Nanggro Aceh Darussalam
Jambi
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
2005
2005
2004
2003
2004
Bukiit Tinggi
Wates
Denpasar
sporadis
(POERWADIKARTA,
1998;
HARDJOUTOMO dan POERWADIKARTA, 1996;
POERWADIKARTA, et al. 1993; HARDJOUTOMO,
et al. 1995; Kertayadnya dan Suendra, 2003;
Putra, et al., 2005), demikian juga di Pulau
Flores (KERTAYADNYA et al., 2001; PUTRA,
2004). Di Pulau Sumba (Sumba Timur) pernah
dilaporkan terjadi wabah antraks pada tahun
1980 (SUDANA, et al., 1980), dan sekarang kasus
sudah jarang muncul karena telah dilaksanakan
program vaksinasi yang intensif. Program
vaksinasi intensif saat ini juga sedang
dilaksanakan di Pulau Sumbawa. Metode Elisa
telah digunakan untuk memonitor respon
antibodi pasca vaksinasi terhadap penyakit
antraks (HARDJOUTOMO et al., 1993), dan hasil
monitoring di beberapa daerah disajikan dalam
Tabel 10.
Tabel 9. Kejadian wabah antraks di Provinsi NTB
dan NTT
Pulau
Lombok
Sumbawa
Sumba
Flores
Timor
Roti
Tahun
1993, 1956
1931
1939
1934, 1938, 1953
1957
1887,1922, 1930, 1952,1953
Penyakit Jembrana
Pada akhir tahun 1964, di desa Sangkar
Agung, Kabupaten Jembrana, Propinsi Bali
terjadi wabah penyakit hewan menular yang
menyerang sapi dan kerbau. Penyakit hewan
menular tersebut sekarang dikenal dengan
nama penyakit Jembrana (Jembrana disease,
JD). Sampai dengan akhir tahun 1965, sekitar
30.000 sapi dan kerbau dilaporkan mati karena
serangan penyakit tersebut. Penyakit menyebar
Jumlah
sampel
2
7
14
1
6
Jumlah
Positif
0
0
0
1
1
Persentase
0%
0%
0%
100%
16,67%
secara perlahan, membutuhkan waktu kurang
lebih 8 bulan sampai ditemukan di semua
Kabupaten di Bali (ADIWINATA,1967).
Dahulu JD diduga sebagai rinderpest
(ADIWINATA,
1967;
PRANOTO
dan
PUDJIASTONO, 1967), kemudian diduga
disebabkan oleh rickettsia (HARDJOSWORO dan
BUDIARSO, 1973; 1977; BUDIARSO dan
1976;
1977a,b;
HARDJOSWORO,
HARTANINGSIH et al., 1985) dan selanjutnya
secara lebih spesifik diduga disebabkan oleh
Ehrlichia sp. (RESSANG et al., 1985).
RAMACHANDRAN (1981) dan TEUSCHER et al.
(1981) menduga JD disebabkan oleh virus,
yang saat itu belum mampu diidentifikasi.
Dugaan tersebut didasarkan oleh karena agen
penyakit Jembrana memiliki ukuran antara
100-200 nanometer. Dalam perkembangan
penelitian selanjutnya, DHARMA et al. (1985)
berpendapat
bahwa
berdasarkan
pada
perubahan histopatologi, diduga JD disebabkan
oleh herpesvirus yang bersifat onkogenik dan
selanjutnya mereka mengusulkan agar JD
dimasukkan kedalam kelompok malignant
catarrhal
fever
komplek.
Akhirnya,
berdasarkan hasil pengamatan terhadap sifatsifat biologi dan morfologi dari agen penyebab
JD ditetapkan disebabkan oleh virus dari
keluarga retrovirus / Lentivirus (WILCOX et al.,
1992), dapat bersifat perakut, akut atau subakut
dan hanya bersifat fatal pada sapi Bali.
Virus Jembrana tidak mampu menimbulkan
gejala klinis (atau sangat ringan sekali) dan
tidak bersifat fatal pada sapi jenis lainnya
seperti FH, Ongole, Brahman, Kisar, Rambon,
Madura, termasuk juga kerbau. Namun
demikian, hewan-hewan tersebut dapat
bertindak sebagai karier walaupun dalam
jangka waktu yang relatif pendek (PUTRA,
2004). Virus Jembrana tidak dapat menulari
kambing, domba dan babi. Penyakit Jembrana
dapat ditularkan secara mekanis melalui
35
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 10. Prevalensi antibodi antraks (ELISA) pada sapi dan kerbau tahun 2005 di Wilayah BPPV Regional
VI Denpasar
Status Vaksinasi
Pra vaksinasi
Pasca vaksinasi
Propinsi
NTB
NTB
NTT
Pulau
Sumbawa
Sumbawa
Lombok
Sumba
serangga pengisap darah dan nampaknya
bukan sebagai vektor biologis, melalui jarum
suntik yang tercemar dan pada saat wabah oleh
petugas yang melakukan pemeriksaan lidah
sapi penderita yang kurang hygenis
(SULISTYANA dan PUTRA, 1992; PUTRA, 1992,
1993, 2002a, 2003; PUTRA dan SULISTYANA,
2004; PUTRA et al., 2004a).
Penyakit Jembrana dapat menyerang semua
umur sapi Bali baik jantan maupun betina, dan
hewan bunting lebih peka dari yang tidak
bunting dan pada hewan bunting dapat
mengakibatkan
keguguran
yang
dapat
mencapai 49% dan dapat terjadi pada semua
stadium kebuntingan (PUTRA et al., 1981b).
Pada saat terjadi wabah tingkat morbiditas
dapat mencapai 65% dengan tingkat mortalitas
sekitar 15% dan tingkat kematian penderita
(case fatality rate) bisa mencapai 30% (PUTRA
dan SULISTYANA, 1997; PUTRA, 2001). Lebih
dari 90% kematian terjadi pada minggu
pertama sejak munculnya gejala klinis (PUTRA
et al., 1981a), dan hewan yang sembuh dari JD
akan menjadi karier. Hewan karier ini diduga
akan bertindak sebagai sumber penularan
berikutnya yang terjadi secara intermiten
tergantung pada stres. Karena penularan
penyakit Jembrana di lapangan dapat
ditularkan secara mekanis melalui serangga
pengisap darah maka tingkat insiden JD
berkaitan dengan kedekatan hewan, makin
banyak jumlah hewan dalam satu kandang
maka tingkat infeksi juga semakin tinggi
(PUTRA et al., 2003a,b; PUTRA dan
SULISTYANA, 1997). Tingkat insiden JD juga
dipengaruhi oleh peningkatan populasi
serangga pengisap darah yang umumnya
meningkat secara drastis pada saat musim
hujan.
Wabah umumnya terjadi setiap 4-5 tahun
sejak terjadinya wabah terakhir (PUTRA, 2001;
PUTRA dan SULISTYANA, 1997). Hal tersebut
mungkin diakibatkan oleh rendahnya herd
36
Jumlah sampel
673
729
92
695
Jumlah Positif
33
379
28
548
Persentase
4,9
78,8
51,98
30,4
immunity yang diakibatkan oleh penurunan
titer antibodi dan juga oleh pertambahan
populasi hewan peka akibat terjadi kelahiran
pedet baru. Penyebaran penyakit Jembrana ke
daerah baru diduga melalui perpindahan hewan
karier dari daerah tertular.
Penyakit Jembrana kini diketahui telah
menyebar dari pulau Bali ke pulau Sumatra
dan ke pulau Kalimantan (AGUSTIA et al.,
2005; DHARMA et al., 2003; HASSAN et al.,
2000; HUTAGAOL, 2003; MARFIATININGSIH
dan YUTIE, 2001, 2002; MARFIATININGSIH,
2003; Tabel 11). Kalau tidak ditanggulangi
secara serius tidak mustahil JD akan
mengancam semua sapi Bali yang ada di
seluruh Indonesia. Melalui upaya penelitian
yang intensif, telah ditemukan vaksin JD dan
telah digunakan secara terbatas di lapangan
(PUTRA, 2002b; PUTRA et al., 2004b;
AGUSTINI, 2004; Tabel 12). Penyempurnaan
kualitas vaksin JD, dengan menggunakan
teknologi
rekombinan
DNA
sedang
berlangsung di BPPV Regional VI Denpasar.
Bovine Viral Diarhea
Semua umur hewan peka terhadap virus
BVD, penyakit umumnya bersifat subklinis,
tetapi pada hewan dengan infeksi laten kadangkadang dapat bersifat fatal yang disebut
mucosal disease. Virus BVD menular secara
kontak dan dapat juga secara vertikal yaitu dari
induk ke anaknya. Fetus yang tertular akan
mengalami abortus, stillbirths atau pedet yang
dilahirkan akan membawa virus secara
persisten.
Sejak kapan penyakit BVD masuk ke
Indonesia belum diketahui secara pasti, dan
saat ini BVD telah bersifat endemik di
Indonesia dengan tingkat prevalensi reaktor
yang bervariasi dan di beberapa daerah cukup
tinggi (Tabel 12, MUHAMMAD et al., 2004).
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 11. Prevalensi reaktor penyakit Jembrana
Propinsi
Bali
Lampung
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2000
2002
2004
2000
2001
2002
2004
2005
2001
2002
2005
2002
2002
2003
2004
2004
2005
Jumlah sampel
71
1.541
180
584
76
431
250
200
84
517
669
339
429
60
38
74
86
200
200
116
102
67
459
Jumlah Positif
26
827
135
162
15
4
107
94
44
240
374
132
143
6
0
55
33
98
174
105
5
1
141
Persentase
36,6%
53,7%
75,0%
27,7%
19,7%
0,9%
42,8%
47%
52,4%
46,4%
55,9%
38,9%
33,3%
10%
0%
74%
38,4%
49%
87%
90,5%
4,9%
1,5%
30,7%
Tabel 12. Monitoring antibodi pascavaksinasi terhadap penyakit Jembrana
Propinsi
Lampung
Kalimantan Selatan
Tahun
2003
2002
2003
Jumlah sampel
50
315
82
Diduga penyakit ini bersifat imunosupresif,
sehingga karena keberadaannya diduga dapat
memicu munculnya penyakit lain atau
mengganggu respon kekebalan tubuh dari
suatu program vaksinasi. Walaupun penyakit
ini tergolong dalam PHM Strategis, tindakan
penanggulangan penyakit di lapangan belum
begitu jelas.
Penyakit Ngorok
Penyakit
ngorok
(haemorrhagic
septicaemia/HS, septicaemia epizooticae / SE)
merupakan salah satu penyakit bakterial yang
sering menimbulkan wabah di Asia Tenggara
dan di beberapa negara di benua Afrika. Di
Indonesia penyebab penyakit SE adalah P.
multocida serotipe B:2 atau 6:B. Penyakit ini
pertama kali dilaporkan di Indonesia pada
tahun 1885 dan merupakan salah satu penyakit
Jumlah Positif
46
223
65
Persentase
92,0%
70,8%
79,8%
hewan menular yang dapat menimbulkan
kerugian ekonomi yang cukup besar apabila
tidak ditanggulangi secara seksama (PUTRA,
1992a, 1994, 2005a,b). Di Indonesia pada
tahun 1973, kerugian akibat penyakit ngorok
diperkirakan sebesar 5,4 milyar rupiah berupa;
matinya hewan peka, turunnya berat badan dan
hilangnya tenaga kerja (ANONIMUS, 1977).
Salah satu cara penanggulangan penyakit/
wabah SE yang paling efektif ialah dengan
jalan melakukan vaksinasi massal pada hewan
peka dengan cakupan vaksinasi sekurangkurangnya mencapai 80% (SUDANA et al.,
1981a,b; ANONIMUS, 1977).
Kerbau dan sapi sangat peka terhadap
penyakit ini, kerbau dilaporkan lebih peka
terhadap penyakit SE dari pada sapi
(SETIAWAN et al., 1983). Diantara ras sapi, sapi
Bali diketahui yang paling peka. Selain pada
sapi dan kerbau wabah penyakit SE juga
pernah dilaporkan pada rusa (JONES and
37
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 12. Prevalensi antibodi BVD (Elisa) pada sapi di Provinsi Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan dan Bali, data dari tahun 2002−2005
Propinsi
Sumatera Utara
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Bali
Tahun
2005
2005
2004
2002
Jumlah sampel
83
80
43
98
HUSSAINI, 1982; RIMLER et al., 1987) dan pada
babi (MURTY and KAUSHIK, 1965; VERMA,
1988). Sapi dan kerbau umur 6-18 bulan sangat
peka terhadap penyakit SE (ARJONO et al.,
1989; PUTRA, 1992a). Hewan yang sembuh
dari penyakit SE dapat bertindak sebagai
karier.
Kuman P. multocida berada dalam keadaan
inaktif (dormant) di dalam limfonodus
retropharengea, di dalam lumen tonsil, pada
beberapa kelenjar getah bening lainnya
(PRODJOHARJONO, 1977; SUDANA et al.,
1981b). Hewan karier dapat menjadi sakit
dan/atau menjadi sumber penularan pada
hewan peka lainnya, diduga berkaitan dengan
penurunan kondisi tubuh, misalnya akibat
adanya stres.
Di daerah tropis kejadian penyakit SE
tertinggi terjadi pada saat musim hujan
walaupun kasus-kasus yang bersifat sporadis
dapat terjadi sepanjang tahun (SUDANA dan
KERTAYADNYA, 1989; PUTRA, 1994, 1992a,b).
Di Lampung Selatan, wabah penyakit SE
pernah terjadi antara bulan Januari-April pada
tahun 1984 dan 1989, yaitu pada saat musim
hujan. Di Timor Timur, SUDANA dan
KERTAYADNYA (1989) juga melaporkan bahwa
wabah penyakit ngorok terjadi pada bulan
Februari saat terjadinya musim hujan.
Demikian juga di Kupang, Putra (1992a)
melaporkan bahwa kasus SE pada pedet-pedet
yang belum divaksin pada suatu mini ranch
Jumlah Positif
0
32
19
58
Persentase
0
40
44,2
59,2
terjadi pada saat musim hujan. Dengan
menggunakan indikator keberadaan antibodi
yang terbentuk secara alami, PUTRA (1992b,
2003a,b) melaporkan bahwa prevalensi
antibodi protektif pada sapi di pulau Lombok
jauh lebih tinggi pada saat musim hujan
dibandingkan dengan pada saat musim
kemarau. Dilaporkan bahwa pada saat musim
hujan lebih dari 70% dari hewan umur di atas 2
tahun
memiliki
antibodi
protektif,
mengindikasikan terjadinya infeksi alami.
Wabah terjadi, selain ditentukan oleh
tingkat herd immunity, juga erat kaitannya
dengan tingkat prequensi kontak antara hewan
penderita dengan hewan peka sesuai sistem
peternakan dan juga tingkat kontaminasi
makanan/minuman (SUDANA et al., 1981b;
PUTRA, 1992a). Namun demikian, kuman P.
multocida penyebab SE disinyalir tidak mampu
bertahan di tanah dalam waktu yang lama
(BAIN, 1963).
Dari hasil surveilans dan monitoring
antibodi terhadap penyakit SE yang dilakukan
antara tahun 2001-2005 oleh BBVet dan BPPV
Regional nampak bahwa prevalensi antibodi
terhadap penyakit ngorok sangat bervariasi,
dan status antibodi tersebut tidak diketahui
secara pasti apakah ia terbentuk karena infeksi
alami atau karena vaksinasi. Namun demikian,
dapat diketahui bahwa secara geografis
penyakit SE telah tersebar luas di Indonesia
(Tabel 13, 14, 15, dan Tabel 16).
Tabel 13. Prevalensi antibodi SE (ELISA/MPT) pada sapi di Pulau Sumatra, dari tahun 2000-2005
Propinsi
Sumut
NAD
Sum Bar
Jambi
38
Tahun
2002
2005
2005
2004
2004
Jumlah sampel
139
180
94
21
44
Jumlah Positif
0
30
34
15
24
Persentase
0
16,67
36,17
71,43
54,55
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 14. Prevalensi antibodi SE (ELISA/MPT) pada sapi di Pulau Bali, dari tahun 2000-2005
Tahun
2002
2003
2004
Jumlah sampel
108
730
757
Jumlah Positif
15
56
507
Persentase
3,89
7,67
66,97
Tabel 15. Prevalensi antibodi SE (ELISA/MPT) pada sapi di Provinsi NTB
Tahun
2001
2002
2004
Jumlah sampel
182
3.696
662
Jumlah Positif
122
1.715
20
Persentase
67,03
46,4
3,02
Tabel 16. Prevalensi antibodi SE (ELISA/MPT) pada sapi di Provinsi NTT
Tahun
Jumlah sampel
Jumlah Positif
Persentase
2002
568
101
17,78
2003
289
48
16,6
2004
1.047
543
51,86
2005
1.156
701
60,64
Infectious Bovine Rhinotracheitis
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis
(IBR) merupakan penyakit hewan menular
yang dapat menyerang sistem pernafasan dan
juga saluran reproduksi sapi, sangat merugikan
karena hewan penderita bunting dapat
mengalami abortus (ANONIMUS, 1999).
Penyakit ini diduga (klinis) pertama kali terjadi
di Lampung Tengah pada tahun 1981
(MARFIATININGSIH,
1982)
kemudian
dikonfirmasi secara serologis (ARJONO et al.,
1984). Selanjutnya dilaporkan terjadi di
Sumatra Utara pada tahun 1981 dan 1982
dengan prevalensi bervariasi antara 5 – 22% di
beberapa daerah yang diamati, dengan uji
serum netralisasi tes (NOOR et al., 1983a,b),
dan selanjutnya berhasil ditumbuhkan pada
kultur jaringan (SUMARYANI dan NOOR, 1984).
Ada dugaan impor sapi bibit dari luar negeri
ikut membawa virus IBR (SODIRUN dan
SOSIAWAN, 2003).
Saat ini IBR telah bersifat endemik,
tersebar luas di Pulau Sumatra (Tabel 17), di
Pulau Jawa (Tabel 18, SUDARISMAN, et al.,
2003), di Pulau Sumbawa (Tabel 19), dan
mungkin di pulau-pulau lainnya. Sapi perah,
sapi potong dan kerbau telah dilaporkan
terjangkit penyakit ini. SUDARISMAN (2002)
melaporkan bahwa tingginya kejadian abortus
pada sapi perah di Kabupaten Bandung pada
tahun 1993 diduga ada kaitannya dengan
infeksi virus IBR. PUTRA (2005) dalam
penyidikannya terhadap penyakit brucellosis di
Jawa Tengah juga mengindikasikan adanya
peran penyakit IBR dalam menimbulkan
keguguran.
Tabel 17. Prevalensi antibodi IBR (ELISA) pada sapi di Pulau Sumatra
Propinsi
Sumatera utara
Sumatera Barat
Jambi
Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Tahun
2005
2003
2003
2003
2002
2002
Jumlah sampel
174
16
4
3
19
3
Jumlah Positif
12
2
1
0
4
1
Persentase
6,89
12,2
25
0
21,05
33,33
39
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 18. Prevalensi antibodi IBR (ELISA) pada sapi di Pulau Jawa
Propinsi
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI
DIY
Banten
Tahun
2002
2002
2002
2002
2002
2002
Jumlah sampel
336
133
112
84
179
27
Jumlah Positif
53
7
7
23
25
4
Persentase
15,77
5,26
6,25
27,38
13,97
14,81
Tabel 19. Prevalensi antibodi IBR (SN Test dan ELISA) pada kerbau di Pulau Sumbawa
Tahun
2001
Jumlah sampel
1.020
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
Brucellosis
Di Indonesia, penyakit brucellosis (secara
serologi) telah diketahui ada sejak tahun 1935,
ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur, kemudian Brucella
abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938.
Selanjutnya pada tahun 1940 dilaporkan
muncul di Sumatra Utara dan Aceh (Roza,
1958). Kerugian ekonomi akibat brucellosis
sangat besar sekali, terutama pada daerah yang
sudah bersifat endemis. Di Nigeria, dengan
populasi ternak sekitar 8 juta ekor dan
prevalensi brucellosis sebesar 3,1%, kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit ini
setiap tahun diperkirakan sebesar 233 juta
dollar Amerika (ESURUOSO, 1980). Menurut
analisis Direktorat Kesehatan Hewan pada
tahun 1981, saat itu 21 propinsi yang tertular
brucellosis, kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh brucellosis diperkirakan sebesar 5 milyar
rupiah per tahun. Pada tahun 1993 Direktorat
Kesehatan Hewan kembali melakukan kajian
kerugian ekonomi akibat brucellosis pada sapi
di Propinsi Sulawesi Selatan dan Nusa
Tenggara Timur. Hasil kajian tersebut
memperkirakan kerugian sebesar 170 juta
untuk selama 5 tahun (34 juta/tahun) per desa
tertular dengan populasi 2010 ekor sapi. Lebih
lanjut disebutkan bahwa apabila suatu program
pemberantasan brucellosis dilaksanakan nilai
benefit cost ratio sebesar 2,9 dengan IRR
sebesar 21,9%. Data ini menunjukkan bahwa
suatu
program
pemberantasan
layak
dilaksanakan. Jadi, adanya penyakit brucellosis
40
Jumlah Positif
34
Persentase
3,3
akan sangat mengganggu pendapatan petani
peternak, pendapatan daerah dan bahkan secara
nasional memboroskan devisa negara karena
keharusan untuk memenuhi kebutuhan daging
dalam negeri melalui impor, serta dapat
menghambat perdagangan ternak (SIREGAR,
2000; PUTRA, 2001).
Penyakit brucellosis dewasa ini sudah
diketahui terdapat hampir di seluruh propinsi di
Indonesia, kecuali Propinsi Bali dan Provinsi
NTB. Secara serologis kejadian brucellosis
telah ditemukan di beberapa pulau di
Indonesia, yaitu di pulau Sumatra, Jawa,
Sulawesi, Kalimantan. Dari pengamatan
perkembangan penyakit, kejadian brucellosis
cendrung semakin meningkat baik dari segi
jumlah (tingkat prevalensi/insiden reaktor)
maupun dalam penyebarannya (distribusi),
tentu hal ini sangat mengancam pertumbuhan
peternakan (sapi dan kerbau).
Permasalahan utama yang dialami dalam
pengendalian/pemberantasan
penyakit
brucellosis adalah belum fokusnya upayaupaya yang dilakukan. Acapkali suatu program
bersifat kedaerahan, jadi belum sepenuhnya
terintegrasi dengan menggunakan pendekatan
pulau. Karena keterbatasan dana, dan tidak
matangnya perencanaan sering program
pemberantasan tidak terselenggara secara
berkelanjutan, sebagai akibatnya penurunan
kasus penyakit di lapangan bersifat sesaat.
Upaya pemberantasan brucellosis di NTB
dengan menggunakan pendekatan pulau,
bersifat massal dan serentak dengan
menggunakan desa sebagai unit epidemiologi
yang dilaksanakan secara bertahap dan
berkelanjutan telah membuktikan suatu
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
keberhasilan. Sejak tahun 2002, setelah
melakukan upaya pemberantasan secara
intensif selama dua tahun, akhirnya pulau
Lombok dapat dibebaskan dari brucellosis
(Keputusan
Mentan
No.
444/Kpts/TN.540/7/2002 tanggal 15 Juli 2002).
Dengan pendekatan program yang sama, pulau
Sumbawa juga telah terbebas dari brucellosis
sejak Februari 2006 (Peraturan Mentan No.
97/Permentan/PD.660/2/2006
tanggal
27
Februari 2006). Dengan demikian, sampai saat
ini ini hanya Propinsi Bali (secara historis
bebas) dan Provinsi NTB yang bebas dari
brucellosis.
Antraks
Kabupaten Buleleng, Bali sekitar tahun
1885 pernah dilaporkan tertular antraks
(SOEMANAGARA, 1958). Sekarang pulau Bali
dikenal sebagai salah satu pulau di Indonesia
yang bebas dari antraks. Data ini menunjukkan
bahwa antraks masih dapat diberantas, tentu
dengan
program
yang
jelas
dan
berkesinambungan dan dilaksanakan dalam
jangka waktu yang lama mengingat daya tahan
hidup spora antraks di tanah dapat berlangsung
dalam kurun waktu yang sangat lama.
Nampaknya permasalahan yang dihadapi
saat ini adalah belum optimalnya upaya
pengendalian/pemberantasan
penyakit
di
lapangan yang disebabkan oleh berbagai faktor
yang cukup kompleks. Di daerah endemik,
salah satu cara untuk mengendalikan penyakit
adalah dengan melakukan vaksinasi massal
terhadap seluruh hewan peka di semua desa
tertular dan desa sekitarnya yang secara
epidemiologi terancam. Kalau program
vaksinasi
dilaksanakan
secara
berkesinambungan dalam jangka waktu yang
lama, pada akhirnya spora B. anthracis pada
suatu saat akan mati juga seperti yang terjadi di
pulau Bali.
Pengendalian penyakit antraks di Pulau
Lombok cukup berhasil dengan kejadian kasus
terakhir pada tahun 1987. Demikian juga di
Pulau Sumba (Kabupaten Sumba Timur), kasus
terakhir tercatat pada tahun 1980 (SUDANA et
al., 1980). Apabila di kedua pulau ini terus
dilakukan upaya pemberantasan, kemungkinan
besar dapat terbebas dari penyakit antraks
seperti yang pernah terjadi di Bali.
Jembrana
Penyakit Jembrana telah bersifat endemik
di Pulau Bali, mungkin juga di beberapa daerah
di Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan.
Permasalahan utama dari perluasan penyebaran
penyakit ini adalah melalui perpindahan sapi
karier yang tidak memperlihatkan gejala klinis
dari daerah tertular ke daerah yang belum
tertular. Di daerah baru yang belum tertular,
umumnya penyakit Jembrana cendrung
menimbulkan wabah dengan tingkat morbiditas
yang dapat mencapai 65% dengan case fatality
rate sekitar 30%. Sejak diketahuinya penyebab
penyakit
Jembrana,
sekarang
telah
dikembangkan berbagai metode uji (AGUSTINI
et
al.,
2003;
HARTANINGSIH,
2003;
HARTANINGSIH et al., 2004; TENAYA dan
HARTANINGSIH, 2004, 2005; TENAYA et al.,
2003) yang mampu mendeteksi sapi karier
yang diharapkan mampu mengurangi perluasan
penyebaran penyakit melalui pengawasan lalulintas sapi/kerbau dengan melakukan pengujian
laboratorium.
Bovine Viral Diarhea-Mucosal Disease
Penelitian tentang penyakit BVD sangat
jarang dilakukan di Indonesia sehingga sifat
epidemiologi dari penyakit tersebut belum
banyak terungkap, meskipun penyakit ini
digolongkan dalam PHM Strategis. Karena
penyakit ini dapat mengganggu sistem
kekebalan tubuh (imunosupresif) diduga ia
dapat berperan sebagai pemicu munculnya
penyakit hewan menular lainnya.
Haemorrhagic Septicaemia
Di Indonesia telah dibuktikan bahwa salah
satu cara penanggulangan penyakit SE yang
paling efektif ialah dengan jalan melakukan
vaksinasi massal pada hewan peka seperti telah
dilaksanakan di pulau Lombok (SUDANA et al.,
1981a,b; ANONIMUS, 1977). Rendahnya
cakupan vaksinasi tidak akan mampu
memberantas kasus klinis di lapangan (PUTRA
et al., 2003, 2005; PUTRA, 2005)
Kerbau dan sapi diketahui sangat peka
terhadap penyakit ini, kerbau dilaporkan lebih
peka terhadap penyakit SE dari pada sapi (DE
ALWIS, 1980; SAHAREE and SALIM, 1991).
41
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Diantara ras sapi, sapi Bali diketahui yang
paling peka. Kerbau dan sapi dalam kelompok
umur 6-18 bulan adalah kelompok yang paling
peka terhadap serangan penyakit SE (DE
ALWIS et al., 1975, 1976; ARJONO et al., 1989;
PUTRA, 1992a), oleh karenanya kelompok
hewan ini harus diberikan prioritas utama
dalam pengendalian penyakit di lapangan.
BAIN (1963) menyatakan bahwa di daerah
tropis kejadian penyakit SE tertinggi terjadi
pada saat musim hujan, walaupun kasus-kasus
yang bersifat sporadis dapat terjadi sepanjang
tahun. Di India (KHERA, 1979) dan Sri Lanka
(DE ALWIS et al., 1976) kasus penyakit SE
umumnya muncul pada saat musim hujan.
Karena penyakit SE sudah bersifat endemik di
Indonesia, mungkin kasus muncul karena
terjadi penurunan kondisi tubuh, misalnya
akibat adanya stres (WIJEWARDANA et al.,
1991; HUQ, 1976; HORADAGODA et al., 1991).
DE ALWIS (1980) mengungkapkan bahwa
terjadinya kasus penyakit SE pada akhir musim
kemarau atau awal musim hujan, karena pada
episode tersebut terjadi stres pada kebanyakan
hewan akibat rendahnya status nutrisi serta
hewan masih tetap dipekerjakan di sawah.
Sesungguhnya masih belum jelas sekali
mengenai pengaruh musim itu sendiri terhadap
kejadian penyakit SE. Apakah kejadian
penyakit tersebut memang karena adanya stres
akibat perubahan musim, ataukah karena
tingkat penyebaran kuman P. multocida terjadi
lebih tinggi pada saat musim hujan, masih
memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Karena
tingkat kelembaban lingkungan pada saat
musim hujan meningkat, diduga faktor ini
dapat meningkatkan daya tahan hidup dari P.
multocida di luar tubuh hospes (di lapangan),
dengan demikian dapat mempengaruhi proses
penularan secara oral.
Cara penularan penyakit SE di lapangan
dapat terjadi melalui kontak (inhalasi) dan
secara oral. Kuman P. multocida penyebab SE
disinyalir tidak mampu bertahan di tanah
dalam waktu yang lama (BAIN 1963).
Penularan utama diduga terjadi melalui kontak
antara penderita dengan hewan sehat
(SAHAREE and SALIM, 1991), yaitu melalui
inhalasi. Di samping secara kontak langsung
(inhalasi), penularan dapat juga terjadi secara
oral melalui makanan dan minuman yang
42
tercemar (DE ALWIS, 1980). Air sungai dapat
menjadi sumber penularan karena kebiasaan
buruk peternak untuk membuang bangkai
hewan berpenyakit SE ke sungai.
Frekuensi kontak di antara hewan
kemungkinan besar juga memainkan peranan
penting dalam kejadian penyakit SE di
lapangan yang kebanyakan dengan sistim
peternakan tradisional. Secara tradisional para
peternak biasanya menggembalakan beberapa
ternaknya di padang penggembalaan, atau
memberi makan ternaknya secara zero grazing
(menyabitkan), yang berarti frekuensi kontak
antara hewan relatif kecil bila dibandingkan
dengan sistim intensif (ranch). Adanya peranan
frekuensi kontak antara ternak sakit dan sehat
untuk terjadinya kasus SE dikukuhkan oleh
laporan PUTRA (1992a) dalam penyidikannya
terhadap penyakit SE di suatu mini ranch di
Kupang.
Mempertimbangkan pada cara terjadinya
penularan penyakit SE pada sistim peternakan
tradisional dimana frekuensi kontak antara
hewan tidak begitu intensif dan terbatasnya
persediaan vaksin SE, maka strategi vaksinasi
di daerah endemik perlu dikaji ulang (PUTRA,
1994). Nampaknya tidak perlu semua ternak
harus divaksin (pada kondisi dimana
persediaan vaksin terbatas), mengingat
kemungkinan terjadinya infeksi alami yang
mampu membentuk antibodi protektif di
daerah-daerah yang endemik SE. Karena
keterbatasan vaksin, sapi yang berumur di atas
3 tahun di daerah endemik mungkin tidak perlu
lagi divaksinasi mengingat selama hidupnya
setidak-tidaknya sudah pernah divaksin 5-6
kali, di samping itu ia juga memperoleh infeksi
alam.
Dengan
memfokuskan
program
vaksinasi pada ternak umur 6-18 bulan atau
mungkin sampai umur 3 tahun, tentu akan
lebih mengoptimalkan strategi penggunaan
vaksin. Hal ini disarankan berdasarkan pada
data yang memperlihatkan bahwa sebagian
besar ternak umur diatas 18 bulan (di daerah
endemik) telah memiliki antibodi protektif
secara alami (PUTRA, 2003a,b). Karena strategi
vaksinasi ini masih merupakan hipotesis maka
untuk menguji akurasinya perlu dikaji dulu di
lapangan pada ruang lingkup yang terbatas
sebelum dapat diaplikasikan secara luas.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Infectious Bovine Rinotracheitis
Virus IBR saat ini telah diketahui tersebar
secara luas, menyerang sapi potong, sapi perah,
kerbau dan cendrung bersifat endemis di
beberapa daerah dengan prevalensi yang
beragam. Bahkan infeksi virus IBR telah
diindikasikan menyerang pusat pembibitan
ternak pemerintah (PUTRA, 2005). Idealnya
pusat-pusat pembibitan ternak, demikian juga
lembaga penghasil semen beku seyogyanya
ternaknya terbebas dari IBR. Kecuali laporan
MARFIATININGSIH (1982) dan NOOR et al.
(1983a,b), akhir-akhir ini jarang dilaporkan
bahwa IBR memperlihatkan gejala klinis,
namun demikian masih membutuhkan studi
lebih lanjut. Sekalipun tergolong dalam PHM
Strategis, sampai saat ini kebijakan lapangan
untuk menanggulangi IBR belum jelas
ditetapkan.
PENUTUP
Dari uraian sebelumnya nampaknya
diperlukan suatu komitmen yang jelas
mengenai pendekatan penanganan PHM
Strategis. Indonesia yang terdiri dari ribuan
pulau sangat memungkinkan untuk mengisolasi
suatu penyakit hanya terjadi pada suatu pulau.
Karena terbatasnya persediaan dana semestinya
pendekatan
yang
digunakan
adalah
menggunakan pendekatan pulau tersebut
sekaligus melakukan pengawasan yang ketat
mengenai lalu-lintas hewan dan bahan yang
berpotensi
membawa
suatu
patogen,
dilaksanakan secara bertahap (boarding
system), terpadu dan berkesinambungan.
Dalam kaitan itu dan juga berkaitan dengan era
otonomi daerah, kiranya daftar PHM Strategis
yang ditetapkan tahun 1998 perlu dikaji ulang
dan implementasinya di lapangan diwujudkan
dalam bentuk program kegiatan nyata setiap
tahun.
DAFTAR PUSTAKA
ADIWINATA T. 1967 Some informative notes on a
rinderpest-like disease on the island of Bali.
OIE-FAO Conference on epizootics in Asia and
the Far-east, Tokyo 2 – 9 October 1967.
AGUSTIA, MAWARDI, A. dan KALIANDA, J. S. (2005)
Kasus Kematian Ternak Sapi di Kecamatan
Long Ikis Kabupaten Pasir Kalimantan Timur.
Dilavet 15 (2): 11 – 17.
AGUSTINI, N.L. 2004. Uji coba vaksin Jembrana di
Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2001-2003.
Buletin Veteriner XVI (64): 61 – 68.
AGUSTINI, N.L., MUNDERA, I N., dan HARTANINGSIH,
N. 2003. Deteksi protein pada limposit sapi
Bali yang diinfeksi virus Jembrana dengan
westernbloting. Buletin Veteriner XV (63): 49
– 52.
AKOSO, B.T. dan SIREGAR, H.M.G. 1984. Penyidikan
wabah brucellosis di Provinsi Sulawesi Utara.
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit
Hewan di Indonesia Periode tahun 1982-1983,
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta, hlm. 51 – 70.
ANONIMUS. 1977. Haemorrhagic septicaemia and
eradication programme in Indonesia. Bulletin
de L'office International des Epizooties 87: 609
– 612
ANONIMUS. 1986. Peta Penyakit Hewan di Indonesia
Tahun 1986. Direktorat Kesehatan Hewan,
Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
ANONIMUS. 1999. Infectious bovine rhinotracheitis /
Infectious Pustular Vulvovaginitis. In “Manual
of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines,
Office International des Epizooties, hal 281 –
290.
ANONIMUS. 2000. Hasil Survey Serologik
Brucellosis di Kabupaten Pesisir Selatan.
Laporan Hasil Surveillance Brucellosis,
Parasit Darah dan Mineral di Sumatera Barat,
Riau dan Jambi Tahun Anggaran 1999/ 2000.
BPPV Regional II Bukit Tinggi.
ANONIMUS. 2002. Laporan Tahunan 2002. BPPV
Regional I Medan, Sumatera Utara.
ANONIMUS. 2002. Laporan Tahunan Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional
IV Yogjakarta Tahun 2002. BPPV Regional
IV Yogjakarta.
ANONIMUS. 2002. Laporan Tahunan Tahun 2002.
BPPV Regional III Tanjung Karang,
Lampung.
ANONIMUS. 2003. Laporan Tahunan Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional
IV Yogjakarta Tahun 2003. BPPV Regional
IV Yogjakarta.
43
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
ANONIMUS. 2005. Laporan Tahunan 2005. Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional
I Medan.
ANONIMUS. 2005. Laporan Tahunan Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional
II Bukit Tinggi Tahun 2004. BPPV Regional
II Bukit Tinggi.
ARJONO S., PRABOWO H. dan SOESILO F. X. 1989
Wabah penyakit ngorok di Kabupaten
Lampung Selatan: Penyidikan epidemiologik
dan kerugian ekonomi. Pros. Seminar Nasional
Epidemiology Veteriner ke-1. Direktorat Bina
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan. Hlm 35 – 50.
ARJONO, S., MARFIATININGSIH, S., ARAI, S. dan
SOESILO 1984. Uji netralisasi IBR terhadap
serum-serum sapi asal Provinsi Lampung.
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit
Hewan di Indonesia Periode tahun 1976 – 1981,
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta, Hlm. 93 – 98.
ASTUTI, S. M., DHARMA, D. M. N., KARYANTI, D.,
dan SALASIAH. 2000. Situasi Brucellosis Pada
Sapi dan Kerbau di Kalimanatan Tahun 1996
– 2000. Dilavet 10 (2): 7 – 11
BAIN R. V. S. 1963. Haemorrhagic septicaemia. Food
and Agriculture Organization of the United
Nations, Serial Number 62. pp. 77.
BUDIARSO I. T. and HARDJOSWORO S. 1976. Jembrana
disease of Bali cattle. Aust. Vet. Jour. 52: 97.
BUDIARSO I. T. and HARDJOSWORO S. 1977a.
Jembrana disease of Bali breed cattle. Hemera
Zoa 69: 73 – 74 (Abstract).
BUDIARSO I. T. and HARDJOSWORO S. 1977b. Some
notes on Jembrana disease of Bali cattle.
Hemera Zoa 69: 94 – 102.
DE ALWIS M. C. L. 1980. Haemorrhagic septicaemia
in Sri Lanka. Tropical Agricultural Research
Tropical Agriculture Research Center. Ministry
of Agriculture, Forestry and Fisheries, Japan.
Series No. 13, pp. 45 – 54.
DE ALWIS M. C. L., JAYASEKERE M. U., and
BALASUNDARAM
P.
1975
Pneumonic
pasteurellosis in buffalo calves associated with
Pasteurella multocida serotype 6:B. Ceylon
Vet. Jour. XXIII: 58 – 60.
44
DE ALWIS M. C. L., KODITUWAKKU A. O. and
KODITUWAKKU S. 1976. Haemorrhagic
septicaemia: An analysis of two outbreaks of
disease among buffaloes. Ceylon Vet. Jour.
XXIV: 18 – 21.
DHARMA D. N., DARMADI P., SUDANA I. G. dan
SANTHYA K. 1985. Komunikasi Singkat: Studi
perbandingan penyakit Jembrana dan malignant
catarrhal fever pada sapi Bali. Annual Report
on Animal Disease Investigation in Indonesia
During the Period of 1983 – 1984,. Directorate
of Animal Health, Directorate General of
Livestock Service, Jakarta Indonesia. pp. 77 –
81
DHARMA, D. M. N., KALIANDA, J. S., AGUSTIA, H.,
FAHRURRIYADI, SUDARMAN dan TAUFIK, M.
(2003) Letupan Penyakit Jembrana di
Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut.,
Kalimantan Selatan. Dilavet 13(2): 1 – 8.
ESURUOSO, G. G. 1980. Current status of brucellosis
in Nigeria and a preliminary evaluation of the
probable cost and benefit of a proposed
brucellosis control program for the country.
Veterinary Epidemiology and Economics.
Proceedings of the second international
symposium. Australian Goverment Publishing
Service, Canberra, pp.644 – 649.
EZZELL Jr., J. W. 1986. Bacillus anthracis. In
Pathogenesis of Bacterial Infections in
Animals. Edited by Carlton L. Gyles and
Charles O. Thoen. Iowa State University Press,
Ames, pp. 21 – 25.
HAMIDJOJO, A. N. 1984. Epidemiologi brucellosis
pada ternak sapi di Sulawesi Utara. Penyakit
Hewan XVI: 246 – 248.
HARDJOSWORO S. and BUDIARSO I. T. 1973. Penyakit
Tabanan. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB
Bogor.
HARDJOSWORO S. and BUDIARSO I. T. 1977. Jembrana
disease of Bali breed cattle. Hemera Zoa 69: 69
– 70 (Abstract).
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
HARDJOUTOMO, S. dan PURWADIKARTA, M.B. 1996.
Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia:
Sampai dimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35 – 40.
HARDJOUTOMO, S., PURWADIKARTA, M.B. dan
MARTINDAH, E. 1995. Antraks pada hewan dan
manusia di Indonesia. Pros. Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner 7 – 8 Nopember
1995, Bogor. Puslitbang Peternakan. Hlm: 305
– 318.
HARDJOUTOMO, S., PURWADIKARTA, M.B., BARKAH,
K. 2002. Kejadian antraks pada burung unta di
Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa
12(3): 114 – 120.
HARDJOUTOMO, S., PURWADIKARTA, M.B., PATTEN, B.
dan BARKAH, K. 1993. The aplication of ELISA
to monitor the vaccinal response of anthrax
vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV
(46A): 7 – 10.
HARTANINGSIH N., SOEHARSONO S., SANTHIA K.,
DHARMA D. N., SUDANA G. and TJUPUANA I. N.
1985. Jembrana disease in Bali cattle. In
Veterinary Viral Diseases: Their significance in
South East Asia and Western Pacific. Academic
Press, Sydney, pp. 529 – 531.
HARTANINGSIH, N. 2003. Pengembangan metoda
capture Elisa untuk mendeteksi protein virus
Jembrana dalam plasma. Buletin Veteriner XV
63: 53 – 57.
HARTANINGSIH, N., AGUSTINI, N.L., TENAYA, W.M
dan SUPARTIKA, E. 2004. Validasi metode
diagnosa laboratorik penyakit Jembrana.
Buletin Veteriner XVI 65: 39 – 45.
HASAN, Z., PRABOWO, H., KURNIADI dan JARKASIH,
A. 2000. Kasus Penyakit Jembrana Pada Sapi
Bali di Ke. Belitang, Kabupaten Ogan
Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan
Laporan Penyidikan. Velabo XV 1: 16 – 21.
HORADAGODA N. U., BELAK K., DE ALWIS M. C. L.,
GOMIS A. I. U. and VIPULASARI A. A. 1991.
Localisation of Pasteurella multocida serotype
6:B in the tonsils of carrier-buffaloes using an
immunoperoxidase technique. Proc. of the
Fourth
International
Workshop
on
Haemorrhagic Septicaemia, Sri Lanka 11 – 15
February 1991, pp. 104 – 108.
HUQ A. Y. M. A. 1976 A comparison of Pasteurella
multocida isolated from healthy cattle and cattle
with shipping fever. III. The comparison with
reference to Carter's type A, B, C and D. Indian
Vet. Jour. 53: 319 – 322.
HUTAGAOL, N. M. 2003 Hasil Survei Serologis
Penyakit Jembrana di Kalimantan tahun 1998–
2002. Dilavet 13(1): 1 – 13.
JONES T. O. and HUSSAINI S. N. 1982. Outbreak of P.
multocida septicaemia in fallow deer (Dama
dama). Veterinary Record 110: 451 – 452.
KERTAYADNYA, I G. dan SUENDRA, N 2003. Wabah
penyakit antraks pada ternak di Desa
Doridungga ,Kecamatan Donggo, Kabupaten
Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Buletin
Veteriner XV(62): 43 – 49.
KERTAYADNYA, I G., DIBIA, N., SUENDRA, N. dan
PURNATHA, N. 2001. Kejadian penyakit antraks
pada ternak di Kecamatan Satarmese,
Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Buletin Veteriner XIII (58): 1 – 7.
KHERA S. S. 1979. The incidence and distribution of
epizootic diseases in India. I. Haemorrhagic
septicaemia. Bulletin de L'office International
des Epizooties 91: 331 – 347.
MARFIATININGSIH, S. 1982. Diagnosa infectious
bovine rhinotracheitis-like disease pada sapi
Bali di Lampung Tengah. Laporan Tahunan
Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia
Periode tahun 1976 – 1981, Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta, hlm. 122 – 124.
MARFIATININGSIH, S. 2003. Monitoring Penyakit
Jembrana Tahun 2002. Velabo 19(1): 1 – 5.
MARFIATININGSIH, S. dan YUTIE, A. 2001.
Monitoring Penyakit Jembrana Tahun 2000.
Velabo 17(2): 1 – 9.
MARFIATININGSIH, S. dan YUTIE, A. 2002.
Monitoring Penyakit Hewan Strategik
Jembrana Tahun 2001. Velabo 18(1): 1 – 10.
MISWATI, Y., SOSIAWAN, H. B., dan FAIZAL, D.
(2003) Surveillans dan Pemetaan Penyakit
Dalam Rangka Pemberantasan Brucellosis di
Regional II. Buletin Informasi Kesehatan
Hewan 5(66): 1 – 10
MUHAMMAD, D., RAUF, F. dan YUDIASTYAS, D. W.
2004. Situasi Kasus Bovine Viral Diare Pada
Sapi di Sulawesi Selatan Tahun 2004. Bulletin
Informasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner 2(1): 12 – 16.
MURTY D. K. and KAUSHIK R. K. 1965. Studies on an
outbreak of acute swine pasteurellosis due to P.
multocida type B (Carter 1955). Veterinary
Record 77: 411 – 416.
45
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
NOOR, M.A.R., SITEPU, S.I., ZAMZAMI, M., SURYADI,
A. dan PERANGINANGIN, A. 1983. Penyidikan
pendahuluan infectious bovine rhinotracheitis
(IBR) pada kerbau di Kabupaten Deli Serdang
Sumatra Utara. Laporan Tahunan Hasil
Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia
Periode tahun 1981 – 1982, Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta, hlm. 65 – 70.
NOOR, M.A.R., SITEPU, S.I., ZAMZAMI, M., SURYADI,
A. dan PERANGINANGIN, A. 1983. Penyidikan
serologik infectious bovine rhinotracheitis
(IBR) pada sapi di beberapa Kabupaten di
Sumatra Utara. Laporan Tahunan Hasil
Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia
Periode tahun 1981 – 1982, Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta, hal. 71 – 78.
NOOR, S.M., DARMINTO, dan HARDJOUTOMO, S. 2001.
Kasus antraks pada manusia dan hewan di
Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2): 8
– 14.
PAKPAHAN, S. 2001. Penyakit Straregis, Penyakit
Eksotik dan Situasi Brucellosis di Sumatera
Utara dan D. I. Aceh. Bulletin Veteriner 2: 1 –
7.
PAKPAHAN, S. dan SOENARDI. 1986. Investigasi
brucellosis di Pasir Pangarayan, Kecamatan
Rambah, Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit
Hewan di Indonesia Periode tahun 1984 – 1985,
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta, hlm. 37 – 41.
POERWADIKARTA, M.B. 1998. Protein profiles of field
isloates of Bacillus anthracis from different
endemic areas of Indonesia. JITV 3(1): 34 – 38.
POERWADIKARTA, M.B., HARDJOUTOMO, S. dan
BARKAH, K. 1993. Sensitivity of local isloates
of Bacillus anthracis against several antibiotics.
Penyakit Hewan XXV(46): 133 – 136.
PRANOTO R. A. and PUDJIASTONO. 1967. An outbreak
of highly infectious disease in cattle and
buffaloes on the island of Bali. Folia
Veterinariae Elveka 1: 10 – 53
PRODJOHARJONO S. 1977. Laporan penelitian penyakit
ngorok.
Fakultas
Kedokteran
Hewan
Universitas Gadjah Mada dan Direktorat
Kesehatan
Hewan
Direktorat
Jenderal
Peternakan.
46
PUTRA A. A. G. (1993) Penularan penyakit Jembrana
secara mekanis melalui Tabanus rubidus.
Bulletin Veteriner VI (35): 1 – 11.
PUTRA A. A. G. (2003) Surveillance zat kebal alami
dan usaha isolasi Pasteurella multocida pada
sapi Bali di Pulau Lombok. Buletin Veteriner
XV (62): 1 – 14.
PUTRA A. A. G. 1992a. Penyidikan beberapa aspek
epidemiologi penyakit SE pada suatu mini
ranch di Kupang. Bulletin Veteriner, Edisi
Januari – Maret 1992.
PUTRA A. A. G. 1992b. Country Report:
Haemorrhagic septicaemia in Indonesia.
Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR
Proc. No. 43., Canberra, p. 229 – 231.
PUTRA A. A. G. 1994 Strategi vaksinasi penyakit
Ngorok di Indonesia. Buletin Sains Veteriner X
(24): 27 – 51.
PUTRA A. A. G. 2001 Kajian Epidemiologi dan
Strategi Penanggulangan Penyakit Jembrana di
Indonesia. Pros. Seminar Nasional Penyakit
Jembrana, Tiga Puluh Tahun Menaklukkan
Penyakit Jembrana, Denpasar 9 Oktober 2001
BPPV Regional VI Denpasar. Hlm. 30 – 50,
PUTRA A. A. G. 2002a. Attempted transmission of
Jembrana disease with Aedes lineatopennis.
Buletin Veteriner XIV (61): 24 – 34.
PUTRA A. A. G. 2002b. Evaluasi Vaksinasi Penyakit
Jembrana di Sumatra Barat: Profil Antibodi.
Buletin Veteriner XIV (61): 35 – 50.
PUTRA A. A. G. 2003. Peranan hewan karier penyakit
Jembrana dalam penularan penyakit di
lapangan. Buletin Veteriner XV (63): 27 – 33.
PUTRA A. A. G. 2004. Epidemiologi Penyakit
Jembrana. Workshop Nasional Penyakit
Jembrana, diselenggarakan oleh Ditkeswan dan
Proyek ACIAR Australia pada BPPV Regional
VI Denpasar Bali Kuta 1 Desember 2004.
PUTRA A. A. G. and SULISTYANA K. 1997.
Epidemiological observations of Jembrana
disease in Bali. Jembrana Disease and the
Bovine lentiviruses. ACIAR Proc. 75: 90 – 95,
Canberra Australia.
PUTRA A. A. G., DHARMA D. M. N. dan KALIANDA J.
S. 2003b. Survei seroepidemiologi penyakit
Jembrana di Kabupaten Tanah Laut,
Kalimantan Selatan. Buletin Veteriner XV (63):
16 – 26.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
PUTRA A. A. G., DHARMA D. N., SOEHARSONO,
SUDANA I. G. dan SYAFRIATI T. 1983a. Studi
epidemiologi penyakit jembrana di Kabupaten
Karangasem 1981: I. Tingkat morbiditas,
tingkat mortalitas dan attact rate. Laporan
Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di
Indonesia Periode tahun 1981 – 1982,
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta, hlm. 170 – 1 78.
PUTRA A. A. G., DHARMA D. N., SOEHARSONO,
SUDANA I. G. dan SYAFRIATI T. 1983b. Studi
epidemiologi penyakit jembrana di Kabupaten
Karangasem 1981: II. Pengaruh pada
kebuntingan.
Laporan
Tahunan
Hasil
Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia
Periode tahun 1981-1982, Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta,
hlm. 179 – 183.
PUTRA, A.A.G. 2001. Kajian epidemiologi dan
dampak
ekonomi
brucellosis
terhadap
pendapatan petani, daerah dan nasional:
Dengan penekanan pada Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Buletin Veteriner XIII (58): 8
– 18.
PUTRA, A.A.G. 2002a. Prospek pemberantasan
brucellosis pada sapi/kerbau di pulau Lombok
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Buletin
Veteriner XIV (60): 21 – 32.
PUTRA, A.A.G. 2002b. Program pemberantasan
brucellosis pada sapi dan kerbau di Propinsi
NTB. Dalam “Brucellosis. Program dan
evaluasi
pemberantasan:
Suatu
model
Pemberantasan di Pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat”. Monograph No. 1, Balai
Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI
Denpasar, 1 – 19.
PUTRA A. A. G., SULISTYANA K., KRESNAANANDA C.
G. R. dan MAYUN K. 2003a. Surveilans
Seroepidemiologi penyakit Jembrana pada
ternak sentinel di Kabupaten Jembrana Bali.
Buletin Veteriner XV (63): 1 – 15.
PUTRA, A.A.G. 2002c. Prevalensi reaktor bovine
brucellosis di Kabupaten Kupang, Propinsi
Nusa Tenggara. Buletin Veteriner XIV (60): 7
– 12.
PUTRA A.A.G. 2003. Surveilans zat kebal alami
terhadap Pasteurella multocida pada sapi Bali di
desa sentinel di pulau Lombok. Buletin
Veteriner XV (62): 22 – 31.
PUTRA, A.A.G. 2002d. Evaluasi pemberantasan
brucellosis dengan vaksinasi di Kabupaten
Timor Tengah Utara dan Belu Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Buletin Veteriner XIV (60):
13 – 20.
PUTRA, A. A. G. dan SULISTYANA, K. 2004.
Penularan penyakit Jembrana: Peranan
serangga pengisap darah. Buletin Veteriner
XVI (64): 33 – 40.
PUTRA, A. A. G., EKAPUTRA, I. G. M. A., SEMARA
PUTRA, A. A. G dan DARTINI, N. L. (2003)
Surveilans penyakit ngorok di pulau Sumba
Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1994 –
1995, Dalam rangka evaluasi program
pembrantasan. Buletin Veteriner XV (62): 15 –
21.
PUTRA, A. A. G., SULISTYANA K. dan BUDIANTONO.
2004a. Kemampuan virus Jembrana yang
mengkontaminasi alat mulut nyamuk (Aedes,
Culex) untuk menimbulkan penyakit pada sapi
Bali. Buletin Veteriner XVI (64): 41 – 49.
PUTRA, A. A. G., SULISTYANA, K., BUDIANTONO dan
HARTANINGSIH, N. 2004b. Respon antibodi
vaksin penyakit Jembrana yang dibuat dari
suspensi limpa dan plasma serta daya tahannya
terhadap uji tantangan. Buletin Veteriner XVI
(64): 50 – 60.
PUTRA, A.A.G, ZUHUDIN, L., DARTINI, N.L., DEWI,
A.A.S., ARSANI, N.M. dan BUTARBUTAR, R.M.
2005. Wabah Antraks di Kabupaten Sumbawa
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Buletin
Veteriner XVII (66): 32 – 42.
PUTRA, A.A.G. 2004. Letupan penyakit Anthrax pada
ternak di Kabupaten Ngada Propinsi Nusa
Tenggara Timur: Buletin Veteriner XVI (64): 1
– 9.
PUTRA, A.A.G. 2005. Analisis faktor risiko
berjangkitnya bovine brucellosis di breeding
farm
Jawa
Tengah
dan
upaya
pemberantasannya. Buletin Veteriner XVII
(67): 91 – 104.
PUTRA, A.A.G. dan ARSANI, N.M. 2003a. Evaluasi
tahun pertama pemberantasan brucellosis pada
sapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans
dari tahun 1987 sampai dengan Desember
2002. Buletin Veteriner XV (62): 32 – 42.
PUTRA, A.A.G. dan ARSANI, N.M. 2003b. Evaluasi
tahun kedua pemberantasan brucellosis pada
sapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans
sampai dengan Desember 2003. Buletin
Veteriner XVI (64): 10 – 22.
PUTRA, A.A.G. DAN ARSANI, N.M. 2006. Evaluasi
final
pemberantasan
brucellosis
pada
sapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans
sampai dengan Desember 2005. Buletin
Veteriner XVIII ( 68): masih dalam pencetakan.
47
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
PUTRA, A.A.G. dan ARSANI, N.M.. 2004. Evaluasi
tahun ketiga pemberantasan brucellosis pada
sapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans
sampai dengan Desember 2004. Buletin
Veteriner XVII (66): 43 – 58.
PUTRA, A.A.G., I G.M. EKAPUTRA, A.A.G. SEMARA
PUTRA dan N.L. DARTINI 1995. Prevalensi dan
distribusi reaktor brucellosis di kawasan Nusa
Tenggara pada tahun 1994 – 1995. Laporan
BPPH Wilayah VI Denpasar.
PUTRA, A.A.G., MUTHALIB, A., ARSANI, N.M.,
SUNARYA, G.M. dan YUWANA, W.S. 2002.
Evaluasi pemberantasan brucellosis pada sapi
dan kerbau di pulau Lombok. Dalam
“Brucellosis.
Program
dan
evaluasi
pemberantasan: Suatu model Pemberantasan di
pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat”.
Monograph No. 1, Balai Penyidikan Penyakit
Hewan Wilayah VI Denpasar, 20 – 93.
PUTRA, A.A.G., SULAIMAN, I., LOASANA, A.,
HENDRINA dan BEN, R. 2001. Pemberantasan
brucellosis dengan test and slaughter: Suatu
model dengan pendekatan desa. Buletin
Veteriner XIII (59): 1 – 15.
PUTRA, AAG, KERTAYADNYA, IG, DARTINI, NL 2005.
Surveilans penyakit SE di Pulau Sumbawa: 2.
Isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida.
Buletin Veteriner XVII (66): 14 – 1 9.
PUTRA, AAG. 2005. Surveilans penyakit SE di Pulau
Sumbawa: 3. Kerugian ekonomi. Buletin
Veteriner XVII (66): 20 – 27.
PUTRA, AAG.(2005. Surveilans penyakit SE di Pulau
Sumbawa: 1. Evaluasi program pemberantasan.
Buletin Veteriner XVII (66): 1 – 13.
PUTRA, E. (2000) Hasil Survei Penyakit Brucellosis
di Pulau Rupat Kecamatan Rupat Kabupaten
Bengkalis Propinsi Riau. Buletin Informasi
Kesehatan Hewan 2 (60): 13 – 15.
PUTRA, E., dan SOSIAWAN, H. B. 2001. Surveilans
Penyakit Brucella di Pulau Rupat dan Pulau
Bengkalis Sebagai Upaya Menuju Status
Bebas
Brucellosis.
Buletin
Informasi
Kesehatan Hewan 3(63): 1 – 7
RAMACHANDRAN S. (1981) FAO-UNDP
Report, BPPV VI Denpasar.
Final
RESSANG A. A., BUDIARSO I. T. and SOEHARSONO S.
1985. Jembrana disease. Its similarity to bovine
ehrlichiosis. Workshop on Diseases Caused by
Leucocytic Rickettsiae of Man and Animals.
July 1985, University of Illinois, UrbanaChampaign, Illinois.
48
RIMLER R. B., RHOADES K. R. and JONES T. O. 1987.
Serological and immunological study of P.
multocida strains produced septicaemia in
fallow deer. Veterinary Record 121: 300 – 301.
ROZA, M. 1958. Beberapa segi dari pemberantasan
brucellosis bang. Hemera Zoa LXV (3-4): 128
– 149.
RUDI, H. N. dan SOSIAWAN, H. B. 2000. Hasil
Pengamatan Brucellosis di Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun Anggaran 1999-2000. Buletin
Informasi Kesehatan Hewan 2(59): 1 – 5.
SAHAREE A. A. and SALIM N. 1991. The
epidemiology of haemorrhagic septicaemia in
cattle and buffaloes in Malaysia. Proc. of the
Fourth
International
Workshop
on
Haemorrhagic Septicaemia, Sri Lanka 11 – 15
February 1991, pp. 109 – 112.
SAMKHAN, MULYONO, S., dan NIATI, S. 2003.
Pengamatan Brucellosis Pada Sapi Perah di
Jawa 2001–2002. Buletin Laboratorium
Veteriner II (2): 10 – 16.
SETIAWAN E. D., HAMIDJOJO A. N., RONOHARDJO P.
dan SJAMSUDIN A. 1983. Penggunaan vaksin
haemorrhagic
septicaemia
(septicaemia
epizootica) di Sulawesi Selatan (1970 – 1979).
Penyakit Hewan XV: 73 – 77.
SIREGAR, E.M. 2000. Pendekatan epidemiologik
pengendalian brucellosis untuk meningkatkan
populasi sapi di Indonesia. Orasi ilmiah guru
besar tetap Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, 9
September 2000.
SODIRUN, MISWATI, Y., dan SOSIAWAN, H. B. 2003.
Pemeriksaan Antibodi IBR Pada Bull Ex
Australia dengan Metode ELISA Sebagai
Pengawasan Dini Terhadap Kemungkinan
Adanya Penyakit dan Penyebarannya. Buletin
Informasi Kesehatan Hewan 5(67): 1 – 6.
SOEMANAGARA, R. M. T. 1958. Ichtisar singkat dari
penyakit radang limpa, penyakit ngorok dan
radang paha di Indonesia. I. Anthrax, radang
limpa. Hemera Zoa LXV (7 – 8): 95 – 109.
SUDANA I. G. dan KERTAYADNYA I. G. 1989. Wabah
penyakit hewan menular penyakit ngorok
(haemorrhagic septicaemia) di Propinsi Timor
Timur. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta.
SUDANA I. G., WITONO S. dan MALOLE M. 1980.
Penyidikan penyakit hewan di Perwakilan
Kecamatan Ngadu Ngala, Kabupaten Sumba
Timur. Laporan Penyidikan BPPH VI
Denpasar.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
SUDANA I. G., WITONO S. dan MALOLE M. 1981a. Uji
potensi vaksin penyakit ngorok (haemorrhagic
septicaemia) pada kerbau. Laporan Balai
Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI,
Denpasar, Bali.
SUDANA I. G., WITONO S. dan MALOLE M.. 1981b.
Evaluasi I dari pilot proyek pemberantasan
penyakit ngorok (haemorrhagic septicaemia) di
pulau Lombok. Laporan Balai Penyidikan
Penyakit Hewan Wilayah VI, Denpasar, Bali.
SUDARISMAN. 2002. Dampak penularan congonital
penyakit IBR. Rapat Koordinasi Kesehatan
Hewan
Nasional,
Banten.
Direktorat
Kesehatan Hewan. 16 – 18 April 2002.
SUDIANA, E., HIRST, R.G., and PATTEN, B. 1989.
Epidemiological study on brucellosis in dairy
cattle in the Bogor area. Proc. Seminar Nasional
Epidemiologi Veteriner ke I, Direktorat
Kesehatan Hewan, Ditjennak, Jakarta, 95 – 102.
SULAIMAN, I. 2005. Hasil sero-survey brucellosis di
pulau Jawa. Laporan disajikan pada Rapat
Koordinasi Penanggulangan Penyakit Zoonosis
pada Ternak Besar di Pulau Jawa, Dinas
Peternakan Propinsi Jawa Tengah.Semarang 22
– 23 Mei 2005.
SULAIMAN, I., PURMADJAYA, B., HANDOKO, A., dan
IBRAHIM. 2002. Surveillance Brucellosis
Tahap I Pada Sapi Perah di Desa Percontohan.
Buletin Laboratorium Veteriner 10 (1): 1 – 14.
SULISTIYANA K. dan PUTRA A. A. G. (1992) Usaha
transmisi penyakit Jembrana melalui Boophilus
microplus. Seminar Parasitologi Nasional VII
dan Kongres P4I. 23 – 25 Agustus 1993
Denpasar Bali.
SUMARYANI, H.D. dan NOOR, M.A.R. 1984.
Pengkajian infectious bovine rhinotracheitis
pada kerbau, usaha isolasi dan identifikasi
dengan flourecent antibody technique (FAT.
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit
Hewan di Indonesia Periode tahun 1981 – 1982,
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta, hlm. 77-79
TENAYA, W.M., ANANDA, C.K. dan HARTANINGSIH,
N. 2003. Deteksi proviral DNA virus Jembrana
pada limposit sapi Bali dengan uji Polymerase
Chain Reaction. Buletin Veteriner XV (63): 44
– 48.
TENAYA, W.M.and HARTANINGSIH, N. 2004.
Detection of JDV carrier animals by PCR.
Buletin Veteriner XVI (65): 46 – 50.
TENAYA, W.M.and HARTANINGSIH, N. 2005. Aplikasi
uji PCR untuk mendiagnosa penyakit Jembrana
di Kalimantan Timur dan Selatan. Buletin
Veteriner XVII (67): 147 – 153.
TEUSCHER E., RAMACHANDRAN S. and HARDING H. P.
1981. Observations on the pathology of
Jembrana disease in Bali cattle. Zentralblatt fur
Veterinarmedizine Reiche A. 28: 608 – 622.
VERMA N. D. 1988. Pasteurella B:2 in haemorrhagic
septicaemia outbreak in pigs in India.
Veterinary Record 123: 63.
WIJEWARDANA T. G., DE ALWIS M. C. L., GOMIS A. I.
U. and VIPULASIRI A. A. 1991. Persistence of
the carrier status in haemorrhagic septicaemia
in Buffaloes. Proc. of the Fourth International
Workshop on Haemorrhagic Septicaemia, Sri
Lanka 11-15 February 1991, pp. 99 – 103.
WILCOX G. E., KERTAYADNYA G., HARTANINGSIH N.,
DHARMA D. M. N., SOEHARSONO S. and
ROBERTSON T. 1992. Evidence for viral
aetiology of Jembrana disease in Bali cattle.
Veterinary Microbiology 33: 367 – 374.
WITONO, S., POERMADJAJA, B., USMAN, T.B., dan
SAPARDI, M. 1999. Letupan brucellosis pada
suatu peternakan sapi perah di Kabupaten
Malang, Jawa Timur. Rapat Teknis dan
Pertemuan
Ilmiah
Kesehatan
Hewan,
Ditjennak, Yogyakarta 3 – 6 Nopember 1999.
49
Download